Prisma
BUKU
Imam Shofwan, Banjir Informasi, Haruskah Kita Tenggelam
119
Banjir Informasi: Haruskah Kita Tenggelam? Judul: Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi Judul Asli: Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload Penulis: Bill Kovach dan Tom Resenstiel Penerbit: Dewan Pers dan Yayasan Pantau, November 2012 Tebal: xi + 225 halaman ISBN: 978-602-8721-12-7
S
udah menjadi pemahaman umum bahwa kewajiban utama media adalah menjunjung tinggi kebenaran serta mengangkat aspirasi pihak yang lemah dan tak mampu bersuara sendiri. Pers dan media massa harus menjadi watch-dog yang senantiasa menyalak bila penguasa menyelewengkan kekuasaan. Persoalannya, bagaimana idealisasi fungsi tersebut diwuB U K U
judkan dalam kenyataan? Apa saja dialektika dan tantangannya? Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mencoba menguraikan persoalan-persoalan tersebut dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Oleh banyak wartawan dan pakar komunikasi, termasuk di Indonesia, buku terbitan tahun 2001 itu direkomendasikan sebagai “buku ajar� untuk kelas pendidikan jurnalistik dan referensi bagi wartawan. Kovach dan Rosenstiel menyusun buku tersebut secara intensif, menyeluruh, dan sistematis, dengan menguji prinsip-prinsip jurnalisme bagaimana seharusnya dan kenyataan kerja wartawan dalam mengumpulkan informasi, memberitakan, dan menjalankan tanggung jawab profesi. Kedua wartawan senior itu menyelenggarakan puluhan forum diskusi melibatkan ribuan orang serta sejumlah peneliti yang mewawancarai dan merekam kesaksian 1.200 orang wartawan tentang nilai-nilai jurnalistik yang mereka anut. Selain itu, Kovach dan Rosenstiel menyelenggarakan dua survei tentang prinsip-prinsip kewartawanan dan penelitian isi berita serta sejarah para wartawan.
120
Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015
Buah dari riset selama tiga tahun itu adalah buku The Elements of Journalism, yang kemudian dialihbahasakan dan diterbitkan Yayasan Pantau pada 2002 menjadi Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Beberapa tahun kemudian, dalam sebuah wawancara dengan iMediaEthich, Kovach mengatakan hendak merevisi The Elements of Journalism bersama Tom Rosenstiel, karena banyak hal telah berubah secara radikal dalam jagad media seiring dengan perkembangan teknologi informasi pada 2006-2007. Jurnalisme kini hadir dalam berbagai rupa, terutama melalui medium internet, yang sangat “memengaruhi” kehidupan media konvensional. Namun, Kovach dan Rosenstiel merasa tidak cukup hanya dengan merevisi The Elements of Journalism. Pada 2010, mereka menerbitkan Blur: How To Know What’s True in the Age of Information Overload yang, menurut Kovach, “a book that is not just aimed at journalists, but at the general public because they are… becoming their own reporters (sebuah buku yang tidak hanya ditujukan bagi para wartawan, tetapi juga bagi publik umumnya karena mereka… menjadi reporter untuk mereka sendiri).” Bisa dikatakan Blur adalah kelanjutan dari The Elements of Journalism. Blur memasukkan dan menjelaskan “Elemen Kesepuluh” jurnalisme untuk menjawab pelbagai tantangan yang dihadapi media massa dan warga dalam era “banjir” informasi dewasa ini. Namun, sebelum membedah Blur, sebaiknya kita mengulas secara ringkas Sembilan Elemen Jurnalisme dan meletakkannya dalam konteks Indonesia. Kewajiban pertama jurnalisme adalah mewujudkan dan menegakkan kebenaran, namun realita menunjukkan media sering kali menutupnutupi kebenaran atau bahkan tidak menghiraukan upaya pihak tertentu yang melakukan kebohongan publik. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga (citizens), namun kenyataannya masih banyak media cenderung menghamba kepada kepentingan pemilik media.
