1
// SENORITA - No.1 //
Dari Redaksi
Putri Sonia
Pimpinan Redaksi // Penulis
Fajar Andrian
Fotografer // Penulis
Dianggi Ananda Putri Fotografer // Penulis
Ganisha Puspitasari Editor // Penulis
Berbicara mengenai keadaan ekonomi dan sosial, berbagai label juga disematkan kepada kota Garut dan Tasikmalaya. Tasikmalaya dikenal sebagai kota santri. Bupati Garut bermimpi menjadikan Garut sebagai kota industri. Tak hanya itu, Garut juga sedang berbenah untuk menjadi kota pariwisata.
Rayhan Naufal Asyrafi
Penyematan julukan untuk dua kota tersebut tentu bukan tanpa alasan. Berbagai pernyataan dilontarkan untuk mendukung keabsahan label-label yang diberikan. Tetapi, fakta di lapangan mengisyartkan keterbalikan.
Indah Purnama
Senorita mencoba mengemas faktafakta menarik di balik skena kehidupan masyarakat Garut dan Tasikmalaya dalam edisi kali ini. Semoga cerita dan berita yang kami sampaikan dapat mengasah pengetahuan dan ketulusan para pembaca sekalian.
Fotografer // Penata Letak // Penulis
Penulis
Syahnaz Fauziah Penulis
2
Geliat aktivitas ekonomi dan sosial pada masyarakat menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan seharihari. Garut dan Tasikmalaya adalah dua dari banyak kota di Indonesia yang memiliki beragam cerita di balik kegiatan ekonomi dan sosial warga masyarakatnya. Kegiatan ekonomi yang sarat dengan kata “ikhlas� di dalamnya, hingga kegiatan sosial yang mengajarkan tolong menolong dan saling berbagi di tengah keterbatasan.
Salam.
Daftar Isi
02 18 41
EKONOMI
Geliat Ekonomi Masyarakat Kampung Naga Fenomena ‘Mukul’ Harga Mengancam Citra Pariwisata Cerita Manis Di Balik Inflasi 1998 Rajapolah, Hiraukan Merek Tidak Masalah Payung Geulis, Bertahan di Tengah Gempuran Zaman
L I P U TA N U TA M A
Risiko Di Balik Upah Tinggi Menembus Keterbatasan Melalui Keikhlasan Tertatih Menembus Pasar Internasional Polemik Limbah tak Bertuah Carut Marut Industri Garut
SOSIAL
Putar Otak Bertahan Hidup Dalam Pantangan Kampung Dukuh di Antara Permasalahan dan Keikhlasan Tasikmalaya: Kontradiksi Kota Santri
49 53 SOSOK
SISI LAIN
Asep Sudrajat: Seni Adalah Tentang Bertahan Hidup
Siapkah Garut Menjadi Kota Wisata? Cilok Goang Khas Tasikmalaya Bagi Pecinta Pedas di Yogyakarta Beras Hitam yang Mendunia “Nyaneut” Budaya Minum Teh Turun-temurun Khas Garut
59 60 62 OPINI
Eksistensi Desa Adat di Tengah Gelombang Modernisasi
PHOTO GALLERY
C ATATA N PERJALANAN
Warna Lain Payung Geulis
Cerita Perjalanan dari Bumi Priangan
1
// SENORITA - No.1 //
Lanskap Kampung Naga, Tasikmalaya dari ketinggian.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Geliat Ekonomi Masyarakat Kampung Naga Oleh: Fajar Andrian Kehidupan penuh cinta dengan alam sangat lekat dengan Kampung Naga. Suasana tenang tercipta melalui sejuknya udara dan hijaunya pemandangan.
2
Ketika menuruni anak tangga menuju Kampung Naga, tim Senorita disuguhi dengan pemandangan indah. Sawah bermodelkan terasering dan hutan larangan yang sangat lebat terlukiskan jelas mengelilingi Kampung Naga.
yang telah dipercaya menjadi pemandu wisata di kampung tersebut. Akan tetapi, tidak semua warga Kampung Naga memiliki lahan pertanian, sehingga sebagian dari mereka memilih untuk menjadi buruh tani.
Jika dilihat dari kondisi alamnya, bertani merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Kampung Naga. Padi yang ditanam merupakan varietas lokal. “Bisa dilihat padinya tinggi-tinggi,� ujar Ijad
Selain buruh tani, berdagang menjadi profesi yang ditekuni warga Kampung Naga. Seperti Dede, wanita berusia 33 tahun ini tampak sedang berjualan di teras rumahnya. Nampan, piring,
// EKONOMI - Des.2019 // berbagai macam produk anyaman, bahan kebutuhan pokok, serta bakso ia jual. Sebagian produk anyaman dagangannya merupakan hasil karya warga setempat. “Ada juga sih (produk) yang mengambil dari luar. Di sini mah ibu bantu tetangga menjual kerajinan, sekalian bantu suami cari uang,� ungkap Dede. Bukan hanya berdagang, penduduk di sini juga pandai dalam membuat aneka anyaman, salah satunya Emay. Ia membuat anyaman dari bambu, produk yang dihasilkan kipas dan centong. Wanita berusia 58 tahun ini langsung menjual hasil anyamannya pada wisatawan yang berkunjung.
mah belanja kipas atau centong,� jelas Emay sembari duduk di teras rumahnya. Berbeda dengan generasi tua, banyak pemuda Kampung Naga memilih untuk merantau. Mengadu nasib untuk secarik pengalaman. Salah satu penduduk, Ade, bercerita banyak anak muda di kampungnya pergi bekerja di luar kota. Menjadi buruh dan berjualan makanan, seperti siomay menjadi pilihan utama para perantau. Ijad menerangkan, secara umum mata pencaharian warga Kampung Naga memang tidak berbeda dengan penduduk lain. Bedanya, masyarakat kampung yang terletak di Desa Neglasari ini masih memiliki nilai sosial yang tinggi.
“Ibu mah jualan sejak tahun 90-an, jualan apa saja yang laku. Biasanya produk bambu yang laku, kalau bule biasanya
Emay duduk di teras rumahnya sembari menjaga aneka kerajinan yang ia jual di Kampung Naga, Tasikmalaya
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
3
// SENORITA - No.1 // “Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, hidup saling tolong-menolong. Saling menjual produk masyarakat sekitar dan hidup harmonis bersama alam,” - Ijad
Potret Ijad, warga Kampung Naga, Tasikmalaya.
4
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
// EKONOMI - Des.2019 //
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Fenomena ‘Mukul’ Harga Mengancam Citra Pariwisata Oleh: Indah Purnamasari
Asep saat sedang membuat rujak untuk pembeli. Ia adalah seorang penjual rujak bebek di daerah alun-alun Garut.
Berkunjung ke tempat baru terasa tak lengkap bila tidak jajan. Siomay, rujak, bakso, berbagai varian es, hingga beragam makanan ringan, nampak berjejeran. Keramaian tempat tersebut dijadikan peluang oleh para pedagang untuk meraup keuntungan.
Alun-alun Kota Garut menjadi salah satu objek wisata terkenal. Tak pernah sepi pengunjung setiap harinya. Diramaikan oleh warga asli Garut maupun wisatawan dari luar kota. Baik untuk sekadar menikmati keindahan kota atau berburu jajanan. Menurut Kepala Seksi Analisis Data dan Informasi Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Kota Garut, Pepy Suparyani, saat ini Garut memang sedang berbenah untuk mengembangkan pariwisata. Hal itu didukung oleh data dari Dinas Parisiwata yang menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan ke Garut mencapai 2.679.657 orang pada tahun 2018 lalu. Pepy menjelaskan pengembangan wisata hendaknya didukung oleh semua elemen
5
// SENORITA - No.1 // masyarakat Kota Garut, juga kepada mereka para pedagang. “Sayangnya masih ditemukan beberapa pedagang yang kurang ramah dengan wisatawan. Beberapa masih menerapkan sistem ‘mukul’ harga. Makanan dan minuman tertentu dijual dengan harga melebihi harga normal,” ungkapnya. Hal tersebut masih menjadi masalah yang sukar untuk diberantas. Dikhawatirkan dapat berdampak pada kenyamanan para wisatawan. Oleh karena itu, tim Senorita memutuskan untuk melakukan reportase dengan beberapa pedagang di sekitar Alun-alun Kota Garut. “Ah biasa atuh, kalau di pedagangpedagang mah naikin harga 2000-3000 ya tidak apa-apa. Saya mah sering, tapi tergantung dimana kita berjualan juga, semakin jauh jarak tempuhnya semakin dinaikin harganya,” ucap Asep (38), seorang pedagang rujak bebek yang mengaku telah berjualan selama 10 tahun. Menurutnya, tak hanya ia, banyak pula pedagang lain yang menerapkan sistem ‘mukul’ harga. Hal serupa juga diungkapkan seorang
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
6
pedagang asongan, Lilis (49). “Yang penting laku, tidak cuma saya saja, pedagang yang lain pasti juga pernah,” ucapnya.
belum pernah. Ini saya sudah buat daftar harganya juga. Meskipun kadang saya lupa ngeluarin (daftar harga), tapi tetap saya patokannya dari situ,” jelasnya.
Para pedagang menjelaskan, tempat wisata menjadi faktor tersendiri. Menurut mereka biasa saja jika harga makanan ataupun minuman di tempat wisata sedikit berbeda dengan tempat lain.
Banyaknya wisatawan yang datang ke Garut menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang. Namun, fenomena ‘mukul’ harga tentu akan berimbas pada citra pariwisata. “Pedagang harus bisa introspeksi diri, memposisikan dirinya sebagai seorang wisatawan, apakah dia mau diperlakukan seperti itu. Itu solusi utama,” tutur Pepy.
Selain itu, alasan lain mengapa pedagang terpaksa menaikkan harga adalah naiknya harga bahan baku makanan tersebut. Juga tingginya minat konsumen terhadap suatu jajanan. Fenomena ‘mukul’ harga memang masih ditemukan di lapangan. Tidak adanya sanksi tegas dari pemerintah membuat pedagang merasa aman. “Wajar-wajar saja,” begitulah kata mereka. Namun di balik itu, masih ada beberapa pedagang yang jujur. Salah satunya seorang pedagang bakso, Redi Tete Sutendi (31). “Jujur ya kalau kepikiran mah sebenernya ada, tapi kalau melakukan alhamdulillah sampai saat ini
Kumpulan buah di gerobak panggul milik Asep.
Potret Nanang, seorang pengusaha kerajinan di Rajapolah. Wajahnya sumringah saat mengingat era keemasan usahanya justru didapat ketika Indonesia dilanda inflasi hebat.
Cerita Manis Di Balik Inflasi
1998
Oleh: Dianggi Ananda Putri
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Inflasi yang terjadi pada 1997-1998 tercatat sebagai inflasi tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia. Dampaknya, daya beli masyarakat menurun dan tidak sedikit dari pengusaha yang harus gulung tikar. Namun, siapa sangka, tidak semua pengusaha terkena dampak pahit dari inflasi yang terjadi.
7
// SENORITA - No.1 //
Barang yang dijual di toko milik Nanang. Dahulunya, barang seperti ini dengan mudah terjual ke luar negeri. Namun tidak dengan sekarang.
8
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
// EKONOMI - Des.2019 // Nanang Sutarnan dan Apong Rosida contohnya. Pengusaha kerajinan di kawasan Rajapolah Tasikmalaya ini mengenang era tersebut sebagai masa keemasan bagi performa ekspor usaha mereka. “Kalau ekspor justru lebih bagus waktu inflasi zaman krisis moneter tahun 98 dulu. Nggak tahu kenapa. Dulu banyak yang minta barang kita. Dari Asia sampai Eropa, ada saja,” kata Nanang Sutarnan sembari menghisap rokok yang ada di depannya. Hal yang sama juga diungkapkan pemilik Agisa&Kitri Collection, Apong Rosida. Saat inflasi dulu, kata Apong, ekspor produk usahanya justru lebih tinggi. Ia mengaku pada masa itu, ada saja pembeli dari luar negeri yang datang untuk melakukan kerja sama ekspor dengannya. “Dulu itu, ibaratnya kita bisa beli rumah sama mobil. Kalau sekarang mah jangankan rumah atau mobil, ada yang keluar saja udah syukur,” kata Apong saat menjelaskan keuntungan yang didapatnya pada era tersebut. Rini Dwi Astuti, S.E., M.Si. dosen Ekonomi Moneter, Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, menjelaskan, fenomena yang dialami Nanang dan Apong dapat dilihat sebagai dampak positif saat inflasi terjadi. Saat inflasi, kata Rini, depresiasi rupiah atau penyusutan nilai rupiah terjadi. Kondisi ini dijadikan kesempatan oleh pembeli luar negeri, karena mereka bisa mendapatkan kuantitas barang lebih banyak dengan harga yang sama. Akibatnya, jumlah permintaan barang untuk ekspor meningkat. Importir untung, begitu pula dengan pengusaha seperti Nanang dan Apong.
sudah tidak menerima permintaan ekspor sama sekali. Nanang hanya fokus pada penjualan domestik, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, seperti Bali. Mirisnya, kemerosotan produktivitas ekspor para pengusaha Rajapolah justru terjadi di saat kondisi ekonomi nasional cenderung stabil. Fenomena ini dimaknai Rini sebagai dampak dari meradangnya hubungan ekonomi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Buntutnya, perekonomian internasional menjadi goyah. “Sekarang kita lihat dari sisi pembelinya. Walaupun rupiah beberapa kali sempat melemah, tapi kalau mereka tidak punya uang gimana? Tidak punya kemampuan membeli. Hal ini merupakan dampak dari perang dagang AS sama Cina. Akibatnya, perekonomian internasional melemah. Muaranya, permintaan ekspor barang-barang pengusaha tadi jadi berkurang kan,” jelas wanita berkerudung cokelat kepada tim Senorita saat ditemui di ruangannya pada Kamis (14/11/2019). Surutnya permintaan ekspor pengusaha Rajapolah juga disebabkan oleh kalah saing dengan anyaman berbahan plastik. Harga yang lebih murah serta waktu pengerjaan yang lebih ringkas, menjadikan produk ini lebih dilirik importir, kata Apong. Di tengah minimnya permintaan eskpor, Apong tetap optimis menjalankan usaha kerajinan anyaman miliknya. Ia mencoba untuk melakukan beberapa inovasi pada desain produk. Hasilnya, beberapa pembeli dari luar negeri tertarik untuk melakukan kerjasama penjualan. Meski tidak sebanyak 21 tahun lalu, setidaknya Apong berhasil menghadapi pasang surut permintaan ekspor.
