Kumpulan contoh opini kompas

Page 1

Pendidikan Penyembuh Kemiskinan?

RISET terbaru para ahli ekonomi menyebutkan pendidikan hanya menyumbang sedikit, yaitu sekitar 16,1% per tahun, pertumbuhan produk domestik bruto rata-rata negara di dunia (Greg J Duncan: 2010). Di samping memercayai bahwa investasi di bidang pendidikan memang sangat strategis dan signifikan, terutama pendidikan prasekolah, para ahli ekonomi me nyarankan agar dunia pendidikan memiliki kepekaan pasar dalam rangka menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan para siswa. Memadukan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan dunia kerja merupakan sebuah keniscayaan yang harus ditekuni para pengambil kebijakan bidang pendidikan.

Namun, masalah yang kerap kali muncul ialah dunia pendidikan saat ini sangat bergantung pada situasi politik dan ekonomi sebuah negara. Karena itu menjadi jelas bahwa pendidikan bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengurangi kemiskinan, apalagi jika dilihat dari konteks poli tik dan sistem ekonomi yang dianut, katakanlah, liberalisme seperti di Indonesia. Tidak ada yang meragukan tenaga kerja berpendidikan lebih baik dan lebih mungkin menikmati pendapatan yang lebih tinggi. Orang miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatih an keterampilan. Akan tetapi, mereka juga membutuhkan suatu konteks ekonomi di saat pertumbuhan sejalan dengan suasana politik yang kondusif. Selama beberapa dekade terakhir, seperangkat institusi dan norma-norma yang secara historis mempertahankan hubungan antara keterampilan dan pendapatan telah berkurang. Hal itu menyebabkan sulitnya mengangkat orang miskin menjadi lebih terdidik dan memiliki keterampilan. Meskipun keyakinan para ekonom tersebut bisa saja sa lah, karena meyakini bahwa pendidikan hanyalah obat parsial untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, jelas sekali pandangan mereka hanya menjadikan pendidikan sebagai prasyarat bagi seseorang untuk memasuki dunia kerja. Padahal dalam pendidikan ada banyak spektrum yang bisa menjadikan seseorang memiliki kepekaan sosial yang kuat untuk menjadikan ekonomi sebuah bangsa juga semakin kuat.


Jepang merupakan contoh baik bagaimana menjadikan pendidikan sebagai nilai yang seharusnya disandingkan dengan persoalan budaya dan kepercayaan sebuah bangsa. Salah satu problem mendasar di Indonesia yang menjadikan pendidikan sebagai pilar utama penyelesaian masalah-masalah kebangsaan ialah lemahnya otoritas pendidikan kita dalam merumuskan road-map yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya bangsa. Ambil contoh masalah akses terhadap pendidikan, yang tak kunjung selesai sejak Indonesia merdeka, bahkan mungkin menjadi lebih buruk. Untuk memudahkan mengevaluasinya, kita dapat melihat data statistik jumlah sekolah di Indonesia. Menurut data statistik Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2008/2009, jumlah sekolah di Indonesia mencapai 183.767. Jumlah itu terdiri dari 144.224 sekolah dasar (SD), 28.777 sekolah menengah pertama (SMP), dan 10.762 sekolah menengah atas (SMA). Dari jumlah tersebut, SD negeri sebanyak 131.490 (91,17%), dan SD swasta sebanyak 12.738 (8,83%). Jumlah SMP negeri sebanyak 16.898 (58,72%), sedangkan SMP swasta sebanyak 11.879 (41,28%). Jumlah SMA negeri sebanyak 4.797 (44,57%) dan SMA swasta 5.965 (55,43%). J i k a d i t a m b a h d e n g a n jumlah madrasah (ibtidaiah, sanawiah, dan aliah) sekitar 12% dari total jumlah sekolah umum, jumlah seluruh sekolah mencapai 205.815. Angka-angka tersebut seakan memastikan dua hal. Pertama, jelas sekali masalah aksesibilitas masih menjadi kendala bagi proses pendidikan kita sampai saat ini. Jika jumlah sekolah dasar lebih besar dari SMP dan SMA, berarti ada problem mendasar soal rentannya anak putus sekolah. Kedua, data itu juga menunjukkan kepada kita bahwa dukungan masyarakat atau pihak swasta teramat signiďŹ kan untuk dikesampingkan begitu saja oleh pengambil kebijakan bidang pendidikan di negeri ini. Data tersebut bahkan mengonfirmasi, jika separuh saja dari jumlah sekolah swasta bermasalah dan mengalami kendala dalam hal operasional, angka putus sekolah dipastikan akan bertambah banyak. Karena itu, dimensi sosial sekolah swasta kita harus dihitung secara benar dalam perencanaan pendidikan nasional. Selain itu, data statistik tentang jumlah sekolah itu memberikan gambaran kepada kita bahwa masih banyak anak miskin yang bersekolah di tingkat sekolah dasar dan pasti menemui kesulitan untuk melanjutkan pendidikan mereka jika tidak dibantu dengan banyaknya sekolah yang dikelola masyarakat (swasta). Tak sedikit sekolah swasta yang berada di kampung-kampung dan desa terpencil tutup hanya karena mereka tak memiliki dana operasional yang cukup dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006), Jared Bernstein menegaskan pentingnya sebuah program yang secara sistemis mampu menolong orang miskin supaya memperoleh pendidikan yang baik dan layak untuk dan dalam rangka menjawab secara sungguh-sungguh problem menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara. Selain itu, memiliki program perlindungan terhadap masa depan masyarakat miskin melalui pendidikan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan norma


sosial yang berlaku akan mempersempit ruang kaum borjuis yang serakah dan tamak untuk terus membiarkan kemiskinan menjadi penyakit sosial yang tak berkesudahan.

People Power dan Pergantian Rejim Di hari-hari ini, terkait respons pemerintah atas kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, sejumlah kalangan mulai menyebut-nyebut kembali soal people power. Apa dan bagaimana aksi politik ini sejatinya? Sepenjang sejarah, people power terus berulang. Gerakan mahasiswa (1968/1972) di Eropa Barat (saat itu), gerakan anti rezim militer Thailand (1973), EDSA revolution Filipina (1986), Velvet Revolution (1989) di Cekoslowakia saat itu, hingga runtuhnya Tembok Berlin (1989). Bahkan, sejak pergantian millennium, hampir saban tahun publik dunia menjadi saksi gerakan rakyat, mulai dari Bulldozer Revolution di Serbia (2000), EDSA II di Filipina (2001), Rose Revolution di Georgia (2003), Orange Revolution di Ukraina (2004), Tulip Revolution di Kyrgyzstan (2005), Cedar Revolution di Lebanon (2005), Jeans Revolution di Belarus (2006), PAD Movement di Thailand (2006 dan 2008), Saffron Revolution di Burma (2007)

dan

terakhir

Green

Revolution

di

Iran

(2009).

People power juga sering disebut “color revolutions” merujuk pada identitas warna atau lambang (biasanya, bunga), yang dikenakan massa pendukung gerakan tersebut. Ciri utama terletak pada ruh dan pilihan instrumen “aksi damai” dan melibatkan “orang biasa” –bukan pelaku politik formal. Serta, menyertakan tuntutan ini: perubahan rezim. McAdam, Tarrow, dan Tilly (2001) melabeli people power dengan istilah “trangressive contention”: “cases of contention in which at least some of the parties to the conflict are newly self-identified political actors employing innovative collective action or adopts means are either unprecedented or forbidden within the regime in question to making claims.” Merujuk formula McAdam dkk., catatan ini menyoroti secara khusus tiga faktor kunci dari beberapa episode people power. Elemen Pendukung People power merupakan proses dinamis yang meletup karena terimbas dari aktivitas maupun momentum yang terjadi sebelumnya. Mekanisme meretasnya people power dipengaruhi sejumlah elemen. Pertama, struktur mobilisasi. Keunggulan people power bertumpu pada kemampuan memobilisasi massa dengan tuntutan isu yang seragam dan dikemas dalam aksi damai pada rentang waktu tertentu. Penggunaan media high-tech tak sebatas membentuk opini dan solidaritas virtual, tapi sampai pada menghipnotis massa untuk tumpah ruah di jalanan. Saat EDSA I (1986), peran Radio Veritas sangat vital dalam menciptakan kanal mobilisasi. Siaran


Radio Veritas tidak saja menjadi satu-satunya medium komunikasi yang menyiarkan langsung perkembangan aksi, tapi juga memberi informasi pada “kerumunan” atas pergerakan pasukan Marcos, permintaan logistik, dan yang terpenting memobilisasi hingga dua juta orang di sekitar camp

Aquinaldo

dan

EDSA.

Pada

EDSA

II,

peran

Radio

Veritas

digantikan

pesan

pendek via telepon genggam. Green Revolution di Iran menggunakan Internet, khususnya media Twitter. Elemen kedua, brokerage dan boundary activation. People power semakin meluas bila terdiri dari beragam elemen kelompok maupun organisasi masyarakat. Galibnya, kelompok inti gerakan adalah organisasi mahasiswa maupun organisasi non-pemerintah. Tapi ini saja tidak cukup. Gerakan demonstrasi di Eropa pada 1968, semula hanya dilakoni mahasiswa yang menuntut perbaikan kondisi pekerja. Tanpa kemampuan merangkul dan menggerakkan kelompok buruh dan kelompok sosial lain, mustahil gerakan ini membesar dan memiliki efek domino di beberapa negara Eropa Barat. Selanjutnya, elemen ketiga, adalah instrumen gerakan. Penggunaan instrumen aksi yang telah baku dan “ditoleransi” penguasa lazim digunakan. Tapi, selain mudah diantisipasi, menggunakan cara itu-itu saja cenderung tidak memikat orang untuk bergabung. Perlu dicatat, people power memiliki karakter sebagai “pesta rakyat” yang sanggup membuat orang biasa rela berpeluh dan meluangkan waktu. Cara-cara inovatif dan bahkan di luar kelaziman seperti dipertunjukkan gerakan PAD di Thailand dengan menduduki Bandara Don Muang dan Suvarnabhumi serta pendudukan

kantor

perdana

menteri,

membuat

aktivitas

pemerintahan

lumpuh

serta

memacetkan sektor pariwisata sehingga menambah daya tekan terhadap rezim. Elemen terakhir adalah “sertifikasi.” Mendapatkan legitimasi atas gerakan merupakan hal penting – bahwa gerakan tersebut sah dan “direstui.” Penggunaan atribut warna kuning yang merupakan simbol kerajaan Thailand atau keikutsertaan Kardinal Sin di Filipina, memberi sinyal kepada “penonton” bahwa gerakan ini direstui raja dan otoritas gereja sehingga menyemangati khalayak ramai untuk bergabung. Bingkai Gerakan Mengemas people power menjadi tuntutan bersama demi terwujudnya perubahan rezim menjadi poin krusial bagi gerakan. Sepanjang dua dasawarsa terakhir, landasan moral yang menjadi tuntutan politik dari beragam people power adalah melawan rezim otoriter dan korup. Meramu alasan yang dikemas dalam isu-isu populer menjadi penting guna membentuk identitas, solidaritas, serta tuntutan politik.