Jantung atau esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Namun, tren yang berkembang di Indonesia seiring dengan perkembangan pesat media siber adalah jurnalisme “hit and run” yang lebih mengutamakan kecepatan pemberitaan dan cenderung menghakimi, serta mengabaikan verifikasi. Wartawan harus tetap independen dari campur tangan pihak yang diliput, namun prinsip itu secara telanjang dilanggar banyak media dan wartawan dalam Pemilu 2014. Jurnalisme harus membuka forum bagi kritik serta komentar publik, namun kebanyakan forum diskusi di media masih sangat elitis dari segi pemilihan narasumber dan isu. Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, namun kenyataannya beberapa media lebih memilih menayangkan pernikahan dan persalinan selebritas yang tidak begitu penting bagi kebutuhan sebagian besar warga. Jurnalis harus menjaga agar berita yang disampaikannya komprehensif dan proporsional, namun kenyataannya banyak yang berpihak atau sebaliknya memusuhi pihak tertentu. Jurnalis wajib mengikuti suara nurani, namun tak jarang jurnalis membiarkan diri dikuasai dan dikendalikan pihak lain. Blur sangat concern terhadap “hak dan tanggung jawab warga” di zaman media “konvensional” tidak lagi menjadi satu-satunya penjaga gerbang informasi. Pada era internet seperti sekarang, setiap saat dan hampir setiap orang dapat memproduksi konten informasi dan berita. Warga bukan lagi konsumen pasif seperti pada era sebelumnya. Kini, mereka dapat secara bebas mencipta, membangun, dan mengembangkan media sendiri melalui internet. Setiap orang dapat menjadi penulis via blog, membuat berita video lewat Youtube atau Vimeo, serta mengomentari dan menyebarkan berita lewat jejaring sosial Facebook atau Twitter. Blur adalah jawaban ideal Kovach dan Rosenstiel tentang bagaimana bersikap di era banjir informasi dewasa ini yang tidak hanya menyasar wartawan, namun juga warga. Untuk B U K U
Imam Shofwan, Banjir Informasi, Haruskah Kita Tenggelam
memudahkan pembaca memahami materi bahasan, masing-masing bab buku ini dibuka dengan memberi beberapa contoh pengalaman wartawan Amerika Serikat dalam meliput peristiwa tertentu. Hal itu memang agak sedikit menyulitkan pembaca asal Indonesia yang tidak “rajin” mengikuti perkembangan berita dan media di Amerika Serikat. Kovach dan Rosenstiel membuka Blur dengan memberi contoh keriuhan informasi di tengah era digital (internet), termasuk bagaimana berita dipelintir. Warga mempunyai hak untuk menjadi konsumen sekaligus produsen berita. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan, pihak-pihak yang hendak memanipulasi publik demi kepentingan politik atau laba—baik pemerintah, perusahaan media, maupun pengusaha—juga mempunyai hak yang sama. Ulasan berlanjut dengan sejarah transformasi komunikasi dan pengaruhnya terhadap sistem pemerintahan dan demokrasi, mulai dari transisi tradisi lukisan dinding gua ke tradisi lisan, rangkaian kata-kata ke mesin cetak, telegraf ke radio, dan dari siaran televisi terestrial ke televisi kabel dan televisi internet. Setiap perubahan cara berkomunikasi membuat informasi menjadi lebih mudah diakses, lebih tertata, lebih berarti, serta meningkatkan jumlah orang yang melek informasi. Semua itu pada gilirannya bisa merombak dan mengganti otoritas lama dengan otoritas baru. Perubahan pola komunikasi tersebut berjalan seiring dengan perubahan pola kepemimpinan, mulai dari pemimpin spiritual ke pemimpin suku, pemimpin suku ke raja dan negara-kota, serta akhirnya ke otoritas negara. Secara sederhana, dua bab awal Blur hendak menjawab kegamangan sebagian besar orang akan banjir informasi di era internet dewasa ini. Namun, Kovach dan Rosenstiel mengatakan bahwa kita tidak perlu panik, karena hal serupa toh sudah pernah terjadi dalam perjalanan sejarah media. Inti buku sembilan bab itu ada pada Bab 3, yang berjudul “Cara Berpengetahuan Skeptis: Keterampilan Verifikasi”, dan seterusnya. Kedua penulis menyarankan B U K U
121
