BINGKAI JAWA di SURINAME
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA
MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA
BINGKAI JAWA di SURINAME
Foto-foto & Teks :
IMAM HARTOYO imam@pandureka.com
Tim Delegasi : - Wardiyatmo - Kembudpar - Ridwan Hassan - Kemlu - Ni Wayan Giri Adnyani - Kembudpar - Prayono Atiyanto - Kemlu - Uwes Korni - Kembudpar - Danandjaja Axioma - Kembudpar - Haryati Abelam - Kembudpar - Yona Tangdilintin - Kembudpar - Dina Martina - Kemlu - Kiki Reinaldy - Kemlu - Diah Hartini - Kembudpar - Bibit Pamuji - Kembudpar - Bambang Susilo - Kembudpar
Terima kasih kepada : - Nur Syahrir Rahardjo, Dubes RI untuk Suriname - Ridwan Hassan, Sekditjen Amerop - Kementerian Luar Negeri RI - Prayono Atiyanto, Direktur Amerika Selatan dan Karibia - Kementerian Luar Negeri RI - Endah Rachmi Yuniati, KBRI Suriname - Margono Martonowiyono, KBRI Suriname - Mrs. Angelica, Dubes Suriname untuk Indonesia - Djoko Dwiyanto, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta
Sampul Muka : “TOPENG JOGET WIRING” dipakai secara jenaka oleh salah seorang penari ‘Djaran Kepang’
All rights reserved. Published for Ministry of Culture and Tourism No part of this book may be reproduced in any form without written permission from the Ministry of Culture and Tourism, Republic Indonesia.
BINGKAI JAWA di SURINAME
BINGKAI JAWA di SURINAME
5
BINGKAI JAWA di SURINAME
Sambutan : GAGASAN PRODUKTIF, POTENSI SURINAME Suriname dan Indonesia memiliki hubungan kesejarahan dengan keberadaan masyarakat Jawa yang didatangkan ke Suriname sebagai tenaga kerja perkebunan milik Belanda. Dalam kaitan budaya, kehadiran Jawa telah memberi warna pada kehidupan Suriname. Karenanya hubungan Suriname-Indonesia lebih pada ikatan emosional dengan latar sejarahnya. Di sisi lain, kehadiran masyarakat Jawa di Suriname secara tidak langsung berperan sebagai pengenal Indonesia di benua lain, yang diharapkan dapat membangun potensi kunjungan wisata ke Indonesia. Dalam wacana demikian, telah dilakukan kunjungan budaya ke Republik Suriname terkait dengan peringatan ulang tahun ke 35 Republik Suriname, ulang tahun ke 65 Republik Indonesia, memperingati 120 tahun Kedatangan Imigran Jawa ke Suriname serta ikut meramaikan pekan promosi tahunan Indofair ke 10. Kunjungan tim Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia ke Suriname diisi dengan kegiatan budaya serta penandatanganan kerjasama bidang kebudayaan Indonesia-Suriname. Hal ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan kedua negara sekaligus guna meningkatkan citra positif Indonesia dengan kerjasama budaya di fora internasional. Semoga dengan adanya rekaman fotografi dalam buku yang dibuat dalam rangkaian kunjungan budaya ke Suriname ini, banyak pihak bisa lebih mengenal Suriname serta mengembangkan perannya dalam hubungan Indonesia-Suriname. Yang lebih penting lagi adalah melalui foto-foto yang ada akan muncul pemikiran atau gagasan produktif mengenai potensi Suriname sebagai jendela wisata Indonesia di Amerika Selatan. Jakarta, 1 November 2010
Wardiyatmo Sekretaris Jenderal
6
BINGKAI JAWA di SURINAME
Pengantar : REKAMAN MISI KEBUDAYAAN Dalam kaitan peningkatan hubungan kerjasama luar negeri, pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi masyarakat Jawa di Suriname, karya budaya mereka dan lingkungan kehidupan sekitarnya, dapat membuka pemikiran baru dalam penyusunan strategi kerjasama antar kedua negara. Salah satu upaya untuk melihat lebih dekat kondisi yang sebenarnya adalah melalui rekaman visual. Apalagi banyak di antara masyarakat Indonesia yang masing-masing memiliki persepsi dan imajinasi bahwa Suriname adalah masyarakat Jawa yang jauh di sana tanpa melihat secara visual kondisi yang sebenarnya. Kendati telah dibuka dan digencarkan hubungan budaya Indonesia-Suriname, sedikit sekali informasi tentang Suriname yang sampai ke Indonesia. Padahal informasi tersebut sangatlah penting dan memendam berbagai potensi baik ekonomis untuk pengembangan pasar produk Indonesia maupun keberadaannya di benua lain sebagai pintu promosi wisata Indonesia. Dalam posisi saya sebagai Koordinator Misi Kebudayaan dalam kegiatan ini, saya melihat hasil yang tertuang dalam buku ini. Pertama, dengan adanya karya foto Imam Hartoyo yang ikut dalam tim Misi Kebudayaan ke Suriname, dan sekilas catatan yang dipaparkan dalam buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang Suriname, keadaan dan peran masyarakat Jawa di Suriname. Kedua, rekaman ini juga merupakan dokumentasi visual kegiatan misi kebudayaan yang dapat disampaikan ke masyarakat luas, dan diharapkan dapat menggerakkan minat dan pemikiran para pemangku kepentingan dalam pengembangan wisata Indonesia melalui Suriname. Semoga banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari penerbitan buku ini. Jakarta, 1 November 2010
Ni Wayan Giri Adnyani Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri
7
BINGKAI JAWA di SURINAME
8
SURINAME Suriname, sebuah negara kecil yang terletak di Amerika
Selatan, di tepi Samudra Atlantik. Suriname sudah dikenal sejak abad ke 15, ketika banyak bangsa Eropa berminat menguasai wilayah Guyana. Dengan sejarah perebutan wilayah yang panjang, pada tahun 1639 Belanda menguasai sebagian besar wilayah Guyana, termasuk Suriname yang terletak di tengah Guyana dengan luas 163.265 kilometer persegi. Wilayah Suriname adalah daerah yang hidup sebagian besar dengan perkebunan dan pertambangan. Karena itu ketika sistem perbudakan dihapuskan pada tanggal 01 Juli 1863, dan Belanda membebaskan sekitar 33.000 budak, perekono-
mian Suriname ikut terguncang. Banyak lahan perkebunan yang tidak terurus. Untuk mengatasi kelesuan ekonomi, pada tahun 1870 pemerintah Belanda menandatangani perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan buruh kontrak ke Suriname. Berdasar perjanjian tersebut, didatangkan buruh kontrak dari India antara tahun 1873 sampai 1914. Gelombang berikutnya adalah para pekerja dari Jawa mulai Agustus 1890. Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, perekonomian Suriname pelahan bangkit. Secara bertahap Suriname menggeliat di berbagai bidang. Pembangunan digencarkan antara lain pada telekomunikasi, jalan raya, serta pembukaan jalur hubungan laut langsung Suriname-Belanda.
