Kelembagaan Air di Indonesia

Page 1

1


Kelembagaan Air di Indonesia Sebuah Panduan untuk Para Penggiat Air

Penulis: Rita Mustikasari Kontributor: Rob Koudstaal Editor: Sudarsono Soedomo, Yusup Maguantara

2


Serial publikasi ini merupakan keluaran dari proyek Program peningkatan kapasitas diri bagi Telapak dan mitranya dalam mengimplementasikan Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (CDP IWRM NA). MoU: 313-2009-527-CN antara Telapak dan Both ENDS, Belanda. Both ENDS menerima dana dari DGIS/PSO – asosiasi organisasi pembangunan Belanda untuk menguatkan Kelompok Masyarakat Sipil dalam mengimplementasikan Pendekatan Negosiasi (NA). Ini merupakan sebuah usaha dalam proses pembuatan kebijakan yang bertujuan menguatkan aktor lokal yang mampu terlibat penuh dalam semua tingkatan pembuatan kebijakan. Kelembagaan Air di Indonesia Sebuah Panduan untuk Para Penggiat Air

Penulis Rita Mustikasari (ritamustikasari@telapak.org) Editor Rob Koudstaal (robkoudstaal@yahoo.com), Sudarsono Soedomo (ssoedomo@gmail.com), Yusup Maguantara (ymaguantara@ gmail.com) Email : info@bothends.org Website : www.bothends.org Telapak Email : info@telapak.org Website : www.telapak.org www.air.telapak.org

Juli 2013

3


PENGANTAR

Mdimandatkan di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945,

asyarakat sebagai pemegang hak (right holder), seperti yang

akan dijamin oleh negara untuk mendapatkan air bagi pemenenuhan kebutuhan pokok di dalam kehidupannya sehari-hari. Agar dapat terselenggara dengan baik, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk memastikan keterlibatan masyarakat dan organisasinya dalam perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Harus diakui bahwa sampai saat ini kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam perencanaan kebijakan pengelolaan sumber daya air tergolong minim. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh proses-proses pengambilan keputusan lebih banyak dilakukan melalui mekanisme top down. Sedangkan persoalan kurangnya ketersediaan air bersih untuk mendapatkan kehidupan layak di masyarakat sering terjadi dan menimbulkan konflik para pengguna air. Belum lagi diperburuk dengan adanya restrukturisasi pengelolalaan sumber daya air melalui pendekatan privatisasi yang belakangan marak terjadi tidak terkendali. Sesungguhnya, di tataran praktek pada kehidupan sehari-hari, banyak kita temukan masyarakat secara arif menjaga dan memanfaatkan sumber daya air untuk pemenuhaan kebutuhan atas air. Dengan fakta seperti ini, maka seharusnya pemerintah memberikan pengakuan atas upaya mereka dengan menyediakan ruang seluasluasnya agar mereka terlibat dalam penentuan kebijakan pengelolan 1. Rangkaian buku-buku yg sudah dihasilkan Proyek CDP IWRM NA adalah: 1. Persepsi Pengguna Air, Sebuah Panduan Analisa Nafkah Hidup Dan Aktivitas Ekonomi Dalam Pendekatan Negosiasi Menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu; 2. Penerapan Panduan Analisa Nafkah Hidup Dan Aktivitas Ekonomi Di Daerah Aliran Sungai Lamasi; 3. Analisa Permasalahan Daerah Aliran Sungai Lamasi; 4. Gambaran Umum Permasalahan Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu.

i


sumber daya air. Agar keterlibatan ini bisa berjalan efektif, maka menjadi penting untuk mempersiapkan kapasitas dan kemampuan organisasi masyarakat sipil dan kelompok-kelompok masyarakat.

[foto: Annas Radin Syarif. Sungai Ciliwung] Nelayan sungai adalah satu kelompok pengguna air yang penghidupannya bergantung atas kesehatan ekosistem sungai

Sebagai salah satu upaya menjawab kebutuhan ini adalah menerbitkan buku Kelembagaan Air ini yang merupakan rangkaian publikasi dari pembelajaran Proyek CDP IWRM NA (Capacity Development Project to implement Negotiated Approach to Integrated Water Resources Management) . Serial publikasi ini diharapkan dapat berkontribusi untuk meningkatkan kemampuan dalam memimpin perubahan terkait pengelolaan sumber daya air, khususnya di Daerah Aliran Sungai masing-masing. Sebagai penutup, Telapak Indonesia dan Both ENDS Belanda berharap pemerintah bisa memastikan ruang bagi masyarakat untuk berperan aktif di dalam proses-proses penentuan kebijakan dan intervensi pengelolaan sumber daya air. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat sebagai panduan bagi para pemangku kepentingan, khususnya bagi kelompok masyarakat sipil untuk

ii


mendorong keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya air di Indonesia yang lebih baik dan adil. Karena air adalah hak asasi setiap warga negara di Indonesia.

Christian Purba Anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional 2009-2014 (Telapak)

iii


KATA PENGANTAR BOTH ENDS Experiences in many countries demonstrate that people living in communities and villages all over the world are able to manage or co-manage their rivers, lakes and groundwater. Increasingly, governments recognize the need to include these people in day-today water management and in the development of policies related to the use of water resources. Both ENDS and Telapak work closely together to promote successful community participation in natural resources management. Our cooperation is based on the conviction that successful and effective resources management is only possible if communities have the capacity and opportunity to develop and negotiate their own visions and solutions to challenges related to resources management. Communities willing to take the lead in resources management need to understand the functioning of ecosystems, such as rivers and lakes. Given this need, we welcome the Livelihood Analysis and Analysis Activities (LA & AA) Guide and series . The series helps communities and civil society organisations to gain insight in the economic activities and the variety of stakeholders in their basin, and to place problems of local communities into broader geopolitical and geo-economic context. By doing so, the series will increase their abilities to effectively lead water management processes in their own river basins. Both ENDS and Telapak aspire that rivers continue to flow freely, for the benefit of the many communities that depend on them. I trust that Telapak’s work will be usefull to many civil society organisations, and will contribute to the realisation of this aspiration in Indonesia. Danielle Hirsch Director Both ENDS 2. These series consist of the following documents:

1. Getting a Water User’s Perspectives, A Guide for Analyzing Livelihoods and Economic Activities in the Context of a Negotiated Approach to Integrated Water Resources Management.

2. Field Report on Testing the Livelihood and Activity Analyses in the Lamasi River Basin.

3. Problem Analyses of the Lamasi River Basin

4. Case Description of the Air Bengkulu River Basin

iv


DARI PENULIS Program CDP IWRM NA (CapacityDevelopment Project to implement Negotiated Approach to Integrated Water Resources Management) adalah sebuah usaha peningkatan kapasitas diri bagi Telapak dan mitranya, sebuah training untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman di bidang air dan pengembangan network dan kredibilitas Telapak dan mitra-mitra LSM-nya. Penulis berharap semakin banyak Anggota Telapak dan mitranya, dan masyarakat luas yang mengambil peran aktif dalam setiap tahapan manajemen (pembuatan perencanaan, implementasi dan monitoring-evaluasi) dan mampu menegosiasikan kepentingannya hingga mempengaruhi pembuatan kebijakan. Penulis mencoba mempraktekkan pemahaman atas tema kelembagaan air yang didapat dari penyusunan buku ini, untuk mendorong terbentuknya sebuah model pelibatan publik kelompok pengguna air. Kelompok penjaga sungai (kali jogo/river defender) yang sejauh ini sudah terbentuk adalah Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor, Komunitas Ciliwung dan beberapa kelompok penjaga sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) lain di Nusantara. Pembelajaran yang didapat dari kegiatan ini akan diterbitkan dalam buku terpisah. Terimakasih kami ucapkan kepada Rob Koudstaal, seorang yang punya pengalaman dalam pengelolaan air di beberapa proyek, di Bangladesh salah satunya. Beliau seorang mentor air yang baik yang mengijinkan rumah kayunya di tepian pantai Air Madidi menjadi tempat pelatihan. Christa Nooy dari Both ENDS adalah kawan yang selalu mengingatkan untuk terus berpikir luas. Bapak Rian Nugroho memberi masukan berharga dan mendorong agar buku ini diterbitkan; Bapak Sudarsono Soedomo dan Bapak Yusup Maguantara sebagai editor akhir. Buku ini tidak akan terbit jika tidak ada teman menulis yang setia menemani: Sudiyah ‘nonet’ Istichomah, J. Jeanito, Raditya, Linda ‘ndon’ Rosalina. Penulis Rita Mustika Sari Barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun, berarti dia tidak memanfaatkan akalnya. Goethe.

v


vi


DAFTAR ISI Pengantar

................................................................................................................ i

Kata Pengantar Both ENDS.......................................................................................................... iv Dari Penulis

................................................................................................................ v

Daftar Isi

................................................................................................................ vii

Daftar Singkatan

................................................................................................................ viii

Daftar Tabel

................................................................................................................ ix

Daftar Gambar

................................................................................................................ ix

Daftar Lampiran

................................................................................................................ x

BAB 1 Pendahuluan

................................................................................................................ 1

BAB 2 Daftar Tata Peraturan dan Perundangan Sumber Daya Air................................. 3

2.1 Pengantar

2.2 Struktur Kebijakan Sumber Daya Air..................................................................... 3

................................................................................................................ 3

2.3 Undang-undang Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 Sebagai Landasan

Pengaturan Sumber Daya Air......................................................................................... 4

2.4 Peraturan Pelaksana Pengelolaan Sumber daya Air........................................ 17

2.5 Peraturan Sektor Lain yang Tekait Sumber Daya Air....................................... 42

2.6 Resume

................................................................................................................ 50

BAB 3 Pelaku dalam Pengelolaan Sumber Daya Air........................................................... 52

3.1 Pengantar

3.2 Pemerintah ................................................................................................................ 54

................................................................................................................ 54

3.3 Badan Usaha ................................................................................................................ 90

3.4 Masyarakat Sipil/Lembaga Swadaya Masyarakat............................................. 100

3.5 Resume

................................................................................................................ 114

BAB 4 Wadah Koordinasi............................................................................................................... 116

4.1 Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN)....................................................... 116

4.2 Forum Daerah Aliran Sungai (Forum DAS).......................................................... 118

4.3 Dewan Pengelolaan Sungai..................................................................................... 119

BAB 5 Pendekatan Negosiasi dan Potensinya untuk Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Indonesia................................................................................... 120

5.1 Mendefinisikan Pendekatan Negosiasi Menuju Pengelolaan

Sumber Daya Air Terpadu................................................................................................. 121

5.2 Kelembagaan yang Memungkinkan bagi Pendekatan Negosiasi.............. 124

5.3 Pendekatan Negosiasi di Indonesia....................................................................... 127

5.4 Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (Telapak)............................................... 131

vii


BAB 6 Kesimpulan

................................................................................................................ 139

Daftar Pustaka

................................................................................................................ 141

Lampiran

................................................................................................................ 143

Tentang Penulis dan Kontributor.............................................................................................. 165 Tentang Telapak

................................................................................................................ 166

DAFTAR SINGKATAN Amrta

Amrta Institute for Water Literacy

AMDK

Air Minum Dalam Kemasan

ARUM

Aliansi Rakyat untuk Citarum

BBWS

Balai Besar Wilayah Sungai

B3

Bahan Berbahaya dan Beracun

BPDASPS

Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial

BPSDMKP Perikanan

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan

BUMD

Badan Usaha Milik Daerah

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

BWS Balai Wilayah Sungai CDP IWRM NA

Capacity Development Project to implement Negotiated Approach

to Integrated Water Resources Management

DAS

Daerah Aliran Sungai

DSDAN

Dewan Sumber Daya Air Nasional

Ecoton

Ecological Conservation and Wetland Conservation

ESDM:

Energi dan Sumber Daya Mineral

KPC

Komunitas Peduli Ciliwung

Jaknas:

Kebijakan Nasional

KDL

Komite Daerah Aliran Sungai Lamasi

KLH

Kementerian Lingkungan Hidup

KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan

KruHA

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air

LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat

NA

Negotiated Approach/Pendekatan Negosiasi

NSPK:

Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria

PAMSIMAS

Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat

PDAM

Perusahaan Daerah Air Minum

viii


PERPAMSI

Perkumpulan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia

PPN/Bappenas

Percepatan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Nasional

PSDAT

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

PSPAM

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

PP Peraturan Pemerintah PU Pekerjaan Umum RHL

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

RPJMN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

TKPSDA WS

Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai

UPT Unit Pelaksana Teknis UUSDA

Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004

UUPA

Undang-undang Pokok Agraria

Walhi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

WS Wilayah Sungai

DAFTAR TABEL Tabel 1 Sistem Manajemen Irigasi di Indonesia Berdasarkan UUSDA 7/2004

dan PP 20 Tahun 2006....................................................................................................... 21

Tabel 2 Daftar Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di Indonesia..................................... 62 Tabel 3 Daftar Balai Wilayah Sungai di Indonesia................................................................ 63 Tabel 4 Kondisi PDAM seluruh Indonesia............................................................................... 98 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Struktur Kebijakan Sumber daya Air.................................................................... 4 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar PERPAMSI...................................................................................................... 143 Lampiran 2 Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dewan Sda Nasional......................... 160 Lampiran 3 Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.............................................. 163

ix


x


BAB I PENDAHULUAN Telapak dan mitra-mitranya membutuhkan sebuah panduan pengaturan kelembagaan air untuk memfasilitasi kelompok aktor masyarakat sipil menjadi mumpuni dalam memahami peran dan posisinya dalam pengelolaan air di Indonesia. Informasi tentang aktor-aktor pelaku air dan kebijakan yang dihasilkannya ini adalah sebuah alat bantu untuk meningkatkan pemahaman Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bagaimana interaksi antar aktor air bekerja.

[foto: Riska Damayanti. Sungai Brantas, Surabaya] Seorang bapak sedang menjala ikan sebagai pemenuhan ekonomi, walau sungai telah tercemar, namun ini adalah pilihan diantara tidak adanya pilihan.

Informasi terkait pengaturan kelembagaan air diharapkan terus dilengkapi dan berkembang menjadi semakin baik. Panduan ini berupa kumpulan informasi praktis serupa ensiklopedia yang berperan menjadi penyedia keterangan secara cepat, yang tidak memberikan pendapat tentang benar-salahnya suatu tata-peraturan kebijakan yang dihasilkan. Kumpulan informasi ini bersifat netral

1


dan objektif. Referensi utama panduan kelembagaan air ini adalah gerai resmi lembaga terkait. Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 (selanjutnya ditulis UUSDA 7/2004) memberi peluang keterlibatan publik ke dalam pengelolaan air. Pengembangan model-model pelibatan publik yang lahir dari inisiatif akar rumput perlu terus didorong. Publik kelompok pengguna air tidak dikenali berdasarkan kepentingan dan ketertarikannya, tetapi hanya dilihat sebagai satu ’gelondongan’. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi percepatan terbentuknya kelompok pengguna air yang mumpuni. Buku Kelembagaan Air ini adalah rangkaian dokumen yang diterbitkan dari pembelajaran Kegiatan Peningkatan Kapasitas Diri Telapak dan Mitranya dalam Mengimplementasikan Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (CDP IWRM NA). Proyek peningkatan kapasitas diri ini, dilaksanakan antara Agustus 2008 sampai April 2011, bertujuan mendorong LSM mitra Telapak untuk mengembangkan kapasitasnya agar siap berperan dalam pengelolaan sumber alami air di Indonesia. Panduan ini disusun dari berbagai pertemuan selama berlakunya proyek selama 32 bulan dan 13 pertemuan, dan dilanjutkan dengan penulisan mandiri. Serial dokumen CDP IWRM NA lain yang sudah terlebih dahulu terbit yaitu: 1. Persepsi Pengguna Air, Sebuah Panduan Analisa Nafkah Hidup Dan Aktivitas Ekonomi Dalam Pendekatan Negosiasi Menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu; 2. Penerapan Panduan Analisa Nafkah Hidup Dan Aktivitas Ekonomi Di Daerah Aliran Sungai Lamasi; 3.

Analisa Permasalahan Daerah Aliran Sungai Lamasi;

4. Gambaran Umum Permasalahan Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu.

2


BAB II Daftar Tata Peraturan Dan Perundangan Sumber Daya Air 2.1. Pengantar Definisi yang membahas kebijakan adalah beragam dan relatif kompleks. Secara umum, kebijakan sumber daya air dipahami sebagai pernyataan pemerintah yang tertuang dalam peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumber daya air. Lebih jauh, kebijakan menggambarkan cara berpikir dan arah bertindak pemerintah dalam mencapai tujuan kolektif negara. Ketika sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan, maka kebijakan akan menjadi kesepakatan dan landasan bersama, baik bagi pemerintah maupun warga negara. Uraian pada bab ini bukan merupakan analisis kebijakan. Penulis menyampaikan isi kebijakan yang tertuang dalam bentuk tata peraturan perundangan terkait pengelolaan air yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Penulis memiliki keterbatasan untuk menuliskan semua peraturan yang terkait sumber daya air. Beragamnya aturan dan perundangan yang dilahirkan oleh pemerintah menyebabkan kesulitan tersendiri bagi penulis dalam menelusuri dan memetakan peraturan perundangan yang bersangkutan. Pada bab ini terdiri dari enam sub-bab. Setelah pengantar ini, berturut-turut akan disampaikan mengenai struktur kebijakan sumber daya air, Undang-undang Sumber daya Air No 7 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah terkait sumber daya air, peraturan perundangan lainnya, dan resume. 2.2. Stuktur Kebijakan Sumber Daya Air Pemerintah telah mensyahkan Undang Undang tentang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 (UUSDA 7/2004) sebagai landasan utama pengaturan sumber daya air. Undang undang ini menggantikan peranan UU Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan yang dinilai tidak memadai untuk mengantisipasi hal kekinian

3


persoalan air. Merujuk pada ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan dan keberlakuan UUSDA 7/2004 dapat dilihat pada Gambar 2. Penjelasan Gambar 2 adalah sebagai berikut: 1) Berlandaskan pada UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta tidak bertentangan dengan keduanya, 2) Berkedudukan sama dengan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang lainnya dan saling mempengaruhi, dan 3) Menjadi landasan dalam penetapan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota sebagai aturan pelaksanaan UUSDA 7/2004. UUD 1945 UU SDA 7 2004

PP No 42 2008

UU lainnya: Tata Ruang Kehutanan, Kesehatan, dll PP Lainnya: Irigasi, SPAM, Air Tanah, dll Kepres dan Inpres lainnya

Jaknas (Peraturan )Presiden

RPJMN

Kebijakan Menteri

Kebijakan Propinsi

Pengelolaan Sungai

Pedoman/Juklak/ Juknis Gambar: 1 Struktur Kebijakan Sumber Daya Air

2.3. Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 sebagai Landasan Pengaturan Sumber Daya Air 2.3.1. Profil Undang-Undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 terdiri dari 100 pasal yang dikelompokkan dalam 18 bab. Secara berurutan 18

4


bab tersebut berupa: Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 1-12), Bab II. Wewenang dan Tanggung Jawab (Pasal 13-19), Bab III. Konservasi Sumber daya Air (Pasal 20-25), Bab IV. Pendayagunaan Sumber daya Air (Pasal 26- 50), Bab V. Pengendalian Daya Rusak Air (Pasal 51-58), Bab VI. Perencanaan (Pasal 59-62), Bab VII. Pelaksanaan Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan (Pasal 63-64), Bab VIII. Sistem Informasi Sumber daya Air (Pasal 65-69), Bab IX. Pemberdayaan dan Pengawasan (Pasal 70-76), Bab X. Pembiayaan (Pasal 77-81), Bab XI. Hak Kewajiban dan Peran Masyarakat (Pasal 82-84), Bab XII. Koordinasi (Pasal 85-87), Bab XIII. Penyelesaian Sengketa (Pasal 8889), Bab IV. Gugatan Masyarakat dan Organisasi (Pasal 90-92), Bab XV. Penyidikan (Pasal 93), Bab XVI. Ketentuan Pidana (Pasal 94-96), Bab XVII. Ketentuan Peralihan (Pasal 97-98), dan Bab XVIII. Ketentuan Penutup (Pasal 99-100). Isi dari UUSDA 7/2004 memperlihatkan bahwa ketentuanketentuan yang ditetapkan telah memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Sebagai perbandingan, UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan hanya terdiri dari 12 bab dan 17 pasal yang fokus pengaturannya hanya air untuk kebutuhan pertanian atau irigasi. Hal ini menjadi wajar, sebab perhatian pemerintah saat itu adalah pencapaian swasembada pangan. Pada bagian menimbang telah disebutkan latar persoalan dan tujuan ditetapkannya UUSDA 7/2004, sebagai berikut: •

Sumber daya air dimaknai sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;

Indonesia sedang dan akan menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, dan oleh karenanya sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras;

Pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk

5


mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi; •

Masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air, sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan dari bagian mengingat, landasan formal konstitusional UUSDA 7/2004 adalah sebagai berikut:

6

Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mencirikan bahwa rancangan UU SDA berasal dari Presiden/ Pemerintah;

Pasal 18 merupakan pernyataan keberlakuan UUSDA 7/2004 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah otonomi;

Pasal 18 A menandak an bahwa UUSDA 7/2004 memperhatikan pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

Pasal 20 menyatakan bahwa UUSDA 7/2004 telah dibahas bersama dan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

Pasal 22 D Ayat 1 merupakan pengakuan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah;

Pasal 33 Ayat 3 menjadi landasan substansi UUSDA 7/2004 terkait penguasaan negara atas sumber daya air dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

Pasal 33 Ayat 3 merupakan pernyataan bahwa UUSDA 7/2004 merupakan amanat yang harus dibentuk sebagai aturan pelaksana Pasal 33.


Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 mempunyai bagian penjelasan berupa tambahan keterangan atas beberapa ketentuan di dalam batang tubuh yang dianggap masih kurang jelas. Sebagai sebuah undang-undang, beberapa ketentuan di dalam UUSDA 7/2004 memerlukan aturan lanjutan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden. Terdapat 35 Peraturan Pemerintah dan tiga Keputusan Presiden yang harus ditetapkan sebagai bagian dari implementasi UUSDA 7/2004, sebagai berikut: 1.

Peraturan Pemerintah mengenai Hak Guna Air (Pasal 10),

2. Peraturan Pemerintah mengenai Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber daya Air (Pasal 11 Ayat 5), 3. Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Air Permukaan Dan Pengelolaan Air Tanah (Pasal 12 Ayat 3), 4. Peraturan Pemerintah mengenai Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Wilayah Sungai Dan Cekungan Air Tanah (Pasal 13 Ayat 5), 5. Peraturan Pemerintah mengenai Perlindungan Dan Pelestarian Sumber Air (Pasal 21 Ayat 5), 6. Peraturan Pemerintah mengenai Pengawetan Air (Pasal 22 Ayat 3), 7. Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air (Pasal 23 Ayat 4), 8. Peraturan Pemerintah mengenai Pelaksanaan Konservasi Sumber daya Air (Pasal 25 Ayat 3), 9. Peraturan Pemerintah mengenai Ketentuan Dan Tata Cara Penetapan Zona Sumber Air (Pasal 27 Ayat 3), 10. Peraturan Pemerintah mengenai Penetapan Peruntukan Air (Pasal 28 Ayat 3), 11. Peraturan Pemerintah mengenai Penyediaan Sumber daya Air (Pasal 31), 12. Peraturan Pemerintah mengenai Penggunaan Sumber daya Air (Pasal 32 Ayat 7),

7


13. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sungai, Danau, Rawa, Dan Sumber Air Permukaan Lainnya (Pasal 36 Ayat 2), 14. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Air Tanah (Pasal 37 Ayat 3), 15. Peraturan Pemerintah mengenai Pemanfaatan Awan Untuk Teknologi Modifikasi Cuaca (Pasal 38 Ayat 3), 16. Peraturan Pemerintah mengenai Pemanfaatan Air Laut Yang Berada Di Darat (Pasal 39 Ayat 3), 17. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Pasal 40), 18. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sistem Irigasi (Pasal 41 Ayat 6), 19. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sumber daya Air Untuk Industri Dan Pertambangan (Pasal 42 Ayat 2), 20. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sumber daya Air Untuk Ketenagaan (Pasal 43 Ayat 2), 21. Peraturan Pemerintah mengenai Pengembangan Sumber daya Air Sebagai Jaringan Prasarana Angkutan (Pasal 44 Ayat 2), 22. Peraturan Pemerintah mengenai Pengusahaan Sumber daya Air (Pasal 50), 23. Peraturan Pemerintah mengenai Pencegahan Kerusakan Dan Bencana Akibat Daya Rusak Air (Pasal 53 Ayat 4), 24. Peraturan Pemerintah mengenai Penanggulangan Kerusakan Dan Bencana Akibat Daya Rusak Air (Pasal 54 Ayat 3), 25. Peraturan Pemerintah mengenai Pemulihan Daya Rusak Air (Pasal 57 Ayat 3), 26. Peraturan Pemerintah mengenai Pengendalian Daya Rusak Air Pada Sungai, Danau, Waduk Dan/ Atau Bendungan, Rawa, Cekungan Air Tanah, Sistem Irigasi, Air Hujan, Dan Air

8


Laut Yang Berada Di Darat (Pasal 58 Ayat 2), 27. Peraturan Pemerintah mengenai Prosedur Dan Persyaratan Perencanaan (Pasal 60 Ayat 2), 28. Peraturan Pemerintah mengenai Inventarisasi Sumber daya Air (Pasal 61 Ayat 5), 29. Peraturan Pemerintah mengenai Perencanaan Pengelolaan Sumber daya Air (Pasal 62 Ayat 7), 30. Peraturan Pemerintah mengenai Izin Pelaksanaan Konstruksi Pada Sumber Air (Pasal 63 Ayat 5), 31. Peraturan Pemerintah mengenai Operasi Dan Pemeliharaan Sumber daya Air (Pasal 67 Ayat 8), 32. Peraturan Pemerintah mengenai Sistem Informasi Sumber daya Air (Pasal 69), 33. Peraturan Pemerintah mengenai Pemberdayaan Dan Pengawasan Pengelolaan Sumber daya Air (Pasal 76), 34. Peraturan Pemerintah mengenai Pembiayaan Pengelolaan Sumber daya Air (Pasal 81), 35. Peraturan Pemerintah mengenai Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber daya Air (Pasal 84 Ayat 2), 36. Keputusan Presiden mengenai Wilayah Sungai Dan Cekungan Air Tanah (Pasal 13 Ayat 1), 37. Keputusan Presiden mengenai Bencana Akibat Daya Rusak Air Yang Berskala nasional (Pasal 55 Ayat 2), 38. Keputusan Presiden mengenai Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Wadah Koordinasi Yang Bernama Dewan Sumber daya Air (Pasal 86 Ayat 4). 2.3.2. Pengelolaan Sumber Daya Air Pengelolaan sumber daya air perlu menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demi menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka perlu menyusun

9


pola pengelolaan sumber daya air. Pemerintah akan menyusun pola pengelolaan sumber daya air berdasarkan Wilayah Sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Pola pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air pada setiap wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Para instansi terkait akan berkoordinasi untuk menyusun pola pengelolaan sumber daya air, berdasarkan asas kelestarian, asas keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi, asas kemanfaatan umum, asas keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas kemandirian, serta asas transparansi dan akuntabilitas. Pola pengelolaan sumber daya air tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terkoordinasi berbasis wilayah sungai. Rencana tersebut menjadi dasar dalam penyusunan program pengelolaan sumber daya air yang dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kegiatan setiap instansi yang terkait. Isian rencana pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk rencana penyediaan sumber daya air dan pengusahaan sumber daya air. Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan di atas semua kebutuhan lainnya. Karena keberagaman ketersediaan sumber daya air dan jenis kebutuhan sumber daya air pada suatu tempat, penetapan prioritas penyediaan sumber daya air untuk keperluan lainnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan setempat. Pada undang-undang ini juga sudah diamanatkan partisipasi publik dengan menyebutkan bahwa penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik

10


daerah maupun badan usaha milik swasta. Sejalan dengan prinsip demokrasi, masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air, tetapi berperan pula dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan atas pengelolaan sumber daya air. 2.3.3. Hak Guna Air Hak guna air merupakan salah satu instrumen pengelolaan sumber daya air. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun kelompok yang tidak wajib izin.

[foto: Annas Radin Syarif. Sungai Ciliwung, Bogor.] Seorang warga sedang mencuci di sungai di temani kedua anaknya. Air merupakan satu kebutuhan dasar hidup

11


Hak guna air dibagi menjadi dua macam hak, yaitu “Hak Guna Pakai” dan “Hak Guna Usaha”. “Hak Guna Pakai” adalah hak guna untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha. Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi yang dijamin oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Perseorangan dan pertanian rakyat menggunakan hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Di sini pemerintah memberikan “jaminan hak” dengan menyatakan bahwa pemerintah pusat atau pemerintah daerah menjamin alokasi air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi ketersediaan air yang ada dalam wilayah ungai yang bersangkutan dengan tetap menjaga terpeliharanya ketertiban dan ketentraman.

