Salut! Edisi #09

Page 1


None of us want to be in calm waters all our lives. My favorite all times quotes! Dan ungkapan ini juga lah yang—probably—menjadi pendorong sebagian besar pemuda-pemudi Indonesia untuk mengambil resiko meninggalkan zona nyaman mereka masing-masing dan memulai petualangan baru di tanah yang (bisa jadi) seratus persen asing dan baru bagi mereka. For me personally, the saying “go with the flow” doesn’t suit me at all, ‘cause only dead fish go with it. We live to take risk, that’s definitely when we know our heart beats well, we’re a humanbeing! Melanjutkan studi di Prancis adalah keputusan impulsif yang gak pernah ada dalam bucket list. Tapi, hasrat untuk selalu mencari hal baru buat dibawa pulang selalu jadi inspirasi sekaligus tantangan terbesar. Stereotip pelajar rantau yang sering terkesan bersenang-senang by traveling or wasting money mungkin memang sering jadi representasi bagi mereka yang belum tahu. But really, why do we bother to expose our hard time and stressing routines to you? Kami juga berjuang mati-matian. Bukan hanya untuk studi, tapi juga untuk bertahan hidup. Satu hal yang perlu digarisbawahi, apa pun yang kami lakukan dan dimana pun kami berada, kami gak pernah bosen-bosennya untuk promosi tanah pertiwi. Entah lewat makanan, tourism, good manner, bahasa, kekayaan budaya, produk dalam negeri, dst. We do have an enormous passion for our nation! Mungkin saat ini kami sedang terbang jauh, namun pada akhirnya, setinggi-tinggi dan sebebas-bebasnya burung terbang, pada akhirnya dia selalu tahu jalan pulang. And we do too.


Ada banyak bentuk kecintaan untuk Indonesia kita. Cara mengaplikasikannya pun bervariasi. Kalian gak harus upacara bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap hari untuk pamer jiwa nasionalis masing-masing. Menyumbangkan sebuah kalimat di majalah ini saja bisa jadi lebih berarti dari apapun. Or you could just watch the news about our country and come to think of solutions to overcome it. But whatever you do, find a way to change your passion into action, and let a handful of people join you. It takes more than a year to finish this edition, because everyone is craving for perfection. Dan sekarang, selamat menikmati segilintiran tulisan yang mungkin bisa mengobarkan motivasi dan semangat bemimpi—atau bahkan animo yang lebih kuat untuk negeri.

Afina Iskandar



Jika dari sekian banyak kata ada satu yang mampu menjelaskan alasan sulitnya manusia menerima perubahan, kata itu adalah tradisi. Tradisi cenderung melekat di jiwa karena hal ini selalu mampu mengingatkan kita akan rumah, keluarga, teman sedari kecil, kebiasaankebiasaan yang manusia lakukan tanpa alam bawah sadar mengenali. Cukup menerjunkan diri ke lingkungan dimana tradisimu tergeser, maka seluruh benak terguncang. Kata tradisi pula yang membuat tidak sedikit teman-teman sering bertanya kepada kami, PPI Prancis 2016/2017, “bagaimana kabar majalah Salut?�. Sudah nyaris setahun wajahnya tidak terlihat. Hal ini karena sudah menjadi tradisi pula bahwa PPI Prancis menerbitkan majalah ini lebih dari sekali per tahun. Maka dari itu, dengan perasaan yang sangat bahagia saya mempersembahkan edisi terbaru Salut! yang akan membawa pembaca mengarungi tanah air. Edisi kali ini akan lebih fokus ke negara kepulauan terbesar di dunia, tempat dimana kita lahir dan dibesarkan. Seberapa jauh kamu mengenali bahasa daerah di Indonesia? Apakah kamu merindukan Ibu Pertiwi? Kamu, yang sekarang berjuang di tanah rantau, masih adakah tradisi Indonesia yang melekat di benak? Saya berharap edisi Salut! kali ini akan mengingatkan para pembaca keindahan negara kita yang tidak tertandingi dan membawa kalian ke setiap jengkalnya. Agar kita selalu ingat rumah.

PLT KETUA PPI PRANCIS 2016 - 2017

Btari Kesuumanegoro


IN THIS

ISSUE DI BALIK LAYAR INDONESIA BERKARYA Karya-karya anak bangsa di mata dunia yang sayang kalau sampai dilewatkan.

07

PENGIBAR MERAH PUTIH DI PARIS Berbagi waktu sejenak dengan salah satu pelajar rantau yang mewujudkan kecintaan negeri melalui pengibaran Sang Saka Merah Putih di tanah Perancis.

12

Ada sesuatu di balik layar. Di antara warna monokrom dan sedikit polesan merah, terdapat cerita unik tentang pengambilan foto untuk cover edisi kali ini.

23


Salut YOUNGPRENEUR FROM “BORNEO� Kilasan cerita tentang wanita di balik Borneo Restaurant Paris yang berasal dari Pulau Borneo.

NUSANTARA DALAM LENSA ILUSTRASI UNTUK NEGERI Dua ilustrasi karya pemuda-pemudi berbakat Indonesia dengan filosofi perihal negeri.

25

Segelintir penikmat media sosial mengabadikan kebangaannya dalam satu jepretan di ranah Instagram dengan hashtag #WonderfulIndonesia

33

55


think

GLOBAL


act like

A LOCAL



#THROWBACK2017 PPI WILAYAH


INDONESIA

Berkarya RURU DI POMPIDOU

Siapa yang menyangka bahwa komunitas yang terbentuk atas inisiatif enam seniman asal Jakarta sejak tahun 2000 ini bisa menghadirkan–sesuai namanya–ruang rupa di rangkaian platform bertajuk “Cosmopolis #1 : Collective Intelligence” di Centre Pompidou Paris. Bagi yang belum tahu, RuangRupa adalah komunitas yang menghadirkan ruang bagi pelaku seni untuk kolaborasi berbagai form of art yang diwujudkan dalam bentuk workshop, online journal, festival, research, art labs, radio programme, dll. Cosmopolis #1 sendiri merupakan kolektivitas bentuk seni yang menyoroti praktik artistik berbasis penelitian dan keterlibatan baru dengan teori kosmopolitanisme. Kehadiran RuRu–sebutan akrab RuangRupa–di Pompidou dimulai sejak tanggal 19 Oktober 2017 hingga 18 Desember 2017. RuRu hadir dengan eksibisnya dan sebuah “gerobak dangdut”–gerobak kayu dengan speaker di bagian dalamnya yang digunakan untuk memutar playlist musik dangdut khas tanah air–serta eforisme khas mereka, “Don’t make art, make friends”.

09 |


eka mendunia

Mengenalkan kultur bangsa melalui karya sastra. Setidaknya itu lah yang dilakukan novelis, esais, cerpenis dan desainer grafis sarat prestasi, Eka Kurniawan. Sastrawan di balik novel fenomenal ‘Lelaki Harimau’ dan ‘Cantik itu luka’ ini memang tidak setenar Ayu Utami ataupun Dewi Lestari di tanah air, namun tulisannya yang kebanyakan merupakan refleksi kondisi masyarakat Indonesia beraliran magic realism dan surealis berhasil melambung tinggi di mata dunia. Faktanya, beberapa novel Eka Kurni awan telah diterjemahkan dalam 24 bahasa termasuk Inggris, Perancis, Belanda, Korea, Malaysia, Italia dan Jerman. Sejak terjun di ranah literasi global, sarjana lulusan jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada ini berhasil meraup beragam penghargaan seperti World Reader’s Award 2016, Foreign Policy’s Global Thinkers, IKAPI’s Book of the Year 2015 untuk novel ‘Man Tiger’, nominasi Man Booker International Prize 2016 (penulis Indonesia pertama yang masuk nominasi), “FT/ Oppenheimer Funds Emerging Voices” kategori fiksi, dan terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam eksibisi Frankfurt Book Fair 2016. Kurniawan juga sering disebut sebagai penulis terbaik setelah Pramoedya Ananta Toer.

