Resensi buku kapitalisme indonesia 10 32

Page 1

Achmad Choirudin, Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Jalan

121

Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Zaman Judul: Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia Judul asli: Indonesia: The Rise of Capital (1986) Penulis: Richard Robison; Penerjemah: Harsutejo Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, 2012 Tebal: xxx + 346 halaman ISBN: 978-602-9402-09-4

P

erekonomian global kini tengah berjalan gontai. Setelah menerjang pusat perekonomian dunia (Amerika Serikat) pada 2007, krisis kapitalisme kini menjalar ke seluruh penjuru Eropa. Karl Marx memang bukan sedang meramal saat menegaskan bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi di dalam dirinya. Namun, ketika dunia perekonomian global tengah dirundung “derita�, pemerintah Indonesia justru menyiarkan kabar gembira. Dengan mengutip laporan ekonomi makro, para birokrat di negeri ini dengan bangga menyiarkan melalui pelbagai media bahwa meski perekonomian dunia mengalami krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester pertama tahun 2012 lebih baik dibandingkan dengan semester pertama tahun

B U K U

2011 yang tumbuh sebesar 1 6,3 persen. Namun, menurut peneliti dan pengamat ekonomi di Institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong anomali karena tidak diikuti peningkatan kesejah2 teraan masyarakat. Ada empat faktor yang menyebabkan anomali tersebut. Pertama, ekonomi Indonesia digerakkan oleh akumulasi utang luar negeri yang terus meningkat hingga mencapai Rp 2.870 triliun. Utang merupakan sum1

2

Berita Resmi Statistik No. 54/08/Th. XV, 6 Agustus 2012. Lihat, http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2012/08/07/07451589/Pertumbuhan. Ekonomi. Indonesia. Anomali.


122

Prisma Vol. 32, No. 1, 2013

ber pendapatan utama pemerintah dan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat akibat naiknya harga sandang dan pangan, serta ditopang oleh pertumbuhan kredit konsumsi. Ketiga, pertumbuhan ekonomi didorong oleh ekspor bahan mentah seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, yang tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Keempat, pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi asing yang membuat sumber daya alam semakin dikuasai pihak asing. Karena perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan kapitalisme global, perbincangan seputar dampak krisis kapitalisme global terhadap negeri ini pun tampil meruyak. Kapitalisme memang selalu mengandung masalah, terlebih bagi Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga yang “membangun” kapitalisme dengan lompatan-lompatan instan dan berdarah-darah. “Cacat” tersebut bukan gejala spontan akibat krisis kapitalisme global: ia dibentuk oleh perjalanan berliku jauh sebelum negara-bangsa bernama Indonesia lahir. Buku terjemahan Indonesia: The Rise of Capital karya Richard Robison dengan judul Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia ini bisa menjadi peta untuk menelusuri perjalanan itu. Karya profesor emeritus sekaligus Professor of Politics and International Studies di Murdoch University, Australia, yang dilarang beredar semasa Orde Baru Soeharto itu banyak dirujuk sebagai studi ekonomi-politik yang kali pertama mengupas relasi kelas dan negara Orde Baru. Tesis yang diajukan Robison: kelas kapitalis domestik dan kapital negara merupakan faktor penentu dalam revolusi kapitalisme di Indonesia. Pertentangan antara kapital domestik dan asing, pribumi dan nonpribumi (Tionghoa), pedagang dan industriawan, serta relasinya dengan pembentukan kekuasaan negara menjadi gambaran pokok studi ini (hal. xv). Berangkat dari asumsi bahwa kekuatan paling revolusioner di Dunia Ketiga adalah kapitalisme (dan bukan sosialisme), studi Robison

