Resensi 11 32 negara dan islam

Page 1

Prisma

BUKU

Negara (dan) Islam

Sekitar Polemik Soekarno dan Natsir Judul: Polemik Negara Islam: Soekarno vs Natsir Penulis: Ahmad Suhelmi Penerbit: UI Press, Jakarta, 2012 Tebal: xix + 196 halaman ISBN: 978-979-456-461-5

M

eskipun sudah ada gentlemen agreement di antara “kelompok nasionalis” dengan “kelompok agama” yang memperdebatkan relasi antara negara dan Islam dalam penyusunan dasar 1 negara, polemik tentang negara Islam tidak pernah selesai. Dalam diskursus politik Islam kontemporer, wacana ini masih diperdebatkan oleh beberapa kelompok yang bisa dimasukkan dalam dua golongan, yakni Islam “liberal” dan Islam “literal.” Kelompok Islam liberal merupakan transformasi dari gagasan-gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kelompok ini terutama diwakili oleh intelektual-intelektual muda Islam seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie dan Akhmad Sahal yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal. Hadirnya gerakan Islam liberal, menurut Luthfi, merupakan upaya untuk menyikapi persoalan Islam dan negara, Islam dan hak-hak sipil, dan Islam dengan kebebasan individu serta Islam dengan persoalan modern lainnya. Dalam 1

Lihat, Robert Elson, The Idea of Indonesia: A History (Cambridge: Cambridge University Press). Pendapat ini dikemukakan Soepomo.

membahas relasi antara negara dan Islam, Luthfi meyakini bahwa tidak ada ketentuan dan kewajiban ajaran Islam secara spesifik tentang pemerintahan manusia; urusan negara sematamata adalah urusan duniawi manusia (hal. 153). Selain itu penafsiran Ulil dalam sebuah artikelnya yang kontroversial di Kompas mempertanyakan yang namanya penerapan hukum Tuhan dalam pemerintahan. Ulil menyatakan “tidak ada yang dinamakan hukum Tuhan


Wildan Sena Utama, Negara (dan) Islam

seperti yang dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum-universal yang dalam tradisi hukum Islam klasik disebut maqashidusy syari’ah atau tujuan umum syariat Islam”.2 Perdebatan tentang relasi negara dan Islam ini kemudian ditanggapi kelompok Islam literal. Beberapa tokohnya ialah Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz, dan pada tingkat advokasi praktis ada Ja’far Umar Thalib dan Habib Rizieq. Mengenai pendirian negara Islam, Adian Husaini berdasarkan perspektif historis melihat bahwa penerapan negara Islam pernah dilakukan oleh negara Madinah yang memiliki konstitusi pertama di dunia – piagam Madinah. Pada saat itu, Nabi Muhammad sudah bertindak sebagai kepala negara yang menjalankan syariat Islam bukan hukum adat terhadap seluruh warga negara. Polemik mengenai relasi agama dan negara yang masih terjadi hingga saat ini secara genealogis merupakan turunan dari polemik yang pernah diperdebatkan oleh dua orang tokoh pendiri bangsa, yaitu Soekarno dan Mohammad Natsir. Polemik yang dihadirkan berawal dari tulisan-tulisan Soekarno di Panji Islam pada 1940 yang kemudian ditanggapi Natsir. Soekarno dianggap mewakili golongan nasionalis sekuler dan Natsir dianggap mewakili golongan nasionalis islami. Golongan nasionalis sekuler dianggap mewakili pandangan bahwa negara mesti dipisahkan dari agama karena doktrin-doktrin agama dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan negara yang kompleks. Agama perlu dalam negara namun hanya lebih pada urusan-urusan ritual bukan kebijakan. Golongan nasionalis islami sebaliknya justru percaya bahwa penyatuan unsur agama dan negara adalah sebuah kewajiban karena unsur-unsur agama berkaitan dengan persoalan2

Lihat, Ulil Abshar Abdalla “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, dalam http://islamlib. com/id/artikel/menyegarkan-kembali-pema haman-islam (diakses pada 31 Maret 2013).