Dua puluh satu tahun berlalu, produktivitas ekspor Nanang dan Apong jauh merosot. Bahkan, saat ini Nanang
9
// SENORITA - No.1 //
Pelataran salah satu toko di Rajapolah, menjual aneka ragam kerajinan anyaman.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Rajapolah, Hiraukan Merek Tidak Masalah Oleh: Ganisha Puspitasari
10
// EKONOMI - Des.2019 //
M
erek menjadi suatu identitas penting dalam produk. Melalui merek, konsumen dapat mengenal asal-usul barang yang dibelinya. Akan tetapi, uniknya, saat tim Senorita berkunjung ke pusat kerajinan Rajapolah, tidak ada satu pun merek yang tercantum dalam setiap barang yang dijual.
Fenomena penjualan tanpa merek ini tentu menjadi problem yang cukup serius dalam dunia pemasaran. Ahli Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Rini Dwi Astuti, S.E., M.Si. menilai hal yang dilakukan para pelaku industri Rajapolah sesungguhnya menghambat aktivitas branding pusat kerajinan tersebut.
“Di sini barang yang dijual kan grosiran, jadi dijual lagi biasanya sama orang. Nah, makanya ibu mah nggak meletakkan merek. Biar bisa dijual lagi,” jelas Apong Rosida, salah satu pemilik toko di pusat kerajinan Rajapolah.
“Coba saja diletakkan merek di setiap barang yang diproduksi. Jika mereka (perajin Rajapolah) mengirimkan barangnya ke luar kota maupun negeri, konsumennya akan tahu bahwa barang tersebut berasal dari Rajapolah, hasil karya anak bangsa Tasikmalaya,” jelas Rini.
Seluruh barang yang dipajang Agisa&Kitri Collection, toko milik Apong, memang tidak bermerek. Padahal, menurut wanita berusia 50 tahun tersebut, setiap produknya sudah memiliki hak cipta. Akan tetapi, niat untuk membantu sesama pedagang menjadi alasan utama mengapa ia tetap memasarkan produknya tanpa merek. Saat tim Senorita menanyakan kekhawatiran akan pencurian desain produk, Apong dengan santainya hanya tertawa kecil sambil menuturkan keikhlasannya dalam membantu sesama. “Nggak apa-apa sih orang labelin produk ibu mah, toh rezeki nggak ada yang tertukar kan. Pasti tetap ada saja kok yang beli.”
Pencurian desain dan ‘melek’ akan strategi branding memang masih dihiraukan para perajin Rajapolah. Mereka masih menganggap menjual produk tanpa label adalah langkah yang tepat. “Kalau kita kasih label kan jadi dipatenkan. Nanti kalau dijual lagi susah, biar mereka (konsumen yang akan menjual kembali produknya) yang ngasih label, biar bagi-bagi rezeki,” tambah Apong.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Berbagai model tas anyaman karya perajon Rajapolah
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Apong saat menjelaskan alasannya menjual produk tanpa merek Deretan sandal cantik sebagai cinderamata dari Rajapolah.
Doa, ikhlas, dan kreativitas menjadi kunci utama Agisa&Kitri Collection bertahan sejak tahun 1994. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi patokan Apong, sebagai generasi ketiga dalam mempertahankan dan mengembangkan tokonya. Hal yang sama juga dilakukan pemilik Kurnia Art Shop, Mamat. Seluruh barang dagangannya, dari mulai gelang, tas, dan peralatan rumah tangga yang terpajang satu pun tidak dilabeli merek. Sama seperti Apong, barang akan dijual lagi oleh konsumen juga menjadi alasan mengapa produk dagangannya tidak bermerek.
Kerajinan dari kayu sebagai cinderamata Rajapolah.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
11
// SENORITA - No.1 //
Payung Geulis, Bertahan di Tengah Gempuran Zaman Oleh: Dianggi Ananda Putri & Ganisha Puspitasari Bom Bali yang terjadi 2002 silam, berakibat buruk bagi para perajin payung geulis yang berpusat di Jalan Martadinata, Panyingkiran, Indihiang, Tasikmalaya, Jawa Barat. Turis mancanegara seakan mencoret desa produsen payung geulis dari daftar destinasi wisata.
Hasanah, pelukis payung geulis sedang memamerkan karyanya yang bernilai jutaan rupiah.
12
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
// EKONOMI - Des.2019 // “Hingga saat ini memang tidak ada turis mancanegara lagi akibat kejadian bom Bali. Kalau dulu, sebelum kejadian itu (bom Bali), setiap hari pasti ada saja turis bule, baik itu dari Eropa, seperti Spanyol, Italia, Belanda, Jerman, maupun dari Australia,” jelas Dayat, generasi ketiga dari seniman pencetus payung geulis. Memang, payung berhiaskan lukisanlukisan cantik atau biasa yang disebut payung geulis, sangat jarang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Payung yang terbuat dari kain atau kertas tersebut kini kalah populer dengan payung modern. Masyarakat lebih familiar dengan payung yang terbuat dari parasit. Siapa sangka, di balik peristiwa bom Bali dan kalah tenar dengan industri payung parasit, ternyata usaha payung geulis masih terus bertahan. Para perajin payung di Desa Panyingkiran tiap harinya terus memproduksi puluhan hingga ratusan payung demi memenuhi pesanan pelanggan. Tidak hanya Tasikmalaya, kelima perajin payung geulis juga mendistribusikan
produknya ke luar kota. Bahkan, pesanan tidak hanya datang dari Pulau Jawa, seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, maupun Surabaya, mereka juga memiliki pelanggan tetap di Pulau Sumatra dan Bali.
Hasanah mengaku bisnis payung geulis masih sangat menjanjikan, walaupun tidak banyak masyarakat mengetahui eksistensi payung cantik ini. Payung yang berbahan kertas dan kain ini memiliki segmen pasar tersendiri.
“Memang tidak seramai saat tahun 80an, ketika payung geulis masih baru diperkenalkan kembali, tapi sampai saat ini setiap harinya selalu ada pesanan kok,” jelas Dayat.
“Pesanan mah tidak akan berhenti. Pasti ada saja yang pesan. Biasanya untuk nikahan atau festival-festival gitu. Penaripenari kan biasanya juga pakai payung geulis buat jadi properti,” ucap Hasanah sambil melukis bunga di atas kerangka payung.
Berkisar 100 meter dari deretan mural bertemakan keindahan payung geulis, terdapat salah satu rumah produksi payung. Di dalam rumah yang bercat biru tersebut, seorang wanita paruh baya secara saksama melukis bunga sakura di permukaan kain payung. Jari-jarinya yang sangat lincah membuatnya hanya memerlukan kurang lebih 1 menit untuk menghiasi 1 unit payung. “Ini mah semuanya pesanan dari Semarang. Kemarin udah dikirim 25 unit, sisanya dikirim minggu ini. Katanya (payung pesanannya) dipakai untuk festival anak TK,” jelas Hasanah (59), pelukis payung geulis.
Nurmawan saat sedang beristirahat di sela produksi payung geulis.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
13
// SENORITA - No.1 //
Seorang warga yang diberdayakan dalam produksi payung geulis di Desa Panyingkiran, Tasikmalaya.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Pemberdayaan Warga Sekitar
14
Di tengah pasang surut eksistensinya, satu hal yang pasti dari usaha payung geulis ialah pemberdayaan warga sekitar. Dari tahun-tahun awal kemunculannya hingga sekarang, usaha ini selalu memberdayakan masyarakat di Daerah Panyingkiran.
pelukis payung. Seluruh karyawannya merupakan masyarakat sekitar Daerah Indihiang.
Dayat menjelaskan pada 1970-an, 90 persen dari masyarakat Panyingkiran menggantungkan hidupnya pada usaha ini. Baik sebagai seniman, pekerja, hingga pengusaha. Tahun tersebut dapat dikatakan sebagai masa kejayaan payung geulis, karena banyak turis mancanegara yang datang berkunjung.
Salah satu pekerja di Nayla Collection, Nurmawan, siang itu terlihat sibuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap beberapa payung yang baru selesai dilukis. Tugasnya, memastikan produk sudah layak jual dan menambah beberapa pemanis bagi payung. Selain finishing produk, pria berusia 31 tahun ini juga bertanggung jawab terhadap pengerjaan rangka payung. Melalui kegiatannya ini, Nurmawan mendapatkan upah bersih sebesar Rp2.000.000 per bulan.
Kini, setelah hampir setengah abad berlalu, payung geulis hanya menyisakan 5 seniman dan beberapa pengusaha. Sebut saja Nayla Colletion milik Susan dan Budi. Melalui usaha mereka, pasangan suami istri tersebut telah memberdayakan 7 pekerja dan 3
Berseberangan dari posisi Nurmawan duduk, tepatnya di sisi kanan pintu masuk menuju pabrik yang berbentuk rumah ini, Hasanah, tampak sedang melukis beberapa payung. Hasanah merupakan salah satu dari lima seniman payung geulis yang masih tersisa.
// EKONOMI - Des.2019 // FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Sehari-harinya, wanita berusia 59 tahun ini memulai kegiatannya di pabrik milik Susan pada pukul 09.00. Letak antara rumah dan pabrik yang hanya berjarak 100 meter jelas memudahkan mobilisasi Hasanah yang sudah tidak berusia muda. Sejak pagi hingga pukul 15.00, Hasanah biasanya dapat menghasilkan 50 hingga 100 payung geulis. Untuk setiap payung yang dilukis, Hasanah mendapat upah Rp1.000. Upah ini kemudian akan dibayarkan setiap 2 minggu sekali. Biasanya, Hasanah dibayar 2 kali sebulan dengan minimal pendapatan Rp800.000. Jumlah ini dapat berubah sesuai dengan jumlah payung yang ia lukis. Tidak hanya di pabrik milik Susan dan Budi, pemberdayaan masyarakat sekitar juga terlihat di usaha payung geulis milik Dayat. Pria berusia 50 tahun ini mempekerjakan 5 orang dan beberapa pelukis payung. Sistem kerja dan upahnya sama seperti yang diterapkan di pabrik Nayla Collection. Pekerja dibayar per bulan, sedangkan pelukis dibayar dengan sistem borongan.
Dengan saksama dan telaten, Hasanah melukiskan satu demi satu bunga sakura di kain payung.
Mural payung geulis di jalan masuk menuju sentra produksi payung geulis.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
15
// SENORITA - No.1 // FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Abu Bakar, seorang pendatang di Kampung Dukuh yang telah datang ke kampung ini sejak tahun 80an. Kedatangannya dikarenakan masalah keluarga yang sempat menimpanya. Pelariannya membuat ia malah justru menikah dengan warga asli Kampung Dukuh.
