112 Prisma Prisma Vol. 29, No. 1, Januari 2010 BUKU
Generasi yang (Nyaris) Hilang Judul: Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus! Penyunting: Sukono, Eddy Tumengkol, R Sunardi Hamid, HE Kawulusan, dan O Amin Singgih Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Agustus 2009 Tebal: xx + 552 halaman ISBN: 978-979-709-431-7
E
ntah apa jadinya bila memoar ini tidak pernah terbit, niscaya kita akan kehilangan jejak tentang sebuah generasi perwira angkatan laut yang (sebenarnya) sangat cemerlang. Benar, buku ini merupakan kumpulan catatan pengalaman dan kenangan para mantan adelborst (taruna laut) KIM (Koninklijk Instituut voor de Marine, setingkat Akademi Angkatan Laut), Den Helder, Negeri Belanda, pada awal tahun 1950-an. Pemudapemuda ini sengaja dikirim ke Belanda, mengingat Indonesia belum memiliki lembaga pendidikan perwira Angkatan Laut reguler, sementara lembaga yang sudah ada lebih bersifat
darurat, sebagai dampak perang pascakemerdekaan (1945–1949). Pengalaman serupa terjadi pada matra udara (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang mengirim 60 orang taruna untuk menimba ilmu di Academy of Aeronautics, Transocean Air Lines Oakland Airport (TALOA), California, Amerika Serikat, pada periode hampir bersamaan. Dari matra darat (Angkatan Darat) juga dikirim sekitar 40 orang taruna untuk mengikuti pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA), Breda, Negeri Belanda. Pengiriman taruna ke KIM dan KMA, merupakan bagian dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang salah satu klausulnya berbunyi, Belanda memberi kesempatan kepada sejumlah pemuda Indonesia untuk dicetak sebagai perwira dengan tanggungan pemerintah Belanda, jadi semacam beasiswa. Selain pengiriman taruna, sejumlah instruktur senior Belanda juga didatangkan ke Indonesia untuk menjadi penasihat atau pelatih yang dikenal sebagai Misi Militer Belanda. Tentara Nasional Indonesia (TNI) sendiri sangat diuntungkan dengan program tersebut, inilah kesempatan membentuk perwira yang dididik secara akademis, untuk melengkapi sejumlah perwira produk perang kemerdekaan. B U K U
Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang
Pada titik ini kita menemukan fenomena menarik. Meski mereka satu generasi, dan menempuh pendidikan pada waktu hampir bersamaan, namun pengetahuan kita tentang alumni KIM sangat minim, berbeda bila dibanding alumni KMA Breda atau TALOA, yang sedikit banyaknya kita pernah dengar. Mengapa bisa demikian?
Pembentukan Karakter Pengiriman taruna laut Indonesia ke KIM berlangsung sejak tahun 1950 sampai 1953, berarti ada empat angkatan dengan jumlah tiap angkatan bervariasi, masing-masing: 37 taruna pada 1950, 16 taruna (1951), 15 taruna (1952), dan 14 taruna (1953). Frekuensi dan jumlah kelulusannya lebih tinggi daripada kadet yang dikirim ke KMA Breda dan TALOA, yang masing-masing hanya satu angkatan. Bagaimana bisa terjadi pengetahuan kita tentang “generasi KIM” itu sangat terbatas? Bila buku ini tidak terbit, boleh jadi generasi KIM —sebagaimana diakui mereka sendiri— layak disebut sebagai “generasi yang hilang”. Buku ini menjawab mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, ada semacam hambatan internal untuk tidak memberi kesempatan kepada generasi KIM menempati pos-pos strategis di jajaran angkatan laut Indonesia, utamanya posisi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Kedua, berkaitan dengan pertama, memang tidak ada yang menjadi KSAL hingga masa dinas aktif mereka berakhir. Adalah hal