E katalog Mencegah Bara

Page 1

Art & Photography EXHIBITION

MENCEGAH BARA December 17, 2015 to

January 17, 2016

Galeria Fatahillah



SENIMAN Abdi Setiawan | Agus Suwage | Andy Dewantoro | Anusapati | Ari Bayuaji | Arya Pandjalu | Dadi Setiyadi | Eddi Prabandono | Eldwin Pradipta | Pande Ketut Taman | Prison Art Programs (PAP S) | Rudi Mantofani | Theresia Agustina Sitompul | Titarubi FOTOGRAFER Abriansyah Liberto | Beawiharta | Bismo Agung | Bjorn Vaughn | Donang Wahyu | Jessica Helena Wuysang | Muhammad Fadli | Nova Wahyudi | Ulet Ifansasti


ANUSAPATI Shadow # 7 2012 Charcoal on paper 250 x 150 cm


DAFTAR ISI

4 P E N G A N T A R P A M E R A N

64 6 M E M E N D A M B A R A

58

10 A S A P , A P I , F O T O G R A F I

12 K A R Y A P A M E R A N

T E N T A N G S E N I M A N

D A N F O T O G R A F E R

U C A P A N T E R I M A K A S I H


PENGANTAR PAMERAN

Menangkap kebakaran hutan dan lahan melalui sudut pandang fotografi dan seni mempunyai tiga tujuan. Pertama, melalui pameran ini kami mencoba untuk menggeser fokus pemerintah dan masyarakat yang sebelum ini berfokus pada pemadaman api menjadi berfokus pada pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Kedua, seiring dengan datangnya musim hujan yang memadamkan titiktitik api, banyak orang menganggap bahwa masalah telah selesai. Banyak orang yang lupa bahwa evaluasi sangat perlu dilakukan. Kita juga perlu melakukan persiapan pencegahan agar bencana ini tidak terulang kembali. Ketiga, menggunakan seni dan foto sebagai medium edukasi publik adalah suatu cara efektif dalam menjangkau audiens yang lebih luas. Perlunya kita terus menyadari nilai urgensi peristiwa kebakaran hutan ini karena selama 18 tahun, kebakaran hutan dan lahan terus terjadi. Ironisnya kebakaran hutan dan lahan ini terjadi di provinsi yang selalu hampir sama, di kabupaten yang hampir sama, dan dalam kurun waktu yang relatif mudah diprediksi. Sangat ironis jika berdasarkan karakteristik seperti itu, kebakaran hutan tidak dapat dicegah. Di dalam pameran kali ini para fotografer mencoba menangkap dan merespons isu kebakaran hutan dan lahan secara khusus dan

4

MENCEGAH BARA


isu lingkungan secara umum. Semoga kolaborasi ini dapat lebih mendorong kesadaran masyarakat tentang bencana ekologi yang merugikan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. Harus kita akui El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun dengan datangnya hujan, isu ini dapat diselesaikan dan malah mungkin dilupakan. Penegakan hukum secara tegas perlu dilakukan, langkah preventif telah disiapkan dan sebagian mulai diimplementasikan. Salah satunya dengan restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut. Pameran ini merupakan suatu komitmen bahwa usaha pencegahan harus kita mulai dan ancaman kebakaran hutan yang berakibat asap harus terus diwaspadai. Menjaga lingkungan adalah suatu keharusan. Melalui pameran ini, kami mengajak Anda sekalian menjadi bagian dari solusi dan menjadikan bumi ini menjadi tempat yang nyaman bagi anak cucu kita. Semoga pameran ini bukan hanya indah secara estetika namun lebih penting lagi bermanfaat bagi semua.

Lin Che Wei, CFA

MENCEGAH BARA

5


Kita terperenyak ketika kasus kabut asap akhirakhir ini menjadi polemik dunia internasional, lebih dahsyat daripada tahuntahun sebelumnya. Apalagi tahun ini, tingkat polusi asap sudah benarbenar mengkhawatirkan dan berdampak besar pada anak-anak dan manula. Singapura dan Malaysia bahkan sampai komplain ke PBB perihal kabut asap. Tahun ini, area kebakaran hutan meluas. Asap yang terjadi karena kebakaran hutan tidak hanya berada di hutan-hutan langganan kebakaran, namun hingga ke lereng

6

Gunung Lawu di Jawa Tengah, lereng Gunung Sumbing – Sindoro di Jawa Tengah, lereng gunung Merapi di Yogyakarta, dll. Tahun ini pula, secara klimatologi memang terjadi cuaca yang sangat panas dan kemarau berkepanjangan, hal inilah yang awalnya dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan. Nah, pertanyaannya, apakah benar kebakaran hutan murni akibat cuaca panas?

bisa curiga bahwa asap ini digunakan untuk mengalihkan perhatian karena ada aktivitas tertentu yang sifatnya rahasia.

Ada hal aneh terjadi pada kebakaran hutan baru-baru ini. Ketika ada asap yang terkena angin, tentunya asap ini akan tertiup ke atas. Namun masih ada asap yang di bawah, yang berada tepat di atas tanah. Apalagi asap tersebut sampai menyebar hingga ke pulau lain bahkan ke negara lain. Kita

Ada pula hal aneh lain yang saya saksikan dari ponsel milik Pak Lin Che Wei lewat rekaman video amatir yaitu sebuah pusaran api! Bagaimana mungkin di dalam hutan, api ternyata

MENCEGAH BARA


tidak serta merta kita membuang alibi pada faktor cuaca sebagai sebab terjadinya kebakaran, maupun faktor human error.