[foto: M. Kosar. Sungai Citarik Sukabumi.] Selain air dimanfaatkan secara langsung oleh manusia, air juga sangat dibutuhkan untuk kehidupan tanaman dan biota lainnya sebagai penunjang kehidupan manusia

12


“Hak Guna Usaha� adalah hak guna untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensi, media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi. Hak guna usaha berkembang sejak Pemerintah dalam UUSDA 7/2004 ini menyebutkan bahwa air juga mempunyai fungsi ekonomi. Namun demikian, Pemerintah menyadari bahwa tidak memberikan keseimbangan atas fungsi sosial dan fungsi ekonomi akan membahayakan tata kelola air yang baik. 2.3.4. Alokasi Sumber Daya Air Pada prinsipnya, semua orang baik perseorangan maupun badan hukum diberi akses yang sama untuk mendapatkan dan memanfaatkan air dari sumber air yang ada. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya sehari-hari.

[foto: Sandika Ariansyah. Aliran Subak Bali.] Sawah irigasi sangat tergantung akan pengairan yang cukup, menjaga sumber air merupakan kebutuhan bagi para petani padi

13


Jaminan ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan yang minimal akan air harus diberikan untuk semua jenis atau macam kegiatan manusia. Namun demikian, UUSDA 7/2004 memberikan prioritas utama dalam perolehan dan pemanfaatan air, yaitu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat. Penempatan kedua kelompok kebutuhan tersebut sebagai prioritas utama bermakna bahwa dalam kondisi tertentu di mana ketersediaan air terbatas, maka pemenuhan kedua kebutuhan tersebut harus didahulukan. Bahkan dalam kaitannya dengan pengusahaan secara komersialpun harus tetap tidak boleh mengganggu ketersediaan air bagi kedua kelompok kebutuhan tersebut. 2.3.5. Desentralisasi Semangat desentralisasi mendasari pembentukan UUSDA 7/2004. Hal ini menandakan adanya pemberian kewenangan otonom sampai ke pemerintahan desa. Artinya, kewenangan pengelolaan sumber daya air tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat namun pemerintah daerah hingga pemerintah desa juga memiliki kewenangan mengelolanya. Pasal-pasal pada Bab II dan Pasal 53, 54, dan 55 UUSDA 7/2004, telah mengatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan mulai dari tingkat yang rendah hingga ke tingkat pusat. Untuk itu, dibangun manajemen pengelolaan air secara makro yang meletakkan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah nasional, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan Wilayah Sungai yang bersangkutan, yaitu:

14

•

Wilayah Sungai lintas provinsi, Wilayah Sungai lintas negara, dan/ atau Wilayah Sungai strategis nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

•

Wilayah Sungai lintas kabupaten/ kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi;


•

Wilayah Sungai yang secara utuh berada pada satu wilayah kabupaten/ kota menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota;

Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas peruntukan, penyediaan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dengan tetap dalam kerangka konservasi dan pengendalian daya rusak air. Perbedaannya hanya terletak pada ruang lingkup kewenangan, yakni pemerintah nasional yang berwenang di seluruh wilayah negara Repubik Indonesia, pemerintah provinsi yang berwenang di wilayah administrasi propinsinya, pemerintah kabupaten/kota yang berwenang di wilayah administratifnya. Di samping itu, undang-undang ini juga memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah desa. Pemerintah desa atau yang setingkat dengan desa memiliki kewenangan dan tanggung-jawab, yaitu mengelola sumber daya air yang ada di desanya yang belum dikelola oleh masyarakat atau oleh pemerintah yang di atasnya, menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang ada di desa, serta berusaha menjamin pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari warga desa atas air. 2.3.6. Konservasi Sumber Daya Air Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 memberikan perhatian terhadap upaya konservasi sumber daya air. Terdapat satu bab khusus tentang konservasi, yaitu Bab III Pasal 20 sampai dengan Pasal 25. Pasal-pasal ini mengatur ketentuan konservasi sebagai berikut: 1) Konservasi dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air, 2) Upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pengendalian sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, dan pengendalian pencemaran air, dan 3) Larangan bagi siapapun melakukan kegiatan yang menyebabkan rusaknya sumber air dan

15


prasarananya, pencemaran air, dan mengganggu pengawetan air. 2.3.7. Pengusahaan Sumber Daya Air Kegiatan usaha ekonomi terkait air ataupun sumber daya airnya dapat dilakukan oleh semua kelompok usaha. UUSDA 7/2004 tidak menunjukkan keberpihakannya pada kelompok tertentu. Kegiatan usaha berkaitan dengan sumber daya air dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan. Badan Usaha yang dimaksud meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, dan badan usaha swasta.

[foto: Rita Mustikasari. Daerah Aliran Sungai Way Seputih, Lampung.]. Sebuah sumur di tengah sawah yang dibuat oleh petani sebagai sumber alternatif air untuk pemenuhan kebutuhan atas air untuk tanaman

Meski demikian, pengembangan usaha sumber daya air (pembotolan) sebagian besar memerlukan ketersediaan modal dan

16


teknologi yang relatif tinggi, dimana kelompok usaha berskala besar yang berlomba melakukannya. 2.4. Peraturan Pelaksana Pengelolaan Sumber Daya Air Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 mengamanatkan 35 Peraturan Pemerintah dan tiga Keputusan Presiden. Hingga saat ini sudah ditetapkan enam Peraturan Pemerintah dan tiga Keputusan Presiden. Yaitu sebagai berikut: 1) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, selanjutnya disebut PP PSPAM; 2) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, selanjutnya disebut PP Irigasi; 3) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, selanjutnya disebut PP PSDA; 4) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, selanjutnya disebut PP Air Tanah; 5) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 tentang Bendungan, selanjutnya disebut PP Bendungan; dan 6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, selanjutnya disebut PP Sungai. Peraturan pelaksana lainnya adalah: 1) Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumber daya Air (DSDA), selanjutnya disebut Perpres DSDA; 2) Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Dewan Sumber daya Air Nasional, selanjutnya disebut Keppres DSDAN; dan 3) Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber daya Air, selanjutnya disebut Jaknas. 2.4.1. Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM) Peraturan Pemerintah tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP PSPAM) merupakan aturan pelaksana dari Pasal 40 UUSDA 7/2004. Penyelenggaraan PP PSPAM ditujukan untuk menjamin kebutuhan pokok air minum masyarakat yang memenuhi syarat kualitas, syarat kuantitas, dan syarat kontinuitas.

17


Sistem penyediaan air minum merupakan bentuk pemanfaatan sumber daya air dan pengelolaan sanitasi, yang juga sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pelestarian terhadap sumber daya air. Keduanya harus dilaksanakan dan menjadi tanggung-jawab Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah. Dalam penyelenggaraan PSPAM, pemerintah melakukannya secara terpadu dengan kegiatan pembangunan sistim Prasarana dan Sarana Sanitasi yang dibangun untuk pemenuhan standar pelayanan sanitasi masyarakat. Keterpaduan ini dilakukan guna melindungi air baku untuk penyediaan air minum rumah tangga. Keterpaduan tersebut dimulai dari penyusunan kebijakan dan strategi serta tahapan-tahapan penyelenggaraan yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian/ pengelolaan, pemeliharaan dan rehabilitasi serta pemantauan dan evaluasi. Penyelenggaraan PSPAM melibatkan berbagai unsur, yaitu BUMN, BUMD, koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan PSPAM sangat penting, agar masyarakat berpartisipasi menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan pelayanan air minum dan sanitasi yang lebih handal. Pemerintah setiap lima tahun sekali menyusun kebijakan dan strategi nasional PSPAM dan menetapkannya melalui konsultasi publik baik pada aras nasional maupun daerah. Dalam beberapa kasus, konsultasi publik menjadi forum legitimasi terjadinya partisipasi publik. Masyarakat dalam konteks tersebut mempunyai ruang gerak yang terbatas dalam memutuskan metode, jenis, pelaku, dan mekanisme penyelenggaraan PSPAM. Kebijakan PSPAM ini juga bentuk sinergi kebijakan di tingkat nasional dan daerah, dimana penyelenggaraan PSPAM didasarkan pada kebijakan dan strategi nasional sebagai landasan penyusunan kebijakan. Di sisi lain, pertimbangan strategi daerah yang ada, mendorong efisiensi penyediaan pelayanan air minum dan/ atau prasarana dan sarana sanitasi serta penggunaan sumber daya air dan

18


melindungi kepentingan konsumen. Peraturan Pemerintah PSPAM mengamanatkan pembentukan Badan Pendukung PSPAM (BP-PSPAM) dengan fokus kerja mendatangkan investasi dalam PSPAM. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan bahwa pembiayaan PSPAM diperlukan untuk membangun, memperluas dan meningkatkan sistem fisik dan nonf-isik yang sumber dananya diperoleh dari berbagai unsur, yaitu Pemerintah, dunia usaha, masyarakat, serta sumber dana lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan Pendukung PSPAM akan mengenakan biaya atas tarif atau retribusi kepada pelanggan sebagai timbal balik atas jasa pelayanan penyediaan air minum dan sanitasi. Penetapan tarif atau retribusi yang mencerminkan tarif konsumen sebagai harga dari jasa pelayanan yang efisien dilakukan oleh penyelenggara atas persetujuan berbagai pihak yang telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak masyarakat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 yang dalam hal ini sebagai pelanggan adalah: •

Memperoleh pelayanan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sesuai dengan standar yang ditetapkan;

Mendapatkan informasi tentang struktur dan besaran tarif serta tagihan;

Mengajukan gugatan atas pelayanan yang merugikan dirinya ke pengadilan;

Mendapatkan ganti rugi yang layak sebagai akibat kelalaian pelayanan; dan

Memperoleh pelayanan pembuangan air limbah atau penyedotan lumpur tinja.

2.4.2.

Peraturan Pemerintah tentang Irigasi

Pearturan Pemerintah tentang Irigasi adalah amanat Pasal

19


41 UUSDA 7/2004. Peraturan Pemerintah tentang Irigasi berisikan penjelasan mengenai otoritas pengelolaan irigasi, wewenang dan tanggung jawab instansi pemerintah terkait, partisipasi petani dalam pengembangan sistem dan manajemen irigasi, manajemen irigasi dan pengembangan jaringan, dan pemeliharaan aset dan pendanaan irigasi. Keputusan ini juga menjelaskan konversi lahan untuk irigasi, koordinasi pengelolaan, dan pemantauan. Poin-poin

Catatan

Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2006, Pasal 1 Ayat 3.

Irigasi adalah usaha untuk menyediakan, mengelola dan mengalirkan air irigasi untuk mendukung aktivitas pertanian. Batasan irigasi termasuk di dalamnya sistim irigasi permukaan (surface irrigation), irigasi tanah rawa (swamp irrigation), irigasi air tanah (groundwater irrigation), irigasi pompa (pump irrigation), dan irigasi perikanan (fish farm irrigation)

Tanggung-jawab Pemerintah Pusat

Terdapat dua hal, yang pertama adalah membangun irigasi primer dan sekunder yang mempu mengairi lahan seluas tiga ribu hektar. Yang kedua adalah bertanggung jawab pada pengelolaan irigasi yang melintasi antar propinsi, irigasi yang melintasi antar Negara dan bertanggung jawab pada strategi irigasi skala nasional.

Tanggung-jawab Pemerintah Provinsi

Bertangung jawab atas irigasi primer dan sekinder yang mampu mengairi lahan seluas 1000 – 3000 hektar, atau irigasi yang melintasi antar kanupaten/kota.

20


Tanggung-jawab Pemerintah Kabupaten

Bertanggung jawab atas irigasi primer dan sekunder di dalam kabupaten/kota yang bersangkutan yang mempu mengairi lahan di bawah seribu hektar.

Tanggung-jawab Petani

a. Mengelola system irigasi tersier, b. Menjaga dengan efektif, efisien dan berkelompok atas system irigasi tersier.

Tabel: 1 Sistem Manajemen Irigasi di Indonesia Berdasarkan UUSDA 7/2004 dan PP 20 Tahun 2006

a. Poin-poin Catatan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2006, Pasal 1 Ayat 3. Irigasi adalah usaha untuk menyediakan, mengelola dan mengalirkan air irigasi untuk mendukung aktivitas pertanian. Batasan irigasi termasuk di dalamnya sistim irigasi permukaan (surface irrigation), irigasi tanah rawa (swamp irrigation), irigasi air tanah (groundwater irrigation), irigasi pompa (pump irrigation), dan irigasi perikanan (fish farm irrigation) Tanggung-jawab Pemerintah Pusat Terdapat dua hal, yang pertama adalah membangun irigasi primer dan sekunder yang mempu mengairi lahan seluas tiga ribu hektar. Yang kedua adalah bertanggung jawab pada pengelolaan irigasi yang melintasi antar propinsi, irigasi yang melintasi antar Negara dan bertanggung jawab pada strategi irigasi skala nasional. Tanggung-jawab Pemerintah Provinsi Bertangung jawab atas irigasi primer dan sekinder yang mampu mengairi lahan seluas 1000 – 3000 hektar, atau irigasi yang melintasi antar kanupaten/kota. Tanggung-jawab Pemerintah Kabupaten B e r t a n g g u n g j awa b atas irigasi primer dan sekunder di dalam kabupaten/kota yang bersangkutan yang mempu mengairi lahan di bawah seribu hektar. Tanggung-jawab Petani a. Mengelola system irigasi tersier,

21


b. Menjaga dengan efektif, efisien dan berkelompok atas system irigasi tersier. 2.4.3.

Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA)

Peraturan Pemerintah tentang PSDA dinyatakan sebagai aturan pelaksana UUSDA 7/2004. Yaitu untuk pasal-pasal berikut: Pasal 11 ayat (5), Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 ayat (7), Pasal 39 ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 54 ayat (3), Pasal 57 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 61 ayat (5), Pasal 62 ayat (7), Pasal 63 ayat (5), Pasal 64 ayat (8), Pasal 69, Pasal 81, dan Pasal 84 ayat (2). Pengaturan mengenai proses dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dimaksudkan agar: •

Pendayagunaan sumber daya air dapat diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi sumber daya air secara berkelanjutan;

Terciptanya keseimbangan antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi sumber daya air;

Tercapainya sebesar-besar kemanfaatan umum sumber daya air secara efektif dan efisien;

Terwujudnya keserasian untuk berbagai kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air yang dinamis;

Terlindunginya hak setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati hasil pengelolaan sumber daya air; dan

Terwujudnya keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya air.

Dinyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air akan menjadi arahan strategis dalam mengintegrasikan kepentingan

22


pengembangan wilayah administrasi dengan pengelolaan sumber daya air yang berbasis Wilayah Sungai (WS). Kebijakan pengelolaan sumber daya air disusun dengan memperhatikan kondisi wilayah administratif, seperti, perkembangan penduduk, ekonomi, sosial budaya, dan kebutuhan air. Wilayah Sungai (WS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/ atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Dengan demikian, dapat dinilai bahwa kebijakan ini berdiri sejajar dengan prinsip pengelolaan terpadu pada satu sungai atau one river one management (OROM). Konsep manajemen sumber daya air pada PP PSDA ini disusun dengan model hirarkis administratif dengan mengenal penjenjangan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat nasional menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi dan pada tingkat kabupaten/ kota secara berjenjang. Dijelaskan bahwa sumber daya air merupakan sumber daya alam yang terbarukan dan secara alamiah berada di dalam wilayah hidrografis yang disebut daerah aliran sungai. Ketersediaan sumber daya air dalam setiap daerah aliran sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan hidrogeologi setempat sehingga mengakibatkan adanya daerah aliran sungai dengan ketersediaan air yang melimpah dan daerah aliran sungai yang sangat kekurangan air. Asas keseimbangan dan asas keadilan dalam pengelolaan sumber daya air dapat diwujudkan melalui penyatuan beberapa daerah aliran sungai dalam satu wilayah pengelolaan yang disebut Wilayah Sungai agar wilayah tersebut mampu mencukupi

23


kebutuhan sumber daya air bagi wilayahnya. Penyatuan beberapa daerah aliran sungai ke dalam satu Wilayah Sungai tersebut harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaannya. Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai sifat mengalir dan dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya air akan berdampak pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Oleh karena itu, agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara optimal, maka diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu antar-instansi dan antar-wilayah, yaitu berupa pola pengelolaan sumber daya air.

[foto: Shodik Purnomo] Workshop Multipihak yang di selenggarakan oleh Telapak BT Riau dalam menyusun One River, One Plan and One Integrated Management di DAS Kampar, Riau.

Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara terbuka melalui pelibatan berbagai pihak dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang agar pola pengelolaan sumber daya air mengikat berbagai pihak yang berkepentingan.

24

Pola pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar


dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Pola pengelolaan sumber daya air disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan sumber daya air memuat tujuan dan dasar pertimbangan pengelolaan sumber daya air, skenario kondisi wilayah sungai pada masa yang akan datang, strategi pengelolaan sumber daya air, dan kebijakan operasional untuk melaksanakan strategi pengelolaan sumber daya air. Pola pengelolaan sumber daya air dijabarkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air. Rencana dimaksud dibangun melalui inventarisasi sumber daya air serta penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/ atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Pelaksanaan kegiatan konser vasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air, dilakukan melalui pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air, operasi dan pemeliharaan sumber daya air yang meliputi pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air. Pemerintah akan melaksanakan kegiatan konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang melibatkan unsur masyarakat, meliputi perseorangan, kelompok masyarakat, dan badan usaha. Untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air maka dilakukan

25


konservasi sumber daya air melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, serta pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air. Dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air, Pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan mengutamakan kegiatan yang bersifat non-fisik daripada yang bersifat fisik, serta mendorong masyarakat untuk melakukan upaya pengawetan dan penghematan air. Pendayagunaan sumber daya air ber tujuan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan, dengan mengutamakan fungsi sosial sumber daya air guna mewujudkan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat terhadap air secara adil. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air. Pe m e r i n t a h p u s a t d a n p e m e r i n t a h d a e r a h j u g a menyelenggarakan sistem informasi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya. Sistem informasi sumber daya air yang merupakan jaringan informasi yang tersebar dan dikelola oleh berbagai institusi, baik pada tingkat pusat maupun daerah, perlu dikelola secara terpadu sehingga informasi yang tersedia dapat terjamin keakuratan, kebenaran, dan ketepatan waktunya serta dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Pengelolaan sumber daya air berkelanjutan memerlukan pembiayaa. Pengguna sumber daya air wajib menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Biaya jasa pengelolaan sumber daya air bukan merupakan pembayaran atas harga air, melainkan merupakan penggantian sebagian biaya yang diperlukan untuk pengelolaan sumber daya air. Penggunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat mendapatkan pengecualian atas kewajiban itu. Pembebanan biaya jasa pengelolaan sumber daya air akan mengajak masyarakat untuk berhemat dalam penggunaan air. Di samping itu, pembebanan biaya dapat menumbuhkan peran

26


serta masyarakat dalam menjaga dan memelihara sumber daya air ataupun prasarana sumber daya air. Perizinan dalam penggunaan sumber daya air merupakan instrumen pengendalian untuk mewujudkan ketertiban pengelolaan sumber daya air, melindungi hak masyarakat dalam memperoleh akses atas air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang telah ada, serta menjamin hak ulayat masyarakat hukum adat setempat. Pengelolaan sumber daya air memerlukan wadah koordinasi, yakni institusi tempat segenap pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air melakukan koordinasi dalam rangka mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air. Institusi itu adalah DSDAN yang merupakan wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat nasional, dan secara hirarki terdapat Dewan yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. 2.4.4.

Peraturan Pemerintah tentang Air Tanah

Peraturan Pemerintah Air Tanah adalah aturan pelaksana dari UUSDA 7/2004, yaitu pasal-pasal berikut: Pasal 10, Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), Pasal 37 ayat (3), Pasal 57 ayat (3), Pasal 58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, dan Pasal 76. Ruang lingkup pengaturan dalam peraturan pemerintah ini meliputi: penetapan kebijakan pengelolaan air tanah, penetapan cekungan air tanah, penetapan strategi pengelolaan air tanah, pengelolaan air tanah sistem informasi air tanah, dan pemberdayaan, pengendalian serta pengawasan pengelolaan air tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Air tanah dapat berada pada lapisan jenuh air (saturated zone), lapisan tidak jenuh air (unsaturated zone), atau rongga-rongga dan saluran-saluran dalam wujud sungai bawah tanah di daerah batu gamping.

27


[foto: Oka Andriansyah] Wakil Bupati Kabupaten Luwu, Bapak Sukur Bijak, atas nama Bupati Luwu, melantik pengurus Komite Daerah Aliran Sungai Lamasi (KDL) Periode 2010-2013

Air tanah yang keluar dalam bentuk mata air atau mengalir ke sungai merupakan salah satu sumber air yang penting bagi pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Beberapa industri memompa air tanah untuk kebutuhan proses produksinya. Keberadaan air tanah di Indonesia cukup melimpah, tetapi tidak di setiap tempat terdapat air tanah karena keberadaan air tanah tergantung pada kondisi geologi serta curah hujan. Dalam cekungan, air tanah dapat mengisi sungai, waduk, atau danau dan sebaliknya air sungai, waduk, atau danau dapat mengisi akuifer. Oleh karena itu, pengelolaan air tanah harus dilakukan secara terpadu dengan pengelolaan air permukaan. Suatu daerah dapat disebut sebagai cekungan air tanah hanya apabila memenuhi kriteria: mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/ atau kondisi hidraulik air tanah; mempunyai

28


daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem pembentukan air tanah; serta memiliki satu kesatuan sistem akuifer.

[foto: Sandika Ariansyah] Daerah Aliran Sungai Jati Luwih - Bali yang merupakan sungai yang mengaliri daerah pertanian persawahan

“Cekungan air tanah� penting dipahami publik karena sesuai Pasal 12 ayat (2) UUSDA 7/2004, cekungan air tanah ditetapkan sebagai dasar pengelolaan air tanah. Pengelolaan air tanah meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air tanah. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kelestarian, kesinambungan ketersediaan, serta kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan. Pengelolaan air tanah diselenggarakan dengan berlandaskan pada kebijakan pengelolaan air tanah dan strategi pengelolaan air tanah. Kebijakan pengelolaan air tanah disusun dan ditetapkan

29


secara terintegrasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota oleh wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air. Kebijakan pengelolaan air tanah selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis pengelolaan air tanah yang disusun dan ditetapkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sebagai arahan dalam teknis pengelolaan air tanah yang meliputi kegiatan konservasi, pendayagunaan, pengendalian daya rusak, dan sistem informasi air tanah. Pengaturan pengelolaan air tanah diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah. Pelaksanaan kegiatan tersebut secara teknis perlu disesuaikan dengan perilaku air tanah yang meliputi keterdapatan, penyebaran, potensi mencakup kuantitas dan kualitas air tanah serta lingkungan air tanah. Namun karena keberadaannya dalam batuan yang pembentukannya erat kaitannya dengan proses geologi, maka pengelolaan air tanah memerlukan pengaturan yang mendasarkan pada kaidah-kaidah geologi dan hidrogeologi. Pengaturan konservasi air tanah diarahkan untuk mendukung upaya menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, dan fungsi air tanah melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian air tanah, pengawetan air tanah, dan pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah. Upaya konservasi air tanah dilakukan untuk mencegah kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah yang dapat terjadi karena penyusutan ketersediaan air tanah yang diikuti penurunan muka air tanah yang tajam dan apabila terus berlanjut dapat menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran air tanah, intrusi air asin, kekeringan, dan amblesan tanah. Pengaturan pendayagunaan air tanah diarahkan untuk mendukung upaya mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan air tanah yang terus menerus serta berkelanjutan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Meskipun tidak tertutup kemungkinan dapat juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti pertanian, sanitasi lingkungan, perindustrian,

30


pertambangan, dan pariwisata. Pendayagunaan air tanah dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah. Akan tetapi, karena terletak di bawah permukaan tanah, pengambilan atau eksploitasi air tanah dalam upaya pemanfaatan atau penggunaannya memerlukan proses sebagaimana dilakukan pada kegiatan pertambangan yang mencakup kegiatan penggalian atau pengeboran, pemasangan konstruksi sumur, dan sebagainya.

[foto: Annas Radin Syarif. Sungai Cibaduy, Banten] Masyarakat Badui yang sangat arif dalam pemanfaatan dan menjaga sungai

Pada dasarnya air tanah tidak mempunyai potensi merusak sebagaimana pada air permukaan. Namun, daya rusak air tanah akan muncul apabila kondisi dan lingkungan air tanah terganggu, baik akibat pengambilan air tanah yang melebihi daya dukungnya, pencemaran, maupun akibat kegiatan alam. Mengingat air tanah berada di bawah permukaan tanah maka kerusakan yang terjadi pada air tanah tidak terlihat secara langsung, sehingga apabila dieksploitasi tidak terkendali dapat mengakibatkan dampak negatif

31


yang luas, sehingga rehabilitasi atau pemulihannya sulit dilakukan. Pengaturan perizinan air tanah diarahkan untuk menata penerapan hak guna air dari pemanfaatan air tanah. Pada prinsipnya, izin di bidang air tanah berfungsi sebagai legalisasi atas kepemilikan hak guna air dari pemanfaatan air tanah dan sebagai alat pengendali dalam penggunaan air tanah. Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah, sepanjang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan atau bagi pertanian rakyat berdasarkan persyaratan tertentu, dapat diperoleh tanpa izin. Hak guna pakai air yang pemanfaatan air tanahnya dilakukan dengan cara mengebor, menggali air tanah atau penggunaannya mengubah kondisi dan lingkungan air tanah dan dalam jumlah besar, diperoleh harus dengan izin. Demikian pula dengan hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah diperoleh harus dengan izin. Dalam perizinan air tanah diterapkan rekomendasi teknis untuk menata penggunaannya sebagai upaya konservasi air tanah berdasarkan kondisi dan lingkungan air tanah pada zona konservasi air tanah. Rekomendasi teknis merupakan persyaratan teknis yang bersifat mengikat yang diberikan kepada bupati/ walikota dalam menerbitkan izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah. Izin yang diterbitkan pada cekungan air tanah dalam satu kabupaten/ kota harus memperoleh rekomendasi teknis dari instansi setempat yang berwenang. Izin yang diterbitkan pada cekungan air tanah lintas kabupaten/ kota harus memperoleh rekomendasi teknis dari gubernur. Izin yang diterbitkan pada cekungan air tanah lintas provinsi atau lintas negara harus memperoleh rekomendasi teknis dari Menteri. Pengaturan sistem informasi air tanah ditujukan untuk menyimpan, mengolah, menyediakan, dan menyebarluaskan data dan informasi air tanah dalam upaya mendukung pengelolaan air tanah. Data dan informasi tersebut terdiri atas konfigurasi cekungan air tanah, hidrogeologi, potensi air tanah, konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, kondisi dan lingkungan air tanah,

32


pengendalian dan pengawasan air tanah, kebijakan dan pengaturan di bidang air tanah, dan kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan air tanah. Data dan informasi tersebut diperoleh dari kegiatan inventarisasi, baik melalui pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, maupun evaluasi data. 2.4.5. Peraturan Pemerintah tentang Bendungan Peraturan Pemerintah tentang Bendungan ditetapkan sebagai aturan pelaksana UUSDA 7/2004 Pasal 22, Pasal 34 dan Pasal 58. Kebijakan tentang bendungan diarahkan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, pengawetan air, dan pengendalian daya rusak air. Pengaturan bendungan dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya dilaksanakan secara tertib dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, kelayakan teknis, kelayakan ekonomis, kelayakan lingkungan, dan keamanan bendungan. Ruang lingkup peraturan pemerintah ini meliputi pengaturan pembangunan bendungan, pengelolaan bendungan beserta waduknya, sistem informasi, pemantauan, peran-peran publik, dan sanksi-sanksi. Pada bagian penjelasan dinyatakan bahwa pembangunan bendungan untuk pengelolaan sumber daya air ditujukan untuk penyediaan air baku bagi rumah tangga, perkotaan, industri, penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, penyediaan daya air untuk pembangkit listrik tenaga air, dan untuk keperluan lainnya misalnya pengisian kembali air tanah daerah sekitar waduk, konservasi air, konservasi daerah sekitar waduk, serta untuk prasarana perhubungan, perikanan, dan pariwisata. Sedangkan pembangunan bendungan untuk penampungan limbah tambang (tailing) atau penampungan lumpur ditujukan untuk penyediaan waduk guna penampungan limbah yaitu limbah tambang (tailing) atau untuk penampungan lumpur yang mengalir.

