Temu Kenali Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di dalam Kawasan Borobudur
Sambutan [Bukan Naskah Asli] Benar adanya, seperti kebanyakan orang setuju selama ini, bahwa kebudayaan (unsur-unsur kebudayaan) itu bersifat dinamis. Kebudayaan adalah sebagai proses, dimana ia terus berkembang dan bergerak. Nah, salahsatu unsur dalam unsur-unsur kebudayaan itu adalah sistem religi dan spiritualitas.
Buku ini diterbitkan atas dukungan:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Mayarakat Adat
Di tengah arus besar perubahan tuntutan jaman dan bentang alam yang terus berkembang dan bergerak ini pun, sistem religi dan spiritualitas juga mengalami dinamika tersendiri dalam proses keberlanjutan kehidupan masyarakat terkait. Melalui kerja-kerja pencatatan budaya dalam 20 desa di dalam kawasan Warisan Dunia Borobudur, akan menemukenali kembali khasanah nilai-nilai budaya spiritual yang hidup dan menghidupi masyarakat desa-desa disini. Metode yang dipilih adalah participatory cultural mapping (pencatatan budaya, secara partisipatoris, dimana melibatkan talenta-talenta muda generasi penggerak budaya desa masing-masing), sebagai upaya untuk memberi ruang bagi subjek-subjek budaya yang hidup dan menghidupi daya spiritualitas mereka, dalam mewakili semangat zamannya. Rekognisi dan apresiasi terhadap subyek-subyek budaya spiritual tersebut akan memberikan pembelajaran bagi kita bersama, tentang semangat keberdayaan dan perawatan tinggalane simbah. Keseharian hidup orang-orang masyarakat jawa (beserta kondisi alam dan tuntutan jaman) dari 20 desa dalam kawasan Borobudur ini merupakan subyek-subyek yang menjadi sumber pengetahuan laku spiritualitas bagi kita semua. Sehingga subyek-subyek itu harus kita rekognisi, apresiasi, perlu untuk kita baca lebih mendalam secara tekun dan teliti, sekaligus lebih kritis, untuk kemudian kita catat dalam “Budaya Spiritual Menurut Masyarakat Desa Di Dalam Kawasan Borobudur” ini. Ini adalah awal. Semoga melalui pencatatan budaya ini, dapat menghantarkan ke perjalanan menjelajah njajah desa milangkori menemukenali subyek-subyek dan ruang-ruang hidup desa yang mengandung kekayaan pusaka pengetahuan budaya spiritual, yang kemudian dapat dimanfaatkan menjadi pengalaman reflektif diri (kebugaran jiwa, wellness, kesadaran rasa, mindfullness) bagi Anda semua.
Daftar Isi Bigaran
Kenalan
Borobudur
Majaksingi
Bumiharjo
Ngadiharjo
Candirejo
Ngargogondo
Giripurno
Sambeng
Giritengah
Tanjungsari
Karanganyar
Tegalarum
Karangrejo
Tuksongo
Kebonsari
Wanurejo
Kembanglimus
Wringinputih
Prakata
Benar adanya, seperti kebanyakan orang setuju selama ini, bahwa kebudayaan (unsur-unsur kebudayaan) itu bersifat dinamis. Kebudayaan adalah sebagai proses, dimana ia terus berkembang dan bergerak. Nah, salahsatu unsur dalam unsur-unsur kebudayaan itu adalah sistem religi dan spiritualitas. Di tengah arus besar perubahan tuntutan jaman dan bentang alam yang terus berkembang dan bergerak ini pun, sistem religi dan spiritualitas juga mengalami dinamika tersendiri dalam proses keberlanjutan kehidupan masyarakat terkait. Melalui kerja-kerja pencatatan budaya dalam 20 desa di dalam kawasan Warisan Dunia Borobudur, akan menemukenali kembali khasanah nilainilai budaya spiritual yang hidup dan menghidupi masyarakat desa-desa disini. Metode yang dipilih adalah participatory cultural mapping (pencatatan budaya, secara partisipatoris, dimana melibatkan talenta-talenta muda generasi penggerak budaya desa masing-masing), sebagai upaya untuk memberi ruang bagi subjek-subjek budaya yang hidup dan menghidupi daya spiritualitas mereka, dalam mewakili semangat zamannya. Rekognisi dan apresiasi terhadap subyek-subyek budaya spiritual tersebut akan memberikan pembelajaran bagi kita bersama, tentang semangat keberdayaan dan perawatan tinggalane simbah. Wong jawa yang njawani adalah cara hidup (urip) dengan menjalankan nilai-nilai tuntunan keselarasan, laku prihatin dan introspeksi diri, yang melekat di ragam bentuk estetika maupun sikap batin (upacara tradisi beserta benda simbolis-nya, ritual daur hidup manusia, rumah tempat tinggal ber-arsitektural tradisi, ketrampilan gastronomi lokal, kecakapan pelisanan, dokumentasi naskah/manuskrip, gerak seni tradisional, dan sebagainya) yang diwujudkan melalui presentasi kehidupan kesehari-harian itu terus dipegang oleh masyarakat disini, sebagai usaha cinta bakti kepada Gusti (Tuhan, Allah) yang telah memberi mereka kehidupan. Pada praktik-praktik tindakan spiritualitasnya, diupayakan untuk selalu mampu memberikan nafas kebajikan bagi kehidupan bermasyarakat
pada umumnya, seperti melaksanakan nilai rukun dan gerakan gotong-royong yang bahkan bisa tampil secara luwes dan lentur saat menghadapi situasi-situasi krisis. Naluri budidaya pangan juga telah dipraktikkan sejak dahulu, sehingga sebagaimana pekarangan, kebun belakang, beserta sawah atau ladang nya adalah bagian relasional penting dalam penghayatan spiritualitas mereka juga. Keseharian hidup orang-orang masyarakat jawa (beserta kondisi alam dan tuntutan jaman) dari 20 desa dalam kawasan Borobudur ini merupakan subyek-subyek yang menjadi sumber pengetahuan laku spiritualitas bagi kita semua. Sehingga subyek-subyek itu harus kita rekognisi, apresiasi, perlu untuk kita baca lebih mendalam secara tekun dan teliti, sekaligus lebih kritis, untuk kemudian kita catat dalam “Budaya Spiritual Menurut Masyarakat Desa Di Dalam Kawasan Borobudur” ini. Ini adalah awal. Semoga melalui pencatatan budaya ini, dapat menghantarkan ke perjalanan menjelajah njajah desa milangkori menemukenali subyek-subyek dan ruang-ruang hidup desa yang mengandung kekayaan pusaka pengetahuan budaya spiritual, yang kemudian dapat dimanfaatkan menjadi pengalaman reflektif diri (kebugaran jiwa, wellness, kesadaran rasa, mindfullness) bagi Anda semua.
Bigaran
Versi Solo dari Ibu
BIGARAN
I. Sultan Syah Alam Akbar III R. Trenggono (Bintoro)
Sultan Panembahan Senopati
Raden Ronggo Satoto
Versi Mataram dari Ayah I. Panembahan Senopati Kagungan Putro II. Raden Mas Jolang Kagungan Putro
II. Pangeran Tumenggung Mangkurat (Tegal) III. Raden Mas Sultan Agung Kagungan Putro III. Pangeran Tumenggung Karang Gayam IV. Amangkurat Agung Kagungan Putro IV. Tumenggung Wongsoboyo I V. Amangkurat II Kagungan Putro
oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
V. Tumenggung Wongsoboyo II VI. Raden Ronggo Satoto VI. Ky. Wongso Taruno
Sore itu saya sekitar jam 15:00 kami berangkat bersilaturahmi ke rumah Mbah Indro Sugiarto, Beliau bertempat tinggal di Dusun Wonojoyo, Des. Bigaran, Kec.Borobudur .Setiba di rumahnya kami disambut sang istri beserta dua cucunya, Sang istri lalu memanggil nama beliau . Sambil menunggu Mbah Indro kami di persilahkan masuk ke dalam rumahnya. Tak berselang lama Mbah Indro menjumpai dan menyambut saya. Mbah Indro adalah tokoh masyarakat di Desa yg pernah menjabat sebagai kepala Desa Bigaran selama dua periode pada tahun 1999-2011, beliau juga merupakan keturunan dari Raden Ronggo Satoto yg ke enam. Sebelum bercengkrama panjang lebar saya coba meminta ijin kepada beliau untuk menggali atau mencari tau terkait dengan Raden Ronggo Satoto, Alhamdulillah beliau mengijinkan. Setelah itu beliau langsung saja membuka pembicaraan dengan memberi tau silsilah Raden Ronggo Satoto. Menurut silsilah Raden Ronggo Satoto ada dua versi, keturunan dari sang Ibunda Kasunanan Demak yaitu Sultan Syah Alam Akbar ( R. Trenggono ) Dan versi Mataram Raden Amangkurat Agung ( Sultan Agung Petama ) yg meninggal di Tegal Jawa Tengah. Berikut silsilahnya:
VII. Ky. Noyo Menggolo VIII. Ky. Noyo Taruno IX. Ny. Ageng Wiro Redjo X. Ky. R. Ronggo Satoto / Djajamenggolo
Pada tahun 1596 tentara belanda masuk ke Indonesia dan menginfasi beberapa kerajaan di Indonesia, sedangkan tentara belanda masuk kewilayah Yogyakarta pada abad 17an atau pada tahun 1700 an, tahun 1825-1830 meletuslah peperangan Pangeran Diponegoro. Di masa peperangan itu Raden Ronggo Satoto beristri di Mataram Pleret, Bantul, Yogyakarta beliau berperang membantu Pangeran Diponegoro yang menurut Garis sil-silah Pangeran Diponegoro cucu Raden Ronggo Satoto , beliau sangat berani melawan belanda sampai menjadi buronan sampai mbah Endro pun bilang Ngendi ono ketibane simbah mesti di goleki Yang artinya dimanapun Raden Ronggo Satoto berada pasti dicari Tengah peperangan Raden Ronggo Satoto bersama prajuritnya mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro tertangkap, beliau pun ngluntung (mundur) dari perang didaerah Palagan, Sleman,
Yogyakarta. Kemudian semua atribut gelarnya dilepas, pergi mempersambu (menyamar) ke wilayah gunung menorah. Pegunungan menorah yg masih merupakan wilayah Mataram. Wilayah mataram tersebut meliputi Kedulangmas yaitu Kedu, Magelang, Banyumas. Beliau juga berganti nama Djajamenggolo untuk lebih tidak diketahui tantara Belanda. Perang usai istri dan anak pun menyusul. Taklama beberapa tahun sudah berlalu, ada panggilan perintah dari keraton semua keturunan mataram untuk kembali ke kerajaan, Raden Ronggo Satoto pun berpesan kepada sang istri dengan nada halus: Aku ora arep mulih neng Mataram, aku arep urip neng bumi kene iki. Artinya beliau tidak akan pulang beliau akan tinggal di tanah bumi tempat tersebut. Kembalilah istrinya ke kerajaan, berbeda dengan beliau yang jika bersedia kembali ke kerajaan akan diberi gelar apa saja dimintanya sudah yakin bersama beberapa temannya lebih memilih untuk menjadi pribadi sederhana dan bisa mengayomi masyarakat. Sejak itulah peradaban Gunung tersebut di mulai, Raden Ronggo Satoto yang telah berganti nama Djajamenggolo juga menjadi Lurah Pertama. Menetap di tempat tersebut ternyata juga ada
beberapa orang dari cina , orang cina tersebut merupakan mindring “sales” yang berani dengan Raden Ronggo Satoto , beliaupun meladeninya terjadilah perkelahian Raden yang merupakan Prajurit tangguh orang cina pun kalah, lalu orang cina tersebut dimakamkan di gunung Raden pun menikah dengan pribumi daerah tersebut (Ny.Djajamenggolo) kemudian memiliki dua putri Ny. Keduk dan Ny. Sonem bertinggal di Manggermalang, Samigaluh, Kulon Progo. Berikut silsilah keturunan Raden Ronggo Satoto/ Djajamenggolo Ny.Gadung Melati I. Wiro Negoro / Untung Suro Pati Ny.Pitaloka I.
Ny. Promenggolo: Ngetos, Sriwedari, Muntilan
II. Ky. Ronodikromo / Abdul Latif: Kali Abuh, Kajoran III. Ky. Ronodipuro: Kauman, Salaman, Magelang IV. Ny. Tjokroyudo: Majaksingi, Borobudur V. Ky. Tjayuda: Curah, Sokorini, Muntilan VI. Ny. Kromowidjaja: Sambeng, Borobudur VII.Ny. Atmowidjaja: Kalikendo, Salaman VIII. Ny. Atmasendjaja: Bebengan, Salaman IX. Ny. Domang / Penatus: Kedunglingi, Magelang
Ny. Djajamenggolo I. Ny.Kedhuk / Wongsosendjaja: Bigaran, Borobudur II. Ny. Sonem: Menggermalang, Samigaluh, Kulon Progo
Beliau kembali menerangkan sil-silah itu lagi. Beliau menyayangkan jika versi solo itu sangat mudah untuk mendapatkan gelar sebagai Raden hingga sampai di perjual bellikan. Sedangkan versi Mataram sangat ketat seleksinya bahkan bias di bilang tidak mencari keuntungan, jadi lebih jelas dan yakin garis sil-silahnya.
Mbah Endro bisa mendapatkan sil-silah dari Mataram Yogyakarta karena di undang dari mataram langsung, yang melewati salah satu sodaranya yang bertinggal di samigaluh Mbah Endro pun berbesan dengan pelan Nanging Kabeh sil-silah mau podo mung bedo jalur, dadi neg aku nyampeke opo sek tak ngerteni, ngayomi. Yang artinya semua sil-silah tadi sama hanya berbeda jalur “solo Ibu dan Mataram Ayah” Jadi aku menyampaikan apa yang saya tahu, melindungi. Tersenyum pelan begitu simbah Endro mengatan kata-kata tersebut. Raden Ronggo Satoto akhirnya meninggal namun beliau mempunyai pesan jika kelak beliau meninggal meminta di semayamkan di Gunung Serut. Gunung Serut yang merupakan tempat dimana dulu Raden Ronggo Satoto bersemedi meliputi watu gajah juga. Watu gajah adalah batu besar berada di atas gunung yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Dari nyai wongso senjoyo itu lah yg menjadi cikal bakal masyarakat wilah tersebut sampai Mbah Indro Sugiarto saat ini . Jadi samapai sejkarang keturunan Raden ronggo satoto itu sudah mencapai ribuan. Soalnya karena jika mengadakan acara Setiap ruwah atau sadranan itu harus di bagi menjadi dua waktu pembagian tersebut bertujuan agar tempat “Area makam” untuk acara cukup, dan menyiapkan makanan bias bergantian 500 berkatatan yang 500 acara dan sebaliknya. Setelah menetapnya di Desa Tersebut Raden Ronggo Satoto pun juga menjadi lurah atau yg sekarang di sebut Kepala Desa pertama dan juga mengganti nama Djajamenggolo, agar aman dari kejaran tantara Belanda.
BIGARAN Mbah Endro Sugiatro Lahir Magelang 1950 Usia 71 Tahun Rumah Wonojoyo,Biagaran,Borobudur,Magelang Keturunan Raden Ronggo Satoto ke Enam Mantan Lurah ke 9 :
I.
Djajamenggolo I
II.
Ronodiweryo
III. Surosendjaja
IV. Djajamenggolo II / Tulus
V.
VI. Pawirosendjaja
VII. Marsudi / Ky.Mansur
VIII. Muhammad Barodi
IX. Endro Sugiarto
X.
Djajaharjo
Roh Saifudin Zuhri
BIGARAN
Seko siji yo Gus le nyeritake seko mbah Suro Duto sik.
Makam Tokoh Cikal Bakal Bigaran
Kyai Garan, Eyang Suro Duto, Singo Dipo dan Mbah Gombbloh oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
Malam itu saya datang ke rumah Pak Musyafak kurang lebih jam 20:00 Alhamdulillah beliau berada di rumah saya bisa sowan dolan dan duduk bercengkrama
Beliau pun mulai bercerita.
Nama asli beliau Suro Duto, Suro artinya wani ( berani ), Duto artinya utus ( utusan ) secara komplit berarti wani diutus .Namun saat kedatangan beliau, beliau menyamar menjadi pedagang manuk (burung) dan juga mengganti nama Suro Manuk, hal ini dilakukan dalam rangka siasat menyusun peperangan melawan Tentara Belanda. Karena nama beliau yang sudah di ketahui akhirnya beliau berganti nama Suro Manuk untuk menghilangkan jejak dari kejaran tantara Belanda.
kepada sang pencipta agar yang didapat lewat usaha terkabulkan, Relative beliau melakukan ritual tergantung tujuan apa yang hendak diharapkan .
Klonuwun gus “ cara memanggil beliau secara umum yg di lakukan oleh anak muda sejajarnya” sugeng ndalu kulo bade sowan alian ajeng bade tangklet sejarah Dusun Sumberjo mriki angsal to ??
Saut Pak Safak sembari senyum mengiyakan maksut kedatangan saya.Langsung saja saya bertanya siapa, mengapa, apa kehebatan Eyang Suro Duto itu.
Saut saya memotong beliau bercerita.
Eyang Suro Duto yang memiliki keahlian mengajarkan ilmu agama bertugas mengajarkan ilmu tersebut kepada Pangeran Diponegoro serta masyarakat setempat. Juga jika akan terjadi peperangan Eyang Suro Duto melakukan amalanamalan khusu seperti puasa dan doa tertentu
Tempat : Sumberjo,Bigaran, Borobudur
Hanggih angsal mas monggo , nyante mawon to teko koyo biasane niko dolan ngobrol, nyante mawon to.
O yooohh.
Di komplek makam Eyang Suro Duto terdapat makam putra-putranya juga terdapat “bayat” atau teman prajurit yang ikut diistirahatkan disana.
Eyang Suro Duto beliau adalah seorang Senopati Aloko ,keturunan dari Sri Sultan Hamengku Buwono II,utusan dari Kerajaan Kartosuro bersama dengan dua sahabatnya yakni Singo Dipo dan Mbah Gombloh untuk mensiasati Belanda dalam upaya mempertahankan Tanah Jawa dan untuk mengasuh Pangeran Diponegoro. Mereka bertiga mempunyai perbedaan karakateristik terkait ilmu, kekuatan dan tugas.
Eyang Suro Duto Datang sudah memiliki istri dan di karunai tiga orang putra, yakni Suro Kromo, Suro Setiko dan Suro Sentono. Mbah Suro Duto tidak meninggalkan benda pusaka sama sekali. Cuma terdapat tongkat (teken) yang dulunya dimiliki oleh salah seorang putranya yaitu Suro Dikromo yang masih ada. Benda tersebut jika pada malam tertentu selalu mengeluarkan bunyi-bunyi yang sangat mengganggu kentraman seperti bunyi glodag-glodag kayu yang bergoyang
tidak aturan. Menurut Pak Musyafak mengapa benda pusaka tidak di wariskan karena memang kekuatan yang luar biasa belum tentu pewaris dapat merumatnya. Merumat yang artinya menjaga dan memelihara benda pusaka tersebut. Tempat tinggal Eyang Suro Duto dulunya diperkirakan berada di tempat yang saat ini ditinggali oleh Pak Musafak ,karna rumah tersebut merupakan pemberian turun temurun dari nenek moyang. Beliau juga menceritakan kisah atau karomah makam Eyang Suro Duto, namun tidak sembarangan orang biasa memahami karomah tersebut. Karomah tersebut adalah sebuah simbul. Simbul tersebut akan terlihat tergantung niat dan tujuan peziarah, yang dapat melihat simbul tersebut adalah pengantar dan peziarah. jika pengantar dan peziarah sama-sama melihat simbul tersebut sudah jelas arti dari simbul tersebut. Contoh waktu itu ada peziarah, peziarah tersebut berkeluh kesah dan meminta di antarkan kemakam oleh Pak Musyafak dengan alas an ingin mencari atau memastikan keadaan saudaranya yang mengalami kecelakaan kapal tenggelam di laut Mandalika,berangkatlah berziarah, saat berziarah ikatan batin keduanya dapat melihat sebuah petunjuk atau simbol. Simbol tersebut bergambar symbol pusaran air besar yang berarti saudaarnya memang sudah hilang tenggelam ditelan laut.
Singo Dipo Singo Dipo yang memiliki keahlian stategi perang dan ilmu kanuragan bertugas untuk melatih Pangeran Diponegoro serta prajuritnya. Beliaulah yang berjasa dalam hal peperangan seperti memutuskan kapan harus menyerang kapan harus berlindung dalam peperangan. Makam Singo Dipo juga terletak di komplek makam Eyang Suro Duto, berletak di paling ujung utara di antara makam putra-putra Eyang Suro Duto, menurut cerita makam beliau meminta harus berdampingan dengan Eyang Suro Duto karena beliau sangat mengabdi atau bangga dengan Eyang Suro Duto karena itulah beliau yang bukan saudara Eyang Suro Duto makam beliau tetap berada di komplek pendopo makam Eyang Suro Duto. Singo Dipo memiliki keturan di Dusun tersebut yang sampai terkenal sebagai keluarga yang tegas terhadap peraturan. Simbah Gombloh Mbah Gombloh menurut cerita Pak Syafak beliau adalah seorang miliyader. Nama Gombloh merupakan nama samaran, nama asli beliau tidak dapat di beberkan sampai sekarang. Beliau yang merupakan seorang miliayder bertugas untuk membantu finansial atau kebutuhan saat berperang. Jadi semua kebutuhan Eyang Suro Duto, Singo Dipo dan bala tantara serta penduduk beliaulah yang membantu untuk bertahan hidup. Beliau tidak memiliki keturunan di daerah tersebut di karenakan beliau tidak memiliki istri. Tempat di semayamkan beliau pun hanya ada tiga makam. Satu Gedong besar yang hanya ada makam Mbah Gombloh sendiri dan di kanan gedong jarak 10m ada cungkup kecil berisi dua makam yang belum saya ketahui. Area makan beliau terletak jauh dari
makam Eyang Suro Duto namun masih di satu Dusun Sumberjo.
Ada cerita menarik tentang makam Mbah Gombloh. Dahulu makam Mbah Gombloh tidaklah terawat. Terkubur pohon ilalang lebat, pohon bambu yang rungkut dan lain sebagainya hingga makam tidak terlihat atau terdeteksi bahwa di tempat tersebut ada makam beliau. Hingga pada tahun 2000an masyarakat mengadakan acara Khoul Simbah Suro Duto dan mengundang tokoh agama yaitu Mbah Mat dari Ponpes Watucongol , Gunungpring, Muntilan. Jaman dahulu jalan untuk menuju dusun sumberjo hanyalah jalan setapak yang melewati lereng gungung, atas sungai dan makam Mbah Gombloh, Mbah Mat pun juga harus jalan kaki untuk sampai di tempat kegiatan, namun saat melewati area makam Mbah Gomblong yang rungkut dan tidak tau bahwa di situ terdapat makam Mbah Gombloh Mbah Mat mengucapkan Nggeng konokui resikono, rumaten, kono kui ono makam e wali. Oalah Gih Mbah. benjang kulo rumate Mbah Langgeng meng iyakan keinginan Mbah Mat. Mbah Langgeng adalah tokoh masyarakat Dusun Sumberjo yang menjabat sebagai Dukuh
Pada Tahun 2000an dan juga ayah dari Pak Syafak tersebut.
tapi beliau “ Mbah Garan” meminta tanah bumi tersebut untuk di pelihara.
Namun Mbah Langgeng hanya meng iyakan tadi samapai beberapa tahun. Hingga saat sudah purna menjabat mbah Langgeng baru ingat wejangan dari Mbah Mat tadi, akhirnya Mbah Langgeng pun menyampaikan dan mengerahkan masyarakat untuk membersikan area makam . Terlihatlah watu tengeran (tanda) makam Mbah Gombloh tadi.
Pesan ini diberikan kepada Eyang Surodoto dikarnakan simbah Garan sadar tidak mempunyai keturunan.
Simbah Garan Simbah Garan, beliau adalah cikal bakal atau asli penghuni tanah Dusun Bigaran tersebut, ada beberapa versi cerita mengenai beliau. Jadi saat Eyang Suro Duto datang ke tanah bumi Bigaran sudah ada Beliau yang merupakan asli penghuni tanah tersebut. Beliau juga tidak memiliki keturunan di karenakan juga tidak memiliki istri. Pada waktu jaman dulu Eyang Suro Datang beliau mempunyai pesan khusus kepada Eyang Suroduto .Kurang lebih isinya “Tanah lan isine iki nggonen, nanging aku jaluk tanah iki openono” Yang artinya tanah dan isinya ini boleh di tempati,
Area makam Kyai Garan terletak 300m di selatan makam Eyang Suro Duto di sisi tebing lain. []
BIGARAN
Jaran Kubro oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
Kamis 26 Agustus 2021 sore hari waktu itu menujukan jam 15:15 saya dan zulfikar datang ke Dusun Sumberjo, Des.Bigran, Kec.Borobudur kab. Magelang , kami penasaran dengan cerita jaran / kuda buwatan berbentuk menyerupai kuda asli yang terbuwat dari bebrapa jenis pahatan kayu, karpet dan rambut asli kuda. Kami pun bertemu beberapa narasumber. Salah satunya adalah Pak Trubus ( ) beliau adalah pendiri kesenian kubro yang bernama “Siswo Mudo” sejak tahun 1981. Kesenian kubro tersebut sudah beberapa kali bangun tidur. Awal mula berdiri pada tahun 1981 yang mengajar tari adalah seseorang yang di datangkan dari Dusun Bungo, Des.Adikarto, Kec.Muntilan namun hanya bertahan selama dua tahun. Di tahun 1984 di uri-uri kembali namun juga hanya bertahan dua tahun saja. Vacumlah hingga lebih dari satu decade. Tahun 2001 Kesenian kubro di uri-uri kembali namun yang mengajar tari di datangkan dari daerah Borobudur yaitu Pak Lukman, Pak Lukman merupakan pegiat budaya se-kecamatan Borobudur.
berawal dari situlah kubro mulai berkembang. Kubro yang akhirnya bisa mengisi acara di Taman Wisa Borobudur (TWC) untuk menyambut tamu wisatawan dari manca negara. Agar kesnian kubro lebih menarik dalam kesenian tersebut di tuntut lah untuk diberi sinopsis atau cerita singkat yang ada Desa Bigaran tersebut menurut Pak De Ndori (57), maka di buwatlah Jaran Palsu Pangeran Diponegoro. Synopsis tersebut adalah menceritakan bagai mana dulu perjalan Pangeran Diponegoro menyusuri gunung menorah, Gunung menorah meliputi wilayah Serut,Bigaran,kenalan hingga sampai ke ujung Salaman,Wonosobo. Saat mulai menaiki gunung menorah yang di awali dari Gunung serut kuda berjalan dengan lambat karena sudah jalan jauh melewati bermacam medan, kemudian sampailah di Desa Bigaran bertemu dengan Ky.Garan ( Cikal bakal nama Desa) Pangeran Diponegoro di sambut dan di suruh untuk istirhat sejenak bersama kudanya, Kuda ditalikan sebuah pohon. Setelah serasa cukup istirhat Pangeran
Diponrgoro ijin untuk melanjutkan perjalan menuju arah Salaman, kuda pun di seblak oeleh Ky.Garan menggunakan rerumputan yang akhirnya kuda bergas dan berlari kuwat serta kencang. Begitulah sinopsis yang di terangkan oleh Pakde Ndori. Kubro dan Kudanya tersebut akhirnya bias terkenal dan melalang buana ke nusantara bahkan sudah sampai ke wilayah Jakarta dan Bali Indonesia .
di adakan kirab supitan (khitanan) ada salah satu saat sebelum kirap di mulai Kuda itu di siapkan dan ditaruh semalam di area pinggir jalan pasar jagalan , soalnya star kirap di mulai dari pasar jagalan masih kecil dan tidak tau bermainlah dengan kuda entah menungganginya atau apa, lain hari anak tidak kunjung turun , di bawa ke beberpa bidan
Waktu itu saya datng langsung menuju ke tempat jaran tersebut di letakan , disitulah saya bertemu dengan Pak Kusrin. Saya langsug menanyakan sejarah kuda tersebut
dan rumah sakit pun tidak kunjung ada perubahan
Lek saya memanggilnya
yranani anak tersebut Alhamdulillah sembuhlah
dan akhirna di bawa ke salah satu orang ointar, nah di situlah orang pintar tersebut bilang bahwa anak ini terkena sawan kuda. Lanjut orang tua nya pun anak tersebut.
Neg sejarahe jaran iki biyen pie to lik ??
Jawab Pak Kusrin ( ) dengan muka sedikit panik Maksud kata “mengenai uwong” jin/makhluk halus penghuni kuda sering mengganggu manusia. Mengapa kuda tersebut ssampai bisa di huni makhlik seperti itu , karena dulu waktu membuwat juga tidak sembarangan. Dulu setelah pembuwat rangkaian tubuh kuda selesai langsung di buwatkan slametan, slametan yang dikmaksun bentuk sukur dan berdo’a semoga dengan adanya kuda tersebut kesenian kubro bisa lebih awet, jaya dan ramai penonton. Kepalanya kuda yg di pesan dari salah satu pengrajin kayu daerah ??? di beli waktu itu dengan hrga Rp 600.000 namun pengrajin memberikan harga hanya Rp 400.000 yang Rp 200.000 minongko gawe paseduluran masyarakat Bigara dan pengrajin. Pengraji juga berpesan bahwa nanti kepala kuda ini akan sering mengganggu manusia . benar terjadi ketika dulu
Laku Syarat Menjadi Pemijat
sampai ke Dusun Sumberjo, anak tersebut karan
tersebut pun sakit panas yang berlarut-larut yang
Wah neg jaran kui yo biyen sok ngenani uwong barang ...
BIGARAN
anak yang terganggu oleh penungggu kuda, pada
Begitulah sedikit cerita yang kami dapatkan tentang Kubro Siswo Mudo dan Jaran Palsunya.
oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik Menurut Pak Djumarno ntuk menjadi seorang praktisi pijat tidak bisa sembarangan mencoba memijat, harus memiliki pegangan atau tameng untuk menghindari hal-hal yg tidak diinginkan, menurut penuturan Pak Djumarno “lucu yen mejeti uwong keno uwong” yang artinya jangan sampai memijat orang namun bisa terkena guna guna. Fungsi dari syarat-syarat ini adalah sebagai perlindungan diri dari kejahatankejatanan gaib dan meningkatkan ilmu penyembuhan pijatnya. Pak Jumarno harus melakukan berbagai syarat, Seperti : 1. Melakukan wirid amalan 40 hari di makam Simbah Aryo Kusumo, Dusun Dawang, Blongkeng, Ngluwar, Magelang (tempat nyantrik di Mbah Gito) pada tengah malam hari. Tidak boleh tidur di sore hari sampai jam 00:00 kemudian berangkat ke kuburan. Sesampainya di kuburan memaca amalan seperti Nubuwat 100X, Ayat Kursi 41X, Qulhu 1500X, Inama Amruhu, dan lain sebagainya. Selesai melakukan amalan, lalu istirahat dengan
tidur di samping makam, saat tidurpun beliau harus menempelkan telapak tangan kana yang ada secarik kertas bertuliskan kalimat amalan, kemudian kepala harus menghadap ke kiblat seperti orang mati yang dikubur. Ada sebuah cerita saat beliau melakukan proses wirid 40 hari di kuburan tersebut tidak bisa penuh menjalankannya dikarenakan beliau didatangi sosok makhluk halus seorang perempuan berbaju kebaya jaman dahulu, Pak Jumarno pun bersila sudah membaca ayat kursi seberapa banyak pun tidak menghilang,kemudian Pak Jumarno memberanikan diri untuk menanyakan sosok tersebut yg bernama Nyai Jeruk, Nyai jeruk adalah salah satu sosok penunggu kuburan tersebut. Beliau juga menanyakan kepada temannya yg bertempat tinggal di daerah tersebut untuk meyakinkan benar keberadaannya. Sebenarnya jika dalam melakukan amalan tersebut genap 40 hari apa yang dicita-citakan akan terkabul. Amalan itu sebenarnya berat dan tidak mudah. Karena amalan sejatinya adalah tameng utuk diri kita di waktu hidup juga nanti setelah kita mati menjadi jawaban apa yg di lakukan semasa hidup. Amalan juga sangat banyak rupanya seperti amalan untuk kekuatan pikiran, badan,tangan, kaki dan lain sebagainya terdapat dalam kitab Mujarobat. Amalan atau do’a juga tidak baik untuk di perjual belikan karena Pak Jumarno pernah mengalami hal yang tidak baik setelah melakukan hal tersebut. 2. Melakukan wirid amalam 7 hari di makam Simbah Ronggo Satoto, Dusun Serut, Bigaran, Borobudur (merupakan domisili tempat tinggal Pak Djumarno dan makam keramat di Dusun Serut) pada tengah malam hari. Proses wiridnya sama seperti proses wirid di makam Simbang Aryo Kusumo.
3. Membaca Al Qur’an selama sebulan harus katam 30 juz 3X dalam 1 Tahun. Prosesnya adalah beliau setiap waktu luang membaca Al Qur’an sehari target harus selesai minimal 3 jus. Saat mengamalkan membaca Al Qur’an selama satu tahun tersebut di tengah perjalanan beliau juga mendapat rejeki yaitu bisa mendapatkan seorang istri, namun sebenarnya kurang bagus ketika sedang menjalankan amalan terus dipotong dengan acara pernikahan karena waktu yang harusnya terus dilakukan pengamalan namun terpotong dengan diadakannya hari pernikahan. selang waktu setelah selesai atau katam dalam mengamalkan membaca Al Qur’an tersebut beliau bersama sang istri diadakan acara kataman di tempat sang guru, acara khataman juga dilakukan pada umumnya seperti di langgar. Termasuk menyembelih ayam mengundang saudara tetangga dan lain sebagainya.
BIGARAN
Masjid Tua Al Umar oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
4. Puasa selama 40 hari. Prosesnya adalah puasa seperti bulan idul fitri. Dalam puasa beliau sukses dalam menjalankannya.
Pada masa sbelum kemerdekaan ada sebuah Dusun yg disebut Dusun Serut, Yg terletak di selatan sungai Progo berbatasan langsung dengan wilayah Kulon Progo, Daerah Istimewa Yoogyakarta. Mengapa di sebut Dusun Serut menurut Mbah Indro sugiarto , Beliau adalah sesepuh dan juga mantan kepala desa, Desa Bigaran Kec.Borobudur Kab.Magelang .karena Dusun tersebut merupakan sebuah pegunungan yg selalu digunakan untuk berdo’a atau tirakatan dan juga slalu di tempat tinggali para empu. Empu adalah orang yang sangat ahli. Nama Serut pun di ambil dari kata Bahasa jawa ngelus
puser kanti di urut yg di singkat SERUT, artinya tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya para alim ulama yang selalu mengajarkan dan menyebarkan siar agama kepada banyak masyarakat. Ada juga yg menyebutkan karena banyak pohon serut yg sekarang banyak di jadikan pohon bonsai. Sbelum adanya masjid tersebut dulu juga ada beberapa Langgar( Musola) yg di bangun. Untuk solat berjamaah agar tidak jauh dari linggungannya. Menurut Cerita Mbah Barodi, Beliau adalah sesepuh dan juga mantan kepala desa Bigaran,
ngaji, setelah wafat kemudian imam masjid di gantikan oleh anak-anaknya yaitu Mbah Rukhoni sebagai imam masjid dan Mbah Suhadi sebagai guru ngaji. Jama’ah pertama dulu hanya sedikit sekali bisa dibilang hanya 10 orang terdiri dari keluarga dan beberapa masyarakat di karenaan sedikitnya orang. Dulu mengaji pun tidak di masjid melainkan setelah berjamaah di masjid murid-murid yang mau mengaji di suruh pindah ke rumah sang guru (Mbah Juki). Saat memasuki / sebelum memasuki masjid pun dulu di sunatkan untuk solat sunah takhiyatal masjid mengikuti sunah Rosul. Beliau juga merupakan cucu dari Mbah Juki, Mbah Juki adik Cikal bakal pendiri masjid yaitu Mbah Dolah Umar yang juga merupakan keturunan Raden Ronggo Satoto . Masjid tersebut merupakan masjid tertua di selatan sungai progo termasuk wilayah Sambeng dan Kenalan. Karena dulu agama yg di anut masih banyak hindu, kejawen serta Kristen atau katolik. Usia masjid kurang lebih sudah 100 tahun, berdasarkan cerita Mbah Barodi pada jaman Mbah Juki yg meninggal pada tahun 1942 ,sedang masjid pada tahun 1932 pernah mengalami pembenahan karena semakin banyaknya jaamah,jadi diperkirakan masjid pertama kali di bangun pada tahun 1920an. Dahulu masjid tersebut hanyalah bangunan kecil yg terbuat dari anyaman bambu sederhana yg di sebut pager gedek, tiang-tiangnya dari kayu. Kemdian di renofasi pada tahun 1932 dengan bletok. Bletok yaitu rangka bawah yg terbuat dari susunan batu bata kemudian di satukan dengan lempung atau tanah liat. Imam pertama di masjid tersebut adalah Mbah Dolah Umar dan Mbah juki bertugas sebagai guru
Berjalannya waktu jama’ah dan mjurid pun mulai banyak ada yg berasal dari luar desa sampai mencapai tujuh puluhan murid setiap malam yang harus di ajari. ada yang dari Desa kenalan, Sambeng , Banjaroya, Kalibawang dan lain sebagainya.Namun semua itu tidak bisa berjalan sampai sekarang karena perkembangan jaman dan ceritanya dulu pada tahun 1970 Mbah Yuri, Mbah Mat dan Mbah Muhyidin mereka semua adalah keturunan dari Mbah Dolah Umar dan Mbah Juki kompak mengembangkan ajaran islam namun pada tahun 1982 an Mbah Mat dan Mbah Yuri di
daftarkan untuk menjadi guru sekolah Impres diterimanya daerah kebumen akhirnya kedua beliau harus pindah ke daerah Kebumen pada masa itu, akhirnya Mbah Muhyi pun mengajar sendiri beliau pun kuwalahan selang waktu beberapa tahun Mbah Mat Kembali dan menemani Mbah Muhyidin mengajar kembali. Di tahun 2008 Mbah Mat pun meninggal dan usia Mbah Muhyi tersebut sudah renta keturunannya pun tidak ada yg meneruskan akhirnya sekarang pun masjid menjadi sepi. Mengapa masjid di beri nama “Al Umar”, sudah jelas karena dulu yang odo-odo atau yg mengajak membuwat masjid adalah almarhum Simbah Dolah Umar. Di belakang masjid terdapat beberapa makam yg terdiri dari makam cikal bakal yaitu Mbah Dolah Umar dan Mbah Juki dan beberapa keturunannya. Mengapa hanya beberapa makam, karena makam tersebut hanyalah permintaan dari beliau beliau di waktu masih hidup meminta untuk di semayamkan di belakang masjid tersebut.
BIGARAN
Mbah Demang Jagan: Seorang Cikal Bakal Masyarakat Dusun Serut oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
Mbah Abu Chori (92), tinggal di Dusun Serut Rt005/Rw002 Des.Bigaran, Kec.Borobudur, Kab. MAgelang. Dengan nada tegas dan mantap melambangkan keyakinan bagaimana ia bercerita terkait cikal bakal tanah Serut pada jaman dahulu Serut ki rung ono omah kabeh,tunggale jagat e watu gajah tekan ning serut tengah kae ne mbah Demang Jagan, jut dipertelu wong anake telu. Dahulu tanah Serut belum ada yang menempati terkecuali Simbah Demang Jagan . Beliau lah yang menurunkan orang Serut. Bahkan sampai saat ini runtuhan bangunan dari rumah beliau dikabarkan masih berada di lokasi. Hal ini dituturkan langsung oleh Mbah Abu Chori. Saat ini Mbah Demang Jagan dimakamkan di Gunung Serut, makam mayoritas warga Serut dan sekitarnya. Rumah Mbah Demang Jagan berada di Serut Tengah, RT 04 . Dahulu di Bigaran terdapat dua Demang, yakni Demang Abdul Latif dan Demang Jagan. Mbah demang jagan selalu menjaga situasi jalan,rumah beliau di pinggi jalan utama persis. Tiap ada orang lewat ditanya oleh beliau ,membawa layang atau tidak, jika tidak membawa beliau tidak mengijinkan
untuk melintasi jalan tersebut, kalau bahasa sekarang namanya Razia. Mbah Abu pun berlanjut menceritakan lurah “Kepala Desa” beserta istilah dahulu para pegawai kepemerintahan. “Lurah ki lak sakwene dijajah londo, Demang yo jeh alam kerajaan, jaman kerajaan nek kene ki ijeh melu ning surokarto” Demang Abdul latif termasuk yang mebawakan kenalan juga, istliahnya yang dituakan atau yg diamanati untuk menjaga wilayah tersebut. Arti kata Demang merupakan jabatan yang bisa dibilang mirip dengan jabatan lurah,namun cakupan wilayahnya lebih luas. “Jaman penjajah nek ono dadi pegawai sebutannya “ndoro”, lurah yo ndoro, asisten ya ndoro sten, polisi yo ndoro upas, guru yo ndoro guru, kabeh sik dadi pegawai kui “ndoro” Pada zaman dahulu saat dijajah belanda, pegawai biasa disebut “ndoro”, lurah atau kepala desa juga disebut “ndoro” , kemudian asisten disebut “ndoro sten”, polisi disebut “ndoro upas”, guru juga disebut “ndoro guru”.
BIGARAN
Mendem Ari-ari oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
“Setengah 12 kae ngalor” “dewe?” “dewe, sepi kae jutan” Suyono (25) dengan suara lirih karena takut anaknya bangun, menceritakan bagaimana upaya nya mesti mondar-mandir menuju rumah sakit pada waktu dini hari saat kelahiran anak pertamanya. Usia nya terhitung matang untuk menjadi suami tepat di tanggal 10 Desember 2021. Ia telah mengambil cuti untuk menemani istrinya selama proses melahirkan, empat hari diberikan oleh tempat ia bekerja untuk cuti, maklum Suyono masih terikat dengan pabrik sebagai pekerjaan tetap nya. Pada tanggal 24 Agustus 2021 kemarin Suyono telah resmi menjadi ayah, putri pertamanya telah menikmati udara dunia untuk pertama kalinya. Kami datang berkunjung sehari pasca ia membawa pulang istri dan anaknya dari rumah sakit. Kami tertarik untuk mendengarkan kisahnya saat tengah dini hari ia mesti kembali ke rumah sakit selepas memendam ari ari anaknya di rumah.
