Buletin Fiesta
Bulfest! Seputar Pentas Festival Teater Sastra Indonesia
Vol. 01 2013/2014
Boleh dibaca berkali-kali. Boleh diunduh berkali-kali. Boleh disebar sebanyaknyabanyaknya ke mana pun. Boleh dicetak. Boleh diberi saran. Boleh dibuat lagi tahun depan. Boleh dibaca siapa pun. Boleh dijadikan bubur kertas setelah dibaca. Hanya saja, tidak boleh diperjualbelikan. Kecuali memang tersedia di warung-warung rokok atau di warteg di sekitar kamu, silakan dibeli. Satu lagi. Jangan digunakan untuk merugikan orang lain, apa pun bentuk dan niatnya. Selamat membaca!
Dari Redaksi
Salam sastra! Mungkin sudah menjadi alamatnya Festival Teater Sastra Indonesia (Fiesta) selalu berlangsung berdekatan dengan penghujung tahun; menjadikan dirinya sebagai salah satu acara yang membuat marak penyambutan tahun baru. Pada 2013-2014 ini, Fiesta telah menggapai usianya yang keenam. Fiesta 6 diikuti oleh sebagian besar mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang tengah menginjak semester 5. Kawan-kawan 2011 terbagi menjadi 10 kelompok teater, yakni Teater Cakra, Teater Obor, Teater Kobra, Teater Gong, Teater Masnasrul, Teater Oh, Teater Jati, Teater Kara, Teater Lumos, dan Teater Sapulidi. Tiap sepanjang Kamis, mereka menyulap panggung Aula S menjadi bermacammacam latar, mengalunkan beragam musik pengiring, membubuhkan make up berbeda, dalam membawakan naskah dengan arwah yang berbeda. Setelah menuntaskan kerja kreatif mereka di hadapan juri, maka sampailah pada Penganugerahan Fiesta Award VI. Tiada risau yang perlu dibawa jauh, sebab semua peserta Fiesta adalah manusia-manusia tangguh yang telah memenangkan prosesnya masingmasing. Mari rayakan pencapaian kita bersama! Selamat tahun baru, selamat liburan, selamat semester baru, semangat berkarya!
Tim Redaksi Pemimpin Redaksi: Shelma Aisya | Penyunting: Juanda Rizki, Andrall Intrakta DC | Redaktur: Andrall, Dianovka Kusumastuty, Galeh Pramudianto, Ghea Rezitha Artha, Mahfuz Imam, M. Aji Saputra | Dokumentasi: Juanda, Waluyo, Fiesta 6 | Perwajahan: Amlehs
Sekapur Sirih
Fiesta, Mengembangkan Mata Kuliah Drama Lewat Festival
Saya bahagia bisa mengampu mata kuliah Apresiasi Drama sejak 2008. Saat itu saya mengusulkan pada jurusan agar bisa didampingi oleh seorang praktisi teater. Dengan memiliki rekan, saya bisa mengajar seluruh kelas Apresiasi Drama pada semester tersebut (biasanya 5-7 kelas), sekaligus bisa mengadakan ujian akhir semester bersama dalam bentuk festival yang kemudian diberi nama Festival Teater Sastra Indonesia. Usulan itu diterima. Tahun 2008-2010 saya dibantu Pak Edi Sutarto, MPd., dari Teater Koma. Tahun 2011 hingga kini saya sangat dibantu Pak Madin Tyasawan, SPd., yang juga merupakan Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Ujian akhir dalam bentuk "Festival Teater Sastra Indonesia" (Fiesta) mengharuskan mahasiswa membuat pertunjukan teater atau drama secara kelompok di akhir perkuliahan. Diharapkan dengan penugasan ini mahasiswa mampu mementaskan sebuah naskah drama secara profesional. Melalui proses pembelajaran di dalam maupun di luar kelas, mahasiswa akan memahami, merasakan, dan melakukan manajemen seni pertunjukan dan manajemen teater/drama secara utuh, mulai dari sosialisasi dan adaptasi kelompok sampai dengan tata pentas yang meliputi penataan cahaya, penataan kostum, penataan rias, penataan musik, penataan seting/panggung, akting pemain, sampai pada kerja manajemen panggung dan penyutradaraan serta manajemen pertunjukan. Untuk tercapainya hal-hal tersebut dibutuhkan proses latihan di luar jam tatap muka perkuliahan. Oleh karena itu tiap kelompok di dampingi oleh “mentor�. Mentor adalah mahasiswa yang dipilih oleh dosen pengampu dengan kriteria mampu, memiliki dedikasi serta pernah masuk sebagai nominator dalam Festival Teater Sastra Indonesia (Fiesta) yang diadakan kelas Apresiasi Drama tahun sebelumnya. Proses latihan tetap dalam kontrol dosen pengampu. Biaya proses kreatif ini mandiri, dibantu dosen pengampu secara pribadi, namun setiap kelompok diperkenankan melakukan pengadaan dana melalui
rekrutmen sponsor, donatur, maupun tiket pertunjukan. Hal ini seluruhnya tetap dalam kontrol dan bimbingan dosen pengampu. Seperti yang disebutkan di atas, penyelenggaraan festival didahului oleh karnaval seluruh kelompok teater sebagai bentuk sosialisasi pementasan. Karnaval ini minimal dilakukan keliling UNJ, bahkan sambil berjualan tiket pertunjukan (di samping ada ticket box). Setelah berlangsungnya festival, diadakan Malam Penghargaan Fiesta Award yang dimirip-miripkan dengan Malam Penghargaan Piala Oscar. Dewan Juri yang terdiri dari dua dosen pengampu dan satu praktisi teater dari luar akan memilih 15 kategori pemenang, di antaranya aktris/aktor, sutradara, pemeran pembantu pria/wanita, penata cahaya, penata musik, penata artistik, penata rias, penata busana, poster, teater terbaik, dan lain-lain. Hingga tahun 2013 ini, sekitar 80 teater telah terbentuk dan sekitar 1000 mahasiswa menjadi pegiat teater baru dalam Festival Teater Sastra Indonesia (Fiesta). Dalam mempelajari drama/teater mahasiswa sampai pada kesadaran bahwa sesungguhnya mereka sedang belajar kehidupan itu sendiri. "Kehidupan" yang mampu mengasah karakter mereka menjadi lebih baik. Secara guyon beberapa dari mereka pernah berkata bahwa meski cuma 2 SKS, sesungguhnya mata kuliah drama adalah mata kuliah dengan SKS tak terhingga yang akan terus menuntun mereka dan bisa mereka praktikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Dampak lain adalah meningkatnya kepercayaan diri mahasiswa secara signifikan. Mereka menjadi lebih berani tampil. Mahasiswa yang tadinya tampak tertutup dan mengikuti kuliah sekadarnya, menjadi lebih percaya diri, kian ekspresif, terlibat penuh dalam tiap kuliah, bahkan mampu meningkatkan prestasi mereka. Sikap empati para mahasiswa terhadap orang lain dan sekitar tumbuh pesat bersama dengan kuliah ini. Hal tersebut itu tampak nyata pada proses mempersiapkan pertunjukan sebagai ujian akhir yang berlangsung selama hampir satu semester. Penganugrahan Piala Fiesta (Fiesta Award) menjadi hal yang tak bisa dilupakan mahasiswa. Hasil penjurian atas 15 kategori bisa sangat tak terduga karena persaingan ketat mahasiswa untuk tiap kategori nominasi yang diperebutkan. Sejak tahun 2008, Fiesta
Award menjadi salah satu acara mahasiswa paling meriah, melibatkan 10-16 teater dan digelar selama sebulan di kampus. Dampak lainnya dari kuliah ini, para mahasiswa terus berproses meski kuliah sudah selesai dan masing-masing telah mendapatkan nilai. Mereka yang dulu tak pernah berpikir untuk berkecimpung di dunia teater, kemudian memiliki kebutuhan untuk berteater dan meningkatkan aktivitas bersastra. Jadilah di jurusan kami banyak berdiri teater. Tak jarang pula yang kemudian bergabung dengan teater profesional seperti Teater Koma maupun teater lainnya. Ada pula yang langsung (diterima) membantu mengajar ekstra kurikuler teater di sekolah-sekolah. Untuk menampung minat dan bakat mahasiswa saya dan Pak Edi Sutarto mengusulkan dibentuknya Bengkel Sastra UNJ (Bengsas), tahun 2008 sebagai laboratorium sastra/teater di jurusan, yang disambut baik oleh jurusan. Rapat Tim Sastra di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia pada akhir 2013 lalu, merekomendasikan mata kuliah ini menjadi 4 sks dan diubah namanya menjadi Mata Kuliah Teater, dengan tetap mempertahankan sistem festival seperti sekarang. Ke depan, saya berharap festival ini bukan saja menjadi tradisi jurusan kita, namun juga bisa diadakan oleh UNJ di tingkat provinsi atau nasional. Tapi tentu saja sebelumnya jurusan, fakultas, hingga universitas bisa menyediakan satu saja gedung pertunjukkan yang memadai untuk dipakai, tidak sekadar Aula S yang sangat minimalis. Semoga.