ERLINA DOHO : KARYA SANG ILUSTRATIS DI PRANCIS

Terinspirasi dari kaligrafi Cina, ilustratis berdarah asli Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Central Academy of Fine Arts (CAFA) di Pekin ini ternyata memiliki tempat yang istimewa bagi penggemar karyanya di Prancis. Berhasil meraih medali dari UNESCO di tahun 1988, Erlina Doho kembali mencetak prestasi dengan menerbitkan buku ilustrasi berjudul « Saisons d’Issa » pada tahun 2017, album dengan dua bahasa yang menampilkan 20 haiku karya penyair Jepang. Buku terbaru Erlina Doho ini ternyata mendapatkan respon yang luar biasa dari para penggemarnya di Perancis. Di sisi lain, Indonesia sendiri justru jarang mengangkat nama ilustratis berbakat yang juga telah mengadakan beragam pertunjukan, seperti penampilannya di festival Micronouvelle dan Haiku Beauvais pada tahun 2009.

| 10


BUKAN sebatas

IDENTITAS oleh Anindia Karlinda


Era globalisasi telah membuka pintu petukaran dan persahabatan antar berbagai budaya. Selain karena menarik, keragaman perbedaan tanpa sadar memengaruhi dan mentransformasi nilai kelokalan— mulai dari cara pandang, kebiasaan, maupun minat. Lantas bagaimana kita sebagai generasi maju, menjaga pikiran terbuka tanpa kehilangan identitas bangsa Indonesia?


Memang betul, ada begitu banyak hal membangun yang dapat kita pelajari dari budaya luar dan cara hidup mereka. Mulai dari kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dari negara Singapura, budaya mengantri dari kebanyakan negara Eropa, budaya datang tepat waktu (bahkan lebih awal) dari Jepang, hingga kebiasaan menyapa supir bus dan penjaga toko dari negara Prancis. Nilai-nilai positif tersebut jika diadopsi akan mengembangkan kita menjadi individu yang lebih baik, bahkan tanpa disadari mengubah dunia menjadi tempat lebih layak huni. Di sinilah letak pentingnya memiliki open-mindedness. Karena hanya dengan menyerap dan belajar kita dapat berkembang dan tidak terpaku pada satu cara berpikir, apalagi satu kebiasaan hidup. Akan tetapi, selayaknya pohon yang terpisah dari akarnya, seseorang bisa juga mengalami krisis identitas akibat asimilasi budaya yang terlalu kuat. Hal ini umumnya terjadi pada mereka yang tinggal di negara asing. Sebenarnya sayang sekali jika kita kehilangan apa yang membentuk kita selama ini, karena identitas bangsa Indonesia sangat patut dipertahankan, bahkan itu yang bisa menjadi poin kuat kita untuk bersaing di kancah internasional. Yuk, pertama-tama kita kenali dulu konsep dan fenomena apa yang melingkupi problematika ini.

AKULTURASI VS ASIMILASI Vivre à l’Êtranger. Bayangan akan hidup di luar neg-

eri kerap kali identik sebagai suatu pengalaman yang menakjubkan, jika tidak bermanfaat. Faktor pendorong bisa bervariasi, mulai dari studi, bekerja, hingga membangun keluarga multikultural. Pada umumnya seseorang yang terjun langsung ke dalam satu budaya asing, akan mengoptimalkan kemampuan dirinya, baik secara intelektual maupun sosial, tidak hanya untuk bertahan hidup di negeri asing tersebut, tetapi juga untuk diterima secara baik oleh masyarakat setempat. Perubahan cara pandang dan berpikir, serta kebiasaan sehari-hari secara otomatis terjadi, mengikuti kebiasaan setempat. Sebagai contoh, kita menganut kebiasaan baru sarapan pagi dengan roti, kita juga melihat pentingnya menyortir sampah sesuai klasifikasi jenisnya, dan membaca koran di ruang transportasi menjadi hal favorit setiap paginya.

13 |

Pengembangan diri ini tentu sebuah bentuk kemajuan personal, akan tetapi, ketika tujuan utama dari perubahan adalah untuk diterima dan menjadi bagian dari masyarakat asing, lantas apa harga yang kita bayar? Dalam usaha diterima tersebut, seringkali kita kehilangan ciri khas kebudayaan asli kita. Bentuk perubahan bisa kecil hingga besar, seperti mengadaptasi kebiasaan orang luar yang mengeluarkan ingus di ruang publik, hingga lupa akan dialek daerah Indonesia karena begitu lamanya tidak dipakai. Sebenarnya, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan tipis antara konsep akulturasi dan asimilasi. Ketika kita berusaha mengurangi perbedaan saat berada dalam kelompok dengan membaur pada budaya baru tanpa mempertahankan budaya asli, maka itu disebut dengan asimilasi. Akulturasi, di sisi lain, adalah bentuk perpaduan budaya yang menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur asli dalam budaya lama. Dengan memahami perbedaan ini, kita sepatutnya bisa kritis dalam menyikapi tuntutan “masyarakat� ataupun ketika berusaha diterima dalam sebuah kelompok. Akulturasi tidak sesulit yang dibayangkan, karena pada prinsipnya kita tidak menggugurkan karakter bangsa Indonesia, melainkan memadukan dengan apa yang kita temukan di budaya asing. Sebagai contoh, nilai gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, akan menarik sekali jika dipadukan dengan keramahan orang Prancis yang selalu menyapa pekerja ketika memasuki sebuah toko ataupun bertemu tetangga. Kita bisa mengembangkan kehangatan tersebut dengan menawarkan bantuan pada tetangga yang kesulitan membawa barang, ataupun membuangkan bekas sampah di meja restoran fast food agar penjaganya tidak perlu kesusahan. Hal-hal kecil itu tidak langsung akan selalu mendekatkan kita pada akar lokalitas namun juga tidak mengasingkan kita dari kelompok budaya baru.


Nilai gotong royong yang menjadi ciri khas Indonesia akan menarik sekali jika dipadukan dengan keramahan orang Prancis yang selalu menyapa pekerja ketika memasuki toko ataupun bertemu tetangga.

Third Culture Bagaimana dengan anak-anak yang dibesarkan sejak kecil di luar negeri? Dalam kasus ini, mereka disebut sebagai third culture kid. Biasanya istilah ini mengacu pada mereka yang melewatkan masa usia pertumbuhannya di negeri asing tanpa sempat mengembangkan identitas budaya negeri aslinya, ataupun mereka yang lahir dan besar di luar negeri sehingga tidak mengenal budaya asli kedua orang tuanya. Istilah budaya ketiga dipakai untuk menggambarkan budaya hasil peleburan dari budaya pertama dan kedua— yang pertama merupakan budaya dari tempat asal kedua orang tuanya, dan yang kedua berupa budaya dari tempat tinggal ia dan keluarganya saat itu. Orang yang dibesarkan dalam budaya ketiga ini biasanya menguasai dua bahasa atau bahkan multilingual. Beberapa tokoh dunia yang tergolong sebagai third culture kid adalah mantan presiden ke-44 Amerika Serikat Barrack Obama yang sempat dibesarkan di Indonesia, Kobe Bryant, atlet basket legendaris yang tumbuh besar di Reiti, Italy hingga usia 14 tahun, Freddie Mercury, vokalis band Queen yang lahir di Tanzania, sempat besar di Bombay, India, kemudian pindah ke Inggris di usia 17 tahun, serta aktris Hollywood ternama, Uma Thurman yang lahir di Boston namun pindah ke India sejak usia 9 tahun.

Beberapa kelebihan dari latar belakang budaya ketiga ini mencakup kepekaan interpersonal yang tinggi sehingga mahir mengidentifikasi norma sosial di sebuah daerah baru dan mudah beradaptasi, maupun kemampuan memandang dunia secara tiga dimensi berkat pengalaman hidup di tengah beragam budaya sehingga mampu menawarkan originality ide dan pemikiran unik ke dunia. Salah satu contohnya, Khaled Hosseini, penulis buku best-seller The Kite Runner, yang dibesarkan dalam latar budaya beragam, dikenal karena kekhasan gaya penulisannya yang menyertakan sudut pandang multikultural yang menyegarkan. Akan tetapi, mereka dengan latar belakang ini juga mengalami beberapa kesulitan seperti kebingungan akan nilai patriotisme dan politik, terutama ketika harus pindah dari budaya kolektivis ke budaya individualis ataupun sebaliknya. Hal ini juga mengacu pada krisis identitas budaya karena mereka merasa tidak menjadi bagian dari salah satu budaya. Umumnya terdapat pula perasaan kurang mengenal baik Negara asalnya, bisa berupa wawasan yang terbatas akan budaya dan kebiasaan-kebiasaan di negera asal, bisa juga selera humor yang tidak ‘nyambung’ ketika berada di Negara asal. Namun di era teknologi, kedua hal ini bisa teratasi dengan usaha pengelan lebih mendalam, seperti konsumsi rutin berita terkini dari Negara asal, hingga tontonan acara-acara tv yang sedang populer di sana.