yang biasa bila sebuah angkatan, baik lulusan Akademi Militer, Akademi Angkatan Laut (AAL) maupun Akademi Angkatan Udara (AAU), sangat mengharapkan salah satu dari teman sekelasnya saat belajar di akademi bisa menjadi seorang kepala staf, sehingga citra angkatan ikut terangkat. Posisi kepala staf selalu menjadi dambaan setiap generasi karena menjanjikan “keabadian”. Fenomena biasa pula bagi generasi yang tak sempat menggapainya, dengan sendirinya juga akan terlupakan. Sekadar ilustrasi, lulusan TALOA, misalnya, meski hanya satu angkatan (sekali pengiriman), yang B U K U
113
muncul menjadi Kepala Staf Angkatan Udara ada tiga orang, yakni Omar Dani, Sri Mulyono Herlambang, dan Saleh Basarah. Sementara lulusan KMA Breda, memunculkan Jenderal Rudini sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (1983-1985). Dalam pandangan para eksponen KIM, upaya membatasi pengembangan karier mereka sedemikian gamblang, bukan lagi berdasar dugaan atau prasangka semata. Mereka tidak ragu menyebut siapa “aktor intelektual” di balik pemblokiran karier mereka. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Bila kita membaca buku ini, “aktor” yang dimaksud akan segera kita temukan. Dari kasus ini kita bisa melihat bahwa pertimbangan politis dalam mempromosikan seorang perwira sudah terjadi sejak dulu. Politis dimaksud di sini adalah atas dasar jalinan pertemanan. Dalam mempromosikan seorang perwira, prestasi atau kepandaian saja tidaklah cukup, diperlukan juga faktor keberuntungan, yakni adakah teman atau patron yang bisa menjadi lokomotif untuk menarik gerbong teman-teman seangkatan. Di sinilah letak masalahnya, generasi KIM tidak memiliki patron cukup kuat yang dapat mendorong sekaligus “mengangkat” karier mereka. Masih dalam pandangan para eksponen KIM, soliditas sesama alumni KIM sebagai sebuah komunitas justru dijadikan bahan intrik kelompok lain yang berujung pada kurang optimalnya medan pengabdian mereka. Walaupun itu sesungguhnya tidak fair, mereka sanggup menuliskannya secara datar, manusiawi, tanpa harus menjadi emosional. Sikap mereka yang realistis boleh jadi merupakan jejak pembentukan karakter saat menimba ilmu di Den Helder, bagaimana mereka dibentuk menjadi perwira yang memiliki integritas dan martabat. Bagi Indonesia sendiri, pendidikan untuk calon perwira sebenarnya merupakan tradisi yang diadopsi dari Belanda. Salah satu pionir lembaga pendidikan perwira adalah Militer Akademi (MA) Yogyakarta yang didirikan di tengah gelora perang kemerdekaan (Oktober 1945). Saat MA Yogya ditutup pada 1950,
114
Prisma Vol. 29, No. 1, Januari 2010
tradisinya dilanjutkan oleh Akademi Militer Magelang yang berdiri pada 1957. Sementara lembaga pendidikan bagi perwira angkatan laut, yaitu IAL (Institut Angkatan Laut), pendahulu AAL, baru didirikan tahun 1951 di Surabaya. Pemuda-pemuda yang dikirim ke KIM termasuk bagian dari rintisan pendidikan perwira AL tersebut. Sedangkan sekolah penerbang TALOA, kampus bagi calon perwira AU, sebenarnya belum masuk kategori akademi penuh, mengingat pendidikan di TALOA hanya berlangsung setahun. Secara universal yang lebih diutamakan dalam pendidikan calon perwira (Akmil, AAL dan AAU) adalah pembentukan karakter para siswa. Khusus di KIM, pembentukan karakter memperoleh penekanan khusus dan dijadikan tradisi. Itu sebabnya moto KIM berbunyi: Kennis is Macht, Karakter is Meer atau ilmu pengetahuan berarti kekuasaan tetapi karakter lebih berarti (hal. xiii-xiv). Sejak taruna mereka sudah diarahkan bagaimana harus