1
redaksi
Susunan Redaksi
Salam sejahtera!
Pemimpin Redaksi: Avruz Azizalbath Sekretaris Redaksi: Andika Baehaqi Penulis: Ahmad Faisal, Andika Baehaqi, Deni Catur, Heri Kiswanto, Lyman Pangihutan, Indra Gunawan, Risti Sere, Tyo Prakoso, Virdika Rizky Utama Tata Letak: Daniel Fajar Harianto Desain Sampul: Ridwan Ilustrasi dan Komik: Avruz Azizalbath, Lyman Pangihutan, Iman Zanatul Haeri Sirkulasi: Handoko Siboro, Ilham Firaqi, Jati Aprianto, Luqman Abdul Hakim, Romdhani Nur Shidiq
Setelah menerbitkan beberapa edisi koran tempel, kami dari Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA) kini menerbitkan buletin dengan nama yang sama dengan koran tempel kami, yakni IQRO’. Oh iya, barangkali pembaca ingin tahu apa itu SPORA. Singkat saja, ya. SPORA merupakan komunitas gerakan yang didirikan sejak 6 Maret 2006. SPORA dibentuk atas kebutuhan ruang-ruang baru bagi pemuda-pemuda yang ada di sekitar Rawamangun. Seiring berjalannya waktu, karena satu dan lain hal, anggota SPORA kemudian terbatas hanya pada mahasiswa UNJ. Hingga hari ini, SPORA masih tetap bergerak dalam mengawal isu-isu kampus. Salah satu bentuk pengawalan ini kami lakukan dengan menerbitkan koran tempel yang diberi nama IQRO’. Tetapi, media koran tempel terlalu sempit untuk menampung gagasan-gagasan kami dan kurang menarik minat pembaca. Untuk itu, kami membuat buletin dengan nama yang sama, yaitu IQRO’. Baiklah, berikut kami hadirkan IQRO’ edisi Maret no. 1 tahun 2016. Sebagai buletin terbitan pertama, kami sengaja mengangkat tema “Gerakan Pemuda sebagai Alternatif dari Gerakan Mahasiswa di Era Globalisasi”. Alasannya, dalam pandangan kami gerakan mahasiswa sekarang nampak mlempem. Secara garis besar, buletin ini menghadirkan tulisantulisan yang banyak membicarakan gerakan pemuda dan swastanisasi kampus. Selain ada rubrik opini, cerpen, puisi dan resensi, dimuat pula komik strip sebagai selingan bacaan.
Sekretariat: Jalan Slamet Riyadi no. 4, Matraman, Jakarta Timur Email: aavruz@gmail.com Official Line: @eza6555g Twitter: @spora_unj No. Hp: 085777711960
Selamat membaca halaman demi halaman yang kami suguhkan dan terus berjuang, PEMUDA!
Daftar Isi Redaksi Opini 1 Opini 2 Opini 3 Opini 4 Cerpen 1
2
2 3-5 5-7 7-8 9-10 11-13
Cerpen 2 13-15 Puisi 15 Resensi 16-17 Dokumentasi 18-19 Komik 20
opini 1
Pergerakan Pemuda Sebagai Solusi di Tengah Mandulnya Gerakan Mahasiswa
Oleh: Indra Gunawan Para pemuda adalah satu-satunya tenaga perubahan yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpinpemimpin hipokrit dan kelompok-kelompok oportunis. Pembicaraan tentang pergerakan politik pemuda dan kontribusinya bagi perubahan sosial-kebangsaan dapat dilihat melalui aras tradisi politik dan tradisi organisasi. Dari tradisi politik, kita akan menemukan karakter pergerakan serta ideologi gerakan masing-masing zaman. Mulai zaman bergerak-nya pasca Politik Etis sampai zaman revolusi pemoeda kemerdekaan 1945. Sedang lewat tradisi organisasi, kita bisa mengenal beragam eksperimentasi pergerakan pemuda. Dari Boedi Oetomo yang konservatif hingga PI-PNI yang progresif. Namun, patahan sejarah tersebut berlangsung seiring situasi ekonomi-politik Perang Dingin menjelang dikudetanya Soekarno dan munculnya rezim Soeharto Orde Baru: Gerakan Mahasiswa. Di mana istilah “gerakan moral (moral movement)” yang melekat dalam gerakan ini muncul. Istilah yang ingin Soe Hok Gie dkk. tunjukkan sebagai “kesakralan” dari sebuah pergerakan anak-anak muda mahasiswa. Persepesi tersebut dibawa hingga kini. Generasi-generasi pasca reformasi. Terutama menjadi karakter organisasi ekstra kampus (Omek) dan formal kampus (BEM). Menempatkan pergerakan sebagai upaya mengekspresikan “hati nurani” belaka.
Tanpa “dalih” atau “pretensi politis”. Karena bagi mereka, gerakan mahasiswa harus “murni”. Adapun persepsi tersebut bagi penulis sendiri bermasalah. Di tengah situasi Gerakan Mahasiswa (GM) yang bany ak terkooptasi elit partai politik. Dengan begitu akan dipaparkan pula tawaran penulis mengenai “orientasi” gerakan mahasiswa secara keseluruhan demi terciptanya situasi penuh pembebasan. Tentunya membahas gerakan mahasiswa (GM) harus terlebih dahulu membahas konteks yang mensituasikan gerakan mahasiswa itu hadir. Yakni pembacaan kondisi ekonomi-politik pasca Negara Orde Baru (NOB). Pasalnya, gerakan mahasiswa, maupun gerakan elemen rakyat lainnya tidaklah begitu saja hadir dalam ruang hampa. Ia senantiasa berada dalam ruang yang berisi realitas-realitas tertentu dan tanpa pembacaan hal ini, maka segala gerakan, baik yang dilakukan, hanya akan menjadi aktivisme belaka yang tidak jelas ujung dan pangkalnya. Hanya menjadi romantisme. Indonesia pasca reformasi sampai saat ini masih dikuasai oleh oligarki rezim lama. Mereka merupakan elemen-elemen yang terdidik lewat cara-cara Negara Orde Baru (NOB) dan berpandangan NOB. Di tengah keterbukaan pasca NOB runtuh, oligarki ini kemudian bertransformasi dan melakukan cara lain agar tetap dapat terus merampok sumber daya publik untuk keuntungan mereka sendiri. Konsolidasi aktor-aktor lama
3
opini 1 tersebut memanfaatkan ruang demokrasi yang tersedia untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti membentuk ruang pengeruk baru melalui partai-partai politik yang dibuat sendiri oleh mereka atau merapat ke partai politik lain yang sudah mapan. Instrumen tersebutlah yang dipakai untuk mengatur distribusi sumber daya kekayaan negara. Sementara itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak banyak berubah sejak rezim-reim sebelumnya. Sebab, secara umum kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintahan saat ini masih mewarsisi kebijakan lama: sama sekali tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kebijakan ekonomi pemerintah saat ini justru memasifkan ketidakadilan bagi rakyat banyak. Lihat saja pasar bebas hari ini dan privatisasikomersalisasi di segala sektor publik yang (harusnya) milik rakyat, justru menjauhkan secara masif kuasa rakyat atas saranasarana produksinya, seperti tanah, hutan, air dll. Kebijakan yang berorientasi pasar/ pencabutan subsisdi yang dijustifikasi oleh dalil ‘pengalihan pada sektor-sektor lain yang lebih produktif’, yang seolah benar, padahal sama sekali menyesatkan. Ketidakpuasan terhadap negara inilah yang kemudian diekspresikan oleh rakyat dengan perlawanan-perlawanan yang sifatnya individual ataupun berkelompok secara parsial. Meskipun demikian, problem besar yang dihadapi rakyat banyak dalam menghadapi kesewenangan kuasa negara tersebut belumlah memadai sebagai pendorong kebijakan politik emansipatif. Hal ini disebabkan memori kolektif tentang pergerakan-perlawanan yang telah terbangun sejak zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan dibabat habis rezim fasis militer NOB. Memori kolektif tentang keterorganisiran pun lenyap, rakyat ditumpulkan dari kesadaran sejarahnya sendiri. Meski begitu, kesadaran bergerak di beberapa sektor pun sudah mulai cukup terorganisir seperti di sektor buruh dan tani. Walaupun begitu, semesta pergerakan dalam sektor-sektor kerja lainnya belumlah memadai.