16
// EDITORIAL - Des.2019 //
Kampung Dukuh Tempat Pelarian dari Himpitan Ekonomi Oleh: Indah Purnamasari Kemiskinan masih menjadi persoalan ekonomi yang melekat di sendi kehidupan manusia. Sulit untuk dihilangkan atau pun diminimalisasi. Entah kemiskinan karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan atau yang menyangkut aspek sosial dan moral. Himpitan ekonomi masih menjadi momok menakutkan di masyarakat. Memaksa seseorang untuk melakukan apapun agar terbebas dari jeratnya. Kemiskinan, utang piutang dan kebangkrutan bak membentuk suatu hubungan yang saling terkait. Jika tak mampu mengatasi, kabur dari permasalahaan hingga mengakhiri hidup dijadikan sebagai pilihan. Ironi memang, melihat bagaimana geliat seseorang dalam upaya keluar dari himpitan perekonomian. Kampung Dukuh yang selama ini terkenal sebagai Kampung Adat, ternyata dijadikan wadah bagi mereka yang ingin kabur dari permasalahan, termasuk masalah perekonomian. Mencari ketenangan, begitu alasannya. Mencoba sejenak melepaskan beban. Tapi bagaimana dengan upaya memenuhi tanggung jawab? Ya, sementara dilupakan saja. Kampung yang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat ini memang terbilang jauh dari keramaian. Sulit diakses, mengingat letaknya berada di bawah kaki gunung. Tempat yang pas untuk perasingan. Tidak adanya
alat komunikasi ke dunia luar semakin melengkapi aksi pelarian. Mereka biasa disebut pendatang. Siapapun dan dengan alasan apapun semuanya diterima. Diberikan kesempatan untuk tinggal. Seminggu, sebulan, bahkan tahunan, hingga waktu yang tidak ditentukan. Seperti terlahir kembali, mereka memasuki kehidupan baru serta mendapat keluarga baru. Para pendatang tidak perlu risau perihal tempat tinggal, karena telah disediakan. Balai kampung selain dijadikan tempat pertemuan, juga disulap menjadi tempat beristirahat. Beberapa tas, baju-baju tergantung di dinding, hingga gelas-gelas minum terlihat begitu memasuki tempat tersebut. Ya, hampir seperti rumah pada umumnya. Tenang, itu yang mereka rasakan. Siapa yang tidak tentram jika mereka bisa tinggal dengan nyaman tanpa dibebani pekerjaan sehari-hari. Lalu yang terpenting, masalah apapun yang dibawanya berhasil dihindari. Kampung Dukuh memang menyambut baik siapapun yang datang. Warganya juga nampak ramah terhadap wisatawan. Bahkan, secangkir teh panas telah disiapkan untuk menyambut siapapun yang mau mampir kerumah. Namun, bagaimana jika keramahan tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab? Sebagai kampung yang memegang teguh adat-istiadat serta nilai-nilai norma, seharusnya terdapat filter yang mampu memilah dan memilih siapapun yang ingin singgah. Baik dalam waktu singkat atapun jangka panjang. Latar belakang permasalahan apa yang dibawa sebaiknya dijadikan faktor penentu bisa tidaknya mereka menetap. Setidaknya, untuk menentukan berapa lama mereka bisa tinggal. Jangan sampai kampung adat malah dijadikan tempat pelarian di tengah himpitan perekonomian.
17
// SENORITA - No.1 //
LIPUTAN UTAMA SENORITA
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
18
CARUT MARUT INDUSTRI GARUT
19
// SENORITA - No.1 //
Risiko di Balik Upah Tinggi Oleh: Ganisha Puspitasari “Jika saya lapor ke bos, pasti malah akan dimarahi karena tidak hati-hati,� begitulah ucap Ahmad (18), salah satu pekerja di pabrik penyulingan akar wangi, Samarang, Garut, Jawa Barat, saat ditanyai mengenai bekas luka yang berada di sekujur tangan dan pahanya. Goresan lukanya memang tidak tampak serius, akan tetapi kecelakaan kerja dialaminya hampir setiap hari.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
20
Ahmad, sedang memantau proses penyulingan di hadapan panasnya bara api yang menyala.
Tentu, Ahmad sebagai buruh pabrik memiliki hak untuk mendapat perlindungan kerja. Terdapat peraturan khusus yang melindungi keselamatan para buruh, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut disebutkan pada pasal 1, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berupa uang tunai atau pelayanan kesehatan diberikan pada saat peserta (karyawan) mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Peraturan Pemerintah (PP) mengenai keselamatan kerja sepertinya memang dihiraukan oleh pabrik penyulingan akar wangi tersebut. Bahkan, para buruh yang mendapat luka bakar, baik ringan maupun parah harus menanggung sendiri pengobatannya.
“Biasanya kalau luka gitu, kita beli salep di apotek. Waktu itu juga pernah luka bakarnya sedikit parah, jadi harus ke puskesmas. Bayarnya (pengobatan) pun pakai uang sendiri, pabrik tidak nanggung (pengobatan) sama sekali,� begitulah pengakuan Dedeh (28), salah satu buruh di pabrik penyulingan akar wangi. Di mes tempat mereka tinggal, berkisar 4x4 meter, para buruh pabrik, Dedeh, Ahmad, dan Jaman menceritakan pengalaman buruk yang mereka alami selama bekerja di sana. Terkena panasnya tungku dan terjepit mur adalah makanan sehari-hari mereka. Bahkan, menurut pengakuan ketiga buruh tersebut, berkisar dua tahun lalu terdapat korban jiwa, seorang tengkulak yang dadanya tertusuk besi panas. “Iya dulu ada (korban meninggal). Besi panasnya sampai menembus ke dada, akhirnya Pak Haji (pemilik pabrik penyulingan akar wangi) memberi kompensasi ke keluarganya, tapi saya lupa namanya siapa,� jelas Dedeh. Hal yang sama juga dilontarkan salah satu pegawai yang bertanggung jawab terhadap bahan bakar penyulingan, Asah (56). Menurut pengakuannya, kecelakaan kerja memang sering terjadi. Terlebih, saat pabrik penyulingan akar wangi masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Tangki penampung minyak sangat rawan meledak. Bahkan, korban jiwa sempat berjatuhan akibat dentuman drum minyak.
21
// SENORITA - No.1 // FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Di balik semua kasus kecelakaan kerja yang pernah terjadi, tidak ada satu pun yang berdampak besar bagi perusahaan. Jalur ‘damai’ dengan memberi kompensasi kepada keluarga korban selalu menjadi alternatif utama pabrik akar wangi untuk membungkam amarah korban. Bahkan, kecelakaan kerja dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi. Hal ini diakui secara gamblang oleh manajer penyuling pabrik akar wangi, Edi (54). Ia menganggap kecelakaan kerja adalah kelalaian karyawan. Menurutnya, pihak pabrik tidak perlu memperbaiki sistem untuk meminimalisasi kecelakaan.
Besi-besi panas tergeletak begitu saja di dekat tungku api pembakaran. Hal tersebut sama sekali tidak dihiraukan para buruh. Di bawah panasnya terik mentari, mereka tetap memproduksi minyak akar wangi tanpa terbalut satu pun alat pengaman, baik masker maupun sarung tangan.
“Itu sih (kecelakaan) karena mereka tidak hati-hati. Coba saja mereka kerjanya tidak buru-buru, pasti tidak akan terjadi kecelakaan. Jelas bukan kesalahan sistem pabrik,� tegasnya saat ditanyai mengenai keselamatan kerja karyawan.
Ahmad dengan sukarela memperagakan bagaimana ia bekerja setiap harinya selama 3 tahun berkarir di pabrik penyulingan. Dengan tenangnya, pria berbaju merah itu memasuki tungku perapian untuk memantau panasnya bara api. Walaupun nyala api membuat udara sangat panas dan menciptakan bau menyengat, Ahmad tanpa ragu melanjutkan pekerjaannya. Tidak ada satu pun pengaman yang ia gunakan, hanya bermodalkan kaus dan celana pendek, ia dapat menyelasaikan tugasnya.
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Ahmad mempraktikkan penuangan oli sebagai bahan bakar penyulingan akar wangi.
22
Luka yang didapat Ahmad ketika bekerja di pabrik akar wangi.
Bertahan Akibat Keadaan Di balik tingginya risiko kerja yang dialami para buruh pabrik, Dedeh, Jaman, dan Ahmad mengaku kuantitas upahlah yang membuat mereka bertahan dengan pekerjaannya. Para pekerja diupah sesuai kuantitas drum minyak yang dihasilkan per harinya. Para buruh rata-rata memproduksi 2 tangki minyak, sehingga mereka mendapatkan Rp500.000. Akan tetapi, dalam melakukan tugas, para pekerja tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Dibutuhkan 5 buruh dalam 1 tim produksi, maka satu orang mendapat Rp100.000 per hari. Upah yang didapat buruh pabrik dapat mencapai Rp3.000.000 per bulannya.
Edi menganggap honor yang dikantongi para pekerja sudah lebih dari cukup. Bahkan, penghasilan para buruh pabrik hampir dua kali lipat Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat yang berkisar Rp1.668.372.
waktu kerja di toko bangunan, memang jauh lebih enak dan tidak berisiko. Jika memiliki kesempatan, saya ingin kerja yang lebih layak. Akan tetapi sulit, karena tidak banyak pilihan,� ujar Dedeh.
Selain kuantitas upah, tidak ada minimum pendidikan membuat para buruh memilih untuk mencari nafkah di pabrik penyulingan akar wangi. Seperti Ahmad, ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan, karena tidak banyak perusahaan mau mempekerjakan lulusan sekolah dasar. “Saya kerja di sini karena tidak mudah mencari pekerjaan untuk saya yang bahkan SD pun tidak tamat. Dulu
23
// SENORITA - No.1 //
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Asah beristirahat sejanak di tengah pekerjaannya memantau proses penyulingan.
Sif Malam Pembawa Petaka FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Sistem kerja borongan membuat jam kerja buruh tidak tentu. Jaman mengaku, ia dan rekan-rekannya bekerja dari siang hari hingga keesokan paginya. Pada malam hari, para pekerja secara bergantian menjaga tungku api agar tidak terjadi ledakan. “Kita kerjanya dibagi sif, biasanya kalau malam hari ada 2 orang yang jaga tungku. Nanti, kalau sudah ngantuk gantian. Setiap hari (bekerja) seperti itu, libur juga cuman sekali seminggu, jadi tidak bisa pulang setiap hari ke rumah, karena jam kerja tidak nentu,� jelas Jaman mengenai sistem kerja yang dilakukannya. Dedeh bercerita sif malam seringkali membawa petaka. Penerangan yang minim membuat para pekerja kerap kali tidak sengaja menyentuh besi panas. Selain problematika penerangan, jam kerja yang berdurasi panjang pun membuat karyawan tidak berada pada kondisi prima.
Sepatu boots dan drum oli yang tergeletak begitu saja di area bekerja.
24
“Memang durasi kerja buruh di sini sangat lama. Biasanya kalau sudah malam, jujur saya sudah merasa lelah dan biasanya karena kelelahan, ada saja kejadian, terlepesetlah atau tidak sengaja kena bara api,� jelas Ahmad sambil mempraktikkan pekerjaannya.
// LIPUTAN UTAMA - Des.2019 //
Menembus Keterbatasan Melalui Keikhlasan Oleh: Dianggi Ananda Putri
Salah satu kegiatan pelatihan foto produk yang dilaksanakan oleh Klinik Pengembangan Industri, Garut.
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
K
linik Pengembangan Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Garut memegang peran cukup penting. Celakanya, mereka justru tidak dibekali infrastuktur yang memadai. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan anggaran terbatas, serta fasilitas gedung yang tidak memadai menjadi problema
utama klinik. Meski demikian, klinik ini tetap teguh menjalankan tugasnya dalam mengembangkan Industri Kecil Menengah (IKM). Hal tersebut tercermin dalam komitmen anggotanya saat menjalankan program di tengah keterbatasan. Seperti yang terlihat pada saat tim Senorita mengunjungi Klinik Pengembangan Industri pada
25
// SENORITA - No.1 //
Jumat (18/10/2019). Salah satu pegawai Klinik Disperindag, Fajar Setiadi atau yang akrab disapa Fajar terlihat sibuk mempersiapkan pemotretan produk dari beberapa IKM. Berbekal kain putih berukuran 1x3 meter, telepon genggam, serta satu lampu (Light Emitting Diode) LED, ruang kosong di depan meja kerja rekannya disulap menjadi studio foto mini. Pria alumni jurusan teknologi informatika ini dengan leluasa menjelajah berbagai sudut demi mendapatkan hasil potret terbaik.
sanggup. Belakangan, kegiatan yang jauh di luar bidang keilmuannya ini menjadi program yang paling banyak diminati masyarakat.
Selain pemotretan, diskusi mengenai desain kemasan produk merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan Fajar. Konsultasi biasanya dilakukan di dalam Klinik Pengembangan Industri yang terletak di pojok belakang lingkungan Kantor Disperindag Kabupaten Garut. Tidak sebatas konsultasi, Fajar acap kali memberikan bantuan untuk mendesain kemasan produk IKM. Walau tidak mempunyai latar belakang desain grafis, Fajar tetap berusaha untuk menjalankan program karena merasa
“Dalam setahun, kita (Klinik Pengembangan Industri) hanya diberi anggaran operasional untuk sekali penyuluhan. Padahal, dalam seminggu saja jumlah penyuluhan bisa lebih dari 3 kali. Jadi, kalau tidak ada dana operasional dari sini, saya biasanya pakai dana pribadi, kendaran pribadi, atau kadang pakai Go-jek. Nggak apa-apa mah. Selagi memungkinkan dan saya mampu, pasti akan saya jalani,� ujar wanita berkerudung kelahiran Boyolali ini kepada tim Senorita.
Keteguhan untuk menjalankan tugas dalam keterbatasan juga ditunjukkan Siti Aminah. Penyuluh Madya serta penanggung jawab klinik yang telah berdiri sejak tahun 2016 ini, membagikan kisahnya ketika harus berhadapan dengan anggaran operasional yang terbatas.
Salah satu sudut ruang di Klinik Pengembangan Industri, Garut.