33


Pembangunan bendungan memerlukan investasi yang besar. Pengadaan tanah untuk tapak bendungan dan daerah genangan waduk memerlukan pembebasan kawasan yang relatif luas dan menyangkut keberlanjutan kehidupan penduduk. Pemukiman kembali penduduk memerlukan perhatian dalam aspek sosial dan ekonomi sehingga tidak menimbulkan kesenjangan dengan penduduk setempat. Pembangunan bendungan perlu direncanakan dengan cermat, dan dilaksanakan dengan baik, serta memerlukan peran dari semua pemilik kepentingan.

[foto: Febrilia Ekawati] Hutan Rakyat di Daerah Tangkapan Air Waduk Batutegi, Lampung

Dalam rangka mewujudkan ketertiban pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya, serta penyelenggaraan keamanan bendungan, diperlukan instrumen pengendalian berupa izin dan persetujuan dalam tahapan pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta

34


waduknya. Keseluruhan izin dan persetujuan yang diperlukan meliputi izin penggunaan sumber daya air, persetujuan prinsip pembangunan, persetujuan desain, izin pelaksanaan konstruksi, izin pengisian awal waduk, izin operasi bendungan, persetujuan desain perubahan atau persetujuan desain rehabilitasi, izin perubahan bendungan atau izin rehabilitasi bendungan, dan izin penghapusan fungsi bendungan. 2.4.6. Peraturan Pemerintah tentang Sungai Peraturan Pemerintah Sungai ditetapkan sebagai aturan pelaksana UUSDA 7/2004 Pasal 25 ayat (3), Pasal 36ayat (2), dan Pasal 58 ayat (2). Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai ruang sungai, pengelolaan sungai, perizinan, sistem informasi, dan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan tentang sungai diharapkan dapat menjadi landasan dalam upaya konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai. Pada bagian penjelasan dinyatakan bahwa pengaturan sungai diharapkan dapat menciptakan keadaan yang harmonis dan berkelanjutan antara fungsi sungai dan kehidupan manusia. Peraturan ini dilandaskan pada sifat sungai yang spesifik dan dinamis karena dipengaruhi oleh perubahan debit air dan karakter sungai setempat. Debit air sungai selalu berubah yang dipengaruhi curah hujan, kondisi lahan, dan perubahan yang terjadi di alur sungai. Karakter setiap sungai ditentukan oleh kondisi geohidrobiologi wilayah dan sosial budaya masyarakat setempat. Ruang sungai perlu dilindungi agar tidak digunakan untuk kepentingan peruntukan lain. Sungai sebagai sumber air, perlu dilindungi agar tidak tercemar. Penyebab pencemaran air sungai yang utama adalah air limbah dan sampah. Kecenderungan perilaku masyarakat memanfaatkan sungai sebagai tempat buangan air limbah dan sampah harus dihentikan. Hal ini mengingat air sungai yang tercemar akan menimbulkan kerugian dengan pengaruh ikutan yang panjang. Salah satunya yang terpenting adalah mati atau hilangnya kehidupan flora dan fauna di sungai yang dapat

35


mengancam keseimbangan ekosistem. Pemberian sempadan yang cukup terhadap sungai dan pencegahan pencemaran sungai merupakan upaya utama untuk perlindungan dan pelestarian fungsi sungai. Oleh karenanya, dinyatakan bahwa dalam waktu paling lama lima tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku, menteri, gubernur, bupati/ walikota wajib menetapkan garis sempadan pada semua sungai yang berada dalam kewenangannya. 2.4.6. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kebijakan ini ditetapkan sebelum UUSDA, 7/2004 namun belum dicabut keberlakuannya hingga saat ini. Pada bagian penjelasan disebutkan pemahaman tentang air sebagai sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya. Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air. Keberadaan air dilihat sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil

36


guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion). Penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu, air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak kegiatan manusia berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar tersebut. Berdasarkan definisinya, pencemaran air diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolak ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air, dan juga merupakan

37


arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air. Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata akan menghadapai kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak untuk semua golongan peruntukan. Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, maka akan dapat dihitung berapa beban zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan peruntukannya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, mutu air diklasifikasikan menjadi empat kelas yaitu:

38

•

Kelas I, air yang dapat digunakan untuk air bahan baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

•

Kelas II, air yang dapat digunakan untuk prasarana atau sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

•

Kelas III, air yang dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang


sama dengan kegunaan tersebut; •

Kelas IV, air yang dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2.4.7. Peraturan Presiden tentang Kebijakan Nasional (Jaknas) Kebijakan Nasional merupakan kebijakan Presiden yang menjadi landasan operasional UUSDA 7/2004 dan Peraturan Pemerintah Pengelolaan Sumber Daya Air. Masyarakat sipil melalui DSAN dapat memberi masukan kepada Presiden saat menyusun dan merumuskan Jaknas. Seharusnya Jaknas dipandang penting dan strategis oleh kalangan masyarakat sipil, sebab ia akan menjadi acuan bagi: 1) Pengelolaan sumber daya air di tingkat nasional untuk periode tahun 2011-2030, 2) Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian dalam menetapkan kebijakan sektoral yang terkait dengan bidang sumber daya air, 3) Pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya air pada tingkat provinsi, dan 4) Menjadi acuan dalam menyusun rancangan Pola Pengelolaan Sumber daya Air pada wilayah sungai strategis nasional dan wilayah sungai lintas negara. Kebijakan Nasional dirumuskan berdasarkan pemahaman mengenai kondisi saat ini dan ditetapkan untuk memberikan arah untuk mencapai kondisi sumber daya air 20 tahun mendatang. Untuk itu, visi Jaknas dirumuskan sebagai berikut “Terwujudnya sumber daya air nasional yang dikelola secara adil, menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia�. Sedangkan misi yang ditetapkan dalam Jaknas adalah: 1) meningkatkan konservasi sumber daya air secara terus menerus, 2) mendayagunakan sumber daya air untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat, 3) mengendalikan dan mengurangi daya rusak air, 4) meningkatkan peran masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan sumber daya air, dan 5) membangun jaringan sistem informasi sumber daya air nasional yang terpadu antarsektor dan antarwilayah

39


Permasalahan sumber daya air yang diidentifikasi dalam Jaknas adalah: 1) peningkatan alih fungsi lahan, 2) kerusakan daerah aliran sungai, 3) konflik dalam penggunaan air, 4) pengambilan air tanah yang berlebihan, 5) penurunan kualitas air, 6) dampak perubahan iklim, 7) keterbatasan peran masyarakat dan dunia usaha, 8) tumpang tindih fungsi lembaga pengelolaan sumber daya air, dan 9) keterbatasan data dan informasi. Kebijakan Nasional Sumber Daya Air merupakan arahan strategis pengelolaan sumber daya air dalam jangka waktu 20102030. Kementerian dan lembaga terkait menindak-lanjuti dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari RPJM Nasional. Jaknas SDA dapat ditinjau ulang sejalan dengan dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang menuntut kebijakan baru. Peninjauan ulang kebijakan nasional dan strategi pengelolaan sumber daya air harus tetap melibatkan para pemilik kepentingan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/ kota, dan wilayah sungai. Kebijakan ini dibangun dari perspektif bahwa Sumber daya air selain berperan sebagai penopang sistem kehidupan juga sebagai modal pembangunan, karena hampir seluruh aktivitas dan komoditas dalam kehidupan di muka bumi ini sangat tergantung pada ketersediaan air. Hasil pembangunan sumber daya alam (termasuk sumber daya air) telah mampu menyumbang kepada produk domestik bruto dan menyerap tenagakerja. 2.4.8. Peraturan Presiden tentang Dewan Sumber Daya Air (DSDA) Peraturan Presiden tentang Dewan Sumber Daya Air ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 ayat (4) UUSDA 7/2004. Dewan Sumber Daya Air dibentuk sebagai wadah koordinasi untuk mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, serta para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air. Dewan Sumber Daya Air dibentuk di semua tingkat wilayah pemerintahan, yaitu: 1) Dewan SDA Nasional, Dewan SDA Wilayah

40


Sungai Lintas Provinsi, dan Dewan SDA Wilayah Sungai Strategis Nasional di tingkat pusat; 2) Dewan SDA Provinsi, dan Dewan SDA Wilayah Sungai Lintas Kabupaten/ Kota di provinsi, dan 3) Dewan SDA Kabupaten/ Kota dan Dewan SDA Wilayah Sungai di kabupaten.

[foto: Rita Mustikasari] Belajar bersama dengan Komunitas Ciliwung Bojong.

Dewan Sumber Daya Air di semua tingkatan beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Tugas dan tanggungjawab DSDA di semua tingkatan pada prinsipnya sama, yaitu: 1) melakukan koordinasi pengintegrasian kepentingan lintas sektor, lintas wilayah dalam pengelolaan sumber daya air, dan 2) menyusun dan merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air. Pembentukan Dewan Sumber daya Air Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Dewan Sumber daya Air Nasional. DSAN merupakan lembaga

41


nonstruktural yang berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. DSAN mempunyai tugas membantu Presiden dalam: •

Menyusun dan merumuskan kebijakan nasional serta strategi pengelolaan sumber daya air;

Memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah;

Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah, serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; dan

Menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi pada tingkat nasional.

2.5. Peraturan Sektor Lain yang Terkait Sumber daya Air 2.5.1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan produk kebijakan masa orde lama yang belum dicabut. Selain dianggap penting dan relevan hingga saat ini, belum ada pihak yang merasa dirugikan. Status “pokok” menyiratkan bahwa UUPA semestinya menjadi rujukan bagi kebijakan terkait agraria baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan di bawahnya.

42

Undang-undang Pokok Agraria mendorong pengaturan sumbersumber agraria yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dilakukan secara integral, bukan sektoral. Walaupun pengaturan tersebut akan dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan namun satu sama lain harus sinkron dan harmonis, baik secara vertikal maupun horisontal. UUPA mengakui eksistensi dan pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak-hak yang serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada


(Pasal 3). Undang-undang Pokok Agraria menugaskan Pemerintah membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam (Pasal 14 ayat 1). Kemudian, berdasarkan rencana umum tersebut, Pemerintah Daerah mengatur pula persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah (Pasal 14 ayat 2). Undang-undang Pokok Agraria membuka ruang keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumber-sumber agraria, tetapi menolak dengan keras praktek monopoli. Penguasaan atas sumber-sumber agraria diperbolehkan dengan batasanbatasan termasuk di dalamnya air. Pasal 16 UUPA menyebutkan secara rinci jenis-jenis hak atas tanah, air dan ruang angkasa. Pasal 16 ayat (1) menentukan jenis-jenis hak atas tanah, yaitu hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Air sebagai bagian dari agraria yang mempunyai fungsi ekonomi dan sosial. 2.5.2. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang Kehutanan menyatakan sumber daya hutan dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk “sebesarbesar kemakmuran rakyat�. Penguasaan hutan oleh Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (b) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

43


Ketersediaan air sangat tergantung dari kondisi sumbersumber air yang hampir semuanya ber-hulu di hutan. UU Kehutanan Pasal 3 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Jika implementasi Pasal 3 ini berjalan baik, maka ketersediaan air akan turut terjaga. 2.5.3. Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 12 Tahun 2008 Tahun 1999 dikatakan sebagai titik penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut terjadi perubahan dalam tatanan bernegara dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Pemerintah Daerah ini mengatur pembagian kewenangan antara pusat dengan provinsi dan kabupaten, termasuk di dalamnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Pembagian kewenangan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daaerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

44

Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004


mengakui ketentuan pembagian kewenangan tersebut. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni (1) kewenangan teknis pengelolaan sumber daya air. Kewenangan ini erat kaitannya dengan kebijakan berupa izin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air di daerah dan kemudian; dan (2) kewenangan mengatur dan mengurus sumber daya air yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/ pengelolaan, pemulihannya (konser vasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum. Dengan diberlakukannya Undang-undang 22/1999 tentang Otonomi Daerah, masalah pengelolaan sumberdaya air ini menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Pengaliran Sungai (DPS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional, sehingga dengan demikian masalah koordinasi antar daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DPS menjadi sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya air. Perubahan peran Pemerintah dari institusi penyedia jasa (service provider) menjadi institusi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha (enabler) agar memiliki kemampuan dalam menyediakan kebutuhan air dan menunjang kegiatan usahanya secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga perlu adanya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pengguna air untuk mengelola dan melestarikan potensi-potensi sumber daya air. 2.5.4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 2 memuat “asas� konservasi SDA hayati dan ekosistemnya. Lebih jauh yang dimaksud pelestarian kemampuan dan pemanfaatan SDA hayati dalam ekosistemnya, dilakukan secara serasi dan

45


seimbang. Hal itu dikuatkan lagi oleh Pasal 3 yang menyatakan tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian SDA hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. 2.5.5. Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air saling mempengaruhi. Undang-undang Sumber Daya Air menyatakan rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/ atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Kepentingan UUSDA 7/2004 diakomodasi dalam UU Tata Ruang yang menyatakan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah maka diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaansumber daya alam lain. Keberadaan kawasan lindung yang terkait dengan air diwadahi dalam UU Tata Ruang, berupa: kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/ waduk, kawasan sekitar mata air, dan kawasan rawan banjir. Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas DAS di dalam UU Tata Ruang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.

46


2.5.6. Undang-Undang N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Bagian dari kebijakan kesehatan yang relevan dengan tata kelola air adalah yang berkenaan dengan “Upaya Kesehatan”, yaitu setiap kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat. Selanjutnya, bab yang secara khusus berkenaan dengan tata kelola air adalah Bab IX tentang “Kesehatan Lingkungan”. Pada bab ini disebutkan bahwa upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya. Untuk itu, Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. Lingkungan sehat mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum. Lingkungan sehat adalah lingkungan yang bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain: • limbah cair; • limbah padat; • limbah gas; • sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; • binatang pembawa penyakit; • zat kimia yang berbahaya; • kebisingan yang melebihi ambang batas; • radiasi sinar pengion dan non pengion;

47


• air yang tercemar; • udara yang tercemar; dan • makanan yang terkontaminasi. 2.5.7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang ini merupakan pembaruan dari Undangundang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk “lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Penjelasan UU menyebutkan bahwa perbedaan mendasar UU ini dengan UU sebelumnya adalah “adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan”. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dimaksud dalam UU ini meliputi (a) perencanaan (b) pemanfaatan (c) pengendalian (d) pemeliharaan (e) pengawasan dan (f ) penegakan hukum. Undang-undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memperhatikan tiga isu pokok, yaitu desentralisasi sistem pemerintahan, penurunan kualitas lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, dan pemanasan global yang semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Dalam bagian Penjelasan

48


UU ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup” adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Bagian ini juga menyebutkan secara rinci cakupan konservasi sumber daya alam sebagaimana dinyatakan bahwa “Konservasi sumber daya alam meliputi antara lain konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst.” Undang undang ini adalah pertimbangan dan rujukan utama dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini secara eksplisit termuat dalam Pasal 44 yang menyatakan bahwa “Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Salah satu kebaruan muatan UUPLH dan erat kaitannya dengan upaya pengelolaan sumber daya air adalah kewajiban untuk dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] pada setiap kebijakan. KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/ atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumber daya. Kebijakan yang fokus kepada tata kelola air dinyatakan bahwa bagian kedua tentang Eko-Region, yaitu konsep tentang wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:

49


• Karakteristik bentang alam; • Daerah aliran sungai; • Iklim; • Flora dan fauna; • Sosial budaya; • Ekonomi; • Kelembagaan masyarakat; dan • Hasil inventarisasi lingkungan hidup. Bagian selanjutnya yang terkait dengan tata kelola air tertera pada ketentuan tentang “Baku Mutu Lingkungan Hidup”. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: • Baku mutu air; • Baku mutu air limbah; • Baku mutu air laut; • Baku mutu udara ambien; • Baku mutu emisi; • Baku mutu gangguan; dan • Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.6. Resume Tujuan pengelolaan sumber daya air akan dapat dicapai melalui kebijakan yang baik, dirumuskan berdasarkan karakteristik sumber daya air yang bersifat melintasi batas administrasi dan menjadi hajat kepentingan semua pihak. Namun sebuah kebijakan yang baik belum menjamin tercapainya tujuan pengelolaan yang diinginkan. Masih banyak syarat keharusan (necessary condition) yang harus dipenuhi, antara lain: 1) pemahaman dan kepatuhan terhadap UUSDA 7/2004 terutama oleh pemerintah di semua aras dan juga warga Negara; 2) kapasitas pembiayaan negara atas implikasi ketentuan UUSDA 7/2004; 3) kelengkapan perangkat peraturan pelaksanaan UUSDA 7/2004 baik dalam Peraturan Pemerintah

50


maupun Peraturan Daerah; dan 4) keterlibatan peran masyarakat sipil dan swasta. Sebagai catatan, sampai saat ini Pemerintah baru dapat merumuskan dan menetapkan enam Peraturan Pemerintah dari total 35 seperti yang diamanatkan UUSDA 7/2004.

51


Bab III Pelaku Dalam Pengelolaan Sumber Air 3.1. Pengantar Secara garis besar pelaku atau subyek dalam pengelolaan sumber daya air dapat dipilah ke dalam tiga kelompok sosial yaitu pemerintah sebagai representasi negara, masyarakat sipil, dan badan usaha. Masing-masing kelompok subyek tersebut dapat dipilah lagi ke dalam tiga unsur yang saling terkait secara hirarkis: pemerintah mencakup unsur-unsur pemerintah pusat dan pemerintah daerah; masyarakat sipil mencakup unsur-unsur individu, keluarga, dan kelompok masyarakat; badan usaha mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang, dan perusahaan besar. Secara khusus kelompok badan usaha juga mencakup koperasi dan badan usaha (perusahaan) milik pemerintah (pusat/daerah). Masyarakat sipil dan badan usaha merupakan pihak selainnegara yang diakui keberadaan, prakarsa dan keterlibatannya dalam pengelolaan sumber daya air oleh UUSDA 7/2004. Pembeda utama kedua kelompok tersebut adalah dalam kepentingan dan motif keterlibatannya. Masyarakat sipil yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seringkali bertindak secara sukarela untuk memastikan tercapainya pemenuhan hak atas air bagi seluruh warga negara. Sedangkan badan usaha akan tergerak untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya jika kegiatan tersebut dianggap dapat menghasilkan keuntungan bagi dirinya. Ketiga kelompok pelaku tersebut dalam UUSDA 7/2004 telah ditetapkan peranannya, yaitu 1) Pemerintah, pusat dan daerah, sebagai pengatur (regulator); 2) Fungsi operator dijalankan oleh lembaga pemerintah dan badan usaha yang diberi ijin pemerintah dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat; 3) Fungsi pengembang (developer) prasarana dan sarana pengairan dapat dilakukan oleh badan usaha milik pemerintah dan swasta non pemerintah atas ijin atau perintah dari pemerintah; 4) Pengguna

52


manfaat sumber daya air (user) mencakup seluruh masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air; dan 5) Fungsi koordinasi yang diperankan oleh sebuah wadah koordinasi untuk menerima, menyerap dan menyalurkan aspirasi semua unsur stakeholders. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar keterwakilan.

[foto: Rita Mustikasari] Koordinasi pembentukan Komite DAS Lamasi, Kabupaten Luwu dan TKPSDA Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang

Bagian ini berisikan deskripsi mengenai posisi dan peran ketiga kelompok pelaku dalam pengelolaan sumber daya air serta relasinya dalam forum-forum koordinasi. Setelah seksi pengantar, secara berturut-turut akan disampaikan penjelasan mengenai pemerintah, kelompokbadan usaha, kelompok masyarakat sipil/LSM dan resume.

53


3.2. Pemerintah Penanggung jawab utama pengelolaan sumber daya air adalah pemerintah yang dalam hal ini adalah presiden beserta menterinya. Menteri dalam konteks ini adalah menteri yang membidangi sumber daya air. Mengacu pada UU No 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara, tidak disebutkan satu kementrian pun yang mempunyai tugas khusus mengelola sumber daya air. Sesuai dengan karakteristiknya, pengurusan sumber daya air tidak bisa dilakukan hanya oleh satu kementrian dan oleh karenanya terbagi dalam beberapa kementrian di bawah koordinasi Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi.

[foto: Annas Radin Syarif, Sungai Ciliwung, Bogor.] Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) sejak tahun 2008, mengadakan rutin mulung sampah Ciliwung setiap hari Sabtu pagi di beberapa titik di Kota Bogor.

Tercatat ada 12 kementrian yang dilibatkan dalam wadah koordinasi pengurusan sumber daya air. Setiap kementrian memiliki peran khusus terkait pengurusan air, sumber air dan daya air. Kementrian Pekerjaan Umum di posisikan sebagai pihak yang mendapat porsi paling besar dalam pengurusan sumber

54


daya air. UUSDA 7/2004 dapat dikatakan merupakan “produk� dari Kementerian Pekerjaan Umum, dan sebagian besar peraturan perundangan pelaksana UU SDA dirancang oleh Kementrian Pekerjaan Umum. Wajar jika kemudian Menteri Pekerjaan Umum dianggap sebagai menteri yang membidangi sumber daya air. Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 membedakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan otoritas kewenangannya. Pemerintah pusat atau disebut pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Sedangkan pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Sebagian kewenangan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundangan. Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air. Berikut ini adalah 10 kementerian yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya air serta dua lembaga lain selain kementerian. 3.2.1. Kementerian Pekerjaan Umum Menteri Pekerjaan Umum (PU), sebagaimana disebut dalam Undang-undang Kementrian Negara mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan permukiman. Peraturan Menteri PU Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum menjadi landasan operasional dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, yaitu: 1. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pekerjaan umum. 2. Pengelolaan barang milik / kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum. 3. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan

55


Kementerian Pekerjaan Umum. 4. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pekerjaan Umum di daerah. 5.

Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.

Di dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kementerian Pekerjaan Umum mempunyai enam kluster pekerjaan utama yang dibagi ke dalam empat direktorat jenderal dan dua badan pelaksana. Keempat direktorat jenderal tersebut adalah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Cipta Karya. Dua badan dimaksud adalah Badan Pembinaan Konstruksi, dan Badan Penelitian dan Pengembangan. Pengurusan sumber daya air dilakukan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, kecuali urusan pengembangan air minum yang dilakukan oleh Dirjen Cipta Karya. Dirjen Sumber Daya Air terbagi dalam lima direktorat dengan lingkup tugasnya masing-masing, yaitu: 1) Direktorat Bina Program, 2) Direktorat Bina Penatagunaan SDA, 3) Direktorat Sungai dan Pantai, 4) Direktorat Irigasi dan Rawa, dan 5) Direktorat Bina Operasi dan Pemeliharaan. Mengacu pada dokumen rencana strategis, visi Dirjen Sumber Daya Air adalah untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Sedangkan misi yang hendak dijalankan adalah: 1) mengkonservasi sumber daya air secara berkelanjutan, 2) mendayagunakan sumber daya airsecara adil serta memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas untuk berbagai kebutuhan masyarakat, 3) mengendalikan daya rusak air, 4) memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, dan 5) meningkatkan keterbukaan serta ketersediaan data dan informasi dalam pengelolaan sumber daya air. Pada dokumen renstra tersebut, dinyatakan bahwa keadaan yang akan dicapai pada tahun 2025 oleh Dirjen Sumber Daya Air adalah:

56


1. Tertingkatkannya perlindungan masyarakat dari bencana daya rusak air. 2. Tercapainya pengelolaan SDA berdasar pola pengelolaan wilayah sungai yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. 3. Terpenuhinya kecukupan air bagi sebagian besar masyarakat dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat. 4. Terwujudkannya keterlibatan peran masyarakat secara aktif dalam pengelolaan SDA melalui Dewan SDA yang merupakan Forum Dialog dan Koordinasi antar Pemilik Kepentingan yang terlegitimasi. 5. Terlaksanakannya suatu prinsip pembiayaan jasa pengelolaan SDA yang dapat memberikan insentif dan disintensif dgn meman-faatkan berbagai sumber daya secara sinergi dan teritegrasi. Rencana Strategi Dirjen Sumber Daya Air merupakan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk Kementerian Pekerjaan Umum sebagai berikut: 1) pengelolaan dan konservasi waduk, embung, situ serta bangunan penampung air lainnya; 2) pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya; 3) penyediaan dan pengelolaan air baku; dan 4) pengendalian banjir, lahar gunung berapi dan pengamanan pantai. Kewenangan penyelenggaraan bidang pekerjaan umum dan permukiman saat ini sebagian berada di tingkat Nasional dan sebagian telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Hal tersebut, sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa bidang pekerjaan umum adalah salah satu urusan pemerintahan yang bersifat concurrent atau dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Selanjutnya, berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,

57


dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, peran Kementerian PU akan lebih dititikberatkan pada pengaturan, pembinaan, dan pengawasan, serta pembinaan dan pengendalian pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) infrastruktur bidang pekerjaan umum dan permukiman. Sub-bidang dalam bidang pekerjaan umum yang menjadi mandat Kementerian Pekerjaan Umum adalah Sub Bidang Sumber Daya Air dan Sub Bidang Air Minum dengan kewenangan sebagai berikut: 1.

Penetapan kebijakan nasional sumber daya air;

2.

Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

3. Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 4. Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 5. Pembentukan dewan sumber daya air nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional; 6. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (nspk) pengelolaan sumber daya air;

58

7.

Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota;

8.

Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi.

9. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;


10. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara; 11. Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 12. Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota; 13. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air; 14. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional; 15. Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; 16. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; 17. Pengelolaan konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 18. Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 19. Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional; 20. Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional; 21. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan

59


sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional; 22. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 Ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional; 23. Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional. 24. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; 25. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum. 26. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antarprovinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internacional; 27. Pembangunan, antara lain fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan sistem pengelolaan air minum (spam) secara nacional; dan 28. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan spam secara nasional. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), berdasarkan Permen PU No: 12/PRT/M/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Wilayah Sungai, merupakan unit pelaksana teknis (operator) Kementrian Pekerjaan Umum untuk mengelola wilayah sungai. BBWS dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Dirjen Sumber Daya Air.