Karya: Titarubi

merambat karena dibawa oleh pusaran angin yang pada ujung bawahnya adalah kobaran api? Pada zaman pemerintahan yang lalu, terjadi sebuah korporasi besarbesaran untuk memiliki konsesi lahan hutan dalam jangka waktu tertentu, yang kemudian dialihfungsikan untuk lahan kelapa sawit. Nah, apakah modus membuka lahan kelapa

MENCEGAH BARA

sawit adalah benar-benar untuk kepentingan minyak kelapa sawit? Apakah untuk membuka lahan kelapa sawit terlebih dahulu harus dengan cara membakar hutan? Bagaimana dengan potensi lain yang bisa saja ikut dieksplorasi pihak pemegang konsesi hutan, seperti sumber mineral di bawah tanah pada lahan tersebut? Meski terlihat bahwa kecurigaan saya berlebihan, namun saya kira perlu dipertanyakan dan dicermati terus proses terjadinya kebakaran hutan ini, sehingga

ASAP Asap atau kabut disebut juga halimun. Jika menjadi kata sifat disebut panglimun. Pada beberapa situasi, asap berfungsi untuk kamuflase atau mengaburkan pandangan. Asap selalu berkaitan dengan angin. Kadang-kadang berkaitan juga dengan api. Tapi tidak semua asap/ kabut selalu berasal

7


dari api, misalnya awan yang juga merupakan kumpulan asap. Di beberapa gunung, bahkan ada puncaknya yang selalu diselimuti awan. Sehingga puncak gunung tidak pernah terlihat secara jelas. Namun banyak juga awan yang berpindah tempat, bahkan bisa membentuk formasi tertentu yang sangat artistik. Nah, yang menjadi misteri adalah bahwa sampai sekarang tidak diketahui berat jenis asap/kabut. Dalam kasus lain, roh juga digambarkan dengan bentuk asap. Asap juga sering digambarkan sebagai portal atau batas antara satu dimensi ke dimensi lain (film Back to The Future; atau ketika menggunakan Aji Sepi Angin). Ada kisah lain yang berlokasi di seputaran Galeri Fatahillah ini, yaitu kisah penyerbuan benteng Batavia pada masa dipimpin oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.P. Coen (yang sekarang letaknya di kawasan Kota Tua Jakarta) oleh prajurit

8

Mataram. Ketika dikepung pasukan Mataram pada zaman Sultan Agung, di dalam benteng tinggal 17 orang (termasuk J.P. Coen), hingga sisa tentara J.P. Coen membakar benda apa pun di dalam benteng sebagai penutup pandangan, sebagai kamuflase. Bersamaan dengan kepulan asap itu tentara J.P. Coen melempar apa saja bahkan sampai kotoran manusia ke arah prajurit Mataram, sehingga tentara Mataram mengendurkan kepungannya dan 17 orang Belanda tadi dapat meloloskan diri. Hal semacam ini juga banyak dijumpai saat perang, ketika pasukan akan menyerbu musuh, selalu diawali dengan melempar granat. Setelah granat meledak dan menimbulkan asap, barulah pasukan menyerbu ke depan. Dalam cerita pewayangan, juga ada satu sekuen dari kisah Ramayana yang berjudul Anoman Obong, di mana Anoman ketika tertangkap dan akan dibakar oleh para punggawa Alengka malah berhasil lolos dan kemudian membakar seluruh negeri Alengka. Selain sebagai kamuflase, asap juga berfungsi sebagai sarana komunikasi manusia jarak jauh di zaman dulu (sandi morse bagi suku Indian), atau sebagai

tanda dimulainya waktu untuk menyerang musuh (dalam film Lord of The Ring) Dalam budaya Jawa, asap dalam bentuk apa pun disebut pedhut, hingga dikenal yang menguasai asap/kabut sebagai komandannya adalah Ditya Kala Pedhut Segara.

KARYA SENI Pada karya seni yang dipamerkan (terdiri dari lukisan, patung, drawing, fotografi, dan instalasi) kita disodori beragam imajinasi seniman tentang kondisi alam/hutan. Imajinasiimajinasi tadi tidak sekonyongkonyong muncul, namun akibat dari begitu banyaknya peristiwa ataupun kondisi tentang alam yang semakin lama semakin rusak. Kerusakan

MENCEGAH BARA


Kita harus sudah memiliki mindset yang sama untuk aktif melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan. ini hampir semuanya dilakukan oleh manusia, karena terdorong motif ekonomi, sehingga tidak lagi peduli dengan lingkungannya. Di tangan seniman lah peristiwa-peristiwa tadi divisualisasikan dengan daya kritis yang sangat menohok. Pada kondisi inilah, peran seniman sebagai pembawa pesan tentu sangat berarti. Pada pameran ini, ada berbagai visualisasi yang ditampilkan seniman. Ada yang berangan-angan jika hutan habis terbakar serta akibat-akibat yang akan ditimbulkannya, seperti tidak ada lagi alam (pohon/daun) yang hijau segar. Jika pada karya seni yang ditampilkan adalah imajinasi seniman, maka pada karya-karya fotografi, kita disodori

MENCEGAH BARA

oleh kenyataan yang terjadi, terutama saat kebakaran hutan akhirakhir ini beserta dampak yang ditimbulkannya. Kita tidak lagi menganggap bahwa foto tersebut adalah imajinasi fotografernya, namun foto itu adalah kenyataan pahit yang ada di depan kita, sehingga bisa tampak peristiwa aslinya diboyong ke ruang pamer. Foto-foto dokumentasi tadi semakin menampar kita, mengingatkan dengan keras, bahwa peristiwa yang ada di foto adalah karena ulah kita, ulah manusia. Selain karya seni dan foto dokumentasi tersebut, masih pula ditambah dengan ditampilkannya infografis mengenai kondisi hutan kita, lengkap dari tahun ke tahun lewat berbagai penelitian yang berkesinambungan. Lewat ketiga hal itulah, kita dihentakkan pada situasi yang mesti kita lakukan untuk dapat mencegah kebakaran hutan, untuk mencegah bara. Tidak harus menunggu ada kebakaran hutan lagi, namun mulai hari ini, kita harus sudah memiliki mindset yang sama untuk

aktif melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan, sehingga nantinya anak cucu kita tahu persis bagaimana cara mencegah kebakaran hutan yang kita cintai ini. Kita bisa memulainya dengan mencegah bara yang terjadi di hutan-hutan kita serta mencegah bara pada semua kalangan di Indonesia yang masih saling menyalahkan dan saling tuding sehingga tidak sinergis dalam memikirkan aksi strategis untuk memadamkan api. Semoga pameran ini dapat menjadi media kampanye “Mencegah Bara� yang berkelanjutan.

