Yusuf Maulana
132
Yusuf Maulana
132
Yusuf Maulana
132
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Pembajakan adalah tindakan tidak beradab.
2
Yusuf Maulana
Yusuf Maulana
3
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku Yusuf Maulana
Copyright Š 2017, Yusuf Maulana
Cetakan Pertama, Januari 2018 Penyunting Pemeriksa Aksara Desain sampul dan tata isi Foto-foto Tata Letak
: Eri Muriyan : R. Edo Saputro : Alib Isa : Sa’adia Meilani : Uri
Diterbitkan oleh Sabuk Pustaka Jl. Terusan Ikan Nus, No 22 Tunjungsekar, Lowokwaru, Malang Telp/WA/SMS Surel Facebook Instagram Website
: 085649965349 : sabukpustaka@gmail.com : Sabuk Pustaka : @sabukpustaka : www.sabukpustaka.com
ISBN
: 9786028119636
4
Yusuf Maulana
Prakata
Hamka dan Perjuangan Mencintai Buku
Setiap tahun, saban 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari perayaan Hari Buku, selain sekadar seremoni di media massa. Walau begitu, sebagai sebuah ikhtiar mengenalkan perbukuan, seremoni tersebut tentu patut dihargai. Tinggal bagaimana menindaklanjutinya sebagai kecintaan pada buku; perlahan tapi pasti ada penjagaan agar buku senantiasa dekat dengan warga. Buku di tanah air kita pantas iri kepada gawai, baik telepon pintar maupun sabak (gawai layar lebar). Di mana-mana mudah ditemui warga berponsel atau bersabak ria. Tapi tidak demikian ketika dikaitkan dengan buku. Buku seakan hanya pantas dibawa di tempat tertentu dan saat tertentu pula. Kalaupun ada yang membawa ke mana-mana dan kapan saja, pastilah itu orang “pintar�. Buku seolah hanya pantas disandang dan disanding oleh mereka yang berakal di atas rata-rata. Padahal, untuk bisa cerdik, membuka wawasan menjadi hak siapa saja dan itu diperoleh—salah satunya—dengan berinteraksi bersama buku. Buku sesungguhnya benda yang bisa didekati siapa saja. Asalkan ada kemauan, harga mahal pun tiada aral untuk mencumbui isi tulisan dalam buku. Si papa punya hak dan kesempatan yang sama dengan si 5
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
kaya. Kita bisa becermin pada Buya Hamka. Buku dekat dalam kehidupan Hamka, baik untuk dibaca, didiskusikan, dan tentunya dituliskan untuk umat-bangsa. Dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka karya H Rusydi Hamka (1981) disebutkan, beliau menorehkan tidak kurang 118 karya. Karya-karya itu ditulisnya sejak 1925 atau saat Buya menginjak 17 tahun! Hamka punya keistimewaan tersendiri dalam soal literasi. Bukan sebatas alim yang bisa diterima banyak kalangan, tapi juga figur yang tidak menggantungkan pada silat lidah. Penanya menari lincah bak tiada kenal henti. Sejarah Umat Islam, contohnya. Untuk ukuran masa itu dan sekarang, dibutuhkan riset terpadu dan bacaan komprehensif saat menuangkan pikiran, apalagi tentang sejarah. Namun, dengan cara mencicil, Hamka berhasil menuntaskannya menjadi buku setebal 960 versi penerbit Pustaka Nasional Singapura.
Dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka karya H Rusydi Hamka (1981) Hamka menorehkan tidak kurang 118 karya.
6
Yusuf Maulana
Konsistensi Buya Hamka dalam memadukan dakwah lisan dan pena juga diiringi sikap lurusnya. Beliau bukan sosok pesanan yang bisa diperintah demi sebuah proyek tertentu, selain proyek memberadabkan makhluk lemah di jagat raya ini dari sang Pencipta: Allah Ta’ala. Teramat jauh dengan alim-alim yang berlaku gagah hari ini menjalankan proyek penguasa, menulis soal terorisme dan isme sesat versinya (semisal khawarij dan wahabi) di media massa lantas dibayar mahal berpuluh juta. Hamka jauh dari itu. Panggilannya untuk menuangkan tulisan tidak diukur dengan materi. Pun ketika karyanya dicuri pada level antarnegara, Hamka mungkin tidak memedulikannya. Bukan tidak menghargai soal kekayaan intelektual dirinya, tapi semata agar pesan-pesan kebaikan di tulisannya bisa dibaca banyak orang di banyak tempat. Memasuki lembaran pemikiran Hamka dari Buku sungguh tepat. Kita dipercontohkan pada figur yang meneladankan bahwa bergulat dengan tulisan sungguh sebuah warisan tidak ternilai di masa mendatang. Hamka menuangkan apa pun yang penting menurutnya, bahkan pengalaman pribadinya. Hamka percaya, dari setiap desah napasnya ia punya amanah yang berada di pundaknya. Nah, kita sekarang berandil untuk mengakses setiap karya yang mengulas sosoknya. Bukan apa-apa, demi mengarifi figur yang telah mewariskan banyak kontribusi bagi negeri ini. Sebuah mutiara yang memesona dan hari ini terasa amat langka. Figur Buya Hamka dipilih sebagai perantara menjelaskan makna kegigihan berinteraksi dengan buku. Buku menjadi modal dan kebutuhan penting yang mesti didekati. Dipelajari, ditelaah, dilahap isi-isi yang terkandung di dalamnya demi mencapai jalan maslahat. Hari ini, sayangnya, buku masih dipandang sebagai benda tak penting bagi sebagian orang. Sebagian lagi meman-dangnya benda yang terlampau “wah�. Sebagian lagi hanya berkeluh kesah ingin memperolehnya tapi kesulitan meraihnya. Ada pula yang berposisi sebaliknya: mencintai buku sepenuh hati.