“wudhu sarungan sing ngisor go hem go jaret jut di gendong,kan ning jero kendil” Ia pulang dari rumah sakit membawa beberapa pakaian bekas melahirkan milik istrinya untuk dicuci dan juga ari ari milik anaknya yang telah dimasukkan ke dalam kendil untuk dipendam di rumah, lebih tepatnya di depan rumah nya. Proses memendam dilakukan pertama kali sebelum ia memulai mencuci pakaian milik istrinya. Terdapat perbedaan peletakan ari ari yang hendak dipendam di depan rumah, untuk jenis kelamin laki-laki dipendam di sebelah kanan ,untuk jenis kelamin perempuan terletak di sebelah kiri. Kemudian ditutupi tudung, atau ember, atau bisa juga tedo (biasa digunakan untuk belanja ibu-ibu zaman dahulu yang terbuat dari rotan/pandan yang dianyam) kemudian diberikan lampu diatasnya, dulu menggunakan sentir.
BIGARAN
Mujadahan Malam Jum’at oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik Kamis 19 Agustus 2021 saya mengikuti Mujadahan malam jum’at yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Serut, Des.Bigaran, Kab.Magelang kediamaan Simbah Asmain (67) . Kegiatan ini dilakukan secara bergilir setiap rumah seminggu sekali pada malam jum’at. Dengan rasa yg hikmat saya mengikuti acara tersebu. Di penghujung acara saya menanyakan beberapa pertanyaan kepada sesepuh yaitu Simbah Parijo (81) sebagai tokoh masyarakat Dusun tersebut. Nunopo to mbah mujadahan niku?? Mujadan kui yo semedi !! sahutnya dengat suara lantang. Menurut beliau mujadahan cara jawanya itu semedi meminta keselamatan, kesehatan dan ampunan kepada maha kuwasa Allah SWT juga merupakan bukti pengabdian atau mendo’akan kepada leluhur yang sudah meninggal . Kata beliau mujadahan tersebut bisa dilakukan secara sendiri, cara buda disebut bertapa. Dalam melakukannya dengan cara mengamalkan do’ado’a yang telah di ajarkan nabi Muhammad SAW. Saya pun makin penasaran lanjut bertanya
kapan to mbah mujadahan iki ono ??? Wah ha nek kui ket jaman kakek buyut mu…!! Simbah parijo pun menjawab dengan nada yg halus dan jelas. Lanjut cerita , simbah buyut saya bernama Simbah Rais,Simbah Rais adalah cucu dari Simbah Demang Jagan yang merupakan pendatang jaman dulu yg bertugas sebagai penjaga jalan. Simbah Rasi meninggal pada tahun 1956 usia 73 tahun. Sedangkan mbah parijo waktu itu masih kecil. Jadi di perkirakan mujadahan tersebut sudah ada sejak tahun 1930-!940an. Daerah tersebut juga merupakan pelopor kegiatan mujadahan dianta daerah-daerah lain. Namun perbincangan kami pun terhenti karena simbah parijo pamit pulang untuk mendengarkan wayangan di radio Selang hari saya bertanya pada sesepuh lain yang juga merupakan keturunan Ki Demang Jagan yaitu Simbah Abu Chori (92) Saya menanyakan kembali apakah benar mujadahan di Dusun Serut itu memang pelopor di untuk desa lain, ya memang benar jawab simbah.
Simbah pun bilang susunan acara kegiatan tersebut tidak pasti , sering gonta ganti. Dulu acaranya tahlil setelah itu membaca soalawat adrikni dan Solawat tunjinah namun juga pernah ganti setelah tahlil membaca surat yasin dan sekarang setelah tahlil membaca solawat tunjinah sebanyak 1000 kali. Saya pun lanjut bertanya Nopo mbah kok kudu malam jum’at le mujadahan ??? Yo mergo malem jum’at ki malem sik suci. Kata simbah dengan saut keras. Simbah pun melanjutkan cerita, mujadahan dulu dilalukan hanya di langar (musola) saja. Sajian makanannya pun hanya ketela godog dan wedang teh, mengapa karna dulu jaman penjajahan untuk mencari makan pun susah tidak seperti sekarang yang sudah banyak jenis makanan ringan tinggal beli di pasar, dan menurut simbah ini merupakan salah satu laku prihatin orang jawa. Ketela ini juga diambil dari warga sekitar yang menanamnya sendiri Begitulah cerita sejarah singkat kegiatan mujadan yang ada di Desa Bigaran.
BIGARAN
Suronan oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik Sore itu selepas waktu ashar kami berdua sepakat untuk menyempatkan waktu datang “sowan” ke salah seorang tetangga. Rumahnya tidak jauh dari tugu selamat datang dusun Serut,bahkan dengan jalan kaki pun hanya tidak kurang dari lima menit. Terletak di paling ujung desa, berbatasan dengan desa Sambeng di sebelah barat. Pekarangan nya cukup luas dengan tembok rumah berwarna hijau telur asin.
Pak Djumarno kesehariannya disibukkan dengan datang kesana kemari memenuhi panggilan yang kadang menumpuk di telponnya. Tak jarang tiga sampai lima orang ia layani dalam sehari. Pengobatan tradisional bermodal Pijat urut seperti ini telah ia geluti sedari usia muda, dengan usia kepala lima saat ini segudang pengalaman di dunia urut badan tentu telah menjadi sebuah kebiasaan yang mendarah daging bagi dirinya.
Baru saja dua minggu yang lalu, pekarangan rumahnya ramai hiruk pikuk tetangga dan sanak kerabat yang sibuk menyiapkan pesta meriah, mereka datang untuk melaksanakan prosesi sakral bagi keberlangsungan hidup putri Pak Dju. Tepat tanggal 27 Juli kemarin putrinya resmi dipinang oleh pemuda asal kembang limus diusia 23 tahun.
Di kala suro seperti ini dulu ia mempunyai kebiasaan untuk melakukan pemandian pusaka, kebiasaan ini ia lakukan terakhir belasan tahun yang lalu,di medio tahun 2004 hingga 2007. Sudah sekian lama,namun ingatannya masih terukir jelas,tentang bagaimana ia memandikan pusaka miliknya.
Ya ,keramaian itu sudah usai, rumah sekarang kembali sepi, hanya ditinggali oleh Pak Dju, istrinya
Kata demi kata ia keluarkan dengan jelas dan tegas, tanpa ada keraguan ia ungkapkan di setiap kalimat yang menjawab tiap pertanyaan kami yang penuh akan rasa penasaran mengingat kami berdua belum pernah sama sekali melakukan ritual tersebut. Mulai dari cara ia merendam dengan air degan,nanas,jeruk nipis dan air bunga buat merendam beberapa pusaka miliknya yang ia rendam dalam bumbung bambu dengan panjang kurang lebih 75 cm.
serta menyisakan seorang perjaka yang masih usia remaja hendak menginjak pemuda. Remaja tujuh belas tahun tersebut merupakan anak kedua Pak Djumarno yang masih menginjak bangku SMK kelas dua. Selang 6 tahun dengan sang kakak, sekarang ia berkewajiban untuk menemani kedua orang tuanya.
Terdapat belasan pusaka yang biasa ia rendam kala tiga hari menjelang malam suro.Ada hampir dua puluh pusaka dengan didominasi oleh jenis keris. Sayang sudah hampir sebelas tahun ia tidak kembali melaksanakan ritual rutin tersebut. Hingga kini pusakanya hanya tersisa tiga buah,sebuah tombak dan dua buah keris yang tidak berisi lelembut didalamnya atau biasa disebut khodam. Dengan nada rendah penuh kekecewaan ia mengungkapkan bahwa sudah sejak lama tidak melanjutkan prosesi tersebut, karna banyak orang yang tidak mengembalikan keris yang dipinjam dari nya “ning ndilalah yo kerise yo ming di ,onten wong jileh ra dibalekke kui yo jut kulo mutung,mah jut tak nganu kabeh” tuturnya.
“ora dibalekke,mung mileh sik apik apik,la kulo jut dadi nganu to,mah wes ra matuk kulo yoan,no nek onten wong kepengen sing penting diopeni ya monggo” pungkasnya. Asal tetap dirawat ia tak mempermasalahkan kerisnya diambil orang. Toh ia dulu mendapatkan keris tersebut juga merupakan pemberian dari salah seorang pasien yang ia sembuhkan di daerah Kaliangkrik. Mengoles pusaka dengan minyak za’fara ia lakukan selepas usai merendam pusaka nya. Tak jarang juga dilakukan kala malam selasa kliwon atau jumat kliwon. Menurutnya pemberian minyak tersebut pada dasarnya hanya untuk membuat keris tidak berkarat, mengingat benda ini beresiko tinggi
Kami menunggu di depan rumah sambil menunggu beliau usai membersihkan diri, baik itu mandi maupun menunaikan kewajiban sholat fardhu. Tak selang lama kemudian Mbah Tris membukakan pintu menyambut kedatangan kami dengan langkah yang cukup pelan dan santai diiringi senyuman dan tawa lebar sambil menanyakan maksut tujuan kami berdua. Sambil mengambil tembakau, lalu menumpukkan beberapa tembakau di atas “baret” beliau mendengarkan maksud tujuan kami dengan teliti. berkarat jika bercampur dalam waktu yang lama dengan debu. Banyak pemahaman yang muncul erat kaitannya dengan keris, seperti dikabulkan nya sesuatu karena memiliki sebuah keris tertentu misal. Menurut beliau pada dasarnya yang membuat manjur sebuah doa bukan datang dari benda keris itu sendiri,melainkan datang dari doa sang pembuat keris. Amalan-amalan seperti puasa atau meditasi sang “mpu” dalam upaya membuat keris inilah yang membuat nya terlihat mempunyai wibawa tersendiri atas terkabulnya sebuah keinginan. Lewat penghitungan jawa menurutnya ada upaya untuk mengetahui kecocokan keris yang dimiliki dengan sang pemilik saat ini ataupun selanjutnya. Dengan upaya menghitung panjang keris lewat urutan jari jempol dengan posisi saling naik ke atas mengikuti panjang keris sambil berucap siti pada posisi pertama kemudian diikuti singkolo, arjuno mangan ati dan terakhir runggu dunyo. Jika dihitung dan jatuh pada siti,maka itu artinya bagus,dan cocok untuk diemban pemilik selanjutnya. Mendadak sang istri datang menghampiri nya ternyata panggilan di handphone milik nya telah berbunyi beberapa kali sore itu ,pak Djumarno ternyata telah mempunyai janji dengan salah
seorang pasien nya. “Ning kok dingapunten niki, kulo niki due saguhan pijet ning bigaran e” cetusnya, kami pun juga memaklumi dengan sangat,urusan pengobatan memang mesti disegerakan supaya rasa lega dari sang pasien segera didapatkan. Kami berdua pun pamit untuk lekas beralih dari tempat duduk kami dan mengucap harap kepada pak Dju supaya mampu dipertemukan di kesempatan lain waktu,mengingat rasa penasaran kami yang masih cukup banyak. Sore itu kami masih mempunyai waktu yang cukup sampai matahari terbenam ke peralihan, kami berdua sepakat untuk mengunjungi salah seorang sesepuh desa yang letak rumahnya hanya berjarak lima langkah dari rumah narasumber kami yang pertama, orang itu adalah Mbah Tris.
Saat kami sibuk berbincang dengan Pak Dju, saya melihat beliau beberapa kali lewat di depan rumah dengan arit yang digenggam dan setumpuk rumput yang diangkut di atas kepala. Hal yang biasa dilakukan kala sore hari untuk mencari rumput sebagai pakan ternak, meski telah memasuki usia kepala delapan
Kami pun masih penasaran terkait dunia suro di desa kami , apa yang biasa dilakukan dan bagaimana prosesnya. Diawali menyalakan hasil lintingan yang telah ia buat lanjutnya ia menanyakan beberapa hal kepada kami berdua.”Kok malah aku sik di nganu ki tek kepie dasar dasare ?” imbuhnya dengan senyum yang cukup lebar. Kami pun tertawa lirih sambil dijawab oleh Ipul “nek pandangan kulo sing ngertos ki kintene mbah tris e” Dengan kerendahan hati yang amat dijunjung pun beliau hanya menjawab “aku ki yo ragenah e” sambil tersenyum kembali. Lalu kami pun menanyakan beberapa tradisi yang biasa dilakukan di dusun Serut terkait pelaksanaan Suro, menurut beliau terdapat dua tradisi yakni Puasa di tanggal 1 suro untuk awet muda dan juga kegiatan tanggal 10 sedekahan untuk slametan atau yang biasa dikenal dengan suran. Puasa yang dilaksanakan pun seperti puasa pada umumnya bulan ramadhan dengan adanya buka dan sahur. Amalan tersebut muncul dan terdapat di alquran Sedekahan untuk slametan ini sudah ada sejak nenek moyang, perbedaannya terletak di metode pelaksanaan nya. Jika ditarik secara garis waktu pelaksanaan suran semenjak jabatan kepala dusun diemban
oleh beliau pada tahun 2004 telah dilakukan di Mushola, berbeda dengan sebelumnya yang dilakukan dengan mengirim makanan berupa berkat ke rumah dukuh (secara modern biasa disebut dengan kepala dusun) terdapat juga bubur suro yang terbuat dari nasi, kunir dan merica. Pelaksanaanya dari dulu hingga sekarang menggunakan dana dari sembada masyarakat. Jika dulu menggunakan biaya perseorangan ,sekarang lebih terorganisir terdapat bendahara yang memegang keuangan acara tersebut. Dalam pelaksanaan di RT 05 dibagi menjadi dua yakni ada yang membayar dengan uang ,ada pula yang jatah makanan berupa nasi yang dibungkus secara tum dengan isian sesuai kesepakatan,biasanya diisi dengan nasi,bihun dan juga telur. Pembagian jatah tadi berdasar posisi rumah, dikarenakan wilayahnya terletak dibawah kaki gunung serut, ada posisi atas dan posisi bawah. Jatahnya pun gentian baik posisi atas dan sebaliknya. Tanggal 10 suro diambil karena merupakan waktu dimana nabi melakukan dakwah di mekkah banyak kendala nya,pindah ke madinah.
BIGARAN
Tugu Tangsi di Sumberjo oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
Siang itu saya silaturahmi atau dolan menemui teman pemuda Desa yang bernama Ndoni (23). Dia adalah teman yang tepat untuk saya ajak naik ke bukit untuk melihat Tugu Tangsi. Tugu Langsi adalah sebuah bangunan yang terbuat seperti cor beton batu-batuan sedang. Bentuk luar persegi tidak rata dan tengahnya bentuk persegi rata. Namun, karena sudah termakan usia benda tersebut sulit saya pahami bentuk aslinya. Ukuran diameter luar kurang lebih 60 cm, sedang persegi diameter kurang lebih 30 cm. Benda tersebut tepat berada di lahan pertanian ayah Ndoni, yang dibeli oleh kakeknya dari lurah saat itu. “Sebutan Tugu Langsi mengalir saja dari zaman dahulu,” kata Ndoni. Di tempat tersebut saat hari tertentu atau saat dalam musim apa kadang selalu menimbulkan bau-bauan. “Nek awan sok mambu-mambu opo ngono,” kata Ndoni. Bau yang tidak sedap namun kadang juga wangi. Entah mengapa bisa seperti itu dia tidak mengetahui penyebabnya. Menurut Mbah Indro Sugiarto (71), Tugu Tangsi zaman dahulu merupakan tempat atau titik yang di gunakan untuk mengintai kedatangan tantara Belanda. Tidak salah jika tempat tersebut menjadi tempat pengintaian untuk segala arah, soalnya tempat tersebut berada di puncak bukit paling tinggi di antara puncak-puncak sekitarnya.
BIGARAN
Solat Rabu Pungkasan, Sasi Sapar oleh: Ahmad Saeful Mubarok Zulfikar Maulana Malik
Pagi ini cuaca yang tepat untuk bergegas mencari sarapan , pemberhentian berikutnya merupakan Warung Soto milik Mba Eni salah seorang tetangga yang letaknya tidak jauh dari rumah,cukup satu menit sampai kalau naik motor. Bergegas pesan namun sayang, sarapan soto belum dapat terlaksana pagi ini karna habis, kebetulan yang entah datangnya darimana ,malah bertemu dengan salah seorang calon narasumber yang dapat kami tanyai terkait agenda kegiatan Saparan , sarapan pun tak dapat saparan kami dapat.
tekane telongewu rongatus penyakit bakal mudun nanging diangkat meneh nek ijeh ono wong istighfar, solawat lan dzikir, jut melas ditarik meneh
Mbah Ngunifah Nahdlori salah seorang pemuka agama di Dusun Serut, Desa Bigaran yang kebetulan sedang sarapan. Menurut beliau Saparan berbeda dengan kegiatan Muludan atau Suronan,hal ini karna tidak ada momentum peringatan sebuah kegiatan yang bisa dibilang simbolis, seperti nabi melakukan Hijrah atau kelahiran nabi, atau peringatan tahun baru hijriah.
njut do nyuwunke, mugo-mugo ditarik penyakit mau.
Saparan menurut beliau terdapat beberapa hadist yang menjelaskan
jadi kegiatan saparan merupakan sejarah waktu dulu kala diturunkan tiga ribu dua ratus penyakit kemudian dilakukan sebuah ibadah sebagai cara tolak bala yang dapat dilakukan menurut agama islam agar penyakit tersebut ditarik kembali, bulan sapar merupakan secara sejarah merupakan waktu saat diturunkan penyakit
Kegiatan yang dilaksanaan adalah sholat lidaf’ilbalah atau biasa orang jawa menyebutnya Rabu Pungkasan pada bulan sapar yang dilaksanakan setelah dhuhur. Terdapat juga yang melaksanakannya pada rabu malamnya, bahkan kadangkala dilakukan siaran untuk mengajak warga secara bersama-sama melakukan ibadah solat lidafngilbalah tersebut.
Narasumber:
Borobudur
BOROBUDUR
Jamasan Jathilan oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
Kesenian Turangga Muda Ngaran 1 sudah berkumpul di rumah Bapak Wahono, disana sudah dipersiapkan sesaji dan kuda kepang, butho serta kuda celeng dan topeng pentul tembem yang rencana malam ini akan dijamasi.
sesuatu yang terlewatkan dan ketua juga selalu hilir mudik memastikan semua selesai dengan sempurna.
Sejak pengambilan air sendang dari Suroloyo kemarin sudah berkumpul dengan air dari sendang brojonalan dan sumur dr pak wahono serta yang lain dicampur dalam dua ember besar yang
Kuda putih kepang putih itu pernah disimpan di beberapa lokasi di rumah pak joko cawang dan pak Budiono. namun setiap hari disana sering berbuat ulah dengan glodak glodek sendiri serta kerincingnya berbunyi sendiri. namun begitu kembali ke rumah ketua kesenian pak wahono kuda
dipersiapkan buat jamasan.
itu sama sekali tidak berbuat ulah.
Pemanggilan indang dari sendang Lanang, Jogo Maruto, Joyo Mangkoro, Mayangkoro, Durmo, Linggo broto, Linggo Dwipo serta dari indang sendang kawidodaren: Cipto wening, Nawang Wulan dan Nawangsih dilakukan tepat malam selasa kliwon pukul 21.00 di rumah ketua kesenian.
Demikian juga dengan topeng butho yg biru, buto paling lama di kelompok kesenian tsb. suatu hari pernah dibeli orang temanggung dan sdh beberapa lama dipakai disana dan setiap kesurupan,anak sang ketua kesenian selalu sakit dan g mau ngomong. saat itu kesenian Turangga Muda masih pasif karena tidak banyak tanggapan.begitu beberapa bulan kemudian sdh mulai regeng lagi, butho tadi merasuki anak ketuanya tadi dan tidak mau bicara, akhirnya dikasih buku dan pulpen, dari situ tertulis, balik Borobudur. Lalu diantarlah anak tafi beserta topeng buto tadi ke Ngaran dan sampai dirumah pa wahono seketika langsung sembuh dan tidak sakit lagi.
Doa dipanjatkan dan pembakaran kemenyan dan dupa dimulai, lalu satu persatu peralatan kesenian dicuci dan digantungkan di tempat yang sudah dipersiapkan. Mbah sabar dan mbah diono serta mas Budi selalu mendampingi selaku sesepuh dan sang penimbol dengan memberikan arahan arahan agar tidak ada
Ada cerita tentang topeng pentol tembem, saat itu pak Sarman salah satu sesepuh kerasukan roh Mandoblang. Dia menari sambil sesekali diajak guyon dan membikin suasana meriah dengan gelak tawa, lalu begitu lagu “ mandobloang,.....heuy, kepripun solahe ingkang mendem gadungan iku mandoblang…… !!seketika dia sembuh dari kesurupan nya. oleh mbah sabar selalu diketawain karena lucunya kadang mirip banci kadang mirip perempuan dsb. saat itu adegan ini sering menjadi favorit masyarakat Borobudur. To celeng, adalah sebutan bagi seorang penari celeng yg dikenal dengan nanya pak yanto. hanya dialah satu satunya penari yg mau menarikan kuda celeng dan kemasukan binatang celeng dg aktivitas celeng yg sesungguhnya, nyebur di peceren atau kubangan, makan umbi dsb. sering menyeruduk penonton dan kesetrum akhirnya ikutan trance. dan hanya mbah sabar yang bisa menyembuhkan nya.
BOROBUDUR
Jamasan Ilat Geni SM 68 oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
SM 68 merupakan kepanjangan dari Satrio Mentaram, Satrio adalah Prajurit, Mentaram adalah Kraton, 68 adalah salah satu ayat yang ada di kitab dari 200 ayat, demikian pak Waribi yang dulunya kerabat kraton Yogyakarta menjelaskan malam tadi tentang organisasi yang diketuainya. Ajaran ini bermula dari sarasehan belajar bathin di Yogya, pada saat itu Presiden Suharto memohonkepada pihak keraton agar ajaran Jawa bisa diajarkan di luar keraton. R B Darmowinoto yang ditunjuk sebagai salah satu guru besar pada tahun 1940 yang juga merupakan salah satu prajurit putihan atau Ahli Nujum. Bapak Waribi diasuh oleh Romo Darmo mulai tahun 1985 selama 10 tahun bersamaan dengan meninggalnya bu Tien Suharto. SM 68 ini merupakan ajaran murni dari keraton Yogyakarta yang isinya adalah tentang Beberan dununge 4 kiblat 5 Pancer yang ada dalam tubuh, Caraka walik, Jamasan, Kasepuhan. Malam itu beliau menceritakan tentang proses laku lampah Lumpuh yang dilakukannya pada malam 1 surokemarin. Beliau mengitari candi Borobudur, dimulai dari rumahnya lalu ke arah barat Sodongan, Gayu, Srigenthan, Brongsongan,
Bhumisegoro, Gopalan, Ngaran Janan, Jayan, Senden dan sigog. Lalu beliau melanjutkan dengan meditasi dahulu sebelum melakukan mubeng candi kembali hingga selesai. Ada beberapa Sanepo yang beliau sampaikan tentang situasi di Borobudur. “ sok limang tahun ngarep arep akeh wong tuo sek bakal kapiran,merga anak anake pada kapincut ing banda donya” artinya bahwa akan banyak orang tua yang abakal terlantar dalam 5 tahun kedepan. Oleh sebab itu dia menyiapkan pondok bagi orang jompo. Lokasinya di wringin putih. Sebuah makna kasepuhan dari beliau yang menyampaikan dengan santai dan bersahaja, jika menjadi orang jawa harus punya 3 dasar ini; 1. Kudu ngerti dununge sedulur papat limo pancer, 2. Wong jawa itu ada 3 tingkatan a. Manembah dateng Gusti, b. Manembah Bapa Biung, c. Manembah dateng Alam. 3. Nggugah sedulur papat limo Pancer. Hal ini merupakan sareat dalam bentuk fisik yang disebut dengan tenaga dalam. Sm 68 ini adalah laku Bathin beda dengan kebathinan seperti Sumoro purbo, budi suci atau Sapto darmo. Kebathinan merupakan permohonan dan keadaan menjadi satu ditandai dengan kejadian
dahulu. Sedangkan bathin adalah keadaan sudah ada lalu permohonan baru dijalankan. Bapak Waribi merupakan putra dari Lurah Bekel Kraton Yogyakarta dan ibu dari patehan, Jokartono yang tidak mau menggunakan gelar dari keraton dalam kehidupannya. Beliau sambil melihat persiapan pengikutnya membakar besi dengan arang menceritakan tentang apa makna Jamasan malam ini. Jamasan ini merupakan Pembersihan diri berkaitan dengan pembangkitan energi 4 elemen 5 pancer dengan cara besi dibakar dan dijilatdengan menggunakan rapalan mantra tertentu. Empat elemen energi 5 pancer tersebut adalah Api, air, angin, Bumi dan berpancer pada Tubuh Manusia. Sambil berdiri dia menyampaikan jika Aku dalam sareatnya mengandung arti nama manusianya namun secara sufi, aku itu bermakna Allah atau Tuhan YME. Kemudian beliau duduk didepan tungku api sambil menyampaikan lagi Ajaran jawa belum tentu dari keraton, namun jika ajaran Keraton pasti jawa. TATA CARA JAMASAN API: 1. Besi dibakar hingga membara dan kembang setaman dicampur dalam air sebaskom 2. Besi diketukkan tiga kali ditanah lalu tangan kiri menggam ibu jari dan patrap silo besi dipegang 3. Pengucapan mantra 4. Ambil nafas tahan lalu besi dijilat ke lidah 5. Pengucapan mantra 6. Ambil nafas tahan lalu besi dijilat ke lidah 7. Pengucapan mantra 8. Ambil nafas tahan lalu besi dijilat ke lidah 9. Pengucapan mantra 10. Ambil nafas tahan lalu besi dijilat ke lidah
11. 12.
Satuhu besi dicelupkan ke ember bunga setaman dengan cara membikin garis horisntal dan vertikal lalu dibiarkan bergejolak dibaskom Lalu jika sudah dingin air bunga tadi bisa diminum untuk tolak bala ataupun sesuai keinginannya
Setelah ritual jamasan selesai, pak waribi mengatakan kembali bahwa intinya kawruh jawa adalah Tauhid (iman) dan mensyukuri nikmat. Secara intern adalah mensyukuri kesehatan raganya secara ekstern mensyukuri fisik dan alam, kedua hal ini perlu disingkronkan. Bedanya orang china dan jawa dalam kehidupan spiritnya adalah china itu melalui peningkatan gizi namun kalo orang jawa dengan tirakat. Makna bunga kembang setaman dalam proses jamasan api, bunga mawar merah berarti api, bunga mawar putih berrti angin, kenanga berarti bumi dan bunga kanthil berarti air. Kesemuanya dijadikan satu tempat yang diisi air Candi borobudur adalah pusat eter atau titik energi yang bisa mempengaruhi posisi manusia dalam hal apapun itu yang beliau katakan sambil menutup kegiatan malam ini
BOROBUDUR
Gundul Gundul Pacuk oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
“GUNDUL GUNDUL PACUL CUL GEMBELENGAN NYUNGGI NYUNGGI WAKUL KUL GEMBELENGAN WAKUL NGGLIMPANG SEGANE DADI SAK LATAR”
Lagu dolanan anak ini ternyata merupakan sebuah sindiran bagi politik kerajaan jipang panolan kepada sultan Trenggono Demak oleh sunan kalijaga dan Sunan Kudus, menurut Mas Pitut dalam cerita silsilah keluarganya yang masih memiliki keturunan dari penguasa Jipang Panolan condro kusumo. Baris pertama memiliki makna bahwa Pacul itu kepanjangan dari papat papate aja sampai ucul (lepas) yaitu jagalah mata , telinga hidung dan mulut yang ada di kepala Baris kedua memiliki makna bahwa menjadi orang harus amanah dalam menjalankan pekerjaannya baik dalam segi apapun. Baris ketiga mengandung makna bahwa menjaga amanah harus yang hati hati jangan sampai lepas. Jika lepas maka akan menyusahkan diri sendiri dan rakyat menjadi cerai berai.
BOROBUDUR
Suran oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
Masyarakat Jawa pasti tidak asing lagi ketika mendengar kata suro. Suro merupakan bulan pertama dalam kalender jawa. Bulan Suro identik dengan bulan Muharram pada kalender hijriah yang merupakan tahun baru islam. Masyarakat jawa menganggap bulan Suro sebagai bulan yang sakral dan diistimewakan karena banyak tradisi jawa yang dilakukan pada bulan ini. Menurut kepala Desa Borobudur (Anwar Ujang) Suran di Desa Borobudur tidak ada acara yang diselenggarakan dalam lingkup Desa (belum terkoneksi satu Desa). Suran biasanya dilakukan oleh pemangku adat di setiap dusun yang mempunyai kepercayaan tertentu terhadap bulan Suro. Tidak semua dusun di Desa Borobudur melakukan atau merayakan suran. Terlebih masa pandemi seperti ini banyak dusun yang tidak merayakan suran. Dusun yang masih merayakan suran biasanya hanya mengadakan doa bersama yang dilaksanakan di masjid dusun mereka. Setelah melaksanakan doa bersama semua warga yang menghadiri acara tersebut kemudian makan makanan yang sudah disiapkan. Makanan itu merupakan makanan yang sudah didoakan (mengandung berkah karena telah didoakan banyak orang). Merayakan atau memperingati
tanggal 1 Suro hanya dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai kepentingan, seperti masyarakat yang mempunyai benda-benda pusaka atau yang sudah sepuh (tua) yang masih mempertahankan budaya dari para leluhur. Salah satu acara untuk memperingati Suran di Desa Borobudur yang sudah turun temurun adalah tirakatan dan ziarah kubur ke makam yang dianggap mempunyai pengaruh besar atau cikal bakal daerah tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengucap syukur dan berdoa supaya kehidupan bisa lebih baik lagi dan terhindar dari mara bahaya. Acara tirakatan biasanya dilaksanakan di masjid dilakukan setelah salat magrib. Acara ini diawali dengan membaca tahlil (berdoa bersama)
untuk mendoakan arwah para leluhur dan berdoa untuk meminta keselamatan diri masing-masing kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang disajikan ketika malam satu suro ini tidak biasa. Makanan ini mempunyai ciri khas yang membedakan dengan makanan yang lain. Ciri khas itu terletak pada bumbu masakannya. Bumbu untuk memasak makanan yang disajikan pada malam satu suro dinamakan bumbu sura. Bumbu sura terdiri dari jahe, kunyit, lengkuas, kencur, merica, kemiri, daun salam, daun jeruk, kayu manis, jinten, kapulaga, dan sereh. Bumbubumbu tersebut bisa didapat di pasar Borobudur. Ada yang sudah menjual satu paket, biasanya semua bumbu dibungkus plastik dengan harga dua ribu rupiah. Bumbu ini dinamakan sebagai bumbu suro sebab makanan yang disajikan ketika perayaan Suro harus menggunakan bumbu tersebut. Bumbu tersebut telah diwariskan oleh nenek moyang. Diyakini oleh nenek moyang bahwa ketika bumbu-bumbu tersebut tidak lengkap maka akan terjadi satu kejadian yang kurang mengenakkan. Namun setelah berkembangnya zaman mitos itu terpecahkan, sebenarnya bumbu tersebut mengandung rempah yang cukup dan kombinasi yang seimbang sehingga dibuat masak terasa enak.
Menurut Mbah Amin warga dusun Kaliabon yang sudah berusia 80 tahun, masyarakat Jawa yang meyakini bulan Suro biasanya menjalankan laku prihatin seperti puasa, mutih (makan nasi putih saja), ngebleng (bertapa), ngrowot (tidak memakan nasi), lek-lekan (begadang), kungkum (merendam diri), dan tirakat (menahan hawa nafsu). Laku prihatin tersebut tidak dilakukan di sembarang tempat, biasanya dilakukan di tempat yang sakral atau dikeramatkan seperti puncak gunung, petilasan, dan makam orang-orang sakti. Masyarakat Jawa yang meyakini kepercayaan tertentu mengenai bulan Suro selalu mengadakan acara ritual. Ritual dilakukan beraneka ragam sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Misalnya bagi masyarakat yang mempunyai pusaka maka akan mengadakan ritual sesuai dengan perjanjian yang mempunyai pusaka dan roh gaib yang diyakini menghuni pusaka tersebut. Biasanya tradisi-tradisi tersebut dilakukan setiap malam satu suro. Jadi malam satu Suro sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Mereka yang mempunyai benda pusaka akan memandikan benda itu dengan air bunga dibawah sinar bulan. Memandikan pusaka tersebut juga tidak dilakukan sembarangan, ada ritual khususnya misalkan dengan menggunakan sajen (sesaji).
Sesaji ini biasanya terdiri dari bunga mawar merah, mawar putih, kenanga, dan rokok. Sesaji ini biasanya juga fleksibel tergantung tujuan kita. Akan tetapi mbah Amin mengutarakan bahwa sesaji ini sifatnya fleksibel dan disesuaikan dengan acara atau yang telah disepakati sebelumnya (kesepakatan antara manusia dengan makhluk tak kasat mata). Cara mereka bersepakat biasanya dengan bersemedi atau menggunakan perantara atau ilmu kanuragan. Ada yang ditambah kopi, degan (kelapa muda), bubur, dupa, dan lain sebagainya. Selain hal-hal di atas, acara Suran juga mempunyai satu olahan makanan yang khas dan hanya ada ketika perayaan malam satu suro. Makanan khas untuk acara Suran itu adalah Bubur Suran / Bubur Suro. Bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat magis. Bubur suro identik dengan lambang, dan syarat dengan makna, oleh karena itu ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro. Menurut mbah Yatimah warga dusun Kaliabon yang sudah berusia 76 tahun, bubur suran terbuat dari beras, santan, jahe, sereh, dan daun salam ditambah dengan 7 jenis kacang-kacangan yang terdiri dari kedelai hitam, kacang merah, kacang hijau, jagung, kacang tolo, kacang tanah, dan kacang mede. Jenis kacang
yang digunakan sudah turun temurun warisan nenek moyang namun seiring berjalannya waktu jenis kacang tersebut ada yang menggantinya dan yang paling penting berjumlah tujuh jenis. Semua bahan tersebut direndam selama satu malam sebelum dimasak menjadi bubur. Jenis kacangkacangan yang ditambahkan harus tujuh karena itu mempunyai makna tersendiri. Makna dari tujuh itu adalah tujuh melambangkan jumlah hari dalam satu minggu dan maknanya dalam hidup setiap hari harus selalu mempunyai tekad dan keberanian. Semua tindakan harus didasari dengan niat yang baik dan semua tindakan harus mempunyai manfaat bagi semua. Cara memasak bubur suro yaitu semua bahan dicampur menjadi satu setelah direndam selama satu malam. Bubur Suran ini biasanya disajikan bersama nasi tumpeng dan sayur yang dimasak dengan bumbu suro. Semua makanan tadi didoakan kemudian dimakan bersama ketika acara tirakatan.
BOROBUDUR
Simbah Jiguh Jogodipuro oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
“Simbah jiguh Jogodipuro niku petugas jaga jaman belanda pendereke Pangeran Diponegoro sing ditugasi njaga wilayah perbatasan Wanurejo lan Borobudur. Kata Mbah Sutarjo, 60 th dusun Jligudan. Simbah Jiguh jagadipuro niku Orangnya sangat kejem dan berani pada massanya hingga ketika meninggal dimakamkan dusun Njligudan, dia adalah orang pertama yang di makamkan didusun sini, sehingga dianggap sebagai Cikal bakal dusun Njligudan. Dahulu ketika di jaman jepang penduduk di sepanjang sungai progo diwajibkan ikut Latihan tesok( silat jepang) oleh penjajah jepang diantara dusun Jligudan sampai mpuloh klatahkan. Selain itu penduduk juga disuruh menanam pohon Rami yang oleh Jepang dipergunakan guna membuat baju masyarakat dusun. Selanjutnya ketika selesai diajari latihan Tesok hingga pintar lambat laun terjadi pemberontakan oleh warga desa maka muridnya berani dengan gurunya sehingga mereka mengalami kekalahan. Satu senjata yang dia takuti oleh penjajah jepang adalah bambu runcing. Hal ini disebabkan karena bambu runcing tadi di suwuk oleh sesorang yang sakti dan mempunyai kepintaran dalam persenjataan yang bernama mbah kyai subekti parakan temanggung. Sehingga
begitu bambu runcing tadi dipergunakan oleh rakyat dalam berperang membawa hawa yang menakutkan. Sejarah diadakan ziarah kubur di jliguban sebagai wujud rasa syukur terhadap sesepuh desa antas keselamatan dusun Njligudan, atas keselamatan desa dengan mengirimkan doa thd leluhur yang sdh meninggal secara bersama sama krn hal ini sebagai wujud darma bakti anak cucu terhadap leluhur. dengan menggunakan doa tahlil dan doa bekti terhadap orang tua. Zaroh kubur ini diadakan sejak jaman dahulu dan diawali sejak sore hari sambil mengadakan sedekah duisun sambil membersihkan dusun dengan bergotong royong dengan semua penduduk dusun. Dengan harapan agar menciptakan kebiasaan agar tidak terputus nilai sejarahnya dari anak cucu hingga akhir jaman nanti.
BOROBUDUR
BOROBUDUR
Mitos Hanto Lapre oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
Penunggu Kali Progo oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
“Le, ayo mulih wes sore mengko dipangan hantu lapre lho” begitu kata orang tua zaman dahulu di Ngaran Krajan. Muh Sobari adalah tokoh adat di Dusun Ngaran. Sebuah adat lisan yang turun temurun dikalangan orang-orang Borobudur terutama di Dusun Ngaran adalah adanya hantu Lapre. Hantu lapre sangat terkenal pada zamannya. Dahulu sebelum pemugaran Candi Borobudur konon katanya ada seorang Antropolog Belanda yang hidup dijaman 1821-1882. Lapre meninggal di Borobudur karena sakit. Setelah kejadian tersebut Lapre dimakamkan di bukit Njaten, yang sekarang menjadi Ngaran II.
Kemudian erjadi penggusuran makam oleh pihak TWC kemudian makam Lapre dipindah ke Dusun Gendingan. Makam Lapre berada di tengah-tengah antara makam dusun Ngaran dan Kenayan. Dengan adanya cerita ini, sebelum adanya TWC, mitos hantu Jenggot Laphre dipercaya telah menyelamatkan Candi Borobudur dari kerusakan oleh anak anak kenayan dan Borobudur. Saat ini mitos tersebut sudah tidak ditakuti lagi oleh masyarakat sekitar sebab pesatnya pembangunan membuat makam Lapre tidak lagi mistis.
Penunggu Kali ProgPagi yang cerah, aku mengantar adikku untuk membuat tugas sekolahnya. Tugas kali ini bertemakan alam sekitar, entah adikku akan membuat apa yang jelas aku diajaknya ke sungai progo Dusun Jligudan yang baru-baru sedang ada proses pembangunan untuk wisata Klatakan. Sambil menunggu adikku menyelesaikan tugasnya, aku berkeliling ke sungai progo untuk melihat indahnya pemandangan dan menikmati suara air yang bergemercik memberikan suasana tenang. Hembusan angin di bantaran sungai progo yang menyejukkan membuatku betah berlama-lama disana. Tanpa sengaja aku bertemu dengan Pak Tarjo warga Dusun Jligudan yang sedang mencuci tikar di bantaran sungai progo. “loh Pak Tarjo?” tanyaku keheranan karena aku mendadak bertemu dengan beliau. “iyo nduk, kok koe nang kene esuk-esuk ngopo?” Tanya beliau. “niki mlampahmlampah kalih kekaring. Sek nyuci kloso nopo Pak?” tanyaku karena ia sedang membawa tikar dan meletakkannya di bantaran sungai. “iya iki, ben gampang tak kumbah nang kene”. “ben cepet niku teko keleke Pak haha” candaanku dengan beliau memecah suasana. “wah hayo tapi engko aku seneni mbok wedok” begitulah timpal beliau. Setelah beberapa saat aku berjalan-jalan di
sekitar bantaran sungai dan selesai bermain air aku duduk di tepi sungai sambil menikmati angin yang berhembus. Pak Tarjo yang selesai mencuci tikar dan sedang menjemur tikar di atas bebatuan menghampiriku. Lalu kami mengobrol banyak hal. Ada satu hal yang membuatku penasaran dan mengundang rasa ingin tahu aku lebih jauh lagi. Hal itu adalah obrolan mengenai kuncen kali progo. Kuncen adalah seorang yang dianggap mampu berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata penunggu suatu daerah, atau sering disebut juga juru kunci. Awal mula obrolan kami hanya sekilas bercanda bagai angin lalu, namun semakin lama kurasa semakin berat obrolan yang kami diskusikan. Beliau menceritakan bahwa bantaran sungai progo akan dijadikan sebagai tempat wisata, tapi ini baru proses pembangunan. Untuk membangun di tempat yang tidak biasa ini (angker) itu ada prosesnya, tutur Pak Tarjo padaku. Kali progo terkenal mistis karena banyak penghuni tak kasat mata atau makhluk gaib disana. Ibaratnya di sungai progo itu juga terdapat kehidupan gaib jadi kalau kita mau kesana harus kulonuwun (permisi) terlebih dahulu, jelas Pak Tarjo padaku. Hal itu seketika membuat bulu kuduk naik mengingat pembicaraan itu masih di sungai
progo. Sebelum lahan dibuka untuk tempat wisata ternyata sang kuncen sudah berkomunikasi untuk meminta izin kepada penunggu progo tersebut. Proses komunikasi mereka melalui meditasi. Setelah terjadi kesepakatan bahwa boleh dijadikan tempat wisata dengan syarat tidak dijadikan tempat maksiat barulah pembukaan lahan dilakukan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar bergotong royong untuk membersihkan sekitar tepi sungai dan membuat akses jalan yang layak untuk menuju ke sungai progo. Sepanjang sungai progo Dusun Jligudan ada penunggu atau penguasa nya yang disebut simbah Joyo yang mempunyai anak bernama Winarti. Winarti adalah sosok penunggu kali progo yang berparas ayu dan rupawan. Untuk membuka lahan disana sang kuncen meminta izin kepada Winarti. Setelah itu sang kuncen mengajak untuk melakukan mujahadah dengan mengundang seluruh warga Jligudan di tepi sungai progo tersebut. Tujuan diadakannya mujahadah adalah supaya proses pembangunan wisata baru berjalan dengan lancar dan memohon doa kepada Tuhan agar diberi perlindungan dan kesuksesan. Mujahadah itu diisi dengan tahlil dan membaca surat yasin. Selain mujahadah beberapa tokoh masyarakat Dusun Jligudan (takmir masjid) diajak berziarah ke makam kyai Nur Muhammad yang berada di Ngadiwongso selama tujuh kali setiap hari Jumat berturut-turut untuk meminta berkah dari Tuhan yang maha kuasa namun melalui ziarah ke sana. Pada akhirnya terlaksanalah pembukaan lahan untuk pembuatan wisata baru di Dusun Jligudan yang bertempat di Klatakan Sungai Progo. Atas doa-doa yang selalu dipanjatkan dan permohonan izin dengan sang penunggu sudah dilaksanakan sampai sekarang tidak pernah ada yang diganggu ketika beraktivitas di klatakan sungai progo tersebut. Masyarakat bisa bersantai, mencari ikan,
mencuci pakaian atau perabotan di sungai progo tersebut dengan tenang dan nyaman. Bahkan setiap hari Minggu pagi kawasan tepi klatakan kali progo tersebut digunakan masyarakat untuk senam, khususnya oleh ibu-ibu dan pemudi Dusun Jligudan.