SPLIT PERSONALITY Sebagai masyarakat Indonesia, kita dianugerahi dengan lidah fonetik yang mudah beradaptasi dengan bahasa manapun—tentunya jika ditunjang dengan pelatihan intensif. Terlepas dari rintangan-rintangan bersifat teknis, kecakapan berbahasa merupakan salah satu faktor yang mempermudah proses adaptasi kita di luar negeri. Akan tetapi, tahukan kalian bahwa berbicara bahasa asing dapat menimbulkan efek kepribadian ganda pada seseorang? Susan Ervin, sociolinguist dari University of Calfornia, Berkeley, melakukan riset di tahun 1968 terhadap wanita-wanita Jepang yang tinggal di area San Fransisco—kebanyakan menikah dengan pria Amerika—dan memiliki anak-anak berkebangsaan Amerika.

| 14


Mereka umumnya hanya berbicara bahasa Jepang ketika sedang mengunjungi Negara asalnya, atau ketika berbicara dengan sesama teman bilingual Jepang lainnya. Pada eksperimen ini, Ervin mewawancarai para wanita tersebut, dan mereka harus menjawab dalam dua bahasa berbeda. Hasilnya cukup mencengangkan, karena mereka tidak menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama. Contohnya, ketika ditanya bagaimana konsep teman yang baik, mereka menjawab “yang membantu sama lain” dalam bahasa Jepang, sementara dalam bahasa Inggris menjawab “yang jujur, apa adanya”.

15 |

Penelitian lain dilakukan oleh pakar bahasa Jean-Marc Dewaele dan Aneta Pavlenko yang menanyakan lebih dari seribu orang bilingual pada tahun 2001 hingga 2003, apakah mereka ‘merasa seperti orang yang berbeda’ ketika berbicara dalam setiap bahasa. Hasilnya, lebih dari dua per tiga partisipan menjawab iya. Contoh perubahan sifat adalah ketika seseorang asli Yunani berbicara bahasa Inggris, ia bertutur dengan sopan dan nada yang cukup santai, dan tak lupa menyertakan kata “please” atau “excuse me”, namun ketika berbicara dalam bahasa Yunani, ia cenderung bertutur sangat cepat, dengan nada gelisah dan kerap memotong pembicaraan lawan pada akhir kalimat.

Akan tetapi hal ini berkaitan dengan konteks gramatikal bahasa dimana letak kata kerja dalam bahasa Yunani adalah pada awal kalimat, sehingga informasi esensial telah tersampaikan sejak awal dan kebiasaan memotong dianggap biasa. Namun perlu diingat, kecenderungan ini tidaklah mutlak. Semua kembali pada konteks di mana kita belajar bahasa itu pertama kali, dimana kita menggunakannya, kepada siapa kita menuturkannya, dan dalam situasi apa kita berada. Bagi mereka yang bilingual namun bukan bikultural, maka pergeseran kepribadian dapat diakibatkan kesulitan yang dihadapi ketika harus berbicara bahasa asing, contohnya seseorang yang aslinya ceria, percaya diri, dan pintar melucu, bisa saja menjadi canggung, dan pendiam ketika harus berbicara dalam bahasa asing.


Namun bagi mereka yang kemudian tinggal dalam waktu lama di negeri baru, lantas berkembang menjadi bilingual yang juga bikultural, sehingga dapat pula mengalami fenomena kepribadian “ganda� ini. Sesuai dengan sebuah pribahasa Ceko, “belajar bahasa baru, dan dapatkan jiwa baru�, maka perlu adanya pengendalian diri yang baik untuk dapat bertutur bahasa asing dengan lancar hingga mempermudah kehidupan sosial, tanpa harus menyeret kepribadian untuk ikut berubah.

| 16


Sebagai bangsa Indonesia, kita punya banyak sekali keunggulan karakter—baik yang dibentuk secara adat maupun agama—yang sangat patut dipertahankan, terutama ketika kita tinggal di luar negeri atau menjalin interaksi secara intensif dengan budaya luar. Berikut ini 3 tips yang bisa kalian ikuti untuk mewujudkan hal itu.

1. Belajar kritis! Jangan seperti spons yang hanya berfungsi menyerap, kita juga harus diibaratkan sebagai alat penyaring yang mampu memilah dan memilih apa yang baik dan yang buruk. Berpikirlah secara kritis, jangan terlena dengan apa yang tampak mudah dilkukan atau untuk sekedar diterima dan dianggap “normal”. Contohnya, dalam bercakap-cakap, mayoritas orang luar negeri sering memotong ucapan lawan bicaranya, terlebih lagi ketika sedang berargumen. Hal ini dianggap normal, atau bahkan menjadi ciri khas mereka. Namun bangsa kita pun memiliki ciri khas tersendiri yaitu membiarkan lawan bicara menyelesaikan kalimatnya. Sudah sepatutnya kita bangga akan kebiasaan ini, karena itu sebuah bentuk kesopanan dan penghargaan. Terlebih lagi, kebiasaan baik ini justru mengecilkan kemungkinan munculnya konflik akibat salah paham.

2. Pertahankan rutinitas konstan Ketika hidup di negeri asing, cukup sulit untuk mempertahankan keberlangsungan rutinitas yang biasa dilakukan di Negara asal. Banyak faktor yang bermain, entah cuaca, musim, perbedaan jam siang dan malam, ataupun kebiasaan masyarakat sekitar. Namun ada baiknya kita menjaga beberapa aktivitas dan kebiasaan tetap berlangsung, seperti memasak dan sarapan di rumah dibandingkan membeli sandwich dan dimakan sambil berjalan ke kampus, mandi sehari dua kali, ataupun ibadah shalat Jumat di masjid, dan dapat juga berupa hobi sehari-hari seperti futsal hingga bermain angklung. Dengan mempertahankan beberapa rutinitas kegiatan, kita akan “terhubung” dengan dunia lama kita, dan hal itu dapat mencegah terjadinya asimilasi.

17 | |

3. Perkenalkan bangsamu Siapa bilang sebagai pendatang di negeri orang maka hanya kita yang harus mempelajari budaya setempat? Selayaknya tari Tango yang harus dilakukan dua orang, perkenalan pun harus melibatkan dua arah. Selain lewat kisah-kisah membanggakan tentang pantai Indonesia, kita juga bisa memperkenalkan mereka kebiasaan bangsa Indonesia yang sekiranya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Tidak perlu rumit, cukup dari ideologi masyarakat yang mengusung pemikiran “masih ada hari esok”. Dalam konteks yang salah, budaya “woles” ini memang bisa terkesan kurang disiplin atau kelewat santai. Namun kalau diaplikasikan pada kasus tertentu di budaya barat, justru akan bermanfaat. Di sebuah buku karya Peter Gumbel berjudul On achève bien les écoliers, diceritakan sebuah interview yang ia lakukan bersama tiga orang mahasiswi Sciences-Po yang bergengsi di Prancis. Dalam pembahasan mengenai pengalaman mereka saat menjalani 3 tahun sekolah persiapan yang sangat ketat dan disiplin, Gumbel mendapati pengakuan miris akan siksaan batin yang harus mereka lalui akibat tekanan waktu yang sangat mencekam. Dalam kesehariannya, jadwal belajar, kurikulum sekolah, hingga jumlah tugas menuntut mereka untuk mendedikasikan seluruh waktu yang dimiliki hanya untuk urusan sekolah. Mereka mengakui selama tiga tahun tersebut tidak memiliki kehidupan sosial di luar sekolah, tidak memiliki waktu untuk berolah raga, pergi ke bioskop, terlebih lagi untuk punya pacar. Salah satu dari mereka mengaku menjadi sosok yang tidak sabar ketika harus menunggu kereta bawah tanah selama 4 menit, dan salah seorang lainnya bahkan mengaku harus menyisipkan jadwal menelpon orang tuanya yang tinggal di luar kota ketika ia sedang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka semua mengaku menjadi korban tirani dari waktu.