7
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Buku ini berisikan esai-esai tentang pengalaman berliterasi, berinteraksi dengan buku. Hadir untuk berbagi pengalaman dan jejak mengingat buku memang asyik dan mengasyikkan bagi siapa saja. Buku semestinya didudukkan sesuai tempat dan fungsinya. Tidak terlampau diremehkan perannya, tidak pula bersangat disegani perannya. Seperti udara yang kita hirup setiap hari, selaksa air yang biasa kita minum sekurangnya delapan gelas per hari, begitulah aksara dalam buku menanti untuk dijamah. Lebih jauh lagi, bagaimana kita pun menjadi produsen dari aksara itu ke depannya. Menjadi pembaca, pembincang, dan kemudian penulis. Buku ini berniat mengakrabi pembaca melalui lima jalur. Pertama tentang kaitannya dengan pengabdian mereka yang bersentuhan dengan dunia kata-kata. Karena pengabdian mereka adalah ketulusan, amat sayang apabila kita mengabaikan contoh yang diwariskan. Kedua, keberadaan buku memiliki kisah dan kesan sendiri. Setiap kisah dan kesan ini satu perjuangan yang indah dan memiliki keharuan khas. Dari hal-hal sederhana berjuang mendapatkan satu judul buku, ada makna bagaimana menghargai gagasan orang-orang besar. Ketiga, beragam pelik-pelik berkait buku. Pelik yang ada adalah pelajaran. Mesti dipecahkan agar tidak berulang. Bukan semata buku, melainkan juga literasi secara umum. Terutama menyang-kut sikap mental manusia: berdusta. Dusta dan buku akan menemukan irisan berupa tindakan plagiarisme. Ada juga kisah “permusuhan� pada buku. Insan berpendidikan di kampus yang “mengemohi� buku juga menjadi bahasan dalam bagian ini. Keempat, buku dan keluarga adalah kesinambungan. Betapa banyak ahli waris tokoh besar justru “merusak� jejak besar keluarganya. Buku-buku itu tidak dirawat, baik perawatan fisik dan lebih-lebih lagi perawatan intelektual. Buku-buku itu diabaikan begitu saja hingga terputus sama sekali dengan generasi di keluarga sang tokoh yang menuliskan dan/atau memiliki karya-karya emasnya tadi. Melalui pengalaman sederha-na merawat literasi di keluarga, rasa cinta terhadap warisan keluarga dalam wujud buku atau media tercetak 8
Yusuf Maulana
lainnya semoga bermunculan. Kelima, seluk-beluk dinamika gaya hidup dewasa ini dan cabarannya bagi kelangsungan buku. Konon, munculnya sabak dan ponsel pintar bakal memuseumkan buku. Asumsinya, banyak media cetak di negara maju gulung tikar dan beralih wujud berbentuk digital. Terlepas dari perdebatan soal masa depan buku di era digital, yang sudah pasti adalah kebutuhan membaca di jagat yang serba cepat tapi ringkas ini masihlah ada. Tinggal mengualitaskan aktivitas membaca itu. Toh fondasi literasi yang pokok akan menentukan apakah seseorang itu bakal tenggelam ataukah mampu berenang di samudra maya. Mereka yang hanyut menikmati ekstase dunia digital berikut produk teknologi perantaranya, besar kemungkinan berasal dari kalangan yang belum matang dalam literasi. Esai-esai dalam buku ini sesungguhnya tidak berpretensi untuk mengajari pembaca budiman. Melalui berbagi pengalaman dan kisah, harapannya ada saling sentuh untuk berjibaku mendekati buku. Dari pendekatan ini semoga kita semua mampu menikmati eloknya panorama buku. Buku, dengan demikian, mengikat kita untuk menemaninya terus-menerus. Di sinilah candu buku membui kita untuk menjadi insan beradab yang memiliki panduan cara memajukan tanah kita berpijak: Indonesia! Sebagaimana dulu generasi Buya Hamka telah berbuat dengan karya-karya emasnya, kita pun insya Allah bisa menghadirkan andil dengan pendekatan beragam diawali melalui perjuangan literasi. []
9
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
10
Yusuf Maulana
Daftar Isi
Prakata: Hamka dan Perjuangan Mencintai Buku ……………………. 5