26
Keikhlasan yang ditunjukkan Aminah selama bekerja, ia coba tularkan pada koleganya. Hasilnya, beberapa dari mereka bersedia menjadi pembicara pada program sharing class Klinik Pengembangan Industri. Mereka yang berasal dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian ini berbicara dengan tulus dan ikhlas tanpa meminta biaya sedikit pun. “Saya kalau mengajak orang biasanya bilang begini, kamu mau berbuat baik nggak? Kamu mau menolong orang nggak? Kalau mau, ayo, sini. Bantu saya jadi pembicara di klinik. Akhirnya mereka mau. Orang baik itu masih ada, kan,� ujar Aminah sambil tersenyum kecil. Namun sayang, ketulusan dari sukarelawan tadi belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh klinik yang tidak memiliki kedudukan resmi pada struktur organisasi Disperindag. Hal ini dikarenakan
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
// LIPUTAN UTAMA - Des.2019 //
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Aminah sedang menjelaskan tujuan dan beberapa produk yang dikelola oleh Klinik Pengembangan Industri, Garut.
keterbatasan ruang yang biasa digunakan pada sharing class. Sehingga, animo masyarakat, khususnya IKM yang tinggi tidak dapat diakomodir sepenuhnya. Perbandingannya, kata Aminah, dari 60 peserta yang ingin mengikuti sharing class, hanya bisa ditampung 20 orang saja. Kondisi ini jelas memilukan bagi Aminah dan rekan. Di saat kesempatan untuk membantu sesama ada di depan mata, hal itu tidak bisa dilakukan karena keterbatasan, di situ Aminah dan rekan merasa sedih. Aminah merasa ada beban moral ketika harus berhadapan dengan kondisi tersebut. Terlepas dari segala kekurangan dan keterbatasan, nyatanya, klinik ini telah berhasil membantu pengembangan IKM. Dalam kurun waktu 3 tahun, kurang lebih mereka telah membina 500 Industri Kecil Menengah. Jubaedah, merupakan satu dari ratusan saksi keberhasilan tersebut.
Fajar sedang memperagakan cara foto produk yang menarik untuk menunjang perkembangan industri.
ini mengatakan banyak IKM dari daerahnya yang berhasil berkat bantuan Klinik Pengembangan Industri. Ratarata, kata pensiunan Dinas Koperasi Kabupaten Garut ini, IKM di wilayahnya memanfaatkan program konsultasi desain produk dan pendampingan terkait izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT). Keberhasilan dan kesaksian Jubaedah tadi, membuktikan Klinik Pengembangan Industri tetap bisa berkarya, meski terhalang berbagai keterbatasan. Komitmen dan keikhlasan yang ditunjukkan Aminah dan rekan, menjadi senjata utama penembus sekatsekat keterbatasan itu.
Pengurus Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Garut
27
// SENORITA - No.1 //
Tertatih Menembus Pasar Internasional Oleh: Putri Sonia & Ganisha Puspitasari FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Leni, pemilik Dani Leather, mengenalkan beberapa produknya sambil menceritakan alasan mengapa produk-produknya tidak diekspor
Sebagai salah satu kawasan industri di Kota Garut, Sukaregang memegang peranan penting. Pasalnya, proses produksi hingga penjualan barang siap pakai dilaksanakan dalam satu wilayah. Puluhan toko di Sukaregang menghasilkan pendapatan puluhan hingga ratusan juta setiap bulannya. Meski begitu, mereka belum pernah mengirimkan produk dalam skala banyak ke luar negeri.
28
// LIPUTAN UTAMA - Des.2019 // Namun, data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia berkata sebaliknya. Perkembangan ekspor barang-barang berbahan dasar kulit mengalami kenaikan dari tahun 2014 hingga 2018. Tren jumlah ekspor sepanjang tahun 2014-2018 sebesar 17,12%. Angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan minyak atsiri, kosmetik wangi-wangian (4,59%), dan barang-barang rajutan (4,74%). Sementara, siaran pers yang dipublikasikan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, industri kulit, produk kulit, dan alas kaki menunjukkan kinerja yang positif. Hingga menjelang akhir tahun 2017, investasi sektor ini telah mencapai Rp7,62 triliun atau naik 4 kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di lain pihak, para pengusaha kulit di Sukaregang mengaku pendapatan terbesar saat ini berasal dari para pengunjung yang langsung datang ke toko. Pemanfaatan teknologi digital untuk melebarkan sayap di kancah internasional belum direalisasikan. Seperti salah satu toko di Sukaregang, Astiga Leather. Kesan vintage sangat terasa melalui balutan kayu di setiap sudut dinding gerai. Pemilik toko, Luthfi Muhammad Sidik (28) mengaku desain dan tata letak merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk menarik minat pembeli. “Karena biasanya pelanggan kita adalah orang-orang yang datang langsung ke gerai, maka kesan positif harus dapat dirasakan pengunjung. Hal ini dilakukan agar konsumen puas dan melakukan transaksi berkelanjutan,” jelas Luthfi sambil memberi kartu nama Toko Astiga Leather.
Astiga Leather hanya mengunggah 3 foto. Walaupun pengikutnya sudah hampir mencapai 3.000, likes yang didapat dari setiap unggahannya hanya berkisar puluhan hingga yang tertinggi mencapai 133. “Penjualan Astiga sendiri memang belum mengandalkan media digital. Untuk saat ini penjualan konvensional masih sangat efektif. Bahkan, perbandingan penjualan konvensional dan online masih jauh, 70 : 30,” tambah Luthfi. Hingga saat ini, Astiga Leather masih terfokus dalam penjualan dalam negeri dengan pemasaran konvensional. Promosi dengan metode mulut-kemulut masih menjadi cara jitu mendapat pelanggan. Akan tetapi, bukan berarti toko yang berdiri sejak 1998 ini belum pernah mengirimkan produknya ke luar negeri. Walaupun tidak dalam skala banyak, Astiga Leather beberapa kali mengekspor produknya ke negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. “Biasanya mereka (konsumen luar negeri) mengetahui produk kita dari festival. Setiap tahun kita pasti ikut festival di dalam maupun luar negeri. Festival memang lumayan efektif untuk mengenalkan Astiga ke masyarakat,” ucap Luthfi.
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Luthfi memang mengaku belum tertarik untuk fokus dalam pemasaran digital. Pernyataannya ini dapat terlihat dari akun Instagram @Astigaleather yang sepi konten. Dalam kurun waktu 1 tahun,
Salah satu produk buatan Astiga Leather.
29
// SENORITA - No.1 //
Belum adanya pengiriman produk dalam skala besar juga diungkapkan pemilik Toko Dani Leather, Leni. Wanita berusia 46 tahun ini megaku tidak berani mengirim produknya ke luar negeri. Sertifikat menjadi problematika utama mengapa Leni takut memasarkan produknya ke kancah internasional. “Nggak berani teh. Soalnya kalau nggak ada sertifikat, nanti produknya nggak diakui dan diterima pasar internasional. Selama ini saya mah cuman ngirim semakan kulit ke Denpasar, terus dari sana baru diekspor ke luar negeri,” jelas Leni
FOTO:DIANGGI ANANDA PUTRI
Peran pemerintah menjadi penting, karena ada banyak faktor yang harus didukung untuk dapat menembus pasar internasional. Pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM), keuangan, dan pemasaran secara digital adalah hal yang harus digiatkan untuk mencapai mimpi para pengusaha kulit. Tidak dapat dipungkiri, pemerintah telah berusaha membantu para pedagang di Sukaregang. Salah satu bukti nyata dirasakan oleh Luthfi. Pada tahun 2013, Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Barat berhasil mengantarkan Astiga Leather mengikuti Hongkong Fashion Week. “Selain itu (Hongkong Fashion Week), pemerintah juga suka menjadikan produk Astiga sebagai suvenir kalau ada tamu dari dalam ataupun luar dan hal itu efektif banget untuk memperkenalkan produk kita,” jelas Luthfi.
Salah satu seorang pekerja di Astiga Leather sedang melakukan quality control pada bahan kulit yang telah disamak.
30
Tempat pengolahan limbah cair yang berada di PT GMP. Tempat ini berisi beberapa kolam yang berguna untuk melakukan beberapa kali penyaringan tehadap limbah. Tujuannya, di akhir air yang dihasilkan tidak lagi mencemari lingkungan
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
K Polemik Limbah tak Bertuah Oleh: Fajar Andrian
ota industri harusnya peka terhadap pelestarian Sumber Daya Alam (SDA) di lingkungan sekitar. Ironisnya, industri penyamakan kulit yang menjadi unggulan Kabupaten Garut justru “menyumbangkan� pencemaran sungai. Jika dibiarkan, masalah ini akan menjadi besar di kemudian hari. Terlebih, terdapat lebih dari 60 industri penyamakan kulit di Sukaregang. Keresahan tersebut ditulis oleh Diana Ningrum dalam risetnya tentang pengaruh industri penyamakan kulit terhadap kualitas lingkungan dan peran perajin dalam pengelolaan limbah. Ia menerangkan hasil pemeriksaan kualitas air yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Bandung telah terjadi penurunan kualitas air pada 3 sungai di Garut. Ketiga sungai tersebut adalah Sungai Ciwalen, Cikendi, dan Cigulampeng. Masyarakat tentu mengeluh dengan pencemaran sungai yang dilakukan industri penyamakan kulit. Bau tidak sedap sering kali dirasakan warga. Bahkan, aliran sungai yang melewati daerah hunian dan persawahan juga ikut tercemar hingga berubah warna.
31
// SENORITA - No.1 //
Lebih lanjut, Diana menjelaskan bahan kimia yang digunakan para penyamak kulit terdiri dari Krom dan Sulfida. Kedua unsur tersebut merupakan Bahan Beracun Berbahaya (B3). Tentu, dalam proses pembuangan limbah, perajin harusnya mengelola limbah cair terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Perajin dapat membangun bak pra sedimentasi yang berfungsi sebagai pengolahan awal sebelum diolah ke Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) gabungan. Selain itu, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penerapan konsep daur ulang mempunyai peranan penting dalam menjaga lingkungan. Di Kawasan Sukaregang nampak tidak ada hal yang janggal. Akan tetapi, saat tim Senorita menelusuri lebih dalam, ditemukan fakta menarik. Aliran sungai terlihat berwarna putih kental. Tidak hanya itu, aroma tidak sedap juga tercium sangat jelas. Tak jauh dari sungai, terlihat tempat penampungan air limbah dengan warna putih pekat. Tim Senorita melangkah lebih dalam lagi. Nampak beberapa orang sedang memilah kulit di belakang sebuah bangunan besar. Aroma tak sedap terasa semakin menyengat, memberi tanda bahwa pengelolaan limbah belum baik.
Fakta yang tim temukan menandakan pengelolaan limbah industri penyamakan kulit masih belum peduli terhadap lingkungan sekitar. Kondisi tersebut sangat berbahaya. Terlebih letak pabrik penyamakan kulit berada di tengah padatnya pemukiman penduduk. Tidak semua limbah industri penyamakan kulit dikelola dengan sembarangan. PT Garut Makmur Perkasa (GMP) punya cerita berbeda. Pengelolaan limbah di GMP sangat baik. Staf PT GMP, Teten Taufik menjelaskan limbah yang dihasilkan akan diambil dan dikelola oleh perusahaan maupun pihak kedua. “Limbah yang dihasilkan dari penyamakan kulit ada 2 macam, limbah cair dan limbah kulit yang tidak dapat dipakai. Limbah kulit kita sudah ada yang mengambil, pihak kedua yang akan mengelola limbah tersebut. Untuk yang cair, kita olah sendiri,” ujar Teten. Lebih lanjut, Teten menjelaskan instalasi pengelolaan air limbah di GMP akan melalui 4 tahap sebelum dialirkan ke sungai. Air dari ruang produksi akan dialirkan ke tempat penampungan. “Di wadah pertama, air akan diendapakan untuk memisahkan lumpur,” ujarnya sembari memperlihatkan tempat pengelolaan limbah.
Setelah melalui tahap pengendapan, kemudian dialirkan menuju wadah kedua. Wadah ini memiliki aerator, sebuah alat yang membantu proses aerasi. Aerasi merupakan proses penambahan oksigen yang terkandung dalam air limbah, sehingga proses oksidasi biologi oleh mikroba dapat berjalan dengan baik. Setelah melalui tahap ini, kandungan zat kimia akan hilang. Setelah terpisah dengan zat kimia, air akan melalui wadah ketiga. Di tahap ini, air dan gelembung akan dipisahkan. Setelah terpisah, air akan dikeluarkan melalui pompa air menuju wadah keempat. Air yang keluar jernih dan tidak berbau. Di tahap terakhir, air akan melalui filter sebelum dibuang ke sungai. “Air limbah kami tidak berbahaya, karena telah melalui prosedur yang benar,” tambahnya seraya cuci tangan dengan air tersebut. Selama industri penyamakan kulit ini berdiri, belum ada keluhan masyarakat akibat limbah dari proses penyamakan. “PT Garut Makmur Perkasa menjadi satu-satunya industri penyamakan kulit dengan pengelolaan limbah terbaik di Garut,” ungkap pria berusia 47 tahun ini.
Teten membasuh tangannya dengan air limbah yang telah diolah. Ia membuktikan bahwa air limbah GMP tidak berbahaya.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
32
// LIPUTAN UTAMA - Des.2019 //
Jerigen berisi bahan kimia untuk pengolahan limbah.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Pekerja mengaduk kolam limbah untuk memastikan tidak ada sumbatan. FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Tong berisi bahan kimia untuk pengolahan limbah.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Kolam penampungan limbah di PT GMP.