berperilaku, biasa disebut kode kehormatan (code d’honour) taruna: tidak boleh berbohong, sportif atas kesalahan yang dibuat (ksatria), dan saling menghormati sesama teman (kolegial). Ada satu lagi larangan keras bila mereka telah menjadi perwira, yakni tidak boleh berbisnis dengan sesama anggota AL, terlebih saat dinas di kapal. Itu adalah bagian dari etika kehormatan perwira AL di mana pun. Tidak bisa tidak, hal paling utama dalam dunia militer adalah tradisi yang selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi militer dihayati oleh segenap perwira sejak masih berstatus taruna. Satu tradisi atau nilai yang dapat dipetik dari gaya kepemimpinan AL Belanda: tidak adanya penggunaan kekerasan fisik dalam penugasan dan pengendalian anak buah. Semua anggota, baik atasan maupun bawahan, paham aturan dan disiplin, termasuk konsekuensi bila melakukan pelanggaran. Ada yang menarik dari proses pembentukan karakter di KIM. Hal itu tidak diajarkan secara khusus dalam kelas, namun dipraktikan
dalam perilaku sehari-hari sejak hari pertama pekan orientasi (pelonco) hingga tiba saat meninggalkan kampus Den Helder. Seolah semua berjalan secara alamiah, tidak ada unsur paksaan tentang bagaimana etika bergaul dalam lingkungan KIM, bagaimana kegiatan sejak bangun pagi hingga istirahat malam hari, termasuk “budaya� antre yang tidak membedakan taruna yunior dan senior. Bahkan, di luar jam pelajaran pun tetap ada aturannya. Misalnya, saat duduk-duduk santai di Het Zaaltje (semacam klub). Taruna senior memiliki blok khusus di ruangan itu, yang tidak bermaksud mengistimewakan mereka, namun memberi kepastian bahwa semua ada aturannya. Melalui buku ini, generasi KIM menghimbau alangkah baiknya bila spirit pembentukan karakter juga dipraktikkan pada institusi pendidikan di Indonesia, salah satu soal adalah kegiatan perpeloncoan. Saat baru tiba di kampus KIM, mereka dipelonco oleh para senior. Namun, berbeda dengan pelonco yang biasa kita kenal, perpeloncoan di KIM memiliki landasan pemikiran, di mana kegiatan ini hanyalah salah satu bagian dari kerangka besar pembentukan karakter. Perpeloncoan dimaksudkan untuk mempersiapkan fisik dan (terutama) mental taruna agar bisa cepat menyesuaikan diri dalam mengikuti pendidikan di KIM yang sudah dirancang sedemikian rupa dan sangat sistemik. Sekadar gambaran, adelborst bangsa Belanda sendiri banyak yang mengundurkan diri dari KIM karena tidak kuat (mental) mengikuti pendidikan di KIM. Generasi KIM agaknya prihatin dengan distorsi praktik perpeloncoan di lembaga pendidikan kedinasan di tanah air —seperti STPDN Jatinangor, Sumedang— yang hanya dijadikan ajang pamer kekuasaan dari mahasiswa (taruna) senior ke yunior dari tahun ke tahun. Alhasil, yang terjadi bukanlah proses pembentukan karakter sebagai calon pemimpin (perwira), namun direduksi menjadi sekadar ajang balas dendam, bahkan tak jarang menyebabkan si yunior meninggal. Ujungnya hanya menghasilkan dendam tak berkesudahan. B U K U
Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang
Dalam pandangan orang sekarang, terlebih yang berpikiran pragmatis, kehidupan taruna KIM, terkesan selalu dibatasi oleh disiplin dan sederet peraturan yang mungkin saja membosankan, namun itu semua ada maksudnya. Bagi taruna KIM, suasana yang menekan serta ruang gerak terbatas adalah bagian dari pelatihan untuk membiasakan diri bila kelak mereka bertugas di kapal. Terlebih lagi bila ditugaskan di kapal selam, tekanan mental akan terasa lebih besar sementara ruang gerak sangat terbatas.