Keberadaan solidarity maker juga krusial untuk membentuk solidaritas dan asosiasi massa terhadap tokoh atau organisasi sebagai pengikat gerakan. Pentolan gerakan seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Vaclav Havel, Cory Aquino, dan Lech Wałęsa, menjadi personifikasi dari people power tersebut. Warna, simbol, serta logo merupakan atribut yang membentuk identitas gerakan. Atribut lain, misalnya, slogan dibutuhkan pula. Sebagai contoh, aktivis people power di Filipina memakai slogan LABAN (Lawan!). Tak kalah penting adalah tuntutan. Meramu tuntutan bukan perkara mudah, karena ada beragam kelompok dan individu dalam gerakan people power dengan kepentingan dan “tingkat kepuasan” capaian berbeda. Aktivis PAD di Thailand menetaskan tuntutan “New Politics,” di Filipina (2001) dengan RIO-nya (Resignation- Impeachement- Ousted), sedangkan di Serbia “Gotov je” (Dia – Milosevic – Tamat!), sebagai ungkapan sekaligus tuntutan terhadap rezim. Memudarnya lintas negara dan kemajuan teknologi komunikasi membuat para pemrakarsa people power dapat saling bertukar jurus. Hal yang terjadi di Filipina dapat dimodifikasi di Ukraina atau kegagalan di Burma dan Iran dapat menjadi pelajaran penting bagi pegiat di belahan dunia lain. Bahkan, “bantuan teknis” pun kerap dilakukan seperti yang dilakukan Otpor (gerakan mahasiswa dari Belgrade University di Serbia,) yang menularkan kisah sukses mereka, di antaranya, ke Georgia, Ukraina, Kyrgistan, dan Belarus. Tipe Rezim Tipologi rezim sangat menentukan corak dan proses gerakan. Tarrow dan Tilly (2007) membagi empat kuadran tipe rezim: rezim otoriter atau demokratis serta rezim dengan kapasitas rendah atau tinggi. Kapasitas rezim merujuk pada kemampuan mengontrol teritori dan tingkat soliditas rezim. Rezim otoriter dan berkapasitas tinggi mampu meredam gerakan rakyat dengan cara represif dan cenderung brutal. Kegagalan saffron revolution yang melibatkan para biksu di Burma, menjadi bukti betapa rezim otoriter dengan kemampuan represif mampu mematahkan people power. Rezim ini juga yang mengudeta Aung San Suu Kyi dan menumpas “protes 8888” (aksi penolakan kudeta junta militer pada 8 Agustus 1988). Cerita sukses people power umumnya terjadi pada rezim otoriter dengan kapasitas rendah. Skandal, baik korupsi atau pemilu, membuka peluang gerakan massa menyeruak karena kemampuan rezim dalam mengendalikan teritori dan menggunakan instrumen kekerasan terbatas. Belum lagi jika secara internal timbul keretakan di kalangan elit. Dengan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka, perubahan rezim menjadi niscaya. Untuk Asia Tenggara, “berlaku” siklus people power dalam merontokkan rezim predator–dimulai dari Filipina merambat ke Thailand dan singgah di Indonesia. Dengan dimotori para veteran


people power sebelumnya, Filipina berhasil menggulingkan Joseph Estrada dan Thailand mengusir Thaksin Sinawatra. Dengan tipologi rezim hybrid, berkapasitas rendah, serta cenderung lamban dalam mengambil keputusan, tentunya membuka peluang bagi gerakan people power di Indonesia. Akankah siklus ini berputar sempurna? Luky Djani mahasiswa doktoral di universitas Murdoch, Australia.

Seberapa Bahagia Bangsa Kita? Handrawan Nadesul Adrian White dari Universitas Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia. Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64. Survei lain satu dasawarsa lalu menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa? Rasa

bersyukur.

berkelimpahan,

Orang

hidup

Denmark

secukupnya

gampang

bersyukur,

(contentment),

serta

menikmati merasa

hidup

tak

perlu

tanpa

perlu

diperbudak

kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu? Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi. Itu berarti tingkat stres hidup orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau stres merundung. Stres merusak badan, selain merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan (pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah pikulan stres kebanyakan orang sekarang.


Paradoks �n-Ach� Pada awal modernisasi kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement (�virus jiwa n-Ach�). Jiwa bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya. Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan ekonomi bangsa. Namun, kini terbukti, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu. Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy. Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia. Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa

henti

bangsa berbanding terbalik dengan

tingkat

perolehan

kebahagiaan hidup. Banyak uang tak bahagia Filosofi orang banyak yang salah kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang. Sejatinya uang betul penting. Tapi, bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa. Karena kesuksesan kebanyakan orang ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak


bahagia sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan. Orang bisa membeli ranjang emas, bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak berbahagia. Universitas di negara maju sekarang menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan produktivitas buat negara akan terpetik. Pintar saja tak cukup. Sekarang anak perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah. Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajarim tetapi berkembang sendirinya bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah satunya. Kekayaan negara bukan segalanya. Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah bikin bangsa bahagia. Buat kita, supaya bisa sebahagia orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga mampu menebus kebahagiaan dalam hidup. Oleh : Handrawan Nadesul Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, dan Penulis Buku. KOMPAS, Sabtu, 12 Desember 2009

Tukang Kebun Indonesia Oleh : Budiarto Shambazy


Tanggal 14 Desember 2009 pas 40 tahun kematian Soe Hok Gie di Gunung Semeru, Jawa Timur. Kami alumni Universitas Indonesia mempersiapkan buku Soe Hok Gie Sekali Lagi yang dirilis 18 Desember dan ”Napak Tilas Soe Hok Gie” yang diadakan Komunitas Kelompok Pencinta Alam Malang/Mapala UI di Gunung Semeru pada 20 Desember. Justru setelah tutup usia dalam usia 27 tahun, banyak yang sadar bahwa ia pejuang konsisten. Banyak yang mafhum bahwa saat sebagian besar mahasiswa menikmati bulan madu bersama Orde Baru, ia justru keluar dari magnet kekuasaan. Predikat konsisten itu menempel pada diri dan aktivitas Hok Gie karena tiga hal, yakni ia pribadi baik, bersih, dan pemberani. Ia memimpin mahasiswa yang pada hari-hari Januari 1966 menggalang kekuatan memprotes Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun, yang ia protes bukan pribadi Bung Karno, melainkan Orde Lama. Ia tetap bersimpati terhadap sosok Bung Karno sebagai pribadi, yang ia tegaskan melalui pernyataan atau artikel di koran. ”Saya katakan bahwa Bung Karno telah menyengsarakan rakyat. Tetapi, itu tidak berarti bahwa penentang-penentang Bung Karno pahlawan pembela rakyat. Banyak di antara mereka yang bajingan dan oportunis,” katanya. Sikap tak pandang bulu Hok Gie, misalnya, ditunjukkan tahun 1968, tak lama setelah Soeharto jadi presiden. Ia menggalang mahasiswa dan alumni memprotes Kodam V Jaya yang mau mengooptasi aspirasi kampus melalui siaran RUI (Radio UI). Old habit die hard! Sekalipun ikut berjasa membidani kelahiran Orde Baru, Hok Gie memilih jadi dosen sejarah di Fakultas Sastra UI. Ia masih teramat belia dan punya peluang merebut posisi politik menguntungkan. Namun, ia lebih suka menyendiri ke puncak gunung menemukan kedamaian hati. Kami angkatan 1970-an ke atas yang aktif di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa UI ”mengenal” Hok Gie dari buku, artikel, dan cerita. Kami tahu ia konsisten karena ia mempelajari sejarah bangsanya.


Ketika para pemuda/mahasiswa mengucapkan Sumpah Pemuda, dunia relatif makmur. Tekad menyatakan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” merupakan kulminasi dari perjuangan bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Begitu banyak kebetulan sejarah yang terjadi saat dimulainya abad ke-20. Asia bangga Jepang mengalahkan Rusia dalam perang 1905 walau militerisme Jepang tak kuasa menahan nafsu menjajah China dan Korea. Perang Dunia I 1914 mengubah perimbangan kekuatan Eropa. Negara-negara di benua tua itu mempertahankan stabilitas dan perdamaian sambil melanjutkan dominasi kultural di negara jajahan. Namun, akhirnya mereka bersaing sendiri. Mereka mengaku beradab dan demokratis, tetapi dipermalukan sendiri oleh fasisme Perdana Menteri Italia Benito Mussolini dan ambisi ekspansionis Kanselir Jerman Adolf Hitler. Amerika Serikat mengakhiri netralitas saat Presiden Woodrow Wilson menyeret negaranya ke Perang Dunia I. Setahun setelah Sumpah Pemuda, Amerika Serikat dilanda ”Depresi Besar” yang juga melanda sebagian Eropa. Dalam konteks dunia seperti itulah nasionalisme Indonesia tumbuh. Para pemuda/mahasiswa ketika itu dipengaruhi pula oleh kebangkitan kebangsaan di Turki, India, dan China. Boedi Oetomo didirikan 1908 oleh Wahidin Soediro Hoesodo, Raden Soetomo, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Tujuannya nonpolitis, menuntut Belanda mengembangkan pendidikan yang menjamin kemuliaan pribumi. Pada akhir 1909 anggota Boedi Oetomo mencapai sekitar 10.000 orang, kebanyakan bermukim di Jawa/Madura. Daya tarik Boedi Oetomo berkurang ketika Hadji Samanhoedi dan Raden Mas Tirtoadisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) 1909. Tiga tahun kemudian SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang mengalami keemasan ketika dipimpin HOS Tjokroaminoto. Ada

juga

Nationale

Indische

Partij

(NIP)

yang

didirikan

1929,

organisasi

”campuran”

Eurasia/pribumi pimpinan Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantoro. Seorang anggota NIP, Hendrik Sneevliet, menginfiltrasi SI membuka jaringan komunisme internasional yang melibatkan Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka. Perserikaten Kommunist di India (PKI) berdiri 1920, melanjutkan persaingan perjuangan kebangsaan SI versus komunis. Tokoh-tokoh Islam nasionalis yang ogah terlibat kompetisi mendirikan Muhammadiyah, 1912, yang dipimpin KH Ahmad Dahlan. Lewat ideologi berlainan, semua kekuatan pemuda/mahasiswa memulai perjuangan.


Bung Hatta ambil bagian sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia, kumpulan mahasiswa di Belanda, mulai 1922. Empat tahun kemudian lahir Nahdlatul Ulama yang salah satu pendirinya, Wahid Hasjim, adalah ayah Gus Dur. Setelah itu Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia 1927. Semua

potensi

pemuda/mahasiswa

bergabung

ke

Permoefakatan

Perhimpoenan

Politiek

Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada akhirnya dinamika perimbangan kekuatan nasionalis, komunis, militer, dan Islam melahirkan �konflik dan konsensus� dalam perpolitikan Orde Lama. Mahasiswa Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendukung lahirnya Orde Baru. Mahasiswa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan Hariman Siregar mengoreksi Orde Baru. Mahasiswa 1998 menjadi the highest power penumbang Orde Baru. Seperti Hok Gie, mahasiswa 2009 tetap konsisten. Mereka sudah turun ke gelanggang untuk melawan kriminalisasi KPK, membongkar mafia hukum, dan, sebentar lagi, mendesak DPR menguak tabir skandal Bank Century. Seperti Hok Gie, mereka baik, bersih, dan pemberani. Kini nyaris setiap hari mahasiswa berunjuk rasa di sejumlah kota. Bisa dibayangkan apa jadinya jika mahasiswa berpangku tangan saja? Sementara pada saat yang sama pers, masyarakat madani, profesional, dan DPR pasrah? Mahasiswa satu-satunya kekuatan moral pengawal hati nurani rakyat. Mereka beberapa tahun saja menyandang status sebagai mahasiswa. Mereka ibarat tukang kebun yang menyirami taman Indonesia yang indah supaya tak dikotori siapa pun yang memerintah kita. KOMPAS, Sabtu, 14 November 2009


Membangun Komunitas berpengharapan

Judul Buku : The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita Penulis

:

Penerbit

Mgr

Ignatius

:

Cetakan

Suharyo

Kanisius, :

Jogjakarta

Pertama,

2009

Tebal : 248 halaman JENAZAH orang muda bernama Giorgio Frassati diterbangkan dari kota Torino, Italia, menuju Sydney, Australia. Ini terjadi pada peringatan Hari Kaum Muda Sedunia di Sydney, 2008. Giorgio Frassati lahir dari keluarga kaya namun hidupnya ia dedikasikan untuk melayani orang miskin, sakit, dan telantar. Pelayanannya kepada kaum duafa membuat ia mati dalam usia yang relatif muda, 24 tahun. Ia meninggal akibat penyakit dari orang-orang miskin yang dilayaninya. Pada saat

meninggal,

ribuan

orang

miskin

datang

melayat

sebagai

bentuk

penghormatan.

