Sena Utama, Negara (dan) Islam NurWildan Iman Subono, Soekarno: Hari Terakhir
tahanan dalam pemerintahan bangsanya sendiri yang untuk waktu sekian lama diperjuangkan selama hayatnya. Bung Karno di masa jayajayanya oleh pelbagai kelompok masyarakat, dan juga pemerintah, diberi berbagai gelar serba agung. Sebut saja, misalnya, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata atau Paduka Yang Mulia serta Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Namun, lagi-lagi kita bisa mencatat, dia pula yang kemudian dihujani pelbagai praduga, hinaan serta cercaan hingga hari-hari akhir sampai meninggalnya. Tragedi Kemanusian! Kata-kata sangat tepat yang menggambarkan sosok Sang Proklamator itu. Pada 1970, tepatnya 21 Juni, hari Minggu, sekitar pukul 07.07, Soekarno, Sang Putra Fajar, kembali ke pangkuan-Nya. Kita pun menyaksikan dan mendengar bagaimana ribuan bahkan jutaan orang dari pelosok Indonesia memberi penghormatan terakhir terhadap tokoh nasional itu, di luar segala kesalahannya, yang memang banyak memiliki jasa terhadap bangsa dan negara ini. Belum lagi penghormatan dari negaranegara sahabat, kepala negara dan kepala pemerintahan banyak negara, serta ulasan media massa asing. Upaya untuk menghapuskan jasanya, dan ini kemudian dilakukan Orde Baru melalui proses “de-Soekarnoisasi”, niscaya akan sia-sia. Ternyata, tepat sewindu setelah kepergiannya, nama Bung Karno kembali disebutsebut dengan segala pro dan kontranya. Kita jadi ingat apa yang dikatakan oleh Tilak, “Tokoh sejarah tidak akan selamanya lenyap.” Bahkan jauh hari sebelumnya, dalam sebuah kesempatan, Soekarno pernah mengatakan, “Hanya bangsa yang tahu menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar.” Sampai di sini kita tentu bisa mengatakan siapa yang akan menolak atau menafikan bahwa Soekarno adalah pahlawan nasional. Jika mau dikalkulasi secara kuantitatif, misalnya, secara common sense kita bisa mengatakan bahwa jasanya terlampau besar buat bangsa ini dibanding kesalahannya. B U K U
271
Puzzle Tidak Akan Selesai Buku berjudul Hari-hari Terakhir Sukarno ini adalah satu dari ratusan tulisan mengenai Soekarno dengan segala sudut pengamatan dan periode tertentu. Ini artinya, saat-saat paling kritis dalam perjalanan bangsa Indonesia di mana pemimpinnya yang bernama Soekarno tinggal menghitung hari karena perlahan tapi pasti kekuasaannya, pengaruhnya, basis pendukungnya, dan juga seluruh jabatannya dipereteli satu persatu hingga kemudian dirinya tidak lebih sebagai pesakitan dengan status tahanan rumah. Apakah ini kehebatan atau kenaifan Soekarno yang sebetulnya masih bisa melakukan perlawanan balik dalam saat-saat kritis politik tersebut, karena nyatanya masih banyak pendukungnya, termasuk kesatuan maupun individu-individu dalam tubuh militer, ternyata tidak mengambil kesempatan tersebut. Tidak mau terjadi perang saudara, tetap kokoh dengan pendiriannya bahwa komunisme sebagai ideologi maupun kekuatan politik harus tetap ada di bumi Indonesia sebagai respons atas desakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh berada di balik peristiwa G-30-S, atau bahkan masih sangat yakin dengan kharisma dan kekuatan dirinya untuk bisa menyelesaikan persoalan tragedi politik G-30-S. Apa istimewanya semua paparan di atas? Bukankah semuanya sudah pernah diungkap dan dipaparkan dalam berbagai tulisan, seminar dan juga diskusi politik? Apakah sebetulnya masih ada sisi lain yang selama ini belum pernah bisa ditampilkan atau dikuak? Harus diakui, setelah membaca buku ini, kita nyaris tidak menemukan “sesuatu” yang sama sekali baru mengenai Soekarno, katakanlah hal yang menimbulkan perdebatan atau kontroversial. Namun, setidaknya ada dua hal saling mengait yang bisa diangkat. Pertama, penulisnya, Peter Kasenda, kebetulan saya kenal baik ketika sama-sama mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia, meski berbeda fakultas. Peter memang salah seorang sejarawan yang spesialisasinya
