Majalah Sagang

Page 1

No. 172 JANUARI 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir) Cham

Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Si Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme oleh M Taufan Musonip

Cerita-pendek:

Coup d’etat oleh F. Sophie, Dapur oleh Cikie Wahab, dan Kabut Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H Sajak: Muhammad Nurul,

Irdas Yan, dan Sir Saifa Abidillah Musik: DKR & STSR dalam

"Sembang Bunyi 12"

Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar Tokoh: Ferit Orhan Pamuk

halaman KULITi


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62761-566810 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504 Fax +62761-64636 Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com

halaman KULITii


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 172 JANUARI 2013 tahun XV

Lukisan "Di Pantai" karya Armawi KH, cat minyak pada kanvas. foto red

Roh Kesenian ................................................2 Esei - Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Si ..................3 - Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita ............6 - Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme oleh M Taufan Musonip .................................8 Cerita-pendek - Coup d’etat oleh F. Sophie ............................11 - Dapur oleh Cikie Wahab .............................. 19 - Kabut Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H .........23 Sajak - Muhammad Nurul .......................................28 - Irdas Yan ......................................................33 - Sir Saifa Abidillah.........................................39 Musik DKR & STSR dalam "Sembang Bunyi 12" ......46 Seni rupa Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar ...................50 Rehal Ciuman Hujan .................................................54 Tokoh Ferit Orhan Pamuk ........................................ 60 Illustrasi halaman 11,19 dan 23 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk

Roh Kesenian ROH atau nyawa, semua orang tahu, karena ada dalam dirinya sendiri; yakni “sesuatu” yang menghidupkan manusia. Kajian tentang roh akan lebih lengkap pada kalangan sufi atau para khalifah di tempat rumah suluk, apalagi jika sudah mencapai taraf tuan guru, bahkan para wali Allah. Ketika masih muda, sempat juga menimba ilmu seperti ini dengan beberapa guru di luar rumah suluk secara “liar”, atau mungkin disebut murid preman. Roh atau nyawa itu banyak macamnya, taklah kan disebutkan di ruang ini, karena ilmu ini bukan ilmu fiqih, maka akan menjadi fitnah bagi yang tak pernah belajar. Karena pada prinsipnya seseorang yang tak pernah mengecap rasa buah tampu (buah yang tumbuh liar di hutan, sekarang sudah langka), tak akan tahu bagaimana, apa rasanya buah tampu itu. Apakah roh kesenian itu? ATL (Asosiasi Tradisi Lisan Riau)dengan beberapa kawan bulan Januari 2013 yang lalu pergi ke beberapa kawasan kesenian dan kebudayaan, seperti mengunjungi Pak Taslim, Wak Setah di Rokanhulu, mengunjungi Mak Itam, Wan Khatijah, dan tatacara pembuatan “kelongkap”, yaitu perlengkapan untuk upacara pengobatan “bulian” di Kabupaten Pelalawan. Kalau sampai di rumah Pak Taslim, kita akan dapat melihat dan mendengar “roh kesenian dan kebudayaan” itu. Di rumah Pak Taslim itu banyak sejumlah instrument kesenian dan juga instrument kebudayaan yang berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat zaman dahulu maupun zaman sekarang, sebut saja lukah, ketiding, lesung indik, jobak, bermacam-macam alat-senjata, dan lain-lain ratusan yang tak dapat ditulis di sini karena banyaknya. Selain museum mini, Pak Taslim adalah juga “roh kesenian” itu sendiri. Pada

halaman 2

dirinya terdapat ensiklopedi kebudayaan Melayu, dan kesenian. Ketika pergi membuat dokumentasi film dokumenter tentang tatacara mengambil gula enau, tak ditemukan lagi pekerja yang mengambil gula enau itu pandai untuk berdendang atau lagu mantera untuk membuai “tangan” batang enau (nira) itu supaya airnya dapat lebih banyak dan melimpah, tapi Pak Taslim hafal dan tahu mantera lagu membuai “tangan” enau tersebut. Rombongan berangkat ke tempat Wak Setah, tukang koba. Dia tidak tinggal lagi di rumahnya yang lama, tetapi di rumah anak perempuannya yang paling tua di desa Kepanasan, yang agak jauh dari Kotalama dan Pagarantapah tempat tinggalnya, sehingga beberapa jam mobil yang kami sewa terpuruk di lumpur yang dalam, karena jalan yang tak bagus, sedangkan Indonesia sudah merdeka 68 tahun yang lalu. Wak Setah sudah tidak melihat lagi karena penyakit diabetes yang dideritanya, setahun sesudah anak perempuan bungsu kesayangannya meninggal-dunia akibat diabetes juga. Ada belasan cerita koba ada pada dirinya, beberapa secara pribadi sudah ada rekamannya, dan yang lain? Akan hilanglah ketika salah-seorang “roh kesenian” ini juga hilang. Di tempat yang lain di Sorek, Mak Itam dan Wan Khatijah “menyanyi-panjang” dengan beberapa cerita. Mak Pilih ibu Wan Khatijah sudah meninggal-dunia “hilang” bersama roh kesenian yang dimiliknya. Pak Comel, Pak Imam Bongkol (sahabat ketika berkolaborasi musik di Melaka) tukang ketobung pun sudah meninggal-dunia, dan roh musik yang ada pada diri mereka juga hilang. Di mana “roh kesenian” itu sekarang berada di bumi Melayu ini? Di Anjung Seni Idrus Tintin? Entahlah Nyot. ***


esei

Raja Ali Haji dalam Jejak dan Sajak oleh Bambang Widiatmoko, M.Si

etiap bulan Oktober perhatian kita tertuju kepada peringatan Bulan Ba-

Satu Bahasa Indonesia. Raja Ali Haji menulis

dua buah buku

hasa. Sumpah Pemuda yang menye-

mengenai bahasa yakni Kitab Pengetahuan

but Berbahasa Satu Bahasa Indonesia telah

Bahasa dan Bustanul Katibin. Kitab Penge-

menjadi bagian dari kehidupan berbangsa

tahuan Bahasa merupakan kamus ensik-

dan berbahasa. Rentang panjang kehadiran

lopedi monolingual Melayu yang pertama

bahasa Indonesia di negeri ini tentunya tidak

dan disusun tahun 1858, lalu dicetak dengan

dapat terlepas dari jasa besar Raja Ali Haji,

huruf Arab-Melayu (Jawi) pada Mathba’at

Bapak bahasa Indonesia. Beragam karya sep-

Al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press Si-

erti bahasa, agama, hukum, pemerintah dan

ngapura tahun 1929. Naskah tersebut disim-

syair-syair telah dihasilkan oleh Raja Ali Haji.

pan di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat.

Dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia

Jasa Raja Ali Haji bagi perkembangan

embrionya adalah bahasa Melayu Riau. Ar-

Bahasa Indonesia diakui hingga kini. Dalam

tinya pada awal permulaan abad ke-20 baha-

bidang kesastraan Raji Ali Haji menyum-

sa Indonesia belum dikenal. Para sejarawan

bangkan karya besar Gurindam Duabelas

menyebutkan nama Indonesia baru muncul

yang memperkokoh dia menjadi seorang pu-

sesudah tahun 1919 dan dikukuhkan saat ter-

jangga besar. Raja Ali Haji dilahirkan pada

jadinya Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

tahun 1808 di pusat kerajaan Riau yang saat

Pada saat itu muncul penyebutan Berbahasa

itu bertempat di Pulau Penyengat, tempat di halaman 3


mana akhirnya beliau dimakamkan. Sam-

Raja Ali Haji, Gurindam Duabelas yang

pai sekarang di pulau Penyengat masih me-

dalam interpretasinya disebut //dua belas

ninggalkan banyak catatan, kitab-kitab, dan

pasal cintaku padamu//. Ajaran yang tertu-

naskah-naskah sebagai tempat rujukan ba-

ang dalam Gurindam Duabelas yang tentu-

hasa Melayu.

nya tetap abadi untuk diikuti, di antaranya tertuang dalam pasal kedua: “barang siapa

Ali Haji dalam Persepsi Terkini

meninggalkan sembahyang/seperti rumah

Aktualisasi dan apresiasi terhadap karya

tiada bertiang/barang siapa meninggalkan

Raja Ali Haji dalam bidang kesastraan tidak

puasa/tidaklah mendapat dua termasa/ba-

pernah berhenti dan terus dilakukan oleh

rang siapa meninggalkan zakat/tiada artinya

para sastrawan hingga kini. Penyair Agus R.

beroleh berkat.�

Sardjono dalam kumpulan sajaknya Lum-

Dalam baris sajaknya Agus R. Sarjono

bung Perjumpaan (Komodo Books, 2011)

mengungkapkan /Bugis Melayu keris pe-

yang memperoleh hadiah sastra Majelis Sas-

rahu/. Apa yang dimaksudkan dalam baris

tra Asia Tenggara (Mastera), Oktober 2012,

sajak tersebut? Jika ditelusuri leluhur Raja

dalam salah satu sajaknya berjudul Ali Haji

Ali Haji adalah orang Bugis. Orang Bugis me-

mengisahkan:

mang dikenal sebagai pelaut yang ulung dan

//Seorang bangsawan menggores kalam/

gemar merantau. Dalam tradisi Bugis meran-

di ombak lautan di tanah sulaman/Bing-

tau disebut Sompeq dan merupakan perada-

kisan berharga berbilang zaman/serangkum

ban yang sangat tua. Mereka berlayar meng-

gurindam pegangan insan//Lirih sangat

gunakan perahu tanpa mengenal rasa takut.

nyanyikan balam/Lirih sejarah berkelindan

Ada ungkapan yang sangat popular dalam

barah/Gerangan ke manakah kejayaan silam/

tradisi Bugis sebagai pelaut yang ulung: “se-

Ke lubuk sengketa berebut marwah//Bugis

lama laut masih berombak, maka pasir di

Melayu keris perahu/menanam selendang

pantai tak akan pernah tenang.�

sejarah pilu/Tangis berlagu duka bertalu/

Agus R. Sarjono juga tidak salah jika

tinggal Melayu di gamang kalbu//Menanam

menuliskan dalam baris sajaknya //Dengan

selendang sejarah pilu/suluh pegawai tuan

penjajah berbagi guru/ikat-ikatan penguat

yang baru/Dengan penjajah berbagi guru/

kalbu//. Seperti diketahui dalam riwayat-

ikat-ikatan penguat kalbu.//Suluh pegawai

nya, pada tahun 1823 Raja Ali Haji mengi-

tuan yang baru/fi intizam raja dan ratu/Dua

kuti ayahnya ke Betawi, dan bertemu dengan

belas pasal cintaku padamu/Bulang cahaya

Gubernur Jendral Godort Alexander Gerard

berlayar rindu//Inderasakti ke mana pergi/

Philip Baron van der Capplen. Raja Ali Haji

Ke pusat kalam pengganti pedang/Akankah

berkesempatan berkenalan dengan kehidu-

melayu hilang di bumi/Saat sang kalam ber-

pan orang-orang Belanda dan menyaksikan

tukar uang//Fi intizam raja dan ratu/rakyat

beragam pertunjukan kesenian. Artinya Raja

menunggu di balik pintu/Bukalah pintu bu-

Ali Haji dapat menimba dan berbagi ilmu

kalah kalbu/biar Melayu kembali melagu//

dengan penjajah.

(hal. 29-30).

Namun ada yang membuat miris hati saya

Raja Ali Haji dalam pemahaman penyair

ketika Agus R. Sarjono menuliskan dalam sa-

Agus R. Sarjono telah menggoreskan per-

jaknya: //Akankah melayu hilang di bumi/

kataan yang dapat dijadikan pegangan insan.

saat sang kalam bertukar uang//. Kapital-

Tentu yang dimaksudkannya adalah karya

isme dan komersialisme demikian kuat men-

halaman 4


cengkeram dalam kehidupan kita. Ancaman yang bisa jadi akan menghilangkan Melayu

jakmu/menyeberang lautan//. ***

di muka bumi, saat yang berkuasa tidak lagi

Karya pujangga besar Raja Ali Haji terus

lagi raja, kepala negara atau pujangga, me-

dipahami dan menjadi sumber inspirasi para

lainkan uang yang telah merasuki jiwa kita.

penyair terkini. Agus R. Sarjono dan Taufiq

Meskipun demikian kita selalu berharap se-

Ismail hanya sekadar contoh penyair yang

perti yang dikatakan Agus dalam bait terakhir

mendapat semangat dalam berkarya dan ke-

sajaknya://Bukalah pintu bukalah kalbu/biar

betulan menuliskan persepsinya terhadap

Melayu kembali melagu//.

Raja Ali Haji secara langsung dalam sajaknya.

Keterpukauan terhadap Raja Ali Haji tidak

Perlu ditanyakan apakah semangat Sum-

hanya dimiliki Agus R. Sarjono. Penyair Tau-

pah Pemuda tetap aktual dalam kehidupan

fiq Ismail juga menuliskan tentang Raja Ali

berbangsa dan bernegara dalam menghadapi

Haji dalam sajaknya berjudul Perjalanan

tantangan zaman? Tantangan yang hanya da-

Menziarahi Raja Ali Haji. Dalam ingatan

pat dijawab dengan perbuatan, bukan dengan

dan pemahaman Taufiq Ismail yang ditu-

kata-kata. Ingatlah kata Raja Ali Haji dalam

angkan dalam sajaknya://Ada dua tempat

Gurindam Duabelas: “apabila banyak berka-

di muka bumi ini yang mengcengkeram per-

ta-kata/di situlah jalan masuk dusta.”

asaaanku/Yang pertama perpustakaan dan kedua kuburan//. Taufiq Ismail menceritakan kisahnya ketika berziarah ke makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat://Demikianlah aku naik perahu sendirian/bergoyang-goyang digoncang arus musim kemarau, mega di atas bagai/ bulu domba, mendarat di Pulau Penyengat//

BAMBANG WIDIATMOKO Penyair, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI), dan salah-seorang deklarator Hari Puisi Indonesia

Inilah ziarahku ke kuburan cendekia besar abad sembilan belas,/penyair Gurindam Dua belas// Disebutkan Raja Ali Haji adalah seorang

cendekia besar abad sembilan belas dan Taufiq Ismail menunjukkan kecendekiawan Raja Ali Haji dengan mengutip Gurindam Duabelas: “Kasihkan orang yang berilmu/tanda rahmat atas dirimu.” Keterpukauan Taufiq Ismail kepada Raja Ali Haji sebagai penyair besar abad 19 ditunjukkan dengan menuliskan dalam bait terakhir sajaknya://Wahai Penyair besar abad 19, kuburanmu adalah isyarat akhirat/bagi perjalanan dunia fana, /teladan amal karya sastrawan beriman, begitu dalam/mencekam perasaan, dan, terimalah Ummul Quran/seorang penyair abad 20, yang menghitung jehalaman 5


esei

Ke Manakah Puisi? oleh Alvi Puspita

PUISI. Begitulah namanya. Kebe-

majalah-majalah sastra pula yang juga me-

basan masing-masing kita mendefinisikan-

muat puisi. Ditambah pula acara-acara lom-

nya. Tapi, bagiku puisi adalah hidup. Hidup

ba penulisan puisi, acara pembacaan puisi,

adalah mati. Dan kata kawanku mati adalah

dinding-dinding Facebook yang sering pula

kita. Jadi puisi adalah kita yang hidup dan

ditongkrongi puisi, antologi-antologi puisi

yang mati. Terbungkus dalam racik masak

yang ternyata tetap saja masih ada dari tahun

bahasa. Dan bahasa bukan hanya soal kata-

ke tahun dari pasar pembacanya yang tidak

kata tapi dari mana asal kata-kata. Dari pikir

banyak itu. Penyair-penyair muda tumbuh

dan renungan, semestinya. Anggaplah begitu.