262

persoalan negara. Ada semacam keyakinan bahwa agama itu bukan hanya mengatur relasi Tuhan-manusia, namun juga hubungan manusia dan manusia dalam sebuah struktur politik bernama negara.

Orientasi Islam Soekarno Cukup banyak pakar yang telah mendeskripsikan Soekarno. Clifford Geertz mengatakan bahwa Soekarno adalah representasi Indonesia. Dengan warisan tradisi Polinesian, India, Islam, China dan Eropa, Indonesia mungkin menjadi tempat yang paling banyak memiliki simbol ketimbang tempat lain di dunia, dan semua ini seolah-olah berada di Soekarno, orang yang “melengkapi untuk memasang simbol-simbol tersebut ke dalam republik yang baru terbentuk”.3 Pandangan lain diberikan George McTurnan Kahin yang mengatakan bahwa Soekarno adalah orang yang mempunyai bakat unik karena dapat menyinkretiskan konsep Barat dan Islam dengan konsep mistisisme Jawa dan bisa menerjemahkannya dalam istilah yang bisa dimengerti sekalipun oleh kalangan petani.4 Pembentukan pemikiran yang melatarbelakangi Soekarno dipengaruhi oleh proses perjalanan politiknya dan pembacaannya atas berbagai macam aliran yang ada di Indonesia dan dunia. Keputusan Soekarno untuk tinggal dengan Tjokroaminoto di Surabaya, seorang pemimpin kharismatis Sarekat Islam, berdampak begitu besar dalam perjalanan intelektualnya. Di dalam rumah Tjokroaminoto tersebut selain dirinya tinggal Alimin, Musso, Semaun dan Kartosuwiryo. Soekarno mendapat kamar yang tersisa paling belakang sedangkan Alimin dan Musso mendapat kamar di bagian lebih depan karena datang terlebih dahulu. Saat berada di 3

4

Clifford Geertz, “Afterwords: The Politics of Meaning,” dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2007), hal. 321. George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2003), hal. 306-307.


264

Prisma Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013

rumah Tjokro, beberapa tokoh intelektual awal pergerakan Indonesia sering bertandang, mulai dari Agus Salim, Soewardi Soeryaningrat sampai Ahmad Dahlan. Perjumpaan intelektual dengan berbagai pemikiran mulai dari islamisme, sosialisme, nasionalisme sampai marxisme saat usianya masih belasan tahun tersebut membentuk kesadaran politiknya. Namun, gagasan Islam yang masih diresapi Soekarno pada tahap ini belum mengarah pada kajian Islam secara profesional. Tjokroaminoto merupakan representasi seorang tokoh politik daripada seorang faqih atau ulama, sehingga pemikirannya tentang Islam lebih pada Islam sebagai senjata perjuangan ketimbang akidah, syariah atau fiqh. Setelah meresapi pemikiran-pemikiran sosialisme Islam Tjokroaminoto, Soekarno berpindah tempat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Tinggi. Di sinilah dia mulai serius mendalami pemikiran dan terpengaruh ideologi nasionalis dan marxis. Pandangan yang kemudian mengubah “jalan hidup” Soekarno datang dari dua orang, yakni Douwes Dekker dan Tjiptomangoenkusumo. Douwes Dekker, pendiri Indische Partij, dalam sebuah ceramah malam hari di bulan Maret 1923 yang biasa dihadiri para mahasiswa termasuk Soekarno, berseru kepada mahasiswa untuk tidak terlalu larut dalam studi dan seyogyanya lebih mencurahkan perhatian pada usaha membebaskan negeri.5 Dekker dikenal sebagai seorang revolusioner yang membela Tjiptomangoenkusumo dan Soewardi Soeryaningrat saat keduanya bekerja sama menerbitkan pamflet yang menggemparkan Hindia Belanda pada 1913. Pamflet Als ik een Nederlander was yang ditulis Soewardi ini merupakan sebuah kritik tajam kali pertama terhadap Pemerintah Belanda dari kalangan cendekiawan Indonesia. Menurut Savitri Scherer, sifat eksplosif tulisan itu “bukan semata-mata karena nada provokatifnya melainkan karena implikasi-

