Petani Tembakau Terancam! Oleh: Nana; STN-PRM Desa Genteng
Esidi: Desember/Thn. I/2011
Ongkos Cetak: Rp. 400,-
NASIB KAUM TANI INDONESIA (Sambungan dari edisi Oktober/Thn. I/2011)
Jaman Reformasi Selain ketimpangan struktur agraria, kaum tani Indonesia pada era reformasi ini didera kemiskinan yang akut akibat liberalisasi ekonomi yang semakin intensif. Pendapatan petani terus menurun, sementara biaya produksi semakin melonjak naik, belum lagi biaya hidup yang makin membengkak. Pasar dalam negeri dibanjiri produk pangan impor dalam jumlah besar, yang menjatuhkan produk petani. Proteksi terhadap produk-produk pertanian dihapuskan satu per satu oleh pemerintah. Sejumlah negara maju seperti AS, Autralia dan lain-lain telah memaksakan kepentingan pasar mereka dalam Agreement on Agriculture (AOA), IMF dan Bank Dunia dan kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan. IMF menekan pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif impor beras sampai 0% dan pada saat yang hampir bersamaan menyarankan untuk mencabut subsidi pupuk tanpa kompensasi apapun bagi petani. Melikuidasi peran BULOG sebagai satu satunya alat perlindungan harga dan penyangga stok beras nasional dan lain sebagainya. Fakta-fakta lainnya adalah dengan munculnya berbagai UU yang mendorong kebebasan untuk menguasai sumber-sumber hidup rakyat, seperti UU Sumberdaya Air, (R)UU Pengadaan Tanah, UU Kelistrikan, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan lain-lain, yang berakibat penyingkiran rakyat dari sumber-sumber hidupnya seperti perampasan tanah dari petani. Luas konversi lahan pertanian menjadi berbagai macam peruntukan melaju sekitar 10.000 Ha per tahun, dan di pulau Jawa angkanya bahkan sudah mencapai 40.000 Ha per tahun, hal ini bisa terlihat, misalnya untuk sektor perkebunan, terjadi perluasan perkebunan sawit hingga 100.000 Ha dari yang asalnya 20.000 Ha saja. Padahal, berdasarkan penelitian SPI (2007), 60 persen dari keseluruhan lahan kebun sawit ini hanya dikuasai oleh 9 perusahaan saja dan pada tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi mencapai 26,7 juta Ha, sementara di sektor pertambangan, menurut data JATAM, dari 192.26 juta Ha wilayah Indonesia,
Tahun 2006, petani tembakau akan mengalami penyempitan lahan tembakau yang akan dibatasi oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) SBY-Budiono. Atas kebijakan itu, di Kabupaten Sumedang hanya diberi lahan seluas 200 Ha untuk menanam tembakau, sedangkan petani tembakau di Kabupaten Sumedang sebagian besar adalah petani tembakau. Di Kabupaten Sumedang yang terdiri dari 26 Kecamatan untuk lahan tembakau hanya di jatah 8 Ha per Kecamatan dan per desa berarti 842 bata. Di sisi lain, komoditi tembakau mole khas Sumedang yang sudah dikenal masyarakat internasional, seperti negara-negara; Cina, Jepang, Korea dan Thailand, permintaan pasar atas komoditi tembakau mole khas Sumedang mencapai sekitar 2.000 ton tapi baru bisa dipenuhi pasokannya 123 ton. Dari angka di atas jelas sudah kekurangan besar permintaan pasar luar negeri, akan tetapi pemerintah justru akan menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang membataasi produksi tembakau. Hal ini akan mencekik penghidupan petani tembakau, bahkan berkenaan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), pemerintah mengalih profesikan petani tembakau yang didanai dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Inilah bentuk nyata penjajahan terhadap kaum tani oleh modal asing (imperialisme) yang di sokong pemerintah bonekanya dengan segala bentuk kebijakan (regulasi) bahkan tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan (refresif), artinya ada penghisapan keuntungan nilai kerja (kapitalisme) dan kejahatan kemanusiaan. Ini juga menjadi fakta tidak bertanggungjawabnya penyelenggaran negara, mengabaikan Pancasila dan UUD 1945; karena setiap warganegara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, apalagi jika berdasarkan Undang-Undang Pembaharuan Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960; kaum tani berhak atas distribusi tanah garapannya (land reform) dan modal teknologi pertanian modern di bawah kontrol organisasi tani/rakyat (akses reform).