Dengan menghadirkan jenazahnya di Sydney, Paus Benediktus XVI menawarkan teladan kaum muda yang telah mengalami kehadiran Tuhan dan kasih yang mengubah dan membaharui hidupnya,

sehingga

menumbuhkan

harapan

di

antara

orang

miskin

yang

mengalami

ketidakberdayaan (hal. 213-214). *** Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan, dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan. Demikian ajakan lagu �The Prayer� yang popular beberapa tahun lalu. Lagu ini


pula yang menjadi memberi semangat Mgr Ignatius Suharyo, penulis buku ini, ketika menjalani tugas pelayanan di Keuskupan Agung Semarang. Sebab, kenyataan menunjukkan dunia yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, saat ini masyarakat sedang berjuang melawan korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam situasi semacam ini, menurut Uskup Haryo (panggilan Mgr Ignatius Suharyo, Red), perutusan untuk mewartakan pengharapan menjadi jelas. Dalam bahasa lain, iman mesti terlibat dalam upaya membangun harapan, di tengah situasi gamang dan kadang hopeless. Dalam buku ini uskup mengajak agar umat tetap teguh dalam iman, berpengharapan, dan penuh kasih, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, gereja maupun negara. Dengan begitu, kita bisa melibatkan diri untuk membangun tata dunia yang lebih baik. Buku ini merupakan buah pemikiran, pandangan, dan ajaran iman Mgr Haryo selama menjadi gembala umat di Keuskupan Agung Semarang (KAS). Di wilayah reksa pastoralnya, ia dikenal sebagai gembala yang murah hati, lembut, terbuka, dan bijaksana. Dengan keterbukaannya dia banyak membuat kebijakan pastoral yang memberdayakan umat. �Silahkan umat dari berbagai elemen membuat karya, dengan siapa pun yang berkehendak baik. Kalau salah ya diampuni, kalau keliru yang dikoreksi.� Itulah wejangan Uskup Haryo di berbagai kesempatan, agar umat tidak takut bereksperimen dan berekplorasi dalam mengembangkan iman dan dialog dengan siapa saja. Maka, karena kebijaksanaannya, kelembutannya, dan ketegasannya menggembalakan umat di KAS, Uskup Haryo amat dicintai umat. Umat KAS merasa kehilangan gembala saat Mgr Haryo meninggalkan Semarang untuk bertugas perutusan di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Namun umat juga bangga, karena gembalanya mendapat tugas terhormat di kota metropolitan yang penuh tantangan dan situasinya lebih kompleks. Buku ini juga dimaksudkan sebagai kenang-kenangan atas kepergian Uskup Haryo untuk bertugas di tempat yang baru, dengan satu sesanti, �Mari dengan tekun bekerja terus membangun komunitas yang berpengharapan�. Buku ini dapat menjadi bacaan atau referensi masyarakat secara luas, karena isi pokok dalam buku ini mengulas bagaimana persoalan hidup berbangsa dan bernegara. Dari tema-tema itu, Uskup Haryo selalu menyelipkan tema harapan. Dia menegaskan betapa pentingnya keutamaan pengharapan bagi umat manusia yang hidup pada zaman ini. Buku ini mirip buku Crossing the Threshold of Hope (Melintasi Ambang Batas Pengharapan) yang terbit pada 1994. Buku tersebut mengupas berbagai persoalan aktual di dunia saat ini, di mana Paus Yohanes Paulus II sebagai nara sumber menjawab dengan tuntas dan mendalam persoalan aktual zaman ini.


Nah, buku tulisan Uskup haryo ini rupanya tak jauh berbeda dengan buku Crossing the Threshold of Hope. Hanya saja, Uskup Haryo menjawab dalam konteks persoalan Indonesia saat ini. *** Sudah sekian tahun sejak reformasi berjalan, keadaan masyarakat, bangsa, dan negara tampaknya tidak menjadi lebih baik. Korupsi tetap merajalela, masyarakat miskin bertambah, lingkungan hidup semakin rusak dan sekian banyak masalah lain membuat hidup semakin sulit. Dalam keadaan semacam itu, buku ini hadir untuk ikut berpartisipasi menyumbangkan gagasan dan inspirasi untuk membangun komunitas yang berpengharapan. Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme lebih bernuasa psikologis, sedangkan harapan bernuansa spiritual. Optimisme mudah hilang kalau ternyata perhitungan-perhitungan yang melandasi optimisme itu salah. Harapan tidak akan hilang, karena dilandasi oleh janji Tuhan sendiri. Maka, dalam dekade terakhir, Konferensi Waligereja Indonesia banyak mengeluarkan Surat Gembala atau seruan pastoral yang berkaitan soal pengharapan. Pada 1997, ketika situasi sosial-politik-ekonomi di Indonesia tidak menentu, KWI menulis Surat Gembala ”Keprihatinan dan Harapan”. Ketika terjadi pembaharuan dan reformasi pada 1999, KWI menerbitkan Surat Gembala dengan judul ”Bangkit dan Tegak dalam Pengharapan”. Pada 2001, ketika negara tidak menjadi lebih baik terbit lagi Surat Gembala dengan judul ”Tekun dan Bertahan dalam Pengharapan: Menata Moral Bangsa”. Berpengharapan menjadi keutaman orang beriman, terutama saat menghadapi dunia yang penuh tantangan ini. Buku ini ditutup dengan kata-kata pengharapan yang membuat orang tidak takut akan segala rintangan: be not afraid (jangan takut). ”Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab, kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan payahmu tidak sia-sia” (1 Kor 15:58). Buku ini sungguh inspiratif dan menggugah kesadaran kita untuk mau berjuang dan berpengharapan di tengah kesulitan hidup pribadi, berbangsa, dan bernegara. (*) D. Pujiyono, Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta Sumber: Jawa Pos, Minggu, 20 Desember 2009


Menyemai Kebebasan Beragama Tokoh Muda Inspiratif Kompas #25 Budhy Munawar Rachman – The Asia Foundation

Budhy Munawar Rachman adalah salah satu penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam secara lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Sebuah cakrawala pemikiran yang fondasinya dibangun oleh para tokoh Muslim di era Nurcholish Madjid. Sebagaimana gurunya di Paramadina, Nurcholish Madjid, Budhy juga dikenal sebagai penyeru pluralisme dan kebebasan beragama. Pemikiran Budhy tentang hal itu bisa dijumpai melalui buku-bukunya, dua di antaranya adalah Islam

Pluralis dan

Fiqih

Lintas

Agama,

yang

terbit

pada

tahun

2003,

dengan

jelas

menggambarkan keberpihakannya pada kemanusiaan. Selain kesibukannya mengajar Islamologi dan Filsafat Islam Sekolah Tinggi Filsafat di Driyarkara, Budhy aktif di Yayasan The Asia Foundation sebagai Program Officer Islam and Development. Berikut petikan wawancara dengan Budhy Munawar. Sampai

di

mana

modernisasi?

pergulatan

pemikiran

umat

Islam

di

Indonesia

terkait

isu


Kontribusi besar tokoh-tokoh Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Djohan Efendi adalah membangun fondasi pemahaman sehingga umat Islam di Indonesia gampang menerima ide baru. Misalnya, ide tentang demokrasi dengan segala turunannya: penerapan HAM, kebebasan beragama, juga hal-hal yang lebih konkret seperti pemerintahan yang baik. Dan, menurut saya, mereka berhasil. Mereka telah memberi pijakan sangat kuat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Sejak 2005 saya bekerja di Asia Foundation, saya mendapat kesempatan banyak bisa bekerja dengan komunitas di tingkat akar rumput, misalnya bekerja dengan pesantren, sekolah Islam, juga dengan lembaga peradilan agama dan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dari persinggungan itu, saya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia sangat siap untuk mengimplementasikan

demokrasi.

Tetapi,

masyarakat

sebenarnya

masih

membutuhkan

tuntunan untuk menggali akar mereka sendiri di tingkat lokal. Bisa memberi contohnya? Contoh klasik adalah pembentukan women crisis centre (WCC), yaitu tempat bagi perempuan untuk konseling penyembuhan dan berlindung bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebutuhan mengenai crisis center itu sudah ada sejak 80-an. Tetapi, pembangunannya mendapat tentangan. Resistensi masyarakat sangat kuat karena ide ini dianggap �barat� dan tidak cocok dengan ide �Timur� dan Islam. Ditambah lagi munculnya isu feminisme karena yang membawa WCC ke masyarakat adalah LSM yang peduli feminisme. Ketika kita mulai menyadari pentingnya peran lembaga seperti NU dan Muhammadiyah, serta lembaga turunannya seperti Fatayat dan Muslimat, kita kemudian mendorong mereka untuk tampil ke depan membawa isu WCC ini. Kini penyebaran WCC sudah meluas dan lebih mudah diterima. WCC pengalaman pertama tahun 90-an, yang menjadikan kita sekarang sangat sadar mengenai pentingnya ormas Islam. Untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia, peran ormas Islam ini pun memang masih penting. Mereka memiliki kekuatan untuk mendorong masyarakat menjadi lebih terbuka.


Tentu sekarang tantangannya juga semakin berat, yaitu semakin menguatnya konservatisme, bahkan mengarah ke radikalisme, baik radikal dalam hal wacana maupun terorisme. Yang sedikit melegakan, NU dan Muhammadiyah telah menyebut diri mereka sebagai moderat. Istilah moderat dipakai untuk menunjukkan bahwa ormas Islam di Indonesia itu bukan radikal. Oleh karena itu, mereka akan melawan segala bentuk kekerasan yang bisa muncul dari agama. Walaupun ada juga ormas Islam yang lebih kecil dengan massa yang lebih sedikit yang cenderung konservatif, bahkan cenderung radikal. Kenapa radikalisme sekarang banyak muncul? Karena dulu Orde Baru (Orba) serba tertutup dan melawan semua kencederungan radikalisme, baik kanan maupun kiri. Sejak reformasi, ada keterbukaan. Saya percaya pada proses bahwa membangun masyarakat yang lebih terbuka itu penting walaupun harganya mahal. Kita membayarnya dengan perang sipil di Poso, konflik etnis di Kalimantan, juga diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah. Radikalisme muncul di era keterbukaan. Ini tak bisa diatasi dengan cara seperti dulu dengan menghabisi melalui kekerasan dan tekanan. Di Malaysia masih seperti itu sehingga keterbukaan masyarakat Islam dalam berwacana dan berpendapat di sana belum bebas. Di Indonesia kita bisa memunculkan wacana apa saja, pendapat seliberal apa pun. Walaupun harus diakui tantangannnya juga ada. Namun, tidak sampai pada tahap yang membahayakan jiwa. Apa yang bisa dilakukan untuk meredam radikalisme? Yang paling penting adalah membuat masyarakat sadar bahwa terorisme itu berbahaya untuk perkembangan masyarakat sendiri. Karena radikalisme itu cenderung menghancurkan kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, potensi ormas Islam sangat besar karena mereka mewakili sebagian besar umat Islam di Indonesia. Apalagi mereka sudah menyatakan diri sebagai kelompok yang moderat. Lebih baik lagi jika mereka bisa lebih progresif sehingga betul-betul menjadi penyangga dalam meredam radikalisme. Apa hambatannya untuk mewujudkan kebebasan beragama di Indonesia? Dari segi legal kita sudah cukup progresif walaupun masih cukup banyak kontradiksi. Dari segi teologi, kita masih memerlukan suatu kejernihan berpikir dan berargumen sehingga menjadi


jelas bahwa hak-hak orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk beragama itu dijamin. Isu pluralisme dimulai puluhan tahun lalu, tetapi isu kebebasan beragama belum sampai pada tahap praktis. Secara normatif memang mulai dibangun, misalnya ada uraian mengenai ayat Al Quran laa iqroha

fid-dien,

yang

artinya

tak

ada

pemaksaan

dalam

beragama.

