201433 02 07 (104 107) ikhsan darmawan jalan panjang reformasi birokrasi

Page 1


104 Prisma Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014 BUKU

Jalan Panjang Reformasi Birokrasi Judul: Bureaucracy in a Democratic State: A Governance Perspective Penulis: Kenneth J Meier dan Laurence J O’Toole Jr. Penerbit: The John Hopkins University Press, AS, 2006 Tebal: xv + 181 halaman ISBN 0-8018-8356-3

Di Indonesia, reformasi birokrasi merupakan prioritas utama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Jilid II dari 14 prioritas pembangunan 2010-2014. Hal itu ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 20102014.1 Untuk mewujudkan tercapainya tujuan reformasi birokrasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cq Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) mengeluarkan sejumlah peraturan. Peraturan dimaksud antara lain Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015, Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20

R

eformasi birokrasi adalah agenda penting bagi setiap negara, terutama di negeri yang lembaga birokrasinya belum berjalan sesuai dengan yang dicitakan atau bahkan masih terjangkit bureaupathologies (penyakit-penyakit birokrasi). Tujuan dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah menjadikan birokrasi bisa menjalankan fungsi idealnya dengan baik dalam bingkai negara yang demokratis.

1

Selain reformasi birokrasi, ada 13 agenda prioritas pembangunan lainnya, yaitu pendidikan; kesehatan; penanggulangan kemiskinan; ketahanan pangan; infrastruktur; iklim investasi dan iklim usaha; energi; lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi; politik, hukum, dan keamanan; perekonomian; dan bidang kesejahteraan rakyat. B U K U


Ikhsan Darmawan, Jalan Panjang Reformasi Birokrasi

Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi 2 Birokrasi 2010-2014, dan peraturan lain. Selain itu, pada Agustus 2011, dikeluarkan kebijakan tentang moratorium (penundaan sementara) penerimaan calon pegawai negeri sipil (PNS). Rightsizing itu diberlakukan sejak 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012. Peraturan itu bermaksud menahan laju pertambahan jumlah PNS, penghematan anggaran belanja pegawai, dan mengoptimalkan kinerja 3 sumber daya manusia yang sudah ada. Tidak hanya itu, ada sembilan program percepatan reformasi birokrasi menuju birokrasi yang bersih dan melayani serta untuk memperkuat peraturan yang ada. Sembilan program tersebut adalah penataan struktur birokrasi; penataan jumlah dan distribusi PNS; sistem seleksi calon PNS dan promosi PNS secara terbuka; profesionalisasi PNS; pengembangan sistem elektronik pemerintahan (egovernment); peningkatan kualitas pelayanan publik; peningkatan transparansi dan akuntabilitas aparatur; peningkatan kesejahteraan SDM aparatur negara; dan peningkatan efisiensi belanja aparatur negara. Sayangnya, fakta di lapangan bertolak belakang dengan tujuan reformasi birokrasi. Tujuan reformasi birokrasi terwakili oleh sembilan program percepatan reformasi birokrasi sebagaimana disebutkan di atas, namun ada beberapa yang belum tercapai antara lain penataan jumlah dan distribusi PNS, peningkatan profesionalisme PNS, dan peningkatan efisiensi belanja aparatur negara.

2

3

Peraturan dimaksud di antaranya Permen PAN dan RB No.7 sampai No. 15/2010; Permen PAN dan RB No. 1/2012; Permen PAN dan RB No. 30/ 2012; dan Permen PAN dan RB No. 31/2012. Peraturan tersebut yaitu Peraturan Bersama Menpan dan RB, Mendagri, dan Menkeu No. 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011; No. 800-632 Tahun 2011; No. 141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Peraturan itu ditandatangani pada 24 Agustus 2011.

B U K U

105

Data Kementerian PAN dan RB menyebut pertumbuhan PNS cenderung turun, namun fakta lapangan menunjukkan jumlah PNS terus bertambah setiap tahun. Jumlah PNS pada 2011 mencapai 4.646.351 orang atau naik sebesar 48.251 dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.598.100 orang.4 Di sisi lain, birokrasi masih tidak profesional. Jika salah satu ukuran profesional adalah tidak menerima (atau bebas) suap dan korupsi, dalam konteks itu birokrasi Indonesia mungkin belum dapat disebut profesional. Banyak contoh terkait hal tersebut, seperti kasus suap yang menerpa beberapa pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan beberapa hakim Mahkamah Agung (MA). Secara umum, birokrasi di Indonesia belum efisien. Hal itu disebabkan anggaran belanja pegawai, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang jumlahnya sangat besar. Pada 2012, belanja pegawai di tingkat pusat lebih dari Rp 212 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara senilai lebih Rp 1.500 triliun. Belanja pegawai tersebut belum termasuk biaya perjalanan dinas yang berkisar Rp 18 triliun serta biaya untuk pelbagai fasilitas, seperti rumah dan mobil dinas. Hal serupa terjadi di daerah. Ratarata belanja pegawai “menelan” 51 persen APBD kabupaten/kota; 293 (61%) dari 497 kabupaten/kota menghabiskan lebih dari 50 persen APBD untuk belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang menggunakan 77 persen 5 APBD untuk gaji dan honor pegawai. Berangkat dari hal itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa melakukan reformasi terhadap birokrasi adalah sebuah pekerjaan tidak mudah. Klaus J Brösamble mengatakan, “Mereformasi sistem pelayanan publik adalah tugas yang tidak mudah dan kisah keberhasilan tentang hal itu

