Prisma
SURVEI
Akuntabilitas Sosial dalam Penyediaan Layanan Publik Temuan Awal Program Kinerja Indonesia sudah memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Reformasi birokrasi pun terfokus pada pembenahan pelayanan publik yang diharapkan semakin efisien dan efektif. Dengan mengoptimalisasi kesempatan dan menjalankan mekanisme akuntabilitas sosial, pemerintah dapat mendorong penyedia layanan untuk mengenali dan merespons umpan-balik yang disodorkan para pengguna serta meneruskan permohonan warga untuk memperbaiki dan meningkatkan penyediaan layanan bagi masyarakat. Program Kinerja sendiri telah memperlihatkan bahwa mekanisme akuntabilitas sosial dapat membangun kapasitas warga untuk menjalin kerja sama dengan penyedia layanan publik dalam menghasilkan layanan yang jauh lebih baik. Indonesia sangat berpotensi memajukan akuntabilitas sosial dan meningkatkan pelayanan publik. Jika keterlibatan warga dan daya-tanggap penyedia layanan diabaikan, risiko jatuh kembali ke pola lama sangatlah memungkinkan.
L
ayanan publik garis depan (frontline services) adalah titik di mana penyedia layanan dan warga berinteraksi langsung, misalnya, di klinik kesehatan dan sekolah. Dewasa ini, model-model berupa sisi penyediaan layanan (supply-side models) yang terfokus pada proses pemerintahan dan intervensi teknis semakin banyak dikritik, karena kurang mengukur dan menanggapi kebutuhan warga.1 Sementara model-model pendekatan sisi permintaan (demand-side models) melibatkan war1
Lihat, Derick W Brinkerhoff & Anna Wetterberg, “Performance-based Public Management Reforms: Experience and Emerging Lessons from Service Delivery Improvement in Indonesia�, dalam International Review of Administrative Sciences, 79 (3), 2013.
ga untuk mengatasi kekurangan itu dengan mengidentifikasi kesenjangan layanan di garis depan. Meski populer, kondisi di mana pendekatan akuntabilitas sosial secara efektif mengomunikasikan kebutuhan warga dan membangun penyedia layanan publik garis depan yang akuntabel menjawab kebutuhan warga tampak2 nya masih kurang banyak dipelajari. Berbagai alat telah dikembangkan untuk menilai kebutuhan warga dan meminta pertanggungjawaban penyedia layanan termasuk, antara lain, laporan penilaian masyarakat (citizen report 2
S Molyneux, M Atela, V Angwenyi, dan C Goodman, “Community Accountability at Peripheral Health Facilities: A Review of the Empirical Literature and Development of a Conceptual Framework�, dalam Health Policy and Planning, 27 (7), 2012, hal. 541-554.
80
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
card), komite pengguna (user committee), dan masukan untuk proses perencanaan. Program Kinerja, yang didanai United States Agency for International Development (USAID), bekerja di 24 kabupaten/kota meningkatkan pemberian layanan melalui keterlibatan aktif masyarakat sipil dan meningkatkan respons pemerintah daerah. Dua puluh kabupaten/kota dipilih secara acak dan 4 lainnya tidak secara acak. Program ini dimulai sejak akhir 2010 dan akan berakhir pertengahan 2015. Secara khusus, Program Kinerja mengandalkan survei keluhan pengguna bersama dengan janji perbaikan layanan yang dinegosiasi antara warga dan penyedia layanan untuk mengidentifikasi beberapa hal yang dinilai perlu dibenahi. Makalah ini merupakan hasil laporan awal studi mengenai sejauh mana mekanisme akuntabilitas sosial yang difasilitasi Kinerja telah dilembagakan dan direplikasi oleh pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat. Dalam studi ini kami membandingkan sikap penyedia layanan dan warga terhadap akuntabilitas sosial setelah setahun keterlibatan Kinerja sebagai alat ukur bagi prospek pening3 katan daya tanggap penyedia layanan.