implikasi politiknya yang lebih luas”.6 Sedangkan Tjiptomangoenkusumo yang dikenal sebagai pembenci aristokrasi Jawa dan dianggap pembangkang oleh Pemerintah Belanda memiliki pandangan politik tersendiri tentang nasionalisme Indonesia. Dia prihatin terhadap penderitaan rakyat Hindia-Belanda akibat kolonialisme. Pemikirannya, menurut Takashi Shiraishi, dapat dibingkai dalam empat hal: (1) dia mempersoalkan kesejahteraan di Hindia Belanda; (2) persoalan kemajuan di Hindia Belanda semata-mata bukan hanya masalah pendidikan Barat tapi tentang politik dan moral; (3) dia menempatkan masalah kemajuan Hindia tidak hanya dalam politik evolusioner tetapi juga revolusioner; dan (4) karenanya bagi Tjipto membangkitkan “semangat perlawanan” merupakan kunci menuju pembangunan yang sehat bagi negeri ini.7 Dari ketiga serangkai yang dibuang Pemerintah Belanda ke Negeri Belanda, pemikiran Dekker dan terutama Tjipto tentang “persatuan” melandasi kerangka intelektual Soekarno selanjutnya. Pada tahapan berikutnya yang disebut Bernhard Dahm sebagai “fase nasionalis” 19261931, Soekarno menempatkan nasionalisme sebagai pandangan politik utama meski dia juga sedikit banyak terpengaruh marxisme. Pada periode tahun 1920-an, alam politik Indonesia diwarnai oleh tiga aliran besar: nasionalisme, islamisme dan komunisme. Masing-masing aliran berisi gagasan yang sama, yakni perlawanan terhadap penjajahan di Indonesia. Namun, ketiga aliran tersebut memiliki jalan politik sendiri-sendiri. Soekarno memperlakukan ketiganya secara kritis. Menurutnya, yang terpenting bukan perjuangan atas masingmasing aliran pemikiran namun bagaimana mewujudkan front persatuan dari perbedaan 6

7 5

Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 57.

Savitri Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Para Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 90. Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 170. B U K U


Wildan Sena Utama, Negara (dan) Islam

ideologi tersebut untuk mencapai Indonesia yang merdeka. Dalam artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang terbit pada 1926, secara kritis Soekarno menyatakan: “Partai Budi Utomo ‘marhum’, National Indische Partij yang masih hidup, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, PKI dan masih banyak partai lain, itu masih mempunyai roh nasionalisme, roh islamisme atau roh marxisme. Daparkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja sama dalam roh yang besar, roh persatuan? Dapat kah dalam tanah jajahan pergerakan nasionalisme dirapatkan dengan pergerakan islamisme yang hakikatnya tiada bangsa dengan pergerakan marxisme yang bersifat perjuangan internasional? Dapatkah islamisme itu bekerja sama dengan nasionalisme yang mementingkan bangsa dengan materialisme marxisme yang mengejar perbendaan?” 8