272
Prisma Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013
mengkaji dan menulis beberapa tokoh politik nasional, seperti karyanya tentang Tahi Bonar Simatupang, Sarwo Edhie Wibowo, dan lain-lain. Namun, Peter tampaknya sangat terobsesi dengan tokoh Soekarno. Bahkan skripsi S1-nya pun – sudah dibukukan dengan revisi di sanasini – mengenai Soekarno.1 Kedua, meskipun sebagai pengagum Soekarno, jika tidak mau disebutkan sebagai Soekarnois, Peter masih menulis sebagai sejarawan yang berjarak, dan karenanya segala aturan, etika dan nilai-nilai profesional sejarawan masih terjaga dengan baik. Hal itu terlihat dalam buku ini. Tidak ada kalimat-kalimat atau analisisnya yang berkesan sloganis, subjektif berlebihan, atau terjebak dalam bentuk pamflet. Kekagumannya pada Soekarno tidak lantas membuat dia tidak kritis pada pemikiran dan perilaku politik Soekarno. Bahkan, dan ini salah satu kelebihannya, Peter sangat tekun mengumpulkan pelbagai bahan mengenai Soekarno, baik berupa buku, artikel, stensilan, dan sumber-sumber sekunder lain yang ditulis oleh siapa saja, tidak harus penulis terkenal, yang bicara mengenai Soekarno. Dia pun sangat peduli dengan detail peristiwa atau kejadian yang bisa jadi sangat melelahkan buat sebagian orang yang membaca tulisannya. Dia pun selalu berusaha merangkum dan menuliskannya dengan sangat komprehensif, sebagaiman tulisan Peter lainnya yang bicara mengenai tokoh-tokoh politik nasional. Soekarno laksana sebuah puzzle yang tidak selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Walaupun demikian, Peter Kasenda dalam buku mengenai Soekarno ini berupaya keras memenuhi segala unsur dalam menuntaskan puzzle tersebut. Begitu padat dan juga mendekati lengkap pembicaraan tentang hari-hari terakhir Soekarno. Untuk itu, dia menggunakan berbagai sumber yang ada secara maksimal. Upaya yang ditempuhnya itu memang “luar biasa”, tetapi ujungnya mudah ditebak. Dia 1
Lihat, Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010).
sering kali terjebak dalam “pengulangan” ketika menjelaskan satu peristiwa atau sebuah kejadian karena ada semacam ambisi untuk memuat kembali sumber bacaan lain yang dimiliki bisa tertuang dalam bukunya ini.
Soekarno, PKI dan Angkatan Darat: Tidak Hitam-Putih! Menulis mengenai Soekarno, khususnya sejak era “Demokrasi Terpimpin” hingga awal kebangkitan Orde Baru, tidak bisa tidak akan bersentuhan dengan peran dan posisi PKI dan Angkatan Darat dalam konstelasi politik Indonesia saat itu. Sebagaimana diutarakan Indonesianis asal Australia, Herbert Feith, sebagai “kekuasaan segitiga” (political triangle) diwarnai dengan relasi tarik-ulur dan bahkan penuh tensions di antara Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. Di dalam “kekuasaan segitiga” tersebut, Soekarno memainkan peran sentral sebagai penjaga bandul keseimbangan antara Angkatan Darat dan PKI. Kita tentu paham bahwa bandul politik seperti ini tidak bisa bergoyang permanen, pasti ada batas atau titik ledaknya. Dalam “Demokrasi Terpimpin”, ketiga kekuataan itu dengan Soekarno sebagai aktor sentral, saling memainkan kartu dalam perubahan politik yang berubah dalam hitungan jam setiap harinya. Namun, sekali lagi kita menemukan banyak tulisan mengenai Soekarno dalam era Demokrasi Terpimpin berada dalam kerangka seperti itu. Suasana politik masa itu ibarat memasuki peperangan dan terkesan seperti “zero-sum.” Namun, apakah benar demikian? Saling berhadapan dan tidak ada celah sama sekali untuk bertemu. Peter Kasenda ketika menulis mengenai Soekarno di saat-saat terakhir Demokrasi Terpimpin tampaknya juga tidak bisa lepas dari kerangka segitiga politik seperti itu. Namun, Peter bisa membuat perbedaan. Dia tidak melihat semua itu secara hitam-putih. Memang benar, seperti dipaparkan dalam Bab 2, bagaimana PKI melakukan show of force sebagai kekuatan politik dengan basis massa luar biasa B U K U