4
Situasi orientasi dan watak yang hampir sama pun terjadi di dalam tubuh GM. Di mana saat ini GM masih didominasi organorgan lama hasil kooptasi rezim fasis-milter Orba (Muridan dkk: Penakluk Rezim Orba). Di sisi organisasi ekstra mahasiswanya (Omek), bercokol Kelompok KAMMI dan Cipayung: HMI, PMII, GMNI, GMKI dan PMKRI. Orientasi gerakan kelompokkelompok tersebut sangat rentan dengan kepentingan politik praktis elit-elit penguasa parpol (salah satu instrumen oligarki Orba), yang notebenenya adalah senior-seniornya. Hubungan semacam ini bisa terjalin erat terutama karena adanya kesamaan interest politik, atau karena adanya subsidi finansial dari senior ke juniornya. Di sisi internal kampusnya ada kelompok – kelompok berupa senat dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tak jarang BEM pun sudah menjadi arena campur baur, baik dengan aktor maupun orientasi dalam gerakan omek-omek tersebut. Ditambah pula kooptasi langsung birokrasi kampus yang mengebiri kritisisme lembaga tersebut. Sehingga, kehadiran mereka pun tak mampu menjadi elemen kritis kebijakan dan pendorong demokratisasi di dalam kampus. Dengan begitu secara umum, kondisi Indonesia pasca reformasi saat ini adalah kombinasi antara kian terdemoralisasinya GM dengan pola hubungan patron-client dengan elitnya (senior di parpol), di tengah belum terorganisirnya massa rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap kuasa negara, beserta dibajaknya demokrasi itu sendiri, yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat banyak untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas dan solidaritasnya. Dalam aras seperti itulah kita harus maknai sebuah alternatif bentuk pergerakan. Yakni pembacaan ekonomi-politik dan kemudian mengabil sebuah antitesa sebagai upaya pembebasan. Semua problem di atas tidak lain merupakan problem ekonomipolitik dan selalu merupakan persoalan perebutan sumber daya. Karena itu, gerakan mahasiswa yang masih saja mengagung-agungkan diri sebagai entitas
opini 1 yang bergerak hanya berdasarkan moral semata, justru kehilangan moralitasnya karena sudah “berselingkuh� dengan elit kekuasaan (seniornya) dan sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka sendiri lakukan. Tanpa independensi, “kemurnian� perjuangan dan militansi tidak akan muncul. Romantismelah yang paling mengemuka. Gerakan Pemuda Sebagai Pelopor Aksi-aksi yang sifatnya protes sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa hari ini tidak akan pernah memadai, meskipun memang bukan sama sekali tidak memadai. Sebab bagaimanapun, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kepentingan mereka yang menguasai negara dan mereka yang terpinggirkan oleh kebijakan negara sangat bertentangan. Karena pada dasarnya mereka sebangun dengan elit-elit yang ada (seniornya). Kalaupun tuntutan dalam protes diakomodir dan dilakukan perbaikan-perbaikan dengan dasar protes tersebut, syaratnya adalah keterorganisiran yang masif dari mereka yang melakukan protes. Sementara itu, sebagaimana protes pada umumnya, GM akan selalu menyasar kepada hal-hal yang sifatnya luaran saja, misalnya produk perundang-undangan tertentu. Padahal, ada sistem yang lebih mendasar yang mengondisikan seluruh kebijakan tersebut, yang mana sistem tersebut tidak akan bisa diubah hanya melalui aksi-aksi protes saja, melainkan dengan pengambilalihan kebijakan dari tangan minoritas ke tangan rakyat banyak. Karena itu, harus ada relasi yang jelas antara aksi-aksi protes dengan pembangunan gerakan rakyat itu sendiri. Aksi-aksi protes hanya akan bergerak
maju jika dibarengi dengan penguatan keterorganisiran rakyat banyak. Keterorganisiran tersebut mensyaratkan agensi yang sadar akan pentingnya pembangunan gerakan rakyat lintas sektoral, bukan mereka yang mengagungagungkan eksistensi sektor masing-masing dan justru mengatasnamakan kelompok masyarakat lain. Oleh karena itu, kontekstual apabila kita kembali mengemukakan Gerakan Pemuda kembali. Mengapa pemuda? Tiada lain adalah mempercayakan perjuangan kepada kaum muda. Tanpa embel-embel elitisme bernama “mahasiswa�. Pemuda adalah kaum yang selalu optimis dengan masa depan dan selalu energik dalam perjuangan. Bukan hendak meromantisir model-model atau ide pergerakan masa lalu. Melainkan para pemuda adalah satu-satunya tenaga yang tersedia di tengah keadaan sosiologis yang ditentukan pemimpin-pemimpin hipokrit dan kelompokkelompok oportunis. Serta situasi filosofis yang subur dengan agama dan ideologi ketidaksadaran, budaya dan pengetahuan pembodohan. Gerakan pemuda adalah satu-satunya tenaga yang tersedia ketika buruh dan tani belum sepenuhnya menemukan kawannya dalam menghadapi kuasa rezim penindasan. Pemuda adalah tenaga inti pergerakan dalam menemukan formulasi prinisipprinsip kritisisme radikal tanpa kompromi sambil membangun sistem perlawanan berkelanjutan di setiap fase politik dan konteks sosial; budaya, agama dan ilmu pengetahuan. Menjadi manusia pergerakan adalah yang mampu Mendidik Rakyat dengan Pergerakan, Mendidik Penguasa dengan Perlawanan!
