58
Prisma
Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015
ESAI
“Homo Informaticus” versus “Homo Oeconomicus” Fachru Nofrian Bakarudin
Tidak ada yang tidak setuju bahwa ekonomi berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ekonomi dapat memberi kesejahteraan atau sebaliknya menghancurkan masyarakat. Kita tidak perlu menengok terlalu jauh ke belakang. Yunani mungkin dapat menjadi contoh bagaimana negara yang kurang berhasil mengelola utang akan memerosokkan perekonomian dalam negeri serta menjadikannya sebagai negara “bangkrut.” Indonesia juga pernah mengalami hal serupa saat didera krisis 1965 dan 1997 yang berujung mundurnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto serta menyisakan pelajaran berharga bahwa ekonomi perlu diatur dan direncanakan sedemikian rupa agar tidak “merusak” masyarakat. Karena itu, tak dapat dihindari kebijakan yang diambil dan diputuskan berdasarkan kajian dan analisis serius serta perhitungan dan perencanaan matang adalah hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi. Sayangnya, dalam praktik, banyak proyek dan program pembangunan dilaksanakan tanpa disertai analisis cukup mendalam, sehingga tidak memberi dampak cukup signifikan terhadap perekonomian dan masyarakat luas. Seperti halnya ekonomi, media massa dan media sosial merupakan instrumen yang sangat penting dalam pengembangan masyarakat. Sulit dibayangkan ada sebuah masyarakat tanpa kehadiran media, sehingga dapat dikatakan jika ingin melihat keberadaan dan kehidupan sebuah masyarakat maka lihatlah medianya. Media massa dan media sosial tidak hanya menyodorkan pelbagai berita, namun lebih dari itu sebagai sarana pertukaran informasi semua pihak dalam masyarakat. Media-media tersebut juga menjadi semacam arena pertarungan tentang informasi siapa yang akan diberitakan dan
dengan tujuan apa. Jika ekonomi dapat memberikan kesejahteraan, maka media massa dan media sosial dapat memperkaya perspektif yang berujung penciptaan sebuah budaya yang membentuk ciri khas masyarakat modern, yaitu negara, pasar, dan ilmu pengetahuan. Contohnya pemberitaan gencar media tentang revisi RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuahkan sikap pro kontra terhadap revisi RUU ini. Begitu pula dengan ekonomi atau pasar seperti, misalnya, penerapan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) tentang tax amnesty atau kenaikan tunjangan anggota DPR yang kemudian ditolak. Hal serupa dapat diaplikasikan di ranah ilmu pengetahuan. Sayangnya, di Indonesia, kedua bidang itu—ekonomi dan ilmu pengetahuan—kerap kalah “gaduh” dibanding soal-soal politik. Pada dasarnya, dunia ekonomi dan media massa saling bertautan dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Ekonomi membutuhkan media massa, sebagai sarana yang mempersembahkan pelbagai informasi, referensi dan “indikator” ekonomi. Media massa menyajikannya untuk publik secara luas yang kemudian dimanfaatkan oleh ekonom, industrialis, dan para pengambil keputusan, baik pemerintah maupun pengusaha. Data dan informasi yang disajikan media massa memang harus diproses lebih lanjut dan diolah sedemikian rupa agar menghasilkan indikator yang lebih valid. Bagaimanapun juga, “tugas” ekonomi akan semakin berat bila tidak ada dukungan informasi dan data dari media massa. Sebaliknya, media massa sangat memerlukan ekonomi sebagai bahan baku utama bagi pemberitaan. Bahan baku tersebut membuat media massa dapat menyajikan pelbagai infor-
Esai
masi atau berita dan kebijakan perekonomian— sebagai contoh Bloomberg Television, Fox Business, CNBC, The Wall Street Journal, dan lain-lain, yang secara spesifik menyajikan beritaberita ekonomi—dengan lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, media massa telah menjadi wahana informasi yang memudahkan serta membuat gerak kehidupan para ekonom, industrialis, pengusaha, dan para praktisi ekonomi semakin cepat sekaligus kian rumit. Di antara Homo Informaticus dan Homo Oeconomicus Setidaknya ada dua dimensi manusia yang sangat dominan di tengah era informasi dan ekonomi yang kian dinamis dewasa ini, yaitu manusia sebagai makhluk informasi atau homo