Edisi: April/Thn. III/2013
Ongkos Cetak: Rp. 600,-
*Hentikan Pembangunan Bendungan Jatigede, selesaikan terlebih dahulu konflik agraria Pembangunan Bendungan Jatigede! Semua permasalahan konflik agraria di Indonesia adalah tanggungjawab negara, termasuk penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede yang sampai sekarang rakyat Korban pembangunan BendunganJatigede masih disengsarakan atas perampasan alat-alat produksi yaitu tanah milik yang merupakan warisan termasuk benda-benda di atasnya. Alat produksi berupa tanah milik kaum tani di wilayah bakal genangan bendunganJatigede merupakan sumber utama bagi kelangsungan hidup untukkesejahteraannya. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis jika Pemerintah memaksakan pembangunan Bendungan Jatigede, pemerintah sekarang harus terlebih dahulu menyelasiakan: Menyelesaikan sengketa agraria atas tanah yang belum tuntas proses ganti untungnya seperti
terlewat murni, kekurangan luasan, salah klasifikasi, salah penerima hak, tanah terisolir dan tanah rawan bencana. (kasus pembebasan tanah/lahan tahun 1982, 1984, 1986) yang menggunakan regulasi Permendagri No. 15 Tahun 1975 yang meliputi 13 desa. Penyelesaian pembebasan tanah tahun 1995-1997. Penyelesaian pembebasan tanah tahun 2002-2005 yang meliputi Desa Cibogo, Desa Tarunajaya. Satuan Kerja NVT Pembangunan Bendungan Jatigede dan Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Kabupaten Sumedang harus segera melakukan langkah-langkah kongkrit, cermat, akurat, sistematis, dan tidak diskriminatif dalam menyikapi masalah pembebasan tanah sesuai dengan peraturan yang berpihak pada rakyat korban konflik agraria. Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961. Pembebasan tanah secara keseluruhan harus dituntaskan sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961 dan regulasi-regulasi di bawahnya harus sesuai, apabila bertentangan maka harus dikembalikan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961. Lebih lanjut memperhatikan relokasi penduduk yang telah diterapkan di wilayah bakal genangan bendungan Jatigede mengacu kepada Lampiran Presiden No. 9 Tahun 1973, tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di atasnya, Pasal 6 ayat (2) berbunyi : Rencana penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya dicabut oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap menjalankan kegiatan usahanya mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula."" Peraturan Menteri Dalam Negeri N0. 15 Tahun 1975, tentang Ketentuanketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah dalam Bab V tentang Lain-lainnya pasal 13 ayat (1) berbunyi: "Apabila pembebasan tanah oleh yang berkepentingan dengan meliputi area yang luas dalam mana pembebasan tanah tersebut mengakibatkan pemukiman penduduk maka pemberian ijin pembebasan tanah disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan pemukiman baru. Ayat (2), kewajiban untuk menyediakan tempat penampungan dalam rangka pembebasan tanah tersebut dalam
ayat (1), di atas merupakan keharusan disamping kewajiban pembayaran ganti rugi sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (3), bagi mereka yang terkena ketentuan tersebut dalam ayat (1) di atas mempunyai minat untuk dipindahkan berikut biaya-biayanya yang diperlukan, untuk itu diatur dan ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikotomadya/Kepala Daerah yang bersangkutan."