BOROBUDUR
Sedekah Dusun Njligudan oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
“Sedekah dusun niki sampun dangu kita lampahi mas. Kados saking tiyang sepuh kulo rumiyin sampun wonten” kata mbah Sugeng, 80 tahun, sesepuh dusun Njligudan sambil duduk diteras masjid bersama dengan 50 warga dusun yang malam itu mangadakan sedekahan. Sedekah dusun ini sudah berlangsung kira kira 150 tahun dihitung dari sesepuh dusun yang paling tua yang berumur 60 tahun hingga sekarang. Dan kegiatan ini dilakukan selain bulan Rajab, besar dan Ruwah. Malam itu mereka membawa bungkusan makanan dari rumahnya masing masing seperti lauk pauk, sayuran nasi daun pisang sebagai alas makan pengganti piring dan kerupuk dan bagi yang tidak membawa makanan dari rumah bisa menyerahkan uang seikhlasnya. Kemudian setelah sholat siya’ dikumpulkan diteras masjid ditaruh ditengah dan kemudian dilakukan duduk bersama melingkar yang disebut kepungan oleh semua yang hadir dan dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh mbah kaum, spiritual dusun yang ditunjuk menjadi pengantar dari setiap upacara di dusun tersebut. Dengan membaca doa alfatihah yang ditujukan bagi pendiri dusun tersebut dan beberapa sesepuh dusun yang dipercaya melindungi
dusun tersebut antara lain, kyai Jogodipuro dan nyai jogo dipuro.sedekah dusun ini ditujukan untuk memperserat hubungan silaturahmi antar warga dusun yang majemuk di dusun Njligudan, mengingat arwah sesepuh desa, permohonan keselamatan di alam kubur bagi mereka yang sudah meninggal dan ajang musyawarah dusun. Dahulu kegiatan ini hanya dilakukan oleh laki-laki saja, namun perkembangan jaman dan situasi dusun berkembang maka sekarang sudah melibatkan kaum perempuan. Malam itu selain sesepuh Pak sugeng didampingi oleh penata acara bapak Muslih dan pemimpin tahlil bapak Sutarjo. Di Masjid At taqwa kegiatan tersebut berlangsung dengan khidmat. Masjid ini dahulunya hany dibangun dari bahan baku Bambu bahkan sebelum ada mushola ini mereka mengadakan kegiatannya di pak dukuh kelon di tempat bapak carik.
BOROBUDUR
Pijat Urut Mbah Tarjo oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S. Dinginnya malam menyelimuti, badan yang telah seharian bekerja mendadak sakit ketika diterpa udara malam. Akhirnya akupun memutuskan untuk memijatkan badanku ini “ndandani awak” kalau orang jawa menyebutnya. Aku tidak perlu berpikir lama karena di Desaku, Desa Borobudur, ada satu tukang pijit yang terkenal. Semua orang yang memijitkan badannya cocok dan tidak lama kemudian sembuh. Tukang pijat ini bernama Pak Tarjo, Sutarjo lengkapnya. Beliau tinggal di Dusun Jligudan. Rumahnya persis di pinggir jalan dekat dengan laundry di samping kanannya dan warung makan sederhana di sebelah kiri. Rumah dengan dinding keramik merah yang di depannya terdapat kentongan menjadi ciri khas rumah beliau sehingga mudah dijumpai.
menggunakan jasanya. Ketika aku bertanya “kalau belum ada yang komplain berarti semua pasien cocok ya Pak dengan njenengan, ada tips khusus mboten nggih supados saget ngoten niku?” dengan tenang dan santainya beliau menjawab “opo-opo nek dilakoni nggo ati ro ikhlas tulus kui bakale do cocok, bakale dadi berkah. Ora lali kabeh mau nyuwun karo sek kuasa mergo sek iso marike kui ming Gusti Allah nek aku kui ming lantarane”. Percakapan dalam bahasa Jawa ini kalau diartikan adalah tips supaya pasien tidak complain itu harus menjalankan tugas menggunakan hati yang tulus dan ikhlas supaya menjadi berkah. Semua kegiatan harus berdoa kepada Allah karena Allah yang mampu menyembuhkan sedangkan aku hanya perantaranya saja.
Jari jemari Pak Tarjo seakan sudah terbiasa dan sangat terlatih untuk memijat setiap badan pasien yang datang ke rumahnya. Tidak diragukan lagi, semua itu karena beliau menekuni profesi ini sudah lebih dari 30 tahun lamanya. Jika dalam keadaan mendesak atau sangat penting sehingga pasien tidak bisa datang ke rumahnya Beliau bersedia dihubungi melalui telepon selularnya dan siap meluncur ke rumah pasien. Sungguh sangat profesional beliau dalam melakukan pekerjaanya. Belum pernah ada satu pun pasien yang komplain setelah
Tidak diragukan lagi kalau beliau sudah “go nasional” aku menyebutnya. Kenapa demikian? Karena pasien beliau tidak hanya lingkup Desa Borobudur. Pasien beliau juga tidak hanya warga masyarakat lokal (Jawa) melainkan sudah sampai masyarakat mancanegara. Menakjubkan bukan?!. Melalui jemari Pak Tarjo segala keluhan sakit di badan bisa disembuhkan. Mulai dari pegal-pegal, kesleo, memar, syaraf, bahkan ketempelan pun beliau bisa menyembuhkannya. Ketempelan adalah ketika badan diganggu oleh makhluk halus.
Kejadian seperti itu orang jawa menyebutnya ketempelan. Pak Tarjo sering dipanggil ke hotel manohara dan amanjiwa ketika tamu di sana ada yang ingin merasakan traditional massage. Dari situlah Pak Tarjo mempunyai pasien-pasien mancanegara (bule) dan luar pulau seperti Bali. Pada awalnya setiap pasien yang datang akan ditanya apa keluhan yang dirasakan. Setelah pasien menjawab maka Pak Tarjo akan berdoa sesuai dengan keluhan yang disampaikan kemudian memijat badan orang tersebut secara perlahan. Selang 5-10 menit barulah beliau mencari sumber penyakit yang ada di tubuh pasien. Misalkan saja orang kesleo, maka Pak Tarjo akan mencari syaraf yang berhubungan dengan daerah tubuh nyang kesleo supaya memijatnya tepat sasaran. Menurut Pak Tarjo sebenarnya pijat saja tidak cukup, harus diimbangi dengan doa yang sesuai dengan anjuran dan syariat islam. Semua doa yang dilafalkan beliau tercatat dalam alquran jadi tidak musyrik, tuturnya. Ilmu memijat dan mampu mengobati orang ketempelan beliau didapat dari leluhurnya melalui tirakat. Beliau pernah bertirakat 41 hari ditempat almarhum Kyai Safak yang beralamat di Gentan Wetan Borobudur. Tirakat itu dimulai pada malam 1 sura, selama 41 hari beliau hanya makan dan tidur satu kali selebihnya beliau melakukan meditasi.
Hingga akhirnya beliau mendapat Petunjuk bagaimana cara mengobati orang sakit melalui pijat. Sewaktu memijat beliau tidak boleh nakal, dalam artian tidak boleh berbuat yang tidak terpuji kepada pasien karena hal itu bisa melunturkan ilmunya.
BOROBUDUR
Manasik Salat Hajat oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S.
Sinar rembulan menunjukkan eksistensinya. Sunyi, senyap, terdengar hembusan angin kecil yang menerpa tubuh kecilku ini. Malam itu aku berencana mengikuti manasik di rumah Bapak Sutarjo. Tepat pukul 23.15 WIB aku berangkat menuju rumah Bapak Sutarjo. Ditemani oleh kuda besiku yang setia mengantarkan kemanapun aku pergi. Aku berangkat seorang diri dengan perasaan sedikit khawatir karena malam itu benarbenar sunyi, sepi. Disepanjang jalan aku hanya bertemu oleh satu dua orang pengendara motor yang memacu kendaraanya dengan sangat cepat, sedangkan aku? Aku tidak berani melaju cepat karena udara yang sangat dingin menusuk tulangku. Jarak rumahku dengan rumah Bapak Sutarjo tidak jauh, sekitar dua kilometer saja. Dusun Jligudan tepatnya, tetangga dusun dengan aku. Itu menjadi salah satu alasan kenapa aku berani kerumah beliau seorang diri. Sesampainya di rumah beliau aku memarkirkan kuda besiku di sebelah rumah. Aku melihat pintu rumahnya yang masih terbuka aku segera bergegas masuk. “Tok tok tok … assalamualaikum”. Aku mengetuk pintu sambil mengucap salam dan tersenyum
simpul. “Waalaikumsalam, kene mlebu dek, ro sopo le rene?”. Tanya Pak Sutarjo sambil melihat keluar. “sendirian Pak hehe kulo mboten telat kan niki?”. Tanyaku pelan karena di rumah beliau sudah ada empat orang tamu yang datang. “ora kok, iki isih sejaman neh le mulai karo nunggu wong 2 sek hurung teko” jawabnya lembut seakan memaklumi aku yang baru pertama kali datang dan belum tau kebiasaan di sana. Kemudian sembari menunggu dua teman lagi aku mengobrol sedikit dengan orang-orang yang sudah lebih dulu sampai sana. Ditemani oleh teh hangat buatan Pak Sutarjo dengan kue yang berjajar rapi di meja kami saling bertanya mengenai keseharian kami masing-masing. Tak lama kemudian dua orang tersebut datang. Jarum jam telah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Setelah semua orang hadir, Bapak Sutarjo meminta kami untuk bersiap-siap karena acara manasik segera akan dimulai. Manasik adalah salat malam yang dilakukan paling awal pukul 24.00 WIB dan paling akhir dilakukan pukul 03.00 WIB.
Rangkaian kegiatan ketika manasik adalah salat hajat 2x dilanjut dengan doa bersama. Ketika akan melakukan salat hajat semua orang wajib bersuci terlebih dahulu. Ketika akan melaksanakan salat hajat dianjurkan supaya jangan tidur terlebih dahulu. Hal itu merupakan satu keprihatinan (puasa tidak tidur dari pagi sampai akan melaksanakan salat hajat). Salat hajat bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah. Salat ini bertujuan untuk meminta kepada sang pencipta supaya apa keinginan atau hajatnya segera terkabul. “ngopo salat hajat kudu tengah wengi? Kui mergo awak dewe jipuk berkahe wong sek turu mau, dewe oleh berkah luwih akeh mergo gelem prihatin” kata Bapak Sutarjo pelan memberitahu aku yang memang dalam hati aku bertanya kenapa harus tengah malam dan kenapa tidak boleh tidur terlebih dahulu. “salat iki yo iso dilakukan disembarang tempat asal tempat kui tenang, intine ora akeh gangguan. Misal arep dilakoni nang kebon po kali yo rapopo asal nggo alas ojo nang lemah” tambahan dari tuturan beliau yang semakin membuatku bisa membayangkan mengenai salat hajat. Jarum jam menunjukkan pukul 00.30. Setelah bersuci semua orang bersiap menempati posisi membentuk saf untuk segera melaksanakan salat. Semua lampu dimatikan, benar-benar gelap gulita dan tenang. Suara imam yang nyaring terngiangngiang di telingaku. Selesai salat kami melakukan doa bersama. Doa yang khusuk, panjang, dan penuh pengharapan kami panjatkan. Satu setengah jam berlalu, barulah lampu kembali dinyalakan dan kamu berbincang-bincang sebentar. Acara manasik ini dilakukan rutin selama 40 hari selama bulan Asura. Bulan-bulan biasa dilakukan satu minggu sekali setiap malam jumat. Apabila ingin melaksanakan sendiri dirumah maka tidak ada hari-hari khusus, karena semua hari adalah baik
dan setiap hari kita boleh meminta kepada sang pencipta. Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Aku segera bergegas untuk pulang mengingat mata ininsudah tidak bisa diajak kerja sama. Mataku dilanda kantuk yang tak bisa kutahan, serasa ada lem super lengket yang menempel dikelopak mataku. Sebelum semua tidak bisa aku kondisikan, aku segera berpamitan. Dengan mata yang sangat berat, aku berusaha pulang. Aku mengambil kuda besiku dan perlahan berjalan pulang. Bertemu dengan kasur adalah hadiah terindah di pagi hariku. Tak terasa mentari telah mengintipku melalui selasela celah atap kamar. Aku terbangun dari tidur
pendekku dan bergegas mandi untuk melanjutkan aktivitas, kebetulan sekali pagi itu aku diundang ke rumah Ibu RT untuk menghadiri acara pembubaran panitia Agustus. Tidak sengaja aku bertemu dengan Ibu Budiyah. Kami pun saling bertegur sapa dan akhirnya sedikit mengobrol. Ibu Budiyah adalah ketua majelis Taklim Dusun Kaliabon. Aku menceritakan pengalamanku pertama kali mengikuti manasik di rumah Bapak Sutarjo semalam. Ternyata di Dusun Kaliabon juga ada, tapi dilakukan di jam-jam wajar yaitu 19.30-21.00 WIB. Warga Dusun Kaliabon menyebutnya dengan mujahadah. Rangkaian kegiatannya hampir sama. Yang membedakan adalah mujahadah tidak diawali dengan salat hajat terlebih dahulu. Mujahadah juga tidak harus mematikan lampu dan dalam keadaan gelap dan tenang. Mujahadah sendiri bertujuan untuk meminta perlindungan kepada sang pencipta
dari segala mara bahaya. Mujahadah di dusun Kaliabon biasa dilakukan setiap malam minggu bertempat di halaman rumah Ibu Budiyah. Biasanya dihadiri oleh mayoritas ibu-ibu. Selain mujahadah, Dusun Kaliabon juga terdapat hadrah. Hadrah sendiri adalah musik yang bertema islami dengan lirik sholawat Nabi dan diiringi dengan tabuhan rebana. Rebana adalah alat musik khas melayu yang berbentuk bundar dan pipih yang dimainkan dengan cara ditabuh. Hadrah dusun Kaliabon dibimbing oleh Ibu Lilis Tina. Setiap satu minggu sekali diadakan latihan. Pada malam sabtu ibu-ibu biasanya melakukan latihan rutin. Sedangkan pada malam rabu remaja dusun Kaliabon yang berlatih. Setelah melewati obrolan singkat tadi, akupun tiba di rumah Ibu RT. Disana aku bertemu dengan Bapak
Rohmad. Aku kembali bertegur sapa layaknya orang baru bertemu. “sampun ketwau nopo Pak?” tanyaku mendahului percakapan. Beliau dengan cepat menjawab pertanyaanku “ora kok, lagi wae tekan. Mau kae aku genah kono lagi ngobrol karo Mbak Bud” sambungnya untuk melanjutkan perbincangan kami. Kemudian aku mengulas sedikit apa obrolanku dengan Ibu Budiyah. Sebenarnya aku hanya iseng menceritakan hal itu kepada beliau supaya tidak terkesan kaku saat berbicara dengan beliau, mengingat belum banyak juga yang datang. Akhirnya kami pun mengobrol sembari menunggu yang belum datang. Topic yang kami obrolkan adalah seputar keagamaan. Dan ternyata selain kegiatan di atas, masih banyak kegiatan keagamaan yang membudaya di Desa Borobudur, salah satunya adalah yasinan atau tahlilan. Kegiatan tersebut adalah membaca surat yasin yang biasanya dilanjutkan dengan tahlil. Tahlil sendiri adalah mengirim doa kepada orng yang sudah meninggal mendahului kita. Tahlil dikhususkan untuk mendoakan arwah sesepuh yang sudah meninggal dengan tujuan supaya mendapat tempat yang bagus di alam yang telah berbeda. Tahlil diadakan tidak semata-mata hanya untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, menurut Bapak Rohmad tokoh agama Dusun Kaliabon tahlil itu juga mengajarkan kita untuk berbagi dan saling tolong menolong. Seketika terbesitlah pertanyaan mengapa demikian dalam otakku. Beliau menjelaskan bahwa dalam
rangkaian tahlil atau membaca surat yasin yang dikhususkan untuk orang yang sudah meniggal adalah pertama pasti berdoa dan kemudian dilanjutkan jamuan makan yang sudah disediakan. Sisi gotong royongnya tercermin ketika sedang menyiapkan makanan, masyarakat akan saling membantu menyalurkan makanan atau minuman yang di suguhkan. Akan tercermin juga budaya sopan santun yang ditandai dengan mendahulukan orang yang lebih tua. Biasanya tahlil atau yasinan ini dilaksanakan pada malam jumat dan bertempat di masjid. Dengan penuh rasa penasaran aku bertanya kepada Pak Rohmad. “nopo tahlilan niku khusus ting masjid? lajeng pripun niko misal enten tiyang meninggal?”. “yo ora, jane ki nang ngomah rapopo tapi biasane nek tahlilan kui pesertane luwih seko siji. Nek nang masjid kae acara rutin, tapi nek nang ngomah biasane diundangi” beliau menjawab dengan senyum simpulnya mendengar aku bertanya seperti itu. Aku mendadak terdiam seketika, merenungkan bahwa ternyata banyak asas kesopanan yang dapat diambil dan diajarkan langsung ketika ada acara seperti itu, tidak sematamata mengajarkan unsur agama keagamaan saja. Ada nilai gotong royong, silaturahmi, mengajarkan sedekah, sopan santun, saling tolong menolong, bahkan kerja tim dapat dilihat melalui kegiatan tersebut. Kegiatan tahlilan atau yasinan ini mayoritas warga Desa Borobudur melakukannya. Sungguh luar biasa bukan? Obrolan kami terus berlanjut mengalir begitu saja bagai air menyusuri jalannya hingga pada akhirnya aku bertanya mengenai slametan. Slametan atau genduri, hal itu masih terjadi dan dilakukan di Desa Borobudur. Menurut Bapak Rohmad genduri adalah wujud rasa syukur, meminta berkah, atau memperingati peristiwa. Genduri ini hampir sama dengan tahlilan. Rangkaian acaranya pun mirip.
Hanya saja dalam genduri ketika pulang pasti membawa buah tangan. “genduren ki yo podo koyo tahlilan, yo gawe dongake wong sek di slameti kui mau, utowo jaluk berkah opo sek lagi dislameti. Tapi nek genduren baline nggo berkat” jelas Bapak Rohmad kepadaku sambil tertawa kecil. “genduren yo mencerminkan gotong royong ro silaturahmi, sek jelas kon sedekah kui mau” timpalnya sebelum aku menanggapi pembicaraan beliau. “niko nek genduren biasane kok tiyang kakung, nopo putriputri niku boten angsal?” tanyaku dengan sedikit mengerutkan dahi. Kemudian beliau menjelaskan sebenarnya boleh perempuan ikut genduri atau tahlil atau yasinan, namun lebih diutamakan laki-laki sebab perempuan lebih baik berdiam diri di rumah (di dapur/di belakang). Perempuan bertugas menyiapkan segala keperluan. Maka dari itu genduri biasanya dihadiri oleh laki-laki dan mayoritas yang sudah berkeluarga. “kan nek arep gendurenan kae perlu nyiapke sek gawe maem karo sek digowo bali. Lha kui tugase sek setri-setri mau. Nek sek setri melu jagongan nang ngarep nko sopo sek masak?” Tanya Bapak Rohmad sedikit bercanda kepadaku. “hanggih nggih Pak, mangkih sek nyiapke cetingane sinten? hehe” timpalku mengimbangi candaan beliau. Perbincangan kami pun selesai sampai disitu sebab acara di rumah ibu RT segera akan dimulai. Tak mengherankan apabila di Desa Borobudur masih sangat banyak kegiatan berbasis islami karena masyarakat Borobudur mayoritas beragama islam. Sehingga adat dan budaya masih sangat kental dengan unsur agama yang mereka peluk. Namun poin yang terpenting dalam hal ini adalah harus saling menghargai apapun agama yang dipeluk dan ambil sisi positifnya. Banyak sisi positif yang dapat diambil seperti laku prihatin, gotong royong, silaturahmi, dan bersedekah. Mengenai kebudayaan sewajarnya saja kita perlu
meneruskan (nguri-uri) supaya anak cucu kita kelak bisa menikmati berbagai keindahan kegiatan yang diciptakan dengan adanya budaya. Sungguh hari yang penuh makna bagi aku bisa mengikuti kegiatan manasik hingga mengobrol sedikit dengan tokoh agama sehingga banyak hal yang dapat aku pahami dan aku petik.
BOROBUDUR
Memetri Gunung Bakal oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S. Gunung Bakal terletak di sebelah Barat Candi borobudur yang berada di atas aliran jalur danau Purba yang diyakini masyarakat Borobudur sebagai Gunung yang menjadi pembuka pemugaran candi borobudur yang kedua. Gunung ini menjadi penting karena diatas terdapat makam sesepuh desa yang bernama Mbah Maito dan Nyai Maitio yang dipercaya menjadi cikal bakal desa maitan dan dipercaya juga bagi setiap Lurah Borobudur yang akan maju menjadi Lurah jika masuk ke gunung bakal dan melakukan ziarah ke makam akan dikabulkan permohonannya. Ismail atau Mbah Mail adalah Juru kunci gunung Bakal dan dipercaya merupakan pengantar bagi siapa saja yang hendak melakukan keinginannya dan meminta jasanya untuk menyampaikan ke leluhur desa tersebut yang bernama Mbah Maito. Mbah maito ini merupakan cikal bakal dusun maitan yang dipercaya telah mengayomi dusun tersebut. Secara spiritual beliau pernah didatangi dan diceritakan bahwa Mbah Maito berasal dari Bulu, Tempel , Kalangan dan merupakan anak dari Brawijaya. Ayah beliau Bapak Kerto Semito merupakan orang yang jarang tidur dirumah. Makam Mbah Maito dan Nyai maito ditemukan pada tahun 1961 oleh bapak Sutrisno penduduk yang tinggal di sekitar makam. Dahulunya jalur
makam tersebut adalah jalur turun ternak mencari makan dari gunung bakal. Beberapa alat dapur dan tembikar seperti kendi, Kekep dan kolongan banyak ditemukan di sekitar makam. Bapak sujar yang juga tinggal di sekitar makam merupakan anak bapak sutrisno salah satu penduduk yang sering mendapatkan wisik atau bisikan dari Mbah maito juga mengatakan bahwa di gunung bakal tersebut selain mbak maito juga ada mbah dan nyai tanjung yang merupakan cikal bakal dusun Tanjungan. Setiap sura penduduk dusun Maitan selalu mengadakan upacara nyekar dan yaroh ke makam mbah maito secara bersama sama baik anak anak dewasa dan tua mengadakan doa bersama guna memetri budaya dan dilakukan sejak maghrib hingga isya dipimpin oleh sesepuh dusun, mbah kaum. Gunung bakal tersebut banyak didatangi oleh calon Lurah yang akan maju menjadi Lurah di desa Borobudur. Banyak lurah lurah Borobudur yang berkunjung ke gunung bakal tersebut dimulai dari Lurah Muhadi, Sarwoto, Bustoni , Maladi, Suherman dan Lurah sekarang bapak Ujang. Tema suran tahun ini menurut mbah Mail masih sama seperti tahun sebelumnya Banyak orang meninggal dan hanya doa yang mampu menghilangkan penyakit tersebut.
BOROBUDUR
Senjata Tradisional oleh: Diyah Nur A. Audrey Florezora S. Menurut Bapak Waribi sesepuh Satrio Metaram 68 mengatakan bahwa Pusaka dan senjata tradisional memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Senjata tradisional adalah senjata yang dibikin meniru bentuk aslinya, sedangkan pusaka memiliki makna pembuatan senjata dengan laku dan pembacaan mantra yang ditiupkan dalam senjata tersebut sehingga memiliki kekuatan yang disebut energi.
2. Tumbak
Menurut nara sumber yang lain yaitu bapak Sumandiyono,bahwa senjata tradisional adalah senjata yang dimiliki oleh para leluhur yang dipergunakan untuk menambah sugesti dalam melakukan sesuatu, seuai dengan keinginannya. Berikut beberapa senjata tradisional yang ada di dusun njligudan borobudur: 1. Keris
3. Trisula
4. Gada
10. Kol Bumpet 7. Badik
9. Jimat Tongkat Ular
5. Pedang
11. Tongkat Pandito 8. Patram
6. Golok
Narasumber:
Bumiharjo
BUMIHARJO
Tradisi Suran Desa Bumiharjo oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
Tradisi malam 1 suro di desa kami, Desa Bumiharjo. Konon, saat malam satu suro deretan cahaya obor atau oncor dari Desa Majaksingi ke gunung Suroloyo dapat terlihat dengan mata telanjang dari Desa Bumiharjo sebelum tahun 2000-an. Pemuda di Desa Bumiharjo banyak yang turut serta merayakan tahun baru untuk menginap di puncak Suroloyo. Berdasarkan penuturan Mbah Hali yang berusia 103 tahun, para pemuda tersebut kebanyakan laki-laki, mereka berangkat berjalan kaki dari rumah sampai puncak Suroloyo sdengan tujuan masing-masing diantaranya, ada yang sekedar turut serta meramaikan, ada yang berkeinginan untuk mendirikan tenda, ada yang ingin melihat prosesi atau hiburan yang ada disana dan ada yang sekedar melakukan leklekan (begadang). Namun, hal ini sudah banyak ditinggalkan oleh generasi penerus sekarang. Karena perkembangan zaman, sudah jarang bahkan hampir tidak ada lagi para pemuda yang merayakan malam satu suro di Bukit Suroloyo.
Tradisi suran yang ada pada beberapa dusun di Desa Bumiharjo umumnya mengadakan Acara Auman yaitu perkumpulan yang dihadiri masyarakat satu dusun yang bertempat di masjid atau mushola. Acara berupa tahlil, tausiyah dan dilanjutkan makan bersama. Makanan umumnya akan digilir dari warga RT, namun ketika malam suro panitia dusun akan menambahkan ayam ingkung dan klubanan dalam menu makannya. Acara Auman dihadiri oleh para pemuda dan bapak-bapak, sementara para ibu-ibu memasak dan mempersiapkan makanan yang akan disajikan pada acara auman tersebut. Namun Acara Auman kali ini di masjid sigug akan dilaksanakan pada malam ke 10 suro dan dibarengi dengan acara menyantuni anak yatim dan piatu. Pada masa pademi seperti saat ini, acara malam suro sesuai dari panitia ditiadakan dan atau dibuat sederhana. Masyarakat Desa Bumiharjo mayoritas beragama Islam, oleh karena itu sebagian besar kegiatan malam satu suro digelar dengan nuansa islami yaitu
untuk menyambut tahun baru Hijriyah seperti doa dan tahlil bersama Akan tetapi di Dusun Sigug peringatan malam satu suro tetap dilaksanakan di RT masing-masing. RT 07 berada di rumah Bapak Tegel, RT 06 di rumah Bapak Supangat dan Rt.8 berada di rumah Bapak Harjo. Acara ini bertujuan mengirim doa untuk para leluhur dan doa bersama agar pandemi ini segera berlalu serta doa untuk memohon kesembuhan bagi warga yang sedang sakit. Acara diawali dengan sambutan tuan rumah dan ketua RT dilanjut Tahlil bersama dan mendoakan para leluhur yang telah mendahului kita kemudian dilanjutkan doa agar di tahun baru hijriah ini jadi awal yang lebih baik agar pandemi ini segera berakhir sehingga masyarakat bisa beraktifitas seperti semula. Doa dan tahlil langsung dipimpin oleh bapak kaum atau modin. Adapun Sajian yang di hidangkan berupa snack jajanan pasar dan buah-buahan, disediakan pula Jenang Abang Putih dan Ingkung. Sajian yang dihidangkaan dilengkapi dengan ayam ingkung, klubanan dan jenang abang putih. Berdasarkan cerita Mbah Hali yang berusia 103 tahun, “Jenang Abang putih iku wujuting bekti lan pakhormatan marang leluhur ben slamet uripe utowo diibaratke getih lanang lan wadon”. Artinya : Jenang abang putih itu bentuk bakti dan penghormatan kepada leluhur supaya selamat hidupnya atau diibaratkan seperti sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan. sedangkan Ayam ingkung dijelaskan Mbah Hali sebagai berikut, “meper howo kamurkaning menungso koyo iri, srei,drengki lan umuk kanggo nyucekke awak”. Artinya : Menahan hawa nafsu atau sifat buruk
seperti iri, serakah, dengki, dan sombong untuk mensucikan diri. Ingkung biasa disajikan tengkurap dan seperti posisi sujud dimana sujud adalah dihadapan Tuhan kita harus menunduk dan merendah dalam keadaan yang suci. Selain itu sajian klubanan juga disajikan dalam acara suran ini. Klubanan atau urapan terdiri dari berbagai macam sayur rebus yang dicampur dengan parutan kelapa yang dicampur dengan bumbu. Berbagai macam sayuran tersebut diantaranya, kubis, kacang panjang, kecambah, dan bayam. Sayur Kecambah bermakna tumbuh atau hidup, Bayam bermakna ayem tentrem atau hidup yang tentram sedangkan kacang panjang memiliki makna pemikiran yang jauh kedepan. Sedangkan bumbu urap yang terbuat dari parutan kelapa memiliki makna urip atau hidup yang bisa menyatukan dan menghidupi. Semua hidangan tersebut disajikan pada awal acara, bertujuan supaya hidangan tersebut “mambu dunga”. Mambu dunga ini artinya, makanan yang telah didoakan
BUMIHARJO
Jamasan Padepokan Diponegaran oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
oleh semua hadirin dapat dinikmati oleh para tamu yang hadir dengan harapan mendapat berkah. Pada akhir acara salah satu warga memotong-motong ingkung untuk dibagikan kepada para tamu yang hadir.
Pada hari Senin malam selasa kliwon, kami dapat undangan ke rumah bapak farid Wibowo (48 tahun) untuk melakukan ritual jamasan. Ritual jamasan merupakan kegiatan merawat pusaka seperti keris, tombak, wesi kuning. Sesampai di rumah Bapak Farid kelompok kami langsung di sambut dengan wangi dupa yang berada di samping pintu masuk pendopo. Bapak nuril ismanto
menunngu di balik pintu dan mempersilahkan kami untuk masuk dan duduk yang sudah di persiapkan. Sambil menunggu undangan yang lain, kami berbincang-bincang. Acara jamasan di mulai, Bapak Farid membakar godorukem dan diletakkan di nampan terbuat dari tembikar dan di taburi bungga mawar dan
kenangga. Bacaan atau lafal tahlil diikuti oleh jamaah jamasan di padepokan. Ketika api kecil, bapak farid menambahkan lagi sehingga banyak jelaga terlihat menempel di lengan baju saya. Bau kemenyan, api serta lafal tahlil membuat bulu kuduk merinding. Tahlil selesai, istirahat dan pak farid mengabil sebatang rokok. Dirasa sudah cukup, acara jamasan di mulai dengan membacakan kidung Rahayu. Pak farid langsung mengambil air kelapa muda dan di siramkan atau diamsukkan kdalam bak yang sudah berisi air. Kembang setaman di taburkan di atas air didalam bak tersebut. Pak farid mengambil tombak dan membukanya tutup mata tombak. Dengan perlahan lahan memasukkan ke dalam bak sampai mata tombak tengelam. Tangan kanan pak farid mengambil irisan jeruk nipis dan mengosokkan jeruk ke mata tombak yang telah di Tarik dari dalam air. Ketika noda oksidasi besi terlalu banyak, bapak farid menyikat dengan sikat cucian. Ramuan rahasia padepokan (warangan) di oleskan pak farid sebelum di bersihkan lagi ditempat air bilas yang tentunya ada bunga stamannnya. Pusaka yang telah di jamas di berikan kepada murid padepokan untuk di keringkan dan diberi minyak sesuai dengan pusaka. Minyak zakfaron, misnyak kasturi, melati, mezeik di oleskan dengan sangat hati-hati. Pusaka utama selasai di jamas, bapak farid istirahat dan mengeluarkan makanan yaitu jenangmerah dan putih, dan nasi serta lauk untuk menjamu angota atau tamu jamasan. Selanjutnya jelas bahwa kita istirahat dan makan Bersama. Jenang merah putih ternyata untuk memperingati HUT RI ke 76 karena bertepatan dengan malam 17 Agustus 2021. Tiba-tiba bapak farid masuk ke kamar dan mengeluarkan sebuah golok stainlesteel yang di buktikan ketajamannya dengan memotong daun pisang berulang-ulang. Pak Fmanggil, “le, rene,
lungguh kene” dengan sigap murid bergegas dan langsung di potong rambut dari murid tersebut dengan golok, “sriing” bunyi golok memotong rambut murid tersebut. Pak farid mengambil salah satu pusaka yang sudah di jamas, waktu itu seperti ular melingkar yang matanya ada Mutiara (intan) dengan bahan wesi kuning. Pusaka itu di berikan kepada muridnya dan dibawa oleh murid tersebut. Pak farid memotong lagi rambut sei murid tetapi hanya ada bunyi “sring ngisring siring” rambut tidak terpotong. Tidak hanya rambut, tangan si murid (nuril ismanto) di ambil tangannya dan langsung di babat tangan itu dengan golok berulang kali, dan hasilnya tidak ada luka sama sekali. Tidak hanya kebal sajam, bapak farid mengambil senapan angin dan mengeluarkan kalung yang dia pakai. Gelas diambil dan di beri air jamas serta kalung tersebut di masukkan kedalamnya, setelah di letakkan cukup jauh, gelas tersebut di bidik, “jreet” gelas itu hanya bergoyang, diulang sekali lagi dan hanya bergoyang. Kemudian gelas di ganti dengan gelas teh saya. Di bidik lagi gelas itu dan “pyaar” gelas pecah berserakan. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.03 WIB kita pamit karena padepokan diponegaran masih ada acara membersihkan pusaka lainnya dan akan melakukan wirid sampai pagi.
BUMIHARJO
Auman (musyawarah dusun) oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
Dusun Sigug, desa Bumiharjo, kecamatan Borobudur setiap selapan sekali melakukan kegiatan auman. Auman adalah musyawarah dusun. Sedangkan selapan adalah hitungan kalender jawa selama 35 hari. Selapan dalam waktu tersebut akan mengulang perhitunggannya, misalnya jum’at kliwon maka 35 hari lagi akan ada jumat kliwon. Auman di dusun Sigug tidak harus satu slapan penuh, menyesuaikan dengan kegiatan yang ada atau sesuai keperluan. Auman disesuaikan seperti malam suro, malam idul fitri, atau malam 10 suro seperti yang barusan di adakan di dusun sigug. Auman sudah dilakukan sejak terbentuknya dusun Sigug. Pemimpin dari auman adalah bapak kadus yang sekarang ini adalah BBapak Lukanto (52) mengantikan bapak Darsono yang sudah pensiun. Auman di dusun Sigug di lakukan di serambi masjid dan pada waktu malam hari. Auman sebagai musyawarah serta penyampaian informasi dari pemerintah desa atau dari pihak luar. Auman
membahas musawarah pembangunan dusun, peraturan dusun, acara adat, acara hari besar dan semua yang berkaitan dengan hajat dari warga dusun Sigug. Waktu atau hari dan tanggal acara auman diumumkan sebelum jum’atan didusun Sigug serta mengingatkan kembali untuk RT yang membawa makanan sesuai gilirannya. Makanan yang disepakati adalah nasi, sayur dan lauk cukup untuk dimakan 4-6 orang. Jadi ada yang membuat makanan secara terpisah atau langsung dibuat 6
BUMIHARJO
Pituturan Ora Ilok oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
bungkus. makanan tersebut di bawa dan diletakkan di tengah tempat acara auman. Peletakan makanan mempunyai tujuan bahwa nanti makanan yang akan di makan sudah mendapatkan doa sehingga menjadi lebih berkah. Nasi tersebut akan dimakan setelah selesai acara dan apabila ada sisa akan di bawa pulang. Warga dusun Sigug setelah isya’ langsung berkumpul di serambi masjid. Berjabat tangan dan membayar iuran dusun sebesar Rp 5.000,00 ke bendahara dusun. Apabila dirasa sudah cukup yang hadir di mulai dengan pengantar dari kepala dusun. Kepala dusun memberikan informasi terkait pemerinthan, pembangunan dan program yang akan di lakukan di dusun tersebut. Tidak lupa, Kepala desa Bumiharjo Drs. Margito juga hadir untuk memberikan sambutan. Dilanjutkan dengan musyawarah yang di pimpin oleh kepala dusun. Setelah mufakat, dilanjutkan dengan tahlil bersama dan setelah selesai makanan di bagikan dan makan bersama. Namun pada malam hari ini, bertepatan malam 10 suro diadakan santunan untuk anak yatim piatu. Sehingga anak-anak tersebut di panggil dan di berikan santunan serta di doakan dan mengusap kepala mereka.
Penutupan acara dengan makan bersama dan yang merasa cukup langsung pulang.Jika di dsn sigug ada auman di dusun sodongan ada Selapanan yang acaranya hamper sama dengan auman. Auman dilaksanakan Setiap malam jumat legi, acaranya msyawarah, informasi dan pengajian di mushola.
Ora ilok atau pamali sering dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya. Biasanya ora ilok dihubungkan dengan kalimat larangan untuk tidak melakukan sesuatu karena bisa berakibat buruk bagi yang melanggarnya.
seorang suami saat istrinya hamil melukai atau membunuh hewan. Kalimat ini sampai sekarang masih sangat ampuh dan dijalankan masyarakat. Karena akan ada karma yang menimpa sang bayi saat lahir nanti.
Saya, waktu kecil sering mendapati kalimat larangan seperti ini,“Ora ilok njagongi bantal mengko bokonge wudunen.” Artinya, jangan menduduki bantal, nanti pantatnya bisulan. Ada
Seperti beberapa cerita yang saya dengar dari ayah dan ibu saya tentang apa yang dialami seorang bayi yang baru lahir mengalami kecacatan fisik dan diruntut-runtut disebabkan sang ayah bayi, entah sengaja atau tidak melukai seekor hewan. “Lha kae critane mbiyen pas bojone meteng ki nabrak asu jur ra dopeni, njur anake lahir kok dadi lumpuh”. Artinya, dulu ada cerita, pas istinya hamil, suaminya menabrak angjing dan tidak dirawat, pas anaknya lahir kok jadi lumpuh.
juga, “Madang ra nang ngarep lawang, Ora ilok marai adoh jodo.” Artinya makan jangan di depan pintu, tidak baik nanti jauh dari jodoh. Atau, “Nek nyapu sing resik mengko bojone brewoken.” Artinya, kalau menyapu yang bersih, nanti suaminya brewokan. Kalimat ini yang dulu sering saya dengar. Menurut Ibu Siti Marfu’ah, kebanyakan kalimat ora ilok ini pakai bahasa Jawa ngoko, seperti sebuah pitutur seorang ayah kepada anaknya. Ora ilok secara logika tidak nyambung antara sebab dan akibatnya. Namun, ini masih berlaku dan tetap dijalankan dan dipatuhi oleh masyarakat. Banyak kalimat ora ilok ini bersifat larangan, baik disertai akibat ataupun tidak. “Ora ilok wong lanang nek bojone meteng nglarani utowo mateni kewan,” artinya tidak boleh
Ada lagi cerita dari ibu. “Mbahmu ki mbiyen pas metenge Pakdhe, cilike Pakde ki nangis wae njur golekke jangkrik lha jur sikile mburi di pritli ro mbahmu ben ra nylentik pakdhe mu, lha kok pas lahire pakdhe kok amit-amit driji sikile do raono.” Artinya simbah dulu pas hamil Pakde, mbang kakung mencarikan cangkrik, terus kakinya dipatahkan biar nggak melukai, pas lahiran, pakdemu jari kakinya tidak ada. Entah ini sebuah kebetulan atau memang benar adanya, tapi itu terjadi.
BUMIHARJO
Juru Kunci Makam Keramat oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
Orang di Desa Bumiharjo mengenalnya dengan nama Budi Sutrisno. Namun, nama sebenarnya sesuai dengan KTP adalah Muhadi. Pria yang lahir tahun 1951 ini menjadi juru kunci makam-makam di Bumiharjo sejak tahun 1978, itu artinya beliau telah menjadi juru kunci makam selama 43 tahun. Beliau mengaku, menjadi juru kunci makam merupakan pekerjaan warisan yang meneruskan pekerjaan ayah beliau, Ahmad Pawiroh, yang sebelumnya juga merupakan seorang juru kunci makam di Dusun Sigug, Bumiharjo. Tanggal 27 Agustus 2021 di hari Jum’at sekitar pukul 21.30 malam, saya dibersamai salah satu mahasiswa KKN Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah mengunjungi kediaman Bapak Muhadi atau Bapak Budi Sutrisno. Tujuannya melakukan wawancara terkait program Temu Kenali mengenai Petilasan Kyai Sigeg, tepatnya di Dusun Sigug RT 05/ RW 02. Kami pun sempat bertanya-tanya terkait nama beliau yang ternyata ada dua, beliau pun menjelaskan bahwa beliau lahir dengan nama asli Muhadi dan sesuai dengan penulisan di Kartu Keluarga, namun
semasa tua beliau lebih sering dipanggil Budi Sutrisno dengan alasan yang tidak beliau sebutkan. Pak Budi Sutrisno merupakan juru kunci makam Dusun Sigug, Senden dan Perumahan Griya Kencana Permai. Beliau adalah penduduk asli dusun Sigug. Sebetulnya, sebelum Pak Ahmad mewariskan pekerjaanya kepada putranya, pekerjaan ini sempat ditawarkan kepada seorang warga bernama Mbah Hali. Namun, dikarenakan Mbah Hali merasa kurang cocok dengan pekerjaan tersebut, beliau pun memberikan pekerjaan tersebut kepada Pak Budi yang juga disetujui oleh para warga untuk meneruskan pekerjaan tersebut.
