JAKARTA SEA WALL, JOSH HANER, 2017
ABSTRACT
ABSTRAK
1 INTRODUCTION 1.1 ENVIRONMENTAL CONTEXT 1.2 SOCIETAL CONTEXT 1.3 HEALTHCARE CONTEXT 1.3.1 EMERGENCY SCENARIO 1.3.2 HEALTHCARE INTERVIEW
1. PERKENALAN 1.1 KONTEKS LINGKUNGAN 1.2 KONTEKS SOSIAL 1.3 KONTEKS PERAWATAN KESEHATAN 1.3.1 SKENARIO DARURAT 1.3.2 WAWANCARA KESEHATAN
2 OBJECTIVE 2.1 PROPOSAL 2.2 METHODOLOGY & LIMITATION
2
3 INTERVENTION 3.1 NORTH JAKARTA FACTS 3.1.1 URBAN DENSITY SLUM FACTS 3.1.2 HEALTHCARE ACCESS FACTS 3.1.3 OPEN SPACE & EVACUATION 3.2 HEALTHCARE PLANNING 3.2.1 STRATEGIC PLANNING LAYOUT 3.2.2 CONCEPTUAL INTERVENTION
3 INTERVENSI 3.1 FAKTA JAKARTA UTARA 3.1.1 KEPADATAN PERKOTAAN FAKTA DAERAH KUMUH 3.1.2 FAKTA AKSES PERAWATAN KESEHATAN 3.1.3 RUANG TERBUKA & EVAKUASI 3.2 PERENCANAAN KESEHATAN 3.2.1 TATA LETAK PERENCANAAN STRATEGIS 3.2.2 INTERVENSI KONSEPTUAL
4 COLLABORATION 4.1 THE CONCERNED AGENCIES 4.2 INTERDISCIPLINARY COLLABORATION
4
CONCLUSION
KESIMPULAN
REFERENCE
REFERENSI
TUJUAN 2.1 PROPOSAL 2.2 METODOLOGI & PEMBATASAN
KOLABORASI 4.1 BADAN TERKAIT 4.2 KOLABORASI INTERDISIPLINER
JAKARTA FLOOD, JOSH HANER, 2017
ABSTRACT
T
he main objective of this project is to plan community-based healthcare interventions for the north Jakarta edge. Proposed intervention would be managed by local healthcare cooperatives and humanitarian-aid non-governmental organizations. My aim is to introduce primary care and emergency response among vulnerable communities in anticipation of growing environmental and social challenges. In 2020, coronavirus has raised the need for a new system. The deficiency of Jakarta healthcare provision and exposed crucial considerations into daily healthcare design. As the infection is spreading, it is unrealistic for urban plan to get obvious improvement in such a short period. Nonetheless, an emergency plan should be put in place, with a focus on primary care. The thesis is going to reference a pilot study on emergency responses of community healthcare. The design is taking informal settlements in north Jakarta as the planning case to articulatehow public healthcare distributions could integrate with the dense urban planning, how healthcare could be arranged to cope with emergencies in vulnerable communities. Vitally, this project is inviting community members to interact with their dwelling territory and therapeutic aid professionals, local government and humanitarian agencies can work in similar contexts.
ABSTRAK
T
ujuan utama dari proyek ini adalah untuk merencanakan intervensi perawatan kesehatan berbasis komunitas untuk tepi utara Jakarta. Intervensi yang diusulkan akan dikelola oleh koperasi perawatan kesehatan lokal dan organisasi non-pemerintah bantuan kemanusiaan. Tujuan saya adalah untuk memperkenalkan perawatan primer dan tanggap darurat di antara komunitas yang rentan dalam mengantisipasi tantangan lingkungan dan sosial yang semakin meningkat. Pada tahun 2020, virus corona telah meningkatkan kebutuhan akan sistem baru. Kekurangan penyediaan layanan kesehatan di Jakarta dan menyebabkan pertimbangan penting ke dalam desain perawatan kesehatan sehari-hari. Ketika infeksi menyebar, tidak realistis bagi rencana kota untuk mendapatkan perbaikan yang nyata dalam waktu yang singkat. Meskipun demikian, rencana darurat harus dibuat, dengan fokus pada perawatan primer. Tesis ini akan merujuk pada studi percontohan tentang tanggap darurat perawatan kesehatan komunitas. Rancangannya mengambil permukiman informal di Jakarta utara sebagai kasus perencanaan untuk mengartikulasikan - bagaimana distribusi layanan kesehatan publik dapat diintegrasikan dengan perencanaan kota yang padat, bagaimana layanan kesehatan dapat diatur untuk mengatasi keadaan darurat di komunitas yang rentan. Yang terpenting, proyek ini mengundang anggota masyarakat untuk berinteraksi dengan wilayah tempat tinggal mereka dan para profesional bantuan terapeutik, pemerintah daerah dan lembaga kemanusiaan dapat bekerja dalam konteks yang serupa.
1 INTRODUCTION 1.1 ENVIRONMENTAL CONTEXT
JAKARTA FLOOD, JOSH HANER, 2017
I
ndonesia, the archipelago country; Jakarta, home to 10 million people, the most populous (among the world), wealthiest (among the country) city but the most complex, fragile developing capital, always has to face enormous potential disasters such as earthquakes, tsunamis, inundations and other catastrophes occurred by slow violence etc. In 2013, a national project called The Great Garuda has been promoted by the government and national, international investment companies to address the flooding and sinking facts in DKI Jakarta. However, this project is not efficiently working at the societal level, in particular to the poverty-stricken hierarchy. Such rapid urbanization requires ancillary redevelopment, specifically planned upon the shoreline villages (RW’s Kumuh). The indigenous residents were greatly affected by forced evictions and inevitable devastations on their living and working environment. Though the upgrading movement is inescapable for Jakarta, the constructions are prioritizing to the wealthy. Thus, the coastal living condition is in urgent needs to be redefined.
JAKARTA FLOODING FACTORY, JOSH HANER, 2017
1 PERKENALAN 1.1 KONTEKS LINGKUNGAN
GIANT SEA WALL JAKARTA, GREAT GARUDA RENDERING
I
ndonesia, negara kepulauan; Jakarta, rumah bagi 10 juta orang, kota terpadat (di antara dunia), terkaya (di antara negara) tetapi ibu kota berkembang yang paling kompleks dan rapuh, selalu menghadapi potensi bencana yang sangat besar seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan bencana lainnya. terjadi oleh kekerasan lambat dll. Pada tahun 2013, sebuah proyek nasional bernama The Great Garuda telah digalakkan oleh pemerintah dan perusahaan investasi nasional maupun internasional untuk mengatasi fakta banjir dan tenggelam di DKI Jakarta. Namun, proyek ini tidak bekerja secara efisien di tingkat masyarakat, khususnya di tingkat yang dilanda kemiskinan. Urbanisasi yang cepat seperti itu membutuhkan pembangunan kembali tambahan, yang secara khusus direncanakan di desa-desa tepi pantai (RW Kumuh). Penduduk asli sangat terpengaruh oleh penggusuran paksa dan kerusakan yang tak terhindarkan pada lingkungan hidup dan kerja mereka.
LAND RECLAMATION PROJECT IN JAKARTA BAY, REUTERS, 2016
Meski gerakan penataran tak bisa dihindari di Jakarta, pembangunannya mengutamakan orang kaya. Dengan demikian, kondisi kehidupan pesisir menjadi kebutuhan yang mendesak untuk didefinisikan ulang.
VIEW OF FISHER SETTLEMENT, JORGEN DOYLE, HANNAH EKIN, IRWAN AHMETT AND TITA SALINA, 2018
1.2 SOCIETAL CONTEXT
T
hese razed areas once were called informal settlements, the evicted inhabitants were mostly migrant workers. The initial settlements were generally constructed by informal sectors where the most affected group could not afford physically and economically healthier lives. According to a sample profile “informal settlement mapping output” by Cities Alliance1 based on the statistic by BPS Jakarta Office (Badan Pusat Statistik, Central Bureau of Statistics)2 in North Jakarta: 1) Penjaringan (12/130) and Lagoa (12/130) have the greatest number of slums; 2) Penjaringan (473.01ha) and Suka Pura (497.76ha) have the largest area of slum neighbourhoods; 3) Penjaringan (82,283) and Pademangan Barat (60,617) have the most population; 4) Pademangan Barat (603pop/ha) has the densest population; 5) 16 neighbourhoods are located along the coast, 58 are under high building density. The coastal kampungs (“kampung” means “village” in Indonesian) have a long history of settling, Kampung Akuarium has been taken as the case to articulate a political eviction in Penjaringan subdistrict, 2016.