Penyelesaian Konflik Agraria Pembangunan Bendungan Jatigede merupakan tanggungjawab Pemerintah, termasuk pemukiman kembali penduduk korban waduk Jatigede. Jumlah Rakyat Korban Waduk Jatigede yang masih berdomisili di areal bakal genangan sebanyak 8.485 KK atau 26.010 jiwa. Arah minat perpindahan Penduduk Rakyat Korban Waduk jatigede melalui opsi resettlement 80% sebanyak 6.677 KK, Swakarsa Mandiri 13% sebanyakt 1.103 KK, dan transmigrasi 7% sebanyak 595 KK. Pemerintah harus memperhatikan: Legal aspek kelayakan tanah harus jelas dan tegas. Sesuai dengan arah minat rakyat korban pembangunan bendungan Jatigede. Penduduk asli di sekitar pemukiman menerima kehadiran rakyat korban pembangunan bendungan Jatigede. Terdapat sumber mata pencaharian yang syarat diberdayakan sesuai dengan kualifikasi keahlian atau profesi rakyat korbanbendungan Jatigede yaitu petani. Penyediaan lahan garapan seperti persawahan yang layak bagi petani korban pembangunan bendungan Jatigede. Pemukiman relatif strategis untuk memudahkan mobilisasi dan kumunikasi dengan dunia luar. Adanya kesamaan kultur sosial kemasyarakatan dengan daerah asal. Daya dukung lingkungan memungkinkan untuk mengembangkan pola usaha masyarakat lebih lanjut. Akses modal dan teknologi bagi peningkatan pertanian kolektif yang produktif. Menjadi mendesak dan pentingnya menyelesaikan persoalan konflikagraria Bendungan Jatigede demi keadilan seluruh rakyat korban konflik agraria Bendungan Jatigede, kami menyatakan dengan tegas: Menolak penggenangan sebelum konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede selesai. Apabila perintah memaksakan kehendak, seluruh rakyat korban pembangunan bendunganJatigede akan melawan sampai titik darah penghabisan.
Menolak kesimpulan hasil verifikasi dan validasi penduduk terkaitpem bebasan dengan Permendagri No 15 Tahun 1975. Menolak fasilitas rumah tipe 36 di atas lahan 400 m2 untuk relokasi, karena tidak layak dan sangatlah naif rumah tempat berlindung dan beraktifitas disamakan dengan kandang sapi atau istal kuda; Menolak relokasi situs makam Cipeueut Prabu Guru Adji Putih, tetapi harus diselamatkan dengan cara-cara teknologi; Menolak tindakan diskriminatif penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede. Menolak semua regulasi yang telah diterapkan sejak tahun 1982 sampai sekarang dalam proses ganti-rugi dan relokasi, karena bertentangan dengan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961.
Demi keadilan sosial yang seadil-adilnya, Atas Nama Rakyat Korban Waduk jatigede menuntut pemerintah: 1. Apabila pihak pemerintah memaksakan pembanguna BendunganJatigede adalah sebuah kebutuhan mendesak untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, maka selesaikan terlebih dahulu konflik agrariannya sesuai dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 UU dan UU No. 20 Tahun 1961 sebelum proses rencana pembangunanbendungan Jatigede dilanjutkan! 2. Apabila pihak pemerintah tidak bisa menyelesaikan konflik agraria Waduk Jatigede yang mengacu pada amanat UUPA No. 5 tahun 1960 dan UU No. 20 tahun 1961, hentikan pembanguna Waduk Jatigede sekarang juga!. 3. Menjalankan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1961, yang menyangkut Land Reform dan Akses Reform dalam Menuntaskaskan konflik agraria di wilayah bakal genangan bendungan Jatigede dari tahun 1982 sampai sekarang! 4. Mengkaji ulang studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bendungan Jatigede dan atau melakukan pengkajian terhadap Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH)! 5. Melakukan penanganan situs cagar budaya sesuai dengan peraturan yang berlaku! 6. Usut tuntas kasus korupsi, adili dan penjarakan para koruptor serta sita harta koruptor yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik agraria pembangunan bendungan Jatigede dari tahun 1982 sampai sekarang untuk subsidi rakyat! --------*Oleh: Rudi Brata Manggala, STN-PRM Desa Cipaku