Sena Utama, Negara (dan) Islam NurWildan Iman Subono, Soekarno: Hari Terakhir
besar, baik jumlah anggota dan organisasiorganisasi bawahannya maupun simpatisannya. Namun, ironisnya, karena peran dan posisi Soekarno sebagai presiden seumur hidup serta sebagian pendukungnya antikomunis, baik dari golongan Islam maupun nasionalis, menjadikan lingkungan politik saat itu tidak kondusif bagi PKI untuk bisa duduk dalam kekuasaan formal. Posisi dan peran PKI sendiri, meski dikatakan sebagai partai komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan RRT, ternyata jauh dari solid, khususnya dalam koordinasi di antara mereka sendiri. Sebagai partai massa, PKI memang mengagumkan, tapi ternyata kekuatan rielnya, seperti disampaikan sejarawan Perancis Jaques Leclerc, laksana tanah lempung yang mudah hancur. Ada banyak informasi dan analisis yang mencoba menguak lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi saat menjelang akhir September 1965, yang kita tahu kemudian mengubah wajah politik Indonesia dengan drastis dan “hilang”-nya ratusan bahkan ribuan atau jutaan orang Indonesia dalam tempo relatif singkat Sebaliknya, dan ini yang menarik, ada bagian dari buku ini yang memperlihatkan bagaimana kekuatan Angkatan Darat sendiri tidak sekukuh sebagaimana sering digembor-gemborkan selama ini dalam menghadapi Soekarno. Sebagian di antara mereka terdiri dari individu dan kelompok-kelompok loyalis Soekarno. Sebagian lagi “golongan” antikomunis yang tidak rela Soekarno diberlakukan atau “dilengserkan” secara tidak adil. Tidak terlalu salah, seperti pernah dipaparkan dua Indonesianis asal Amerika Serikat Benedict Anderson dan Ruth T McVey, bahwa itu merupakan persoalan “internal Angkatan Darat.” Simak paparan Peter Kasenda mengenai Keluarga Besar Brawijaya yang melibatkan beberapa jenderal dengan Kolonel (Purn.) Bambang Supeno sebagai penggeraknya yang tetap berada di belakang Soekarno. Demikian pula Pelindung Inti Revolusi (Petir) yang terdiri sekelompok perwira muda. Belum lagi bicara soal pendirian Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) dan juga Angkatan Udara yang masih setia di belakang B U K U
273 272
Soekarno. Kita juga melihat beberapa jenderal yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, yang tidak nyaman dengan tindakan terlampau keras terhadap Soekarno dan saat bersamaan semakin bertambah mapannya kekuasaan Suharto. Sebut saja beberapa perwira tinggi seperti Letnan Jenderal Mokoginta, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, dan Mayor Jenderal Suryosumpeno, yang semuanya tersingkir dari lingkar kekuasaan Angkatan Darat setelah Orde Baru di bawah Suharto semakin kukuh. Sebaliknya, Peter Kasenda mengungkapkan bagaimana “kudeta merangkak” sejak akhir 1965 hingga pertengahan 1967 itu bisa terjadi karena beberapa petinggi Angkatan Darat, khususnya Jenderal AH Nasution, tidak mau gegabah menurunkan Soekarno, dan bahkan selalu mengingatkan untuk tetap di jalan legalistik. Hal ini berbeda dengan Suharto, meski berjalan perlahan dan low profile, tapi melakukan sejumlah tindakan yang dalam banyak hal sudah menjadi beyond the law dalam manuver politiknya.