dan yang tua masih enggan mati pula. Lalu

Menikmati puisi berarti menikmati hidup

apa maksud pertanyaanmu itu, katanya : Ke

dan mati. Dalam hidup dan mati terdapat ke-

Manakah Puisi?

inginan, harapan, ketakutan, kebingungan,

Puisi, bukan hanya soal kata-kata. Bukan

kebimbangan, mimpi-mimpi, kerinduan pun

pula soal siapa. Pun naif juga kalau bertanya

amarah, yang selayaknya menjadi indah dan

untuk apa. Lalu apa? Sudahkah kita bertan-

basah dalam puisi.

ya tentang apa dan mengapa di setiap yang

Maka aku mencari puisi. Belum juga kute-

hidup dan yang mati di jagad raya ini, di ceruk

mukan ia. Pun di kota ini. Aku mencoba mem-

kedalaman jiwa dan kebimbangan diri kemu-

buatnya sendiri. Tapi setelah itu aku merasa

dian mencoba menjawabnya dengan puisi.

belum menulis apa-apa. Kemudian sepi. Ke-

Walau itu hanyalah kemungkinan jawaban,

mudian resah. Kemudian gelisah. Kemudian

tapi begitulah puisi menurutku.

rindu pula. Lalu aku mencoba mencarinya

Lalu apa persoalannya, katanya lagi me-

lagi. Kudatangi tempat-tempat yang kukira

ragukanku. Bukankah sudah kau katakan

ada puisi disana. Tapi ternyata yang kutemu-

bahwa puisi adalah soal kebebasan masing-

kan penyairnya. Lalu diri jadi bertanya, ke

masing kita mendefinisikannya. Kalau be-

manakah puisi?

gitu menurutmu puisi, maka tulislah sendiri

Huss! Itu pertanyaan konyol, katanya

puisi yang seperti itu. Selagi kau mencari

padaku. Apakah kau tidak lihat, ada berapa

takkan juga kau temukan, apalagi kalau kau

banyak koran Minggu yang ada puisinya. Ada

mencarinya di rumah orang lain. Ah! Aku tak

halaman 6


tahu. Lalu untuk apakah puisi itu diterbitkan,

teaterikalnya dan puisinya malah jadi hilang

di bukukan atau dibacakan kalau toh hanya

sama sekali. Sekarang kamu mau bilang apa

memang soal masing-masing penyairnya.

kalau aku sudah bilang begini. Membaca ke-

Lalu di mana pembaca yang mencari sesuatu

banyakan puisi aku jadi bingung apa yang di-

dari puisi? Bukankah tak semua orang pula

maksudkan penyairnya, mereka mengguna-

mampu menulis puisi? Atau memang tidak

kan kata-kata yang dibangkitkan dari kubur.

perlu mencari sesuatu dari puisi? Karena pui-

Aku jadi perlu tahu dulu tentang kubur itu.

si bukanlah apa-apa. Hanya sebatas kata-kata

Capek dech. Kemanakah puisi?

yang diperjualbelikan untuk sekedar mengisi

Dia membuang mukanya dariku. Ban-

perut. Hanya sebatas alat untuk ‘ada’nya diri

yak hal yang tidak kita paham apalagi kalau

si penyair. Hanyalah rangkai-merangkai kata

hanya melihatnya sepotong-potong. Telah

untuk berindah-indah. Hanya....Ups. Engkau

berapa banyak puisi yang kau baca. Sejauh

mulai emosi, katanya padaku. Emosi tidak

mana engkau mengikuti puisi. Sedalam mana

akan membawamu kemana-mana. Tidak

engkau menyetubuhi puisi. Sebatas apa pem-

akan memperterang jalan. Iya, tetapi me-

bacaanmu pada diri sendiri sebelum mem-

ngapa selalu engkau menyangkalku dan tidak

baca orang lain. Kau terlalu campur-aduk.

biarkan aku bebas menyampaikan kegelisa-

Puisi bukan kebenaran. Hazab kau mencari

hanku. Aku sengaja begini agar kau lebih teliti

kebenaran dalam puisi. Ah. Dia menohokku

pada apa yang engkau tanyakan. Tapi adakah

dari pertanyaanku tadi. Kalau sudah be-

salah aku mempertanyakan hal itu. Tidak

gini kami akan saling diam. Tapi aku masih

salah, tapi kau mesti punya alasan pemikiran

tetap dalam pertanyaanku, Ke Manakah

yang jelas kenapa kau mempertanyakan itu,

Puisi? Mungkin pembaca sekalian ada yang

karena kini ataupun nanti tidak dibutuhkan

mau menengahi kami. Atau... Terserahlah....

hanya sekedar penghakiman-penghakiman.

Terserah pembaca saja. Ini mau dilanjutkan

Ah. Jangan bawa aku terlalu jauh. Kembali

atau tidak. Terserah sajalah.

ke pertanyaanku tadi tentang Ke Manakah Puisi, apakah berarti menghakimi. Terkesan

***

begitu. Dengan pertanyaanmu itu semacam tersimpan pernyataan bahwa tidak ada puisi. Nah, bagaimana kalau aku mengiyakan dugaanmu itu tentangku. Bahwa aku mengatakan memang tak ada puisi. Dan puisi yang aku maksud adalah puisi seperti yang telah kujelaskan padamu itu. Yang aku temukan adalah penyairnya. Obrolon-obrolan penuh polemik tentang yang satu menghujam yang

lain. Tentang yang lain yang mencerca yang lain pula. Apakah puisi yang lembut itu menghasilkan orang-orang yang mudah mencerca dan apakah orang-orang yang suka mencerca bisa menghasilkan puisi? Lalu, pembacaanpembacaan puisi, takkah kau merasakan hal yang sama denganku, bahwa lebih banyak halaman 7


esei

Pembacaan Teks Sastra, Kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme oleh M Taufan Musonip

umpulan Esai

Kesusastraan

berapa negara pemerintahan diktatoriat.

dan kekuasaan (Yayasan Arus,

Wiratmo berpendapat bahwa pada ke-

1984) karya Wiratmo Soekito,

nyataannya teks menciptakan universalitas,

yang pada tulisan pembukanya menelusuri

dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks

secara singkat kiprah George Lukacs, dalam

Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan

gerakan sosialisme yang meneruka jalan

awal membebaskan bangsa Indonesia dari

kesustraan pada pembacaan atas dua novel

penjajahan seperti halnya pula karyakarya

Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos,

sastra lainnya yang telah memberi inspirasi

merupakan ima-jinasi tentang pergerakan

pergerakan: Karya-karya Muhammad Iqbal

kepahlawanan melawan kekuasaan diktator

yang menginspirasi kemerdekaan Negara

yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah

Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang

dua novel itu terbit (1930an) muncul di be-

memicu perang Saudara.

halaman 8


Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam

Teeuw mengambil contoh teks pidato

bukunya Indonesia antara Kelisanan dan

Presiden Indonesia tahun 1988, yang secara

Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) menya-

tematik maupun jangkauan literasi, beserta

takan dengan adanya jarak (distance) antara

retorika politik memang berniat memper-

sang kreator dengan pembaca pada budaya

satukan pemahaman sidang pendengar. Dia

teks ketimbang antara pembicara dan hadi-

kemudian mengkhawatirkan mungkin de-

rin, justru akan membangun pembacaan

ngan cara deklamasi, kekuatan teks puisi

multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenar-

akan kalah dengan kekuatan cara pembacaan

nya letak perbedaan dari wacana yang di-

sang Penyair, yang kemudian akan menon-

sampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika

jolkan Penyairnya ketimbang karyanya. Te-

kita memahami bahwa keduanya sebenarnya

sisnya diperkuat dengan kajian mitologi Yu-

sedang membicarakan tradisi tulis dengan

nani, Homeros si buta sebagai pengisah Illiad

pertimbanganpertimbangan kesusastraan.

dan Oddisey, yang dibawakan secara lisani, membuat sang pencerita dan karyanya menjadi menonjol tanpa kritik. Tradisi Lisani itu

Historiografi Dalam teks sastra, pengalaman terekstrak-

kemudian mendapatkan kritik dari imajinasi

si menjadi semacam plot, diksi, lebih lanjut

Republiknya Plato, yang oleh Teeuw disebut-

lagi dalam refleksi puitik menjadi metafora,

sebut sebagai awal mula kebudayaan tinggi

simbol dan bunyi. Aktifitas penulisan sas-

Yunani, yaitu titik tolak lahirnya tradisi tulis

tra, merupakan endapan pengalaman, potret

yang melahirkan kritisisme.

yang masuk ke dalam ruang pembacaan ba-

Dalam Bab II yang secara khusus mem-

tin, guna memperoleh estetika memadai, oleh

bahas penyair Hamzah Fansuri (1600 M),

karenanya bersifat individual.

Teeuw memang berkutat dalam teks puisi

Karena pengalaman terekstrasi dalam

ketimbang siapa Hamzah Fansuri sendiri.

berbagai kaidah sastrawi (plot, simbol, meta-

Ketika pembacaan atas teks puisi itu habis

fora dan bunyi) pembacaanpun bersifat in-

di bedah tentang pola rubai'at yang diban-

dividual, melahirkan multi tafsir, kritik yang

gun Hamzah dalam sajaknya sebagai bentuk

beragam. Teeuw, mengatakan bahwa hadir-

baru sistem rubai'at Persia, atau tentang pe-

nya varian perbedaan pembacaan karena teks

nulisan subjek Hamzah Fansuri dalam setiap

yang tercerap oleh indera penglihatan bersi-

penutup puisinya barulah ia bercerita tentang

fat memecah, sementara dalam tradisi lisan,

Penulisnya. Menurutnya historiografi dalam

meskipun merupakan hasil pembacaan teks

teks sastra berawal dari tulisannya, bukan

ia bersifat mempersatukan.

dari riwayat hidupnya. Dalam pada itu, maka

F.int

M TAUFAN MUSONIP Lahir 16 Desember 1979 di Bandung. Alumni Universitas Jenderal Achmad Yani, Jurusan Teknik Kimia. Karya-karyanya telah dimuat di beberapa harian dan majalah lokal dan nasional. Penerima Anugerah Juara Pertama Anugerah Buletin Jejak kategori Esai Kritik yang dikurasi oleh Ketua Forum Sastra Bekasi Budhi Setyawan. Beberapa esainya telah berhasil menjadi pengantar beberapa karya penyair, seperti Dilematika Sang Simtom untuk eBook Simtomsimtom sebelum Penyair karya Ganjar Sudibyo (Ganz) juga telah dimuat dalam Harian Umum Berita Pagi, Tragedi Kekacauan Gelombang Cahaya untuk Buku Awan Hitam karya halaman 9 Fuad dll.


sang pengulas karya mendapatkan pandan-

Maka keberhasilan hadirnya teks sastra

gan baru tentang siapa tokoh yang tengah

adalah lahirnya eksistensialisme: mencipta-

ia dalami itu: : Hamzah Fansuri dinobatkan

kan pembaca yang terangsang untuk bebas

Teeuw sebagai awal pencetus puisi modern

menafsir dan meyakini isi di balik teks secara

di Indonesia atas otentisitas proses keka-

sendiri, sambil mengaktualkan diri dalam

ryaannya, merupakan terobosan bagi penulis

berbagai pertemuan, membicarakan sudut

berkebangsaan Belanda ini terhadap sejarah

pandang masingmasing mengenai karya yang

kesustraan Indonesia yang memahami puisi

tengah dibacanya.***

modern lahir sejak angkatan 45. Titik Jika teks sastra adalah ungkapan tertinggi seorang individu manusia tentang pengalamannya yang memiliki ruang refleksi sebagai pengekstraksinya, dua buku Kafka yang terbaca oleh Lukacs, merupakan bukti bahwa individualitas baik dalam proses penciptaan maupun pembacaan hanya merupakan titik sebagai awal mula terbentuknya perkumpulan semesta manusia, membicarakan sebuah karya. Titik itu menciptakan inspirasi bagi kehidupan, termasuk membangun budaya kritik, di sini karya sastra menemukan momentumnya sebagai monumen arkeologi seperti pernah dibicarakan Foucault. Sejauh mana Sebuah karya sastra dapat menjadi jalan bagi sebuah perjalanan perubahan kolektif ditentukan dengan seberapa banyak karya tersebut telah dilisankan, bukan dalam bentuk propaganda, tetapi dalam berbagai bentuk diskusi yang kritis yang kemudian dapat menerbitkan inspirasi kepada pergerakan ke arah humanisme. Kecuali memang sudah tidak ada lagi tempat pembicaraan humanisme dalam sastra. Dan bagaimana sebuah sastra dapat membangun kekuatan pribadi, sebagai kritisisme lebih lanjut, maka aktifitas kelisanan yang membicarakan sebuah karya akan diteruskan kepada aktifitas pembacaan, yang menstimulus pemahaman dan sudut pandang terhadap teks secara lebih reflektif. halaman 10


cerita-pendek

Coup d’etat oleh F. Sophie

halaman 11


“Auw!” Rambut panjang milik gadis itu tersasak sempurna karena gulingan tubuhnya di atas tangga. Buku dan kertas-kertas berhamburan. Ketika tubuh semampainya mencapai lantai ia meringis. Ego. Sombong. Dua hal yang sulit dipilih untuk mendefinisikan sikapnya. Pikirannya berkecamuk. Ia harus meneguhkan pendirian yang sudah lama ia bangun. Ia bagai tembok Berlin. Tapi kini haruskah tembok yang susah-payah ia bangun itu runtuh? Dan membiarkan seseorang melakukan kudeta? “Nein1!” Gadis itu menggeleng cepat. Ia menyusun kembali buku-bukunya. Ia berpikir tak boleh ada kudeta lagi. Pengalaman buruk berpacaran dengan Paul setahun lalu membuatnya sudah cukup lama tak membuka hati untuk siapa pun. Berbulan-bulan, ia berusaha menikmati kekosongan hatinya. Tapi kini pintu hatinya membuka sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah mengetuknya. “Kau tidak apa-apa?” Ia mengenali suara itu. Suara dari seseorang yang berusaha ia hindari. Ia mendongak. Fareed sedang membungkuk di hadapannya. Beberapa temannya juga ternyata sedang mengelilinginya. Ia hanya tak menyadari. “Tidak. Aku tidak apa-apa.” Katanya kemudian. Ia lalu bangkit dan berdiri. Memperbaiki syal tebal yang melingkari lehernya. “Kau harus lebih hati-hati lagi, Sarah”. Salah satu temannya menepuk-nepuk pundaknya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum ke arah mereka yang bubar satu per satu. Hanya Fareed yang tak pergi. Pemuda itu sedang memungut lembaran-lembaran milik Sarah yang tersisa di lantai yang dingin. Semakin dingin oleh angin musim gugur. “Tidak usah. Biar aku saja. .” Sarah mengambil satu lembar lagi yang belum dipungut Fareed. Mencopot yang sudah ada di tangan pemuda itu dengan sikap dingin. Lebih dingin dari lantai itu. “Aku pergi.” Katanya tanpa mengarahkan wajahnya pada Fareed. Sudah lima meter ia meni-nggalkan Fareed. Ketika Fareed memanggil namanya ia menghentikan langkahnya. Ia menunggu apa yang akan dikatakan Fareed. Tubuhnya tak berputar sedikit pun. “Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Maksudku, apa aku pernah membuatmu tidak nyaman?” Fareed masih berdiri dengan wajah bingung. Sarah diam. Sesuatu kembali melintas dalam pikirannya. “Entahlah. Mungkin, aku hanya butuh waktu sendiri.” Ia melanjutkan