9
BINGKAI JAWA di SURINAME
Istana Presiden dengan lapangan rumput di depannya yang diberi nama Onafhankelijksplein (Lapangan Merdeka)
10
BINGKAI JAWA di SURINAME
Pembangunan masyarakat berpengaruh pula pemikiran untuk mandiri dan menjadi negara merdeka. Masyarakat mulai berserikat membangun partai-partai untuk menyalurkan aspirasi dan pemikiran mereka. Suara-suara partai ini pula yang mendesak kesertaan Suriname dalam perundingan internasional termasuk Konperensi Meja Bundar pada tahun 1961. Saat itu delegasi Suriname yang dipimpin oleh Johan Adolf Pengel menuntut dibentuknya pemerintahan sendiri. Atas tuntutan beberapa partai yang bediri di Suriname, pada tahun 1970 diselenggarakan konferensi di Belanda untuk membicarakan persiapan pelepasan Suriname serta menyusun kabinet pemerintahan yang terdiri dari wakil-wakil partai politik. Tanggal 25 Nopember 1975 Suriname menjadi negara merdeka, menjadi Republik Suriname. Suriname memiliki luas daratan 161,471 kilometer persegi, beriklim tropis dengan suhu rata-rata 28 derajat Celcius, dengan jumlah penduduk sekitar 493.000 jiwa.
Gedung Kementerian Keuangan Suriname yang terkenal dengan menara jamnya.
Patung mengenang Johan Adolf Pengel - pimpinan wakil Suriname pada Konferensi Meja Bundar tahun 1961 - dibangun di Lapangan Merdeka
Nama Johan Adolf Pengel diabadikan sebagai nama bandara internasional Suriname selain nama ParamariboZanderij International Airport. Terletak sekitar 30km, selatan Paramaribo.
11
Pagi hari di bundaran kota dekat jembatan Jules Wijdenbosch. Diceritakan setiap malam Minggu, kawasan ini digunakan tempat berkumpul remaja Paramaribo
12
Bangunan yang terbuat dari kayu di sebagian kawasan kota tua Paramaribo, menunjukkan peran kuat arsitektur bangunan Perancis.
Bangunan-bangunan yang dijaga keasliannya dan termasuk kawasan wisata “Historic Inner City� Paramaribo.
Patung Ratu Belanda dibangun di kawasan museum sekitar Fort Zeelandia
13
BINGKAI JAWA di SURINAME
Jembatan Jules Wijdenbosch yang menghubungkan kota Paramaribo dengan wilayah Commewijne, tempat bermukim sebagian besar orang asal Jawa
Bendera Suriname di sepanjang jembatan
14
Paramaribo, suasana kawasan utama kota di dekat pelabuhan Pusat perbelanjaan baru yang dibangun di dekat kawasan perumahan
Saat ini Suriname dihuni oleh masyarakat multi etnis yang terdiri atas suku Hindustan (India – 27,4%), Kreol ( 17,7%) dan Bushnegro (Afrika – 15,7%), Jawa (Indonesia – 15,6%), dan etnis lainnya (Amerindian, Cina, Arab, Eropa dan etnis lainnya – 23,6%). Kemajemukan latar belakang budaya dan peradaban nenek moyang yang dibawa oleh masing-masing etnis di kalangan masyarakat Suriname memberi warna pada pola kehidupaan dan budaya Suriname. Gaya hidup masyarakat Suriname banyak dipengaruhi budaya Eropa (Belanda), Amerika Serikat, Karibia dan negara Amerika Latin lainnya, yang terkenal dengan kebebasannya. Sehingga terasa kental pengaruh dan aroma kebebasan dalam tatanan kehidupan di Suriname. Hasil sensus 2 Agustus 2004 : Hindustani : 135.117 orang Creole : 87.202 orang Maroon : 72.553 orang Jawa : 71.879 orang Campuran : 61.524 orang Lain-lain : 64.554 orang
Mesjid Nabawi dibangun di kota Paramaribo pada tahun 1933, merupakan masjid pertama yang dibangun oleh masyarakat Jawa melalui Persatuan Islam Indonesia (PII). Banyak masyarakat keturunan Jawa yang ikut andil membiayai pembangunan, renovasi, dan pemeliharaannya
15
Kota-kota besar di Suriname adalah Paramaribo, Nickerie dan Lelydorp. Pengaruh arsitektur Eropa terasa pada bangunan-bangunan di Paramaribo, kota terbesar dan pusat kegiatan komersiall di Suriname. Sebagian besar dibangun oleh Perancis dan Inggris dengan arsitektur yang unik dan mewakili jamannya. Karena itu di Paramaribo (sering disebut Parbo, nama ini juga jadi merk minuman bir lokal) terdapat sekitar 250 bangunan yang dijadikan kawasan wisata Historic Inner City yang dimasukkan sebagai cagar budaya dalam Unesco World Heritage sejak tahun 2002, termasuk kawasan pelabuhan tua Fort Zeelandia yang dibangun tahun 1640. Pelabuhan ini dibangun di sisi Sungai Suriname, sungai yang melintasi Suriname dengan panjang 480 kilometer dan bermuara di Lautan Atlantik, sebelah utara kota Paramaribo. Di sepanjang Waterkant Straat yang berada di sisi sungai, terdapat bangunan-bangunan tua yang dilindungi dan termasuk dalam UNESCO World Heritage. Dari pelabuhan kota Paramaribo pula, penduduk dapat menyeberang dengan kapal atau ferry ke distrik Commewijne yang banyak dihuni orang Jawa. Kini dengan dibangunnya Jembatan Jules Wijdenbosch yang melintasi Sungai Suriname, lalu lintas menuju distrik Commewijne dapat pula dilakukan dengan kendaraan bermotor. Di sekitar kawasan pelabuhan juga terdapat bangunan-bangunan pemerintahan penting seperti Istana Presiden dengan lapangan luas di depannya yang disebut Onafhankelijksplein (Lapangan Merdeka) serta gedung Kementerian Keuangan yang terkenal dengan bentuk menara jamnya. Kota Paramaribo memiliki luas sekitar 183km2 dengan penduduk sekitar 230.000 jiwa. Sebagian besar yang nampak di sekitar pusat perbelanjaan adalah orang-orang berkulit hitam. Tidak seluruhnya mereka adalah asli “orang hitam� (orang Creole atau Brazil), tapi banyak juga yang sudah tercampur dengan etnis India (Hindustan) yang campurannya juga nampak ‘hitam dan besar’. Termasuk juga yang campuran Jawa. Banyak keturunan Jawa yang berkegiatan di daerah kota. Karena itu di pasar besar kota Paramaribo, bisa
dijumpai pula ‘orang hitam’ yang dapat bercakap dengan bahasa Jawa. Bahkan sempat terdengar teriakan dalam bahasa Jawa untuk tawaran jurusan angkutan ke Tamanrejo diantara keriuhan bahasa Taki-taki yang terlontar di antara mereka. Kawasan perbelanjaan di Paramaribo, cukup ramai. Kendati tidak terdapat gedung-gedung bertingkat menjulang ke langit, gedung pertokoan yang baru nampak mengacu pada model-model dan teknik pembuatan bangunan masa kini. Sebagaimana layaknya kehidupan kota besar, lingkungan yang paling ramai adalah sekitar pasar, pertokoan dan pelabuhan. Kendaraan yang lalu lalang nampak didominasi oleh kendaraan roda empat. Tidak mengherankan karena di Suriname, setiap rumah memiliki mobil bahkan sebagian besar lebih dari satu mobil. Mungkin karena terik matahari yang kuat, mereka kurang menyukai sepeda motor. Yang menarik dari para pengemudinya adalah kepatuhan pada ketentuan berlalu-lintas, tahu diri dan menghargai sesama pemakai jalan. Sesekali nampak sepeda motor melintas, namun hanya sepeda motor dengan kapasitas mesin yang kecil seperti Yamaha 50cc. Mengendarai motor dengan kapasitas kecil tidak memerlukan Surat Ijin Mengemudi (SIM).