4

5

Lihat, Ikhsan Darmawan, “’Operasi Plastik’ Birokrasi”, dalam Kompas, 7 Mei 2012. Lihat, Darmawan, “’Operasi Plastik’…”.,


106

Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014

adalah sesuatu yang langka.”6 Dalam konteks Indonesia, argumen yang kerap dipakai untuk “membenarkan” sulitnya mereformasi birokrasi pasca-Orde Baru adalah rumitnya menata kembali sistem birokrasi yang sudah berurat-akar, terutama sejak Orde Baru, serta biaya untuk melakukan reformasi birokrasi yang sangat 7 besar.

Birokrasi di Negara Demokratis

Hal tersebut mengait dengan buku berjudul Bureaucracy in A Democratic State: A Governance Perspective karya Kenneth Meier dan Laurence O’Toole Jr yang mengulas tentang bagaimana birokrasi di negara demokratis atau, lebih spesifik, kontrol politik terhadap birokrasi bertalian langsung dengan reformasi birokrasi. Hal yang menarik, O’Toole berasal dari disiplin ilmu administrasi publik sedangkan Meier dari disiplin ilmu politik. Perbedaan disiplin ilmu kedua penulis tampak dari dua isu besar yang dibahas dalam buku ini, yaitu manajemen publik dan bekerjanya sistem pemerintahan yang kompleks, yang didesain untuk menyampaikan hasil kebijakan serta pengaruh saling menguntungkan antara politik dan administrasi dalam sistem pemerintahan kontemporer. Meier dan O’Toole membuka isi buku ini dengan dua pertanyaan penting dan menantang, yakni “apakah sistem administrasi—termasuk birokrasi—dapat dipersatukan dengan norma pemerintahan demokratis? Ataukah justru birokrasi dengan segala macam keahlian dan prosedur merupakan musuh dari kontrol masyarakat”? Pertanyaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan penjelasan bahwa ada semacam ketegangan di antara birokrat dan elite politik; birokrat curiga terhadap elite politik yang dinilai memiliki kepentingan tertentu dan elite politik curiga terhadap setiap keputusan para birokrat 6

7

Klaus J Brösamle, “Civil Service Reform in Developing Countries: We do not Really Know what We are Doing”, Agustus 2012, hal. 1. Lihat, Bambang PS Brodjonegoro, “Jalan Terjal Reformasi Birokrasi”, dalam Seputar Indonesia, 9 Juni 2008.

yang dianggap memengaruhi hasil dan keluaran kebijakan publik (hal. ix). Dari perspektif ilmu politik mainstream, birokrasi adalah masalah yang melekat dalam demokrasi. Solusi untuk mengatasinya adalah memastikan para pemimpin politik secara efektif mampu mengarahkan, membatasi, dan mengendalikan birokrasi (to ensure that political leaders are effectively able to direct, constrain, and control the bureacracy). Artinya, kontrol para pemimpin politik sangat penting. Merekonsiliasi demokrasi dan birokrasi berarti memaksimalisasi kontrol elite politik terhadap birokrat (hal. 6). Bidang ilmu administrasi publik juga mengakui pentingnya isu birokrasi dan demokrasi, selain perlunya melakukan reformasi birokrasi. Menurut pendekatan ini, norma demokratis dapat diterapkan dalam dunia politik, sedangkan birokrasi itu sendiri secara internal terstruktur dan diawasi oleh prinsip administrasi ilmiah yang identik untuk seluruh jenis pemerintahan (hal. 6). Kembali pada perspektif ilmu politik mengenai kontrol terhadap birokrasi, reformasi birokrasi jelas membutuhkan intervensi dan kemauan politik (political will) pemimpin dan elite politik di sebuah negara. Mengutip Eko Prasojo: Kesulitan paling besar untuk mempercepat solusi permasalahan bangsa Indonesia disebabkan oleh minimnya komitmen politik dan kompetensi untuk melakukan reformasi birokrasi. Bahkan, birokrasi masih belum dianggap sebagai faktor kunci penggerak pembangunan bangsa…. Politik reformasi birokrasi adalah hal yang kompleks karena melibatkan kepentingan politik dalam birokrasi. Padahal, dalam berbagai praktik dan teori, reformasi birokrasi adalah proses politik yang membutuhkan dukungan politik dari para pejabat politik yang dipilih (elected official)…. Amat mustahil melakukan reformasi birokrasi tanpa dukungan politik. Selama politisi memiliki kepentingan untuk mengooptasi dan memanfaatkan birokrasi, selama itu pula kesulitan untuk mereformasi birokrasi.8 8