1.2 KONTEKS SOSIAL
Kampung Akuarium is situated on Jakarta Bay, encompassed by Sunda Kelapa (the port) in the estuarine of Ciliwung River which embraced with rich profitable cultural and natural resources once. Since the 1980s, after the relocation of the Indonesian Institution of Science, the migrant workers have started settling. However, the residents were evicted in 2016 by previous Governor Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, a business politician) who has ordered to tear this kampung down for new economic service-oriented construction. Most indigenous have to move 4-hour or farther away for governmental resettlements, whereas some resisted leaving, remaining in tents, shelters on the ruins without choice. 2017, during Jakarta gubernatorial election, the campaign of Jakarta current Governor Anies Baswedan has promised to rebuild this village, comprehending original residence. It seems to the indigenous that the political redevelopment decision presented the hope for Kampung Akuarium and nearby slums to access relatively fair living conditions. Currently, the remaining are arranged in temporary communal plywood housing on-site while the redevelopment is planning and taking place next to their “homes”.
D
aerah-daerah yang diratakan ini dulu disebut pemukiman informal, penduduk yang digusur sebagian besar adalah buruh migran. Permukiman awal umumnya dibangun oleh sektor informal di mana kelompok yang paling terdampak tidak mampu membiayai kehidupan yang lebih sehat secara fisik dan ekonomi. Berdasarkan contoh profil “keluaran pemetaan permukiman informal” oleh Cities Alliance berdasarkan statistik BPS Jakarta (Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik) di Jakarta Utara: 1) Penjaringan (12/130) dan Lagoa (12/130) memiliki jumlah permukiman kumuh terbesar; 2) Penjaringan (473.01ha) dan Suka Pura (497.76ha) memiliki kawasan permukiman kumuh terluas; 3) Penjaringan (82.283) dan Pademangan Barat (60.617) memiliki populasi terbanyak; 4) Pademangan Barat (603pop / ha) memiliki populasi terpadat; 5) 16 lingkungan terletak di sepanjang pantai, 58 di bawah kepadatan bangunan tinggi. Kampung pesisir (“kampung” dalam bahasa Indonesia berarti “kampung”) memiliki sejarah pemukiman yang panjang, Kampung Akuarium dijadikan sebagai kasus untuk mengartikulasikan penggusuran politik di Kecamatan Penjaringan, 2016.
Kampung Akuarium terletak di Teluk Jakarta, dikelilingi oleh Sunda Kelapa (pelabuhan) di muara Sungai Ciliwung yang dulunya memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam yang kaya. Sejak 1980-an, pasca relokasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, para pekerja migran mulai menetap. Namun, penduduk digusur pada tahun 2016 oleh Gubernur Ahok sebelumnya (Basuki Tjahaja Purnama, seorang politikus bisnis) yang memerintahkan pembongkaran kampung ini untuk pembangunan berorientasi layanan ekonomi baru. Sebagian besar penduduk asli harus pindah 4 jam atau lebih jauh untuk pemukiman kembali pemerintah, sedangkan beberapa menolak untuk pergi, tetap di tenda, berlindung di reruntuhan tanpa pilihan. Tahun 2017, saat Pilgub DKI Jakarta, kampanye Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji untuk membangun kembali desa ini, memahami tempat tinggal aslinya. Bagi masyarakat adat, keputusan pembangunan kembali politik memberikan harapan bagi Kampung Akuarium dan daerah kumuh di sekitarnya untuk mengakses kondisi kehidupan yang relatif adil. Saat ini, sisanya diatur di perumahan kayu lapis komunal sementara di lokasi sementara pembangunan kembali sedang direncanakan dan berlangsung di sebelah "rumah" mereka.
MAP OF KAMPUNG AKUARIUM, SOURCE: GOOGLE MAP
TOPAZ, RIGHT, AND HIS MOTHER, ASMAWATI, KAMPUNG AKUARIUM, JOSH HANER, 2017
CROWDS GATHER TO RECEIVE AID, MUHAMMAD FADLI, 2020
1.3 HEALTHCARE CONTEXT
1.3 KONTEKS PERAWATAN KESEHATAN
1.3.1 EMERGENCY SCENARIO
1.3.1 SKENARIO DARURAT
T
he living quality inside the kampungs is cruel for prevention, quarantine and recovery during the coronavirus outbreak since the residents are living in cramped, adjoined houses with shared toilets. “Every house in coastal slum areas is inhabited by an average of one to two families (households). The average number of household members in each house is about 4-6 people. Most houses have an area of 20-60 square meters. The extent of the house and the number of people living inside it shows the number of densities in the house.�3 Through online news and dialogues with health-concerned workers, it is controversial that the national-scale social restrictions (PSBB) have reshaped regular circulations to curb the virus spreading and minimize its impact, however, it resulted in hampering social aid distribution to the most vulnerable populations because many blue-collar workers (the main component occupation type in Jakarta) cannot work from home, nor can they afford to take time off or budget. In the meantime, restricting mobility becomes harder in such a social setting. Human-to-human transmission potentially gets faster, the residents might not be either under restricted management or able to access necessity provision goods while having no professions to rely on.
The difficulties in accessing medical service upon vulnerable kampungs is not a just emerging issue in Jakarta. Limited healthcare resources are prioritized target the wealthy. The scarcity situation calls for more healthcare units to maximum the bearing capacity in such primary type of habitation. There should be practical and obligated understandings on improving social and environmental vibe, for instance, reform infrastructure in the compact dwelling for intervening healthcare access. Moreover, it is potential to evaluate the flexible open spaces or designated evacuation sites around kampungs for better integration with healthcare resources and emergency response.
KAMPUNG LOCKDOWN, MUHAMMAD FADLI, 2020
K
ualitas hidup di dalam kampung sangat kejam untuk pencegahan, karantina, dan pemulihan selama wabah virus korona karena penduduk tinggal di rumah sempit dan bersebelahan dengan toilet bersama. “Setiap rumah di kawasan kumuh pesisir dihuni rata-rata satu hingga dua KK (KK). Jumlah rata-rata anggota rumah tangga di setiap rumah sekitar 4-6 orang. Kebanyakan rumah memiliki luas 20-60 meter persegi. Luas rumah dan jumlah orang yang tinggal di dalamnya menunjukkan jumlah kepadatan di dalam rumah. " Melalui berita dan dialog online dengan petugas kesehatan, kontroversial bahwa pembatasan sosial skala nasional (PSBB) telah membentuk kembali peredaran reguler untuk mengekang penyebaran virus dan meminimalkan dampaknya, namun hal itu mengakibatkan terhambatnya distribusi bantuan sosial secara maksimal. populasi rentan karena banyak pekerja kerah biru (jenis pekerjaan komponen utama di Jakarta) tidak dapat bekerja dari rumah, juga tidak mampu untuk mengambil cuti atau menganggarkan dana. Sementara itu, pembatasan mobilitas menjadi lebih sulit dalam lingkungan sosial seperti itu. Penularan dari manusia ke manusia berpotensi semakin cepat, penduduk mungkin tidak berada di bawah pengelolaan terbatas atau tidak dapat mengakses barang kebutuhan sehari-hari tanpa memiliki
profesi yang dapat diandalkan. Kesulitan dalam mengakses layanan medis di kampung-kampung yang rentan bukan hanya masalah yang muncul di Jakarta. Sumber daya kesehatan yang terbatas diprioritaskan menyasar orang kaya. Situasi kelangkaan membutuhkan lebih banyak unit perawatan kesehatan untuk memaksimalkan daya dukung di jenis tempat tinggal utama tersebut. Harus ada pemahaman praktis dan wajib untuk meningkatkan getaran sosial dan lingkungan, misalnya, mereformasi infrastruktur di hunian kompak untuk mengintervensi akses perawatan kesehatan. Selain itu, terdapat potensi untuk mengevaluasi ruang terbuka yang fleksibel atau lokasi evakuasi yang ditentukan di sekitar kampung untuk integrasi yang lebih baik dengan sumber daya perawatan kesehatan dan tanggap darurat.