60


[foto: Annas Radin Syarif. Sungai Ciliwung, Bogor] Capung adalah salah satu indikator kesehatan ekosistem sungai

Tugas BBWS adalah melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi pearencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Sedangkan fungsinya adalah: 1)

Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai;

2) Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber daya air pada wilayah sungai; 3) Pengelolaan sumber daya air yang meliputi konservasi sumber daya air, pengembangan sumber daya air pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya

61


rusak air; 4) Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai; 5) Operasi dan pemeliharaan sumber daya air pada wilayah sungai; 6) Pengelolaan sistem hidrologi; 7) Penyelenggaraan data dan informasi sumber daya air; 8) Fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai; 9) Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air; 10) Pelaksanaan ketatausahaan balai besar wilayah sungai; Penetapan Wilayah Sungai (Lintas Negara, Lintas Provinsi, Strategis Nasional dan Lintas Kabupaten/Kota dalam Provinsi, Dalam Kabupaten/Kota) menjadi dasar pertimbangan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Kementrian Pekerjaan Uumum, Bidang Pengelolaan SDA (BBWS dan BWS). Berikut adalah Balai Besar Wilayah Sungai di Indonesia sesuai Permen PU NO. : 26/PRT/M/2006: Tabel: 2 Daftar Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di Indonesia No

62

Balai Besar Wilayah Sungai

Lokasi

Wilayah Sungai

I

TIPE A

1

BBWS Brantas

Surabaya

WS Brantas

2

BBWS Bengawan Solo

Surakarta

WS Bengawan Solo

3

BBWS Pemali-Juana

Semarang

WS Pemali-Comal dan WS Jratunseluna


4

BBWS Serayu-Opak

Yogyakarta

WS Serayu-Bogowonto dan WS Progo-OpakSerang

5

BBWS CimanukCisanggarung

Cirebon

WS CimanukCisanggarung

6

BBWS PompenganJeneberang

Makassar

WS PompenganLarona, WS Sadang, WS Walanae-Cenranae, WS Jeneberang dan WS Lasolo-Sampara

7

BBWS Citarum

Bandung

WS Citarum

8

BBWS MesujiSekampung

Bandar Lampung

WS Mesuji-Tulang Bawang dan WS Way Seputih-Way Sekampung

II

TIPE B

9

BBWS Citanduy

Banjar

WS Citanduy

10

BBWS CiliwungCisadane

Jakarta

WS Ciliwung-Cisadane dan WS Kep. Seribu

11

BBWS Cidanau-

Serang

WS Cidanau-CiujungCidurian

Ciujung-Cidurian

Tabel: 3 Daftar Balai Wilayah Sungai di Indonesia No Nama Balai Wilayah Sungai I

TYPE A

1

BWS Sumatera I

Lokasi

Wilayah Sungai

Banda Aceh

WS Meureudu-Baro, WS Jambo-Aye, WS WoylaSeunagan, WS TripaBateu, WS Alas-Singkil

63


2

BWS Sumetera II

Medan

WS Belawan-Ular Padang WS Toba-Asahan, WS Batang Angkola-Batang Gadis, WS Batang NatalBatang Batahan

3

BWS Sumatera III

Pekanbaru

WS Rokan, WS Siak, WS Kampar, WS Indragiri, WS Reteh

4

BWS Sumatera V

Padang

WS Anai-Kuranji-ArauMangau-Antokan

5

BWS Sumatera VI Jambi

WS Batanghari

6

BWS Sumatera VII

Bengkulu

WS Air Majunto-Sebelat

7

BWS Sumatera VIII

Palembang

WS Sugihan, WS Musi, WS Banyuasin

8

BWS Bali-Penida

Denpasar

WS Bali-Penida

9

BWS Nusa Tenggara I

Mataram

WS P. Lombok

10

BWS Kalimantan II

Kuala Kapuas WS Seruyan, WS Kahayan, WS Barito-Kapuas

11

BWS Kalimantan III

Samarinda

WS Sesayap, WS Mahakam

12

BWS Sulawesi III

Palu

WS Palu-Lariang, WS Parigi-Paso, WS LaaTambalako, WS KalukuKarama

II

TIPE B

13

BWS Sumatera IV Batam

WS P. Batam-P. Bintan

14

BWS Nusa Tenggara II

WS Aesesa, WS Benanain, WS Neo-Mina

64

Kupang


15

BWS Kalimantan I

Pontianak

WS Kapuas, WS Pawan, WS Jelai-Kendawangan

16

BWS Sulawesi I

Manado

WS Sangihe-Talaud, WS Tondano-Likupang, WS Dumoga-Sangkub

17

BWS Sulawesi II

Gorontalo

WS Limboto-BulangoBone, WS Paguyaman, WS Randangan

18

BWS Maluku

Ambon

WS P. Buru, WS P. AmbonSeram, WS Kep. Kei-Aru, WS Kep. Yamdena-Wetar

19

BWS Papua

Jayapura

WS Memberamo, WS Einlanden-Digul-Bikuma

3.2.2. Kementerian Kehutanan Menteri Kehutanan merupakan menteri yang membidangi urusan kehutanan. Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi landasan utama pengurusan bidang kehutanan. Visi pembangunan Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan�. Untuk mencapai visi ini telah dirumuskan delapan Kebijakan Prioritas bidang Kehutanan sebagaimana ditetapkan dalam Peaturan Menteri Kehutanan No.P.70/Menhut-II/2009. Yaitu: 1) Pemantapan Kawasan Hutan, 2) Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), 3) Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, 4) Konservasi Keanekaragaman Hayati, 5) Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan, 6) Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, 7) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan, dan 8) Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Dalam konteks pengurusan sumber daya air, kebijakan prioritas kehutanan yang paling relevan adalah mengenai rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS. Pelaksana kebijakan ini dalam

65


lingkup Kementrian Kehutanan adalah Direktorat Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial (Dirjen BPDASPS). Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/ Menhut-II/2010 tanggal 20 Agustus 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, tugas pokok Dirjen BPDASPS adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

[foto: Herbert] Masyarakat Riau dalam penyerahan SK areal Hutan Desa secara simbolik oleh Mentri Kehutanan kepada Masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung. Kedua Desa tersebut merupakan Hilir Dari DAS Kampar

Landasan kerja Direktorat Jendral BPDASPS adalah Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial Nomor: P.15/V-Set/2010 Tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial Tahun 2010- 2014. Visi yang ditetapkan dalam dokumen renstra BPDASPS adalah: Optimasi Fasilitasi Pembangunan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dalam Mendukung Peningkatan Fungsi DAS dan Kesejahteraan Masyarakat. Untuk

66


mewujudkan visi tersebut, Dirjen BPDASPS menjabarkan ke dalam tiga misi, yaitu: 1) memantapkan kebijakan bidang rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial, 2) memperkuat kapasitas kelembagaan bidang rehabilitasi lahan dan perhutanan social, dan 3) mendorong pelaksanaan pemulihan fungsi hutan dan lahan di DAS prioritas berbasis pemberdayaan masyarakat. Dalam melaksanak an tugasnya, Ditjen BPDASPS menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: 1) perumusan kebijakan di bidang pengelolaan das dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundangundangan; 2)

Pelaksanaan kebijakan di bidang di bidang pengelolaan das dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundangundangan;

3) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan das dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengelolaan das dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 5) Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal bina pengelolaan das dan perhutanan sosial. Mengacu pada dokumen renstra, arah kebijakan pembangunan bidang Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial 2010-2014 adalah: 1) rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, 2) pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, dan 3) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan. Direktorat Jendral BPDASPS dibantu oleh lima pejabat eselon II, yaitu: Sekretaris Direktorat Jenderal BPDASPS, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktur Bina Perhutanan Sosial, dan Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan. Dalam mengoptimalkan tugas pelayanan pembangunan bidang BPDASPS di daerah, Dirjen BPDASPS memiliki

67


Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang terdiri atas Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (36 Unit), Balai Perbenihan Tanaman Hutan (6 Unit), Balai Persuteraan Alam (1 Unit), dan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (2 Unit). Ada dua indikator capaian kegiatan prioritas nasional terkait bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20102014, yaitu: 1) peningkatan hasil rehabilitasi seluas 500.000 ha per tahun atau 2,5 juta ha dalam 5 tahun, dan 2). penghentian kerusakan lingkungan di 14 Daerah Aliran Sungai yang rawan bencana mulai 2010 dan seterusnya. Kedua sasaran ini menjadi bagian dari Kontrak Kinerja Menteri Kehutanan Periode 2009-2014 dengan Presiden RI. 14 DAS yang menjadi prioritas sebagaimana kontrak kinerja Menteri Kehutanan adalah DAS Kampar (Provinsi Riau dan Sumatera Barat), Batanghari (Provinsi Jambi dan Sumatera Barat), Musi (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu), Way Seputih (Provinsi Lampung), Ciliwung (Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta), Citarum (Provinsi Jawa Barat), Cisadane (Provinsi Jawa Barat dan Banten), Cimanuk (Provinsi Jawa Barat), Citanduy (Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah), Solo (Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur), Progo (Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah), Brantas (Provinsi Jawa Timur), Barito (Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah), Mamasa (Provinsi Sulawesi Barat). Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kepemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Dirjen BPDASPS mempunyai sembilan sub bidang yang menjadi mandat dan kewenangan, yaitu : 1) Perencanaan rhl termasuk hutan mangrove, meliputi: penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (nspk), lahan kritis skala nasional, rencana rhl das-sub das, rencana pengelolaan rhl, rencana tahunan, rancangan rhl hutan konservasi–hutan produksi–hutan lindung yang tidak dibebani pemanfaatan hutan dan lahan luar kawasan skala propinsi;

68


2) Pengelolaan das, meliputi: penyusunan nspk, kriteria urutan das-sub das prioritas, penyusunan perencanaan das terpadu; 3) Pelaksanaan rhl termasuk hutan mangrove pada hutan konservasi; 4) Reklamasi hutan pada areal yang memiliki ijin penggunaan kawasan hutan; 5) Reklamasi hutan areal bencana alam; 6) Pemberdayaan masyarakat setempat dalam dan di sekitar hutan; 7) Pengembangan hutan hak dan auk; 8) Hutan kota; 9) Perbenihan tanaman hutan. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), sesuai dengan Permenhut No: P.15/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, adalah unit pelaksana teknis Dirjen BPDASPS yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal BPDASPS. BPDAS dipimpin oleh seorang Kepala dengan tugas utama melaksanakan penyusunan rencana pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai. Fungsi yang harus diperankan BPDAS antara lain: 1) Penyusunan rencana pengelolaan daerah aliran sungai; 2) Penyusunan dan penyajian informasi daerah aliran sungai; 3) Pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai; 4) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan pengelolaan daerah aliran sungai; 5) Pemantauan dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai;

69


6) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga balai.

[foto: Sudiyah Istiqomah] Kahidupan Masyarakat di tepian Sungai Kampar - Riau

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai terdiri dari dua tipe, yaitu: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tipe A dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tipe B. Jumlah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah 31 (tigapuluh satu), yang terdiri dari 26 (duapuluh enam) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tipe A dan 5 (lima) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tipe B . 3.2.3. Kementrian Pertanian Kementerian Pertanian mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang pertanian. Fungsi Kementerian Pertanian adalah untuk perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang pertanian. Kementerian Pertanian mempunyai visi untuk mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber

70


daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani. Sedangkan misi-nya adalah: 1) Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumber daya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis. 2) Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan. 3) Mengamankan plasma-nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan. 4) Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumber daya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi. 5) Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dikonsumsi. 6) Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku industri. 7) Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horisontal guna menumbuhkan usaha ekonomi produktif dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan. 8) Mengembangkan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan sumber daya lokal untuk memenuhi permintaan pasar domestik, regional dan internasional. 9) Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan. 10) Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah bidang pertanian yang amanah dan profesional. Berkenaan dengan tata kelola air, maka Kementerian Pertanian berkepentingan dengan ketersediaan sumber daya air untuk

71


mendukung produksi pangan, baik untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kementerian Pertanian dibagi menjadi enam Direktorat Jenderal, yaitu 1) Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2) Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 3) Direktorat Jenderal Holtikultura 4) Direktorat Jenderal Perkebunan 5) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 6) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Dari keenam Direktorat Jenderal tersebut, hanya ada satu Direktorat Jenderal yang secara khusus berkenaan dengan sumber daya air, yaitu Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Berdasarkan PerPres Nomor 24 Tahun 2010, tugas dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian adalah untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang prasarana dan sarana pertanian sesuai dengan peraturan perundangundangan. Direktorat Jenderal ini mempunyai lima fungsi pokok, yaitu: 1) perumusan kebijakan di bidang pengelolaan lahan, air irigasi, pembiayaan, pupuk pestisida dan alat mesin pertanian, sesuai dengan peraturan perundang- undangan; 2) Pelaksanaaan kebijakan di bidang pengelolaan lahan, air irigasi, pembiayaan, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian sesuai dengan peraturan perundang - undangan; 3)

Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang pengelolaan lahan, air irigrasi, pembiayaan, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian sesuai dengan perundang undangan;

4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengelolaan lahan, air irigrasi, pembiayaan, pupuk, pestisida

72


dan alat mesin pertanian; dan 5) Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal prasarana dan sarana pertanian. Kelima fungsi tersebut dilaksanakan oleh lima Direktorat, yaitu: 1) Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan 2) Direktorat Pengelolaan Irigasi 3) Direktorat Pembiayaan Pertanian 4) Direktorat Pupuk dan Pestisida 5) Direktorat Alat dan Mesin Pertanian Nampak dari kelima direktorat, hanya Direktorat Pengelolaan Irigasi yang berkenaan dengan sumber daya air. Direktorat ini dipimpin oleh seorang Direktur Pengelolaan Air Irigasi yang bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian. Keberadaan direktorat ini berkaitan dengan fungsi direktorat jenderal sarana dan prasarana dalam: 1) perumusan kebijakan di bidang pengelolaan air irigasi, 2) pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan air irigasi, 3) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan air irigasi, serta 4) pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengelolaan air irigasi. 3.2.4. Kementerian Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Sesuai dengan Permendagri No.41/2010 Pasal 2 dan 3, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi-fungsi: 1) perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pemerintahan dalam negeri; 2) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara;

73


3)

Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidang pemerintahan dalam negeri; dan

4) Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah Pada periode 2009-2014, Kementrian Dalam Negeri mempunyai visi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik, sistem politik yang demokratis, pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, misi organisasi yang ditetapkan adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya-upaya untuk : 1) Memelihara Dan Memantapkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Memelihara Ketentraman Dan Ketertiban Umum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, Dan Bernegara: 3) Memantapkan Efektifitas Dan Efisiensi Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Desentralistik;. 4) Memantapkan Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Efektif, Efisien, Akuntabel Dan Auditabel; 5)

Memantapkan Sistem Politik Dalam Negeri Yang Demokratis Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

6) Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Dalam Aspek Ekonomi, Sosial Budaya, Dan Politik; 7) Mengembangkan Keserasian Hubungan Pusat-Daerah, Antar Daerah Dan Antar Kawasan, Serta Kemandirian Daerah Dalam Pengelolaan Pembangunan secara Berkelanjutan Dan Berbasis Kependudukan. Kementerian Dalam Negeri mempunyai peran cukup penting terkait pengurusan sumber daya air yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kemendagri masih mempunyai kendali kuat dalam dengan pemerintah daerah yang mempunyai sebagian kewenangan dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya. Kendali tersebut dijalankan melalui dua peraturan kemendagri, yaitu: 1) Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang

74


Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum, dan 2) Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum. Kedua permendagri tersebut menjadi pedoman PDAM dalam penyelenggaraan penyediaan air minum di seluruh Indonesia.

[foto: Rita Mustikasari] Belajar bersama cara okulasi tanaman kopi di Hutan Rakyat Tanggamus, Daerah Tangkapan Air Bendungan Batutegi, Lampung

Meskipun tata kelola air di Kementerian Dalam Negeri tidak diserahkan kepada salah satu Direktorat Jenderal, namun di dalam prakteknya Direktur Jenderal yang paling banyak dirujuk berkenaan dengan pengelolaan air minum oleh perusahaan daerah adalah Direktorat Jenderal Keuangan Daerah. Lembaga Direktorat Jenderal Keuangan Daerah adalah nama baru dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah. Dengan perubahan nomenklatur ini, maka Direktorat Jenderal mempunyai kewenangan terkait investasi daerah, Kapasitas Fiskal Daerah, pengelolaan keuangan daerah,

75


dan tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah. Termasuk di dalamnya pengelolaan perusahaan-perusahaan daerah, di mana salah satunya adalah Perusahaan Daerah Air Minum. 3.2.5.

Kementerian Percepatan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas)

Aktor kelima dalam kelompok pemerintah yang terpenting dalam tata kelola air di Indonesia adalah Kementerian Percepatan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional atau yang lebih banyak dikenal sebagai “Bappenas�. Sebagai institusi perencanaan makro, Bappenas menjadi aktor penting dalam tata kelola air di Indonesia. Dari sembilan deputi Bappenas, dua kedeputian berkenaan dengan tata kelola air, yaitu Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan lingkungan Hidup dan Deputi Deputi Bidang Sarana dan Prasarana.

[foto: Nanang Sudjana. Sungai Ciliwung, Bogor] Kunjungan kelompok Regional-Climate Leadership Program (Regional CLP) ke Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor.

76


Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dalam melaksanakan tugasnya, Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup menyelenggarakan fungsi: 1) p e ny i a p a n p e r u m u s a n k e b i j a k a n p e re n c a n a a n pembangunan nasional di bidang pangan dan pertanian, kehutanan dan konservasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, sumber daya energi, mineral dan pertambangan, serta lingkungan hidup 2) Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang pangan dan pertanian, kehutanan dan konservasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, sumber daya energi, mineral dan pertambangan, serta lingkungan hidup 3) Pelaksanaan penyusunan perencanaan pembangunan nasional di bidang pangan dan pertanian, kehutanan dan konservasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, sumber daya energi, mineral dan pertambangan, serta lingkungan hidup 4) Pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang penilaian pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional di bidang pangan dan pertanian, kehutanan dan konservasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, sumber daya energi, mineral dan pertambangan, serta lingkungan hidup 5) Pelaksanaan hubungan kerja di bidang perencanaan

77


pembangunan nasional di bidang pangan dan pertanian, kehutanan dan konservasi sumber daya air, kelautan dan perikanan, sumber daya energi, mineral dan pertambangan, dan lingkungan hidup 6)

Pelaksanaan tugas lain yang di berikan oleh menteri negara/ kepala sesuai dengan bidangnya.

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan dan pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang sarana dan prasarana, termasuk di dalamnya tata kelola air. Dalam melaksanakan tugas Deputi Bidang Sarana dan Prasarana menyelenggarakan fungsi: 1) p e ny i a p a n p e r u m u s a n k e b i j a k a n p e re n c a n a a n pembangunan nasional di bidang pengairan dan irigasi, transportasi,permukiman dan perumahan, energi, telekomunikasi dan informatika, dan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta; 2) Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang pengairan dan irigasi, transportasi, permukiman dan perumahan, energi, telekomunikasi dan informatika, dan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta; 3) Pelaksanaan penyusunan perencanaan pembangunan nasional di bidang pengairan dan irigasi, transportasi, permukiman dan perumahan, energi, telekomunikasi dan informatika, dan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta;

78


4) Pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional di bidang pengairan dan irigasi, transportasi, permukiman dan perumahan, energi, telekomunikasi dan informatika, dan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta; 5) Pelaksanaan hubungan kerja di bidang perencanaan pembangunan nasional di bidang pengairan dan irigasi, transportasi, permukiman dan perumahan, energi, telekomunikasi dan informatika, dan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta; 6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala badan perencanaan pembangunan nasional sesuai dengan bidangnya. 3.2.6. Kementerian Kesehatan Meskipun air merupakan dimensi penting dalam kesehatan, namun UU No. 36/2009 tentang Kesehatan tidak menyebut tentang air dalam konteks kesehatan manusia. Demikian juga berkenaan dengan peran Kementerian Kesehatan dalam tata kelola air. Tugas pokok Kementerian Kesehatan adalah membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan fungsi: 1) Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan; 2) Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; 3) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; 4) Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya. 5)

Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden;

79


Diantara Direktorat Jenderal yang ada, sub-organisasi yang mempunyai tugas paling terkait dengan air adalah Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Dalam melaksanakan tugas Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyelenggarakan fungsi: 1)

perumusan kebijakan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan;

2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan; 3)

Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan;

4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan; dan 5) Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Namun demikian, Kementerian Kesehatan bukan aktor langsung dalam tata kelola air, melainkan lebih kepada pemberi acuan standar kualitas air, khususnya berkenaan dengan kesehatan, terutama dengan pengaturan melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 907// MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Kementerian Kesehatan mendelegasikan peran dan fungsinya kepada Dinas Kesehatan di tingkat Daerah. 3.2.7. Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Fungsi yang diselenggarakan KLH adalah :

80

1) perumusan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;


2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan; 3) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; 4) Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; 5) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada presiden. Misi yang dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup adalah: 1) mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi, guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau; 2) Melakukan koordinasi dan kemitraan dalam rantai nilai proses pembangunan untuk mewujudkan integrasi, sink ronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam pembangunan berkelanjutan; 3) Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup; 4) Pelaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik serta mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara terintegrasi. Tujuan yang ingin dicapai Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pembangunan Indonesia berdasarkan pembangunan berkelanjutan dengan penekanan pada ekonomi hijau (green economy) untuk menahan laju kemerosotan daya tampung, daya dukung, dan kelangkaan sumber daya alam, serta mengatasi bencana lingkungan. Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah

81


mewujudkan perbaikan fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sasaran khusus yang hendak dicapai adalah: 1) Terkendalinya pencemaran dan kerusakan lingkungan sungai, danau, pesisir dan laut, serta air tanah; 2) Terlindunginya kelestarian fungsi lahan, keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan; 3) Membaiknya kualitas udara dan pengelolaan sampah serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3); 4) Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terintegrasi. 3.2.8. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) m e m p u ny a i t u g a s u n t u k m e m b a n t u Pre s i d e n d a l a m menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Fungsi pokok Kementerian ESDM adalah: 1) merumuskan kebijakan nasional di bidang energi dan sumber daya mineral dan aturan pelaksanaannya,dan 2) melaksanakan tata pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Kementerian ini mencanangkan visi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi serta peningkatan nilai tambah energi dan mineral yang berwawasan lingkungan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Untuk mencapai visi tersebut, Kementerian ESDM menjalankan misi: 1) meningkatkan keamanan pasokan energi dan mineral dalam negeri; dan 2) meningkatkan pembinaan, pengelolaan dan pengendalian kegiatan usaha energi dan mineral secara berdaya guna, berhasil guna, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pencapaian visi dan misi tersebut membutuhkan ketersediaan air sebagai bahan baku untuk memproduksi energi, terutama listrik. Sumber daya air sebagai sumber energi pembangkit listrik saat ini

82


sedang berkembang pesat. Pembangkit listrik tenaga air dalam skala kecil sudah banyak dipraktekan, baik oleh pengusaha besar, BUMN, dan bahkan kelompok masyarakat. Fenomena ini bisa dianggap sebagai keberhasilan jika dilihat dari sisi penyediaan energi listrik hingga ke daerah pedalaman. Namun juga menghadirkan potensi konflik dengan pemanfaatan sumber daya air untuk kepentingan lain, misalnya irigasi.

[foto: Riska Riska Darmawanti] Nelayan Sungai Brantas menggantungkan hidupnya kepada kelimpahan ikan sungai.

Peran Kementerian ESDM, khususnya Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, diperlukan dalam konteks pengaturan pemanfaatan sumber daya air untuk energi tersebut. Koordinasi dengan misalnya Kementerian Pertanian merupakan keharusan agar potensi konflik pemanfaatan sumber daya air dapat diperkecil. Direktorat jenderal ini mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang listrik dan pemanfiatan energi. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi menyelenggarakan fungsi

83


pokok untuk: 1) menyiapkan rumusan kebijakan Departemen di bidang listrik dan pemanfaatan energi; melaksanakan kebijakan di bidang listrik dan pemanfaatan energi; dan 2) menyusun standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang listrik dan pemanfaatan energi. 3.2.9. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam bidang pengelolaan sumber daya laut dan perikanan darat. Kementerian ini mengemban visi untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar 2015. Empat sasaran strategis yang hendak dicapai dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah: 1) memperkuat kelembagaan dan sdm secara terintegrasi, 2) mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, 3) meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan, dan 4) memperluas akses pasar domestik dan internasional. Visi dan sasaran strategis tersebut akan diimplementasikan ke dalam sembilan program kementerian sebagai berikut : 1) Program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangk ap. Tujuan program adalah meningk atk an produktivitas perikanan tangkap dengan sasaran peningkatan hasil tangkapan dalam setiap upaya tangkap. Pelaksana program ini adalah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2) Program peningkatan produksi perikanan budidaya yang ditujukan untuk adalah meningkatkan produksi perikanan budidaya. Pelaksana program adalah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 3) Program peningkatan daya saing produk perikanan yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan hasil

84


perikanan, nilai tambah produk perikanan, investasi, serta distribusi dan akses pemasaran hasil perikanan, dengan sasaran peningkatan volume dan nilai ekspor hasil perikanan serta peningkatan volume produk olahan. 4) Program pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulaupulau kecil. Program ini dilaksanakan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tujuan mewujudkan tertatanya dan dimanfaatkannya wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari, dengan sasaran peningkatan persentase pendayagunaan; 5) Program pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Tujuan program adalah meningkatnya ketaatan dan ketertiban dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dengan sasaran perairan Indonesia bebas Illegal, Unreported & Unregulated (IUU) fishing serta kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. 6) Program penelitian dan pengembangan iptek kelautan dan perikanan. Tujuan program ini adalah menyiapkan ilmu, pengetahuan dan teknologi sebagai basis kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dengan sasaran termanfaatkannya Iptek hasil penelitian dan pengembangan oleh para pemangku kepentingan. Unit kerja penanggung jawab program adalah Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 7) Program pengembangan sumber daya manusia kelautan dan perikanan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan. Unit kerja penanggung jawab program ini adalah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan BPSDMKP. 8) Program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur KKP. Tujuan program adalah meningkatkan pengendalian akuntabiltas kinerja pembangunan kelautan

85


dan perikanan dengan sasaran program meningkatnya prosentase capaian kinerja pembangunan KP. Inspektorat Jenderal menjadi unit kerja penanggung jawab program. 9) Program peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya KKP. Tujuan program adalah meningkatkan pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pembangunan kelautan dan perikanan dengan sasaran meningkatnya kesesuaian pelaksanaan dukungan manajerial. Unit kerja penanggungjawab program adalah Sekretariat Jenderal. Ketersediaan sumber daya air yang memadai sebagai media budidaya perikanan darat menjadi prasyarat keberhasilan pencapaian program, khususnya dalam lingkup Direktorat Perikanan Budidaya. Terlebih dengan adanya penetapan target ketersediaan ikan untuk konsumsi masyarakat dari 30,47 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 menjadi 38,67 kg/kapita/tahun pada tahun 2014, dengan sasaran produksi perikanan dari 10,76 juta ton pada tahun 2010 menjadi 22,39 juta ton pada tahun 2014. Dalam konteks ini, Direktorat Perikanan Budidaya berkepentingan untuk mengupayakan alokasi pemanfaatan sumber daya air untuk budidaya perikanan.