ini menyingkap realitas kapitalisme negara Orde Baru yang tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor historis yang membentuknya. Struktur masyarakat prakolonial, dampak kolonialisme terhadap struktur sosial dan ekonomi, pembentukan sekaligus penghancuran kelaskelas di bawah kolonialisme, sifat konflik politik pascakolonial, relasi dengan ekonomi internasional, dan pembukaan serta eksploitasi berbagai sumber daya alam, merupakan faktorfaktor yang membentuk watak kapitalisme negara Orde Baru (hal. xiii). Warisan kolonial seperti apa yang akhirnya membentuk watak kapitalisme negara republik? Bagian-bagian awal buku ini menjawab pertanyaan penting tersebut. Pertama, kegagalan kaum borjuasi pribumi pemilik tanah. Hal ini disebabkan oleh hubungan mesra di antara negara kolonial Hindia-Belanda dengan para penguasa pribumi feodal. Penguasa pribumi lebih menikmati pajak, upah, upeti dan sewa untuk mengongkosi politik rumah tangga ketimbang mementingkan akumulasi kapital dan peningkatan produksi untuk menumbuhkembangkan borjuasi pribumi (hal.11). Pola demikian mewariskan dan memperkuat watak patrimonial. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda mengeksploitasi tanah jajahan dengan menerapkan sistem tanam paksa terhadap kaum tani di perkebunan besar swasta. Proses ini memperkukuh dominasi perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dalam produksi tanaman komersial, seperti tebu dan kopi, sehingga menghambat transformasi masyarakat pedalaman untuk menjadi petani kapitalis serta kaum proletar yang kuat (hal. 13). Kedua, dominasi borjuasi “nonpribumi” (Tionghoa) di bidang perdagangan dan manufaktur. Keterpisahan di antara golongan nonpribumi (Tionghoa) dengan pribumi (hal. 15),3 ke3

Dalam buku ini ada beberapa kekeliruan penerjemahan. Bukan golongan Tionghoa yang digambarkan terpisah secara politik dari penduduk pribumi, tetapi Belanda. “Terdapat manfaat yang jelas dengan menggunakan golongan nonpribumi sebagai pengumpul barang dan operator B U K U


Achmad Choirudin, Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Jalan

tekunan, dan pertalian keluarga bersifat eksklusif di kalangan nonpribumi dalam perdagangan banyak menguntungkan prinsip efisiensi perekonomian kolonial. Sebaliknya, melalui VOC, kolonialis Belanda menyerahkan kepada golongan Cina hampir semua hak monopoli perdagangan seperti pajak pertanian, pungutan jalan, pasar, pengumpulan dan penjualan garam, pemotongan hewan, bea masuk, dan lain-lain. Dominasi golongan Cina ini membuat perkembangan para pedagang pribumi menjadi sangat terbatas (hal. 17). Di bidang manufaktur, misalnya, kapitalis pribumi hanya berada pada produksi manufaktur skala kecil, sedangkan kapitalis nonpribumi (Tionghoa) menguasai industri skala menengah bahkan skala besar. Akibatnya, para pedagang kecil pribumi tetap mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan meningkatkan usaha. Ketiga, Depresi Besar tahun 1930-an yang mengakibatkan kemerosotan dramatis hasil sektor perkebunan, terutama gula di Jawa dan karet di Sumatera, membuat peran modal asing di luar Belanda seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang semakin signifikan untuk investasi di sektor tambang dan manufaktur skala besar. Kelas kapitalis yang mendominasi perekonomian Indonesia hingga akhir masa kolonial 4 adalah orang-orang Belanda, namun kapital

4

monopoli: Belanda terpisah dari penduduk setempat yang membuatnya secara politik lebih aman dan bebas (hal. 15).” Versi aslinya, “Chinese merchants fared better uder the VOC, which them as an intermediary economic force in the proccess of mercantile extraction. There was obviously advantages in using non-indigenous people as collectors and operators of monopolies: their insulation from the local population made them politically vulnerable and dependent... (hal. 19).” Kalimat pertama paragraf ke-3 halaman 23 buku terjemahan ini agak membingungkan: “The dominant element of the capitalist class in Indonesia at the end of the colonial period was Dutch.. (lihat, versi asli halaman 29)” dialibahasakan menjadi “Elemen dominan kelas kapitalis di Indonesia pada periode berakhirnya periode kolonial Belanda...”