33
// SENORITA - No.1 //
Carut Marut Industri Garut Oleh: Putri Sonia
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
34
Harapan Bupati Garut, Rudy Gunawan untuk menjadikan kawasannya sebagai kota industri seperti api jauh dari panggang. Realitasnya, Garut belum cukup pantas untuk dibebani label tersebut. Kesejahteraan pekerja dan kelestarian alam masih menjadi pertanyaan. Pada sektor-sektor industri di Kabupaten Garut, para pekerja belum mendapat upah yang sesuai. Keselamatan kerja pegawai tidak menjadi tanggungan perusahaan. Limbah pabrik yang dibuang ke sungai merupakan salah satu contoh kegagalan menjaga kelestarian alam.
Di lain sisi, sektor kerajinan kulit di Garut masih bermimpi untuk dapat menembus pasar internasional. Sebagai salah satu industri besar di Garut, hingga saat ini para pengusaha kulit di Sukaregang belum pernah mengirimkan produk jadi ke luar negeri dalam skala besar. Beberapa pelaku usaha juga masih setia pada pemasaran konvensional di tengah perkembangan digital. Dari sektor pemerintah, Klinik Pengembangan Industri dibentuk oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Garut. Klinik yang dibangun untuk pembinaan Industri Kecil Menengah (IKM), pada kenyataanya masih belum bergerak maksimal akibat tidak tersedianya infrastruktur dan ruang seminar yang memadai, kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak mendukung, serta anggaran penyuluhan yang relatif minim.
Salah seorang penjahit di padatnya kawassan industri kulit Sukaregang, Garut.
35
// SENORITA - No.1 //
Garut yang dikenal dengan industri kulit, minyak akar wangi, dodol, dan kerajinan anyaman tentu dapat berkembang dengan baik, jika diimbangi dengan sinergi yang baik antara pemerintah dan para pelaku usaha. Terdapat 5 kecamatan di Wilayah Garut Utara yang direncanakan menjadi kawasan industri. Kecamatan itu ialah Balubur Limbangan, Selaawi, Malangbong, Cibatu, dan Leles. Hingga saat ini, hanya 4 kecamatan yang resmi menjadi kawasan industri, kecuali Selaawi. Fakta ini sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan pada 21 Juni 2019. Meski begitu, Perda tersebut masih dalam proses menunggu persetujuan kembali Gubernur Jawa Barat. Saat dikonfirmasi kepada Keluarga Mahasiswa Garut (Kemaga) di Yogyakarta, mereka menyampaikan,
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
36
wacana tersebut akan menghasilkan keuntungan dan kerugian. “Keuntungannya hanya sedikit. Warga Garut yang menjadi pengangguran bisa mendapatkan lapangan kerja. Tapi kerugiannya? Sangat banyak. Akan terjadi pemerataan tanah warga atau pegunungan untuk lokasi industri,� ungkap salah satu mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya. Ia juga menambahkan, banyak terjadi pencemaran lingkungan di Daerah Sukaregang, Leweung Tiis, dan Bulu Mata. Hal ini disebabkan pihak industri tidak memiliki wadah limbah industrinya sendiri. Jadi, sungai yang biasa warga pakai untuk kebutuhan sehari-hari tidak bisa digunakan. Dalam rangka mencapai kota industri, diperlukan sinergi antara pekerja dengan
Seorang pekerja sedang mengaduk dodol dengan seluruh tenaga di pabrik dodol “Picnic”, Garut.
pengusaha, investor, dan pemerintah. Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) serta Sumber Daya Manusia (SDM) dengan mempertimbangkan kelestarian alam dan kesejahteraan manusia menjadi kunci utama dalam geliat kota industri. Diperlukan kesiapan yang matang dari masing-masing elemen untuk menciptakan kota industri yang terintegrasi. Perencanaan Garut sebagai kota industri tentu bukan tanpa alasan. Banyaknya sektor-sektor industri di Garut dipercaya dapat mendukung pemerataan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi juga dipercaya bisa terjadi dengan adanya kawasan industri. Menurut Ahli Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Rini Dwi Astuti, S.E., M.Si. output akan bertambah dengan pertumbuhan ekonomi. Output berbicara mengenai produksi. Produksi yang lebih banyak, tentunya akan membuka kesempatan kerja yang lebih luas. “Jika ekonomi bertumbuh, diharapkan ada trickle down effect, efek menetes
37
// SENORITA - No.1 // FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
ke bawah. Indikator pertumbuhan ekonomi itu kan dinilai dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Begitu PDB dan PDRB naik, otomatis ekonomi tumbuh. Akan tetapi, apakah bisa menyejahterakan masyarakat yang ada di sekitarnya?�, tambah Rini. Berbicara mengenai kesejahteraan, upah pegawai di Wilayah Garut masih berada di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Garut dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat. UMK Garut tahun 2019 sebesar Rp1.807.285, sedangkan UMP Jawa Barat sebesar Rp1.668.372. Di kawasan industri kulit Sukaregang, seorang pramuniaga di Toko Agung Leather mengaku mendapat Rp700.000 per hari dengan jam kerja selama 9 jam. Saat dikonfirmasi kepada pemilik Toko Dani Leather, Leni mengaku gaji
38
Para pekerja di gudang pembuatan tepung beras sedang menunggu waktu untuk pulang sesuai jadwal meskipun pekerjaan telah selesai.
yang diberikan kepada para pegawai bermacam-macam. Biasanya, para pegawai akan mendapat Rp800.000. Namun, ia akan menaikkan gaji para pegawai yang sudah lama bertahan. Leni menambahkan, gaji terbesar para pegawai di tokonya ialah Rp1.500.000. Hal yang sama juga dialami seorang pekerja di gudang pembuatan tepung beras Dodol Picnic, Andi. Saat ini Andi mendapat gaji Rp49.000 per hari dengan uang tambahan sebesar Rp1.000 hingga Rp2.000 pada saat produksi dalam skala banyak. Dalam sebulan, Andi biasa memperoleh Rp1.470.000 Temuan-temuan di lapangan menunjukkan berbagai fakta baru mengenai kesiapan Garut sebagai kota
industri. Pertanyaan-pertanyaan masih bergulir liar tak kunjung menemui jawaban. Pernyataan terlontar dari masing-masing elemen perindustrian. Di ujung hari, masih tersisa satu pertanyaan: Siapkah Garut menjadi kota industri?
Siapkah Garut Menjadi Kota Industri?
Andi, seorang pekerja di gudang pembuatan tepung beras Dodol Picnic bercerita mengenai gaji yang ia terima sejak 32 tahun yang lalu
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
39
// SENORITA - No.1 //
Abu Bakar menceritakan kisah hidupnya dan pantangan-pantangan sebagai warga kampung dukuh sambil sesekali menyesap rokok di tangannya
Putar Otak Bertahan Hidup Dalam Pantangan Oleh: Rayhan Naufal Asyrafi & Putri Sonia
40
// SOSIAL - Des.2019 //
Seorang lelaki lanjut usia tampak duduk di teras rumahnya sambil menikmati tembakau di tangannya, raut wajahnya menampakkan kegembiraan. Seakan hari ini dan esok akan tetap berjalan lancar dengan kelakar tawa.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Mengenakan peci dan sarung, ia menyambut siapa saja yang hadir dengan suara khasnya. Abu Bakar namanya. Pria berusia 72 tahun yang kerap kali dipanggil Habib oleh warga Kampung Dukuh. Menurutnya, panggilan itu datang karena ada darah Timur Tengah yang mengalir pada dirinya.
dan warga sekitar melewati malam tanpa penerangan.
Sejenak di teras, Habib dan istrinya mempersilahkan tim Senorita masuk. Rumahnya dihiasi kulit kambing yang telah diawetkan, beberapa tokoh wayang, dan hasil kerajinan tangan. Tim Senorita dipersilahkan duduk di tikar yang terbuat dari anyaman plastik bungkus kopi saset.
Beragam pekerjaan dilakukan warga Kampung Dukuh untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bertani dan berkebun adalah pekerjaan mayoritas warga Kampung Dukuh. Meski begitu, tidak semua hasil tani bisa dijual kepada masyarakat luas.
Sempat terlintas pikiran, apakah Habib menjual anyaman seperti ini untuk menyambung hidup. Ternyata tikar itu dibuat oleh Habib untuk mengisi waktu luangnya. Ketiadaan listrik di Kampung Adat Dukuh menjadikan waktu luang masyarakatnya menjadi lebih bermanfaat. Karena kesehatan Habib yang mulai menurun, tulang punggung keluarga di rumah itu berpindah kepada istrinya, Halimah. Dengan daster panjang dan kerudung yang diikatkan ke belakang, ia bercerita bagaimana keluarga kecilnya
Anak-anak yang masih berada di bangku sekolah biasanya belajar dengan penerangan lilin atau senter. Sedangkan para orang tua menghabiskan waktu untuk tidur setelah seharian bekerja.
Adat di Kampung Dukuh menyebutkan, bahan pangan hasil tani harus disuguhkan kepada tamu yang hadir sebagai hidangan. Oleh karena itu, tidak terlihat 1 warung pun yang menjual makanan dan minuman di Kampung Dukuh. “Kalau warung tuh ada, cuman di Dukuh Luar. Biasanya sih kita perginya kesana kalau butuh apa-apa yang cepat gitu,� kata Halimah Halimah yang memiliki 12 anak tentu saja harus memutar otak untuk menyambung hidup. Ia sering kali membeli hasil
41
// SENORITA - No.1 //
Hiasan kulit kambing dan wayang di ruang tamu rumah Habib yang ia buat sendiri saat waktu senggang. FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
pangan kebun tetangganya, lalu ia olah menjadi keripik, dan kemudian dipasarkan di Kota Bandung. Tidak setiap hari Halimah pergi ke Kota Bandung. Biaya yang tak sedikit membuatnya harus mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk modal perjalanan. Dalam satu kali perjalanan ke Bandung, Halimah menghabiskan Rp600.000 untuk menyewa mobil. Dagangan yang ia bawa jika habis terjual akan menghasilkan Rp1.200.000. Keripik pisang, selai pisang, keripik gadung, dan berbagai macam olahan kering lainnya adalah dagangan yang biasa dijajakan Halimah. Peran Habib dan Halimah sebagai orang tua tidak semata-mata membuat mereka menjadi satu-satunya ujung tombak keluarga. Dua belas anak yang mereka
42
miliki turut menjadi bagian dalam usaha mempertahankan hidup keluarga ini. Saat ini, hanya ada 2 anak mereka yang masih tinggal di rumah. Mereka berdua masih menempuh pendidikan, kelas 5 SD dan 2 SMP. Sisanya sudah tersebar di kota-kota lainnya. Ada yang mencari pendidikan lebih baik, ada pula yang sudah bekerja untuk membekali diri sendiri dan keluarga. Sulitnya akses di Kampung Dukuh membuat pilihan yang ada untuk sarana pendidikan menjadi terbatas. Kedua anaknya harus menempuh 2 km untuk berjalan kaki menuju sekolah. Sulitnya akses pendidikan ini disebabkan oleh buruknya infrastruktur yang ada. Namun, alih-alih mengharapkan perbaikan infrastruktur, Habib justru
tidak mengharapkan apa-apa perihal ini. “Jalan rusak seperti gitu kan sudah dari dulu. Memang dari awalnya sudah begitu bentuknya. Saya sih nggak mengharapkan perubahan macam itu. Yang sudah ada, biarkan seperti itu. Takutnya nanti kalau ada perbaikan, ada yang berubah malah ada yang nggak suka. Nanti malah jadi kenapa-kenapa,� kata Habib. Sulitnya akses pendidikan inilah yang membuat beberapa anaknya memutuskan melanjutkan pendidikan di kota lain. Seperti anaknya yang ke-7. Ia melanjutkan pendidikannya di Bangka. Saat ini ia sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke dunia perkuliahan. Halimah sendiri mengakui anaknya yang ini merupakan murid berprestasi. Ia
// SOSIAL - Des.2019 //
Halimah saat menyusuri jalan di Kampung Dukuh untuk beraktifitas. FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
sering kali mendapat peringkat pertama di sekolahnya. “Kemarin tuh dia karena rangking 1 diajak sama gurunya pergi ke Hongkong,” ungkap Halimah dengan bangga. Beberapa anaknya yang lain juga sudah bekerja. Bahkan, anak pertamanya sudah meninggalkan Kampung Dukuh sejak usia 14 tahun. Selepas SMP, ia pergi ke Kota Bandung untuk mencari peruntungannya di sana.
Tentu bukan perkara mudah untuk bertahan hidup di tengah pantangan. Namun, Kampung Adat Dukuh mengajarkan masyarakatnya untuk selalu ikhlas dan hidup dalam kebersamaan. Mereka percaya bahwa apapun yang diberikan kepada orang lain tidak akan membuat mereka kekurangan, justru sebaliknya. Hal ini yang dipercaya oleh Halimah dan warga sekitar selama berpuluh-puluh tahun. Menjadikan rasa syukur dan ikhlas bersemayam dalam diri walau himpitan seakan tiada henti.
“Yang kerja ya sudah lumayanlah. Kemarin sih ada tuh yang perempuan sudah mau kerja di bank, tapi masih menunggu lagi nggak tahu kenapa,” kata Halimah.