*KONFLIK PETANI DENGAN PERHUTANI (STUDI KASUS DI DESA GENTENG KECAMATAN SUKASARI KABUPATEN SUMEDANG) ABSTRAK Penelitian ini mengenai konflik agraria yang terjadi antara petani dengan Perhutani di Desa Genteng. Dalam penelitian ini dijelaskan sejarah konflik dan proses perkembangan konflik serta faktor-faktor penyebab konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan masyarakat Desa Genteng dan bentuk-bentuk konflik yang ada di Desa Genteng. Metode penlitian ini adalah studi kasus yang menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan selama dua setengah bulan, yaitu mulai dari awal bulan Oktober sampai pada akhir bulan Desember. Lokasi penelitian terletak di Desa Genteng Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bedasarkan temuan penelitian, konflik yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan kepentingan lahan antara petani Desa Genteng dengan Perhutani. Petani yang menginginkan lahan Perhutani dikelola, khususnya pengelolaan secara intensif yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Berbeda dengan Perhutani, mereka ingin menjaga hutan agar tetap lestari demi generasi yang akan datang. Perhutani juga tidak ingin kerusakan hutan yang ada di Timur Manglayang semakin rusak parah karena bisa berdampak pada orang lain, seperti banjir atau erosi tanah. Dalam masyarakat petani Desa Genteng konflik sudah berlangsung sejak tahun 1982. Konfliknya ada yang berlangsung secara damai dan ada juga yang berujung pada kerusuhan. Kondisi petani di Desa Genteng kebanyakan tidak bertanah dan menggunakan alat pertanian yang sangat sederhana. Para petani yang ada di Desa Genteng menggarap lahan Perhutani hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Petani berani menggarap lahan Perhutani tidak terlepas dari peran kelompok tani. Dalam kelompok tani
sering dilakukan diskusi sehingga pengetahuan mereka bertambah khususnya dalam politik dan hukum. Petani malah menuntut kepada pemerintah agar landreform dijalankan. Sekarang telah dibentuk kelompok kecil untuk mencari solusi yang terbaik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah petani yang ada di Desa Genteng membutuhkan tanah untuk bertani karena mereka hanya punya kamampuan bertani untuk menyambung hidup. Perhutani juga tanggung jawab untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Kedua kepentingan ini menjadikan sebuah konflik antara petani yang ada di Desa Genteng dengan Perhutani. Kata kunci : konflik, landreform, kelompok tani, faktor konflik, bentuk konflik, ekonomi petani. PENDAHULUAN Penelitian ini adalah studi kasus sengketa lahan antara petani dan Perhutani yang ada di Desa Genteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Genteng adalah bertani. Layaknya seorang petani untuk meningkatkan perekonomiannya, maka tanah sangat dibutuhkan. Begitu juga dengan petani di Desa Genteng, mereka juga butuh tanah untuk dikelola. Bukan hanya tanah saja yang mereka butuhkan, modal, teknologi juga mereka butuhkan. Tanah adalah aset yang paling penting dalam kehidupan masyarakat karena tanah adalah sumber kehidupan. Dalam negara agraris tanah merupakan sumber utama dalam berproduksi sehingga di Indonesia dalam hak kepemilikan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dibatasi dalam undangundang pokok agraria. Sebagian besar petani di Indonesia adalah buruh tani dan petani gurem atau sering disebut sebagai Peasant bukan farmer (Noertjahyo,2005: 14). Peasant merupakan petani yang bercocok tanam dan berternak di daerah Pedesaan, sedangkan farmer merupakan pengusaha pertanian yang mengambil keuntungan dari hasil penjualan produksinya di pasar (Wolf Eric,1985: 2). Secara ekonomi, Wolf mengatakan, petani merupakan produsen utama kekayaan sosial dan masyarakat yang lain hanya menduduki posisi sekunder (1985: 17). Masyarakat petani yang ada di Desa Genteng masih bercocok tanam dan beternak dengan skala yang kecil. Sengketa tanah yang terjadi di Desa Genteng antara petani dan Perhutani terjadi karena pendudukan lahan yang dilakukan oleh petani di lahan Perhutani. Masyarakat yang membutuhkan tanah memanfaatkan lahan