Bernhard Dahm, sebagai penulis biografi pemikiran kritis Soekarno gelombang pertama, terkesima dengan upaya Soekarno yang dapat melihat persamaan atau sisi kerja sama dari tiga 9 ideologi saling bertentangan itu. Bahkan, Dahm menyimpulkan bahwa sinkretisme Jawa Soekarno yang melihat fenomena sebagai kesatuan merupakan latar belakang pemikiran tersebut. Sementara itu, dalam tulisannya tentang power dalam kebudayaan Jawa, Benedict Anderson berpendapat “kesatuan sendiri dalam konsep Jawa adalah central symbol of power”.10 Namun, Onghokham dan Taufik Abdullah melihat hal tersebut dengan sudut pandang berbeda. Onghokham menduga bahwa kreativitas pemikiran Soekarno lebih menekankan pada front nasional atau front anti-penjajahan, sedangkan Taufik Abdullah lebih melihat bahwa Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dalam Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi (Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 3. 9 Dahm, Soekarno dan Perjuangan..., hal. 77-79. 10 Benedict R’OG Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal.22.

265

Soekarno dalam artikelnya itu tidak ingin melihat penekanan landasan setiap ideologi, tetapi 11 “tabiat” dan tujuan sosial politik mereka. Tabiat Islam adalah tabiat sosialistis dan tujuan politik Islam adalah mewujudkan masyarakat berkeadilan yang tidak jauh berbeda dengan golongan nasionalis ataupun marxisme. Dalam fase selanjutnya, tahap marhaenis (marxis) 1932-1933, Soekarno memperkenalkan sebuah konsepsi yang disebut marhaenisme. Sebelumnya, kata marhaen atau marhaenisme ini tidak dikenal sama sekali dalam kamus politik Indonesia. Orang mulai mendengar “kata” itu dalam pidato pembelaan Soekarno saat menjelaskan tentang imperialisme Belanda terhadap masyarakat “Indonesia” yang menurutnya khas masyarakat wong cilik, “ia adalah pergaulan hidup yang terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum nelayan kecil pendek kata kaum kromo 12 dan kaum marhaen yang apa-apanya kecil”. Asas-asas pemikiran marhaenisme ini diwujudkan dalam tesis sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi setelah dengan kritis Soekarno menelanjangi sejarah demokrasi, kapitalisme dan borjuasi Barat. Pada masa inilah Soekarno meninggalkan pemikiran tentang Islam; Islam pada taraf ini bukan dipandang sebagai landasan tapi perjuangan mewujudkan kemerdekaan bagi kalangan Islam dan Kristen. Walaupun pernah menulis tentang persatuan antara nasionalisme, islamisme, dan marxisme, dia tetap menekankan perjuangan dari diri sendiri “jangan menanti bantuan dari kapal Moskow atau khalifah 13 Istanbul”. Menjelang tahun 1940, saat dibuang ke Endeh, Flores, Soekarno merasa kesepian; menderita kesunyian lahir dan batin. Pada

8

B U K U

Kata Pengantar Onghokham, “Soekarno: Pemikir atau Politikus?”, dalam Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan….; Taufik Abdullah, “Sebuah Klasik dan Sebuah Tragedi”, dalam Majalah Tempo, 10 Juni 2001. 12 Dahm, Soekarno dan Perjuangan..., hal. 175. 13 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution..., hal. 91. 11