dan memberikan kita, warga, sejumlah “tips” untuk melakukan semacam “diet informasi” dengan menggunakan pola pikir skeptis (skeptical knowing) langkah demi langkah. Pertama, kita harus mengenali jenis konten yang dihadapi. Kedua, kita harus memeriksa kelengkapan laporan. Ketiga, kita harus menilai otoritas dan kualifikasi sumber. Keempat, kita harus menilai fakta dengan membedakan antara mengamati dan memahami, kesimpulan dan bukti, serta bagaimana berita berinteraksi dengan fakta. Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi. Menurut Kovach dan Rosenstiel, ketika berita datang dari beragam sumber dengan aneka gaya dan bentuk, baik dari wartawan maupun non-wartawan, kita butuh sesuatu yang lebih. Kita perlu mengetahui mengapa layak mempercayai sumber-sumber yang menawarkan atau mengomentari fakta. Kita pun harus menyudahi cara pandang lama bahwa melalui berita media menyatakan “percayalah kepada saya” dan menggantinya dengan cara pandang baru di mana khalayak menyatakan kepada media “tunjukkanlah kepada saya” atau “buktikanlah kepada saya.” Saya yang dimaksud dalam “percayalah kepada saya” merujuk pada wartawan dalam jurnalisme sebelum era digital di mana media tampil begitu dominan sebagai penjaga gerbang informasi. Sementara “Saya” pada “tunjukkanlah kepada saya” merujuk khalayak (baca: warga) sebagai konsumen berita. Itulah yang semestinya terjadi di era digital di mana setiap orang berperan sebagai editor untuk diri sendiri, “beri saya cukup informasi untuk menilai sumber-sumber itu sendiri” (hal. 34). Pelajaran penting yang bisa dipetik dari buku ini tidak hanya relevan untuk warga, namun juga bagi media dan wartawan secara keseluruhan. Untuk dapat bertahan dalam persaingan di era digital yang diwarnai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi, media massa harus selalu menjaga mutu berita. Hal demikian tentu merupakan tantangan berat, karena media siber telah menggerogoti seba-
122
Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015
gian besar ceruk iklan media “konvensional.” Perkembangan teknologi internet memang sangat memengaruhi kerja awak media. Semua jenis media saat ini, baik televisi, cetak maupun daring (online), berlomba-lomba menurunkan berita secepat mungkin. Tak pelak, media yang dapat memanfaatkan keadaan itu niscaya bisa bertahan dan sulit tergusur. Selain mendedah bagaimana warga seharusnya bersikap serta apa yang mesti dilakukan media dan wartawan, buku ini juga menjelaskan bagaimana media dan warga dapat bekerja sama dalam era banjir informasi dewasa ini. Untuk itu, Kovach dan Rosenstiel memberikan beberapa kiat agar mutu berita tetap terjaga, yang sekaligus menjadi dambaan warga atas apa yang disajikan media, dan bagaimana seharusnya fungsi media di masa depan (hal. 184190). Pertama, media harus berfungsi sebagai otentikator (penyahih). Idealnya, semua fakta dan bukti dari berita yang dikeluarkan media sudah melalui pemeriksaan lebih dahulu. Fungsi demikian sangat fundamental sekaligus tantangan berat bagi media, ketika kecepatan dalam penyampaian informasi menjadi hal utama. Karena itu, media perlu menerangkan informasi yang disajikannya bisa lebih dipercaya dibanding informasi dari media lain. Media yang mengumbar sensasi memang dapat menarik perhatian warga, namun itu hanya sesaat dan segera ditinggalkan. Pendek kata, warga memerlukan wartawan untuk memeriksa autentisitas sebuah informasi serta dapat membuktikan mengapa informasi ini harus dipercaya. Kedua, media harus berperan sebagai sense maker (penuntun akal). Banjir informasi tentu membuat khalayak atau warga sulit menemukan dan memilih informasi yang benar dan tidak benar (baca: informasi propaganda). Di sinilah fungsi dan peran media dalam menerangkan apakah informasi dimaksud masuk akal atau tidak dengan meletakkan pada konteksnya dan mengaitkannya dengan informasi lain. Hal itu sangat penting karena derasnya informasi dan keharusan menurunkan berita
