Inspirasi sabtu, 16 november 2013 | HALAMAN 16
Cornelia Agatha
“Detik Terakhir” yang tak Terlupakan Dari sekian banyak film yang diperankan, “Detik Terakhir” merupakan film yang akan selalu dikenang Cornelia Agatha. Setelah membaca novel berjudul “Jangan Beri Saya Narkoba”, ia punya mimpi bisa bermain dalam film yang mengangkat tema seperti novel yang ia baca tersebut. Fian Roger
S
OSOK Cornelia Agatha merupakan aktris populer di dunia showbiz Indonesia. Namanya melejit lewat perannya sebagai Sarah, dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolahan.” Dalam sinetron berseting budaya Betawi urban itu, dia memerankan gadis Jakarta kaya raya yang berhasil meluluhkan hati si Doel yang diperankan Rano Karno. Namun sebenarnya, Lia -- sapaan karibnya-- sudah memulai karir di dunia seni peran sejak kelas V SD pada sandiwara di TVRI. Mulai saat itu ia sering tampil di layar kaca. Tak hanya itu,
karir sebagai model juga dimulai sejak belia. Wajah cantiknya menghiasi cover aneka majalah remaja kala itu. “Awalnya tampil di Sandiwara TVRI dan menjadi model majalah remaja. Kemudian, di usia remaja mulai main film,” tutur aktris kelahiran Jakarta, 11 Januari 1973 saat berbincangbincang dengan VN, Jumat (15/11) di Kupang. Ia menuturkan, ketika ia masuk ke dunia film, perfilman Indonesia mati suri kala itu. Ia tampil pertama kali di layar lebar dalam film Lupus. Saat Film Indonesia mandek berproduksi, Lia pun berakting di dunia sinetron. Totalitasnya di dunia seni
Nama & Peristiwa
Kaji Ulang Otonomi Daerah PELAKSANAAN otonomi daerah perlu dikaji ulang agar tidak terjadi kebablasan yang melwmpaui pemerintahan di atasnya bahkan pemerintahan pusat. Permintaan tersebut disampaikan oleh Walikota Surakarta FX Hadi Rudiyatmo saat menerima FX Hadi Rudiyatmo kunjungan pimpinan Maistimewa jelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke Surakarta, Jumat, (15/11). “Untuk menjaga keutuhan NKRI maka tinjau kembali UU otonomi daerah”,kata Hadi. Selanjutnya Hadi mengatakan pemimpin daerah saat ini cenderung melangkahi pemerintahan di atasnya sehingga tidak ada harmonisasi antara pemerintah yang berada di atasnya maupun yang di bawahnya. “Merasa mempunyai Sumber Daya Alam yang banyak di daerahnya sehinga suka melawan atasan dibawahnya seperti gubernur apalagi presiden,” tutur Hadi. Pelaksanaan otonomi daerah saat ini diinali kebablasan. Ia juga mencontohkan banyaknya pemekaran daerah otonom baru banyak yang tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah. “Kalau otonomi daerah kebablasan dimana keutuhan NKRI, jika mempunyai sumber daya alam yang mumpuni , daerah semaunya bergerak sendiri”, ungkapnya. Kemudian dia mencontohkan banyak daerah -daerah di Indonesia yang tidak berpegang pada Pancasila dalam menetapkan perda,” ujarnya. (mi/M-1)
peran rupanya tidak sesuai dengan pilihan sekolahnya di Institut Kesenian Jakarta. “Passion saya memang di dunia seni, makanya di IKJ belajar seni rupa (seni desain). Padahal dalam waktu yang sama saya melamar untuk belajar hukum,” tutur Lia. Kecintaan Lia pada seni peran rupanya tumbuh secara otodidak dan dipengaruhi olah orang tuanya Dave Maramis dan Erry Yudha Asri yang berkecimpung dalam dunia produksi film dan teater. Lia menuturkan dari sekian film yang ia perankan, “Detik Terakhir” merupakan film yang selalu akan ia kenang. “Film itu berawal dari mimpi dan harapan saya. Waktu itu saya membaca novel “Jangan Beri Saya Narkoba.” Waktu itu, saya punya harapan besar untuk bisa bermain dalam film yang mengangkat tema seperti novel itu. Tahun demi tahun berjalan akhirnya bisa bermain di film itu. Lia mengaku, ia sendiri terlibat dalam penyusunan naskah film itu bersama Albertine Endah dan Twen Tyawal. Masukan-masukan Lia akhirnya dapat tertuang dalam film yang disutradarai Nanang Istiabudi itu. Dalam film itu ia berperan sebagai Regi, gadis dari keluarga berantakan, pemakai narkoba dan lesbian. Meski menampilkan ragam lakon vulgar seperti berciuman dengan sesama jenis, tapi itu cukup diapresiasi khalayak karena pesan moralnya kuat yakni bagaimana menyelamatkan kaum muda dari bahaya Narkoba. “Perjuangan panjang di Detik Terakhir ternyata tidak sia-sia. Saya bisa memainkan banyak karakter dan penjiwaan seperti masturbasi, memakai narkoba dan lesbian. Adegan yang umumnya dianggap tabu. Tetapi karena digarap dengan professional dan sarat pesan moral,
film itu tidak dianggap film esek-esek,” lanjutnya. Film itu mendapat apresiasi dari pencinta dan kritikus Film Indonesia. Totalitas acting Lia kemudian mendapat sejumlah apresiasi di antaranya Aktris Terpuji Forum Film Bandung (FFB) 2002 dalam perannya di sinetron “Perempuan Pilihan.” Nominasi-nominasi yang pernah disandang Lia di antaranya, Aktris Terbaik FFI 1992 (film Rini Tomboy), Aktris terbaik FFI 2005 (Detik Terakhir) dan Aktris terbaik piala Vidia 2004.