halaman 12


langkahnya. Tidak ada yang salah. Bahkan kau selalu membuatku nyaman. Aku sendirilah yang membuatku tidak nyaman. Aku dengan perasaanku. Juga dengan perbedaan. Kita berbeda. Sudah empat bulan Sarah bersikeras tidak memercayai perasaannya terhadap Fareed sahabatnya. Sehingga ia membiarkan saja semuanya berjalan seperti biasa. Persahabatannya dengan Fareed berawal sejak Fareed beberapa kali datang ke rumahnya untuk menemui Profesor Gerold, ayahnya yang berprofesi sebagai peneliti Islam dan pengajar Teologi Islam di kelas Fareed. Sarah sering mendengar diskusi antara Fareed dan ayahnya dari luar ruang kerja ayahnya. Sarah kuliah di bidang sastra di kampus yang sama dengan Fareed, Goethe University Frankfurt. Profesor Gerold sering mengajak Sarah berdiskusi tentang apa yang diajarkannya pada mahasiswanya. Itu yang membuat Sarah memiliki wawasan yang luas terhadap Islam. Sehingga ia juga sering berdiskusi dengan Fareed. “Coba kau baca ini!” Suatu kali ia menyodorkan selembar tulisan tangannya pada Fareed yang sedang asyik melahap sauerkraut3 di kantin kampus. “Apa ini?” “Apa menurutmu Tuan Goethe ini seorang Muslim?” Kening Fareed mengerut memperhatikan Sarah yang begitu datang langsung menyodorkan sesuatu untuk dibacanya. Langsung dengan satu pertanyaan. Fareed tahu siapa itu Goethe. Penyair Jerman Klasik yang lahir tiga setengah abad yang lalu. Yang namanya menjadi nama kampusnya itu. Sebuah puisi karya Goethe yang berjudul West-ostlicher Divan: "Ob der Koran von Ewigkeit sei? / Darnach frag' ich nicht ! .../ Dasse er das Buch der Bucher sei / Glaub' ich aus / MosleminenPflicht"/--“Apakah Qur’an dari keabadian?/ Saya tidak mempertanyakan hal itu! / Bahwa dia adalah buku dari semua buku-buku / Saya percaya karena wujud keajaiban seorang muslim.” Fareed tersenyum membacanya. “Menurutmu?” “Goethe, tidak jelas apakah dia benar-benar muslim.” “Tapi tidak sedikit juga yang menyimpulkan kalau dia seorang Muslim. Apalagi setelah dikeluarkannya hasil penelitian mendalam oleh ulama Eropa masa kini, Syeikh Dr. Abdalqadir as Sufi, bersama salah satu muridnya Abu Bakr Rieger. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa Goethe mati dalam keadaan Muslim.” “Well, terlepas dari itu. Aku setuju dengan apa yang ditulisnya. Buku dari semua buku-buku.” Dan mengalirlah pendapatnya. Sarah memang percaya. Al Qur’an itu adalah Firman Suci. Bahkan ia sendiri takjub mengetahui bagaimana Kitab Suci Umat Islam itu halaman 13


selalu dihina, dijatuhkan dari zaman ke zaman, sampai sekarang selalu ada pihak-pihak yang berusaha mendistorsi isi di dalamnya. Namun Kitab ini tetap otentik. Apa yang ada padanya (Al Qur’an) di awal ia diturunkan sama persis dengan kitab yang dibaca para muslim sekarang. Sarah tahu itu. Tahu dari penjelasan-penjelasan ayahnya sejak lama. Meski Sarah banyak tahu. Tapi tak membuatnya memeluk Islam, sama seperti ayahnya. Sehingga Fareed terkadang selalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri setelah mereka berdua berdiskusi. Mengapa gadis ini dan ayahnya tidak memeluk Islam saja? Tapi Fareed tak pernah mengutarakannya secara langsung. Karena menurutnya itu akan membuat Sarah tidak nyaman. Sarah dan Ayahnya bukan orang yang taat beragama. Mereka juga tidak mencari sesuatu yang spiritual. Mereka percaya sebisanya. Tetapi mereka hanya ingin tetap objektif, menjaga jarak. Menjadi salah satu dari sedikit orang yang mengatakan apa yang benar dan masuk akal. Sehingga orang-orang mungkin menganggap mereka agnostik. Tapi ketika perasaan—yang awalnya Sarah ragukan itu—mulai ada. Semuanya seperti harus ia gali dan ada sesuatu yang harus ia cari. Fareed pemuda yang bersahaja. Sarah mengakui itu. Fareed selalu sabar dengan pertanyaan-pertanyaan provokatif yang kadang Sarah lontarkan saat diskusi seperti “Apa yang membuat mereka— para teroris—itu melakukannya? Padahal syari’at tidak pernah mengajarkan hal itu. Membuat orang-orang yang tak berdosa juga menjadi korban?” Ya. Sarah tahu bahwa syari’at tidak pernah mengajarkan kegiatan teror. “Begini. Dalam semangat militansi dakwah Islam. Ada musuh yang memang harus diperangi. Tetapi banyak yang salah mengartikan ‘musuh’. Mengartikan musuh dengan sangat mentah. Menggeneralisasikan kesalahan sehingga memicu tindak gegabah yang merugikan banyak orang. Misalnya segelintir orang Amerika melakukan tindakan biadap, maka seluruh Amerika dipersalahkan dan dibenci. Itu sangat tidak bijak. Musuh-musuh yang harus diperangi yang dianjurkan dalam Islam adalah musuh-musuh yang substansial seperti zina, korupsi, zalim, dan sebagainya. Musuh yang seperti itu sebetulnya adalah benda mati. Ia menjadi berwujud ketika ada orang yang melakukannya. Nah, yang kita perangi itu bukan orangnya, tapi musuh-musuh substansial itu.” “Lantas bagaimana kalian memerangi benda mati?” “Dengan menyampaikan pengetahuan Islam itu sendiri. Bagaimana Islam mengatur semuanya. Apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Bagaimana hukumnya. Mungkin tidak se-

halaman 14


mua muslim terutama nonmuslim langsung akan menerimanya. Tapi sabar dan bertahap. Itulah yang diajarkan Islam.” Fareed mengangkat segelas air lalu meneguknya. “Kurasa kamu mengerti. Kadang kamu lebih banyak tahu dariku. Seperti Ayahmu.” Begitulah Fareed dengan sabar meluruskan. Tidak dengan apologi-apologi. Tidak juga ad hominem4. Namun Sarah tak berkedip. Mendengar apa yang dikatakan Fareed menimbulkan suatu kekaguman baru. Tapi ia tak akan menunjukkan rasa kagumnya. Sarah menarik tubuhnya ke sandaran kursi. Ia masih diam menatap Fareed. “Entschuldigung5, jika tadi itu membuatmu tidak nyaman.” Fareed menangkupkan kedua tangannya. Fareed selalu ingin membuat Sarah nyaman. Tapi satu hal yang Sarah sadari pada detik itu. Bahwa ia telah menyukai Fareed. Sejak pertama kali. Sejak ia selalu merasa nyaman ketika bersama Fareed meski melalui diskusi mereka. Hatinya tidak bisa tidak mengakuinya. Tapi otaknya bersikeras tidak mau ini terjadi. Ia harus menguasai hatinya. Sudah susah payah ia membangun sistem di kerajaan hatinya. Tidak boleh ada lagi laki-laki yang akan menyakiti seorang Sarah Austmann. Sakit jika mengetahui laki-laki itu tak akan pernah menjadi miliknya. Karena ia tahu Fareed tak akan menikahi perempuan nonmuslim. *** Petempuran adalah salah satu hal yang paling Sarah benci. Dan kini ia sedang mengalaminya. Pertempuran batin yang menyita sebagian waktunya. Apakah perbedaan di antara mereka bisa menyatu dan damai dalam cinta. Hah! Ini gila. Bahkan Sarah belum tahu apakah Fareed juga menyukainya? Dulu, sejak Paul pergi meninggalkannya dan menikahi gadis lain, ia mengunci rapat hatinya dan tidak akan pernah terbuka untuk lelaki manapun. Membangun tembok pertahanan diri yang kokoh, agar perih tak lagi menggerayangi ulu hatinya. Merasa perih mengingat-ingat telah banyak hal yang ia lakukan bersama Paul. Sarah memaku. Menatap luar kaca jendela trem. Bisu. trem yang ia naiki melambat. Pintu trem membuka. Seseorang masuk kemudian duduk di sebelahnya. Trem kembali melaju. Suara dehaman dari seseorang di sebelahnya mengangkatnya dari lamunan panjang. Sarah menoleh. Fareed. Sarah menghela nafas berat. Senyum yang sedikit ia paksakan. Tapi, ia merasa harus meminta maaf pada Fareed. Fareed pasti kaget jika ia tiba-tiba menghilang dan menghindar beberapa hari terakhir. “Maaf. Bukan apa-apa. Kemarin, aku hanya butuh memperjelas

halaman 15


semuanya dengan menyendiri.” Sarah menoleh ke luar jendela lagi. “Maksudmu?” Kening Fareed sedikit melipat. “Memperjelas apa?” Cinta. Bagaimana aku akan meneruskan cinta ini? Tapi Sarah tak akan mengungkapkan hal itu. “Coup d’etat.” Katanya kemudian. “Kudeta?” “Ja6. Aku tidak menyukai kudeta.” “Dan aku sangat menyukai sauerkraut.” Sarah menoleh kembali. Ditatapnya Fareed sejenak. “Jangan sebut-sebut makanan dulu bisa kan?” “Ibuku tadi memasaknya. Aku membantunya mengiris kubis. Susah payah karena cutter yang kugunakan kurang tajam sementara mengirisnya itu harus tipis-tip…” “Glorious Revolution. Salah satu kudeta paling berdarah dalam sejarah Inggris. Dan aku membenci pertempuran dan darah. Revolusi Bolshevik, 18 Brumaire, Revolusi Xinhai, Kudeta Cheska dan Slavia. Sama saja. Semua memakan korban.” Dan dalam kasus kudetamu terhadap hatiku, akulah yang menjadi korban yang uring-uringan beberapa hari terakhir ini. “Rasa sauerkraut itu asam, tapi aku suka.” “Halt7 Fareed!” “Asam. Seasam mukamu pagi ini.” Sarah menghela napas. Fareed jadi terkekeh melihat raut muka Sarah yang berat. “Ehe. Ayolah, aku mencoba melucu, supaya mukamu itu tidak terlalu berat. Sangat berat dan aku tidak bisa memikulnya. Dan by the way, haruskah kamu menghilang dan menghindariku hanya karena kamu tidak suka dengan coup d‘etat?” “Coup d’etat itu illegal, inkonstitusional dan kebanyakan bersifat brutal.” Tapi bedanya, kamu tidak brutal. Kamu lembut. Apa kamu tidak tahu aku sangat memujamu?Memujamu membuatku menghormatimu. Menghormati agamamu. “Jadi maksud kamu, aku ini brutal?” “Pencuri lebih tepatnya!” “Hah? OK. Mungkin aku belum mengerti kamu sedang membicarakan apa, tapi kenapa? Apa hubungannya denganku? Mengapa aku dipersalahkan?” “Bodoh! Karena aku menyukaimu. Aku mencintaimu.” Kamu mencuri hatiku. Fareed terkesiap. Sarah sendiri tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya begitu saja. Ia melirik sekitar berharap bahwa katakata tadi berasal dari mulut orang lain di dalam trem ini. Tapi siasia. Ia mengenali suaranya sendiri. Dan terlalu bodoh jika Fareed halaman 16


tidak mengenali suaranya. Meski Fareed kaget, dalam pikirannya ia menderetkan beberapa kata. Kudeta, Cinta, Menghilang. Tak peduli ia tak akan mencoba menghubungkan benang merahnya. Karena ia juga sudah lama menyukai Sarah. Itulah sebabnya ia selalu ingin membuat Sarah nyaman. “Willst du mich heiraten?”8 Fareed meminta sesuatu yang sakral bagi Sarah. *** Sehelai daun maple tepat jatuh di atas sepatunya. Langkah terhenti. Suara mobil-mobil melintas beradu dengan desau angin yang dingin. Angin mengibaskan helai-helai lembut rambut cokelat milik gadis itu. Sehelai daun jatuh lagi dan tersangkut di rambutnya. Sudah sebulan sejak Fareed mengatakan ‘maukah kau menikah denganku?’ padanya. Tapi kini ia masih sendiri. Menjauh untuk melihat segalanya dengan jernih. Ia harus mencari sesuatu maka ia pergi; meninggalkan Fareed dan tidak bertemu. Ia sangat ingin mengatakan ‘iya’ saat itu. Tapi entah mengapa rasanya ada hal lain yang mendorongnya untuk menjawab sebaliknya. Bahwa ketika ia tahu Fareed juga mengaku menyukainya, semakin ia merasa harus pergi menemukan sesuatu itu. Fareed pernah berkata dalam diskusi mereka. Masih jelas teringat. Dulu, sebelum ia memiliki perasaan apapun terhadap Fareed. Bahwa wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula. Fareed menyebutkan nama surat dalam Al Qur’an tempat kata-kata itu tertera. Tapi aku belum cukup baik untuk menikah denganmu, Fareed. Aku memujamu dan menghormatimu, sehingga aku tidak rela jika kau mendapatkan perempuan yang tidak baik. Ia tahu Fareed orang yang baik. Tapi untuk meyakini Islam ia masih ingin menjaga jarak. Sarah tidak ingin seperti Reinhard—teman ayahnya—yang meneliti agama Hindu di India lalu akhirnya ia memeluk agama Hindu. Atau Tesla yang memeluk agama Budha lama setelah penelitiannya terhadap agama itu. Tapi bagi Sarah, mungkin butuh sedikit waktu lagi untuk benar-benar meyakininya. Ia merenung panjang. Hingga saat Ayahnya tiba-tiba kesulitan bernafas pagi tadi. Ia tidak tahu penyebabnya apa. Ia menangis sambil memencet nomor telpon rumah sakit dan berkata, “Ayah tidak boleh pergi. Aku sangat menyayangimu Ayah.” Tubuh ayahnya mulai membiru dan semakin membiru karena bersusah payah untuk menghirup udara. Sarah butuh untuk menyebut nama Tuhan. Memohon. Hal yang tidak pernah ia lakukan. Ia butuh memohon pada sesuatu yang Maha. “Allah.” Kecil bisikan suara itu terdengar dari mulut Ayahnya. halaman 17


Sarah mencoba mendengar kembali dengan lebih jelas. “Ya, papa?” “Allah.” “A…Allah?” Sarah kebingungan. “Allah.” Air matanya semakin menitik. Ia tak tahu dari mana datangnya sesuatu yang membuatnya menggigil. Tubuhnya bergetar. Pikirannya bersilang lindan. Hatinya bergetar. Getar yang membuatnya ketakutan. “Ja. Allah.” Apa Kau disana? Tolong dengarkan kami. Namun seketika itu juga Ayahnya berhenti bergerak. Kaku. Tepat ketika paramedis datang. Para suster mengangkat Ayahnya ke dalam ambulans. Dan di atas sesengguknya, ia hanya memikirkan satu hal. Apakah ia terlalu sombong, hingga butuh Ayahnya sebagai tebusan? Kini ia mematung di bawah deretan pohon maple di pinggir jalan. Coup d’etat. Kudeta itu memang selalu dibarengi dengan revolusi. Mengganti sistem lama dengan sistem yang baru. Dan kini ia siap menyerahkan kekuasaannya. Menyerahkannya dengan suka rela. Revolusi jiwa telah terjadi.