secepat mungkin membuat wartawan nyaris tak mempunyai waktu untuk menjelaskan sekaligus mengaitkan konteks informasi. Karena hanya mengutip pernyataan seseorang atau beberapa narasumber “terkenal” tanpa menggali lebih dalam, khalayak atau warga akan sulit memilah apakah informasi itu masuk akal, bersifat propaganda, atau mengandung tipu daya. Jika dapat membantu memilah informasi yang “benar” dan “tidak benar”, secara tidak langsung media telah menyelamatkan kelangsungan hidupnya sendiri (hal.185). Ketiga, media harus tetap menjalankan fungsi sebagai investigator. Peran lama jurnalisme sebagai “anjing penjaga” masih sangat relevan pada masa sekarang. Jurnalisme yang mengekspos dan membongkar apa yang dirahasiakan dan disembunyikan oleh penguasa masih sangat penting dan esensial bagi proses demokratisasi. Investigasi adalah jantung dari jurnalisme, baik dulu maupun sekarang, dalam menjaga dan merawat demokrasi. Keempat, media harus menjadi witness bearer (penyaksi). Wartawan mesti berada di tempat tertentu untuk menjadi saksi sebuah peristiwa. Untuk menjalankan fungsi sebagai penyaksi, bila kekurangan sumber daya manusia, media dan wartawan dapat menjalin kerja sama dengan warga untuk menginformasikan suatu kejadian (citizen reporter). Hal tersebut berkait dengan fungsi berikutnya, yakni media sebagai empowerer (pemberdaya). Di sini berlangsung kemitraan antara warga dan wartawan. Warga atau publik diletakkan sebagai bagian dari proses pemberitaan bukan sekadar konsumen berita. Mereka diberdayakan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam news-gathering. Sebaliknya, para wartawan diberdayakan dengan mencari pengalaman dan keahlian di luar sumber formal. Kemitraan tersebut membuat warga dan wartawan dapat melepaskan diri dari ketergatungan pada sumber-sumber berita yang elitis dan terbatas. Keenam, media berfungsi sebagai smart aggregator (agregator yang cerdas). Warga butuh bantuan media dan wartawan yang bisa B U K U
Imam Shofwan, Banjir Informasi, Haruskah Kita Tenggelam
memberi informasi bermutu dari sumber yang dapat dipercaya, misalnya, dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari situs internet. Karena itu, dibutuhkan agregator yang cerdas dalam menyisir situs internet dan bekerja melampaui kemampuan algoritma komputer dan agregator pada umumnya. Selain itu, sebagai agregator yang cerdas, media massa harus menelisik lanskap informasi serta mewakili khalayak dalam mengawasi lalu lintas informasi yang mungkin dianggap banyak membantu. Media massa di masa depan barangkali akan mengalami kesulitan mempertahankan “taman tertutup” dengan hanya menyodorkan dan menyediakan berita bikinan sendiri. Ia harus benar-benar membantu dan melayani para konsumen berita yang berorientasi ke depan serta mengarahkan khalayak ke situs internet yang dinilai penting. Ketujuh, media selayaknya berfungsi sebagai forum organizer (penyedia forum). Media dan wartawan mesti membantu terbentuknya diskusi dan wacana dengan melibatkan warga secara aktif. Lembaga-lembaga pemberitaan milik komunitas, baik lama maupun baru, dapat menjadi forum atau ruang terbuka bagi warga untuk memantau suara dari berbagai sisi, bukan hanya dari mereka yang memiliki “ideologi” sama, dan memutuskan sendiri informasi yang dapat dipercaya. Kedelapan, fungsi media sebagai role model (panutan). Media zaman sekarang tak dapat mengelak dari fungsi sebagai
B U K U
123
“panutan” warga yang ingin membawakan kesaksian sendiri dan sekaligus bertindak sebagai wartawan warga. Mereka akan mencontoh perilaku wartawan dengan memperhatikan bagaimana kerja sebagai wartawan. Mereka pun akan meniru apa yang disukai serta mencampakkan apa yang tidak disukai. Ketika hal itu terjadi, setiap jurnalis seharusnya menyadari dan memahami bahwa warga bukan sekadar “melihat” berita yang disajikan, namun juga memperhatikan tingkah laku para wartawan. Lengkap sudah Blur menjelaskan problem dan tantangan media konvensional dan masyarakat media di era internet yang menjadi bagian integral dari kehidupan bermasyarakat. Buku ini bukan hanya “menyentil” media dan wartawan, namun juga merumuskan rekomendasi-rekomendasi yang sangat riil dan terlihat aplikatif. Sebuah buku yang berpretensi praktis, namun juga sangat kuat secara teoretis. Hal tersebut bisa dipahami mengingat kedua penulisnya adalah jurnalis yang mumpuni dan memiliki segudang pengalaman sekaligus pemikir komunikasi sangat terpelajar. Buku ini layak dibaca oleh segenap komunitas pers, pakar komunikasi dan pegiat media sosial di Indonesia dengan sebuah pesan moral bahwa kebebasan berkomunikasi dan berekspresi yang kita miliki harus dilandasi dengan tanggung jawab untuk mewujudkan ruang publik yang beradab• Imam Shofwan