Salah satu sudut kota Paramaribo. Siang hari terasa terik dan kering.
Sesekali sepeda motor melintas di antara deretan mobil
Minibus adalah kendaraan yang banyak dipakai untuk angkutan penumpang. Termasuk angkutan yang melewati kawasan Jawa : Tamanrejo
17
BINGKAI JAWA di SURINAME
Sesaji ala Jawa disiapkan pada ritual yang berkaitan dengan leluhur Jawa
18
BINGKAI JAWA di SURINAME
JAWA DI SURINAME Pijakan kaki pertama rombongan kecil orang-orang dari
Jawa di Paramaribo pada tanggal 9 Agustus 1890, ternyata menjadi bagian penting sejarah keberadaan masyarakat Jawa di Suriname. Pengiriman pertama asal Jawa oleh pemerintah Belanda ke negara jajahannya di Amerika Selatan dimaksudkan menjadi tenaga kerja di beberapa perkebunan milik Belanda. Banyak perkebunan yang tidak terurus karena ditinggalkan oleh para budak dari Afrika setelah adanya pembebasan budak pada tahun 1863. Kepada para pekerja asal Jawa ini dijanjikan kontrak kerja selama 5 tahun dan iming-iming adanya kehidupan yang lebih baik dibandingkan kehidupan mereka di Jawa yang rendah perekonomiannya akibat bencana alam yang berdampak pada kondisi alam yang semakin menurun. Karena itu, Belanda kemudian mendatangkan orang-orang Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda) sebagai buruh murah untuk dipekerjakan di perkebunan. Tidak semua tenaga kerja ini secara sukarela dikirim ke Suriname. Banyak di antara meraka karena dipaksa, diculik atau dengan caracara penipuan lainnya. Rombongan imigran Jawa pertama, berjumlah 94 orang, dikirim oleh De Nederlandsche Handel Maatschappij dengan kapal Prins Williem II, untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marienburg. Selanjutnya pada tahun1894 datangkan lagi 582 orang dari Jawa. Kemudian terdapat perubahan. Tercatat, dari tahun 1890 hingga 1939, jumlah imigran Indonesia asal Jawa mencapai 32.956 orang menggunakan 34 kali pengangkutan.
Kala itu orang-orang jawa yang dikirim ke Suriname, sebagian besar adalah petani di desa-desa dengan pendidikan dan pengetahuan yang terbatas. Selain itu para imigran belum tentu pula sebagai tenaga kerja yang terlatih. Sedikit sekali diantara mereka yang bisa berbahasa Belanda yang menjadi bahasa pengantar di negeri jajahan Belanda dan bahasa Sranantongo yang digunakan oleh masyarakat setempat. Imigran keturunan Jawa bekerja sebagai buruh perkebunan Belanda berdasarkan sistem kontrak. Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke negara asalnya (repatriasi) bilamana telah habis masa kontraknya. Pada masa tersebut peran Belanda sebagai majikan cukup berpengaruh. Sehingga ketika sampai di ‘tanah seberang’, tak sedikit yang meneruskan pola hubungan buruh-majikan. Selain itu, pada masa pengiriman pekerja, Jawa masih di bawah kekuasaan Belanda dan pengirimannya melalui agen-agen Belanda yang mencatat imigran Jawa sebagai warga Belanda. Dalam kondisi demikian maka harapan para imigran tertumpu pada majikan mereka. Sementara itu, para majikannya lebih mengedepankan nilai hasil kerja dan produksinya dibandingkan memperhatikan standar hidup pekerjanya. Para pekerja mendapatkan rumah secara cuma-cuma untuk tinggal. Mereka bekerja di perkebunan-perkebunan dengan penghasilan sekitar 40 sen/hari untuk pekerja laki-laki, dan 30 sen/hari untuk pekerja perempuan. Sebagaimana orang perantauan, muncul kerinduan dan
19
BINGKAI JAWA di SURINAME
keinginan untuk kembali ke tanah Jawa. Upaya menabung bagi mereka yang mampu, memungkinkan untuk ‘moelih nDjowo” (kembali ke Jawa). Dalam periode tahun 1890 – 1939, tercatat 8.120 orang yang telah kembali ke tanah air. Pada tahun 1947, terjadi lagi gelombang repatriasi tercatat 1.700 orang. Repatriasi massal terakhir pada 1954, ketika sekitar 1.000 orang Jawa meninggalkan Suriname untuk kembali ke Indonesia. Sebagian pekerja Jawa ternyata ada yang memilih untuk tetap tinggal di Suriname walaupun hubungan kontrak mereka dengan pemilik perkebunan telah berakhir. Mereka tetap tinggal dan bekerja di perkebunan itu sebagai pekerja bebas. Dalam perkembangannya, masa kejayaan perkebunan ter-
Plakat yang ditempelkan pada monumen di Niew Amsterdam, di depan kantor distrik Commewijne, untuk memperingati kedatangan 94 orang imigran Jawa dengan kapal Prins Willem II (SS Koningin Emma) pada tanggal 9 Agustus 1890. Disebutkan pula bahwa rombongan (990 orang) imigran datang terakhir ke Suriname dengan kapal “Kota Gede” pada 13 Desember 1939. Monumen berbentuk ‘teklek’ (alas kaki terbuat dari kayu, orang Belanda menyebutnya Tip-tip, - samarsamar terlihat pada latar belakang plakat) dibuat dalam kaitan peringatan 30 tahun kemerdekaan Suriname, 25 November 2005.