43
// SENORITA - No.1 //
Kampung Dukuh di Antara Permasalahan dan Keikhlasan Oleh: Fajar Andrian Gerbang masuk Kampung Dukuh. Jalan yang tersedia sangatlah buruk sehingga sulit diakses.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Kampung Dukuh memiliki 2 permasalahan serius yang harus segera ditangani. Ancaman kebakaran hutan dan akses jalan rusak. Tempat ini secara administrasi masuk Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kampung Dukuh memiliki potensi wisata budaya, namun kerap diabaikan pemerintah daerah. Bertahun-tahun masyarakat di sini hidup dengan kondisi jalan yang rusak. “Sebelum era Pak SBY, sudah sering diumumkan bupati bahwa jalan akan diperbaiki,” ujar Yayan Hermawan selaku Juru Bicara Kampung Dukuh. Masyarakat Kampung Dukuh tidak banyak menuntut pada pemerintah terkait akses jalan yang rusak. Menurut Yayan, masyarakat mempunyai prinsip “dihayang hayang, diembung embung musti jadi”. Prinsip tersebut memiliki makna “ingin tapi tak ingin, segala sesuatu jika sudah waktunya maka akan terjadi”. Yayan mengaku telah beberapa kali bertemu Bupati Garut dan telah dijanjikan jalan akan segera diperbaiki. “Di draf sudah ada, dari Dinas Pekerjaan
44
Umum Kabupaten Garut sudah diukur. Rencana tahun 2020 akan dicor beton,” tambah pria yang menjadi pengurus Aliansi Adat Nusantara ini. Selain jalan rusak, kebakaran hutan menjadi permasalahan yang pernah dihadapi masyarakat Kampung Dukuh. Delapan tahun silam, 10 September 2011, kebakaran terjadi di hutan jati milik Perhutani. Api menjalar ke permukiman penduduk Kampung Dukuh, si jago merah melahap rumah adat dan fasilitas umum. Dikutip dari Tempo.Co tentang kebakaran di Kampung Dukuh, terdapat 46 bangunan yang terbakar. Terdiri dari 40 rumah warga Dukuh Dalam, 2 rumah warga Dukuh Luar, dan 4 sarana umum, seperti madrasah, masjid, MCK, dan rumah adat untuk pertemuan. Penyebab kebakaran diduga dilakukan oknum pembalakan liar yang ingin membuka lahan.
// SOSIAL - Des.2019 //
Salah satu korban kebakaran, Abu Bakar bercerita, saat terjadi kebakaran, ia dan istrinya pergi ke Dukuh Luar untuk menyelamatkan diri. Api membakar rumahnya, ia kemudian mengungsi ke rumah saudaranya. “Mengungsi di tempat saudara ibu, di Dukuh Luar,” ujar pria yang kerap dipanggil Habib ini. Ketika diminta pendapatnya terkait ulah oknum pembalakan liar, Habib hanya berbicara segala sesuatu sudah ditentukan. Ia hanya bisa menjalaninya dengan rasa pasrah terhadap hal yang telah terjadi. Kebakaran hutan masih menjadi ancaman bagi masyarakat Kampung Dukuh. Sebab, jika musim kemarau, hutan jati rentan terjadi kebakaran.
Tim Senorita mengonfirmasi perihal akses jalan rusak dan potensi wisata budaya ke Kepala Seksi Analisis Data dan Informasi Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Kota Garut, Pepy Suparyani. “Kami telah mengajukan peraturan daerah untuk menguatkan Kampung Dukuh sebagai objek wisata. Selain itu, kami telah bekerja sama dengan dinas pekerjaan umum untuk memperbaiki akses jalan,” ujarnya. Potensi wisata sedang gencar dioptimalkan guna meningkatkan pendapatan asli daerah.
Buruknya akses jalan membuat tidak semua mobil bisa melewatinya. Hanya truk, pick up, dan beberapa ojek yang sering bolak-balik melewati jalan ini.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
45
// SENORITA - No.1 //
Suasana pesantren K.H Muhamad Soedja’i pada sore hari. Pesantren ini terletak di jalan Gudang Pesantren FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Tasikmalaya: Kontradiksi Kota Santri Oleh: Rayhan Naufal Asyrafi
Pada 2015, Tasikmalaya masuk dalam daftar 10 kota intoleran di Indonesia. Setara Institute sebagai peneliti memiliki indikator yang beragam, namun salah satunya adalah pelanggaran kebebasan beragama. Padahal Tasik memiliki julukan sebagai Kota Santri, julukan yang mencerminkan nilai religius dari kota ini.
Kota Santri sendiri muncul karena banyaknya jumlah pesantren di Tasik. Ada sekitar 1.200 pesantren yang tersebar, baik di wilayah kota maupun kabupaten. Selain secara infrastruktur, nama besar tokoh agamanya juga menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai contoh, sebut saja K.H Muhammad Soedja’i atau yang biasa disebut Mama Kudang. Ia adalah ulama besar di Kota Tasik dan menjadi salah satu tokoh yang dekat dengan para pejuang kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Soekarno dikabarkan beberapa kali mengunjungi Mama Kudang untuk meminta nasihatnya. Selain itu, ia juga orang yang dekat dengan Kartosuwiryo pada saat itu. Namun, faktor yang membuat Tasik mendapat julukan tersebut kini telah menjadi sesuatu yang berlawanan. Saat ini, pesantren-pesantren tidak lagi menjadi elemen utama dari kota ini, meskipun jumlahnya mencapai ribuan. Hal ini dijelaskan oleh pengurus pondok pesantren K.H Muhammad Soedja’I, Ikhsan. Ia adalah garis keturunan langsung Mama Kudang. Ia menyesalkan kini pesantren hanya menjadi kendaraan politik. Bahkan menurutnya, julukan Kota Santri saat ini sudah tidak lagi relevan untuk disandang Tasik. “Kota Santri itu hanya momentum politik. Mungkin
46
// SOSIAL - Des.2019 // dahulu, ulama-ulama Tasik menjadi orang besar dengan ilmunya, sehingga dilibatkan dalam proses negara ini. Namun sekarang tidak lagi seperti itu,” kata Ikhsan.
ulama mencurahkan keilmuan dan segala yang ia punya untuk pembelajarannya santrinya. Ini yang dijelaskan tenaga pengajar pada pondok pesantren K.H Muhammad Soedja’I, Indra.
Ia juga menjelaskan, kini banyak sekali orang-orang di dalam pesantren yang memanfaatkan label agama untuk mencapai tujuan politik. Menurutnya, orang-orang tersebut tidak lagi menjadikan ilmu mereka bagi sekitar, tapi hanya memanfaatkan nilai dari ilmu tersebut.
“Dulu, ulama punya kolam, ikannya buat santri. Ulama punya sawah, berasnya buat santri. Tidak seperti sekarang,” kata Indra.
Secara pemerintahan sendiri, Tasik sempat mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai Berlandaskan Ajaran Agama, atau Perda Syariah Islam. Namun menurut Ikhsan pelibatan pesantren dalam proses pemerintahan tidak lagi menjadi penting. Menurutnya, pesantren hanya dimanfaatkan secara nilai agamanya untuk kepentingan pribadi politis para pejabat. Ikhsan menjelaskan, banyak sekali pejabat yang mengunjungi pesantrennya pada masa menjelang pesta politik seperti pemilu. “Biasanya kalau sudah dekat-dekat pemilu akan banyak yang datang ke sini. Ramai-ramai sama para penjaganya. Ada yang semalaman di sini, dari salat sampai dzikir. Tapi yang mengherankan kenapa mereka hanya datang pada momen itu,” tambah Ikhsan. Hal ini menunjukkan sebagai Kota Santri, pesantren hanya dimanfaatkan sebagai kendaraan politik. Pada kehidupan sehari-hari, mereka bukanlah sebuah elemen utama dari kota ini. Ikhsan sendiri menyesalkan keadaan tersebut. Oleh karena itu, ia mencoba menjaga jarak antara pesantren dengan dunia politik, agar tidak hanya dijadikan kendaraan politik. Menurutnya, nilainilai murni pesantren harus tetap dijaga. Nilai-nilai murni pesantren sendiri sesungguhnya adalah ketika seorang
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Hal yang dimaksud Indra, kini sistem pengelolaan pesantren tidak lagi seperti seharusnya. Menurutnya, pesantren kini memberatkan para santri dan orang tua perihal biaya. Ia menganggap, pesantren haruslah bisa mandiri menghidupi pondok untuk menjamin kehidupan santrinya. Berbeda dengan sekarang, semua biaya diberatkan kepada santri dan orang tuanya. Hal ini membuat keilmuan dan segala yang ada dalam pesantren menjadi sebuah komoditas. Indra mengkhawatirkan nilai-nilai yang seharusnya diturunkan tidak maksimal, karena ada faktor biaya yang dikejar oleh pesantren. Selain itu, Indra meganggap pesantren kini tidak lagi terjangkau bagi segala golongan. Pesantren tidak lagi ramah bagi golongan menengah ke bawah. “Sekarang, paling murah pesantren itu untuk biaya hidup santri saja itu Rp800.000. Itu baru biaya hidup, belum biaya pendidikan. Itu angka yang tinggi buat keluarga menengah ke bawah,” terang Indra. Pada akhirnya, label Kota Santri yang tumbuh karena nilai pesantren dan nama besar tokoh agamanya kini telah memudar. Pesantren tidak lagi menjadi elemen utama dalam pertumbuhan kota ini. Ditambah, pengelolaan pesantren yang lagi tak ramah bagi semua golongan. Jika dipertahankan, santri bisa tak lagi jadi cerminan diri, melainkan hanya sebuah ajang komodifikasi.
Potret Ikhsan, garis keturunan Mama Kudang. Ia juga pengurus pesantren K.H Muhammad Soedja’i
47
// SENORITA - No.1 //
Asep sedang menunjukkan karya-karya finger painting buatannya. Karya tersebut ia jual di area Kampung Adat Naga
Asep Sudrajat: Seni Adalah Tentang Bertahan Hidup Oleh: Rayhan Naufal Asyrafi
48
// SOSOK - Des.2019 //
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Asep sedang berdiri sembari memperhatikan dengan saksama lanskap Kampung Naga, Tasikmalaya dari ketinggian. Jarinya sibuk melukiskan keindahan yang tersaji di depannya pada sebuah kertas lukis, sebelum akhirnya ada sekelompok orang yang lewat datang menghampirinya. “Lukisannya berapaan, kang?,” ucap seseorang dari kelompok tersebut. “Nih A’a, ada daftar harganya,” sahut Asep. Pada sebuah papan yang sudah agak kusam, tertulis harga yang harus dibayarkan orang-orang untuk mengapresiasi karya lukisnya. Tertera Rp5.000 untuk sebuah lukisan kecil, Rp12.000 untuk 3 buah lukisan kecil, Rp15.000 untuk yang berukuran sedang, serta Rp50.000 untuk ukuran yang
paling besar. Sebuah harga yang cukup murah untuk menebus sebuah hasil karya lukis. Mungkin, karya Asep tidak memiliki makna sedalam lukisan yang biasa dilelang dengan harga setinggi langit pada sebuah pameran. Namun, apakah iya sebuah karya yang diciptakan dengan keahlian dan waktu hanya bisa dihargai dengan harga segitu? Mengenal Asep lebih dalam, ia adalah seorang seniman finger painting. Sebuah teknik melukis tanpa kuas. Ia melukis hanya menggunakan jari dengan cat minyak pada media kertas khusus. Secara visual, ia lebih dominan melukiskan lanskap pemandangan. Melukis bukanlah hal baru bagi pria berumur 49 tahun tersebut. Tahun 1998 adalah awal baginya mengenal
49
// SENORITA - No.1 //
finger painting dari temannya. Lukisan pertamanya adalah pemandangan lanskap Kampung Naga. Satu tahun kemudian, Asep sampai pada titik dimana dia merasa keahlian serta karyanya sudah mantap untuk dijual kepada orang-orang. Dua puluh satu tahun berlalu, ia mencoba banyak hal lain untuk karyanya. Namun, di beberapa waktu, ia pasti akan kembali untuk melukis lanskap Kampung Naga. Tempat belajarnya yang pertama. Bukan sebuah waktu yang singkat untuk mengukur dedikasinya. Selain menjual lukisannya, ia juga mengajar pelajaran menggambar bagi anak-anak TK Aisyiyah Tasikmalaya. Lalu kini, untuk sebuah karya lukisnya hanya dihargai di rentang harga Rp5.000 – Rp50.000. Asep sendiri seringkali merasa minder dalam menentukan harga bagi karyanya. Di suatu waktu, pernah ia mematok harga yang lebih tinggi dari biasanya. Namun, para calon pembelinya justru menunjukkan reaksi protes terhadap harga tersebut. Di satu momen ia akan mempertahankan harga tersebut, karena ia merasa ingin dihargai demikian, namun di momen lain ia harus mengalah untuk menurunkan harganya lagi. Mirisnya lagi, harga yang tertera pada papan tersebut hanya berlaku pada wisatawan asing saja. Bagi wisatawan
lokal, harga yang ditawarkan jauh lebih murah. Hampir setengah harga dari yang tertera pada papan. “Sebenarnya saya juga pengen belajar di media yang lebih besar seperti kanvas, tapi ini masih belajar karena saya merasa kurang terus kayaknya. Ada tuh di rumah udah 2 karya saya di kanvas nggak jadi,” ujar Asep. Asep memang masih belajar dalam melukis di media yang lebih besar, namun ia juga mengaku dalam pembelajaran ini ia butuh dukungan. Pemerintah harusnya bisa hadir pada poin tersebut, namun ia juga mengatakan, pihak pemerintah tidak pernah datang untuk merangkulnya. Namun, dibanding menyesalkan ketidakhadiran pemerintah, ia justru merasa minder ketika membandingkan dirinya dengan seniman lain. “Sudah banyak seniman besar lain di Tasikmalaya yang akan lebih mudah dirangkul pemerintah,” ungkap Asep. Padahal, kehadiran Asep sebagai pelukis di situs wisata Kampung Naga turut membantu pemerintah dalam promosi Kampung Naga. Banyaknya turis asing yang datang dan ikut membeli lukisan Asep, secara tidak langsung membantu pemerintah untuk mengenalkan daerah tersebut. Tidak hanya dari keindahan sumber daya alamnya, namun juga dari
Asep saat melakukan finishing terhadap karyanya yang dibeli oleh pembeli.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
50
keahlian sumber daya manusianya. Asep sendiri di akun Facebook pribadinya, “Asep Sudrajat”, memiliki beberapa teman dari negara lain. Temanteman itu ia dapatkan dari interaksinya sebagai pelukis di Kampung Naga. Tak jarang pula ia mempromosikan tempat wisata lainnya di Tasikmalaya kepada wisatawan asing tersebut. “Ada kemarin orang Malaysia pengen nyari batik di Tasik. Padahal rumah saya dekat banget sama kampung batik di Tasik. Udah saya ajak, tapi ternyata besoknya dia harus pulang. Jadinya kontak via Facebook saja. Siapa tau dia minta kirim,” aku Asep. Keramahan dan kelapangan hati Asep dalam menekuni pekerjaannya sebagai pelukis, tak lain menjadi kunci dia dalam bertahan. Namun, persepsi masyarakat dan peran pemerintah macam ini bukan sesuatu yang harus terus dilanjutkan. Asep tumbuh dalam kondisi dimana masyarakat gagal memiliki pola pikir yang baik terhadap sebuah karya seni. Di sisi lain, pemerintah juga tidak mampu memberikan kontribusi apa-apa. Tapi Asep tak akan berhenti. Jarinya akan terus melukis, hatinya akan terus lapang. Karena itulah “seni” bertahan hidup baginya.