KAMPUNG LOCKDOWN, MUHAMMAD FADLI, 2020
1.3.2 HEALTHCARE INTERVIEW
1.3.2 WAWANCARA KESEHATAN
I
D
t is my pleasure to have Dr Maria as my interviewee to set up the core understanding of healthcare and emergency scheme in Jakarta through humanitarian and therapeutic perspectives. Maria Guevara, the Senior Operational Positioning and Advocacy Advisor, the Senior Coordinator for Attacks on Healthcare (2018) and the Regional Humanitarian Representative in Asia (2012-2017) for Médecins Sans Frontières. She served as a member of the Advisory Group of Reform of WHO’s Work in Outbreaks and Emergencies with Health and Humanitarian Consequences (2015-2016). Her work experience in the humanitarian sector began with MSF in 2004 in various field roles in Liberia, Guatemala, Haiti, DRC, Nigeria, Myanmar, Philippines, Indonesia, Malaysia, and South Sudan in both emergency and stable settings. She is the co-founder of MSF Indonesia. Currently, her focus is on Global Health, Response in Emergencies and Planetary Health. The main purpose of this interview is to discuss the methods of improving the medical “diagnose” process among coastal kampungs in theory based on her working experience and my previous research. The interview excerpt is concentrating on the uncertain and unavailable elements and humanitarian obligation statement.
JAKARTA SEA WALL, JOSH HANER, 2017
engan senang hati saya menerima Dr Maria sebagai orang yang saya wawancarai untuk menyiapkan pemahaman inti tentang perawatan kesehatan dan skema darurat di Jakarta melalui perspektif kemanusiaan dan terapeutik. Maria Guevara, Senior Operational Positioning and Advocacy Advisor, Senior Coordinator for Attacks on Healthcare (2018) dan Regional Humanitarian Representative in Asia (2012-2017) untuk Médecins Sans Frontières. Dia menjabat sebagai anggota Kelompok Penasihat Reformasi Pekerjaan WHO dalam Wabah dan Keadaan Darurat dengan Konsekuensi Kesehatan dan Kemanusiaan (2015-2016). Pengalaman kerjanya di sektor kemanusiaan dimulai dengan MSF pada tahun 2004 di berbagai peran lapangan di Liberia, Guatemala, Haiti, DRC, Nigeria, Myanmar, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Sudan Selatan dalam keadaan darurat dan stabil. Dia adalah salah satu pendiri MSF Indonesia. Saat ini, fokusnya adalah pada Kesehatan Global, Respon dalam Keadaan Darurat dan Kesehatan Planet. Tujuan utama dari wawancara ini adalah untuk mendiskusikan metode perbaikan proses “diagnosa” medis di kampung pesisir secara teori berdasarkan pengalaman kerjanya dan penelitian saya sebelumnya. Kutipan wawancara berkonsentrasi pada unsur-unsur yang tidak pasti dan tidak tersedia serta pernyataan kewajiban kemanusiaan.
Interviewee Dr Maria Guevara, hereinafter referred to as MD. Interviewer Yutong Wu, hereinafter referred to as YW. The interview is a verbal conversation held through Google Hangout and recorded. YW: From my research, I understand that the slums in Jakarta are mostly informal migration settlements. Some residents even do not have valid IDs or when being evicted, their IDs are frozen. Under this situation, could you indicate what systematic healthcare services they could access or able to afford? MD: In general, there are three access: the national healthcare system, the private sectors and the provision facilities, such as the religious Islamic support system- the Muhammadiyah which do focus on the vulnerable populations. When looking at the city map of Jakarta, the hygiene structure in the street is good. One of the main challenges of access is the coverage, though they have an incredible system try to populate the most, it is hard to reach the most vulnerable physically. Additionally, the migrants are not all from Indonesia, they might think it is economically more viable in Jakarta, however, it is not always the case. They are mostly asylum seekers, not be labelled as they have come from different regions, so they tend to hide. For those who have refugee status, they might be covered under
UNHCR etc., but even that is not complete. The medical access is- if you could afford it, then you can get it. However, many of them do not have money necessarily. It is cheaper with informal dealers than consulting, paying for the consultation then having been identified. In general, buyers should know what they are asking, the scenario is like, “I got a fever, so I got to ask for Paracetamol”, but they are never going to know why they caught a fever. So, it is not only they do not have access to pharmaceutical services, once they cannot afford, they hide, they will enforce the informal access rather than the formal. And there is not enough for sure. There are not enough supplies as there is a ranking priority for the limited resources which makes the invisible population are even not been counted.
Orang yang diwawancarai Dr Maria Guevara, selanjutnya disebut MD. Pewawancara Yutong Wu yang selanjutnya disebut YW. Wawancara adalah percakapan verbal yang diadakan melalui Google Hangout dan direkam. YW: Dari penelitian saya, saya memahami bahwa permukiman kumuh di Jakarta sebagian besar merupakan pemukiman migrasi informal. Beberapa penghuni bahkan tidak memiliki KTP yang masih berlaku atau saat digusur KTP-nya dibekukan. Dalam situasi ini, dapatkah Anda menunjukkan layanan perawatan kesehatan sistematis apa yang dapat mereka akses atau mampu mereka beli? MD: Secara umum ada tiga akses: sistem kesehatan nasional, sektor swasta dan fasilitas penyediaan, seperti sistem pendukung agama Islam- Muhammadiyah yang memang fokus pada penduduk rentan. Jika melihat peta kota Jakarta, struktur kebersihan di jalan tersebut sudah baik. Salah satu tantangan utama akses adalah jangkauannya, meskipun mereka memiliki sistem yang luar biasa yang mencoba untuk dihuni paling banyak, sulit untuk menjangkau yang paling rentan secara fisik. Selain itu, para pendatang tidak semuanya dari Indonesia, mereka mungkin berpikir bahwa Jakarta secara ekonomi lebih layak, namun tidak
selalu demikian. Mereka kebanyakan pencari suaka, tidak dicap karena berasal dari daerah berbeda, sehingga cenderung bersembunyi. Bagi mereka yang berstatus pengungsi, mereka mungkin termasuk dalam UNHCR dll, tetapi itu pun belum lengkap. Akses medis adalah- jika Anda mampu membelinya, maka Anda bisa mendapatkannya. Namun, banyak dari mereka belum tentu punya uang. Lebih murah dengan penyalur informal daripada konsultasi, membayar untuk konsultasi kemudian diidentifikasi. Secara umum, pembeli harus tahu apa yang mereka tanyakan, skenarionya seperti, “Saya demam, jadi saya harus minta Paracetamol”, tetapi mereka tidak akan pernah tahu mengapa mereka demam. Jadi, bukan hanya mereka tidak memiliki akses ke layanan farmasi, begitu mereka tidak mampu, mereka bersembunyi, mereka akan memberlakukan akses informal daripada formal. Dan tidak cukup pasti. Persediaan yang tidak mencukupi karena adanya prioritas ranking untuk sumber daya yang terbatas yang membuat penduduk yang tidak terlihat bahkan tidak dihitung.
DENSELY-POPULATED SETTLEMENT IN JAKARTA, MUHAMMAD FADLI, 2020
YW: During the outbreak, the mobile tests are running among kampungs which are not enough definitely, the capacity of the treatment is far not enough. Do you think is there should be a tied relation between the hospital or institutional healthcare teams with community healthcare workers as they could provide detail of health condition the residents by trustful working experience? MD: Ideally, that should be happening. What needs to happen is to have a map of the informal sectors and to understand where that bridge could be coordinated. It is important to understand how the healthcare system devolves or decentralize the capacity to localize the work while they do have the decentralized model from national ministry to locality counterpart to evolving delegation decision-making capacity. However, how much of actual resources goes down to the last mile, straight to the local, this is the problem of service distribution. Moreover, where is the voice of the informal, in theory, all levels should include one representative at the top, so it is a question of inclusion, to recognize that these entities exist which should be put on the table.
The quality of care even at the highest level is already concerning even, so when be brought into the pandemic situation where the infection prevention and control are of utmost importance today, it is especially important to ensure that those facilities can manage from the highest to any setups that they might have, though often those are not in place. For another thing to focus on COVID-19 is the political and social dimensions. The most vulnerable always be left out, they were not able to access before, they are not going to access today. Additionally, they are usually marginalized with economic growth, they are usually evicted because they live in informal settlements. It is exactly on the opposite of pandemic situation- it is important to highlight who you are, so you can be treated, traced and monitored as it is the strong procedure of infectious control. The hiding always resisted being tested, traced and identified. If they got infected without tags, then in the crowned neighbourhood that they lived on top of each other, they spread it. There is the stigma on the disease itself, but then they layer extra stigma which makes the circumstance more complicated.