Banggakah Menjadi Mahasiswa
opini 2
Oleh: Heri Kiswanto
Apa yang ada dibenak kita tentang “mahasiswa�? Pastinya banyak yang berpendapat baik dan buruk mengenai mahasiswa. Saya sendiri bisa dibilang
mahasiswa, karena masih aktif mengikuti kegiatan akademis yang ditetapkan oleh kampus. Saya kuliah di kampus yang mencetak
5
opini 2
guru, Universitas Negeri Jakarta yang dulunya adalah IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan –red) Jakarta. Di ruang kelas saya diajari bagaimana menjadi guru yang kompeten. Kompeten yang dimaksud di sini adalah mengenai hal-hal yang prinsipil dan teknis, tapi menurut saya lebih banyak halhal teknis. Saya tidak akan membahas mengenai kegiatan pembelajaran dalam perkuliahan. Lebih menarik membahas kita sebagai mahasiswa. Banyak yang beranggapan status mahasiswa adalah orang yang paling tahu segalanya. “Maha” dalam kata mahasiwa mungkin jadi pemahaman yang keliru mengenai anggapan seperti itu. Menarik jika kita membahas dinamika akademik dan organisasi di dalam kampus kita ini. Saya akan coba menjabarkan beberapa karakter mahasiswa menurut pemahaman saya. Yang pertama, mahasiswa yang menjalankan rutinitas akademik yang sudah ditetapkan oleh kurikulum pendidikan kampus. Yaitu mengikuti alur perkuliahan dan kegiatan menyoal tugas kuliah dan sebagainya. Dengan adanya sistem kredit semester (SKS) menuntut mahasiswa untuk lulus cepat dengan IP (indeks prestasi –red) yang tinggi. Dengan mengikuti alur perkuliahaan yang sudah ditetapkan, mereka merasa tidak ada masalah di sekitarnya, dalam hal ini adalah kampus. Yang ternyata di tempat dia duduk dengan tenang dengan hembusan AC yang sejuk ada hak anak-anak yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya kuliah semakin mahal. Karakter seperti ini biasa disebut dengan mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah pulang-kuliah pulang). Yang kedua adalah mahasiswa yang
6
menganggap bahwa belajar tidak hanya di ruang kelas. Ruang-ruang diskusi dan organisasi adalah tempat mereka mengaktualisasikan kegiatan akademik di luar ruang kelas kuliah. Mungkin mahasiswa seperti ini sudah jarang sekali kita temukan. Jika kita masih menganggap menjadi bagian dari civitas akademik kampus UNJ tentunya ada cukup banyak permasalahan yang menjadi persoalan. Beberapa saat lalu mahasiswa dihebohkan dengan berita penonaktifan/DO yang dilakukan oleh Rektor kepada salah satu mahasiswanya yang kebetulan menduduki jabatan sebagai Ketua BEM Universitas. Walaupun penonaktifan ini seperti riak-riak kecil di tengah lautan. Pangkal masalahnya adalah adalah rencana pembangungan wisma atlet di Kampus B. Dengan adanya pembangunan berarti ada beberapa gedung yang dipindahkan. FMIPA adalah gedung yang dipindahkan ke kampus A. Beberapa mahasiswa FMIPA menolak kebijakan pemindahan gedung tersebut. Permasalahan ini pun diadvokasi oleh BEM yang katanya representasi dari mahasiswa. Setelah adanya beberapa penolakan tersebut tim aksi kampus atau apalah, bergerak mengakomodir seluruh permasalahan dalam kampus. Selanjutnya diadakan beberapa konsolidasi yang menghasilkan “7 Tuntutan” yang ditujukan kepada pihak rektorat. Gerakan yang dilakukan terkesan seperti superhero Batman yang lupa memakai baju, tidak membawa senjata dan kendaraan baja yang lupa diisi bensin sebelum melawan penjahat. Gerakan ini pun buyar seperti kotoran kucing yang terinjak sepatu, bentuknya hancur tapi baunya masih sedikit tercium ke berbagai penjuru. Gerakan ini pun tidak terdengar suaranya pasca pencabutan SK D.O. Rektor kepada Ketua BEM. Proses dikeluarkan dan dicabutnya SK DO tersebut begitu cepat, bahkan dalam hitungan kurang lebih 2 hari. Kita disuguhkan politik kampus yang tidak semua mahasiswa tahu kesepakatan antara Rektor dan Ketua BEM UN. Semangat yang digembor-gemborkan oleh “yang
opini 2 katanya� representasi mahasiswa hilang secepat kisah cinta di FTV. Menurut saya tidak cukup penyelesaian masalah dalam kampus dengan menjadi trending topic di twitter yang menghebohkan mahasiswa seIndonesia. Saya sebagai bagian dari civitas akademik kampus tidak menganggap BEM sebagai representasi seluruh mahasiswa dalam kampus. Sebenarnya pangkal permasalahan yang ada dikampus adalah demokratisasi kampus dan pendidikan murah berkualitas. Banyak mahasiswa yang kesulitan masalah ekonomi yang ingin mengikuti perkuliahan, parkiran kampus yang dikelola oleh swatsta, banyak ruang kelas yang kapasitasnya tidak sesuai dengan jumlah mahasiswa, dan
masih banyak permasalahan yang masih kita hadapi dan juga harus ada bentuk penyelesaiannya. Pengetahuan dari dalam kelas dan beberapa tumpuk buku hanya dijadikan mantra dalam lingkungan sekitar, apakah kita masih berbangga hati menjadi mahasiswa? Menurut saya, ketika kita masih menganggap mahasiswa sebagai tolak ukur perubahan, semangat perubahan hanya sampai wisuda. Karakter pemuda berani dan kerja keras lebih menjadi investasi seumur hidup untuk melawan segala bentuk penindasan yang sangat sulit kita lihat langsung saat ini dan kedepannya. Hidup Pemuda!!
opini 3
Menyiram Tunas yang (Hampir) Mati Oleh: Ahmad Faisal Sebetulnya bingung apa yang mau ditulis di halaman ini, bukan apaapa karena terkadang membahas isu mengenai kelanjutan Tujuh tuntutan yang diinisiasi oleh tim aksi kampus sama halnya dengan membahas kelanjutan mengenai isu pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh artis terhadap penggemarnya. Tidak menarik dan layaknya lagu ayu ting-ting yang berjudul sambalado “ enaknya Cuma di lidah saja� . Karena apa? Karena memang ternyata isu ini tidak pernah jelas ujungnya dan hanya pedas diawal. Tanpa bermaksud menggurui apalagi menjatuhkan, namun nyatanya tujuh tuntutan yang diajukan oleh kawan2 tersebut
patut dipertanyakan dari segi ini keresahan siapa serta isi tuntutannya. karena tuntutan dari sebuah masalah adalah hasil dialektika dan akumulasi keresahan personal yang disistematiskan lewat sebuah forum. Pertanyaannya sudah sejauh mana forum tersebut membicarakan masalah tuntutan ini. Misal jika membaca point 4 tentang UKT, UKT yang baru bergulir di tahun 2012 sudah direspon oleh kawan2 yang tergabung dalam solidaritas pemuda rawamangun (SPORA) yang kala itu aksi dengan tuntutan Transparansi, menolak UKT dan menciptakan pendidikan murah dan berkualitas. 4 tahun kemudian kawan2 tim aksi menuntut adanya transparansi.