Bayangkan jika kita mampu mempengaruhi cara pandang mereka akan waktu hingga mereka tidak harus lagi memenjarakan diri dalam skema waktu yang menyiksa! Tahukah kamu, Indonesia pernah menjadi Negara kedua paling “relaxed” di dunia setelah Meksiko, dalam kaitannya dengan gaya hidup yang serba tidak tergesa-gesa? Ketenaran ini bahkan diangkat menjadi sebuah artikel berudul “A Land Without Haste” oleh majalah Flow edisi internasional yang ditulis oleh Caroline Buijs dengan mengambil contoh gaya hidup di kota Jogjakarta. Tujuan utama dari artikel ini adalah memperkenalkan budaya Indonesia yang tidak terkungkung oleh tekanan waktu, bahkan cenderung “que sera sera”, dan manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Contoh paling umum, kletika kita tertinggal oleh bus, daripada berlari terburu-buru dan mengumpat karena tidak terkejar, kita memilih sejak awal untuk menunggu bus berikutnya saja. Dengan cara berpikir tersebut, tingkat stress dalam hidup tentu jauh lebih rendah dibandingkan sebaliknya. Nilai-nilai seperti inilah yang layak diperkenalkan kepada budaya luar. Mempromosikan nilai lokal ini juga merupakan bentuk kebanggaan tersendiri akan identitas bangsa. Dengan cara uniknya tersendiri, identitas bangsa Indonesia mampu kok bersanding secara harmonis di tengah tradisi budaya asing lainnya. (AK)

| 18


HABIB RIZKY ZAKARIA Berbagai opini mengudara perihal banyaknya pelajar rantau yang kehilangan nasionalisme karena terbuai kultur dan gaya hidup setempat. Apa opini tersebut benar? Nyatanya, para pelajar tersebut kadang hanya kehilangan ruang untuk beraksi untuk negeri. Lalu, apa yang akan dilakukan jika kesempatan untuk berbakti hadir dan mengetuk nurani? Simak bincang singkat tim Salut! dan Habib tentang pengalamannya kala bergabung di Pasukan Pengibar Bendera di Paris saat 17 Agustus 2017.


S : BAGAIMANA PERASAANNYA BISA MERAYAKAN 17-AN PERTAMA KALI DI NEGERI ORANG? Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya merayakan HUT RI di Paris, tahun lalu 2016 saya sudah merayakan di wisma duta KBRI. Perasaan saya sangat terharu dan rasa rindu akan kampung halaman saya terobati dengan diadakannya perayaan 17 Agustus-an, karena saya bisa mencicipi makananan khas Indonesia serta pertunjukan seni tari. Menurut saya ini merupakan salah satu miniatur kecil negara Indonesia. S : BISA DICERITAKANN PROSESNYA SAMPAI BISA TERPILIH MENJADI SALAH SATU PENGIBAR BENDERA DI WISMA DUTA KBRI PARIS? Prosesnya cukup panjang, karena tidak semua mahasiswa Indonesia dapat berpartisipasi sebagai anggota Paskibra, kebetulan saya merupakan salah satu pengurus PPI Paris, kemudian saya dihubungi langsung oleh pihak KBRI untuk latihan Paskibra. Setelah itu, saya dipantau selama beberapa hari dan kemudian saya di tetapkan menjadi salah satu anggota tetap Paskibra Paris.

S : PERBEDAAN APA YANG PALING SIGNIFIKAN DIRASAKAN KETIKA BERADA JAUH DARI TANAH AIR? Sangat berbeda. Kalau saya pribadi, saya rindu akan pemandangan pedagang kaki lima. Dan hiruk pikuk dan tatanan kota di Indonesia. Meski Paris terbilang cukup teratur, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kita cinta Indonesia. Perbedaan yang paling signifikan adalah transportasi dan perubahan cuaca, di sini kita bisa menggunakan Metro dan terhindar dari kemacetan, lalu untuk cuaca, setiap hari kita diharuskan melihat perubahan cuaca yang fluktuatif agar aman dalam perjalanan, berbeda dengan indonesia kita bisa berpakaian versi summer setiap hari S : APA CITA-CITA TERBESAR? DAN KENAPA MEMILIH PARIS SEBAGAI TUJUAN STUDI? Cita-cita terbesar saya adalah mengabdikan diri kepada Bangsa dan Negara melalui organisasi internasional seperti UNICEF, yang markas besarnya berada di Perancis. Jadi, ini merupakan salah satu tujuan saya melanjutkan studi di Perancis.

S : KESAN APA YANG DIRASAKAN SELAMA MENGIKUTI PELATIHAN PASKIBRA HINGGA SAAT PENGIBARAN BENDERA? Sangat berkesan, karena dengan mengikuti Paskibra saya mendapatkan kedisiplinan yang tinggi, menambah wawasan saya tentang baris-berbaris dan berkat Paskibra saya bisa memupuk rasa nasionalisme saya meskipun saya sedang tidak berada di Indonesia. S : APA SEBELUMNYA SUDAH PERNAH IKUT MENJADI ANGGOTA PASKIBRA DI INDONESIA? PERNAHKAH TERBERSIT AKAN MENJADI SALAH SATUNYA?

HABIB RIZKY ZAKARIA Jakarta, 27 November 1990 Master 2, Banque, Finance, Assurance UNIVERSITÉ PARIS 13 bob_vocks https://www.linkedin.com/in/ zakaria-habib-rizky-8bb177139/

Sewaktu saya SMA. Kebetulan saya pernah mengikuti latihan baris berbaris, jadi saya cukup mempunyai pengalaman dalam baris berbaris, namun untuk menjadi pasukan pengibar bendara inti, ini merupakan pertama kalinya.

| 20


21 |


“Jatuh bangunnya negara ini sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. - Bung Hatta -

| 22


D I B A L I K layar

Ada sesuatu di balik layar. Di antara warna monokrom dan sedikit polesan merah, terdapat cerita unik tentang pengambilan foto untuk cover edisi ini. Singkatnya, sampul Salut! edisi ke-9 ini harus spesial dan mempresentasikan isinya: Passion for Nation. Hasrat untuk negeri. Intinya, setiap elemen harus mewakilkan semua bentuk cinta untuk Indonesia. Untuk itu, sang model yang juga merangkup sebagai konseptor sampul majalah, memiliki ide untuk meletakkan sang merah putih menutupi wajahnya, termasuk mata, hidung, mulut dan telinga, dengan maksud apa yang dilihat, didengar, diucapkan, dan dihirup, semua indera berkaitan dengan Indonesia. Adapun filosofi lain yakni tidak perlu mempermasalahkan warna kulit, ras, bentuk muka atau bagaimana pun logat dan dialek kita untuk menyayangi bangsa. Cukup satu rasa, maka jadilah semua. Baju berdiksikan from Indonesia, bertujuan memperkenalkan ke dunia bahwa ke mana pun kaki melangkah, tanah Indonesia adalah tempat kami lahir, asal darah daging dan bakti hati. Kami selamanya terikat dengan Indonesia. Sesederhana itu makna yang ingin disampaikan. Semoga saja diterima dan suka.

MODEL | Firman Danny Nirawan FOTOGRAFER | Achmad Yudhistira

23 |




ilustrasi negeri FEBRIANA RAHMAWATI / ILLUSTRATOR @febriannna

Menggambarkan keberagaman dan kekayaan. Itu bukan bumi yang tenggelam, melainkan tanah Pertiwi yang paling unggul di saat negeri lain sudah terbenam. Ini adalah representasi mimpi semua pemuda-pemudi, mungkin belum sekarang saatnya jaya, tapi akan ada suatu hari nanti di saat kita Indonesia menjadi juara. Dan sama-sama kita sedang bergerak menuju ke sana.

| 26


KELINDAN GENTA & NDARI / GRAPHIC DESIGNER @sukutangan

Ilustrasi ini berangkat dari sebuah konsep kecintaan pada Tanah Air, ketika jarak sejauh apapun tak akan bisa menghapuskan siapa kita dan di mana rumah kita. Konsep ini lantas kami terjemahkan dengan membuat obyek jantung, di mana di dalamnya terdapat wajah orangorang dari beragam suku Indonesia, saling bersisian satu sama lain dan menjadi “jantung” dari Indonesia. Gaya visual yang kami pakai seolah mengilustrasikan sebuah peta, di mana kata “cinta” dari berbagai bahasa daerah menjadi nama tempatnya. Harapan kami, ketika melihat ilustrasi ini pembaca akan kembali diingatkan dengan rumah.