Yogyakarta, November 2015 Kurator

Bambang ‘Toko’ Witjaksono

9


Apakah sebuah foto harus indah, bahkan ketika menggambarkan bencana kebakaran hutan? Selalu ada bahaya estetisasi— pengindah-indahan— pada fotografi, terutama yang dipampang dalam pameran atau media massa. Api yang kejam dan asap yang memerihkan mata sangat bisa menciptakan gambar yang cantik dan dramatis yang mengundang decak kagum. Pengalaman menonton foto kebakaran, apalagi dalam ruang ber-AC, jadi tidak berhubungan sama sekali dengan peristiwa sesungguhnya. Yang pertama adalah pengalaman estetik, yang kedua penderitaan. Kurasi foto dalam pameran ini mencoba menghindari jebakan tersebut, dan berusaha mengajak pemirsa mengalami kesedihan bencana, sekalipun tetap lewat pengalaman visual-estetik.

10

Foto: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Saya menyisihkan banyak foto yang memenuhi kriteria indah salon foto, jenis yang memuaskan nafsu akan keindahan dan berhenti di sana. Sebaliknya, saya memilih foto tidak untuk berdiri sendiri, melainkan dalam kerangka hubungan dengan foto-foto lain untuk memberi kesaksian tentang bencana. Relasi satu foto dengan yang lain menjadi

sangat penting, dan justru dalam relasi itulah pesan terungkap lebih kuat. Bukankah bencana ini tidak berdiri sendiri melainkan sesuatu yang unsur-unsurnya berhubungan?

MENCEGAH BARA


juga memperlihatkan usaha manusia untuk mengatasi bencana ini. Di antaranya usaha doa mengusir asap. Di sinilah sebuah ironi tersaji bahwa manusia sering kali menyulut bencana, dan lewat bencana itulah terpicu sebuah usaha untuk mengatasinya secara bersama-sama. Untuk itulah pameran ini bertujuan – memberi kesadaran kepada kita untuk bersama-sama mengatasi dan mencegah bara bencana.

Di dinding sisi kiri jika Anda baru masuk ke ruang pamer foto, Anda akan melihat pelbagai usaha manusia— sebagian ironis—dalam mengatasi bencana, yang sesungguhnya disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Namun karya-karya foto di pameran ini

MENCEGAH BARA

Adapun rangkaian foto di sisi kanan mengantar Anda pada karya instalasi. Di dinding sisi kanan, ada dua esai foto yang bercerita tentang perbuatan manusia yang menyebabkan bencana: membuka lahan, membiarkan hewan mati kelaparan (dalam foto ini, gajah kecil), membakar hutan (tampak dari jerigen bahan bakar yang diserakkan begitu saja). Juga, kehidupan manusia dalam bencana (seperti memakai masker). Sebagian materi foto ini berasal dari juru foto profesional yang sudah diterbitkan di media. Sebagian lain—dan ini sangat berharga—berasal dari

nonprofesional, baik yang memotret untuk tujuan pribadi maupun kepentingan lembaga. Kami juga mencari foto dari instagram, sebab media sosial adalah salah satu sumber catatan visual terpenting masa kini. Sekali lagi, pesan terpenting tidak datang dalam foto tunggal, tetapi dalam relasi di antara foto-foto tersebut, yang bagi saya sekaligus menceritakan besaran bencana ini yang terletak pada keterkaitan masalah yang satu dengan yang lain. Selamat merenungkan.

Kurator

Erik Prasetya

11


ABDI SETIAWAN

Bingkisan 2015 Teak wood 206 x 65 x55 cm

12

MENCEGAH BARA


AGUS SUWAGE

Luxury crime 2007 - 2009 124 x 77 x 52 cm Gold skull, stainless steel, rice Koleksi Bapak Deddy Kusuma Jakarta

MENCEGAH BARA

13


ANDY DEWANTORO

The Forgotten 2013 Mixed Media 140 x 40 x 64 cm

14

MENCEGAH BARA


ANUSAPATI

Shadow #7 2012 Charcoal on art paper 150 x 250 cm

MENCEGAH BARA

Shadow #10 2012 Charcoal on art paper 150 x 300 cm

15


ARI BAYUAJI

Souvenir of Borneo 2015 Digital print mounted between sheet of aluminium di-bond and crystal clear plexiglass 58 x 77 cm (each)

16

MENCEGAH BARA


ARYA PANDJALU

Stolen Box 2012 Wooden box, glass, speaker with bird sounds sensor and cut out papers bird 90 x 90 cm

MENCEGAH BARA

17


DADI SETIYADI

Daun to Earth 2012 Mixed Media 200 x 200 x 250 cm

18

MENCEGAH BARA


EDDI PRABANDONO

Green, Green, Go, Ahead 2009 Trolley, bonsai tree, wood 50 x 540 cm

MENCEGAH BARA

Koleksi Akili Museum Jakarta

19


ELDWIN PRADIPTA

20

MENCEGAH BARA


Niet Mooi of Indie Scenery 2013 Stereoscopic 3D Projection on White Frame 3 minutes (loop)

MENCEGAH BARA

21


PRISON ART PROGRAMS | PAP S

22

MENCEGAH BARA


Atas Nama Daun In the Name of Leaves 2015 Mixed media Variable dimensions

MENCEGAH BARA

23


PANDE KETUT TAMAN

RUH 2015 Burned coconut coir Koleksi Bapak Lin Che Wei Jakarta

24

MENCEGAH BARA


RUDI MANTOFANI

Dunia dan Bumi 2008 Painted Aluminium 140 x 110 x 140 cm Koleksi Ibu Poppy H. Setiawan Jakarta