7
opini 3 Artinya ada kemunduran dari segi tuntutan isu karena tidak maju dan cenderung tidak update isu. Harusnya dari segi pembacaan 4 tahun berselang harusnya pembacannya sudah lebih maju dan lebih sistematis namun mengapa hanya menuntut transparansi. Lalu yang jadi persoalan berikutnya adalah bagaimana ternyata masalah ini tidak dilihat bagaimana hari ini seiring dengan masuknya modal swasta di kampus, kampus seakan menjadi sebuah pasar yang menyajikan dan menjanjikan ilmu serta masa depan. Tentu dalam perdagangan semakin berkualitas barang semakin mahal pula harganya. Dalam hal ini kampus bisa berdalih bahwa kampus hanya menjalankan undang-undang yang mana kampus boleh mencari dananya sendiri. Maka harusnya yang menjadi sasaran adalah UKT itu sendiri, karena dengan adanya UKT pemerintah lepas tangan dalam hal pembiayaan pendidikan dan menciptakan mahasiswa yang tidak peduli lagi dengan sekitarnya karena harus dibebani dengan biaya UKT . Melihat poin kedua mengenai rektorat UNJ untuk memberikan fasilitas perparkiran yang layak. Ini pun terkesan bahwa tim aksi mundur dalam hal tuntutan karena perparkiran telah disewakan ke pihak Niaga Parking, artinya perparkiran UNJ itu adalah milik swasta, dan seharusnya adalah kampus harus mengambil alih kembali perparkiran dan menciptakan parkiran yang layak. Maka dari itu sebetulnya sungguh menjemukan membicarakan kelanjutan dari tuntutan tersebut karena tuntutan tersebut pun tidak dibangun atas keresahan kolektif dan pembacaan yang tuntas sehingga ketika isu ini terbentur pun akan cepat hilang. Pasca drama D.O ketua BEM yang sempat membuat hangat berita nasional sampai hampir mengalahkan berita tentang harga ayam yang melonjak ternyata isu ini menjadi mlempem karena terlalu banyak masuk angin. Tidak ada kelanjutan yang jelas terhadap tuntutan tersebut entah dari segi konsolidasi ataupun dari segi diskusi guna membangun kembali solidaritas dikalangan mahasiswa
8
sehingga isu ini menjadi isu bersama dengan kadar frekuensi yang sama. Nyatanya? Tidak. Layaknya sebuah film, Drama d.o menjadi titik akhir dari perjalanan tuntutan yang harus bubar sebelum terbentuk sempurna. Karena sekalipun dari tim aksi mengatakan tetap mengawal isu ini, nyatanya tidak pernah ada pembicaraan yang jelas dan bagaimana strategi serta pembacaan baru mengenai jalannya forum. Dan sesungguhnya itu tidak aneh jika melihat tuntutan yang dibawa oleh tim aksi tersebut nyatanya adalah sebagian besar merupakan isu yang dulu mereka kawal angot-angotan sehingga normal jika hari ini mereka pun bersikap demikian. Lagi –lagi mahasiswa hanya menjadi figuran yang membantu meretweet dan share perkara isu dan drama d.o. sementara substansial tujuh tuntutan nya terlupakan oleh euforia dicabutnya SK D.O terhadap Ketua bem. Tidak ada maksud menyudutkan siapapun dalam tulisan ini, namun memang ini menjadi tamparan keras bagi gerakan mahasiswa yang terkadang konsolidasinya rusak bahkan sebelum gerakannya terbentuk sempurna. Pelajaran pula bagi siapapun bahwa perubahan hanya akan terjadi di kondisi real bukan di media sosial. Sekalipun media sosial bisa digunakan itu hanya sebagai pemicu bukan tempat terjadinya perubahan. Masalahnya sekarang jika tujuh tuntutan ini tidak segera ditindaklanjutkan kembali, lalu mengapa dibuat? Ini artinya telah terjadi penipuan besar karena banyak dari mereka yang sudah berharap dengan adanya tujuh tuntutan ini maka masalah kampus satu persatu akan bisa diatasi atau minimal akan timbul solidaritas mahasiswa yang merasa bahwa ini adalah isu bersama yang wajib dikawal hingga tuntas. Sekali lagi jangan ada yang merasa tersudutkan, tapi merasalah bahwa kita pun sedang disudutkan oleh sebuah kondisi yang membuat sebagian dari kita menjadi tidak peduli dengan keadaan sekitar. Sekian dan mari berjuang.
opini 4
Internasionalisasi Kampus, Korbankan Mahasiswa Oleh: Virdika Rizky Utama
Pada 2016, Indonesia telah memulai agenda liberalisasi bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan suatu bentuk pelepasan bentuk tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Pemerintah tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur dan melindungi rakyatnya, tetapi semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan demikian, logika yang dipakai adalah menghalalkan persaingan antar-individu dengan tidak memedulikan negara. Hal ini tentu saja berdampak bagi seluruh ranah kehidupan termasuk pendidikan. Pendidikan di Indonesia—terutama jenjang universitas— mesti dapat bersaing dengan universitas lain di luar negeri. Tak hanya itu, universitas juga diharapkan dapat menciptakan lulusan yang dapat diterima di pasar kerja. Lalu, bagaimana dengan cara universitas di Indonesia untuk memenangkan persaingan? Cara yang dilakukan oleh universitas adalah dengan memajukan mutu pendidikan berlabel internasional bernama International Organization for Standardization (ISO). Ironis, ketika ISO yang notabene digunakan untuk manjemen organisasi suatu perusahaan—yang menuntut standar mutu kerja dan hasil produksi—juga diterapkan dalam ranah pendidikan. Sebenarnya, wacana label internasional universitas sudah lama didengungkan. Label internasionalisasi sudah mulai dirintis sejak 2009. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pun tak ingin ketinggalan, ia sudah bergerak mencari label mutu internasional mulai 2010. Dimulai dengan beberapa jurusan yang telah mendapatkan ISO, perpustakaan, dan beberapa unit pelayanan teknisnya. Harapannya pada 2019, seluruh UNJ sudah bersertifikat ISO dan berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Sekilas nampak tak ada masalah dengan UNJ yang ingin memburu selembar kertas ISO. Akan tetapi, proses memburu ISO
juga memberikan dampak buruk kepada mahasiswa. Salah prasyarat kampus mendapatkan ISO adalah fasilitas yang memadai mahasiswa. Masalahnya, kampus tidak memiliki dana sendiri untuk melakukan perbaikan tersebut. UNJ pun mengajukan pinjaman dana kepada pihak asing, salah satunya adalah Islamic Development Bank (IDB) untuk mengubah tampilan kampus jadi lebih layak. Celakanya, ketika sudah memiliki fasilitas yang lebih layak, kampus tidak memiliki dana lebih untuk melakukan perawatan fasilitas. Dana yang sudah pasti didapat oleh kampus berasal dari mahasiswa. Alhasil, kampus memanfaatkan ini dengan menerima mahasiswa dengan jumlah yang sangat besar. Tak hanya itu, biaya kuliah UNJ pun menjadi mahal melalui penerapan UKT. Memang, pemerintah yang menetapkan besaran UKT, tetapi kampus yang menjalakan UKT tersebut. Pemerintah menyediakan kisaran kuota 5 persen untuk mahasiswa yang tidak mampu. Akan tetapi, data Litbang LPM Didaktika pada 2014 menunjukkan kuota 5 persen yang disarankan oleh pemerintah bagi mahasiswa yang kurang mampu, tidak pernah sampai 5 persen. Belum lagi banyak ditemukan ketidakserasian antara jumlah pendapatan orang tua yang diisi oleh mahasiswa dan ketetapan besaran UKT yang diterima mahasiswa saat diterima di UNJ. Hal ini tentu saja merugikan mahasiswa, tak sedikit mahasiswa yang tidak sanggup membayar uang kuliah. Data Litbang Didaktika menunjukkan setiap tahunnya ada mahasiswa baru yang mengundurkan diri sejak pemberlakuan UKT 2012, tiap tahunnya sekitar 30-50 mahasiswa mengundurkan diri. Masih dalam pemenuhan untuk memiliki dana sendiri, UNJ pun melakukan komersialisasi untuk setiap asetnya. Mulai dari melakukan penyewaan