Para Istri dan Anak di Balik Saat Kritis Soekarno Cerita-cerita besar dalam politik Indonesia saat itu kerap ditampilkan dalam cerita para pemenang, sejarah politik yang diwarnai pertarungan antar-elite, konflik dan konsensus, intrik-intrik politik seputar istana, dan lain-lain yang sejenis. Dalam buku ini, Peter Kasenda memasukkan cerita tentang orang-orang yang secara personal memiliki ikatan “batin” dengan Soekarno, para istri dan anak-anaknya. Memang sudah pernah dibahas dalam sejumlah buku, tetapi upaya merajut semua bahan tersebut merupakan nilai lebih buku ini. Bagaimana kita melihat Fatmawati tetap keukeuh tidak mau menjenguk Soekarno karena memegang teguh prinsip tidak mau dimadu, dan karena Hartini telah lebih dulu ada di sana. Namun, pada saat bersamaan, karena cintanya tak kunjung padam, Fatmawati masih berharap saat akhirnya Soekarno meninggal bisa disemayamkan terakhir
274
Prisma Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013
kali di rumah jalan Sriwijaya tempat dia tinggal setelah meninggalkan istana. Ternyata keinginan terakhir ini pun tak bisa dipenuhi negara. Saat bersamaan kita juga melihat bagaimana Hartini tetap setia menemani hari-hari terakhir Soekarno di paviliun Istana Bogor, dan tempat ini kemudian menjadikan “cairnya” hubungan Hartini dengan anak-anak Soekarno (Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh, kecuali Guntur), yang secara rutin menjenguk ayahnya ke Bogor. Memang hanya Guntur yang berkeras dalam pendiriannya untuk tetap memboikot “Keluarga Bogor.” Kita juga menyaksikan istrinya yang lain, Yurike Sanger, berupaya keras menembus jalur birokrasi untuk bisa menjenguk Soekarno. Hatinya teriris melihat keadaan Soekarno. Sang Proklamator dengan segala jasanya sekarang hanya tidak lebih dari seorang pesakitan. Wajahnya pucat, gemuk penyakitan, dan seluruh tubuhnya limbung dan gemetar. Hal tidak kalah menarik, lebih tepat disebut mengharukan, keadaan istrinya yang lain, Ratna Sari Dewi, yang saat itu terpaksa pulang ke Jepang karena situasi politik Indonesia tidak menentu, baru saja melahirkan seorang anak perempuan bernama Kartika, yang kelak akrab disapa Karina, tanpa kehadiran Soekarno di sampingnya. Ratna Sari Dewi dan Kartika memang akhirnya bisa kembali ke Indonesia, dan hanya bisa menyaksikan sosok Soekarno sudah menjelang sakratul maut. “Karina ke sini. Ini Bapak, this is your father, Karina.” Soekarno tersugesti oleh ucapan Ratna Dewi, tetapi tidak berdaya. Ini termasuk ketika Haryatie dan Inggit Garnasih, mantan istri Soekarno yang hadir dalam persemayaman Soekarno di Wisma Yasso. Apalagi, cerita soal seorang mantan presiden RI, yang tidak memiliki uang sepeser pun di kantongnya, satu hal yang tidak mungkin terjadi pada presiden-presiden Indonesia berikutnya, termasuk Megawati. Dalam konteks kekinian, sungguh sangat tidak masuk akal jika kita memperlakukan presiden sekaligus proklamator itu sebagai seorang pesakitan yang terus-menerus didera berbagai duka hingga titik akhir nafasnya.
Seperti adegan behind the scene, kita bisa menyaksikan drama kemanusiaan dengan segala persoalannya. Peter Kasenda cukup berhasil menampilkan saat-saat kritis tersebut dalam buku ini. Namun, justru di sini letak permasalahannya. Dengan obsesi pada detail kejadian dan menggunakan banyak bahan sumber seperti telah disinggung sebelumnya, Peter Kasenda mungkin tidak atau kurang menyadari telah melakukan pengulangan detail cerita saatsaat akhir tersebut seperti misalnya permintaan Fatmawati agar jenazah Soekarno disemayamkan di Jalan Sriwijaya No. 26, atau diminta keluarnya Soekarno dalam hitungan jam dari paviliun Bogor. Demikian pula dengan informasi soal penyakit tokoh nasional ini dipaparkan berulang kali dalam beberapa bagian.