informaticus dan manusia sebagai makhluk ekonomi atau homo oeconomicus. Kedua dimensi tersebut “mengungguli” dimensi-dimensi lainnya bahkan kemungkinan besar mengalahkan dimensi sosial-politiknya, sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang senang berkompetisi dengan penuh kecemburuan atau homo aemulus. Pada titik itulah, manusia tampak seperti sudah melampaui dan tidak lagi dilihat sebagai makhluk bijak (homo sapiens) atau makhluk berinovasi (homo faber). Sebagai homo oeconomicus, manusia adalah makhluk yang sepenuhnya berorientasi pada ekonomi—mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Demi mencapai tujuan itu, sumber daya harus diolah seoptimal mungkin karena ia bersifat terbatas atau dapat juga disebut limited means, unlimited wants. Karena itu, pemanfaatan dan pemakaian sumber daya harus efisien dan efektif. Kesadaran manusia adalah hyper-generalisasi yang memandang manusia sebagai makhluk lemah dan sosok individu yang memiliki kepentingan diri sendiri dan keterbatasan. Karena itu, ia harus bertahan hidup demi memenuhi segala kebutuhannya. Generalisasi dimungkinkan dengan adanya rasionalitas yang meyakini manusia adalah makhluk rasional yang inteligen. Adam Smith sendiri pernah mengatakan bahwa rasionalitas dan kepentingan individu bukan hal yang bertentangan. Rasionalitas dan kepentingan diri sendiri justru berpadu meraih kesejahteraan bersama atau kolek-
59
tif. Tidaklah mengherankan jika makhluk manusia menganggap hidup adalah untuk membuat berbagai pilihan rasional dan hanya matematika sebagai instrumen yang mampu mengoperasionalisasikan hal tersebut. Secara matematis, kesejahteraan bersama dimungkinkan sebagaimana dijelaskan melalui “titik keseimbangan” dan “titik stasioner” yang kemudian diuraikan lebih lanjut oleh Walras, ekonom Prancis. Negara dan faktor sosial dianggap pengusik hitungan matematis dan karenanya tidaklah penting. Yang menarik untuk diperhatikan adalah proses institusionalisasi homo oeconomicus dalam kesadaran manusia dan masyarakat dari satu periode ke periode berikutnya yang mengandung karakteristik tersendiri dan berbeda. Homo oeconomicus yang diinstitusionalisasikan dalam ekonomi-politik berbeda dengan institusionalisasi dalam ekonomi mikro ataupun makro. Perkembangan ekonomi finansial dan informatik juga menginstitusionalisasikan homo oeconomicus yang berbeda dibanding periode sebelumnya. Proses internasionalisasi institusi ilmu pengetahuan ekonomi serta instrumen lembaga yang menyertainya, yaitu negara dan pasar, memungkinkan karakter manusia ekonomi dibawa ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Hal itu tidak menjadi masalah bagi negara yang memang sudah siap menerimanya. Sayangnya, tidak semua negara benar-benar siap, sehingga pembangunan berdasarkan homo oeconomicus mustahil tercapai. Apa yang terjadi justru semakin jauh dari tercapainya proses pembangunan itu sendiri. Singkatnya, homo oeconomicus telah berevolusi sejak zaman ekonomi-politik Adam Smith hingga kini yang lazim disebut zaman ekonomi finansial. Sebagaimana dikatakan Walras dalam teori “dilema tawanan” yang secara tidak langsung mengandaikan pentingnya informasi, generalisasi homo oeconomicus juga memerlukan informasi sebagai bahan baku pendukung. Konsekuensinya, tidak ada satu pun manusia yang tidak memerlukan data dan informasi. Sekarang, data dan statistik telah menjadi sesuatu yang sangat penting. Berbeda pada masa klasik yang “didominasi” ekonomi-politik, data sebagai informasi belum dianggap penting. Data dan informasi dipandang dan diperlakukan seperti “informasi” yang tidak penting. Sekarang, infor-
60
Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015