B U K U

123

Belanda terbukti tidak mampu memberi dan menyumbang basis akumulasi kapital bagi restrukturisasi kapitalisme Indonesia mengiringi perkembangan sumber daya dan industrialisasi. Perkembangan sosial dan struktur ekonomi yang tidak merata serta lemahnya borjuasi domestik tersebut akhirnya “mewariskan” kekosongan ekonomi politik kapitalis Indonesia. Kevakuman ini sangat signifikan terhadap posisi strategis dan otonomi relatif negara pascakolonial dalam relasinya dengan konsolidasi kelas kapitalis. Pada bagian berikutnya, khususnya terkait dengan proses kapitalisme, Robison membagi negara pascakolonial Indonesia menjadi dua periode, yakni masa Demokrasi Parlementer 1949–1957 (Bab 2) dan Demokrasi Terpimpin 1958–1965 (Bab 3). Dalam periode pertama, Demokrasi Parlementer, negara memiliki derajat otonomi relatif tinggi. Tidak ada satu pun partai politik di kabinet yang dinilai cukup mewakili dan mengusung kepentingan kelas tertentu secara terpadu (hal. 29). Karena itu, negara mengambil peran sangat besar dalam mengendalikan pembangunan ekonomi. Kemandirian ekonomi nasional hendak dicapai melalui peran sentral kapital negara, pengurangan kapital asing, perlindungan kapital pribumi sekaligus membatasi partisipasi kapital golongan Tionghoa. Pada 1950, Kabinet Natsir menerapkan kebijakan Program Benteng sebagai upaya untuk menumbuhkan kapitalis pribumi, khususnya importir, dengan memberikan hak-hak istimewa berupa lisensi sekaligus membatasi keterlibatan pengusaha Tionghoa. Namun, strategi ini berjalan tidak sesuai dengan harapan pemerintah. Sebagai contoh, kredit senilai Rp 665 juta yang dikucurkan BNI dan BIN pada 1956 sebagian besar tidak terbayar kembali (hal. 33), karena banyak digunakan untuk kepentingan “lain”. Watak patrimonial juga berkembang subur. Lisensi, kredit, dan konsesi disalurkan ke pelbagai perusahaan milik sanak saudara atau sekutu politik; sebagian besar digunakan untuk menjalin dan membangun kemitraan ekonomi di antara partai politik, para birokrat,


124

Prisma Vol. 32, No. 1, 2013

individu, dan grup bisnis, di antaranya golongan Tionghoa (hal. 38). Robison menggambarkan bagaimana partai politik yang berkuasa bisa membangun kerajaan bisnis serta menjalin hubungan bisnis dengan kaum kapitalis swasta pribumi (hal. 38-45). Namun, kabinet yang jatuh-bangun dalam tempo relatif cepat membuat bisnis berlandaskan patrimonial itu amat rentan dan tidak pasti. Di sisi lain, banyak kapitalis pribumi yang telah memperoleh lisensi impor ternyata tidak menjalankan usaha impor, melainkan menjualnya kepada importir “sebenarnya” yang umumnya pengusaha Tionghoa. Ketidakberhasilan Program Benteng dalam menumbuhkan sekaligus memperkuat kapitalis pribumi tersebut kemudian “membelah” perpolitikan domestik menjadi dua kubu yang saling berseberangan. Partai Sosialis Indonesia (PSI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) sayap moderat, mewakili kubu yang menuntut diakhirinya semua fasilitas dan subsidi yang selama ini diberikan kepada kapitalis pribumi. Mereka menghendaki Indonesia dibuka selebar mungkin bagi penanaman modal asing sebagai sumber utama akumulasi. Di sisi lain, PNI sayap kiri, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden Soekarno menghendaki nasionalisme ekonomi dipandu oleh kapital negara. Perdebatan tersebut akhirnya dimenangi kubu “nasionalisme ekonomi”. Tidak lama setelah itu, Presiden Soekarno dengan dukungan penuh militer mengganti sistem demokrasi parlementer dengan Demokrasi Terpimpin dan melaksanakan Ekonomi Terpimpin melalui tiga strategi utama, yakni subordinasi kapital asing dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan asing, sentralisasi kapital negara melalui badan-badan usaha milik negara (BUMN), serta mengubah perekonomian impor/ekspor dengan ekonomi berdikari. Perusahaan-perusahaan dagang milik Belanda yang dinasionalisasi kemudian bergabung membentuk “delapan besar” dan mendapatkan monopoli impor tiga belas komoditas, termasuk 9 bahan kebutuhan pokok hidup. Mereka me-