MENCEGAH BARA

25


THERESIA AGUSTINA SITOMPUL

Dialog dengan Pak Widayat 2013 Engraving on acrylic 268 x 168 cm

26

MENCEGAH BARA


TITARUBI

Unbearable Darkness 2014 Burnt wood, fiberglass beads, cotton 465 x 230 x 213 cm

MENCEGAH BARA

27


ABRIANSYAH LIBERTO

28

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

29


BEAWIHARTA

30

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

31


BISMO AGUNG

32

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

33


BJORN VAUGHN

34

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

35


BJORN VAUGHN

36

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

37


DONANG WAHYU

38

MENCEGAH BARA


JESSICA HELENA WUYSANG

MENCEGAH BARA

39


MUHAMMAD FADLI

40

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

41


MUSHAFUL IMAM

42

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

43


NOVA WAHYUDI

44

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

45


ULET IFANSATI

46

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

47


ASIA PULP AND PAPER | APP

48

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

49


ASIA PULP AND PAPER | APP

50

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

51


CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH | CIFOR

52

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

53

Foto: Aulia Erlangga


CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCH | CIFOR

54

MENCEGAH BARA


Foto: Aulia Erlangga

MENCEGAH BARA

55


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

56

MENCEGAH BARA


MENCEGAH BARA

57


TENTANG SENIMAN DAN FOTOGRAFER SENI RUPA ABDI SETIAWAN Seniman kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971 ini dikenal lewat paduan seni patung dan seni lukis yang mengangkat sosok manusia Indonesia dalam karyanya. Telah banyak pameran yang diikuti oleh seniman yang tergabung dalam Komunitas Seni Sakato ini, baik di dalam maupun luar negeri. Pameran tunggal pertamanya diadakan pada Agustus 2004 di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, dengan tajuk Gairah Malam. Pada 2005, karya yang sama ditampilkan dalam pameran internasional CP Biennale di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Sejak itu Abdi melanglang buana. Ia sempat bekerja sama dengan beberapa galeri ternama dan melakukan pameran di Singapura, Australia, Hong Kong, Belanda, dan Belgia. Pameran teranyarnya adalah pameran tunggal bertajuk The Future is Here di Galeri Red Base Art, Ciputra Artpreneur, 2014 silam. Karya-karya Abdi yang bertekstur kasar dan kaya warna melawan bentuk-bentuk umum seni patung yang monokrom dan bertekstur halus. AGUS SUWAGE Lahir di Purworejo pada 1959, Agus Suwage memiliki latar belakang MFA di bidang desain grafis dari Institut Teknologi Bandung pada 1986. Ketika memutuskan meninggalkan pekerjaannya di bidang

58

desainer grafis dan menjadi seniman profesional, Suwage banyak melibatkan gaya dan karakter drawing pada lukisan-lukisannya. Dia juga kemudian menjelajahi media lainnya menggabungkannya dengan instalasi multimedia. Kerap menggunakan objek potret dirinya, Suwage telah memiliki sederetan panjang pengalaman berkarya dan berpameran di dalam dan luar negeri. Karya-karyanya telah menempatkannya sebagai seniman senior dan mapan di Indonesia. Peraih penghargaan Phillip Morris Award pada 1996 ini sempat mendapat perhatian nasional ketika karyanya bersama Davy Linggar bertajuk Pinkswing Park yang dipamerkan di 2nd CP Biennale di Bank Indonesia, diprotes Front Pembela Islam. Sejumlah pameran tunggal di galeri dan museum bergengsi telah diukirnya. Di antaranya di H Block Gallery, Queensland University of Technology, Brisbane, Australia, pada 1996, “Ough…Nguiki!! di Galeri Nasional Indonesia pada 2003, “Beauty in the Dark” di Avanthay Contemporary Gallery di Zurich, Swiss pada 2008, “Agus Suwage: CIRCL3” di Singapore Tyler Print Institute Gallery, Singapura pada 2009, “The End Is Just Beginning Is the End” di Tyler Rollins Fine Art, New York, pada 2011, “CYCLE No. 3” di ARNDT, Berlin, Jerman dan “CYCLE No. 2” di Tyler Rollins Fine Art, New York pada 2013.

ANDY DEWANTORO Seniman yang lahir di Tanjung Karang, Sumatera Selatan, pada 1973 ini merupakan alumni desain interior di Institut Teknologi Bandung angkatan 1995 dan lulus pada tahun 2000. Ia mengawali karier seninya sebagai pelukis abstrak dan baru setelah mengikuti residensi di Rumania, ia terinspirasi oleh visi lukisan lanskap abad ke-19. Inspirasi ini menjadi awal karakter karya Andy yang bersifat monokrom dan penuh aura, menjadikan objek yang diangkatnya memiliki pendekatan fisik serta psikologis. Ia pernah menyelenggarakan pameran tunggal “Silent World” di Ark Galleri pada 2008, “empty – space – landscapes” di Galeri Semarang pada 2010, dan “Half Fully Half Empty” di Valentine Willie Fine Art, Malaysia, 2011. Banyak pameran bersama yang juga ia ikuti; “REACH”, Art Basel Hong Kong 2013 di Sin Sin Fine Art, Hong Kong, “ART STAGE Singapore 2012”, Marina Bay Sands, Singapore, dan lain-lain. ANUSAPATI Lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 29 September 1957, Anusapati lulus dari STSRI ASRI Yogyakarta pada 1983 dan menjadi dosen di almamaternya sejak 1985. Pada 1988, ia melanjutkan S2 di Pratt Institute, Brooklyn, New York dengan beasiswa dari Fullbright. Anusapati aktif