9
opini 4 ruangan untuk berbagai macam kegiatan hingga komersialisasi parkir yang sejak pemberlakukannya pada 2014 menimbulkan masalah. Ini tentu saja konsekuensi logis dari status UNJ yang berstatus Perguruan Tinggi yang menerapkan Pengelolaan KeuanganBadan Layanan Umum (PK-BLU). Pada PK-BLU, kampus mendapatkan otonomi untuk mencari pendapatannya sendiri dan sedikit bantuan dari pemerintah. Tak cukup sampai disitu, rektorat menargertkan bahwa pada 2019, UNJ sudah berstatus PTN-BH. Perguruan tinggi dengan status PTN-BH, sudah tidak mendaptakan dana lagi dari pemerintah. Artinya, kampus memiliki kewenangan seluas-luasnya untuk membiayai dirinya sendiri, apa pun caranya. Ketika masih berstatus BLU saja banyak mahasiswa yang menjadi korban, apalagi jika sudah berstatus Badan Hukum. Apakah mahasiswa diam saja? Sebenarnya, ada beberapa mahasiswa baik yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun kelompok solidaritas lainnya yang melawan. Akan tetapi, gerakan mahasiswa— terutama BEM—cenderung kooperatif dengan pihak kampus. Tak hanya itu, dalam tubuh BEM sendiri dikuasai oleh organisasi-organisasi ekstra kampus yang berafiliasi dengan partai politik dan hanya bertujuan untuk mendapatkan kader yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan partai politk tersebut. Ini tentu saja tidak demokratis. Hubungan afiliasi BEM dengan partai politik dapat disaksikan dengan gamblang tanpa perlu analisis mendalam,
10
ketika Ketua BEM pada Januari lalu diancam dikeluarkan oleh kampus. Kampus pun bereaksi dengan cepat, ketika ada mahasiswa melakukan. Rektorat seakan alergi dengan adanya kritik. Rektorat tak segan untuk melakukan ancaman Drop Out (DO) bagi yang dianggap merongrong kewibawaan rektorat. Kasus DO pada Januari lalu merupakan bukti nyata bahwa kampus antikritik. Beruntung bagi mahasiswa yang bergabung dengan organisasi ektra kampus yang memiliki afiliasi dengan partai politik. Ia bisa diselamatkan oleh bantuan “kakanda�. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa yang mengkritik kampus tetapi tidak ikut organisasi ekstra yang berafiliasi dengan partai politik? Tak hanya itu, beberapa kali pejabat kampus menyatakan bahwa kritik dapat mengurangi akreditasi yang diraih oleh UNJ. Pada 2015 lalu, UNJ mendapatkan A dari BANPT. Menurut pejabat kampus tersebut, jika banyak kritik, maka citra yang sudah dibangun oleh UNJ akan buruk dan akan sulit mendapat label internasional. Ini tentu saja aneh, kampus menolak budaya akademik. Antikritik merupakan sifat diktatur. Jika mutu internasional yang hanya ingin diraih UNJ, dengan mengorbankan mahasiswa dengan semua dinamikanya, apakah layak jika UNJ masih berstatus Perguruan Tinggi Negeri? Tak hanya itu, mutu internasional yang ingin diraih oleh kampus semata-mata untuk bisinis. Bisnis pendidikan memang baik. Tapi, tidak baik menjadikan pendidikan sebagai bisnis.
cerpen 1
KAMPUS BERDUKA Oleh: Andika Baehaqi
“Beneran, tidak menyinggung Baginda Rektorat, kan? Soalnya, Baginda Rektorat menyebut-nyebut nama Dibay. Katanya, dianggap melakukan pencemaran nama baik,” terdengar suara di balik telepon milik Dibay. *** Hari Rabu, hari yang dinanti-nanti pun telah tiba. Dengan rasa pede, Dibay bersama Anto, teman satu kontrakannya, menuju kampus untuk memenuhi panggilan Bapak Dekan. ”Eh, Dibay dan Anto. Coba ke sini sebentar,” tiba-tiba dua orang dosen memanggil mereka berdua. “Iya, ada apa, bu?” tanya Dibay. “Ibu minta supaya kamu berdua mengalah saja, ya, sama semua perkataan Baginda Rektorat nanti.” Dibay dengan rasa kesal berbicara, “Bu, ini bukan masalah minta maafnya. Tetapi ini menyangkut kebenaran. Selama kami berdua ini belum mengetahui secara jelas kesalahan yang dituduhkan, kami akan memperjuangkan kebenaran!” ” Ya, sudah. Intinya, Ibu tidak ingin kalian berdua berurusan dengan pihak kepolisian.” Dibay dan Anto kembali duduk di samping pohon rindang, sambil menghisap rokok kreteknya. Anto mendengar kabar dari media kampus bahwa Akhi Setiawan berhasil selamat dari teror “Drop-Crot” karena difasilitasi oleh Fraksi Partai Kurang Sehat. Dengan rasa kesal, Dibay menendang gelas plastik yang berisikan kopi itu. “Nah, sekarang sudah terlihat jelas siapa sebenarnya Akhi Setiawan!”. “Siapa, Bay?” “Dia itu ternyata anaknya tukang sapi. Pantas saja dia bisa bernegosiasi ala pedagang dengan Baginda Rektorat”. *** Setelah ditelepon dari seorang dosen, dengan rasa penasaran, Dibay mencari tahu kenapa dirinya bisa dipanggil. Tak lama seorang temannya memberitahu informasi tentang Akhi Setiawan yang mengawal “7 Tuntutan” mahasiswa, telah dikeluarkan dari kampus. Alasan pengeluarannya karena dituduh menghasut dan melakukan pencemaran nama
baik terhadap Baginda Rektorat. Sebetulnya, Dibay bersama kawan-kawannya pun ikut mendorong Aliansi Mahasiswa bersama BEM untuk mengkritisi isu-isu yang ada di kampus tersebut. Isu-isu yang masih dalam lingkup tentang uang kuliah dan parkiran semrawut yang dikelola oleh perusahaan swasta itulah yang dibawa oleh mereka. Tapi, tiba-tiba saja aksi yang baru sebatas konsolidasi dan belum sampai demo, seorang mahasiswa yang bernama Akhi Setiawan turut masuk di dalamnya dan mendapat ancaman “Drop-Crot”, lalu dengan reaksionernya para mahasiswa ikut berduka dan bersimpatik atas ancaman “Drop-Crot” yang menerpa Akhi Setiawan. Bahkan, Akhi Setiawan telah dianggap sebagai pahlawan di kampus mereka. “Lalu maksud pemanggilanku, apakah ada hubungannya dengan ancaman “Drop-Crot”,” tanya Dibay dalam hati sebelum berangkat ke kampus bersama Anto untuk memenuhi panggilan Dekan. *** “Mahasiswa kembali gembira karena pahlawannya si Akhi Setiawan tidak jadi di“Drop-Crot”. Kampus kembali adem-ayem lagi, sedangkan tuntutan mahasiswa pun belum kelar.” Dengan ketus Anto bertanya kepada Dibay,” Lalu, bagaimana dengan nasib kita, Bay?” “Ah, sudahlah! Santai saja dulu, ini hanya gertakan, doang, kok. Yuk kita pindah tempat nongkrong.” Kemudian mereka berjalan mengelilingi kampus. Dibay dan Anto berhenti di tengah-tengah gedung hasil kerjasama antara Baginda Rektorat dengan Islamic Development Bank, berdiri sejenak sembari menyusun rencana saat nanti menghadap panggillan Dekan. Lalu Dibay dan Anto berjalan menuju ruang dekan untuk memenuhi panggilan. Di sana sudah ada empat dosen dan dua mahasiswa lainnya, yang ternyata diancam “Drop-Crot” pula. Selama pembicaraan yang lama di ruang dekan, dua mahasiswa yang lebih dulu di sana meminta maaf kepada Baginda Raja. Sontak saja Dibay dan Anto merasa kecewa dengan sikap mahasiswa ini. Dengan nada yang sedikit keras, Dibay melakukan