Kerangka Analisis
Akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai “batasan pelaksanaan kekuasaan oleh cara-cara eksternal atau norma-norma internal”.4 Fokus studi ini adalah tentang akuntabilitas sosial, di mana warga bekerja secara kolektif membata3
4
Untuk hasil lengkap; lihat, Anna Wetterberg, Jana Hertz, dan Derick W Brinkerhoff, “Social Accountability and Service Delivery: Lessons from the Kinerja Program”, dalam IDG Working Paper Series. Research Triangle Park, NC: RTI International (akan terbit). RC Chandler dan JC Plano, The Public Administration Dictionary, 2nd edition (Santa Barbara, AS: ABC-Clio, 1988) dikuti LP Freedman dan M Schaaf, “Act Global, but Think Local: Accountability at the Frontlines”, dalam Reproductive Health Matters, 21 (42), 2013, hal. 104.
si penggunaan kekuasaan negara.5 Namun, definisi yang lebih luas memberikan sebuah pengingat penting bahwa upaya tersebut juga harus memiliki efek pada norma-norma perilaku di kalangan pejabat, penyedia layanan, dan anggota masyarakat untuk melembagakan perubahan.6 Dalam beberapa tahun terakhir, peralatan yang mengundang partisipasi telah dikritik semata-mata sebagai widget; intervensi teknis yang mengikuti protokol implementasi standar tanpa disesuaikan dengan konteks dan tidak berbuat banyak mengubah sistem penyediaan 7 layanan atau hubungan negara-masyarakat. Namun demikian, ada semacam peningkatan upaya untuk memahami konteks dan proses politik melalui akuntabilitas sosial yang dinegosiasikan sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan manfaat yang dikehendaki. Pergeseran itu menekankan temuan yang paling cocok antara peralatan akuntabilitas sosial dan kondisi lokal ketimbang mengidentifikasi praktik 8 terbaik yang relevan secara universal. Metode penelitian kami tidak memungkinkan kita membuat penilaian rinci mengenai tingkat institusionalisasi. Namun kami mengarakterisasi dan membandingkan perbedaan dalam hal kontribusinya terhadap akuntabilitas. Kami mengadaptasi model pemikiran Jonathan Fox yang melukiskan sebuah spektrum mulai
5
6
7
8
Lihat, Simon C O’Meally, Mapping Context for Social Accountability: A Resource Paper (Washington, DC: Social Development Department, World Bank, 2013). Freedman dan Schaaf, “Act Global, but Think Local...”. Freedman dan Schaaf, “Act Global, but Think Local...”; Anuradha Joshi dan Peter P Houtzager, “Widgets or Watchdogs? Conceptual Explorations in Social Accountability”, dalam Public Management Review, 14 (2), 2013, hal. 145-162. Lihat, Freedman dan M Schaaf, “Act Global, but Think Local...”; Molyneux et al., “Community Accountability at Peripheral Health Facilities...”; O’Meally, Mapping Context for Social Accountability.... S U R V E I
Jana C Hertz & Anna Wetterberg, Akuntabilitas Sosial
dari tingkatan transparansi rendah hingga akun9 tabilitas tinggi (Tabel 1). Menurut Fox, sekadar berbagi informasi—mengenai keputusan pemerintah atau, dalam kasus kami, masalah terkait penyediaan layanan—gagal untuk menjelaskan apa keputusan atau tindakan yang akan diambil. Situasi ini dikategorikan sebagai transparansi rendah. Sebaliknya, transparansi yang tinggi merinci pertanggungjawaban para pejabat dan bagaimana sumber daya digunakan untuk menjawab pelbagai masalah yang sudah diidentifikasi. Hak warga negara untuk memperoleh jawaban dikategorikan sebagai akuntabilitas yang rendah. Namun, hal itu belum termasuk sanksi atas kegagalan memenuhi rencana tersebut; “pertanggungjawaban tanpa konsekuen10 si gagal dalam memenuhi akuntabilitas”. Hanya ketika para pejabat dan penyedia layanan diberi sanksi karena gagal memenuhi tanggung jawab, maka akuntabilitas tinggi menjadi tampak nyata. Kami menggunakan kerangka analisis Fox, tetapi menjelaskannya lebih lanjut pada tingkat “akuntabilitas rendah” di mana terdapat sejumlah bukti pada 14 lokasi studi kami (lihat, baris terakhir Tabel 1 dan Gambar 1). Wawancara kami terhadap sejumlah responden (baik komite