20
Jalanan yang sepi dari Marienburg ke Paramaribo. Di sisi kanan-kiri terhampar ladang yang sebagian ditumbuhi rumput alang-alang dan sebagian lagi diolah jadi ladang
21
BINGKAI JAWA di SURINAME
ancam ketika muncul kegiatan penambangan bauksit yang dilakukan besar-besaran. Perkebunan tebu mulai merosot dan upah yang mereka terima kurang memadai, banyak pekerja, termasuk imigran Jawa, yang beralih profesi menjadi buruh industri. Pusat-pusat pertambangan bauksit seperti Moengo, Paranam dan Biliton cukup menarik perhatian mereka. Tidak sedikit yang pindah ke daerah pertambangan tersebut. Hal ini membuat daerah yang semula dikenal sebagai kawasan Jawa-karena mayoritas penduduknya keturunan Jawa, seperti Saramacca, Coronie dan Nickerie - semakin berkurang penduduknya. Yang bertahan tetap tinggal dan meneruskan kegiatan perkebunannya.
Salah satu bangunan rumah di Niew Amsterdam - Commewijne
22
Kini, masyarakat Jawa di Suriname sebagian besar berada di wilayah awal pijakan kaki leluhurnya yaitu sekitar distrik Commewijne (Niew Amsterdam, Marienburg, Tamanredjo) dan Lelydorp. Keberadaan masyarakat Jawa di Suriname, secara umum sudah membaur dengan etnis lain yang ada di Suriname. Pembauran etnis atau integrasi Jawa dengan etnis lain umumnya terjadi melalui hubungan perkawinan. Dengan banyaknya keluarga Jawa yang kawin dengan etnis lain, tidak jarang kita temui “orang hitam� yang bisa berbahasa Jawa.
Kondisi rumah-rumah di daerah Marienburg tidak jauh berbeda kondisinya dengan awal tahun 1900-an, ketika para imigran datang.
Anak-anak keturunan Jawa. Walaupun tinggal di lingkungan Jawa, sebagian besar dari mereka sulit bicara Jawa, tapi mereka mengerti.
3
Jalanan menuju komplek perumahan di Marienburg, berdebu dengan panas yang terik
Cuaca yang panas dan terasa kering mengharuskan rumah menyediakan tangki air tadah hujan
24
Identitas Jawa di kalangan imigran Jawa tidak hanya pada pemakaian bahasa dalam percakapan, atau penyelenggaraan acara adat Jawa pada kegiatan tertentu. Kelompok masyarakat Jawa menorehkan sebutan-sebutan yang akrab untuk memberi nama sesuatu, termasuk daerah dan nama jalan-jalan lingkungan mereka. Untuk nama-nama daerah misalnya Tamanrejo, Koewarasan, Wonoredjo (Moengo), atau juga Sidoredjo (Nickerie - dikenal sebagai penghasil padi terbesar di Suriname) Sedangkan untuk nama-nama jalan bisa dikenal ada nama : Poerworedjoweg, Malangweg atau juga Soekoredjoweg. Untuk penghargaan atau mengingat adanya tokoh yang cukup dikenal, maka nama sang pemuka diabadikan untuk nama jalan di daerahnya, seperti Doelahasoriweg untuk nama jalan sebuah kampung di dekat Marienburg yang dulunya terdapat orang berpengaruh bernama Doelah Asori.
BINGKAI JAWA di SURINAME
Mesjid di Marienburg
Mesjid di daerah Koewarasan
Peran penting kedatangan imigran Jawa diantaranya adalah pengaruhnya pada keberadaan Islam di Suriname. Imigran Jawa datang ke Suriname berbekal pemahaman agama Islam yang diyakininya di Jawa. Mereka menganggap kiblat Kabah ada di barat sebagaimana mereka pahami selama di Jawa, dan melakukan sholat dengan kiblat arah barat. . Ketika terjadi kontak dengan kelompok Muslim India pada tahun 1930-an, sebagian mulai menyadari bahwa dari Suriname letak Kaabah (kiblat) adalah di timur. Karena itu kelompok baru ini disebut wong madhep ngetan (orang kiblat ketimur) dan mereka yang meyakini kaabah ada di barat disebut wong madhep ngulon (orang kiblat ke barat).
26
Pasar Sauna yang banyak dikunjungi masyarakat Jawa, hadir tiap minggu pagi.
Pasar tempat berkumpulnya ‘orang jawa’ di Paramaribo di antaranya adalah di Pasar Sauna, tidak jauh dari Gedung Sana Budaya. Pasar ini dibuka dan ramai pengunjung pada hari Minggu. Semua pedagangnya adalah warga keturunan Jawa, sebagian menggunakan bahasa Jawa untuk melayani pelanggan, namun sebagian besar menggunakan bahasa Belanda dan Sranantongo.
Agaknya Pasar Sauna, tidak hanya dikenal di Paramaribo, namun juga sampai ke Belanda, terutama warga Jawa Suriname yang berada di Belanda. Konon, sebagian menyebutkan bahwa nama Sauna berasal dari nama pedagang pertama yang ada di areal pasar itu : mBok Saonah. Di pasar ini dijual sayur mayur, ikan asap, makanan dan kue kering seperti yang banyak kita temui di Jawa, serta beberapa masakan dengan nama-nama Jawa.
27
BINGKAI JAWA di SURINAME
Daftar makanan Jawa plus harganya dalam SRD (Suriname Dollar) Dawet dengan rasa manis
Selain penggunaan bahasa Jawa, khususnya di distrik Commewijne yang merupakan kantong Jawa, makanan khas Jawa juga cukup dikenal. Kini masakan Jawa menjadi menu makanan Suriname. Dengan pengetahuan resep dan bahan makanan yang tersedia, beberapa warga Jawa mengembangkan aneka makanan Suriname ala Jawa. Masakan dan jajanan Jawa bisa ditemui di warung-warung Jawa bahkan di tenda-tenda di pinggir jalan di Paramaribo. Penduduk Suriname non Jawa juga menyenangi makanan dan jajanan Jawa seperti Tjenil, Ketan kukus, Lontong Djangan (Lontong Sayur), dan aneka masakan Jawa lainnya.