Daftar harga yang Asep patok untuk karya finger painting buatannya
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Asep berpose bersama karya finger painting buatannya.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
51
// SENORITA - No.1 //
Salah satu lokasi wisata yang ada di Garut, Kawah Kamojang. Kawah ini menjadi objek wisata yang areanya juga dimanfaatkan oleh Pertamina.
Siapkah Garut Menjadi Kota Wisata? Oleh: Fajar Andrian Memiliki berbagai keindahan alam dan posisi strategis yang dapat dijadikan pilihan alternatif wisata. Potensi inilah yang mulai digenjot oleh pemerintah daerah guna meningkatkan pendapatan lokal melalui sektor pariwisata. Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut, Ade Hendarsyah menuturkan pihaknya telah mencanangkan program, salah satunya menciptakan destinasi wisata di setiap kecamatan. ”Satu kecamatan harus menciptakan destinasi wisata setiap tahun,” ujar Ade. Dengan adanya program tersebut, diharapkan setiap destinasi wisata bertambah. Untuk saat ini, sudah terdapat 240 objek wisata alam, budaya, dan objek buatan. Terdapat 3 faktor penting dalam meningkatkan kunjungan wisatawan, yakni strategi pemasaran, akses jalan, dan transportasi yang mudah. Disparbud sedang berupaya memperbaiki akses jalan dan sarana transportasi yang ada.
52
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Kepala Seksi Analisa Data dan Informasi Bidang Pemasaran Dinas Pariwisisata Kota Garut, Pepy Suparyani menyebutkan ada 3 strategi yang digunakan untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Melakukan branding, beriklan, dan promosi langsung. “Kami menggunakan 2 branding, Jelajah Garut dan Pesona Garut. Selain itu, kami juga mendatangi sekolah dan pelaku wisata,” ujarnya. Pepy optimis Garut siap menjadi destinasi wisata alternatif bagi para pelancong. “Saya optimis Garut bisa jadi destinasi alternatif. Jika wisatawan bosan ke Bandung, diharapkan Garut dapat jadi pilihan alternatifnya, karena jaraknya tidak jauh dari Bandung,” tambahnya. Keluarga Mahasiswa Garut Yogyakarta memberikan tanggapan terkait usaha Disparbud dalam memasarkan Garut sebagai kota wisata. Menurutnya, itu hanya sebatas branding dan tidak menjadi masalah. Di sisi lain, praktisi pariwisata, Richardo Stevry Loppies menilai Garut belum siap untuk menjadi kota wisata. “Belum waktunya menjadi kota wisata, fasilitas dan keruwetan kota harus dibenahi dulu,” kata Ambon sapaan akrabnya. Selain fasilitas yang belum memadai, pungutan liar kerap dikeluhkan. Ambon bercerita, selama 5 hari ia menghabiskan Rp50.000 untuk membayar Pak Ogah.
// SISI LAIN - Des.2019 // Ia membandingkan dengan pungutan di Jakarta. ”Lima hari di Jakarta habis Rp30.000, di sini habis Rp50.000. Terlalu mahal untuk kota seperti Garut,“ ungkapnya sembari meminum kopi yang telah dipesan. Senada dengan Ambon, Pemandu Wisata Salam Lestari, Ahmad Fathurrahman menerangkan dari sekian banyak tujuan wisata, biaya termahal berada di Garut. Ia membandingkan dengan destinasi wisata di kota lain. ”Semua item di Garut mahal, terutama hotel dan makan,” ujar Fathur. Ia bercerita pernah ditertawakan pemilik rumah makan, lantaran mencari paket makan seharga Rp10.000 di Garut.
Tim Senorita melakukan konfimasi fakta yang ditemui di lapangan kepada Pepy. “Kami telah berupaya memperbaiki SDM. Mengadakan pelatihan pada seluruh pelaku wisata di Garut dan mulai melakukan pengawasan dan penertiban pungutan liar,” jelasnya. Pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian, guna menertibkan pungutan liar di jalanan. Ia menilai, sektor pariwisata dapat berkembang jika didukung dengan keamanan yang terjamin.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Fathur menambahkan, Sumber Daya Manusia (SDM) juga belum baik. Masih dijumpai pemandu wisata lokal yang belum lancar berbahasa Indonesia. Selain pemandu wisata, sikap masyarakat dinilai belum siap guna mewujudkan Garut sebagai kota wisata. Dapat dilihat dari cara berkendara dan banyaknya jumlah pengamen.
Potret Kepala Seksi Analisa Data dan Informasi Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Kota Garut, Pepy Suparyani saat ditemui di kantornya.
53
// SENORITA - No.1 //
Cilok Goang Khas Tasikmalaya Bagi Pecinta Pedas di Yogyakarta
Cilok goang kini menjadi inovasi. Selain karena rasa pedasnya, aneka topping yang ada menjadi pembaharuan pada makanan cilok.
Oleh: Syahnaz Fauziah
FOTO:INSTAGRAM @SUKACILOK
Yogyakarta dijuluki sebagai Kota Gudeg, gudeg adalah makanan khas Jogja dengan olahan sayur nangka yang manis didampingi sayur krecek yang pedas. Makanan pedas saat ini banyak digemari oleh sebagian warga Yogyakarta, salah satunya cilok goang khas Tasikmalaya. Sebagai jenis makanan yang terbilang baru di Yogyakarta, cilok goang menjadi makanan yang cukup dicari. Olahan tepung tapioka yang dibentuk bulat, lalu diberi isian daging cincang dipadupadankan dengan kuah yang dicampur dengan sambal goang. Sambal goang terdiri dari cabai rawit yang diulek dengan bawang putih, kencur, garam, dan minyak. Cilok goang di Yogyakarta sendiri dapat ditemukan di daerah Mayaan, Trihanggo, Gamping, dan Sleman dengan nama Cilok Goang Jogja. Ada inovasi yang dilakukan dalam penyajiannya, mulai
54
dari tambahan toping yang beragam hingga level pedas yang bisa disesuaikan dengan keinginan si pembeli.
penasaran biasanya cilok nggak berkuah, tapi ini berkuah dan banyak topingnya juga,� tutupnya.
Salah satu warga Yogyakarta, Wangi (18) mengatakan cilok goang menambah menu variasi makanan pedas yang ada di Yogyakarta. Ia juga mengatakan rasa pedas yang dihasilkan sambal goangnya terasa berbeda. “Variasi makanan pedas di Jogja tuh dikit banget. Jadi kalau ada yang baru langsung pengen nyoba dengan sambal yang menarik untuk dicoba.�
Seperti yang kita ketahui, Yogyakarta identik dengan makanan manis. Cilok goang menjadi menu pilihan baru untuk para pecinta pedas di Yogyakarta. Tentu akan membuat penasaran lidah dengan kuliner khas Tasikmalaya yang satu ini.
Hampir senada dengan Wangi, sebagai salah satu pecinta pedas, Maria Inarita (20) selalu tertarik dengan makanan pedas yang unik. Karena berdomisili di Yogyakarta yang masih belum banyak pilihan untuk kuliner pedas, cilok goang menjadi menu pedas alternatif yang belum banyak ditemui. “Aku biasanya suka beli seblak pedas juga, terus aku
// SISI LAIN - Des.2019 //
Beras hitam menjadi salah satu opsi bahan baku makanan sehat yang kaya akan mengandung antioksidan. FOTO:COSMOPOLITAN.ID
Beras Hitam yang Mendunia Oleh: Syahnaz Fauziah
Antioksidan merupakan kandungan penting yang berguna untuk tubuh manusia dalam memerangi radikal bebas. Antioksidan yang tinggi, salah satunya terdapat pada tumbuhan padi hitam atau disebut juga Organic Volcano Rice. Jenis beras berwarna hitam ini sangat digemari pasar mancanegara, hingga banyak mendapatkan sertifikat internasional untuk hasil ekspor. Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu sentra penghasil padi hitam yang bisa memanen beras jenis ini sebanyak 3 kali dengan total produksi per hektare. Menurut data 2014, petani bisa memanen sebanyak 8 ton per hektare dan jumlah tersebut lebih tinggi dibanding beras biasa yang hanya bisa menghasilkan 4 ton per hektare. Menurut Dr. Panjisakti Basunanda, S.P.,M.P. dosen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, keragaman morfologis tanaman
padi terdapat pada warna beras, mulai dari putih, merah, ungu, cokelat, hingga hitam. Beragamnya warna beras dipengaruhi komposisi kandungan senyawa antosianin yang terdapat pada lapisan perikarp, kulit biji atau aleuron. Antosianin adalah senyawa antioksidan yang mempunyai potensi meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit. Semakin banyak antosianin yang terkandung, maka semakin besar senyawa antioksidan yang terdapat di dalam beras tersebut. “Semakin tinggi antioksidan yang terkandung semakin baik untuk kesehatan
tubuh,� tambah Panjisakti. Hal ini dinilai menjadi salah satu nilai keunikan yang terdapat dalam varietas padi hitam. Namun beras hitam juga memiliki kelemahan, salah satunya adalah umur panen padi. Jika padi pada umumnya hanya membutuhkan waktu panen 135-145 hari setelah tanam, padi hitam membutuhkan waktu lebih lama, yakni 150 hari. Dulu, di awal mula pembudidayaan padi hitam di Tasikmalaya, masyarakat dihadapkan dengan kondisi tanah yang tidak subur. Hal tersebut sempat membuat para petani putus asa dan menjadikannya lelucon. Dibutuhkan waktu 10 tahun hingga bisa mewakili Indonesia sebagai eksportir padi hitam yang mendunia, meraih penghargaan sertifikat Internasional Fair Trade Internatiomal Rice, American Sertification Rice, dan Japan Sertification Standard. Selain untuk ekspor, Kabupaten Tasikmalaya menjadikan beras hitam ini sebagai buah tangan dan sekaligus sebagai ciri khas Tasikmalaya. Penjual oleh-oleh di kampung Naga, Emay (59) mengatakan, beras hitam kini menjadi incaran pelancong yang datang ke Tasikmalaya. “Banyak yang mencari beras hitam buat oleh-oleh, jadi juga menguntungkan petani� tutupnya.
55
// SENORITA - No.1 //
“Nyaneut� Budaya Minum Teh Turun-temurun Khas Garut Oleh: Syahnaz Fauziah
Salah satu kegiatan turun-temurun yang sudah menjadi budaya, nyaneut. Nyaneut bahkan sudah memiliki festivalnya sendiri yang dilaksanakan 12 Oktober 2019 lalu.