27 |



oleh Oky Mustika Sari

PERIHAL SASTRA INDONESIA


Kebesaran nama Pramoedya Ananta Toer sudah hingar bingar sejak dulu di telingaku, namun baru sekarang aku menaruh perhatian. Buku pertama yang aku baca bukanlah karya legendarisnya, Tetralogi Pulau Buru, melainkan kisah roman abad ke-13 tentang Arok dan Ken Dedes. Dari cerita tersebut membuka mataku bahwa Nusantara kala itu bukanlah belantara, melainkan sebuah wilayah madani yang telah membentengi budaya jauh lebih maju daripada Eropa. Itulah kedua kalinya aku membaca sastra Indonesia, setelah beberapa tahun sebelumnya aku membaca Siti Nurbaya tanpa aku selesaikan karena terlalu sulit dimengerti untuk seorang siswi SMP. Dari Arok Dedes aku mulai menelisik karya Pramoedya lainnya. Kemudian berkenalanlah aku dengan Minke, tokoh utama dalam novel Tetralogi Buru. Bermula dari Bumi Manusia yang mengisahkan masa muda Minke, seorang bangsawan anak Bupati kota B, yang menjalani studinya di HBS Surabaya. Ajakan seorang teman mempertemukannya dengan Nyai Ontosoroh dan anak gadisnya yang memikat, Annelis. Benih cinta remaja, rasa dengki sahabatnya serta prestasi akademik maupun non akademiknya mewarnai kehidupan di tengah-tengah kolonialisme di bumi Hindia Belanda. Pada usia begitu dini Minke telah menikah dan mengalami ketidakadilan sosial, karena dia seorang pribumi. Berlanjut pada buku kedua, Anak Semua Bangsa yang mengisahkan kehidupannya setelah ditinggal oleh mendiang istrinya, Annelis. Raden Mas Minke melanjutkan studinya di S.T.O.V.I.A, satu-satunya institusi terbaik untuk calon dokter Gubermen Hindia Belanda. Kala itu, dia bertemu dengan gadis pejuang dari Tionghoa yang ingin membebaskan Cina dari cengkraman generasi tua dan ingin mengubah negaranya menjadi Republik, dialah Ang San Mei, kekasih mendiang sahabatnya yang juga berasal dari Tionghoa. Pernikahan keduanya lantas terjadi. Hobi menulis Minke sejak dulu, serta tulisannya tentang keadilan sosial telah merambah pada Gubernur Jendral Hindia Belanda pada saat itu, Van Heutz.

Dia pun lantas diundang oleh Gubernur Jendral pada acara di Kamar Bola Harmonie, yang hanya orang-orang terntentu saja bisa memasukinya. Minke pun kian termasyhur baik di S.T.O.V.I.A maupun di masyarakat. Akan tetapi kemalangan tak urung menimpa dirinya, istrinya yang cantik berpulang akibat sakit keras, dia pun dikeluarkan di sekolah karena terjerat masalah. Pada buku ketiga, Minke telah beranjak dewasa, kumis telah tumbuh di atas bibirnya. Dikeluarkan dari S.T.O.V.I.A tak membuatnya berputus asa, malah bertekad membuat sesuatu yang lebih baik, seperti yang dikatakan mamanya, bahwa takdirnya lebih besar daripada menjadi seorang dokter Gubermen di pabrik tebu. Minke pun lantas menelurkan koran pribumi pertama berjudul Medan. Sambutan Hindia Belanda terhadap korannya membludak, apalagi itulah satu-satunya koran berbahasa Melayu yang bisa dimengerti oleh sebagian besar pribumi di Hindia Belanda. Seiring berjalannya waktu, Minke mulai terlibat pada pembentukan organisasi seperti Syarekat Prijaji, empat tahun lebih awal dari Boedi Oetomo dan Syarikat Dagang Islam. Dia pun menikah untuk ketiga kalinya dengan seorang putri dari Kasiruta. Dalam buku ketiga, ada satu titik dimana Minke terperosok dalam kesedihan pribadinya, bahwa dirinya seorang mandul. Bagaimana pun tersohornya dia di seluruh Hinda Belanda, harta kekayaannya yang berlimpah, akan tetapi tidak ada satu keturunan pun yang mewarisinya. Pada keadaan kelam tersebut, dia memutuskan untuk menugaskan orang kepercayaannya menjalankan Medan serta mengalihkan ketua Syarikat Dagang Islam ke Solo, sebab dia ingin menghabiskan waktu dengan istrinya jalan-jalan ke Asia serta Eropa.

| 30


Belum lagi menjalankan istirahat panjangnya, sebuah pertintah dari Gubermen turun untuk menyegel Medan selamanya, kemudian Minke harus diasingkan ke Halmahera, sendiri tanpa perlawanan. Buku ketiga berakhir secara menyedihkan. Untuk buku keempat, aku akan menyimpannya dulu, masih belum mau aku ceritakan, sebab buku ini spesial. Minke bukan lagi si tokoh aku, melainkan musuh sekaligus pengagumnya-lah yang akan menceritakan Minke usai pengasingannya. Sampai buku keempat selesai, Pram secara konsisten menggunakan nama samaran untuk Minke. Sejak buku pertama aku baca, sudah diberitahukan bahwa Minke itu bukanlah nama asli pelakunya. Menurut informasi dari penerbit dalam kata pengantarnya, Pram sebelum menulis ceritanya tersebut sempat mengisahkan secara lisan pada teman-temannya di Pulau Buru. Hal tersebut sebuah pertanda bahwa dia menguasai cerita tersebut. Aku kira Minke adalah pendiri Boedi Oetomo atau Pram sendiri, sebab dia juga mengalami pengasingan di penjara dan juga berasal dari Blora. Lantas baru aku tahu bahwa tokoh Minke sebenarnya adalah Raden Mas Tirto Adi Suryo, seorang pahlawan yang terlupakan. Buku Pram telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa, termasuk Prancis dan meraih banyak penghargaan, diantaranya oleh pemerintah Prancis, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari Le Ministre de la

Culture et de la Communication Republique Française pada tahun 1999.

31 |

Jika membandingkan dengan karya-karya besar sastrawan dunia, menurutku karya Pramoedya Ananta Toer patut berdiri sama tinggi. Sempat membaca buku karya tersohor Orhan Pamuk, My Name is Red, serta karya sastrawan Jepang, Haruki Murakami, Norwegian Wood, menurutku, karya Pramoedya sangat pantas meraih penghargaan Nobel layaknya mereka. Pramoedya digadang-gadang menyamai pemikiran sastrawan besar Prancis, Albert Camus, yang sayangnya aku belum pernah membacanya karyanya, namun suatu saat aku akan membaca bukunya lantas membandingkannya dengan Pram. Boleh dibilang, menurut riset dan analisisku sejauh ini, aku melihat adanya kesalahan orde baru yang melarang berbagai macam buku dan pikiran yang bertentangan dengan pemerintahan kala itu, sehingga mengenggelamkan karya-karya brilian dari sastra angkatan balai pustaka sampai pujangga baru. Inilah yang harus kita temukan bersama-sama, apa yang membuat sastra Indonesia tidak menjadi primadona di negeri sendiri? Mengapa kita condong membaca buku percintaan tanpa ada filosofi yang membuat hati tergerak untuk melakukan sedikit kemanfaatan untuk bangsa dibanding memuaskan keegoisan diri? Atau lebih tertraik membaca novel terjemahan? Mungkin ini juga pertanyaan untukku. Pertanyaan itu marilah kita jawab bersama-sama. (OMS)


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.� - Pramoedya Ananta Toer | 32


33 |


NUSANTARA melalui LENSA Segelintir penikmat media sosial mengabadikan kebangaannya dalam satu jepretan di ranah Instagram dengan hashtag #WonderfulIndonesia. Rubrik ini dimuat hanya untuk sekedar mengingatkan, siapa tahu lupa bahwa Nusantara hampir sempurna. Mari manfaatkan beberapa menit untuk bersyukur apa yang negeri ini punya.

