post-psychedelia catalogue

Page 1

POSTPSYCHEDELIA



POSTPSYCHEDELIA 03 - 24.04.2010

SELASAR SUNARYO ART SPACE


POSTPSYCHEDELIA 3 - 24 April, 2010 Selasar Sunaryo Art Space

Artists Aas Rukasa Arin Dwihartanto Ari Sendy Trisdyarto Duto Hardono Irwan B. Dharmawan Laurs Oscar Osman Reza Afisina S. Teddy D. Syagini Ratnawulan Tony Kanwa Yani Halim Curated by Agung Hujatnikajennong Text by Bambang Sugiharto Agung Hujatnikajennong Published by Selasar Sunaryo Art Space Jl. Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung 40198 West Java - Indonesia T. (6221) 250 79 39 F. (6221) 251 65 08 E. selasar@bdg.centrin.net.id www.selasarsunaryo.com All right reserved. No part of this book may be reproduced or transmitted in any formsore means, electronic or mechanical, including any informationstorage and retrieval system, without the prior permission in writing from publisher. Copyright @ 2010 Selasar Sunaryo Art Space Designed by Joko Suharbowo Photography Etnik Photography


TS EN NT O C

6

Post-Psychedelia Melacak Dinamika Baru Ketaksadaran Bambang Sugiharto 8

Melampaui ‘Jiwa-Tampak’ Seni dan Budaya Psikedelik Hari-hari Ini

Agung Hujatnikajennong 11

ARTWORKS 38

ARTISTS BIOGRAPHY 47

SELASAR SUNARYO MANAGING ORGANIZATION 48

ACKNOWLEDGEMENT


AAS RUKASA | Arin Dwihartanto | Ari sendy Trisdyarto | Duto Hardono | Irwan B. Dharmawan | Laurs Oscar Osman | Reza Afisina | S. Teddy D. | Syagini Ratnawulan | Tony Kanwa | Yani Halim |



POSTPSYCHEDELIA:

Melacak Dinamika Baru Ketaksadaran

Proses kreatif dalam seni rupa dari dahulu kala sesungguhnya tak pernah lepas dari pergumulan dengan energi kreatif yang bersumber jauh dalam wilayah ketaksadaran. Sekurang-kurangnya empatpuluh ribu tahun lalu manusia mulai menggambar, membuat patung atau menciptakan musik. Pola pikir masyarakat pra-linguistik saat itu, seperti terlihat jejaknya di Australia, baru memperlihatkan guratan-guratan, titik-titik yang tertata dan cetakan telapak tangan. Obsesi mereka masih pada kemungkinan untuk bertahan hidup (survival). Namun pada masyarakat Paleolitik tigapuluh ribu hingga sepuluh ribuan tahun lalu mulai tampak pelukisan kekuatan magis pada figur-figur binatang dan terutama figur dewi kesuburan. Ada kesadaran tentang kesatuan antara alam, dunia binatang dan manusia; kesadaran tentang daya magis alami yang mengikat mereka semua. Kesadaran inilah yang nampaknya merupakan motivasi utama berkesenian saat itu. Fase berikut setelah era Paleolitik adalah kesadaran tentang kekuatan-kekuatan tak terduga yang mempengaruhi kinerja manusia, yang lantas mereka personifikasikan dalam figur-figur mitik aneka dewa-dewi yang bertubuh campuran binatang dan manusia. Dari Mesopotamia, Mesir, hingga Aztec pemujaan atas figur-figur macam itu mendasari proses-proses kreatif berkesenian. Keterkaitan dengan kekuatan ‘transendental’ macam ini kelak menemukan pengentalannya pada agamaagama besar. Sejak itu dunia kesenian erat terkait dengan praktik-praktik ritual religius dan di medan spiritual itulah kesenian berkubang dan menemukan misteri-misteri mistik kehidupan.


Fase yang berbeda muncul di Yunani ketika nampaknya kesadaran manusia atas realitas formal tubuhnya mencuat ke permukaan. Ini berjajaran dengan mulai digunakannya nalar sebagai poros utama persepsi dan kesadaran. Inilah tahap manusia sampai pada kesadaran-diri sebagai individu, yang kelak bertumbuh terus kian matang hingga era modern. Sejak itu dunia senirupa mengalami tegangan dialektis yang menarik antara tendensi sentripetal dan sentrifugal, antara menyelami lubuk psikenya sendiri dan keluar mengamati dimensi kesatuan lebih luas dengan realitas di luar diri, antara kekuatan kreatif personal dan menghayati keterikatan transpersonal, antara kesadaran rasional pribadi dan ketaksadaran kolektif yang misterius dan kaya. Di dunia Barat tegangan ini mewujud dalam tegangan antara pengolahan kerangka formal bentuk (dan medium) dan pencarian kedalaman spiritual , yang akhirnya melahirkan berbagai ‘isme’ dan proses dematerialisasi dalam seni rupa Barat modern. Proses dematerialisasi dalam perkembangan bermacam ‘isme’ dalam seni rupa Barat itu menunjukkan bahwa ketika seni menjadi wilayah otonom terlepas dari dunia religi, sepertinya dunia seni mengalami ketercerabutan dari akar ketaksadaran kreatifnya yang hakiki. Maka tak heran bila isme demi isme yang bermunculan -sejak impressionisme hingga surrealismesesungguhnya merupakan proses penyingkapan ilusi-ilusi bentuk permukaan demi mencari yang lebih dalam; semacam upaya baru menemukan ‘yang spiritual’ atau keterkaitan baru dengan ‘yang transendental’, sesuatu di wilayah ketaksadaran yang telah hilang dijajah dan dikaburkan oleh kesadaran rasional modern.