Dosen Pengampu Apresasi Drama, Helvy Tiana Rosa
Juri Festival Teater Sastra Indonesia (FIESTA) 6
Helvy Tiana Rosa Sastrawan, Pendiri Bengkel Sastra UNJ
Madin Tyasawan Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta.
Ahmad Mulyadi Ketua Bengkel Sastra UNJ Periode 2011-2012, Sekjen IMABSII 20102012
Membangun Karakter Melalui Teater
Judul yang telah dibaca di atas, terlalu bombastis atau mungkin begitu realistis?
Demikian semboyan Fiesta 6. Festival Teater Sastra Indonesia yang sudah digelar keenam kalinya, memang mata kuliah yang banyak mendapat perhatian di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tanpa mengesampingkan mata kuliah lainnya. Teater adalah media yang tepat untuk mahasiswa menampilkan kreativitas kesenian secara kompetitif sehingga mendidik generasi muda yang seimbang antara logika, etika, dan estetika. Menanamkan karakter bisa melalui berbagai media, dan teater adalah salah satunya. Berbicara tentang teater tidak melulu soal bagaimana menampilkan pertunjukan yang ‘wah’. Tapi di teater kita juga diajarkan nilai-nilai kemanusian. Seperti bagaimana menghargai peran yang akan dibawakan. Dengan bermain drama atau teater, seseorang bisa mengenal berbagai karakter yang dimiliki manusia dan memilih yang mana yang baik dan buruk. Ilmu sastra dan teater berperan sangat besar menginvestasikan nilai-nilai moral masa depan dan melatih pendidikan karakter, mengingat sastra dan teater itu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan. Konflik kemanusiaan selalu menguasai perhatian dan minat umum, memang saya rasa itulah substansinya, bahwa lakon harus menghidupkan pernyataan kehendak manusia menghadapi dua kekuatan yang saling beroposisi, yang secara teknis disebut ‘kisah dari protagonis’ (yang menginginkan sesuatu) dan ‘antagonis’ (yang menentang dipenuhinya keinginan tersebut). Bagi para mahasiswa, terutama saya sendiri, dengan adanya festival ini kita semua dapat belajar banyak. Mahasiswa dapat belajar agar menemukan solusi dengan pembagian divisi dalam teater. Pembagiannya menjadi dua divisi yaitu divisi produksi dan artistik. Divisi produksi mengurusi tetek bengek masalah manajemen di luar keestetikaan sebuah pertunjukan. Sedangkan divisi artistik mengenai proses teater itu sendiri. Dalam teater kita
juga mempelajari berbagai hal, yaitu tiga latihan dasar (elementer) yang harus dikuasai yaitu olah tubuh, olah intelektual, dan olah sukma. Poin pertama adalah melatih seluruh anggota tubuh dari kesiapan tubuh dan vokal. Hal tersebut begitu berguna bagi para mahasiswa pendidikan yang akan bermukim di institusi, dan mahasiswa sastra yang begitu pandai berkomunikasi ketika berada di dunia kerja nantinya. Dengan kesiapan tubuh dan vokal, ketika kita bekerja, stamina dan kesehatan kita tetap terjaga. Dengan vokal dan artikulasi yang jelas akan terjadi sebuah proses komunikasi yang baik antara komunikator dan komunikan. Kedua, intelektual dan wawasan sehubungan dengan proses kreatif—serta wawasan teater dan budaya. Hal ini tidak hanya berlaku ketika ujian akhir apresiasi drama saja, namun dapat bertahan sepanjang hayat hingga raga tiada. Karena ilmu tidak dapat sebanding dengan harta berapapun nominalnya. Ketiga, olah sukma. Dalam KBBI, sukma adalah jiwa. Pepatah kuno mengatakan didalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Ketika kita sudah olah vokal dan tubuh, maka aktor sudah siap secara komprehensif menerima materi terkait proses kreatif. Kemudian kita perlu memusatkan pikiran dan meditasi agar pikiran dan jiwa kita fokus pada suatu kegiatan—yaitu proses teater itu sendiri. Hal itu begitu relevan dengan pembentukan karakter ketika kita berada di lingkungan baru, kita harus bisa beradaptasi dan aktif, bukan hanya menunggu dan ingin dimengerti. Sebagai seni pertunjukan, teater itu berproses secara kolektif. Diperlukan kerja sama yang baik antar lini. Sutradara mengintepretasikan teks yang ditulis oleh penulis menjadi lukisan yang menarik diatas panggung. Aktor mendapatkan mandat dari sutradara agar bermain seperti ini-seperti itu-seperti apa saja yang dikehendaki dan memungkinkan. Pimpinan artistik bersama sutradara selalu berdiskusi dengan kemungkinan penataan cahaya yang bagaimana, set property dan hand property yang seperti apa yang dibutuhkan. Tim penata busana dan tata rias, saling silang hal ihwal wajah dan bungkusan tubuh para aktor yang ingin dijadikan sedemikian rupa. Tim publikasi, dokumentasi dan berkenaan dengan tiket selalu berkoordinir dengan segala pementasan sebelum dimulai hingga acara berlangsung. Teater adalah gotong royong dan kemanusian. Seperti teori kebutuhan
Maslow, setelah rasa keamanan, dicintai maka selanjutnya aktualisasi. Teater bukan sekedar aktualisasi, namun seperti sudah mendarah daging oleh sebagian orang dan keseluruhan. Karena, teater adalah kehidupan itu sendiri. Semua itu begitu berguna kala kita bekerja harus berhubungan dengan banyak orang, dengan berbagai psikologis dan karakter yang berbeda.(Galeh)
Hal Ihwal Pendidikan dan Pembangunan Karakter
Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia untuk memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Untuk itu, pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional di antaranya adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran setiap mata pelajaran, termasuk pembelajaran kesenian, dalam hal ini pembelajaran/pendidikan drama/teater. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Secara lebih spesifik, ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Suyanto, 2009). Saya rasa, konklusi dari judul yang terlalu bombastis atau mungkin realistis telah terjawab. Saya, mahasiswa yang sebentar lagi akan mengikuti proses serupa, yakin membangun karakter melalui teater adalah hal yang realistis. Banyak pengalaman dan