pengguna maupun penyedia layanan) menyatakan bahwa warga memiliki hak memantau kegiatan puskesmas, yang merupakan persyaratan minimal bagi akuntabilitas rendah. Namun, di beberapa lokasi, para responden juga mencatat bahwa warga secara aktif memantau kegiatan puskesmas. Itu kerap terjadi selama kunjungan rutin ke puskesmas atau dengan menanyakan langsung para pasien tentang pengalaman mereka. Kami menganggap laporan tersebut merupakan pemenuhan praktis hak warga untuk melakukan pemantauan. Jonathan Fox, “The Uncertain Relationship between Transparency and Accountability”, dalam Development in Practice, 17 (4-5), 2007, hal. 663-671. 10 Fox, “The Uncertain Relationship between...”, hal.668. 9
S U R V E I
81
Akhirnya, jika warga terus-menerus melaporkan masalah ke puskesmas, kami memperlakukannya sebagai sebuah indikasi rendahnya akuntabilitas. Sejak 2010, Program Kinerja telah berjalan di lima provinsi—Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua—untuk “memperkuat hubungan antara stimulasi permintaan akan layanan yang baik melalui keterlibatan aktif masyarakat sipil dengan pening11 katan respons pemerintah daerah”. Beberapa sektor dibenahi, termasuk sektor kesehatan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi daerah. Di setiap sektor, Program Kinerja bekerja dengan pemerintah setempat, masyarakat sipil, dan unit-unit penyedia layanan (sekolah, klinik, dan kantor-kantor perizinan) dengan intervensi khusus, dipilih karena keselarasannya dengan prioritas kebijakan nasional dan efektivitasnya terbukti. Di semua sektor, Program Kinerja juga mencakup serangkaian intervensi akuntabilitas sosial yang dirancang untuk menciptakan insentif bagi peningkatan penyediaan layanan di tingkat lokal dengan memperkuat suara warga agar lebih efektif dalam penyediaan layanan publik. Intervensi akuntabilitas sosial itu adalah fokus studi ini. Survei mengenai tingkat kepuasan telah diamanatkan di Indonesia sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat, namun tidak dilaksanakan secara konsisten. Program Kinerja menggunakan sejumlah langkah untuk melibatkan warga, penyedia layanan, dan lembaga-lembaga teknis tingkat lokal untuk merancang dan melaksanakan survei pengaduan yang kemudian dipergunakan sebagai masukan bagi kebijakan. Sebagai bagian dari proses itu, warga membentuk komite pengguna—disebut
11
RTI International, Kinerja Program Annual Work Plan for year 1: October 1, 2010-September 30, 2011 (Jakarta: RTI International, 2010), hal. 2.
82
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
Tabel 1. Tindakan Akuntabilitas Sosial dari Transparansi ke Akuntabilitas Transparansi
Akuntabilitas Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Diseminasi dan akses ke informasi • Negara hanya berbagi informasi Kemampuan respons kelembagaan • Warga dapat meminta informasi • Negara menentukan respons terhadap informasi bersama
• Berlangsung pemantauan • Mengajukan tuntutan untuk menegakkan standar hukum Sanksi, kompensasi dan/ atau remediasi
Kategori yang digunakan dalam analisis: 1. Transparansi Rendah : 2. Transparansi Tinggi : 3. Akuntabilitas Rendah : 4. Akuntabilitas Rendah : 5. Akuntabilitas Rendah : 6. Akuntabilitas Tinggi :
Berbagi hasil survei Puskesmas menentukan respons pada keluhan Pernyataan hak warga negara untuk memantau puskesmas Warga negara secara aktif memantau kegiatan puskesmas Warga negara melaporkan masalah ke puskesmas Sanksi karena tidak menanggapi keluhan/penghargaan untuk menanggapi keluhan
• Mengajukan prosedur pengaduan/sanksi formal • Menggelar unjuk rasa memprotes kualitas layanan yang buruk
Sumber : Diadaptasi dari Jonathan Fox, “The Uncertain Relationship between Transparency and Accountability”, dalam Development in Practice, 17 (4-5), 2007, hal. 663-671 dan Anuradha Joshi dan Peter P Houtzager, “Widgets or Watchdogs? Conceptual Explorations in Social Accountability”, dalam Public Management Review, 14 (2), 2013, hal. 145-162.