MENCEGAH BARA


dalam pameran bersama dan pameran tunggal dalam forum nasional maupun internasional. Karya patung Anusapati dibuat menggunakan material dari alam seperti kayu dan bambu. Permasalahan alam memang menjadi konsep berkarya seniman yang tercatat sebagai Ketua Asosiasi Pematung Indonesia (API) selain isu persoalan sosial. Karya Anusapati sudah dipamerkan di Amerika Seriakt, Eropa, Australia, Jepang. Di antaranya, ia pernah mengadakan pameran tunggal MFA Theses Exhibition, Pratt Institute, New York, Amerika Serikat pada 1990, pameran tunggal “Reconstruction” di The Kitamoto Cultural Center Gallery, Saitama, Jepang, apda 1997, dan “The Story of Tree” di Galeri Mon Décor, Jakarta pada 2008. Ia juga ikut serta di sejumlah pameran bersama seperti Biennale Seni Rupa Jakarta IX, India Triennale VII (1993), “The Sculpture Survey 01” di Gomboc Galleries, Australia (2000). Karya-karya Anusapati dikoleksi oleh Galeri Nasional Indonesia, Singapore Art Museum, Queensland Art Gallery, dan The City Government of Kitamoto-Shi. ARI BAYUAJI Lahir di Mojokerto tahun 1975, Ari Bayuaji sekarang menetap di Montreal, Canada setelah merampungkan studi seninya di Concordia University. Seniman yang dikenal dengan karya instalasi maupun fotografi ini telah ikut serta dalam beberapa pameran kelompok di dalam maupun

MENCEGAH BARA

luar negeri, di antaranya pameran 125,660 Specimens of Natural History di Komunitas Salihara, Jakarta pada 2015, Melihat Indonesia di Ciputra Museum Jakarta dan Art Exhibition Indonesia Now di The Gallery at Plaza Indonesia pada 2014, dan Take Me Home di FOFA Gallery Montreal pada 2014. Pameran tunggal telah dilakukan Ari di Rene Blouin Gallery Montreal pada 2015. Selain berpameran di galeri, Ari Bayuaji pun sering terlibat dalam proyek komisi seni rupa di ruang publik, seperti karyanya yang berjudul Silence di Esplanade Theaters by the Bay Singapura pada 2014, karya instalasi Giving our Heart untuk MargueriteBourgeos Museum Montreal pada 2011, dan The Art of Living in Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Ottawa, Kanada. ARYA PANDJALU Arya Pandjalu lahir di Bandung, pada 26 Juli 1976, dan menamatkan studi dari jurusan Seni Grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta pada tahun 2005. Sebagian besar dari karya-karyanya berupa patung, seni cetak, lukisan, maupun performance. Walau pernah berkarya dengan berbagai material, Arya sekarang fokus berkarya dengan menggunakan kertas sebagai medium utama. Kegemarannya dengan kertas dimulainya sedari kecil, dan sekarang pilihan kertas sebagai medium berkesenian dikarenakan sifat kertas yang lebih ramah lingkungan. Arya

telah berpartisipasi dalam beberapa pameran kelompok, antara lain ART-JOG 2015 dan 2012, “Pada Cermin” di Galeri Nasional Indonesia pada 2015, dan Biennale Jogja pada 2011. Selain itu, pameran tunggal Arya dalam beberapa tahun belakangan ini antara lain pameran “Soundgarden” di Ark Galerie Yogyakarta pada 2012, “Phone number my Hand” di O House Gallery Jakarta pada 2009, dan proyek residensi “Landing Soon” di Cemeti Art House pada 2006. DADI SETIYADI Seniman kelahiran Indonesia tahun 1977 ini telah kerap berpameran di luar maupun dalam negeri. Dikenal dengan lukisan-lukisan bersubyek cerita dongeng dan mitologi, Dadi menggabungkan unsur modern melalui kanvasnya dalam seri proyek “Penelusuran Kisah Nusantara”. Sangat tertarik dengan dualisme budaya Barat dan Timur, pameran tunggal yang pernah dilakukannya antara lain pameran “Eternity: A Return to Renaissance” di The Art Fellas Singapura pada 2015 , “Ultra Classic” di The Gallery D Seoul pada 2015, dan “Treasure on Mirror” dji AJBS Gallery Surabaya pada 2012. Selain itu, Dadi juga kerapkali ikut serta dalam pameran kelompok; di antaranya pameran “Asia Talk to Asia” di Jeju Museum of Contemporary Art, Korea Selatan pada 2015, “Makassar Biennale 2015: Trajectory”, pameran “Spice Select” di PACE Gallery Kuala Lumpur pada 2014, dan

59


“ShangYuan Group Exhibition” di ShangYuan Art Museum China pada 2013. Beberapa pernghargaan pun telah berhasil diraih seniman ini, seperti Indonesia- Nokia Art Awards Asia Pacific di tahun 2000 dan Indonesia Indofood Art Awards pada 2002. EDDI PRABANDONO Eddi Prabandono lahir di Pati, Indonesia pada 1964 dan menamatkan studi seni rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1992. Telah beberapa tahun menetap di Jepang, Eddi membagi waktunya antara Okinawa dan Yogyakarta. Dalam proses berkarya, Eddi selalu mengikutsertakan unsur desain, kalkulasi, dan konstruksi – hasilnya adalah karya-karya inslalasi monumental yang sering diasosiasikan sebagai ciri khas berkesenian Eddi. Salah satu karyanya yang paling monumental menghiasi halaman depan Taman Budaya Yogyakarta pada perhelatan seni kontemporer ART|Jog 2011. Selain itu, beberapa pameran kelompok di mana Eddi berpartisipasi antara lain “Indonesia Contemporary Art and Design: Vertical Horizon” di Grand Kemang Hotel Jakarta pada 2015, pameran “PARX” di Ciputra Artpreneur Jakarta pada 2014, pameran “No Other Color” di Galeri Kunstkring Jakarta pada 2015, pameran “Frontiers Reimagined” dengan Sundaram Tagore Gallery di Venice pada 2015, dan pameran “Family and Friends” di ROH Projects Jakarta pada