YW: Saat terjadi wabah, uji keliling berjalan di antara kampungkampung yang tidak cukup pasti, kapasitas pengobatannya jauh tidak cukup. Menurut Anda, apakah harus ada keterkaitan antara tim rumah sakit atau institusi kesehatan dengan petugas kesehatan komunitas karena mereka dapat memberikan detil kondisi kesehatan penghuni dengan pengalaman kerja yang terpercaya? MD: Idealnya, itu harus terjadi. Yang perlu dilakukan adalah memiliki peta sektor informal dan memahami di mana jembatan itu dapat dikoordinasikan. Penting untuk memahami bagaimana sistem perawatan kesehatan mengalihkan atau mendesentralisasikan kapasitas untuk melokalkan pekerjaan sementara mereka memiliki model desentralisasi dari kementerian nasional ke mitra lokalitas untuk mengembangkan kapasitas pengambilan keputusan delegasi. Namun, berapa banyak sumber daya yang sebenarnya turun ke mil terakhir, langsung ke lokal, ini adalah masalah distribusi layanan. Selain itu, di mana suara informal, dalam teori, semua tingkatan harus menyertakan satu perwakilan di atas, jadi ini adalah pertanyaan inklusi, untuk mengenali bahwa entitas ini ada yang harus diletakkan di atas meja.
Kualitas perawatan bahkan di tingkat tertinggi pun sudah mengkhawatirkan, jadi ketika dibawa ke dalam situasi pandemi di mana pencegahan dan pengendalian infeksi adalah yang paling penting saat ini, sangat penting untuk memastikan bahwa fasilitas tersebut dapat mengelola dari yang tertinggi hingga yang manapun. pengaturan yang mungkin mereka miliki, meskipun sering kali tidak tersedia. Hal lain yang menjadi fokus COVID-19 adalah dimensi politik dan sosial. Yang paling rentan selalu ditinggalkan, mereka tidak dapat mengakses sebelumnya, mereka tidak akan mengakses hari ini. Selain itu, mereka biasanya terpinggirkan seiring dengan pertumbuhan ekonomi, mereka biasanya terusir karena hidup di pemukiman informal. Ini benar-benar kebalikan dari situasi pandemi - penting untuk menyoroti siapa Anda, sehingga Anda dapat dirawat, dilacak dan dipantau karena ini adalah prosedur pengendalian infeksi yang kuat. Persembunyian selalu menolak untuk diuji, dilacak dan diidentifikasi. Jika mereka terinfeksi tanpa tag, kemudian di lingkungan yang dimahkotai di mana mereka tinggal di atas satu sama lain, mereka menyebarkannya. Ada stigma pada penyakit itu sendiri, tetapi kemudian mereka melapisi stigma ekstra yang membuat keadaan menjadi lebih rumit.
YW: The informal settlements in Jakarta are under whether redevelopment or relocation transition. If it is possible to set up community-based healthcare infrastructure in different zones to integrate the informal access. It may contain normative collaboration with healthcare system and healthcare aid organizations, which could be used as dense population dispersing management during a pandemic. MD: On one hand, the meaning of informal is an essential talk: “Informal� could refer to- outside the national health structures which have not to be registered yet with well recognize profiting, or local community people getting together or an official local, international NGO where the informal system could have traditional healers or pharmacies. While some of them will be wanting to be recognized and some of them are required to be recognized, such as an international NGO. For instance, MSF, we would negotiate to a memorandum for understanding and agreement to be able to work in the country, which makes us formal, but not part of the formal healthcare structure as identified in the country. The same for local NGOs, eventually they will need to register, then you have some guy sitting in the kampungs with access to medicine which creates its little pharmacy, actually, there are many of those.
They should have a coordinating mechanism, and that is the goal to coordinate and identify where those are and make sure that everybody is meeting some degree of standards and supports, at least accept what they can afford. The access is where the social injustice comes in, redevelopment and relocation sound like a healthy political plan but the way it is actually carried out is forced resettlement. The reality ishow much trust do you have in that plan, how much of that is a manipulation of actually the trust. We need to understand the health education, the health literacy of the importance of accessing clean and safe resources. There should be a system that bridges each other that helps by its inherent structure (diagnose) to build trust and promote health knowledge.
YW: Permukiman informal di Jakarta sedang dalam pembangunan kembali atau transisi relokasi. Jika memungkinkan untuk menyiapkan infrastruktur perawatan kesehatan berbasis komunitas di zona yang berbeda untuk mengintegrasikan akses informal. Ini mungkin berisi kolaborasi normatif dengan sistem perawatan kesehatan dan organisasi bantuan perawatan kesehatan, yang dapat digunakan sebagai manajemen penyebaran populasi yang padat selama pandemi. MD: Di satu sisi, arti informal adalah pembicaraan esensial: “Informal� bisa merujuk ke- di luar struktur kesehatan nasional yang belum terdaftar dengan keuntungan yang diakui, atau komunitas lokal berkumpul atau pejabat lokal, LSM internasional di mana sistem informal dapat memiliki dukun atau apotek. Sementara beberapa dari mereka ingin diakui dan beberapa dari mereka perlu diakui, seperti LSM internasional. Misalnya, MSF, kami akan menegosiasikan nota kesepahaman dan kesepakatan untuk dapat bekerja di negara tersebut, yang menjadikan kami formal, tetapi bukan bagian dari struktur perawatan kesehatan formal seperti yang diidentifikasi di negara tersebut. Begitu pula dengan LSM lokal, akhirnya harus mendaftar, lalu ada orang yang duduk di kampung dengan akses obat yang membuat apotek kecilnya, sebenarnya banyak.
Mereka harus memiliki mekanisme koordinasi, dan itu adalah tujuan untuk mengkoordinasikan dan mengidentifikasi di mana mereka berada dan memastikan bahwa setiap orang memenuhi beberapa standar dan dukungan, setidaknya menerima apa yang mereka mampu. Akses adalah tempat masuknya ketidakadilan sosial, pembangunan kembali dan relokasi terdengar seperti rencana politik yang sehat tetapi cara yang sebenarnya dilakukan adalah pemukiman paksa. Kenyataannya adalah- seberapa besar kepercayaan yang Anda miliki dalam rencana itu, berapa banyak yang merupakan manipulasi dari kepercayaan itu sebenarnya. Kita perlu memahami pendidikan kesehatan, literasi kesehatan tentang pentingnya mengakses sumber daya yang bersih dan aman. Harus ada sistem yang menjembatani satu sama lain yang membantu dengan struktur yang melekat (mendiagnosis) untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan pengetahuan kesehatan.
2 OBJECTIVE 2.1 PROPOSAL
R
apid urbanization and unexpected pandemic challenge healthcare infrastructure spatially and biologically. The distribution of healthcare access in Jakarta is far not adequate. The coronavirus outbreak has presented an opportunity to expose the problems of healthcare provision management in kampungs- the scarcity of primary care access and pre-crisis preparation. This new healthcare-concerned project aims to lay the foundation of public healthcare access and typology for vulnerable communities. “The concerned edge� means- create the centralized healthcare management centres for the coastal kampungs (while they are experiencing great changes in their living environment and societal status) and take care of the marginalized residents (whom should be concerned, especially during emergencies). The public healthcare infrastructure is planned to coexist with kampungs as community-based permanent provision centres to provide primary care and to assist emergency management.
CONCEPT DIAGRAM 1
2 TUJUAN 2.1 PROPOSAL
U
rbanisasi yang cepat dan pandemi yang tidak terduga menjadi tantangan bagi infrastruktur perawatan kesehatan secara spasial dan biologis. Distribusi akses layanan kesehatan di Jakarta jauh tidak memadai. Wabah virus korona telah memberikan peluang untuk mengungkap masalah manajemen penyediaan layanan kesehatan di kampung- kelangkaan akses layanan primer dan persiapan pra-krisis. Proyek baru terkait perawatan kesehatan ini bertujuan untuk meletakkan dasar akses perawatan kesehatan publik dan tipologi untuk komunitas yang rentan. “The concern edge� berartimembuat pusat manajemen perawatan kesehatan terpusat untuk kampung-kampung pesisir (saat mereka mengalami perubahan besar dalam lingkungan hidup dan status sosial mereka) dan merawat penduduk yang terpinggirkan (yang harus diperhatikan, terutama selama keadaan darurat). Prasarana perawatan kesehatan umum direncanakan untuk hidup berdampingan dengan kampung sebagai pusat penyediaan permanen berbasis komunitas untuk memberikan perawatan primer dan untuk membantu manajemen keadaan darurat.
CONCEPT DIAGRAM 2
2.2 METHODOLOGY & LIMITATION
T
he research used primary data and secondary data- referring to dialogues, online news, local research reports and Google Map, Humanitarian OpenStreetMap Team etc. First of all, based on the slum distribution and the infectious index data, the high-risk slum area is defined to be the intervene priority. Secondly, the intervention network is going to explore a great relationship with the public emergency evacuation plan. However, the core “client” includes the informal settlements who may lack the accurate identification, the architecture density becomes an essential element to identify the distribution of slums. Though it is a regret that the travel restriction has blocked further field trip on counting informal healthcare provider points, the slum infectious index is not fully counted due to inadequate tests management, the concept of integrating informal access into a managed normalized healthcare centre assists to reduce the uncertainty caused by incomplete statistics.