95.45 juta lahan telah dikontrak karyakan kepada perusahaan pertambangan baik dari dalam dan luar negeri dan lain-lain. Seiring dengan ditetapkannya berbagai UU tersebut, diberbagai daerah muncul konflikkonflik pertanahan, menurut data BPS pada tahun 2007 jumlah konflik tanah yang masuk sebanyak 2.615 kasus dan meningkat menjadi 7491 kasus pada tahun 2009 di seluruh Indonesia dengan luas lahan konflik sebesar 608.000 Ha. Meningkat pula kasus-kasus kekerasan terhadap kaum tani, menurut catatan SPI, dalam empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata, menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 keluarga tergusur, Bahkan tahun ini eskalasi kekerasan terhadap petani semakin terlihat jelas, dalam empat bulan pertama tahun 2011 ini tercatat telah terjadi sembilan konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak perkebunan dan melibatkan aparat pemerintah, yang menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan
1
ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Jumlah korban meninggal di empat bulan pertama ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah korban meninggal sepanjang tahun lalu. Selain itu, terjadi juga liberalisasi dalam tata niaga pupuk yang sebelumnya dikendalikan PUSRI, mengurangi secara bertahap subsidi pupuk hingga Rp 0,- di tahun 2012, mengurangi subsidi terhadap gas sebagai bahan dasar pembuatan pupuk, menghapuskan skema kredit murah untuk petani dan digantikan dengan kredit komersial sehingga mengakibatkan penyerapan petani terhadap kredit menjadi rendah. Dan saat ini, yang paling dirasakan oleh kaum tani adalah, pengurangan tarif dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan bebas, sampai dengan 0% terhadap 59 jenis produk bahan pangan, diantaranya: beras, gandum, kedelai, bahan baku pangan pakan ternak, dan pupuk. Akibatnya pasar pertanian secara perlahan dibanjiri produk pangan impor dari negeri maju, sementara dilain pihak, negara maju seperti USA, Uni-Eropa, Jepang dan Kanada justru menerapkan standar ganda (double standard) dalam berbagai aktivitas pertaniannya dengan negara lain, terutama praktek dumping. Lihat saja data-data impor produk pangan kita tahun 2011: beras 2 juta ton, kedelai 1.5 juta ton. Begitu juga gula, jagung, susu, daging sapi dsb sehingga total impor kita sekarang mencapai 65% dari keseluruhan kebutuhan pangan nasional. Liberalisasi juga, munculnya oligopoli perusahaan swasta yang dapat mengendalikan harga produk pertanian, seperti kasus penurunan harga beli susu oleh Nestle dari petani. Posisi tawar kaum tani menjadi semakin kecil karena Nestle menyerap lebih dari 50% produksi susu dari petani. Akibatnya, produksi pertanian didalam negeri terus menurun, seperti kedelai, beras dan lain-lain, angka petani tuna kisma/buruh tani dan penyempitan lahan petani meningkat dengan laju sekitar 13 juta kepala keluarga hingga tahun 2003, biaya produksi petani meningkat menjadi 2 kali lipat dari 250 ribu per Ha menjadi 450 ribu per Ha, angka kelaparan, kemiskinan, kekurangan gizi, putus sekolah, kematian ibu dan bayi yang menimpa keluarga tani meningkat dan lain sebagainya. Di seluruh Indonesia paling tidak terjadi lebih dari 3. 500 kasus kelaparan dan gizi buruk yang telah merenggut jiwa bayi dan anak. Dan lain sebagainya. Perbaikan Apa Yang Dibutuhkan Oleh Kaum Tani Perbaikan yang dibutuhkan pertama-tama adalah menghentikan semua paket liberalisasi disektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumbersumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk. Perbaikan berikutnya adalah meminta tanggung jawab negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk bantuan seperti modal usaha dengan persyaratan yang ringan dan tanpa bunga atau minimal dengan bunga yang rendah, subsidi terhadap bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan pertanian (saprotan).
Membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi. Selain itu pemerintah juga harus menyelesaikan sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri. Sekalipun saat ini tidak ada larangan untuk mendirikan organisasi, namun pemerintah masih diskriminatif, misalnya dalam hal pemberian bantuan, organisasi-organisasi yang didirikan secara independen tidak bisa mengakses bantuan tersebut. Perbaikkan yang lain adalah, pemerintah juga harus mampu mengurangi beban hidup kaum tani untuk kesehatan, pendidikan, dan harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya. Mahalnya biaya kesehatan, pendidikan menyebabkan jutaan rakyat, termasuk kaum tani tidak dapat mengakses kesehatan yang layak, pendidikan yang tinggi, memperbaikki gizi keluarga, membuat rumah yang sehat dan sebagainya. Tetapi, agar seluruh tuntutan-tuntutan perbaikkan tersebut dapat dicapai secara tuntas, tidak mungkin bisa diatasi secara sektoral, tuntutan penghapusan liberalisasi di pertanian dengan menolak penguasaan atas sumber-sumber hidup seperti, air, tanah dan bahan-bahan tambang, menolak perampasan tanah petani oleh perkebunan-perkebunan, menolak proyek-proyek infrastruktur yang mengkonversi lahan milik petani, menolak perdagangan bebas dan meminta proteksi negara atas produk-produk pertanian, menolak liberalisasi tata niaga pupuk, menolak privatisasi Bulog, menolak pencabutan subsidi pupuk, benih, alatalat pertanian, menuntut pendidikan, kesehatan murah dan lain sebagainya adalah sama dengan menolak seluruh agenda imperialisme. Dia membutuhkan kehendak yang kuat dari pemerintah untuk merubah seluruh tata aturan imperialis yang menindas kaum tani. Hal ini tentu saja tidak mungkin bisa dipenuhi oleh pemerintahan yang patuh terhadap imperialisme. Kaum tani membutuhkan suatu model khusus pemerintahan yang berpihak kepadanya, yaitu suatu pemerintahan yang berani menolak seluruh praktek penghisapan imperialisme, sekaligus dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani miskin, suatu pemerintahan borjuis nasional, sekalipun anti imperialis, tidak mungkin dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani. Pemerintahan borjuis nasional semacam itu, hanya akan kembali mengulangi penghisapan kepada mayoritas kaum tani, selama borjuis nasional masih memiliki sebagian besar kekayaan dan dengan kekayaannya tersebut mereka gunakan untuk melipat gandakan kekayaannya lagi, maka kaum tani miskinlah yang pertama-tama akan menjadi korban. Kita bisa mengambil contoh yang sederhana: kaum borjuis nasional akan mempromosikan suatu bentuk penguasaan tanah dan perdagangan yang adil, namun siapakah yang akan kemungkinan memenangkan persaingan ini? Dapatkah semua orang menyelinap menjadi petani kaya dalam sistem yang mengagungkan kepemilikan pribadi tanpa menaklukan atau menghisap orang lain?