Catatan: 1. Nein = tidak 2. Danke sehr = terima kasih 3. Sauerkraut = acar kubis 4. Ad hominem berasal dari ‘argumentum ad hominem’ yaitu upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut. 5. Entschuldigung = maaf 6. Ja = ya 7. Halt = stop 8. Willst du mich heiraten? = maukah kau menikah denganku?

F. SOPHIE Lahir di Selaparang, Lombok Timur 11 September 1991. Studi di Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Mataram. Aktif di Penalaran dan Riset Mahasiswa (Prima). Cerpennya pernah dimuat di Majalah Annida.

halaman 18


cerita-pendek

Dapur oleh Cikie Wahab

mi berjalan merunduk di depan tamu ayahnya, itu kutahu saat kami bertemu sepuluh menit yang lalu. Wajjah Ami merah padam dan matanya berair perlahan. “Maafkan aku, aku tak bisa membantumu,� ucapku setelah ia mengatakan semuanya.

halaman 19


“Ya. Harusnya kau tak tahu masalahku!” Dari celah-celah yang cukup besar untuk kami saling melihat, mataku tak hentinya menatap Ami yang terdiam mengenang apa yang sebelumnya terjadi. Dua bola matanya yang hitam padat seperti luruh dan menyatu dengan airmata. Ia kemudian menyibakkan rambutnya yang bergelombang sembari menyeka matanya yang memerah. “Kita lupakan saja masalah ini! Hmm..apa yang kau perbuat disana?” Ami dengan tiba-tiba mengembangkan senyum termanisnya padaku, senyum yang membuat bibirnya tampak lebih tipis dan menggoda, Akupun terkesiap. Gelas yang kupegang hampir saja menerpa lantai. “Ng..ini, aku akan membuat kopi. Aku belum sarapan.” Ami tertawa, dan suara tawanya seperti menggelitik urat leherku. “Ada yang lucu?” Tanyaku balik. “Tidak, Siran. Celah ini terlalu kecil untuk sebuah gelas. Jika tidak, tentu akan kubuatkan kau secangkir kopi buatanku.” Aku rasa dia benar. Kami dipisahkan oleh sebuah palang-palang kayu dan bambu yang berada di antara dapur, aku dan Ami, hanya mata kami yang bertemu, lewat mata itu pula kami bercerita tentang segalanya. “Aku akan robohkan kayu ini jika kau mau, Ami.” Entah darimana aku yakin atas perkataanku sendiri, dan itu membuat Ami menahan pandangannya. Ia berbalik arah. “Tidak perlu, Siran. Jika dapur ini mempertemukan kita nanti, aku ingin kau buatkan kopi untukku. Kopi racikanmu itu.” “Jika tidak?” “Biarkan saja pembatas ini yang menyerap segalanya. Aku tak akan jadi durhaka pada mereka. Pada ayahku tentunya.” “Kau menyia-nyiakan hakmu, Ami.” “Aku berusaha adil! Aku bersyukur bisa dilahirkan mereka. Aku tidak meminta lebih.” Aku membalikkan tubuhku, hempasan napasku yang tersekat tidak berguna. Ami malah mengacungkan wortel besar lewat celah itu, ia bilang akan memasak capcay untuk tamu ayahnya. Lalu ia akan memintaku untuk mengulurkan telunjuk agar bisa ia teteskan kuah capcay untuk kucicipi. Aku tersenyum juga, Ami memang perempuan luar biasa! Maka pertemuan kami inilah yang paling kusuka dalam hidupku. Ia selalu riang dan melupakan kesedihannya ketika di dapur. Ia akan menari sambil berdendang dan membuat aneka masakan yang sangat lezat untuk kami cicipi bersama. Bahkan aku tak malu menaruh bantal di antara dapur juga dapurnya dan mendengarkan cerita sambil tidur terlentang.

halaman 20


Dapurnya selalu mengepul dan nyanyiannya terdengar lewat celah itu. Akupun mulai mengatur jadwal untuk selalu ke dapur, meski kadang aku lupa sendiri gunanya dapur bagi diriku. *** “Aku terlambat! Mereka akan datang pagi ini!” suara Ami yang tiba-tiba, membuatku merapatkan mata ke celah itu. Aku terkesiap dan melihat cahaya matahari sudah terang benar. “Akhirnya kau datang. Kau darimana?” “Aku..? dari depan. Kau menungguku?” Tidak kujawab pertanyaannya itu, toh seharusnya ia tahu. “Siapa mereka, Ami? Aku akan mencegat mereka jika menyakitimu. Apa kau mau aku merusak rencana perjodohan ini??” Ami hanya menjulingkan matanya. Menaruh wajan di atas api dan menuangkan bumbu. Lalu Ami memandangku dari jarak satu meter. “Ah, satu meter itu sangatlah jauh ternyata. Aku disini kau disana.” Aku memperhatikannya terus sembari mencerna kata yang ia lontarkan. Ia pun mengaduk-aduk bubur nasi dan kemudian memintaku mengulurkan dua jariku agar ia bisa memberikan setetes bubur yang sudah dingin. “Enak. Kau hebat!” “Ya. Ini untuk calon suamiku.” Ucapannya barusan membuatku ingin memuntahkan kembali bubur yang hanya setetes itu. Aku berusaha menelan bubur itu. Ia bersikeras tetap menerima pinangan orang lain. Dia menipuku, menipu cintaku yang aku ikrarkan sebulan lalu. “Oh, Ami. Apa tidak ada pilihan lain? Kupikir capcay dan bubur nasi itu sepenuhnya kau buat untuk diriku. Sialan!!” Kuucapkan kata itu tanpa melihat Ami. Meski kehidupan kami tak sama-sama baik, dia lebih beruntung daripada aku. Ia masih tiga kali membuat sesuatu yang bisa ia masak untuk keluarganya, dan aku dengan melihatnya berada di ruang yang tak bertembok itu_sangat bahagia “Sewajarnya dan sedari kemarin kita tahu, Siran. Pembatas ini memisahkan dapur kita. Juga cinta kita yang hanya sejengkal. Aku tak yakin dengan hari esok, aku hanya menjalani hari ini saja.” Benar. Dari dulupun Ami tak ingin mengundangku lewat pintu depan. Semua yang kami ceritakan hanya berkisar lewat belakang, di dapur yang bersekat pilah-pilah bambo dan kayu kasar. Ia sendiri yang meyakinkan hatiku untuk tetap berada di dapur seperti seorang koki, meski kadang tak ada makanan yang bisa kunikmati. “Aku rasa aku mulai bosan berada di dapur ini,” ucapku suatu hari, ingin melihat reaksi matanya yang hitam padat. Seumpama ia gundah, tentu ia menginginkan pertemuan kami. Tapi aku salah, ia menyalah-

halaman 21


kanku begitu saja dan bersikeras agar aku tak membuatnya jadi durhaka. “Kau benar-benar menangis, Ami? Apa itu airmata buaya?” Ia menggeleng cepat dan menumpahkan pastel jagung ke lantai. Sayang sekali, Ami. Kekecewaannku datang lebih cepat dari rasa cinta ini. Ami pergi dari dapur, entah ke ruang tengah atau kemana, yang ia tinggalkan hanyalah siluet luka yang hinggap lewat kata-katanya. *** Matahari di dapurku memang lebih terang dibandingkan dapur Siran, lelaki berwajah aneh itu. Hmm, wajah yang selalu mengintipku. Tapi itu tak apa-apa, toh ia selalu ada dan mendengarkan aku bicara. Tapi belakangan ini dia terlihat lebih aneh dari biasanya, dia mengatakan ingin merobohkan tembok ini untuk menemuiku. Ha.... Ha.... Itu kan namanya aneh! Dan tentu saja keanehannya menular padaku. Aku selalu rindu pada bau dapur juga pada dengus napasnya yang memantul dan terdengar lewat celah itu. Aku betah di dapur, Capcay dan bubur nasi adalah makanan kesukaan Siran. Lelaki yang membuatku semakin linglung. Ia akan hadir dimana aku bisa bercerita tentang segala, tentang cinta yang aku damba. Siang dan malam ia selalu mendengarkanku dan mengatakan kalau ia hanya butuh kopi untuk dinikmati. Betapa malangnya, betapa bodohnya aku. Maka ku alihkan perhatianku pada laki-laki lain agar ia tak lagi membuatku aneh. Namun aku salah, keanehan itu memang timbul dari diriku sendiri. Lelaki lain itu hanya ilusi dan aku kehilangan semuanya. Laki-laki bernama Siran itu tak pernah mengintipku lagi. Semenjak itupun dapurku menjadi sunyi hingga tinggal aku sendiri sambil menyesali bahwa seseorang itu benar-benar pergi dari dapurnya yang kutahu tak pernah mengepul selama ini. “Siran, kau mau bubur buatanku?!!?”***

CIKIE WAHAB Lahir di Pekanbaru,28 desember 1986. Beberapa karyanya terbit di Riaupos, Sumut pos, majalah Sagang ,dll. cerpen dan puisinya terangkum dalam antologi Negeri anyaman (Sagang 2010) dan Fragmen Waktu (Sagang 2010). Antologi trowulan Bulan majapahit Mojokerto (2010). Antologi Rahasia hati (2010) Yang di taja Dinas pariwisata Riau), Robohkan lagi pagar itu, Datuk! (Sagang 2011). Esai Peta dan Arah Sastra (Sagang 2011). Antologi Sekolah Menulis Paragraf “Kopi Hujan Pagi”.

halaman 22


cerita-pendek

Kabut Kerinduan oleh Ahmad Ijazi H

mbun menetes dari lipatan atap. Berkilau seperti kristal. Kurasa matahari masih tenggelam dalam ranjangnya yang beku dan gelap. Kupandang puncak langit yang kini kelabu. b Mendung menggantung amat rapat di atas sana. Gemuruh angin berembus seperti kepakkan sayap kelelawar yang riuh. Dingin sekali. Kulihat Ibu terbaring lemah. Batuknya kian parah. Kuraih karung kosong yang terselip di balik tiang rumah. Hari ini aku harus mendapatkan barang-barang bekas lebih banyak. Aku harus membeli obat untuk Ibu. Sudah dua hari ini badannya panas seperti bara api. Aku takut sekali. “Bu, Rama berangkat dulu,” pamitku sembari mencium tangan Ibu. Ibu memandangku lirih. “Di luar mendung tebal sekali. Sebaiknya kau di rumah saja.” “Mendung dan hujan sudah menjadi temanku, Ibu. Aku malah senang. Tak banyak pemulung yang beroperasi saat hujan. Ini kesempatanku untuk mendapatkan uang lebih banyak.” Aku menyimpul senyum untuk Ibu. Butiran kristal luruh dari pelupuk mata Ibu. “Kasihan sekali kamu, Nak. Sekecil ini sudah harus memikul beban keluarga.” “Ibu jangan bicara seperti itu,” aku lirih melepas tangan Ibu. “Ibu telah ajarkanku bagaimana cara bertahan hidup. Meski berat, kita tak boleh lemah. Kemiskinan bukan alasan untuk berputus asa. Tuhan selalu menyertai kita. Kekayaan-Nya akan mudah turun kalau kita bersungguh-sunguh dan iklas dalam bekerja. Apapun pekerjaan itu, yang penting halal. Begitu kan, Ibu selalu menasehatiku?” “Kau semakin dewasa, Anakku. Ibu bangga padamu. Semoga Tuhan mendengar setiap doa-doa kita,” Ibu menyusut air mata. Kaca-kaca di

halaman 23


matanya kini menjelma menjadi garis-garis pelangi yang sangat menenangkan hatiku. Senyumnya kembali mekar. Aku

melangkah

dengan

ringan. Seringan kapas. Gerimis yang luruh seakan menghangat membelai kulitku. Jalan setapak kutelusuri menembus hutan akasia yang lembab dimandikan hujan. Hingga langkahku mencapai jalan raya. Begitu lengang. Kendaraan yang lalu lalang masih sepi. Lampu yang terang benderang berjejer di sepanjang jalan. Semoga cahayanya secerah hatiku kala aku kembali dengan segenggam uang serta obat buat Ibuku, bisikku dengan keyakinan yang kian mengembang. *** Matahari telah condong ke arah barat. Senja telah menyingkap gaunnya menjadi malam yang kian sempurna. Seharian sudah aku berkawan lelah, meminggul karung di punggungku yang rapuh. Aku segera melesat ke rumah juragan pengumpul. “Kerjamu cukup bagus hari ini,” ucap Pak Ken, juragan pengumpulku dengan seulas senyum. Ia lantas memberi uang 20 ribu kepadaku. “Terimakasih, Pak,” ujarku dengan mata berbinar. Aku lalu mencium tangannya lalu pamit pulang. “Aku pulang dulu, Pak. Ibu dan adikku sudah menunggu.” “Hati-hati di jalan, Rama!” balas Pak Ken sembari mengacak-ngacak rambutku dengan sayang. Aku mengangguk senang lalu memutar langkah. Sepanjang jalan, pikiranku tak jinak, bercabang-cabang jauh menembus halaman rumahku. Wajah Ibu yang pucat mengambang jelas di mataku. Adikku yang kelaparan. Ah, pasti mereka sedang menunggu kepulanganku. Aku melangkah kian cepat, seperti anak kijang yang sedang diburu serigala pemangsa. Aku singgah di sebuah warung. Membeli setengah liter beras, mie instan dan ikan asin. Aku lapar sekali. Hanya air putih yang mengisi

halaman 24


lambungku seharian ini. Tetapi adikku serta Ibu pasti lebih lapar lagi. Akhirnya

telapak

kakiku

terhenti di ujung jalan. Di hadapanku, hutan lebat telah menghadang. Kini aku harus melewati jalan setapak, menembus lebatnya hutan akasia untuk sampai ke rumahku. Di sini sepi sekali. Hampir tak ada manusia yang lewat. Bulan sudah memandangku di pucuk awan. Anggun sekali. Tak ada mendung malam ini. Aku melangkah dengan hati tenang. Berdoa dengan penuh pengharapan agar selamat sampai tujuan. Di kejauhan, burung hantu mulai bernyanyi. Aku merinding. Lamat-lamat terdengar suara tangisan seorang bocah. Aku semakin merinding. Apakah itu suara adikku? Semakin aku melangkah, detak jantungku memakin menghentak. Mirip sebuah dentuman halus yang memecah kesadaran karena dibalut perasaan takut yang teramat sangat. Aku berusaha tenang. Tetapi suara tangis itu semakin keras terdengar menusuk gendang telingaku. “Siapa itu?” seruku pelan. Bulu kudukku meremang. “Tolong ibuku… ibuku tak sadarkan diri!” teriak bocah itu sembari menangis. Dengan sedikit takut aku menghampiri bocah itu. Aku menghela nafas lega. Bocah itu bukan adikku. Dari tempias rembulan yang berwarna keemasan, kulihat ibu bocah itu berlumuran darah. “Ya Tuhan…! Apa yang terjadi?” pekikku menelan ludah. Bocah itu lalu bercerita dengan linangan air mata. Sebelumnya mereka ternyata ingin mengunjungi nenek mereka yang sedang sakit. Tetapi karena ayah mereka belum pulang kantor, mereka tetap bersikeras pergi dengan mengendarai taksi. Namun di ujung jalan sepi, taksi tersebut mendadak berhenti. Dua orang laki-laki yang duduk di depan, tiba-tiba menodongkan pistol kepada mereka. Ibu bocah itu dipaksa menyerahkan uang, handphone serta perhiasan. Ibu bocah itu sontak mengamuk dan menjerit minta