2.2 METODOLOGI & PEMBATASAN
This experimental concept is wished to be promoted citywide. In the meantime, cooperating with local clinicians, healthcare providers and concerned organizations to build up the connection between the people, the knowledge and the concern, ensuring the vulnerable are being taken proper care of. If the prominent character can be the symbol to the community, it is possible to remind the residents that these centres could assist as urgent as they need.
P
enelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder mengacu pada dialog, berita online, laporan penelitian lokal dan Google Map, Humanitarian OpenStreetMap Team dll. Pertama-tama, berdasarkan distribusi permukiman kumuh dan data indeks infeksius, kawasan kumuh berisiko tinggi ditetapkan sebagai prioritas intervensi. Kedua, jaringan intervensi akan menjajaki hubungan yang baik dengan rencana evakuasi darurat publik. Namun demikian, “klien” inti termasuk permukiman informal yang mungkin kurang memiliki identifikasi yang akurat, kepadatan arsitektur menjadi elemen penting untuk mengidentifikasi distribusi permukiman kumuh. Meskipun sangat disayangkan bahwa pembatasan perjalanan telah menghalangi kunjungan lapangan lebih lanjut untuk menghitung poin penyedia layanan kesehatan informal, indeks infeksius daerah kumuh tidak sepenuhnya dihitung karena manajemen tes yang tidak memadai, konsep mengintegrasikan akses informal ke dalam pusat perawatan kesehatan normal yang dikelola membantu mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh statistik yang tidak lengkap.
Konsep eksperimental ini ingin dipromosikan ke seluruh kota. Sementara itu, bekerja sama dengan dokter setempat, penyedia layanan kesehatan dan organisasi terkait untuk membangun hubungan antara masyarakat, pengetahuan dan kepedulian, memastikan mereka yang rentan dirawat dengan benar. Jika tokoh yang menonjol bisa menjadi simbol bagi masyarakat, maka warga bisa diingatkan kembali bahwa posko-posko tersebut dapat membantu secepat yang dibutuhkan.
3 INTERVENTION
3 INTERVENSI
3.1 NORTH JAKARTA FACTS
3.1 FAKTA JAKARTA UTARA
3.1.1 URBAN DENSITY- SLUM FACTS
3.1.1 KEPADATAN PERKOTAAN- FAKTA KUMUR
I
n the city scale, slums are randomly scattered. The northern coast has a large number of slums that were mostly affected. The cruel fact is- the Great Garuda Project is going to be the new edge of the city with considerate planning and technique support, in other words, the property of current edge is going to be “abandoned”, even now, it is being “forgotten”. According to the COVID-19 infectious index by social aid emergency response team4, the old town (central and northern
edge) is under the highest risk. The relationship between the distribution of slums and the high infectious rate area is delicate. It implies that the operating healthcare infrastructure in vulnerable communities is not adequate to serve, the real infectious number is higher than reported. Typically, the building density is an evident character to identify the distribution of slums. The densest buildings are distributed around the Penjaringan District (middle shoreline). The nexus among the architecture, its ambience and residents are depended on economic resilience. Fishermen, transport workers and industrial workers are the largest occupation types along the shoreline. The general typology of the slums is whether in shelter shanty (Area 02/03/05) or under dense circulation with the compact surrounding situation (Area 01/04).
“Along the coast of Jakarta, where sand mined from Indonesia’s “outer” islands is being reclaimed to construct the seventeen new islands that form the Great Garuda, residents living in dense villages build their own infrastructures of endurance as they face immediate and frequent risks of inundation. Pointing to high water marks on their homes—each one carrying the memory of a specific flood event and the familial interactions amplified and entangled with the flow of water—residents tell their stories and explain how they incrementally raise their homes brick by brick. A conviviality is relayed during recollections about communal practices, when residents coordinate and work together to reuse resources and materials left undamaged by flooding. These narratives are often fragmentary, but they nevertheless provide critical insights into the ways atmospheric turbulence and climate speculation are forcing residents into new and often unpredictable constellations for collective action.”5
D
alam skala kota, permukiman kumuh tersebar secara acak. Pantai utara memiliki sejumlah besar permukiman kumuh yang paling terkena dampak. Fakta kejamnya adalah- Proyek Garuda Megah akan menjadi pinggiran kota yang baru dengan perencanaan yang matang dan dukungan teknik, dengan kata lain, properti dari edge saat ini akan “ditinggalkan”, bahkan sekarang, itu adalah “ terlupakan". Menurut indeks infeksi COVID-19 oleh tim tanggap darurat bantuan sosial, kota tua (tepi tengah dan utara) berada di bawah risiko tertinggi. Hubungan antara distribusi permukiman kumuh dan daerah dengan tingkat penularan yang tinggi adalah rumit. Artinya infrastruktur pelayanan kesehatan yang beroperasi di komunitas rentan tidak memadai untuk dilayani, angka penularan sebenarnya lebih tinggi dari yang dilaporkan. Biasanya, kepadatan bangunan merupakan karakter yang jelas untuk mengidentifikasi persebaran permukiman kumuh. Bangunan terpadat tersebar di sekitar Kecamatan Penjaringan (garis pantai tengah). Hubungan antara arsitektur, suasananya, dan penghuninya bergantung pada ketahanan ekonomi. Nelayan, pekerja transportasi dan pekerja industri adalah jenis pekerjaan terbesar di sepanjang garis pantai. Tipologi umum permukiman kumuh adalah apakah di dalam pondok penampungan (Area 02/03/05) atau di bawah
sirkulasi yang padat dengan keadaan sekitarnya yang padat (Area 01/04). “Di sepanjang pantai Jakarta, di mana pasir yang ditambang dari pulau-pulau“ terluar ”Indonesia sedang direklamasi untuk membangun tujuh belas pulau baru yang membentuk Garuda Megah, penduduk yang tinggal di desa-desa padat membangun infrastruktur ketahanan mereka sendiri karena mereka menghadapi risiko langsung dan sering penggenangan. Menunjuk ke tanda air tinggi di rumah mereka — masing-masing membawa memori peristiwa banjir tertentu dan interaksi keluarga diperkuat dan terjerat dengan aliran air — penduduk menceritakan kisah mereka dan menjelaskan bagaimana mereka secara bertahap menaikkan bata rumah mereka demi batu bata. Keramahan disampaikan selama ingatan tentang praktik komunal, ketika penduduk berkoordinasi dan bekerja sama untuk menggunakan kembali sumber daya dan bahan yang tidak rusak akibat banjir. Narasi ini sering kali terpisahpisah, namun tetap memberikan wawasan kritis tentang cara turbulensi atmosfer dan spekulasi iklim memaksa penduduk ke konstelasi baru dan sering kali tak terduga untuk aksi kolektif. ”
LEFT: SLUM DISTRIBUTION MAPPING & INFECTIOUS INDEX MAPPING, JAKARTA RIGHT: SLUM TYPOLOGY
LEFT: HEALTHCARE DISTRIBUTION MAPPING, JAKARTA RIGHT: HEALTHCARE TYPOLOGY
3.1.2 HEALTHCARE ACCESS FACTS
3.1.2 FAKTA AKSES KESEHATAN
I
D
n Jakarta, the healthcare services were unequally distributed, mainly located in central, rich and newly planned zones. This year, Jakarta has recommended 163 designated hospitals till November for receiving and curing symptomatic patients of COVID-19. However, the designated hospitals are under great pressure to accept patients and conduct nucleic acid testing, the vulnerable do not have the chance to treatment and access prevention care. Referring to the 15-minute healthcare radius, the existed healthcare facilities (presumed to serve 800-1000m distance) have covered 50% of the shoreline, yet the pharmacy or clinic are beyond the reach of 800-1000m distance which may reduce the coverage.
i Jakarta, layanan kesehatan tersebar tidak merata, terutama terletak di zona pusat, kaya, dan baru. Tahun ini, Jakarta merekomendasikan 163 rumah sakit yang ditunjuk hingga November untuk menerima dan menyembuhkan pasien bergejala COVID-19. Namun, rumah sakit yang ditunjuk berada di bawah tekanan besar untuk menerima pasien dan melakukan pengujian asam nukleat, mereka yang rentan tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengobatan dan mengakses perawatan pencegahan. Merujuk pada radius perawatan kesehatan 15 menit, f asi l i t as p er aw at an k eseh at an y an g ad a ( d i p er k i r ak an melayani jarak 800-1000m) telah mencakup 50% dari garis pantai, namun apotek atau klinik berada di luar jangkauan 800-1000m yang dapat mengurangi jangkauan.