nguasai 70 persen komoditas impor (hal. 59). Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi tidak diserahkan ke pengusaha-pengusaha swasta pribumi maupun Tionghoa. Sementara BUMN mendominasi perekonomian nasional, negara mengontrol gerak kapital swasta domestik melalui Gabungan Pengusaha Swasta (GPS) dan Organisasi Pengusaha Swasta (OPS). Selain itu, juga dibentuk Badan Musyawarah Nasional (Bamunas) sebagai saluran resmi koordinasi antara pelaku bisnis dengan pemerintah dan perwakilannya (hal. 64). Kapitalis swasta domestik yang bisa melanjutkan usaha dalam iklim seperti itu hanyalah mereka yang pernah mendapatkan akses pada masa Program Benteng, seperti Rahman Tamin, TD Pardede, Agoes Dasaad, Ir Aminuddin, Bram Tambunan, Jenderal Almunir, RM Notomihardjo, HA Ghany Aziz, Omar Tusin, Soedarpo Sastrosatomo, Panggabean, Titiheru, Markam, Hasjim Ning, Moh Tabrani, Wahab Affan, Swarma, Aslam, dan Mardanus (hal. 65 dan 70). Pola patrimonial kian mengental dengan meleburnya militer ke dalam politik dan ekonomi. Diawali perintah Jenderal AH Nasution bahwa semua perusahaan Belanda yang secara sepihak diambil alih kaum buruh harus segera diserahkan, diawasi, dan dikelola militer. Saat undang-undang tentang nasionalisasi diterbitkan pada 1958, militer, khususnya Angkatan Darat, sudah menguasai bank-bank dan perkebunan besar bekas milik Belanda, distribusi beras, alokasi valuta asing, serta perusahaan tambang minyak bumi di Sumatera Utara. Sejumlah petinggi militer juga memegang posisi kunci di birokrasi. Kolonel Suprajogi, misalnya, didapuk menjadi Menteri Stabilisasi Ekonomi serta memimpin sebuah badan yang mengontrol nasionalisasi (Banas); Jenderal Baramuli mengetuai Badan Pengawas Perusahaan Daerah, sebuah lembaga yang mengawasi nasionalisasi di daerah, bersama para gubernur yang umumnya dijabat perwira militer; Letnan Kolonel Suhardiman yang menjabat Ketua SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia) diangkat menjadi salah seorang direktur B U K U


Achmad Choirudin, Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Jalan

BUMN (hal. 76). Mereka ini kelak dijuluki “kapitalis birokrat”. Menurut Richard Robison, Ekonomi Terpimpin yang dicanangkan Presiden Soekarno gagal membangun ekonomi nasional, baik melalui kapital negara maupun kapital swasta pribumi. BUMN sendiri menghadapi sejumlah masalah manajerial: kurangnya manajer yang terlatih dan jabatan pimpinan perusahaan cenderung ditunjuk berdasarkan relasi politik yang dapat memastikan porsi ekonomi pihak militer dan partai politik (hal. 61). Selain itu, sebagian besar manajer perusahaan-perusahaan negara yang dijabat kalangan militer kerap bertindak 5 gegabah dan korup. Pada April 1965, Presiden Soekarno melarang pelaku bisnis swasta melakukan impor barang, kecuali atas nama pemerintah. Mereka didesak keluar dari bidang perdagangan impor dan beralih ke bidang produksi barang ekspor. Namun, pemerintah tidak mampu meningkatkan ekspor komoditas pertanian dengan pola “kapitalisme industri nasional” lantaran tidak berhasil memupuk modal yang diperlukan bagi produksi industri serta gagal menyediakan infrastruktur yang memadai. Merosotnya pendapatan ekspor serta meningkatnya pinjaman luar negeri dan impor menyebabkan krisis neraca pembayaran. Pendapatan ekspor merosot dari 750 juta dollar AS pada 1961 menjadi 450 juta dolar AS pada 1965. Pada saat yang sama, utang luar negeri Indonesia telah mencapai lebih dari 2.000 juta dolar AS (hal. 60). Krisis tersebut mengantar tumbangnya Demokrasi Terpimpin Soekarno. Malapetaka 30 September 1965 menjadi penanda awal memudarnya negara Orde Lama. Soekarno digulingkan. Militer mengambil alih negara. Negara Orde Baru lahir dengan mendapuk Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Cita-cita sosialis ala Soekarno kandas. Bandul perekono5

Terdapat kekeliruan penulisan angka tahun pada halaman 60 buku ini. Pernyataan Presiden Soekarno tentang Program Berdikari disampaikan pada 1965, bukan 1964.