60

2015. Beberapa pameran tunggal Eddi antara lain “After Duchamp – Bicycle Wheel” di Ark Galerie Yogyakarya pada 2011, dan “Wonderful Fool” di Red Miller Gallery, Vermont USA pada 2010. ELDWIN PRADIPTA Seniman muda kelahiran Jakarta, 17 Mei 1990 ini dikenal dengan karya-karyanya yang berbasis multimedia. Sejumlah pengalaman di dalam maupun luar negeri telah diikutinya. Pada 2015, Eldwin terlibat di 12 pameran bersama, di antaranya pameran “Sequence” di NuArt Sculpture Park di Bandung, di Art|Jog 8 di Taman Budaya Yogyakarta, Bandung International Digital Art Festival 2015, Makan Angin #3 Presentation di Cemeti Art House, Yogyakarta, dan pameran “No Worries: Halal Indonesian Art” di Galerie Vanessa Quang di Paris. Pada 2014, seniman alumni jurusan Seni Intermedia di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini tampil di tujuh pameran di antaranya “Put Up a Signal” di Ruang MES 56 di Yogyakarta, Bandung New Emergence Vol. 5 di Selasar Sunaryo Art Space di Bandung, dan pameran “on paintingneun: NATHALIE KOGER: Motiv” di Pinacoteca Gallery di Wina, Austria. Berbagai penghargaan telah diraih Eldwin, di antaranya finalis Indonesia Art Award 2013 dan 2015, finalis Soemardja Award 2013, finalis Young Artist Award di Art|Jog 6 tahun 2013, finalis Bandung Contemporary Art Award 2015, finalis Bexco

Young Artist Award 2014 di Busan, Korea Selatan, dan pemenang Young Artist Award Art|Jog 7 tahun 2014. PANDE KETUT TAMAN Seniman kelahiran Ubud, Bali, 9 April 1970 ini telah memiliki pengalaman berpameran sejak ia menempuh pendidikan di SMSR Denpasar Bali dari 1987-1991. Pameran pertamanya ia ikuti pada 1989 di Art Centre Bali. Ketika ia meneruskan pendidikannya di ISI Yogyakarta pada 1992 hingga lulus pada 1998, Pande Ketut Taman semakin aktif berpameran. Hampir setiap tahun seniman yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah ini berpameran baik di dalam maupun luar negeri. Pameran tunggal pertama yang dilakukannya pada 1997 di FSR ISI Yogyakarta. Kemudian disusul pameran tunggal di Komaneka Fine Art Gallery di Ubud, Bali pada 1999, di Art Folio Singapura dengan tajuk “Luh Luih” pada 2000, di Inggil Gallery Jakarta pada 2001, di Choinard Gallery Hongkong pada 2003, di Galeri Canna pada 2004, dan di Ciptadana Jakarta pada 2013. Sejumlah penghargaan telah diraih seniman yang biasa disapa Taman ini; yaitu Karya Lukis Terbaik ISI Yogyakarta pada 1992, Karya Terbaik Dies Natalies ISI Yogyakarta pada 1997, Penghargaan dari Menteri Seni dan Budaya Indonesia pada 1998, Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia pada 1999, dan Excellent Achievement Award di Bali Biennale pada 2005.

MENCEGAH BARA


PRISON ART PROGRAMS (PAPS) PAPs merupakan program seni kolektif yang diinisiasi oleh seniman asal Yogyakarta, Angki Purbandono, pada Mei 2013 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II A Yogyakarta. Konsep karya bersumber dari kenangan dan kehidupan sehari-hari para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas maupun yang sudah bebas. Pada Februari - April 2014, bekerja sama dengan Mizuma Gallery Singapore, PAPs mengadakan pameran tunggal perdananya bertajuk “The Swimmers” menampilkan 25 karya-karya kolektif bermedia mesin pindai. Lalu, pada Juni 2015 lalu, untuk pertama kalinya PAPs ikut serta dalam pameran ART|JOG dengan menampilkan karya “Atas Nama Daun” yang juga ditampilkan dalam pameran “Mencegah Bara” di Galeria Fatahillah, Jakarta, Desember ini. RUDI MANTOFANI Lahir di Padang pada 1973, Rudi Mantofani merupakan salah satu perupa sukses di seni rupa kontemporer Indonesia. Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta) yang juga pernah tergabung dalam Kelompok Seni Rupa Jendela (KSR Jendela) ini terkenal dengan penggunaan teknik yang rumit untuk menghasilkan ‘perumpamaan visual’ mengenai kehidupan manusia dari barang-barang yang ditemukan sehari-hari. Tak urung, karya Rudi menjadi buruan berbagai lelang

MENCEGAH BARA

bergengsi sekelas Southesby, Singapura, hingga Christie’s Hongkong. Bahkan lukisannya yang berjudul “Dunia Jatuh ke Bumi” terjual dengan harga melebihi Rp 800 juta, sehingga nama Rudi Mantofani didaulat masuk kedalam daftar 500 pelukis terlaris di dunia berdasarkan Top 500 Artprice 2008/2009 yang disusun oleh lembaga Artprice yang bermarkas di Prancis. Pameran tunggal pertama Rudi Mantofani digelar di Double Horizon Nadi Gallery, Jakarta pada 2002 dinilai sangat sukses dan begitu mencerminkan kekayaan serta pertumbuhan ide Rudi yang luar biasa. Perupa yang kerap menggelar pameran tunggal di Hongkong ini baru-baru ini juga menggelar pameran bersama di Sangkring Art Space dengan tajuk “(Belum Ada Judul)” pada 8 November 2015 lalu. THERESIA AGUSTINA SITOMPUL Perupa kontemporer yang kerap mengangkat sosok ibu dalam setiap karyanya ini lahir pada 5 Agustus 1981 di Pasuruan. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini pernah menggelar pameran tunggal bertajuk “Confession” di Richard Koh Fine Art, Kuala Lumpur pada 2009 dan “Pada Tiap Rumah Hanya Ada Seorang Ibu” di Bentara Budaya Bali pada Maret 2015 silam. Tere, nama panggilannya, juga pernah mengikuti pameran bersama diantaranya yakni Lessedra 4rd Annual Mini Print di Bulgaria pada tahun 2005, Hello Print