Visi Maritim Sebagian besar sumbangan artikel ditulis dalam gaya human interest, romantika tentang pahit-manisnya kehidupan saat menjalani pendidikan di KIM. Dari sekitar 85 sumbangan tulisan eksponen KIM, ada satu tulisan, yang saya kira merupakan “puncak” dari buku ini, di bawah tajuk “Visi Maritim” (hal 194). Visi Maritim (wawasan bahari) adalah wacana yang selalu hidup di benak alumni KIM, bentuk sintesa antara apa yang pernah dipelajari di KIM dahulu dengan kenyataan geografis tanah air, yang sebagian besar memang lautan. Mereka menawarkan gagasan agar Visi Maritim dijadikan titik tolak para penentu kebijakan dalam dua hal. Pertama, bagaimana lautan beserta sumber daya alamnya bisa memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Kedua, Visi Maritim dijadikan referensi dalam menyusun doktrin pertahanan. Dalam nada prihatin mereka menyayangkan mengapa potensi laut belum dimanfaatkan secara maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Sepanjang zaman yang dijadikan tumpuan masih dan selalu sumber daya di darat, seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, dan industri. Pada akhirnya yang menikmati sumber daya laut adalah orang luar, baik legal maupun ilegal. Salah satu kasus, bila di daratan kita biasa dan sering mendengar illegal logging, maka di laut acapkali kita dengar illegal fishing yang bila B U K U
115
dirupiahkan angkanya jelas amat sangat fantastis. Kemudian hal lain berkaitan dengan doktrin pertahanan. Soal referensi mana yang dipilih, entah bertitik tolak dari konsep Wawasan Bahari atau Wawasan Nusantara, adalah sebuah wacana yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, (khususnya) para alumni KIM harus legowo menerima kenyataan. Mereka “kalah suara” dari matra darat (AD), dan selanjutnya rela melakukan kompromi dengan digunakannya konsep Wawasan Nusantara yang lebih memprioritaskan penguatan aspek darat. Bagian ini akan lebih mudah dipahami bila digunakan ilustrasi, misalnya, soal keberadaan armada kapal selam. Bagaimana mungkin dengan wilayah lautan amat luas, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut hanya memiliki dua unit kapal selam —itu pun yang siap operasi hanya satu unit— dengan kondisi yang sebenarnya kurang meyakinkan, bila eskalasi ancaman tiba-tiba meningkat secara signifikan. Saya membayangkan bagaimana wajah para perwira muda TNI AL saat bertemu kolega mereka dari negara lain seperti, misalnya, Singapura atau Malaysia. Sedapat mungkin mereka akan menghindar dari pembahasan soal kapal selam, karena tak kuat menahan malu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keberadaan kapal selam tidak selalu dibaca dalam kerangka ofensif, tetapi lebih bertujuan membentuk efek penggetar (deterrent effect). Sungguh tidak logis sebuah negeri yang namanya dimuliakan menjadi nama samudra (Samudra Indonesia), tidak memiliki kapal selam (bahkan kapal jenis lain dengan senjata mematikan seperti cruiser, destroyer atau fregat); sungguh kenyataan pahit bagi bangsa yang mengklaim diri sebagai bangsa bahari. Kemudian ada dua tulisan yang memiliki nilai terbarukan, karena membahas peristiwa yang selama ini kurang tersiar luas, yaitu konflik internal yang pernah terjadi di jajaran TNI AL. Masing-masing berjudul “Gerakan Perwira Progresif Revolusioner” (hal. 463-472) dan “Pergantian Pimpinan ALRI 1959” (hal. 473-