| 34


@nusanature.id Pulau Gili Laba, Flores

@feza_yahya Mount Talang, Sumbar

35 |

@tomy_rock_indraw Indonesia

@nusanature.id Ora Beach, Maluku


#wonderfulindonesia

wan

@tjogjawisata Wisata Hutan Pinus Asri, Bantul

@marsyogaaa Puncak Mahameru, Jatim

@jonny.melon Pura Lempuyang, Bali | 36



Seberapa mahir BAHASA DAERAHMU? Teks : Victoria Madeline


“OJO KESUSU SANTAI AE, DIPIKIR DISIK” Aditya Ananda Kresna Wijaya

Akrab dengan panggilan Adit ini sedang menempuh pendidikan Master dengan jurusan Ingénierie atau Teknik Sipil di Université de Metz, Lorraine. Adit yang berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku bahwa ia lumayan fasih dalam berbahasa daerah. Salah satu kata bijak yang sering ia ingat adalah jangan terburu-buru santai saja atau lebih tepatnya berfikir dulu sebelum bertindak yang ia ucapkan dalam bahasa jawa nya menjadi “Ojo kesusu santai ae, dipikir disik”. Menurut Adit, generasi muda sekarang cenderung lupa dengan bahasa daerahnya tetapi lebih memilih belajar bahasa asing. “Belajar bahasa asing sangat bagus hanya janganlah lupa dengan bahasa daerah kita masing-masing. Karena hal tersebut merupakan ciri khas dari daerah kita berasal” ujar Adit.

“KAWA MONYET NGAGUGULUNG” Hafiyyan Rizki Fadhlih

Fiyyan yang juga berasal dari PPI Lorraine ini mengaku bahwa kemampuan nya dalam berbahasa Sunda berada di level B2-C1 yang artinya fasih. Maklum karena dia memang berasal dari Bandung. Namun Fiyyan masih susah untuk mengerti bahasa Sunda kuno yang dipakai oleh para sesepuh yang ternyata berbeda dengan bahasa Sunda yang selama ini sering ia gunakan. “Kawa monyet ngagugulung kalapa” yang artinya seseorang yang hanya tau luarnya saja atau seseorang yang bisa membuat konsep tanpa realisasi. Fiyyan memberikan opini nya tentang generasi muda dan bahasa daerah dengan nasihat dimana seharusnya bahasa daerah haruslah dilestarikan supaya tertanam rasa bangga terhadap daerah masing-masing di hati para generasi muda.

“YA KUMAHA URANG WEH ATUH” FRANKY MARK JOSE

Franky mengikuti kelas preparasi bahasa di Rennes yang dikenal dengan CIREFE, aslinya berasal dari Bandung. Dengan kemampuan berbahasa daerah yang fasih “Level B2 sih dapat harusnya” ujar Franky. “Ya kumaha urang weh atuh” yang diartikan gimana saya aja, adalah ungkapan yang sering ia cetuskan. Sehubung dengan generasi muda dan bahasa daerah, Franky mengungkapkan generasi muda sebaiknya jangan melupakan bahasa daerah atau setidaknya harus bisa berkomunikasi singkat menggunakan bahasa daerahnya karena itu adalah salah satu cara melestarikan warisan budaya Indonesia dalam bentuk bahasa.

39 |


“BEDENGKANG”

DWIRIA WAHYUNI

Mbak Dwiria yang berasal dari Kalimantan Barat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Grenoble. Bahasa Melayu Pontianak adalah bahasa yang ia gunakan sehari-hari namun beliau juga fasih dalam berbahasa Jawa, karena terlahir di keluarga jawa dan pernah belajar 8 tahun di Yogyakarta. Dikutip dari pengakuan Mbak Dwiria, beberapa kata dalam bahasa Melayu yang sering dipakai: “Balak” [baca: bala’] adalah ekspresi untuk menyatakan “hebat”, “keren”, atau “mantap”. Selain itu ada kata “Bale” yang diungkapkan di dua situasi berlawanan, yaitu ketika takjub terhadap sesuatu atau sebaliknya ketika tidak suka terhadap pada sesuatu. “Kamék” artinya adalah “saya”. “Bedengkang” adalah ekspresi untuk menyatakan cuaca yang terik di siang hari. Ekspresi terakhir sering digunakan mengingat Pontianak adalah kota Khatulistiwa yang cuacanya selalu panas. “Di Indonesia, bahasa daerah masih memegang peranan penting dalam interaksi sehari-hari generasi muda secara lokal karena terasa lebih akrab. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan bahasa daerah berkurang dibandingkan misalnya, 10 tahun lalu, karena pengaruh besar dari tayangan televisi yang lebih sering menggunakan “bahasa gaul” daripada bahasa Indonesia. Hal ini cukup memprihatinkan bagi saya, karena bisa jadi bahasa daerah akan punah karena tidak ada lagi penggunanya. Kepunahan bahasa daerah haruslah menjadi perhatian kita sebagai generasi muda penerus bangsa. Karena kita tahu bahwa bahasa daerah adalah kekayaan budaya bangsa, sehingga kepunahannya akan menjadi kerugian besar bagi bangsa Indonesia” begitulah opini yang diberikan Mbak Dwiria mengenai generasi muda dan bahasa daerah.

“OTUHAI”

RIANY NATALIA ABIGAIL OLGA MARIE WUISAN Riany berasal yang kedua orang tua nya adalah orang Manado, Sulawesi Utara sampai sekarang masih fasih berbahasa Manado. Sempat tinggal di Manado sampai umur 5 tahun lalu pindah ke Jakarta tak membuat keluarganya meninggalkan bahasa Manado, bahasa asli daerah mereka. Adapun beberapa ekspresi yang sering digunakan adalah kata “Otuhai” yang artinya “Oh tuhan” sama seperti “Oh my God” di dalam bahasa inggris. Kata tersebut adalah suatu ekspresi yang berlaku di setiap situasi kaget, marah, sedih dan senang. “Seperti yang kita ketahui, Indonesia kaya akan bahasa daerah. Tidak cuma punya 1 bahasa dalam 1 kota/daerah, melainkan banyak. Karena saya tinggal di Ibu Kota saya berteman dengan orang-orang yang berasal dari beragam macam daerah. Saya merasakan banyaknya generasi muda yang tidak lagi menggunakan bahasa daerah, bahkan tidak tahu sama sekali mengenai bahasa daerah mereka. Menurut saya, setiap bahasa yang ada di Indonesia adalah suatu Identitas negara yang harus kita jaga dan lestarikan. Dan untuk melestarikan adalah tugas seluruh warga Indonesia, terlebih generasi muda. Karena bahasa merupakan suatu kebiasaan sehari-hari, jika kita tidak sering menggunakannya lama kelamaan akan pudar lalu hilang” ungkap Riany.