86


[foto: Riska Darmawanti. Sungai Brantas, Surabaya.] Terjadi ledakan populasi ikan bukan asli Sungai Brantas; nila, mujair dan gurame

3.2.10. Kementerian Perhubungan Sebagaimana kementerian teknis lainnya, maka Kementetian Perhubungan mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang perhubungan. Fungsi pokok dari Kementerian adalah untuk merumuskan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang perhubungan; melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan; dan mengawasi dan melaksanakan tugas di bidang perhubungan. Kementerian perhubungan mengemban visi mewujudkan penyelenggaraan pelayanan perhubungan yang handal, berdaya saing dan memberikan nilai tambah, dan menetapkan misi untuk: 1) Mempertahankan tingkat jasa pelayanan sarana dan prasarana perhubungan; 2) Melaksanakan konsolidasi melalui restrukturisasi dan reformasi di bidang sarana dan prasarana perhubungan;

87


3) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan jasa perhubungan; 4) Meningkatkan kualitas pelayanan jasa perhubungan yang handal dan memberikan nilai tambah 3.2.11. Balai PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air) Balai PSDA adalah lembaga yang dibentuk pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten untuk membantu pemerintah pusat, dibentuk sesuai dengan aturan Otonomi Daerah. Di setiap Provinsi dan Kabupaten, Balai PSDA memiliki nama dan tupoksi yang berbeda sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Tugas pokok dari Balai PSDA adalah: 1)

melaksanakan kewenangan desentralisasi di bidang sumber daya air yang diserahkan pada pemerintah daerah;

2) Melaksakan kewenangan di bidang sumber daya air yang bersifat lintas kabupaten/kota; 3) Melaksanakan kewenangan kabupaten/kota di bidang sumber daya air yang dikerjasamakan dengan atau diserahkan pada propinsi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) M elaksanak an kewenangan dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada gubernur dan tugas pembantuan di bidang sumber daya air sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi dari Balai PSDA adalah: 1) pelaksanaan perumusan kebijakan teknis di bidang sumber daya air sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh gubernur; 2) Pelaksanaan penyusunan rencana dan program, pelaksanaan fasilitasi, monitoring, evaluasi, dan pelaporan di bidang sumber daya air; 3) Pelaksanaan pembangunan, perbaikan, dan peningkatan serta eksploitasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana

88


sumber daya air; 4) Pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian teknis pembangunan, perbaikan dan peningkatan, eksploitasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana sumber daya air; 5) Pelaksanaan pengaturan pemanfaatan, pengendalian dan pengembangan sumber daya air; 6) Pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan koordinasi dan kerjasama pengelolaan sumber daya air; 7) Pelaksanaan pengelolaan perijinan di bidang sumber daya air; 8) Pelaksanaan perumusan penetapan standar pengelolaan sumber daya air permukaan; 9) Pelaksanaan pengelolaan urusan kepegawaian, keuangan, hukum, hubungan masyarakat, organisasi, dan tata laksana, serta umum dan perlengkapan. 3.2.12. Badan Pendukung Pengembangan – Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM) Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM) dibentuk atas amanat Peraturan Pemerintah No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Organisasi ini bertanggungjawab langsung kepada menteri Pekerjaan Umum. Tugas utamanya adalah melakukan pengurusan air untuk kebutuhan domestik, khususnya di perkotaan. Misi dari BPP-SPAM adalah untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan para pemangku kepentingan, mendorong peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan SPAM, menjaga kepentingan yang seimbang antara penyelenggara dan masyarakat pelanggan, dan memperkuat organisasi yang efisien dan efektif. Secara kelembagaan, BPP-SPAM bertugas mendukung dan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan pengaturan pengembangan SPAM guna memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. BPP-SPAM

89


mengemban fungsi untuk: 1) Memberikan masukan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan strategi; 2) Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam penerapan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM) penyelenggaraan SPAM; 3) Melaksanakan evaluasi terhadap standar kualitas dan kinerja pelayanan penyelenggaraan SPAM; 4) Memberikan rekomendasi tindak turun tangan terhadap penyimpangan standar kualitas dan kinerja pelayanan penyelenggaraan; 5) Mendukung dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam penyelenggaraan SPAM oleh koperasi dan badan usaha swasta; 6) Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam menjaga kepentingan yang seimbang antara penyelenggara dan masyarakat. 3.3. Badan Usaha Badan usaha merupakan salah satu pelaku yang diberi izin oleh pemerintah melalui hak guna usaha air untuk melakukan pengusahaan sumber daya air. Di masa depan, keterlibatan badan usaha dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia menjadi penting mengingat pemerintah sendiri tidak akan bisa mendanai semua kebutuhan, terutama investasi infrastruktur. Badan usaha yang disebut dalam UUSDA 7/2004 dapat berupa koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan swasta. Pengusahaan sumber daya air pada tempat tertentu dapat diberikan kepada badan usaha berdasarkan rencana pengusahaan yang telah disusun melalui konsultasi publik dan izin pengusahaan sumber daya air dari pemerintah. Pengusahaan sumber daya air

90


tersebut dapat berupa pengusahaan air baku sebagai bahan baku produksi, misalnya: air minum, air mineral, minuman dalam kemasan, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, olahraga arung jeram, air untuk sistem pendingin mesin, dan air untuk pencucian hasil eksplorasi bahan tambang. Pengusahaan sumber daya air yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air. 3.1. Perum Jasa Tirta Perum Jasa Tirta adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugasi untuk menyelenggarakan pemanfaatan umum atas air dan sumber-sumber air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, serta melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Sebagai BUMN, seluruh modal Perum Jasa Tirta dimiliki oleh Negara dan merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Perum Jasa Tirta I Perum Jasa Tirta I pada awalnya didirikan berdasarkan PP No 5 Tahun 1990 dengan nama Jasa Tirta untuk melaksanakan sebagian tugas dan wewenang Pemerintah dalam pengelolaan air dan sumbersumber air serta prasarana pengairan di DAS Brantas yang meliputi 40 sungai. Selanjutnya melalui PP No 93 Tahun 1999 nama Jasa Tirta diubah menjadi Perum Jasa Tirta I. Wewenang pengelolaannya ditambah dengan 25 sungai di wilayah DAS Bengawan Solo melalui Keputusan Presiden No 129 pada tahun 2000. Terakhir, peran dan fungsi Perum Jasa Tirta I diatur dalam PP No 40 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I. Berdasarkan PP No 46 Tahun 2010, tugas dan tanggung jawab Perum Jasa Tirta I dalam melaksanakan pengusahaan sumber daya air pada wilayah kerja meliputi:

91


1. Pelayanan sumber daya air dalam rangka pemanfaatan sumber daya air permukaan oleh pengguna; 2. Pemberian jaminan pelayanan sumber daya air kepada pengguna melalui pelaksanaan operasi dan pemeliharaan serta pembangunan prasarana sumber daya air yang memberikan manfaat langsung; dan 3. Pemberian pertimbangan teknis dan saran kepada pengelola sumber daya air yang diberikan wewenang untuk penyiapan rekomendasi teknis untuk pengusahaan sumber daya air. Kegiatan yang dilakukan Perum Jasa Tirta I dalam rangka melaksanakan sebagian tugas dan tanggung jawab di bidang pengelolaan sumber daya air meliputi: 1. Pelaksanaan operasi atas prasarana sumber daya air yang telah diserahoperasikan kepada perusahaan; 2. Pelaksanaan pemeliharaan preventif yang meliputi pemeliharaan rutin, berkala, dan perbaikan kecil prasarana sumber daya air yang telah diserahoperasikan kepada perusahaan; 3. Pelaksanaan pemeliharaan preventif yang meliputi pemeliharaan rutin, berkala, dan perbaikan kecil sumber air yang telah diserahoperasikan kepada perusahaan; 4.

Membantu pemerintah menjaga dan mengamankan sumber air dan prasarana sumber daya air untuk mempertahankan kelestariannya sesuai dengan kemampuan perusahaan;

5. Pemeliharaan darurat sumber air dan prasarana sumber daya air yang telah diserah operasikan kepada perusahaan sesuai dengan kemampuan perusahaan; 6. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air dan pengendalian daya rusak air sesuai dengan kemampuan perusahaan; 7.

92

Penggelontoran dalam rangka pemeliharaan sungai;


8.

Pemantauan evaluasi kuantitas air dan evaluasi kualitas air pada sumber air yang menjadi tanggung jawab perusahaan;

9. Penyebarluasan hasil pemantauan evaluasi kepada pengguna sumber daya air, masyarakat, dan pemilik kepentingan; 10. Bersama pengelola sumber daya air lainnya memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat; dan 11. Pemberian pertimbangan teknis dan saran kepada pengelola sumber daya air yang diberikan wewenang untuk penyiapan rekomendasi teknis untuk penggunaan sumber daya air. Perusahaan menyelenggarakan kemanfaatan umum atas sumber daya air yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum di wilayah kerja perusahaan. Pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum Perum Jasa Tirta I meliputi: 1.

Penyediaan air permukaan untuk kebutuhan pokok seharihari;

2. Penyediaan air irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; 3.

Pengendalian banjir;

4.

Konservasi sumber daya air; dan

5. Menyelenggarakan pengembangan spam dan sanitasi untuk keperluan rumah tangga. Perum Jasa Tirta II Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II bermula dari Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur yang didirikan dengan PP No 20 Tahun 1970. Perusahaan ini beberapa kali mengalami perubahan nama dan pengaturan. Pengaturan terakhir adalah dengan PP No 94 Tahun 1999 tentang Perum Jasa Tirta II. Peran dan fungsi Perum Jasa

93


Tirta II diatur dalam PP No 7 Tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta II. Perum Jasa Tirta II berkedudukan di Purwakarta, Jawa Barat, dan berkantor pusat di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Perusahaan Umum Jasa Tirta II mendapat penugasan dari pemerintah untuk melakukan pengusahaan sumber daya air wilayah sungai dan sebagian tugas dan tanggung jawab di bidang pengelolaan sumber daya air di wilayah kerja perusahaan. Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan yang terkemuka di bidang pengelolaan sumber daya air. Sedangkan misi perusahaan adalah menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air dengan tata kelola perusahaan yang baik dan inovatif melalui : 1. Penyediaan air baku untuk air minum, pertanian, industri dan pemenuhan kebutuhan lainnya; 2.

Pembangkitan dan penyaluran tenaga listrik kepada pt. Pln dan / atau selain pt. Pln; dan

3. Pengembangan kepariwisataan dan pemanfaatan lahan yang bertujuan memberikan kontribusi dalam menunjang ketahanan pangan nasional dan keuntungan bagi negara. Wilayah pelayanan Perum Jasa Tirta II mencakup dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta yang meliputi sebagian Kotamadya Jakarta Timur, Kotamadya Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, sebagian Kabupaten Indramayu, sebagian Kabupaten Sumedang, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, sebagian Kabupaten Cianjur dan sebagian Kabupaten Bogor Wilayah kerja perusahaan meliputi sebagian wilayah Sungai Cidanau, Ciliman, Ciujung, Ciliwung, Cisadane, dan Citarum. Tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengusahaan sumber daya air wilayah sungai meliputi: 1. Pelayanan dan penjaminan ketersediaan air untuk memenuhi kepentingan pengusahaan sumber daya air dengan tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi

94


pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; 2.

Pemanfaatan sumber daya air permukaan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga air (plta), dan pemenuhan kebutuhan pengusahaan lainnya; dan

3.

Pemberian bantuan dalam rangka penerbitan pertimbangan (rekomendasi) pemberian ijin oleh pemerintah atas penggunaan dan pengusahaan sumber daya air.

Tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan sebagian tugas dan tanggung jawab di bidang pengelolaan sumber daya air wilayah sungai meliputi: 1. Mengoperasikan dan memelihara prasarana sumber daya air yang meliputi upaya pengaturan air termasuk pembuangan airnya dan pengaturan kegiatan membuka dan menutup pintu air, bangunan prasarana sumber daya air, melaksanakan kalibrasi alat pengukur debit/pintu air/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi; 2.

Mengoperasikan jaringan irigasi primer pada daerah irigasi utara jatiluhur dan selatan jatiluhur yang meliputi bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya;

3. Mengoperasikan jaringan irigasi sekunder pada daerah irigasi utara jatiluhur dan selatan jatiluhur yang meliputi saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya; 4. Memelihara sumber air yang meliputi upaya menjaga dan mengamankan sumber air untuk mempertahankan kelestariannya; 5.

Melakukan pemeliharaan saluran irigasi primer pada daerah irigasi utara jatiluhur dan selatan jatiluhur;

6. Melakukan pemantauan, kalibrasi alat ukur debit, evaluasi

95


kuantitas dan kualitas air pada sumber air yang menjadi tanggung jawab perusahaan; 7. Menyebarluaskan hasil pemantauan dan evaluasi kepada pengguna sumber daya air, masyarakat, dan pengelola sumber daya air; 8. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air dan pengendalian daya rusak air sesuai dengan kemampuan perusahaan; 9.

Penggelontoran dalam rangka pemeliharaan sungai; dan

10. Memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat. 3.2. Perusahaan Daerah Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum yang selanjutnya disingkat PDAM adalah Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum. Status PDAM sebagai perusahaan daerah didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. Pasal 2 UU Perusahaan Daerah menyatakan bahwa perusahaan daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang.

[foto: Sudiyah Istiqomah DAS Kampar, Riau] Penampungan air yang dilakukan oleh masyarakat Kampar Kiri Hulu - Riau

Fungsi PDAM adalah memberikan jasa pelayanan dan menyelenggarakan kemanfaatan umum di bidang air minum. Hal

96


ini sesuai dengan amanat Pasal 37 PP No 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Air Minum, bahwa pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin hak setiap orang dalam mendapatkan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Kegiatan usaha layanan PDAM pada dasarnya adalah mengumpulkan, mengolah, menjernihkan dan kemudian mendistribusikan air ke pelanggan. Jasa layanan PDAM dalam penyediaan air bersih yang layak dikonsumsi sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat, terutama di perkotaan. Penurunan kuantitas dan kualitas air tanah di perkotaan menjadi alasan utamanya. Dalam menjalankan usahanya, PDAM diperbolehkan untuk bekerjasama dengan pihak swasta, termasuk pemodal asing. Saat ini jumlah PDAM di Indonesia, menurut data PERPAMSI (Perkumpulan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) adalah sebanyak 307 perusahaan (termasuk lima perusahaan yang sudah menjalin kerjasama dengan pihak swasta asing). Tidak semua PDAM memiliki sumber bahan baku air bersih yang memadai. Menurut catatan PERPAMSI, sumber bahan baku air minum PDAM di Indonesia berasal dari sungai (201 sungai), sumur artesis (91 artesis), mata air (248 mata air), dan sumber air lainnya yang sebagian sudah tercemar. Oleh sebab itu PDAM juga melakukan pengolahan air terlebih dahulu sebelum diberikan ke pelanggannya. Untuk mengelola bahan baku air yang tercemar, tentu dibutuhkan teknologi dan biaya yang lebih mahal. Seperti kebanyakan BUMN dan BUMD, PDAM tidak mempunyai keleluasaan dalam menjalankan usahanya secara mandiri. Sebagai contoh, dalam menentukan tarif atas jasa yang diberikan ke pelanggan, PDAM harus mengikuti Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum, dan juga harus tunduk pada Permendagri No 2 Tahun 2007 untuk pengaturan kepegawaiannya. Selain itu, PDAM juga dibebani kewajiban untuk berkontribusi

97


terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Dengan demikian, wajar jika PERPAMSI mengatakan bahwa hampir seluruh PDAM di Indonesia “tidak sehat�, khususnya secara finansial. Selain masalah dana, PDAM juga dibelit dengan masalah efisiensi sehingga belum dapat melayani masyarakat dengan optimal. Berkenaan dengan kinerja PDAM, BPPSPAM melaporkan bahwa hanya 41% dari seluruh PDAM yang sehat (lihat Tabel 3). Tabel 4 Kondisi PDAM seluruh Indonesia. Kategori

2006

2007

2008

2009

2010

Sehat

18% (44)

26% (79)

27% (89)

31% (103)

41% (142)

Kurang Sehat

43% (110)

37% (113)

37% (119)

34% (114)

38% (129)

Sakit

39% (99)

37% (114)

36% (117)

35% (119)

21% (70)

Sumber : BPPSPAM, 2011. 3.3. Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) dibentuk pada tahun 1972 sebagai wadah perhimpunan perusahaan air minum seluruh Indonesia. Gagasan pendirian organisasi ini adalah beberapa direktur utama PDAM yang pada masa itu berjumlah 50 organisasi. Persoalan pengelolaan dan penyediaan air bersih yang dihadapi setiap organisasi di daerah akan dapat diselesaikan ketika sebuah wadah organisasi seprofesi di lingkungan PDAM dapat bekerja di tingkat nasional. Permasalahan PDAM tidak dapat diatasi secara sektoral hanya dengan menangani masalah teknis dan manajemen seperti infrastruktur yang minim, kesulitan sumber air baku, kebocoran tinggi, inefisiensi operasional, utang yang tak terbayar, minimnya investasi dan lemahnya kompetensi sumber daya manusia. Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia memiliki 402 anggota biasa, yang mayoritas adalah PDAM milik pemerintah

98


daerah di setiap kota/ kabupaten, yang tersebar di seluruh nusantara, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Talaud hingga Pulau Rote (Lampiran 1). Perwakilan setiap PDAM dalam organisasi PERPAMSI adalah Direktur atau Direktur Utama, atau Direksi PDAM. Anggota Luar Biasa PERPAMSI terdiri atas perusahaan-perusahaan pabrikan atau supplier, asosiasi profesional, perguruan tinggi, dan lembagalembaga lainnya yang bergerak di bidang air minum. Anggota luar biasa berjumlah 63. Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia diharapkan dapat menyuarakan kepentingan anggota, terutama dalam negoisasi dengan pemerintah dalam hal pengelolaan keuangan. Secara umum PERPAMSI berperan dalam: 1) pengaturan kegiatan donatur, pemerintah dan penanam modal dengan pdam; 2) Memberikan solusi terbaik untuk meningkatkan kinerja perusahaan; 3) Penyebarluasan prinsip bisnis profesional dalam pengoperasian pdam; 4) Memotivasi pdam untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan perencanaan karir karyawan. Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia ikut membantu pemerintah mencapai MDGs (Milleniun Development Goal) 2015 melalui pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dimana PDAM berada. Pendekatan politik yang bertumpu pada kepemimpinan kepala daerah dan iklim politik lokal yang kondusif menjadi salah satu kunci pemberdayaan dan penyehatan PDAM. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai angka 68,8% proporsi penduduk yang mendapat akses air minum secara nasional tahun 2015. Pada saat ini, menurut data pemerintah, target baru tercapai 54%. Dari angka itu, pelanggan yang terlayani secara perpipaan mayoritas oleh PDAM baru mencapai 25,56%. Menurut data Perpamsi, jumlah pelanggan PDAM di seluruh Indonesia pada tahun 2011 baru mencapai sekitar 9,5 juta sambungan, sedangkan untuk mencapai target MDGs dalam

99


waktu 3-4 tahun ke depan berdasarkan perhitungan pemerintah, diperlukan penambahan 8,5 juta sambungan lagi. 3.4. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Air Minum Dalam Kemasan atau biasa disingkat AMDK adalah istilah untuk perusahaan pengemasan/pembotolan air minum yang bisa langsung dikonsumsi. Pada tahun 2010, total merek AMDK yang tercatat di Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI jumlahnya sudah melampaui 600 merek dagang. Perkembangan AMDK di Indonesia melalui beberapa tahapan. Pada tahun 1973 AMDK pertama kali dipopulerkan oleh merek yang saat ini seakan sudah menjadi sebuah nama generik yang identik dengan air konsumsi. Pada saat itu sumber air bahan baku yang dipergunakan berasal dari air tanah dalam. Kemudian pada 1980 sumber air bahan baku yang dipergunakan digantikan dengan air bahan baku yang diambil dari mata air pegunungan. Pada awal tahun 2000, marak dengan Depot Air Isi Ulang. Harga per galonnya relatif murah dan proses yang mudah untuk diinstalasi di tempattempat yang dekat dengan perumahan. Perkembangan akhir-akhir ini yang terjadi adalah pemanfaatan air sumber bahan baku yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan asal-usul teknisnya sehingga kualitas air hasil-nya pun patut dipertanyakan. 3.4. Masyarakat Sipil/ Lembaga Swadaya Masyarakat Masyarakat sipil merupakan konsep yang beragam sebutan dan pengertiannya. Demikian pula dengan bentuk dan kegiatannya. Subbagian ini adalah gambaran mengenai apa posisi dan bagaimana peran masyarakat sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dinamai ulang sebagai ‘organisasi masyarakat sipil’ (Tania Li; 2012), dan keterlibatannya dalam pengelolaan sumber daya air. Beberapa lembaga LSM yang mengarus-utamakan kerjanya di isu air ditampilkan di sub-bab ini sedangkan keberagaman Organisasi Masyarakat Sipil dan inisiatif kearifan lokal dalam pengelolaan

100


sumber daya air di tingkat komunitas, baik itu yang terorganisir atau tidak, dituliskan dalam buku terpisah (dalam penerbitan). Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan kelompok masyarakat yang terbentuk secara mandiri, bertindak sukarela, bersifat non-profit, lahir, dan independen terhadap negara dan korporasi. LSM merupakan bentuk organisasi masyarakat sipil yang paling dikenal publik. Peran LSM dalam kehidupan publik di Indonesia semakin diakui dan diperlukan. LSM diharapkan berperan dalam empat hal, yaitu: 1) menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dan kepentingan korporasi, 2) melengkapi dan atau menggantikan peran negara sebagai pelayan publik untuk memajukan kesejahteraan rakyat, 3) sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan negara, dan 4) melibatkan diri dalam penetapan kebijakan negara. Pendapat lain tentang LSM diungkapkan oleh Hans Antlov, 2002 dalam Tania Li 2012. LSM menjadi obyek modul pelatihan dari deretan panjang donor, yang memandang mereka sebagai sarana untuk menyuarakan keinginan masyarakat serta mendorong demokratisasi. LSM tidak memiliki karakter masyarakat sipil sejati. Yaitu kesadaran kritis untuk bertindak secara politik: menggalang konstituen, melibatkan publik dalam perdebatan, merumuskan dan menyebarkan kebijakan alternatif, membahas ideologi, menggalang konsensus yang lebih luas, menemukan jalan tengah, musyawarah dan berinovasi. Sumber daya air baru mendapat perhatian LSM pada akhir tahun 90-an. Ketika itu sedang terjadi perubahan arah kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air. Kalangan masyarakat sipil memandang bahwa intervensi pihak (swasta) asing sudah sangat kuat mengarah pada kebijakan privatisasi dan menempatkan air sebagai komoditas ekonomi semata.

101


[foto: Rita Mustika Sari] Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor adalah wadah terbuka untuk seluruh warga Kota Bogor dalam menciptakan Sungai Ciliwung yang bersih.

Oleh karena itu diperlukan adanya pengimbangan kekuatan untuk juga turut mempengaruhi perubahan kebijakan berdasarkan paradigma lainnya. Dalam perkembangannya, aktivitas LSM terkait pengelolaan sumber daya air mempunyai peran yang beragam. Sebagian memerankan diri sebagai “penyambung lidah� untuk menyampaikan kepentingan publik agar dapat diakomodasi dalam kebijakan pemerintah. Sebagian melakukan penguatan kapasitas masyarakat agar dapat mandiri dan berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan atas air. Sebagian lainnya, dalam tetap melakukan fungsi kritis terhadap kebijakan dan peran negara dalam praktek pengelolaan sumber daya air. Dalam berbagai peran tersebut, LSM harus mampu memberikan alternatif pemikiran yang konstruktif dalam pemecahan masalah atas persoalan pengelolaan sumber daya air. Terutama pada proses

102


mediasi dan komunikasi dalam forum-forum multipihak, agar kehadiran LSM tidak sekedar menjadi untuk melegitimasi secara formal saja. Sehingga akan mereduksi dan bahkan mengeliminir esensi keterlibatan LSM itu sendiri. Beberapa LSM mengarus-utamakan isu sumber daya air karena pilihan dan kemampuan sumber daya organisasi yang dimilikinya. Telapak telah bersambungan dalam beberapa aktivitas kegiatan LSM ini. Beberapa LSM lain yang juga melakukan kampanye air adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Air menjadi salah satu isu yang dikampanyekan WALHI, selain isu pangan, hutan, perkebunan, energy, tambang, keadilan iklim, pesisir dan laut, serta, isu-isu perkotaan. Informasi lebih jauh bisa dilihat di gerai WALHI di alamat berikut; http://walhi.or.id/v2.0/id/kampanyedan-advokasi. Pelayanan pengaduan konsumen atas pelayanan publik merupakan kegiatan YLKI yang dominan. Penyediaan air bersih merupakan pelayanan yang banyak dikeluhkan konsumen. Pada tahun 2010, pengaduan air menempati urutan keenam atau 6% dari total pengaduan keseluruhan yaitu sebanyak 590. Sedangkan pada tahun 2011 (sampai November), dari 496 kasus yang diadukan konsumen pada YLKI, pengaduan air bersih menempati urutan kelima dengan 35 pengaudan (7,5%) setelah masalah perbankan, perumahan, telekomunikasi dan listrik. Informasi lebih jauh bisa dilihat di gerai YLKI di alamat berikut; http://www.ylki.or.id/catatanhitam-layanan-air-pam.html . Dalam tulisan ini beberapa LSM yang diuraikan yaitu: 1) Amrta Institute, 2) Ecoton, 3) Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), 4) Perkumpulan Telapak. Amrta, Ecoton dan KRuHA merupakan LSM yang lingkup dan fokus kegiatannya terpusat pada persoalan sumber daya air.

3.4.1. Amrta Institute for Water Literacy (Amrta)

103


Amrta dalam Bahasa Sansekerta berarti air yang hidup dan memberi kehidupan pada semua mahluk. Sesuai dengan namanya, sebagai sebuah LSM, Amrta mempunyai visi memperjuangkan ketersediaan air yang berkelanjutan, baik kualitas maupun kuantitas, serta aksesibilitas yang adil bagi kehidupan bumi. Sedangkan misinya adalah: 1) meningkatkan kesadaran publik dalam pengelolaan, penggunaan yang bijaksana dan perlindungan sumber daya air yang berkelanjutan; 2) melakukan upaya-upaya mengatasi kelangkaan air demi keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan publik dengan memperjuangkan konservasi air; dan 3) memperjuangkan hak publik untuk mendapatkan air dengan akses yang adil.

[foto: Rita Mustikasari] INSPIRASI adalah rumah belajar yang dikelola oleh LSM Ecoton, Gresik, Surabaya. Sungai Brantas menjadi fokus perhatiannya.

Amrta didirikan sejak 2004 dengan latar belakang keprihatinan terhadap RUU Sumber Daya Air (sekarang UU No. 7 tahun 2004

104


tentang Sumber Daya Air). Amrta telah melakukan berbagai kajian dan advokasi terhadap persoalan air di Indonesia, di antaranya saat ini adalah persoalan anggaran sektor air serta privatisasi layanan air perkotaan. Amrta telah mengeluarkan berbagai publikasi dari hasil kajian seputaran air. Publikasi ini banyak dipakai oleh LSM lokal untuk melakukan advokasi, terutama untuk isu privatisasi dan maraknya penggunaan air tanah oleh banyak perusahaan Air Minum dalam Kemasan (AMDK). Amrta Institute dan Yayasan TIFA telah melakukan sebuah penelitan tentang ”Pemantauan Pendapatan Sektor Sumber Daya Air” yang dilakukan di Kabupaten Klaten, Magelang, Boyolali, Sleman, Wonosobo, Sukabumi, Kota Semarang dan DKI Jakarta. Daerah ini dipilih karena tingginya eksploitasi air tanahnya. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa peluang pemda memperoleh pendapatan dari sumber daya air cukup besar. Hal ini dapat dicapai apabila dilakukan (i) perbaikan peraturan menyangkut aspek ”pricing”, insentif dan jenis produk yang dihasilkan, (ii) penegakan hukum dan (iii) pembukaan akses bagi masyarakat terhadap informasi dan pengambilan keputusan. Berbagai peraturan terkait pendapatan dari sumber daya air menetapkan sistem dan mekanisme “pricing” yang tidak mampu merefleksikan nilai air (baik air bawah tanah maupun permukaan) yang sebenarnya. Penetapan harga dasar air yang berlaku saat ini tidak menutup biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan dan perbaikan kualitas dan kuantitas sumber daya air. Satu (1) m3 air bawah tanah dengan kualitas prima di Jawa Tengah hanya dihargai Rp 118. Para pengusaha setelah memberi nilai tambah (value added) berupa proses ozonisasi dan menempatkan air tersebut dalam botol plastik, menjual produk tersebut seharga sekitar Rp 2 juta/ meter kubiknya. Minuman berkarbonasi nilai jualnya jauh lebih tinggi, dengan hanya menambahkan konsentrat dengan rasa tertentu, air yang ”dibeli” seharga Rp 118/m3 dapat dijual seharga Rp 7,8 juta/m3. Amrta juga melakukan advokasi penghentian sistem privatisasi pengelolaan air di Jakarta yang telah dikelola penuh oleh swasta

105


sejak 1998. Privatisasi layanan air Jakarta dijalankan mengikuti penandatanganan kerja sama Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM Jaya) dengan dua mitra swasta yang berlaku hingga 2022. Langkah ini di kemudian hari terbukti membawa banyak persoalan. Warga mengeluhkan buruknya layanan air, tarif melonjak, dan PAM Jaya menjadi terpuruk utang. Amrta terlibat aktif untuk mendorong kembalinya layanan air ke tangan publik yang transparan dan terbebas dari kepentingan bisnis swasta. Alamat: Amrta Institute. Jl. Wologito Tengah II No. 16 Semarang 50148. Tel/fax: 62 24 760 2966. Email: amrta_institute@yahoo.com. http://www.amrta-institute.org/ 3.4.2. Ecoton (Ecological Conservation and Wetland Conservation) Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau disingkat Ecoton (Ecological Conservation and Wetland Conservation) berdiri secara hukum tahun 2000. Profil lembaga ini berpijak pada penelitian ekologi lahan basah khususnya di Provinsi Jawa Timur.

[foto: Riska Damayanti] LSM Ecoton bekerja di sepanjang Kali Surabaya yang mengalir sepanjang 41 km, melewati 4 kabupaten/kota; Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya.