B U K U

125

mian sosialisme-nasionalis berbalik arah menuju orientasi pasar bebas yang dipandu oleh prinsip laissez-faire. Negara Orde Baru mengintegrasikan perekonomian Indonesia ke dalam jejaring kapitalisme internasional. Konsekuensinya, Orde Baru dituntut untuk merawat dan melanggengkan kapitalisme dengan menjadi fasilitator dalam mengonsolidasikan kelas-kelas kapitalis. Bagaimana negara Orde Baru mengonsolidasi dan memfasilitasi kelas-kelas kapitalis itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi inti dari buku ini. Dengan mendasarkan analisis pada teori otonomi relatif negara (hal. 92–95), Richard Robison menyatakan bahwa negara Orde Baru memiliki otonomi relatif terhadap kepentingan kelas-kelas kapitalis — pribumi, Tionghoa, dan asing — untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus melestarikan sistem kapitalisme. Robison memetakan beberapa faksi kelas kapitalis, birokrat, dan sosial dalam dimensi konflik ideologi, politik dan ekonomi terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru. Secara ringkas, konsolidasi kelas kapitalis tempat negara Orde Baru “berperan” sebagai fasilitator sarat berisi konflik kepentingan kelas-kelas di bawah ideologi ortodoks kapitalis liberal, nasionalisme ekonomi negara, reformisme liberal, dan nasionalisme borjuasi kecil (lihat, Tabel 5.1, hal. 106). Sementara kapitalis yang berkonsolidasi adalah kapital negara, kapital asing dan kapital swasta domestik pribumi dan Tionghoa. Pada awal Orde Baru, teknokrat Bappenas, militer, dan Suharto yang bernaung di bawah idelogi ortodoks kapitalis liberal memegang kendali. Guna mengintegrasikan kapital Orde Baru dengan kapitalisme internasional, di bawah teknokrat Bappenas, pemerintah menerapkan resep IMF, IBRD dan IGGI. Pinjaman luar negeri dalam bentuk kredit impor mengalir deras dan memungkinkan investasi di sektor industri. Kebijakan industrialisasi substitusi impor kemudian diintensifkan selama Repelita I (1969–1974). Sebelum itu, investasi kapital internasional dan domestik dilegitimasi dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang diterbitkan


126

Prisma Vol. 32, No. 1, 2013

pada Januari 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada Juli 1968. Pencanangan Repelita I dan pemberlakuan UU PMDN memang dimaksudkan untuk memproteksi kapital swasta pribumi, namun pada kenyataannya kapital asing tetap mendominasi. Dominasi kapital asing ini menuai kritik dari sejumlah kalangan yang mengusung ideologi nasionalisme ekonomi negara. Pakar ekonomi Panglaykim dari kelompok Center for Studies dan International Studies (CSIS), misalnya, menekankan diterapkannya Nationally Integrated Economic (NIEU), sebuah struktur ekonomi yang dikoordinasi negara melalui kombinasi antara kekuatan sumber daya kapital negara dan potensi bisnis swasta dengan membangun raksasa ekonomi nasional dalam upaya mengimbangi kekuatan raksasa ekonomi asing (hal. 117). Sementara di jalur birokrasi, Operasi Khusus (Opsus) yang berada di bawah pimpinan Kolonel Ali Moertopo, dengan jelas mendukung intervensi negara sebagai poros pembangunan ekonomi terintegrasi ini. Meski tidak diakomodasi secara formal, model pembangunan seperti itu yang kemudian diterapkan. Hal demikian dimungkinkan berkat rezeki migas. Antara 1969/1970–1974/1975, pendapatan negara dari migas melonjak dari Rp 66,5 miliar menjadi Rp 957, 2 miliar (hal. 118). Pertamina menjadi pelopor terdepan akumulasi kapital negara. Di bawah Ibnu Sutowo, BUMN tersebut menanam investasi dan membiakkan sejumlah anak perusahaan di antaranya PT Krakatau Steel. Dalam konteks industrialisasi di bawah bimbingan negara inilah Robison membangun tesis bahwa kapitalisme negara tidak sekadar pelengkap kapital swasta melainkan juga pertanda bagi kemunculan kapital negara (hal. 165). Persoalannya, siapa saja yang pantas disebut sebagai kapital(is) swasta dan kapital(is) negara? Kontradiksi apa saja yang dimunculkannya? Pertama, kapitalisme negara kian memperkukuh posisi kapitalis birokrat. Para birokrat, terutama militer, memupuk dan mengembangkan kapital dengan membangun