28
Salah satu makanan favorit ala Jawa. Tahoe Lontong dengan kuah bumbu kecap
Orang ‘hitam’ Suriname belanja makanan ala Jawa di kios tenda ‘Tjenil’ (cenil) dibuat dari pati ketela pohon (singkong). Dibentuk bulat-bulat kecil seukuran kelereng, biasanya diberi warna merah, hijau atau kuning, kemudian direbus. Memakannya ditaburi parutan kelapa dan gula pasir. Dimakan terasa kenyal dan biasanya disajikan di pagi hari.
29
BINGKAI JAWA di SURINAME
Menu makanan ala Jawa di etalase aneka masakan, termasuk mie instan dari Indonesia. Harga makanan dicantumkan dalam Dolar Suriname (SRD)
Jajanan atau kue kering yang juga banyak ditemui di toko kue dan pasar di Indonesia
30
BINGKAI JAWA di SURINAME
Pemilik ‘Warung Toetie’ menjelaskan bentuk awal warungnya dan rencana pemerintah untuk meningkatkan mutu jalan serta perbaikan warungnya
Masakan atau makanan ala Jawa dijual di kedai-kedai Jawa yang sebagian besar menggunakan sebutan “Warung”. Tidak hanya warung-warung kecil, restoran besar juga menyediakan masakan ala Jawa dalam menu makanannya. Di Tamanrejo, terdapat warung yang cukup terkenal yaitu Warung Toetie. Warung ini dimiliki oleh warga keturunan Jawa dan tetap menyajikan masakan ala Jawa, seperti Pecel, Rawon, minuman Dawet dan jajanan lainnya. Waroeng Toetie agaknya menjadi ikon Jawa di Tamanrejo. Setiap warga Jawa atau orang Indonesia yang datang ke Suriname, selalu dikenalkan dengan warung ini. Uniknya lagi, dalam rangka pengembangan dan pelebaran jalan raya di depan warungnya, pemilik warung diajak berembug agar juga memperbaiki penampilan warungnya disesuaikan dengan pengembangan jalan raya.
Pitjel atau pecel di Suriname
‘Warung Toetie’ setelah renovasi
Promosi sebuah restoran yang menyediakan masakan Jawa
31
BINGKAI JAWA di SURINAME
Belanja ‘ikan malam’ (bhs. Jawa : iwak ndalu) - ikan asap - di Pasar Sauna, Paramaribo
32
BINGKAI JAWA di SURINAME
Sendrick Sonomejo sudah 5 tahun menggeluti pembuatan ikan malam di Doelahasoriweg, Marienburg. Dengan pengalamannya dia bisa memilih ikan ‘kuma-kuma’ yang baik untuk diolah menjadi ‘ikan malam’. Bersama dua temannya, dia bekerja 5 hari dalam seminggu dengan upah masing-masing 400SRD/minggu.
Pagi hari, para pengolah ‘ikan malam’ disibukkan dengan penimbangan ikan yang dipasok oleh nelayan sekitar Marienburg untuk diasap siang harinya.
Salah satu mata pencaharian penduduk sekitar Marienburg adalah membuat dan menjual ikan asap atau disebut warang fisi (warang=panggang, fisi = ikan) . Di kalangan mereka juga dikenal dengan nama ‘ikan malam’ atau di’jawa’kan jadi ‘iwak ndalu’. Proses pembuatannya dilakukan terlebih dahulu membersihkan dan membuang isi perutnya, menjemur sampai setengah kering, kemudian dipanggang atau diasap selama 6 jam. Pemanggangan ikan dilakukan mulai siang hingga malam hari. Esoknya ikan tersebut sudah dijemput olah para pedagang dari pasar-pasar di kota. Dari kegiatan ini mereka mendapatkan keuntungan sekitar 100% dari harga pembelian ikan mentahnya. Dengan harga ikan basah jenis ikan ‘kuma-kuma’ (bentuknya seperti ikan lele)sekitar 5SRD/kilo, setelah diasap dijual 10 SRD/kilo dan di pasar bisa dijual dengan harga 13 SRD/kilo.
33
FOTO : ADE DEDDY KURNIAWAN/SURINAME FOTO : ADE DEDDY KURNIAWAN/SURINAME
34
Upaya untuk menjaga kekerabatan keturunan Jawa serta menampakkan eksistensinya dalam percaturan pemerintahan, dibentuk beberapa perhimpunan keturunan Jawa yang bergerak di bidang kebudayaan dan olah raga di antaranya Perhimpunan untuk Mengenang Imigran Jawa atau Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI) yang didirikan pada tanggal 15 Januari tahun 1985. Dengan semangat mengenang itu pula, tahun 1990, VHJI membangun monumen setinggi 9 meter dengan wujud gunungan dengan dua tema relief di kedua sisinya. Satu sisi menggambarkan kehidupan kerja imigran Jawa di perkebunan, sedang sisi lain menggambarkan kesenian-kesenian jawa yang dikembangkan di Suriname. Monumen tersebut terletak di dekat gedung Sana Budaya. Gedung Sana Budaya digunakan sebagai sarana bagi masyarakat Suriname keturunan Jawa untuk mengadakan berbagai kegiatan kesenian agar mereka dapat melestarikan budaya dan tatakrama Jawa. Gedung ini dibangun secara bertahap melalui bantuan Pemerintah Indonesia menghadiri pada peringatan 100 tahun imigrasi orang-orang Jawa ke Suriname yang diselesaikan pada tahun 1995.
BINGKAI JAWA di SURINAME
Soeki Irodikromo, seniman lukis/patung/batik serta budayawan Suriname, perancang bangun Monumen Sana Budaya. Mengembangkan seni Batik di Suriname setelah setahun belajar membatik di STSRI ‘ASRI’ (sekarang ISI) Yogyakarta, tahun 1979.