Lantas memang bukan kebetulan agaknya bila pasca Perang Dunia I dan II dunia modern Barat seperti keranjingan ‘spiritualitas’. Itu muncul pada happening ritualistik Fluxus, penggalian ketaksadaran Surrealisme, teater kekerasan emosional Artaud, permainan dengan kebetulan ala John Cage, hingga berbagai bentuk ‘ekstasi’ psikedelik lewat yoga, meditasi atau pun marijuana dan LSD. Barangkali dunia seni memang tak pernah betah hanya berkubang di wilayah medan bentuk formal. Bila hanya sibuk pada medan bentuk, seni akan mengalami malnutrisi, kurang gizi. Seni, seperti halnya fenomena kreativitas itu sendiri, pada dasarnya memang terkait pada dunia misteri, dunia jiwa, hati, atau pun medan ketaksadaran rohani. Seni adalah bermacam upaya meraih kembali setiap kali jiwa kreatif semesta, yang jauh lebih besar dan luas daripada kesadaran pribadi. Pada titik ini seni purba, modern atau pun kontemporer sesungguhnya melakukan permainan serupa: permainan jiwa yang hendak mengatasi dirinya dan menggapai jiwa semesta.

Bambang Sugiharto pengamat seni dan budaya, gurubesar filsafat di Unpar dan FSRD ITB.

6 | 7


Melampaui ‘Jiwa-Tampak’

Selama ini ‘psikedelia’ (psychedelia) atau ‘psikedelik’ (psychedelic) difahami sebagai istilah yang melulu berhubungan dengan medium atau obatobatan psikoaktif / psikotropika. Demikian halnya, istilah ‘psikedelik’ yang disandingkan dengan label suatu praktik seni—misal: psychedelic rock, psychedelic literature, psychedelic art, dll.—juga selalu dihubung-hubungkan dengan hal yang sama, yakni sebagai ekspresi artistik / musikal yang lahir dari pengalaman-pengalaman para kreator yang mengonsumsi berbagai substansi tersebut.

Seni dan Budaya Psikedelik Hari-hari Ini

Memang, tidak ada yang salah dengan pemahaman atau definisi umum di atas. Namun perlu diketahui bahwa spektrum praktik dan pemahaman tentang budaya psikedelik sesungguhnya lebih luas dari itu. Dalam sejarahnya, budaya psikedelik lahir dari berbagai akar pemikiran yang berbedabeda. Adalah gaungnya dalam ranah kebudayaan populer, khususnya pada dekade 1960-1970-an, yang pada akhirnya secara dominan membentuk persepsi umum tentang ‘gaya psikedelik’. Karakter budaya psikedelik sebagai gerakan tandingan (counter movement) pada akhirnya telah melahirkan stereotipe yang hanya menyoroti kontroversi dan ‘sisi anarkis’ dari kebudayaan ini. Para konservatif-arus utama telah menciptakan berbagai konotasi yang negatif tentang para psikedelia, sehingga dinamika yang sesungguhnya dari kebudayaan ini lebih nampak sebagai ‘penyimpangan’ ketimbang suatu eksperimentasi/praktik artistik yang produktif. Pameran Post-Psychedelia hendak menjelajahi batas-batas pengertian dan praktik artistik mutakhir yang berhubungan


dengan wacana budaya psikedelik melalui sampel karya-karya seni rupa Indonesia. Hambatan utama dalam perumusan gagasan kuratorial pameran ini tentu berhubungan dengan ketiadaan referensi historis yang konkret mengenai ‘seni rupa psikedelik’ di Indonesia. Selain lebih banyak bersandar pada wacana dalam ranah kebudayaan populer dan subkultur di Indonesia, pameran ini merupakan suatu proyek rintisan yang berupaya untuk membangun konstruksi pemahaman tentang seni rupa yang bersumber dari praktik-praktik dan wacana ‘subversif’, yang selama ini jarang muncul ke permukaan oleh karena dominasi pemikiran arus utama. Itikad awal pameran ini adalah mengupayakan suatu sampel praktik artistik yang bermanfaat untuk menelaah kembali definisi dan batas-batas ‘wilayah ketaksadaran’ manusia. Melalui pameran ini hendak diuji sejauh mana disposisi batin para seniman bisa ditengarai dalam kaitan dengan sistem kepercayaan dan perubahan jaman. Perlu dicatat, bahwa inspirasi awal penyelenggaraan pameran ini datang dari sebuah pameran berjudul BOAT yang dikuratori oleh Hendro Wiyanto di Galeri Nadi, Jakarta, pada tahun 2001. Meskipun lebih banyak mempersoalkan wacana tentang idiom gambar dalam praktik seni lukis yang berkembang ketika itu, pameran tersebut menampilkan aspek kuratorial yang menarik, yakni dalam hal pemilihan seniman. Untuk pameran tersebut, Hendro memilih tiga orang seniman—S. Teddy D., Ugo Untoro dan Yani Halim—yang disatukan oleh kedekatan personal dan kebiasaan mereka ‘nongkrong’, menenggak minuman beralkohol dan mengonsumsi obat-obat ‘anti depresan’. Dengan menggarisbawahi keserupaan aspek estetik dalam karya-karya ketiga seniman tersebut, Hendro juga meyakini adanya kaitan antara kebiasaan mengarungi ‘alam-tak-sadar’ dengan dunia penciptaan kreatif mereka. Aspek ketaksadaran menjadi pokok pikiran yang juga ingin digarisbawahi dalam pameran Post-Psychedelia. Selama berpuluh-puluh tahun, teori-teori kebudayaan dan estetika, selah satunya melalui melalui psikoanalisa, telah mempelajari