Buku dan Narasi Pengabdian ………………………………………………….. 15 Semerbak Gaduh Risalah Abduh ……………………………………………. 17 Terpikat Karisma Tuan Hassan ……………………………………………... 21 Kitab Fikih Berjuta Umat ………………………………………………………. 25 Jejak-jejak Eksotis Syed al-Attas ……………………….............................. 28 Ahmad Mansur Menemukan Sejarah ………………………..................... 33 Menerbitkan Pemikiran Ulama …………...…………...…………...………. 36 Laju Mendung Gunung Agung …………...…………...…………...………… 40 Bulan Bintang Tertatih Membentang Zaman …………...…………...... 45 Pustaka yang Percaya pada Keelokan Rupa …………...…………......... 50 Kitab Sejarah Karya Sang Raja Tanpa Mahkota …………...………….. 53 Jejak Muhammadiyah di Kandang Sendiri …………...…………............ 57 Bobot Cakrawala Fatwa al-Qaradhawi …………...…………...…………. 63 Setia Menjaga Marwah Buya Hamka …………...…………...…………..... 67 Menimbang Bijak Warisan Suharto …………...…………...…………....... 74 Becermin dari Buku Biografi …………...…………...…………...…………... 77 Menghikmahi Polemik Natsir dan Soekarno …………...…………....... 80 Nasihat Emas Berbalas Cerca …………...…………...…………...…………. 87 Jejak Hidayah Sang Seniman Lekra …………...…………...…………........ 93 Dua Perupa Makna Awal Buku …………...…………...…………...………. 96
11
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Buku dan Jejak Perjalanan …………...…………...…………...…………......... 99 Menghadirkan Kenangan Lama dengan Buku …………...……..…… 101 Nilai Mendapatkan Buku …………...…………...…………...……….…...... 104 Menghargai Katalog Seni …………...…………...…………...…….……...... 106 Ragam Cara Meraih Buku Idaman …………...…………...……….…...... 109 Buku-buku dari Mempercayai …………...…………...…………....……... 114 Jinak-jinak Buku di Hati …………...…………...…………...……….…........ 117 Berburu ‘Atlas Budaya Islam’ …………...…………...…………...….……. 121 Obral dan Pedih di Karta Pustaka …………...…………...……….…....... 124 Ide Hatta Seharga Segelas Dawet …………...…………...…….……........ 127 Demam Soekarno (lagi) …………...…………...…………...……….…......... 129 Hatta dan Karya Intelektualnya …………...…………...……….………... 132 Mendaras Tarekat Mason Bebas …………...…………...…….……......... 136 Buku Pemikiran Berseberang …………...…………...…………....……… 139 Ekstrem Berbalas Ekstrem …………...…………...…………...…….…….. 143 Terbujuk Sampul Buku …………...…………...…………...……….….......... 149 Buku Orang-orang Kampus …………...…………...…………....…………. 152
Buku dan Daur Pelupaan …………...…………...…………...……….…......... 157 Elegi Perpustakaan Masjid …………...…………...…………...…….……... 159 Apa Kabar Perpustakaan Masjid Kampus? …………...……….…....... 163 Sepi Menemani di Toko Buku Kampus …………...…………....……… 166 Mengusir Artefak Ilmu di Kampus …………...…………...….………..... 170 Membuang Buku …………...…………...…………...…………...….………..... 174 Aktivis Dakwah Lemah Membaca? …………...…………...….……….... 178 Tiada Natsir dan Hamka di Rak Buku Kampus …………....……….. 182 Teladan Plagiat …………...…………...…………...…………...….………........ 189 Skripsi Abal-abal …………...…………...…………...…………...…………..... 191 Kala Buku Mengubah …………...…………...…………...……….….............. 195 Terdesak Periuk untuk Diisi …………...…………...…………....………… 200 Eksodus Pustaka …………...…………...…………...…………...….………..... 204 Kenangan pada Buku Semasa Kecil …………...…………....…………... 208 Ensiklopedia Anak Tercinta …………...…………...…………….………… 212
12
Yusuf Maulana
Buku dan Hasrat Bergaya …………...…………...…………....…………......... 215 Mengganti Televisi …………...…………...…………...……….…...…………. 217 Ketika Kertas Menanti Kesadaran Kita …………....…………...……… 220 Terpental dari Buku Digital …………...…………...….………...…………. 226 Memiliki Pram Tanpa Gegar …………...…………....…………...………… 228 Buku Kiri yang Keterlaluan …………...…………....…………...………….. 231 Berharganya Waktu Membaca …………...……….…...…………...…….. 234 Bergawai di Toko Buku …………...…………...…….……...…………......... 236 Menakar Sebatang Coklat …………...…………...….………...…………..... 238 Santap Bersama atau Beli Buku? …………...…….……...…………........ 241 Habis Bersalon Terbelikah Buku …………...…….……...…………........ 243 Kover yang Diemohi Tohari …………...…………….…………...………… 247 Kadar Jenggot Versi al-Jauzi …………...…………....………….................. 250 Dua Pagina yang Menolak Kelamin di Muka …………….…………... 253 Titik Temu Kualitas Pribadi …………...…………...……….….................. 260 Tentang Penulis …………...…………...…………...…………...…………........... 263
13
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
14
Yusuf Maulana
Buku dan Narasi Pengabdian
15
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
16
Yusuf Maulana
Semerbak Gaduh Risalah Abduh