Terkait dengan bangkitnya keturunan Jawa melalui perhimpunan dan partai-partai Jawa dalam percaturan politik, sejak kemerdekaan Suriname 1975, beberapa tokoh partai politik keturunan Jawa tampil dalam pemerintahan. Dari hasil Pemilu 1977, terdapat 4 anggota Parlemen dari keturunan Jawa. Pada tahun 1991, tiga jabatan menteri dipegang oleh warga Jawa dan delapan orang duduk di parlemen. Pada masa pemerintahan presiden Jules Wijdenbosch (1996) terdapat 6 menteri serta 1 deputi menteri, serta 9 anggota parlemen keturunan Jawa. Bahkan dari hasil Pemilu 2005, terdapat 8 orang keturunan Jawa di parlemen dan jabatan tertinggi negara yaitu Ketua Parlemen di pegang oleh keturunan Jawa, Paul Salam Sumohardjo. Saat ini terdapat 6 menteri dalam pemerintahan Suriname yaitu Menteri Perdagangan dan Industri, Michael Miskin; Menteri Dalam Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto; Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat, Hendrik Sorat Setro Widjojo.
Kedekatan masyarakat Jawa dengan kenangan leluhurnya tetap diupayakan beberapa acara pertemuan keluarga untuk menjaga hubungan antar keluarga dan kekerabatan. Dalam pertemuan disebarkan informasi hubungan kekerabatan dengan ‘keluarga’ terkait. Raymond Soegiman Nojoredjo - tinggal di Lelydorp, membuat catatan silsilah keluarganya di Suriname. Sampai kini terdapat 108 keluarga yang terkait hanya dari garis dia, belum termasuk keluarga istrinya
35
Agar generasi berikutnya tidak melupakan Jawa sebagai bagian sejarah leluhurnya dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah menyebarkan “bunyi-bunyi� Jawa melalui radio berbahasa Jawa yang berkumandang 24jam penuh dan seluruhnya menggunakan bahasa Jawa, serta siaran televisi yang dimiliki oleh keturunan Jawa yang menyiarkan program-program berbahasa Jawa. Di Suriname terdapat 3 stasiun radio dan televisi ( Garuda, Mustika dan Pertjajah) yang semuanya milik keturunan Jawa dengan materi siaran Jawa. Dengan cara ini diharapkan generasi muda keturunan Jawa tetap dapat mengenal “Jawa� kendati mereka sebenarnya adalah orang Suriname dengan bahasa dan budaya lokal Suriname yang menggunakan bahasa Taki-taki atau Sranantongo (lingua franca Suriname) selain bahasa Belanda sebagai bahasa resmi.
Radio Garuda dengan materi siaran 24 jam, seluruhnya berbahasa Jawa.
Edward Kasimoen, penyayi Suriname yang berbahasa Jawa juga penyiar di Radio Garuda.
36
Iklan berita perkawinan disiarkan melalui televisi, lengkap dengan acara hiburan yang akan disajikan. Pemasang iklan dikenai biaya 40SRD untuk tayangan sekitar 3 menit, atau sepanjang 1 lagu Jawa yang melatari tayangan iklan.
BINGKAI JAWA di SURINAME
Remaja keturunan Jawa dalam acara berdisko malam minggu di Sport Hall Indra Maju. Acara ini dikelola oleh kelompok Garuda Entertainment dengan harga tiket 7,50SRD/orang.
Remaja keturunan Jawa di Suriname, lahir sebagai orang Suriname dengan bahasa Sranantongo sebagai bahasa pergaulan dengan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi. Mereka bergaul dengan remaja etnis lain, berbaur dalam pergaulan masa kini. Namun demikian mereka masih bisa mengerti bahasa Jawa, menggemari lagu-lagu Jawa dan bahkan ada yang menyipta lagu berbahasa Jawa dengan dalam hentak musik rap atau hip-hop yang disukai ‘orang-orang hitam’.
Lureen Wirjoinangoen, keturunan Jawa menemani ‘pacar’nya Gilbert Harry menyunting lagu melalui perangkat komputer di rumahnya. Lagu-lagu karya Gilbert Harry cukup dikenal di Suriname termasuk lagu ‘Jawa Sayang’ yang bernafaskan rap dan hip-hop. Kedua remaja ini mengaku mereka menjalani kehidupan bebas ala Suriname.
37
Beberapa bentuk kesenian yang dibawa oleh para imigran Jawa, sebagian besar adalah kesenian yang dikenal di daerah asalnya. di antaranya adalah Wayang Kulit, Ludruk yang dikenal dengan nama kabaret karena pemainnya adalah para laki-laki berperan perempuan, juga Jaran Kepang (Kuda Lumping). Pertunjukan kesenian merupakan salah satu kesenian asal jawa seringkali ditampilkan pada acara-acara hajatan, perayaan-perayaan, dan ada juga yang memang ditampilkan sebagai tontotan berbayar. Kelompok Jaran Kepang yang terkenal adalah Trimo Budi Sangtoso dari daerah Koewarasan, salah satu kantong keturunan Jawa.
Pengumuman pertunjukan ‘Djaran Kepang’ di pinggir jalan di Tamanredjo.
Suasana di ruang rias, persiapan pertunjukan. Di antara pemain nampak keturunan Jawa campuran etnis Kreol
Pertunjukan Jaran kepang di halaman Gedung Sana Budaya. Termasuk “Djogetan Wiring Kisruh” (tarian kelompok).
BINGKAI JAWA di SURINAME
Plaza di lapangan depan Istana Presiden Suriname tempat dikibarkannya bendera-bendera negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Suriname, termasuk Republik Indonesia dengan bendera Merah Putihnya.
40
BINGKAI JAWA di SURINAME
INDONESIA-SURINAME Hubungan Indonesia - Suriname secara diplomatik dibuka tak lama setelah Suriname mendapatkan kemerdekaaannya dalam tahun 1975. Ikatan sejarah dan latar budaya sebagian penduduk Suriname menjadi alasan kuat dibukanya hubungan diplomatik Indonesia - Suriname. Dengan eratnya hubungan kedua negara, berbagai kegiatan dalam bidang pendidikan dan budaya dilakukan secara intensif. Kedekatan budaya pula yang melandasi penandatanganan kerjasama dalam bidang kebudayaan antara Indonesia dan Suriname pada 15 Oktober 1997. Bidang sosial budaya memberikan kontribusi yang sangat penting dalam meningkatkan hubungan bilateral Indonesia - Suriname di berbagai bidang. Melalui pendekatan sosial budaya, diharapkan dapat mempermudah hubungan di bidang lainnya. Diantara implementasi kerjasama tersebut adalah dilaksanakan berbagai kegiatan, yang diselenggarakan atas kerjasama dengan pemerintah setempat maupun dengan berbagai organisasi kemasyarakatan non-pemerintah, termasuk pengiriman tenaga pelatih bahasa Jawa, gamelan/karawitan, tari Jawa dan kontemporer yang dilaksanakan melalui Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta dalam tahun 2005. Keeratan hubungan ini diperkuat pula dengan dilaksanakannya sidang-sidang Komisi Bersama Indonesia-Suriname April 2003 (Paramaribo), November 2004 (Yogyakarta), Mei 2007 (Paramaribo) dan November 2009 (Solo)
Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Suriname, alamat : Van Brussellaan #3, Uitvlugt, Paramaribo, Suriname.