| 40



“MAIMOKAASI” PUJALINA ISTIQAMAH

Puja adalah seorang mahasiswi dari Marseille yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Dari kecil sudah terbiada menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Buton atau Bahasa Wolio yang berasal dari pulau Buton. “Di pulau Buton masyarakat masih teguh menggunakan bahasa Buton tak heran jika berkunjung ke pasar penjual maupun pembeli akan menggunakan bahasa daerah. Berbeda dengan saya yang lahir dan besar di Kendari, keluarga besar saya yang ada di Bau-bau biasanya mereka berbicara menggunakan Bahasa Wolio, saya sudah biasa mendengarkan ibu saya dan keluarga saya bercengkrama menggunakan bahasa daerah tapi saya hanya mendengarkan dan membalas dengan Bahasa Indonesia karena saya hanya mengerti, tapi untuk berbicara agak sulit” kutip Puja. Beberapa ekspresi yang sering digunakan oleh Puja seperti “Umbe” yang artinya “iya”, “Maimokaasi” artinya “ayo kita pergi (dengan suara memelas)” dan “Pokiamo itu” yang berarti ada apa? Atau itu kenapa? Puja juga ikut memberikan opini mengenai generasi muda dan bahasa daerah “Tak bisa dipungkiri bahwa globalisasi ikut memengaruhi cara berpikir anak muda pada masa kini, termasuk dari segi bahasa, ada anak muda yang merasa kalau bahasa daerah kurang menarik minat mereka dan lebih memilih belajar dan menggunakan bahasa luar negeri seperti contohnya bahasa Inggris atau bahasa Prancis. Salah satu contoh konkrit yang saya pernah temukan adalah selama saya tinggal di Jakarta, ada orang tua yang berbicara dengan anak balita mereka menggunakan bahasa Inggris, bukan dengan bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah, menurut saya, ini adalah salah satu cara yang bagus untuk melatih pola pikir anak sejak usia dini untuk memperdalami bahasa asing agar ketika anak ini besar, ia tidak perlu khawatir jika ingin bersosialisasi dengan para pelajar mancanegara ataupun mencari sumber informasi berbahasa Inggris. Contoh lain yang pernah saya temukan juga selama saya di Jakarta dan di Paris, saya memiliki seorang teman yang berasal dari Kudus, saya mengenal dia karena kita berada dikelas yang sama ketika di IFI (Institute Française d’Indonésie) Thamrin dulu, dia bercerita kepada saya jika dia bercengkrama kepada neneknya yang berada di Kudus dia selalu menggunakan bahasa Jawa, lalu dia bercerita lagi ternyata dia dan neneknya sejak kecil sudah memakai bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari dan tentu saja lingkungan di sekitar rumahnya mendukung karena masih menggunakan bahasa daerah. Pun ketika dia tinggal di Paris bersama keluarganya, saya pernah menginap di rumah mereka, dan teman saya masih berbicara menggunakan bahasa Jawa kepada ibunya. Kita tidak bisa memukul rata bahwa anak-anak muda di era teknologi dan informasi yang berkembang begitu cepat ini anakanak muda mempunyai ketidakpedulian kepada bahasa daerahnya hanya karena mereka belajar bahasa asing atau mereka jarang menggunakan bahasa daerah. Saya mempunyai teman yang berasal dari Surabaya dan dia pernah bercerita kepada saya bahwa kawula muda di Surabaya masih memakai bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, tentu saja contoh ini juga tidak bisa menjadi tolok ukur bahwasanya masih ada kota di Indonesia yang mempunyai anak muda masih berbicara menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari. Lalu jika kita melihat bahasa daerah di Indonesia 50 puluh tahun kedepan akankah bahasa daerah tetap lestari? Entahlah.. Yang pasti saya tutup opini ini dengan kutipan “Utamakan Bahasa Indonesia, Pelihara Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Internasional.”

| 42


SATU KATA

INDON

43 |


TENTANG

NESIA

Jika kamu diminta untuk mendeskripsikan Indonesia dalam satu kata, apa yang langsung terpikir di benakmu? | 44


BATIK

| 45

TUNJANG

Firman Danny Nirawan

Dira Martamin

Ketua PPI PARIS 2016/17

Ketua PPI LA ROCHELLE 2016/17

NYAMUK

BHINNEKA

Roman Ardian Goenarjo

Anita Thea Saraswati

Ketua PPI POITIERS 2016/17

Ketua PPI MONTPELLIER 2016/17


INDANG

MERAH PUTIH

Firman Danny Nirawan

Kevin Marojahan Banjar Nahor

Ketua PPI NANTES 2016/17

Ketua PPI GRENOBLE 2016/17

VAKANSI

GEROBAK

Daru Santoso

Hardiyanti Puspaningrum

Ketua PPI MARSEILLE 2016/17

Ketua PPI BREST 2016/17

| 46


FROM LOCAL TO

Yuk intip produk - produk makanan dalam

INDOMIE

EQUIL

DUA KELINCI

Makanan sejuta umat ini nyatanya bukan hanya jadi pujaan hati di Indonesia. Siapa sangka bahwa mie instan yang diluncurkan tahun 1972 ini telah diekspor sejak 1992 ke berbagai negara seperti Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, Malaysia, Mesir dan puluhan negara lainnya. Indofood yang juga dijuluki sebagai salah satu produsen mie terbesar di dunia ternyata telah memiliki pabrik di beberapa belahan dunia, terutama Afrika dan Asia. Salah satu kunci keberhasilan Indomie adalah harga murah dan cita rasa khas nusantara!

Pertama kali diproduksi tahun 1998 di Kabupaten Sukabumi, minuman berkemasan elegan dan ekslusif yang sering dijumpai di rapat kenegaraan ini ternyata berhasil menembus pasar internasional dengan kualitas air yang memenuhi standar kualifikasi internasional berdasarkan kemurniannya. Equil telah merambah pasar dunia seperti Singapura, Australia, Hongkong, Arab Saudi dan Italia.

Produk asli dalam negeri yang juga pernah menjadi sponsor klub sepakbola terkenal Real Madrid ini mampu menembus pasar internasional seperti Australia, Brunei Darussalam, Filipina, Hongkong, Amerika Serikat, Belanda dan beberapa negara lainnya di Eropa. Kacang gurih yang asal namanya adalah “Sari Gurih� ini kemudian berganti nama menjadi Dua Kelinci pada tahun 1985 dan masih menjadi idaman para konsumen hingga hari ini berkat beragam inovasinya.

47 |


INTERNATIONAL negeri yang berhasil menembus pasar dunia !

KOPIKO Aroma khas kopi yang terkandung dalam permen Kopiko berhasil menarik hati penggemarnya yang tersebar di 45 negara di seluruh dunia termasuk Beneluks, Italia, Portugal, Spanyol, Jerman, Australia, Singapura, Taiwan, Perancis dan negara-negara lainnya. Permen yang diproduksi di bawah PT Mayora ini digemari pasar mancanegara karena kandungannya benar-benar berasal dari ekstrak biji kopi, bahkan 4-5 permen Kopiko ini setara dengan 1 gelas espresso.

SILVERQUEEN Siapa yang tidak tahu Silver Queen? Coklat asli dalam negeri yang menguasai 60% pasar coklat bermerek di Indonesia memang sering dikira produk impor berkat rasa dan kemasannya. Pada faktanya, PT. Petra Foods justru berhasil mengekspor Silver Queen ke 17 negara di dunia, seperti Thailand, Jepang, Filipina, Hongkong, Australia, China dan Amerika Serikat. Kesuksesan Silver Queen didukung oleh kakao Indonesia yang berkualitas tinggi.

KARA Berdiri sejak tahun 1991, PT. Santan Kara sudah menguasai pasar santan siap saji selama belasan tahun. Tidak hanya santan, potensi perusahaan ini pun semakin meningkat dalam menguasai pasar nasional khususnya untuk produksi Nata De Coco. Kara pun ternyata tidak puas hanya melanglangbuana dalam negeri, berbagai negara besar termasuk Prancis dan Jepang sudah dijadikan ladang ekspor bagi sang produsen santan.

48 |



LOST AND FOUND When the feeling leave apart, valuable things stay. That’s how we start recognizing things we cherished the most since we thought it could be ours eternally. Like those old quotes, nothing feel more precious at the time we lose it. This morning, I wake up and realize that my room’s getting smaller and colder, along with my skin that felt suddenly odd: a bit dry—yet itchy. Things are quite different today—or lately—as this is not what I used to experience every single morning. It’s 7 o’clock, however, I haven’t heard Mom calling from downstairs, asking me either to hurry or to skip my sunny side up fried rice—my mood booster to start the day. I open the window, hoping the sun heat would warm me up, it turns out that the sky was too foggy to shine. My watch ticks longer than usual. Oh, this doesn’t seem like my hometown. Thereupon, I am looking at my phone screen and find out that it isn’t really my hometown, I am too far for a place I usually call home, my comfort zone. I am heading out with a glimpse of dread coming through me. I am in France and I am alone. Everything has changed, apparently, definitely. It’s quite ironic when everyone dream of living abroad, picturing the monumental view, the stylish outfit, the antique and romantique stuff, indeed, I felt like losing everything I have. Some might say I am not grateful enough, hard to say, but it might be true. I miss the humid climate, the unorganized food stalls and the Gojek service which save your sudden necessity (mostly hunger attack), the crowd of 5 o’clock traditional market in the morning, the diversified accent in different cities, the 24 hours mini market, the smiling people, which by the way, give such a free positive energy to start the day. One thing I question intermittently, about the citizen here, how does being alone not make them lonely, the crazy routine keep them—as well as me—falling to deep into a big terrible hole called individuality. I see the picture of my country from the screen, from the poster, from the Facebook photos, and the strong willing of being present among my family and friends keep dancing wildly in my head. What am I doing here, thousands of kilometers away from the comfort ground. Do I really have to step out to find the balance life I am dreaming of? Nonetheless, being here made me realize how small I am, how closed-minded I am, somehow, how ungrateful I am. Damn, I do not want to be classified as the ungrateful community. Do you know the feeling when you peek through binoculars, seeking for the best scenery of the city, hoping you could be there enjoying the beauty within, when the fact is you’re on the top of Eiffel Tower. The dreamy monument, the greatest of France. Metaphorically. In other word, you couldn’t see your goal anymore since you’re already on the top of it, on the highest level. I comprehend that this is only one of my stop and not my home. Literally, I intend to go home when my journey is done, when the discovery phase has come to an end, when this land begin to feel less warm than mine. I learn tons of stuff in this place, including how to contemplate, to argue, and to survive. Sometimes we must jump higher to notice what we already gain after all this time. We may feel losing the thing we earned, since we couldn’t even remember that it’s actually belong to us. All we need is a great deal of awareness. Every little thing in life should be cherished. Appreciation may prevent us of experiencing a feeling of guilty to something priceless. The fact that I am not fond of the current situation show how much affection I have towards my country. I would call it otherwise ‘nationalism’ in my version. You can call it in yours too. On this whimsical land, full of unpredictable ups and downs, I lost many things, yet I found everything. (anonyme)