266

Prisma Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013

periode 1934-1941 (islamis) inilah Soekarno melakukan “pertobatan” dan mempelajari Islam secara serius. Pertemanannya dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Persis yang begitu dihormatinya membawa kesan tersendiri yang terdalam terhadap ajaran Islam. Saat diasingkan inilah Soekarno sering meminta Hassan mengirimkan buku dan brosur tentang Islam seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, A Muchtar, Debat Talqien, Al Burhan, Shahih Buchari, dan lain-lain. Namun bukan namanya Soekarno bila dia menerima suatu ajaran begitu saja. Dia malah berdialog kritis dengan bukubuku tersebut, termasuk dengan Hadits Bukhori yang sahih. Dalam suratnya yang ketiga dan ditujukan kepada Hassan, dia mengatakan bahwa “Hadits yang daif dan palsu membuat dunia Islam menjadi mundur, agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid’ah dan antirasionalisme. Padahal, tidak ada agama yang lebih rasional daripada Islam”.14 Akibat suratnya yang provokatif, Hassan menegur Soekarno bahwa yang dilakukannya tersebut termasuk bid’ah. Di suratnya yang kesembilan Soekarno dengan bahasa lebih santun berbicara bahwa dirinya bukan mempermasalahkan kesahihan Hadits namun menurutnya “bukan saja Islam harus kembali kepada Quran dan Hadits tetapi kembali kepada Quran dan Hadits dengan “mengendarai kendaraannya pengetahuan umum”.15 Saat dipindahkan ke pengasingan di Bengkulu, Soekarno “tergila-gila” menekuni pemikiran modernisme Islam yang mendukung kebebasan berpikir dan rasionalisme dalam mengkaji agama. Pemikiran modernis Soekarno tercermin saat dia beserta istri meninggalkan rapat Muhammadiyah di Bengkulu. Dia melancarkan protes karena peserta rapat yang laki-laki dan perempuan dipisah dengan menggunakan tabir pemisah. Dalam wawancaranya dengan kantor berita Antara yang dimuat Pandji Islam, SoeSoekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh,” dalam Seokarno, Dibawah Bendera..., hal. 327. 15 Soekarno, “Surat-Surat Islam…”, hal. 337. 14

karno mengatakan bahwa Islam pada batinnya menyuruh laki-laki dan perempuan menjaga pandangannya, namun tidak diperintahkan bertabir! Masing-masing sudah bisa menjaga hati dan matanya sendiri-sendiri. Selanjutnya Soekarno menyatakan bahwa penggunaan tabir merupakan simbol perbudakan terhadap kaum perempuan. Perenungannya terhadap pemikiran-pemikiran modernisme Islam selama di pengasingan pada akhirnya mempunyai pengaruh luas di kalangan intelektual Islam.

Orientasi Islam Mohammad Natsir George McTurnan Kahin, yang dikenal dekat dengan Natsir, dalam artikel obituarinya mengatakan bahwa “Natsir tidak diragukan lagi merupakan pemikir sekaligus politisi Islam paling berpengaruh sejak era postwar di Indonesia. Dari sifatnya yang sangat rendah hati dan bersahaja, dia mempunyai reputasi yang baik pada integritas dan kejujurannya dalam berpo16 litik”. Sedangkan dalam tipologi yang dibuat Deliar Noer, “Islam tradisionalis” dan “Islam modernis”, Natsir merupakan tokoh utama da17 lam pergerakan modernisme Islam. Meskipun demikian, Natsir dikenal sebagai pribadi sederhana. Tidak lama setelah menyerahkan dan mengundurkan diri dari jabatan sebagai perdana menteri pada akhir April 1951, dia pulang ke rumah dengan dibonceng sepeda oleh asistennya. Bahkan, saat menjabat perdana menteri, menurut pengakuan Kahin, Natsir hanya memiliki satu helai baju yang selalu dipakainya dalam setiap pertemuan kenegaraan. Natsir lahir di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sebuah tempat yang memiliki nuansa religius amat kental. Pada awal abad ke-20, alam Minangkabau menjadi tempat persinggungan dua gerakan besar Islam, di satu George McTurnan, Kahin, “In Memorian: Mohammad Natsir (1907-1993)”, dalam Indonesia, No. 56 (1993), hal. 156-185. 17 Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982). 16