41
BINGKAI JAWA di SURINAME
Penandatanganan perjanjian di ruang kerja Direktur Kebudayaan Kemeterian Kebudayaan Suriname, Stanley Sidoel, salah satu petinggi Suriname dari keturunan Jawa
Guna lebih meningkatkan hubungan kerjasama IndonesiaSuriname khususnya dalam bidang kebudayaan, telah ditandatangani Perjanjian Kerjasama bidang Kebudayaan Indonesia-Suriname untuk tahun 2011-2013. Penandatangan dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Wardiyatmo, dengan Direktur Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Republik Suriname, Stanley Sidoel.
42
BINGKAI JAWA di SURINAME
DOK. KEMBUDPAR RI
Kunjungan kehormatan kepada Menteri Dalam Negeri Suriname, Suwarto Moestadja
DOK. KEMBUDPAR RI
Kunjungan kehormatan kepada Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Suriname, Raymond Sapoen
Pertemuan Delegasi RI yang dipimpin oleh Prayono Atiyanto dengan Jane Aarland-Nanhu, Permanent Secretary - Kementerian Luar Negeri Suriname.
43
BINGKAI JAWA di SURINAME
FOTO : GANDUNG LKARDIONO
Wawancara dalam rangkaian jumpa pers di pendopo gedung KBRI Suriname
Mantan Ketua Parlemen Suriname, Paul Salam Sumohardjo bersama Direktur Amerika Selatan dan Karibia, Kementerian Luar Negeri RI, Prayono Atiyanto dalam Javanese Community Gathering
44
Kunjungan kehormatan kepada Gubernur District Commissioner Commewijne, H. Soekimo.
Kegiatan Indofair 2010 dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Wardiyatmo, disaksikan oleh Menteri Perdagangan dan Industri Republik Suriname, Michael Miskin; KUAI KBRI Suriname, Endah Rachmi Yuniati; dan Sekretaris Direktorat Jenderal Amerika-Eropah, Kementerian Luar Negeri, Ridwan Hassan.
Sejak tahun 1990, Indofair diselenggarakan setiap tahun oleh KBRI Suriname sebagai ajang promosi produk Indonesia di Suriname, sekaligus merupakan bentuk promosi bersama dalam kaitan kerjasama bilateral. Indofair dilaksanakan di areal Gedung Sana Budaya - Paramaribo. Selain pameran juga ditampilan berbagai atraksi seni budaya seperti musik, tarian serta pentas halaman (kuda lumping dan reog). Suasana dalam Gedung Sana Budaya saat Wardiyatmo memberikan sambutan pada pembukaan Indofair 2010
45
Pada Indo Fair 2010, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menggelar promosi pariwisata Indonesia dan kampanye ‘Vote Komodo’ serta memamerkan foto-foto tentang pembangunan Jakarta dan kegiatan senibudaya di Indonesia. Banyak diantara pengunjung selama ini beranggapan bahwa Indonesia belum mengalami kemajuan pembangunan. Mereka terkesan dengan adanya foto-foto gedung-gedung pencakar langit.
Di ruang pamer KBRI Suriname pengunjung mencari nama leluhurnya dalam buku Historiche Database van Suriname yang memuat nama-nama para pekerja kontrak asal Jawa. Buku ini disusun oleh Maurits Hassankhan dan Sandew Hira. Selain dalam buku yang masih disimpan oleh KBRI Suriname, database pekerja juga bisa diakses melalui internet.
46
BINGKAI JAWA di SURINAME
Suasana ‘Jawa’ dengan aneka ‘warung’
Acara pasar malam IndoFair selain untuk belanja dan mendapatkan hiburan, digunakan juga sebagai ajang pertemuan antar warga keturunan Jawa
BINGKAI JAWA di SURINAME
Bob Saridin, pemilik usaha Sri Abadi Trading, Suriname, menginginkan masuknya produk berteknologi dari Indonesia, bukan produk-produk yang sudah diimpor oleh pelaku bisnis Suriname seperti batik, kerajinan dan produk mebel.
Produk mie instan dari Indonesia juga diminati oleh masyarakat Suriname. Pada acara pasar malam Indo Fair, Indomie Instan dijual dengan harga 1SRD/bungkus.
48
Baju batik juga digunakan sebagai pakaian untuk pertemuan resmi di kalangan keturunan Jawa.
Rekaman Pentas Budaya
Foto bersama para pendukung acara pada akhir pementasan di Thalia Theatre
Workshop tari untuk remaja di Suriname oleh Tim Budaya Kembudpar RI di Gedung Sana Budaya - Suriname
Bagian penting lainnya dalam Misi Kebudayaan ke Suriname adalah pementasan beberapa tarian yang dibawakan oleh seniman tari dari Indonesia. Pentas tari dilaksanakan di Gedung Sana Budaya dan Thalia Theatre. Sesuai dengan kondisinya, pentas di Sana Budaya terbuka untuk umum, sedangkan di Thalia Theatre ditampilkan lebih khusus pada undangan yang terdiri atas tokoh dan pemuka masyarakat Suriname serta pelaku bisnis produk Indonesia. Masyarakat Suriname antusias menyaksikan kelincahan dan gemulai para penari Indonesia yang tampil dalam tari-tarian : Gebyar Batik, Krincing Mas, Dwimuko Jepindo, Bambangan Cakil dan sendra tari petikan Sinta Hilang dari kisah Ramayana. Dalam acara-acara tersebut ditampilkan pula penyanyi untuk lagu-lagu Jawa, peragaan batik karya desainer dari Yogyakarta serta tarian yang dibawakan oleh tim kesenian KBRI Suriname.