pembelajaran yang bisa diambil dari sebuah mata kuliah yang dengan model kompetisi. Kita jadi lebih terpacu lagi untuk tidak cepat puas dengan ilmu kita dan terus meningkatkan kemampuan kita. Teater mengajarkan kerendahhatian dan keikhlasan. Kemudian, yang saya yakini di Fiesta ini, bukan hanya tentang bagaimana cara berakting yang baik, cara membuat properti yang penuh artistik dan estetis, atau menjual pementasan dengan membludaknya penonton. Lebih dari itu, teater begitu relevan dengan kehidupan di dunia nyata yang begitu dinamis. Saya sudah mengalami, meski hanya dalam cakupan eksternal yang terbatas. Dan kita semua akan mengalami, atau banyak yang sudah jauh mengalami dan menghayati setiap inci dari pertunjukan ke pertunjukan—yang melahirkan banyak kritik untuk kemajuan manusia, pendidikan dan bangsa tentunya.(Galeh)
Bacaan Pembantu Sumaryadi. 1987. Ebook ‘SENI DRAMA DAN PENDIDIKAN KARAKTER’ Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Ramelan, Kastoyo. 1980. Seni Drama. Solo: Tiga Serangkai.
Teater Gong, Jangan Buru-Buru!
Pementasan Fiesta 6 (19/12), dibagi menjadi tiga kali pertunjukan. Dimulai pukul 10.00 WIB, pukul 15.00 WIB, dan yang terakhir pukul 19.00 WIB. Teater Gong menjadi teater pembuka di hari ini, atau teater keempat yang tampil di perhelatan festival akhir tahun 2013 dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Teater Gong membawakan lakon Sidang Para Hantu, yang disutradarai oleh Netta. Kelompok yg didominasi oleh perempuan ini memilih setting yang tidak terlalu rumit. Padahal, esensi dari teater bukanlah berkilah dari perihal teknis pertunjukan, melainkan bagaimana cara sutradara mengemasnya dan menyampaikan amanat kepada penonton. Secara keseluruhan, pertunjukan ini membosankan. Bahkan, dua orang yang mengaku sebagai MC—yang berdiri di depan penonton dengan memegang pelantang— menyapa penonton dengan tidak komunikatif. Seperti ada jarak antara mereka. Padahal, salah satu cara untuk menarik perhatian penonton selain dengan memainkan musik, adalah dengan kata-kata yang dilontarkan MC yang berisi kalimat-kalimat persuasif. Agar penonton tertarik dan duduk tenang di tempat yang sudah disiapkan. Panitia seperti mengulur waktu, karena sudah pukul 10.00 lewat, Aula S tak kunjung berpenonton. “Mungkin karena kepagian, jadi begitulah, sepi,” ujar Jame, salah satu penonton pertunjukan Gong ini. Dan inilah PR bagi panitia. Kembali ke jalannya pertunjukan. Rapat dimulai dengan munculnya Ketua Pemimpin (Niken) dan ajudannya atau yang sering dipanggil Intel (Krisna), membuat mata penonton tertuju pada keduanya. Karena teknik pemunculan mereka cukup baik disertai dengan tata cahaya yang tepat. Terlebih setting yang sederhana—hanya batu-batu untuk duduk—dan backdrop yang serasi dengan suasana sidang untuk para hantu.
Tak lama kemudian, muncullah para hantu yang lainnya. Tidak ada yang menarik dari mereka, kecuali Kuntilanak (Poppy) dengan kostum genit dan tawa yang memekik. Sorakan dari penonton mulai menggema; siul dan tawa. Kekuatan akting mereka cukup bagus, hanya artikulasi yang kurang jelas dan terkesan buru-buru, membuat mereka kehilangan ritme permainannya. Bahkan salah satu juri, Bunda Helvy, kecewa dengan durasi pementasan Teater Gong. Selain durasi yang menjadi sorotan oleh para juri dan penonton, adegan rapat yang dipimpin oleh Ketua Pemimpin disajikan dengan canggung oleh para aktor di atas panggung. Seperti lupa akan dialog dan alur cerita, para hantu kehilangan feel mereka dan penonton melihat itu sebagai suatu kesalahan yang fatal. Padahal, bobot dari dialog mereka penting. Para aktor tidak saling peka. Maka yang terjadi adalah kesalahpahaman antaraktor. Yang menarik adalah kostum mereka. Fungsi kostum di sini adalah salah satunya untuk memperkuat atau memperjelas karakter tokoh. Tapi di atas panggung, semuanya berubah. Hanya tokoh Kuntilanak yang memerankan karakternya dengan baik. Selebihnya, PR bagi sutradara. Ya, terburu-buru memang bukan hal yang baik. Sayang sekali.(Andrall)
Kabayan-Romeo, Dipertemukan oleh Mesin Waktu “Jangankan jadi barang antik, akang sendiri tĂŠh hargana sudah kelewat jadul.â€? Lakon perpaduan antara cerita rakyat Indonesia dengan dongeng di negeri Eropa ini, dibawakan sangat apik oleh TEATER OBOR dalam Fiesta 6 pada Kamis (12/12). Inti kisah, yakni si Kabayan yang berhasil menciptakan mesin waktu kemudian bersama dengan istrinya si Iteung, tiba-tiba terlempar jauh ke sebuah negeri kerajaan yang juga mempunyai kisah percintaan amat tragis; kematian dua insan Romeo-Juliet. Kabayan di Negeri Romeo, sebuah lakon melodramatk yang dibawakan oleh TEATER OBOR. Mereka menyajikannya secara komedi, dibungkus dengan gerak dan musik. Lakon yang diangkat dari naskah karya Rosyid E. Abby , menjadi sebuah dilema untuk sepasang kekasih karena tak dapat restu dari orang tuanya yang kemudian berujung maut dan akhirnya memisahkan mereka. Sepasang suami istri yang terpaut jauh dengan kehidupan sehari-hari dan terlibat konflik di Negeri Romeo. Inilah lakon tentang khayalan seorang laki-laki bernama Kabayan yang bermimpi mempunyai mesin waktu yang kemudian membawanya ke sebuah negeri kerajaan. Inilah kisah tentang pengaruh teknologi dalam cerita tradisional dan perpaduan oleh dua latar berbeda di dalamnya. Pertunjukan ini digelar di Aula S, Universitas Negeri Jakarta yang disutradarai oleh Nylam Kusumawati, salah seorang mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ. Didukung oleh properti serta kostum para pemain, jelas kental sekali adanya perpaduan dengan gaya Kabayan-Iteung yang hidup serba tradisional dengan para Raja dan Ratu, Ajudan, dan juga Romeo-Juliet dengan kostum zaman kerajaan Inggris. Sang sutradara mampu memadukan hiburan yang sangat segar dan kisah percintaan yang begitu dramatis. Tak ketinggalan seekor kambing milik Kabayan di atas panggung selalu mengundang gelagak tawa para penonton siang tadi. Bagaimana tidak, ada saja kelakuan Kang Kabayan dan kambingnya. Ini, menjadi sebuah keprofesionalan para pemain.