106


LSM Ecoton Surabaya dalam mengidentifikasi ikan di daerah aliran sungai

Ecoton bertujuan mewujudkan pemanfaatan sumber daya air yang berkeadilan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pengelolaan. Ecoton didukung oleh 4 (empat) divisi: 1. Pendidikan Lingkungan; 2. Proyek Mangrove Jatim; 3. Advokasi Kali Surabaya; 4. Public Awareness. Bidang Minat meliputi Research and Community Development di Kali Surabaya dan mangrove Pantai Utara Jawa Timur, melalui eksplorasi potensi keanekaragaman hayati, pendidikan lingkungan, dan pendampingan masyarakat. Beberapa kegiatan advokasi berhasil dilakukan dengan basis indikator data biota air hasil pengamatan di beberapa titik sungai di 9 kabupaten/kota yang dilalui Sungai Brantas; yaitu Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo dan Kota Surabaya. Ecoton membangun Jaringan Pengamat dan Monitoring Kualitas Sungai Brantas menggunakan alat bantu BIOTILIK (bioassesment) dengan melibatkan beberapa murid SMP dan SMA di beberapa kabupaten. BIOTILIK berasal dari kata ”bio” dan ”tilik” yang berarti pemanfaatan makhluk hidup tidak bertulang belakang (BIO) untuk menilik atau memantau lingkungan (TILIK). Selain itu Ecoton juga mengembangkan konsep Jaringan Biotilik. Tujuan pembentukan jaringan adalah: 1) Membuat Indeks Toleransi Biotilik pada DAS-DAS penting di Indonesia; 2) Memasukkan Biotilik sebagai parameter kunci pemantauan kualitas air di Indonesia; 3) Membentuk Jaringan Biotilik (BIOTILIK NETWORK) pada DAS-DAS Penting di Indonesia. Konsep ini terus dikembangkan Ecoton sejak 10 tahun terakhir. Contoh kegiatan biotilik yang telah dilakukan Ecoton adalah pembentukan polisi air. Polisi Air adalah kegiatan berkala pengamatan kualitas sungai dan mata air menggunakan Biotilik yang dikembangkan secara berkelompok oleh murid-murid dan bimbingan guru SMPN 1 Wonosalam, Kabupaten Jombang. Saat ini sudah ada tiga angkatan Polisi Air. Kegiatan pelibatan pelajar ini dianggap penting karena Kawasan Wonosalam adalah sebagian kecil kawasan hulu DAS Brantas yang masih memiliki tutupan

107


lahan berhutan dengan status kawasan hutan lindung. Padepokan Wonosalam Lestari adalah sebuah tempat pelatihan terpadu yang dibangun Ecoton bersama beberapa tokoh masyarakat pada tahun 2010 di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Tempat ini dipakai untuk kegiatan pelatihan penyelamatan mata air hulu Brantas. Kawasan Perlindungan Ikan Kali Surabaya menjadi target besar Ecoton. Keberadaan suaka perikanan dalam sistem hukum Indonesia dijamin UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Pasal 8 Ayat 1 dan 2. Pada 18 Juli 2012 Gubernur Jawa Timur bersama LSM Inspirasi, dan BLH Jawa Timur menggagas upaya pelestarian ikan dan pemulihan ekosistem Kali Surabaya. Alamat: Jl.Raya Bambe 115, Driyorejo, Gresik, Jawa Timur. Telp. (031) 750 8837. URL: http://www.ecoton.or.id 3.4.3. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) merupakan sebuah koalisi beranggotakan LSM dan individu yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap pemenuhan hak rakyat atas air. KRuHA menempatkan dirinya sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan negara. Sampai dengan April 2010, lebih dari 30 LSM di seluruh Indonesia telah tergabung dalam KRuHA. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air didirikan pada tahun 2002. Lahir sebagai respon terhadap kebijakan pemerintah menerima pinjaman dari Lembaga Keuangan Internasional (LKI) seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pembangunan infrastruktur keairan dilakukan untuk mendukung pembangunan pertanian sejak awal Orde Baru di tahun 60an. Reformasi sektor sumber daya air di Indonesia salah satunya mendorong lahirnya UUSDA 7/2004 tentang Sumber daya Air yang menggantikan UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Bank Dunia memberikan pinjaman untuk program penyesuaian struktural di sektor sumber daya air (Water Resources Structural Adjusment/WATSAL) di tahun 1999 dan memberikanpinjaman baru sebesar 300 juta dolar.

108


Beberapa pinjaman dari Lembaga Keuangan Internasional antara lain: Participatory Irrigation Sector Project, Community Water Services and Health, Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program yang didukung oleh oleh ADB; Water and Sanitation for Low Income Community (WSLIC) I,II, dan III yang didukung oleh World Bank. WSLIC III sering dikenal dengan nama Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS). Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air berpendapat bahwa restrukturisasi sektor sumber daya air yang menempatkan air sebagai barang ekonomi hanya akan menjadikan air sebagai komoditas yang akan mendorong privatisasi air. Proses tersebut diyakini akan menimbulkan kerugian kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan petani. Posisi kritis dan bahkan menentang terhadap terhadap kebijakan pemerintah terus dilakukan oleh KRuHA, khususnya terhadap kebijakan privatisasi, komersialisasi sumber daya air dan pemihakan terhadap kepentingan korporasi. Beberapa studi dan publikasi seputar hutang luar negeri ke PDAM, privatisasi dan komersialisasi air di PAM Jaya DKI Jakarta, dan pemahaman dan pengertian dasar atas hak atas air dan implementasinya terutama untuk kelompok masyarakat miskin kota, diterbitkan oleh KRuHA dan anggota koalisinya. Publikasi ini didistribusikan ke publik dan jaringan kerja LSM di berbagai daerah untuk menguatkan pemahaman isu dan peningkatan kapasitas jaringan. Beberapa LSM dan kelompok masyarakat merespon secara kritis kebijakan pembangunan keairan yang terjadi di daerahnya dan menawarkan alternatif solusi. Dalam Siaran Pers Bersama tertanggal Jakarta 22 Juni 2011, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Privatisasi Air yang terdiri dari 8 kelompok masyarakat sipil (KRuHA, Solidaritas Perempuan Jabotabek, SP PDAM Jakarta, FPPI, WALHI JAKARTA, JRMK, LBH Jakarta dan Koalisi Anti Utang) menuntut buruknya pengelolaan air di Jakarta. Tuntutan itu berupa penghentian kontrak konsesi layanan air bersih PAM DKI Jaya Jakarta dengan dua operator swasta, PT PAM

109


Lyonnaise JAYA (Palyja) dari Prancis, dan PT AETRA (dulu PT Thames PAM Jaya) dari Inggris. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air bersama 250 organisasi lain di Asia, Pasifik, Eropa, Jepang dan Amerika bergabung dalam sebuah Forum untuk ADB. Forum ini bekerja untuk memonitor proyek, program dan kebijakan yang dikeluarkan ADB (Asian Development Bank). DebtWATCH Indonesia, KRuHA, Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) mendesak agar ADB menghentikan pinjaman untuk sektor sumber daya air karena terus-menerus mendorong negara-negara peminjam agar menerapkan konsep air sebagai barang ekonomi dan mengarah pada privatisasi. Ecoton dan KRuHA mendorong lahirnya fatwa MUI Jatim. Yaitu menfatwakan haram bagi pembuangan limbah industri dan domestik ke Kali Brantas tanpa pengolahan. MUI sadar akibat buruknya kondisi Kali Brantas yang menggugah agamawan untuk ikut bergerak mengupayakan perbaikan melalui himbauan untuk umatnya. Alamat KruHA: Jl. Mampang Prapatan VIII Komplek Bappenas Blok R/13 Jakarta 12790. Telp: +62-21-7992945; Fax: 62-21-7996160; e-Mail: kruha@kruha.org; http://kruha.org 3.4.4. Perkumpulan Telapak Perkumpulan Telapak (sedianya Yayasan Telapak Indonesia) berdiri pada pertengahan tahun 1995 oleh beberapa aktivis lingkungan hidup di Bogor, Jawa Barat. Telapak memperoleh badan hukum ‘Yayasan’ sejak tanggal 21 Januari 1997. Pada bulan Januari 2002, Telapak berubah menjadi bentuk ‘Perkumpulan’ yang disahkan dalam Musyawarah Besar Telapak di kampung Tapos, Desa Sukaharja, Bogor. Visi Telapak adalah “Pengelolaan Sumber daya Alam Hayati yang Berkeadilan, antar generasi dan antar unsur alam”. Misi Telapak adalah 1). Memfasilitasi dan menguatkan kapasitas Telapak dan mitra-mitranya, kelompok masyarakat akar rumput, jaringan

110


NGO, dan masyarakat lokal; 2). Melakukan pemberdayaan pada pemimpin-pemimpin formal dan non-formal, NGO lokal, nasional dan internasional, dan kalangan perguruan tinggi; 3). Berperan sebagai lembaga penekan terhadap sistem dan kelembagaan termasuk perusahaan-perusahaan besar dan lembaga-lembaga keuangan yang berkontribusi terhadap pengelolaan sumber daya alam hayati yang tidak adil; dan 4). Mempromosikan praktek dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan; serta mendorong dan membangun sistem dan kelembagaan yang berkontribusi terhadap pengelolaan sumber daya alam hayati yang adil.

[foto: Shodik Purnomo] Djufryhard, Badan Pengurus Telapak menghadiri semiloka multipihak DAS Kampar, Riau yang dilaksanakan oleh Telapak BT Riau.

Kepengurusan Telapak ( periode 2008-2012) menulis Roadmap Air Telapak yang salah-satu isinya adalah dukungan organisasi untuk mendorong adanya kelompok penjaga sungai di setidaknya di 12 Badan Teritorial Telapak yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Beberapa komunitas penjaga sungai sudah terbentuk bahkan sebelum road-map ini disusun. Proses pembelajaran yang saling menginspirasi di antara sesama anggota dan komunitas

111


merupakan suatu praktek pengalaman di Telapak. Telapak melakukan program peningkatan kapasitas diri dan mendorong mitra-mitranya melakukan hal serupa ke internal lembaganya melalui proyek pelatihan yang disebut CDP IWRM NA (Capacity Development Project of Negotiated Approach to Integrated Water Resource Management). Telapak dan beberapa mitranya bersama-sama mempersiapkan diri dalam berpengetahuan mengenai pengelolaan air, memahami peran dan posisi aktor air dan menyusun perencanaan dan strategi kerja agar menjadi pionir melalui berbagai kreativitas kegiatan. Pilihan kegiatan di setiap kawasan disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan anggota Telapak yang ada. Terdapat dua jenis kegiatan yang dilakukan Telapak dan mitranya. Pertama yaitu model advokasi berupa ajakan bagi publik luas untuk mengindahkan sungai dan memberi perhatian atas persoalan ekologi dan sosialnya. Pembentukan kelompok penjaga sungai menjadi pilihan aktivitas seperti yang terjadi di Garda Brantas yang dimotori oleh ECOTON (http://www.ecoton.or.id/) di Surabaya, Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) (http://tjiliwoeng.blogspot.com/) Bogor, dan River Defender Kampar (http://kamparriverdefender. blogspot.com/) di Riau. Di beberapa tempat lain, advokasi sungai dilakukan melalui lembaga yang sudah ada di masyarakat, misalnya melalui kegiatan pengajian dan kegiatan kepemudaan. PPLH Mangkubumi mengajak anak-anak sekolah untuk lebih memberi perhatian ke sungai (http:// pplhmangku-bumi.blogspot.com/) dan Paguyuban Trisno Kali Songo mengajak masyarakat untuk peduli sungai melalui kegiatan keagamaan (http://kalisongoku.blogspot.com/). Kedua adalah model kegiatan implementasi pembentukan wadah koordinasi pengelolaan air yang sesuai dengan UUSDA 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Telapak dan mitranya mendorong pembentukan Komite DAS Lamasi (http://vimeo.com/19921633) di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Wadah koordinasi ini dirancang dan dibentuk berdasarkan unit hidrologis DAS Lamasi yang

112


kawasannya meliputi tiga kabupaten. Pada saat ini pembentukan wadah koordinasi terbatas pada Kabupaten Luwu yang mencakup 75 persen DAS Lamasi. Pembentukan bersama sebuah wadah koordinasi tiga kabupaten menjadi agenda kegiatan KDL. Telapak dan mitranya mempublikasikan sebuah Buku Persepsi Pengguna Air Panduan Analisa Nafkah Hidup (AL) Dan Aktifitas Ekonomi (AA) Dalam Pendekatan Negosiasi Menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu pada tahun 2011. Danielle Hirsch direktur Both ENDS di Belanda dalam kata pengantar buku ini menyambut baik terbitnya Buku Panduan Studi Analisa Nafkah Hidup dan Analisa Aktivitas (AL&AA) dan serialnya. Buku-buku ini akan membantu masyarakat luas dan kelompok masyarakat pengguna air lainnya untuk memahami aktivitas ekonomi dan pemahaman kondisi masyarakat di sekitarnya sebagai salah satu aktor diantara aktor pemerintah dan pihak swasta yang terlibat dan berkepentingan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Serial publikasi CDP IWRM NA terdiri dari: 1. Persepsi Pengguna Air, Sebuah Panduan Analisa Nafkah Hidup (AL; analysis livelihood) dan Analisa Aktivitas Ekonomi (AA; analysis activities) dalam Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. 2. Hasil Uji Coba Penerapan Panduan Analisa Nafkah Hidup dan Analisa Aktivitas Ekonomi di DAS Lamasi. 3.

Analisis Permasalahan DAS Lamasi

4. Hasil Uji Coba Pelaksanaan Panduan AA/AL di DAS Air Bengkulu 5.

Gambaran Umum Permasalahan Pengelolaan Air di DAS Air Bengkulu

Lebih jauh Analisa Permasalahan Bersama yang dihasilkan dari pelaksanaan Studi AL&AA ini bisa menjadi pegangan bersama bagaimana menempatkan persoalan yang dihadapi masyarakat lokal ke dalam konteks politik dan ekonomi yang lebih luas (geopolitical and geo-economic context). Serial publikasi ini akan

113


meningkatkan kapasitas masyarakat pengguna air untuk secara efektif terlibat dalam pengelolaan air yang terjadi di DAS tempat mereka tinggal. Semua publikasi bisa diunduh gratis di gerai berikut http://air.telapak.org/publikasi/buku 3.5. Resume Paparan tentang para pelaku di atas sangat mungkin belum melingkupi semua pihak yang berperan dalam pengelolaan sumber daya air. Tidak mudah untuk mengidentifikasi para pelaku dalam pengelolaaan berikut peran dan fungsinya secara lengkap. Berdasarkan paparan diatas, didapat pemahaman sebagai berikut: 1) Peran dan fungsi pemerintah masih lebih dominan dibandingkan dengan pihak swasta dan masyarakat sipil. 2) Terdapat dua kementrian yang mempunyai peran sebagai regulator sekaligus operator, yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Kehutanan. Kementrian Pekerjaan Umum adalah kementrian yang membidangi sumber daya air. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No 02/PRT/M/2013 yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, yang mempertegas kedudukan Kementrian Pekerjaan Umum, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam UUSDA 7/2004. 3)

Tidak ada satu pelaku pun yang mempunyai kapasitas untuk berperan sebagai pengelola wilayah sungai secara terpadu dan mampu melaksanakan prinsip “one river, one plan, and one integrated management�.

4)

Pada dasarnya, peran negara masih sangat dominan, kecuali untuk usaha air minum dalam kemasan

5) Peranan swasta menonjol dalam aspek penyediaan air bersih dan air minum dalam kemasan. Ketertarikan swasta, termasuk investor asing dalam kedua sektor usaha tersebut

114

6) Lembaga Swadaya Masyarakat tidak mempunyai


kewenangan untuk membuat peraturan, dan juga tidak mempunyai kekuatan modal untuk menjadi operator ataupun pengembang. Namun keberadaannya sangat diharapkan untuk dapat mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara di satu sisi dan swasta di sisi lain. 7) Dewan air menjadi ruang bagi LSM untuk menjalankan perannya. Perlu diperhatikan bahwa Dewan Air tidak memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan. Berdasarkan pengalaman, lembaga yang tidak memiliki wewenang eksekusi biasanya akan berhenti sebagai organisasi tanpa peran penting.

115


BAB IV WADAH KOORDINASI Undang-undang Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 menetapkan perlunya dibentuk wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan wakil dari pihak yang terkait, baik dari unsur pemerintah maupun non-pemerintah. Mengingat sumber daya air menyangkut kepentingan banyak sekto dengan daerah alirannya menembus batas-batas wilayah administrasi, dan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan kehidupan masyarakat Wadah maka koordinasi memerlukan wadah. Para wakil dari pihak terkait, baik dari unsur pemerintah maupun non-pemerintah, di tingkat nasional dan propinsi membentuk wadah koordinasi pada tingkat nasional dan provinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota dan wilayah sungai, para pihak membentuknya sesuai kebutuhan. Harapannya, wadah koordinasi akan menjembatani berbagai kepentingan para pihak dalam pengelolaan sumber daya air, terutama dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air. Dalam melaksanakan tugasnya, wadah koordinasi tersebut mendapatkan bimbingan teknis pemerintah, yakni kementerian yang membidangi sumber daya air. 4.1. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) merupakan wadah koordinasi antar para pemilik kepentingan sumber daya air tingkat nasional. Di tingkat daerah, wadah koordinasi tersebut bernama Dewan Sumber Daya Air Daerah atau Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) atau Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) provinsi dan kabupaten/kota. Kelembagaan PTPA dan TKPSDA merupakan bentuk wadah koordinasi yang terbentuk sebelum adanya UUSDA 7/2004, yang sifat dan kedudukannya sama dengan DSDA Propinsi/Kabupaten/Kota. Penggunaan nama PTPA dan

116


TKPSDA dapat terus digunakan ataupun dirubah menjadi nama DSDA Propinsi/Kabupaten/Kota. Sementara itu, hubungan kerja antar wadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif. Pembiayaan operasional DSDAN menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian pula pembiayaan Dewan Sumber Daya Air di daerah adalah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat. Presiden RI menetapkan keberadaan DSDAN melalui Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber daya Air dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2009 tentang Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional. Susunan organisasi DSDAN seperti yang tertera dalam Keppres tersebut terlampir (Lampiran 2). Dewan Sumber Daya Air berkedudukan di Ibukota Indonesia. Kelembagaan ini memiliki sifat non-struktural, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas DSDAN adalah membantu Presiden dalam hal: 1) Menyusun dan merumuskan kebijakan nasional serta strategi pengelolaan sumber daya air; 2) Memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; 3) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah, serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; dan 4) Menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi pada tingkat nasional. Dalam melaksanakan tugasnya, DSDAN wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Presiden paling sedikit dua kali dalam satu tahun. DSDAN menyelenggarakan fungsi koordinasi pengelolaan sumber daya air melalui: 1) Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan

117


pengintegrasian kebijakan serta tercapainya kesepahaman dan keselarasan kepentingan antarsektor, antarwilayah dan antarpemilik kepentingan. 2) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan nasional pengelolaan SDA; 3) Konsultasi dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; 4) Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi; dan 5) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi pada tingkat nasional. 4.2. Forum Daerah Aliran Sungai (Forum DAS) Kementerian Kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS dan Pemerintah Daerah memfasilitasi terbentuknya Forum DAS di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Forum DAS merupakan wadah konsultasi dan koordinasi multi pihak dalam rangka memberikan rekomendasi atau masukan kepada pembuat keputusan tentang kebijakan, implementasi kegiatan dan pengendalian pengelolaan sumber daya alam secara terpadu di DAS. Forum tersebut melibatkan unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, pengusaha, BUMN, BUMS, BUMD, LSM dan kelompok masyarakat lainnya. Forum DAS adalah organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersamasama dalam wilayah DAS. Masalah-masalah yang mungkin dipecahkan oleh Forum DAS adalah konflik kepentingan antar sektor, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, serta permasalahan dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan di dalam areal DAS untuk mencapai tujuan bersama. Saat ini telah terbentuk

118


sebanyak 50 Forum DAS yang tersebar pada beberapa propinsi dan kabupaten/kota. 4.3. Dewan Pengelolaan Sungai Kementerian Pekerjaan umum telah mengatur pembentukan Dewan Pengelolaan Sungai dalam Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No. 04 /PRT/M/2008 tentang Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Wilayah Sungai. Dengan mengacu pada Permen tersebut maka penyebutan Dewan Sumber Daya Air Wilayah Sungai atau yang disebut dengan nama lainnya, selanjutnya bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS). Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS) selanjutnya berfungsi sebagai wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai tersebut. Saat ini sudah terbentuk 17 TKPSDA WS Strategis Nasional, 12 WS Lintas Propinsi, dan 3 WS Lintas Kabupaten/Kota (Lampiran 3).

119


BAB V PENDEKATAN NEGOSIASI DAN POTENSINYA UNTUK PENGEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DI INDONESIA Telapak mengembangkan konsep Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu sebagai alat untuk mendorong terciptanya pelibatan publik ke dalam pengelolaan air. Ini adalah bab penutup yang akan meringkas pembelajaran implementasi Konsep PSDAT di Telapak dan potensi pengembangannya di Indonesia.

[foto: Herbert] Masyarakat kampar Kiri hulu - Riau - juga sangat tergantung akan kelestarian sungai tidak hanya untuk pemanfaatan kebutuhan langusng, tetapi juga sebagai jalur transportasi

120


Sub-bab 1 dan 2 di bawah ini menjelaskan mengenai Pendekatan Negosiasi dan pembahasan tentang karakteristik utamanya, dan kelembagaan seperti apa yang diperlukan untuk mengoperasikannya. Sub-bab 3 memberikan penilaian singkat mengenai potensi pengembangan dan hambatan yang mungkin terjadi dalam penerapan Pendekatan Negosiasi di Indonesia. Penilaian terkait tantangan dan hambatan ini dibuat dari sudut pandang Telapak sebagai LSM yang bertujuan untuk berperan dalam PSDAT yang mempertimbangkan berbagai faktor; baik faktor internal maupun eksternal. 5.1. Mendefinisikan Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Pendekatan Negosiasi (selanjutnya disingkat NA - Negotiated Approach ) bertujuan untuk memperkuat Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT) dengan melibatkan masyarakat lokal dan mendorong dan menjadikan mereka pengelola lingkungan sekitar yang akan meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam memperluas dukungan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut, Telapak telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak termasuk lembaga internasional. Telapak adalah mitra dalam aliansi internasional LSM yang mempunyai kesamaan misi dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management/ IWRM dalam istilah Bahasa Inggris. Dalam tulisan ini memakai singkatan PSDAT). Konsep PSDAT merupakan sebuah paradigma pengelolaan sumber daya air yang telah dikembangkan sejak tahun 1970an. Pendekatan ini digunakan dalam UUSDA 7/2004 dan dianggap relevan untuk kondisi saat ini. Kebaruan yang dipraktekan Telapak bersama aliansi internasional LSM dalam konteks PSDAT adalah dengan penggunaan pendekatan negosiasi. Pendekatan NA diharapkan dapat memperbaiki kegagalan implementasi PSDAT di berbagai negara termasuk Indonesia. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah keengganan pihak pemerintah untuk melibatkan masyarakat

121


sipil secara penuh, sehingga tidak mampu menghasilkan partisipasi murni untuk membangun model pengelolaan daerah aliran sungai yang melewati batas administratif (Both ENDS dan Gomukh, 2011). Praktek pendekatan NA dalam PSDAT dilakukan Telapak di DAS Lamasi dan DAS Bengkulu (2010) dan sedang direncanakan di DAS Kampar, Riau (2012-2014). Pendekatan NA ini dirancang secara khusus untuk menampung partisipasi pemangku kepentingan lokal yang sesungguhnya dan berjangka panjang, yang terjadi dalam semua aksi dan praktik pengelolaan sumber daya air. Telah disebutkan bahwa Pendekatan Negosiasi telah dikembangkan di berbagai lokasi melalui kerja berbagai organisasi masyarakat sipil dan LSM di berbagai belahan dunia. Berikut ini adalah karakteristik manfaat Pendekatan Negosiasi yang perlu diperhatikan:

122

•

Pendekatan Negosiasi bukanlah suatu alternatif terhadap PSDAT melainkan ber tujuan untuk memfasilitasi pelaksanaannya; Pendekatan NA memakai prinsip-prinsip PSDAT (seperti integrasi, akuntabilitas, ekosistem, dll.) dalam pendekatan bottom-up yang partisipatif, yang pada tahap awalnya diprioritaskan untuk fokus penuh pada isu spesifik-lokasi. Hal ini tercermin dalam tiga prinsip berikut yang dianggap spesifik bagi Pendekatan Negosiasi.

•

Prinsip aksi yang didasari motivasi sendiri menegaskan bahwa peran masyarakat sebagai inisiator, pengelola, atau pengelola-bersama dari sistem air memiliki posisi sejajar dengan peran yang dimainkan dinas pemerintah dan lembaga mapan lainnya. Pendekatan Negosiasi menegaskan peran masyarakat haruslah berupa proses berkelanjutan dan berjangka panjang.

•

Prinsip pemberdayaan masyarakat lokal mengakui air sebagai barang sosial dan hak masyarakat terhadap akses sumber daya tersebut adalah hak asasi manusia (termasuk aspek kualitas maupun kuantitas). Hal ini harus ada dalam


pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bernegosiasi dan membuat keputusan bijaksana berdasarkan kearifan tradisional dan data ilmiah. •

Prinsip mempertahankan fleksibilitas menyatakan bahwa pendekatan yang fleksibel adalah sangat penting sebagai fungsi PSDAT dalam lingkungan dinamis dimana kondisi internal dan eksternal selalu berubah. Hal ini sejalan dengan pengelolaan adaptif, dimana perubahan strategi dan intervensi dibuat berdasarkan umpan balik yang diterima dari proses monitoring dan evaluasi. Menurut prinsip ini, prosedur yang simultan dan berulang dibutuhkan dalam berbagai tingkatan, berdasarkan pengakuan bahwa pengelolaan air berada dalam tingkatan berbeda dan bahwa perubahan eksternal pada suatu tingkatan bisa jadi merupakan hasil perubahan internal pada tingkatan yang lain.

•

Pendekatan Negosiasi memandang partisipasi sebagai sebuah proses negosiasi. Salah satu aspek esensial dalam Pendekatan NA adalah pengertian negosiasi dipandang sebagai proses pelibatan aktor lokal, dimana peserta meningkatkan pemahaman dan kapasitas mereka untuk memecahkan masalah bagi kepentingan bersama, dan bukan sebagai proses tawar menawar. Oleh karenanya, negosiasi mengacu pada partisipasi melalui interaksi terbuka, fleksibel dan kreatif dimana semua pemangku kepentingan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berperan dalam mencari solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi. Negosiasi semacam ini, yang mengakui secara penuh keabsahan pengetahuan tradisional, terdiri atas dialog dimana peserta mengidentifikasi permasalahan dan kepentingan bersama untuk menyelesaikan sengketa, dan meraih kesepakatan untuk rencana aksi. Praktek Pendekatan Negosiasi memerlukan proses yang terbuka,

123


namun terstruktur dan menuntut adanya perubahan paradigma berpikir semua pemangku kepentingan. Pendekatan Negosiasi mempertimbangkan pengelolaan strategis yang penting bagi pembelajaran terus-menerus bagi SEMUA peserta. Pengelolaan strategis mengacu pada pendekatan terstruktur, bersiklus dan berulang yang terfokus kepada tiga tahapan kunci dari sebuah siklus pengelolaan: (i) formulasi strategi (perencanaan); (ii) identifikasi, pengembangan dan pelaksanaan intervensi; dan (iii) monitoring dan evaluasi intervensi dan pengembangan. Oleh karenanya, hal ini dipandang sebagai proses terus menerus dan berkelanjutan yang memungkinkan PSDAT untuk menjauh dari pendekatan perencanaan master dan proyek yang sekali jadi atau ad-hoc, yang masih umum terjadi pada usaha pengembangan yang difasilitasi oleh donor. Pendekatan berulang semacam ini, dengan mekanisme monitoring yang memiliki struktur umpan balik yang baik, evaluasi dan adaptasi, mengikuti sebuah proses pembelajaran terus menerus. Ini merupakan arena Pendekatan Negosiasi, yang melalui hal tersebut pemangku kepentingan lokal dapat secara efektif terlibat dalam tugas pengelolaan air yang menentukan kondisi penghidupan mereka saat ini dan akan datang. Pendekatan tersebut berkontribusi terhadap proses perencanaan yang berkelanjutan dan inklusif, sementara pada saat yang bersamaan turut mengembangkan pengelolaan sumber daya air melalui proses pembelajaran yang diikuti semua pemangku kepentingan. 5.2. Kelembagaan Yang Memungkinkan Bagi Pendekatan Negosiasi Walaupun negosiasi dan pengelolaan strategis dianggap krusial dalam pengembangan PSDA, tantangan utamanya adalah menciptakan kelembagaan yang memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk turut serta dalam pengelolaan sumber daya air, sebagai sebuah proses pembelajaran yang terus menerus. Mewujudkan lingkungan semacam itu akan melibatkan pembuatan kelompok strategis dan koordinasi, dan pelaksanaan Pendekatan

124


Negosiasi pada tingkat (sub)Daerah Aliran Sungai. 5.2.1. Mendirikan Kelompok Strategis Dan Koordinasi Kelompok strategis dan koordinasi, semisal dewan, komite atau kelompok penasihat, akan memastikan semua pemangku kepentingan berpartisipasi secara efektif dalam pembuatan keputusan dan terlibat dalam semua tugas PSDAT. Kelompokkelompok ini seharusnya permanen dan independen, namun tentu saja mereka dapat merupakan bagian dari sistem politik dan administratif yang berkuasa dimana keputusan diambil dan intervensi dilaksanakan. Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini tidak akan menggantikan entitas pembuat keputusan yang ada, tetapi akan memiliki mandat untuk mempersiapkan pengambilan keputusan dan mengkoordinir, memonitor dan mengevaluasi kemajuan dan dampak intervensi, bekerja sama dan berkoordinasi dengan dinas yang ada.