bisnis bersama kapital pribumi, asing, dan Tionghoa. Dalam Bab 8 buku ini, secara detail Robison memaparkan grup-grup perusahaan yang dikelola kalangan tentara. Di antaranya PT Tri Usaha Bhakti (TUB), Yayasan Dharma Putera Kostrad yang dipegang Brigadir Jenderal Sofjar yang juga mantan Ketua Umum Kadin Pusat, PT Propelat milik Divisi Siliwangi, dan lain-lain. Mereka menguasai dan mengelola berbagai bidang usaha mulai dari perusahaan otomotif hingga konsesi hutan. Melalui usaha patungan dengan kapital asing dan Tionghoa, posisi militer sebagai pemilik kapital menjadi penting, baik kelembagaan maupun pribadi. Pemeliharaan kondisi yang tepat bagi akumulasi kapital akhirnya menjadi kepentingan politiknya sendiri (hal. 203). Kedua, menguatnya pola patrimonial dan terbatasnya akumulasi kapital pribumi. Dalam Bab 10, Robison membagi tiga kategori kelas kapitalis pribumi yang menonjol di era Orde Baru, yakni mereka yang “dilahirkan� oleh Program Benteng dan Ekonomi Terpimpin yang memiliki kaitan dengan PSI, antara lain, Soedarpo Sastrosatomo (Grup Soedarpo) dan Grup Sultan Hamengku Buwono IX; kaum birokrat yang membangun bisnis dengan kalangan swasta yang didominasi keluarga (misalnya, Grup Probosutedjo) dan kroni Suharto (umpamanya, Grup Ibnu Sutowo); dan kelompok kapitalis baru yang muncul dengan perlindungan politik dan birokrasi seperti Grup Poleko, Kosgoro, Grup Sahid, dan lain-lain. Ketiga, mencuatnya kelas kapitalis Tionghoa. Sebagaimana era sebelumnya, kapital Tionghoa telah mengakumulasi kapital dengan landasan sangat kokoh. Selain memiliki akses keuangan dan jaringan korporasi di luar negeri, kapital Tionghoa mampu melakukan integrasi ke tingkat korporasi internasional. Para perwira tinggi militer dan investor asing senantiasa diuntungkan oleh kapital Tionghoa. Saat bermitra dengan kapital asing di bawah PMA maupun investasi domestik di bawah PMDN, kapital Tionghoa selalu mendapat porsi lebih besar. Nilai PMDN pada 1972, misalnya, investasi kapital Tionghoa sebanyak 47 B U K U


Achmad Choirudin, Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Jalan

persen, sedangkan pribumi 38 persen dan sisanya (15 persen) kapital campuran (hal. 217). Di antara korporasi bisnis Tionghoa yang dikenal dekat dengan birokrat-politik dan Suharto (lihat, Tabel 9.1, hal. 221), Grup Astra milik William Soerjadjaya dan Grup Liem Sioe Liong terlihat paling menonjol. Konsolidasi berbagai kelas tersebut tidak dicapai begitu saja. Selain berhasil meredam kritik dan menjinakkan kelompok-kelompok reformis liberal Angkatan 1966 (hal. 123), rezim Orde Baru juga berhasil memberangus kritik Angkatan 1974 (Malari). Para pemimpin dan aktivis kedua angkatan tersebut banyak yang ditangkap, ditahan, dan dijebloskan ke dalam penjara. Beberapa surat kabar yang vokal menyuarakan kritik terhadap Orde Baru juga diberedel (hal. 128). Dalam konteks otonomi relatif, rezim Orde Baru membangun kapitalisme. Segala kebijakan ekonomi ditempuh dan diterapkan berdasarkan kehendak negara disertai dengan aksi represi terhadap kritik yang dianggap mengganggu akumulasi kapital. Sayangnya, selain hanya diuraikan sepintas di catatan kaki nomor 18 pada halaman 101, Robison tidak mengelaborasi lebih jauh kerangka teoretis otonomi relatif ini. Tanpa menelusuri dan menerangkan akar teoretis otonomi relatif, para pembaca yang tidak memiliki “bekal” cukup tentu akan sulit memahami isi buku ini. Salah satu kritik tajam terhadap karya Robison ini pernah dikemukakan Jeffrey A Winters. 6 Dalam essay review-nya, Winters menilai fokus Robison terombang-ambing di antara perspektif struktur negara dan perspektif masyarakat. Hal demikian tersua saat Robison menilai bahwa pada 1974 telah terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan perekonomian menuju industrialisasi di bawah komando negara seiring dengan melonjaknya pendapatan dari ekspor migas. Winters menyayangkan 6

Jeffrey A Winters, “Indonesia: The Rise of Capital”: a Review Essay”, dalam Indonesia 45 (April, 1988), hal. 109–128.