| 50


Think global, act like a local

51 |



Melda Indriyani Kaunang

YOUNGpreneur FROM “BORNEO�

Umur dini beserta limpahan bakat merupakan kolaborasi yang sempurna untuk memulai hal besar. Tidak hanya itu, dibutuhkan racikan kerja keras dan hasrat kuat demi tercapainya visi yang dinanti. Berawal dari bisnis travel di Jakarta, Melda melihat adanya peluang lebih besar untuk mempromosikan kuliner khas Nusantara di Paris.



S : BAGAIMANA AWAL MULA KETERTARIKAN MELDA DI BIDANG WIRAUSAHA? DAN KENAPA MEMILIH BISNIS KULINER? Semua bermula dari Ibu yang semenjak kecil sudah banting tulang berusaha untuk berdagang demi membantu Bapak memenuhi kebutuhan keluarga. Bisnis kuliner merupakan impian beliau sejak dulu, mewujudkannya adalah salah satu cita-cita terbesar saya selama ini . S : KALAU BOLEH TAU APA MIMPI MELDA SEJAK DULU? Mimpi saya sangatlah banyak namun sejauh ini menjadi salah satu Aktivis di Indonesia merupakan salah satu tujuan saya selanjutnya . S : BAGAIMANA PROSES AWAL MULA MENDIRIKAN BORNEO DAN BERAPA LAMA WAKTU YANG DIBUTUHKAN SAMPAI RESTORAN RESMI DIBUKA?

Struggling !! Butuh bertahun-tahun untuk menguras tenaga, pikiran, uang dan waktu, tetapi “tidak ada hasil yang mengkhianati usaha”. Proses tersebut masih berlanjut hingga sekarang yang mana kita sebut sebagai pengembangan. S : APA ALASAN DI BALIK PEMILIHAN NAMA “BORNEO” ? Saya lahir dan besar di pulau tersebut, di sebuah kecamatan yang kebanyakan orang mungkin tidak tahu. Saya merasa sangat bangga membawa nama Borneo ke mancanegara.

57 |


S : APA MELDA SUDAH MEMILIKI BISNIS SERUPA SEBELUMNYA? KENAPA MEMILIH USAHA KULINER? Saya memiliki private travel agency yang saya mulai ketika masih kuliah di Jakarta dulu, berhenti beroperasi beberapa waktu karena saya pindah ke Paris dan telah kembali beroperasi di tahun 2017 lalu. Kesempatan dan peluangnya berbeda, namun sebenarnya usaha ini memiliki ikatan satu sama lain. S : KENDALA APA YANG PALING DIRASAKAN SELAMA PROSES PENGEMBANGAN BISNIS? Berkali-kali saya mendapatkan masalah karena manejemen dan sistem yang tidak efektif. Sempat saya kehilangan banyak pelanggan dalam beberapa bulan karena rasa makanan yang tidak stabil. Membangun kembali kepercayaan pelanggan tidaklah mudah but, I always trust God will provide a way, sampai sekarang akhirnya menu kita pelan-pelan bertambah dan bervariasi tidak monoton juga rasa yang stabil. Semua pelajaran diambil dari pengalamanpengalaman pahit dari awal. S : ADAKAH HAL YANG SELALU MEMOTIVASI DAN MEMBERI SEMANGAT UNTUK MELDA?

Support yang tidak ada henti-hentinya dari orangtua

juga kepercayaan penuh dari keduanya. Dukungan semangat dari seluruh teman-teman yang sudah saya anggap saudara. Berbagai ragam kritik yang membangun. S : APA TANGGAPAN MELDA TENTANG YOUNGPRENEUR DI INDONESIA?

So proud of it! Di era kita sekarang sudah banyak sekali anak-anak muda kreatif di Indonesia, memiliki banyak achievement di usia yang sangat muda, dapat menginspirasi anak-anak lainnya untuk terus berkarya dalam hal yang positif merupakan hal yang luar biasa.

| 58


S : BAGAIMANA RESPON PELANGGAN INDONESIA MAUPUN PERANCIS TERHADAP RESTORAN BORNEO SEJAUH INI? Sangat positif, mereka sangat senang sekali, baik orang Prancis maupun Indonesia, karena restoran Borneo memperkenalkan kembali cita rasa Nusantara yang benar-benar kaya akan rempahnya yang sangat jarang mereka temukan di kota ini. S : APA PLANNING MELDA SELANJUTNYA? Yah, kalau bisa buka cabang baru dengan konsep yang sama namun tema yang berbeda hehehe S : WHAT IS YOUR BIGGEST CONTRIBUTION FOR THE

NATION SO FAR?

Belum banyak, namun sejauh ini, memperkenalkan Indonesia di Negara Prancis melalui kuliner khas dan asli Nusantara juga membawa budayabudayanya menurut saya mungkin inilah salah satu kontribusi yang bisa saya lakukan untuk Indonesia. S : ADA PESAN UNTUK GENERASI MUDA INDONESIA DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA?

We are the future, we need to start something ; to make a different to make a positive impact to the world. We need to be the emergence butterfly.

MELDA INDRIYANI KAUNANG 30 Januari 1994 MASTER OF INTERNATIONAL BUSINESS @meldakaunang

59 |


ARE THE FUTURE, WE NEED “ WETO START SOMETHING; TO MAKE A DIFFERENT, TO MAKE A POSITIVE IMPACT TO THE WORLD. WE NEED TO EMERGENCE BUTTERFLY.

| 60




Peluang Pulang Duhai perantau sakau Bumi yang kau sebut bulat tampak garis lurus saja yang pada setiap perjalanan berujung dan tak tembus Ke mana lagi rencanamu hari ini Mereka yang kau tinggal sudah tua, menjadi dewasa, harapan pun sudah lupa Planetmu sekarang ini memang nyaman, tapi bukan yang teraman Cukup pantaslah untuk dijadikan tempat istirahat siang dan makan malam. Sudah negeri ke berapa kau jadikan persinggahan sementara untuk tidur dan cuci muka Sebab pada akhirnya, hujan deras selalu mengingatkan pada ranjang tua, tempatmu dulu menanti sepanjang hari Aku mungkin akan kembali besok atau lusa setelahnya lagi, atau hari kemarin yang telah tertinggal sekedar untuk menjadi rasa sesal.


Bilang pada penjelajah dari langit bahwa aku akan pulang sebentar lagi Jangan jemput, karena mereka belum mengenal arah angin dan di mana tanahku asalku Negeriku hanya punyaku, hulu terlahir mimpi dan ambisi. Adalah rumah yang selalu menanti Si perantau ini akhirnya tiba membawa yang telah dijanjikannya sejak muda. Dan pada akhirnya, Aku lebih suka berpergian agar menghargai apa itu pulang, agar mengerti penantian panjang, agar memaknai arti rumah dan para penghuni.

[oleh AFINA ISKANDAR dalam “Paris Belum Ingin Tidur�]


Dan pada akhirnya, tempat kami kembali dan berbakti adalah negeri sendiri di tanah ini.



Salut PPI PRANCIS 2017.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.