Risalah Tauhid (Risalah al-Tawhid) karya Muhammad Abduh, siapa tidak kenal? Sebuah kitab yang tidak asing bagi kalangan Islam modernis seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Di kampuskampus, kitab dan penulisnya jamak dibicarakan. Sudah banyak sarjana yang mengkaji atau menjadikan rujukan hingga berlahiran karya ilmiah. Salah satunya Harun Nasution untuk tesis doktoralnya di McGill University. Maret 1968, Harun menyelesaikan pendidikan di kampus Montreal, Kanada, itu dengan judul disertasi The Place of Reason in Abduh’s Theology, It’s Impact on his theological System and Views. Ada banyak isu berkaitan dengan karya ilmiah Harun Nasution itu. Mulai simpulannya yang menyentak karena menyebut Abduh lebih Mu’tazilah dibandingkan pengikut Mu’tazilah sendiri atau awal penerbitan buku ini yang memiliki kisah unik. Poin penting disertasi itu dibukukan dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah pada 1986, salah satunya atas dorongan Bung Hatta. Bertahun-tahun isi buku Harun nyaris tanpa kritik berarti. Bahkan, menurut pengkritiknya, buku itu semacam “sakral” hingga seakan kokoh untuk dikoreksi. Selepas HM Rasjidi, nyaris tidak ada pengkritik otoritatif yang berkadar ilmiah mumpuni dan sistematis 17
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
mengulik sisi lubang pemikiran Harun. Sampai akhirnya muncul urang awak Minang yang tekun meneliti karya-karya Abduh dan berkebalikan dengan simpulan Harun. Pada 2011, Eka Putra Wirman mengoreksi disertasi Harun. Dua tahun berikutnya keluar lagi kajian yang disebut-sebut lebih serius. Keduanya dihadirkan dalam bentuk buku terbitan 2013 berjudul Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution. Kembali ke Risalah Tauhid, saya mengenal kitab terjemahnya semasa SMA. Untuk ukuran masa itu (1993-1996), tidak mudah mendapati pelajar mengakses buku terbitan Bulan Bintang itu. Saya pun hanya memegang beberapa kali dan tidak sampai mena-matkan. Mungkin karena bahasannya terlalu serius dan berat; atau juga karena kadar otak saya belum menjangkau ke sana. Nyatanya, dalam buku Harun di atas, Risalah Tauhid merupakan hasil ceramah-ceramah Abduh yang diberikan di Beirut pada 1885, tepatnya kepada siswa Madrasah Al-Sultaniah. Jadi, buku ini sebenarnya dianggap cocok untuk pelajar ketimbang mahasiswa perguruan tinggi!
Mengutip Charles C Adams dalam Islam and Modernism in Egypt (1933), buku Abduh itu “bercorak populer”. Isinya sederhana dan ringkas. Senada itu O.P.J Jomier dalam Le Commentaire Coranique du Manar (1954), ditulis Harun sebagai “Buku itu cocok untuk siswa sekolah menengah dan dipakai sebagai buku pegangan di sekolah menengah Al-Azhar di Cairo”. Karena ditujukan untuk segmen pelajar, Abduh sendiri dalam bukunya ini menghindari pertentangan antaraliran teologi. Amat berbeda ketika dia menuliskan Hasyiah ‘ala Syarh al-Dawwani li al-‘aqaid ad-dhudhiyyah, buku yang terang mengurai perbedaan. Peremehan Harun tersebut ditolak Eka Putra. “Buku Risalah Tauhid adalah karya besar Muhammad Abduh yang dijadikan rujukan di 18
Yusuf Maulana
bidang teologi sampai hari ini”, tulisannya dalam Restorasi Teologi halaman 117. “Majid Fakhri menilai bahwa Risalah Tauhid adalah karya monumental Abduh dengan sistematika yang sangat baik. Dari segi kualitas Fakhri menilai bahwa Risalah Tauhid sebanding dengan karya tokoh-tokoh Mu’tazilah abad ke-VIII seperti Syarh Ushul alKhamsah karya al-Qadhi Abdul Jabbar”. Eka juga menyebutkan penerjemahan buku Abduh itu dalam beragam bahasa. Di beberapa negara, buku Abduh ini juga jadi pegangan pokok perkuliahan. Karena itulah, Eka pun heran dengan pandangan Harun terhadap Risalah Tauhid. “Pendapat Harun ini mengejutkan, karena baik di Timur maupun di Barat, orang menjadikan magnum opus Muhammad Abduh ini sebagai rujukan yang sangat berharga di bidang teologi”. Meskipun memandang Risalah Tauhid cocok buat sekelas pelajar SMA, di bukunya (yang notabene berasal dari disertasi) Harun malah lebih banyak mengutip buku ini ketimbang buku satunya yang lebih banyak mengulas perbedaan teologi Al-Asy’ariyah dan Mu’tazilah: Hasyiah. Sebuah perlakuan yang mengherankan Eka Putra tentang konsistensi gagasan Harun. Melalui tabel perhitungan jumlah kutipan buku Risalah Tauhid dan Hasyiah, Eka Putra tandas menulis, “Ketimpangan antara klaim dengan tindakan menandakan sikap tindak konsisten Harun Nasution dalam kajian ilmiah akademis. Sikap ini menciderai objektivitas ilmiah yang berdampak kepada kerancuan pemikiran yang akan dikonsumsi oleh publik akademis maupun umum” (halaman 119). Tidak hanya inkonsistensi, Harun juga dianggap lemah dalam akurasi data. Beberapa kutipan dari Hasyiah, diperlakukan Harun secara tidak semestinya, sesuai maksud asli Abduh. Selain itu, beban ideologis Harun yang menyatakan lugas kekaguman pada Mu’tazilah mendorong penulisan ilmiahnya bias. Dalam kaitan ini, Abduh seakan dibajak untuk membenarkan pilihan teologi Harun. Di luar soal perbedaan kedua itu, saya bersyukur mendapati karya bernas tersebut. Pilihan sudah ditetapkan untuk berpihak ke siapa. 19