11
cerpen 1 provokasi terhadap dua mahasiswa ini. “ Ya, cemen banget. Jangan minta maaf. Kalau tindakan kita ini benar dan tujuannya ingin merubah kampus menjadi demokratis, jangan mau minta maaf. Apa bedanya kamu dengan Akhi Setiawan?” Akhirnya, Bapak Dekan menelpon Baginda Rektorat dengan telepon genggam yang di-loudspeaker, “Hallo, Pak. Bagaimana ini, empat mahasiswa sudah ada di sini, Anto dan Dibay menolak meminta maaf, akan tetapi kedua mahasiswa lainnya siap untuk meminta maaf. Baginda Raja pun marah mengetahui Anto dan Dibay menolak meminta maaf pada dirinya. “Ya sudah, bila kalian berdua menolak untuk meminta maaf, masalah ini akan ditindaklanjuti ke ranah hukum,” ujarnya. Dosen yang katanya mantan aktivis ini pun berkomentar. “Sudah lah, kamu ikutin saja nasihat dari saya, lebih baik minta maaf, kan, enak. Kamu ini belum jadi aktivis, jangan seperti Dibay dan Anto yang keras kepala dan bersikukuh dengan pendapatnya,” dia “berpidato” di depan kedua mahasiswa tersebut, ”kamu ini tidak punya Possession Bergeening,” pungkasnya. Dua mahasiswa itu hanya terdiam. Setelah panjang lebar berdebat di ruang dekan, akhirnya dibuahkan keputusan melalui surat yang menyatakan dua mahasiswa itu meminta maaf, dan Dibay dan Anto tetap tidak ingin meminta maaf. Karena merasa tidak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan, mereka pun melakukan aksi di depan rektorat, dengan tuntutan demokratisasi kampus. Namun sayang seribu sayang, tidak ada tanggapan dari mahasiswa lain ketika Dibay dan
12
Anto meminta bantuan, mereka hanya menonton planga-plongo. Ketika Dibay dan Anto dengan lantang mengkritik Baginda Rektorat. “Keluar kau, Diktator! Mahasiswa kritis dibungkam, ini sama saja kembali ke zaman Orde Baru ketika Baginda Raja anti-kritik terhadap mahasiswanya, Jancuk,” ketus Dibay, dihadapan gedung rektorat. Lalu petugas keamanan suruhan Baginda Raja pun keluar untuk mengusir aksi Dibay dan Anto. Dengan rasa kesal, Dibay menuangkan bensin ke badannya dan membakar diri hingga mati di depan gedung Baginda Rektorat. Suasana tiba-tiba berubah menjadi mencekam, banyak terdengar suara jeritan.
cerpen 2
Termehek-mehek Oleh: Tyo Prakoso
Matari sudah lengser di sebelah barat, saat Si Bodor mengembalikan bundel kliping kepada Pak Is, salah satu kerani Pusat Dokumentasi Sastra pusat kota, dan warung Mpok Eli mulai hidup kembali. PDS itu terletak di pusat kesenian. Setelah mengenakan tas kanvas, Si Bodor bergegas turun menuju warung Mpok Eli, yang terletak di bawah tangga besi berwarna biru gedung PDS itu. Sementara itu, di meja warung Mpok Eli tengah terjadi obrolan yang seru. Tampak sejumlah orang duduk di hadapan pesenannya masing-masing. Si Bodor duduk di salah satu ujung meja warung Mpok Eli. Dengan sebuah gerakan yang minim ke arah Mpok Eli, agar tak menganggu jalannya obrolan, ia memesan kopi hitam kegemarannya. “Hari ini kita kehilangan kesenian dan kebudayaan yang menggugah. Seni dan budaya akhir-akhir ini sibuk dengan dirinya masing-masing. Padahal kehadirannya diperlukan oleh bangsa dan negara kita yang sedang kepayahan ini. Seni dan budaya harus bisa mengambil tugas itu,” terdengar Mang Djali, salah satu pemimpin ormas keagamaan yang saban malam Jumat ngadain majelisan di pinggir kota dan kerap bikin macet jalan, memulai pendapatnya. “Seniman dan budayawan kita terlalu asik bicara tentang diri sendiri. Apalagi kalau sudah ngomongin maksiat. Paling demen dah... Sampe-sampe persoalan seks dijadiin inspirasi: karya sastra ngomong seks, lukisan cewek telanjang, patung anak kecil ngencing. Nauzubilah minzalik...” lanjut Mang Djali, sambil meletakkan kopiahnya di atas meja. Ia seruput kopi pesenannya. “Memang bangsa dan negara kita sedang susah. Seharusnya para seniman dan budayawan perlu memikirkan jalan keluarnya. Persoalan bangsa dan negara bukan hanya urusan pemerintah. Seharusnya seniman dan budayawan perlu juga memikirkan perubahan sosial,” timpal Bung Odon, penyair yang beberapa waktu yang lalu meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya dalam bentuk zine terbatas, sambil menyeruput kopinya. Seperti mengonfirmasi pernyataan Mang Djali. “Kalau urusan pemerintah diurusin seniman dan
budayawan, kerjaan pemerintah apaan?” Semua orang terdiam. Seolah pertanyaan itu tak perlu diajukan. Rupanya yang bersuara Bang Qijoy, penjual roti Tan En Tjoan yang biasa mangkal di perempatan. Si Bodor masih menyimak. Belum berkomentar. Tapi semua orang engeh kedatangannya. “Seharusnya seniman dan budayawan ngikutin mahasiswa dong. Yang menjadi pembela marwah kebenaran dan konsisten jadi agent of change. Seperti Mas Ronny itu, teman satu kampus Si Bodor. Agar beban pemerintah jadi ringan ngurus negara,” kata Bang Amat, tukang ngelapin gedung tinggi, suaminya Mpok Eli, yang anaknya kuliah di salah satu kampus beken di pusat kota karena beasiswa pemerintah, sambil melirik Si Bodor yang masih ogah berkomentar. Bang Amat tahu tentang rame-rame #SaveRonny dari anaknya yang bercerita tentang akun pesbuknya di sela-sela istirahatnya di rumah. Si Bodor hanya mesem. Ia teringat kejadian menghebohkan di jagat-maya beberapa waktu yang lalu. Tentang Ronny, salah satu ketua lembaga kemahasiswaan di kampusnya, yang diancam droup-out oleh rektor. Rupanya kejadian itu masih juga diomongin, pikir Si Bodor. Ia cuma manggut-manggut. “Dor, pegimana komentar lu? Jangan diem aja kayak ayam mau mati besok pagi?” timpal Mpok Eli, sambil kopi taruh pesenannya Si Bodor di depan posisi duduknya. Kini semua orang mengarahkan perhatian kepada Si Bodor. Mahasiswa jurusan filsafat di Pasar Pendidikan Rawamangun yang belum juga lulus itu. Si Bodor pun angkat suara. “Omong-omong, Mang Djali, apa bedanya sih seniman, budayawan, dan mahasiswa, sama mereka-yang-bukan?” Mang Djali terperangah. Ini pertanyaan retorik dan berupaya ngetest sepertinya, pikir Mang Djali. “Jelas beda dong, Dor. Seniman, budayawan atau mahasiswa itu lebih tau dan ngerti ketimbang merekayang-bukan. Sebab mereka memiliki pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh mereka-yang-bukan.” Mang Djali menerangkan. Wajah Si Bodor dingin tak berubah.