Forum Multi-Pemangku Kepentingan—untuk mewakili pandangan mereka. Pihak lain yang juga terlibat dalam memfasilitasi proses itu adalah staf lokal proyek Kinerja dan organisasiorganisasi masyarakat sipil (CSO)—biasanya perguruan tinggi atau organisasi nonpemerintah—yang bertugas memberikan bantuan teknis. Survei pengaduan dilihat sebagai sebuah sarana, baik untuk meningkatkan kesadaran warga tentang hak mereka maupun mendorong mereka untuk mengadvokasi layanan yang lebih baik. Dengan mengidentifikasi kekurangan melalui survei dan merundingkan solusi melalui janji perbaikan layanan, Program Kinerja bertujuan memberikan mekanisme kepada warga untuk mendorong puskesmas dan sekolah semakin akuntabel dalam tingkat penyediaan
layanan mereka. Setelah implementasi survei dan janji perbaikan layanan, harapannya adalah pengenalan alat akuntabilitas sosial akan membawa perubahan norma-norma perilaku penyedia layanan (identifikasi proaktif masalah dan respons yang tepat), akses warga negara pada informasi dan penggunaan informasi (advokasi berbasis fakta kejadian ditujukan pada penyedia layanan, CSO, pemerintah daerah, dan anggota DPRD), serta prioritas pemerintah daerah (perubahan alokasi anggaran). Perubahan tersebut secara langsung berhubungan dengan peningkatan penyediaan layanan di daerah tertentu. Namun demikian, ada juga asumsi tersirat bahwa perubahan itu akan menyumbang pada peningkatan kepekaan negara lebih besar terhadap kebutuhan warga dan meningkatkan harapan warga terhadap negara. S U R V E I
Jana C Hertz & Anna Wetterberg, Akuntabilitas Sosial
Metodologi
Kami memilih empat kabupaten/kota di Aceh dan Kalimantan Barat untuk penelitian ini berdasarkan kinerja mereka yang umumnya 12 tinggi (sebagaimana penilaian staf kantor nasional Program Kinerja) selama implementasi tahun pertama (2011-2012): Kota Banda Aceh, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Sambas, dan Kota Sinkawang. Di masing-masing lokasi, paket reformasi tahun pertama difokuskan pada sektor kesehatan. Di Kota Banda Aceh, Kota Sinkawang, dan Kabupaten Bener Meriah, kami mengunjungi tiga puskesmas. Di Kabupaten Sambas, kami mengunjungi tiga puskesmas tahun pertama serta tiga puskesmas yang dilibatkan pada tahun kedua (2012-2013); lokasi tersebut sengaja dipilih karena relatif mudah dijangkau dari ibu kota kabupaten/kota. Secara keseluruhan, kami mengumpulkan data di lima 13 belas lokasi. Kami melaksanakan enam puluh wawancara kelompok dan individu semi-terstruktur dengan anggota komite pengguna, staf puskesmas, pejabat Dinas Kesehatan, dan staf Program Kinerja sepanjang Maret-April 2014.14 Pedoman wawancara mencakup sejumlah pertanyaan mengenai konteks, implementasi Kinerja, replikasi, dan hasilnya. Di sini, kami hanya melaKami mengakui kemungkinan bias dapat saja terjadi, karena memilih lokasi penelitian dengan variabel dependen. Karena penelitian kami melibatkan proyek yang sedang berjalan, kami tidak bisa mengumpulkan data baseline. Keterbatasan sumber daya menghalangi keleluasaan pada komunitas non-proyek. Kami mohon pembaca tidak membuat rampatan (generalisasi) dari sampel kami untuk wilayah lain di Indonesia, namun sebagai gantinya menawarkan penafsiran positif terhadap penyimpangan sebagai indikator jalan masuk yang menjanjikan untuk meningkatkan tata kelola dan hasil penyediaan layanan. 13 Kami mengeluarkan satu lokasi di Kabupaten Bener Meriah dari analisis sehubungan dengan problem pengkodean. 14 Di beberapa lokasi, kami mewawancarai pejabat Bappeda, bupati/wali kota, anggota DPRD/K, dan staf CSO. 12
S U R V E I
83
porkan analisis isi wawancara dengan anggota komite pengguna dan staf puskesmas. Untuk analisis, kami menggunakan perbandingan analisis kasus. Berdasarkan tipologi studi kasus Gerring (2004, 343), analisis kami dapat dikarakterisasi sebagai Tipe II, karena memecah unit primer (Indonesia) menjadi beberapa sub-unit (kabupaten/kota dan puskesmas) yang diperlakukan sebagai subjek analisis sinkronik kovariasional. Pembatasan analisis komparatif pada satu negara memiliki kebijakan nasional yang konstan, termasuk desentralisasi, tetapi analisis lintas-kabupaten/kota memungkinkan adanya variasi lokal dalam faktor-faktor kepentingan. Namun, mengingat data yang ada hanya berasal dari empat kabupaten/kota, temuan yang diperoleh tidak merepresentasikan Indonesia secara keseluruhan.