Fiesta 6 sendiri, merupakan ujian praktik dari mata kuliah Kajian Drama yang diampu oleh Madin Tyasawan dan Helvy Tiana Rosa. Selain mengasah kemampuan berakting, mahasiswa/i juga mengapresiasi dengan pembelian tiket per-orang Rp5.000 dalam satu kali pementasan teater. Kini, Fiesta yang sudah digelar di tahun ke-6 oleh angkatan 2011 Bahasa dan Sastra Indonesia, diharap terus mampu menjadikan mahasiswa/i tidak hanya dari prodi pendidikan melainkan juga program studi non-pendidikan untuk melahirkan pementasan-pementasan yang bagus dan disutradarai sendiri tentunya. Dalam Fiesta 6 kali ini, ada 10 teater yang akan beradu kebolehan dalam berteater, tiga di antaranya sudah dipentaskan dan salah satunya adalah TEATER OBOR. Di awal sebelum pementasan dimulai, sang sutradara dibantu oleh dua pembawa acara membagikan tiga buku untuk tiga orang yang bersedia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sutradara, juga pembawa acara. Keseluruhan dari tim artistik, tata lampu, ticketing, manajer panggung, blackman, asisten sutradara, make up terlihat bekerjasama baik dengan sutradara. Semoga, Teater Obor masuk menjadi salah satu nominasi terbaik di malam anugerah nanti.(Vika)
Kemerdekaan yang Belum Utuh
Kontradiksi kehidupan pribumi dengan kelompok etnis Tionghoa di Indonesia. Sepintas mungkin itulah tema yang coba disampaikan Teater Oh dalam pementasannya pada ajang tahunan Fiesta 6 di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta. Mengangkat lakon berjudul “Sampah Negeri� dari naskah yang ditulis H. Adjim Ardjadi (sudah disadur Teater Oh), Teater Oh menggambarkan problematika kehidupan berbangsa yang terjadi di Indonesia sejak dulu hingga kini dengan gaya satire berbumbu komedi. Diceritakan tiga orang gelandangan wanita sedang beristirahat di depan sebuah toko kelontong milik orang Tionghoa. Dalam perbincangannya, ketiga gelandangan menyadari bahwa hari itu merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bergegas, para pengemis mencoba memasang bendera merah putih dan hiasan khas 17-an di toko kelontong. Seketika pemilik toko keluar dan menghalangi aksi para gelandangan. Perdebatan terjadi, sampai akhirnya muncul seorang pria (orang gila) berpakaian compang-camping ala pejuang kemerdekaan sembari
membawa bambu runcing dan
berjalan bak pemimpin barisan serdadu. Kehadiran Pria Gila menambah konflik pemasangan bendera. Pria Gila mempermasalahkan Pemilik Toko yang tidak mengizinkan Para Gelandangan memasang bendera dan juga perihal ketiadaan tiang bendera di toko kelontong miliknya. Pemilik Toko menjawab bahwa toko tersebut adalah miliknya dan hak dia untuk melakukan apapun pada tokonya. Sementara Pria Gila dan Para Gelandangan tidak terima akan hal itu. Permasalahan melebar pada status kebangsaan dan kehidupan. Pemilik Toko yang berdarah Tionghoa hidup makmur dengan berdagang hasil bumi Indonesia, sementara Pria Gila dan Para Gelandangan hidup melarat di jalanan. Menjelang akhir pementasan, sebuah rahasia terungkap. Dari kotak dalam karung yang dibawa oleh seorang gelandangan, didapati gulungan kertas berisi nama-nama prajurit yang bertempur melawan penjajah dan nama mereka bertiga, termasuk Pria Gila tercatat dalam gulungan kertas tersebut. Mereka adalah mantan pejuang yang masih terus berjuang hidup di negeri yang sudah mereka merdekakan. Pementasan ditutup dengan aksi anarkis Pria Gila yang menodongkan bambu
runcing pada Pemilik Toko, diikuti penjarahan yang dilakukan dua orang gelandangan terhadap toko kelontong milik Tionghoa, sementara gelandangan lain memberikan konklusi berupa ratapan nasib yang terjadi pada dirinya dan bangsanya sembari memegang bendera merah putih kusam yang urung dipasang. Dengan tidak bermaksud mendiskriminasikan keturunan etnis Tionghoa, nilai-nilai kehidupan yang disatirekan oleh Teater Oh ialah nasib para pribumi yang belum merdeka seutuhnya pascakemerdekaan, berbeda dengan para keturunan etnis Tionghoa yang sedang mengecap manisnya kemerdekaan. Nasib pribumi digambarkan oleh tokoh Gelandangan dan Pria Gila. Meski sudah berjuang melawan penjajahan, perjuangan tidak membawanya merdeka secara utuh. Pemerintah tidak menjamin kehidupan layak atas jasa mereka. Hal ini terjadi dalam kehidupan nyata. Banyak dari mereka yang ikut angkat senjata dalam menegakkan kedaulatan NKRI dengan darahnya luput dari perhatian pemerintah. Alhasil mereka hidup dengan segala cara. Berdagang kecil-kecilan, menjadi buruh kasar, pemulung, hingga pengemis. Di sisi lain, kelompok masyarakat dari etnis Tionghoa mendapat kehidupan layak bahkan mendominasi bidang kehidupan tertentu, seperti ekonomi dan bisnis. Padahal, menurut catatan sejarah yang beredar, mereka tidak berandil besar dalam perjuangan memerdekakan NKRI. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan sosial yang mendalam. Kecemburuan tersebut berbuntut pada kebencian yang menyebabkan aksi anarkis terhadap kelompok etnis Tionghoa. Dalam sejarah Indonesia, hal demikian pernah terjadi pada penghujung kedigdayaan Orde Baru ketika kerusuhan dan penjarahan besar-besaran terjadi dan sasarannya ialah badan usaha milik kelompok etnis Tionghoa. Lebih melebar lagi, sindiran juga mengarah pada realita kehidupan yang juga kontradiktif antara orang Indonesia dan orang asing di Indonesia. Misalkan saja perlakuan istimewa yang kerap didapatkan turis asing dan pekerja asing. Turis asing lebih diutamakan pelayanannya daripada turis lokal dan gaji pekerja asing jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lokal. Lebih signifikan lagi ialah setiap orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari pekerjaan selalu mendapat kehidupan layak, sementara orang Indonesia menjadi gelandangan di negaranya sendiri.