di Edwin Gallery Jakarta pada tahun 2008, hingga Red District Project, Fund Rising Art Exhibition di Koong Gallery Jakarta pada tahun 2009. Peraih juara III pada Kompetisi Trienal Grafis Indonesia IV pada tahun 2012 ini kerap menggunakan teknik-teknik yang unik dalam berkarya, seperti teknik litografi plat alumunium yang ia gunakan untuk menafsirkan kisah Bahtera Nuh pada Pameran Tugas Akhir “Spirit of Noah” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada 2011 atau teknik jiplak karbon yang ia gunakan untuk menghadirkan kenangan hangat mengenai Ibu pada pameran tunggalnya “Pada Tiap Rumah Hanya Ada Seorang Ibu”. TITARUBI Dilahirkan di Bandung pada 1968, Titarubi saat ini telah menduduki posisi sebagai perupa papan atas di Indonesia. Karya-karya seninya memiliki muatan gagasan dan konsep yang sekuat nilai artistik yang ditampilkannya. Semua itu berkat pendekatan riset yang kerap dilakukan Tita di hampir setiap proses berkaryanya. Selama dan setelah menempuh pendidikan di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1987-1997, sederetan pameran bersama dan tunggal telah dilakukannya baik di dalam maupun luar negeri. Dalam lima tahun terakhir ini saja, Tita telah terlibat dalam 30-an pameran. Di antaranya di Hangaram Art Museum, Seoul

61


Art Centre pada 2010, Sakshi Gallery di Taipei, Taiwan dalam judul “Faith by Chen HuiChiao & Titarubi pada 2010, “Beyond The East” di Rome Museum of Contemporary Art di Roma, Italia pada 2011, di Museaum of counterfeit products di Paris, Prancis pada 2012, “Suspended Histories” di Museum Van Loon di Amsterdam, Belanda pada 2013, dan terpilih untuk tampil di Venice Biennale ke-55 di Venesia, Italia pada 2013. Adapun beberapa pameran tunggal yang pernah dilakukannya di antaranya “Kisah Tanpa Narasi” di Rumah Seni Cemeti pada 2007, “Burning Boundaries” di Galerie Michael Janssen di Berlin, Jerman, dan yang terbaru adalah di Salian Art, Bandung dengan judul “Senyap” pada November 2015.

FOTOGRAFI ABRIANSYAH LIBERTO Sarjana teknik Universitas Sriwijaya ini memulai karier fotografinya di Sumsel Post, Palembang pada 2009-2011. Setelah sempat bekerja di Tabloid Monica, pria yang kerap disapa Berto ini melanjutkan kariernya di Tribun Sumsel hingga sekarang. Beragam penghargaan telah diraihnya, di antaranya yaitu Juara III CGN Oxford Photo Contest, Inggris pada 2014, Juara I Sumsel Photo Jurnalis Award pada 2013, dan Juara I kompetisi Sumsel Gemilang 2013. BEAWIHARTA

62

Fotografer kelahiran 21 Juli 1964 ini sempat bekerja di bidang periklanan sebelum menjadi wartawan foto untuk Majalah Suasana (1989), Tabloid Olahraga GO (1992), dan Majalah Gatra (1994). Sejak tahun 1998, Bea bekerja di Kantor Berita Reuters hingga sekarang, dengan area liputan Indonesia. Ia telah memiliki pengalaman mengabadikan beragam konflik dalam ratusan karyanya, termasuk konflik Aceh, Ambon, Timor Timur, Thailand, Pakistan, dan Afghanistan. Selain itu, ia pun telah meliput berbagai perhelatan olahraga nasional, termasuk Olimpiade Beijing. Di samping itu, Bea telah menjadi mentor di World Press Photo Class, Permata Photojournalist Grant (PPG), dan juri serta kurator di berbagai kompetisi dan pameran fotografi. BISMO AGUNG Lulus dari jurusan Jurnalistik Universitas Islam Bandung, fotografer dan editor foto ini telah menyunting ribuan foto di berbagai media nasional, antara lain harian Republika (2000), Koran Tempo (2002), Majalah Gatra (2004), Majalah Tempo (2004), MSN Indonesia (2012), dan beritagar.id (2015). BJORN VAUGHN Berlatar belakang sebagai penulis perjalanan, penerjemah, dan fotografer dengan fokus humaninterest, Bjorn pun terlibat dalam sejumlah proyek sebagai produser, sutradara film, dan operator kamera.

Karya fotonya telah dimuat di berbagai media, antara lain BBC Online, Jakarta Globe, Majalah Tempo, dan VICE. Ketertarikannya pada tema sosial dan lingkungan membuat Bjorn mendirikan Borneo Productions International (BPI), rumah produksi peraih beragam penghargaan yang berbasis di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Lewat BPI, ia kerap bekerja sama dengan organisasi internasional, seperti United Nations (UNODC), NatGeo, Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation, Save The Orangutan (STO) , dan Indonesian Climate Change Council (ICCC). DONANG WAHYU Fotografer dan videografer asal Jakarta ini kerap dikenal dengan karya portrait dan dokumenternya. Karya-karya Donang telah dipublikasikan dalam sejumlah media, di antaranya GEOlino Magazine, Daily Telegraph, Christian Times, Majalah National Geographic Indonesia, Majalah Pantau, Harian Koran Tempo, Majalah Tempo, Harian Kompas, Harian Media Indonesia, AusAid Indonesia, Australia Indonesia Partnership, Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Oxford Business Group, UNESCAP (United Nation Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), PQM Consultant, Susi Air, dan Der Spiegel. Donang juga dipilih oleh World Press Photo Foundation, Asia-Europe Foundation