dari Perhutani. Sementara Perhutani ingin melakukan konservasi hutan agar sumber airnya tidak kekeringan. Musyawarah yang dilakukan belum menemukan solusi sehingga permasalahannya telah sampai pada pemerintah Kabupaten Sumedang. Bagi masyarakat petani Desa Genteng jaminan atas tanah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan tanah kepada masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Di lain pihak UU Kehutanan merupakan salah bentuk jaminan bagi Perhutani untuk melakukan konservasi hutan. Hal ini membuat banyak petani Desa Genteng tergusur dari tanah yang sedang dia kelola untuk menyambung hidup. METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Metode Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dipakai secara umum merujuk kepada bentuk penelitian kualitatif berorientasi etnografis. Orientasi etnografis dilaksanakan karena dirasa adanya sesuatu yang penting dalam melihat konteks sosio-kultural yang menjembatani hubungan-hubungan antar konsep yang sekiranya berguna untuk menjawab pertanyaan penlitian. Selain itu etnografi juga akan membantu melihat kepemilikan tanah dalam masyarakat Genteng. 2. Teknik pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data diperoleh langsung dari informan (sebagai data primer). Teknik pengumpulan data primer adalah observasi dan wawancara. Selain data primer, data juga diperoleh melalui beberapa referensi buku, media-media informasi lainnya (data sekunder). Data sekunder diperoleh dari lembaga resmi seperti Kantor Kecamatan, Kantor Desa, Kepala Dusun. Untuk mengumpulkan data dilakukan dengan kegiatan : 2.1 Observasi / pengamatan Observasi merupakan pengamatan terhadap fenomena yang dapat dilihat secara langsung sebagai pelengkap data yang diperoleh. Metode pengamatan digunakan untuk memahami gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari individu yang diteliti untuk dicocokan relevansi atau kebenarannya dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara. Salah satu kegunaan metode pengamatan adalah untuk mendeskripsikan perilaku manusia, proses kerja dan gejala-gejala alam (Sugiyono,2006:162). Observasi yang akan digunakan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas. Di dalam observasi partisipasi hubungan
antara peneliti dengan komunitas baru yang akan diobservasi harus dibangun dengan baik agar data yang diperoleh lebih lengkap dan tajam (Sugiyono, 2006: 162). Observasi dilakukan untuk melihat kondisi lahan pertanian, tempat tinggal penduduk, aktivitas sehari-hari dan gambaran umum ekonomi penduduk yang ada di Desa Genteng. 2.2 Wawancara Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dari orang yang diwawancarai melalui pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh informan. Dalam mempersiapkan informan, ada tiga (3) hal yang harus diperhatikan yaitu, pertama seleksi individu yang akan diwawancara, kedua pendekatan terhadap individu yang akan diwawancara dan yang ketiga adalah pengembangan suasana yang wawancara sehingga menimbulkan saling pengertian antara peneliti dan yang diwawancarai (Koentjaraningrat,1977: 163) Dalam penelitian ini ada 6 orang informan dan informan tersebut dibagai menjadi dua yaitu, informan kunci dan informan utama. Informan kunci adalah individu yang bisa membuka pintu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti (Sugiyono, 2006). Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah petani Desa Genteng yang menggarap lahan Perhutani dan sebagai informan utamanya adalah Kepala Desa. Selain informan tersebut ada informan ahli yang diwawancarai untuk melangkapi data. Contohnya adalah pakar agraria dan orang-orang yang telah lama bergerak dibidang agraria seperti KPA, LSM dan organisasi Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Mikin (STN-PRM). 