[foto: Mai Zaldi] Nelayan Sungai Serkap - Pelalawan-Riau juga menjaga kelestarian sungai sebagai ladang ikan untuk pemenuhan ekonomi

125


Kelompok-kelompok ini akan memainkan peran sangat penting dan strategis dalam memberi sinyal dan mencoba untuk mengatasi ketidak-konsistenan antara sektor yang berbeda dan antara tingkat lokal, regional atau nasional. Kegiatan penting dari kelompok tersebut termasuk diantaranya adalah: memformulasikan rencana pengelolaan air strategis dan mengkoordinir, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya. Dalam semua kegiatan tersebut, Pendekatan Negosiasi akan meningkatkan partisipasi masyarakat sipil. Agar kelompok-kelompok ini dapat berfungsi sesuai yang diharapkan, berikut adalah empat kondisi yang penting. •

Mereka harus memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi mengenai ketersediaan, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air, serta juga memiliki kapasitas untuk menganalisa, mengevaluasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi tersebut.

•

Mereka harus terlibat dalam (re)organisasi pengaturan kelembagaan untuk pengelolaan air.

•

Mereka harus memiliki saluran komunikasi terbuka dengan pembuat kebijakan, pemangku kepentingan dan publik, secara dua arah: menerima keluhan dan saran, khususnya dari aktor lokal, dan untuk memastikan transparansi penyebaran informasi.

•

Mereka harus memastikan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk mengembangkan kondisi mata pencaharian mereka sendiri.

Kelompok seperti ini tidak banyak ditemukan, dan ketika itu ada umumnya kelompok tersebut tidak berfungsi secara terus menerus. Dalam berbagai belahan dunia, masyarakat sipil dan pemerintah telah mengambil inisiatif untuk membuat kelompok tersebut. Ketika status dan pengalaman mereka meningkat, mereka perlahan memainkan peranan yang lebih permanen dan formal dalam pengelolaan sumber daya air konvensional. Hal ini mencerminkan kepercayaan yang tumbuh antara pemerintah dan sektor non-

126


pemerintah. 5.2.2. Pendekatan Melalui (Sub) Daerah Aliran Sungai Sukses Pendekatan Negosiasi sejauh ini sudah dikonfirmasikan oleh temuan studi terbaru (misal UNESCO, 2009) bahwa PSDAT partisipatif harus diimplementasikan pada tingkat (sub)DAS atau unit hidrologis lain yang ‘mandiri’ mencakup, sebagai contoh, sistem drainase yang terdefinisi dengan baik atau ekosistem yang kurang lebihnya tertutup. Pada tingkat inilah persediaan dan permintaan air harus disesuaikan dan pengguna langsung harus diperbolehkan untuk terlibat dalam tugas pengelolaan yang mempengaruhi ketersediaan dari dan akses terhadap sumber daya. Pada tingkat ini jugalah interaksi antara lahan, air dan hutan dapat dan seharusnya dipertimbangkan, karena mereka mempengaruhi –dan seringkali mendominasi- baik ketersediaan dan permintaan akan air. Seperti dijelaskan panduan PSDAT pada tingkat unit hidrologi DAS UNESCO (2009), ‘sebuah perspektif tingkat DAS memungkinkan integrasi isu hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas, air permukaan dan air tanah, dan penggunaan lahan dan sumber daya air dalam tataran praktis’. Sekali lagi ditekankan bahwa unit-unit ini harus memiliki fungsi dalam sistem politik dan administratif yang sudah ada yang membuat batasan akan dan kondisi atas pengelolaan mereka. 5.3. Pendekatan Negosiasi di Indonesia Penilaian pada bagian ini sebagian besar didasari oleh pengalaman terbatas Telapak dalam mengimplementasikan konsep PSDAT selama 2008-2012, dan yang paling relevan adalah: Proyek Peningkatan Kapasitas Diri Telapak dan mitranya (CDP IWRM NA) 2008-2012, Proyek World Bank dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) 2008 dan posisi keanggotaan Telapak dalam Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) 2009. Walaupun pengamatan dibuat meliputi LSM secara umum, tetapi tidak dimaksudkan sebagai penilaian penuh terhadap posisi LSM di Indonesia terutama dalam kaitannya dengan PSDAT dan pelaksanaan Pendekatan Negosiasi.

127


Lembaga Swadaya Masyarakat telah memainkan dan masih memainkan peran penting di Indonesia dalam meningkatkan partisipasi dan transparansi di Indonesia dan dengan demikian merupak an kendaraan ideal untuk mengenalk an dan mengembangkan lebih jauh Pendekatan Negosiasi. Namun penilaian lengkap jelas diluar lingkup dan kemampuan buku ini. Untuk penilaian lebih umum mengenai LSM dalam proses reformasi demokratis, diberikan acuan kepada Antlov et al. (2010) yang didasari oleh survey literatur dan pengalaman lapang yang ekstensif dan dikutip dalam beberapa bagian ini. Penilaian dibuat dari dua perspektif: (i) Lingkungan kelembagaan sebagai kondisi eksternal yang memungkinkan penerapan Pendekatan Negosiasi; dan (ii) Telapak sebagai sebuah LSM yang diasumsikan memainkan peranan penting dalam memperkenalkan dan menerapkan Pendekatan Negosiasi. Lingkungan Kelembagaan Yang Memungkinkan Pendekatan Negosiasi mencoba fokus pada PSDAT partisipatif yang dapat dianggap seperti disebut Antlov et al. (2010) sebagai sebuah ‘pendalaman demokratis’ dari pengelolaan sumber daya air. Pengalaman Proyek CDP IWRM NA menegaskan keberadaan (setidaknya pada beberapa wilayah di Indonesia) budaya partisipasi dan konsensus yang berkembang baik di tingkat masyarakat, namun perlu juga dipahami bahwa ini merupakan sistem demokratis yang masih tahap awal dan belum sepenuhnya berjalan secara fungsional dan masih berkembang dari sistem represif dan otoriter dari Orde Baru. Dengan kata lain, di satu sisi masyarakat sudah familiar dengan banyak tipe organisasi berbasis komunitas baik formal maupun informal, namun di sisi lain struktur otoriter dan elit dari pemerintah sebelumnya yang represif masih sangat terasa dan hanya sedikit membuka ruang bagi pendekatan demokratis. Sebagai mandat dan tugas kelompok tersebut, dimana kelompok masyarakat yang berpartisipasi seringkali tidak terdefinisikan dengan baik dan struktur

128


pembuatan keputusan mereka tidak jelas, tanggung jawabnya untuk membuat keputusan dan kekuasaan untuk implementasi pada derajat substansi tertentu tetap merupakan kewenangan pemerintah pusat di Jakarta. Namun demikian, Proyek CDP IWRM NA Telapak, telah mengalami kemajuan dan menjadi pembuka dalam memahami kerumitan struktur ini yang menciptakan kesempatan baru. Yang perlu disinggung pertama kali adalah proses yang baru saja diinisiasi yaitu desentralisasi dan otonomi daerah yang membuka kesempatan bagi –antara lain- lebih banyak tanggung jawab daerah terhadap pengelolaan sumber daya (acuan dapat diberikan terhadap inisiatif Bupati Luwu, Sulawesi Selatan yang membentuk Komite DAS Lamasi (KDL)). Proses-proses ini mulai berjalan namun memerlukan waktu beberapa tahun lagi sebelum dapat sepenuhnya beroperasi dimana keahlian dan finansial lokal berkembang dengan apa yang disebut pengelolaan daerah yang sepenuhnya. Sebagai contoh adalah hilangnya kesempatan untuk membentuk sebuah pengelolaan lokal - regional, dengan terbentuknya TKPSDA di Provinsi Sulawesi Selatan, yang diatas kertas bertanggungjawab terhadap penyusunan dan perencanaan sumber daya air daerah. Tetapi di sisi lain, pemberi label resmi untuk rencana yang dibuat itu, dan juga implementasi pelaksanaannya masih ditentukan dari Jakarta, terutama karena sumber pendanaanya berasal dari pemerintah pusat. Mekanisme kedua yang tampaknya layak dijajaki lebih jauh dalam konteks pengelolaan partisipatif adalah siklus perencanaan pengembangan terdesentralisasi (UU 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional) yang memungkinkan pelibatan warga dan masyarakat melalui Musrenbang, forum konsultasi multi-pemangku kepentingan yang diselenggarakan pemerintah untuk perencanaan pembangunan daerah. Warga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam semua tingkatan Musrenbang (Antlov et al., 2010). Dipahami bahwa sistem ini tidak (belum) berjalan dengan semestinya, hanya meningkatkan

129


efisiensi dan efektifitas aktivitas pembangunan tetapi gagal untuk mengembangkan ruang partisipasi di tingkatan sosial yang paling rendah di pedesaan (Agusta, I., 2009). Walau begitu beberapa proyek percobaan menunjukkan potensi dari mekanisme ini bagi terbentuknya pengelolaan partisipatif secara penuh. Harus juga disebutkan bahwa pemerintah lokal semakin menggunakan hak mereka dalam pembuatan peraturan daerah (perda). Pada tahun 2008 UU Kebebasan dan Informasi yang baru (UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) telah dinyatakan lulus. Menurut Antlov et al. (2010), perda dan keterbukaan informasi publik menyediakan perlindungan hukum dan mendorong warga individu dan LSM untuk terlibat dengan aparat pemerintah. Lebih penting lagi, ia juga menyediakan akses terhadap informasi pada tingkat lokal. Acuan dapat dibuat terhadap peran penting Perda DAS Lamasi (Kabupaten Luwu, 2006) mengenai pembentukan Komite DAS Lamasi (KDL). Pertimbangan diatas, yang banyak didasari oleh pengalaman CDP IWRM NA, menyiratkan bahwa LSM yang ingin terlibat dalam pelaksanaan Pendekatan Negosiasi harus berhadapan dengan konteks kelembagaan yang dikarakterisasikan sebagai berikut.

130

Kemungk inan kerjasama antara LSM dan dinas kepemerintahan perlu dijajaki lebih jauh dan dieksploitasi. Walaupun sepenuhnya tergantung dari kesediaan pemerintah lokal untuk bekerjasama, aksi haruslah dimulai dan didorong dari ‘bawah’.

Apapun bentuk kerjasama pada tingkat lokal atau regional, maka dia harus berhadapan dengan struktur pembuatan keputusan yang masih tersentralisasi dengan mekanisme perencanaan finansial dan alokasi anggaran yang berada dalam kewenangan dinas pemerintah pusat.

Kerja sama dan koordinasi antara kementrian pemerintah sendiri pada tingkat nasional, regional dan lokal tidak bagus dan sangat tergantung kepada komitmen eksekutif tinggi yang berpengaruh (seperti dalam kasus Bupati Luwu).


•

Panduan teknis yang diperlukan untuk persiapan dan implementasi keputusan yang menghormati PSDAT masih sangat terkonsentrasi di Jakarta.

•

Walaupun UUSDA 7/2004 yang baru menyebutkan kemungkinan pembentukan dewan DAS, struktur dan praktik kelembagaan, yang saat ini sedang dalam pengembangan, akan tetap berfokus pada unit administratif (negara, provinsi dan kabupaten).

Kesimpulannya, tataran kelembagaan dari Pendekatan Negosiasi tidak kondusif bagi LSM yang ada untuk memperkenalkannya kepada PSDAT pada tataran sub DAS. Di satu sisi, mereka berhadapan dengan masyarakat yang memiliki kesempatan dan pengalaman yang sangat memadai untuk memulai dan ikut serta dalam struktur untuk konsultasi, akan tetapi di sisi lainnya mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa struktur konsultasi semacam ini mempunyai keterbatasan, bahkan bisa jadi justru tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang sifatnya terpusat beserta segala mekanisme implementasi teknisnya. Hal ini sebagian dikarenakan pada sistem otoritas terpusat hanya ada sedikit sekali kemampuan (juga sering kali hanya sedikit kemauan) untuk berkoordinasi dan bekerja sama di kalangan badan pemerintah antar tingkatan yang berbeda, khususnya di bidangbidang tertentu yang sifatnya lintas administratif (seperti misalnya DAS). 5.4. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (Telapak) Menurut Antlov, dkk. (2010), ada sangat banyak LSM di Indonesia yang bergerak aktif pada tataran nasional dan lokal di bidang pengelolaan sumber daya dan juga telah memainkan peran penting dalam: (i) meningkatkan partisipasi; (ii) membangun infrastruktur legal dan institusional untuk terlaksananya demokrasi, serta (iii) membantu menyuarakan dan melakukan advokasi dalam menyokong reformasi. Pada beberapa situasi tertentu, hal ini telah menuai hasil berupa lebih terbukanya partisipasi warga negara dan

131


dibukanya keran kemitraan antara pemerintah, LSM dan kelompok masyarakat lainnya (sebagaimana telah ditemui dalam CDP IWRM NA di DAS Lamasi).

[foto: Rita Mustikasari. DAS Air Bengkulu, Bengkulu] Penanaman penghijauan riparian Sungai Air Bengkulu setelah Semiloka Berasan Air Bengkulu April 2011.

Meski demikian, tidak semua pihak di semua tempat yang menganggap bahwa LSM adalah mitra kerja yang dapat sepenuhnya dipercaya. Banyak kalangan dari badan pemerintah yang barangkali masih melihat LSM sebagai kekuatan politik saingan (Antlov, dkk., 2010). Dalam membangun posisi yang dapat diandalkan dan dipercaya sebagai mitra dalam pengelolaan sumber daya, Telapak beserta para LSM anggotanya menghadapi tantangan dimana mereka harus mengembangkan kapasitas yang memungkinkan mereka untuk terus melakukan kegiatannya, baik pada tingkat administrasi maupun kelompok sosial. Barangkali sebagai hasil

132


dari masa kekuasaan rezim Orde Baru yang represif, maka hanya sedikit pengalaman yang dikantongi LSM didalam berpartisipasi meramaikan proses demokrasi. Selama ini, LSM hanya memainkan peran utama dalam bidang lingkungan hidup dan/atau sebagai aktivis sosial saja, atau mendukung langsung kelompok-kelompok masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan mereka. Untuk lebih jelasnya dalam memahami peranan LSM didalam menerapkan Pendekatan Negosiasi, maka dirujuklah pedoman Pendekatan Negosiasi berjudul “Melibatkan Masyarakatâ€? (Both Ends dan Gomukh, 2011) yang pada Bagian 6.5-nya membahas mengenai keterlibatan LSM di dalam konteks-konteks politis dan administratif yang berbeda (Secara singkat: Pemerintah menunjukkan kinerja baik, pemerintah memiliki kemauan tapi absen; pemerintah memberikan tanggung jawab kepada pihak lain untuk pengelolaan sumber daya; dan pemerintah yang represif ). Yang dapat ditarik untuk Indonesia adalah tiga konteks pertama yang dinyatakan sebagai berikut oleh panduan tersebut (diadaptasikan untuk kesesuaian). •

Jika pemerintah benar-benar menjalankan fungsinya sebagaimana yang secara konvensional diharapkan (konteks 1) dan kerangka kerja legal dan institusional benar-benar dijalankan dengan semestinya, maka mungkin saat dan tempat yang paling baik bagi LSM untuk mulai masuk dan menciptakan landasan untuk dilaksanakannya negosiasi adalah pada saat Organisasi DAS (River Basin OrganisationRBO) mengumumkan niatannya dalam mempersiapkan suatu rencana DAS yang terpadu. Ini adalah tahap dimana hanya ada sedikit resistensi terhadap masukan dan ide dari masyarakat yang mendapatkan manfaat dari hal ini. Selain itu, sikap terbuka terhadap proses partisipasi yang proaktif dan konstruktif sudah dapat diharapkan pada tahap ini. Namun demikian, tetap harus disadari bahwa landasan semacam ini masih belum lepas dari pendekatan top down. Selain itu, masih harus dilakukan upaya-upaya tertentu

133


agar dapat mengalihkan bentuknya menjadi landasan yang sesuai dengan tujuan Pendekatan Negosiasi (sebagaimana dijelaskan pada Bagian 6.4.1 buku panduan). Sebagai contohnya, RBO mungkin tidak akan menerima konsep manajemen strategis. Seandainya demikian, maka LSM dapat memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat melalui cara peningkatan kesadaran masyarakat serta penguatan kapasitas dan dukungan terhadap network. •

Apabila pemerintah tidak melaksanakan perannya sebagaimana diharapkan (konteks 2), maka LSM dapat mewakili kepentingan para pengguna air lokal pada tingkat yang paling tinggi dalam manajemennya, seperti misalnya pada dewan air tingkat nasional atau provinsi. Hal-hal yang perlu dinegosiasikan pada tingkatan ini terkait dengan pengelolaan air secara umum. Dalam situasi semacam ini, LSM tidak dapat mewakili hanya satu grup yang spesifik saja. LSM justru diharapkan untuk dapat memiliki gambaran dan pemetaan yang baik mengenai kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda dan bagaimana bentuk ketergantungan mereka terhadap sumber daya air. Oleh karena itu, LSM mutlak harus memiliki akses terhadap jaringan komunikasi yang aktif dan menghubungkan kelompok-kelompok ini di lapangan.

•

Jika undang-undang dasar memiliki kekurangan dalam pasal-pasalnya untuk pelaksanaan PSDAT dan justru menimbulkan kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak pro rakyat (konteks 3; contohnya dalam hal privatisasi sumber daya air), maka LSM dapat mulai melakukan Pendekatan Negosiasi pada tingkat politis yang paling tinggi serta dapat mempergunakan pendekatan dan mobilisasi masyarakat sebagai ‘alat’ yang layak untuk membawa perubahan.

Panduan tersebut melanjutkan pemaparannya dengan memberikan contoh peranan LSM yang relevan dalam

134


penilaian Telapak ini. •

Memulai dan melakukan formalisasi terhadap landasan strategis yang dapat mewakili masyarakat.

•

Membangun kapasitas kelompok sosial dan masyarakat untuk memungkinkan mereka agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses perencanaan.

•

Sebagai kontraktor sosial, LSM memiliki posisi yang baik dalam mengidentifikasi kelompok sosial yang krusial dan melakukan penilaian terhadap mata pencaharian dan kegiatan masyarakat. Dengan pemahaman yang dimiliki oleh LSM terhadap pengetahuan lokal, persepsi dan preferensi masyarakat, LSM dapat menyumbangkan kontribusi yang penting bagi proses analisa masalah dan identifikasi solusi.

•

Berkontribusi bagi manajemen pengetahuan. LSM sering kali bertindak sebagai perantara yang menghubungkan antara pengguna lokal, landasan strategis dan organisasi pemerintah, dan dengan demikian mampu membantu aliran pengetahuan dua arah: (i) dengan cara mengidentifikasi pengetahuan lokal dan menyediakannya dalam bentuk yang dapat dipahami oleh pemangku kepentingan lainnya; dan (ii) dengan menyediakan pengetahuan dan informasi ilmiah yang relevan bagi pengguna lokal serta membina kapasitas mereka dalam memahami dan mempergunakannya.

•

Membantu di dalam perancangan teknis untuk suatu basis pengetahuan (apa yang dibutuhkan agar pengetahuan menjadi tersedia supaya dapat mendukung proses manajemen strategis) dan memastikan bahwa pengetahuan lokal sudah dimasukkan ke dalamnya.

•

Membina kapasitas masyarakat lokal. LSM dapat melibatkan diri dalam membangun model mengenai praktik yang baik dan kapasitas yang dibutuhkan untuk itu. Model-model semacam ini perlu mempertimbangkan hubunganhubungan yang ada di antara kekuatan lokal, fokus

135


dalam memungkinkan beragam kelompok sosial untuk mengakses lembaga-lembaga, sumber daya yang ada (baik alam maupun keuangan) serta informasi.

136

•

Memonitor kemitraan publik-privat dalam rangka mengawal kepentingan masyarakat lokal. LSM dapat mengidentifikasi, dimana kiranya kemitraan semacam ini dapat efektif, memformulasikan dan menegosiasikan persyaratan yang dibutuhkan serta memonitor pelaksanaannya.

•

Menciptakan jaringan komunikasi. LSM harus bertindak proaktif dalam merancang dan mengimplementasikan kerangka kerja komunikasi sosial yang mendefinisikan siapa saja para aktor yang berkepentingan serta langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan dalam melakukan pendekatan yang terstruktur terhadap pengelolaan yang transparan. Meskipun Telapak memiliki kapasitas yang layak, seperti misalnya dalam bidang komunikasi, jaringan kerja dan pembinaan kapasitas kelompok-kelompok sosial serta telah membuat langkah-langkah penting dalam menjadi pemain yang dapat diterima dalam bidang IWRM, organisasi ini masih jauh dari keterlibatan yang efektif di dalam pembuatan kebijakan (sebagai contohnya pada tingkat nasional dan provinsi). Selain itu, masih jauh pula dari upaya pendukungan terhadap pengelolaan langsung (contohnya di dalam dan untuk dewan DAS). Karena Telapak sudah berkomitmen untuk meningkatkan keterlibatan yang dimaksud, di antaranya melalui NA, berikut ini adalah halhal yang perlu perhatian penuh dan upaya ekstra.

•

Kemauan. Semua LSM harus mendefinisikan posisi mereka sejelas-jelasnya terkait dengan kerja sama yang dapat mereka lakukan dengan lembaga-lembaga tradisional dan badan-badan seperti Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Bank Dunia. Partisipasi di dalam pengelolaan sumber daya air mensyaratkan ditentukannya posisi secara jelas dan [menganggap siapa pun yang tidak sepakat


dengan institusi ini sebagai ‘musuh’]. Kesediaan dalam bekerja sama dengan badan-badan formal tentunya dapat tergantung pada situasi dan kondisi yang ada; khusus untuk Telapak, kemauan (kondisional) semacam ini harus didukung oleh seluruh anggotanya dan dibuat jelas sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pihak lain. •

Kemampuan. Semua LSM harus mampu membangun kapasitas, kredibilitas dan kompetensinya sendiri yang harus didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman dalam beberapa hal berikut ini. a. Memfungsikan sistem sumber daya air sebagai suatu sistem yang terpadu, tersusun dari komponen alam dan buatan manusia. b. Pengguna air, kondisi sosio-ekonomi mereka serta pentingnya sistem air untuk mereka menjalankan fungsi masing-masing (juga mencakup lingkungan hidup). c. Kesepakatan kelembagaan untuk mengatur sistem sumber daya air mereka dan mengajak serta para penggunanya untuk memiliki perilaku tertentu. d. Manajemen proyek untuk memimpin atau turut serta dalam proyek (yang sering kali didanai oleh pihak luar). Hal ini mencakup baik kapasitas teknis maupun finansial (akuntabilitas dan transparansi).

Telapak, beserta para LSM anggotanya yang telah berkomitmen untuk berdedikasi dalam menerapkan Pendekatan Negosiasi sehingga dapat menjadi pelaku yang berperan efektif dalam PSDAT, masih akan menempuh jalan yang panjang menuju pembangunan kapasitas, pengetahuan dan pengalaman dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas. Hal ini tentunya memerlukan dukungan yang terus menerus dan konsisten dari pengelolanya. Permasalahan utama adalah ketergantungan terhadap pendanaan terkait dengan

137


donor eksternal (pihak ketiga) yang sebenarnya bukanlah sumber yang paling dapat diandalkan dan paling konsisten untuk membiayai kegiatan yang berfokus pada pembangunan kapasitas jangka panjang. Dalam konteks ini, dapat merujuk kepada pengalaman Komite DAS Lamasi (KDL) yang terhenti karena kekurangan dana di tengah-tengah kegiatan membangun pengalaman yang, bagi Indonesia, terbilang unik.

138


BAB VI KESIMPULAN Penerapan Negosiasi di Indonesia dihadapi oleh Telapak dengan sangat banyak tantangan serius, baik yang datang baik dari luar maupun dari dalam lembaga. Memang terdapat kesempatan, akan tetapi juga ada tekanan-tekanan kecil dari pihak lain (peraturan perundang-undangan), sedikitnya kemauan dari pihak luar (terutama ketika berhubungan dengan badan yang memiliki otoritas terkait), lemahnya kapasitas (dengan seluruh pemangku kepentingan) untuk merealisasikan pengelolaan bersama (co-management) yang baik terhadap sumber daya air pada tingkat DAS (yang merupakan kondisi yang sangat penting bagi dilaksanakannya PSDAT secara partisipatif dan efektif ) serta pelaksanaan dari Pendekatan Negosiasi sendiri. Hal ini juga berarti bahwa Telapak harus semakin (pro-) aktif pada tingkatan-tingkatan selain DAS (yaitu tingkat politis, administratif dan kelompok masyarakat) untuk meningkatkan kualitas lingkungan kelembagaan agar dapat lebih baik dalam menerapkan Pendekatan Negosiasi. Meski demikian, struktur network Telapak yang terdiri dari LSM-LSM anggota dan posisi mereka pada saat ini di dewan tingkat nasional dan provinsi akan memberikan Telapak posisi yang baik untuk melakukan ini semua. Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dalam jangka panjang dengan berbekal dukungan yang berdedikasi dan terus menerus, serta dilakukan pada berbagai tingkatan yang berbeda secara serentak, yaitu (i) tingkat politis/administratif; (ii) tingkat DAS; (iii) tingkat masyarakat dan (iv) tingkat internal Telapak. Tentunya tidak ada kisah sukses yang terjadi dengan sekejap mata, akan tetapi tanpa kisah sukses semacam itu sekalipun, upaya keras yang ditata dengan sangat rapi akan mampu memengaruhi kegiatan pembangunan yang demokratis di Indonesia, yang di dalamnya pun PSDAT masih berada pada proses perubahan. Unsur-unsur yang penting untuk hal ini memiliki bentuk yang sangat beragam; akan tetapi berikut ini ditekankan beberapa yang sesuai konteks terhadap pembahasan di atas dan keseluruhan dokumen ini, yaitu: (i) dukungan penuh,

139


pemahaman dan kerja sama oleh organisasi Telapak sebagai suatu kesatuan utuh; (ii) akses terhadap sumber daya yang bersifat jangka panjang (sumber daya manusia dan finansial) untuk pembangunan kapasitas; dan (iii) pengetahuan menyeluruh mengenai lingkungan kelembagaan yang di dalamnya para penggiat PSDAT harus aktif bergerak.

140


DAFTAR PUSTAKA Agusta, Ivanovich., 2009. Percobaan Pembangunan Partisipatif dalam

Otonomi Daerah. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,

Komunikasi dan Ekologi Manusia. Agustus 2009. Hal 173-198.

http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi8-2.pdf Andriansyah O. dan Mustikasari R., 2011. Potret Masyarakat dan

Aktivitasnya di DAS Air Bengkulu. YUB. Bengkulu.

Andriansyah O. dan Mustikasari R., 2011. Gambaran Umum

Permasalahan Pengelolaan Air di DAS Air Bengkulu

Antlöv, Hans; Derick W. Brinkerhoff; Elke Rapp, 2010. Civil Society

Capacity Building for Democratic Reform: Experience and

Lessons from Indonesia. Voluntas (2010) 21:417–439; published

online: 29 May 2010. International Society for Third-Sector

Research and The John’s Hopkins University.

Both Ends and Gomukh Environmental Trust, 2011. Involving

Communities; a guide to the Negotiated Approach in Integrated

Water Resources Management. Amsterdam, The Netherlands

Kabupaten Luwu, 2006. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor

09 Tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Daerah

Aliran Sungai (DAS) Lamasi. Sekretariat Dareah Kabupaten

Luwu. Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia

Kahman H., R. Mustikasari, 2011. Hasil Uji Coba Penerapan Panduan Analisa Nafkah Hidup dan Analisa Aktivitas Ekonomi di DAS Lamasi. Telapak. Bogor Kahman H., R. Mustikasari, 2011. Analisis Permasalahan DAS Lamasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia [KKBI] Online. http://kbbi.web.

id/ diakses pada 15 Mei 2013

Mustikasari, Rita. 2011. Persepsi Pengguna Air, Sebuah Panduan

Analisa Nafkah Hidup dan Analisa Aktivitas Ekonomi dalam

141


Pendekatan Negosiasi menuju Pengelolaan Sumber Daya Air

Terpadu. Telapak. Bogor

UNESCO, 2009. IWRM Guidelines at River Basin Level. Part 1: Principles. www.unesco.org/water/news/pdf/Part_1_Principles.pdf.

142


Lampiran 1. Daftar PERPAMSI Daftar anggota PERPAMSI dari 29 Provinsi. <http://perpamsi.org/pdam_members.php?id=30> Provinsi DPD PROPINSI (01) ACEH

Nama PDAM No 1.

PDAM TIRTA FULAWAN KAB. SIMEULUE

2.

PDAM KAB.ACEH JAYA

3.

PDAM KOTA SINGKIL

4.

PDAM KAB.PIDIE JAYA

5.

PDAM KAB. GAYO LUES "TIRTA SEJUK"

6.

PDAM KAB. BENER MERIAH

7.

PDAM KOTA LANGSA "TIRTA KEUMUENENG"

8.

PDAM KAB.BIREUN "KRUENG PEUSANGAN"

9.