116
Prisma Vol. 29, No. 1, Januari 2010
484). Judul tulisan pertama diambil dari nama sekelompok perwira muda AL yang menghendaki diadakannya pembaruan di tubuh Angkatan Laut, karena ALRI dalam penilaian mereka, dianggap berkinerja rendah. Peristiwanya terjadi pada awal dan pertengahan 1965, beberapa saat sebelum meletus tragedi G30S. Dalam istilah sekarang, Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR) itu kira-kira bisa disepadankan dengan gerakan Reformasi. Ada beberapa eksponen KIM yang terlibat dalam GPPR, namun mereka tidak bisa serta merta disebut sebagai representasi alumnus KIM. Dalam memperjuangkan aspirasi, mereka sudah sampai pada tahapan tertinggi, ketika delegasi mereka diterima oleh Panglima Tertinggi/Presiden Soekarno. Namun, gerakan mereka menemui jalan buntu. Anggota-anggota GPPR, termasuk simpatisan mereka, harus pensiun dini dari AL. Meski harus keluar dari jajaran AL, mereka tetap dianggap sebagai kader-kader yang baik. Karena mereka perwira-perwira terlatih, pemerintah tentu tidak mau kehilangan potensi mereka. Sesuai dengan keahlian masing-masing, mereka kemudian disalurkan ke beberapa institusi sipil seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Merpati Nusantara, Pelita Air Service, dan lain-lain. Beberapa waktu kemudian satu dua orang mantan GPPR muncul sebagai figur publik, seperti Pongky Supardjo (taruna KIM 1950) yang sempat menjabat Direktur Jenderal Perhubungan Laut dan JE “Fanni” Habibie (lulusan AAL Surabaya) juga mantan Dirjen Hubla dan kini Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda. Kemudian tulisan “Pergantian Pimpinan ALRI 1959” yang membahas upaya melengserkan KSAL pertama Laksamana Madya R Soebijakto. Gerakan ini bersifat klandestin sehingga luput dari perhatian KSAL. Singkat kata, gerakan ini berhasil melengserkan Soebijakto, untuk kemudian digantikan Kolonel Laut RE Martadinata (terakhir berpangkat Laksamana Madya). Para eksponen KIM sangat menyayangkan munculnya gerakan itu, karena
sudah masuk kategori insubordinasi; para pelakunya layak dihukum berat. Eksponen KIM juga memiliki pandangan tersendiri terhadap “Gerakan 1959”. Selain dianggap insubordinasi, eksponen KIM menilai tokoh-tokoh “Gerakan 1959” kurang mengapresiasi keberadaan perwira lulusan KIM. Masih dalam pandangan mereka, Soebijakto diasumsikan berada dalam satu jalur dengan eksponen KIM, karena kebetulan sama-sama lulusan pendidikan perwira KM (Koninklijke Marine, AL Belanda). Dengan tiadanya figur Soebijakto, alumni KIM seolah kehilangan figur bapak sebagai patron, yang berdampak pada karier mereka kelak. Memang itulah yang terjadi. “Perintis Penerbangan AL” (hal. 260-281) yang ditulis Eddy Tumengkol juga cukup menarik. Tulisan itu membahas sumbangsih generasi KIM dalam membangun unsur kekuatan udara di bawah ALRI mulai dari nol pada pertengahan tahun 1950-an. Dinas Penerbangan AL (Dispenerbal) masih eksis hingga kini, dan tidaklah berlebihan bila keberadaan satuan ini bisa disebut sebagai landmark eksponen KIM. Menurut mereka, dengan merujuk pengalaman Perang Dunia II, satuan udara Angkatan Laut memiliki peran strategis dalam pertempuran laut. Mereka merancang, di bawah Dinas Penerbangan