Kami berbincang dengan Pak Budi tentang berbagai hal terkait Dusun Sigug. Tentang asal mula Dusun Sigug, kesenian tradisonal, serta tradisi yang ada di Dusun Sigug. Pertanyaan yang kami ajukan adalah pertanyaan yang masih umum mengenai tradisi di dusun ini, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan pertanyaan yang menjurus dan terfokus pada topik petilasan Kyai Sigeg. Info kesenian yang kami dapatkan diantaranya adalah kesenian
Dadung Awuk dan Ande-Ande Lumut. Sedangkan untuk tradisi, terdapat tradisi genduren (kenduri), suran, 10 suran, saparan, muludan, nyadran, poso, syawalan, dan kurban. Menurut Pak Budi, asal mula dusun ini dinamakan sebagai Dusun Sigug adalah konon semasa penjajahan di Indonesia, para penjajah yang berusaha memasuki dusun ini selalu merasa takut atau ‘kesigeg’. Selain itu, di dusun ini terdapat sepasang suami istri sepuh yang bernama Mbah Sigeg yang setelah meninggal juga dimakamkan di makam dusun. Sehingga dusun ini dinamakan sebagai dusun Sigug. Konon katanya, Mbah Sigeg ini merupakan seorang pendatang di dusun ini dan menjadi sosok penjaga kedamaian di dusun. Selain dari cerita turun temurun, Pak Budi sendiri sebagai penjaga makam, mengaku sudah empat kali didatangi sosok Mbah Sigeg melalui mimpi. Terutama semasa pembangunan ulang makam Mbah Sigeg, sehingga cerita mengenai Mbah Sigeg ini dapat diyakini adanya. Beberapa dusun memang dipercaya memiliki sosok penunggu. Dusun sebelah yang juga makamnya dijaga oleh Pak Budi, Dusun Senden, memiliki sosok penunggu bernama Nyai Senden. Orang-orang kerap menyebutnya sebagai Nyai Sendi, namun Pak Budi menegaskan bahwa nama asli beliau adalah Nyai Senden. Dipercaya saat makam Nyai Senden akan direlokasi, banyak warga dusun Senden yang terus keluar masuk rumah sakit. Untuk itu, warga pun mempercayai bahwa Nyai Senden adalah sosok penjaga kedamaian di dusun Senden. Setelah bercerita mengenai asal mula, Pak Budi bercerita mengenai kesenian tradisional yang ada di dusun ini. Yang pertama adalah kesenian tradisional Dadung Awuk. Kesenian ini adalah berupa seni tari yang sudah ada dari masa sebelum kemerdekaan, yang saat ini hanyalah tinggal cerita. Tarian ini
diiringi oleh alat musik berupa gamelan jawa seperti gong, kendang, saron, dan lain-lain. Tarian ini dibawakan oleh penari laki-laki. Selanjutnya, beliau menceritakan mengenai kesenian teater atau istilah dalam bahasa Jawanya adalah Kethoprak. Kesenian Kethoprak di dusun ini adalah ‘Ande Ande Lumut’ yang terdapat beberapa tokoh seperti Yuyu Kangkang (kepiting), Bangun Thonthong, Klenthing Abang, Klething Kuning, dan Klenthing Ijo. Namun sayangnya, tidak ada dokumentasi atau rekaman yang mengabadikan teater tradisional ini. Hanya terdapat sebuah rekaman suara, milik ayah saya sendiri yang dahulu sempat melihat atau menikmati pertunjukan ini. Karena pada masa itu memang belum ada kamera, sekalipun ada masihlah jarang yang memilikinya. Berlanjut ke tradisi, Pak Budi menyatakan bahwa banyak tradisi di dusun ini. Tradisi-tradisi yang beliau sampaikan adalah tradisi untuk menyambut bulan-bulan pada kalender Jawa. Yang pertama adalah tradisi Suran, tradisi ini adalah sebuah acara yang berisi tirakatan atau doa bersama yang dilakukan oleh warga desa untuk menghormati tanggal 1 Suro. Biasanya pun, warga melakukan ‘lek-lek an’ atau terjaga di tengah malam di malam 1 Suro ini. Beberapa warga pun ada yang melakukan arakarak dengan membawa oncor bambu ke puncak Suroloyo, salah satu titik tertinggi di Pegunungan Menoreh. Biasanya, warga menjemput malam 1 Suro di puncak Suroloyo dan tetap terjaga sepanjang malam untuk meminta keselamatan dunia akhirat. Yang kedua, terdapat tradisi Sepuluh Suran. Hampir sama dengan tradisi Suran, tradisi ini dilakukan pada malam ke-10 Suro dengan doa bersama dan sedekahan makanan dengan Bumbu Suro.
‘badhan’. Di dusun Sigug sendiri biasanya masih melakukan badhan sampai H+7 hari lebaran. Tradisi terakhir untuk menyambut bulan di kalender Jawa adalah tradisi Besar, untuk menyambut Idul Adha dimana hal ini disebut sebagai bulannya orang berada. Orang-orang akan melakukan kurban hewan dan beberapa ada yang melakukan perjalanan Haji, sehingga disebut sebagai bulannya orang berada.
Terdapat cerita di balik Bumbu Suro ini, dahulu pada masa meninggalnya Kasan Kusen, warga setempat memberikan sumbangan berupa hasil kebun seperti jagung, beras, dan kacang. Hasil kebun ini kemudian dicampur dan dibuatkan sebuah bumbu yang dinamakan sebagai Bumbu Suro. Yang pada akhirnya makanan ini disebut sebagai Jenang Suro.
sudah meninggal terdahulu. Sebelum mengirim doa, warga melakukan ‘Berseh’ atau membersihkan makam orang yang akan dikirimi doa lalu kemudian memberikan sedekah berupa makanan untuk dibawa ke masjid dusun.
Selanjutnya ada tradisi Saparan, Pak Budi bercerita bahwa tradisi ini dilakukan untuk menyambut bulan Sapar atau Safar. Saat Saparan, biasanya para anakanak akan melakukan doa bersama di masjid dan diberi makanan berupa Bancakan (atau nasi Kluban yang dibungkus kecil-kecil). Bagi kaum dewasa, biasanya melakukan kegiatan berupa Wayangan atau menonton wayang.
Kemudian di bulan Ramadan, terdapat tradisi Poso atau puasa untuk menjalankan rukun Islam yaitu berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Pak Budi sendiri mengartikan Poso ini sebagai bentuk rasa prihatin kita selama hidup di dunia dan meminta rahmat-Nya untuk kehidupan dunia dan akhirat. Masyarakat biasanya berpuasa di siang hari dan melaksanakan shalat tarawih, witir, dan kemudian dilanjutkan dengan tadarus atau mengaji bersama di masjid dusun.
Kemudian terdapat tradisi Muludan, untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya ada tradisi Nyadran, untuk menyambut
Lalu, terdapat tradisi Syawalan yang dilakukan di bulan Syawal. Pada tanggal 1 Syawal umat Muslim merayakan hari raya Idul Fitri dengan saling berkun-
bulan Sya’ban sebelum bulan Ramadan. Biasanya warga akan mengirim doa kepada orang-orang yang
jung ke rumah-rumah untuk melakukan silaturahmi dan saling bermaaf-maafan atau disebut sebagai
Selanjutnya terdapat tradisi genduren atau biasa disebut sebagai kenduri, sebuah acara doa bersama yang digelar si suatu rumah warga. Terdapat beberapa jenis kenduri. Yang pertama untuk mendoakan orang yang baru saja meninggal, disebut sebagai Nyorotanan atau Nyorotanah. Hal ini dilakukan berkaitan dengan adanya ‘tempuk’ atau makam yang saling bertabrakan dikarenakan sempitnya pemakaman, sehingga harus didoakan agar jenazah dapat beristirahat dengan tenang. Genduren ini juga dilakukan untuk beberapa kepentingan lain seperti saat membangun rumah, saat terdapat ibu melahirkan, setelah musim panen, dan juga saat pernikahan. Semua tujuannya adalah tidak lain dan tidak bukan untuk mendoakan dan meminta keselamatan serta ketenteraman dunia dan akhirat. Saat terdapat ibu melahirkan, warga desa mengadakan genduren untuk mendoakan kelahiran sang bayi dan memberikan sedekah makanan berupa brokohan atau makanan yang berisi sayuran dan lauk-pauk. Sebelum musim panen, warga juga mengadakan genduren yang dinamakan sebagai wiwitan, untuk mendoakan hasil panen dan wujud rasa bersyukur terhadap Sang Pencipta. Saat pernikahan pun terdapat tradisi Genduren yang disebut sebagai Ngirim Duwo, untuk mendoakan calon manten atau calon pengantin agar dapat men-
jalankan kehidupan sebagai sepasang suami-istri dengan berkah.
BUMIHARJO
Kenduri Surtanah oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
Ada satu tradisi di Desa Bumiharjo yang terus dilestarikan. Tradisi yang diadakan ketika ada orang meninggal dunia. Namanya Kenduri Surtanah. Orang di Bumiharjo kerap melafalkannya dengan genduri. Menurut Juru Kunci Makam Dusun Sigug, Dusun Senden dan Perumahan Griya Kencana Permai, Budi Sutrisno atau Muhadi (73) tradisi kenduri Surtanah bertujuan untuk meminta izin kepada yang ‘memiliki tanah’ agar tidak ada makam di bawahnya. “Serta memohon keselamatan bagi makam di sebelahnya karena di desak atau digali,” kata Pak Budi menjelaskan. Di tempat kami, ibu-ibu dan pemuda tidak harus diundang. Secara otomatis, ketika ada yang meninggal pemuda langsung memasang tratak, mengambil meja, kursi dan mengambil bolo pecah (peralatan dapur). Peralatan tersebut sudah disediakan di dusun masing-masing dengan kas desa dan dibahas di acara auman. Peran pemuda setelah memasang dan perlengkapan selesai menjadi pramu saji mengeluarkan air minum yang dibuatkan dari patehan. Ibu-ibu tetangga langsung datang membawa sumbangan dan sekalian memasak. Masakan itu
yang dibuat untuk kenduri dan acara tahlilan pada malam harinya. Ibu-ibu ada juga yang meronce atau menghias keranda dengan bunga-bunga. Dalam memasak tetap ada juru masak yang menjadi kepala atau penanggung jawab. Juru pembuat minum di tempat kami bernama patehan. Patehan bertanggung jawab membuat air minum, menyediakan gelas dan mencuci gelas. Surtanah mempunyai kesamaan dalam makanan di kenduri pada umumnya seperti ingkung yang menjadi salah satu menu wajib. Sayur kentang, mie goreng, sayur lubis dan sayur kacang tergantung yang ada. Setelah lengkap dari warga yang mengikuti kenduri langsung memotong-potong ingkung dan membaginya secara rata. Nasi dimasukkan ke besek, dilapisi daun pisang, di atasnya sayur dan ayamnya. Makanan tersebut ditaruh di tengah dan dimulai tahlil yang dipimpin pak kaum. Makanan yang di tengah mempunyai arti agar makanan itu bau doa sehingga namanya menjadi nasi berkat (diberkati doa). Kegiatan Surtanah diakhiri dengan doa dan nasi berkat dibawa pulang oleh para anggota genduri.
BUMIHARJO
Laras Madyo Pitutur oleh: M. Abdul Khaliq K. Wahyu N.R.
>>>
Narasumber:
Candirejo
CANDIREJO
Gatho Loco Tari Wulang Sunu oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Sebuah tarian tradisional ini dulu sering dimainkan di setiap ada acara hajatan sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksananya suatu hajat masyarakat Candirejo pada umumnya. Memang dulu namanya adalah “Gatho Loco” yang maknanya gathuk atau pas dan lelucon. Atau bila ditafsirkan adalah ajaran yang gathuk atau mathuk namun dikemas kedalam tarian yang lucu. Bisa dibilang lucu sebab tarian tersebut bisa menghipnotis siapa saja yang melihat untuk turut manggut-manggut mendengarkan iringan musiknya yang khas. Dan seiring berjalanya waktu namanya dirubah menjadi “Wulang Sunu”. Karena indahnya tarian dengan didukung iringan musik tradisional yang enak didengar tersebut, tarian ini juga diiringi lagu-lagu Jawa berisikan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat pedesaan. Wulang Sunu berasal dari Bahasa Jawa yaitu Wulang yang berarti mengajari atau mendidik, sedangkan Sunu artinya adalah anak, jadi Wulang Sunu berarti mendidik anak. Tari Wulang Sunu diiringi dengan “Terbang” yaitu alat musik untuk rebana, lalu “dodhok” yaitu semacam gendang namun hanya bertutup kulit sebelah, dan juga “Jedhor” yaitu semacam dodhok namun berukuran lebih besar yang berfungsi sebagai bass. Kata mbah Martono salah satu
anggota group kesenian bahwa kesenian ini berdiri sekitar tahun 1940.an. Seperti arti dari nama tarian ini yaitu mendidik anak yang dikemas dengan sebuah seni budaya, tarian ini didirikan dengan tujuan untuk melestarikan ajaranajaran orang dahulu yang ditujukan kepada anak cucu mereka sebagai “pengeling-eling” atau agar bisa diingat sebagai bekal hidup di masa tuanya. Lantas apa sih isi dari lantunan lagu-lagu ini? Isi lagu-lagunya adalah tentang mengajarkan sopansantun, tentang cara bercocok tanam, tentang hitungan hari perjodohan, tentang kalender Jawa atau pranata mangsa, dan sebagainya. Masih bersama pak Tatak saya melanjutkan menjelajah desa menggali budaya adiluhung di desa Candirejo, dan kami menemui seseorang pelantun lagu kesenian Wulang Sunu seperti yang saya sampaikan di atas yakni Mbah Martono warga dusun Brangkal, desa Candirejo, Borobudur yang berusiakan sekitar 75 tahun. Di tengah perbincangan kami, beliau sempat sedikit melantumkan lagu yang liriknya seperti ini; “wulang Sunu kinarya uwis kang cinatur para kawula. Suwita mring wong tuane. Poma-poma dipun mituhu”
CANDIREJO
Rebo Pungkasan oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
yang bila di jabarkan lirik tersebut mempunyai arti; mendidik anak sebagimana yang sudah dikatakan oleh para orang-orang tua, agar berbakti pada orang yang lebih tua. Jadi sudah jelas bahwa orang tua pada jaman dahulu cara mendidik anak pun bermacam-macam caranya, salah satunya seperti dengan cara lewat pesan-pesan lagu kesenian,agar anak-anak mudah mencerna dan memah Agar formasi tarian bisa bagus maka penari pria ataupun wanita berjumlah genap, yaitu mulai dari delapan hingga dua belas orang. Karena formasi tarian ini berbentu barisan, dan semua akan berpasang pasangan.Selain formasi kurang bagus jika tidak berjumlah genap, bilangan genap mempunyai makna filosofi bahwa orang hidup itu harus mempunyai sifat yang genap. Ada pria ada wanita, ada senang ada susah, dan seterusnya. Jadi semua itu memang sudah menjadi kodrat Yang Maha
Esa. Dengan begitu kita harus ingat bahwa Ketika kalau sudah susah maka jangan terlalu larut dalam kesusahan, karena jodohnya adalah kebahagiaan. Wulang Sunu sampai saat ini masih sering diadakan, bukan hanya di saat ada hajatan warga namun juga digunakan untuk menyambut tamu dinas yang sedang singgah di desa Candirejo. Untuk itu mari kita lestarikan peninggalan kebudayaan orang-orang terdahulu, karena nenek moyang kita adalah orang-orang yang mempunyaibudaya yang patut kita banggakan. Kendati demikian dengan melestarikan warisan budaya daerah, adalah merupakan wujud cinta kita terhadap lehuhur. Kita boleh menyukai kebudayaan dari luar, namun kita harus lebih cinta terhadap budaya sendiri. aminya.
Salah satu contoh adalah kegiatan sepiritual masyarakat yang sampai saat ini masih dilestarikan, yaitu “Rebo Pungkasan/Rebo Wekasan” yang dilaksakan di setiap hari Rabu ahir bulan Sapar. Dinamakan Rebo Pungkasan karena seperti nama tersebut, Rebo adalah hari Rabu, dan Pungkasan artinya ahir, yang artinya Rebo Pungkasan adalah hari Rabu akhir. Upacara Rebo Pungkasan itu sendiri merupakan adopsi dari jaman Sri Sultan Hamungkubuana I pada tahun 1784 yang tujuannya adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai ritual tolak balak agar kampung terhindar dari wabah penyakit, terhindar dari mala petaka. Menurut Mbah Kromo, Isi dari ritual Rebo Pungkasan memiliki tata cara sebagai berikut: Jadi sebelum ritual dilaksanakan, sesepuh dusun mengambil air dari Sendang Bunder menggunakan wadah lalu dibawa ke masjid, dan dibacakan “do’a tolak balak, dan do’a selamat. Selain itu pada malam hari Rabu, para warga melaksanakan sholat tolak balak, yaitu sholat yang dilaksanakan dua rokaat – dua rokaat sebanyak empat kali dengan menghadap ke empat penjuru arah mata angin, yang sering disebut dengan nama “Sholat Kiblat
Papat”. Kemudian air dibagikan kepada warga untuk dibawa pulang dan diminum kepada anggota keluarganya. Namun sebelum membawa pulang air tersebut, sebagai simbolis, agar warga memotong sedikit rambut mereka dengan maksud membuang sesuker atau membuang sial, juga membuang nafsu-nafsu yang kurang baik. Dan itu merupakan bentuk pengharapan mereka agar dijadikan kampung yang aman, ayom, ayem, tentrem, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda, nir ing sambikala. Mbah kromo dan sesepuh dusun brangkal juga meyakini air tersebut adalah air yang paling enak bila di masak buat air minum dibandingkan air sumur.
CANDIREJO
Jamasan Pusaka oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Dalam budaya Jawa, sampai era sekarang ini masih ada juga kebiasaan masyarakat untuk ngrumat atau merawat serta menghargai peninggalan nenek moyang yang berupa benda pusaka (Keris, Tombak dan Pedang). Iya memang benar adanya, sebagaimana kemarin saya bersama dengan Pak Tatak Sariawan, adalah Ketua Koperasi Desa Wisata Candirejo, kami bersama-sama menyambangi kediaman Mbah Bejo Rohmat (imamudin dusun Mangundadi, Candirejo) bertepatan di malam satu Suro untuk menyaksikan prosesi jamas pusaka. Menurut Mbah Bejo Rohmat, Jamasan Pusaka adalah suatu ritual membersihkan pusaka yang sering dilakukan oleh orang-orang pada masa kerajaan di tanah Nusantara. Kata jamasan diambil dari bahasa Jawa kromo inggil yaitu Jamas yang artinya keramas/cuci dan Pusaka adalah benda-benda yang disakralkan dan diyakini akan membawa keberkahan pada si pemiliknya.
Seperti Keris, Tombak, Pedang dan masih banyak lainnya. Jadi Jamasan Pusaka adalah mencuci atau memandikan benda-benda pusaka yang kerap dilakukan masyarakat Nusantara terlebih masyarakat Jawa di malam tanggal 1 suro. Menurut keterangan Mbah Bejo Rohmat acara tersebut dilakukan dengan tujuan merawat dan melestarikan benda-benda peninggalan leluhur, dengan cara dimandikan. Hal tersebut juga merupakan simbol pembersihan untuk diri sang pemiliknya dari segala kotoran berupa perilakuperilaku manusia yang menyimpang dari pakem hidupnya. Dengan kalimat lain agar di bulan Suro yang merupakan awal tahun baru, kita sebagai titah/ hamba Tuhan bisa selalu introspeksi atas diri sendiri agar terhindar dari perilaku-perilaku kotor, dan selalu berada pada jalanNya.
Menurut Mbah Bejo Rohmat dan saat kami mengikuti prosesnya terdapat beberapa langkah yang harus dilewati atau dilakukan. Berikut beberapa langkah yang dilakukan Mbah Bejo dalam melakukan jamasan:
Benda Pusaka Milik Mbah Bejo Rohmat (terdapat keris, pedang, dan mata tombak). Dalam proses jamasan pusaka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Yang pertama Mbah Bejo mengeluarkan benda-benda pusaka dari kamar penyimpanan. Kemudian mempersiapkan ubarampe jamasan, yaitu; kembang setaman, air kelapa hijau, minyak krenceng, warangan dan minyak jafaron. Kembang setaman adalah merupakan paket beberapa macam kembang atau bunga terdiri dari bunga kanthil, kenanga, melati dan mawar merah putih. Kembang setaman tersebut di siapkan kedalam wadah dan di beri air secukupnya. Lalu air kelapa muda yang diyakini mengandung khasiat untuk menghilangkan karat kata Mbah Bejo Rohmat. Selanjutnya adalah minyak krenceng atau minyak kelapa yang dibuat secara tradisional, kemudian warangan dan Mbah Bejo Rohmat menjelaskan bahwa warangan adalah sejenis bahan kimia yang sering disebut dengan arsenik pada umumnya digunakan sebagai racun tikus dan di dunia jamasan fungsinya adalah mengawetkan keris ataupun tombak agar tidak cepat rusak atau berkarat. Serta minyak jafaron adalah terbuat dari pohon Salwa yang ditumbuk dan mengeluarkan getah yang berwarna merah dan itu yang dinamakan minyak jafaron.
Proses ritual penjamasan, pertama Mbah Bejo Rohmat melakukan pengolesan air jeruk nipis ke benda pusaka tersebut tujuan nya adalah untuk menghilangkan karat berat (ngethel). Lalu melakukan pengolesan air kelapa muda pada keris menggunakan sikat yang baru, dengan tujuan sama dengan jeruk nipis yaitu untuk melunturkan karat. Kembang Setaman
Air Kelapa Hijau
Langkah berikutnya adalah memandikan keris menggunakan kembang setaman yang berisikan air guna untuk penghormatan kepada si penunggu keris yang sering di sebut dengan kodham. Setelah itu benda-benda pusaka tersebut dikeringkan atau diangin-anginkan kemudian proses pewarangan pusaka menggunakan serbuk warangan yang di campur dengan minyak krenceng. Kemudian pengolesan pada pucuk keris dengan tujuan agar kodham nyaman dengan benda pusaka tersebut.
Minyak Kerenceng
Warangan
Minyak Jafaron
CANDIREJO
Kidung Penolak Bala oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Siang selepas sholat Jumat, tepatnya Jum’at Kliwon 27 Agustus 2021, kami berdua sowan ke rumah Ki Sunu Kumaedi yang berada di dusun Judahan, Candirejo, Borobudur. Ki Sunu yang lahir di Magelang pada 5 Desember 1951 merupakan seorang seniman yang serba bisa. Beliau aktif mengembangkan kesenian Ketoprak dan Sholawatan Jawa. Namun, siang itu kami justru mendapatkan cerita lainnya dari Ki Sunu, yakni Kidung Penolak Bala dan Slametan. Kami dipersilahkan masuk ke kediamannya, Ki Sunu menemui kami dengan pakaian yang memperlihatkan ke-Jawa-annya. Beliau mengenakan Surjan, Blangkon dan Sarung. Wajahnya teduh, beberapa kerutan menampakkan bahwa beliau telah banyak melalui pahit manisnya kehidupan. Ki Sunu tuturnya tenang, tapi tegas. Kami berdua kemudian mulai berbagi tugas, Pak Tatak melakukan wawancara, sementara saya mendokumentasikan serta sekaligus mencatat apaapa yang dianggap perlu. “Ki, sejatosipun Kidung Penolak Bala itu niku pripun?” kami mulai memberanikan diri bertanya, saat ia sudah mulai duduk di hadapan kami.
“Ngaten, kidung tolak balak niku, salah setunggale kagem bayi sing saweg rewel, nangis terus.” Ki Sunu berkata bahwa Kidup penolak bala adalah semacam mantra atau nyanyian yang dilantunkan untuk menenangkan bayi yang sering menangis. Kidung ini juga menjadi semacam perisai bagi sang bayi agar ia dilindungi dari gangguan makhluk halus saat mulai beradaptasi dalam memasuki kehidupan barunya di dunia ini. Dengan demikian, kidung ini akan menenangkan jiwa sang bayi, sekaligus memenangkan terhadap gangguan makhluk halus. Kami sempat memohon Ki Sunu, untuk melantunkan kidung tersebut sedikit, sekaligus memintanya menuliskan liriknya dan menerangkan apa arti dari kidung penolak bala tersebut. Begini lirik kidung penolak bala yang beliau nyanyikan kepada kami: Pitik tulak pitik tukung Tetulake si jabang bayi Lamun turu turokna bantal agung Kemulana sutra wungu Tinggalana sandang lan pangan Sangonana puji lan dzikir Rintik sahe para wali
Kinayungan para nabi Ya laaila hailallah Muhammadarrosulullah Ki Sunu kemudian menerangkan secara garis besar, satu demi satu tentang lirik dari kidung yang baru saja ia lantunkan. Pitik tulak pitik tukung Pitik Tulak, atau Ayam penolak bala, merupakan ayam yang berbulu hitam serta ada bulu putih di bangian sayapnya. Pitik Tukung adalah ayang yang ekornya tidak mempunyai bulu Tetulake si jabang bayi Penolak bala untuk si bayi Lamun turu turokna bantal agung saat si bayi tidur, tidurkanlah berlandaskan bantal agung, bantal agung ini maksudnya adalah kitab suci Kemulana sutra wungu
selimutilah sang bayi dengan sutra ungu Tinggalana sandang lan pangan berikanlah ia pakaian dan makanan Sangonana puji lan dzikir bekalilah dengan doa pujian dan dzikir Rintik sahe para wali sebagai ajaran yang baik dari para wali Kinayungan para nabi atas perlindungan para nabi Ya laaila hailallah Tiada Tuhan selain Allah Muhammadarrosulullah Muhammad adalah utusan Allah Sampai saat ini, Ki Sunu Kumaedi masih sering melantunkan kidung ini, terutama saat ia dimintai tolong oleh siapa saja saat bayinya sering rewel. Selepas mendengarkan Kidung penolak bala tersebut, rasanya kami seolah juga menjadi seperti sang Bayi, “mak nyess ngleremke ati.”
“Nuwun sewu Ki, bade tanglet malih … lha menawi Slametan niku pripun tradisi teng mriki,” saya memberanikan diri untuk bertanya kembali, sembari berdoa semoga tidak mengganggu istirahat siangnya dengan aneka rasa keingintahuan kami. “Ngaten, Slametan meniko pun wonten kawit jaman simbahe simbah-simbah kulo. Pun dados kebiasaan, Kulo nggih sok didawuhi ngremboko Slametan niku. Kolo riyin kulo ngangsu kawruh saking almarhum Kyai Sodikromo, nggih menika turune Demang Nglangon. Tata cara lan slametan niku pun wonten kawit jaman Njeng Sunan Kalijaga.” Slametan sudah menjadi tradisi sejak lama, sejak jaman Sunan Kalijaga tradisi ini sudah hadir. Ki Sunu mengatakan bahwa ia juga sering memimpin jalannya upacara Slametan. Beliau mengaku belajar dari Kyai Sodikromo, tokoh penting keturunan pejabat tinggi pada masa lalu: Demang Klangon. Ki Sunu kemudian menerangkan beberapa prasyarat uborampe yang terdiri dari, “Jenang abang putih”, atau bubur merah dan putih, merah melambangkan ibu, dan putih melambangkan bapak, mmempunyai maksud sebagai permohonan kepada Tuhan keluarga yang sedang menyelenggarakan upacara Slametan senantiasa diberikan keselamatan. Kemudian ada “Liwet Waras” atau nasi yang diletakkan pada bejana atau kuali yang ditutup dengan daun pisang biji atau pisang Kluthuk. Di atas daun pisang itu ditambahkan lagi sayur urapan. Urapan ini diceritakan memiliki maksud sebagai permintaan agar diberikan kewarasan selama hidupnya. Dua hal tersebut menjadi prasyarat umum, untuk upacara slametan, namun jika dirasakan apa yang dimohonkan merupakan hal yang dianggap
besar, misalnya akan mendirikan rumah atau akan membuka usaha agar selamat dan sukses, maka akan ditambahkan Uborampe berikutnya berupa “Rasulan Mule,” yakni tumpeng dengan lauk ingkung komplit (ayam di masak secara utuh). Tumpeng tersebut juga ditambahi sayuran, kerupuk dan lain-lain menurut kemampuan orang yang menyelenggarakan slametan. Ki Sunu berkisah, bahwa setelah Uborampe tersebut siap, biasanya ia akan diletakkan berkumpul pada satu tempat. Ki Sunu yang memimpin upacara lalu menyebutkan hajat atau hal yang diharapkan oleh keluarga yang menyelenggarakan slametan tersebut, yang dibacakan sekaligus sebagai bagian dari Doa. Doa yang diucapkan Ki Sunu tersebut, akan diamine oleh para sanak kerabat dan tetangga yang diundang hadir. Usai doa dilantunkan, Uborampe tersebut dinikmati bersama oleh undangan yang hadir. Ada pula berkatan (berisi seperti Uborampe yang terhidang) yang dibagikan untuk dibawa pulang. Ki Sunu mengatakan bahwa terdapat bulan-bulan khusus yang baik untuk menyelenggarakan acara besar, seperti mendirikan rumah, nikahan, atau memulai usaha. Ki Sunu menyebut bulan Syawal, Bakda Mulud, dan bulan Besar sebagai bulan yang baik untuk menyelenggarakan acara besar. Beliau juga mengingatkan, hindarilah menyelenggarakan acara besar pada bulan Suro, kecuali mereka yang memiliki darah biru. Benar-benar Jumat Kliwon yang penuh barokah bagi kami dapat berjumpa dengan Ki Sunu, mendapatkan cerita budaya spiritual yang ada di desa kami sendiri. Menjelang senja, kami mengucapkan beribu terima kasih dan memohon pamit kepada Ki Sunu.
CANDIREJO
Tumpeng: Tumuju Ati Kang Lempeng oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
“Tumpeng Robyong” yang menggambarkan kerukunan warga Candirejo, tujuannya agar kerukunan antara pemimpin dan rakyatnya selalu terjaga, saling asih dan mengasihi. Foto diambil pada bulan Safar di tahun 2012. Desa Candirejo Borobudur hingga saat ini masih kental dengan ritual do’a atau selamatan di setiap event-event tertentu. Ini sebagai bentuk dari rasa terimakasih kita kepada Sang Khalik yang diwujudkan dengan ritual do’a bersama dan dibarengi dengan menyediakan beberapa properti merupakan adat istiadat orang Jawa dari jaman dahuulu hingga sekarang. Itu semua juga membuktikan bahwa nenek moyang kita sudah mempunyai kepercayaan adanya Sang Pencipta yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Meraka percaya bahwa alam seisinya ini, adalah hasil ciptaanNya. Ritual dan hajatan yang hingga kini masih diadakan misalnya, saat warga mempunyai hajatan pernikahan, mendirikan rumah, atau ketika hari besar agama, dan masih banyak lagi lainnya. Tumpeng merupakan salah satu properti yang bisa dibilang wajib dalam setiap mengadakan acara tersebut. Mereka menyediakan tumpeng dan berbagai macam ubarampe yang kemudian dibacakan doa oleh sesepuh dusun dan disaksikan para warga. Setelah itu mereka bersama-sama memakannya. Sungguh suatu suasana yang menyenangkan di mana rasa kebersamaan tercipta dengan adanya acara tersebut. Mereka juga tidak memandang perbedaan status sosial dalam hal ini. Aku sangat bersyukur dilahirkan sebagai orang Jawa, dimana kami sangat memegang teguh nilai-nilai kebersamaan. Narasumber: Mbah Martono, 75 tahun, tinggal di Dusun Brangkal, Desa Candirejo
Waktu berkunjung ke kediaman Mbah Martono, beliau juga bercerita banyak tentang tumpeng. Seperti judul di atas bahwa tumpeng dimaknai oleh mbah Martono adalah “tumuju marang ati kang lempeng” yaitu menuju kepada hati yang lurus. Maksudnya kita sebagai manusia dituntut untuk selalu berhati yang baik, benar dan lurus tidak bengkok. Dengan hati yang lurus kita akan mendapatkan kedamaian lahir dan batin, dan itu menjadi idaman setiap manusia tentunya. Kemudian tumpeng itu sendiri terbuat dari nasi yang dibentuk kerucut lancip ke atas yang bermakna filosofi bahwa manusia harus selalu ingat kepada yang di atas. Ada tumpeng yang terbuat dengan berbagai macam hasil pertanian seperti tomat, kacang Panjang, cabai, dan lain-lainnya. Ada Tumpeng Robyong, yang merupakan nasi tumpeng sekelilingnya dikasih beberapa macam sayuran matang yang dikemas ke dalam “takir” atau wadah kecil terbuat dari daun pisang. Di atas tumpeng ditancapi cabai merah. Tumpeng ini dibuat di setiap selamatan Merti Desa Candirejo, yang menggambarkan kerukunan warga Candirejo, tujuannya agar kerukunan antara pemimpin dan rakyatnya selalu terjaga, saling asih dan mengasihi. Adapula Tumpeng Ulu Wetu ini dibuat dengan tujuan rasa syukur atas keberkahan dalam bercocok tanam. Acara seperti ini biasa dilakukan di tiap-tiap bulan Safar oleh masyarakat Candirejo, yang juga diadakan pula pagelaran wayang kulit semalam suntuk. “Gunungan Ulu Wetu” Gunungan ini terbuat dari bermacam-macam hasil komoditi rakyat berbentuk kerucut dan dipikul warga Candirejo yang kemudian diperebutkan warga. Gunungan ini menyimbulkan kemakmuran warga Candirejo. Foto diambil pada bulan Safar di tahun 2012
Ada lagi Tumpeng Oyoting Jagat yaitu tumpeng yang di sekelilingnya dikasih sayuran matang mau-
pun lalapan yang ditata melingkar tanpa putus. Dan jenisnya dibuat ganjil tujuh atau sebelas macam, dengan maksud kalua tujuh yang dalam bahasa Jawa adalah “pitu” agar kita diberikan pitulungan atau pertolongan sama yang di atas, dan kalau sebelas macam mempunyai maksud agar kita mendapatkan “kawelasan”atau belas kasih dari Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng Oyoting Jagat ini biasa diadakan ketika malam tujuh belasan untuk mendoakan dan menghargai jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang saat berjuang merebut kemerdekaan Indonesia. Tumpeng menyimbulkan kehidupan manusia yang harus selalu ingat pada Yang Maha Esa, dan di sini disebut sebagai jagat, yaitu jagatnya manusia. Sedangkan ubarampe yang ditaburkan mengelilinginya adalah simbul “oyot” atau akarnya yang menggambarkan terciptanya kemakmuran bangsa berkat andilnya para pahlawan dalam merebut kemerdekaan Indonesia ini. Tanpa tertulis para pahlawan selalu berpesan kepada kita agar kita jangan sampai menyalah gunakan kepercayaan mereka agar selalu mengisi kemerdekaan ini dengan bijaksana.
“Memetri Bapa Angkasa Ibu Pertiwi” menurut tutur Mbah Martono merupakan perwujudan penghormatan kepada Langit dan Bumi yang telah memberikan kenyamanan yang tidak terjadinya bencana. Karena alam seisinya merupakan mahluk Tuhan, termasuk kita manusia, yang juga mempunyai kehendak meski semua atas izin Tuhan Yang Maha Esa. Maka mereka mempercayai bahwa terjadinya bencana adalah ikut andilnya alam atas ijin-Nya. Apapun itu yang pasti tujuan mereka baik yaitu perwujudan rasa syukur pada sang Khalik atas apa yang mereka rasakan. Itulah sebagian dalam penggalian budaya kami di Desa Candirejo tentang tumpeng atau selamatan. Hari sudah sore ketika terdengar suara azan Asar kamipun bergegas pamitan pada Mbah Martono.
CANDIREJO
Sendang Bunder oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan merupakan nama sebuah sumber mata air dalam bentuk kolam kecil yang berlokasi di dusun Brangkal, Desa Candirejo, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Berada di bawah rerimbunan hutan bambu di pojok dusun. Sendang Bunder saat ini airnya masih dimanfaatkan warga setempat untuk dikonsumsi juga untuk mandi ataupun mencuci pakaian. Meski demikian sendang ini merupakan peninggalan masyarakat pada zaman dahulu yang sampai saat ini banyak menyimpan sejarah dan kearifan lokal yang perlu dilestarikan keberadaannya. Berdasarkan cerita dari Mbah Kromo nama “Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan” berasal dari kata Sendang yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya kolam kecil, bunder artinya bulat atau berbentuk melingkar. Jadi Sendang Bunder bisa diartikan sebuah kolam kecil yang berbentuk bundar atau melingkar. Sedangkan “Kapit Kuburan” berasal dari kata “Kapit” yang artinya terhimpit atau berada di antara, dan “Kuburan” artinya pemakaman. Jadi “kapit kuburan“ bisa diartikan berada di antara dua kuburan. Dengan kalimat lain “Sendang Bunder / Sendang Kapit Kuburan”
bila digambarkan adalah sebuah sumber mata air kecil berbentuk bundar atau melingkar yang berada diantara dua pemakaman. Mbah Kromo Sepanjang pengetahuan, sendang bunder yang lokasinya seperti ini hanya ada satu, yaitu di dusun Brangkal. Dan kebanyakan orang, dengan keberadaan sendang yang diapit dua pemakaman ini menganggapnya sebagai bentuk sendang yang sakral, namun keberadaan sendang Bunder ini tidak seseram yang kita pikirkan. Tetapi, justru sendang ini merupakan sendang yang bisa diambil banyak manfaatnya, secara moral maupun sepiritualnya. Disamping airnya dapat dimanfaatkan warga sepanjang musim untuk diminum maupun dibuat mandi dan cuci pakaian, sendang ini tetap mengalir walaupun di musim kemarau. Air sendang Bunder juga banyak yang mempercayai sebagai obat awet muda dengan cara mencuci muka di sendang bunder tersebut, dan akan membawa keberkahan bagi mereka yang mandi. Namun semua kembali kepada kepercayaan masing-masing. Menurut Mbah Kromo, Cerita tentang Sendang Bunder tidak dapat dipisahkan dari Dusun Brangkal
itu sendiri yang merupakan dusun tertua di Desa Candirejo. Jadi sebelum Desa Candirejo berdiri, dusun Brangkal sudah ada. Terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah dari masa itu. Sebagai misal adanya Masjid “Tiban” yang sudah berdiri paling dahulu sebelum dusundusun lain di Desa Candirejo dibangun masjidmasjid. Masjid tersebut berlokasi kurang lebih 100 meter sebelah Selatan tidak jauh dari “Sendang Bunder”. Dan dinamakan masjid “Tiban” yang artinya tiba-tiba ada, atau orang-orang tua dahulu bilang bahwa ketika mereka mengetahui masjid tersebut tiba-tiba sudah ada dan tidak tahu siapa yang membangunnya. Dan seiring berjalannya waktu masjid Tiban dinamakan masjid “Baitul Awwal” yang artinya rumah Allah yang paling awal. Menurut cerita “Mbah Kromo” ( orang yang tergolong tua di dusun Brangkal ) bahwa pada masa kecil beliau, keberadaan masjid tersebut berbahan kayu dan beratapkan ijuk. Dan masjid tersebut sangatlah “werit”. Menurut cerita beliau, dulu pernah ada warga yang lewat di samping masjid dengan naik kuda terjatuh dari tunggangannya dikarenakan tidak mau turun dari kudanya saat melewati masjid, dan banyak anak muda ketika tidur di masjid tersebut namun dalam keadaan najis maka mereka akan terbangun tiba-tiba sudah berada di bawah rerumpunan bambu. Masjid ini memang sakral, hingga banyak orang percaya bahwa siapa saja yang mempunyai hajad dan tirakat di masjid tersebut bisa terkabul apa yang mereka hajadkan, Kemudian bukti peninggalan sejarah yang lain adalah banyak ditemukannya patung-patung Hindu yang terpendam di lereng tebing sungai Progo dekat masjid tersebut. Penemuan patung-patung tersebut sekarang masih disimpan oleh salah satu warga dusun Brangkal yang bernama Mbah Tukiran dan sebagian sudah di bawa ke museum karmawibangga.