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Tentu bukan semata dengan emosi, tapi yang lebih beradab adalah berdasarkan kaidah keilmuan dan beningnya hati. Buku yang berharga murah ini menarik buat jadi pelajaran, betapa sosok serupa bisa ditilik sesuai kepentingan. Terutama Harun sang ‘Abdul Jabbar’ yang berobsesi menancapkan pemikiran Mu’tazilah di negerinya. Kelak cita-citanya terwujud hingga taklid yang coba ditolaknya justru lahirkan para muqallid akademis bahkan setingkat profesor sekalipun. Saya bersyukur sempat mendapati dan membaca buku Dr. Eka Putra Wirman, sehingga bisa lebih akurat melihat persoalan lemahnya kemenggebuan Harun Nasution. Pun demikian ketika di kampus Islam negeri ada upaya bangga untuk tampak rasional, padahal tanpa sadar tengah memelihara taklid intelek belaka. Sungguh sayangnya, buku Eka Putra tidak semudah mendapatkan karya Harun. Harganya, walau sama-sama murah, karya Harun amat banting harga. Sejak semasa kuliah hingga kini, karya Harun tidak pernah melebihi Rp 20 ribu! Jangan tanya saya mengapa bisa demikian. []
20
Yusuf Maulana
Buku Dan Jejak Perjalanan
21
Yusuf Maulana
Hatta dan Karya Intelektualnya
Buku-buku Hatta; Karya, Pidato, Biografi, Ulasan.
Berbeda dengan buku si Bung satunya, karya tulis oleh dan tentang Mohammad Hatta yang dicari para kolektor umumnya soal biografinya. Harganya memang masih di kisaran ratusan ribu, salah satunya yang langka di pasaran adalah karya sekretaris pribadi Bung Hatta, I. Wangsa Widjaja, Mengenang Bung Hatta. Karya pemikiran Hatta sendiri terbagi antara berupa tulisan dan 132
Yusuf Maulana
pidato. Karya yang populer dan dikenal legendaris adalah Kumpulan Karangan; judul dengan empat jilid berisikan gagasan Hatta muda hingga ketika ia memangku jabatan Wakil Presiden. Tulisan-tulisan Hatta oleh panitia yang diketuai oleh Arnold Mononutu dihimpun dari pelbagai surat kabar, semisal Daulat Rakjat dan Persautan Indonesia. Untuk pidato tentu saja dari transkip, dan ini banyak kita dapati pada jilid keempat Kumpulan Karangan. Kendati Hatta lebih dikenal brilian dalam menuangkan gagasan dalam wujud tulisan (berbeda dengan Bung Karno yang dikenal piawai sebagai singa podium), bila dikumpulkan keempat jilid itu tetap saja tidak dapat menandingi ketebalan halaman Dibawah Bendera Revolusi. Secara kelakar bisa dikatakan bahwa Bung Hatta memang menang dari segi tulisan mendalam dan meluas serta kuantitas tulisan di media cetak, namun kalah dalam segi pembukuan. DBR bisa menghabiskan seribuan halaman lebih hingga harus dibuat dua jilid. Kumpulan Karangan memang dua kali lipat jilidnya (empat), cuma total halamannya setara satu jilid DBR. Saya pikir itu bentuk “kekalahan� Bung Hatta dari partnernya dalam berjuang. Rupanya belum selesai. Mungkin karena dicetak berkalikali (bahkan dalam sebulan pernah dua kali cetak), DBR masih mudah ditemui di banyak kolektor atau penjual buku antik. Soal harga melambung itu perkara lain. Nah, nasib berbeda dengan karya Hatta yang dibahas di tulisan ini. Tidak banyak saya duga orang yang memiliki lengkap Kumpulan Karangan. Dari segi cetak ulang jelas kalah, kendati kini sudah dicetak edisi pembaruannya oleh keluarga Hatta dan pengagumnya saat peringatan seabad Hatta. Di pasaran buku bekas daring, kita mendapatkan penjual yang jauh lebih sedikit memiliki Kumpulan Karangan dibandingkan DBR. Apatah lagi dijual lengkap sekaligus. Memang, pembagian topik dalam keempat jilid memungkinkan seseorang mengaksesnya sesuai minat. Misalnya peminat luar negeri, jilid kedua memuat banyak gagasan cerdas Hatta. Demikian juga untuk soal ekonomi, masyarakat dan negara, serta pelbagai topik lainnya.