Hasil
Untuk membandingkan persepsi akuntabilitas sosial lintas-lokasi dan responden setelah satu tahun implementasi Proyek Kinerja, Gambar 1 mengategorisasi laporan penyedia layanan dan warga mengenai tindak akuntabilitas sosial di setiap lokasi sesuai dengan gambaran yang dipresentasikan pada Tabel 1. Akuntabilitas hampir di semua puskesmas Di semua lokasi, staf puskesmas dan komite pengguna sepakat bahwa setidaknya ada bukti transparansi yang tinggi. Di empat lokasi (Aceh 1 dan 2, Kalimantan Barat 4 dan 9), transparansi tinggi adalah tingkat tertinggi yang dilaporkan oleh staf puskesmas (tetapi perlu dicatat bahwa warga di lokasi tersebut melaporkan ada sejumlah kegiatan yang mencerminkan akuntabilitas rendah). Jika kita melihat di ujung lainnya, hanya terdapat dua instansi dengan akuntabilitas tinggi (Kalimantan Barat 1 dan 3) di mana staf puskesmas menghadapi sanksi konkret bila gagal menanggapi keluhan pengguna atau mendapat penghargaan karena cepat menanggapi keluhan pengguna. Puskesmas dengan akuntabilitas tinggi memotong biaya untuk kelambanan, me-
Gambar 1 Perbandingan persepsi komite pengguna dan penyedia layanan terhadap kegiatan akuntabilitas sosial, menurut lokasi
84 Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
S U R V E I
Jana C Hertz & Anna Wetterberg, Akuntabilitas Sosial
ngirim para bidan yang meninggalkan posnya ke agensi tingkat kabupaten/kota/provinsi untuk mendapatkan teguran, dan memberi imbalan finansial tambahan bagi staf yang 15 bekerja lembur. Khususnya, baik puskesmas maupun warga di lokasi tersebut, melaporkan adanya bukti akuntabilitas tinggi. Sisa delapan lokasi lainnya (Aceh 3, 4, 5; Kalbar 2, 5, 6, 7, 8), baik puskesmas maupun warga, melaporkan sejumlah kegiatan terkait akuntabilitas yang rendah dengan menyatakan bahwa warga berhak memantau, secara aktif melakukan pemantauan, atau melaporkan masalah ke puskesmas. Singkatnya, di sebagian besar lokasi yang dikunjungi (10 dari 14), staf puskesmas dan komite pengguna sepakat bahwa terdapat bukti akuntabilitas yang rendah ataupun tinggi. Beragam pandangan tentang peran warga Namun, temuan dari wawancara dengan staf puskesmas dan komite pengguna mengungkap perbedaan nyata dalam persepsi terhadap akuntabilitas sosial dan khususnya peran warga. Hanya di satu kasus (Aceh 5) staf puskesmas melaporkan tingkat akuntabilitas sosial lebih tinggi daripada komite pengguna; di empat lokasi lainnya (Aceh 4; Kalbar 1, 2, 3) dua jenis responden itu melaporkan pandangan yang sama. Sementara di sembilan lokasi lainnya, warga melaporkan tingkat kegiatan akuntabilitas sosial yang lebih tinggi daripada pihak puskesmas. Di samping melaporkan akuntabilitas yang tinggi, beberapa puskesmas menunjukkan bahwa warga secara aktif memantau penyediaan layanan dan membawa masalah yang ada untuk
15
Di lima lokasi lainnya, ada laporan mengenai penerapan sanksi yang lemah atau janji memberi imbalan (seperti menegur staf yang mengabaikan keluhan klien atau potensi penghargaan jika staf mengikuti prosedur yang baru). Karena pengaruh dari tindakan tersebut tidak jelas, kami tidak memasukkannya sebagai “akuntabilitas tinggi.�
S U R V E I
85
diperhatikan pihak puskesmas (Aceh 4, 5; Kalbar 2, 7). Namun, sebagian besar (8 dari 14), tidak mengakui upaya warga untuk memantau dan melaporkan (ketika komite pengguna memberikan contoh kegiatan tersebut), dan empat puskesmas tidak mengakui bahwa komite pengguna berhak memantau penyediaan layanan. Perbedaan dalam pemahaman terhadap tingkat kegiatan akuntabilitas sosial mungkin mencerminkan kesadaran rendah staf puskesmas terhadap kegiatan warga. Akan tetapi, itu juga menunjukkan perbedaan sikap serta pemahaman terhadap akuntabilitas sosial. Sepanjang wawancara, staf puskesmas kerap menggambarkan peran komite pengguna sebagai “perpanjangan tangan� atau “penyambung lidah� mereka untuk meyakinkan bahwa masyarakat mendapatkan informasi dan pemahaman yang benar mengenai layanan yang diberikan di 16 puskesmas. Persepsi semacam itu menggarisbawahi bahwa puskesmas menitikberatkan komite pengguna bekerja dengan mengatasnamakan puskesmas untuk menjawab masalah khusus yang diajukan staf puskesmas, tetapi