bagaimana aspek ketaksadaran manusia berpengaruh besar pada praktik artistik para seniman. Gerakan avant-gardis Dada yang berujung pada manifesto Surrealisme—penegasan tentang ‘otomatisme psike’ manusia, sebagai diktum yang mengesahkan ketiadaan mekanisme kontrol rasional—adalah contoh populer dari kepercayaan ini. Andre Breton, eksponen paling berpengaruh dalam perkembangan ini, mengembangkan teori dan metode artistik yang bersandar pada mimpi dan halusinasi. Sebagai murid Sigmund Freud, Breton melakukan berbagai eksperimentasi psike, termasuk dengan penggunaan obat bius / narkotika dan alkohol, yang bertujuan untuk merevolusi berbagai aspek kesadaran manusia dalam menciptakan simbol-simbol dan asosiasi. “Surrealism is the systematization of confusion,” demikian Breton. Gerakan Dada dan Surrealisme, sebagai tonggak penting yang meletakkan ketaksadaran manusia sebagai aspek penting dalam praktik artistik, lahir dalam latar sosial yang kurang lebih sama dengan gerakan psikedelik di Amerika dan Inggris tahun 1960-an. Jika Dada berlatar situasi sosial Perang Dunia I yang melahirkan dekadensi moral dan rasionalitas pada tahun 1920-an, maka gerakan psikedelik 1960-an tak terlepas dari suatu gelombang kebudayaan menyusul berlangsungnya berbagai krisis politik pasca Perang Dunia II yang menyebabkan berubahnya berbagai tatanan sosial dan sistem kepercayaan masyarakat. Bedanya, gerakan psikedelik dianut dan dipopulerkan oleh berbagai kalangan, tak hanya terbatas pada seniman, tapi juga saintis, penyair / sastrawan, musisi dan selebritas pada masa itu. Meski awalnya bermotif sebagai suatu gerakan budaya tandingan (counter cultural movement) psikedelisme menjadi sangat populer sebagai suatu gaya, fesyen atau tren yang mengglobal, terutama melalui musik, film dan media massa. Beriringan dengan kemunculan budaya hippie 1960-an Amerika yang berciri nomaden dan komunal, budaya psikedelik mulai menjangkiti generasi muda sebagai respon terhadap situasi sosial. Intervensi dan ekspansi militer Amerika Serikat yang intensif terhadap Vietnam menjadi salah satu motif utama

8 | 9


yang melahirkan subkultur psikedelik yang identik dengan pembangkangan, skeptisisme dan pemberontakan demi mengembangkan konsep tentang ‘kebebasan’ yang baru. Istilah psychedelic pertama kali dicetuskan oleh dokter jiwa Humpry Osmond pada tahun 1957 untuk mendefinisikan pengalaman yang didapatkan ketika mengonsumsi obat bius, terutama ketika seseorang mengalami hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seperti perubahan visi/pandangan, kegembiraan dan halusinasi. Penganjur gaya hidup psikedelik par excellence, seperti ilmuwan Harvard Dr. Timothy Leary, menganggap pengalaman dan persepsi baru akibat penggunaan medium psikoaktif dapat mendorong perjalanan menuju kesadaran baru yang lebih tinggi. Dr. Leary, bersama Richard Alpert (Raam Dass) dan Ralph Metzner dikenal melalui pendekatan saintifik mereka terhadap substanasi / medium psikedelik sebagai cara untuk mencapai evolusi manusia dengan cara menggabungkan pendekatan terapi pikiran, fisik/syaraf manusia, psikologis dan mistis / spiritual. Mereka memercayai bahwa subtansi psikedelik dapat memberikan kontribusi besar pada perubahan sejarah peradaban manusia, seperti halnya ketika ditemukannya teori tentang atom, antariksa dan komputer. Di samping Leary, terdapat tokoh-tokoh sastra dan filsafat seperti Aldous Huxley, Jack Kerouac dan William S. Burrough, yang kemudian dikenal sebagai proponen intelektual budaya psikedelik. Ketika gaya hidup psikedelik / hippie mulai populer melalui musik dan film, budaya psikedelia menjadi semangat jaman yang terkomodifikasi oleh kapitalisme, dengan lahirnya seniseni dan desain psikedelik sebagai sebuah gaya visual. Tidak mengeherankan, ciri dari gaya visual psikedelik ini memang ‘mengadopsi’ model persepsi visual yang berhubungan dengan pengalaman psikedelik, antara lain: 1) ornamentasi yang rumit, bagai menggambarkan kondisi horror vacui ketika mengonsumsi amphetamin; 2) karakter karakter huruf / font dengan pola garis menggelembung di sana-sini; 3) warna-warna cerah yang diyakini berhubungan dengan visi psikedelik, dan lain sebagainya. Pendek kata, gaya visual psikedelik berupaya memancing persepsi atau gambaran pengalaman seseorang ketika mengonsumsi substansi psikedelik. Inilah gaya visual yang kemudian menjadi stereotype, dan justru membuat pengertian seni psikedelik menjadi sempit. Dalam dunia yang terkooptasi kapitalisme, kebudayaan diproduksi sebagai