B U K U


Wildan Sena Utama, Negara (dan) Islam

sisi gerakan yang ingin memurnikan kembali ajaran Islam dan gerakan yang berusaha menyediakan religious basis untuk perubahan sosial di sisi lain.18 Dalam pandangan Allan Samson, gerakan-gerakan terutama purifikasi Islam lebih berakar di tanah Sumatera dan Sulawesi Selatan daripada Jawa, tempat pertumbuhan kultural dan percampuran animisme, Brahmanisme, Budhisme menipiskan nilai-nilai Islam.19 Selain itu, gerakan modernisme Islam yang banyak dipengaruhi gerakan pembaruan Islam Mesir, di antara tokoh-tokohnya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, mewarnai pemikiran kaum islamis Sumatera Barat untuk menolak adat-istiadat yang tidak sesuai dengan pemahaman Islam. Walaupun gerakan ini menimbulkan perubahan positif di kalangan umat beragama di Minangkabau, namum sempat menimbulkan distorsi identitas dalam masyarakat Minangkabau. Perjumpaan intelektual dengan berbagai aliran gerakan Islam di tempat kelahirannya, membuat Natsir mempunyai latar belakang agak berbeda dengan Soekarno. Pergumulannya dengan Islam berlanjut ketika Natsir menempuh pendidikan MULO meskipun bersifat sosial edukatif. Dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond cabang Padang yang melahirkan tokoh-tokoh politik Islam terkenal di masa depan seperti Mohammad Roem, Prawoto Mangkoesasmito dan Jusuf Wibisono. Usai menamatkan MULO, Natsir melanjutkan pendidikan di AMS Bandung. Di kota itulah dia mulai mendalami pemikiran Barat serta sejarah peradaban Islam. Saat menginjak usia 21 tahun dia telah menguasai bahasa Belanda, Arab, Inggris, Perancis, dan Latin. Semasa di Bandung, dia semakin intens melakukan perjumpaan intelektual dan terpengaruh modernisme Islam. Mula-mula dia bergabung dengan PerTaufik Abdullah, “Modernization in Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of Twentieth Century”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics..., hal. 181 19 Allan A Samson, “Islam in Indonesian Politics”, dalam Asian Survey 8, No. 12 (1968), hal. 1001-1017. 18

B U K U

267

satuan Islam (Persis) yang dipimpin Ahmad Hassan, Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus yang mendirikan organisasi ini setelah sering bertemu dalam pertemuan membahas keagamaan. Perkenalannya dengan Hassan, tokoh yang juga dikagumi Soekarno, sedikit banyak memengaruhi alam pemikiran Natsir tentang gerakan modernisme Islam. Hassan adalah salah seorang tokoh militan yang mendukung prinsip-prinsip Islam melalui pamflet, tulisan dan brosur. Menurut Kahin, dalam organisasi Persis itulah Natsir memperoleh dua hal penting, yaitu (1) Islam sebagai sistem sosial dan politik (2) Islam sebagai penyebar pengaruh mendalam di 20 kalangan perdesaan. Setahun setelah bergabung dengan Persis, Natsir bergabung dengan Jong Islamieten Bond Bandung yang dinahkodai Agus Salim. Dalam organisasi ini, dia belajar banyak tentang politik dengan mempelajari pidato politik dan tulisan-tulisan Agus Salim. Ada dua figur pemikir Islam non-Indonesia yang sangat memengaruhi pemikiran Natsir. Kedua tokoh itu ialah Muhammad Abduh dan 21 Muhammad Rasyid Ridha. Pemikiran Natsir mendapatkan pencerahan dari Abduh yang melihat Islam secara intrepretatif agar bisa mengikuti perubahan, namun tetap dalam batasbatas yang wajar. Gagasan Abduh yang sangat mengilhami Natsir adalah Islam sebagai social system, social values dan social justice. Sedangkan Ridha yang merupakan murid Abduh melihat Islam mesti ditegakkan dalam sebuah sistem negara. Dalam pandangan politik Ridha, perlu adanya pembentukan kembali sistem 22 kekhilafahan dalam Islam. Natsir tidak secara kaku menginginkan kembali pembentukan khilafah Islam, namun pemikiran Ridha tentang penyatuan Islam dan negara diterimanya secara matang. Dua pemikiran tersebut banyak berkeKahin, “In Memoriam: Mohammad Natsir...”, hal. 160. 21 Kahin, “In Memoriam: Mohammad Natsir...”, pengakuan Natsir kepada Kahin. 22 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hal. 39. 20