3.1.3 OPEN SPACE &EVACUATION
J
akarta has a long history of surviving flooding; the Jakarta city planning department has collaborated with professionals such as Humanitarian OpenStreetMap team marked evacuation sites and the emergency command centres around affected land. The nature of setting up healthcare interventions in the evacuation sites or near emergency centres is- primarily, the evacuation site or emergency centres should be equipped with efficient emergency facilities and supplies; more vitally, the residents are familiar with the evacuation routes as the sites are where they are consciously seeking for assistance when an emergency occurs. On one hand, the financial fact of north Jakarta geographically depends on the marine-oriented industry, fishery and tourism. This interactional relation presents that large area of land along the shoreline has been occupied for loading, parking lot, parks or market. The open space is functioning with multiple services to the neighbouring communities, it has a social status of holding activities culturally and economically which made the property of open spaces flexible- part of the parking lot and parks could be temporarily converted to confront crisis which is applicable to the prototypical intervention.
3.1.3 BUKA RUANG & EVAKUASI
On the other hand, it is respectful that Jakarta has a dynamic tradition to hold certain-period market or festival activities on the open spaces. To maintain the essential nature of open spaces to the residents, the project is conceptually considering “furniture piece� typology of intervention. Thus, the intervention is not planned to interfere with the original evacuation routes, it might take the advantage of the sites to integrate local lives. The combination of the property of open spaces and evacuation is critical to post-disaster, the spatial resilience supports local community regularly. Should make the residents familiar with precrisis preparedness and where to be assisted in an emergency.
J
akarta memiliki sejarah panjang bertahan dari banjir; departemen tata kota Jakarta telah bekerja sama dengan para profesional seperti tim Humanitarian OpenStreetMap menandai lokasi evakuasi dan pusat komando darurat di sekitar tanah yang terkena dampak. Sifat dari pengaturan intervensi perawatan kesehatan di lokasi evakuasi atau dekat pusat darurat terutama, tempat evakuasi atau pusat darurat harus dilengkapi dengan fasilitas dan perlengkapan darurat yang efisien; Lebih penting lagi, warga sudah mengetahui rute evakuasi karena di lokasi tersebut mereka secara sadar mencari bantuan ketika terjadi keadaan darurat. Di satu sisi, fakta keuangan Jakarta Utara secara geografis bergantung pada industri yang berorientasi kelautan, perikanan dan pariwisata. Hubungan interaksional ini menunjukkan bahwa lahan yang luas di sepanjang garis pantai telah digunakan untuk bongkar muat, tempat parkir, taman atau pasar. Ruang terbuka berfungsi dengan berbagai layanan kepada masyarakat sekitar, berstatus sosial menyelenggarakan kegiatan secara budaya dan ekonomi yang menjadikan properti ruang terbuka fleksibel bagian dari tempat parkir dan taman dapat diubah sementara untuk menghadapi krisis yang berlaku untuk intervensi prototipe.
Di sisi lain, Jakarta memiliki tradisi yang dinamis dengan mengadakan pasar atau kegiatan festival pada periode tertentu di ruang terbuka patut dihargai. Untuk menjaga sifat esensial dari ruang terbuka bagi penghuninya, proyek ini secara konseptual mempertimbangkan intervensi tipologi “furnitur piece�. Dengan demikian, intervensi tidak direncanakan untuk mengganggu jalur evakuasi asli, mungkin memanfaatkan lokasi untuk mengintegrasikan kehidupan lokal. Kombinasi properti ruang terbuka dan evakuasi sangat penting untuk pascabencana, ketahanan spasial mendukung m a s y a r a k a t l o k a l s e c a r a t e r a t u r. H a r u s m e m b u a t penduduk terbiasa dengan kesiapsiagaan sebelum krisis dan di mana harus dibantu dalam keadaan darurat.
LEFT: EVACUATION SITE DISTRIBUTION MAPPING, JAKARTA RIGHT: EVACUATION SITE & OPEN SPACES TYPOLOGY
JAKARTA SHORELINE, SOURCE: GOOGLE EARTH
3.2 HEALTHCARE PLANNING
3.2 PERENCANAAN KESEHATAN
3.2.1 STRATEGIC PLANNING LAYOUT
3.2.1 TATA LETAK PERENCANAAN STRATEGIS
A
ccording to population density, existing healthcare resources facts and evacuation resilience, 7 potential sites have been promoted along the shoreline for healthcare intervention. Referring to the 15-minute healthcare radius (800-1000m), site A, B, E, G are in the scarcity of healthcare access and site C, D, F are in needs of integrating healthcare resources to serve denser population. Site B, D, G are selected to present the typical typology of this strategic planning: Site B: The indigenous neighbourhood (65 hectares) is fishery oriented in Muara Angka (fishing port), Kapuk Muara. The open spaces are always filled with dried fish and hold fish market from time to time. The fishermen and workers of the fishing industry are reluctant to leave the kampung no matter how disorganized and chaotic the environment in the fishing village. The Jakarta administration is building Muara Angke Social Housing project which will have 35 blocks of apartments to accommodate the peoples living in Muara Angke. Currently, the community has an emergency centre. The planning is taking the centre as the command centre to allocate new infrastructure nearby. Site D: This site is in the densest population area along the shoreline. Kampung Akuarium is under redevelopment. It has
the potential to integrate the healthcare resources and promote healthcare knowledge to backup political and financial upgrade. This kampung and nearby are planned to be served by relatively fair healthcare access. Site G: Kali Baru is in the coastal transportation hub zone with more than 10 schools. The population are mainly industrial workers and school children. The open spaces are a football stadium and truck parking lots. It is considered to introduce interactions to the community to maximize the use with the healthcare interventions.
M
enurut kepadatan penduduk, fakta sumber daya kesehatan yang ada, dan ketahanan evakuasi, 7 lokasi potensial telah dipromosikan di sepanjang garis pantai untuk intervensi perawatan kesehatan. Mengacu pada radius perawatan kesehatan 15 menit (800-1000m), situs A, B, E, G berada dalam kelangkaan akses perawatan kesehatan dan situs C, D, F perlu mengintegrasikan sumber daya perawatan kesehatan untuk melayani populasi yang lebih padat. Lokasi B, D, G dipilih untuk menyajikan tipologi tipologi dari perencanaan strategis ini: Situs B: Lingkungan asli (65 hektar) berorientasi perikanan di Muara Angka (pelabuhan perikanan), Kapuk Muara. Ruang-ruang terbuka yang selalu dipenuhi ikan-ikan kering dan diadakannya pasar ikan dari waktu ke waktu. Nelayan dan pekerja industri perikanan enggan meninggalkan kampung meskipun lingkungan di desa nelayan tidak teratur dan semrawut. Pemprov DKI sedang membangun proyek Perumahan Sosial Muara Angke yang akan memiliki 35 blok apartemen untuk menampung masyarakat yang tinggal di Muara Angke. Saat ini, masyarakat memiliki posko darurat. Perencanaan mengambil pusat sebagai pusat komando untuk mengalokasikan infrastruktur baru di dekatnya. Situs D: Situs ini berada di area populasi terpadat di sepanjang
garis pantai. Kampung Akuarium sedang dalam pembangunan kembali. Ini memiliki potensi untuk mengintegrasikan sumber daya perawatan kesehatan dan mempromosikan pengetahuan perawatan kesehatan untuk mendukung peningkatan politik dan keuangan. Kampung ini dan sekitarnya rencananya akan dilayani oleh akses perawatan kesehatan yang relatif adil. Situs G: Kali Baru berada di zona hub transportasi pesisir dengan lebih dari 10 sekolah. Penduduknya sebagian besar adalah pekerja industri dan anak sekolah. Ruang terbuka adalah stadion sepak bola dan tempat parkir truk. Ini dianggap memperkenalkan interaksi kepada masyarakat untuk memaksimalkan penggunaan dengan intervensi perawatan kesehatan.