tidak mengharapkan warga mengidentifikasi persoalan secara independen atau mengangkat masalah yang tidak secara langsung berada di bawah kontrol puskesmas. Sebaliknya, di salah satu puskesmas dengan akuntabilitas tinggi, kepala puskesmas merujuk komite pengguna sebagai “mitra sekaligus mata-mata� dengan mengakui fungsi ganda mereka tidak hanya membantu puskesmas mengatasi permasalahan, melainkan juga memantau dan menjaga puskesmas tetap akuntabel untuk masalah yang belum terselesaikan. Beragamnya persepsi warga dan penyedia layanan menjelaskan arti penting keberlanjutan pemahaman bersama tentang akuntabilitas sosial. Jika penyedia layanan tidak melihat pemantauan sebagai hak warga negara dan sebagai fungsi yang berguna, maka penyedia
16
Dilaporkan di delapan puskesmas.
86
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
layanan tidak mungkin responsif terhadap upaya akuntabilitas sosial dari warga.
Rekomendasi
Temuan kami menunjukkan kebutuhan untuk tidak hanya melanjutkan upaya memperkuat keterlibatan warga mencapai akuntabilitas yang tinggi dan meningkatkan kualitas layanan publik di garis depan, tetapi terutama untuk mengubah perilaku penyedia layanan agar semakin tanggap terhadap umpan-balik warga. Rekomendasi kami untuk mengatasi tugas tersebut diuraikan sebagai berikut: Penguatan kapasitas warga dalam memantau penyediaan layanan dan penegakan tanggapan Di lokasi-lokasi yang kami kunjungi, terdapat variasi substansial dalam kekuatan komite pengguna serta prospek kesinambungannya. Ketika komite pengguna tetap hidup, ada kebutuhan melanjutkan penguatan kapasitas warga untuk memantau dan membawa masalah supaya menjadi perhatian para penyedia layanan. Warga juga membutuhkan saluran untuk terhubung dengan aktor di tingkat lebih tinggi (dinas, DPRD, bupati/wali kota, CSO) yang dapat membantu warga menegakkan sanksi terhadap penyedia layanan yang tidak tanggap dan memberi penghargaan bagi yang terbukti cepat tanggap. Bahkan, ketika komite pengguna telah berdiri dan berfungsi dengan baik, terdapat beragam tingkat kemampuan bertindak secara independen dan/atau diterima sebagai aktor dalam konteks politik lokal yang dapat membantu mereka meraih akuntabilitas tinggi. Sejauh mana temuan-temuan tersebut dapat diterapkan di daerah lain bergantung pada pendekatan sesuai konteks (context-specific approach), di mana pemerintah lokal menyesuaikan upaya yang ada dalam mendukung komite pengguna, membangun keterampilan yang ada di komite itu, dan membangun jaringan ketika komite itu menguat. Di lokasi tempat komite pengguna telah berdiri dapat menunjukkan manfaat dari akuntabilitas sosial dan
menciptakan momentum bagi penyebarluasan 17 akuntabilitas sosial ke kabupaten/kota lain. Namun, bagi komite pengguna yang lebih lemah, setidaknya terdapat dua pilihan. Dukungan dapat disediakan melalui para pendamping yang memberdayakan dan mendukung usaha mandiri warga, serta menghubungkan mereka dengan aktor-aktor di tingkat lebih tinggi. Cara lain untuk memperkuat komite pengguna adalah dengan “kelompok belajar� (peer learning). Salah satu pilihan adalah dengan menyediakan kesempatan pertukaran langsung antar-komite pengguna, dan juga penyedia layanan, untuk berbagi strategi dan gagasan melalui pertemuan di tingkat kabupaten/kota dan studi banding antar dan di dalam kabupaten/ kota. Sebagai contoh, salah satu puskesmas di Kalimantan Barat mengatur sebuah kunjungan ke puskesmas lain di kabupaten yang sama untuk mempelajari perbaikan teknis di puskesmas tersebut. Fasilitator di lokasi lain di Kalimantan Barat menyatakan tertarik mempelajari strategi yang digunakan di Aceh untuk mendorong interaksi multi-pemangku kepentingan dengan DPRD. Upaya mendorong akuntabilitas sosial formal: Hasil studi juga mengindikasikan bahwa mekanisme akuntabilitas sosial formal, seperti survei pengaduan dan janji perbaikan layanan, menyediakan data dan alasan bagi warga untuk berinteraksi dengan staf puskesmas di luar hubungan pasien-penyedia layanan yang sering kali berjenjang. Meski terkadang berlangsung sengit, diskusi hasil survei dan negosiasi janji kerap menjadi kesempatan pertama yang dimiliki warga untuk memberi masukan tentang kualitas layanan. Tingginya tingkat akuntabilitas sosial yang dilaporkan komite pengguna menunjukkan bahwa pengalaman itu telah mem17