PDAM KAB.ACEH SELATAN "TIRTA NAGA TAPAKTUAN"

10. PDAM KAB.PIDIE "TIRTA MON KRUENG BARO" 11. PDAM KAB.ACEH BARAT "TIRTA MEULABOH" 12. PDAM KAB.ACEH BESAR "TIRTA MOUNTALA" 13. PDAM KAB.ACEH TENGAH "TIRTA TAWAR" 14. PDAM KAB. ACEH TENGGARA "TIRTA AGARA KUTACANE" 15. PDAM KAB.ACEH TIMUR "TIRTA PEUSADA" 16. PDAM KOTA SABANG "TIRTA ANEUK LAOT" 17.

PDAM KAB.ACEH TAMIANG

18. PDAM KOTA BANDA ACEH "TIRTA DAROY" 19. PDAM KAB.ACEH UTARA "TIRTA MONPASE"

143


Provinsi DPD PROPINSI (02) SUMUT

Nama PDAM No 1.

PDAM KOTA PADANGSIDEMPUAN

2.

PDAM KAB. NIAS

3.

PDAM KAB.LANGKAT "TIRTA WAMPU"

4.

PDAM KAB.DAIRI "TIRTA NCIHO"

5.

PDAM KAB.SIMALUNGUN "TIRTA LIHOU"

6.

PDAM KOTA BINJAI "TIRTA SARI"

7.

PDAM KOTA PEMATANG SIANTAR "TIRTA ULI"

8.

PDAM KAB.TAPANULI TENGAH "MUAL NAULI"

9.

PDAM KAB.LABUHAN BATU "TIRTA BINA"

10. PDAM KAB.ASAHAN 11. PDAM KAB.DELI SERDANG "TIRTA DELI" 12. PDAM KAB.KARO "TIRTA MALEM" 13. PDAM KAB. TAPANULI UTARA "MUAL NATIO" 14. PDAM KOTA TANJUNG BALAI "TIRTA KUALO" 15. PDAM KAB.TEBING TINGGI "TIRTA BULIAN" 16. PDAM KOTA MEDAN "TIRTANADI" 17. Provinsi DPD PROPINSI (03) RIAU

144

PDAM KOTA SIBOLGA "TIRTA NAULI" Nama PDAM

No 1.

PDAM TIRTA NUSA NATUNA

2.

PDAM DABO SINGKEP

3.

BPAB KAB.ROKAN HULU

4.

BPAB KAB. SIAK SRI INDRAPURA

5.

PDAM KAB.TEMBILAHAN "TIRTA INDRAGIRI"

6.

BPAM KAB.KUANTAN SINGINGI

7.

PT. ADHIYA TIRTA BATAM


8.

PRUSDA KARIMUN

9.

PDAM KAB.TANJUNG UBAN "TIRTA BINTAN"

10. PDAM KAB.INDRAGIRI HULU "TIRTA INDRA" 11. PDAM KAB.PELALAWAN UPT.PANGKALAN KERINCI 12. PDAM KOTA TANJUNG PINANG "TIRTA JANGGI" 13. PDAM KAB.KAMPAR "TIRTA KAMPAR" 14. BPAB KAB.ROKAN HILIR 15. BPAP KODYA DUMAI 16. PDAM KAB.BENGKALIS 17. Provinsi

PDAM KOTA PEKANBARU "TIRTA SIAK" Nama PDAM

DPD No PROPINSI 1. PDAM KAB. SOLOK SELATAN (04) SUMBAR 2. PDAM KAB. PASAMAN BARAT 3.

PDAM KAB. PESISIR SELATAN

4.

PDAM KOTA BUKIT TINGGI

5.

PDAM KAB. SOLOK

6.

PDAM KAB.PADANG PARIAMAN

7.

PDAM KOTA PADANG

8.

PDAM KOTA SOLOK

9.

PDAM KOTA SAWAH LUNTO

10. PDAM KAB.SAWAHLUNTO "TIRTA SANJUNG BUANA" 11. PDAM KAB.TANAH DATAR "TIRTA ALAMI" 12. PDAM KOTA PADANG PANJANG 13. PDAM KAB.PASAMAN 14. PDAM KOTA PAYAKUMBUH

145


15. PDAM KAB. AGAM "TIRTA ANTOKAN" 16. PDAM KAB.LIMA PULUH KOTA Provinsi DPD PROPINSI (05) JAMBI

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. MERANGIN "TIRTA BUANA"

2.

PDAM KAB. TEBO "TIRTA MUARO"

3.

PDAM KAB. MUARO JAMBI "TIRTA MUARO"

4.

PDAM KAB. KERINCI " TIRTA SAKTI"

5.

PDAM KAB. SAROLANGUN "TIRTA SAKO BATUAH"

6.

PDAM KAB. TANJUNG JABUNG TIMUR

7.

PDAM KAB. BUNGO "PANCURAN TELAGO"

8.

PDAM KAB. TANJUNG JABUNG BARAT "TIRTA PENGABUAN"

9.

PDAM KAB. BATANGHARI "TIRTA BATANGHARI"

10. PDAM KOTA JAMBI "TIRTA MAYANG" Provinsi DPD PROPINSI (06) BENGKULU

146

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. SELUMA

2.

PDAM KAB. LEBONG

3.

PDAM KAB. KEPAHYANG

4.

PDAM KAB. MUKO - MUKO TIRTA SELAGAN

5.

PDAM KAB.BENGKULU UTARA "TIRTA RATU SAMBAN"

6.

PDAM KAB.REJANG LEBONG

7.

PDAM KOTA BENGKULU

8.

PDAM TIRTA MANNA BENGKULU SELATAN

9.

PDAM KAB. KAUR


Provinsi DPD PROPINSI (07) SUMSEL

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.OKU TIMUR

2.

PDAM KAB.BANGKA "TIRTA BANGKA"

3.

PDAM KOTA PANGKAL PINANG

4.

PDAM KAB.MUSI BANYUASIN

5.

PDAM KOTA LUBUK LINGGAU 'TIRTA BUKIT SULAP"

6.

PDAM KAB.OGAN KOMERING ULU

7.

PDAM KAB.LAHAT

8.

PDAM KAB.OKU SELATAN

9.

PDAM KAB.BELITUNG

10. PDAM KAB.MUARA ENIM "LEMATANG ENIM" 11. PDAM KAB.OGAN KOMERING ILIR "TIRTA AGUNG" 12. PDAM KOTA PALEMBANG "TIRTA MUSI" Provinsi DPD PROPINSI (08) LAMPUNG

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.LAMPUNG TIMUR

2.

PDAM KOTA METRO "WAY KANAN"

3.

PDAM KAB. TULANG BAWANG

4.

PDAM KAB. TANGGAMUS "WAY AGUNG"

5.

PDAM KAB.LAMPUNG BARAT "LIMAU KUNCI"

6.

PDAM KAB.LAMPUNG TENGAH "WAY IRANG"

7.

PDAM KAB. LAMPUNG UTARA "WAY BUMI"

8.

PDAM KAB. LAMPUNG SELATAN "TIRTA JASA"

9.

PDAM KOTA BANDAR LAMPUNG "WAY RILAU"

147


Provinsi DPD PROPINSI (09) BANTEN

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.SERANG

2.

PDAM KAB.LEBAK

3.

PDAM KOTA TANGERANG

4.

PDAM KOTA CILEGON

5.

PDAM K AB. TANGERANG "TIRTA KERTA RAHARJA"

6.

PDAM KAB.PANDEGLANG

Provinsi

Nama PDAM

DPD No PROPINSI (11) 1. PDAM KOTA BANJAR "TIRTA ANOM" JABAR 2. PDAM KAB.SUMEDANG 3.

PDAM KAB.CIANJUR

4.

PDAM KAB.BOGOR

5.

PDAM KAB.CIREBON

6.

PDAM KAB.PURWAKARTA

7.

PDAM KAB. INDRAMAYU "TIRTA DARMA AYU"

8.

PDAM KAB.SUKABUMI

9.

PDAM KAB.MAJALENGKA

10. PDAM KAB.SUBANG 11. PDAM KAB.KARAWANG 12. PDAM KOTA BOGOR "TIRTA PAKUAN" 13. PDAM KOTA CIREBON 14. PDAM TIRTAWENING KOTA BANDUNG 15. PDAM KAB.BANDUNG "TIRTA RAHARJA" 16. PDAM KAB.GARUT 17.

148

PDAM KAB. TASIKMALAYA "TIRTA SUKAPURA"


18. PDAM KAB. CIAMIS "TIRTA GALUH" 19. PDAM KOTA SUKABUMI 20. PDAM BEKASI 21. PDAM KAB. KUNINGAN "TIRTA KAMUNING" 22. PDAM KOTA BEKASI "TIRTA PATRIOT" Provinsi DPD PROPINSI (12) JATENG

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.CILACAP

2.

PDAM KAB.KUDUS

3.

PDAM KAB.BLORA

4.

PDAM KAB.PEMALANG

5.

PDAM KAB.SRAGEN

6.

PDAM KAB.BATANG

7.

PDAM KAB.BANYUMAS

8.

PDAM KAB.JEPARA

9.

PDAM KAB.BREBES

10. PDAM KAB.WONOSOBO 11. PDAM KAB.KARANGANYAR 12. PDAM KAB. PURWOREJO "TIRTA PERWITASARI" 13. PDAM KAB.REMBANG 14. PDAM KAB.TEGAL 15. PDAM KAB.BANJARNEGARA 16. PDAM KAB.PURBALINGGA 17.

PDAM KAB.PEKALONGAN

18. PDAM KAB.KEBUMEN 19. PDAM KAB.TEMANGGUNG 20. PDAM KAB.WONOGIRI 21. PDAM KOTA PEKALONGAN

149


22. PDAM KAB.SEMARANG 23. PDAM KAB.PATI 24. PDAM KAB.SUKOHARJO 25. PDAM KAB. KLATEN 26. PDAM KAB.MAGELANG 27. PDAM KAB.BOYOLALI 28. PDAM KAB.KENDAL 29. PDAM KAB.DEMAK 30. PDAM KAB.GROBOGAN 31. PDAM KOTA TEGAL 32. PDAM KOTA MAGELANG 33. PDAM KOTA SURAKARTA 34. PDAM KOTA SALATIGA 35. PDAM KOTA SEMARANG Provinsi DPD PROPINSI (14) JATIM

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.NGAWI

2.

PDAM KAB.MADIUN

3.

PDAM KOTA SURABAYA

4.

PDAM KAB.BLITAR

5.

PDAM KAB.PASURUAN

6.

PDAM KAB.MAGETAN

7.

PDAM KAB.PACITAN

8.

PDAM KOTA PASURUAN

9.

PDAM KOTA BATU

10. PDAM KAB.LAMONGAN 11. PDAM KAB.SUMENEP 12. PDAM KAB.TRENGGALEK

150


13. PDAM KAB.MOJOKERTO 14. PDAM KAB.BANGKALAN "SUMBER POCONG" 15. PDAM KOTA MALANG 16. PDAM KAB.LUMAJANG 17.

PDAM KAB.NGANJUK

18. PDAM KAB.MALANG 19. PDAM KAB.SITUBONDO 20. PDAM KOTA MADIUN 21. PDAM KAB.SAMPANG "TRUNOJOYO" 22. PDAM KOTA MOJOKERTO 23. PDAM KAB.PAMEKASAN 24. PDAM KAB.TUBAN 25. PDAM KAB.BONDOWOSO 26. PDAM KOTA BLITAR 27. PDAM KAB.BANYUWANGI 28. PDAM KAB.TULUNGAGUNG 29. PDAM KAB. SIDOARJO "DELTA TIRTA" 30. PDAM KAB.KEDIRI 31. PDAM KAB.GRESIK 32. PDAM KOTA PROBOLINGGO 33. PDAM KAB.JEMBER 34. PDAM KAB.PONOROGO 35. PDAM KAB.BOJONEGORO 36. PDAM KAB.PROBOLINGGO 37. PDAM KAB.JOMBANG 38. PDAM KOTA KEDIRI

151


Provinsi DPD PROPINSI (15) BALI

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.BANGLI

2.

PT.TIRTA ARTHA BUANA MULIA

3.

PDAM KAB.GIANYAR

4.

PDAM KAB.BULELENG

5.

PDAM KAB.JEMBRANA

6.

PDAM KAB.KLUNGKUNG

7.

PDAM KAB.KARANGASEM

8.

PDAM KAB.TABANAN

9.

PDAM KAB.BADUNG

10. PDAM KOTA DENPASAR Provinsi DPD PROPINSI (16) KALBAR

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. KAYUNG UTARA

2.

PDAM KAB. SEKADAU

3.

PDAM KAB. KUBU RAYA

4.

PDAM KOTA SINGKAWANG

5.

PDAM KAB. MELAWI

6.

PDAM KAB. LANDAK

7.

PDAM KAB. SINTANG

8.

PDAM KAB. BENGKAYANG

9.

PDAM KAB. PONTIANAK

10. PDAM KAB. KETAPANG 11. PDAM KOTA PONTIANAK 12. PDAM KAB. KAPUAS HULU 13. PDAM KAB. SANGGAU 14. PDAM KAB. SAMBAS

152


Provinsi DPD PROPINSI (17) KALTENG

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.SERUYAN

2.

PDAM KAB.KATINGAN

3.

PDAM KAB.LAMANDAU

4.

PDAM KAB.SUKAMARA

5.

PDAM KAB.MURUNG RAYA

6.

PDAM KAB.GUNUNG MAS

7.

PDAM KAB.PULANG PISAU

8.

PDAM KAB.BARITO TIMUR

9.

PDAM KAB.BARITO UTARA

10. PDAM KAB.BARITO SELATAN 11. PDAM KAB KAPUAS 12. PDAM KAB. KOTAWARINGIN TIMUR 13. PDAM KAB. KOTAWARINGIN BARAT 14. PDAM KOTA PALANGKARAYA Provinsi DPD PROPINSI (18) KALSEL

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. TANAH BUMBU

2.

PDAM KAB. BALANGAN

3.

PDAM KAB. BARITO KUALA

4.

PDAM KAB. TANAH LAUT

5.

PDAM KAB. HULU SUNGAI SELATAN

6.

PDAM KAB. HULU SUNGAI TENGAH

7.

PDAM INTAN BANJAR

8.

PDAM KAB. TABALONG

9.

PDAM KAB. TAPIN

10. PDAM KAB. KOTABARU

153


11. PDAM KAB. HULU SUNGAI UTARA 12. PDAM "BANDARMASIH" KOTA BANJARMASIN Provinsi DPD PROPINSI (19) KALTIM

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. KUTAI TIMUR

2.

PDAM PENAJAM PASER UTARA

3.

PDAM KOTA SAMARINDA

4.

PDAM KAB. PASIR

5.

PDAM KOTA BALIKPAPAN

6.

PDAM KAB. BERAU

7.

PDAM KOTA BONTANG

8.

PDAM KAB. KUTAI KARTANEGARA

9.

PDAM KAB. MALINAU

10. PDAM KAB. BULUNGAN 11. PDAM KAB. NUNUKAN 12. PDAM KOTA TARAKAN 13. PDAM KAB. KUTAI BARAT Provinsi DPD PROPINSI (20) NTB

154

Nama PDAM No 1.

PDAM KOTA BIMA

2.

PDAM KAB.DOMPU

3.

PDAM KAB.BIMA

4.

PDAM MENANG MATARAM

5.

PDAM KAB.LOMBOK TENGAH

6.

PDAM KAB. SUMBAWA

7.

PDAM KAB. LOMBOK TIMUR


Provinsi DPD PROPINSI (21) NTT

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. ALOR

2.

PDAM KOTA KUPANG

3.

PDAM KAB.SUMBA TIMUR "MATAWAI AMAHU"

4.

PDAM KAB.MANGGARAI "TIRTA KOMODO"

5.

PDAM KAB.BELU

6.

PDAM KAB.KUPANG

7.

PDAM KAB.NGADA

8.

PDAM KAB.ENDE

9.

PDAM KAB.SIKKA

10. PDAM KAB.TIMOR TENGAH SELATAN 11. PDAM KAB.TIMOR TENGAH UTARA "TIRTA CENDANA" 12. PDAM KAB.SUMBA BARAT 13. PDAM KAB.FLORES TIMUR 14. PDAM KAB.ROTE NDAO Provinsi DPD PROPINSI (22) SULSELBAR

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. MAMUJU UTARA

2.

PDAM KAB. MAMUJU

3.

PDAM KAB. MAMASA

4.

PDAM KAB. POLEWALI MANDAR

5.

PDAM KAB. BULUKUMBA

6.

PDAM KAB. BANTAENG

7.

PDAM KAB. PINRANG

8.

PDAM KAB. LUWU TIMUR

9.

PDAM KAB. TANA TORAJA

155


10. PDAM KAB. SOPPENG 11. PDAM KAB. SIDRAP 12. PDAM KAB. PANGKEP 13. PDAM KOTA MAKASSAR 14. PDAM KAB. TAKALAR 15. PDAM KAB. MAJENE 16. PDAM KAB. PALOPO 17.

PDAM KAB. BARRU

18. PDAM KAB. LUWU UTARA 19. PDAM KOTA PARE - PARE 20. PDAM KAB. SELAYAR 21. PDAM KAB. WAJO 22. PDAM KAB. MAROS 23. PDAM KAB. SINJAI 24. PDAM KAB. BONE 25. PDAM KAB. ENREKANG 26. PDAM KAB. JENEPONTO 27. PDAM KAB. GOWA Provinsi DPD PROPINSI (23) SULTENG

156

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. BUOL

2.

PDAM KAB. TOJO UNO - UNO

3.

PDAM KOTA PALU

4.

PDAM KAB. BANGGAI KEPULAUAN

5.

PDAM KAB. BANGGAI

6.

PDAM KAB. MOROWALI

7.

PDAM KAB. POSO

8.

PDAM KAB. TOLI -TOLI


9. Provinsi

PDAM KAB. DONGGALA Nama PDAM

DPD No PROPINSI 1. PDAM KAB. BAMBANA (24) SULTRA 2. PDAM KAB. WAKATOBI 3.

PDAM KAB. KONAWE SELATAN

4.

PDAM KAB. KOLAKA UTARA

5.

PDAM KAB. MUNA

6.

PDAM KAB. KONAWE

7.

PDAM KAB. BUTON

8.

PDAM KOTA BAU - BAU

9.

PDAM KAB. KOLAKA

10. PDAM KOTA KENDARI Provinsi DPD PROPINSI (25) GORON TALO

Nama PDAM No 1.

BLU GORONTALO UTARA

2.

PDAM KAB. BONE BOLANGO

3.

PDAM KAB. POHUWATO "TIRTA MALEO"

4.

PDAM KAB.BOALEMO "TIRTA BOALEMO"

5.

PDAM KOTA GORONTALO

6.

PDAM KAB. GORONTALO

Provinsi DPD PROPINSI (26) SULUT

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. TOMOHON

2.

PDAM KAB. SITARO

3.

PDAM KAB. MINAHASA SELATAN

157


4.

PDAM KAB. MINAHASA UTARA

5.

PDAM KAB. TALAUD

6.

PDAM KAB. KEPULAUAN SANGIHE

7.

PT. AIR MANADO

8.

PDAM KOTA BITUNG

9.

PDAM KAB. BOLAANG MONGONDOW

10. PDAM KAB. MINAHASA Provinsi DPD PROPINSI (27) MALUKU

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB.MALUKU TENGAH

2.

PDAM KOTA AMBON

3.

PDAM KAB.MALUKU TENGGARA

Provinsi DPD PROPINSI (28) MALUKU UTARA

158

Nama PDAM No 1.

PDAM KAB. MOROTAI

2.

PDAM KAB. KEP. SULA

3.

PDAM KOTA KEP. TIDORE

4.

PDAM KOTA TERNATE

5.

PDAM KAB. HALMAHERA SELATAN

6.

PDAM KAB. HALMAHERA TIMUR

7.

PDAM KAB. HALMAHERA UTARA

8.

PDAM KAB.HALMAHERA TENGAH

9.

PDAM KAB.HALMAHERA BARAT


Provinsi DPD PROPINSI (29) PAPUA

Nama PDAM 1.

PDAM KAB. KAIMANA

2.

PDAM KAB.MERAUKE

3.

PT. WAR BESRENDI BIAK

4.

PDAM KAB.JAYAPURA

5.

PDAM KAB.NABIRE

6.

PDAM KAB.FAK FAK

7.

PDAM KAB.YAPEN WAROPEN

8.

PDAM KAB.MANOKWARI

9.

PDAM KAB.SORONG

159


Lampiran 2 Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dewan Sda Nasional Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Dewan Sumber Daya Air, Bab IV, Pasal 17 dan Pasal 18. Pasal 17 (1) Susunan organisasi Dewan SDA Nasional terdiri atas: a. Ketua merangkap anggota; b. Ketua Harian merangkap anggota; dan c. Anggota. (2) Ketua Dewan SDA Nasional dijabat oleh menteri koordinator yang membidangi perekonomian. (3) Ketua Harian Dewan SDA Nasional dijabat oleh Menteri. (4) Keanggotaan Dewan SDA Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur-unsur pemerintah dan nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Pasal 18 (1) Keanggotaan Dewan SDA Nasional yang berasal dari unsur Pemerintah meliputi:

a.

Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian;

b.

Menteri/Kepala Badan yang membidangi perencanaan

pembangunan nasional;

c.

Menteri yang membidangi sumber daya air;

d.

Menteri yang membidangi urusan dalam negeri;

e.

Menteri yang membidangi lingkungan hidup;

f.

Menteri yang membidangi pertanian;

g.

Menteri yang membidangi kesehatan;

h.

Menteri yang membidangi kehutanan;

i.

Menteri yang membidangi transportasi;

160


j.

Menteri yang membidangi perindustrian;

k. Menteri yang membidangi energi dan sumber daya mineral;

l.

m. Menteri yang membidangi riset dan teknologi;

n.

Menteri yang membidangi pendidikan nasional;

o.

Kepala Badan yang membidangi meteorologi dan geofisika;

p. Kepala Lembaga yang membidangi ilmu pengetahuan; dan

q.

Menteri yang membidangi kelautan dan perikanan;

Perwakilan pemerintah daerah.

(2) Perwakilan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q terdiri atas:

a.

2 (dua) orang gubernur yang mewakili wilayah Indonesia bagian barat;

b. 2 (dua) orang gubernur yang mewakili wilayah Indonesia bagian tengah; dan

c.

2 (dua) orang gubernur yang mewakili wilayah Indonesia bagian timur.

(3) Pemilihan dan pengangkatan perwakilan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q dilakukan oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian selaku Ketua Dewan SDA Nasional berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri. (4) Keanggotaan gubernur dalam perwakilan pemerintah daerah s e b a g aim ana dim ak su d p a d a ay at (2) di te t ap k an secarabergantian untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. (5) Keanggotaan Dewan SDA Nasional yang berasal dari unsur nonpemerintah pada tingkat nasional dapat terdiri atas unsurunsur:

a.

Organisasi/asosiasi pengguna air untuk pertanian;

b.

Organisasi/asosiasi pengusaha air minum;

161


c.

d. Organisasi/asosiasi pengguna air untuk perikanan;

e.

Organisasi/asosiasi konservasi sumber daya air;

f.

Organisasi/asosiasi pengguna sumber daya air untuk energi listrik;

g. Organisasi/asosiasi pengguna sumber daya air untuk transportasi;

h. Organisasi/asosiasi pengguna sumber daya air untuk pariwisata/olah raga;

i.

Organisasi/asosiasi pengguna sumber daya air untuk pertambangan;

j.

Organisasi/asosiasi pengusaha bidang kehutanan; dan

k.

Organisasi/asosiasi pengendali daya rusak air.

162

Organisasi/asosiasi industri pengguna air;


Lampiran 3 Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Saat ini sudah terbentuk 17 TKPSDA Wilayah Sungai (WS) Strategis Nasional, 15 WS Lintas Propinsi, dan 3 WS Lintas Kabupaten/ Kota. http://dsdan.go.id/index.php?option=com_content&view=section& id=8&Itemid=79 Kategori Wilayah Sungai Nama Wilayah Sungai TKPSDA WS Strategis Nasional

No 1

Wilayah Sungai Jambo Aye

2

Wilayah Sungai Jratunseluna

3

Wilayah Sungai Serayu - Bogowonto

4

Wilayah Sungai Brantas

5

Wilayah Sungai Pulau Lombok

6

Wilayah Sungai Aesesa

7

Wilayah Sungai Akuaman

8

Wilayah Sungai Jeneberang

9

Wilayah Sungai Paguyaman

10

Wilayah Sungai Seputih Sekampung

11

Wilayah Sungai Sangihe Talaud

12

Wilayah Sungai Tondano Likupang

13

Wilayah Sungai Bali - Penida

14

Wilayah Sungai Toba - Asahan

15

Wilayah Sungai Belawan - Ular Padang

16

Wilayah Sungai Walanae - Cenranae

17

Wilayah Sungai Kapuas

163


Kategori Wilayah Sungai

Nama Wilayah Sungai

TKPSDA WS Lintas Propinsi No 1

W ilayah Sungai Ciliw ung Cisadane

2

Wilayah Sungai Lasolo-Sampara

3

Wilayah Sungai Musi

4

Wilayah Sungai Pompengan Larona

5

Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung

6

Wilayah Sungai Progo - Opak Serang

7

Wilayah Sungai Bengawan Solo

8

Wilayah Sungai Citanduy

9

Wilayah Sungai Mesuji Tulang Bawang

10

Wilayah Sungai Teramang Ipuh

11

Wilayah Sungai Batanghari

12

Wilayah Sungai Saddang

13

W i l ay a h Su n g a i L i m b o to Bolango-Bone

14

Wilayah Sungai Randangan

15

Wilayah Sungai Palu Lariang

Kategori Wilayah Sungai

Nama Wilayah Sungai

TKPSDA WS Lintas Kab/ No Kota 1

164

W i l ay a h S u n g a i Pe k a l e n Sampean

2

Wilayah Sungai Bodri Kuto

3

Wilayah Sungai Pemali – Comal


TENTANG PENULIS DAN KONTRIBUTOR Rita Mustikasari Koordinator Program Air (2008-2012), Telapak Bogor, Indonesia ritamustikasari@gmail.com. Gelar Master dari Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2005; dan Gelar Sarjana Kehutanan (Shut) dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1994. Menjadi peneliti muda dalam bidang Hasil Hutan Bukan Kayu di CIFOR (Center for International Forestry Research Organisation) Bogor, 1995-2002. Menghabiskan waktu satu tahun magang sebagai Indonesian Liason Officer di World Forest Institute di Portland, Oregon, Amerika Serikat tahun 1994-1995. Pada Juli 2010 menerima penghargaan Joke Waller Hunter Initiative (http://www.jwhinitiative.org) untuk program “Leadership Development of Environmental Leaders from the South�. Aktif dalam kegiatan Komunitas Peduli Tjiliwoeng (KPC) (http://www.tjiliwoeng. blogspotcom) Bogor untuk mewujudkan mimpi indah Sungai Ciliwung melalui gerakan sukarela ala komunitas. Kontributor Rob Koudstaal (wilrob2@gmail.com) Rob Koudstaal memiliki latar belakang teknik sipil. Beliau pensiun dari pengalaman panjangnya sebagai seorang konsultan perencanaan pengelolaan air terpadu dan pengelolaan kawasan pantai di banyak tempat di dunia. Sejak 2005 terlibat dalam proyek internasional untuk mengembangkan pendekatan aplikatif untuk konsep Pendekatan Negosiasi (NA) menuju Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM). Termasuk di dalamnya pengembangan kapasitas beberapa LSM di Indonesia dan beberapa negara di Latin Amerika yang mengembangkan konsep NA, dalam usahanya melibatkan kelompok pengguna air lokal dan komunitas masyarakat sipil lainnya dalam

165


pembuatan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan air di wilayahnya. TENTANG TELAPAK Telapak merupakan asosiasi dari aktivis LSM, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, dan pemimpin masyarakat adat. Telapak bekerja bersama petani dan nelayan untuk menuju Indonesia yang berdaulat, berkerakyatan, dan lestari. Telapak mampu melakukan berbagai aktivitasnya melalui koperasi, perusahaan berbasis masyarakat dalam percetakan, media massa, pertanian organik, dan pengelolaan hutan serta laut secara lestari. Misi Telapak adalah untuk mempengaruhi kebijakan yang berhubungan dengan konservasi, untuk membangun dan mengembangkan pengelolaan sumber daya alam yang dikelola oleh masyarakat lokal, dan menghentikan kerusakan ekosistem yang merugikan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah dengan sumber daya alam yang kaya. Email: info@telapak.org Website: www.telapak.org www.air.telapak.org

166


167


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.