Dusun Brangkal, masjid tiban, dan sendang bunder memang sudah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya ada dusun Brangkal berarti ada sendang Bunder / sendang Kapit Kuburan. Pada masa itu sendang Bunder dimanfaatkan untuk bersesuci ketika para warga pulang dari berladang. Namun bukan berarti boleh dengan seenaknya mencelupkan anggota badan ke dalam sendang, akan tetapi sendang tersebut diberi pancuran dengan sepotong bambu untuk bersesuci. Selain bersesuci juga digunakan sebagai tempat minum bagi warga yang kehausan pulang dari ladang. Air sendang memang menyejukkan, sampaisampai tak sedikit warga yang membawa pulang air tersebut untuk dibuat air minum di rumah, dan sebagian untuk mengisi jamban di depan rumah mereka yang disediakan bagi para musafir yang kehausan di perjalanan. Jadi rasa kepedulian pada masa itu sudah tertanam. Mereka sangat peduli dan selalu mempersilahkan bagi siapa saja minum di tempat mereka untuk “mampir ngombe”. Jadi istila “mampir ngombe” berasal dari kebiasaan orangorang jaman dulu yang sampai saat ini kalimat tersebut masih sering dibuat istilah-istilah dalam dunia falsafah kehidupan. Selain buat air minum, air sendang juga digunakan sebagai air keberkahan yang sebelumnya diberikan do’a-do’a oleh sesepuh dusun, kemudian airnya diberikan dan diminum oleh warga. Sebagai contoh adalah kegiatan masyarakat yang sampai saat ini masih dilestarikan, yaitu “Rebo Pungkasan / Rebo Wekasan” yang dilaksakan di setiap hari Rabu ahir bulan Sapar. Dinamakan Rebo Pungkasan karena seperti nama tersebut, Rebo adalah hari Rabu, dan Pungkasan artinya ahir, yang artinya Rebo Pungkasan adalah hari Rabu ahir. Dan upacara Rebo Pungkasan itu sendiri merupakan adopsi dari jaman Sri Sultan Hamungkubuana I pada tahun
1784 yang tujuannya adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagai ritual tolak balak agar kampung terhindar dari wabah penyakit, terhindar dari mala petaka. Menurut Mbah Kromo, Isi dari ritual Rebo Pungkasan memiliki tata cara sebagai berikut: Jadi sebelum ritual dilaksanakan, sesepuh dusun mengambil air dari sendang Bunder menggunakan wadah lalu dibawa ke masjid, dan dibacakan “do’a tolak balak, dan do’a selamat. Selain itu pada malam hari Rabu, para warga melaksanakan sholat tolak balak, yaiitu sholat yang dilaksanakan dua rokaat – dua rokaat sebanyak empat kali dengan menghadap ke empat penjuru arah mata angin, yang sering disebut dengan nama “Sholat Kiblat Papat”. Kemudian air dibagikan kepada warga untuk dibawa pulang dan diminum kepada anggota keluarganya. Namun sebelum membawa pulang air
tersebut, sebagai simbolis, agar warga memotong sedikit rambut mereka dengan maksud membuang “sesuker” atau membuang sial, juga membuang nafsu-nafsu yang kurang baik. Dan itu merupakan bentuk pengharapan mereka agar dijadikan kampung yang aman, ayom, ayem, tentrem, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, kalis ing rubeda, nir ing sambikala. Mbah kromo dan sesepuh dusun brangkal juga meyakini air tersebut adalah air yang paling enak bila di masak buat air minum dibandingkan air sumur. Itulah sejarah Sendang Bunder di dusun Brangkal yang sampai saat ini masih tetap terjaga kelestariannya. Terimakasih mudah-mudahan informasi ini bisa menambah pengetahuan kita, dan bisa menambah rasa kepedulian kita untuk tetap melestarikan peninggalan kebudayaan yang adiluhung. Terimakasih!
CANDIREJO
Masjid Tiban oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Masjid Tiban menurut Mbah Kromo merupakan masjid tertua di Desa Candirejo. Masjid tersebut berlokasi kurang lebih 100 meter sebelah Selatan tidak jauh dari Sendang Bunder. Dan dinamakan masjid Tiban yang artinya tiba-tiba ada, atau orangorang tua dahulu bilang bahwa ketika mereka mengetahui masjid tersebut tiba-tiba sudah ada dan tidak tahu siapa yang membangunnya. Dan seiring berjalannya waktu masjid Tiban dinamakan masjid Baitul Awwal yang artinya rumah Allah yang paling awal. Menurut cerita Mbah Kromo bahwa pada masa kecil beliau, keberadaan masjid tersebut berbahan kayu dan beratapkan ijuk. Dan masjid tersebut sangatlah werit. Menurut cerita beliau, dulu pernah ada warga yang lewat di samping masjid dengan naik kuda terjatuh dari tunggangannya dikarenakan
tidak mau turun dari kudanya saat melewati masjid, dan banyak anak muda ketika tidur di masjid tersebut namun dalam keadaan najis maka mereka akan terbangun tiba-tiba sudah berada di bawah rerumpunan bambu. Masjid ini dipercaya memang sakral, hingga banyak orang percaya bahwa siapa saja yang mempunyai hajad dan tirakat di masjid tersebut bisa terkabul apa yang mereka hajadkan, Kemudian bukti peninggalan sejarah yang lain adalah banyak ditemukannya patung-patung Hindu yang terpendam di lereng tebing sungai Progo dekat masjid tersebut.
CANDIREJO
Pengobatan Sakit Gigi oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Pagi itu, kami berkunjung kembali ke rumah Ki Sunu Kumaedi di dusun Judahan desa Candirejo Borobudur. Kami kembali mendapatkan cerita pengetahuan yang luar biasa terkait budaya spiritual, yakni ilmu pengobatan tradisional, untuk menyembuhkan sakit gigi. Ki Sunu memang sering dimintai pertolongan oleh tetangganya untuk mengobati sakit giginya. Beberapa sudah sangat cocok dan langganan untuk sowan ke Ki Sunu jika sakit. Kami terperangah dan kagum, jika terbiasa membayangkan pengobatan ke dokter gigi, maka pengobatan yang dilakukan Ki Sunu ini sangatlah berbeda. Seluruh peralatan yang digunakan sangat tradisional dan ada di sekitar kita. Kami melihat Ki Suni menyiapkan daun pandan yang masih muda, sedikit minyak kelapa, air bersih dalam gayung serta cobek hitam yang biasa kita gunakan untuk nyambel itu. Di hadapan kami, Ki Suni mempraktekkan bagaimana menggunakan benda-benda yang telah disiapkan tadi. Seutas daun pandan dipotong kurang lebih 20 cm, dan dibiarkan tetap utuh satu utas seperti waktu mencabut dari tanah. Kemudian ratakan pangkal daun pandan tersebut menggu-
nakan pisau, sembari dibersihkan. Selanjutnya oleskan sedikit minyak kelapa pada pangkal daun, lalu gosok-gosokkan pangkal daun yang telah dioles tersebut ke pipi orang yang sakit. Setelah itu daun pandan tersebut dibuka helai demi helai, dan disiram dengan air bersih yang sudah dituang ke cobek hitam. Menurut Ki Sunu, biasanya ulat gigi akan turut larut di cobek tersebut. Pak Tatak pura-pura menjadi pasien Ki Sunu dalam memperagakan praktek pengobatan ini. Sebelum daun pandan digosokkan ke pipi pak Tatak, Ki Sunu sempat membaca do’a dulu. Doanya begini; “bismillahirohmaanirahiim tamba teka memala lunga, lelara lunga seka kersane Allah”. Setelah praktik selesai kami memang melihat seperti ada ulat-ulat kecil di dalam cobek tersebut. Boleh percaya boleh tidak, apakah itu benar-benar ulat gigi atau bukan. Apakah itu sebetulnya hanya sugesti atau bukan, namun pengobatan spiritual seperti ini terbukti manjur dan dipercaya oleh banyak orang. Banyak orang-orang yang datang minta pengobatan ke Ki Sunu dan sembuh dari sakitnya. Maturnuwun Ki sampun menyembuhkan sakit gigi pak Tatak, “Ha ming ethok-ethok we metu ulere untu, jebule gek lara untu tenan.”
CANDIREJO
Pesingan oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Berkatadasar “Pesing” dengan ahiran “an” yang sangat identik dengan bau air seni manusia ataupun binatang yang buang air sembarangan. Namun pesingan disini adalah pakaian berupa sarung ataupun kain jarit yang diberikan dari keluarga mempelai lelaki kepada simbah atas mempelai wanita di saat ritual pertunangan atau lamaran. Di desa Candirejo dan sekitarnya acara tersebut dinamakan “tukonan atau bayar tukon”. Dan pesingan ini sudah menjadi acara tradisi sejak jaman dahulu dari simbah-simbah saya sudah ada. Pesingan biasanya diberikan bersamaan dengan ubarampe yang lain saat acara bayar tukon dilaksanakan. Dan ini akan menjadi setengah wajib ketika calon mempelai wanita masih mempunyai simbah atau kakek maupun nenek. Yang kakek akan diberikan sarung, dan nenek diberikan kain jarit. Namun jika calon mempelai wanita sudah tidak mempunyai kakek ataupun nenek maka pesingan tidak diikut sertakan dalam persyaratan bayar tukon. Dalam bayar tukon keluarga mempelai lelaki biasanya akan membawakan sejumlah uang sebagai tukonan atau dalam kata lain tukon yang artinya beli atau pembelian terhadap calon mempelai wanita untuk diberikan kepada orang tuanya. Hal ini bukan bermaksud menjual belikan anak
perempuan namun lebih kearah sebuah ungkapan tanda terimakasih dari keluarga mempelai laki-laki atas diberikannya putri mereka dan atas dibesarkan dan dirawatnya calon pasangan hidup lelaki selama ini. Kemudian ada seperangkat peralatan ibadah, yang menandakan keseriusan keluarga lelaki untuk membangun rumah tangga baru kelak dalam jalan pengabdian terhadap Tuhannya. “Seje negara mawa tata, seje desa mawa cara” adalah sebuah kalimat dari para sesepuh terdahulu yang artinya sama dengan “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Jadi lain daerah biasanya akan lain pula adat istiadatnya. Begitu pula dengan pesingan yang mungkin di daerah lain tak ada acara seperti ini. Di Candirejo dan sekitarnya pesingan tersebut mempunyai maksud atau tujuan menghormati pada kaum sepuh sekaligus memohon do’a dan restu mereka agar perjodohan yang direncanakan akan selalu diberikan keberkahan dalam hidupnya hingga sampai ahir hayat. Dan diyakini bahwa restu dari para sepuh sangatlah mustajab, hingga bayak orang yang minta diberikan do’a dari orang-orang tua. Memang tak salah para terdahulu mengajarkan untuk selalu menghormati orang tua. Sampai-sampai
dalam sekolah pun diajarkan hal tersebut. Begitu pentingya menghormati kepada orang yang sepuh hingga dalam acara bayar tukon pun diadakannya pesingan. Dan saat itu aku pun hanya bisa manggut-manggut megiyakan tutur sembur dari bapakku saat menjelaskan hal pesingan ini. Bapakku bernama Mardiyat adalah seorang kusir andong di desa Candirejo namun beliau juga sering dimintai bantuan oleh warga sekitar sebagai “duta saraya” atau wakil keluarga calon mempelai lelaki untuk menyerahkan bayar tukon. Aku bangga dengan bapakku, meski orangnya sederhana namun beliau selalu memberikan “wulang wuruk” tentang kebaikan. Mungkin ada yang beranggapan bahwa pesingan adalah suatu acara kampungan atau katrok dan ada yang tidak ingin menggunakannya lagi, namun mereka lebih meniru pada budaya-budaya manca yang mereka anggap kemajuan jaman. “Iya memang, pesingan memang kampungan, lha wong memang asalnya dari kampun!” bapakku menjelaskan sambil tersenyum. Namun perlu kita ketahui bahwa orangorang kampung itu bisasanya jauh lebih lembah manah ketimbang orang-orang kota. Dan ini membuktikan kalau adat istiadat yang bermula dari kampung jauh lebih menjaga nilai-nilai budaya yang
adi luhung ini. Untuk itu marilah kita lestarikan budaya peninggalan leluhur, karena orang hebat itu biasanya merka yang masih mempertahankan budayanya sendiri ketimbang ikut-ikutan budaya luar yang belum tentu pas untuk diterapkan pada orang-orang Timur ini.
CANDIREJO
Watu Kendil oleh: Tatak S. Beni Purwandaru
Waktu itu penjelajahan kami sampai di kedaman Mbah Nanto, pria paruh baya yang orang Jawa bilang sudah banyak “mangan uyah” bisa diartikan dengan sudah banyak pengalaman hidup. Dengan kulit yg sudah mulai sedikit keriput itu menandakan bahwa beliau memang sudah tidak muda lagi. “Kula nuwun mbah!” Sambil mengetuk pintu. “Monggo pinarak!” kata pria berkemeja batik berpeci hitam ini menunjukkan keramahan atas warga dusun Butuh Candirejo Borobudur yang memang sudah menjadi sifat dan kesantunan mereka saat menemui tamu. Kamipun duduk di kursi teras depan rumah kediaman beliau. Setelah itu pak Tatak mulai mengutarakan maksud dan tujuan kami untuk mengorek sejarah tentang “Watu Kendil”. Dengan semilirnya udara pegunungan menoreh yang lumayan dingin, kunyalakan sebatang rokok sebagai penambah releksasi lalu kuambil sebuah handphone untuk merekam perbincangan mereka. “Nang kene ana Watu Kendil, njur sisihe ana uga Watu Dandang, Watu Tumpeng, lan Watu Kukusan. Nalikane semana kene ana tuk utawa sumber, terus merga sumber mau dinggo mogok jaran lan kepidak-pidak jaran mau, nyebabake sumber mau dadi gede. Terus kuatir sumber mau dadi gede, mula ditembel nganggo jadah banjur sumber mau bisa mampet. Lan alat-alat dapur mau ya kendil, dandang kanggo adang, kukusan kanggo ngukus, lan tumpeng ya sega kang wujud tumpeng. Mula nganti seprene papan iki diarani Watu Kendil lan sapanunggalane”. Jadi Mbah Nanto bercerita bahwa pada waktu itu di puncak perbukitan Menoreh ini ada sebuah sumber mata air, dan ada warga yang mengendarai kuda beristirahat di sini namun sumber mata air tersebut keinjak-injak kudanya dan lubang mata air tersebut semakin membesar. Karena takut membesar
dan akan membanjiri daerah di bawahnya maka sumber mata air tersebut ditambal dengan “jadah” (makanan khas Jawa terbuat dari ketan). Walhasil sumber mata air itu bisa mampet. Dan alat yang digunakan pada masa itu adalah dandang yaitu bejana terbuat dari tembaga berbentuk panci, kemudian kendil merupakan bejana seperti kuali terbuat dari tanah liat, dan kukusan adalah alat untuk mengukus berbentuk kerucut terbuat dari bambu anyaman, yang kemudian tempat ini dinamakan “Watu Kendil” dan sampai saat ini masih popular di daerah ini. “Watu Kendil” memang sangat unik. Sebuah batu berbentuk lonjong ini terbentuk dari batuan cadas atau orang sekitar sering menamakan “Wadas Gudhik” yang terletak di puncak perbukitan Menoreh dengan posisi di pinggiran tebing yang seolah-olah hampir menggelinding ke bawah, namun batu ini kokoh. Disamping keunikan tersebut Watu Kendil juga dipercayai mempunyai nilai-nilai supranatural. Menurut mbah Nanto di tempat itu ada mahluk astral penunggunya. Sampaisampai di setiap malam tanggal sepuluh bulan Suro diadakan do’a bersama, kemudian semenjak tahun 2003 ritual tersebut dirangkai dengan dilanjutkan sholawatan Jawa hingga menjelang subuh. “saben malem sepuluh Suro nang papan iki digawe tirakatan karo sholawatan Jowo. Lha wingi kui malah nganti jam setengah telu”, tutur mbah Nanto. Beliau menceritakan bahwa kemarin diadakan sholawatan Jawa di sana hingga jam setengah tiga pagi. Kata beliau kenapa dinamakan sholawatan Jawa, karena sholawat ini merupakan bacaan sholawat Nabi namun dengan kharoat lidah orang Jawa pada umumnya. “dadi sholawat Jowo kui sholawat kanggo kanjeng Nabi Muhammad nanging pancen pengucapane nganggo ucapane wong Jowo, sing kadang sok guang amek. Kadang dikurangi, kadang uga ditambahi. Dadi aja didelok
seka ucapane, nanging delok saka niate sing becik. Mbiyen aku tau diwelingi karo bapak; “To! mbesok yen aku wis raono aja dilalekake showat iki merga iki perkara kang becik!”. Dadi ngene, perkara pangucapane ora fasih boso Arab nanging sholawat iki seni, yen pingin ngaji ya nang Masjid utawa pesantren”. Kalau dijabarkan, sholawat Jawa memang bacaan sholawat untuk Nabi Muhammad namun kharoatnya menggunakan lidah orang Jawa yang kadang dikurangi dan kadang ditambahi, dan Mbah Nanto menuturkan bahwa beliau pernah dipesan sama ayahnya agar jangan pernah meninggalkan kegiatan sholawat Jawa itu, meski pengucapan-pengucapannya tidak sefasih Bahasa Arab, dan kata-katanya sering dikurangi dan ditambahi tidak apa-apa, karena ini adalah seni bukan ngaji, kalau mau ngaji ya di masjid atau pesantren. Mendengar penuturan mbah Nanto tersebut jadi ingat pada sholawat Jawa di dusunku juga. Iya memang benar aku sendiri juga sering mendengar lantunan sholawat Jawa yang memang dibaca medok seperti bahasa Jawa. Do’a bersama yang dilakukan di Watu Kendil bertujuan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dusun mereka diberikan keselamatan, keberkahan dalam bercocok tanam, terhindar dari mara bahaya, atau agar menjadi dusun yang ayom, ayem, tenteram, gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Lalu di samping ritual bacaan do’a, perlu diketahui bahwa di Watu Kendil juga kadang sering terdengar suara burung puyuh yang manggung atau berbunyi pada malam hari yang dipercaya oleh sebagian warga sebagai pertanda akan terjadinya suatu hal kurang baik pada warga setempat. Kata mbah Nanto jika suara burung tersebut terdengar disaat warga dalam keadaan baik-baik saja maka itu pertanda akan terjadinya atau datangnya wabah penyakit, namun jika suara burung puyuh terdengar disaat ada penduduk atau
salah satu warga yang lagi sakit, maka dipercayai akan ada orang yang meninggal dalam waktu dekatdekat itu. Jadi memang kebanyakan orang Jawa pada jaman dulu sering menggunakan pertandapertanda alam untuk mendeteksi kejadian-kejadian alam yang akan terjadi yang sering disebut “ilmu titen”. Sebagai misa contoh lagi, jika ada ayam jago yang berkokok di sore hari itu menandakan di dusun itu ada “prawan meteng” atau gadis hamil. Akan tetapi itu semua kembali kepada kepercayaan kita masing-masing. Dan berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka sampai saat ini masih diadakannya ritual do’a bersama dan sholawatan di Watu Kendil yang memang unik itu. Kalau dalam versi cerita rakyat yang secara tutur tinular, Watu Kendil merupakan tutup “pusering bumi” yang mana puser bumi itu berupa sumber mata air besar dan ditutup dengan sebuah batu besar agar air tidak kemana-mana. Dan konon diceritakan andai Watu kendil sampai menggelinding ke bawah, maka dusun di bawahnya akan menjadi lautan. Cerita itu tidak tahu sumbernya dari mana dan semenjak aku kecil cerita tersebut sering menjadi sebuah dongengan malam disaat kami bercengkrama bersama temanteman menjelang tidur di serambi masjid bersama mereka. Berdasarkan cerita ini serasa tidak masuk akal, dan itu hanya merupakan dongengan anak belaka. Namun jika kita gali lagi , hal tersebut bisa saja terjadi. Coba kita belajar memahami cerita di atas, yang inti ceritanya dusun di bawah Watu Kendil akan menjadi lautan jika menggelundung ke bawah. Sedangkan batu itu meskipun kelihatan hampir menggelundung karena posisi di pinggir tebing, namun batu itu tetap kokoh, dan hanya kekuatan maha dahsyat sajalah rasanya yang bisa menggeser ataupun menggerakkan batu tersebut. Dalam hal ini kekuatan itu selain alat berat, atau kekuatan teknologi, ada yang sangat
mengerikan lagi yakni kekuatan gempa bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Dahsyat yang akan bisa menggelindingkan batu atau Watu Kendil itu. Dan semisal gempa, maka gempa tersebut juga pasti kekuatannya juga besar, yang artinya jika kekuatan gempa yang besar maka akan sangat berpotensi terjadinya Tsunami yang mungkin akan menjangkau di dusun yang berada di bawah Watu Kendil. Dan fenomena seperti itulah yang diceritakan dalam cerita rakyat dengan istilah dusun di bawah Watu Kendil menjadi lautan. Mungkin ini hanya sebagai otak atik gathuk saja, dan mudah-mudahan hal-hal seperti di atas tidak akan pernah terjadi selagi kita yang diciptakan sebagai makhluk Tuhan ini masih bisa melaksanakan tugas kita sebagai titah agar tetap bisa menjaga keseimbangan alam seisinya. Itulah sedikit oleh-oleh kami dalam jelajah perdusunan di Desa Candirejo bersama pak Tatak. Tuhan menciptakan alam seisinya itu untuk bisa diambil manfaatnya bagi manusia, maka jadilah bagian dari golongan orang-orang yang bermanfaat agar hidup ini akan lebih bermakna.
Narasumber:
Giripurno
GIRIPURNO
Adat Istiadat oleh: Mustofa Zam Zamil Huda
SURAN Menurut Bapak Hadi Sutrisno, sasi Suro merupakan bulan yang keramat. Pada zaman dahulu sebagian masyarakat yang memiliki pusaka seperti keris, tombak, dan pusaka lainnya akan dijamasi (diwarangi), setelah itu kemudian dibuatkan slametan berupa Tumpeng Robyong. Saat ini aktifitas tersebut kemungkinan masih ada namun tidak untuk khalayak umum, dan untuk masyarakat umum akan mengadakan genduren bersama dengan warga satu dusun untuk memperingati tahun baru Suro. Selain itu sebagian masyarakat yang sudah sepuh juga ada yang berpuasa satu hari sebelum 1 Suro sampai malam 1 Suro dengan harapan untuk mendapatkan keselamatan, keberkahan dan rezeki kepada Allah SWT. Kemudian menurut Bapak Abdul Jabbar, bulan Suro atau Asyura merupakan bulan yang sangat mulia. Akan tetapi karena kemuliaan tersebut orang Jawa tidak berani untuk memulai pekerjaan. Pada bulan ini disunahkan untuk puasa pada hari Jum’at minggu pertama dan akan lebih afdol jika diapit hari sebelum dan sesudahnya. Antara tanggal 1 sampai tanggal 10 Suro merupakan hari yang istimewa, oleh karena itu masyarakat meng-
adat-kan dengan mengadakan suran yang berupa Genduren Wilujengan. Menurut sumber dari tokoh yang lain yang tidak berkenan disebutkan namanya, bulan Suro merupakan bulan yang keramat. Terutama pada hari (hari biasa dan hari pasaran Jawa) dan tanggal 1 Suro dianggap sebagai hari sangar atau nas dan berlaku sepanjang tahun berikutnya. Pada hari tersebut tidak diperbolehkan untuk memulai suatu pekerjaan. Kemudian jika melanggar pantangan tersebut maka akan ada kesusahan hidup yang diterima pada masa yang akan datang. Secara umum, tradisi Suran yang saat ini berlangsung untuk kalangan umum di desa Giripurno dibagi menjadi beberapa kegiatan. Kegiatan yang pertama adalah pada malam 1 Suro, disetiap Masjid atau Mushola diadakan Sholat Sunnah Akhir Tahun sehabis Ashar dilanjutkan dengan dzikir dan doa-doa. Kemudian sehabis sholat Maghrib akan diadakan sholat Sunnah Awal Tahun yang dilanjutkan dengan doa dan dzikir. Kemudian kegiatan yang kedua adalah Suran yang berupa genduren oleh warga satu dusun di keenam dusun yang ada dengan waktu yang berbeda-beda.
SAPARAN
yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.
Saparan adalah acara wilujengan yang berupa genduren yang diadakan pada bulan Sofar. Menurut Bapak Abdul Jabbar, acara ini diadakan untuk memohon keselamatan atas musibah bencana yang di turunkan oleh Allah SWT. Di desa Giripurno, Saparan diadakan disetiap dusun oleh seluruh kepala keluarga masyarakat dusun tersebut di tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu pelaksanaan acara ini disetiap dusun berbedabeda tergantung kesepakatan warga masyarakat, akan tetapi beberapa kelompok dusun kemudian mengadakan pada hari Rabu di Minggu terakhir atau lebih dikenal dengan Rebo Wekasan.
Acara tersebut diadakan di Sendang Sebandot adalah karena keberadaan mata air yang terletak di lokasi tersebut. Mata air Sendang Sebandot menunjang dalam mencukupi kebutuhan air masyarakat baik untuk rumah tangga maupun pertanian. Karena pada ke-tiga dusun pengelola acara ini, mata air di Sendang Sebandot merupakan mata air penting yang dapat bertahan sepanjang tahun. Selain itu, banyak warga masyarakat yang meng-keramatkan mata air tersebut. Mengenai
SAPARAN SEBANDOT Saparan Sebandot merupakan acara yang saat ini diadakan dua tahun sekali pada hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon pada bulan Sofar. Acara ini berupa genduren wilujengan di Sendang Sebandot yang berlokasi di dusun Gayam dan dikelola oleh dusun Gayam, Pokoh, dan Jombor. Menurut Bapak Abdul Jabbar, meski berlokasi di Sendang Sebandot yang dalam cerita dikenal sebagai petilasan Sunan Kalijogo, akan tetapi acara ini tidak ada kaitanya dengan cerita Sunan Kaliogo tersebut. Saparan Sebandot pada awanya menjadi tempat untuk bermeditasi. Awalnya satu dua orang yang kemudian dari waktu ke waktu bertambah orang. Selain hal tersebut, ada juga warga masyarakat yang memiliki nadzar karena hal tertentu dan mengadakan slametan di Sendang Sebandot. Kemudian dengan berjalannya waktu, acara tersebut menjadi kegiatan bersama oleh tiga dusun yakni Gayam, Pokoh, dan Jombor dan direstui oleh Pemerintah desa Giripurno. Kegiatan tersebut berupa pelaksanaan nadzar, wilujengan, merti deso dan sedekah bumi sebagai wujud syukur atas rezeki
waktu pelaksanaan di bulan Sofar terkait erat dengan acara wilujengan di bulan Sofar sebagai slametan atas bencana yang diturunkan oleh Allah SWT. Bapak Abdul Jabbar menambahkan, jika dahulunya acara Saparan Sebandot juga diadakan pada hari Rabu di Minggu terakhir atau Rebo Wekasan. Kemudian mengenai penggunaan Kambing dalam acara saparan tersebut juga tidak terkait dengan asal muasal nama Sebendot yang dari Kambing Sebendot. Akan tetapi penggunaan kambing tersebut merupakan bentuk nadzar yang diucapkan oleh orang yang memiliki nadzar. SADRANAN Sadranan merupakan aktifitas majemukan yang dilakukan bersama-sama oleh suatu kelompok masyarakat pada tanggal dan hari yang telah ditentukan di bulan Sya’ban. Bapak Abdul Jabbar bercerita jika Sadranan ini berasak dari bahasa jawa Mataraman atau Yogyakarta yakni “Sadrono” yang berarti “pulang”. Aktivitas Sadranan ini bertujuan untuk memohonkan maaf dan mendoakan nenek moyang atau leluhur yang telah tiada. Sadranan di desa Giripurno ada di semua dusun di desa Giripurno, namun waktu pelaksanaannya
berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan masyarakat setempat. Pada umumnya, pagi hari sebelum pelaksanaan sadranan terlebih peserta sadranan terlebih dahulu akan ziarah ke makam untuk membaca Kalimah Toyibah, bersih-bersih makam, dan sebagian ada juga yang nyekar. Meski diadakan oleh dusun tertentu, akan tetapi peserta nyadran tidak hanya berasal dari dusun tersebut. Semua orang yang memiliki nenek moyang atau leluhur pada dusun tersebut akan datang untuk mengikuti acara nyadran tersebut meski berada di desa lain maupun daerah lain. Sebelum Sadranan dimulai, setiap peserta akan memasukan uang wajib pada kotak yang telah disediakan. Sadranan diisi dengan pembacaan kalimah toyibah atau pengajian tergantung kesepakatan di masing-masing dusun. Setelah Sadranan selesai maka setiap peserta juga akan memperoleh berkatan yang berisi nasi, sayur, laukpauk, makanan ringan, dan daging ingkung ayam jago. RUWAHAN Ruwahan merupakan majemukan pada bulan Sya’ban atas nama pribadi atau kepala keluarga dan diadakan dikediaman pribadi yang bersangkutan. Meski atas nama pribadi akan tetapi ruwahan dilakukan oleh hampir semua warga masyarakat dengan waktu yang berbeda-beda. Pesertanya atau jamaahnya pun tidak terikat pada aturan tertentu dalam masyarakat, akan tetapi lebih pada kemampuan yang memiliki hajat. Jika ia mampu maka boleh mengundang banyak orang, namun jika tidak pun bukan persoalan. Pada akhir acara ruwahan maka jamaah juga akan mendapatkan berkatan untuk dibawa pulang.
GIRIPURNO
Suran Desa Giripurno oleh: Mustofa Zam Zamil Huda
Suran merupakan tahun baru dalam kalender jawa/penanggalan jawa yang secara perhitungan sama dengan perhitungan kalender Hijriah. Perhitungan penanggalan jawa ini menggunakan sistem perputaran bulan, sama dengan perhitungan kalender Hijriah. Siklus hari dalam penanggalan jawa ini terdiri dari 2 macam, yakni mingguan (Ahad sampai Sabtu) dan pekan (pancawara) yang terdiri dari lima hari pasaran. Desa Giripurno merupakan desa yang masih kental dengan kebudayaan jawa (Kerajaan Mataram) salah satunya dalam penggunaan kalender sebagai penanda hari, bulan dan tahun yang juga banyak menggunakan kalender jawa. Oleh karena itu ada banyak kebiasaan dalam menyambut datangnya bulan suro yang hingga saat ini masih berjalan di desa Giripurno.Tahun baru jawa (1 suro) selalu datang bersamaan dengan tahun baru Hijriah (1 Muharram). Oleh karena itu, penyambutan awal tahun baru ini sering berpadu antara kebudayaan Jawa dan Islam, begitu pula yang terjadi di desa Giripurno. Adapun beberapa aktivitas yang terjadi di desa Giripurno dalam menyambut tahun baru Jawa dan Hijriah ini adalah:
1. Sholat Sunnah Akhir Tahun dan Awal Tahun Perayaan tahun baru secara Islami dilaksanakan di seluruh mushola dan masjid di desa Giripurno dengan menjalankan ibadah sholat sunnah akhir tahun sehabis Ashar dan Sholat sunnah awal tahun sehabis Sholat Maghrib. Waktu pelaksanaan aktivitas ini sesuai dengan perhitungan awal dan akhir perhitungan hari baik dari perhitungan jawa maupun islam, yakni setelah matahari terbenam. Pelaksanaan ibadah sholat sunnah ini dipimpin oleh Kyai atau Ustad setempat. 2. Menyediakan pancen di rumah-rumah Bagi sebagian masyarakat yang masih mempercayai adat jawa, pada rumah masing-masing akan membuat pancen yang berupa : a. Wedang pait (teh tubruk pahit) b. Wedang putih (air putih) c. Wedang putih dengan Gula jawa d. Tembakau e. Garet f. Kemenyan g. Uang
warung Den Suwito banyak juga pedagang jajanan lain yang menjual geblek, tahu susur, pecel, kacang godok dan beberapa jajanan lain. Selain kuliner, daya tarik lainnya adalah arena perjudian, judi dadu (klutuk). Namun semenjak peraturan perjudian ini gencar dilakukan oleh aparat, aktivitas tersebut saat ini tidak diperbolehkan.
Tujuan pancen ini adalah untuk memberi pancen (persediaan) untuk untuk leluhur mereka. Dalam memberikan pancen ini juga dengan memasrahkan jika pancen tersebut untuk leluhur mereka dengan bahasa jawa. 3. Mengadakan kenduri bersama di dusun-dusun (Auman) Kenduri bersama atau sering disebut dengan Auman ini dilaksanakan dalam bulan Suro dengan tanggal yang berbeda-beda di setiap dusun. Acaranya adalah tahlil atau mujadah dengan doa sesuai dengan agama Islam pada umumnya. Tempat berlangsungnya acara ini sesuai dengan kesepakatan warga masyarakat dusun tersebut, ada yang 1 Suro di masa lalu Perayaan 1 Suro di masa lampau di desa Giripurno cukup banyak perbedaan. Selain karena adat Jawa yang telah banyak ditinggalkan dengan berkembangnya pengetahuan tentang syariat Islam, aktivitas masyarakat pada tanggal 1 Suro cukup berbeda. Dahulu desa Giripurno merupakan transit untuk aktivitas pendakian ke puncak Suroloyo. Tempat transit tersebut berada di Pasar Gayam
di dusun Gayam dan Cakruk di dusun Miriombo Wetan. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi tempat berkumpul para pendaki mulai sebelum malam 1 Suro. Di kedua tempat tersebut seringkali ada pertunjukan kesenian tradisional dan jajanan lokal. Di sekitar pasar gayam pertunjukan topeng ireng atau jatilan sering menjadi hiburan para pengunjung. Sedangkan di Cakruk Miriombo Wetan juga sering menampilkan kesenian tradisional. Para pendaki ke puncak Suroloyo tersebut berasal dari beberapa desa tetangga atau bahkan dari daerah lain. Mereka berangkat berombongan satu atau dua hari sebelum tanggal 1 suro. Jika berombongan, biasanya membawa berbagai perlengkapan berkemah sederhana. Yang paling menarik adalah mereka membawa tape recorder atau alat musik semacam gitar klasik atau ketipung. Dengan adanya banyak orang maka disitu banyak juga pedagang lokal yang kemudian berjualan jajanan pasar. Dulu yang paling terkenal adalah warung Den Suwito di pasar Gayam yang berjualan nasi beras dengan lauk pupu tekuk. Namun selain
Aktivitas pendakian ke puncak Suroloyo semakin berkurang semenjak berkembangnya infrastruktur jalan dan kendaraan bermotor. Oleh karena hal tersebut sekitar satu dekade terakhir aktivitas di kedua tempat tersebut tidak terjadi lagi. Saat ini pada tanggal 1 suro hampir tidak ada pentas kesenian maupun keramaian lain di Pasar Gayam dan Cakruk Miriombo Wetan. 1 Suro dalam kepercayaan masyarakat jawa Bulan Suro oleh masyarakat jawa dipercaya sebagai bulan yang kurang baik. Mereka percaya jika memulai aktivitas pada bulan suro ini maka akan menerima kesialan pada masa yang akan datang. Sedangkan khusus untuk hari tertanggal 1 suro sepanjang tahun akan dianggap sebagai hari sangar, dimana orang yang mempercayainya tidak akan melakukan/memulai aktivitas pada hari tersebut. Beberapa larangan pada bulan suro ini yakni: 1. Mulai membangun dan membuat rumah. 2. Melakukan pernikahan 3. Memulai pekerjaan baru 4. Membeli kendaraan
GIRIPURNO
Daur Hidup oleh: Mustofa Zam Zamil Huda
Setiap prosesi awal atau akhir kehidupan yang ada di masyarakat desa Giripurno selalu diikuti dengan suatu aktifitas tertentu yang berupa doa atau ritual tertentu. Untuk mengetahui hal tersebut saya mendatangi kediaman Bapak Abdul Jabbar yang bermukim di dusun Parakan. PERNIKAHAN Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral. Sebab pernikahan merupakan satu-satunya prosesi yang dapat meng-halakan sesuatu yang haram. Dalam budaya Jawa yang juga masih banyak dilakukan desa Giripurno ada beberapa hal yang dilakukan sebelum prosesi puncak ijab qobul. Yang pertama adalah lamaran yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Dalam lamaran ini sesuai dengan adat jawa mempelai laki-laki tidak diperbolehkan untuk melamar sendiri meskipun ia mampu. Ia harus meminta orang tuanya untuk melamarkan calon mempelai perempuan. Kemudian saat lamaran ini prakteknya orang tua calon mempelai laki-laki belum tentu melamarnya seorang diri. Ada yang kemudian meminta kepada pamong (Kadus, Kades, atau Sekdes) untuk melamarkan.
Prosesi yang kedua adalah Bayar Tukon atau Tukonan, yakni sebuah prosesi pemberian mahar dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Di desa Giripurno tidak ada ketentuan mengenai nilai mahar, yang terpenting memiliki manfaat dan tidak merendahkan kepada calon mempelai perempuan. Prosesi Bayar Tukon ini sebagian besar warga masyarakat tidak melakukannya sendiri, akan tetapi meminta tolong kepada pamong atau tokoh masyarakat setempat untuk menyampaikan mahar kepada calon mempelai perempuan. Sebelum bayar tukon dilaksanakan, biasanya terlebih dahulu diadakan slametan/gendurenan. Kemudian setelah selesai slametan para wakil yang akan menyampaikan mahar berangkat ke kediaman calon mempelai perempuan. Wakil penyampai mahar tersebut biasanya berombongan beberapa orang. Ada yang kemudian bertugas membawa mahar, ada juga yang kemudian menjadi juru bicara yang biasanya merupakan orang yang paling di tokohkan di rombongan tersebut. Rombongan ini juga membawa seekor ayam jago yang nantinya akan dilepas di tempat tertentu.
Setelah sampai di rumah mempelai perempuan kemudian juru bicara rombongan tersebut pertama kali akan bertanya apakah musyawarah yang telah dibangun kedua keluarga masih bulat atau telah berubah. Jika jawabanya masih bulat maka juru bicara akan menyampaikan maksud kedatangannya untuk menyampaikan mahar tersebut.
dengan istilah “ngapati”. Pada waktu tersebut Allah meniupkan ruh dan juga menyelipkan nasib di tulang rusuk sebelah kiri. Oleh karena itu kemudian dibuatkan slametan atau wilujengan yang diikuti dengan pembacaan surat-surat Al-Qur’an. Harapanya agar diberi ruh yang sehat, baik dan kelak mendapatkan nasib yang bagus.
Prosesi yang ketiga adalah kedua keluarga kemudian akan bermusyawarah mengenai kapan waktu ijab qobul yang tepat. Dalam prosesi ini kebanyakan akan menggunakan perhitungan jawa dengan dasar hari lahir dalam hari biasa dan pasaran atau disebut neton atau weton. Kemudian akan dicari juga nas hari atau tahun. Nas juga diambil dari hari kematian orang tua calon mempelai jika ada yang telah meninggal. Jika kedua keluarga tidak dapat melakukan perhitungan jawa maka biasanya mereka meminta tolong kepada orang yang lebih tua atau dianggap mampu.
Pada usia kehamilan 7 bulan kemudian diadakan selamatan kedua yang disebut dengan “mitoni” atau “kekebo”. Prosesi ini berupa wilujengan dengan doa agar ibu mudah dalam melahirkan, yang melahirkan dan dilahirkan diberi keselamatan. Selain itu ada beberapa ritual yang kemudian dilakukan baik pada saat slametan maupun setelah selamatan usai. Saat slametan maka menggunakan menu “minuman dawet”. Menu ini merupakan sebuah kiasan agar anaknya yang lahir nanti bertubuh segar dan manis, jika laki-laki berwajah tampan dan jika perempuan berwajah cantik.
Prosesi yang keempat adalah ijab qobul dan jika merupakan keluarga mampu dapat ditambah dengan pesta pernikahan. Sebelum melakukan ijab qobul biasanya terlebih dahulu dilakukan prosesi ngirim ndo’o atau mengirim doa. Prosesi ini merupakan selamatan untuk mengirim doa kepada leluhur dan kemudian berdoa kepada Tuhan agar diberi kelancaran dalam acara nantinya. Jika kemudian akan mengadakan pesta pernikahan maka sebelum memulai pekerjaan persiapan ada ritual “ngunggahke beras” yang dilakukan oleh orang tertentu yang dipercaya dan dianggap mampu agar acara berjalan dengan lancar. Ritual tersebut kadang diikuti dengan ritual penolak hujan.
Kemudian setelah slametan usai semua orang harus keluar dari rumah. Bersamaan dengan itu ada orang yang kemudian menarik “galar”, yakni papan amben yang terbuat dari bambu. Kemudian sebuah kendil akan dipecahkan dihalaman rumah. Prosesi ini juga merupakan sebuah kiasan agar dalam prosesi kelahiran nanti dapat berjalan dengan lancar dan mudah.
KEHAMILAN Pada saat kehamilan seorang perempuan prosesi pertama yang dilakukan adalah pada saat usia kehamilan mencapai 4 bulan 10 hari yang disebut
KELAHIRAN Pada saat kelahiran, jika Ayah bayi tersebut berada di rumah maka penolong bayi tidak diperbolehkan untuk berbicara sebelum bayi dibersihkan, dipotong tali pusarnya dan diadzani pada telinga bagian kanan dan iqomah di telinga bagian kiri oleh ayahnya. Prosesi ini dimaksudkan agar yang terdengar pertama kali oleh bayi adalah suarasuaran yang baik dengan lafal yang mengagungkan Allah SWT.
Prosesi selanjutnya adalah penguburan plasenta atau lebih dikenal dengan nama “ari-ari”. Prosesi ini menggunakan beberapa perkengkapan yakni kain kafan, kendil, dan kembang boreh. Cara penguburanya adalah, ari-ari dicuci bersih kemudian dibungkus dengan kain kafan, setelah itu kembang boreh dimasukan kedalam kendil, dan bungkusan ari-ari tersebut dimasukan kedalam kendil, ditutup kemudian dimasukan ke dalam lubang kemudian ditutup kembali dengan tanah. Tempat mengubur ari-ari tersebut berada di depan pintu rumah depan. Jika bayi tersebut laki-laki maka ditempatkan disamping kanan pintu, namun jika perempuan ditempatkan disamping kiri pintu depan. Tempat mengubur ari-ari tersebut tidak boleh diinjak-injak. Konon jika diinjak-injak maka bayi akan sesak nafas. Oleh karena hal tersebut maka tempat mengubur ari-ari tersebut kemudian di buatkan tempat perlindungan. Tempat perlindungan tersebut biasanya terbuat dari bambu dengan bagian atas lebih sempit. Kemudian pada malam hari tempat tersebut biasanya diberi obor dengan pelita. Setelah kelahiran tersebut kemudian ibu-ibu lain akan berbondong-bondong untuk menjenguk, prosesi ini dikenal dengan nama “ngendong’. Pada waktu ngendong ini ibu-ibu tidak diperbolehkan untuk membawa anak kecil, sebab anak tersebut bisa saja terkena sawan bayi. Konon sawan merupakan debu dari hancurnya iblis atau roh jahat. Ketika akan pulang maka ibu-ibu tersebut akan meminta dadah atau bedak milik bayi tersebut sebagai penangkal sawan untuk anaknya. Ngendong atau tilik bayi juga dilakukan oleh kaum lelaki namun pada malam hari. Acara ini merupakan solidaritas dan tidak ada peraturan yang
mengikat. Ngendong akan selesai setelah prosesi “kekerik”, yakni proses pemberian nama dan cukur rambut bayi. Biasanya kekerik ini akan dilakukan setelah “puputan” atau telah lepasnya tali pusarnya, namun untuk keluarga yang kurang mampu tetap diperbolehkan untuk kekerik lebih awal. Hal tersebut bertujuan agar proses ngendong berhenti karena keluarga tersebut kurang mampu untuk menanggung biaya acara ngendong. Ngendong yang dilakukan oleh laki-laki pada awalnya bertujuan untuk ikut menjaga keamanan bayi yang lahir dari pencurian, dimakan binatang buas, atau dimakan makhuk jahat. Saat ini acara ngendong banyak diisi dengan membaca sholawat Al-Barjanji dan waktu ngendong pun sebatas di tengah malam. Namun dulunya ngendong bisa mencapai subuh dan kegiatan yang dilakukan adalah berjudi. Prosesi selanjutnya adalah “puputan”, yakni terputusnya tali pusar sisa yang telah dipotong kemudian diikat atau dijepit. Waktunya berbedabeda antara 5 hari sampai 1 bulan. Potongan tali pusar tadi kemudian akan disimpan dan kelak akan digunakan jika bayi tersebut sakit. Jika bayi sakit maka tali pusar tersebut akan dicelupkan kedalam air dan kemudian airnya akan dijadikan bedak untuk bayi tersebut agar cepat sembuh. Namun ada juga yang konon tali pusar tersebut ditelan ayahnya. Dengan menelan tali pusar tersebut konon ayahnya akan mampu menyembuhkan anak tersebut jika sakit hanya dengan meniupnya saja. Akan tetapi hal tersebut juga menyebabkan resiko, jika ayahnya sampai menyakiti anak tersebut maka ia akan sulit sembuh dan tidak akan ada obatnya. Kemudian hanya ayahnya tersebut yang dapat menyembuhkan jika dengan iklas dan tulus menyembuhkan anaknya.