David K Leonard, “Pockets’ of Effective Agencies in Weak Governance States: Where are They Likely and Why does it Matter?�, dalam Public Administration and Development, 30 (2), 2010, hal. 91-101. S U R V E I
Jana C Hertz & Anna Wetterberg, Akuntabilitas Sosial
berdayakan warga. Beberapa staf puskesmas juga menghargai survei umpan-balik, walaupun pada awalnya mereka tampak terkejut dengan tingkat ketidakpuasannya. Di salah satu lokasi tempat petugas puskesmas melaporkan tingkat akuntabilitas yang rendah, mereka mengaku survei tersebut membantu mereka melakukan “introspeksi diri.� “Sebelumnya, kami telah menyosialisasikan program/layanan kami, tetapi tidak fokus pada masalah yang dihadapi warga dan bagaimana masalah tersebut jika dibandingkan dengan layanan yang ada di puskesmas. Sampai sekarang, Dinas menyediakan program, kami tinggal menjalankan program tersebut, dan kami mengira itu sudah memenuhi kebutuhan masyarakat�.18 Mekanisme formal akuntabilitas sosial digarisbawahi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Begitu pula upaya-upaya reformasi birokrasi sebagaimana tercakup dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang akan dapat memperkuat kembali mekanisme tersebut dengan sejumlah insentif dan sanksi (dibahas di bawah). Pemanfaatan reformasi aparatur sipil negara dengan memberi penghargaan dan sanksi bagi daya-tanggap para penyedia layanan Dalam wawancara kami, sejumlah responden puskesmas yang melaporkan kegiatan akuntabilitas sosial lebih tinggi, juga mencatat bahwa mereka mendapatkan keuntungan dari peralatan, promosi, layanan tambahan, dan otonomi keuangan setelah menunjukkan dayatanggap mereka terhadap kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, dua orang pegawai tata usaha dipromosikan menjadi kepala puskesmas karena dikaitkan dengan kinerja yang baik selama implementasi survei pengaduan dan janji perbaikan layanan. Otonomi finansial untuk mengelola pendapatan dan pengeluaran diperluas ke sejumlah puskesmas yang menun18
Wawancara dengan salah seorang staf puskesmas di Kalimantan Barat 2.
S U R V E I
87
jukkan kinerja baik saat melaksanakan Program Kinerja. Beberapa responden puskesmas mencatat bahwa klinik mereka mendapat perhatian lebih dengan disediakannya alokasi anggaran kabupaten/kota (untuk pembangunan jalan dan pelayanan rawat inap) karena dinilai berhasil menyelesaikan kegiatan akuntabilitas sosial. Di Kalimantan Barat, dua orang kepala puskesmas menggunakan peraturan daerah untuk mengurangi gaji guna mendorong kehadiran para staf. UU ASN menyediakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan daya-tanggap (Bab II) serta mekanisme bagi penilaian kinerja berikut sanksi dan imbalan terkait (Bab VIII, bagian 3) yang dapat membantu pelembagaan akuntabilitas sosial. Menurut undang-undang, atasan langsung (di tingkat kabupaten/kota) harus memiliki kewenangan mengevaluasi kinerja penyedia layanan garis depan, dan memberi sanksi dan penghargaan sesuai dengan kinerja mereka (Pasal 72-82). Persyaratan hukum ini merupakan peluang untuk meningkatkan daya-tanggap para penyedia layanan melalui penilaian kinerja, 19 sanksi dan penghargaan. Namun, temuan studi kami menunjukkan bahwa sanksi keras relatif jarang diterapkan. Meningkatkan interaksi warga-penyedia layanan melalui kolaborasi pada masalah bersama Rekomendasi akhir kami adalah memfasilitasi kerja sama dengan masalah bersama. Masalah bersama tersebut menjadi sarana untuk meningkatkan kesediaan penyedia layanan menjalin kerja sama dengan warga dan memperkuat komite pengguna. Ketika persepsi staf puskesmas terhadap kegiatan akuntabilitas sosial relatif sama dangan pandangan warga, ini sering terjadi karena petugas klinik dan administrasi telah bekerja sama dengan komite 19
Kenyataannya, salah satu studi kabupaten/kota merupakan lokasi utama reformasi birokrasi Kementerian Pendayagunakan Aparatur Negara. Di lokasi itu, puskesmas sudah berjalan di jalurnya melalui mekanisme akuntabilitas sosial Program Kinerja.