halaman 25


tolong. Saat itulah sebuah tembakan melesak. Darah segar menyembur dari tubuh ibu bocah itu. Karena takut, kedua laki-laki itu pun menurunkan mereka di tepi hutan ini. “Kumohon, tolong Ibuku… Ibuku harus dibawa ke rumah sakit!” lirihnya menghiba. Aku merogoh kocek celana kumalku. Tersisa 10 ribu rupiah. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari ke tepi jalan. Kusetop sebuah taksi lalu mengantarkan ibu serta bocah itu ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, pikiranku tak tenang. Bagaimana nasib Ibuku serta adikku yang kelaparan di rumah? Aku menangis. Tetapi situasi ini sangat darurat. Aku harus menolong ibu bocah ini. Semoga Tuhan melindungi Ibuku serta adikku, doaku lirih. Kulihat wajah bocah itu pucat sekali. Pelipis matanya tenggelam dalam keringat dingin yang semakin basah. Ia lalu meminjam hanphone pemilik taksi untuk menghubungi ayahnya. Aku tak bisa membayangkan, betapa kalutnya bocah itu jika tidak ada aku waktu itu. Mungkin saja ibunya tidak akan tertolong, sementara bocah itu akan mengalami traumatik yang sangat hebat, seumur hidup? *** Tubuhku benar-benar menggigil. Malam terasa begitu beku. Uangku telah habis. Aku tersentak, aku lupa belum membeli obat untuk Ibu! Ragu kuketuk pintu. Adikku membuka daun pintu. Kupandangi wajah adikku yang polos. Wajah itu seperti kain kafan, pucat sekali. “Yusuf lapar ya?” tanyaku bodoh. Segera kusodorkan mie instan. Adikku seperti kalap. Menyambar mie instan itu secepat kilat, meremas-remasnya, lalu merobek salah satu sisinya, memberi bumbu, lalu memakannya begitu saja. Ah, aku tak heran lagi. Sudah menjadi kebiasaanya seperti itu. Melahap mie instan mentah kalau sudah tak kuat menahan lapar. Aku beralih menatap Ibu. Bibirnya kering sekali. Kuraba lengan Ibu. Ya Tuhan… badan Ibu panas sekali! “Maafkan aku tak bisa membeli obat buat Ibu,” lirihku menyembunyikan air mataku yang telah pecah. Aku berusaha menahan senguk sembari menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ibu mengangguk lemah. Senyumnya rekah seperti kelopak melati. Indah sekali. “Kau melakukan tindakan yang mulia, Anakku. Menolong orang yang sedang tertimpa musibah adalah perbutan yang sangat dicintai oleh Tuhan. Ibu senang sekali mendengarnya. Ibu bangga padamu…” Ibu merangkul tanganku. Erat. Mendadak kurasakan tubuh Ibu dingin seperti salju. Aku terkesiap. Memandang wajah Ibu yang berseri-seri. Cantik sekali! Tetapi denyut nadinya telah terhenti. Nafasnya lebur sempurna. Sesempurna tangis pilu yang menderas dari kelopak mataku saat mehalaman 26


meluk jasad Ibu yang kian dingin dan beku. *** Pemakaman Ibu dimandikan gerimis. Tangisku belum kering. Aku masih bersimpuh dalam hening, bergeming seperti patung batu. Bunga kamboja telah rata kusemai di atas tanah merah. Tetapi enggan rasanya beranjak, aku masih ingin bersama Ibu. “Rama, ayo kita pulang,” ucap Pak Ken seraya mengelus pundakku lembut. Di depanku, seorang ibu sedang duduk di atas kursi roda bersama seorang bocah berwajah polos. Keduanya menatapku dengan pandangan seperti malaikat. Ah, aku ingat. Mereka adalah ibu dan bocah yang pernah kuselamatkan bukan? Seorang laki-laki mendekatiku lalu berlutut di hadapanku. “Aku ingin kalian pulang ke rumah kami,” ucap laki-laki itu sembari memandangku serta adikku bergantian. “Kami ingin mengangkat kalian menjadi anak kami,” ucap laki-laki itu dengan tatapan penuh cinta. Benarkah? Aku terpana. Seperti tenggelam dalam labirin mimpi yang begitu rumit dan mencengangkan. Sungguh, semakin kuperhatikan, mata teduh laki-laki itu persis sekali dengan tatapan mata teduh ayahku. Senyumnya yang begitu lembut, persis sekali dengan senyuman ayahku. Sekian detik telah menguap ke udara. Aku memutar wajahku. Sekali lagi kupandangi pusara Ibu yang masih basah, lalu pusara ayahku yang telah lebih dulu meninggalkan kami, delapan tahun silam. Ya, ayah kandungku yang sangat lembut dan begitu menyayangi keluarga itu telah pergi meninggalkan kami ketika aku masih berumur lima tahun. “Ayah, Ibu, kendati dunia telah memisahkan kita, rinduku pada kalian tak kan pernah surut sedikit pun,” bisikku lembut sembari mengecup batu nisan Ibu dan batu nisan Ayah bergantian. Seketika, kabut kerinduanku pun luruh seperti kelopak mawar yang berguguran. ***

AHMAD IJAZI H Lahir di Rengat Kab. Indragiri Hulu Riau, 25 Agustus 1988. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.

halaman 27


Sajak

Muhammad Nurul Lebat Asal Makna :Catatan kampung lapuk 1 :Catatan kampung lapuk 2 :Catatan kampung lapuk 3 Dengarkan Sajak- sepenggal malam Episode kampung hasrat

Muhammad Nurul (Pak cik Nuril) Lahir di Desa Dompas, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Aktif di komunitas Sabda Bunian. Karya puisinya pernah terbit di Haluan Kepri dan Tanjungpinang Pos. Antologi Puisi Sayap-Sayap Bening bersama penyair muda Kepulauan Riau, dan Antologi puisi Melukis Waktu bersama komunitas Sabda Bunian.

halaman 28


Lebat

Hapus kalimat di akhir selat biar duka segamat tetap melebat Duduk selamat pesan mengurat biar tak jadi kelat Sudah berkarat baru tahu ia pekat Jangan hitung juma’at kalau diri tak shalat jangan timbang berat kalau adab tak tahu adat

catatan: Hendak sampai kiamat 121212, diwaktu 16.31. 091212

halaman 29


Asal Makna Adalah kata huruf memahat senja bermain di kalimat aksa kala tiung pekik malam mana bisa, hendak ku cakap Adalah kata berselebung pengap mana pula lidah yang kau jilat Oi... tebing bawakan ke laut laut antarkan gunung gunung pergi kelangit langit jatuh ke bukit Jangan kau sentuh jangan pula kau pandang ini sumpah dewa kata Adalah kata tanpa dupa kemenyan pula jauh sudah tabiat mengata-ngata aku datang menujah makna Oi, melesaplah !

catatan : kata lenyap campak kerumput, kala waktu 15.19. wib. 091212. pekanbaru

halaman 30


:Catatan kampung lapuk 1

Malam ini Aku tidak menyimbah kata Di perkarangan halaman rumahmu Tidak juga menembak jiwa Di sisi tubuh kerinduanku Namun, aku hanya memandang Ada seketul kecanduan nafsu di bibirmu Berapa lama kah tidak bercumbu dengan tinta?

:Catatan kampung lapuk 2

Menajuk gelap Dibantal langit Menjemput bulan Datang merindu Biarpun jauh di seberang sane Lembah bukit akan di daki luasnya laut akan di seberangi Tunggu aku di pintu jaga nanti.

:Catatan kampung lapuk 3

Petang ini Perahu itu berlayar dengan gagah Gagah dengan membawa senyuman Senyuman yang menyimpan berjuta makna Makna tangisan dari air langit Itu yang bertepuk ombak Dan lantangnya angin membantai layar. Layar jatuh timpa buih-buih harapan Harapan dari pulau mimpi

halaman 31


Dengarkan Sajak- sepenggal malam.

Ini tempat kita, halaman bernada dalam ruang berhias anggun sepanjang jalan ada pijar cerita Dan kau bagaikan nafas yang tersimpul di langit-langit senda sampai tawa pun memecah onak di labirin cinta

catatan: bersama SABDA BUNIAN.- Satu Sabda Gurindam Jiwa. 17 April 2012

Episode kampung hasrat

Aku hendak terbitkan matahari dari utara. Dan bulan tiba di subuh hari. Dan biarkan langit menggulung senja. Pada malam tak dapat dikata. Pada siang tak dapat di terka. Mana ruh pun ia tak dapat beda.

halaman 32


Sajak

Irdas Yan Bangsal Cemburu Nun Serampu : Huruf Mati Berbedalah Bunyi

Orang Gaji dan Air Mata Samseng yang Disebut, Puan : Edisi Gadis di Ujung Selat

Irdas Yan Penulis fiksi asal Sejangat, Sungai Pakning. Bergiat sebagai koordinator Divisi Kajian sastra dan budaya FLP Riau. Karyanya termaktub di berbagai media lokal maupun nasional.

halaman 33


Bangsal Cemburu

Pada mulanya aku tak kuasa berhikayat semacam ini Ada remangremang yang jalang ketika puisi menyimbah hujan Kelat. Fitrah lelaki memanglah seperti ini Sudi tak sudi, cemburu bukan lagi gerimis yang indah Zikir yang mengutuk pun Berziarah ke bangsal yang ramai Menenangkan diri. Engkau Puan. Nisan janji yang kita takik dahulu itu Masih menyimpan cahaya Masih aku mengenangnya. Engkau saja yang mungkin lupa. Ketika Aisyah pun memancarkan cemburu Muhammad kita pun tahu kalau itu bangsalnya. Begitu juga aku. Bangsal yang lapang mengulit terang Karena cemburu bukan lagi gerimis yang remang.

halaman 34


Nun Serampu : Huruf Mati Berbedalah Bunyi

Setungkah kata menakik-nakik gerigi Memanggil arwah puisi Aku masih menjampi mantra-mantra yang kusemai semalam Agar Tuhan tahu, huruf yang kudendangkan tak berbau kufarat. Nun serampu, bah gedebah gedebu. Muara pun membisu Di hilir subuh Yang memeram kutuk Pada sebuah simfoni hadhari Aku cinta engkau, Yu. Mantra kasih tak setakat cumbuan Ada rakaat-rakaat yang lesap Menjalar ke kitab yang kau peluk Semacam aku tersakat di celah bibirmu Melafazkan ayat jampi Agar tuah mengeja diri. Aku bukan musyrik yang berkutat di antara cinta dan dilema tuhan telah memfirmankan mantra ini. Nun. Wal qolami wa yasturun. Agar puisiku tak sekedar pena yang merajut warna. Begitu juga cinta. Tak setakat mencintai, Yu.

halaman 35


Orang Gaji dan Air Mata

Perantauanmu telah melukis padah Lain yang bengkak, lain pula yang bernanah. beberapa bercak bilai merah sengaja disebat agar tumpahlah darah atau semacam sumpahserapah menikam benakmu di tanah orang sana. Kembalilah ke rantau, Nak! Emakmu saban hari berkeluhkesah. Menukik senyumnya yang tak lagi meriah. Tapi engkau masih saja kebal dengan carutmarut tuanmu. Ah,engkau memang bebal! Negeri kita masih lapang, Bung. Walau upah tak selapang tanah jiran sana. Tapi tak ada air mata atau semburat merah. Tak juga engkau dapat kukesalkan. Memang pemerintah tak ambil berat perihal air matamu. Hanya setakat hangat sesaat saja. setelah itu lesap entah ke mana. Kita hanya tersekat dengan konstitusi atau kepentingan pribadi. Kita hanya penonton sandiwara akbar ini, Bung.

halaman 36


Samseng yang Disebut, Puan : Edisi Gadis di Ujung Selat

#Takah Parasmu memang tak terkatup Elok bersahaja di antara rentak marwas yang bertabuh Lenggoknya pun memahat takjub bahkan peluh Aku masih membilang rakaat yang jenuh Agar nanti tak disebut penjampi sesepuh Aku masih ingin menikam bibirmu yang terkubur itu Tergayut di antara pergelangan mimpiku. mari berlenggok lagi, Puan! Lambaianmu memikat separuh rembulan di malam jingga Mata-mata jalang pun jatuh pada sela-sela tingkahmu. #Desah Noktah merah yang kau semai semalam suntuk Kuhirup agar tak sejuk Hangatnya masih menyimpan bentuk Supaya Tuhan tahu kalau engkau seorang makhluk Terkutuk! Jangan sesekali coba merayuku Pujuk desahmu tak larat menyanggah iman Setakat itu pun bukanlah beban Karena kau tercipta dari semburat Syaitan Ya, di perempatan kuburan.

#Tuah Sungguh Tuhan Maha Pemaaf Jilat lagi sampah yang sudah kau pahat dulu Bilaslah dengan syahadat itu Atau rakaat yang terbilang setiap waktu Agar aku sudi mencintai takah, desah, dan tuahmu. Puan.

halaman 37


Sajak

Sir Saifa Abidillah Tenodera Aridifolia -Sendatu

Lepidoptera Hibrida : Zakiyatul Fadhla

Libido Angin Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri Shegiterio : lagu gadis mandarin

Perhitungan Perahu Pelepasan Sirkus Spartakus Sebuah Alasan Sederhana

Sir Saifa Abidillah Seorang mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Selain itu, bergiat di Lesehan Sastra Kutub.

halaman 38


Tenodera Aridifolia -Sendatu

Setidaknya malam adalah suara-suara dari sebangsaku yang berjuang menghilangkan keheningan dengan pertarungan melawan dingin dan kematian bulan dengan derik sayap yang saling bergesek bergantian bagai hilang dalam kelam dan tenggelam dalam kelahusan perasaan letupan gesekan yang bermusuhan seladang kawan dalam hening berperang dicekungan malam yang menghabiskan isim dengan berbagai kelincahan

halaman 39


Lepidoptera

Dindakah itu, yang tumbuh dan mabuk dalam ladangku ketika siang tiba-tiba jadi kelabu dan kamu mengundang Lepidoptera datang mengancam keheningan mengancam kedudukanku, yang di serang dari langit arang bagai busur Epirus yang membelah ruang tak berbatas memanah tabung jantungku yang berkabung menghela kerianganku yang tersimpan mungkin ketika aku lengah menjaga kembang di ladangku sesuatu telah terjadi di luar nalar yang diajarkan musim pada ketetapan dan perputaran yang tiada diterka. Pada batang dan kembangmu yang perawan sebuah perangkap, menyekap keterbatasan dan peran kedunguanku sebagai ladang yang menghidupkan ya, hanya sebatas menghidupkan dan membangun kekuatan penghianatan kelembutanmu itu.

halaman 40


Hibrida : Zakiyatul Fadhla

Seusai musim menyatukan kita buah puisi macam apakah yang kau gelisahkan dari reranting sebangsa batangku yang runcing dan telah aku sederhanakan ketersambungan ini dengan berbagai peluru angin yang mendekati daundaun kita yang menahun dan aku rasa, ada kecocokan tak terhindarkan di situ sebuah perasaan kehilangan dan ketidaknyamanan apabila musim tak memberi kita kesempatan mengarahkan kebersamaan dalam mimpi yang berlainan di tengah lingkaran musim yang langgam

halaman 41


Libido Angin

Ketika angin dan dingin berduaan di kabut awan hujan begitu riang berlarian menjauhi kediaman bagai bocah-bocah bermain di lapangan dengan kawan mendekati pohon dan kematian untuk menghidupkan bagi yang lain itulah alasan mengapa hujan turun pada musim yang telah ditetapkan sebagai penghabisan dari sebuah tujuan kemurnian perasaan dan ketaatan sebagai hujan