133
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
Menikmati karya-karya tulis Hatta muda memang menarik. Paling tidak ini subjektif saya. Saya percaya Hatta tidak mudah dipengaruhi Soekarno, tapi fakta bahwa ia “dibayang-bayangi” kebesaran Soekarno sehingga meluputkan pandangan kehebatan putra Minangkabau, susah dielakkan. Meski demikian, saya yang semula tahu Hatta kurang piawai sebagai orator tahu mengapa ia seperti itu. Ada kompensasi berupa gagasan menggelegar lewat tulisan. Bukan dengan bahasa-bahasa superlatif dan membahana laiknya Soekarno, tapi dengan kedalaman analitis dan kefasihan berargumen. Arnold Mononutu dengan gamblang menyebutnya begini, “Ayun suaranya tidak bisa memikat hati orang banyak dan kekuatan katanya hanya terletak pada isinya. Isi katanya lebih enak dibaca daripada didengar”. Tapi, darah Minang selaku pengalir tokoh orator tidak absen sama sekali. Hatta boleh dikenal jago rapat khusus dengan pemimpin dan pemuka ketimbang rakyat kebanyakan, tapi manakala berhadapan dengan soal prinsipil, kejutan hadir. Arnold mencatat, sebagaimana tertuang dalam pengantar Kumpulan Karangan jilid pertama, dalam sidang Komite Nasional Pusat di Malang pada 1947, Hatta mengagumkan semua hadirin tatkala membela Penetapan Presiden No 6. “Logika, analisa, pilihan kata, serta ayun suaranya demikian tepatnya, sehingga sukar orang dapat membantah”, tutur Arnold. Bila DBR menyingkap secara konsisten aura kehebatan pikiran Bung Karno, Kumpulan Karangan tidak berbeda pula. Sayangnya, pamor dan popularitasnya biasa saja. Paling tidak, bisa dilihat dari perburuan buku ini. Kisaran harga satu jilid masih di bawah 200 ribu tentu bisa diperkirakan bagaimana menyandingkan DBR (pada masa puncak perburuan, yakni kurun 2000-2003) dan Kumpulan Karangan di tingkat pencinta buku atau sekadar kolektor buku.
134
Yusuf Maulana
Saya bersyukur, keempat jilid buku Hatta cetakan lawas berhasil dimiliki. Seorang aktivis organisasi pemuda menjualnya ke saya tiga jilid dengan harga separuh dari harga di Ibu Kota. Satu jilid lagi saya peroleh di Shopping Center Yogyakarta, kali ini sedikit lebih mahal, hanya 100 ribu. Oh ya, ada yang menarik, penanda jilid di buku Hatta ini unik: berupa bintang. Jumlah bintang menunjukkan urutan jilid. []
135
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
136
Yusuf Maulana
Buku Dan Daur Pelupaan
137
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
138
Yusuf Maulana
Elegi Perpustakaan Masjid
Bentuknya amat bersahaja, dengan cat gelap sebagai pemesona. Ada 12 folder buat buku, dengan ukuran berbeda, dan 3 mini almari buat menyimpan dokumen. Tidak ada yang berubah dari rak buku Masjid Istiqomah Karanggayam, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Sejak mengenalnya dua dekade lebih silam, rak dengan sebagian kaca sudah tiada menjadi saksi peneman jamaah masjid yang kebanyakan berasal dari kalangan warga indekos ataupun pendatang. Warga aslinya sendiri hanya sekitar belasan pada saat shalat fardhu berjamaah. Masjid ini terbilang strategis, tidak sampai lima menit menuju kampus UGM. Dulu, amat biasa mendapati mahasiswa di Karanggayam berjalan kaki atau bersepeda. Kini, sukar mendapati mahasiswa tidak bermotor (termasuk roda empat). Tidak heran bila jejaknya begitu terlihat berupa portal penghalang jalan. Pada masa jaya-jayanya, Istiqomah dikenal sebagai basis aktivis pergerakan Islam. Mengapa Istiqomah punya tempat di hati aktivis? Selain letak strategis dekat kampus, keberadaan pusat peribadatan di UGM yang masih di sekitaran Gelanggang Mahasiswa, menjadi pembeda sendiri. Bolehlah berkiprah riuh di Gelanggang, tapi tetap saja untuk mengangkat harkat umat perlu masjid. Kesadaran ini begitu kuat melekat di kalangan, terutama, mahasiswa dekade 1980 132
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