komoditi yang berorientasi pada komodifikasi identitas demi kepuasan konsumen atau pemakai. Dengan mencermati sejarah dan berbagai karakter sosial dan budaya psikedelik, Pameran Post-Psychedelia justru meyakini bahwa seni psikedelik tidak hanya terbatas pada visualisasi yang identik dengan persepsi tentang pengalaman mengonsumsi substansi psikedelik. Saya menganggap bahwa gaya hidup psikedelik sejatinya harus tetap dilihat sebagai gerakan antikemapanan, dan pencarian yang filosofis dan terus-menerus terhadap konsep tentang ‘kebebasan’. Karakter antikekerasan, memuja perdamaian, pengalaman transenden dan spiritualisme Timur justru merupakan aspek-aspek penting dalam kebudayaan psikedelik. Oleh karena pertimbangan itu pula, pameran ini menampilkan karya-karya yang berupaya untuk menampilkan spektrum yang terluas dari budaya psikedelik. Tidak hanya karya-karya yang sarat dengan eksperimentasi yang menejelajahi pemikiran dan ‘alam’ yang tak terjamah, dalam ketidaksadaran, mimpi dan fantasi, seperti terlihat pada S. Teddy D., Yani Halim, Irwan Bagja Dermawan, Arisendy Trisdiarto, dan Syagini Ratnawulan; atau karya-karya seniman yang terinspirasi oleh budaya psikedelik populer, seperti Laurs Oscar Osman, Arin Dwihartanto dan Duto Hardono. Karya-karya yang berbasiskan pada spiritualisme transendental dan shamanisme—seperti ditunjukkan oleh Toni Kanwa dan Aas Rukasa—juga menjadi bagian penting dari pemahaman tentang konsep / payung besar ‘pasca-psikedelia’. Selama berabad-abad, proses kreasi seni rupa atau praktik artistik nyaris selalu dikaitkan dengan perwujudan / manifestasi dari suatu disposisi batiniah atau kualitas-kualitas internal manusia. Jika praktik seni rupa modern sering difahami sebagai cerminan dari ‘jiwa tampak’ (S. Soedjojono), ‘ekspresi diri’, atau ‘disposisi batin’, maka istilah ‘psikedelia’ (psychedelia) sesungguhnya merupakan sinonim dari itu semua. Dalam bahasa Yunani, psychedelia berarti manifestasi jiwa (Psyche: soul, jiwa; dan Delein: manifesto, manifestasi).

Agung Hujatnikajennong Kurator Pameran


10 | 11

AR

TW

O

RK

S


12 | 13


AAS RUKASA

Dialogue Between Two Worlds 250 x 80 cm oil on canvas 2006



The Twisted Bird 250 x 80 cm oil on canvas 2006

14 | 15


ARIN DWIHARTANTO

Intoxicated Piet Resin on canvas 50 x 50 cm 2010


16 | 17


18 | 19


ARI SENDY TRISDYARTO

High In Motion 1/8, Print on Photo Rag, Baryta Hahnemuhle Edition: 20 panels (50 x 80 cm each) 2010


DUTO HARDONO


20 | 21


22 | 23


Taking Drugs To Make Art To Take Drugs To (After Spacemen 3) etching & collage on vinyl records 3 parts, each d. 30 cm 2010

Scapula cola and collage on archival acid-free paper 21 x 29 cm (approx.) 2010


24 | 25


IRWAN B. DHARMAWAN

TranceScenesEnergy (on progress) acrylic and mixed media on canvas site-specific project at Selasar Sunaryo Art Space variable dimension 2010


LAURS OSCAR OSMAN

Perception and some of the Essence video instalation 2010


26 | 27


28 | 29


REZA AFISINA

Wasted Video in DVD Format 04 minutes, 44 seconds an 21/fps 2010

Horny Ride Video in DVD Format 02 minutes, 38 seconds and 01/fps 2010


S. TEDDY D.

How to Keep the Secret 180 x 100 cm polyester resin 2010


30 | 31


32 | 33


SYAGINI RATNAWULAN

Whisper 145 x 145 cm acrylic and wood on canvas 2010


TONI KANWA

Seri Jimat variety of wood varible dimension (from 3 - 40 mm) date unknown


34 | 35



YANI HALIM

Moody Alice 120 x 150 cm acrilyc on canvas 2010

36 | 37


ARTISTS BIOGRAPHY

38 | 39


Aas Rukasa

ARIN DWIHARTANTO

Born in Banjar, West Java, July 14th, 1969

Born, Bandung, 1978.

Education 1995 Bandung Institute of Technology, Majoring in Mechanical Engineering, Faculty of Industrial Technology

Education 1996–2001 Institute Technology Bandung (ITB) Fine Art, Indonesia. 2004–2005 MA (Fine Art) Central Saint Martin’s College of Art & Design, London, United Kingdom.