HEALTHCARE INTERVENTION STRATEGIC PLANNING
PLANNING METHODOLOGY
3.2.2 CONCEPTUAL INTERVENTION
T
he conceptual intervention is an experimental infrastructure. Instead of designing an actual architecture, the intervention is practiced as scaled urban amenities to facilitate community relicense. The infrastructure redefines the connection between itself and the open space. The infrastructure is part of the open spaces rather than to repositioning. Regularly, it presents remote “diagnose” program or face-to-face communications (based on site) with healthcare-concerned workers. The structure can be assembled at site quickly and easily, critical to pre-crisis preparedness and post-disaster as emergency relief. There are 4 main functions of the healthcare amenity- power, communication, gathering and supplies: Power- the solar panels work as shelters and provide off-grid ability to support the communication facilities- device charging, display screen etc.. Communication- communication function presents with WI-FI hotspot. The remote healthcare diagnose procedure is displayed on the screens with horns on movable walls which can be transformed into semi-open space, at a larger scale, the amenity is facilitated with “open office” for on-site healthcare workers or community activities.
3.2.2 INTERVENSI KONSEPTUAL
Gathering- the prominent infrastructure will attract attentions and provoke interactions with community residents. It not only served as a healthcare provision centre but holds regular activities. The seating with chargers and shelters offer rest spaces and the vertical display and radio promote community information or healthcare knowledge. Supplies- the cabinets storage emergency provision goods for immediate need. It bridges the community members and evacuation, should they be aware of assistance when a disaster occurs.
I
ntervensi konseptual adalah infrastruktur eksperimental. Alih-alih merancang arsitektur yang sebenarnya, intervensi dipraktikkan sebagai fasilitas perkotaan berskala untuk memfasilitasi relicense komunitas. Infrastruktur mengubah hubungan antara dirinya dan ruang terbuka. Infrastruktur merupakan bagian dari ruang terbuka daripada reposisi. Secara teratur, ini menyajikan program "diagnosa" jarak jauh atau komunikasi tatap muka (berdasarkan situs) dengan petugas yang terkait dengan perawatan kesehatan. Struktur tersebut dapat dirakit di lokasi dengan cepat dan mudah, sangat penting untuk kesiapsiagaan sebelum krisis dan pasca bencana sebagai bantuan darurat. Ada 4 fungsi utama fasilitas kesehatan - tenaga, komunikasi, pertemuan, dan persediaan: Tenaga- panel surya berfungsi sebagai tempat berteduh dan memberikan kemampuan off-grid untuk mendukung fasilitas komunikasi- pengisian perangkat, tampilan layar, dll. Fungsi komunikasi- komunikasi hadir dengan hotspot WI-FI. Prosedur diagnosa perawatan kesehatan jarak jauh ditampilkan di layar dengan tanduk pada dinding yang dapat dipindahkan yang dapat diubah menjadi ruang semi terbuka, pada skala yang lebih besar, amenitas difasilitasi dengan “kantor terbuka” untuk petugas
kesehatan di tempat atau kegiatan masyarakat. Gathering- infrastruktur yang menonjol akan menarik perhatian dan memancing interaksi dengan masyarakat warga. Tidak hanya sebagai pusat penyediaan layanan kesehatan tetapi mengadakan kegiatan rutin. Tempat duduk dengan pengisi daya dan tempat berlindung menawarkan ruang istirahat dan layar vertikal serta radio mempromosikan informasi komunitas atau pengetahuan perawatan kesehatan. Persediaan- lemari penyimpanan barang persediaan darurat untuk kebutuhan mendesak. Ini menjembatani anggota masyarakat dan evakuasi, jika mereka sadar akan bantuan ketika terjadi bencana.
CONCEPTUAL INTERVENTION PROTOTYPE
The prototype of the healthcare intervention is typically a pavilionscale infrastructure which enables the healthcare-concerned workers to explore more possibilities for interlocking locationinstall part of the pieces, such as only the display wall to promote remote diagnosis. The remote diagnosis and information display present the concept of introducing primary care into regular needs. It brings the potential to have more infrastructure than planned to integrate with local form- introduce remote healthcare access. This network is developed to put community-based healthcare access into the conscious of community members, in addition to their familiarity with evacuation routes. This project envisions the co-existence between the intervention and local community. Referring to the typology of open space, the infrastructure interacts as part of the activities: 1) Intervention coexistence with regular market held by local community; 2) Healthcare knowledge promotion with healthcare workers on-site; 3) Emergency healthcare service.
Prototipe intervensi perawatan kesehatan biasanya berupa infrastruktur berskala paviliun yang memungkinkan pekerja terkait perawatan kesehatan untuk mengeksplorasi lebih banyak kemungkinan untuk saling mengunci lokasi - memasang bagian dari potongan, seperti hanya dinding pajangan untuk mempromosikan diagnosis jarak jauh. Diagnosis jarak jauh dan tampilan informasi menyajikan konsep pengenalan perawatan primer ke dalam kebutuhan rutin. Ini membawa potensi untuk memiliki lebih banyak infrastruktur daripada yang direncanakan untuk diintegrasikan dengan bentuk lokal - memperkenalkan akses perawatan kesehatan jarak jauh. Jaringan ini dikembangkan untuk memberikan akses layanan kesehatan berbasis komunitas kepada anggota komunitas, selain keakraban mereka dengan rute evakuasi. Proyek ini membayangkan koeksistensi antara intervensi dan komunitas lokal. Mengacu pada tipologi ruang terbuka, infrastruktur berinteraksi sebagai bagian dari kegiatan: 1) Intervensi koeksistensi dengan pasar reguler yang diselenggarakan oleh masyarakat lokal; 2) Promosi pengetahuan kesehatan dengan petugas kesehatan di lokasi; 3) Layanan kesehatan darurat.
HEALTHCARE INTERVENTION CO-EXISTS WITH LOCAL MARKET
HEALTHCARE PROMOTION IN LOCAL COMMUNITY
EMERGENCY HEALTHCARE SERVICE
4 COLLABORATION 4.1 THE CONCERNED AGENCIES
A
s Dr Maria is the co-founder of MSF Indonesia, the interview dialogue strongly promotes a need for collaboration work in vulnerable neighbourhoods between environmental and health concerned agencies. In the international arena, organizations related to environment and health have spontaneously assisted disadvantaged groups. Through my research and analysis, the Médecins Sans Frontières (MSF)6 and the Humanitarian OpenStreetMap Team7 have made great contributions. The MSF is an international, independent medical humanitarian organization, providing professional medical care to millions of people caught in crises such as conflict, epidemics, disasters, or exclusion from healthcare around the world. Since 1995, MSF started its humanitarian aid assistance in Indonesia. The team has a regional representative base in Jakarta city and distributes mobile units in needed areas, mostly provides mental healthcare and emergency response interventions.
MSF WORKING IN INDONESIA, MUHAMAD SURYANDI/MSF, 2018
“In Indonesia, MSF teams are conducting workshops and training for doctors and community health workers in Jakarta and Banten Province, who treat suspected COVID-19 cases and those observing home-isolation.
To date, 17 training sessions have been completed, with more than 200 people trained. Health promotion sessions are still ongoing, with MSF teams now also conducting training-of-trainers targeting specific community members to ensure increased coverage and sustainability.” 8 According to the interview, to conduct intervening activities, it is necessary to have a negotiation with the authorized department for legal licence to formalize the assistance procedures. Training courses should be conducted under professional and political behaviours to cover the widest possible scope, to promote health knowledge not only alleviate the current emergency but also make it possible for professionals to participate in long-term consideration of spatial improvements to standardize training and nursing work in kampungs.
4 KOLABORASI 4.1 LEMBAGA TERKAIT
K
arena Dr Maria adalah salah satu pendiri MSF Indonesia, dialog wawancara sangat mendorong perlunya kerja sama di lingkungan yang rentan antara lembaga terkait lingkungan dan kesehatan. Di kancah internasional, organisasi yang terkait dengan lingkungan dan kesehatan secara spontan mendampingi kelompok yang kurang beruntung. Melalui penelitian dan analisis saya, Médecins Sans Frontières (MSF) dan Humanitarian OpenStreetMap Team telah memberikan kontribusi besar. MSF adalah organisasi kemanusiaan medis internasional dan independen, yang memberikan perawatan medis profesional kepada jutaan orang yang terjebak dalam krisis seperti konflik, epidemi, bencana, atau pengucilan dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Sejak tahun 1995, MSF memulai bantuan kemanusiaannya di Indonesia. Tim ini memiliki basis perwakilan regional di kota Jakarta dan mendistribusikan unit mobil di daerah yang membutuhkan, sebagian besar menyediakan perawatan kesehatan mental dan intervensi tanggap darurat. “Di Indonesia, tim MSF mengadakan lokakarya dan pelatihan bagi para dokter dan petugas kesehatan masyarakat di Provinsi Jakarta dan Banten, yang menangani kasus terduga COVID-19 dan yang mengamati
isolasi di rumah. Hingga saat ini, 17 sesi pelatihan telah diselesaikan, dengan lebih dari 200 orang telah dilatih. Sesi promosi kesehatan masih berlangsung, dengan tim MSF sekarang juga melakukan pelatihan untuk pelatih yang menargetkan anggota komunitas tertentu untuk memastikan peningkatan cakupan dan keberlanjutan. ” Menurut wawancara, untuk melakukan kegiatan intervensi, perlu dilakukan negosiasi dengan departemen yang berwenang untuk mendapatkan izin resmi guna memformalkan prosedur bantuan. Kursus pelatihan harus dilakukan di bawah perilaku profesional dan politik untuk mencakup ruang lingkup seluas mungkin, untuk mempromosikan pengetahuan kesehatan tidak hanya meringankan keadaan darurat saat ini tetapi juga memungkinkan para profesional untuk berpartisipasi dalam pertimbangan jangka panjang perbaikan spasial untuk menstandarkan pelatihan dan pekerjaan perawatan di kampung.