Aku Mabuk dalam Kuda-Kuda Sendiri

Kekuatan kuda-kuda hutan bagai berdiam di tubuhku yang ringan tubuh yang ingin mendekati kamu dengan tanpa alasan apa-apa ia datang saat hari surut dan dingin memintal kening ke sebuah sudut mungkin ketika waktu tidak lagi menjadi timbangan dalam perhitungan angka-angka kamu turun bagai iring-iringan membentuk sebuah pusaran di detik yang ritmik dalam rintik hujan kamu merayu ingatan mengeras di jantung keheningan

halaman 42


Shegiterio : lagu gadis mandarin

dengan geletar anggur bibirmu itu aku hanya mampu menerka-nerka apa yang kau tuturkan pada petang yang mengambang di jantungmu yang rumpang mungkin sebuah kegelisahan yang mendalam mendarat pada kekuatan kerinduan : sebuah keterpaksaan yang menguasai keriangan perasaan tak ada kepastian yang mendasar menjadi landasan nyanyian keterpisahan antara aku dan kau yang diam-diam memendam kesakitan kerinduan

halaman 43


Perhitungan

Apabila kau menafsirkan matahari lebih dari sekedar kura-kura yang berkejaran tanah pasir lalu waktu kau kemanakan angka-angkanya yang berjatuhan sedang langit tak memberi persepakatan yang pasti pada segala yang kau anggap palsu dan segalanya hanya tumbuh pada tanah bayangan pada persinggahan kemunafikan lalu apa yang kau harapkan dari jalan ringan di sayap angin, yang tanpa perhitungan itu

Perahu Pelepasan

Bila petang sebuah tujuan maka peta tidak lagi menjadi bulan bagi kegelapan yang dikibarkan pisau angin pada ketersesatan yang menggulingkan pikiran, di daratan perasaan sebab kau tengah melepasku di debur yang paling liar pada mataair dan sebuah desir yang mahir membaca hilir

halaman 44


Sirkus Spartakus

Di sebuah gelanggang kata kita terikat dengan kematian di mana darah dan tanah melingkar dalam arena kekuasaan kegesitan dan kegagahan kata di situlah ia menjadi pertentangan bagi yang telah ditetapkan sebagai lawan dalam pertempuran kepicikan tidak ada kesedihan menyeruai keterjatuhan hujan yang melawan kegelisahan dengan perasaan sebab kematian bukan akhiran atau sampiran dalam perseteruan kata-kata atau sebagai pengejawantahan kemakmuran dalam jalan yang begitu pualam di pedang kata yang penuh bara sebab kata memuliakan darah dan tanah dalam setiap tebasan dan kekalahan yang dibangun dari ketetapan tujuan untuk meraih kebebasan kurungan perbudakan kekuasaan di mana kata, bakal berkhianat pada tuan yang mengendalikan setiap pertunjukan kemuliaan, kegagahan kematian dan sebuah pilihan

halaman 45


Sebuah Alasan Sederhana

Sebuah alasan sederhana mengapa aku ingin memahami malam-malammu yang dingin dengan tanpa alasan apa-apa sebab yang ada dan abadi pada penantian ini adalah kau yang risau memahat airmata yang tak terbaca

halaman 46


musik

DKR & STSR dalam

"Sembang Bunyi 12" Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)

Dalam pertunjukan itu Orkestra STSR

orkestra, menyajikan beragam genre musik,

juga berkolaborasi dengan sejumlah band

dari musik klasik, jazz hingga Melayu, dalam

dari aliran berbeda seperti Bujanggi dan Be-

konser bertajuk "Sembang Bunyi 12" di An-

lacan Aromatic. Mereka mengiringi kedua

jung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Minggu-

band itu tampil dalam bentuk featuring.

Senin (6-7/1) malam. Dengan arahan konduktor Arman Rambah, orkestra yang terdiri atas anak-anak

Bujanggi tampil memadukan musik Melayu, klasik, dan jazz saat membawakan lagu berjudul "Damak" dan "Sendalu".

muda itu memukau ratusan pengunjung kon-

Sementara Belacan Aromatic menghentak

ser dengan 12 lagu dari beragam genre musik.

dengan memainkan alat musik tradisional

Mereka membuka pagelaran dengan klasik

gambus dan memainkan dua lagu ciptaan

"Eine Kleine Nachtmusik" karya Wolfgang

sendiri yang berjudul "Jelatik" dan "Cabuh".

Amadeus Mozart. Mereka juga menyuguhkan

Mat Rock sebagai pemimpin grup Belacan

lagu Melayu lama seperti "Seroja" dan "Pan-

Aromatic mengatakan, "Kami mengangkat

tai Solop."

budaya musik Melayu Zapin yang mendayu

F.red

halaman 47


F.red

yang jadi lebih menghentak dengan paduan

dang dari sisi pendidikannya. Apalagi seni

musik rock,".

dalam konteks budaya memerlukan pencer-

Konser yang berlangsung sekitar dua jam

dasan atau mampu mendorong menuju se-

itu ditutup dengan lagu rentak Melayu "Joget

buah pencerdasan bagi pelakunya. Pahamilah

Perpisahan".

seni, kata Idawati, jangan manfaatkan untuk

Idawati yang juga dosen jurusan musik

kepentingan seseorang sebab musik adalah

STSR menuturkan, orkes kampus ini tentu

wilayah spiritual, tanpa pamrih. Lagi pula

saja bukan untuk komersil, melainkan un-

pelaku musik rentan terjerembab ke arah

tuk pencerdasan. Selain itu, di kampus juga

komersialisasi yang bisa mematikan kreativi-

ada mata kuliah mayor dan sebagainya. Ka-

tas mereka maka pandai-pandailah memilah

renanya, untuk mengembangkannya diperlu-

dan memilih

kanlah orkes sebagai penerapan mata kuliah

“Ini memang saya ungkapkan bagi para

mahasiswa. Paling tidak orkestra yang dibina

musisi muda, terutama mahasiswa musik

dosen STSR untuk keperluan penerapan bagi

STSR sebab mereka rentan terjerumus ke

mahasiswa di mana mereka itu diharapkan

arah komersial. Karenanya, banyak-banyak-

menjadi musisi-musisi andal yang tidak han-

lah dulu belajar menuju pencapaian menjadi

ya mengharapkan keuntungan komersil be-

musisi profesional,� ulasnya mengingatkan.

laka namun musik untuk seni.

Ketua Umum DKR Kazzaini dalam kesem-

Dikatakannya, musik bukan untuk ko-

patan yang sama, di sela-sela sesion latihan

mersialisasi belaka, tapi perlu juga dipan-

orkestra di Anjung Seni Idrus Tintin men-

halaman 48


gatakan, bahwa konser bertajuk “Sembang

rya baru yang bernas,” aku Kazzaini.

Bunyi 12” ini sudah direncanakan cukup

Eri Bob selaku pengasuh grup musik jazz

lama. Puncaknya tentu saja konser yang bisa

Melayu yakni Bujanggi menyebut bahwa

diapresiasi bersama oleh masyarakat secara

konser yang digelar DKR tersebut jelas akan

luas dan juga para donatur yang secara ikh-

menjadi catatan penting dalam perjalanan

las mau membantu terlaksananya helat ini.

dunia musik di Riau. Ditambah lagi karya-

DKR sebagai wadah bagi para seniman, salah

karya yang ditampilkan, selain klasik juga

satunya musisi tentu senantiasa mencipta

karya-karya baru dan lama yang bernafas

ruang-ruang baru agar seni kian berkembang

Melayu.

dan mendapat respon baik oleh masyarakat pendukunngnya.

Komposer orkes STSR Arman Rambah juga menyatakan optimis atas konser yang

“Ini hanyalah satu dari sekian banyak

mereka persembahan akan dapat berkelan-

agenda DKR dan khusus untuk tahun ini di-

jutan. Orkes STSR sendiri mempersembah-

awali dengan konser orkestra STSR featuring

kan enam karya yang terdiri dari Eine Kleine,

Bujanggi, Blacan Aromatic dan Gubri HM

Ayam Putih Pungguk, Brindisi, Wahai Emak,

Rusli Zainal, SE. MP dengan dua lagunya

Watado Alganador serta Joget Perpisahan.

‘Pantai Solop’ dan ‘Seroja’. Ke depan, tentu

Sonia Miranda (18) mengomentari konser

saja kami mensupport seniman dari per-

ini mengatakan, bahwa ia menyukai konser

cabangan seni lainnya untuk mempersem-

ini dan berharap pergelaran serupa lebih se-

bahkan karya-karya mereka secara baik dan

ring digelar di Kota Pekanbaru, yang dilanjut-

profesional,” tambah Kazzaini panjang lebar.

kan oleh Vergiane Railasha (20), "Pergelaran

Selain itu, ungkapnya lagi, jika selama ini

seperti ini memberi ruang bagi anak-nak

hanya ada orkestra yang mempersembahkan

muda untuk lebih memahami tentang musik

aransemen musik klasik dan Melayu seperti

berkualitas sekaligus memberikan apresiasi

Bandar Serai Orkestra (BSO), maka sekarang

kepada kepada anak-anak muda pelaku seni

bertambah lagi dengan orkestra STSR. Bah-

musik itu sendiri, sehingga kami-kami seba-

kan berkembang pula kabar, salah satu kam-

gai anak daerah tidak menjadi “udik” dalam

pus di Pekanbaru juga sedang merencanakan

memahami

pembentukan grup orkestra. Artinya, sema-

Menurut Abelio Abdillah (19) yang juga hadir

kin banyak grup orkes maka jelas semakin

sebagai penonton dihari kedua pergelaran

luas wadah bagi musisi untuk menambah jam

mengatakan, “akan lebih menarik lagi kalau

terbanng mereka.

seni pencahayaan

Kazzaini menegaskan, walaupun sebenarnya di Riau orkestra bukan barang baru

bentuk-bentuk

seni

musik”.

pertunjukan lebih di-

maksimalkan sebagai salah-satu bentuk dari membangun suasana," katanya.*** (Red.DSM-01)

yang di masa-masa muda Sulaiman Safeii juga banyak orkestra yang tumbuh, bahkan ada pula lombanya setiap tahun. Orkestra di zaman itu berkembang di Pekanbaru, Bengkalis, Selatpanjang dan Bagansiapi-api.

“Kami berharap konser perdana orkestra STSR ini mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat sehingga memacu seniman untuk terus berkarya dan menghasilkan karya-kahalaman 49


senirupa

F.int

Membangun Imajinasi Melalui “Surat-surat Malam” dan Karya Lukis Nashar

erkenalan awal dan akhir saya de-

Kelahiran Pariaman, Sumatera Barat pada

ngan pelukis Nashar hanya dapat

1928 dan meninggal di Jakarta pada 13 April

dilakukan dengan tulisan esai beliau

1994, yang banyak dianggap sebagai seniman

yang dikumpulkan dalam sebuah buku berta-

legendaris nyaris sempurna untuk seorang

juk “Surat-surat Malam” dan karya-karyanya

pelukis: lahir dalam didikan seorang ayah

dalam bentuk lukisan, baik yang saya dapat-

yang keras, dibesarkan dalam lapar dan de-

kan dari rekan Nasrul Thaher (acrilyc on pa-

rita dan jadi perupa ternama hingga akhir

per), maupun pada pameran yang karya-kar-

hidupnya.

ya saya dan beberapa karya perupa Sumatera

Nashar senang menulis catatan harian di

lainnya juga diikutsertakan di Galeri Na-

kertas apa saja yang suka dikantonginya. Dia

sional Jakarta bertajuk “Pameran Senirupa

melakukannya karena, "Aku hanya senang

se Sumatera, Kekuatan yang Tersembunyi”

mengontrol pengalamanku sendiri atau tidak

beberapa tahun lalu.

untuk apa-apa. Atau mungkin juga begini:

Adanya seorang pelukis bernama Nashar.

halaman 50

keinginan selalu timbul untuk mengerti apa-


apa yang dialami dan diketahui, dari hal-hal

ketika Nashar menyerahkan sejumlah karya

yang kecil sekalipun."

gambarnya: "Kau tidak punya bakat, Nas.

Mengendalikan

pengalaman

berarti

Tapi cobalah bikin!"

mengerti apa yang terjadi. Mengerti (under-

Komentar itu justru mendorong Nashar

standing) adalah sebuah tindakan, sebuah

untuk membikin gambar demi gambar den-

proses, yang tak pernah selesai. Dia adalah

gan penuh semangat. Setiap hari dia serahkan

sebuah gerak dialektis antara apa yang diala-

gambarnya dan Sudjojono selalu berkomen-

mi dan subyek yang terus bertanya. Sebenar-

tar sama, hingga akhirnya Sudjojono mengi-

nyalah, buku “Nashar oleh Nashar� (Bentang

jinkannya belajar melukis di sanggarnya mes-

Budaya, Juni 2002) memaparkan banyak

ki "tanpa bakat".

pertanyaan dan sejumlah jawaban yang terus

Dari Sudjojono dia belajar melukis objek

berubah. Pembaca bisa menemukan upaya

secara cermat dan teliti. Dan itu biasanya

Nashar memahami garis, warna, jiwa, objek

akan memakan waktu lama, bisa seming-

lukisan, dan seterusnya, yang pada akhirnya

gu atau sebulan untuk menyelesaikan satu

merupakan upayanya memahami dirinya

lukisan.

sendiri.

Tapi, ketika dia bertemu Affandi, pelukis

Nashar tak punya kawan untuk berbagi,

yang terkenal sebagai perupa ekspresionis,

maka diciptakannya kawan imajiner yang

dia malah menerima pelajaran sebaliknya:

disebutnya "kawan yang tak kukenal". Dia

bagaimana melukis dengan cepat untuk

menulis ribuan, mungkin jutaan, surat ke-

merekam suatu objek seketika. Dari Affandi

pada kawannya itu, seperti pelukis Belanda,

pula dia diajak melukis dengan mengambil

Vincent van Gogh, berkorespondensi de-

objek kehidupan sehari-hari, objek yang te-

ngan saudaranya, Theo. Dia terobsesi pada

rus dipertahankan Nashar hingga akhir ha-

Van Gogh setelah membaca tiga jilid buku

yatnya. Affandi sebenarnya tak banyak mem-

kumpulan surat pelukis itu yang dia "curi"

beri "pelajaran", paling-paling pelukis itu

dari lembaga kebudayaan Belanda Sticusa di

hanya menasehati para pelukis muda untuk

Jakarta di 1950-an.

"Melukis saja yang banyak".