88
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
pengguna dalam memecahkan masalah penting yang dihadapi kedua pelaku tersebut. Sebagai contoh, salah satu puskesmas di Kalimantan Barat berjuang selama bertahuntahun menghadapi angka kematian ibu (AKI) yang tinggi. Salah satu kendala yang diketahui adalah kuatnya kepercayaan lokal dalam komunitas terpencil bahwa kelahiran harus ditangani oleh dukun setempat. Untuk mengatasi tingginya AKI, komite pengguna menyelesaikan masalah ini lewat pertemuan dengan anggota masyarakat terpencil untuk mempelajari mengapa mereka enggan menggunakan bidan atau memanfaatkan fasilitas puskesmas. Penduduk masyarakat terpencil itu menganggap praktik puskesmas bertentangan dengan adat-istiadat lokal, sehingga kehamilan bermasalah jarang dirujuk ke puskesmas terdekat untuk ditangani lebih lanjut. Komite pengguna bekerja sama dengan puskesmas mengubah bagaimana fasilitas kelahiran mampu mengakomodasi kepercayaan lokal dan memastikan staf puskesmas memperlakukan pasien dengan hormat dan sopan. Wawancara terhadap staf puskesmas menunjukkan adanya peningkatan kemitraan antara bidan dan dukun bayi serta rujukan ke puskesmas. Perubahan diidentifikasi dan diinisiasi oleh komite pengguna yang membantu puskesmas mengurangi AKI. Lebih jauh lagi, penyedia layanan mengakui peran komite pengguna sebagai jembatan di antara masyarakat dan puskesmas, serta melanjutkan kerja sama untuk menyelesaikan masalah yang menjadi prioritas bersama. Sekali lagi, identifikasi terhadap masalah bersama mensyaratkan mekanisme yang memungkinkan warga mengomunikasikan dan
membahas masalah dengan penyedia layanan, serta menitikberatkan kebutuhan bagi upayaupaya formal akuntabilitas sosial. Mekanisme demikian memungkinkan penyedia layanan melihat warga negara tidak hanya sebagai pasien, tetapi juga sekutu potensial dalam menyelesaikan masalah yang menjadi prioritas bersama.
Kesimpulan
Indonesia saat ini berada di titik penting dengan disahkannya UU ASN dan reformasi administrasi terfokus pada pelayanan publik yang efisien dan efektif. Dengan mengoptimalisasi kesempatan dan menjalankan mekanisme akuntabilitas sosial yang sudah ada, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mendorong penyedia layanan untuk mengenali dan merespons umpan-balik para pengguna dan meneruskan permohonan warga untuk meningkatkan penyediaan layanan masyarakat. Program Kinerja telah menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas sosial dapat membangun kapasitas warga untuk bekerja sama dengan penyedia layanan untuk menghasilkan layanan lebih baik yang mengarah pada perubahan sikap dan perilaku penyedia layanan, serta meningkatkan kualitas dan daya-tanggap penyediaan layanan. Indonesia memiliki potensi besar dalam memajukan akuntabilitas sosial dan meningkatkan pelayanan, namun jika keterlibatan warga dan daya-tanggap penyedia layanan diabaikan, maka ada risiko jatuh kembali ke pola lama dan kehilangan momentum reformasi birokrasi yang telah diraih dengan susah-payah.• Jana C Hertz dan Anna Wetterberg
S U R V E I