Teater Oh mengemasnya dengan gaya satir melalui dialog-dialog berbau komedi yang memicu gelak tawa penonton. Gelak tawa dari setiap penonton sejatinya menertawakan kekhilafan diri sendiri. Kehilafan yang entah disadari atau tidak sudah lama berjangkit di negaranya sendiri. Namun ada satu hal yang perlu dikritisi dalam pementasan ini, yakni pada beberapa adegan, aktor terlalu asik berkomedi sehingga melupakan karakternya masing-masing. Kecerobohan ini berujung pada terganggunya upaya katarsis yang dilakukan. Nilai-nilai yang coba disampaikan menjadi bias dalam lelucon-lelucon yang dipaksakan. Seharusnya aktor lebih bisa mengontrol diri untuk tetap berada pada karakternya masing-masing guna mendukung keutuhan cerita yang disajikan tanpa berlomba-lomba membuat lelucon. Untuk masalah ini, mungkin Rendra benar bahwa seorang aktor cukup sekitar 80% saja menjadi karakter tokoh dalam sebuah pementasan teater, sisanya harus tetap menjadi dirinya sendiri sebagai kontrol antara realita di atas panggung dan realita kehidupan nyata. Dengan demikian, upaya katarsis yang coba disuguhkan menjadi utuh di mata penonton. Sisanya biarkan penonton menafsirkan segala adegan yang ditampilkan dengan persepsinya masing-masing.(Imam)
Masih Pentas Bukan Main
Perabotan sederhana tipikal ruang tamu tersusun rapi di sekeliling sepasang suamiistri (Andika Wiranata dan Naila Abqaria) yang telah setengah baya. Perawakan dan tampilan mereka pun sama sederhananya dengan barang-barang di sekitar. Semua serba wajar di awal percakapan mereka. Serba tipikal suami-istri; si suami lebih bijak, sabar, dan pelan berbicaranya, sementara sang istri lebih bawel dan kurang sabar menanggapi perkataan suaminya. Suami tertidur di kala memeriksa jawaban pada lembar ulangan pelajaran agama Islam. Di sinilah ketidakwajaran dimulai. Suami, sekaligus guru agama Islam itu bernama Pak Hasan. Ia terbangun dalam keadaan terikat dengan dibimbing tiga perempuan, masing-masing seorang tukang sayur (Septi Wulandari), guru honorer (Girik Binawaty), dan sekretaris kantoran (Lenny Irawati). Mereka saling bertukar cerita perihal hidup yang tak mulus betul. Keadaan itu dibuat seakan salah Pak Hasan yang memberi nasihat pada mereka di kala masih SMA. Ketiga sepakat untuk menghabisi Pak Hasan. Untungnya, itu hanyalah bunga tidur. Pak Hasan terbangun, dengan Bu Hasan menemani di sebelahnya. Kemudian buah hati mereka satu-satunya, Faizathunissa, datang tak berkabar lebih dulu. Sehari-hari menjalani kehidupan sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Bandung. Ternyata bukan (hanya) rasa rindu pada orang tuanya, namun kabar tak terduga hendak ia tuntaskan: ia telah berpacaran dengan Bang Apri, pemuda beda agama, dan telah mengandung anak mereka. Ketidakwajaran itu berakhir setelah Pak Hasan benar-benar terbangun. Hari itu ditutup oleh kewajaran yang merupakan kebalikan dari dua mimpinya di atas; ketiga muridnya tadi ternyata telah sukses dan mengiriminya lukisa potret dirinya dengan hiasan bintang di dadanya. Dan Faizathunissa mengabarkan lewat surat bahwa ia telah menemukan tambatan hatinya, seorang pemuda pendakwah seagama. Seharusnya ketidakwajaran cerita di atas tak dibarengi oleh ketidakwajaran permainan para pemain lakon “Tak Ada Bintang di Dadanya� karya Hamdy Salad dengan
sutradara Muhammad Nasrulloh. Secara keseluruhan, keenam aktor kurang ‘bermain’ di atas panggung. Konsep bermain yang dimaksud adalah bermain a la anak-anak di taman sore hari. Mereka bermain dengan riangnya, tanpa beban, tanpa pura-pura bermain, bermain dengan ikhlas. Meski sebegitu riang dan ringannya, tentu mereka akan bosan. Hanya saja, itulah yang harus ditanggulangi oleh para pelakon Teater Masnasrul yang berlaga pada Kamis sore (19/12) lalu di Aula S UNJ. Meski bermain di atas panggung memerlukan konsentrasi yang luar biasa, mereka tak boleh terlihat berat atau menyepelekan laku mereka di depan penonton. Memang bukannya mereka bosan, tapi mereka tak benar-benar menyeriusi permainan. Masih terdapat beberapa celah yang bisa dieksplorasi lebih jauh, lebih nakal, lebih liar, lebih riang, lebih bermain! Pemenggalan dialog, intonasi, improvisasi, karakterisasi, juga porsi emosi, masih bermasalah. Beberapa cukup fatal sebab terjadi pada kalimat-kalimat kritis dari penulis, yang berusaha menyentil para hadirin kala naskah dimainkan. Mungkin itu menjadi kecenderungan para dramawan pemula, yakni sekadar mementaskan, belum memainkan. Meski begitu, para pemain telah berusaha menyukseskan sebuah pementasan teater dalam rangka ujian akhir kuliah Apresiasi Drama. Selain dinilai dalam kepentingan perkuliahan oleh kedua dosen pengampu, yakni Helvy Tiana Rosa dan Madin Tyasawan, Teater Masnasrul dan sembilan grup lainnya dinilai untuk penganugerahan Festival Teater Sastra Indonesia (Fiesta). Penjurian dibantu oleh seorang alumni Ahmad Mulyadi.(Shelma)
Mata yang Sesekali Kantuk dan Praktek Mak Comblang
Mata yang terkadang kantuk itu sering kali saya rasakan ketika sedang menonton sebuah pementasan teater dalam hajat Festival Teater Sastra (Fiesta) 6 yang teaternya bernama Teater Jati yang membawa lakon “Monumen” karya Indra Trenggono. Entah apa yang mereka mainkan. Padahal saya menonton seksama pementasannya, namun selama pementasan itu, jika boleh jujur saya merasa mengantuk, ingin tidur di tempat itu, tapi karena saya diminta untuk membantu karena kekurangan pemain jadi saya harus menonton hingga selesai. Dialog-dialog dan emosi-emosi yang datar mungkin bisa jadi faktor kantuk. Namun, ketika para komentar juri tak ada satupun yang sependapat denganku, entah mereka menikmati pementasan yang disajikan atau karena setting pementasannya yang mendukung. Memang harus saya akui setting latar pementasannya sangat menarik tapi cara memainkan naskahnya kurang menarik. Kita tinggalkan sejenak mata yang sesekali kantuk itu. Kini kita bicarakan masalah lain. Praktek mak comblang. Sebelum pementasan Teater Jati yang membawakan lakon “Monumen”, saya sempat menonton Teater Sapu Lidi yang membawakan lakon “Mak Comblang” karya Nikolai Gogol. Selama pementasan berlangsung aura saya sangat berbeda, saya merasa saat menonton sangat nyaman dan asik seakan saya terbawa oleh praktek mak comblang tersebut. Memang naskah ini ringan beserta bergenre komedi realitas di mana sang penulis menyindir sistem manusia-manusia pada zaman borjuis yang menghalalkan segala dengan memakai uang dan kekuasaan, jadi para pemain di teater tersebut pembawaannya sangat santai dan rileks. Di sini penulis memasukkan beberapa tokoh yang berkarakter berbeda-beda. Ada pejabat yang sedikit plin-plan, ada pengacara yang emosionalnya sangat tinggi, ada dosen yang sedikit angkuh dan cerdas, ada seniman yang berkata-kata manis omong kosong. Mereka menganggap perkawinan hanyalah transaksi dagang yang selalu harus memperhitungkan untung dan rugi secara materi.(Aji)