Tetapi,

sekarang

tantangannya lebih berat. Toleransi pasif mungkin sudah kita lakukan. Saya kira semua tokoh agama dan pemerintahan sudah melakukan, tapi toleransi aktif masih belum. Toleransi aktif maksudnya kebebasan beragama dalam implementasi nyata. Misalnya, upaya menyelesaikan masalah bersama di masyarakat dalam pendirian tempat ibadah. Apakah Anda optimistis masyarakat Muslim Indonesia bisa menuju fase demokrasi aktif? Optimis karena secara normatif tidak ada pertentangan. Bahkan, akar-akar demokrasi sangat kuat di Islam. Itu yang dieksplorasi oleh pemikir Islam yang demokratis. Dan, itu yang hidup di masyarakat. Kita memang sudah memilih demokrasi sebagai cara untuk mengembangkan masyarakat Indonesia. Kita tidak memilih sistem politik yang lain. Demokrasi sudah menjadi amanah waktu kita membentuk Indonesia. Kita menuju ke sana. Saya percaya pada proses. Kita ada dalam satu jalan yang benar. Amerika maupun negaranegara Eropa juga butuh waktu lama sampai ke pilihan demokrasi itu. Kini kita dalam tahap di mana demokrasi bisa ditumbuhkan. Sayangnya tak ada negara Muslim besar yang bisa jadi acuan. Banglades contoh yang menarik. Mereka menyebut sebagai negara sekuler walaupun memiliki jumlah penduduk Muslim sangat besar, terbesar kedua di dunia. Tapi, mereka jatuh bangun juga. Problemnya sama dengan Indonesia, korupsi dan lain-lain. Secara prosedural kita contoh yang baik, di mana demokrasi yang elementer sudah terjadi, di mana pemimpin dipilih masyarakat secara bebas. Pemilu dan pilkada kita damai. Tentu kita belum puas karena itu masih demokrasi yang elementer. Belum sampai pada tahap demokrasi yang membawa kesejahteraan. Jika demokrasi masih membawa tetap miskin, untuk apa? Ini kita yang masih cukup jauh. Masih perlu waktu.


Apa yang harus dikhawatirkan bisa menggagalkan kita menuju ke proses itu? Yang bisa menggagalkan adalah radikalisme karena hal itu bisa membatalkan semua yang telah kita lakukan, terutama sejak reformasi. Kecenderungan mengenai radikalisme itu ada sehingga memang harus terus diwaspadai. Oleh AHMAD ARIF / KOMPAS, Rabu, 25 November 200

Mimpi Negeri Tanpa Korupsi Tokoh Muda Inspiratif Kompas #24 Fadjroel Rahman – Pegiat antikorupsi, calon Presiden independen 2009

Pada 28 Oktober lalu, tepat 81 tahun Sumpah Pemuda, tokoh mahasiswa Institut Teknologi Bandung, 1978, M Fadjroel Rachman, yang pernah mendekam di LP Sukamiskin, Jawa Barat, oleh rezim Orde Baru, mendeklarasikan diri kembali menjadi calon presiden independen tahun 2014. SUHARTON


Ini merupakan deklarasi kedua Fadjroel sebagai calon presiden (capres) setelah deklarasi pertama Februari 2009. Waktu itu pencalonannya kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materinya terhadap capres perseorangan atau independen. Kini, didukung gerakan nasional independen, Fadjroel maju kembali sebagai capres. Ia mengaku tak ingin mencari keuntungan sendiri menjadi capres RI, tetapi ingin mengembalikan hak konstitusional warga lainnya bisa maju sebagai capres. Bahkan, Fadjroel yang juga aktif ikut gerakan antikorupsi memiliki harapan, yaitu jika calon independen bisa memenangkan uji materi, tidak hanya kelompok demokrasi yang bisa masuk ”merebut negara”, tetapi juga berkiprah mengawal pemberantasan korupsi dan melawan mafia hukum secara semesta. Optimismenya maju kembali dan ”menembus” MK berawal keberhasilannya ketika ia dan kawankawannya ”memenangkan” uji material di MK, 23 Juli 2007, yaitu calon independen untuk pemilu kepala daerah. Untuk memuluskan pencalonannya, Fadjroel tidak hanya mengurus uji materi ke MK, tetapi juga merevisi UU Partai Politik agar parpol bisa melaksanakan konvensi penentuan calon dan juga melakukan amandemen UUD 1945. Menurut Fadjroel, ”kemenangan demokrasi” itu tinggal selangkah lagi. Bagaimana pemikirannya, seperti apa mimpinya atas sebuah negeri tanpa korupsi serta upaya ”perlawanan” mengenai antidemokrasi. Terkait itu, Kompas mewawancarainya, beberapa waktu lalu. Inilah sebagian wawancaranya. Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III menimbulkan ”keributan”. Bagaimana Anda melihat dan memetik pembelajaran pertemuan itu bagi demokrasi? Proses demokrasi yang terpenting, menurut saya, adalah dialog, ada kesetaraan yang argumentatif dan rasional. Apa pun masalahnya bisa dibicarakan dalam pemahaman itu. Kita menghindari monolog selama 32 tahun hidup di era Orde Baru. Kami datang dengan satu pikiran, Komisi III bisa menjelaskan mengapa mereka bisa membuat kesimpulan bersama kejaksaan yang mendesak Kejaksaan RI menangani perkara dua pimpinan KPK yang nonaktif. Sementara Tim Delapan, yang dibentuk Presiden, membuat rekomendasi yang fakta dan proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses hukum pimpinan KPK.


Pertanyaannya, Komisi III menentang rekomendasi Tim Delapan. Kami sebenarnya memohon satu dialog yang komunikatif sehingga ada alasan rasional dan obyektif. Maksudnya? Tampaknya mereka masih merasa sebagai pejabat negara dan bukan seorang politisi publik yang bertanggung jawab. Ketika kami berkali-kali menanyakan itu, jawabannya mengambang dan seolah-olah kedatangan kami mengorbankan waktu. Puncaknya, saat guru besar UI Tamrin Tomagola menjadi kesal. Mengapa pertanyaan yang jelas justru tidak dijawab dengan rasional obyektif, tetapi malah berputar-putar dan suara yang agak keras. Kesimpulan saya, mereka tidak siap berdialog. Padahal, bangunan demokrasi itu jantungnya dialog rasional dan obyektif. Kira-kira apa yang menjadi penyebab? Apakah terjadi kesenjangan kaum intelektual dan kaum politisi? Menurut saya, partai politik memang seharusnya menyeleksi lebih dulu terhadap anggotaanggota yang bertarung di pemilu. Akan tetapi, ternyata parpol tidak memilih calon terbaik, tetapi diserahkan pada seleksi masyarakat sehingga hasilnya seperti ini. Padahal, rakyat tidak punya pendidikan demokrasi yang kuat saat memilih. Mengapa bisa begitu? Saya kira karena pendidikan politik di Indonesia atau demokrasi, seperti pernah saya katakan, baru �satu derajat di atas nol�. Artinya, seolah-olah demokrasi itu eksis setelah kita bebas dari cengkeraman Orde Baru, yakni dengan mendirikan partai politik dan menggelar pemilu. Akan tetapi, tidak ada ajaran yang kuat terhadap hak-hak mereka, yaitu hak sipil, bagaimana orang mengenali bahwa kalau menyuarakan pikiran itu adalah sebuah kebebasan dan apa yang disuarakan itu kepentingan dasar. Jadi, demokrasi yang diperjuangkan hanya yang prosedural. Tetapi, inti dari demokrasi, yaitu orang membela hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya itu, tidak terjadi. Akibatnya, mereka memilih orang dan bukan orang atau wakil rakyat yang mau membela kelima hak dasar itu saja. Dalam reformasi 11 tahun ini, pendidikan demokrasi atau pendidikan hak dasar itu relatif baru. Sementara demokrasi kita dibajak para individu yang antidemokrasi. Mereka orang-orang yang bercokol selama rezim totaliter Orde Baru. Inilah yang �memenjarakan� para fraksi di DPR.


Padahal, seharusnya aktor-aktor demokrasi itu yang harus mengisi lima arena, yakni arena politik, ekonomi, masyarakat bisnis, civil society, birokrasi, dan arena hukum. Demokrasi hanya bisa berjalan jika lima wilayah diisi oleh aktor-aktor demokrasi. Mengapa kita tidak menjalankan demokrasi substansial? Ibarat sekolah, kita masih kelas satu. Padahal, kemarin ketika reformasi kita punya kesempatan dan momentum emas untuk menjalankan hak dasar. Momentum waktu itu adalah saat reformasi mendorong hak-hak dasar saat mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, waktunya dibatasi untuk kasus setelah 1999. Demikian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tidak jadi diteruskan pembentukannya serta restrukturisasi utang luar negeri yang harus dijalankan. Akibatnya, momentum itu hilang dan korupsi masih tidak bisa dihilangkan hingga saat ini. Jadi, korupsi tidak mungkin pupus? Ada hari di mana kita bermimpi bahwa korupsi itu hanya ada di museum nasional dan di sana terdiri dari diorama-diorama. Kita juga bermimpi Indonesia yang bebas kemiskinan sehingga anak cucu kita bisa dibawa melihat diorama kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, buruh, dan lainnya. Kalau anak cucu kita bertanya, bagaimana korupsi itu, mimpi saya itu, mari kita bawa ke museum nasional. Misalnya, museum tentang BLBI, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Di situ digambarkan orang-orangnya, lalu ada diorama bagaimana mereka korupsi. Bisa saja, ada diorama korupsi di PT Masaro Radiokom, diorama gratifikasi Bank Indonesia, dan diorama lainnya yang menjadi masa lalu bangsa kita. Tidak bisa momentum baru untuk mengembalikan semuanya kembali? Saya berpikir bahwa momentum itu baru terjadi pada tahun 2014, yaitu ketika terjadi regenerasi nasional, ketika semua lembaga politik dan lima arena akan diisi generasi baru, generasi nonOrde Baru dan non-Soeharto. Saya yakin bisa, berdasarkan adanya pergeseran regenerasi politik dari sekarang ini. Selasa, 24 November 2009


Demi Pembangunan yang Berkeadilan Tokoh Muda Inspiratif Kompas #23 Dradjad Wibowo – Anggota DPR-RI 2009-2014 PAN

Jauh sebelum tokoh di negeri ini banyak bicara tentang strategi pembangunan yang berkeadilan sosial, Dradjad Wibowo telah menulis pemikirannya itu. Tak heran, ia diberi kepercayaan untuk menulis pengantar dalam buku karya peraih Nobel, Joseph E Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil. Ideologi dan Cetak Biru Ekonomi Indonesia: Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan yang Berkeadilan Sosial�. Demikian judul dalam Jurnal Reformasi Ekonomi Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Vol 3 Januari 2002. Sebagai ekonom, Dradjad memang banyak mewarnai pemikiran ekonomi kerakyatan di negeri ini. Dia memandang pembangunan yang berkeadilan memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi intragenerasional, di mana program pemulihan ekonomi menghasilkan distribusi manfaat dan biaya ekonomi yang dipandang adil oleh komponen masyarakat dalam generasi sama.