268

Prisma Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013

lindan dalam pusaran pergulatan intelektual Natsir sebagai pemikir Islam, sehingga menjadi begitu gamblang ketika dia mengkritik Soekarno tentang masalah rasionalisme dalam Islam. Natsir mendukung relasi antara rasio dan Islam, namun dia menilai rasionalisme Soekarno telah “kebablasan”: Akal merdeka dapat memperkuat dan memperteguh iman kita, akal merdeka dapat membersihkan agama dari kutu-kutu yang berbahaya dan bertentangan dengan agama, tapi akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang agama itu melemparkan hudud dan melangkahi batas...agama datang untuk mengalirkan akal menurut aliran yang benar, jangan melantur ke sana ke mari, merompak pagar dan pematang, Islam bukan datang melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda di tengah padang, untuk merajalela di sekitar lapangan”.23

Perdebatan Negara Islam Ahmad Suhelmi dalam bukunya mengatakan bahwa polemik mengenai hubungan negara dan Islam “dipicu” oleh sebuah artikel yang ditulis Soekarno di Pandji Islam pada 1940. Judul tulisan tersebut adalah “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”. Namun, sebelumnya Soekarno pernah menulis sebuah ikhtisar penting dalam melihat masalah itu. Tulisan tersebut berjudul “Me-Muda-Kan Pengertian Islam”. Soekarno mengawali tulisannya itu dengan kata-kata “perlu kiranya agama itu di her-orientatie, ditelaah, dikoreksi kembali, dipikirkan kembali, diijtihadkan kembali – diper24 mudakan”. Tujuannya agar Islam bisa menyesuaikan doktrin-doktrim keislaman dengan realitas yang dihadapi negara sekarang. Soekarno kemudian membandingkan keadaan Lihat, Mohammad Natsir, “Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berpikir”, dalam Mohammad Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 24 Soekarno, “Me-Muda-Kan Pengertian Islam”, dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 372. 23

Islam di India, Arab dan Turki. Setelah itu dia mencontohkan Islam Turki sebagai sesuatu yang “pas” untuk diterapkan di Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa di Turki agama negara dihapuskan dan menjadikan agama sebagai urusan privat. Namun, itu bukan berarti Turki menghapus Islam sebagai agama; hal ini diserahkan sepenuhnya kepada individuindividu manusia Turki. Selanjutnya bahasan tentang relasi Islam dan negara ditelah lebih rinci dalam artikel “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara.” Ada beberapa poin penting dalam pemikiran Soekarno atas relasi Islam dan negara dalam artikel itu: (1) Islam harus dipisahkan dari negara; (2) tidak ada konsep negara Islam; dan (3) Islam tetap penting dalam domain kehidupan bukan kenegaraan. Dalam melihat pentingnya sekularisasi dilakukan dalam sebuah negara, Soekarno mengutip pernyataan Mustafa Kemal Ataturk yang provokatif, “saya merdekakan Islam dari ikatannya negara, agar Islam bukan tinggal agama yang memutar tasbih di dalam masjid saja, tetapi menjadilah suatu gerakan yang membawa kepada perubahan”.25 Selanjutnya Soekarno berkomentar bahwa pemisahan agama dari negara akan membuat agama itu menjadi kuat, dan pemisahan negara dari 26 agama agar negara itu bisa menjadi kuat. Apa yang dilakukan Kemal seperti itu, menurut Soekarno, menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam, namun sejarah yang akan membuktikan dampak dari tindakan Kemal tersebut. Tidak relevannya gagasan negara Islam menurut Soekarno juga karena gagasan ini bukan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Menurutnya, Nabi dulu hanya mendirikan satu agama saja bukan mendirikan negara berlandas agama, bukan pula kewajiban mendirikan satu pemerintahan khilafah atau satu kepala umat Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 405. 26 Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara,” dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 406. 25