Lihat, Eko Prasojo, “Politik Reformasi Birokrasi”, dalam Kompas, 17 Oktober 2007. B U K U


Ikhsan Darmawan, Jalan Panjang Reformasi Birokrasi

Yang menarik dari isi buku ini adalah ide dasarnya mengenai reformasi birokrasi yang mengombinasikan logika top-down dan bottomup. Logika top-down tampak dalam berbagai kebijakan New Public Management (NPM) di banyak negara. Dalam hal ini, elite politik mendelegasikan wewenangnya kepada birokrat yang berada di struktur bawah. Sementara logika bottom-up bermakna bahwa birokrasi harus punya dukungan politik yang memadai dalam kaitannya dengan institusi pemilihan umum (hal. 11). Hal lain yang menarik dari buku ini adalah bahasan mengenai kontrol politik yang merupakan bagian penting dari dialog tentang birokrasi dan demokrasi dalam ilmu politik. Kontrol politik merupakan salah satu masukan dari sekian banyak masukan birokrasi dan bahwa “kontrol politik” hanya salah satu bentuk relevan dari pemerintahan demokratis (hal. 18). Sementara pengujian empiris tentang kontrol politik terhadap birokrasi, Meier dan O’Toole mengasumsikan model principal-agent yang sederhana. Mereka menyatakan bahwa modelmodel tradisional kontrol politik tidak akurat dan kontrol politik top-down tanpa kombinasi dengan bottom-up tidaklah cukup. Selain itu, buku ini mempersoalkan sekaligus menjawab pertanyaan penting tentang situasi struktural ideal seperti apa yang dibutuhkan bagi reformasi birokrasi dan seberapa efektif kontrol terhadap birokrasi dapat dilakukan. Kedua penulis kemudian menekankan bahwa kontrol politik terhadap birokrasi harus sampai pada titik maksimum. Situasi tersebut juga harus didukung pihak lain yang mengawasi birokrasi—baik dari dalam maupun luar—serta memperbesar peran media massa agar kontrol politik terhadap birokrasi dapat terlaksana. Bahkan, dalam situasi sudah terawasi sekalipun birokrasi masih dapat melakukan “kecurangan.” Kembali pada asumsi di bagian awal tulisan ini, reformasi birokrasi (yang terwujud dalam

B U K U

107

bentuk kontrol politik terhadap birokrasi) bukanl pekerjaan mudah yang dapat dikerjakan dan dijalankan dalam tempo singkat. Sebaliknya, melaksanakan reformasi birokrasi amat sangat melelahkan karena penuh pelbagai tantangan dan hambatan, baik berasal dari dalam maupun luar tubuh birokrasi. Adalah Geoffrey Shepperd yang memproposisikan bahwa kondisi politik dan karakteristik pemerintahan tradisional di sebuah negara umumnya mendukung sete9 ngah-hati bekerjanya reformasi birokrasi. Sementara Sarah Repucci menegaskan bahwa tersendatnya reformasi birokrasi lebih disebabkan oleh kompleksitas subjek, ketidaksetujuan terhadap tujuan, dan kegagalan para praktisi dalam merefleksikan pengalaman mereka dan menyebarluaskan hasil yang telah 10 dicapai. Bagian lain buku ini juga menyebutkan bahwa temuan empiris harus tetap dikaitkan dengan norma-norma demokratis bersama dengan kontrol politik yang menghasilkan birokrasi yang responsif. Terlepas dari kelebihannya, buku ini juga menyimpan sejumlah kekurangan. Salah satu paling menonjol adalah uraian permasalahan buku ini relatif sulit dimengerti dan cenderung berulang-ulang. Meskipun demikian, buku ini tetap merupakan salah satu sumber referensi penting dalam membahas perihal reformasi birokrasi di Indonesia dan negara lain.• Lihat, Geoffrey Shepperd, “Civil Service Reform in Developing Countries: Why Is It Going Badly?,” Makalah dipresentasikan pada 11th International Anti-Corruption Conference, Seoul, Korea Selatan, 25-28 Mei 2003. 10 Lihat, Sarah Repucci, “Civil Service Reform: A Review”, Working Paper No. 2012/90, United Nations University-World Institute for Development Economic Rersearch (UNU-Wider), Oktober 2012. 9

Ikhsan Darmawan



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.