4.2 INTERDISCIPLINARY COLLABORATION
4.2 KOLABORASI ANTARDISIPLINER
T
G
he foreign migration movement is spontaneously happening for chasing their wheel of fortune. The health aid activities that the non-government organizations have been implementing are exactly what the government should conduct but failed to achieve. From humanitarian perspective, organizations such as MSF have entirely devoted themselves to consulting and assisting. Inviting such practitioners to run educational or therapeutic programs in communities permanently will be easier to lay the foundation of caring on the invisible and gain the trust from them. “…the increased interest and activity have led to humanitarian action being used by some as a means to an end and the potential for the co-optation of humanitarian action for other ends. But, as a growing number of people and institutions become interested in humanitarian action, we are able to build broader coalitions through direct action, operational research, networking with experts and campaigning for action.”9 As a humanitarian coalition, there are obligations for co-workers in every field on this amazing planet to collaborate like a whole to guide a healthier living. The border of interlocking spaces shall be breaking down by concern to confront the crisis.
erakan migrasi asing ini terjadi secara spontan untuk mengejar roda rejeki. Kegiatan bantuan kesehatan yang telah dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat tersebut sebenarnya sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah tetapi tidak tercapai. Dari perspektif kemanusiaan, organisasi seperti MSF telah sepenuhnya mengabdikan diri untuk konsultasi dan bantuan. Mengundang praktisi semacam itu untuk menjalankan program pendidikan atau terapi di komunitas secara permanen akan lebih mudah untuk meletakkan dasar kepedulian pada yang tak terlihat dan mendapatkan kepercayaan dari mereka. “… Meningkatnya minat dan aktivitas telah menyebabkan aksi kemanusiaan digunakan oleh beberapa orang sebagai alat untuk mencapai tujuan dan potensi kooptasi aksi kemanusiaan untuk tujuan lainnya. Namun, karena semakin banyak orang dan institusi yang tertarik pada aksi kemanusiaan, kami dapat membangun koalisi yang lebih luas melalui aksi langsung, penelitian operasional, jaringan dengan para ahli dan kampanye untuk aksi. ” Sebagai koalisi kemanusiaan, ada kewajiban bagi rekan kerja di setiap bidang di planet yang menakjubkan ini untuk bekerja sama secara keseluruhan guna membimbing hidup yang lebih sehat. Perbatasan ruang-ruang yang saling terkait harus dirobohkan oleh kepedulian untuk menghadapi krisis.
CONCLUSION
T
his project strategically planned a long-term healthcare vision for Jakarta vulnerable coast. It is promoted by Indonesian field trip and dialogues with Christina and Dr Maria (MSF) to set up an interdisciplinary collaboration. This planning reports to local communities and organizations related to health, environment that may be interested in aid. From a geographic dimension, this project explores the potential of introducing a 15-minute radius community primary care and emergency response. Additionally, the intervention prototype advocates an efficient technique of off-grid system and remote diagnosis. Environmentally, the intervention itself is showing the respect of local vibe- the co-existence. From a humanitarian dimension, the concept of intervening is considered to integrate regular healthcare access into the conscious of community members. The vulnerable communities shall be taken good care of, especially, be planned with pre-crisis preparedness. From an environmental architecture perspective, this project reflects on environmental and social injustice. It differs from design certain hospitals; the objective- reforming urban fabric planning is at the initiated stage of a long-term vision.
KESIMPULAN
In cooperation with therapeutic aid specialists, it purposed permanent infrastructure networks to promote healthcare knowledge to the poverty-stricken hierarchy and allow either the public or the higher authority to concern. In conclusion, this is a practice on addressing justice issue and healthcare-oriented experiment. It has the possibility to be further developed in the future. Urban fabric planning strategy would have effects on both geography and people, a concerned edge does not only refer to the coastal kampungs but also the marginalized residents.
P
royek ini secara strategis merencanakan visi perawatan kesehatan jangka panjang untuk pantai Jakarta yang rentan. Ini dipromosikan oleh kunjungan lapangan Indonesia dan dialog dengan Christina dan Dr Maria (MSF) untuk mengatur kolaborasi antar disiplin. Perencanaan ini melaporkan kepada komunitas dan organisasi lokal yang terkait dengan kesehatan, lingkungan yang mungkin tertarik pada bantuan. Dari dimensi geografis, proyek ini mengeksplorasi potensi memperkenalkan perawatan primer komunitas radius 15 menit dan tanggap darurat. Selain itu, prototipe intervensi menganjurkan teknik yang efisien dari sistem off-grid dan diagnosis jarak jauh. Secara lingkungan, intervensi itu sendiri menunjukkan rasa hormat terhadap getaran lokal- koeksistensi. Dari dimensi kemanusiaan, konsep intervensi dianggap mengintegrasikan akses perawatan kesehatan reguler ke dalam kesadaran anggota masyarakat. Masyarakat rentan harus dirawat dengan baik, terutama direncanakan dengan kesiapsiagaan sebelum krisis. Dari perspektif arsitektur lingkungan, proyek ini mencerminkan ketidakadilan lingkungan dan sosial. Ini berbeda dengan desain rumah sakit tertentu; tujuan-mereformasi perencanaan tata kota berada pada tahap awal dari visi jangka panjang.
Bekerja sama dengan spesialis bantuan terapeutik, itu bertujuan jaringan infrastruktur permanen untuk mempromosikan pengetahuan perawatan kesehatan ke hierarki yang dilanda kemiskinan dan memungkinkan publik atau otoritas yang lebih tinggi untuk peduli. Kesimpulannya, ini adalah praktik menangani masalah keadilan dan eksperimen berorientasi perawatan kesehatan. Ini memiliki kemungkinan untuk dikembangkan lebih lanjut di masa depan. Strategi perencanaan kain perkotaan akan berdampak pada geografi dan masyarakat, sisi yang bersangkutan tidak hanya mengacu pada kampung pesisir tetapi juga penduduk yang terpinggirkan.
REFERENCE
1 Gaspar Jr Rodolfo, Output: DKI Jakarta Informal Settlement Mapping (Cities Alliance, 2015) http://pubdocs.worldbank.org/en/408201444418421010/Output-DKI-JAKARTA-INFORMAL-SETTLEMENT-MAPPING 2 "BPS Provinsi DKI Jakarta", Jakarta.Bps.Go.Id, 2020 https://jakarta.bps.go.id/ 3 Gaspar Jr Rodolfo, Output: DKI Jakarta Informal Settlement Mapping (Cities Alliance, 2015) http://pubdocs.worldbank.org/en/408201444418421010/Output-DKI-JAKARTA-INFORMAL-SETTLEMENT-MAPPING 4 Jakarta Covid-19 Response Team. 2020. Map of Covid-19 Cases In Jakarta. https://corona.jakarta.go.id/en/peta-kasus 5 Nashin Mahtani, "Torrential Urbanism And The Future Subjunctive", E-Flux.Com, 2020 https://www.e-flux.com/architecture/accumulation/345108/torrential-urbanism-and-the-future-subjunctive/ 6 "Médecins Sans Frontières (MSF) International", Médecins Sans Frontières (MSF) International, 2020 https://www.msf.org/ 7 "Humanitarian Openstreetmap Team | Home", Hotosm.Org, 2020 https://www.hotosm.org/ 8 "Médecins Sans Frontières (MSF) International", Médecins Sans Frontières (MSF) International, 2020 https://www.msf.org/. 9 "Exploring The Limits Of Humanitarian Aid", Médecins Sans Frontières (MSF) International, 2000. https://www.msf.org/exploring-limits-humanitarian-aid.
WU YUTONG ROYAL COLLEGE OF ART
MA| Environmental Architecture