B U K U


Wildan Sena Utama, Negara (dan) Islam

buat urusan negara.27 Banyak ulama mengatakan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan negara agama. Selain berdasarkan pandangan historis, Soekarno membandingkan beberapa negara Barat dan negara jajahan yang memisahkan urusan agama dari negara. Dia mengatakan “terpisahnya negara dan agama bukan di Turki saja, di Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris, AS, di negara koloni juga Islam tidak di tangan negara ... Islam di India tidak menjadi satu 28 dengan negara India”. Soekarno juga melihat realitas negara Indonesia yang heterogen. Kemajemukan negara ini akan cidera bila Islam diterapkan secara ketat. “Asas persatuan negara dan agama bagi negeri yang penduduknya tidak 100% Islam tidak bisa berbarengan dengan demokrasi. Buat negara demikian itu hanyalah dua alternatif: persatuan negara-agama, tetapi zonder demokrasi, atau demokrasi tetapi negara 29 dipisahkan dari agama”. Bila Islam diterima sebagai dasar negara, ditakutkan akan terjadi perpecahan di kalangan rakyat Indonesia. Banyak daerah di Indonesia, seperti Maluku, Bali, Flores, Sulawesi Utara, dan Irian Barat, tidak mayoritas Islam (hal. 81). Menanggapi pemikiran Soekarno tersebut, Natsir berpendapat bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Islam harus menjadi landasan negara. Negara adalah alat untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Natsir berpegang teguh pada apa yang dikatakan Quran agar setiap orang yang beriman kepada Allah mengatur seluruh aspek kehidupan secara islami. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” Prinsip lain yang dipegang Natsir sebagai seorang Islam yang taat, “Dan kami tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyemSoekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 406. 28 Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara,” dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 407. 29 Soekarno “Saya Kurang Dinamis”, dalam Sukarno, Dibawah Bendera..., hal. 452. 27

B U K U

269

bah Aku.” Dari pemahaman ini menurut Ahmad Syafii Maarif, Natsir ingin menjadi hamba Allah yang sepenuhnya, yakni hamba yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. 30 Dengan demikian, seorang muslim tidak bisa melepaskan keterlibatannya begitu saja dalam politik tanpa memberikan ruang bagi Islam. Ketika berpolemik dengan Soekarno, Natsir mengkritik Soekarno yang dinilai gagal menggambarkan negara Islam yang sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki menurut Soekarno adalah negara Islam, tetapi Natsir menilai kekhalifahan itu tidak mencerminkan negara Islam sebab membiarkan rakyat dibelenggu kebodohan dengan memakai Islam dan segala ibadatnya sebagai tameng belaka. Sesungguhnya Islam dan negara tidak pernah bersatu seperti yang dikritik Kemal dan Soekarno, sehingga Islam mesti dipisahkan dari negara agar negara menjadi kuat. Natsir mengatakan “pemerintahan yang zalim dan bobrok seperti di Turki Bani Usman itu bukanlah contoh agama dan negara bersatu. Pemerintahan seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya yang dikatakan oleh Ir Soekarno, sebab memang agama sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu” (hal. 71). Dalam polemik tentang negara Islam, ada sesuatu yang menarik dari pandangan Natsir. Dia mengatakan bahwa dalam negara yang berisi nilai-nilai Islam, gelar khalifah tidak menjadi syarat mutlak. Yang lebih utama adalah kepala negara yang memerintah sebuah negara sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan peraturan Islam dengan semestinya, baik dalam kaidah maupun praktik. Apa yang dikhawatirkan Natsir sebenarnya adalah apabila Islam dipisahkan dari urusan negara maka yang terjadi adalah hukum Islam ditinggalkan. Bagaimana undang-undang Islam dapat berlaku apabila tidak ada kekuasaan negara yang melaksanakan agar undang-undang 30

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 130.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.