Ular Panggung Nan Membius
Festival Teater Sastra (Fiesta) 6, yang dimulai Kamis, 12 Desember 2013, di hari pertamanya menampilkan tiga teater yang masing-masing disutradarai oleh seorang perempuan. Tertarik dengan pementasan terakhir yang menurut saya pementasan terbaik di hari itu: Teater Kobra. Menampilkan pementasan dari naskah Putu Wijaya yang berjudul Tahun Baru terbungkus rapi dalam drama musikal. Tanpa pernah melihat proses latihan mereka, penonton cukup dibuat penasaran, seperti apa wujud pementasannya. Di awal pementasan, penonton pastinya sudah dibuat kagum oleh musik pembuka yang menarik, kelengkapan alat musik yang tergolong melodis pastinya sangat mempengaruhi, juga dengan beberapa properti di panggung, seperti tembok yang penuh coretan, meja beserta etalase yang berwujud warung, serta jendela kecil yang menggambarkan wujud belakang atau samping rumah. Kemampuan berperan dari para pemain juga menarik, seperti halnya tukang koran yang dilengkapi dengan tata busana cukup memperkuat karakter, serta hadirnya reporter (Binar) yang sesekali memberi kesan humoris karena gerak tubuh perpindahannya sedikit berlebihan ketika menyampaikan berita. Namun, ada beberapa adegan terlihat sedikit memaksa, yaitu saat warga sedang mabuk, yang diperankan oleh Ridwan. Usaha keras dari aktor yang mencoba menyesuaikan keadaan dengan perannya terlihat tidak begitu menarik. Mabuk yang diterjemahkan dengan hal yang sudah terlalu biasa sangat terlihat. Mungkin itulah perlunya pencarian karakter tokoh secara mendalam agar si pemain dapat menelusuri adegan-adegan yang akan diperankan dalam wujud berbeda, agar saat dipentaskan penonton dapat terkejut sekaligus kagum dengan imajinasi adegan, yang tentunya dilandasi oleh apa yang ada di dalam naskah. Kepiawaian Hamidah sebagai sutradara, dalam menyadur naskah saya rasa menjadi hal menguntungkan dalam setting di pementasan ini. Setting tempat yang tidak mengalami
perubahan
ternyata
tidak
menghadirkan
kebosanan
bagi
penonton,
malah
menguntungkan untuk penata cahaya, serta tidak dibutuhkannya blackman, yang biasanya berisiko menghadirkan kesalahan ketika blackout. Iringan musik yang cukup serasi dengan vokal dari para aktor terdengar merdu memberi kesan bahwa teater ini ternyata mampu menampilkan pementasan yang tidak mengecewakan penonton karena harus mengeluarkan uang sebesar Rp 5.000,00. Terlebih lagi Teater Kobra mendapatkan waktu pementasan yang cukup pas, yaitu pada malam hari di saat penonton sudah benar-benar meluangkan waktu dan pikirannya untuk menikmati sebuah pertunjukan seni. Dengan pementasan yang cukup rapi seperti ini sebenarnya Fiesta dapat diperhitungkan, tidak hanya sebatas festival tahunan yang menjadi puncak dari mata kuliah apresiasi drama, melainkan dapat menjadi pertunjukan berkualitas bagi para penikmat seni, khususnya teater. Teater Kobra telah menampilkan yang terbaik di hari pertama Fiesta berlangsung. Ini menjadi bonus tersendiri bagi para anggotanya sekaligus bagi para teater lain yang belum tampil.(Ghea)
Ketika Para Setan Bersidang di Kampus
Pada perhelatan Festival Teater Sastra Indonesia yang memasuki gelaran keenam, Teater Gong memainkan naskah berjudul “Sidang Para Setan� (19/12/13). Fiesta adalah tugas akhir dari mata kuliah apresiasi drama di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fiesta digelar seminggu sekali pada hari Kamis. Sidang Para Setan dimulai dengan kehadiran sutradara sebagai narator ke depan podium. Ketan bukan sembarang ketan Ketan dibungkus pake daun pisang Setan bukan sembarang setan Setan yang ini sukanya sidang
Kemudian dilanjutkan Setan Ketua masuk, lalu seperti menunggu giliran, para setan lainnya masuk ke panggung Aula S untuk memulai sidang. Naskah yang ditulis oleh Emha Ainun Najib (Joko Umbaran) ini menjadi pilihan Teater Gong untuk dipentaskan. Awalnya para awak teate; sutradara, tim artistik dan para pemain, mencoba menginterpretasikan teks menjadi tatanan apik di atas panggung. Namun realisasinya tampak masih belum maksimal. Ketika berbagai macam jenis setan yang memiliki perannya masing-masing mencoba untuk bersuara dengan karakter masing-masing, sebagian aktor masih belum mampu bermain secara lepas. Setan Ketua yang seharusnya menjadi pemimpin berwibawa dan ‘beradab’ tampak masih kurang aura dan karisma dalam menjalani perannya. Setan Wakil Ketua, Setan Pengusul, Setan Pro dan Setan Kontra juga masih bermain dengan terlalu hati-hati dan takut, tidak mencoba mengeksplorasi peran setan yang seharusnya liar dan ditakuti. “Peran sutradara memang mempunyai andil besar dalam pementasan, ketika mendapati naskah yang blocking-nya hanya duduk saja, hal itu dapat membuat penonton bosan. Diperlukan keberanian untuk mendobrak pakem dan berimprovisasi. Ya, memang
mau bagaimana lagi, ya? Mungkin karena memang sidang, kan duduk, ya?� ujar Bunda Helvy, selaku juri dan dosen Apresiasi Drama menerangkan. Sementara, juri lainnya Ahmad Mulyadi memberi saran tentang pelafalan dialog setan yang cenderung monoton. Ia memberi tahu bahwa ada warna-warna dan variasi dalam vokal yang bisa digunakan, dan akan terjadi perbedaan bila itu dilakukan. Ya, itulah sebuah sidang tentang manusia yang dilakukan para setan. Sebuah dialog yang dilakukan para setan untuk memprotes manusia, karena sifatnya merasa lebih sempurna. Para setan juga memprotes sikap manusia yang selalu mempersalahkan setan sebagai sumber dari segala dosa dan keburukan. Setan adalah makhluk konsisten, mereka sudah bersumpah akan mengganggu manusia sejak Tuhan menciptakan manusia. Manusia saja yang sering tidak konsisten, setiap berbuat dosa mereka selalu menyalahkan setan yang kerap menggoda. “Memandang dari berbagai kekurangan, hal itu adalah lumrah apalagi kita sebagai manusia sering berbuat salah. Mungkin hal itu dikarenakan adanya setan yang menggoda, atau memang manusia yang tidak dapat menahan godaan tersebut? Meskipun begitu, kehadiran setan yang bermain di luar pakem dan para pembawa mayat menjadi oase di gurun yang panas atau penyegar ketika pementasan berjalan monoton,� pungkas Bunda Helvy dan Adi.(Galeh)