masi tidak lagi dipandang dan diperlakukan semata-mata “informasi”, melainkan lebih dari itu sebagai data. Sebagai contoh, banyaknya berita atau informasi yang beredar tentang sesuatu hal bisa saja menjadi pertanda atau indikator tertentu. Proses finansialisasi perlahan namun pasti membawa dimensi homo informaticus, yakni manusia sebagai makhluk informasi yang senantiasa bergerak cepat, dinamis, dan tanpa batas. Hubungan langsung antar-manusia yang tampak jelas semasa ekonomi-politik menjadi hubungan tidak langsung. Aplikasi perangkat lunak seperti WhatsApp, misalnya, kini mengambil alih fungsi telepon, sementara telepon sendiri pernah berjaya menggantikan kehadiran fisik. Manusia menjadi semakin berjarak dan terisolasi serta bergerak tidak leluasa. Sebaliknya dengan karakteristik “informasi.” Pertama, sebagaimana diutarakan Nathalie Sonnac, informasi adalah barang non-rivalitas yang berarti semua orang dapat menggunakan secara bersamaan tanpa merugikan orang lain. Kedua, informasi adalah barang yang tak dapat dicoba sebelum digunakan. Artinya, “nilai” informasi hanya bisa diketahui jika telah digunakan. Ketiga, informasi adalah jenis barang “berusia” pendek dan singkat, namun mengandung biaya tetap yang semakin meningkat. Kini, karakteristik terakhir yang masih bertahan dan relevan. Era finansialisasi telah menjadikan informasi sebagai “barang rivalitas”; mereka yang mendapatkan adalah mereka yang memiliki kekuasaan untuk merugikan orang lain. Begitu pula nilai informasi yang dapat diestimasi jauh hari sebelum digunakan. Bagaimanapun juga, semua bergantung pada makhluk manusia yang telah menjadi homo informaticus. Apa yang sesungguhnya terjadi dapat dikatakan bahwa generalisasi terhadap homo oeconomicus telah membawa informasi ke dalam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari fungsi produksi. Kebijakan, isu, desas-desus, gosip, dan sebagainya, bisa menjadi data yang dapat diolah menjadi estimasi dan deskripsi yang berguna untuk merangsang pasar. Dengan demikian, proses pembentukan dan penyampaian informasi menjadi penting karena dapat menentukan “kondisi” pasar, bukan sebaliknya. Lantas, apakah itu berarti generalisasi homo informaticus telah mengalahkan generalisasi homo
oeconomicus dalam diri manusia? Jawabannya “ya.” Namun, mengapa semakin banyak informasi semakin sering terjadi krisis? Bukankah kedua dimensi itu mendasarkan rasionalitas dan menjunjung tinggi ketepatan, sehingga seharusnya semakin banyak informasi semakin tepat prediksinya dan krisis semakin berkurang? Bagaimana dengan negara-negara berkembang? Apakah di negeri seperti Indonesia tidak terdapat manusia ekonomi sekaligus manusia informasi yang bisa mengapitalisasi informasi? Hipotesis yang bisa dipakai mungkin sebagai berikut: semakin maju ekonomi suatu negara selalu diiringi ekonomi media yang juga semakin maju, baik di tingkat institusional maupun output.
The Economist versus Alternatives Économiques Tidak ada yang meragukan perekonomian Inggris termasuk salah satu yang terkuat di Eropa, bahkan dunia. Data memperlihatkan “nilai tambah” yang diperoleh negeri itu dari pertumbuhan ekonomi terus-menerus melonjak dari 119.638 juta dolar AS pada 1970 menjadi 2.384.552 juta dolar AS pada 2013. Dari jumlah itu, porsi ekonomi media tidak lebih dari 10 persen (1970) dan turun menjadi 8 persen (2013). Jumlah tersebut sangat kecil dibanding sektor lainnya, namun cukup besar jika dibandingkan dengan negara seperti Indonesia. Hal serupa dapat dilihat di Perancis dengan kontribusi ekonomi media negeri ini tidak lebih dari 7 persen pada periode yang sama. Amerika Serikat juga memiliki karakteristik yang sama di sektor ekonomi media. Semua negara tersebut memiliki ekonomi media yang dapat menyampaikan informasi sedemikian rupa dan “memengaruhi” kondisi pasar. Inggris memiliki media massa khusus ekonomi seperti The Economist dan non-ekonomi seperti BBC, Perancis memiliki Alternatives Économiques dan Euronews bekerja sama dengan Uni Eropa dan Amerika memiliki Bloomberg dan CNN. Dari beberapa contoh di atas, karakter informasi The Economist dan Alternatives Économiques (AlterEco) tampak sangat berbeda dan berkorespondensi dengan karakter ekonomi nasional yang juga berbeda. Sejak didirikan pada September 1843, The Economist menilai ide-ide ekonomi liberal dan
Esai