FOTO:BISNISWISATA.CO.ID
Teh tawar dalam Budaya Sunda sangat kental kaitannya dengan letak geografis di Daerah Jawa Barat yang bersuhu sejuk. Dalam kehidupan masyarakat Sunda, minum teh tawar hangat sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, baik dalam acara adat maupun resmi. Dahulu, budaya minum teh tawar berkaitan erat dengan ekonomi masa kolonial Belanda. Tanaman teh hijau masuk pertama kali pada tahun 1827 di Wilayah Jawa Barat, karena pada saat itu Belanda membuka lahan perkebunan
56
teh yang besar dan menjadikan warga pribumi di sekitar area tersebut pekerja. Tradisi minum teh ini dilakukan oleh seorang ilmuan Belanda bernama Frederik Holle. Saat itu, ia membuka perkebunan di Daerah Garut pada abad ke-19. Bahkan, Garut menjadi salah satu penghasil teh berkualitas tinggi. Seiring berakhirnya masa kolonial, budaya tersebut lambat laun disesuaikan dengan budaya lokal sekitar dan mayoritas penduduk.
// SISI LAIN - Des.2019 // Sayangnya di masa kolonial, meminum teh dengan gula adalah hal yang mewah. Hanya bisa dilakukan warga kaya raya dan penduduk Belanda yang tinggal di Indonesia. Karena hal tersebut, masyarakat hanya bisa meminum teh tanpa memakai gula. Meminum teh tanpa gula adalah suatu bentuk ketidakmampuan warga lokal membeli gula yang mahal.
“Sekarang sudah jarang, paling hanya beberapa daerah saja yang masih setia dengan tradisi nyaneut”.
Garut memiliki sebuah tradisi minum teh dengan sebutan “Nyaneut”. Tepatnya terletak di daerah kaki Gunung Cikuray. Warga meminum teh ditemani dengan singkong, lalu dimakan dan diminum bersama-sama. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun untuk menyambut tahun baru Islam.
Pemerintah sempat mengadakan Nyaneut Festival sebagai bentuk pelestarian dan pembahasan isu-isu lingkungan sekitar Garut, namun hanya berlangsung 3 tahun saja pada kurun waktu 2013-2016. Tidak dapat dipungkiri, tradisi yang berawal dari kebiasaan Belanda, hingga kini menjadi identitas dan ciri khas masyarakat Sunda.
Kemaga (Keluarga Mahasiswa Garut) Yogyakarta menjelaskan, tradisi “nyaneut” saat ini sudah sedikit yang melakukan. Pemerintah daerah pun melakukan cara untuk mengantisipasi memudarnya tradisi minum teh tersebut.
Menurut budayawan asal Garut, Mohamad Rohman atau yang biasa disapa Kang Man, budaya minum teh “nyaneut” sangat erat kaitannya dengan pergeseran budaya. Lalu, seiring berjalannya waktu, disesuaikan dengan kebudayaan di Garut. Kang Man menambahkan, saat ini sudah tidak banyak warga Garut yang melakukannya.
Ilustrasi alat tradisional yang digunakan untuk meminum teh dalam tradisi nyaneut. FOTO:BISNISWISATA.CO.ID
57
// SENORITA - No.1 //
Eksistensi Desa Adat di Tengah Gelombang Modernisasi Oleh: Dianggi Ananda Putri
Suasana Kampung Dukuh pada siang hari yang tampak sepi.
Lanskap perkampungan di Kampung Naga. Rumah-rumah tampak tersusun rapi. Warga mengatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah anti gempa. FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
58
// OPINI - Des.2019 //
Kuatnya arus gelombang modernisasi tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan desa adat di Indonesia. Kelompok ini masih tetap eksis, walau memiliki gaya hidup dan pola penggunaan teknologi yang jauh berbeda dari kebanyakan orang.
FOTO:RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Pendapat ini dapat dibuktikan dengan jumlah populasi masyarakat dan desa adat di Indonesia yang tidak sedikit. Harian Nasional (Harnas) dalam artikel yang diterbitkan pada Minggu (29/01/2017) menyebutkan, ada 538 komunitas masyarakat dan 133 desa adat yang mendapatkan status legal dari pemerintah setempat. Angka ini tentunya dapat bertambah, mengingat jumlah tersebut hanya berdasarkan status hukum saja. Seperti yang tertera pada situs Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Menurut organisasi adat terbesar di Indonesia ini, terdapat 2.359 komunitas adat dari seluruh Indonesia yang menjadi anggotanya. Jika dihitung per individu, total anggota AMAN mencapai 17 juta orang. Selain dari jumlah populasinya, eksistensi masyarakat dan desa adat juga dapat dilihat pada kontribusi kelompok ini dalam sektor pariwisata. Harmonisasi antara kemurnian adat istiadat dan keasrian alam menjadikan desa adat sebagai destinasi wisata, baik yang dikelola resmi oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat setempat. Selain itu, gaya hidup sederhana dan keramahan masyarakat yang menjadi antitesis dari kehidupan modern merupakan ciri khas tersendiri bagi desa adat. Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat contohnya. Meski menolak untuk dijadikan sebagai desa wisata secara resmi oleh pemerintah, namun desa ini tetap menerima kunjungan wisatawan. Kemudian, di Pulau kalimantan, ada Desa Dayak Pampang yang telah resmi menjadi desa wisata sejak 1991.
Mentawai. Desa tersebut terkenal akan budaya tato yang diyakini tertua di dunia. Selain itu, ada pula Kampung Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Desa adat yang terletak di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut ini, ditetapkan sebagai salah satu situs kekayaan dunia oleh UNESCO. Selanjutnya, ada Padukuhan Cipta Gelar yang terletak di kaki Gunung Halimun, Banten. Tidak seperti kebanyakan desa adat, padukuhan ini mulai menerapkan teknologi modern tanpa mengabaikan adat istiadat. Seperti pada penggunaan listrik dan televisi. Namun, tidak seperti masyarakat kota, pasokan listrik dialiri dari turbin yang digerakkan oleh air sungai desa tersebut. Selain turbin, masyarakat desa ini juga menggunakan panel surya sebagai sumber listrik alternatif. Kemudian, untuk konsusmi konten televisi masyarakatnya, Padukuhan Cipta Gelar memiliki stasiun sendiri yang diberi nama Ciga TV. Stasiun ini menyiarkan tentang budaya, adat istiadat, kesenian lokal, serta kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Komitmen masyarakat desa adat untuk berpegang teguh pada adat istiadat menjadikan kelompok ini tetap bertahan, walau digempur modernisasi. Banyak dari kelompok ini yang memilih untuk menarik diri dari kehidupan modern, namun ada pula yang memilih untuk berdamai dengannya tanpa melupakan jati diri. Sejatinya, ada tidaknya modernisasi tidak akan berpengaruh terhadap kelompok minoritas ini.
Tidak hanya Kalimantan dan Jawa, di Pulau Sumatra, ada Desa Madobak,
59
// SENORITA - No.1 //
60
GALERI FOTO FOTO OLEH RAYHAN NAUFAL ASYRAFI
Warna Lain Payung Geulis
Kesabaran, ketelitian, dan keahlian adalah 3 elemen khusus yang harus dimiliki ketika hendak membuat kreasi Payung Geulis. Diperlukan ketekunan disetiap tahapan-tahapannya. Payung-payung tersebut nantinya dapat dijual dengan kisaran harga mulai dari Rp50.000 hingga Rp1.000.000. Saat ini, para pengrajin berharap agar generasi muda nantinya mau belajar dan meneruskan usaha, agar eksistensi payung geulis dapat terjaga.
61
// SENORITA - No.1 //
Senja beranjak pergi dan langit gelap bermunculan, sebuah tanda akan dimulainya perjalanan. Ya, perjalanan panjang menuju Bumi Priangan.
Jurnalistik UPN ”Veteran” Yogyakarta 2016 dalam kegiatan PMC Garut-Tasik
Dengan uang Rp12.000, saya memulai petualangan ini, menggunakan jasa ojek daring menuju kampus tercinta, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Sebuah bus berwarna merah, di tengah gelapnya malam telah terparkir. Delapan hari lamanya saya pergi, menggunakan bus untuk menjelajahi Tasikmalaya dan Garut, surga tersembunyi di Bumi Priangan Timur. FOTO:DOKUMENTASI PMC 2019
Cerita Perjalanan dari Bumi Priangan Oleh: Fajar Andrian
Waktu telah menunjukkan pukul 20.00, kami pun berangkat menelusuri panjangnya jalur pantai selatan. Ditempuh selama 6 jam lebih dengan sesekali berhenti untuk minum kopi. Sebagai manusia beragama, saya sejenak menundukkan kepala untuk berdoa pada yang Maha Kuasa. Fajar mulai hadir diiringi dengan hiruk pikuk kegiatan ekonomi, saya pun pergi meninggalkan Masjid Agung Tasikmalaya. Catatan perjalanan ini tidak mencakup semua, namun dapat merawat ingatan kita. Destinasi pagi ini menuju Kampung Panyingkiran, yang masuk dalam Kecamatan Indihang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Sesampainya di sana, saya disambut dengan mural payung geulis yang indah. Langkah demi langkah saya menelusuri jalan kampung produsen payung geulis ini. Di kampung ini terdapat 5 orang perajin payung geulis dan sekarang mulai diteruskan oleh generasi berikutnya. Salah satunya Hasanah, di usia tuanya ia masih lihai melukis. Wanita paruh baya ini bercerita, anak muda mulai tidak tertarik melukis payung
62
// CATATAN PERJALANAN - Des.2019 //
geulis, termasuk cucunya. Hal yang ia khawatirkan adalah hilangnya para perajin payung geulis, jika regenerasi tidak terjadi dengan baik.
pintu masuk, sudah disambut oleh Kang Ijad, yang telah dipercaya oleh Ketua Adat Kampung Naga untuk menjadi pemandu.
Di bawah warna langit yang mulai memerah, kami melanjutkan perjalanan menuju Gudang Pesantren. Di sanalah lokasi Pondok Pesantren KH Muhammad Soedja’i atau yang lebih dikenal Mama Kudang. Sebuah pondok pesantren pertama di Tasikmalaya. Di sela akhir hayatnya, beliau berwasiat pada anak cucunya, tidak ingin dipopulerkan melalui berbagai media. Sehingga sulit untuk mendapatkan informasi tentang Mama Kudang.
Untuk mencapai Kampung Naga, setidaknya harus melalui 444 anak tangga. Sambil berkeliling, Kang Ijad menjelaskan berbagai informasi. Salah satunya, masyarakat yang mencari ketenangan di Kampung Adat. Suara bedug mulai terdengar, cahaya api berpadu dengan gelapnya malam menemani perjalanan menuju titik kumpul. Sesekali di tengah jalan, kerlap kerlip kunang-kunang menghibur kami, karena malam ini akan terasa sangat panjang.
Tempat transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Kampung Dukuh. Akses jalan yang sulit, membuat kami harus ganti moda transportasi. Ya, dengan menggunakan truk, kami mulai menerobos gersangnya hutan jati menuju Kampung Dukuh. Selain akses jalan rusak, bau truk yang tak sedap dan panasnya terik matahari membuat perjalanan terasa sangat lama. Perjuangan panjang yang mengesankan. Setibanya disana, kami langsung disambut dengan kearifan lokal masyarakat Kampung Dukuh. Tradisi unik saya temukan di kampung ini, jika warga memiliki makanan, mereka harus rela berbagi dengan pendatang dan tidak menjualnya.
Malam ini kami tidur dalam perjalanan menuju Kampung Dukuh. Medan yang dilalui cukup menantang. Disepanjang jalan, sebelah kanan tebing dan sebelah kiri jurang. Terdapat banyak tikungan dengan hamparan kebun teh. Sayang, ketika melintasi jalur ini dalam keadaan malam hari. Sehingga, saya tidak dapat melihat keindahan kebun teh, karena gelap berpadu dengan tebalnya kabut malam. Sesekali bus terhenti untuk memberi waktu menyantap segelas kopi dan membiarkan supir sejenak beristirahat.
Hari terakhir di Garut, kami berkunjung ke salah satu produsen dodol. Dibawah bendera PT Herlina Cipta Pratama, Dodol Picnic menjelma menjadi dodol dengan aneka rasa. Dengan namanya, dodol ini tetap bertahan di tengah panasnya persaingan kuliner. Perjalanan panjang ini akhirnya selesai, banyak pengalaman yang didapat. Salah satunya, mengahargai alam dan tidak merusaknya. Hal ini telah dibuktikan oleh masyarakat Kampung Naga, bisa hidup berdampingan dengan alam secara tenang.
Keesokan hari, kami melanjutkan jelajah Tasikmalaya. Rajapolah menjadi awal destinasinya, sebuah sentra penghasil kerajinan dari mendong yang cukup terkenal. Di sini terdapat sekelumit kisah perjungan pedagang dan cerita hidup karyawan toko yang dibayar di bawah standar. Seperti kisah Muhammad Haris Drajat, pria berusia 40 tahun ini telah berjualan di Rajapolah sejak tahun 1999. Selama 20 tahun, pahit manis penjualan telah dirasakan. Untuk bertahan, ia sering menggunakan sistem barter dengan pedagang dari daerah lain. Posisi matahari telah tegak lurus, cuaca panas Tasikmalaya menemani kami menuju Kampung Naga. Sebuah kampung yang masih memegang teguh adat dan budaya. Ditempuh selama 1 jam lebih dari Rajapolah. Di depan
Sebelum masuk waktu salat subuh, kami sudah tiba di Kecamatan Cikelet.
63
// SENORITA - No.1 //
64
65
// SENORITA - No.1 //
SENORITA DESEMBER 2019
66