Pada “Nashar oleh Nashar�, pembaca

Maka, jadilah Nashar melukis apa saja,

akan menemukan sesosok Nashar sebagai

di mana saja dan kapan saja. Ke mana-mana

sastrawan piawai. Dia membangun sebuah

dia selalu membawa buku sketsa. Dia per-

alur cerita yang kuat dan mendongengkan-

caya bahwa sketsa adalah lukisan juga. Wak-

nya dengan lancar, meski kadang ada banyak

tu itu, pendapat ini belum diterima seperti

rincian dan latar peristiwa yang dia lewatkan.

sekarang. Saat itu ada saja pameran lukisan

Alurt itu dia bangun dengan sosok seorang

yang menolak menerima karya-karya sketsa

anak kecil yang bermimpi jadi pelukis. Tapi,

bahkan karya lukisan hitam-putih dianggap

pelukis macam apa?

bukanlah lukisan kala itu, sehingga Nashar

Mulanya, dia ingin menjadi pelukis seperti Raden Saleh yang lukisannya begitu nyata,

mempersoalkanya melalui tulisannya diberbagai media.

hidup, seakan bergerak. Dia ingin belajar

Ada dua tema saling berkaitan yang bagi

menggambar di sanggar Pak Sudjojono, di

Nashar penting: irama dan jiwa. Soal irama

Yogyakarta. Pelukis besar itu, yang nantinya

mulai dikenalnya ketika dia mendengar

dikukuhkan sebagai Bapak Seni Lukis Mo-

perbincangan dua pelukis senior saat itu,

dern Indonesia, hanya berkomentar singkat

Hendra Gunawan dan Zaini. Sayang, Nashar halaman 51


tak merinci isi perbincangan itu, sehingga tak

tak bisa tidur selama seminggu. Sejak itu dia

tergambar apa yang mereka maksud dengan

mulai menggali apa yang disebut "penderi-

ritme dalam lukisan yang menjadi ketertari-

taan" dengan aktif memperhatikan apa yang

kan Nashar muda.

dirasakan orang, siapa pun dia. Penggalian

Yang pasti, dia mencatat bahwa pandangannya tentang ritme ini mempengaruhinya

jiwa itu bermuara pada apa yang Nashar sebut "api", kata lain dari semangat (spirit).

melukis. Perubahan teknik melukis Nashar

Nashar percaya bahwa lukisan yang baik

terjadi pada 1975 ketika ia hanya menampil-

haruslah mencerminkan jiwa pelukisnya.

kan garis dan irama di kanvasnya sementara

Pendapat ini mirip dengan pendapat Sudjo-

bentuk figur surut ke belakang. Perubahan

jono bahwa lukisan adalah "jiwa nampak".

dari figuratif ke nonfiguratif ini dia akui di-

Setiap garis, warna, dan bentuk pada lukisan

ilhami tiga pementasan drama Putu Wijaya,

merupakan jiwa pelukisnya. Proses melukis

Lho, Entah, dan Nol.

Nashar kemudian adalah sebuah pergulatan

Saat itu Nashar terlibat dalam kelompok teaternya Putu. Saat latihan, Nashar memin-

batin antara objek lukisannya, kanvas yang kosong, dan dirinya sendiri.

ta setiap pemain mengosongkan pikiran dan

Pergulatan itu terlihat jelas ketika Nashar

berekspresi secara total, setotal-totalnya.

mengalami kemacetan ketika melukis. Dalam

Putu sempat mencemaskan hal ini, tapi Nas-

salah satu “Surat-surat Malamnya� yang ber-

har percaya "Kebebasan akan membatasi di-

tahun 1968, dia bercerita begini. Kala me-

rinya sendiri." Hasilnya, para pemain teater

lukis, dia mengingat-ingat objek yang ada

itu mampu memunculkan gerakan-gerakan

di sebuah kampung yang lama dia tinggali.

liar yang selama ini mungkin tersembunyi.

"Perhatianku bolak balik antara kampung

Mereka merayap, berputar-putar, bahkan

dan kertas lukis," katanya.

membentur-benturkan badannya ke dinding.

Nashar menyadari bahwa jiwanya tak

Bagi Putu, hal tersebut melahirkan tiga

sepenuhnya berada di kertas lukis. Kema-

karya dramanya. Bagi Nashar, hal ini men-

cetan ini dipecahkannya dengan menggurat-

dorongnya membuat coret-coretan yang

kan beberapa garis awal, setelah itu kenangan

menghabiskan 500 lembar kertas selama

tentang kampung itu ia tinggalkan sama

enam bulan. Nashar kemudian menemukan

sekali. "Aku hanya memperhatikan kemung-

jawaban yang dicarinya: rasa irama. Sayang-

kinan-kemungkinan yang ada di kertas lukis

nya, fragmen sepenting ini tidak dimuncul-

itu saja," katanya.

kan pada tulisan-tulisan Nashar, entah mengapa. Soal jiwa menggugahnya ketika dia bertemu penyair Chairil Anwar. Ketika Chairil

Kemungkinan-kemungkinan yang dikembangkannya itu kemudian menjadi sebuah lukisan yang juga menghasilkan kemungkinan-kemungkinan imajinatif.

memperhatikan Nashar membuat sketsa, dia

Nashar adalah pelukis yang dengan intens

berkata, "Dari hasil sketsamu ini kelihatan

melakukan pencarian esensi objek-objek ma-

kau cukup punya feeling tentang rasa derita.

nusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya

Menurutku, feeling saja tidak cukup. Apa-

adalah bagaimana ia mengungkapkan totali-

kah kau telah mencoba untuk menyelidiki

tas jati diri, melalui bentuk-bentuk yang ter-

sedalam-dalamnya penderitaan itu sendiri

us disederhanakan sampai menuju abstraksi

pada jiwa mereka?"

total, sebenarnya merupakan ekspresi yang

Pertanyaan Chairil itu membuat Nashar halaman 52

mencerminkan efek psikis dari pengalaman


kehidupan sehari-hari. Warna-warna yang

Nashar, misalnya, bicara tentang perlu-

cemerlang sering tidak mengungkapkan ke-

nya mengasah intuisi bagi seorang pelukis

cerahan, tetapi menceritakan efek dramatis

semata-mata untuk menghasilkan sebuah

kehidupannya.

karya yang matang. Dia tak menguraikan apa

Untuk mencapai kedalaman esensi ob-

itu intuisi tapi mengajarkan bagaimana men-

jek-objek dan kemurnian perasaan dalam

gasahnya, yakni dengan terus menerus beru-

lukisannya, ia merumuskan perjuangan krea-

saha bersatu dengan alam, dengan objek yang

tivitas lewat kredo “Tiga Non�. Pertama yaitu

dilukis, dengan kanvas, dengan warna, den-

non konsep. Maksudnya adalah, ketika mulai

gan cat. Dia biarkan murid-muridnya ketika

melukis ia belum punya gambaran, konsep,

ia mengajar IKJ (Intitut Kesenian Jakarta)

bahkan gaya yang akan dipakai. Ia hanya

maupun kala bual-bual dengan perupa muda

mengandalkan pada keinginan jiwa dan in-

yang ingin menimba ilmu darinya, membe-

tuisi yang akan mengalir. Kedua, yaitu non

baskan diri secara total untuk mengungkap-

objek. Dalam kredo ini ia percaya bahwa sua-

kan apa yang ingin diungkap.***

sana intens dalam melukis akan mendorong

(DSM. Dari Berbagai Sumber)

untuk mendapatkan suatu bentuk atau objek sendiri dalam kanvas. Ketiga, adalah non teknik. Dalam melukis ia selalu tidak berangkat dari pola teknik. Teknik akan menyesuaikan dengan citra dalam berkarya. Dengan kredo tiga non itu diharapkan melukis harus melalui proses perjuangan yang sulit, sehingga situasi jiwa murni selalu terjaga. Dia ingin mendekonstruksi teori seni rupa yang eksis sejak dia mulai melukis.

Nashar tak begitu suka dengan teori meskipun dia percaya teori perlu diajarkan di akademi seni rupa. Nashar tak puas dengan teori yang ada karena menurutnya teori itu tak berhasil menjelaskan soal jiwa pelukisnya. Sehingga ketika dia ingin memaparkan pandangan-pandangan berkeseniannya, dia memakai istilah-istilah yang secara definitif mengacu pada teori tertentu, seperti api, jiwa, intuisi, semangat, irama, dan sebagainya. Kalau boleh aku simpulkan, pandanganpandangan Nashar sebenarnya tidak berangkat dari keinginan untuk menjelaskan. Dia seperti ingin menjadi motivator, sang pendorong, bagi lahirnya pelukis sungguhan, pelukis yang menghargai dirinya dan masyarakatnya, pelukis yang jujur sejak goresan pertama kuasnya di atas kanvas. halaman 53


rehal

Ciuman Hujan

F.int

Judul

: Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta

Penulis

: Pablo Neruda

Cetakan

: I, 2009

Penerbit

: Penerbit Madah, Yogyakarta kerjasama dengan Parikesit Institute dan Interlude

Tebal

: vi + 128 halaman (100 judul puisi)

ISBN

: 978-979-19797-0-2

Judul asal : Cien Soetos de Amor, yang kemudian diterjemahkan dari bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscott menjadi 100 Love Sonnets Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Tia Setiadi Editor

: Agus Manaji dan Sukandar

Kepada Matilde Urrutia Istriku tercinta, aku menderita selagi aku menuliskan “soneta-soneta� tak bernama ini; mereka melukaiku dan membuatku lara, namun kebahagiaan yang kurasakan dalam mempersembahkannya kepadamu sungguh maha luas bagaikan sabana.... halaman 54


na en el corazon (Spanyol di kalbuku) paska perang saudara di Spanyol, sebuah situasi yang mengubahnya dari seorang individualis menjadi aktivis dan membuatnya sangat terlibat dalam politik, Alturas de Macchu Picchu (1945), sebuah puisi yang tebalnya satu buku, ditulis dalam 12 bagian. Canto General de Chile (1950), menghimpun 250 sajak Neruda yang dicipta saat masa-masa sulit, menjadi seorang eksil di negeri sendiri. Kemudian Cien Sonetos de amor (1960), buku ini, terbit di Boenos Aires. Neruda, meninggal di Klinik Santa Maria, Santiago, pada malam 23 September 1973 terpapar Leukimia. Konon, beberapa saat sebelum ia wafat, tentara-tentara Pinochet (Jenderal yang memimpin Kudeta militer pada 11 september 1973), menggeledah rumah Neruda di Isla Negra. Ucapan F.int

Neruda kala itu: “Carilah–hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini–

Pablo Neruda dengan istri pertama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang di Batavia

PABLO NERUDA

puisi”.

***

Lahir di kota Parral, Chili, pada 12 Juli 1904. Nama lengkapnya Ricardo Eliecer Naftali Reyes Basoalto. Dalam tahun 1920, dia memakai nama pena Pablo Neruda, terinspirasi dari seorang penyair Ceko, Jan Neruda. Pada 1927, karena putus asa, Neruda menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, Burma, seraya kerja serabutan di Kolombo, Srilangka, Batavia dan Singapura. Di Jawa ia menikahi isterinya yang pertama, seorang wanita Belanda pegawai bank, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Menerima International Peace Prize (1950) dan The Nobel Prize for Literature (1971). Buku-bukunya yang terbit: Crepusculario (Senja, 1923), Veinte Poemas de amor y una cancion desesperada (1924), sehimpun sajak cintanya yang paling terkenal dan paling banyak diterjemahkan. Kemudian espa-

halaman 55


Beberapa pilihan puisi/soneta Pablo Neruda dalam Ciuman Hujan

XLVIII Sepasang kekasih yang bahagia membuat sebuah roti, satu rembulan gugur di rerumputan Ketika berjalan, mereka melemparkan sepasang bebayang yang mengalir bersama; ketika bangun, mereka meninggalkan satu surya yang suwung di ranjangnya. Dari segala kebenaran yang mungkin, mereka memilih hari itu; mereka menggenggamnya, bukan dengan tali tapi dengan satu aroma. Mereka tidak merobek kedamaian, tidak pula meremukkan kata-kata kebahagiaan mereka adalah menara yang tembus pandang Udara dan anggur menemani sepasang kekasih yang bahagia itu. Malam memberi kesenangan dengan kelopak-kelopaknya yang riang. Mereka punya hak atas semua bunga anyelir. Sepasang kekasih yang bahagia, tanpa suatu akhir, tanpa kematian, mereka lahir, mereka mati, berkali-kali selagi mereka hidup: mereka memiliki kekekalan hidup yang alamiah.

halaman 56


XC Aku pikir aku sedang sekarat, aku rasakan hawa dingin mendekat dan tahu bahwa dari seluruh hidupku cuma kau yang kutinggalkan: siang dan malamku yang fana adalah mulutmu, kulitmu adalah kerajaan yang didirikan oleh ciuman-ciumanku. Pada saat itu buku-buku berhenti, juga persahabatan, kekayaan menumpuk dengan gelisah, rumah transparan yang kau dan aku bangun: segala sesuatu berguguran, kecuali matamu. Sebab sementara kehidupan mengusik kita, cinta hanyalah gelombang yang lebih tinggi ketimbang gelombang-gelombang lainnya: tapi oh, kala maut datang mengetuk pintu gerbang, di sana hanya tatapanmu yang melawan begitu banyak kekosongan, hanya cahayamu yang melawan kepunahan, hanya cintamu yang mengusir bebayang

XVII Aku tak mencintaimu seakan kau mawar-bergaram, atau manikam atau panah bunga-bunga anyelir yang diluncurkan nyala api Aku mencintaimu bak benda-benda gelap tertentu yang dicintai dalam rahasia, di antara bebayang dan jiwa. Aku mencintaimu bagaikan tanaman yang tak pernah berbunga namun membawa sinar dari bunga-bunga tersembunyi dalam dirinya; terima kasih pada cintamu atas harumnya yang penuh yang bangkit dari bumi, mukim dalam gelap di tubuhku Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga; begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain selain itu: di mana aku tak ada, kau juga tak ada begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku, begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpejam.

halaman 57


XXIX Engkau datang dari kemiskinan, dari rumah-rumah di Selatan dari lanskap-lanskap yang dingin dan berlindu yang menawarkan pada kita – setelah dewa-dewa itu terjungkal ke dalam kematian – hikmah hidup, yang terbentuk di lempung Kau adalah kuda kecil dari lempung hitam, sebuah ciuman dari lumpur gelap, Kekasihku, sekuntum popy lempung, merpati senja yang terbang sepanjang jejalan, tabungan airmata dari masa kecil kita yang melarat Gadis kecilku, jantung kemiskinan telah ada dalam dirimu kakimu terbiasa mengasah batu-batu mulutmu tak selalu punya roti, atau gula-gula Kau datang dari Selatan yang miskin, di mana jiwaku bermula di ketinggian langit itu ibumu masih mencuci pakaian dengan ibuku. Karena itulah aku memilihmu, mempelaiku.