Selamatan prosesi puputan biasanya dilakukan bersamaan dengan kekerik. Pada tahap ini bayi akan diberi nama dan kemudian dicukur rambutnya. Proses cukur rambut tersebut akan
kesehatan ibu dan bayinya hingga hari ke 40. Biayannya bervariasi, biasanya hingga kekerik ada biaya tersendiri dan setelah itu juga ada biaya sendiri setiap kali datang. Tidak ada patokan harga
diiringi dengan pembacaan kitab Al-Barjanji. Pencukur rambutnya adalah 7 orang tokoh masyarakat sesepuh dusun tersebut. Mereka akan berdoa kemudian mencukur beberapa helai rambut. Bayi tersebut saat dicukur akan digendong oleh seorang lelaki dan berada ditengah perkumpulan. Seorang yang lain akan membawa payung untuk memayungi bayi tersebut. Kemudian para pencukur akan bergiliran untuk mencukur. Mereka akan berdoa kemudian mencukur beberapa helai rambut.
tertentu, biasanya akan menggunakan pengalaman dari keluarga lainnya. Setelah 40 hari biasanya dalam kurun waktu tertentu dukun bayi akan datang untuk memijat ibu dan bayinya.
Pasca kelahiran ini Ibu bayi tersebut juga akan mendapatkan perlakukan khusus dan juga beberapa ritual. Yang pertama adalah pijat syaraf setelah kelahiran yang biasanya dilakukan oleh dukun bayi hingga hari ke-14 atau 21. Pijat ini bertujuan untuk menfungsikan kembali seluruh urat syaraf tubuh. Selain itu Ibu bayi akan mengkonsumsi jamuan khusus, anggur, dan sayuran untuk memperbaiki kualitas ASI. Kemudian Ibu bayi juga akan melakukan kegiatan fisik yang dinamakan “wuwung”. Kegiatan ini adalah mandi dengan gayung yang besar, biasanya dengan “entik” atau “tenggok kecil”. Jumlah siraman waktu mandi tersebut akan dihitung dengan jumlah tertentu. Setelah itu kemudian Ibu bayi akan melakukan terapi dengan memijit bagian pilingan disamping luar kedua mata, di pelipis, di bagian dalam sebelah mata atau disamping hidung atas, dan di bawah mata. Ibu bayi setelah proses melahirkan tersebut dilarang untuk duduk bersila atau timpuh, ia tidak boleh terlalu banyak menekuk kaki agar nanti tidak muncul garis-garis putih atau muncul gumpalan di perut. Dukun bayi akan mengawasi dan memandu
Setelah bayi mampu merangkak kemudian akan dilakukan proses yang dinamakan “ngedunduni”, yakni proses menurunkan bayi di tanah. Sebelum bayi dapat merangkak, bayi tersebut tidak diperbolehkan untuk diletakan di tanah. Jika terpaksa maka harus ada alas berupa tikar atau lainnya untuk praktek yang ada saat ini. Namun dahulu sama sekali tidak diperbolehkan. Bayi hanya akan ada digendongan atau di atas amben. Proses ngedun-duni ini memerlukan berbagai perlengkapan dan juga selamatan. Perlengkapan itu antara lain kurungan ayam besar, jadah diatas nampan, tangga dari tebu hitam, perlengkapan tukang, perlengkapan bertani, perlengkapan kantor, perlengkapan sekolah dan sebagaimya. Proses ngedun-duni dimulai dengan mendudukan bayi di atas jadah. Proses ini merupakan sebuah kiasan agar kelak anak tersebut mendapatkan kedudukan yang baik dalam masyarakat. Kemudian bayi akan dilepaskan agar memilih berbagai perlengkapan yang disediakan. Setiap perlengkapan yang dipilih kemudian akan memiliki arti tersendiri. Jika memilih perlengkapan petani mungkin besok ia akan menjadi petani, jika perlengkapan tukang maka akan menjadi tukang, dan sebagainya. Jika anak tersebut memilih tangga dari tebu hitam, konon ia akan mendapatkan derajat yang luar biasa pada suatu saat nanti. Prosesi lain adalah setiap 35 hari sekali pada
hari yang sama saat ia lahir yakni hari biasa dan pasaran jawanya. Prosesi tersebut dikenal dengan nama “nyelapani”. Pada selapanan pertama setelah kelahiran biasanya akan diadakan slametan dengan gendurenan. Namun setelah itu slametan dilakukan cukup dengan membuat “among-among”, yakni menu makanan yang berupa nasi dan sayur kluban yang ditempatkan di atas cowek dan ditutup dengan kukusan. Among-among tersebut akan diletakan di tempat bayi tersebut tidur atau dikamar tersebut. Tidak ada batasan kapan among-among ini dihentikan, biasanya hingga anak sudah cukup besar. Setelah sampai pada waktunya untuk menghentikan pemberian ASI maka dilakukan prosesi dengan nama “mareni”. Proses mareni ini kadang dilakukan dengan mendatangi orang tertentu yang dianggap mampu. Setiap orang kadang memiliki cara yang berbeda-beda, namun pada intinya mereka melakukan ritual denga doa tertentu. Setelah proses ritual tersebut si anak akan diberi “ilo-ilo” yang kadang berupa makanan. AQIQOH Aqiqoh merupakan salah satu prosesi penyembelihan kambing secara islami dengan maksud untuk menebus seorang anak atau diri sendiri kepada Allah SWT. Jika laki-laki maka kambingnya berjumlah 2 ekor, jika perempuan 1 ekor. Pada prosesi aqiqoh ini daging kambing didistribusikan dalam bentuk masakan. Sedangkan jenis makanannya harus masakan gurih dan tidak boleh terlalu pedas. Waktu pelaksanaan aqiqoh bebas. Ada yang berbarengan dengen kekerik, pada saat khitan, ada yang memang menggunakan waktu tersendiri, dan sebaginya.
KHITAN Khitan merupakan proses pembersihan penutup khasafah untuk menghilangkan sumber najis. Warga masyarakat Giripurno kebanyakan menggunakan jasa “bong supit” dalam proses ini. Jauh hari sebelumnya, biasanya warga mencari hari baik terlebih dahulu. Hari tersebut dihitung dengan hitungan hari lahir/neton dan hari nas. Waktu pelaksanaan berupa hari lengkap dengan pasaran jawa beserta jam untuk “pagas/waktu potong”. Sebelum pelaksanaan terlebih dahulu dilakukan “ngirim ndo’o” atau berkirim doa. Dalam prosesi ini ada yang kemudian berbarengan dengan aqiqoh atau pengajian. Akan tetapi kebanyakan hanya sekedar pagas kemudian selesai, hal ini tergantung kemauan dan kelas ekonomi orang tersebut.
GIRIPURNO
Petilasan dan Tempat Sakral Desa Giripurno oleh: Mustofa Zam Zamil Huda PETILASAN DAN TEMPAT SAKRAL DI DESA GIRIPURNO Sebagian besar warga masyarakat desa Giripurno mempercayai tempat-tempat tertentu yang dianggap werid atau sakral. Tempat-tempat semacam itu bisanya karena sebab tertentu seperti tempat yang disinggahi tokoh-tokoh tertentu, dianggap ada penunggunya yang berupa makhluk halus dan sejenisnya. Saya mendatangi beberapa tokoh masyarakat untuk mengetahui hal tersebut. PETILASAN KERAMAT Petilasan keramat berada di dusun Parakan. Menurut Bapak Abdul Jabbar, tempat tersebut dulu menjadi tempat singgah atau pinarak Sunan Kalijogo dalam perjalanan mencari soko guru atau tiang masjid Agung Demak. Di tempat tersebut Sunan Kalijaga memotong jenggot dan kumisnya. Beliau kemudian meninggalkan sajadah dan tasbih yang konon saat ini masih ada namun berbentuk ghaib dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melihatnya. Warga masyarakat kemudian membuat cungkup berupa rumah kecil yang awalnya dari kayu
dan kemudian dibangun secara permanen menggunakan batu-bata. Selain cungkup terdapat juga prasasti yang berupa batu yang saat ini berada di samping rumah Bapak Ali Muchtar. Batu tersebut pada awalnya dapat digoyang-goyang akan tetapi tidak dapat dicabut. Dulu pernah dicoba untuk dipindahkan dengan digali sedalam 3-5 meter namun tidak bisa ditemukan ujung bawahnya dan bentuk batunya tetap sama. Saat ini meski cungkup petilasan keramat tersebut telah dibuat permanen namun lantainya tetap dibiarkan begitu saja. Konon orang-orang telapak kaki Sunan Kalijaga tetap akan berada di atas, meskipun lantai tersebut dibangun atau bahkan terkubur dalam. Dahulunya area petilasan keramat cukup luas, akan tetapi saat ini dengan bertambahnya penduduk dan kemajuan zaman, areanya digunakan menjadi jalan dan sebagian menjadi halaman tempat tinggal penduduk. Kemudian dulu kegiatan-kegiatan seperti majemukan dusun dan peringatan hari atau bulanbulan tertentu juga diadakan di Petilasan Keramat, akan tetapi saat ini tidak lagi digunakan dengan area lahan yang semakin menyempit.
SENDANG SEBANDOT Sendang Sebandot merupakan sebuah Area seluas kurang lebih 2000 m2 dan berada di wilayah dusun Gayam. Berada di sebelah Selatan dari kantor pemerintah desa Giripurno berjarak kurang lebih 400 meter. Lahan tersebut menurut Bapak Abdul Jabbar merupakan lahan OO atau GG yang tidak berpajak yang saat ini berada dikuasa Pemerintah Desa Giripurno. Sendang Sebandot berupa hutan kecil dengan pohon besar yang menjulang tinggi dan berumur ratusan tahun. Di tempat tersebut juga terdapat mata air yang dikeramatkan oleh warga masyarakat. Menurut Bapak Abdul Jabbar, Sunan Kalijogo dalam perjalanan mencari soko guru atau tiang masjid Agung Demak berniat untuk melaksanakan sholat Dhzuhur. Akan tetapi kemudian beliau tidak menemukan air. Karena kepokoh/kepepet beliau kemudian menancapkan tongkatnya yang konon muncul mata air. Dan mata air tersebut alirannya mengucur seperti air kencing kambing sebendot. Sedangkan kambing sebendot sendiri merupakan jenis kambing domba yang besar dan berbeda dengan kambing gibas. Hingga saat ini nama Sebendot menjadi nama untuk lokasi tersebut. Mata air Sendang Sebandot hingga saat ini menjadi salah satu penyuplai kebutuhan air di wilayah dusun Gayam dan beberapa dusun lain. Dulu mata air memiliki manfaat yang besar bagi warga masyarakat baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun pertanian. Oleh karena hal tersebut dulunya di Sendang Sebandot pun menjadi tempat untuk Sedekah Bumi pada bulan Sofar yang berjalan hingga saat ini meski dengan tradisi yang berbeda. Warga masyarakat sempat membangun tempat tersebut secara permanen dengan membuat kolam
kecil dari semen. Akan tetapi pada tahun 2021 ada seorang warga yang mendapatkan mimpi atau sebuah ‘kejadian ghaib’ dan mendapat perintah untuk mengembalikan tempat tersebut seperti sedia kala. Namun kejadian tersebut secara rinci tidak boleh diceritakan, didokumentasi dan disebarluaskan. Karena tempat tersebut dikeramatkan, maka warga masyarakat desa pun tidak berani untuk memanfaatkan hasil dari tanaman yang ada di Sendang Sebandot. Warga masyarakat tidak berani memotong atau menggunakan kayu maupun tanaman yang ada ditempat tersebut. Kepengelolaan dan perawatan Sendang Sebandot saat ini berada dibawah tiga dusun, yakni dusun Gayam, dusun Pokoh, dan dusun Jombor. Kemudian ada satu warga masyarakat yang menjadi juru kunci dari sendang Sebandot. Juru kunci ini menurut Bapak Abdull Jabbar merupakan orang yang mendapatkan mimpi untuk menjaga tempat tersebut.
Sendang Sebandot
GIRIPURNO
Pepancen: Sesajian dalam Rumah Tangga oleh: Mustofa Zam Zamil Huda
Pepancen merupakan aktifitas menyiapkan panci berupa makanan, minuman, perlengkapan merokok atau menginang, uang, atau kembang sebagai sebuah sesajen atau pancen untuk leluhur atau nenek moyang. Pada acara-acara tertentu, pancen ini juga ditambah dengan perlengkapan tertentu seperti gerabah, jenang abang-putih, dan lain-lain. Menurut salah satu sumber dari tokoh masyarakat yang tidak berkenan disebut namannya, pancen dibuat dengan menyesuaikan kegemaran dari leluhur atau nenek moyangnya tersebut. Pancen dibuat pada waktu-waktu tertentu seperti malam Jum’at, malam hari kematian leluhur, malam ketika akan mengadakan hajatan, malam ketika hari raya Idhul Fitri maupun Idhul Adha, malam pada hari-hari atau tanggal keramat, dan sebagainya. Jenis makanan yang disediakan adalah nasi putih atau nasi jagung (tergantung kemampuan) beserta sayur dan lauk-pauknya. Syarat pembuatannya adalah makanan untuk panci harus diambil terlebih dahulu sebelum dimakan oleh anggota keluarga lainnya.
Sedangkan untuk jenis minumannya adalah teh tubruk pahit, teh tubruk manis, air putih, dan air putih gula jawa atau gula aren. Sedangkan untuk syarat pembuatannya sama dengan penyiapan makanan, yakni harus diambil terlebih dahulu sebelum di konsumsi oleh anggota keluarga. Untuk rokok dapat menggunakan perlengkapan rokok lintingan yang berupa tembakau, cengkeh, kertas sigaret, kemenyan, dan klembak, atau dapat juga dengan menggunakan sebatang rokok. Namun jika leluhurnya tersebut merupakan seorang perempuan maka menggunakan perlengkapan menginang yang berupa daun sirih dan enjet. Pancen tersebut dibuat oleh warga masyarakat yang masih mempercayainya. Pembuat pancen atau anggota keluarga lain dapat memanfaatkan pancen tersebut setelah pagi atau setelah hajatan selesai.
GIRIPURNO
Pengobatan Tradisional oleh: Mustofa Zam Zamil Huda
Di Desa Giripurno tidak semua orang sakit diobatkan di rumah sakit. Akan tetapi sebagian warga masyarakat masih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengobatinya. Pengobatan tradisional ini berupa pijat, air yang diberi doadoa (air berkah), doa-doa, menggunakan ramuanramuan lokal (jamu-jamuan), dsb. Untuk tukang pijat, di desa Giripurno ada beberapa tukang pijat dengan teknis sangkal putung dan beberapa pijat syaraf. Kemudian untuk air berkah dan doa-doa biasanya dimintakan kepada orang yang tua atau dituakan. Selain itu air berkah juga banyak dimintakan kepada pemuka agama. Untuk orang tertentu yang sakitnya dianggap sangat parah kemudian akan diadakan pembacaan doa bersama-sama dan juga surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Namun ada juga yang kemudian mengundang orang yang dituakan yang kadang juga dari luar desa untuk ngila-ngilani, mengambil susuk, menghilangkan ilmu yang dulu dipelajarinya, dsb.
BEKAM Untuk mengetahui mengenai pengobatan dengan bekam ini saya mendatangi kediaman Bapak Abdul Jabar yang juga merupakan seorang ahli bekam di desa Giripurno. Beliau mempelajari bekam semenjak tahun 1996. Kemudian Bapak Abdul Jabbar bercerita jika bekam ini merupakan pengobatan secara Islami dan juga merupakan salah satu ibadah sunnah. Setidaknya dalam setiap 40 hari umat islam di sunnahkan untuk berbekam, jika tidak memungkinkan maka dapat setiap 120 hari atau 4 bulan sekali. Bekam merupakan teknik pengobatan dengan mengeluarkan darah yang kotor (darah yang tua dan belum mati) dengan menggunakan perlengkapan diantaranya alat kop dan jarum. Bekam dapat menyembuhkan berbagai penyakit bahkan dapat mengusir roh jahat atau makhluk halus yang merasuki manusia. Untuk seorang muslim sebelum berbekam disunnahkan membaca Syahadat dan Sholawat.
Kemudian Hajjam, sebutan untuk ahli bekam, akan membaca doa-doa tertentu kepada Allah SWT. Seorang Hajjam tidak diperbolehkan untuk memberitahukan nama penyakit kepada orang yang berbekam agar orang tersebut tidak ketakutan. GURAH Gurah merupakan teknik pengobatan untuk menjaga kesehatan atau merawat kesehatan dari dada sampai kepala. Bapak Abdul Jabbar juga merupakan seorang ahli Gurah di desa Giripurno. Sesuai dengan keterangan beliau, ada tiga versi gurah berdasarkan bahan pemicu yang digunakan. Yang pertama dengan telur, yang kedua dengan akar-akaran, dan yang ketiga dengan cabe. Pada saat menggurah, bahan pemicu akan diteteskan di bagian lubang hidung. Beberapa saat kemudian lendir yang berada di bagian dada, tenggorokan dan kepala akan keluar. Setelah bergurah biasanya akan ada sedikit efek tidak enak tenggorokan karena lendir habis, namun dalam beberapa hari kemudian akan membaik.
Giritengah
GIRITENGAH
dan bayi selama lima hari berturut-turut. Orangorang yang terlibat biasanya adalah para tetangga terdekat dan saudra serta para pemuda dusun. Pada masa setelah melahirkan, peran saudara dan tetangga yang ikut menunggu sebenarnya adalah memberikan dukungan sosial terhadap ibu yang baru saja melahirkan. Biasanya seorang ibu yang baru melahirkan akan kesulitan tidur sehingga perlu ditemani. Dalam lek-lekan biasanya mereka akan mengobrol sepanjang malam hingga biasanya berakhir pada pukul 2 atau 3 pagi. Narsum : Mbah Mustonginah (63 tahun) RT 07/ RW 02 Kalitengah
Daur Hidup oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Mapati Mapati merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat bulan keempat masa kehamilan seorang istri. Mapati dilakukan dilakukan pada saat usia kandungan memasuki usia empat bulan dimana si jabang bayi sudah ditupkan rohnya, saat janin berusia 120 hari (empat bulan) dimulaialah kehidupan ruh ,dan saat itu ditentukan bagaimana kehidupan selanjutnya,di dunia dan di akhirat. Prosesi mapati mengadakan slametan pada malam hari, biasanya dilaksanakan sehabis isya. Di dalam prosesi slametan itu membaca surah 4 (empat) yakni : Q.s. Yusuf, Q.s Al kahfi, Q.s Tanaroq, Q.s Annur. Slametan biasanya mengundang para saudara dan para tetangga untuk mendoakan ibu dan si jabang bayi agar nanti anak yang sedang dikandung lahir sebagai manusia yang utuh, sempurna, sehat, selamat serta dianugerahi rezeki yang baik, panjang umur dan juga beruntung dunia hingga akhiratnya. Narsum : Mbah Salbiyah (55 tahun) RT 05/ RW 02 Kalitengah. Mitoni/tingkeban Mitoni adalah upacara 7 bulanan kehamilan mitoni juga biasa disebut ‘’tingkepan’’, berasal dari bahasa jawa “sing dienti-enti wis methuk jangkep”
yang artinya ‘yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna’. Karena, pada umur 7 bulan kehamilan sudah hampir mendekati masa kelahiran. Mitoni dilaksanakan malam hari dalam acara mitoni biasanya mengundang sanak saudara dan tetangga untuk slametan dan di bacakan surat 7 yaitu Q.s arrahman, Q.s ad dukhon, Q.s Maryam, Q.s. annur, Q.s al waqiah, Q.s al kahfi, Q.s Yusuf pada akhir prosesi mitoni biasanya terdapat ritual pecah kuwali yang dilakukan oleh salah satu tamu yang hadir prosesi ini memiliki makna supaya nanti saat kelahiran si jabang bayi diberikan kelancaran seperti pecahnya kwali. Narsum : Mbah Tarwiyah (63 tahun) RT 06/ RW 02 Kalitengah. Lairan Ketika seorang ibu hamil sudah melahirkan kemudian diadakan bacakan masyarakat biasa menyebut brokohan yaitu ucapan rasa syukur terhadap Tuhan yang ditandai dengan bancakan/ slametan. Biasanya jika setelah lairan saudara dan para tetangga datang kerumah ibu yang baru melahirkan untuk menjenguk ibu dan bayinya, masyarakat biasa menyebut dengan kata ‘Ngendong’ pada malam hari dilanjutkan acara “lek-lekan”, yaitu acara menunggu ibu
Kekerik Kekerik adalah prosesi slametan/bancakan. Dalam bancakan ini prosesinya tergantung jenis kelamin si bayi jika bayinya laki-laki maka kekerik dilaksanakan pada hari hitungan ganjil setelah kelahiran dan jika bayi tersebut perempuan maka kekerik dilaksanakan pada hari hitungan genap. Kekerik biasanya ditandai dengan potong rambut serta puputan( terlepasnya ari-ari dari pusar bayi ) pada prosesi bancakan ini sekaligus meberikan nama kepada bayi biasaya prosesi ini dilaksanakan di malam hari dirumah dirumah ibu dan bapak si jabang bayi mengundang tetangga terdekat,saudara dari keluarga bapak dan ibu si bayi,tujuan dari acara ini untuk mendoakan bayi agar senantiasa dierikan kesehatan jasmani dan rohani pada prosesi potong rambut,bayi digendong berkeliling didepan tamu undangan yang dibarengi membacakan sholawat nabi kemudian berhenti di salah satu sesepuh/kyai yang memimpin sholawatan supaya beliau memotong rambut si bayi tersebut. Narsum : Mbah Rokimah (40 tahun) RT 05/ RW 02 Tedak Siten Tedak Siten atau Tedak Siti adalah salah merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat jawa yang
diselenggarakan pada saat anak pertama kali belajar menginjakkan kaki ke tanah. Tedak siten memiliki 2 arti yakni ‘tedak’ yang berarti turun ‘siten’ yang berarti tanah. Tedak siten biasanya dilaksanakan ketika seorang anak lelaki atau perempuan berusia 7 lapan karena dalam hitungan jawa 1 lapan = 35 hari jadi umur anak pada saat mengadakan tedak siten berusia 245 hari. Pada usia ini, perkembangan anak sudah berada pada tahap berdiri. Sebelum melakukan ritual ini orang tua balita terlebih dahulu menyiapkan perlengkapan tedak siten diantaranya jadah warna putih, sesaji slametan yang terdiri dari nasi tumpeng bubur merah dan bubur putih, jajanan pasar, pala pendem atau umbi-umbian, beras kuning dan beberapa lembar uang, kurungan ayam, yang dihias janur kuning, padi, kapas, sekar telon (tiga macam bunga, misalnya mawar melati dan kenanga), barang bermanfaat, misalnya alat tulis, buku, dan sebagainya yang di masukka ke sangkar. Narsum : Supinah (56 tahun) RT 06/RW 02 Kalitengah Among-among Amaog-among merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat jawa pada umumnya. Di daerah saya tinggal tradisi among-among masih dijalankan oleh ibu yang baru saja memilki balita. Amongamong sejatinya merupakan wujud syukur orang tua balita karena anaknya diberikan kesehatan. Dalam penanggalan jawa, dikenal lima hari pasaran yakni pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Lima hari pasaran ini jika dikalikan tujuh hari dalam seminggu, maka hasilnya adalah 35 hari. Artinya among-among akan diselenggarakan setiap 35 hari sekali atau yang biasaya masyarakat kenal dengan istilah ‘selapan dino’. Meski demikian, ketentuan ini bukanlah patokan yang pasti, dan itu artinya among among tidak mesti diselenggarakan setiap
35 hari sekali, semua itu tergantung hajat dan kemampuan. Sajian among-among biasanya terdiri dari nasi, klubanan, telur ayam kampung, tempe goreng sajian tersebut diletakkan dalam eblek atau nampan dari anyaman bambu. Biasaya amongamong diselenggarakan pada pagi, siang hari, ibu balita biasaya mengundang anak-anak tetangga terdekat untuk menyantap among-among barsamabersama atau kembul bujono. Biasanya di bawah sajian among among yang tertutup daun pisang ditaruh wajib berupa uang kertas/koin kemudian anak berebut uang tersebut. Narsum : Mbah Wasingah (64 tahun) Supitan atau Sunatan Supitan atau sunatan yang secara umum disebut khitan untuk anak laki-laki,yaitu pemotongan ujung kulit kemaluan. Supitan biasanya dilakukan ketika anak memasuki usia menjelang baligh yakni kisaran umur 10-14 tahun. Ada juga yang melakukan khitan dihari ketujuh, biasanya anak yang sudah khitan diadakan bancakan atau slametan karena sudah mulai sembuh pasca sunat. Narsum : Mbah Tusimah (64 tahun) RT 06/ RW 02 Kalitengah Mantu Mantu merupakan suatu prosesi pernikahan yang diadakan masyarakat dari pihak orang tua mempelai wanita. sedangkan Ngunduh Mantu adalah pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh orang tua wali mempelai pria biasanya acara ngunduh mantu lebih sederhana dibanding acara mantu. Pada setiap acara pesta pernikahan yang diselenggarakan terdapat salah satu uborampe khusus yaitu “ngunggahke beras” sebagai sarana memohon kepada Allah supaya yang memiliki hajatan diberikan keselamatan dari hal-hal yang tidak kasat mata. Komposisi dari munggah beras adalah tumbu/tenggok, lawe ,telur ayam kampung,
godong pulutan, godong kluweh, batok bolu. Narsum : Mbah Jamal (64 tahun) RT 07/ RW 02 Kalitengah Geblak atau Kepaten Geblak/kepaten merupakan hari meninggalnya seseorang. dalam hal ini orang meninggal akan diperingati pada hari-hari tertentu. Pada hari peringatan tersebut akan dilaksankan gendurenan/ bancakan untuk mendoakan orang yang meninggal dengan disertai doa keselamatan untuk yang meninngal dengan mengundang saudara dan para tetangga lingkungan sekitar. Hari peringatan bagi orang yang meninggal yakni 7 kali yaitu Nelung dinan atau memperingati 3 hari, mitung dinan atau memperingati 7 hari, matang puluh atau memperingati 40 hari, nyatus atau memperingati 100 hari, pendak pisan atau memperingati 1 tahun, pendak pindo atau memperingati 2 tahun, nyewu atau memperingati 1000 hari. Narsum : Pak Ahmad (44 tahun) RT 07/RW 02 Kalitengah
GIRITENGAH
Penghayat Kejawen Urip Sejati oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono Urip Sejati merupakan nama paguyuban warga penghayat kejawen di dusun Onggosoro desa Giritengah. Jumlah penghayat di dusun Onggosoro kurang lebih 200 orang. Urip sejati memiliki sanggar sebagai tempat beribadatan yang di namakan sanggar pamelengan yang artinya tempat pamiling antaara manusi dan sang pecipta. Ajaran kejawen masuk di giritengah kurang lebih pada tahun 1930 pada saat itu massa penjajahan belanda, sebagian masyarakat di dusun onggosoro berangkat ke ngayogyakarto untuk ngayom (berlindung) di suryodiningratan disitulah warga diajarakan tetang kejawen oleh Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryodiningrat, anak Sultan Hamengkubuwana VII. Urip sejati memiliki tradisi ritual tahunan yakni setiap tanggal 15 suro. Sebelum hari H ritual atau persiapan upacara 15 suro. Prosesi upacara diawali kegiatan nyekar atau berziarah makam di dekat dusun kala siang hari. Pada waktu maghrib, sejumlah warga ngirab atau hgarak gunungan yang berisi aneka ragam buah dan sayur, serta ubarampe lain macam tumpeng, jenang abang putih, ayam ingkung, dan sebagainya, ke lokasi doa bersama. Kemudian, beberapa anak dan pemuda setempat
menampilkan tari-tarian diantaranya tarian pujopuji. Tetua Kejawen Urip Sejati, Kamidjan (62) menuturkan, tradisi itu rutin digelar saban tahun agar hal-hal tidak baik yang ada di Bumi lekas sirna dan kehidupan warga bahagia dan mulia. Lebih lanjut Kamidjan menerangkan prosesi upacara ditutup melalui pentas wayang kulit. Pada suro tahun ini dengan lakon "Sirnaning Pedhot Amarta". Dia berharap pentas ini semacam simbol ruwatan atas hal-hal tidak baik yang tengah melanda nusantara. "Karena warga punya kepercayaan bahwa wayang, bukan sekadar tontonan, tapi sumber tuntunan. Narsum : Mbah Kamidjan (62 tahun) RT 04/ RW 02 Onggosoro Info Tambahan : Kebon tempat menanam pisang untuk sesaji berada di ladang milik warga Urip Sejati, serta bahan lain selai pisang kebanyakan merupakan hasil pertanian dari warga sekitar seperti : ketela, kelapa kuning (gading), kacang panjang, cengkeh, kopi, cabai, jagung. Sedangkan yang membeli dari pasar yakni; bawang merah bunga setaman.
GIRITENGAH
Nawu Sendang Suruh Di Desa Giritengah oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Sendang Suruh, sebuah mata air yang tak pernah kering ketika musim kemarau sekalipun, dan tak pernah meluap di musim hujan. Sendang ini hingga kini terus dirawat keberadaannya melalui sebuah tradisi bernama Nawu Sendang. Lokasi Sendang Suruh di Giritengah terletak di antara Dusun Gedang Sambu dan Dusun Ngaglik. Untuk mencapai Sendang Suruh dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 3 sampai 5 menit dari parkiran rumah warga. Mbah Kasto Ikromo, kakek yang berusia 95 tahun menceritakan bagaimana tradisi Nawu Sendang masih ada hingga kini. Dahulu, sendang ini merupakan tempat singgah Pangeran Diponegoro (Raden Ontowiryo) beserta para pengikutnya, diantaranya adalah Nyi Ageng Serang dan Tumenggung Malang Duryo pada saat perang gerilya melawan penjajah. Di tempat ini pangeran Diponegoro dan Ny Ageng serang menyusun strategi perang serta menggunakan air sendang untuk bersuci.
Selanjutny, keberadaan Sendang Suruh ini dirawat oleh keturunan Tumenggung Malang Duryo. Di masa lalu, Nawu Sendang atau menguras sendang dilakukan setiap hari Kamis. Seiring berjalannya waktu bersih-bersih sendang dilakukan dua kali dalam satu tahun yakni setiap tanggal 1 Suro dalam penanggalan Jawa dan tanggal 12 Rabiul Awal atau bulan Mulud dalam penanggalan Hijriyah. Nawu Sendang ini dilakukan oleh para warga keturunan dari Tumenggung Malang Duryo. Sebelum prosesi pembersihan sendang dilakukan, salah satu sesepuh dari keturunan Tumenggung Malang Duryo memohon izin kepada yang menunggu sendang tersebut. “Pembersihan sendang sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan ketenteraman bagi masyarakat di sekitar sendang, serta bagi masyarakat Desa Giritengah pada umumnya,” kata Mbah Kasto Ikromo. Konon cerita sendang ini tidak pernah surut airnya pada musim kemarau dan juga tidak lebih
pada musim penghujan. Dalam sendang tersebut terdapat 2 ekor belut, warga sekitar tidak ada yang berani membawa pulang,apalagi sampai memasak belut tersebut karena belut ini diyakini oleh warga sebagai salah satu penghuni sendang. Setelah selesai pembersihan sendang, kemudian dilakukan prosesi doa bersama yang diikuti seluruh warga yang hadir dan perangkat desa yang di pimpin oleh kepala Desa Giritengah.
GIRITENGAH
Gunungan Hasil Bumi oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Sesuai dengan namanya, gunungan bumi tentu saja terbuat dari hasil dari bumi yang disusun menjadi sebuah gunungan. Masyarakat di desa Giritengah biasanya membuat gunungan hasil bumi ketika hari-hari penting seperti suronan atau ritual paguyuban. Tujuan dari gunungan bumi adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Gunungan ini terdiri dari beraneka ragam hasil bumi seperti buah buahan, sayur sayuran atau bahkan rempah rempah yang disusun secara menarik. Gunungan biasanya diarak keliling desa secara bersama-sama dan hingga pada aKhirnya gunungan ini dibagikan ke masyarakat. Alasan kenapa gunungan ini tidak diperebutkan supaya tidak banyak hasil bumi yang terbuang sia-sia karena jatuh dan terinjak-injak. Kelengkapan Gunungan: Timun, Cabai, sayur mayur, Apel, Nanas, Cengkeh, Bengkoang, Terong, Kopi, Labu merupakan hasil Bumi Yang dibeli di pasar: Sawo, Semangka, Bawang Merah dan Bawang Putih
Narsum: Pak Eko ( 36 tahun) RT 01/ RW 01 Onggosoro.
GIRITENGAH
Makan bubur yang jadi strategi perang
Pos Mati, Saksi Bisu KesaktianPangeran Dipenogoro oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono Konon, di tempat ini pasukan Belanda dibuat bingung oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Saat menyerang, pasukan itu mengira tengah berada di lautan, sehingga berenang untuk menyerang. Pernah juga pasukan Belanda mengira tengah memborbardir tempat itu dengan tembakan meriam dan senapan karena mengira yang mereka lihat adalah sosok Pangeran Diponegoro. Tempa ini dinamakan Pos Mati. Pos Mati merupakan petilasan yang dahulu dijadikan tempat pengintaian musuh oleh Pangeran Diponegoro pada masa Perang Gerilya tahun 1825 – 1830. Lokasi ini ditandai dengan adanya sebuah pohon Serut (Sreblus Asper) yang menurut sejarah adalah pohon peninggalan Pangeran Diponegoro sebagai bukti beliau pernah berada ditempat ini. Juga dua buah pohon Cemara (Casuarinaceae) yang hingga kini masih berdiri dengan gagah menaungi siapapun yang berada di bawahnya. Lokasi ini sangat strategis sehingga beliau bersama para Punggawa dan serta Nyai Ageng Serang, Senopati Malang Duryo, Raden Sareno, Kyai Modjo, Alibasah Sentot Prawirodirjo dan beberapa panglima lainnya.
Pos Mati menjadi saksi bisu terjadinya beberapa perang besar yang terjadi antara Pangeran Diponegoro dengan pihak penjajah dalam pertempuran memperebutkan hak masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Di antaranya adalah perang di Kotak Nogo (kotak Naga) yang kini masuk ke kawasan Desa Ngadirharjo, masih dalam lingkup kecamatan Borobudur. Kotak Nogo sendiri dahulunya merupakan areal hutan luas yang memiliki kontur tanah dan pepohonan mirip sosok seekor naga. Peperangan besar tersebut menimbulkan korban jiwa yang luar biasa banyaknya. Menurut sejarah, korban jiwa diperkirakan mencapai 200 jiwa yang pada masa itu tidaklah mungkin untuk menguburkannya satu persatu. Oleh sebab itu, Nyai Ageng Serang melemparkan sebuah suri (sisir berkepala dua) dari Pos Mati. Atas izin Yang Maha Kuasa, suri tersebut berubah menjadi sesosok Naga yang pada memakan seluruh korban meninggal karena peperangan tersebut. Sebagian besar korban adalah pribumi yang membelot ke Belanda karena tergiurkepeng uang yang dijanjikan pihak penjajah.
Setelah perang di Kotak Nogo usai, Nyai Ageng Serang memutuskan untuk indang-indang atau dalam arti melihat-lihat suasana sekitar. Ketika indang-indang, beliau dipersilahkan pinarak (mampir/berkunjung) ke sebuah gubuk penduduk pribumi yang kebetulan sedang memasak bubur. Beliau lantas disuguhi bubur yang masih panas karena baru saja diangkat dari ketel. Karena terburu-buru, beliau lantas dahar (makan) bubur tersebut namun beliau nyuru (menyendok) dari tengah terlebih dahulu yang ternyata membuat lidah beliau kepanasan. Mengetahui hal tersebut, sang tuan rumah lantas memberi tahu serta mengajarkan bagaimana cara memakan bubur yang masih panas supaya cepat dingin dan tidak terlalu panas seperti sebelumnya. Tuan rumah menyuru dengan cara memutar mengikuti lengkungan piring dan hasilnya bubur lebih cepat dingin dan bisa dimakan hingga habis dengan waktu yang lebih singkat. Setelah diajari perihal menyuru, Nyai Ageng Serang merasa mendapat pencerahan secara tidak terduga tentang strategi perangnya. Beliau merasa selama ini lebih banyak mengalami kegagalan atau kalah tatkala menyerang markas penjajah dikarenakan Beliau beserta pasukannya menyerang langsung ke tengah atau pusatnya. Beliau lantas menemukan strategi baru yaitu strategi menyerang dengan cara memutar dari markas kecil-kecil dahulu setelah itu markas besar penjajah. Beliau lantas buru-buru kembali ke pasukan dan menyampaikan kepada Pangeran Diponegoro tentang strategi barunya. Beliau lantas menerapkannya dan hasilnya mampu meluluhlantakkan pasukan penjajah. Namun, sebelumnya, pihak penjajah mencoba
menyerang pasukan Diponegoro dari arah Utara atau arah Bukit Tidar. Pasukan Sang Pangeran yang mengetahui hal tersebut, melaporkan kepada Sang Pangeran. Beliau lantas mengajak para punggawanya untuk berdoa kepada Sang Maha Pencipta. Do’a beliau dikabulkan dengan tanda turunnya kabut tebal yang menutupi seluruh kawasan dari Pos Mati hingga Bukit Tidar. Pasukan penjajah melihat kabut tersebut sebagai samudra luas tak bertepi yang membuat mereka melompat dan mengarunginya dengan berenang bak berenang di lautan. Namun, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka berenang di bebatuan, tanah, dan pepohonan yang mengakibatkan banyak di antaranya terluka bahkan sampai meregang nyawa. Akhirnya mereka memutuskan untuk mundur dan menyusun strategi baru untuk menghancurkan pasukan gerilya Diponegoro. Tombak dan payung yang mengelabui Belanda Tidak cukup hanya sampai di situ, para penjajah memutuskan untuk kembali menyerang di pagi buta ke Pos Mati. Lagi-lagi rencana penyerangan tersebut tercium oleh para telik sandi yang dikirim oleh Sang Pangeran untuk mengawasi gerak gerik pasukan penjajah yang belum juga menyerah dan tetap getol mengincar Pangeran Diponegoro. Mengetahui akan adanya penyerangan kembali, Sang Pangeran memutuskan untuk menancapkan pusaka tombak dan payung beliau di Pos Mati untuk mengelabui penjajah. Dan benar saja, penjajah melihat payung dan tombak tersebut adalah sosok Sang Pangeran yang berdiri tegak dengan mengacungkan senjata pada penjajah. Para penjajah tidak sadar bahwa yang mereka lihat hanyalah tombak dan payung dan pada akhirnya mereka membombardir dengan segala senjata mereka miliki seperti bom, peluru, bahkan hingga
panah yang mereka miliki. Sampai tiga hari tiga malam mereka terus menembak ke arah Pangeran Diponegoro berdiri hingga mereka kehabisan amunisi dan persenjataan namun Sang Pangeran tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Akhirnya mereka maju dan mendekati Pos Mati, alangkah terkejutnya mereka karena sosok Pangeran yang mereka lihat hanyalah payung dan tombak. Pada saat yang bersamaan, pasukan pemanah Pangeran Diponegoro menghujani Pasukan Pemanah dengan anak panah dari bukit Lemah Puteh (tanah putih) yang terletak di bukit belakang Pos Mati. Pasukan penjajah yang dipimpin oleh Jendral De Kock akhirnya mampu menangkap Kyai Modjo, yang memimpin pemberontakan. Menyususl setelahnya Pangeran Mangkubhumi beserta Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada pasukan penjajah. Mengetahui hal tersebut, Pangeran Diponegoro akhirnya bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa Laskarnya yang tertangkap segera dibebaskan. Setelah ditangkap, Beliau lantas diasingkan di tanah Manado kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makasar hingga beliau wafat pada 8 Januari 1855. Dengan pengasingan Pangeran Diponegoro, maka berakhirlah pula perang Jawa.
GIRITENGAH
Pusoko Tosan Aji oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Pusoko adalah sebutan untuk benda-benda yang dianggap oleh masyarakat sebagai benda keramat atau yang memiliki kekuatan supranatural seperti keris, tombak, clundrik dll. Biasanya sebuah pusaka yang dimiliki oleh sebagian masyarakat merupakan pemberian dari keluarga terdahulu atau warisan yang secara turun temurun. Pusaka yang dimiliki sebagian orang dipercayai sebagai sarana pengangkat kewibawaan, pengasihan, penglarisan dan pembuka aura seseorang. Salah satu pusaka yang dimiliki sebagian warga desa Giritengah adalah keris. Keris merupakan senjata tikam yang termasuk salah satu khas Nusantara. Umumnya sebuah keris memiliki tiga bagian yakni bilah (pisau), hulu (gagang), sarung (warangka). Bapak Sukiyat (47 tahun) adalah satu pemilik keris di salah satu dusun di desa Giritengah. Keris miliknya merupakan warisan dari kakeknya dahulu, sebelum keris tersebut disimpan oleh dirinya dulu oleh kakeknya diberikan kepada saudara sepupunya, karena tidak mampu untuk ngrumat (merawat), kemudian diberikan ke Bapak Sukiyat. Hingga saat ini keris tersebut masih terawat dan terjaga di rumah beliau.