2.3 Studi kepustakaan Studi kepustakaan diperlukan untuk memanfaatkan data sekunder, seperti data yang berasal dari buku dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi kepustakaan ini juga untuk mempercepat pemahaman tentang kondisi lapangan penelitian, sekaligus mempertajam analisa, studi kepustakaan dilengkapi dengan riset data sekunder. Sumber data sekunder masyarakat terdiri dari arsip data desa, data pemerintah, dan bahan-bahan yang dipublikasikan lainnya. 2.4 Diskusi kelompok Diskusi kelompok digunakan selama penelitian. Diskusi kelompok berfokus pada reforma agraria yang tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria. Diskusi dilakukan bersama dengan masyarakat Genteng dan para
perangkat desa. Diskusi kelompok bertujuan bukan untuk mendapatkan data pokok, melainkan untuk membangun kedekatan dengan masyarakat yang diteliti agar tidak muncul kecurigaan saat penelitian berlangsung. Hasil Lapangan Data Umum 1. Keadaan Sosial
2. Sistem budaya
a. Desa Genteng merupakan salah satu Desa yang terlibat konflik dengan Perhutani yang ada di Sumedang. Jarak tempuh Desa Genteng dari Jatinangor sekitar 45-60 menit. b. Jumlah penduduk di Desa Genteng adalah 6042 jiwa. Mata pencaharian utama penduduk tersbut adalah bertani. Selain itu ada juga yang menjadi PNS, TNI/POLRI dan berdagang. c. Pendidikan di Desa Genteng termasuk rendah karena yang masuk perguruan tinggi hanya 4,7%, sedangakan yang tamat SD sebesar 77%. d. Kondisi pertanian di Desa Genteng cukup beragam, yaitu tembakau, kopi, kentang, kol, terong, cabai, kacang panjang dan jagung. Komuditas utamanya adalah tembakau. Petani yang ada di Desa Genteng terbagi dua yaitu petani yang bertanah dan yang tidak bertanah (buruh tani). a. Organisasi formal: - RT/RW (Rukun Tetangga dan Rukun Warga) - Posyandu b. Organisasi non-formal: - Kelompok tani
PEMBAHASAN KEBIJAKAN PERUNDANG-UNDANGAN Konflik yang terjadi di Desa Genteng merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Dengan Sistem perundang-udangan sekarang pemerintah pusat maupun daerah harus mengguakan asas Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 45 sebagai landasan konstitusionalnya. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara dan harus dikelola untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dengan demikian maka lahirlah UU PA yang bertujuan untuk membagikan tanah kepada masyarakat petani tanpa terkecuali. Melalui UU ini pemerintah bisa menyelesaikan konflik yang terjadi di Desa Genteng. Selain itu ada beberapa UU yang baru dan bisa menjadi penguat pemerintah khususnya pemerintah daerah. Adapun UU tersebut adalah: Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Dalam undang-undang ini pasal 10 ayat (3) yang menjadi urusan pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Di luar dari yang disebutkan tadi merupakan kewenangan daerah. Ini merupakan angin segar bahwa untuk menjalankan reforma sangat terbuka jelas karena menyangkut potensi daerah terutama yang daerah pertanian. Undang-undang No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pada pasal 3, koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggota secara khususnya dan masyarakat pada umunya. Selain itu koperasi juga bertujuan untuk membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Di dalam koperasi petani bisa meminjam modal yang memiliki bunga rendah dan bisa membagi hasil diakhir tahun sesuai dengan pasal 45 ayat 2. Hal ini menghindari petani dari rentenir yang bisa menjerat ekonomi mereka. Penyelesaian Sengketa Agraria Di Desa Genteng Dalam penyelsaian kasus sengketa lahan yang ada di Desa Genteng ada dua caranya, yaitu yang pertama adalah menjalankan landreform. Bila