Ekspektasi
Kamis (2/1) Di Aula S, UNJ, seperti biasa kami dapat menyaksikan pementasan teater yang masih dalam rangka ujian akhir semester mata kuliah Apresiasi Drama dari mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pukul 10 diawali dengan pementasan Teater Sapu Lidi yang menampilkan lakon Mak Comblang dengan sutradara Mussab Askaruloh. Naskah drama milik Nikolai Gogol yang diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Teguh Karya ini agaknya telah disadur kembali oleh sutradara; disesuaikan dengan kondisi pementasan. Di awal pementasan sebenarnya saya mengharapkan kesan luarbiasa terhadap lakon yang teater ini bawakan. Karena sebelumnya, saya telah berulang kali membaca naskah ini, juga hampir ingin dipentaskan beberapa bulan lalu hingga akhirnya pementasan tersebut gagal berlangsung. Keluar dari kecewa saya terhadap kegagalan pentas dengan naskah ini, masih lekat di kepala saya mengenai beberapa kajian psikologi dan fisiologi dari tokohnya. Jadi, ketika muncul para pemainnya, sungguh saya benar-benar mengharapkan bahwa yang muncul dalam pementasan tersebut sesuai dengan harapan saya. Hal pertama yang membuat saya terganggu dan bosan adalah ketika pergantian setting adegan pertama menuju adegan kedua. Blackout berlangsung terlalu lama sehingga dapat menimbulkan kesan membosankan kepada penonton. Juga musik pengiring yang menurut saya penyanyinya tidak terlalu total. Selanjutnya, kualitas akting dari para pemain. Bicara mengenai hal ini memang agak riskan untuk saya yang masih sangat awam mengenai akting, namun agaknya dalam sudut pandang penonton sebenarnya sah-sah saja untuk memberikan pendapat. Melihat kondisi dari para pemain, saya merasakan bahwa mereka tidak benar-benar lepas dalam memerankan tokohnya. Seperti halnya Ambar yang menjadi tokoh utama, terlalu banyak melakukan gerak yang tidak memiliki motivasi khusus. Gerakan tangan yang terlalu sering, bahkan terlihat monoton di setiap dialog yang ia ucapkan sangat mengganggu. Terlihat benar bahwa mereka yang di panggung itu hanya berpura-pura untuk memerankan tokoh yang bukan dirinya. Tidak berusaha memasuki perannya. Proses
seperti inilah yang sebenarnya membuat penonton hanya serasa menonton pentas kepura-puraan belaka, sehingga dalam menyerap dan memahami apa yang disampaikan pun menjadi tidak begitu menarik. Ini juga terjadi pada pemeran-pemeran yang lain, seperti: Bibi, Nona Eliya, dan para calon suami Ambar. Tidak ada kelepasan dalam berperan. Gerak dan dialog yang diucapkan sangat terlihat seperti diatur dan dibatasi naskah. Hanya saja tokoh yang begitu membantu adalah Siti dan Karim. Mereka berperan dengan lepas tanpa keterpaksaan. Pencarian karakter lebih terlihat di kedua tokoh ini, berbeda dengan tokoh lain, kedua tokoh ini mampu menghidupkan jalan cerita dan suasana panggung. Namun ekspektasi saya yang terlalu berlebihan ini justru malah menimbulkan pendapat yang mungkin kurang memuaskan bagi Teater Sapu Lidi. Usaha yang diberikan oleh para pemain untuk menyampaikan tujuan dalam pementasan ini sebenarnya sudah cukup baik, bisa dilihat dari setting panggung juga beberapa properti yang melengkapi. Namun sayangnya hal lain lagi yang sedikit mengganggu adalah keluar masuknya pemain dari pintu yang ada di sebelah kiri panggung (dari penonton). Keluar masuknya pemain dalam beberapa adegan justru malah terlalu menganggu pemahaman penonton. Entah properti yang peletakannya kurang tepat atau memang tektok keluar masuk yang masih agak berantakan, sehingga adegan buka tutup pintu menjadi tidak nyaman jika berulang kali dilakukan. Namun secara keseluruhan pementasan ini cukuplah baik dan menarik. Dan penonton pun sebenarnya hanya bisa menjadi penikmat yang dengan sendirinya dipaksa berkomentar dan berpikir mengenai apa yang telah dilihatnya. Menikmati seni tidak hanya sebagai refleksi untuk mendapat kepuasaan, juga terkadang belajar menerima kekecewaan yang sebenarnya tergantung oleh resepsi diri masing-masing.(Ghea)
Tradisi Buruk Usai Pementasan
Selalu ada yang menyisakan sesuatu yang penting seusai pementasan teater. Sesuatu yang amat berarti bagi para pegiat teater maupun yang awam. Sewaktu saya datang ke Aula S di Universitas Negeri Jakarta. Gedung yang sudah biasa menjadi tempat untuk pertunjukan seni, saya menonton pementasan teater kedua pukul 15.00. Adalah Teater Obor yang membawakan naskah “Kabayan di Negeri Romeo”. Sangat disayangkan seusai pementasan itu tak diberlakukan diskusi yang membuka wawasan tentang teater, hanya penilaian dari pihak juri yang memang dilakukan secara formal yang berkomentar tentang pementasan tersebut. Kemudian saya kembali menonton pementasan teater ketiga, pukul 19.30. Teater Kobra namanya. Grup tersebut membawakan naskah “Tahun Baru” karya Putu Wijaya. Pementasan ini mungkin memberikan suguhan yang berbeda karena mereka membawakan drama musikal dibumbui dengan canda yang membuat penonton tertawa namun, sekali lagi, sayang sekali seusai pementasan itu tak diberlakukan diskusi, hanya penilaian dari pihak juri untuk berkomentar tentang pementasan itu. Saya pernah membaca suatu kutipan dari kritikus seni drama, George Bernard Shaw, yang mengatakan, “Di masa lalu dalam sebuah sandiwara yang baik terdapat suatu eksposisi (uraian atau paparan yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan—masalah suatu karangan) pada babak pertama, suatu situasi pada babak kedua, dan pada suatu penyelesaian pada babak ketiga ini adalah diskusi”. Pementasan drama sebagai seni tidak mengajari publiknya dengan konsep-konsep abstrak, tetapi menyampaikan undangan kepada penontonnya untuk mengadakan diskusi. Penonton diminta memberikan pendapat mereka sendiri, melalui suatu diskusi dan siapakah yang lebih ideal. Mungkin itu yang seharusnya dilakukan setelah pementasan kemarin. Kini, diskusi-diskusi itu sudah berasa diasingkan dan sudah mentradisi. (Aji)
Kabayan di Negeri Romeo: Kisah Cinta Multikultur
“Mesin Waktu ciptaan saya ini sudah terwujud dengan sempurna. Dengan Mesin Waktu ini, saya―Profesor Kabayan, bakal sohor ka awun-awun, kawentar ka janapria.”