GIRITENGAH
Rajah oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Rajah merupakan kumpulan tulisan, angka, simbol atau gambar tertentu. Semua itu hanya dimengerti oleh ahli hikmah dan penulisnya. Tulisan rajah memiliki berbagai macam jenis, sesuai dengan fungsi kegunaan. Rajah bukan hanya merupakan sebuah tulisan yang ditulis pada selembar kertas atau media yang lainnya. Namun rajah adalah sebuah tulisan yang memiliki arti/makna khusus yang sangat mendalam. Pada setiap coretan, garis, simbol, sandi-sandi, huruf serta gambar maupun angka yang di dalamnya memiliki tertentu yang rajah tersebut hanya di pahami oleh pembuat rajah atau orang-orang ahli hikmah. Rajah tersebut mempunyai berbagai macam bentuk serta jenis dan manfaatnya. Salah satunya rajah yang sering dibuat Mbah Sumeri adalah rajah untuk tolak balak yakni rajah yang dibuat setiap
bulan sapar/safar. rajah tersebut biasaya ditulis pada bulan sapar. Rajah yang telah ditulis dalam lembaran kertas kemudian dibagikan ke seluruh warga kampung dan di tenggelamkan di bak kamar mandi/tandon air masing-masing supaya warga yang mandi dengan rajah tersebut diberikan keselamatan serta dijauhkan dari balak oleh Allah SWT. Mbah sumeri berkata(65th), “setiap rajah yang dibuat tidak boleh diartikan secara detail atau di artikan perkata, huruf, garis serta gambar yang tertera dalam rajah tersebut’’.
GIRITENGAH
GIRITENGAH
Suwuk atau Damu-Damu
Wingit atau Angker
oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
oleh: Abdul Majid Taufik Wahyono
Suwuk adalah salah satu metode pengobatan yang masih sangat dipercaya oleh sebagaian masyarakat jawa. Di desa Giritengah juga masih yang sebagian masyarakatnya masih menggunakan metode suwuk. Biasanya orang yang menggunakan metode suwuk ini karena merasa penyakit yang dialami tidak wajar atau secara medis tidak dapat terdeteksi sebab atau penyakitnya.
kelapa. Cara pengambilan air pun harus sangat hati-hati karena harus membelakangi gentong atau air supaya tidak tumpah. Selain untuk pengobatan suwuk ini, juga bisa di gunakan berbagai macam kegunaan tergantung kebutuhan masing-masing yaitu diantaranya untuk penglaris dan guna-guna.
Menurut cerita para warga, metode ini sangatlah
Kali Nggayam
Di desa Giritengah masih banyak terdapat tempat
Tempat lain yang masih di anggap wingit yaitu Kali Nggayam yang berada di dusun Secang. Di tempat ini terdapat mata air yang sangat jernih dan dimanfaatkan oleh masyarakat umtuk minum dan kebutuhan sehari-hari. Di tempat ini juga terdapat dua pohon besar yaitu pohon Preh dan juga pohon gayam. Menurut cerita, dulu ada orang yang berburu di tempat ini dan mendapat buruannya dengan cara ditembak, tetapi betapa terkejutnya setelah sampai di rumah ternyata keluarganya ada yang meninggal. Dari cerita tersebut, sampai saat ini tidak ada yang berani berburu di sekitar Kali Gayam. Pada malam malam tertentu masih sering ada yang nenepi di sana untuk meminta nomer togel.
yang dianggap oleh sebagian masyarakat dianggap angker atau wingit sehingga masyarakat tidak berani berbuat yang tidak baik. Salah satu tempat yang masih dianggap wingit adalah hutan yang berada di dusun Nduren. Alas atau hutan yang berada di sekitar Sendang Suruh diyakini ada penunggunya yaitu Kyai Sendang Suruh membuat masyarakat
ampuh atau manjur karena biasanya akan langsung terasa efeknya. Ada yang datang ditandu dengan rasa sakit yang dirasakan tetapi setelah disuwuk namun bisa pulang sendiri atau sudah sembuh. Akan tetapi tidak semua pasien bisa sembuh sekali tergantung berat dan tidaknya suatu penyakit atau penyebabnya. Setiap pasien yang datang biasanya akan ditanyakan hari lahirnya atau hari pasarannya, karena hari lahir atau hari nepton ini sangat dibutuhkan untuk memulai nyuwuk atau pengobatan. Kemudian, pasien yang datang akan diberi air putih untuk di minum. Air putih ini diambil dari gentong tanah atau tempat penampungan air di dapur dengan mengunakan siwur yang terbuat dari tempurung
Alas dusun Nduren
sekitar tidak ada yang berani mengumpat atau berkata-kata kasar karna takut kuwalat.
Narsum : Mas Nurohman (39 tahun) Secang RT 07/ RW 02 Giritengah
Karanganyar
KARANGANYAR
Tradisi Suronan Desa Karanganyar
Dengan berbagai macam sejarahnya, bulan Muharam merupakan bulan yang mulia dengan beberapa keutamaan yang dimilikinya. Setiap orang bersemangat untuk meningkatkan amal perbuatan karena bulan muharram diyakini menjadi bulan yang suci. Di antara bentuk kesucian dan kemuliaan bulan muharam adalah kaum muslimin dilarang berperang kecuali terpaksa atau jika diserang oleh kaum kafir. Pada bulan muharram Kaum muslimin juga diingatkan agar lebih menjauhi perbuatan aniaya dan lebih mengutamakan untuk berbuat baik dengan membantu sesama.
oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir Dalam Islam bulan suro adalah bulan muharram. Bulan Muharram berasal dari kata haram yang artinya suci atau terlarang. Dinamakan Muharram karena sejak zaman dahulu pada bulan ini masyarakat arab dilarang berperang dan membunuh. Larangan tersebut terus berlaku hingga masa Islam. Menurut Bapak Windarmoko selaku seorang sesepuh di Dusun Banjaran 1 Karanganyar Borobudur. Sebelum lahirnya kalender Islam, masyarakat Arab kuno menandai setiap tahunnya bukan dengan hitungan kalender tetapi mereka biasa menandai suatu tahun dengan kejadian besar yang ada pada masa tersebut. Penyebutan Tahun Gajah karena adanya penyerangan pasukan bergajah, atau Tahun Fijar dimana Perang Fijar terjadi. Selain itu, ada pula Tahun Nubuwah, yang menandakan tahun dimana Rasulullah menerima wahyu pertama kali. Pemberian angka atau urutan waktu baru digagas setelah Nabi Muhammad wafat. Tepatnya pada tahun ketiga pemerintahan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab pun mulai menginisiasi penerbitan kalender Islam untuk pertama kalinya. Kebijakan ini
mengusulkan untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan muharram merupakan bulan besar bagi umat islam karena banyak peristiwa penting terjadi pada bulan ini, mulai dari peristiwa masa Nabi terdahulu hingga masa Islam. Seperti peristiwa bertaubatnya Nabi Adam AS atau terjadinya perang khaibar yang dimenangkan oleh umat islam pada 7 H.
beliau rundingkan terlebih dahulu bersama dengan para sahabat terkemuka lain. Hasilnya, para sahabat pun setuju untuk menerbitkan kalender Islam. Perhitungan kalender Islam dibuat dengan menjadikan tahun hijrah Rasulullah ke Madinah sebagai titik tolak pertama. Karena itulah kalender Islam ini disebut juga sebagai kalender Hijriyah. Setelah menentukan tahun pertama Hijriyah, selanjutnya perlu ditentukan pula bulan pertama dalam kalender tersebut. Kemudian atas beberapa pertimbangan salah satunya tentang kebiasaan masyarakat Arab kuno menyebut bulan muharram sebagai bulan yang suci, maka Umar bin Khattab
Dalam khasanah Islam jawa masyarakat menyebut bulan muharram dengan istilah bulan Suro. Istilah suro menjadi sangat sakral dalam Islam Jawa karena masyarakat dilarang melaksanakan kegiatan hajatan dan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan masyarakat Arab yang menganggap muharram menjadi bulan suci dan penuh sejarah. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Jawa pada masa kuno menganggap
bahwa bulan suro adalah bulan yang sangat istimewa, maka tidak sembarangan orang diperbolehkan mengadakan hajatan melainkan hanya orang-orang tertentu yang memiliki keistimewaan seperti raja zaman dahulu. Berdasarkan penuturan Bapak Windarmoko, sebenarnya kata Suro berasal dari kata “asyura”, dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Penyebutan kata Asyura berubah menjadi Suro dengan menyesuaikan lidah masyarakat Islam Jawa. Akhirnya kata Suro dijadikan nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa. Selain itu, masyarakat Islam Jawa juga mempunyai tradisi pada bulan suro, yakni masyarakat mengadakan kegiatan-kegiatan yang disebut dengan ritual pada malam satu suro. Begitu juga dengan yang terjadi di Desa Karanganyar, setiap malam 1 muharram atau malam 1 suro sebagian masyarakat di Desa Karanganyar melakukan tahlilan atau doa bersama. Hal tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan sebagai simbol rasa syukur atas segala hal yang telah diberikan serta selalu berharap dalam lindungannya. Acara tersebut dipimpin oleh tokoh ulama dan diadakan pada waktu menjelang mahgrib. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat akan membaca Doa Tutup Tahun kemudian acara dilanjutkan setelah sholat mahgrib dengan membaca Doa Awal Tahun. Setelah selesai keiatan berdoa, ada beberapa warga yang tetap berkumpul di masjid dan tidak tidur hingga dini hari, kegiatan ini sering disebut leklekan. Sementara itu, pada jam 12 malam sebagian warga juga ada yang melakukan ziarah ke makam sesepuh di masing masing dusun. Acara tersebut diisi dengan membaca doa tahlil di area makam sesepuh dusun.
Pada malam satu suro, terdapat tradisi mengunjungi puncak suroloyo yang ditempuh dengan jarak kurang lebih 7 km yang ditempuh selama 2 jam dengan berjalan kaki dari Desa Karanganyar. Kegiatan ini mayoritas didominasi oleh kaum lakilaki. Hal ini Tujuan mereka adalah untuk menikmati keindahan alam ciptaan-Nya yang terlihat semasa perjalanan dari Desa Karanganyar sampai puncak Suroloyo. Adapun tradisi lain dibulan muharram atau suro tepatnya pada tanggal 10 muharram yaitu setiap dusun mengadakan santunan anak yatim yang diselenggarakan di masing masing masjid, dan pada tanggal itu juga masyarakat banyak menjalankan puasa Asyura. Puasa ini banyak dilakukan oleh sebagain masyraakat karena merupakan puasa yang paling utama dan puasa sunnah terbaik di bulan Muharram. Puasa ini memiliki keutamaan dapat menghapus dosa selama setahun. Menurut bapak Windarmoko dan masarakat setempat, pada malam 10 Suro warga Karanganyar membuat bubur suro untuk acara slametan. Biasanya acara berlangsung di masjid dan dilakukan pada waktu setelah sholat mahgrib. Pada berlangsungnya acara tersebut warga berkumpul dimasjid untuk membaca tahlil yang dipimpin oleh sesepuh dusun, setelah itu acara dilanjut dengan makan bubur suro dan menyantuni anak yatim. Adapun sejarah dari sajian bubur suro adalah untuk memperingati peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh AS dan umatnya, dimana pada tanggal tersebut Nabi Nuh AS selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda saat itu, dimana bahan makanan ynag terisisa dikapal berupa beras dan kacang kacangan di masak bersama-sama hingga menjadi bubur. Peristiwa ini terjadi juga di tanggal 10 suro.
KARANGANYAR
Jamasan Pusaka oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Berikut Bahan Bubur Suro yang dijelaskan oleh Ibu Warti (49 tahun) Bahan Bubur: Beras, Santen, Salam, Garam. Bahan Sayur: Tahu, tempe, Tempe bungkil, Kacang kacangan. Bumbu: Bawang merah , Bawang putih, Cabe, Gula merah, Garam, Salam, Laos, Sere , Daun jeruk, Jahe, Santen, Kunir, Jahe, Kemiri.
Jamasan pusaka berasal dari bahasa Jawa Kromo Inggil, ‘Jamas’ yang mempunyai arti cuci, membersihkan atau mandi. Sedangkan kata ‘Pusaka’ menjadi sebutan bagi benda-benda yang dikeramatkan atau dipercaya memiliki kekuatan tertentu. Proses jamasan dilakukan secara turuntemurun dari generasi ke generasi. Jamasan pusaka merupakan tradisi mencuci benda-benda peninggalan nenek moyang. Benda-benda peninggalan yang dijuluki sebagai pusaka akan dibersihkan tepat pada malam 1. Suro Berdasarkan penuturan Mas Nurofiq selaku penggiat budaya asal Dusun Klipoh, jamasan ini merupakan tradisi turun temurun yang awal mulanya tidak harus dilakukan di bulan Suro, melainkan dihari hari yang dianggap baik. Awal mulanya Sultan Agung Anyakrakusuma (Sultan Mataram ketiga 1613-1645) yang saat itu menunaikan ibadah haji dimekah dan menunggu musim angin laut untuk kembali ke nusantara, karena haji pada masa itu melakukan perjalanannya dengan menggunakan kapal yang memanfaatkan angin laut. Beliau menunggu sambil belajar tentang agama dan mengamati budaya warga Mekah, dimana setiap selesai bulan haji yaitu masuk bulan Muharram mereka punya tradisi untuk mencuci dan membersihkan ka’bah termasuk memberi wangi-wangian. Sultan Agung tertarik dengan tradisi tersebut. Setelah kembali ke nusantara, beliau ingin membuat tradisi yang sama seperti yang dilakukan orang-orang Makkah, namun orang jawa tidak ditinggali seperti ka’bah oleh leluhurnya melainkan ditinggali pusaka berupa keris, tombak dan benda lainnya. Maka beliau memutuskan untuk menjadikan bendabenda pusaka sebagai benda yang dicuci atau dibersihkan untuk meniru tradisi budaya warga mekah.
Tradisi menjamas pusaka ini awalnya dilaksanakan di Kraton Yogyakarta. Kraton pada zaman dulu adalah pusat aktivitas bagi masyarakat, maka ketika kebiasaan kraton untuk manjamas pusaka, banyak masyarakat yang meniru tradisi tersebut hingga saat ini. Penjamasan dilakukan karena benda pusaka seperti keris tidak dinilai dari ketajamannya, melainkan dinilai dari sejarahnya. Oleh karena itu, maka penjamasan dilakukan untuk menjaga pusaka tersebut dari kurusakan. Ada beberapa tahapan menjamas pusaka, diantaranya : Mutih, yakni membersihkan karat/korosi pada bilah keris,dengan cara direndam dengan cairan asam pekat,biasa nya dengan air kelapa yang dicampur dengan jeruk nipis. Di rendam sekitar 3 jam . makan karat pada bilah akan terkelupas,dan hasilnya bilah keris berwarna putih bersih dari korosi Warangi, untuk memunculkan motif pamor, dengan menggunakan cairan warangan berupa campuran jeruk nipis dan bubuk arsenikum (Ar), mencuci dengan cairan warangan ini akan membuat bilah keris berwarna hitam dan pamor akan lebih jelas terlihat Minyaki, cairan minyak wangi tujuannya supaya keris wangi dan memelihara agar keris tidak berkarat, biasanya menggunakan minyak paraffin ,bibit minyak gaharu,melati,kenanga atau selera, atau sesuai selera karena terkadang aroma keris juga menunjukkan identitas pemiliknya Adapun ketika beberapa orang menggunakan bunga, air sungai dan beberapa bahan lain untuk jamasan itu karena sebagian orang memiliki keyakinan masing-masing dan tradisinya sendiri sendiri diluar dari pakem jamasan pusaka.
KARANGANYAR
KARANGANYAR
Mauludan
Babaran Bayi
oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Muludan atau maulid Nabi adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah. Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair barzanji dan pengajian. Tradisi ini biasaya dilakukan pada bulan Rabbiul Awal atau dalam kalender jawa tradisi ini dilakukan pada bulan mulud. Kata mulud sebenarnya adalah berasal dari kata maulid yang artinya Hari Lahir. Dalam khasanah jawa kata maulid lebih dikenal dengan kata mulud dan tradisi maulid Nabi menyebutnya sebagai muludan.
Tradisi dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Sebuah tradisi biasanya dianggap sakral dan jika tidak dilakukan dianggap akan menyebapkan hal-hal yang buruk terjadi. Terkait dengan sebuah tradisi, ada sebuah tradisi jawa yang masih dilakukan masyarakat desa karanganyar adalah tentang kelahiran seorang bayi. Ada beberapa urutan tradisi yang dijalankan masyarakat desa karanganyar ketika bayi lahir diantaranya adalah mendem ari-ari, puputan, kekerik, slapanan, dan dundunke.
Di Desa karanganyar perayaan muludan biasanya dilakukan di masjid. isi dari acara tersebut adalah pembacaan sholawat nabi dan pembacaan syairsyair berzanji. Untuk waktu pelaksanaannya adalah sehabis sholat isya’ sampai jam 12 malam. Dalam merayakan tradisi muludan ini biasaya dihadiri oleh banyak masyarakat dari anakanak sampai ke orang tua, namun kebanyakan masyarakat yang mengikuti tradisi ini adalah orang tua. tradisi ini sudah ada dan dilakukan sejak
zaman dahulu di desa karanganyar ini dan masih dilestarikan sampai sekarang. Menurut Bapak Windarmoko selaku sesepuh Dusun Klipoh, tradisi muludan adalah sebuah tradisi uyang dilakukan untuk merayakan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, tujuan lain dari tradisi tersebut melainkan agar menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap Nabi Muhammad SAW.
Ibu Satimah ( 55thn ) seorang pengrajin gerabah yang masih produktif didusun klipoh,beliau menjelaskan yang pertama setelah anak lahir yakni tradisi mendem ari-ari atau mengubur plasenta adalah bermaksud untuk menghargai jasa ari-ari karena dianggap sebagai teman bayi sejak dalam kandungan. Ada juga yang berpendapat bahwa ari-ari dalam kandungan itu sebenarnya hanya ada satu, dan ketika ari-ari tersebut di kubur nantinya ari-ari tersebut akan kembali ke kandungan ibu dalam 30 hari. Dalam menguburkan ari-ari tersebut ada tata caranya sendiri, yang pertama
adalah ari-ari tersebut dibungkus dengan kain putih dan diletakkan di dalam wadah yang biasanya berupa kendil dan di kubur di dekat rumah, dibuatkan pagar dari bambu dan diberi penerangan berupa lampu minyak selama 30 hari. Dalam proses penguburan ari-ari biasanya juga ada yang mengumandangkan azan jika keluarga tersebut beragama islam. Proses menguburkan ari-ari tersebuat biasanya dilakukan oleh sang ayah. Adapun maksud dalam menguburkan ari-ari di buatkan pagar dan diberi penerangan adalah sebagai harapan agar bayi tersebut dilindungi dan
diberikan jalan yang terang semasa hidupnya. Namun selain mendem ari ari ada istilah sedulur papat kalimo pancer. Secara singkat, dalam sejarah Jawa masyarakatnya menggunakan istilah sedulur papat limo pancer untuk menggambarkan bahwa ketika manusia lahir, maka lahir juga lah empat saudara manusia itu. Sedulur papat limo pancer dipercaya sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam diri manusia. Sebelum adi Ari Ari ada kakang kawah atau yang disebut air ketuban adalah air yang membantu manusia untuk lahir ke bumi. Karena air ketuban keluar pertama kali, maka masyarakat Jawa menyebutnya sebagai Kakang, atau yang berarti Kakak. Yang ke tiga getih, dalam bahasa Indonesia berarti darah. Yakni, hal yang utama pada ibu dan bayi. Dimana saat berada dalam kandungan, bayi juga dilindungi oleh getih. Kemudian Puser atau pusar berarti tali plasenta. Dalam pengertian ini maksudnya, antara ibu dan bayi dihubungkan dengan tali pusar yang membuat mereka semakin kuat. Selain itu, tali pusar juga lah yang menjaga kelangsungan hidup si bayi karena telah menyalurkan nutrisi dari ibu untuk bayinya saat di dalam kandungan. Yang kelima yakni Pancer bisa disebut juga sebagai tubuh wadah yang berarti diri sendiri. Hal kelima ini merupakan pusat kehidupan yang utama ketika manusia lahir ke bumi. Masyarakat Jawa percaya bahwa sebagai manusia, kita harus menyelaraskan kelima hal itu agar menjadi satu kesatuan yang utuh. Menyambung sedulur papat kalima pancer, dari dulu hingga sekarang warga selalu melakukan Selamatan Weton, dilakukan pada hari kelahiran
jawa sang anak. Tujuan nylameti weton adalah ungkapan rasa syukur atas nikmat umur panjang dan kesehatan yang diberikan Allah SWT. Dan, mendoakan kakang kawah adi ari-ari sedulur papat lima pancer. slametan weton itu wujudnya makanan bubur abang puteh atau bubur merah putih yang diletakan dikasur tempat anak tidur kemudian didoakan oleh orang tua. Bubur berwarna merah, karena dicampur gula Jawa dan bubur berwarna putih, karena beras yang dijadikan bubur tidak diberi pewarna. Makanan bubur siap saji itu dijadikan sebagai bahan sedekah untuk tetangga Selamatan Weton atau slametan weton juga untuk memohon kepada Allah SWT atas nasib kehidupan sang anak. Selamatan Weton dilakukan agar seseorang terhindar dari segala mara bahaya, dan selalu dalam lindunganNYA. Yang kedua adalah Puputan, dalam bahasa indonesia puputan adalah putusnya tali pusar bayi, biasanya terjadi setelah satu minggu dari hari kelahiran bayi. Biasanya puputan ini dibarengi dengan pemberian nama si bayi dan membuat bubur atau jenang merah putih sebagai slametan. Bubur merah putih adalah simbol keberanian dan kesucian yang mana harapannya anak tersebut mempunyai kebernian dalam hal yang baik. Bubur merah putih biasanya juga diberikan kepada warga sekitar sebagai bentuk rasa syukur atas dikaruniai seorang anak. Yang ke tiga adalah slapanan, tradisi ini dilakukan setelah 35 hari dari hari kelahiran bayi. Pada tradisi slapanan, rambut bayi akan dipotong sampai gundul dan memotong kuku-kuku si bayi. Tujuan utama dari pemotongan rambut dan kuku adalah untuk membersihkan dan menjaga kesehatan kepala si bayi tersebut. Pada tradisi ini biasaya melakukan slametan dengan membuat
nasi dengan sayur-sayuran yang dipadukan dengan bumbu kelapa dan biasanya diletakkan di wadah beralaskan daun pisang yang dibawahnya diletakan uang koin atau biasa disebut dengan among-among. Kata Among-among berasal dari kata among atau lebih tepatnya berarti penjaga. Hal itu adalah simbolis untuk rasa bertrimakasih terhadap sesuatu yang telah menjaga si bayi tersebut. Yang dimaksud adalah malaikat penjaga utusan dari Allah SWT. Ada juga kebiasaan slapanan bayi di Desa Karanganyar yaitu mengadakan berzanji pada malam harinya yang dihadiri oleh tetangga sekitar. Isi dari berzanji adalah pembacaan syair-syair islam sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. di akhir acara semua orang yang hadir berdiri melingkar kemudian si bayi digendong dibawa mendekat ke orang-orang yang berdiri. Setiap orang yang hadir akan mendoakan bayi tersebut dan kemudian meniup kening bayi secara bergantian. Yang ke empat adalah dundunke, tradisi ini
dilakukan setelah 7 bulan dari hari kelahiran dan dilakukan saat pertama kali seorang anak belajar menginjakkan kaki ke tanah. Tradisi ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak belajar menginjakkan kaki. Hal pertama yang dilakukan pada tradisi ini adalah menaiki tangga yang terbuat dari tebu. prosesnya anak dituntun oleh orangtua untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu, maksud dari menaiki tangga yang terbuat dari tebu adalah agar seorang anak mempunyai rasa kemantapan hati. Tebu diartikan sebagai gambaran menteping kalbu yang dalam bahasa indonesia adalah kemantapan hati. Kemudian acara selanjutnya dilanjutkan dengan anak tersebut dikurung dengan kurungan ayam dan diletakkan uang, buku atau alat sekolah, dan juga al-quran di dalam kurungan. Hal tersebut bermaksud agar kelak anak tersebut setelah tumbuh dewasa akan pandai dalam hal pendidikan dan agama serta dapat bekerja keras untuk mencari rejeki.
KARANGANYAR
Kedung Warak oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Malam itu dari lubang genteng rumah, bulan purnama terlihat sangat terang,namun suasana ruangan terasa sangat panas, entah kenapa mata juga tidak bisa terpejam walau waktu menunjukan pukul 1 malam. Sambil bersantai dengan kipas dari kertas dan kopi hitam dimeja,dari kejauhan terdengar suara gemuruh seperti segerombolan binatang sedang berlarian, semakin dekat, semakin dekat suara itu datang. Hingga membuatku berdiri dan menjatuhkan kipas ke tanah, “opo kae ?” apa it ? tanyaku dalam hati, dengan jantung berdebar aku berfikir, “ora ono seng ngingu kewan neng kene“ tidak ada orang yang memiliki hewan peliharaan disekitar sini, disebelah rumahku sawah, jadi apa itu. Seketika suara itu lewat didepan rumah, dengan takut dan perasaan ingin tahu, aku membuka pintu rumah. Dengan badan tidak bisa bergerak, tangan memegang erat pintu,dan dengan mata yang tidak berkedip. Aku tidak melihat apa apa, iya tidak ada apa apa disini, hanya suara gemuruh yang terus menjauh kearah sungai. Tidak ada apa apa, bahkan tidak ada bekas dijalan. Dengan segera aku masuk ke rumah dan menggunci pintu erat erat. Malam itu kopi hitam belum ku habiskan
dan aku tidak bisa memejamkan mata hingga sinar pagi menerjang dari sela tembok rusakku. Begitulah yang pernah diceritakan Pak Samhari (ketua Rt 4 Dusun Klipoh), dari cerita itu kami mengembangkan agar cerita menjadi semakin lengkap, kemudian kami kembali bertemu Bapak Markoni ( tokoh masyarakat sekaligus budayawan Dusun Klipoh). Beliau menceritakan Di Dusun Klipoh terdapat bagian sungai kecil yang jarang dilalui masyarakat, warga menyebutnya Kedung Warak, karena pada zaman dahulu kedung tersebut sering digunakan warak atau badak untuk berendam. Warak sering datang bergerombol dari perbukitan menuju kedung tersebut dengan berlarian. Kini kedung yang jika musim panas terdapat lumuran cairan kuning dari lubang lubang tanah, hingga menutupi seluruh air yang menggenang. Apabila unggas berenang disitu, baik itu bebek,ayam atau mentok, sepulang dari sungai, unggas tersebut akan dingkulen atau rasa sakit pada kaki hingga tidak bisa berjalan, berakibat berangsur angsur unggas kehilangan nyawanya. Dahulu ada sebagian warga Karanganyar sekitar
tahun 1960-an yang mempunyai kerbau, semua kerbau berkelamin betina tidak ada yang jantan. Dan saat siang hari,kerbau sering dilepas untuk berendam ke lumpur atau sungai. Namun apabila musim birahi, atau kerbau dalam masa ingin kawin, dengan tanda perilaku kerbau dalam menggesekkan tubuh atau kelaminnya di kayu kandang, para pemilik kerabu membawa kerbau ke kedung warak. Mereka memandikan dikedung warak dan membiarkan nya berendam, dan anehnya setelah berendam di Kedung Warak, para kerbau ini sudah tidak berperilaku birahi, dan tambah aneh lagi setelah beberapa bulan para kerbau melahirkan anak anaknya . tanpa bantuan kerbau jantan, dan saat itu belum ada dokter hewan. Jadi para pemilik ini menggunakan Kedung Warak untuk membuat kerbau hamil,
dengan kejadian tersebut,mereka berkeyakinan bahwa badak badak dahulu berendam disitu yang membuat energi mereka masih disana dan mengawini kerbau kerbau warga Karanganyar. Hingga apa yang diceritakan pak tadi, adalah roh atau siluman badak yang masih selalu beraktivitas seperti dahulu kala, mereka berdatangan dari bukit atas melewati perumahan warga yang dulunya hanyalah hutan atau kebun lapang menuju Kedung Warak. Memang begitu, walau tidak bisa dimasukan dengan logika, tapi hidup kita itu selalu berdampingan baik dengan sesama atau dengan yang tak kasat mata, dengan yang ada dan tidak ada namun harus saling menjaga agar keseimbangan selalu menyertai kita.
KARANGANYAR
Nganten Desa Karanganyar oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Pada setiap manusia yang hidup dan normal pasti akan mengalami sebuah peristiwa yang dinamakan Pernikahan. Dalam sebuah pernikahan di setiap daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda. Sebagai masyarakat desa yang menggunakan adat jawa tentunya ada hal-hal yang harus dilakukan pada saat prosesi pernikahan. Sebelum masuk ke tahap pernikahan biasanya ada tahapan atau proses dimana keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan, tahap ini biasa disebut dengan Lamaran. Pada proses lamaran, keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan dengan membawa seserahan yang biasanya berupa perlengkapan sholat, pakaian, Alat rias, jarit, dan jajanan pasar. Menurut Bapak Markoni selaku tokoh masyarakat Dusun Klipoh, seserahan yang dibawa pihak lakilaki ketika proses lamaran mempunyai sebuah makna pada setiap barangnya. Yang pertama seserahan berupa perlengkapan sholat. makna dari perlengkapan sholat tersebut dimana seorang laki-laki yang melamar telah bersedia untuk membimbing dan menuntun calon istri dalam hal agama. Dan memastikan dalam hidupnya mampu untuk menuntun keluarga ke jalan yang lurus menuju sampai ke surga. Yang kedua berupa pakaian, satu set pakaian wanita menjadi simbol bahwa dalam berumah tangga baik suami maupun istri harus mampu menutup rahasia keluarganya dengan baik. Dalam artian semua kelebihan dan kekurang sang pasangan bahkan masalah dalam keluarga menjadi rahasia keluarga yang orang lain tidak perlu mengetaui. Kemudian alat rias, hal ini membawa makna supaya calon sang istri kelak mampu menjaga penampilannya dihadapan suaminya Yang terakhir adalah jajanan pasar, Kue-kue basah berbahan dasar ketan seperti jenang, lemper, jadah, kue lapis, dan sebagainya. Berdasarkan sifat beras ketan yang lengket ketika
sudah dimasak maka jajanan dari bahan dasar ketan mewakilkan sebuah harapan agar kedua mempelai tetap bersatu dalam pernikahan hingga akhir hayat. Pada tahap lamaran ini biasanya ada prosesi yang dinamakan Bayar Tukon atau membayar mahar, prosesi ini dimana dari pihak laki-laki memberikan seserahan berupa Uang kepada keluarga perempuan. Tidak hanya itu, biasanya dari pihak laki-laki juga menyiapkan sepasang cincin yang nantinya akan dipakai oleh pasangan tersebut sebagai tanda bahwa lamaran diterima. Biasanya besaran mahar tersebut akan disebutkan ketika proses ijab qobul. Makna bayar tukon disaat lamaran tersebut adalah sebagai wujud keseriusan dan berani dalam menikahi calon pasanganya. Pada acara lamaran juga terdapat musyawarah untuk penentuan hari pernikahannya. Dalam penentuan hari biasanya menggunakan tanggalan jawa seperti pon kliwon wage legi pahing. Dan menurut Bapak Markoni, penentuan hari pernikahan diusahakan tidak sama dengan hari kematian keluarga laki-laki seperti contoh hari kematian ibu atau kematian bapak jika orang tuanya sudah ada yang meninggal. Setelah proses lamaran, proses selanjutnya adalah ijab qobul dan resepsi pernikahan. Kedua acara tersebut di Desa Karanganyar biasanya diadakan pada hari yang sama, ijab qobul dilaksanan dipagi hari atau di waktu sebelum acara resepsi dimulai. Resepsi pernikahan dilakukan dua kali yaitu di lakukan ditempat pengantin perempuan kemudian dilanjutkan di tempat penganti lakilaki. Proses resepsi di tempat laki-laki tersebut di namakan ngunduh mantu dimana pengantn perempuan diantar oleh rombongan menuju acara resepsi di tempat pengantin laki-laki. Acara tersebut dilakukan setelah 5 hari dari acara resepsi
ditempat pengantin perempuan atau sering disebut dengan sepasaran. Dalam acara resepsi pernikahan juga terdapat prosesi-prosesi yang dilakukan pada umumnya. Menurut bapak markoni selaku tokoh masyarakat dusun klipoh, Prosesi tersebut banyak mengandung makna kehidupan dalam berumah tangga. Prosesi yang pertama adalah panggih yang dilambangkan dengan melempar daun sirih yang digulung dan di tali dengan benang putih, dimana kedua pasangan pengantin bertemu dan saling berhadapan kemudian melemparkan daun sirih ke pasangannya. Makna dari daun suruh adalah sebuah simbol kelanggengan dalam berumah tangga, ciri khas daun sirih yang ruasruas daunnya tidak terputus melainkan melingkar atau bertemu ruasnya kembali menandakan kedua pasangan tersebut telah bertemu dengan jodohnya. Kemudian duan sirih mempunyai sisi bolak balik yang sama, hal itu bermakna bahwa ketika dua orang tersebut telah menjadi satu tidak ada yang membedakan dimana walaupun berbeda kasta tidak menjadi masalah untuk manjalankan rumah tangga dalam situasi susah maupun senang. Prosesi yang kedua adalah menginjak telur ayam, dalam presesi ini sang pengantin pria menginjak telur kemudian pengantin wanita membersihkan dengan air. Pecah telur bermakna dengan terbukanya nalar atau pikiran kedua pengantin dalam berumah tangga. pecah telur juga bermakna tentang mendapatkan keturunan sebagai harapan dan tujuan setelah menikah. Kemudian Dalam prosesi tersebut sang pengantin wanita membersihkan kaki dari pengantin pria juga mempunyai sebuah makna yang mendalam, dimana hal tersebut bermakna seorang perempuan harus selalu hormat kepada laki-laki dalam sebuah rumah tangga. Selanjutnya ada prosesi gendong pengantin yang dilakukan seorang ayah
menuju ke pelaminan. Digendong di sini adalah membentangkan kain pada tubuh kedua pengantin di mana kedua ujung kain dipegang oleh sang ayah dan kedua pengantin bersama ayah serta ibunya berjalan bersama. Prosesi ini adalah simbol dari harapan orang tua kepada anak agar selalu hidup rukun dalam berumah tangga. Prosesi tersebut juga bermakna bahwa orangtua harus bertanggung jawab atau berperan kepada anaknya untuk mengingatkan ketika ada suatu hal yang salah dalm berumah tangga dalam artian tidak mencampuri urusan rumah tangga sang anak. Kemudian ada prosesi sungkeman, prosesi ini dilakukan oleh kedua pengantin kepada orangtua. Sungkeman bermakna bahwa seorang anak harus berbakti dan menghormati pada kedua orangtuanya. Ketika sungkeman berlangsung, keris yang biasanya dibawa oleh pengantin pria diletakkan terlebih dahulu. Itu adalah simbol bahwa ketika menghadap kepada orang tua harus mempunyai rasa hormat dan hanya tunduk dan tawaduk kepada orangtua. Ada juga prosesi kacar kucur atau mengucurkan beras. Prosesi ini melambangkan bahwa seorang suami harus memberi nafkah kepada istri. Kemudian sebagai seorang istri harus pandai mengelolanya dengan baik. Yang terakhir adalah suap suapan nasi. Hal ini melambangkan sebuah kemesraan dan keharmonisan dalam berumah tangga. Nasi yang dipakai juga bukan beras biasa malainkan menggunakan beras ketan yang mempunyai sifat lengket jika dimasak, hal itu menjadi simbol agar pasangan tersebut tidak mudah dipisahan dalam berumah tangga seperti lengketnya beras ketan tersebut.
KARANGANYAR
Tirakatan Pitulasan oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Pada tanggal 17 agustus ada sebuah tradisi yaitu peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia mengadakan peringatan kemerdekaan di bulan Agustus. Bertepatan pada tanggal 17 Agustus, secara serentak melaksanakan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan RI. Pada malam sebelumnya, yaitu tanggal 16 Agustus, ada tradisi masyarakat yang masih dilaksanakan sampai sekarang adalah Malam Tirakatan. Berdasarkan penuturan Bapak Rismanto dari Dusun Gunden, Tirakat secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu thoriqoh, yang berarti sebuah jalan. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah usaha yang dilakukan untuk menuju jalan kepada Allah SWT. Menurut versi lain, tirakat berasal dari kata taroka, yang berarti meninggalkan. Ini berarti tirakat adalah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawi untuk menggapai tujuan ukhrawi. Pada intinya, tirakat adalah sebuah usaha seseorang dalam menahan hawa nafsu untuk mendekatkan diri pada ilahi. Di Desa Karanganyar ada sebuah tradisi tirakatan di masing-masing dusun, biasanya tradisi tersebut dilaksanakan pada malam tanggal 17 agustus.
Mulai dari anak-anak sampai orang tua mengikuti acara tirakatan tersebut. Acara dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh sesepuh dusun dan dilanjutkan dengan acara makan bersama. Doa tersebut ditujukan kepada para pejuang yang telah gugur agar diberi tempat yang baik disisi Tuhan ,dan diampuni segala dosa dosa selama hidupnya. Dengan ini tirakatan dimaknai sebagai bentuk menghargai terhadap jasa para pahlawan serta rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia sehingga saat ini masyarakat dapat hidup dengan aman dan damai. hingga sekarang tirakatan sering di warnai dengan makan besar, namun dengan tujuan bahwa apa yang dilakukan pejuang dahulu membuat anak cucu sekarang bahagia, dan hidup tentram, ditunjukan dengan kerukunan warga bersama sama membuat hidangan seperti tumpeng nasi kuning, makanan ringan bertema merah putih, atau makan ala pejuang, kemudian dimakan bersama sama juga dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
KARANGANYAR
Wiwitan oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Di masyarakat jawa banyak tradisi-tradisi yang mempunyai makna bersyukur kepada sang pencipta untuk apa yang telah mereka dapatkan terutama yang berhubugan dengan alam. Salah satu dari tradisi jawa adalah ketika masyarakat sudah masuk waktu panen padi, tradisi yang dilakukan adalah Wiwitan. Disebut sebagai ‘wiwitan’ karena arti ‘wiwit’ adalah ‘mulai’, yang mana mulai memotong padi sebelum panen diselenggarakan.
Di desa karanganyar tradisi wiwitan sudah tidak banyak yang melakukan, melaikan hanya beberapa orang yang melakukan tradisi tersebut. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh petani menjelang waktu panen padi dengan meletakkan ubo rampe di sekitar sawah yang akan di panen. Menurut ibu satimah berusia 56 tahun warga dusun klipoh, beliau adalah seorang petani yang sampai sekarang masih melakukan tradisi wiwitan. beliau mengatakan tradisi
tersebut adalah simbol rasa syukur kepada tuhan atas rezeki berupa panen padi. Beliau melakukan tradisi tersebut dengan membuat sego kluban atau nasi yang dipadukan dengan sayuran yang di campur dengan bumbu kelapa, telur ayam kampung dan ikan teri kemudian dibagikan kepada tetangga sekitar rumah. Bukan itu saja, sego kluban tersebut ada yang di bawa ke sawah yang ditambahkan jajanan pasar dengan menggunakan tampah atau nampan yang terbuat dari anyaman bambu yang di alaskan dahun pisang kemudian diletakkan di pinggir sawah yang akan dipanen. Hal itu juga sebuah simbol rasa syukur dan rasa berterimakasih kepada makhluk yang diutus oleh tuhan untuk menjaga tanaman padi tersebut. Ada juga beberapa masyarakat yang menggunakan ubo rampe berupa kembang, rokok, kopi hitam dan ayam kampung sebagai ritual tradisi wiwitan tersebut. Ubo rampe tersebut juga sama diletakkan di pinggir sawah dengan makna berterimakasih kepada makhluk yang telah menjaga tanaman padi sampai bisa dipanen. Menurut beliau yang dahulu pernah mendengan cerita tentang wiwitan dari orangtuanya, seseorang yang menjaga padi adalah seorang dewi yang bernama dewi sri. dewi sri adalah simbol dari kesuburan dan kemakmuran. Banyak kisah tentang dewi sri ini dalam cerita agama hindu dan budha. Kata Sri diambil dari bahasa Sansekrta yang artinya adalah kesuburan, kekayaan, keberuntungan, kesehatan, keindahan. Sri dalam bahasa Sanskerta dipakai juga sebagai awalan dalam menyebut nama orang terhormat atau orang suci. Kata Sri sebagai awalan untuk menyebut nama orang terhormat juga dikenal dalam Bahasa Indonesia misalnya Sri Baginda, Sri Rama, dan lain-lain.