XCI Usia merangkumi kita bagai gerimis waktu tak berkesudahan dan sedih bulu garam menyentuh parasmu tetesannya merusak bajuku Waktu tak terbedakan di antara tanganku dan sekerumun jeruk dalam dirimu dengan salju dan hidup terbaik yang meluruh dalam hidupmu, yang juga hidupku Hidupku, yang kuberikan padamu, terisi dengan tahun-tahun bak sekelompok buah yang mengembang Anggur-anggur akan kembali ke bumi Dan bahkan waktu turun di sana terus-menerus, menunggu, menghujan ke atas debu, berhasrat menghapuskan bahkan ketakhadiran

halaman 58


XLIV Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencintaimu sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan api mempunyai separuh dingin Aku mencintaimu untuk mulai mencintaimu untuk memulai ketakterbatasan kembali dan tak pernah berhenti mencintaimu: sebab itulah mengapa aku tak mencintaimu Aku mencintaimu dan tak mencintaimu, seolah kugenggam kunci-kunci di tanganku; untuk masa depan kegembiraan – nasib malang yang kacau balau — Cintaku mempunyai dua kehidupan, untuk mencintaimu; sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu

halaman 59


tokoh

Ferit Orhan Pamuk (Pemenang Nobel Sastra 2006)

Daftar buku Cevdet Bey ve Oğulları (1982, Tn. Cevdet dan Anak-anaknya) Sessiz Ev (1983, Rumah yang Sunyi) Beyaz Kale (1985, Kastil Putih) Kara Kitab (1990, Buku Hitam) Yeni Hayat (1995, Kehidupan Baru) Öteki Renkler (1999, Warna-warna Lain) Benim Adım Kırmızı (2000, Namaku Merah) Kar (2002, Salju) İstanbul: Hatıralar ve Şehir (2003, Istanbul: Kenangan dan Kota) Penghargaan - 1979 Penghargaan Pertandingan Novel Milliyet Press (Turki) untuk novelnya Karanlık ve Işık (pemenang bersama) - 1984 Hadiah Novel Madarali (Turki) untuk novelnya Sessiz Ev - 1990 Penghargaan Fiksi Asing Independen (Britania Raya) untuk novelnya Beyaz Kale - 1991 Prix de la Découverte Européenne (Hadiah Penemuan Eropa) (Prancis) untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya Sessiz Ev - 2002 Prix du Meilleur Livre Etranger (Hadiah untuk Buku Asing Terbaik) (Prancis) untuk novelnya Namaku Merah - 2002 Premio Grinzane Cavour (Italia) untuk novelnya Namaku Merah - 2003 Penghargaan Sastra Internasional IMPAC Dublin (Irlandia) untuk novelnya Namaku Merah - 2005 Hadiah Perdamaian Pameran Dagang Buku Jerman (Jerman) - 2005 Prix Medicis Etranger (Prancis) untuk novelnya Salju - 2006 Penghargaan Nobel dalam Sastra

halaman 60


Umum Amerika Robert College di Istanbul. Kemudian ia mengambil program arsitektur di Universitas Teknik Istanbul, karena tekanan keluarganya agar ia menjadi insinyur atau arsitek. Namun ia berhenti setelah tiga tahun dan menjadi seorang penulis penuh waktu. Pamuk lulus dari Institut Jurnalisme di Universitas Istanbul pada 1977. Ia menjadi sarjana tamu di Universitas Columbia di New York City dari 1985 hingga 1988, dan pada masa yang sama ia pun menjadi mahasiswa tamu di Universitas Iowa. Lalu ia kembali ke Istanbul. Pamuk menikah dengan Aylin Turegen pada 1982, tapi mereka bercerai pada 2001. Keduanya mempunyai seorang anak perempuan, Rüya. Pamuk tetap tinggal di Istanbul. Pamuk mulai menulis secara teratur pada 1974. Novelnya yang pertama, Karanlık ve Işık (Gelap dan Terang) menjadi pemenang bersama dengan novel lain pada 1979 Lomba Penulisan Novel Milliyet Press (pemenang lainnya adalah Mehmet Eroğlu). Novel ini diF.int

terbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları (Tuan Cevdet dan anak-anaknya) pada 1982,

Ferit Orhan Pamuk (lahir di Istanbul, Tur-

dan memenangkan Hadiah Novel Orhan Ke-

ki, 7 Juni 1952) adalah seorang novelis Turki

mal pada 1983. Kisahnya tentang tiga genera-

terkemuka dalam sastra pasca-modernis. Ia

si sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup

sangat populer di dalam negeri, dan pemba-

di Nisantasi, distrik Istanbul tempat Pamuk

canya di seluruh dunia juga bertambah terus.

dibesarkan.

Sebagai salah seorang novelis Eurasia paling

Pamuk memenangkan sejumlah penghar-

terkemuka, karya-karyanya telah diterjemah-

gaan kritis untuk karya-karya awalnya, ter-

kan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Ia telah

masuk Hadiah Novel Madarali 1984 untuk

mendapatkan banyak penghargaan di dalam

novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Su-

negeri maupun internasional.

nyi) dan Prix de la Découverte Européenne

Pada 2005, pemerintah Turki mengena-

1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel-

kan tuduhan kriminal terhadap Pamuk sete-

nya ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil

lah ia membuat pernyataan-pernyataan me-

Putih), terbit dalam bahasa Turki pada 1985,

ngenai pembunuhan lebih dari 1 juta orang

memenangkan Penghargaan Independen un-

Armenia dan 30.000 orang Kurdi di Anatolia.

tuk Fiksi Asing 1990 dan memperluas reputa-

Pamuk dilahirkan di lingkungan kelu-

sinya di luar negeri. Tinjauan Buku The New

arga berada. Ayahnya adalah CEO pertama

York Times menyatakan, "Bintang yang baru

IBM Turki. Ia belajar di Sekolah Menengah

telah terbit di timur, Orhan Pamuk." Ia mulai halaman 61


bereksperimen dengan teknik-teknik pasca-

Pamuk menjawab "Tak suatupun yang beru-

modern dalam novel-novelnya, suatu peru-

bah dalam hidup saya karena saya bekerja

bahan dari naturalisme sempit dalam karya-

sepanjang waktu. Saya telah menghabiskan

karya awalnya.

30 tahun dalam menulis fiksi. Selama 10 ta-

Pamuk agak lambat menjadi populer di

hun pertama, saya kuatir tentang uang dan

kalangan khalayak umum, namun novelnya

tak seorangpun bertanya berapa banyak uang

Kara Kitab (Buku Hitam, 1990) menjadi salah

yang saya hasilkan. Dekade kedua saya meng-

satu bacaan yang paling kontroversial dan

habiskan uang dan tak seorangpun bertanya

populer dalam sastra Turki karena komplek-

tentang hal itu. Dan saya telah menghabiskan

sitas dan kekayaannya.

10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu

Pada 1992, ia menulis naskah untuk film Gizli Yüz (Muka Rahasia), berdasarkan Kara

bagaimana saya menggunakan uang itu, suatu hal yang tidak akan saya lakukan."

Kitab dan ditangani oleh sutradara Turki

Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar

terkemuka, Ömer Kavur. Novel keempat Pa-

(2002) (terjemahan bahasa Inggris Snow

muk, Yeni Hayat (Kehidupan Baru), menim-

(Salju), 2004), yang membahas konflik anta-

bulkan sensasi di Turki saat terbitnya pada

ra Islamisme dan Baratisme di Turki modern.

1995 dan menjadi buku yang paling laris ter-

New York Times mencatat Snow sebagai salah

jual dalam sejarah Turki. Saat ini, Pamuk juga

satu dari Sepuluh Buku Terbaik untuk 2004.

telah menjadi tokoh terkemuka di Turki, ka-

Ia juga menerbitkan sebuah memoir/cata-

rena dukungannya atas hak-hak politik suku

tan perjalanan İstanbul-Hatıralar ve Şehir

Kurdi. Pada 1995, Pamuk tergolong salah satu

pada 2003 (Versi Inggris, Istanbul-Memories

penulis yang berusaha menulis esai-esai yang

and the City (Istanbul-Kenangan dan Kota)

mengkritik perlakuan Turki terhadap suku

2005). Pada 2005 Orhan Pamuk memenang-

Kurdi. Pada 1999, Pamuk menerbitkan buku

kan Hadiah Perdamaian Pameran Dagang

ceritanya Öteki Renkler (Warna yang Lain).

Buku Jerman senilai 25.000 Euro untuk ka-

Reputasi internasional Pamuk terus me-

rya sastranya di mana Eropa dan Turki Islam

ningkat ketika ia menerbitkan Benim Adım

menemukan tempat untuk satu sama lain. Ini

Kırmızı (Namaku Merah) pada 2000. Novel

adalah hadiah buku paling bergengsi Jerman

ini mencampurkan teka-teki misteri, roman

yang diberikan di Gereja St. Paulus di Frank-

dan filosofis yang berlangsung di Istanbul

furt.

pada abad ke-16. Cerita ini membuka jendela

Buku-buku Pamuk dicirikan oleh kebin-

ke pemerintahan Sultan Ottoman Murat III

gungan atau hilangnya identitas yang seba-

dalam sembilan hari musim dingin yang ber-

gian ditimbulkan oleh konflik antara nilai-

salju pada 1591, mengundang pembacanya

nilai Eropa dan Islam. Mereka seringkali

untuk mengalami ketegangan antara Timur

mengganggu atau menggelisahkan, namun

dan Barat dari perspektif yang sangat memu-

mencakup plot yang rumit dan memikat,

kau. Namaku Merah telah diterjemahkan ke

serta tokoh-tokoh yang mendalam. Karya-

dalam 24 bahasa dan memenangkan hadiah

karyanya juga diwarnai dengan bahasan dan

sastra internasional yang paling bernilai,

pesona terhadap seni kreatif, seperti sastra

Hadiah IMPAC Dublin pada 2003.

dan lukisan.

Ketika ditanya "Apakah pengaruh keme-

Tuduhan-tuduhan kriminal terhadap Pa-

nangan hadiah IMPAC ini (saat ini nilainya

muk muncul dari pernyataan-pernyataan

$127.000) atas kehidupan dan karya anda?",

yang dibuatnya pada wawancara dengan Das

halaman 62


Magazin, sebuah terbitan Swiss pada Febru-

persetujuan ini belum diterima dan kare-

ari 2005. Dalam wawancara itu, Pamuk me-

nanya menunda kelanjutan peradilan. Dalam

nyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan

wawancara yang diterbitkan dalam surat

sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini

kabar Aksam pada hari yang sama, Menteri

dan tak seorangpun kecuali saya yang berani

Kehakiman Cemil Cicek mengatakan bahwa

berbicara tentang hal ini."

ia belum menerima berkas Pamuk namun ia

Pamuk mengatakan bahwa setelah wawancara itu diterbitkan, ia dikenai kampanye ke-

akan mempelajarinya dengan cermat begitu berkasnya sampai ke tangannya.

bencian yang memaksanya melarikan diri

Kantor berita Turki BIA melaporkan

dari negerinya. Namun ia belakangan kem-

bahwa para pengunjuk rasa nasionalis di luar

bali pada 2005 untuk menghadapi tuduhan-

ruang pengadilan mengejek ketika mereka

tuduhan terhadapnya. Dalam wawancara

mendengar peradilan itu ditunda dan menye-

dengan BBC News, ia berkata bahwa ia ingin

rang mobil Pamuk ketika ia dibawa pergi.

membela kebebasan berbicara, satu-satunya

Sekelompok pengunjuk rasa lainnya yang

harapan Turki untuk menghadapi sejarahnya

berdemonstrasi damai menentang Orhan Pa-

sendiri: 'Apa yang terjadi kepada orang-orang

muk tanpa kekerasan dipimpin oleh seorang

Armenia Ottoman pada 1915 adalah suatu ke-

seniman dan penulis Turki yang terkenal se-

jadian besar yang tersembunyi dari bangsa

cara internasional, Bedri Baykam.

Turki. Ia dianggap tabu. Tetapi kami harus mampu berbicara tentang masa lalu.'

Tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk mengundang reaksi internasional dan berbagai

Pada Juni 2005, Turki memperkenal-

pertanyaan di sejumlah kalanagan menge-

kan aturan pidana baru yang menyatakan:

nai rencana masuknya Turki ke dalam Uni

"Seseorang yang secara eksplisit menghina

Eropa. Pada 30 November, Parlemen Eropa

keberadaan seorang Turki, Republik atau

mengumumkan akan mengirimkan delegasi

Dewan Nasioal Agung Turki, akan dikenai

yang terdiri dari lima anggota, dipimpin oleh

hukuman penjara selama enam bulan hingga

Camiel Eurlings, sebagai pengamat di peradi-

tiga tahun." Pamuk dikenai hukuman pelang-

lan itu. Komisioner Perluasan UE Olli Rehn

garan hukum ini dalam wawancara yang di-

lalu mengatakan bahwa kasus Pamuk akan

berikannya empat bulan sebelum hukum itu

menjadi ujian atas komitmen Turki terhadap

diberlakukan. Pada Oktober, setelah dakwaan

kriteria keanggotaan UE.

dimulai, Pamuk mengulangi pandangan-pan-

Pada 1 Desember, Amnesti Internasional

dangannya dalam sebuah pidato yang disam-

mengeluarkan pernyataan yang menyerukan

paikannya pada upacara pemberian hadiah di

agar Pamuk dan enam orang lainnya yang

Jerman: "Saya ulangi, saya katakan dengan

akan diadili, dibebaskan.

keras dan jelas bahwa satu juta orang Arme-

Pada 13 Desember, delapan pengarang

nia dan 30.000 orang Kurdi telah dibunuh di

terkenal dunia: Jose Saramago, Gabriel Gar-

Turki."

cia Marquez, G端nter Grass, Umberto Eco,

Karena Pamuk dikenai tuduhan atas hu-

Carlos Fuentes, Juan Goytisolo, John Updike

kum yang diberlakukan surut, hukum Turki

dan Mario Vargas Llosa menerbitkan pernya-

mengharuskan pengadilannya disetujui oleh

taan bersama dan mengecam tuduhan-tudu-

Kementerian Kehakiman. Beberapa menit

han atas Pamuk sebagai pelanggaran hak-hak

setelah pengadilan Pamuk dimulai pada 16

asasi manusia.

Desember 2005, hakim menemukan bahwa

Sebagian rekan-rekan Turkinya menyhalaman 63


erang dia karena terlalu memusatkan kritiknya terhadap "Turki dan orang Turki", dan karena tidak sama kritisnya terhadap pemerintah-pemerintah lain. Selain itu,

Dukacita

Pimpinan dan Karyawan

sebagian pengamat curiga terhadap maksud Pamuk sesungguhnya di balik pernyataan ini dan mengklaim bahwa ia hanya sok pamer agar memenangkan penghargaan Nobel untuk sastra yang kemudian dianugerahkan kepada pengarang Inggris, Harold Pinter. Mereka mengatakan bahwa Pamuk tak pernah sebelumnya memper-

Menyampaikan kabar dukacita atas meninggalnya :

lihatkan perhatiannya kepada masalah Kurdi atau Armenia. Sebagian komentator Turki mencatat bahwa memuji Pamuk bukan karena tulisannya melainkan karena pernyataannya tentang orang Kurdi dan Armenia tidak saja keliru, tetapi juga tidak adil kepada orang-orang seperti YaĹ&#x;ar Kemal, sastrawan Turki lainnya yang telah menghadapi berbagait uduhan sepanjang kariernya sebagai penulis karena membela hak-hak suku Kurdi maupun bangsa-bangsa lain, yang telah membaktikan seluruh hidupnya untuk meneliti kelompok-kelompok minoritas atau yang pernah dipenjarakan karena membela hak-hak

Kasrah (78 Tahun)

Ibunda tercinta Dandun Wibawa (Seniman Musik) Di RS. Eka Hospital Pukul 21.00 WIB dan disemayamkan di Jl. Durian Labuh Baru, Pekanbaru

minoritas. Waktu yang bersamaan ketika media mulai menerbitkan pernyataanpernyataan Pamuk dengan waktu perundingan-perundingan penting dengan UE juga telah menimbulkan sejumlah kontroversi di Turki. Lainnya mengatakan bahwa kasus Pamuk lebih mirip dengan pencemaran seperti di negara-negara demokrasi Barat, daripada kebebasan berpendapat.*** (Red.01-Dari berbagai sumber)

halaman 64

Semoga Almarhumah diterima di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam Pekanbaru-Riau Pusat Penjualan: Kompleks Metropolitan City Giant Block A 19 & 20 Jl. HR Soebrantas Km 12 Pekanbaru halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.