sampai pertengahan 1990-an. Saat itu, Masjid Kampus UGM baru sekadar angan dan wacana. Karena itulah, ada kelakar begini: belum genap disebut aktivis UGM manakala belum mengenal atau bahkan tinggal di Karanggayam. Sekurang-kurangnya pernah shalat dan bermalam di teman yang indekos di Karanggayam. Karena menjadi tempat singgah para aktivis itulah, Masjid Istiqomah pun terwarnai. Kesibukannya hingga buku-buku yang ada di perpustakaannya. Jangan bandingkan dengan Masjid Nurul Islam di Jalan Kaliurang apalagi Nurul Ashri Deresan. Sementara Istiqomah sudah tidak memuat jamaah, Nurul Ashri (yang kini jadi magnet kajian mahasiswa) waktu itu hanya memuat satu shaf yang jarang genap. Tahun 2000-an mulai masuk kalangan aktivis GMNI. Dari kalangan islamis sendiri, semua bisa berbaur di masjid. Islam manhaj Tarbiyah, Tabligh, Hizbut Tahrir, bisa rukun bersama anggota Muhammadiyah dan NU. Seiring masifnya Salafi masuk ke kampungkampung sekitar UGM, Karanggayam dan Istiqomah tidak terkecuali dalam radar. Penanda mudah Masjid Istiqomah salah satunya adalah rak perpustakaannya. Isi bukunya memang mayoritas buku lawas. Buku peninggalan angkatan usrah di era Orde Baru. Buku-buku yang mengajarkan berislam secara paripurna tanpa banyak mengomentari keberadaan harakah begitu dominan. Patut diduga, pemilihan koleksinya kedepankan kesatuan dan persatuan; tidak berbeda jauh dengan isi-isi bukunya. Pada masa itu, saling tuding antar-mazhab atau kelompok belum banyak didapati di buku-buku keislaman. Koleksi buku perpustakaan Masjid Istiqomah hanya bisa disaingi Jamaah Shalahuddin UGM dan Syuhada, baik dari jumlah ataupun kualitas isi. Saya yang masuk di Karanggayam pada 1997 sudah mendapati judul-judul “seram�. Bukunya rata-rata pergerakan. Dominasi karya-karya intelektual-ulama Ikhwanul Muslimun tampak; mulai dari Said Hawwa, Sayyid Quthb, Abbas as-Sisi, Yusuf al-Qaradhawi, dan tentu saja sang pendirinya: Hasan al-Banna. Karya 160
Yusuf Maulana
seperti Hamka juga terselip di antaranya. Buku analisis penerbit sekuler terhadap kaum pergerakan juga ada. Buku yang fenomenal lantaran sering dipinjam adalah karya Ishak Mussa Al Husaini: Ikhwanul Muslimun; Tinjauan Sejarah Sebuah Gerakan Islam (Bawah Tanah) terbitan Grafiti Press (1983). Kemunculan anasir IM di tanah air berbentuk partai, melariskan buku Al Husaini ini berpindah tangan, yang sayangnya kini tidak jelas juntrung peminjamnya. Karena koleksinya yang “klasik� dan “tidak terduga�, perpustakaan Masjid Istiqomah sering jadi incaran para aktivis, meski mereka bermukim di luar Karanggayam. Buku-buku koleksi Istiqomah merupakan rujukan berharga dan langka; tidak dicetak lagi dan sukar ditemui di pasaran buku di Kota Pelajar. Sayangnya, tidak semua mahasiswa taat mengembalikan buku pinjaman. Pada masa sebagai pengurus perpustakaan, keadaan semacam ini jamak ditemui. Pernah pula kejadian menyedihkan dengan hilangnya satu set tafsir Quran berharga jutaan. Bukan dipinjam, melainkan dicuri. Sedihnya lagi, sedekade selepas meninggalkan Karanggayam, saya menyempatkan mampir ke masjid kenangan itu. Rak perpustakaan menjadi amatan pertama. Letaknya masih seperti dulu, tepatnya sebelum masjid dirombak total pada 2003-2005. Akan tetapi, kemuraman menemani megahnya masjid. Isi koleksinya? Alih-alih bertambah dengan kondisi saat ditinggalkan, justru kian berkurang. Tidak ada buku antik, lawas, yang hari ini di lapak media sosial dijual mahal. Semoga saja buku itu sebatas sedang dipinjam dan belum dikembalikan. Kolom-kolom kosong malah yang bertambah. Itu saja diisi bukubuku kecil tahlil dan yasinan. Sesuatu yang sebelumnya musykil terjadi. Kolom-kolom sudah terlalu penuh sehingga tidak mungkin buku yang sama persis macam buku saku tahlil peringatan kematian si fulan atau fulanah malah menguasai satu kolom. Nyatanya itulah yang saya dapati. Saya berhitung, dari semula enam hingga delapan kolom penuh, bila tersisa empat, berarti amat banyak buku yang raib. Peminjamnya 161
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
belum mengembalikan? Jelas, siapa lagi? Hanyasanya saya amat yakin bahwa bukan saja mahasiswa yang kini indekos di Karanggayam yang meminjam, melainkan juga kakak-kakak angkatannya yang kini entah berada di mana. Mereka pergi dari Karanggayam lantaran sudah lulus atau pindah tempat, tapi lupa mengembalikan buku koleksi perpustakaan Istiqomah.
Sisa rak perpustakan masjid Istiqomah.