klasik Adam Smith serta David Hume dan gagasan neo-liberal amat sangat penting, terutama dalam mendukung perdagangan bebas, globalisasi, dan “budaya liberal.” Kendati minoritas, majalah tersebut juga menerima ide-ide ekonomi keynesian. Dalam isu tertentu, khususnya di bidang keuangan dan perbankan, The Economist mendesak Bank Sentral Inggris agar selalu membantu bank-bank besar yang sedang mengalami kesulitan. Tidaklah mengherankan jika Karl Marx menjuluki majalah itu sebagai organ aristokrasi keuangan Eropa. Kesan tersebut semakin tampak jelas sejak Susan “Zanny” Minton Beddoes, mantan ekonom International Monetary Fund/IMF menjadi Editor-in-Chief pada 1994. Tingkat pengaruh internasional The Economist juga cukup signifikan. Jumlah staf lokal sebanyak 75 orang mampu meliput berbagai topik tidak hanya ekonomi di berbagai negara di Amerika, Asia, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Ada semacam korelasi antara performa ekonomi nasional Inggris dengan kinerja media massa khusus ekonomi, dalam hal ini The Economist, di negara itu. Dua atau lebih media massa dapat menggunakan barang (baca: informasi) yang sama, namun belum tentu menghasilkan produk yang sama. Begitu pula dengan majalah berbahasa Perancis, Alternatives Économiques (Alter Eco). Menurut pendiri media itu, Denis Clarc, Alter Eco sangat penting dalam upaya menahan laju liberalisme ekonomi dan “membantah” pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher bahwa “there is no alternative.” Melalui Alter Eco, yang terbit bulanan sejak 1984, Denis hendak membuktikan bahwa sistem ekonomi di planet bumi ini tidak bersifat tunggal. Ada lebih dari satu sistem ekonomi dan sosial. Régulationist dan post-keynesian merupakan pandangan sangat penting untuk menjelaskan pelbagai isu ekonomi, seperti perdagangan, keuangan, perbankan dan tenaga kerja, serta ekologi. Media yang kerap mengkritik (pendekatan) ekonomi neo-liberal dan neo-klasik itu juga memberitakan pelbagai hal tentang keuangan, perbankan, dan isu ekonomi lainnya. Namun, khususnya pemberitaan di bidang keuangan dan perbankan, Alter Eco senantiasa berpihak dan menganggap dukungan terhadap tenaga kerja jauh lebih penting.
61
Apa yang dapat dipelajari untuk Indonesia? Yang pasti, ekonomi Indonesia tidak setangguh ekonomi Inggris dan Perancis. Begitu pula ekonomi media Indonesia. Data memperlihatkan kontribusi sektor media terhadap ekonomi agregat di Indonesia tidak lebih dari 2 persen pada 1970 dan 6 persen pada 2010. Angka tersebut merupakan “sumbangan” sekitar 81 perusahaan yang bergerak di bidang media massa, termasuk percetakan dan surat kabar yang memiliki nama besar. Pada 2010, menurut data Kementerian Perindustrian, mereka memberikan nilai produksi sebesar 1,6 triliun rupiah dengan nilai tambah 8,5 miliar rupiah dan jumlah tenaga kerja sebanyak 4 juta orang. Jumlah tersebut mengalami penurunan cukup tajam dibanding tahun sebelumnya dengan total produksi mencapai kisaran 4,4 triliun rupiah dengan nilai tambah 2,2 triliun serta jumlah tenaga kerja 10,7 juta orang. Besaran kuantitatif tidak terlalu signifikan itu juga dialami oleh beberapa negara maju. Namun, berbeda dengan The Economist yang mendukung ekonomi liberal atau Alter Eco yang mendukung ekonomi régulationist, ekonomi media massa di Indonesia tidak memiliki formasi sosial yang eksplisit; abuabu bahkan cenderung lebih banyak dipengaruhi kepentingan pasar daripada membentuk pasar. Arsitektur ekonomi nasional yang tidak jelas itu juga ditandai dan sarat dengan sistem “gadogado.” Itulah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari The Economist dan Alter Eco. Tulisan ini sendiri berharap kesenjangan institusional antara ekonomi media dan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa diperkecil. Apa yang selama ini berlangsung di Indonesia sesungguhnya adalah pertumbuhan ekonomi yang senantiasa bergantung pada kehendak pasar dan langkah media massa yang cenderung mengikuti arus pasar. Di era yang menginginkan segera tercapainya Nawacita dengan mengutamakan investasi asing dalam rangka aktivitas produktif dewasa ini mungkin dapat melihat dari sudut berbeda bahwa kondisi sesungguhnya yang sedang dihadapi Indonesia bukan soal investasi atau revitalitasi dan rehabilitasi agar menjadi lebih produktif, namun justru keselarasan dan kejelasan di antara sistem ekonomi nasional dan sistem ekonomi yang diadopsi media negeri ini.•