Solo Exhibitions 2006 ‘Bio:’, Centre Culturel Français (CCF), Bandung, Indonesia Experience 1992 Found breathing exercise school known as ‘Radiasi Tenaga Dalam’ in Bandung. This school was an origin of Cosmic Link community, which was established in Bandung then years later. The main goal of Cosmic Link is to help our society in order to have more physical and mental welfare holistically.

Solo Exhibitions 2010 ‘Fluid Friction’, SigiArt ,Jakarta, Indonesia (upcoming) 2007 ‘Liquid Friction’, Artipoli Gallery, Nordeen, Netherland. 2006 ‘Unstable Ground’, Toni Heath Gallery, London, UK. 2000 ‘Machine Head’, Koong Gallery, Jakarta, Indonesia. Group Exhibitions (selected) 2008 ‘10th SSAS Anniversary Exhibition’, Bandung,Indonesia ‘Ganti Oli’, Vallentine Willie Fine Art, Singapore. ‘Manifesto’, National Gallery Jakarta, Indonesia. 2007 ‘22nd Asian International Art Exibitions’, SSAS, Bandung Indonesia. ‘Young Masters’, Toni Heath Gallery London, UK. 2006 ‘Displaced on arrival’, Grace Exhibition Space, New York, USA. ‘The 5th Euroart Open Studios’, London, UK. 2005 ‘Leviathan’, Candid Gallery, London, UK. Awards 2002 Indofood Art Award, National Museum, Indonesia. Top 25, Asia-Europe Young Artist Painting Competition, South Korea. 1999 Phillip Morris National Art Award, National Gallery, Jakarta, Indonesia 1997 PEKSIMINAS, National Art Student Competition, Indonesia. Collections Bank of Indonesia, Jakarta, Indonesia. Private Collections, Indonesia, Singapore, London, UK, Netherlands.


ARY SENDY TRISDYARTO

DUTO HARDONO

Born, Jakarta, December 23rd 1978

Born, Jakarta, 1985.

Education Jakarta Art Institute, majoring in photography (B.A).

Education 2007

Solo Exhibition ‘SLIMMER’, RURU Gallery, Jakarta. Group Exhibitions: 2009 J’AKARTA 32’C’, a showcase for Biennale Jakarta 2009, Senayan City, Jakarta. ‘Festival Kesenian Indonesia’, Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. ‘Deer Andry’, a solo exhibition of Andry Mochammad, realized by his friend and family, RURU Gallery, Jakarta ‘Deer Andry’, a solo exhibition of Andry Mochammad, realized by his friend and family, Mes 56, Jogjakarta 2008 ‘MUSAFIR’, RURU Gallery, Jakarta. 2006 ‘JIFFEST’, Hotel Nico, Jakarta. ‘Top Collection’, ruangrupa, Jakarta. Workshops 2004 Master Class Photography with Klavdij Sluban, Gallery Oktagon, Jakarta. Propaganda at Public Space, a ruangrupa’s project ruangrupa, Jakarta. ‘One Minute Film’, ruangrupa, Jakarta.

BFA Majoring in Painting, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology. 2008 – Present Attending magisterial of fine art (in scholarship), Fine Art & Design Faculty, Bandung Institute of Technology. Group Exhibitions 2009 ‘In De Kost’, collaborative project with Mella Jaarsma, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung ‘Bandung Initiative 4’, Galeri Roemah Roepa, Jakarta ‘Bandung Art Now’, Galeri Nasional, Jakarta 2008 ‘Nine’, Galeri Roemah Roepa, Jakarta ‘Untitled’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung ‘A Decade Of Dedication: Ten Years Revisited’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung ‘Survey’, Edwin’s Gallery, Jakarta 2007 ‘Sisa: re-use’, collaborations and cultural activism from Indonesia, UTS Gallery, Sydney, Australia ‘Said and Done v2.0’, Stride Gallery, Calgary, Alberta, Canada. 2006 ‘Bandung New Emergence’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung ‘The Group Show’, 12th Button Space (now Buton Kultur 21), Bandung ‘Said and Done v2.0’, Anti-Social Gallery, Vancouver, Canada 2005 ‘Re:[Post]’, Japan Foundation, Jakarta Selected Performances 2010 Studies in Banjo Drone & Tape Loops Variation, Galeri Soemardja, Bandung 2008 ‘Untitled,’ Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