lum banyak yang digandrungi masyarakat ini, Lia menemukan kepekaan pada bakat-bakat yang ia miliki. “Saya menemukan kelebihan dan kekurangan yang tidak ditemukan selama di film. Saya juga lebih menghargai orang lain dan pekerjaan. Di teater, fisik dan mental digembleng. Interaksi kita dengan diri sendiri, orang lain dan ling-
Cinta Teater
Dari sederet peran pada ragam film layar lebar, sinetron, iklan sampai dunia modeling, ternyata ibu dari Makayla dan Tristan ini lebih mencintai dunia teater. Mantan istri Sony Lawani ini mengaku sudah belajar teater sejak 1995 dan sekarang aktif berpentas di Teater Koma Jakarta. Di dunia teater Lia mendapat banyak pelajaran hidup. “Saya lebih suka teater ketimbang film. Di teater, saya menemukan kenikmatan berlimpah. Spirit penonton memacu semangat saya untuk bermain. Kelebihan teater adalah persatuan di antara para pemain lebih kuat dibandingkan pada sinetron kejar tayang,”ungkapnya. Dengan proses panjang yang berbulan-bulan bahkan setahun, Teater membantunya memiliki kepekaan sebagai aktris. Di dunia seni peran yang be-
istimewa
Biodata: NAMA : Cornelia Agatha TTL : Jakarta 11 Januari 1973 ORANGTUA : Dave Maramis dan Erry Yudha Asri FILMOGRAFI : Lupus I, Elegi buat Nana, Rini Tomboy, Detik Terakhir, Ariel dan Raja Langit dan Jatuh Cinta Lagi TEATER : Bayi di Aliran Sungai, Saijah dan Adinda (2001), Menembus Ruang dan Waktu (2002), Wisenggeni Berkelebat (2002) dan Dari Negeri Cinta (2002)
kungan pun diasah.” Menurut Lia, perkembangan teater di Indonesia sudah agak membaik dalam beberapa waktu terakhir. Namun, belum banyak orang yang tertarik untuk mendukung seni teater. Fasilitas gedung teater di tanah airpun belum banyak yang memiliki standar sebagai gedung pertunjukan yang memadai. Dalam usia yang menginjak kepala empat, pesona Lia rupanya belum pudar dan tetap eksis di dunia showbiz Indonesia. Wanita berdarah Jawa, Manado, Belanda, Jerman dan Yahudi ini mengaku dunia showbiz memang menuntut inovasi jika ingin terus berkarir. Pemberitaan–pemberitaan miring seputar kehidupan privasinya sebagai artis beberapa waktu lalu diamininya sebagai risiko menjadi aktris. “Tiap orang punya persoalan masing-masing ya. Dan menurut saya, saya telah kehilangan beberapa kebahagiaan dalam hidup saya. Tetapi ada kebahagiaankebahagiaan lain y a n g s ay a p e r l u bagikan untuk sesama. Saya tidak mau g a ra - g a ra p u ny a masalah berat, saya lupa tugas untuk menjadi berkat bagi sesama,”katanya. Te r p a a n b e r i t a miring ia tanggapi dengan tiga hal, yakni menjadi smart, bijak dan tenang dalam persoalan apapun. Menurut Lia, ia sadar kapan harus muncul ke publik dan kapan
harus diam karena tidak semua hal dari kehidupan pribadinya bisa dibuka ke media massa. “Omong di media itu harus pintar-pintar memilih apa yang harus diungkapkan,”tambahnya. Saat ini Lia cukup kerasan berada di dunia teater. Di sisi lain ia mengaku rajin membaca, menulis puisi dan membina sebuah band Puisi bergenre jazz dan hiphop. Jadi, ada kolaborasi antara puisi, tarian, musik dan teater. Untuk bisa bertahan di tengah persaingan dunia showbiz memang membutuhkan inovasi. “Tak perlu sensasional lah, semua harus dari karya. Nomor satu, tidak semua hal bisa diukur dengan uang. Pertanggungjawaban terhadap diri dan dedikasi terhadap karya itu yang penting,” ungkap peraih Penghargaan Indonesian Movie Awards kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik ini. Belakangan ini ia mengaku rindu sekolah. Sebab, ia rupanya sangat menggandrungi ilmu psikologi, seni dan hukum. Meski memiliki hasrat yang besar dalam dunia seni peran, Lia ingin suatu saat ia menjadi pengacara (lawyer). Sebenarnya dulu, ia sudah memilih kuliah hukum, tetapi rupanya Institut Kesenian Jakarta lebih menawan hati. “Saya rindu kuliah, rindu sekolah. Mudah-mudahan bisa menjadi lawyer suatu saat nanti,” pungkasnya sembari tersenyum manja. Lia berada dua hari di Kota Kupang untuk membacakan puisi dalam teater CRASH. Sebuah pementasan yang dipelopori Carnaval Art Kupang bertema HIV-AIDS. Ia mengaku senang berada di Kupang yang dianggapnya sepi dan cukup enak berkendara sepeda motor. “Kota ini sepi ya. Orang-orangnya juga ramah dan spontan.” (M-1)