Sajian musik Angklung dari anak-anak KBRI Suriname
50
Dyantie Legiman(KBRI Suriname) bernyanyi diiringi permainan Angklung anak-anak KBRI Suriname
51
BINGKAI JAWA di SURINAME
Tari Tempurung dari tim tari KBRI Suriname
52
Tari Bali di Thalia Theatre dari anak-anak KBRI Suriname
Tari Suriname di Thalia Theatre, tim tari KBRI Suriname
Ni Luh Made Agustini, lulusan Jurusan Tari ISI Yogya (1994), aktif melatih tim kesenian KBRI Suriname. Di antara karya tarinya adalah Tari Suriname, Tari Bali, Tari Tempurung yang dipentaskan dalam program Misi Kebudayaan, 2010
53
Penari wanita : Putria Retno Pudyastuti l Paranditya Wintarni l Antis Tri Cahyani l Nurul Dwi Utami l
54
Tari Gebyar Batik di Thalia Theatre
Tari Gebyar Batik di Sana Budaya
Tarian Dwimuko Jepindo, menggambarkan dua gerak tari (Jepang dan Indonesia) dengan keindahan gerakan dan kostum
Gerak tari Bali khas Didik Nini Thowok
Rangkaian Tari Jenaka dengan topeng-topeng menggambar ekpresi yang lucu
Didik Nini Thowok, menampilkan beberapa tarian dalam satu rangkaian (medley) yang memukau dan membuat penonton tergelak melihat gerakan yang luwes serta tampilan topeng yang jenaka.
57
Tari Kerincing Mas, meriah, lincah, energik di pentaskan di Sana Budaya dan Thalia Theatre
BINGKAI JAWA di SURINAME
Tari Bambangan Cakil, di Sana Budaya dan Thalia Theatre
59
60
Petikan sendratari Ramayana pada episode : Sinta Hilang
Penari Pria : Anter Asmorotedjo l Satriyo Handriyatno l Agung Pujo Widodo l
61
Peragaan kreasi Batik karya Bambang Sumardiyono, dibawakan oleh tim KBRI Suriname
62
Yan Velia di Thalia Theatre Yan Velia di Sana Budaya
Lagu-lagu berbahasa Jawa yang digubah dan dinyanyikan oleh penyanyi Indonesia maupun penyanyi Suriname juga digemari masyarakat Suriname. Banyak artis penyanyi lagulagu Jawa (campur sari) dari Indonesia yang telah dikenal masyarakat Suriname, seperti Didi Kempot, Mus Mulyadi, Yan Velia, dan lain-lain.
BINGKAI JAWA di SURINAME
DEMIKIANLAH ... Puji syukur saya kepada Allah SWT yang memberikan rahmatNya sehingga segala yang diamanatkan dalam penugasan dapat dirampungkan. Demikianlah catatan yang saya buat dalam rangkaian Misi Kebudayaan yang dilaksanakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia ke Republik Suriname, pada akhir September 2010. Semula terbayang Suriname adalah negara Jawa yang jauh di sana. Saya bayangkan demikian Jawa-nya sampai Didi Kempot terkenal di sana. Ternyata tidaklah demikian. Ada Jawa tapi bukan Jawa. Mereka orang Suriname. Dari perjalanan sejarahnya, Jawa sudah menjadi bagian integral Suriname. Suriname adalah Suriname dan Jawa ada di dalamnya. Sebagai bagian dari rombongan, maka kesempatan untuk mendapatkan gambar-gambar di Suriname adalah kala waktu luang di antara jadwal padat pertemuan, kunjungan dan pertunjukan kesenian. Syukurlah saya sempat keluar penginapan pada subuh hari untuk merekam secuil bagian kota Paramaribo, termasuk jembatan Jules Wijdenbosch dengan ‘sunrise’nya. Lantas ke dusun-dusun di distrik Commewijne disusuri tengah hari. Cuaca rata-rata cerah, matahari terasa menyengat. Di kota Paramaribo, sekitar pukul 09.00 waktu setempat, sinar matahari sudah membuat bayangan gedung terlihat hitam. Kontras berat dengan dinding-dinding bangunan yang rata-rata berwarna putih. Langit yang bersih dan biru selalu nampak pagi hari. Tak perlu menggunakan filter CPL untuk menambah biru langit. Filter CPL yang terpasang hanya dimanfaatkan untuk mengurangi pantulan cat-cat bangunan yang dikhawatirkan membuat kontras terlalu tinggi.
64
Lensa zoom pendek (17-40mm) hampir selalu tertancap di kamera. Kesempatan lain yang dimanfaatkan adalah sepanjang perjalanan ketika duduk dalam kendaraan di sisi jendela. Jadilah ‘turis jendela’ yang memotret aktivitas kota dari jendela mobil. Dan pada kesempatan ini, kamera kecil (pocket) lebih banyak beraksi dibanding yang besar (DSLR). Ada keinginan dan ambisi untuk membuat buku ini tampil memuaskan banyak pihak. Tapi untuk mencapainya tentulah masih banyak yang harus disempurnakan. Selanjutnya, atas penugasan ini, terima kasih saya sampaikan
BINGKAI JAWA di SURINAME
Tim Misi Kebudayaan ke Suriname, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata - Republik Indonesia bersama para pendukung kegiatannya.
IMAM HARTOYO imam@pandureka.com
kepada Biro Kerjasama Luar negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yang membuat saya ikut menyaksikan dan merekam Misi Kebudayaan ke Suriname. Juga kepada seluruh teman se-rombongan yang membuat saya terasa nyaman dalam perjalanan. Dan harapannya adalah semoga catatan kecil ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Salam, Imam Hartoyo
Serius di dunia fotografi mulai tahun 1979 dan bergabung dengan klub fotografi di Bandung. Sambil belajar di jurusan Senirupa - IKIP Bandung (sekarang UPI Bandung), aktif menulis seni budaya dan fotografi di beberapa media cetak, termasuk Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung. Tahun 1984, bekerja jadi PR Officer di PT Modern Photo Film Co. (FUJI FILM) dengan tugas membina hubungan dengan klub-klub fotografi di Indonesia serta penyelenggaraan pameran promosi FUJI FILM. Kemudian 19901994, aktif di Majalah EKSEKUTIF sebagai Redaktur Foto. Sekarang menjalankan usaha sendiri, menekuni pengertian yang lebih luas tentang fotografi, membuat foto, menulis catatan budaya dan perjalanan di beberapa media publikasi. Perlengkapan untuk Suriname : Kamera : Canon 5D, Canon 30D, Canon G-11 Lensa : Canon EF 17-40mm f/4L, EF 24-105mm f/4L IS, EF 70-200mm f/2.8L Memory : CF Sandisk 2Gb (2 buah), 4Gb (2 buah), SD Sandisk 8Gb (dalam G-11) Lain-lain : Filter CPL, Nexto ND2700 (120Gb), Pena pembersih lensa.
65
MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN
© 2010. All rights reserved. KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA Jl. Medan Merdeka Barat no. 17 Jakarta 10110. Telp. 021-3838552 Fax. 021-3451883. Website : www.budpar.go.id