40 | 41


IRWAN BAGJA DERMAWAN Born, Bandung, 1971 Education 1997 Faculty of Fine Art Bandung Institute Art of Technology 1995 Workshop Conceptual Art with Netherland Artists Group, Soemardja Gallery, ITB Bandung, Indonesia 1992 Workshop with Ruud Venekamp (Netherland), Soemardja Gallery, ITB Bandung, Indonesia Solo Exhibitions 2009 ‘Fantasia: Panorama Umah Seni Gallery’, Jakarta, Indonesia 2008 ‘Atmosphereal’, Kuta, Bali, Indonesia 2007 ‘A Gift For My City’, Murals Attack at Pasupati fly over, Bandung, Indonesia 2006 ‘Fantacity II’, Murals Attack at Kebon Kembang neighbourhood, Bandung, Indonesia 2001 ‘Rimbaraya Syurganyata’, Tebesaya Village, Ubud, Bali, Indonesia ‘Fantacity’, Murals Attack at Babakan Cianjur neighbourhood, Bandung, Indonesia 2000 ‘Traffic Meditation’, Buahbatu, Bandung, Indonesia ‘Facing the Monster’, Gate of Bandung Institute of Technology (ITB), Bandung, Indonesia 1998 ‘Freemagination’, Braga, Bandung, Indonesia 1997 ‘Heavenly Jungle’, Centre Culture of France, Bandung, Indonesia Group Exhibition 2009 ‘Semarak Biennale’, Art Fair at CGartspace, Jakarta, Indonesia 2008 ‘Global Warming Kunst Kamera’, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Jimbaran, Bali, Indonesia 2001–2005 Featured in BIOSAMPLER Audiovisual Performance at many exhibitions, events, party in Bandung, Jakarta, Semarang, etc 2001 ‘Hors Limite’, workshop & exhibition with Myriam Cathy (France), GSPI Bandung, Indonesia ‘Bandung Art Event (BAE)’, R66 Gallery, Bandung, Indonesia

2000 ‘Blup Art’, West Java Cultural Centre Bandung, Indonesia ‘7th Biennale of Havana’, Cuba 1999 ‘Ecce Homo’, IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, Indonesia ‘11 Bandung’s Contemporary Artists’, West Java Cultural Centre, Bandung, Indonesia 1998 ‘Art for Change’, Ganesha Festival, Bandung, Indonesia 1997 ‘Process Exhibition’, Surakarta Cultural Center, Solo, Indonesia 1993 ‘2 Dimension’, Siliwangi Building, Cimahi, Indonesia


LAURS OSCAR OSMAN

REZA ‘asung’ AFISINA

Born, Jakarta, October 17th, 1982

Born, Bandung, May 7th, 1977

Education 2001 – 2006 Padjadjaran University Study of Anthropology, Bandung, Indonesia

Education 1995 –1999 Cinematography, major discipline sound for film, field recordist – Jakarta Institute of the Arts, Indonesia. (With no diploma)

Selected Solo and Group Exhibition 2005 ‘Sorry!!!’, painting and video art exhibition, Bandung – West Java - Indonesia ‘Friday I’m In Loops’, electronic experimental music and visual exhibition, Bandung – West Java - Indonesia 2006 ‘International Video Art Festival’, Erasmus Huis, Surabaya – East Java – Indonesia ‘Photography, documentary and experimental video exhibition’, Udayana University Study of Anthropology, Bali – Indonesia ‘Local video art exhibition’, Score, Bandung – West Java – Indonesia ‘Alternative media exhibition’, Ultimus Microfest, Bandung – West Java – Indonesia ‘Painting and sound art exhibition’, Sundays, Bandung – West Java – Indonesia 2007 ‘Yogyakarta International Video Festival’, Jogjakarta – Indonesia 2008 ‘Bandung New Emergence volume II’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung – West Java – Indonesia Videography  The Dialogue part 1  The Dialogue part 2  Kontrasosial Crossover (D.I.Y punk band on the road documentary)  Allison Krausse (a music video clip)  I See What I Hear (a thesis video documentary)  Dream on such a monster  HOMICIDE before the death (Last gig of Bandung most influent political Hip – Hop band)  A stone A music video  Minor: story of a stranger  Desire Through a Frames

Selected Solo and Group Exhibition 2006 • ‘New Media on Art exhibition’ at First Gallery, Sydney – Australia. Organized and curated by James Hancock and Alice McAuliff. with “What…” video performance.  ‘Cinematic Labs presentation about performance on video in Bandung – West Java – Indonesia. Organized by Video Lab and Room No.1 – Bandung – West Java – Indonesia. with showcase video works from 2000 – 2005 and H.I.R.E / Henry Irawan + REza afisina, videos.  ‘Shared History / Decolonising the Image’, a four-part project on the representations of decolonisation and its legacies, Exhibition and Video-Lounge - Arti et Amicitiae - with ruangrupa video compilation – Paris – France. with “What…” video performance  ‘French Cinema Festival 2006’, a Film – Video Experimental Screening Program with ruangrupa video compilation in Jakarta – Indonesia. with “What…” video performance.  ‘Rencontres Internationales Paris/Berlin 2006’, roARaTorio - Rencontres Internationales Paris/Berlin. with “What…” video performance and “my chemical sisters” video. 2007  ‘Good Morning: City Noise’, a city sounds-cape exhibition in Bandung – West Java – Indonesia. Organized by Ucok TH. Siregar for Soemardja Gallery – Bandung Institute of Technology. with works from mono recording short interference police radio via cell-phone.  ‘Rencontres Internationales Paris/Berlin 2007’ roARaTorio - Rencontres Internationales Paris/Berlin. with “What…” video performance.