13
cerpen 2 “Jadi kalau begitu; Bang Amat, Mpok Eli, Bang Qijoy, atau Mang Dobleh, tak bisa ikut ngurus negara dan perubahan sosial, dong ?” Mendengar namanya disebut, Mang Dobleh, tukang parkir di PDS, kaget. Wajahnya terlihat mikir. Jidatnya yang keringetan dan penuh debu kelihatan. Ia orang yang selalu diem jika ada obrolan di warung Mpok Eli. “Menjadi kurang fair, Mang Djali, kalau hanya seniman, budayawan atau mahasiswa yang diikut-sertakan dalam soal urus-mengurus negara. Apalagi kalau kita bicara tentang perubahan sosial. Dalam catatan sejarah, mereka-yang-bukan seniman, budayawan atau mahasiswa, itu yang kerapkali menjadi motor penggerak. Mereka-yang-bukan itu menjadi pencipta sejarah. Tapi sialnya, dalam catatan sejarah kita, seringkali mereka-yang-bukan itu hanya dicatat sebatas ‘massa’, ‘rakjat’ atau sejenisnya. Yang perannya dikaburkan oleh sejarawan. Padahal mereka-yang-bukan itu, baik itu ‘massa’ atau ‘rakjat’ adalah tokoh penting dalam sejarah. Tidak hanya sekedar ngurus negara saja!” Mengikuti adatnya, Mang Djali diam perhatikan lawan bicaranya. Sambil jari telunjuk mengetukngetuk meja. Bunyinya bersahutan dengan bunyi giginya yang tonggos beradu. Kumisnya dipelintir. Mang Djali gatel pengin ngembat Si Bodor. “Mang Djali, perihal urus-mengurus negara, memang sudah menjadi konsekuensi bangsa kita yang bersepakat membentuk negara pada 17 Agustus 1945 tempo dulu. Yang bersepakat kagak cuma seniman, budayawan, mahasiswa atau pemerintah saja. Tapi seluruh rakyat juga. Dengan begitu, tugas dan kewajibannya juga sama; ngurus negara. Hanya saja, bagi pemerintah, ya, ngurus negaranya formil. Tapi bagi mereka-yang-bukan itu ngurusnya sesuai dengan perannya masing-masing. Begitupun bagi seniman, budayawan, dan mahasiswa.” Semua melongo. Hanya Mang Djali yang geram. Matanya menahan marah. Memang sudah jadi adat Mang Udin, kalau kalah secara argumen, maka tidak boleh kalah
14
juga secara psikologis, dan tentu saja, otot. Menggertak adalah awal dari kelanjutannya kemudian. “Dan soal tadi itu; mereka-yang-bukan seniman, budayawan, atau mahasiswa dianggap tidak tau dan ngerti, kata Mang Djali tadi, mereka enggak punya pengetahuan dan ilmu. Itu keliru! Kita selalu menganggap mereka-yang-bukan itu bodoh dan tolol. Padahal mereka-yang-bukan itu memiliki pengetahuan dan ilmu. Tanpa harus makan bangku sekolahan. Itu juga sudah tercatat di sejarah. Tapi sejarawan sering lupa mencatatnya. Nah, kenapa kita kok sebegitunya sama mereka-yang-bukan itu?” Namun Si Bodor tidak menunggu jawaban. “Karena kita arogan. Menganggap lebih pintar dan pantas ngurus negara ketimbang mereka-yangbukan itu. Menganggap yang namanya pengetahuan dan ilmu adanya cuma di bangku sekolahan aja. Nganggep nyangkul itu bukan ilmu, ngangon itu bukan pengetahuan, dan lain-lain. Pokoknya yang bukan dari bangku sekolahan bukan pengetahuan dan ilmu. Jadi hanya yang makan bangku sekolahan yang berpengetahuan dan berilmu. Ini memang tabiat kita dari dulu.” Braaak... Braak.. Braakkkkk... Tiba-tiba Mang Djali menggebrak meja. Cangkir dan piring yang beirisi pesenan sesaat meloncat dari papan meja yang terbuat dari papan bekas meja pimpong itu. Bukannya takut, Si Bodor malah nyengir. Lalu menyambar pisang goreng. Memang Si Bodor paling demen bikin Mang Djali naik pitam. Tapi yang lainnya sudah ketar-ketir. Bakal ada adu-jotos lagi ini, pikir sebagian orang di meja warung Mpok Eli itu. “Dan satu lagi, Mang Djali; soal Mas Ronny. Sudahlah semua orang juga sudah tahu, wess ngerti. Itu hanya serial termehek-mehek yang lagi numpang shooting di kampus. Semua sudah diatur di skenario; ujungnya sudah ketebak, bahwa Mas Ronny enggak bakal di-DO, dan sahabat Ronny akan berbondong-bondong mengucapkan syukur, serta mengkultus Mas Ronny sebagai pahlawan yang kritis dan menjaga predikat mahasiswa sebagai
cerpen 2 agent of change. Ini terlihat dari peliputan media yang gila! Wess ngerti, Cuk!” Si Bodor terus bicara sambil mengunyah pisang goreng yang belum tuntas di mulutnya. Ada potongan pisang goreng yang menyembur dari mulut Si Bodor. Braak... Sekali lagi Mang Djali menggebrak meja. “Kamu ini ngomong apa sih, Dor?” tanya Mang Djali kebingungan, sekaligus juga geram. Kebingungan yang tak dibuat-buat. Sebab ia tidak mengerti apa yang dibicarakan Si Bodor. Mengapa jadi dikait-kaitkan dengan program acara televisi termehek-mehek, pikir Mang Djali. “Kita sedang bicara ngurus negara, Dor. Bukan acara termehek-mehek atau acara katakan putus itu,” lanjut Mang Djali. Si Bodor cuma mesem. Tiba-tiba Orang Gila, teman kampus Si Bodor, datang. Rupanya sedari tadi ia mendengarkan obrolan di warung Mpok Eli itu secara diam-diam duduk dari anak tangga PDS. Kemudian ia menepuk bahu temannya itu dari
belakang. Semua orang kebingungan. Hanya Si Bodor dan Orang Gila yang tersenyum. Rupanya Si Bodor lupa, yang dihadapinya Mang Djali; pemimpin ormas itu, bukan Rojali, rektor kampusnya; yang mengadakan acara termehek-mehek di kampusnya dengan Mas Ronny sebagai pemeran utamanya. Obrolan pun berlanjut sampai langit benar-benar hitam. Si Bodor dan Orang Gila pulang sebelum obrolan di warung Mpok Eli usai. Di jalan pulang, saat baru beberapa langkah meninggalkan area PDS pusat kota, Orang Gila berbisik kepada Si Bodor; kau sudah dengar kabar terbaru tentang Mas Ronny? tanpa menunggu jawaban, Orang Gila melanjutkan; Mas Ronny sudah ditawari bintang iklan dompet dhuafa dan main di tayangan azan magrib edisi khusus bulan puasa. Karena aktingnya yang memikat di serial termehek-mehek tempo waktu. Si Bodor hanya nyengir. Asu, pikirnya. Dan tak ada bintang malam itu. [] @cheprakoso Jatikramat, Februari 2016 puisi
Api Revolusi Oleh: Deni Catur Setiawan
Jika bumi pertiwi berguncang Gunung-gunung meletus tak karuan Itu pertanda bahwa ibu pertiwi marah Apakah kita hanya terdiam melihat ini? Pemuda, ayo bangkit! Ibu pertiwi menangis Sebab kekayaan yang terdapat di negeri ini Dihisap oleh korporat-korporat asing Mari kita renungkan Dari mana kita memulai api revolusi ini Untuk membuat perubahan bagi negeri ini Agar rakyat tidak ditindas lagi 15
resensi
Menentang Hegemoni Dengan Budaya Tanding
Judul Buku : Menolak Menunduk Menentang Budaya Represif Penulis : Enin Supriyanto Penerbit : Grasindo Tahun Terbit : 1999 Tebal : 144 halaman