Hari-hari Diakhiri? Jika kita membaca bab-bab terakhir buku ini, khususnya Bab 6 tentang Tahanan Politik, pasti kita memilik kesan dan bahkan bisa sebagai kesimpulan, bahwa hari-hari terakhir Soekarno tersebut lebih tepatnya sebagai harihari diakhiri. Siapa yang diakhiri? Sudah pasti Soekarno sendiri. Setelah seluruh elemen kekuatan pendukungnya, khususnya PKI dengan segala organisasi bawahannya ditebas habis dengan penahanan, penculikan, penghilangan dan pembunuhan yang tercatat sebagai “sejarah hitam” di Indonesia, kemudian jabatan dan segala atributnya sebagai presiden juga dicopot satu persatu. Orang-orang yang begitu loyal pada dirinya di sekitar kabinet maupun pemerintahan juga diciduk satu persatu. Soekarno sendiri kian tak berdaya membela mereka, bahkan untuk membela dirinya sendiri. Sebagai seorang solidarity maker, sebagaimana tipologi Herbert Feith, Soekarno yang selalu ingin dekat rakyat dengan pidato-pidato akbarnya, yang gandrung dengan persatuan dan kesatuan, yang terobsesi dengan realisasi Nasakom dalam masyarakat Indonesia, tiba-tiba semua hilang dengan sekejab. Semua akses Soekarno ke publik ditutup, dan sebenarnya B U K U
Sena Utama, Negara (dan) Islam NurWildan Iman Subono, Soekarno: Hari Terakhir
sebagai simbol pun dia sudah berakhir. Dia tidak lebih seorang tahanan politik. Alone dan lonely, barangkali ini dua kata yang tepat menggambarkan Soekarno saat itu. Penderitaan ternyata belum berakhir. Sakit fisik yang dideritanya semakin parah, terutama fungsi ginjalnya yang sudah tidak maksimal dan juga jantungnya serta penyakit lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan berbagai tindakan terhadap dirinya yang sudah benar-benar tidak berdaya. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepadanya jauh dari memadai dan terkesan kuat memang disengaja. Anak-anaknya diusir dari istana. Dia beserta Hartini yang diminta keluar dari paviliun di Bogor hanya “berbusana” piyama dan kaos oblong serta beralas sandal. Kepindahannya ke Batutulis ternyata juga masih diwarnai segala tetek-bengek yang pada dasarnya semakin memperburuk kondisi fisik dan mentalnya. Tubuhnya sudah renta, tidak berdaya, dengan segala penyakit yang menumpuk, dan diperlakukan tidak sewajarnya sebagai tahanan, pesakitan dan mantan presiden yang kehilangan segalanya. Mungkin tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa Soekarno memang telah “diakhiri” secara sengaja di hari-hari terakhirnya.
Beberapa Catatan Merangkum semua bahan dan menjelaskan semuanya memang bukan perkara mudah, tepatnya tidak akan mungkin. Karena itu, sejarawan atau peneliti berikutnya mungkin dapat melihat celah-celah yang sudah dilontarkan Peter Kasenda dalam buku ini. Sebut saja, misalnya, soal aksi-aksi kekerasan pertama kali terhadap PKI dimulai di Aceh (hal. 106), yang kemudian pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Laporan mengenai penggalian kubur jenazah orang-orang yang dianggap simpatisan dan anggota PKI sudah banyak diungkapkan. Namun, sependek pengetahuan saya, korbankorban aksi kekerasan yang serupa terjadi di Aceh sampai sekarang belum pernah ada laporannya yang relatif komprehensif mengenai B U K U
275
lokasi, jumlah, sebab- musabab, dan lain-lain. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para aktivis HAM di Indonesia, khususnya di Aceh. Kita sering atau pernah membaca laporan mengenai fanatisme orang Islam dalam membantai “orang-orang” PKI saat itu, tetapi kita belum terlalu banyak, lagi-lagi sependek pengetahuan saya, mendengar atau membaca laporan tentang peran pemuda Katolik di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara dalam mengeliminasi kekuatan PKI (hal. 116). Hal ini bukan dimaksud untuk membuka luka lama, apalagi sampai mengarahkan pada tindakan balas dendam. Jauh dari itu semua. Tentu semua itu dalam rangka untuk kita bisa lebih jujur, terbuka dan refleksi bahwa tragedi kemanusiaan dalam sejarah negeri ini harus diungkapkan supaya kita semua tidak mengulanginya lagi. Dari sudut Hak Asasi Manusia, satu orang meninggal sudah merupakan tragedi, dan selebihnya hanya angka-angka. Selain itu, keterlibatan negeri-negeri “asing” seperti Amerika Serikat, khususnya CIA, dan Inggris, tepatnya M16, pada saat-saat terakhir Demokrasi Terpimpin sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur. Tentunya akan menjadi lebih lengkap bila dalam era Perang Dingin tersebut juga dipaparkan keterlibatan Uni Soviet melalui KGB-nya atau intelijen RRT di Indonesia, khususnya saat hari-hari terakhir Soekarno. Menutup ulasan buku ini dengan mengutip kata-kata bijak, “Manusia menciptakan sejarahnya sendiri, tetapi manusia tidak bisa membuat sejarah persis seperti yang dikehendakinya.” Soekarno berupaya membuat sejarah, tetapi sejarah yang dibuatnya tidak seperti yang dikehendakinya. Ironisnya, itu menjadi sejarah tentang hari-hari diakhirinya sebagai presiden. Sebagai buku yang bicara mengenai Soekarno, Peter Kasenda cukup berhasil merajut informasi dan analisis tentang Soekarno menjadi sebuah baju relatif utuh. Namun, kita tetap menunggu rajutan lainnya, dan lebih jauh dari itu kita perlu baju lain untuk bisa lebih memahami, mengerti, dan menghargai Soekarno.• Nur Iman Subono