memang landreform menjadi solusi yang akan dijalankan oleh pemerintah maka ada hal yang harus diperhatikan yaitu kondisi hutan. Hutan yang semakin tergerus ekologinya menjadi pertimbangan utama agar tidak terjadi banjir disaat musim hujan dan kekeringan di saat kemarau. Kedua adalah petani yang ada di Desa Genteng terkhusus yang berkaitan langsung dengan konflik bisa dialih profesikan. Selama ini masyarakat hanya berfokus pada pertanian dan membuat kebutuhan lahan juga sangat tinggi. Dengan pengembangan potensi yang dimiliki oleh masyarakat maka ketergantungan terhadap lahan juga semakin berkurang sehingga konflik antara petani dengan Perhutani dapat diselesaikan. Kesimpulan
Penelitian tentang konflik petani dengan Perhutani 2012 merupakan salah bagian konflik agraria yang ada di tanah air. Konflik ini menunujukkan kepada kita bahwa selama ini kehidupan petani sangat terpinggirkan dan tidak mendapatkan dari permerintah. Penelitian ini menggambarkan hubungan antara petani dengan lembaga Perhutani yang memiliki kepentingan terhadap hutan. Di sisi lain peran organisasi juga sangat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memberikan pencerdasan politik. Hasilnya petani memiliki keberanian untuk menuntut pemerintah agar tanah dibagikan kepada rakyat sesuai yang tertuang dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960. Adanya pengetahuan baru yang berasal dari organisasi membuat petani merasa punya landasan hukum untuk menuntut haknya. Tanah yang dikelola oleh petani merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh Perhutani. Permasalahan muncul ketika Perhutani melarang masyarakat untuk bercocok tanam di area tersebut. Bagi Perhutani kawasan tersebut tidak boleh lagi ditanami karena sudah menjadi hutan lindung, tetapi disisi lain masyarakat harus tetap bertahan hidup dengan cara bertani. Pihak Perhutani tetap bertahan karena alasan ekologi hutan yang harus tetap dijaga. Perhutani takut bila hutan dikelola secara intensif akan membuat kerusakan hutan semakin parah. Akibatnya pada saat musim kemarau air bisa habis dan pada musim hujan bisa mengakibatkan banjir. Permasalahan ini akhirnya muncul kepermukaan saat masyarakat petani melakukan aksi demontrasi kepemda Sumedang. Masyarakat yang telah terorganisir mendatangi kantor bupati dan menuntut pemerintah agar menjalankan landreform. Kelompok tani memberikan sebuah harapan baru kepada petani, terutama mereka yang tidak punya tanah. Mereka menuntut supaya agenda reforma agraria dijalankan karena ada keinginan kehidupan yang lebih baik lagi. Kehidupan yang selama ini sudah sangat jauh dari harapan ingin diubah dengan adanya UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 yang mereka dapatkan dari organisasi tani. Di organisasi mereka dapatkan cara-cara untuk melakukan aksi, menulis dan bermusyawarah. Coser mengatakan konflik akan membuat solidaritas kelompok akan semakin meningkat. Pada kenyataannya para petani brsatu melawan pemerintah karena hak mereka sebagai warga negara tidak diberikan. Petani seharunya mendapatkan tanah sesuai yang diatur dalam UU PA dan Perpu No.56 tahun 1960 malah tergusur tanpa ada alokasi yang jelas. --------* Oleh: Andri Parangin-angin: Artikel penelitian Mahasiswa Atropologi Fisip Unpad angkatan 2007.
Solidaritas STN-PRM Sumedang terhadap aksi (menginap) Warga Korban Waduk Jatigede di kantor Satker Waduk Jatigede; 2 April 2013.
STN-PRM Sumedang Menghadiri undangan Diskusi Publik "Membangun Praksis Kawasan Hutan Kelola Rakyat di Jawa Barat" dalam Pertemuan Tahunan Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) WALHI Jabar; Selasa, 9 April 2013
Pemutaran film dokumenter dan diskusi lepas (ngewangkong) STN-PRM Genteng; 14 April 2013.
Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang Phone: 085722221298 email: stnprmsumedang@yahoo.co.id Weblog: stnprmsumedang.blogspot.com