AL, skadron pesawat tempur (fighter) yang diperlukan, di samping armada udara untuk tugas patroli yang memang sudah menjadi tugas rutin penerbangan AL. Soal gagasan pengadaan pesawat tempur, terlebih dengan pancar gas (mesin jet), alumni KIM sekali lagi harus berbesar hati. Konsep mereka ditentang oleh saudara yang lain, yakni AURI. Alumnus KIM tidak ingin debat berkepanjangan soal asumsi bahwa pengoperasian pesawat tempur —dalam konteks Indonesia— adalah domain AURI. Mereka menyebut rintisan dalam membangun Dispenerbal (termasuk pembangunan Pangkalan Udara AL “Juanda”) dilandasi semangat Dan toch maar. “Modal utama dan awal hanyalah idealisme serta dedikasi tinggi didukung percaya diri, kejujuran dan semangat B U K U
Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang
menggebu tidak kenal menyerah (hal. 263)”. Doktrin itu acapkali dipakai bila memperoleh penugasan dalam kondisi serba terbatas, baik fasilitas maupun anggaran. Juga kemudian dipakai dalam operasi tempur, seperti Operasi Trikora (tahun 1960-an) yang terpaksa harus berhadapan dengan teman segenerasi adelborst asal Belanda di KIM dulu, yang ketika itu memimpin armada Angkatan Laut Belanda. Masih di tulisan yang sama, ada informasi kecil, tapi sangat penting untuk diketahui secara luas bahwa putra Indonesia pertama yang memperoleh kualifikasi penerbang tempur dengan mesin jet (fighter) adalah AHK Hamami dan REBO Tjokroadiredjo, masing-masing lulusan KIM tahun 1953, saat mengikuti pendidikan penerbangan di Inggris pada 1956. Setelah keduanya menyusul dua penerbang jet legendaris dari AURI yang juga keluaran Inggris: Marsda (Purn) Leo Wattimena (generasi TALOA) dan Marsekal (Purn) Rusmin Nuryadin (mantan Kepala Staf Angkatan Udara dan Menteri Perhubunga). Kecepatan pesawat jet Vampire (pesawat latih lanjut produksi Inggris) yang mereka gunakan memang belum masuk kategori supersonik, namun untuk ukuran masa itu sudah terbilang canggih, terlebih untuk negara muda seperti Indonesia. Ada satu lagi tulisan menarik yang sayang untuk dilewatkan. Tulisan dimaksud berjudul “Dari Kampus Bukit Duri ke Willemsoord” (hal. 347) yang ditulis Urip Santoso (KIM 1950, terakhir berpangkat Laksma). Latar belakang penulisnya sendiri menarik, karena sebelum bergabung sebagai adelborst KIM, sudah menyandang pangkat Kapten (Angkatan Darat). Dia rela menanggalkan status sebagai perwira pertama AD dengan segala fasilitasnya demi mengikuti pendidikan di KIM, yang berarti harus “turun pangkat” menjadi setingkat tamtama atau bintara. Setahun sebelum berangkat ke Negeri Belanda, status Urip Santoso adalah tahanan KNIL yang ditahan di Penjara Bukit Duri. Ini yang menarik, dalam surat pembebasannya dari Penjara Bukit Duri, tertanggal 2 Desember 1949, selain namanya, juga tertulis B U K U
117