Sejak kapan Kabayan bisa menghasilkan mesin waktu? Dan apakah korelasinya di Negeri Romeo? Kisah Kabayan yang dikenal oleh masyarakat Sunda, kali ini berbeda. Kabayan menjelajah masa lalu dengan mesin waktu bersama istrinya ke masa di mana Romeo dan Juliet ditentang oleh kedua orang tuanya. Kabayan bermaksud menolong mereka agar terhindar dari peristiwa tragis yang legendaris seperti diceritakan William Shakespeare. Dari sekian banyak drama dan film yang mengangkat kembali kisah cinta Romeo dan Juliet, ada beberapa yang mengemasnya dengan bentuk yang berbeda. Kabayan di Negeri Romeo ini dikemas dengan berbeda. Versi lain dari naskah “Mesin Waktu” dan “Kabayan Langlang Jaman” karya Rosyid E. Abby ini alur ceritanya dibuat ringan dan ditambah adegan-adegan lucu di dalamnya. Rangkaian kejadian bernuansa humor begitu kental mewarnai lakon yang dimainkan Teater Obor pada hari Kamis (12/12/13) di Aula S. Kabayan yang menjadi tokoh sentral mampu membawa alur cerita dengan cukup baik. Kabayan bermain sesuai ekspektasi dan pendekatan yang begitu apik karena peran ini kental dengan nuansa sunda, dan peran itu dimainkan dengan baik oleh Asep. Asep mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2011 dikenal memang begitu intim bergaul dengan kambing―karena ia pedagang kambing―dan budaya Sunda. Ya, kabayan yang memang terkenal dengan logat Sunda yang lugu dan polos serta hewan peliharaanya kambing, membuat seisi Aula S bergemuruh karena melihat Siwon (kambing peliharaan Kabayan). Siwon mampu berakting begitu menawan, mengimbangi kabayan dan para aktor lainnya, malah porsi Siwon menjadi begitu mendominasi ketika Kabayan dengan cueknya menggendong Siwon ke mana-mana yang membuat kambing itu memberikan respon yang dapat mengundang tawa penonton.
“Coba yang menjadi Kabayan bukan Asep, mungkin tidak akan sebagus Asep ketika memerankan tokoh Kabayan. Karena orang tuanya juragan kambing dan biasa di rumah bergaul dengan kambing ya?” papar bunda Helvy seraya tertawa. “Semua aktor bermain cukup bagus, namun ada beberapa kekurangan yang banyak harus dibenahi, antara lain adegan ketika Romeo dan Juliet, dan adegan keluarga Romeo dan keluarga Juliet bertemu. Para aktor nampak vokalnya masih kurang baik, jadi ada beberapa dialog yang pesannya kurang sampai. Namun secara keseluruhan baik, apalagi dengan adanya Siwon yang mampu menarik perhatian penonton,” tutur Adi menerangkan. “Di Fiesta, semua orang bisa berteater, tak terkecuali kambing ya.” Bang Madin menambahkan. Dari berbagai adegan yang dapat menimbulkan gelak tawa, yaitu tingkah kambing Kabayan yang suka diseret ke sana ke mari. Meskipun begitu, harusnya Kabayan dan para awak Teater Obor dapat mengantisipasi agar kehadiran kambing tidak menganggu jalannya pertunjukan—meskipun itu tidak terjadi. Karena esensi dan pesan yang disampaikan bukan melulu tentang kambing yang bertingkah, tapi lebih ke ranah budaya dan lokalitas. Ya, Kabayan di Negeri Romeo memiliki tendensi agar budaya lokal dan bahasa daerah tidak dilupakan dengan arus globalisasi yang semakin gempita. Kita jangan hanya terlena dengan karya-karya yang berkultur barat, tapi kita harus mengimbanginya dengan memasukan unsur lokalitas. Kabayan yang lugu dan optimis berasal dari Sunda, kembali ke masa lalu untuk masuk ke era Romeo dan Juliet yang berjaya dengan melankolik tragedinya. Keduanya adalah kombinasi yang pas. Kisah cinta satu rumpun namun menjadi multikultur yang tidak ‘akur’.(Galeh)
Merayakan Proses, Menuntaskan Harap Setelah kesepuluh teater unjuk aksi di depan ketiga dewan juri, maka sampailah pada acara Penganugerahan atau Fiesta Award. Biasanya, Fiesta Award diadakan di Aula S pada malam hari. Semua mahasiswa terhampar di lantai, dengan kaos grup teaternya masing-masing. Tapi kali ini ada yang berbeda dengan Fiesta 6 Award. Pengaungerahan kali ini diselenggarakan pada Selasa (7/1) di Auditorium Gedung Sertifikasi Guru lantai 9, dimulai pukul 14.00. Fiesta 6 Award kali ini terasa lebih elegan; diadakan di auditorium, ditambah dengan dress code yang ditentukan panitia adalah semi-formal, sehingga hadirin terlihat rapi. Namun hal itu tak membikin suasana jadi kaku. Siang itu, bahkan, berhamburan tawa dan canda dalam Fiesta 6 Award. Selain dewan juri dan mahasiswa Apresiasi Drama, hadir pula Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Sintowati Rini Utami, M.Pd., juga kakak-kakak senior yang pernah menjalani kuliah serupa. Siang itu juga dimeriahkan oleh penampilan Bengkel Sastra UNJ yang membawakan monolog “Tolong� karya N.Riantiarno, yang diaksikan oleh Latifah Nurul Hidayati dengan musik oleh Tim Bengkel Sastra. Para Peraih Penghargaan 1. Penata Busana Terbaik: (Teater Obor) 2. Penata Rias Terbaik: Isra Berlian (Teater Jati) 3. Penata Musik Terbaik: Gokma & Nanda Rikky (Teater Kobra) 4. Penata Cahaya Terbaik: Nursyifa (Teater Masnasrul) 5. Penata Artistik Terbaik: Amalia Wulandari (Teater Jati) 6. Aktris Pembantu Terbaik: Hilda Umami (Teater Oh) 7. Aktor Pembantu Terbaik: Mussab Askarulloh (Teater Sapu Lidi) 8. Aktris Terbaik: Labibah Musfiroh (Teater Oh) 9. Aktor Terbaik: Ahmad Sofyan (Teater Lumos) 10. Mentor Terbaik: Julia Evani (Teater ) & Imam Mahfuz (Teater Doa) 11. Trailer Terbaik: Teater Masnasrul 12. Sutradara Terbaik: Mussab Askarulloh (Teater Sapu Lidi) 13. Grup Teater Terbaik I: Teater Kobra 14. Grup Teater Terbaik II: Teater Sapulidi 15. Grup Teater Terbaik III: Teater Oh
Lembar Bergambar
Buletin Fiesta
Bulfest! Seputar Pentas Festival Teater Sastra Indonesia