2
Kaum tani hanya akan terbebaskan dari kemiskinan, jika bersama dengan kaum proletariat mengambil alih pemerintahan, dan bertindak untuk kepentingan mayoritas rakyat yang dimiskinkan oleh hubungan-hubungan produksi yang menghisap, yaitu pemerintahan buruh-tani. Taktik-Taktik Perjuangan Hal yang paling mendesak harus dilakukan sekarang adalah, bagaimana merumuskan taktik-taktik yang tepat untuk memenangkan tuntutan kaum tani. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah: 1. Melakukan kampanye seluas-luasnya, untuk penyadaran terhadap tuntutan, kepada seluruh masyarakat dan organisasi-organisasi, agar mendapatkan dukungan yang luas. Kampanye ini bisa dilaksanakan melalui berbagai macam media, baik dalam bentuk aksi, seminar, konferensi pers, selebaran dan lain sebagainya 2. Secara simultan terus menguatkan komitmen kepada anggota tentang tuntutan, sampai muncul kegembiraan dalam menuntut. Wadah-wadah atau organisasi yang dibangun kaum tani harus secara terus menerus diisi penyadaran, baik dalam bentuk diskusi, maupun pendidikan terjadwal. 3. Menciptakan ajang-ajang perjuangan/perdebatan terutama dalam bentuk konsolidasi, penyadaran dan tindakan berlawan, yang harus semakin tinggi, sampai memiliki militansi. Penyatuan-penyatuan konsolidasi, harus mulai bisa semakin ditinggikan, dari mulai konsolidasi basis, antar basis diteritori terdekat, kota, antar kota terdekat, wilayah sampai dengan nasional. 4. Meneliti/menemukan hambatan-hambatan mobilisasi, dan mencari jalan keluarnya. Biasanya kesulitan utama dalam mobilisasi kaum tani adalah tingkat represifitas yang tinggi, terutama hambatan dari preman-preman perusahaan, masalah yang biasa mucul lainnya adalah masalah keuangan, karena umumnya jarak tempat asal kaum tani sangat jauh dari kota sehingga hambatan untuk melakukan mobilisasi-mobilisasi ke kota menjadi besar. Semua hambatan-hambatan ini harus didiskusikan dengan massa luas dan ajaklah massa untuk ikut memikirkan jalan keluarnya. 5. Meneliti spektrum kekuatan politik yang dapat diajak kerjasama. Kerjasama politik ini diperlukan untuk menambah daya tekan. Ditengah situasi penindasan yang dialami maka kaum tani sangat mungkin menggalang persatuan di sektornya sendiri atau bersama sektor masyarakat tertindas lainnya. Kerjasama yang dibangun, harus semakin menjadi permanen sehingga kekuatannya akan bertambah besar. 6. Bersama kaum buruh membentuk pemerintahan alternatif. Kaum buruh adalah kawan aliansi kaum tani yang paling strategis, hal ini dikarenakan, dua sektor inilah yang paling menderita atas penindasan kapitalisme, dan nyaris tidak ada perbedaan yang radikal demi kepentingan sosialisme, kepemilikan tanah kecil oleh petani hanyalah proses transisional. Kepemilikan tanah kecil tidak akan merusak kepentingan sosialisme sejauh kontrol terhadap negara dapat dipegang demi kepentingan sosialisme dan sejauh menyokong perjuangan kaum tani melawan borjuasi.