Kedua, dimensi intergenerasional, di mana harus dijamin distribusi manfaat dan biaya ekonomi dipandang adil dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yaitu tercapainya kelestarian economic flow antargenerasi, kelestarian penggunaan sumber daya alam dan lingkungan. Sampai kini cita-cita itu pun masih terus diperjuangkannya dengan gigih dan konsisten. Dia banyak mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang sangat propasar atau proasing yang mengusik rasa keadilan masyarakat atau memperlebar kesenjangan sosial. Pemikirannya tersebar luas di banyak media massa, berbagai jurnal, atau seminar nasional maupun internasional. Lima tahun belakangan ini Dradjad terjun ke dunia politik praktis, yaitu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional. Meski demikian, dunia politik praktis tidak juga mengubahnya menjadi kompromis atau pragmatis. Dia masih konsisten memperjuangkan ide besarnya, yaitu mendorong strategi pembangunan yang berkeadilan sosial di negeri ini. Hal itu terlihat dari kiprahnya selama lima tahun di DPR. Dia termasuk anggota DPR yang selalu berada di depan untuk membela hak-hak rakyat akibat ketidakadilan. Dia pernah mengusulkan hak interpelasi penyelesaian kasus Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (KLBI/BLBI), hak interpelasi kenaikan harga bahan bakar minyak, hak angket impor beras, atau hak menyampaikan pendapat terhadap jawaban interpelasi presiden terkait kenaikan harga bahan pokok. Kini Dradjad tengah berkonsentrasi untuk lebih mengembangkan partainya untuk menjadi Ketua Umum PAN. Sebagai bukti kesungguhannya dan berpolitik itu bukan sekadar cari jabatan, jauh hari sebelum pemilu sudah memutuskan untuk tidak ikut dalam pencalonan anggota DPR meskipun peluang itu sangat besar. Dradjad bakal menjadi rival terkuat dari calon lain, yaitu Hatta Rajasa yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu II. Informasi yang berkembang di internal PAN, konon, dua Ketua Umum PAN terdahulu, yaitu Amien Rais dan Soetrisno Bachir, pun sudah memberikan dukungan kepadanya untuk menjadi orang nomor satu di partai berlambang matahari itu. Seperti apa pemikiran Dradjad tentang Indonesia dan langkah apa yang akan diperjuangkan oleh politisi ekonom ini, berikut petikan wawancara Kompas dengan Dradjad Wibowo, beberapa waktu lalu.


Apa yang mendorong Anda terus berjuang? Yang saya perjuangkan saat ini sesungguhnya bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Ini buah dari pencarian sejak saya menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Disebabkan banyak menggeluti persoalan pertanian, saya melihat ketimpangan yang besar sekali. Ada pihak konglomerasi yang mendapat fasilitas banyak sekali, mulai dari izin sampai tanah. Kalau perlu dengan menggusur tanah. Izin pun seperti jalur tol, cepat sekali. Kalau tidak punya uang pun tinggal mengambil di bank. Kalau jualan tidak laku, pemerintah pun membuatkan regulasi. Sementara itu, pada pihak lain, ada petani yang untuk mendapatkan margin sedikit saja harus bersusah payah. Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa dunia ini tidak adil? Padahal, Allah itu Maha Adil. Berarti, ketidakadilan itu terletak pada manusia. Ini akibat dari kue ekonomi yang dikuasai hanya oleh kelompok tertentu. Dari sanalah saya berpikir perlunya pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial. Saya berpandangan, negara harus mempunyai peran mengatur semua sumber daya yang dimilikinya, sumber daya alam, sumber dana, maupun sumber daya manusia. Memang banyak juga negara yang mengatur segalanya itu gagal. Demikian juga dengan negara yang menyerahkan sepenuhnya pada ekonomi pasar. Karena itu, kita tidak bisa ekstrem. Bagaimana pembangunan di Indonesia saat ini? Pembangunan di Indonesia sudah mengarah pada bias ekonomi pasar. Kesenjangan semakin lebar dan bahkan menimbulkan korban-korban yang dramatis. Indonesia juga banyak kehilangan potensi sumber daya alam yang dimilikinya karena telah diambil pihak asing. Saya bukan antiasing, xenofobia. Saya lama sekolah di negeri asing. Yang saya persoalkan adalah persoalan ketidakadilan. Indonesia dikaruniai alam yang seharusnya dapat membuat kita terbang tinggi seperti rajawali. Tapi, elite kita yang membuat bangsa kita seperti bangsa bebek. Kebijakan pemerintah soal pengelolaan Blok Cepu adalah contohnya. Saat itu ada kesempatan pemerintah untuk mengembalikan pengelolaan Blok Cepu kepada PT Pertamina. Tapi, rupanya politik yang diambil pemerintah, memberikannya kepada ExxonMobil.


Padahal, kalau diasumsikan harga minyak adalah 60 dollar AS per barrel, dengan total cadangan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya, potensi Blok Cepu bernilai Rp 40 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 400 triliun. Pertamina pun dapat dengan mudah melakukan inovasi keuangan untuk mendapatkan dana segar, misalnya berupa penerbitan obligasi dan lainnya. Apabila potensi ini dikelola dengan pandai, bahkan bisa mendapat keuntungan satu sampai tiga kali lipat. Seperti halnya PT Freeport dengan modal awal mendapat izin, ia bisa mendapat 26 miliar dollar AS dan bisa mengakuisisi tambang nikel terbesar di dunia. Paling apes pun mendapat keuntungan 30 persen saja, maka bisa mendapat dana segar Rp 120 triliun. Dengan aset Blok Cepu, Pertamina sebetulnya sudah mampu melebihi apa yang dimiliki Petronas. Oleh karena itu, kita harus terus mengkritisi kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak berkeadilan sosial. Mengapa belakangan Anda masuk ke politik praktis? Saat ini belum banyak masyarakat yang menyadari perlunya pembangunan berkeadilan sosial. Padahal, sila kelima Pancasila menegaskan itu dan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu bangsa. Terjun ke politik merupakan bagian dari perjuangan untuk mewujudkan idealisme itu. Sekarang ini banyak kebijakan dibuat hanya didasarkan pada pragmatisme atau politic idol, di mana faktor personalitas menjadi sangat dominan dan sama sekali tidak memedulikan seperti apa pandangan dari pemimpin itu. Untuk masuk menjadi anggota DPR atau menteri pun bisa saling sikut atau saling makan satu sama lain. Politik menjadi rendah, yaitu politik animal. Politik seperti belantara, sedangkan politikus menjadi binatang-binatangnya. Tugas semua aktivis politiklah untuk secara konsisten mengubah kondisi itu. Politik harus dijadikan sebagai sarana memperjuangkan idealisme, bukan untuk cari makan, cari harta, atau cari kekuasaan. Di banyak partai, sesungguhnya banyak juga yang berjuang. Sayangnya, staminanya tidak sama. Ikut hak angket, tidak lama kempes. Apabila kondisi partai terus seperti ini, partai bisa kehilangan relevansinya. Ketika kalah, seharusnya terus berjuang dan terus mencoba lagi. Dalam Islam diajarkan, kalau besok kiamat dan kita mempunyai satu biji, tanam biji itu sekarang.


Berapa besar peran parpol untuk mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial? Peran partai politik tidak hanya sangat besar, tetapi juga dominan. Semua rekrutmen pejabat formal harus melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Calon presiden dan wakil presiden juga diusullkan oleh parpol. Demikian pula pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk di lembaga yudikatif, seperti seleksi anggota Komisi Yudisial, hakim agung, atau hakim di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin memperbaiki negara melalui kekuasaan formal, jalurnya melalui partai. Tapi, bagi yang ingin memperbaiki negara melalui jalur tidak formal, dapat menggunakan jalur akademis, lembaga swadaya masyarakat, atau pers. Tantangannya sama berat. Parpol ke depan harus mempunyai ruh. Bagaimana dengan persoalan hukum yang terjadi belakangan ini? Pembangunan berkeadilan sosial tidak terlepas dari persoalan hukum. Tidak boleh ada kelompok tertentu di negeri ini yang kebal hukum, above the law. Kasus kriminalisasi pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tidak boleh terjadi. Hal ini juga semestinya ditangani dengan cepat oleh pemerintah. Setelah mendengar rekaman di Mahkamah Konstitusi, semestinya sudah bisa diambil tindakan. Bukan hanya membebaskan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tetapi juga mengembalikan keduanya ke posisi semula. Presiden pun segera mencabut kembali peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang telah ditandatanganinya. Demikian juga kasus Bank Century. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2008 yang memberikan kekebalan kepada Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan menurut saya berlebihan dan tidak sesuai dengan konteks negara hukum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hambatan terbesar yang membuat bangsa ini sulit mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial adalah tidak adanya persamaan hukum terhadap sesama warga negara. Kondisi ini dirasakan semua pihak. Oleh Sutta Dharmasaputra / Senin, 23 November 2009


Mengalir Menuju Muara yang Sama Tokoh Muda Inspiratif Kompas #22 Usman Hamid – Koordinator KONTRAS

”Mengapa semakin banyak petani yang kehilangan lahan?” Itulah kegelisahan pertama Usman Hamid saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, di saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru. ”Itulah realitas politik,” jawab dosennya saat itu. Kegelisahan terhadap realitas politik ini kian memuncak dalam diri Usman saat anak band yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini melihat empat temannya tewas, tertembak dalam peristiwa Trisakti pada 12 Mei 1998. ”Saat penembakan itu terjadi, saya menjadi calon Ketua Senat Fakultas Hukum. Saya merasa berdosa kepada teman-teman yang menjadi korban dan bertanya, mengapa peristiwa itu sampai terjadi?” kenangnya. Refleksi terhadap peristiwa yang menjadi salah satu momentum jatuhnya Orde Baru itu membawa Usman ke petualangan baru yang akhirnya membentuk hidupnya sampai kini. Diawali dengan menjadi anggota Tim Investigasi yang dibentuk Universitas Trisakti (Usakti) untuk mengusut kasus 12 Mei 1998. Aktivitasnya terus bergerak menjadi Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II yang dibentuk