 ‘Auto Emotion: autobiography’, emotions and selffashioning. The Power Plant Contemporary Art Gallery at Harbourfront Centre, Ontario – Canada. Organized by The Power Plant Contemporary Art Gallery Ontario – Canada and curate Gregory Burke, Director of The Power Plant, and Helena Reckitt, Senior Curator of Programs at The Power Plant. with “What…” video performance  ‘Move On Asia’, Single Channel Video Art Festival, Visual Sensibility and Technology on Video Art at Gallery LOOP, South Korea. with “my chemical sisters” video.  ‘22nd Asian International Art Exhibition (22nd AIAE)’, organized by team of curator from Selasar Soenaryo Gallery in Bandung – Indonesia. with “Bad Disc” video.  ‘PICA ‘- simple actions and aberrant behaviours. Northwest Film Centre’s Whitsell Auditorium, Portland, Oregon. Co-Presented with PICA/TBA Festival and Northwest Film Centre. Curate by Pablo de Ocampo. with presentation of “What…” video performance 2008  ‘KHOJ LIVE 08’, New Delhi International manifestation on performance and public art performances at New Delhi – India. Including presentaion at Max Muller Bhavan Gallery, French Cultural Centre New Delhi and Goethe Huis New Delhi – India. Organized by KHOJ, an International artist space, base in New Delhi – India.  Collaborative works on multimedia performances part of PLATFORM Yokohama Triennale 2008 – Japan. Organized by PLATFORM A.I.T (Artist Initiative of Tokyo) – Mr. Fumihiko Sumitomo and Mr. Roger McDonald Japan. works with program local radio show Kojima Radio Station at Yokohama – Japan.  ‘Se Permuta - Museo de Arte Contemporáneo de Oaxaca (MACO)’ – Mexico. Organized by Eder Castillo – Mexico. with presentation of “What…” video performance  Pameran Besar Seni Rupa Indonesia “MANIFESTO”. Curated by Jim Supangkat, Rizky AZ dan Farah Wardani – Indonesia. with works on installation called Tourism, Diplomacy and Facts.

2009  ’13th Jakarta Biennale. Jakarta – Indonesia. Curated by Agung Hujatnika – Indonesia Organized by Jakarta City Art Council and National Art Gallery – Indonesia. with works on manifestation around new media performance “letter to curator”. Awards  2007 30 Most Inspiring Persons Under 30 selected by M.R.A Group Media and Group Company of 87.6 Hard Rock FM – Jakarta – Indonesia.

42 | 43


S. TEDDY D. Born, Padang, August 25th 1970. Education and Residencies 1990 - 1992 Indonesia Art School, Fine Art Department, Surakarta, Indonesia 1992 - 1997 Indonesia Art Institute, Fine Art Department, Yogyakarta 2000 Recidency at Ludwig Art Forum, Achen, Germany Selected Solo Exhibitions 2010 ‘WAR’, Ark Galerie, Jakarta 2009 ‘ Love Tank (The Temple)’, National Museum of Singapore ‘I Want To Be Your Nest’, Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, Indonesia 2008 ‘Meditation of Peanut’, CIGE, Organized by Langgeng Gallery, Beijing, China 2007 ‘Pictura’, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia Group Exhibitions (selected) 2010 ‘Oasis To Be’, Maha Art Gallery, Bali. ‘Transubstansiation’, collaborative exhibition with Daniel Flanagan, Kendra Gallery, Bali 2009 IVAA Archive AID ‘Jogja Art Fair #2’, Taman Budaya Yogyakarta ‘Bazaar Art Fair’, Jakarta 2008 ‘Strategies Towards The Real, S. Sudjojono and Contemporary Indonesia Art’, NUS Museum, Singapore ‘Manifesto’, National Gallery, Jakarta, Indonesia ‘Indonesian Invasion’, Sin Sin Fine Art, Hongkong ‘SH Contemporary’, Organized by Langgeng Gallery, Shanghai, China ‘Asian International Art Exhibition 22nd’, Selasar Sunaryo, Bandung, West Java, Indonesia ‘Korea Art Fair’, Organized by Art Seasons, Seoul, Korea

2007 ‘Indonesian Contemporary Art Now’, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia ‘Sisa’, Technology University of Sidney, Australia ‘Neo Nation: Jogja Biennale’, Yogyakarta, Indonesia ‘Bocor #2’, Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia ‘The Front Line’, Kendra Gallery, Bali, Indonesia 2006 ‘Signed and Dated’, 10th Anniversary Valetine Willie Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia ‘Icon : Restrospective’, Jogja Gallery, Yogyakarta, Awards 2001 Twelve Choice Lucky Strike Young Talented, (Sculpture Artist), Gedung 28, Jakarta, Indonesia 2000 The Best Five Finalist Philip Morris Indonesian Art Awards Selected Bibliography  Puthut EA, “Menanam Padi di Langit”, Ark Gallery, Jakarta, Indonesia, 2008  Amanda K.Rath, “Metallic-shit”, Cemeti Art House, Yogyakarta  Heidi Arbuckle “On being a [male] artist”, Exhibition brochure “GOOD LOOKING FOR ALL SEASON” Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia, 2004  Aprianus Ujiarso, “Sejarah dalam Mimpi Buruk”, Harian Wawasan, Semarang, Indonesia, 2004  Ugeng T. Moetidjo, “Kefungsian Benda-Benda Yang Merumitkan Dirinya Menjadi Objek - Bentukan Simbolik Untuk Dapat Memakna”, Exhibition brochure “Rumah”, Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia, 1998  Omi Intan Naomi, “Home Alone”, Exhibition brochure “Rumah”, Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia, 1998  Hananto Satya, “Aku, Kenyataan dan Harapan Perubahan”, Exhibition brochure “Mata Perupa - Bercermin di Kalbu Rakyat”, Sultan’s Palace, Yogyakarta, Indonesia, 1997


SYAGINI RATNA WULAN

TONY KANWA ADIKUSUMAH

Born, April 18th 1979

Born in Tasikmalaya, December 28th 1959.