Buku ini meceritakan tentang kisah gerakan mahasiswa tahun 1980an, khususnya peristiwa 5 Agustus 1989 di ITB. Penulis adalah salah satu dari enam orang mahasiswa yang ditangkap dan diadili karena melakukan aksi penolakan atas kunjungan mendagri (menteri dalam negeri –red) yang bertujuan untuk melakukan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di kampus ITB. Selain itu aksi ini pula bertujuan untuk mengecam pemerintah yang banyak melakukan sabotase tanah milik rakyat. Buku yang bagus untuk diketahui sebagai suatu peristiwa sejarah, bukan sebagai landasan gerakan mahasiswa saat ini. Menurut buku ini perlu disadari peranan mahasiswa dewasa ini adalah sebagai calon pekerja upahan. Penggerak ekonomi dan menjadi pengisi industri-industri kapitalis. Inilah takdir mahasiswa dalam sistem kapitalisme. Mahasiswa di Indonesia sepanjang 32 tahun Orde Baru sering tampil mengangkat isu politik yang beraneka ragam. Tampilnya mahasiswa mengangkat isu politik tertentu jelaslah berkaitan dengan timbulnya persoalan itu di masyarakat, yang mereka nilai perlu diselesaikan dan jangan dibiarkan berlarut-larut, serta
16
jangan pula merugikan rakyat. Misalnya, isu demokratisasi dan reformasi total menunjukkan adanya kehendak baik mahasiswa untuk ikut ambil bagian dalam perbaikan sistem politik. Aksi-aksi protes mahasiswa –perannya dalam politik –itu sering pula dikemukakan sebagai gerakan mahasiswa. Pandangan tentang peran politik mahasiswa ini terbentuk dan berkembang seiring dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru (NOB). Dengan dihancurkannya kekuatan partai-partai politik, gerakan buruh dan tani, bahkan pedagang kecil dan kekuatan Islam, hanya kekuatan mahasiswa saja yang masih diakui atau dinilai penting oleh Orde Baru. Sehingga sangat wajar bila setiap muncul persoalan politik dan ekonomi masyarakat, mahasiswa senantiasa terpanggil untuk tampil dalam panggung mitologi yang selama ini terus didengungdengungkan. Persentuhan mahasiswa dengan LSM (Lembaga Swada Masyarakat) telah membuka pergeseran pandangan mahasiswa. Bila sebelumnya lebih berurusan dengan isu elite, pada tahun 1980-an justru menemukan peranannya dalam persoalan konkret yang dihadapi kelompok masyarakat, yakni petani yang kehilangan tanahnya di pedesaan, pedagang kaki lima yang tergusur, serta sejumlah kalangan menengah bawah di kota-kota yang terkena penggusuran. Watak gerakan mahasiswa mulai meninggalkan watak elitis menuju watak populis, dari isu yang abstrak ke isu yang konkret serta dari “gerakan moral” beralih menjadi “gerakan politik yang memihak rakyat”. Disinilah kebanyakan aktivis mahasiswa menilai bahwa Orde Baru adalah rezim penindas yang perlu dibasmi. Begitu pula yang terjadi di kampus ITB pada 5 Agustus 1989, para mahasiswa yang memang sudah tidak memiliki kepercayan terhadap pemerintahan Orde Baru melakukan aksi penolakan terhadap datangnya Menteri Dalam Negeri (Purn.) Rudini yang hendak memberikan penataran
resensi P-4 kepada mahasiswa baru yang dinilai oleh para aktivis mahasiswa ITB sebagai kegiatan pencucian otak atau indoktrinasi oleh antek-antek Orde Baru. Padahal menurut para mahasiswa seorang mendagri memiliki urusan yang lebih penting, yakni tentang kasus sengketa pertanahan dan persoalan agraria lainnya yang memang banyak dikritik oleh para mahasiswa karena merugikan rakyat banyak. Aksi protes ini diawali dengan aksi demonstrasi di kampus ITB dan diikuti dengan aksi mogok makan beberapa mahasiswa ITB, selain itu mereka juga menyebarkan petisi yang menjelaskan mengapa mereka melakukan aksi tersebut. Setelah itu seminggu kemudian melancarkan aksi mogok kuliah untuk menunjukkan sikap mereka terhadap rektor. Namun aksi ini dianggap ancaman oleh pihak rektorat dan akhirnya mengambil keputusan untuk mengadili enam orang yang dianggap sebagai provokator. Hal yang ingin diangkat oleh penulis dalam buku ini sebenarnya adalah aksi protes di ITB pada 5 Agustus itu sebagai budaya tanding atau counter culture dari kebudayaan represif yang dilanggengkan oleh pemerintahan orde baru. Gerakan 5 Agustus ini ditempatkan oleh penulis sebagai tindakan mahasiswa untuk melakukan kontrol sosial yang bermaksud mengingatkan penguasa Orde Baru. Konstruksi kebudayaan yang dirusak penguasa Orde Baru merupakan kenyataan sosial-politik sehari-hari. Negara Orde baru hadir secara masif dan represif di setiap sektor kehidupan masyarakat yang menyebabkan timbulnya sebuah kebudayaan represif. Fenomena inilah yang akan memunculkan sebuah budaya baru. Kebudayaan yang menentang kebijakan Orde Baru akan disingkirkan melalui tindakan represif yang dilakukan oleh aparat-aparat Orde Baru. Budaya ini dibangun dan dipertahankan oleh suatu rezim politik yang monolitik. Secara
keseluruhan, NOB adalah agen kebudayaan represif. Tumbuh dan berkembangnya budaya represif ini bukan tanpa hambatan, ketika sebuah sub-kebudayaan yang berkembang di lingkungan tertentu ditindas, subkebudayaan ini berusaha mencari ruang untuk menentang penindasan itu. Gagasan, pemikiran dan kreativitas mahasiswa adalah sub-kebudayaan di lingkungan masyarakat Indonesia. Aksi-aksi protes mereka mencerminkan sub-kebudayaan yang hidup dan berkembang di dalam kebudayaan dominan (NOB). Mekanisme penindasan budaya ini tidaklah sematamata bersifat tunggal tetapi berhubungan dengan beberapa sub-kebudayaan yang ditindas. Dan ketika sub-kebudayaan yang ditindas ini melakukan penolakan bahkan penentangan terhadap penindasan budaya, maka sub-kebudayaan ini mengalami transformasi menjadi kebudayaan tandingan (counter culture). Dengan perspektif diataslah penulis menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa ITB pada 5 Agustus 1989 merupak an sebuah counter culture dari kebudayaan dominan yang dilanggengkan oleh penguasa Orde Baru yang berupa budaya represif. Kelebihan buku ini adalah penulis dengan jelas menjelaskan bagaimana budaya represif NOB tercipta dari sejarahnya hingga mengapa budaya tersebut terus menerus dilanggengkan oleh NOB. Sedangkan kekurangan dari buku ini adalah counter culture yang dicontohkan hanya satu kasus yakni aksi protes mahasiswa di ITB pada 5 Agustus 1989.
/Risti Sere Utami
17
dokumentasi
Rubrik dokumentasi sengaja dihadirkan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Solidaritas Pemoeda Rawamangun (SPORA) ke-10. Tentu saja, foto-foto ini belum mewakili seluruh dinamika sejak komunitas ini berdiri. Tapi, setidaknya isu yang diusung dalam gambar tersebut masih melingkari kehidupan kita, di antaranya swastanisasi kampus, kekerasan seksual, represi yang dialami para petani yang ruang hidupnya dirampas dan ancaman modal asing yang mengingkari kedaulatan negara.
18
dokumentasi
19
20