Komisi Nasional HAM, hingga meneruskan almarhum Munir menjadi nakhoda Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Peristiwa Trisakti juga membawa Usman bertemu dengan Munir yang saat itu menjadi Koordinator Badan Pekerja Kontras. Ketika Munir meninggal akibat dibunuh dalam penerbangan ke Belanda pada 7 September 2004, sejumlah pihak sempat menanyakan kelanjutan Kontras dan juga Usman. �Sampai sekarang kami ternyata tetap eksis,� katanya kepada Kompas, Rabu (18/11) di Jakarta. Apa yang membuat Anda dan Kontras tetap bertahan? Ada cita-cita dan keputusan yang sama untuk bertindak di antara kami, yaitu ingin berperan serta membangun masyarakat yang lebih berpihak pada pemenuhan HAM. Ini berarti terciptanya masyarakat yang lebih kuat dan percaya pada martabatnya, serta adanya kebijakan bahwa kesempatan harus diprioritaskan kepada masyarakat yang paling dilemahkan. Apakah isu gerakan masyarakat sipil, khususnya di bidang HAM, masih menarik? Masih. Sebab masih banyak persoalan yang mengancam HAM, khususnya martabat kita sebagai manusia. Misalnya, makin kuatnya usaha untuk menunggalkan identitas dan menganggap yang berbeda identitas adalah �makhluk� lain. Ini seperti pandangan sebagian orang Serbia yang menganggap orang Muslim bukan manusia. Ini pandangan yang berbahaya karena faktanya kita hidup di dunia yang beragam sehingga pluralisme adalah salah satu nilai kemanusiaan yang harus diterima. Meski kekerasan oleh negara sudah berkurang, kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat justru kian sering terjadi. Ini karena sumber kekerasan ada tiga, yaitu politik, relasi ekonomi, dan struktur sosial masyarakat. Seberapa kuat aktivitas masyarakat sipil mampu menjawab tantangan ini? Gerakan masyarakat sipil memiliki tiga latar belakang. Pertama, diilhami upaya pembebasan dari kekuasaan militer seperti yang terjadi di Eropa Timur. Kedua, menciptakan struktur ekonomi yang lebih adil seperti yang diperjuangkan di Amerika Latin, dan ketiga, membangun persamaan jender atau struktur sosial seperti yang banyak diperjuangkan di Timur Tengah. Tiga gerakan itu sekarang ada di Indonesia. Di awal reformasi, gerakan di bidang keterbukaan politik lebih menonjol. Saat ini gerakan di bidang perbaikan relasi ekonomi dan struktur sosial perlu lebih diintensifkan sebab kekerasan masyarakat, antara lain, diakibatkan lemahnya kekuasaan pemerintah karena tergerus modal dan timpangnya struktur sosial ekonomi masyarakat. Ini


membuat Kontras sekarang juga aktif dalam kegiatan seperti pembelaan terhadap korban penggusuran dan kekerasan struktural yang berbasis ekonomi. Bagaimana manfaat gerakan masyarakat sipil di Indonesia? Cukup efektif. Sekarang muncul kesadaran di masyarakat untuk jangan mudah diadu domba atau diprovokasi. Kerusuhan seperti yang pernah terjadi di Poso atau Maluku, sekarang lebih sulit untuk disulut. Bagaimana tentang pendapat gerakan masyarakat sipil mulai kehilangan makna, karena isunya banyak digarap lembaga lain, seperti partai politik? Justru pada saat ini gerakan masyarakat sipil makin dibutuhkan untuk berperan sebagai pemberi suara kritis kepada kekuasaan sebab parpol cenderung menjadi satu suara dan ada keengganan untuk menjadi oposisi. Padahal, demokrasi selalu mensyaratkan adanya oposisi agar tercipta saling kontrol dan keseimbangan. Politik tak asing Politik bukan barang baru bagi Usman. Bapaknya, almarhum Abdul Hamid, adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan aktivis Partai Persatuan Pembangunan. Ibunya, almarhumah Halimatus Sa’adiyah, adalah fungsionaris Partai Golkar. ”Ibu saya penggiat majelis taklim di Jakarta. Beliau punya buku besar berisi daftar anggotanya, lengkap dengan fotokopi KTP dan foto. Dahulu di masa Orde Baru, jika ada kegiatan Golkar, ibu saya dapat dengan mudah mendatangkan banyak sekali anggotanya. Ini yang membuat beliau sering dipanggil Panglima Kodam untuk sekadar kopi pagi,” kata Usman. Namun, menjelang akhir Orde Baru, lanjut Usman, ibunya memutuskan keluar dari politik. Sepak terjang Usman membuat sejumlah partai menawarinya menjadi calon anggota legislatif (caleg). ”Ketika Pemilu 2009, ada tiga partai besar yang menawari saya. Saya berpendapat, untuk berjuang bagi Indonesia tidak perlu harus menjadi anggota DPR. Saya juga sudah merasa nyaman dan bersyukur karena yang saya lakukan selama ini menenteramkan batin,” katanya lagi. Selain kurang menjanjikan secara finansial, yang Anda lakukan selama ini juga mengandung banyak risiko, seperti dialami almarhum Munir….


Teror memang sering ada, tak hanya saya, namun juga (almarhumah) ibu, mulai dari melalui pesan singkat, telepon misterius, sampai ditawari uang dan kamar hotel. Kantor Kontras juga pernah diserang dan dirusak sekelompok orang pada 13 Maret 2002. Teror ini biasanya muncul saat kami mulai atau berhasil membongkar suatu kasus. Saya bukannya tak memiliki rasa takut dalam menghadapi teror itu. Namun, seperti yang disampaikan Munir, kita harus lebih takut pada ketakutan itu sendiri sebab rasa takut akan menghilangkan rasionalitas dan akal sehat kita. Kasus pembunuhan Munir belum terungkap. Kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya juga belum selesai. Bagaimana Anda melihatnya? Masa lalu masih menjadi masa kini ketika, misalnya, seorang ibu masih mempertanyakan dan mengunjungi kubur anaknya yang menjadi korban pelanggaran HAM. Karena itu, kasus masa lalu itu tetap harus diungkap. Meski sampai sekarang hasil perjuangan ini belum maksimal, dengan berbagai usaha dan aksi kami, setidaknya masyarakat selalu diingatkan di masa lalu pernah ada persoalan, seperti kerusuhan, penembakan, dan penculikan aktivis. Ingatan itu adalah modal penting untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa kini dan masa depan. Bagaimana menjaga kemurnian gerakan Anda? Dengan selalu mendekatkan diri pada kelompok yang paling otentik, yang bagi Kontras adalah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Mereka selalu memancarkan energi untuk selalu menjaga cita-cita, perjuangan, dan tindakan. Saya yakin, semua yang berkemauan baik akan bertemu pada muara yang sama, kebaikan dan kedamaian. Oleh : M Hernowo / KOMPAS, Sabtu, 21 November 2009

DPR Jangan Pasang Badan bagi Penguasa Tokoh Muda Inspiratif Kompas #21 Nurul Arifin – Anggota DPR-RI 2009-2014


Tahun 1987 nama Nurul Arifin menjulang di langit Indonesia karena menjadi salah satu bintang film Naga Bonar. Setelah itu, ia bisa menyelesaikan sekitar 40 judul film. Kemudian ia terjun ke dunia bisnis dan gerakan aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan dan sosial. Menjelang akhir 1998, ketika ditanya tentang tragedi berdarah Semanggi, Nurul mengatakan, �Peristiwa itu menyedihkan, mengapa gerakan mahasiswa dihadapi dengan peluru dan pentungan.� Namun, saat itu ia mengatakan, tidak tahu tentang politik. Antara tahun 2004 dan 2009, ia banyak mendapatkan tawaran untuk menjadi calon wali kota, bupati, dan wakil gubernur. Ia belum bersedia. Ia memilih untuk kuliah bidang politik di Universitas Indonesia, meraih S-1 dan S-2. �Saya masuk dunia politik seperti air yang mengalir,� ujarnya dalam suatu wawancara di salah satu kamar di Gedung DPR Senayan, Jakarta, pekan lalu. Inilah petikan tanya jawab dengan Nurul Arifin: Mengapa tidak menerima tawaran jadi bupati, wali kota, atau wakil gubernur? Saya tidak ingin keburu-buru di situ. Saya ingin jadi anggota DPR dulu. Maka, saya masuk Partai Golongan Karya dulu pada tahun 2003. Saya putuskan masuk Golkar karena di sana strategis bagi saya. Waktu itu partai itu dalam masa mereformasi diri, mau menerima gagasan-gagasan baru, misalnya tentang isu-isu perempuan yang sedang saya geluti saat itu. Saat itu Golkar tak punya tokoh perempuan yang menonjol, kecuali Ibu Marwah Daud. Jadi, arena kompetisinya tak terlalu berat. Sekarang di Golkar saya bisa jadi diri sendiri, bisa mengungkapkan ide-ide saya. Bagaimana rasanya jadi anggota DPR selama dua bulan lebih ini? Saya masuk ke parlemen setelah perjuangan yang kedua. Tahun 2004 gagal. Tahun 2009 ini nomor satu dan meraih suara terbanyak. Dulu tahun 2004 mendapat suara 83.000 suara. Sekarang 142. 500 suara karena ditambah Kabupaten Bekasi. Wilayah pemilihan saya adalah Bekasi, Purwakarta, dan Kerawang.


Dengan masuk ke DPR, saya merasa perjuangan politik akan lebih strategis. Strategis untuk diimplementasikan, untuk disumbangkan. Jadi, kalau tadinya dedikasi saya hanya di jalan, yakni sebagai aktivis perempuan, kesehatan, dan sosial, sekarang perspektifnya beda. Sekarang ikut menentukan kebijakan. Di sinilah jantung perubahan bisa dilakukan. Anda memilih Komisi II‌? Komisi ini menangani bidang politik dalam negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan lainnya. Saya tidak memilih bidang yang berkaitan dengan aktivitas saya sebelum ini, yakni aktivis perempuan. Saya pilih di Komisi II karena pengalaman melihat sistem politik di Indonesia dan kesejahteraan yang tidak merata. Saya melihat sumber alam di Indonesia melimpah. Akan tetapi, rakyatnya banyak yang tetap miskin. Kenapa ini? Tentu banyak faktor. Ini tentu karena distribusi yang tidak benar. Saya juga melihat tentang otonomi daerah yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat ternyata tidak bisa terlaksana. Ini saya lihat karena sistem yang kurang berjalan. Selain itu, saya memilih Komisi II karena bidang studi saya, yakni S-1 dan S-2 adalah politik Indonesia. Selain itu, apa lagi yang membuat pilihan pada Komisi II? Ada rasa gemes ketika saya menjalani masa kampanye sebagai calon legislatif. Masa kampanye delapan bulan bagi saya terlalu lama. Ini tidak efektif karena di lapangan muncul politik uang. Di Komisi II ini saya ingin tahu apakah sistem pemilihan umum macam sekarang sudah betul seperti yang kita inginkan. Apakah demokrasi yang kita usung ini sudah betul sesuai dengan harapan hati terdalam bangsa Indonesia. Dua bulan DPR baru tampil, ditandai dengan penampilan Komisi III yang tidak menyebarkan aroma wangi‌ Iya. Saya lihat teman-teman bermainnya kurang cantik. Jadi, seharusnya yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat jelas suaranya harus pro pada rakyat. Representasi suara rakyat. Kalau ada kepentingan lain, seharusnya tidak sesarkastis begitu. Jadi, jangan lantas pasang badan untuk kepentingan lebih besar atau untuk penguasa. Penampilan teman-teman ini bisa menjadi pelajaran, ya ? Ya. Akan tetapi, saya bersyukur di Komisi II itu komposisinya bagus. Jadi, mereka yang berusia tua, ada yang mantan gubernur, mantan bupati, mantan wali kota, dan mantan sekretaris daerah. Dari yang tua sampai yang muda ada di tempat saya. Campur. Kalau saya lihat di


Komisi III kebanyakan orang-orang muda, kurang bijak atau wise. Kalau di Komisi II itu campur, jadi kita saling mengisi. Saya senang. Rata-rata bagus. Di Komisi III itu juga ada teman-teman Nurul dari Partai Golkar ya, dan salah satu unsur pimpinannya juga dari Golkar bukan? Ya, dari kita ada sepuluh orang di situ. Teman-teman saya. Bagi saya, mereka di sana itu saya lihat sebagai pembelajaran. Di sana bagi mereka sebagai arena pembelajaran. Bagi saya, sebagai pembelajaran juga supaya jangan begitu. Mereka di sana juga sedang memainkan amanat partai. Akan tetapi, itu tidak mudah. Apa yang ingin Anda lakukan sebagai anggota DPR ? Saya ingin memberikan diri saya. Saya ingin berguna sekali bagi rakyat. Karena sejak awal saya menjadi aktivis, kebahagiaan yang saya temukan adalah ketika saya memberikan diri saya dan bisa membahagiakan orang lain. Itu yang akan saya bawa sampai kapan pun. Jadi, saya akan tetap idealis seperti itu. Membahagiakan orang lain sebagai anggota DPR, konkretnya bagaimana? Memberikan yang mereka perlukan. Memberikan yang bisa menyenangkan mereka. Akan tetapi, tidak hanya soal materi saja, ya. Misalnya mereka bisa merasakan pekerjaan saya, dedikasi saya. Orang bisa melihat keseriusan saya, dedikasi saya. Paling tidak saya bisa mempersembahkan itu dulu.