Education 1997-2001 Institute Technology Bandung (ITB) Fine Art, Indonesia. 2005-2006 MA Cultural Studies, Goldsmiths College, University of London

Education Studied at Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology.

Solo Exhibition 2010 ‘Love Affair pt. 1: Dining Room/ White Lies’, Vivi Yip Art Room Jakarta Group Exhibitions (selected) 2008 ‘Untitled’, Sunaryo Art Space 2009 ‘Cross/Piece’ Group Exhibition, Canna Galery, Jakarta ‘Survey 2’ Edwin Gallery, Jakarta ‘Bandung Art Now’, Galeri Nasional Jakarta

Experience In 1980s started his aesthetic exploration through sense, vocal and body exploration which then delivers to soul exploration and finally emerge him to discover Nusantara to introduce visual order based on Indonesian original culture. Solo Exhibition 2008 ‘Goudsmeden Krista and Grety Van De Velde’, Grimbergen, Belgium 2007 ‘Jabbeke’, Private Garden owned by Mrs Yolande Van De Maele, Belgium Sribaduga Museum, Bandung Indonesia 2006 ‘The Lost Paradise’, Kanwa Studio, Dago, Bandung 2005 ‘Goudsmeden Krista and Grety Van De Velde’, Grimbergen, Belgium 2000- Nodebais, Belgium 2004 Group Exhibitions (selected) 2009 ‘Fetes De La Saint Martin Tourinnes La Grosse’, Belgium 2008 ‘Fetes De La Saint Martin Tourinnes La Grosse’, Belgium Performance Art 2010 ‘January’, Sukuh Temple, Solo 2009 ‘Light Inside Light’, Times Square Brodway, New York City, America Pilgrimage and journey 2007 Belgium, Spain, Denmark and Peru 2006 Belgium, Spain, France and Netherland 2005 Germany, Belgium, Peru and Bolivia 44 | 45


YANI HALIM Born, Nganjuk, December 16th, 1969. Education 1990 Indonesian Institute of Fine Art, Yogyakarta Indonesia Solo Exhibitions 2009 ‘Come On’, Koong Gallery, Jakarta 2007 ‘Positivity’, Koong Gallery, Jakarta 2000 ‘Yani Solo Exhibition’, Cemeti Art House, Yogyakarta 1999 ‘Yani Solo Exhibition’, Kedai Kebun, Yogyakarta Group Exhibitions (selected) 2009 ‘Topology of Flatness’, Edwin Gallery, Jakarta ‘Art Taipei 2009’, CIGE 2009 Beijing ‘Guru Oemar Bakrie’, Jogja Gallery, Yogyakarta 2008 ‘Red District Project’, Koong Gallery, Jakarta ‘Manifesto’, Galeri Nasional, Jakarta ‘Contemporary Art : Apaan Tuuh!’, Museum Affandi, Yogyakarta ‘Yogya Art Fair’, Taman Budaya Yogyakarta Pameran Bersama, Jogja Gallery, Yogyakarta 2007 Opening of Koong Gallery, Jakarta 2006 ‘Draw’, Museum Tanah Liat, Yogyakarta ‘Postcard’ , House le Paste, Surabaya Considering”Drawing From Stockroom”, Biasa Art Space, Bali Award

46 | 47

Top Five, Dies Natalis Indonesian Institute of Fine Art ‘1995, Yogyakarta


SELASAR SUNARYO

MANAGING ORGANIZATION Program Advisors/Directors Sunaryo, Siswadi Djoko Project Officer/Curator Agung Hujatnikajennong Curatorial Assistants Rifandy Priatna, Chabib D. Hapsoro Program/Communication Arum Prameshwari Finance Conny Rosmawati, Rieta General Affairs Yanni Aman Exhibition Officer Yus Herdiawan Documentation Diah Handayani, Wahyu Front Desk Elaine VB Kustedja Security Glenny, Herman, Ipung, Oman Display Cecep, Yadi, Mail, Ujang


ACKNOW LEDGEMENT

Selasar Sunaryo Art Space would like to extend a deep thank to all participating artists who have dedicated their time and creativity to the realization of the show.

Our gratitude must also go to: Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto; Jim Supangkat; Siswadi Djoko for his recommendation on artist selection; Sungsang Lebam Telak; Biosampler and all the crews of Irwan B. Dharmawan (Iweng); Sari Julia; Theresia Agustina Sitompul; Dimas Arif Nugroho; Adi Marsella and all Ethnic Photography crew; all the crew of Toni Kanwa: Yayan Sambas, Kang Yuki, all staffs at Toni Kanwa atelier; Joko Suharbowo for his efforts in making the digital catalogue; and all of those who have made this exhibition possible. You guys rock!

48



Jl. Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung 40198 West Java - Indonesia P. (+62-22) 250 79 39 F. (+62-22) 251 65 08 E. selasar@bdg.centrin.net.id

w w w. s e l a s a r s u n a r y o . c o m


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.