PERNYATAAN SIKAP BERSAMA: MENGUTUK KONFLIK AGRARIA BERUJUNG PEMBANTAIAN PETANI MESUJI, LAMPUNG (STN-PRM Sumedang dan GMNI Sumedang) Konflik agraria kembali terjadi di tanah air Indonesia. kali ini menimpa Petani di Mesuji, Sodong dan Tulang Bawang Lampung. Mirisnya sengketa lahan antara PT. Silva Inhutani (perusahaan milik Malaysia) dengan masyarakat sekitar mengakibatkan tewasnya sekitar 30 orang petani di Mesuji, Sodong dan Tulang bawang Lampung. Kejadian tersebut menambah panjang catatan kelam nasib petani di negeri ini. jerit dan derita tani semakin bergemuruh terdengar karena akibat tidak terlaksanakannya Reforma Agraria sesuai amanat UU PA NO.5 Tahun 1960, konflik agraria terus menimpa kaum tani Indonesia. peristiwa pembantaian ini merupakan fakta bahwa kapitalisme menggunakan cara-cara kekerasan (pembantaian) dalam mengakumulasikan keuntungannya demi segelintir orang pemilik modal. Ketimpangan agraria yang mengakibatkan konflik perebutan alat produksi utama pertanian yaitu tanah adalah suatu hal yang tiada bosan-bosannya menerpa kaum tani. Intimidasi, perampasan tanah hingga berujung pada bentrokan fisik bahkan yang lebih sadis adalah pembantaian masal yang baru saja terjadi di Lampung adalah suatu konsekuensi logis akibat ketidak-berpihakan negara terhadap kaum tani. Tindakan pembunuhan massal yang terjadi di Lampung sejak 2009 terhadap petani adalah tindakan yang biadab dan tidak berkeprikemanusiaan dan kami mengutuk keras atas kejadian tersebut. Sementara konflik agraria terus berlanjut, pemerintah seakan lupa untuk merealisasikan janjinya untuk meredistribusikan tanah kepada petani untuk mengatasi ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria terutama tanah. Kenyataan dilapangan berbicara bahwa petani tak bertanah justru semakin banyak jumlahnya tergantikan dengan pengusaha-pengusaha perkebunan atau pertanian yang bermodal besar dengan penguasaan lahan yang besar pula. Hal ini membuat kami bertanya-tanya dimana keberpihakan pemerintah terhadap kaum tani? Pada konteks tersebut kami dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Sumedang dan Serikat Tani Nasional-Politik Rakyat Miskin. Menyatakan sikap: 1. Mengutuk keras siapapun yang terlibat pada pembantaian 30 orang petani di Mesuji, Sondong dan Tulang Bawang Lampung! 2. Mendesak pemerintah dan pihak yang berwenang mengusut tuntas kasus pembantaian petani tersebut! 3. Mendesak pemerintah melaksanakan REFORMA AGRARIA sesuai amanat UU PA NO 5 Tahun 1960 demi terciptanya keadilan sosial dan terjaminnya kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia! 4. Mendesak pemerintah menyelesaikan konflik-konflik agraria yang berdasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5. Mencabut UU sektoral yang bertentangan dengan UU PA NO 5 tahun 1960 yaitu:  UU no 7 tahun 2004 tentang sumber daya air  UU No 18 tahun 2004 tentang perkebunan  UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing Menyerukan kepada kaum tani di seluruh daerah untuk menggalang persatuan kekuatan untuk mendesak pemerintah melaksanakan Reforma Agraria. Sumedang, 14 Desember 2011
3
“Diskusi Publik Jalan Keluar Penyelesaian Konflik Agraria Dam Jatigede Dan Penyelesaian Praktek Korupsi untuk Reforma Agraria.� Pembicara: Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Jabar, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), Pemda Sumedang, DPRD Sumedang, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Barat, STN-PRM Sumedang, 26 Oktober 2011. (Fotografer; Roy)
Rapat Umum STN-PRM Genteng, 31 November 2011.
T A N A H Tanah mestinya dibagi-bagi, Jika Cuma segelintir orang yang menguasai, Bagaimana hari esok kaum tani? Tanah mestinya ditanami, Sebab hidup tidak hanya hari ini, Jika sawah diratakan, rimbun semak pohon dirubuhkan, Apa yang kita harap dari cerobong asap besi? (Wiji Thukul; Solo - 1989).
(Fotografer; Roy)
Mobilisasi aksi menuntut STN-PRM Sumedang, 12 Desember 2011. (Fotografer; Roy)
Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) Sumedang Phone: 085720016176 email: stnprmsumedang@yahoo.co.id Weblog: stnprmsumedang.blogspot.com
4