Konkretnya

yang

bisa

saya

lakukan

untuk

konstituen

saya

dalam

rangka

mempersembahkan kerja saya adalah, kalau di Kerawang sering banjir dari Citarum. Dari APBD sulit diharapkan untuk mengatasi hal itu. Maka, saya ingin berjuang cari dana lewat APBN untuk membuat bendungan di sana. Tidak ingin jadi anggota parlemen yang vokal? Anggota parlemen itu harus pandai bicara karena parlemen itu berasal dari kata parler , artinya bicara‌ Ya, ingin jadi vokal. Akan tetapi, vokal yang kritis, tidak asal bunyi, dan asal dapat panggung. DPR ini sudah merupakan panggung, jadi panggungnya sudah ada. Tinggal bagaimana saya bermain di atasnya secara cantik. Juga, ngapain saya harus bersuara jika suara itu kosong. Saya ingin jadi anggota parlemen yang cerdas.


Oleh : J Osdar / KOMPAS, Jumat, 20 November 2009

Menjadi Penguasa Belum Tentu Memimpin Tokoh Muda Inspiratif Kompas #20 Anis Matta – Wakil Ketua DPR-RI 2009-2014

Dari

pengalaman

berpartai

sejak

gemuruh

reformasi 1998, Anis Matta berpendapat, memimpin bangsa jauh lebih berat dari sekadar memenangi pemilihan umum. Ketika kemenangan tidak disertai kapasitas memimpin, distribusi kekuasaan politik harus dilakukan sehingga ide besar untuk kesejahteraan rakyat tak dapat diwujudkan. Anis Matta, yang turut membidani kelahiran Partai Keadilan, kini bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memandang gerakan dakwah perlu menjadi perjuangan yang melembaga dalam struktur politik karena inti dari gerakan itu adalah penyadaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ia meyakini bahwa partai politik yang mengandalkan figur untuk memimpin akan habis di tengah jalan. Sosok figur cepat atau lambat akan berakhir, sementara ide terus berkembang. Partai politik hanya akan bertahan dengan ide dan organisasi yang tangguh.


Meski begitu, sejak era Orde Lama, negeri ini sudah menghabiskan banyak energi untuk konflik ideologi yang disebut Anis tidak relevan bagi pertumbuhan bangsa semajemuk Indonesia. Konflik aliran yang dilabeli sebagai kelompok Islam dan nasionalis, misalnya. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Anis Matta, beberapa waktu lalu: PKS dipandang membawa politik beridentitas Islam. Seberapa aliran politik ini mengakomodasi pluralisme? Kita ini bangsa yang majemuk, lahir dari beragam identitas lokal, dibentuk oleh satu identitas besar sebagai bangsa. Penting bagi setiap kelompok politik untuk mempunyai basis ideologi. Itu adalah referensi pembelajaran untuk merumuskan masa depan. Kita bisa punya banyak referensi dan Islam adalah salah satunya. Tidak ada satu bangsa yang diwarnai hanya oleh satu ideologi, pasti selalu beragam, apalagi bangsa sebesar kita. Adalah kesalahan besar untuk mengeliminasi identitas kelompok. Namun, kesalahan juga bagi kelompok jika tidak bisa mengintegrasikan ideologinya dalam kehidupan berbangsa. Dibutuhkan proses integrasi karena selama ini kita kerap hidup dalam dikotomi. Saya tidak perlu memisahkan identitas saya sebagai Muslim dan orang Indonesia karena itu bukan dua hal yang bertentangan. Sekarang ini kita justru perlu lebih banyak lagi sumber pembelajaran untuk mengisi kevakuman pemikiran dari mana pun datangnya, termasuk dari Barat dan Islam. Pluralisme adalah fakta yang membentuk watak keindonesiaan kita. Tidak ada satu agama yang datang ke Indonesia bisa menghilangkan pluralisme tadi. Kita ini bangsa yang luar biasa elastis dan begitu terbuka. Ketika membawa Islam dalam perpolitikan, kami juga datang dengan kesadaran pluralisme seperti itu. Tetapi, pluralisme bukan berarti kita tidak mempunyai identitas. Bagaimana Anda memandang penerapan syariat Islam dalam hukum formal di Indonesia? Ketika merumuskan suatu regulasi, misalnya di DPR, kita perlu memakai banyak referensi. Kita mempelajari hukum dari Barat, dari Timur, syariat Islam juga salah satunya.


Banyak orang keliru memandang soal ini. Syariat Islam itu amat luas dan bagian hukum pidana dalam syariat Islam sebenarnya hanya sedikit. Hukum pidana dalam Islam itu membutuhkan terms and conditions (persyaratan) untuk diterapkan. Misalnya, hukum potong tangan hanya bisa diterapkan bila pada umumnya masyarakat sudah sejahtera. Contoh lain, hukum rajam untuk perzinaan. Rajam adalah sanksi, tetapi untuk sampai pada sanksi,

proses

pembuktiannya

terlalu

rumit.

Misalnya,

diperlukan

empat

orang

yang

menyaksikan seseorang berzina dan menyaksikan dengan amat jelas. Seseorang bisa disaksikan oleh empat orang berzina sejelas itu mungkin ketika memproduksi film porno, live show, atau membuat pesta seks. Artinya tidak sekadar berzina, tetapi mempertontonkan perzinaan. Saya melihat salah pandang seperti itu tidak terjadi pada syariat Islam, tetapi juga banyak sumber hukum yang lain. Proses pembuatan hukum di Indonesia sering tidak matang karena referensinya tidak betul-betul dipahami dengan baik. Sebagai Wakil Ketua DPR, apa yang akan Anda lakukan menyikapi itu? Dalam periode saya sekarang, misi saya pribadi di pimpinan DPR adalah memperkuat infrastruktur legislasi. Pekerjaan politisi seharusnya berbasis intelektual karena yang kita buat adalah aturan bagi semua orang. DPR itu, menurut saya, adalah akal kolektif bangsa Indonesia. DPR harus mempunyai basis riset akademis yang kuat dalam pembuatan regulasi. Saya sudah mengusulkan di pimpinan DPR agar kita segera membangun perpustakaan besar sejenis dengan perpustakaan kongres di AS, yang merupakan perpustakaan terbesar di AS. Basis riset perlu menjadi tulang punggung pembuatan regulasi. Metode dengar pendapat dan studi banding yang dipakai selama ini hanya jadi sentuhan akhir saja. Tetapi, makin mudah sekarang menjadi anggota DPR? Sistem politik memungkinkan untuk itu. Media sosialisasi pun jauh lebih luas, tetapi fenomena ini tidak akan bertahan lama. Tidak semua yang masuk ke politik akan bertahan sebagai politisi, Menurut saya, yang akan bertahan di dunia politik ini adalah mereka yang punya niat baik dan kompetensi untuk memberi. Mereka yang mencari hidup di dunia politik tidak akan bertahan. Bagaimana Anda melihat perpolitikan di Indonesia sekarang? Perkembangan politik kita sekarang sangat menjanjikan. Kita adalah bangsa besar yang diberi kesempatan berkompetisi secara sehat oleh sistem politik kita, mulai dari struktur tertinggi hingga tingkat desa, terjadi suatu seleksi kepemimpinan secara sistemik. Cepat atau lambat, sistem ini akan memilih putra-putra terbaik dari bangsa kita ini untuk memimpin. Yang paling


diuntungkan oleh sistem ini adalah mereka yang berumur 10-15 tahun pada awal reformasi. Mereka hidup dalam era kompetisi dan menyiapkan diri lebih baik untuk memimpin. Sekarang masih banyak karut-marut, tetapi sistem ini akan memproduksi output yang jauh lebih baik di kemudian hari, bukan sekarang. Bagaimana Anda melihat kepemimpinan nasional pada 2014 dan setelahnya? Saya melihat PKS punya dua masalah, soal kapasitas untuk memimpin di tataran strategis dan kapasitas untuk menang di tataran taktis. Menurut saya, memenangi pemilu itu pekerjaan yang tidak terlalu sulit, memimpin lebih sulit. Kita belajar dari kepemimpinan di era Reformasi selama 10 tahun terakhir ini. Bagaimana parpol muncul mendadak, menjadi besar, lalu turun terus. Bagaimana seorang pemimpin atau figur naik, kemudian turun dan lenyap seketika. Misalkan Anda seorang presiden, kalau Anda tidak datang dengan sebuah tim yang besar, pekerjaan pertama yang harus Anda lakukan adalah distribusi politik, membagi-bagikan kekuasaan itu pada orang lain, Tim yang Anda bentuk pada saat memimpin itu adalah tim yang dicomot dari sana-sini. Tak akan ada satu ide besar yang bisa direalisasikan dengan cara itu. Karena itu, saya berpikir bahwa ini bukan sekadar persoalan figur, kita perlu bicara tentang ideide besar dan kapasitas besar untuk memimpin. Tidak semua yang menang itu akhirnya berkuasa dan tidak semua yang berkuasa pada akhirnya memimpin. Saya malah khawatir negeri kita ini sebenarnya dipimpin oleh the ghost leaders (para pemimpin bayangan). Dulu penguasa adalah sekaligus pemimpin. Soekarno berkuasa dan benar-benar memimpin, tidak ada ghost leaders di zamannya, Soeharto berkuasa dan benar-benar memimpin. Sekarang ini yang ada adalah the ghost leaders. Mereka itulah pemimpin sebenarnya, cuma kita tidak tahu siapa. Saya kira bukan keharusan PKS mengajukan calon pemimpin sendiri pada 2014. Lebih penting mempertahankan posisi yang kokoh dalam arus besar politik sambil memberi bukti bahwa kami punya kapasitas dengan kinerja yang baik. Oleh : Nur Hidayati / KOMPAS, Kamis, 19 November 2009

Sikap Warga NU terhadap PKI Salahuddin Wahid Tahun 1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah


lelaki itu. Saya bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri. Penjelasan ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain. Beberapa tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang katakata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI. Sikap Gus Dur Kami sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965. Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya? Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu. Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa. Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas. Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi. Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan


penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu. Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak. Rekonsiliasi Pada awal 2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu. Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo. Upaya rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu. Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak. Komnas HAM pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu. Sikap warga NU kini Bagaimana sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU. Kedua, kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi


yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka. Ketiga, mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan lagi. Kelompok terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang ”berperang” dengan TNI dan partai-partai, lawan termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada. Salahuddin Wahid; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Membersihkan Dosa Kolektif G30S Franz Magnis-Suseno Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September (sebutan ini akan saya pakai selanjutnya) membunuh enam jenderal dan Kapten Pierre Tendean serta membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi (di Yogyakarta juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono). Tak berlebihan, peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling traumatik dalam sejarah Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu—yang menjadi permulaan dari berakhirnya kepresidenan Soekarno—lepas suatu dinamika yang bermuara dalam suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa yang akan termasuk salah satu kejahatan genosidal paling mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu kita diperingatkan—dan saya sependapat— pembicaraan harus bijaksana dan hati-hati kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus membicarakannya. Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur. Kita harus bertanya, bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif—Soekarno menyebutnya gotong royong—yang perlu untuk menghadapi masa depan penuh tantangan kalau kita tak berani menghadapi masa lampau. Masalahnya bukan apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S) itu atau tidak (mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak meragukan keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain). Masalahnya: mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja? Mengapa sejuta rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno menolak tindakan terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah tak berdaya sama sekali. Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota, mulai dari Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik disisir. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung dieksekusi; ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada malam hari, dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang terlalu besar). Padahal, pembunuhan-pembunuhan itu bukan pengeroyokan spontan oleh masyarakat yang emosional, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan persiapan administratif!