B U K U

127

mengapa faktor pendapatan (revenue-related factors) yang menyebabkan perubahan kebijakan perekonomian pada 1974 itu tidak menjadi fokus analisis Robison. Menurut Winters, Robison malah berkutat membedah penguatan borjuasi domestik bahwa perubahan mendasar kebijakan perekonomian tahun 1974 merupakan akibat dari misi borjuasi nasional yang berada di bawah tekanan kekuatan-kekuatan sosial atas nama reformisme nasionalis awal tahun 1970-an dan reformisme liberal Malari 1974. Padahal, melonjaknya pendapatan migas hanya digunakan untuk memperkaya negara dan aparatur negara, bukan untuk memerkuat borjuasi domestik. Pandangan Robison tentang kekuatan-kekuatan sosial yang memengaruhi kebijakan negara agaknya perlu diletakkan dalam kerangka teori strukturalisme-otonomi-relatif-negara. Robison, sebagaimana tersua dalam catatan kaki nomor 18 halaman 101, merujuk sebuah artikel berjudul “Beyond Relative Autonomy: State Managers as Historical Subjects” yang diterbitkan jurnal Socialist Register (1980) untuk menerangkan otonomi relatif. Sebagaimana diketahui, tulisan Fred L Block itu sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nicos Poulantzas, seorang ilmuwan marxis yang sering dirujuk dalam studi-studi otonomi relatif negara (strukturalisme). Dalam buku Political Power and Social Classes (1968), misalnya, Poulantzas menegaskan bahwa negara tidak serta-merta menjadi alat atau mewakili kepentingan ekonomi kelas-kelas dominan — dalam hal ini kelas kapitalis — tetapi kepentingan politik mereka, yakni “kohesi sosial”. Atas nama kepentingan umum, negara melanggengkan kapitalisme dengan mengontrol kelas-kelas sosial agar tidak mengganggu sistem kapitalisme itu sendiri. Jadi, pembahasan Robison tentang tekanantekanan kekuatan sosial — dalam hal ini reformisme nasionalis dan liberal — yang dikritik Winters sebagai society-centered merupakan konsekuensi dari elaborasi teori otonomi relatif negara, bukan keterombang-ambingan Robison dari state-centered.


128

Prisma Vol. 32, No. 1, 2013

Menurut saya, salah satu kekurangan Robison dalam buku ini barangkali adalah simplifikasinya terhadap kelas dan kapitalisme itu sendiri. Saya sepakat dengan kritik Hilmar Farid tentang studi Richard Robison ini. Dalam artikel berjudul “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia”,7 Hilmar menyasar jantung analisis Robison: akumulasi kapital hanya dipahami sebagai pengumpulan kekayaan, terutama uang, yang ditanamkan dalam sektor ekonomi tertentu; pembentukan kelas lebih merupakan konsolidasi orang atau kelompok tertentu dalam berbagai kategori yang disusun berdasarkan kriteria yang tidak ada kaitannya dengan hubungan antogonistik yang inheren dalam kapital itu sendiri, sementara tatanan sosial yang memaksa orang menjadi angkatan kerja siap pakai sebelum “kapital” direalisasikan menjadi kapital sama sekali tidak tersentuh. Padahal, cara “kapital” direalisasikan bukan saja mengakumulasi kekayaan di brankas kelas borjuis, tetapi juga akumulasi tenaga kerja dan pemaksaan banyak orang untuk bekerja dalam bentuk komoditas. Kapitalisme Indonesia terang-benderang tidak dibangun tanpa akumulasi primitif dan penghancuran basis kekuatan sosial, ekonomi, serta politik kelas buruh dan tani, yang terus berulang-ulang sejak zaman kolonial. Pada tahun 1950-an, sebagaimana disinggung Richard Robison, front buruh dan tani di bawah pengaruh PKI menjadi satu-satunya kekuatan sosial politik yang padu, namun militer menjadi kekuatan yang menentukan (hal. 49). Sayangnya, Robison tidak mengelaborasi lebih lanjut naiknya militer ke panggung politik dan ekonomi pada awal rezim Orde Baru kemudian menjadi alat negara otoriter untuk menghancurkan kekuatan buruh, tani, dan kelas-kelas sosial lain yang kritis. Absennya bahasan mengenai sikap represif dan otoriter negara Orde Baru terhadap ke-