Sungguh, hati saya setengah remuk, kecewa. Sayangnya, saya tidak jelas hendak kecewa pada siapa. Takmir sibuk, pengurus juga entah ada atau tidak; mahasiswa indekosan yang berjamaah shalat fardhu juga kabarnya kurang berbaur dengan warga yang kian banyak datang ke masjid. Suatu saat saya ingin melihat atmosfer selepas maghrib di area dekat perpustakaan Istiqomah. Dulu, mahasiswa berkerumun membaca buku atau majalah. Belum lagi yang meminjam atau mengembalikan. Semoga saja, buku-buku yang raib itu sejatinya masih ada di mahasiswa UGM khususnya. Tidak mengapa bila satu orang membawa 10-25 buku di kamar kosnya asalkan bertanggung jawab mengembalikan. []
162
Yusuf Maulana
Buku Dan Hasrat Bergaya
163
Yusuf Maulana
132
Yusuf Maulana
Kover yang Diemohi Tohari
Melihat foto Ahmad Tohari tersenyum seraya memegang karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk, orang bisa menyangka ia bahagia. Bahagia karena karyanya difilmkan (Sang Penari); film yang mendatangkan pujian dari para kritikus hingga didominasikan di Academy Award. Jauh-jauh hari sebelumnya, RDP dialihbahasakan di luar negeri, yang karenanya ia melanglang buana untuk membahas karyanya ini. Dibandingkan kover edisi lama, RDP edisi terbaru tampak jelas memenuhi selera pasar. Estetika yang dihadirkan memang kontekstual dengan imajinasi birahi yang sering dieksiskan dengan klaim seni. Inilah yang dianut logika pasar hari ini dan sebagian konsumen karya budaya menyukainya. Saya yakin sang penulis, Tohari, tidak sependapat. Saya mendapati langsung jawabannya saat satu forum di Yogyakarta. “Saya sangat kecewa. Ini kover buku saya yang paling saya tidak suka!” Ceritanya, Tohari yang biasanya di buku-buku terdahulu disodori draf kover untuk dikomentarinya, dalam RDP kemasan teranyar dia hanya tiba-tiba menerima ‘jadinya’. Sepanjang percakapan kami, saya dapati wajah Tohari tulus memendam setengah amuk. Betapa tidak, dia yang keberatan memakai kata ‘cinta’ di karya-karyanya (satu-satunya penulis yang di seluruh karyanya tidak menggunakan 247
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
kata ‘cinta’ ya Tohari ini!) seperti dipukul dengan ucapannya selama ini. Kover sepasang manusia itu mudah ditebak sedang ada dan menuju apa. Sangat gamblang untuk dianalisis sehingga tak perlu repot belajar semiotika terlebih dulu. Berbeda dengan kover-kovernya terdahulu yang banyak dibuat dengan kerja seni rupa. Ipong Purnama Sidhi di antara seniman yang terlibat. Terasa ada keindahan tersendiri dan kerja menggali makna bila menyimak kover-kover berselera seni di buku-buku Tohari sebelumnya. Bandingkan dengan RDP terakhir yang lebih mirip dijajah film. Jadi, film sepertinya berotoritas memaksa ketenaran dan kewibawaan buku. Padahal, semua ini demi pasar, tegasnya: uang. Poster-poster menuju percumbuan sepasang manusia galibnya di film tidaklah menghadirkan kekhasan tersendiri. Inilah yang hilang pada karya Tohari. Paling tidak mereduksi kesenjaan Tohari, bila kita tidak mengetahuinya. Mungkin ada yang menilai, ia rela dan ikhlas meloloskan kover di bukunya seakan melegalkan hal-hal yang mereduksi cinta menjadi birahi belaka. Upaya Tohari untuk melawan kesemena-menaan penerbit bukannya tak ada. “Saat saya protes keras, marketing penerbitnya bilang: sejak kover buku diganti menjadi seperti sekarang, penjualan buku naik 700%!� Sanggah penerbit seperti ditirukan Tohari. Meski penjualan itu menggembirakannya, Tohari sepertinya tidak membutuhkan hal itu. Usianya sudah senja; ia terlalu capek untuk mengejar popularitas belaka atau apa saja yang berbau materi duniawi. Sayang, ini yang tidak ditangkap penerbit RDP. Saya akhirnya paham, senyum Tohari saat memegang buku kala peluncuran film Sang Penari, sejatinya bukanlah senyum orang yang menang saat berjuang. Saya merasa, ia berada dalam ketakutan yang diam-diam disemayamkan untuk kemudian dikeluhkan kepada orang-orang yang tidak memandang kesuksesan dunia belaka yang 248
Yusuf Maulana
penting kala berkarya.
RDP yang berubah dari waktu ke waktu.
Ahmad Tohari, sekali lagi, tidaklah merestui apalagi meridhai tampilan banal kover RDP yang secara semiotik tidak menghadirkan penghargaan kepada wibawa penulisnya. Maka, jangan lagi ada syak wasangka bahwa sastrawan Banyumas ini larut dalam budaya pop yang hanya pentingkan duit dan duit. Ia hanya dipaksa untuk tunduk oleh kekuatan kapitalis. Doakan saja Tohari mampu meyakinkan penerbit di kesempatan berikutnya. []
249
Yusuf Maulana
132
Yusuf Maulana
Tentang Penulis
Yusuf Maulana lahir di Cirebon pada 21 Mei 1978. Terlibat dalam dunia literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kecintaan pada literasi dipupuknya terus semasa duduk di sekolah menengah. Kemampuan literasinya kian terasah saat menimba ilmu di perguruan tinggi di Yogyakarta. Hasilnya direfleksikan dan dianalisis melalui koran dan internet. Saat ini bersetia dalam dunia literasi dengan mendampingi komunitas literasi mahasiswa-aktivis dan komunitas baca berbasis masjid. Sehari-hari mengelola perpustakaan pribadi di rumah yang dinamainya: Samben Library—terletak Argomulyo, Sedayu, Bantul, D.I. Yogyakarta. Buku-buku yang ditulis adalah Tong Kosong Indonesia Bunyinya (2014); Aktivis Bingung Eksis (2015); Berjamaah walau Tak Serumah (2016); Konservatif Ilmiah (2016); Mufakat Firasat (2017). Karya intelektual lain berupa penulisan bersama tematik (antologi) dan karya suntingan tidak kurang 250 judul. []
263
Nuun: Berjibaku Mencandu Buku
264