MENCEGAH BARA


dan Philippine Centre for Photojournalism sebagai perwakilan dari Indonesia dalam Asia-Europe Forum for Young Photographers 2006. Donang pun telah menerbitkan beberapa buku fotografi, di antaranya Ocean Of Tears, MT. Merapi 10 Summit Of Fire, Gambara Nias Aftermath and The Indonesian Biodiversity, Berdaya di Kaki Langit Indonesia. JESSICA HELENA WUYSANG Pewarta foto dan sarjana ekonomi Universitas Tanjungpura kelahiran Pontianak, 4 April 1980 ini mengawali kariernya sebagai fotografer lepas. Sejak 2008, Jessica bekerja sebagai kontributor foto di LKBN Antara hingga sekarang. Beberapa pameran yang telah diikutinya antara lain Pameran 12 Fotografer bertajuk ‘Indonesiaku Kulinerku’ di Jakarta pada 2013, Pameran “Kilas Balik Indonesia” oleh Antara Foto di Galeri Foto Jurnalistik Antara pada Maret 2013, dan Pameran 12 Fotografer Indonesia tentang Alam dan Budaya Indonesia oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Prancis, Juni-Desember 2008 dan Januari 2009 di Marseille, Prancis. Beragam penghargaan fotografi telah diraihnya, beberapa di antaranya Juara II Kategori “Environment and Nature” pada Anugerah Pewarta Foto Indonesia, Juli 2013 dan Penghargaan Kategori Jurnalistik Foto

MENCEGAH BARA

dalam Anugerah Adinegoro pada Februari 2013. MUHAMMAD FADLI Memulai karier di sebuah harian lokal di Padang, fotografer dokumenter dan perjalanan ini kemudian hijrah ke Jakarta dan memotret untuk Majalah Tempo. Sejak 2012, Fadli bekerja freelance dan mendirikan kolektif fotografi Arka Project bersama Yoppy Pieter dan Putu Sayoga pada 2014. Karya-karyanya telah dipublikasikan dalam beragam media, di antaranya DestinAsian, DestinAsian Indonesia, Forbes Indonesia, Garuda Magazine, Marie Claire, Outlook Traveller India, National Geographic Traveler Indonesia, Hello Bali, The Jakarta Globe, Chip Photo Video, dan Majalah Tempo. Fadli pun telah mendapatkan berbagai penghargaan, antara lain pada kompetisi foto India Future of Change 2011 dengan foto tentang tradisi Jalikattu di Madurai, India. Di Cina, juru foto asal Padang ini menerima hadiah utama dalam lomba Humanity Photo Award 2011. Ia pun menerima penghargaan Documentary Award dan Nomination Award di kota Kunming, Yunnan pada tahun yang sama. Pada 2015, ia tengah menggarap project bertajuk “The Banda Chronicle”. NOVA WAHYUDI Sarjana Teknik Mesin kelahiran Tanjung Enim, 25 November 1988 ini merupakan fotografer di harian umum Palembang Ekspres pada

2001- Juni 2015. Saat ini, Nova berprofesi sebagai fotografer di Perum LKBN ANTARA. Deretan prestasinya di bidang fotografi antara lain menyandang gelar Juara II dalam kompetisi Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) di Hanoi, Vietnam pada 2015, Juara I pada Lomba Foto Kreativitas Bidang Kebencanaan 2015 oleh BNPB (Tangguh Award), Juara II pada Sumsel Jurnalistik Award 2013, dan juara II pada Oil and Gas In Daily Life Photo CompetitionThe 30th IPA Convex and Exhibition pada 2014. ULET IFANSASTI Lahir di Papua, pewarta foto dokumenter ini memulai kariernya di majalah lokal di Yogyakarta sebelum bergabung dengan Getty Images pada 2008 dan menjadi kontributor hingga sekarang. Karyakaryanya telah dipublikasikan oleh banyak media, termasuk di antaranya GREENPEACE, World Society for the Protection of Animals (WSPA), The New York Times, The International Herald Tribune, STERN, The Guardian, TIME Magazine, USA Today, LIFE, dan National Geographic Traveller. Sederet penghargaan yang diraih Ulet di antaranya yakni Gold Prize di The 11th China International Press Photo Contest (CHIPP) tahun 2015 dan Pewarta Foto Indonesia 2010. Terakhir Ulet masuk nominasi Fotografer Terbaik 2015 dari The Guardian.

63


UCAPAN TERIMA KASIH Kami dari pihak penyelenggara pameran “Mencegah Bara” mengucapkan terima kasih atas dukungan: • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia • Kementerian Kehutanan • Kemitraan Partnership • Independent Research & Advisory Indonesia • Jakarta Old Town Revitalization Corporation • Center for International Forestry Research (CIFOR) • Asia Pulp and Paper (APP) • Pemerintah Provinsi DKI Jakarta • Para Duta Besar Negara Sahabat • Bapak Deddy Kusuma • Ibu Poppy H. Setiawan • Bapak Rudy Akili • Batavia Market • Kurator Pameran “Mencegah Bara”: Bambang “Toko” Witjaksono dan Erik Prasetya • Para seniman: Abdi Setiawan, Agus Suwage, Andy Dewantoro, Anusapati, Ari Bayuaji, Arya Pandjalu, Dadi Setiyadi, Eddi Prabandono, Eldwin Pradipta, Pande Ketut Taman, Prison Art Programs (PAPs), Rudi Mantofani, Theresia Agustina Sitompul, Titarubi • Para fotografer: Abriansyah Liberto, Beawiharta, Bismo Agung, Bjorn Vaughn, Donang Wahyu, Jessica Helena Wuysang, Muhammad Fadli, Nova Wahyudi, Ulet Ifansasti • Seluruh rekan dari media massa (cetak dan elektronik) yang mewartakan perhelatan ini • Seluruh pihak yang mendukung dan menyukseskan pameran ini • Seluruh pengunjung dan publik seni yang mengapresiasi acara pameran ini

64

MENCEGAH BARA



a collaboration of:

organized by:

Art Communication & Publication


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.