nama tahanan lain yang namanya sangat akrab, yakni Pramoedya Ananta Toer (berpangkat Sersan Mayor TNI). Surat pembebasan tersebut ditandatangani langsung Komandan KNIL 1 Batavia (Jakarta) Letnan Kolonel Inf De Vries. Artinya Urip Santoso dan Pramoedya terhitung tahanan “kelas kakap”. Di antara 59 perwira muda lulusan KIM, dari empat angkatan (Angkatan 1950 sampai 1953), yang masih hidup tinggal 19 orang dengan usia menapak senja. Secara keseluruhan, buku ini merefleksikan sikap mereka sebagai insan berkarakter hasil tempaan KIM, meski semuanya kini telah menjadi bagian dari masyarakat sipil. Beberapa dari mereka mungkin kurang dikenal atau tidak pernah diberitakan sebagai figur publik. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa syukur dan bangga; generasi mereka telah diberi kesempatan mengisi beberapa lembar sejarah bangsa ini, khususnya andil dalam pembentukan karakter di jajaran TNI AL. Kiranya, bagi eksponen KIM, pangkat dan jabatan bukan segala-galanya. Contohnya perwira-perwira berpangkat kapten yang dianggap pernah terlibat GPPR. Mereka harus rela pensiun dini justru di saat usia sedang dalam puncak produktivitas. Dalam profesi kemiliteran, meraih pangkat dan jabatan tinggi adalah tujuan sekaligus parameter. Sebagaimana telah disinggung, generasi KIM tidak pernah meraih posisi KSAL hingga masa pengabdian mereka sebagai perwira aktif berakhir. Namun bukan berarti generasi ini bisa dikatakan gagal dalam jenjang karier. Begitulah, jabatan KSAL hanya salah satu parameter. Dua orang di antaranya berhasil meraih bintang tiga: Laksmana Madya Teddy Asikin Natanegara (almarhum, mantan Deputi KSAL, KIM 1951) dan Letnan Jenderal Marinir 1
Nama Letnan Kolonel Inf. BP de Vries sendiri tercatat dalam sejarah Kodam Jaya. Peristiwa penyerahan tanggung jawab wilayah Jakarta dari Letkol de Vries kepada pihak TNI, yang diwakili Letnan Kolonel Taswin Natadiningrat, tanggal 24 Desember 1949, kemudian hari ditetapkan sebagai hari jadi Kodam Jaya.
118
Prisma Vol. 29, No. 1, Januari 2010
Kahpi Suriadireja (almarhum, mantan Komandan Jenderal Korps Marinir dan Pangkowilhan IV, KIM 1952 ). Sementara mereka yang mencapai bintang dua (laksamana muda), antara lain, Abdul Rachman (KIM 1950), Kunto Wibisono (KIM 1952), Mudjono Purbonegoro (almarhum, KIM 1949-1950), dan Sahono Subroto (almarhum, KIM 1949-1950). Kemudian yang berhasil meraih bintang satu (laksamana pertama atau brigjen marinir), lebih banyak lagi. Di antara yang meraih pangkat laksamana pertama adalah dua orang penyunting buku ini, yakni Eddy Tumengkol (KIM 1950) dan Sukono (almarhun, KIM 1950). Kemudian yang dari marinir adalah Brigjen (Mar) Moh Suroto (almarhum, KIM 1950). Generasi KIM yang berhasil masuk jajaran perwira tinggi, sebagian di antaranya berlatar korps penerbang AL, menunjukkan bahwa Dinas Penerbangan AL memang bermakna bagi generasi KIM, dan karenanya menjadi identik
Adelborst segenerasi asal Belanda ada yang sempat menjadi KSAL Belanda, yaitu Vice Admiral (laksamana madya) Rob Krijger (KIM 1952), yang ternyata kelahiran Purwakarta (Jawa Barat). Nilai persahabatan sebagai sesama adelborst tak lekang oleh waktu. Adelborst asal Belanda seperti Krijger banyak memfasilitasi penerbitan buku ini hingga saat peluncurannya di KIM, Den Helder. Secara kebetulan, Dubes RI untuk Kerajaan Belanda Junus Effendi Habibie (Fanni) adalah mantan perwira TNI AL (pangkat terakhir letnan muda dengan letnan dua), yang dengan antusias memberi perhatian penuh atas rencana penerbitan buku ini. Fanni sendiri mengaku ikut dibesarkan oleh eksponen KIM. Itu sebabnya versi bahasa Belanda buku ini lebih dulu diluncurkan di kampus mereka (5 Juni 2009), berkat dukungan penuh adelborst segenerasi dan Dubes JE Habibie.• Aris Santoso
B U K U