Lebih banyak lagi yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang). Mereka dikategorikan ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke pengadilan), golongan B (yang dianggap orang penting, tetapi karena tak melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehidupan normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan peraturan dan ”kebijakan” yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta saudara/ saudari kita ”terlibat” atau ”tidak bersih lingkungan”. Di masyarakat, mereka dicap ”PKI” dan diasingkan dari pergaulan normal dengan tanda ”ET” (eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi mereka, yang pegawai negeri dipecat. Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh tahun tanpa proses pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan saudara-saudari kita itu hancur secara sosial. Melepaskan kebohongan Mari kita berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu kasar dan luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila dan cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945—yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru—bisa melakukan sesuatu yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60 tahun terakhir? Bahwa pembunuhan ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965 oleh G30S harus ditindak tegas dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersedia menerima omongan yang sampai sekarang masih dapat didengar bahwa karena ”PKI membunuh jenderal-jenderal”, maka jutaan saudara dan saudari sebangsa yang sedikit pun tak terlibat dalam pembunuhan itu diburu seperti binatang, ditangkap, disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya karena mereka secara politik berpihak pada PKI? Maka, sebaiknya kita tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongankebohongan seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly wrong dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita sendiri. Peringatan 50 tahun G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani menghadapi apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan beberapa LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita bersama-sama dapat membersihkan hati kita. Kebanyakan mereka yang terlibat genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan. Maka, kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur, terbuka, dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong oleh pemerintah. Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan, universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S mempersatukan dan bukan malah memecahbelahkan kita. Pembubaran PKI Agar kebersamaan itu mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui bahwa seharusnya pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi terhadap saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh menuntutnya, tetapi tuntutan itu bersifat politis dan jangan dicampuradukkan dengan tuntutan kemanusiaan dan etika bahwa para korban pelanggaran berat HAM akhirnya mendapat keadilan.


Justru di luar negeri sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua tuntutan itu. Seakan-akan pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak asasi para korban pembersihan pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan terhadap PKI dan perannya menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat mendukung pembubaran PKI. Pertimbangan ideologis: PKI secara resmi mendasarkan diri atas marxisme-leninisme (PKI tak pernah menganggap diri semacam ”komunis ala Indonesia”, tetapi komunis tulen, jadi memang marxis-leninis). Namun, marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan ateisme, yang oleh PKI memang tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno bahwa PKI dalam kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan bersedia menjadi hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia tak sesuai ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya komunislah yang berkuasa. Secara politis, tahun 1965, bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua. Adalah terutama PKI yang dengan bahasanya yang keras-konfrontatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner dan musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai ”tujuh setan desa” dan ”kafir” yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan (antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa yang kasar sekali), dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang Presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI. Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20 koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu itu, mereka yang tak termasuk kubu ”progresifrevolusioner” itu diliputi ketakutan. Orang ingat akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat dibicarakan. Saya berpendapat bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965 diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin ditampung lagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia tradisional. Itu yang lalu terungkap sebagai ”mereka atau kami” (kekhawatiran bahwa komunis akan kembali berkuasa masih terasa sampai 1966 dan saya masih ingat betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto pada 12 Maret 1966 kami rasakan seperti ada beban berat diambil dari hati kami, suatu perasaan yang sekarang pun masih ada pada saya). Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap ”terlibat” sesudah G30S, pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya, bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh dan dihancurkan. Dari kita betul-betul dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi pasca G30S sama sekali keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para korban perlu diakui sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka sebagai pengkhianat atau simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan ketidakadilan besar. Kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka perlu diakui kembali sepenuhnya. Itu langkah paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan korban sebagai korban hanya jujur kalau mereka, dalam batas-batas kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan suatu ganti rugi (dan kepada mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri perlu ditawarkan kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan birokratis). Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita boleh minta maaf. Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta

Menenun Kebaikan Iwan Pranoto


Memang tak adil menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan. Meski demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada bahan serta cara ajar yang justru menyemai kejahatan seperti kebencian terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang berbeda? Negara dan rakyat perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat. Kejuangan semu Pendidikan pada hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam hakikat pendidikan dan diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya, sistem pendidikan berperan sebagai salah satu sumber kebaikan dan pembangun keteraturan sosial. Pada praktiknya di beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain ditempatkan sebagai pihak yang salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak. Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis dan formal, �kebencian� terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada anak akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses bernalar. Bagaimana pula mata pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia senantiasa dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara terprogram pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap liyan melalui mata pelajaran yang umumnya diasumsikan agung dan digadang-gadang sebagai sumber moral. Melalui buku Education and Social Order (1932, pp 92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand Russell sudah tegas menyatakan kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era kolonial. Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya Britania Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah jajahan. Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah wilayah lain. Kejuangan jadi identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos mencederai nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi bahan transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi. Dengan mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang sebagai suatu kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan pemikiran tak baik lambat laun jadi �kebenaran�. Keadaan ini akan menyokong kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai menyakiti kelompok berkeyakinan lain jadi bukan saja �masuk akal� dan wajar, melainkan juga baik, bahkan dipuji. Jika anggapan �kebenaran� ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan fisik, agama, dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu keteraturan sosial. Kini saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan subur bagi kebaikan bertumbuh di dalam kelas. Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain. Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok berkeyakinan lain. Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat penting. Ini dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti membangun hasrat mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya. Dua unsur penting Guna memungkinkan persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya membenahi dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.


Untuk unsur pertama, dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan 1920-an menggagas Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar kita bernalar tak kalah dibandingkan kegagahan mengangkat senjata. Mengulas sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan membuat pelajaran Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan. Kemudian, juga perlu diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau bagaimana transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu sekitar perebutan kekuasaan, kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya menyangkut semua kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang. Unsur kedua, cara ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus lagi, anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai perspektif atau sudut pandang. Anak menerampilkan diri dalam sekali-kali menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam mengkaji topik, kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998). Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar dengan mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai tiap anak. Dalam hal ini Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi. Guru tidak dilatih atau diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif belajar dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih. Jika diinginkan anak percaya diri, guru pun perlu pula percaya diri. Dalam daftar kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif ini pula, evaluasi pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara lebih utuh dan andal. Dengan pembenahan dua hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya kecakapan bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis kejuangan semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan. Iwan Pranoto; Guru Besar Matematika ITB

Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi Azyumardi Azra Ketika musibah datang sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M—robohnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, dan tabrakan antaranggota jemaah (stampede) di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal—ada di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi yang segera menyatakan: �Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah syahid (martir)�. Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji. Jika sementara tidak melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke Mekkah.


Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama. Kedua, dalam gelombang jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar. Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan kekhusyukan beribadah. Memandang berbagai penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah ’al-khadim al-haramayn—pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah). Bagi Arab Saudi, penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah—yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah—sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à-vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain. Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia Belanda. Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI). Melalui OKI dan Rabitah ’Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masingmasing. Seperti dicatat Robert R Bianchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini—Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria—yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji. Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang ”internasionalisasi” tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal


karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain. Namun, gagasan Iran ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria. Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia. Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020)

Sulitnya Melenyapkan Perilaku Korupsi TOPAN YUNIARTO Ibarat virus, korupsi termasuk gampang-gampang susah dimusnahkan. Belum ada vaksin anti korupsi yang sanggup meredam penyebaran virus tersebut sampai ke akar-akarnya. Lembaga superbodi sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum mampu menghentikan budaya korupsi.

Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan dianggap wajar oleh masyarakat. Tindakan memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri, bahkan keluarganya, sebagai imbal jasa sebuah pelayanan dipandang lumrah sebagai bagian dari budaya ketimuran. Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UU itu dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lahir sebelum negara ini merdeka. Jika merujuk UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif, yang selama ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pemberian gratifikasi atau pemberian hadiah kepada penyelenggara


negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Langkah Presiden Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam inpres itu, terdapat 96 butir aksi yang harus dilaksanakan selama tahun 2015. Inpres yang ditujukan kepada kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah itu dimaksudkan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan membentengi kebijakan dari tindak pidana korupsi. Terkait hal itu, presiden berharap agar aksi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tak sekadar formalitas. Melalui inpres itu, presiden juga meminta dihilangkannya pungutan liar dan birokrasi yang berbelit. Persoalannya sederhana, korupsi sudah ada sejak republik ini berdiri. Perilaku koruptor sudah sangat sulit dilenyapkan karena telah mendarah daging berpuluh tahun. Mereka (koruptor) memiliki beribu modus operandi untuk menggangsir uang negara. Laiknya tindak pidana umum, pelaku korupsi selalu berada selangkah di depan penegak hukum. Korupsi, menurut Philip (1997), adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi, seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor publik.

Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public


interest centered). Dikatakan, korupsi telah terjadi apabila seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk orang-orang yang akan memberikan imbalan, baik itu uang atau materi lain, sehingga merusak kedudukan dan kepentingan publik. Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki, dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kiri ke kanan) saat menyampaikan keterangan pers seusai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri lainnya di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (19/6). Rapat membahas strategi nasional untuk mencegah dan memberantas korupsi. Pengertian korupsi ketiga menurut Philip adalah yang berpusat pada pasar (market centered), yang diambil dari hasil analisis tentang korupsi yang dikaji menggunakan teori pilihan publik dan sosial serta pendekatan ekonomi dalam kerangka analisis politik bahwa pengertian korupsi adalah kegiatan atau aktivitas oleh lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu ataupun kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Kemudian dilanjutkan bahwa pengertian korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Inilah yang kerap menjebak seseorang yang masuk ke dunia politik. Dalam ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya tak sedikit untuk "membeli" kendaraan politik, ongkos kampanye hingga politik uang. Pertanyaannya, dari mana seorang kepala daerah bisa mengembalikan investasi yang sudah dibenamkan saat pencalonan. Setelah menjabat, mau tak mau, ia harus kreatif mengatur proyek-proyek APBD di daerahnya. Memang, ada beberapa kepala daerah yang relatif bersih dan enggan menggerogoti keuangan negara, tetapi jumlahnya tidak banyak. Banyak hal yang membuat republik ini subur dengan korupsi kendati terdapat tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan kejaksaan, yang memiliki kewenangan memberantas korupsi. Meski demikian, efek jera yang ditimbulkan ketiganya hingga kini belum begitu terasa. Bahkan, sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), koruptor masih mendapat perlakuan khusus. Mulai dari tingkat penyidikan, vonis pengadilan, hingga saat menyandang status sebagai narapidana, mereka tetap memperoleh perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan pelaku tindak pidana khusus lainnya. Jadi, jangan bermimpi vaksin anti korupsi akan mampu membasmi virus korupsi yang telanjur menggerogoti sel, darah, dan daging. Negara ini membutuhkan kesanggupan berbagai pihak untuk membentuk sistem, budaya, dan watak generasi yang benar-benar bersih agar virus korupsi tidak menjangkit.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.