kuatan-kekuatan sosial dalam buku ini dinilai Hilmar Farid lantaran Robison tidak mendasarkan analisisnya pada kapital sebagai hubungan sosial. Padahal, salah satu kritik utama Karl Marx atas kapitalisme terang-benderang memandang kapital sebagai hubungan sosial dengan basis historis: pemisahan produsen langsung dari alat produksi — tidak jarang dengan cara kekerasan — serta menjadikan alat produksi menjadi kapital dan memaksa para produsen menjadi sekadar pekerja upahan. Karya Robison ini barangkali tidak bisa melenyapkan dahaga setiap pemerhati yang ingin memahami dinamika kelas dan kapitalisme Indonesia secara komprehensif. Lebih jauh dari itu, teori otonomi relatif negara pada dasarnya lahir dari rahim negara tempat kapitalisme telah berjalan seiring dengan demokrasi liberal yang berkualitas sebagaimana di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Sebaliknya, kapitalisme di Indonesia, khususnya semasa Orde Baru, justru membawa watak negara otoriterpatrimonial tempat kelas kapitalis yang kuat adalah pejabat negara itu sendiri beserta kroninya.8 Dalam bab terakhir, Robison menilai kapitalisme kroni menemui kontradiksinya terhadap rasionalitas kapitalisme internasional yang menghendaki efisiensi akumulasi. Krisis pendapatan dari ekspor minyak pada awal 1980-an juga menuntut negara untuk lebih bersandar pada kapitalis domestik (pribumi dan Tionghoa) dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dinilai Robison bakal membuka partisipasi kapitalis domestik independen dalam pusaran kekuasaan, sekaligus menantang dominasi militer dan birokrat-politik. Bukan kalangan intelegensia perkotaan, melainkan kelas kapitalis pribumi yang dinilai Robison bakal menjadi basis kekuatan sipil dalam prospek ke depan (hal. 8

7

Lihat, Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing Indonesia, 2006), hal. 187217.

Dalam buku The Rise Ersatz Capitalism in SouthEast Asia (1988), Yoshihara Kunio menyebut kapitalisme yang tumbuh-berkembang di Indonesia bersama empat negara Asia Tenggara lain sebagai “kapitalisme semu.” B U K U


Achmad Choirudin, Kapitalisme Indonesia di Persimpangan Jalan

292). Namun, Robison pesimistis bahwa kelas ini bakal menjadi sebuah kekuatan yang mendukung demokrasi borjuis. Sebagaimana diutarakan B Herry Priyono, Sangat benar bahwa mereka (kelas kapitalis) punya posisi khusus yang berakar dari kontrol mereka atas modal. Namun hal itu sama sekali tidak berarti bahwa mereka lalu memakai kontrol mereka atas modal bagi tujuan demokratisasi, karena mereka juga sangat sering menggunakan kontrol mereka atas modal untuk membunuh demokrasi. Mereka bisa kerasan berbisnis di bawah fasisme, otoritarianisme dan kesultanan, sebagaimana mereka juga bisa bisnis di bawah demokrasi. Demokrasi atau otoritarianisme memang bu9 kan pokok keprihatinan mereka.”

Ketika perekonomian Indonesia menenggelamkan diri dalam arus kapitalisme global, tempat neoliberalisme menjadi “agama” baru dengan dogma homo economicus, dengan kata 9

Lihat, B Herry Priyono, “Demokrasi dan Kapitalisme”, dalam Basis (Maret–April, 2000).

B U K U

129

lain kapitalisme Indonesia kian memesrakan hubungan antara bisnis dan politik dalam melanggengkan kapitalisme melalui otoritarianisme.10 Bahkan, setelah rezim Orde Baru tumbang, orde reformasi hanya berhasil melambungkan demokrasi dalam wujud formal dengan melanjutkan pola oligarki yang jauh lebih rumit. Karena itu, penerjemahan karya-karya ekonomi politik lebih mutakhir seperti studi lain Richard Robison bersama Vedi R Hadiz berjudul Reorganising Power in Indonesia:The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004) patut disegerakan — tentu dengan tidak mengabaikan akurasi — agar diskursus ekonomi politik tidak melupakan dan tidak menambah kekaburan analisis kelas dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia• 10

Untuk telaah pola otoritarianisme Orde Baru, lihat Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971 (Jakarta: LP3ES, 1989).

Achmad Choirudin


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.