KARANGANYAR
Tradisi Kematen oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Kematian memang selalu menjadi salah satu momen yang paling menyedihkan dalam setiap perjalanan hidup manusia. Tidak ada satupun cara yang bisa kita lakukan sebagai manusia untuk menghindari momen yang dianggap menyedihkan ini. Secara umum pada saat keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup hanya di doakan lalu dimakamkan. Namun, beberapa orang di Indonesia mempunyai cara, tradisi, ritual, upacara, maupun adat istiadat yang dilakukan pada saat keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia, demikian juga tradisi upacara pemakaman pada masyarakat Jawa. Pemikiran orang Jawa tentang kematian dapat dilihat dari cara bagaimana orang Jawa dalam mempersepsikan kehidupan. Masyarakat Jawa merumuskan konsep bahwa urip iki mung mampir ngombe (hidup ini cuma sekedar mampir minum). Atau dengan konsep yang lain, urip iki mung sakdermo nglakoni (hidup ini cuma sekedar menjalani) atau nrima ing pandhum (menerima apa yang menjadi pemberian-Nya) Menurut pemahaman orang Jawa, setiap manusia telah digariskan oleh takdir. Baik atau buruk,
bahagia atau derita, kaya atau miskin, hidup dan mati adalah buah dari ketentuan takdir yang harus diterima dengan sikap legawa. Sedangkan sikap legawa adalah situasi batin yang muncul karena suatu sikap nrima ing pandhum itu sendiri yaitu kemampuan diri untuk bersyukur dan ikhlas menerima segala bentuk kehidupan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Dalam perspektif Jawa kematian hakekatnya adalah mulih (pulang ke asal mulanya). Orang Jawa memahami kehidupan dan kematian dalam filosofi sangkan paraning dumadi dimana sangkan asal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta, Sehingga dapat diartikan untuk mengetahui dari mana manusia berasal dan akan kemana tujuan manusia setelah hidup atau mati Berdasarkan penjelasan Bapak Ali Usman (50 tahun) yang merupakan tokoh agama Desa Karanganyar, menjelaskan bahwa salah satu situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat dari budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal masyarakat tersebut. Tradisi lokal upacara kematian orang
Jawa ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan serta masyarakat sekitar. Adapun pelaksanaannya adalah sebagai berikut: Wara wara Tentu saja hal yang menjadi langkah pertama yang akan di lakukan saat mengetahui keluarga/kerabat yang meninggal adalah memberitahukan kabar duka tersebut ke tetanggga, kerabat, keluarga terdekat,kemudian memanggil tokoh ,baik tokoh masyarakat atau tokoh agama, Guna memastikan apakah benar orang tersebut sudah meninggal atau belum dengan cara mengecek denyut nadi dan nafas, selanjutnya menyampaikan berita kematian tersebut pengeras masjid. Bahkan sebagian masyarakat rela meninggalkan pekerjaannya untuk datang dan membantu prosesi pemakaman tersebut. Nyuceni Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. Warga perempuan sekitar berdatangan untuk membantu prosesi pemakaman, mereka menyiapkan air untuk pemandian jenazah yang airnya diambil dari sumur terdekat, menyiapkan sabun dan menyiapkan rangkaian bunga diambil dari lingkungan sekitar. Berdasarkan Penuturan bapak Ali, bunga dan daun oandan yang digunakan tidak memiliki aturan khusus karena memang kondisi dimana jenazah segera disholatkan setelah dimandikan nanti, bunga dan daun pandan di tusuk dalam benang hingga memanjang nantinya akan dilatakkan diatas keranda mayat. Rangkaian bunga sejak dauhulu telah digunakan sebagai sarana wangi-wangian pada jenazah dan hingga kini masih dilakukan sampai saat ini. Sedangkan
warga laki laki meyiapkan tempat pencucian jenazah dan alas untuk pemakaman,alas pemakaman menggunakan gedebok pisang yang dibelah menjadi dua, gunanya untuk mempermudah aliran air saat nyuceni, dan memudahkan dalam memindahkan posisi jenazah, kemudain setelah selesai nyuceni, para laki laki akan membuang gedebok pisang ke kebun atau lahan kosong, namun sebelum dibuang ,akan diberi koin dulu, dahulu koin pada debok pisang digunakan untuk membeli lengo mambu atau minyak tanah guna menghidupkan sentir, karena dahulu belum ada listrik. Bahkan tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini. Namun sebelum ke pencucucian jenazah, ada beberapa syarat orang yang berhak memandikan jenazah Orang yang paling utama memandikan dan mengkafani jenazah laki-laki adalah orang yang diberi wasiat, kemudian bapaknya, kakeknya, keluarga kandungnya, keluarga terdekatnya yang laki-laki, dan istrinya. Orang yang paling utama memandikan dan mengkafani jenazah perempuan adalah ibunya, neneknya, keluarga terdekat dari pihak wanita serta suaminya. Yang memandikan jenazah anak laki-laki boleh perempuan, sebaliknya untuk jenazah anak perempuan boleh laki-laki yang memandikanya. Berikut cara memandikan jenazah yang benar menurut Islam yang sebaiknya dikerjakan dengan tertib. Meletakkan jenazah dengan kepala agak tinggi di tempat yang disediakan untuk dimandikan Yang memandikan jenazah hendaklah memakai sarung tangan.
Ambil kain penutup dari jenazah dan ganti dengan kain basahan agar auratnya tidak terlihat
Memiringkan jenazah ke kanan, basuh bagian lambung kirinya sebelah belakang.
Setelah itu bersihkan giginya, lubang hidung, lubang telinga, celah ketiaknya, celah jari tangan
Siram lagi dengan air bersih dari kepala hingga ujung kaki.
dan kaki serta rambutnya. Bersihkan kotoran jenazah baik yang keluar dari depan maupun dari belakang terlebih dahulu. Caranya, tekan perutnya perlahan-lahan agar apa yang ada di dalamnya keluar. Siram atau basuh seluruh anggota tubuh jenazah dengan air sabun. Kemudian siram dengan air yang bersih sambil berniat sesuai jenis kelamin jenazah: Niat memandikan jenazah perempuan: NAWAITUL GHUSLA ADAA ‘AN HADZIHIL MAYYITATI LILLAHI TA’AALAA Artinya: “ Aku berniat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari jenazah (wanita) ini karena Allah Ta’ala.” Niat memandikan jenazah laki-laki: NAWAITUL GHUSLA ADAA ‘AN HADZAL MAYYITI LILLAHI TA’AALAA Artinya: “ Aku berniat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari jenazah (pria) ini karena Allah Ta’ala.” Siram atau basuh dari kepala hingga ujung kaki dengan air bersih. Siram sebelah kanan dan kiri masing-masing 3 kali. Memiringkan jenazah ke kiri, basuh bagian lambung kanan sebelah belakang.
Setelah itu siram dengan air kapur barus. Jenazah kemudian diwudhukan seperti orang yang berwudhu sebelum sholat. Perlakukan jenazah dengan lembut saat membalik dan menggosok anggota tubuhnya. Jika keluar dari jenazah itu najis setelah dimandikan dan mengenai badannya, wajib dibuang dan dimandikan lagi. Jika keluar najis setelah di atas kafan, tidak perlu diulangi mandinya, cukup hanya dengan membuang najis tersebut. Bagi jenazah wanita, sanggul rambutnya harus dilepas dan dibiarkan terurai ke belakang. Setelah disiram dan dibersihkan, lalu dikeringkan dengan handuk dan dikepang. Keringkan tubuh jenazah setelah dimandikan dengan handuk sehingga tidak membasahi kain kafannya. Selesai memandikan jenazah, berilah wangiwangian yang tidak mengandung alkohol sebelum dikafani, biasanya menggunakan air kapur barus. Nyolatke Setelah di mandikan, jenazah akan di sholatkan, prosesi sholat umumnya dilaksanakan di masjid atau mushola terdekat , namun apabila jauh dari keduanya prosesi ini dilaksanakan di rumah sendiri, dipimpin oleh tokoh ulama dan di laksanakan bersama sanak saudara dan tetangga . Bertujuan untuk memohon ampunan dari dosa dosa yang telah di perbuat semasa hidupnya.
Rukun salat jenazah antara jenazah laki-laki dan perempuan pun berbeda, termasuk dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Berikut penjelasan rukun-rukunnya: 1. Niat Niat ini dilafalkan dalam hati dan harus bersamaan dengan pelaksanaan takbiratul ihram, seperti halnya yang berlaku dalam melaksanakan niat pada shalat fardhu. Adapun lafal niat melakukan shalat jenazah secara sendirian dan jenazah berkelamin laki-laki adalah sebagai berikut: Usholli ‘ala hadzal mayyiti arba’a takbirotin fardho kifayatin imaman/ma’muman lillahi ta’ala Saya niat salat atas jenazah ini empat kali takbir fardu kifayah, sebagai imam/makmum karena Allah Ta’ala.” Untuk perempuan dengan hadzal mayyitati 2. Berdiri Salat jenazah wajib dilakukan dengan cara berdiri, sebab salat jenazah tergolong salat fardhu, sedangkan setiap salat fardhu wajib dilaksanakan dengan cara berdiri. Tapi jika seseorang memang tidak mampu berdiri karena sedang sakit maka bisa dilakukan dengan cara dudu seperti halnya ketentuan yang terdapat dalam shalat lima waktu. 3. Takbir empat kali Jumlah takbir dalam salat jenazah harus empat kali, ini termasuk takbiratul ihram. Jika tidak cukup empat kali maka shalat dianggap tidak sah. Seperti pada shalat fardu lima kali, disunnahkan mengangkat kedua tangan sejajar dengan dua pundak saat berseru takbir. Dalam melakukan takbir akan diselingi dengan beberapa bacaan doa. Setelah takbir pertama kita dianjurkan untuk
membaca Surat Al-Fatihah, tkabir kedua membaca shalawat, takbir ketiga dan keempat membaca doa 4. Membaca Surat al-Fatihah Membaca Surat al-Fatihah dilakukan setelah takbir pertama (takbiratul ihram). Sebaiknya membaca Surat al-Fatihah dengan cara suara dilirihkan. Setelah itu membaca ta’awwudz menurut qaul ashah (pendapat terkuat). Dalam salat jenazah tidak disunahkan membaca Do’a Iftitah karena dianggap terlalu panjang 5. Membaca Shalawat Bacaan shalawat ini dibaca setelah takbir kedua. Bacaan shalawat yang minimal bisa mencukupi sahnya shalat jenazah adalah sebagai berikut: Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad. Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad.” Sedangkan bacaan shalawat yang paling sempurna adalah bacaan Shalawat Ibrahimiyah, yakni shalawat yang dibaca ketika tasyahud akhir dalam shalat fardhu lima waktu, yaitu: Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa ‘alâ âli sayyidinâ Muhammad, kamâ shallaita ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm wa ‘alâ âli sayyidinâ Ibrâhim, wa bârik ‘alâ sayyidinâ Muhammad, wa ‘alâ âli sayyidinâ Muhammad, kamâ bârakta ‘alâ sayyidina Ibrâhîm wa ‘alâ âli sayyidinâ Ibrâhîm fil ‘âlamîna innaka hamîdun majîd. Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Limpahkan pula keberkahan bagi Nabi Muhammad dan bagi keluarga Nabi Muhammad,
sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan bagi Nabi Ibrahim dan bagi keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya di alam semesta Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.” 6. Mendoakan Jenazah Mendoakan jenazah ini dilakukan setelah takbir ketiga. Minimal bacaan doa yang bisa dibaca untuk jenazah laki-laki adalah: Allâhumaghfir lahu. Artinya, “Ya Allah, ampunilah dia (laki-laki).” Jika ingin lebih sempurna maka bacaannya adalah: Allâhummaghfir lahu warhamhu wa ‘âfihi wa‘fu anhu wa akrim nuzulahu wa wassi’ madkhalahu waghsilhu bilmâ’i wats tsalji wal baradi, wa naqqihi minal khathâyâ kamâ naqaita ats-tsauba al-abyadh minad danasi, wa abdilhu dâran khairan min dârihi wa ahlan khairan min ahlihi wa zaujan khairan min zaujihi wa adkhilhu al-jannata wa a’idzhu min ‘adzâbil qabri wa min adzâbinnâr Artinya: “Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, bebaskanlah dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempatnya, luaskanlah kuburnya, dan mandikanlah ia dengan air, salju, dan es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran. Berikan ia rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya. Kemudian masukkanlah ia ke dalam surga dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa neraka. Sedangkan minimal bacaan doa ketika jenazah perempuan adalah membaca doa berikut: Allâhumaghfir lahâ.
Artinya, “Ya Allah, ampunilah dia (perempuan).” Jika ingin membaca doa yang lebih sempurna, maka bacaannya adalah Allâhummaghfir lahâ warhamhâ wa ‘âfihâ wa‘fu anhâ wa akrim nuzulahâ wa wassi’ madkhalahâ waghsilhâ bilmâ’i wats tsalji wal baradi, wa naqqihâ minal khathâyâ kamâ naqaita ats-tsauba al-abyadh minad danasi, wa abdilhâ dâran khairan min dârihâ wa ahlan khairan min ahlihâ wa zaujan khairan min zaujihâ wa adkhilhâ al-jannata wa a’idzhâ min ‘adzâbil qabri wa min adzâbinnâr. Artinya: “Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, bebaskanlah dan maafkanlah dia. Muliakanlah tempatnya, luaskanlah kuburnya, dan mandikanlah ia dengan air, salju, dan es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran. Berikan ia rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya. Kemudian masukkanlah ia ke dalam surga dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa neraka. Ketika selesai membaca doa di atas, orang yang melaksanakan shalat jenazah melanjutkan shalatnya dengan melakukan takbir yang keempat. Setelah itu takbir keempat. Dalam situasi ini disunnahkan untuk membaca doa berikut ini. - Untuk jenazah laki-laki: Allâhumma lâ tahrimnâ ajrahu wa la taftinna ba’dahu waghfir lanâ wa lahu Artinya: “Ya Allah, jangan haramkan kami dari pahalanya dan jangan beri fitnah (cobaan) bagi kami sepeninggalnya. Ampunilah kami dan ampunilah dia.” - Untuk jenazah perempuan: Allâhumma lâ tahrimnâ ajrahâ wa la taftinna ba’dahâ waghfir
lanâ wa lahâ Artinya: “Ya Allah, jangan haramkan kami dari pahalanya dan jangan beri fitnah (cobaan) bagi kami sepeninggalnya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. 7. Membaca Salam Membaca salam ini dilakukan setelah membaca doa yang dilafalkan setelah takbir keempat. Bacaan salam pada shalat jenazah ini persis seperti bacaan salam yang dibaca pada shalat fardhu lima waktu. Selain itu, menghadapkan wajah ke arah kanan pada saat bacaan salam pertama dan menghadapkan wajah ke kiri pada saat salam kedua merupakan sunnah yang berlaku dalam pelaksanaan salat jenazah. Kemudian setelah selesai menyolatkan jenazah, kerabat melanjutkan dengan membacakan yasin Nlusuban Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam masyarakat Karanganyar melakukan suatu upacara yang disebut dengan nlusuban. Upacara nlusuban ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia. Biasanya nlusuban dilakukan apabila yang meninggal adalah orang yang sepuh, atau pinisepuh yang dituakan dan dihormati. Apabila yang meninggal anak-anak/ muda biasanya tidak dilakukan nlusuban. Upacara nlusuban diselenggarakan di halaman tempat sholat jenazah,baik masjid atau rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.
Upacara nlusuban tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut: a. Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman dan dijunjung tinggi ke atas oleh sanak keluaraga yang laki laki b. Anak laki-laki anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang diangkat diatas mereka selama tiga kali dan searah jarum jam. c. Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang. Setelah itu jenazah diangkat berjalan satu langkah dan dibacakan al fatihah bersama-sama, sampai langkah ke 3, baru diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada, dan masyarakat mengikutianya sampai ke makam. Prosesi nlusuban bisa dilaksanakan apabila masyarakat yang berkerja bakti di makam sudah menyatakan selesai dalam penggalian kubur. Kemudian saat menuju pemakaman para saudara perempuan membawa beberapa perlengkapan lain yang akan di gunakan di pemakaman 1. Sawur Sawur terdiri dari sejumlah uang logam, beras kuning (beras yang dicampur dengan kunyit yang diparut) ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga) serta sirih. Semuanya itu ditempatkan dalam bokor atau takir. Takir adalah wadah yang terbuat dan daun pisang. Seperti disebutkan di atas, hal ini dimaksudkan sebagai
bekal si mati dan keluarga yang ditinggalkan agar selalu mendapatkan kemurahan dari Tuhan, 2. Payung Payung yang digunakan dalam upacara kematian sering disebut payung jenazah. Payung itu mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan untuk memayungi jenasah sejak keluar dan rumah hingga sampai di kuburan. Payung tersebut melambangkan perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan payung melambangkan agar arwah jenazah selalu mendapatkan perlindungan dan Tuhan atau sering disebut “diayomi”. Sebagai bekal dalam perjalanan jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat perlindungan dari panas dan
hujan. 3. Sepasang Nisan atau Maesan Biasa terbuat dari cor atau jenis kayu yang kuat dan tahan air serta awet. Dibuat dengan ukuran panjang sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5 cm. Pada bagian atas berbentuk runcing agak menumpul dengan ukiran bunga melati. Sepasang maesan yang terdiri 2 buah itu ditanam di atas kuburan, satu di bagian arah kepala dan satunya lagi di bagian arah kaki. Maesan tersebut sebagai tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan seseorang. Maesan yang yang berada pada bagian arah kepala jenasah yang dikuburkan biasanya dituliskan nama orang yang dikuburkan beserta hari tanggal, bulan dan tahun
kematiannya, dengan dasar tahun Jawa ataupun tahun masehi. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga melati sebagai lambang keharuman. 4. Tempayan kecil (klenting) atau kendi Kendi atau klenting digunakan untuk wadah air tawar yang dicampuri dengan serbuk atau minyak cendana dan kembang telon, yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan maesan. Semua itu melambangkan kesucian, kesegaran dan keharuman nama orang yang meninggal. 5. Degan Ijo atau Krambil Ijo Muda Kelapa hijau yang masih muda itu nantinya, setelah jenasah dikuburkan, dibelah dan airnya disiramkan di atas kuburan. Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas kuburan itu pula. Maksudnya adalah sebagai air suci, juga air segar pelepas dahaga. Maksud yang lain ialah sebagai penolak bala dan keteguhan hati orang yang meninggal. Dalam hal ini dikiaskan pohon kelapa sebagai pohon yang teguh dan tidak mudah terombang-ambing angin atau lainnya. Adapun sudah menjadi tradisi bagi masyarakat karanganyar, apabila ada warga yang meninggal, maka akan diadakan doa bersama selama 7 hari berturut turut, guna menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mendoakan jenazah yang baru saja meninggal dunia. Kegiatan ini biasa dikenal dengan acara “Tahlilan” atau ada juga yang menyebutnya “Ikhlasan” Warga sekitar yang umumnya laki-laki akan menghadiri acara tahlilan pada malam hari. Baik bapak-bapak, pemuda, remaja bahkan anak kecil mereka datang setelah melaksankan sholat isya’. Kemudian tuan rumah akan menyajikan makanan dan minuman untuk warga yang datang, yang nantinya akan dibagikan oleh pemuda.
Doa dipimpin oleh tokoh ulama dan semua warga mengikuti sampai selesai. Kegiatan ini tidak bersifat wajib, hanya warga yang mau atau memiliki waktu luang untuk menghadiri acara tersebut. Tahlilan malem kepisan ( hari pertama ) Bertepatan dengan hari kematian, masyarakat sekitar berdatangan untuk bersama sama mendokan orang yang meninggal yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat, dan jamuan makan besar dengan ayam utuh atau ingkung yang dimakan bersama sama dalam satu wadah dari bambu, ingkung ini dibuat oleh ibu-ibu sekitar yang akan membantu dari hari kematian hingga hari ke tuju untuk menyiapkan segala hal mengenai hidangan makan, minum maupun kebutuhan mburi. Mburi diartikansebagai kebutuhan dapur. Kemudian dimalam ke 2 kegiatan sama namun tidak diadakan makan besar, melainkan hanya jajanan pasar yang dibuat ibuk ibuk sekitar. Niatnya keluarga almarhum sama yakni untuk berbagi atau bersedekan atas nama almarhum. Tahlilan Telung Dina (Tiga Hari-an) Selamatan ke tiga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara hidup manusia, yaitu bumi, api, angin dan air. Upacara selamatan tiga hari juga memiliki arti memberi penghormatan dan mendoakan orang yang meninggal supaya di ampuni dosa dosanya. Hari ketiga ini diadakan makan bersama tanpa jajan pasar Tahlilan Pitung Dina (Tujuh hari-an) Begitu juga tahlilan dilaksanakn di malam ke 4 sampai 7 ,dipercaya oleh warga sekitar roh dari orang meninggal masih berada disekitar rumah tinggal nya sampai 40 hari, sehingga selama 1 – 7
hari warga melakukan tahlilan bersama akan di lihat oleh ruh jenazah,dengan harapan agar segala hal tentang duniawi akan mudah untuk dilupakan dan doa para warga tersampaikan untuk jenazah, Selametan Patang Puluhan (Empat puluh hari-an) Slametan empat puluh hari (matang puluh dina), dimaksudkan untuk mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Dalam 40 hari meniggal dunia,jenazah juga akan mengalami fitnah kubur berupa pertanyaan yang berujung kepada nikmat atau adzab kubur di alam barzakh hingga hari kiamat. Keluarga mengadakan mujadahan 40 hari bersama warga sekitar sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisonal, seperti soto kuali, lele, megono, ingkung dan snack tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll
dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah. Selametan Mendak Pisan (Tahun ke 1) Kegiatan sama yang dilakukan saaat 40 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujadahan pada satu tahun pertama dengan bersama warga sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisonal, seperti soto kuali,lele,megono ,ingkung dan sncak tradisional seperti kacang,meniran,saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.
Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.
Namun kadang diadakan dimoshola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama
Selametan Nyatus Dina (Seratus hari)
Selametan Mendhak Pindho (Tahun ke-2)
Kegiatan sama yang dilakukan saaat 40 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujadahan 100 hari bersama warga sekitar. guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisonal, seperti soto kuali, lele, megono, ingkung dan jajanan
Kegiatan sama yang dilakukan saat 40 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujadahan pada tahun kedua bersama warga sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisonal, seperti soto kuali,lele,megono ,ingkung dan sncak tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng
tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng
dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah. Namun kadang diadakan dimoshola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama Selametan Nyewu (Seribu Hari-an) Kegiatan sama yang dilakukan saat 40 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujadahan 1000 hari bersama warga sekitar satu RT (rukun Tetangga), guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisonal, seperti soto kuali, lele, megono, ingkung dan jajanan tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah. Namun kadang diadakan dimoshola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama-sama. Haul atau Khol Haul (khol), peringatan kematian pada setiap tahun hari meninggalnya seseorang. Haul (khol) memiliki arti untuk mengenang kembali memori perjalanan seseorang yang telah meninggal untuk dijadikan suri tauladan dan aspek kebaikan perilakunya, memberikan penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, masyarakat dan agamanya. Hal ini tentunya akan memberikan spirit dan motivasi tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ritual
acara khol ini biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang dan status sosial tertentu. Seperti tokoh masyarakat, para kyai dan orang-orang yang dianggap keluarganya sebagai seseorang yang memberikan peran yang sangat berarti bagi keluarga. Tetapi terkadang juga diadakan pengajian yang bisa dihadiri masyarakat umum dengan tujuan yang paling utama adalah doa bersama untuk almarhum.
KARANGANYAR
Dusun Gunden dan Kisah Mbah Kundi oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir Cerita Sejarah Desa Karanganyar tak lepas dari kehebatan Pangeran Diponegoro dalam melakukan perang gerilya di wilayah lereng Menorah, termasuk di Dusun Gunden Desa Karanganyar ini. Dusun Gunden dengan perbukitan dan segala keindahan alamnya, menyimpan sejarah para pengikut Pangeran Diponegoro, sama halnya yang di ceritakan Bapak Rismanto atau sering dipanggil Bapak Kyai Arisudin, Bapak Kadus Gunden sekaligus tokoh ulama di Desa Karanganyar. Beliau menceritakan Dusun Gunden itu diberi nama dari yang mbabat alas atau yang membuka lahan disini, yaitu Simbah Kundi, Simbah Kundi merupakan pendherek ( pengikut ) Pangeran Diponegoro semasa bergerilya di wilayah Menorah, Simbah Kundi ikut berperang, berjuang demi kemerdekaan nusantara bersama pangeran.
Kundi juga sependapat, bahwa nama asli dari Simbah Kundi ini sudah tidak diingatnya ataupun keluarganya, yang mbah Husain ingat, bahwa julukan Simbah Kundi ini berasal dari keahlian Mbah Kundi dalam membuat gerabah, kundi sendiri adalah nama untuk alat membuat gerabah, dan beliau terkenal dari keahlian membuat gerabah dari kundi, Simbah Kundi sendiri adalah orang yang pertama kali mengajarkan gerabah di Dusun Gunden. Menurut Bapak Husain, dulu di Dusun Gunden banyak warga yang bisa membuat gerabah, namun orang yang membuat gerabah ini diperistri oleh warga Dusun Klipoh dan menetap di dusun klipoh, sehingga sampai sekarang tidak ada warga Gunden yang bisa membuat gerabah, dan Dusun Klipoh sendiri menjadi pusat kerajinan gerabah di Borobudur hingga saat ini.
Pak Rismanto mengatakan, bahwa nama Simbah Kundi ini hanya nama panggilan saja, sampai saat ini belum ada yang tau nama asli dari Simbah Kundi tersebut, karena cerita dari nenek moyang di tahun sebelumya sudah tidak ada, mengingat perang pangeran diponegoro sendiri berlangsung dari tahun 1825-1830. Mbah Husain (warga Dusun Gunden), yang merupakan keturunan dari Simbah
Namun sebagai jalur perang gerilya Pangeran Diponegoro, hingga kini Dusun Gunden masih terasa suasana alamnya, dilihat dari banyak pohon bambu yang ada di beberapa bukit Dusun Gunden. Dahulu hutan bambu di sepenjuru Dusun Gunden, dijadikan tempat untuk sembunyi pengikut Pangeran Diponegoro dari serangan Belanda, dan hingga warga yang tinggal di Dusun Gunden juga
KARANGANYAR
Kotak Naga Dusun Klipoh oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
melakukan hal sama saat masa penjajahan Belanda, hingga kini pohon bambu ini masih dipergunakan warga Gundem, namun sebagai penyambung ekonomi masyarakat Gunden. Para warga membuat suatu kerajinan dari bambu yang bernilai seni tinggi, bahkan saat ini mampu dijual ke luar negeri, salah satu seni yang bernilai tinggi adalah miniature kapal samudra raksa. Ini merupakan pengetahuan yang jarang orang miliki, mereka mampu memilih bambu yang sesuai kriteria, kemudian memotong kecil kecil, menyambung menjadi kapal yang indah dan bernilai tinggi. Mereka menceritakan bahwa kahlian mereka mengolah bambu di dapatkan secara otodidak, seperti keahlian yang sudah mengalir dari nenek moyangnya, memanfaatkan alam pemberian Tuhan Yang Maha Esa, menjadikan
sumber untuk menghidupi keluarga. Kini, hutan bambu, kerajinan dan budaya masyrakat Gunden sudah mulai dikembangkan untuk menjadi daya tarik wisata berkonsep budaya. Mengenalkan sejarah Nusantara dan menyampaikan pesan pesan moral untuk menjadikan manusia yang berakhlak mulia.
Ada sebuah tempat didesa Karanganyar yang dinamakan dengan sebutan Kotak Nogo, letaknya di sebelah barat dusun klipoh desa Karanganyar. menurut cerita dari masyarakat tempat tersebut dahulunya menjadi tempat dimana terjadi perang antara pasukan diponegoro dan pasukan belanda. Siapa yang tak mengenal nama Pangeran Diponegoro, nama tersebut sangat tidak asing ditelinga masyarakat jawa. Pangeran Diponegoro memimpin Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dalam perang besar yang hampir meruntuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada sekitar tahun 1825-1830 terjadi perang gerilya disepanjang bukit menoreh salah satunya yang terjadi di Desa Karanganyar. Menurut mas Nurofiq selaku penggiat budaya, Pada waktu itu terjadi pengejaran antara pasukan belanda yang bermarkas di karisidenan kedu dengan pasukan pangeran diponegoro yang bertempat dibukit menoreh. Akhirnya kedua pasukan tersebut bertemu di wilayah sekitaran desa karanganyar tepatnya di dusun Klipoh yang lokasinya disebelah barat sungai klipoh. Terjadilah perang antara pasukan diponegoro dan pasukan belanda ditempat tersebut. Semasa perang, banyak prajurit dari kedua pasukan yang tewas terbunuh akibat perang yang terjadi di waktu itu baik dari
pasukan pangeran diponegoro maupun dari pasukan belanda. Setelah perang selesai banyak mayat prajurit dari kedua pasukan yang tergeletak ditempat tersebut. kemudian untuk membersihkan lokasi dari mayat prajurit yang gugur agar tidak membusuk dan menimbulkan bau yang tidak enak Akhirnya pangeran diponegoro melemparkan sebuah sisir ke tanah dan seketika sisir tersebut berubah menjadi sosok ular naga yang besar. sisir yang berubah menjadi ular naga menelan mayatmayat yang tergeletak baik dari pasukan pangeran diponegoro maupun dari pasukan belanda dan seketika ular naga tersebut masuk kedalam tanah bersama mayat yang ditelan kemudian menghilang disuatu tempat sekitaran lokasi terjadinya perang tersebut. Tempat menghilangnya ular naga yang masuk kedalam tanah tersebut akhirnya dinamakan dengan sebutan Kotak Nogo. Sampai sekarang masyarakat masih menyebut tempat itu dengan sebutan kotak nogo. Nama kotak nogo artinya adalah sebuah tempat yang berbentuk kotak dan nogo yang artinya ular naga. Karena sejarah Kotak nogo yang panjang, banyak berkembang di kalangan masyarakat mengenai cerita-cerita yang ada di tempat tersebut. Bahkan
ada dari warga masyarakat dusun klipoh yang pernah melihat benda berupa keris disekitaran tempat kotak nogo kemudian keris tersebut seketika berubah menjadi sosok ular dan terbang ke arah bukit menoreh dengan mengeluarkan suara seperti angin yang besar lalu menghilang disekitaran bukit menoreh. Ada juga sebuah cerita dimana pernah ada orang yang melihat sosok ular besar berjalan di tempat tersebut dan menurut ceritanya orang tersebut tidak melihat kepala ular dan ekornya karena menurut cerita ular tersebut sangat besar. Menurut cerita dari warga dusun klipoh , di sekitaran kotak nogo warga sering melihat munculnya sosok ular hitam yang berukuran besar. ular tersebut sering menampakkan wujudnya ketika siang hari menjelang masuk sholat dhuhur, masyarakat percaya bahwa ular tersebut muncul untuk mengingatkan bahwa sudah masuk waktu sholat dhuhur dan waktunya beristirahat. Adapun cerita jaman dahulu ketika petani membajak sawah masih menggunakan cara tradisional yaitu dengan menggunakan kerbau sebagai alat membajak sawahnya. Kerbau yang digunakan untuk membajak sawah disekitaran kotak nogo sering mengalami lumpuh bahkan berujung dengan kematian. Ada yang mengatakan penyebat kelumpuhan tersebut dikarenakan oleh gigitan ular yang menjaga tempat kotak nogo.. Ada juga yang mengatakan bahwa penyebab lumpuhnya kerbau tidak berkaitan dengan gigitan ular melainkan tanah disekitaran kotak nogo tergolong tanah yang mempunyai serat yang kuat. Terbukti bahwa tanah tersebut menjadi sumber bahan tanah terbaik untuk dijadikan gerabah.
KARANGANYAR
Kyai Ragil oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Dusun kragilan ini berada diwilayah kelurahan karanganyar, berbatasan langsung dengan desa seberang. Seperti dusun dusun lain yang berada dilereng menorah yang berkaitan dengan kisah perang gerilya pangeran diponegoro, penamaan dusun kragilan ini juga berasal dari salah satu pendherek pangeran yang tinggal dan menetap di wilayah ini. Menurut pak Muh Maslah seorang prabot didusun kragilan yang berumur 50 thn, ada empat saudara yang dulunya bersinggah di wilayah ini, keempat bersaudara ini merupakan pendherek pangeran diponegoro selama pangeran bergerilya diwilayah menorah, saat mereka berempat mau melanjutkan bergerilya, salah satu dari mereka merasa nyaman saat berisitirahat ditempat tersebut dan ingin tinggal untuk menambah tenaga selama beberapa saat. Orang tersebut dikenal dengan sebutan Kyai ragil, anak terakhir dari empat bersaudara. Saat kyai ragil beristirahat diwilayah tersebut, beliau merasa nyaman , tenang dan lebih mudah mendekatkan diri kepada Tuhan. Hingga kyai ragil membangun tempat tinggal selama berada didusun itu.
Waktu berlalu kyai ragil mencoba beradaptasi dengan bersosialisasi terhadap warga sekitar, lambat laut kyai ragil mulai mengajarkan ilmu tetang agam islam ke masyarakat yang kebanyakan belum menganut agama, hanya kepercayaan kejawen saja. Hingga kyai ragil merasa dihormati saat berada disitu, beliau mulai seperti guru besar, dan menjadi tokoh masyarakat, sehingga menjadi panutan warga. Lambat laut kyai ragil sudah sangat nyaman dengan masyarakat sekitar dan karena usai beliau sudah sangat tua, beliau pun wafat di dusun itu dengan meninggalkan ilmu ajaran agama islam yang sudah menjadi agama seluruh warga. Sebagai lambang penghormatan dan mengenang jasa jasa kyai ragil, warga pun menamai wilayah mereka dengan sebutan dusun kragilan. Diambil dari nama kyai ragil agar anak cucu mereka kelak tau akan sejarah besar dari kyai ragil. Memang belum ada yang tau siapa nama asli kyai ragil ini, penamaan ini hanya diambil dari urutan empat saudara pendherek pangeran diponegoro. Ragil sendiri adalah istilah dalam Bahasa jawa ,
yang artinya terakhir, atau disini biasa disebut anak terakhir. Dari situ warga memanggilnya . Hingga kini sejarah kyai ragil dan dusun kragilan masih bisa terdengar dari mulut mulut warga. Tapi dari semua sejarah kyai ragil ada satu mitos yang berkembang di tengah masyarakt bahkan terkenal di penjuru Borobudur dan se magelang. Bahwasanya dulu banyak kesenian seperti dayakan,jatilan, rodat dan kesenian kesenian lain dari luar wilayah yang berpentas di dusun kragilan. Dan beberapa bulan setelah pentas ditanah kragilan semua kesenian yang pernah pentas mengalami pembubaran atau tidak bermain lagi , menurut pak muh dan warga sekitar, ini berkaitan dari nama ragil yang berarti terakhir. Jadi segala kesenian yang pentas ditanah kragilan maka itu adalah pentas terakhir mereka. Mitos ini berkaitan dengan penamaan ragil, yaitu terakhir, dan warga meyakini mitos tersebut, bahkan kesenian kubro siswo dan topeng ireng aki sutopo yang berasal dari desa yang sama pun tidak pernah dan belum pernah bermain didusun kragilan, dengan alasan mitos yang ada. Makam dari kyai ragil sendiri diyakini oleh warga berada dipemakan umum mereka, yang anehnya, aura dipemakan tersebut tidak terlihat seram, bahkan sebaliknya, orang yang berada disitu merasa aman, sejuk dan nyaman. Pak muh kembali menjelaskan bahwa rasa nyaman sejuk dan tidak ada seram seramnya merupakan pengaruh dari keberadaan makam kyai ragil dan sejarahnya yang terpendam disitu.
KARANGANYAR
Mbah Dalang, Siapa? oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Pernah kah berfikir ? kelak hanya cerita hidup kita saja yang tersisa apakah orang akan mengenali nama aslimu ? apakah orang akan menghargai karya mu ?
tersebut boleh kami dokumentasikan dan kami buat ceritanya ? Pak koni; “ angsal mas” Perasaaam kami seperti terkena angin sejuk,terasa lega
Le sampeyan ngerti makam nang kono kae ? Sampeyan ngerti kae sopo ? Pertanyaan yang pernah ditanyakan oleh warga klipoh kepada anak cucu mereka, terhadap makam yang “berbeda” Berebeda ? Makam yang terletak berbeda, makam yang bentuknya berbeda, makam yang memiliki “energi” yang berbeda. Lha kok bisa ? Kami pun bertanya seperti itu, Kembali kami bertemu bapak Markoni, agar bisa menjawab semua keingin tahu tentang makam tersebut. Jumat kliwon 27,08,2021 desa karanganyar Kami bertemu pak markoni dirumahnya, yang pertama kami tanyakan adalah apakah makam
Karena banyak cerita mistis tentang makam tersebut, dari sinar yang sering keluar di malam jumat kliwon, pusaka yang pernah diambil dari makam tersebut,hingga orang orang yang tidak dikenal datang berziarah ke makam itu. jujur saat kami menuliskan cerita ini, suasana disekitar kami terasa sangat sunyi, seperti ada yang
melihat kami dari kejauhan ,dan aroma rokok simbah dengan tembakau khas nya sering terbawa angin melewati hidung kami, kami tidak tau apa yang terjadi namun, kami berkeyakinan yang kami lakukan ini hanya untuk melestarikan budaya di desa,dan sebelum kami melakukan ini kami sudah meminta ijin yang bersangkutan. Pak Koni menceritakan bahwa makam yang ada disudut Dusun Klipoh ini merupakan makam yang sudah ada sejak masa majapahit.Terbukti dari bata merah besar yang digunakan untuk menutupi makam tersebut. Dahulu ada seorang dalang dengan segala perlengkapannya datang ke Dusun Klipoh untuk melakukan seni wayang, tidak ada yang mengundang,namun menurut pak koni dalang tersebut sering berpindah pindah tempat untuk melakukan wayangan,hingga pada saatnya sampai ke Dusun Klipoh ini. Sebelum mbah dalang mendalang perwayangan Warga dikumpulkan,dan pada malam nya pak dalang melakukan wayangan dengan alat sederhannya, banyak warga yang antusias dengan pertunjukanan wayang tersebut. Hingga simbah dalang ini juga bersemangat untuk mendalang sampai pagi, namun karena mbah dalang yang sudah berusia , beliau pun sakit,hingga dirawat oleh warga sekitar. Tidak ada yang tau keluarga atau rumah beliau ,hingga beliau wafat di dusun , bahkan sampai beliau wafat tidak ada yang tau nama asli dari mbah dalang ini. Dan atas kesepakatan warga, mbah dalang ini dimakamkan di dusun klipoh. Dengan julukan “Mbah Dalang”.
Pemakaman mbah dalang ini dilakukan swadaya oleh warga, dan atas persetujuan tokoh masyarakat saat itu,konon alat alat wayang mbah dalang juga ikud dimakamkan di dalamnya. sehingga Untuk mengenang beliau warga menaruh bata merah disekitar makam beliau agar suatu saat nanti ada yang mengenali mbah dalang dari ceritanya , mereka bisa berziarah atau mengunjungi makam beliau. saat ini makam mbah dalang hanya tersisa 3 bata merah karena terbawa longsor saat hujan deras, harapannya nanti banyak warga yang antusias untuk membantu memperbaiki makam tersebut setelah mendengar cerita ini. Pak Koni juga menyampaikan bahwa, dengan adanya makam mbah dalang disitu,secara spiritual segala kesenian yang ada dikaranganyar mendapat kejayaan hingga sekarang, Secara tidak langsung, aura positif dari mbah dalang yang sejatinya beliau adalah seorang pegiat seni budaya, dan dimakam kan di tanah karanganyar.maka energi energi beliau ikud terserap pada segala kesenian yang dikembangkan masyarakat. Jadi Setiap kegiatan seni di dusun klipoh selalu mengundang daya Tarik masyarakat dan jiwa jiwa seni selalu ada di setiap keturunan warga setempat.
KARANGANYAR
Watu Sholat oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Sebuah perkampungan kecil di kecamatan borobudur, yakni didusun klipoh desa karanganyar yang menjadi saksi bisu sepak terjang salah satu tokoh Walisongo, Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama islam sekaligus mencari kayu jati berkualitas untuk tiang Masjid Agung Demak. Dusun yang hanya ber jarak kurang lebih 4 km dari pusat candi Borobudur ini memiliki begitu banyak sejarah budaya, bukan hanya kisah gerabahnya yang dari era medang,namun juga menyimpan petilasan dari sunan kalijaga.
bisa dikatakan watu sholat karena batu ini dulunya digunakan untuk sholat.
Petilasan sendiri adalah istilah yang diambil dari bahasa jawa dengan kata dasar “telas” atau bekas yang menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (yang penting).
Masih sama seperti dahulu sungai ini dikelilingi oleh perkebunan yang tumbuh pohon pohon lebat,namun seperjalanan waktu sungai ini mulai tersisa sedikit hanya disebelah timur watu sholat dengan debit air yang sangat sedikit dimusim kemarau.
Tempat yang layak disebut petilasan biasanya adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan) yang relatif lama, tempat pertapaan dan tempat terjadinya peristiwa penting. Didusun klipoh sendiri terdapat petilasan dari sunan kalijaga yang berbentuk batu kotak memanjang, warga menyebutnya watu sholat. Watu dalam bahas Indonesia berarti batu, kemudian
Mas nurofiq seorang penggiat budaya warga dusun klipoh kembali kami temui untuk bercerita mengenai sejarah tentang watu sholat yang berkembang di masyarakat. Dahulu ditempat watu sholat berada merupakan sungai besar dari perbukitan menorah, namun sungai besar ini tidak memiliki jalur sungai yang dalam disekitar watu sholat berada.
Batu yang berbentuk persegi panjang ini memiliki ukuran yang persisi disetiap sudutnya, dengan panjang sekitar 180 cm dan tinggi 50 cm orang banyak menyebutnya “koyok sajadah sholat” atau seperti sajadah untuk sholat. Karena memang betul saat dicontohkan untuk melakukan gerakan sholat, batu ini terasa pas dibadan seorang laki laki.
Bisa dibilang sebagai petilasan sunan kalijaga karena saat sunan kalijaga lewat untuk menuju perbukitan menorah,tepatnya disungai ini beliau mengajak pendherek untuk melaksanakan sholat karena saat sampai ditempat tersebut sudah menjukan waktu untuk sholat dzuhur, ditengah sungai yang datar dengan tumpukan batu kecil tanpa dilewati air ,beliau memilih sebuah batu yang pas untuk melakukan sholat diatasnya , ada juga yang bercerita bahwa batu itu diambil dari dasar sungai,sebelum didoakan oleh sunan kalijogo sehingga dengan sendiri terangkat ke atas permukaan, lalu digunakan sholat sunan kalijogo. Dahulu batu ini arahnya lurus dengan kiblat, namun karena derasnya air sungai saat banjir perlahan-lahan menggeser batu sedikit ke arah barat daya, dan terangkat oleh bebatuan kecil dibawahnya. Namun tidak meninggalkan bukti sejarah perjalanan sunan kalijaga dalam menyebarkan agama islam dinusantara, kedepannya watu sholat ini bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata religi sekaligus dapat dirawat sebaik mungkin.
KARANGANYAR
Among-Among oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
Berbicara mengenai kebudayaan tradisi jawa memang tidak akan ada habisnya. Banyak sekali kebudayaan dan tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya adalah Amongamong. Salah satu bentuk tradisi peringatan yang digunakan orang jawa untuk memperingati hari lahir setiap 35 hari sekali atau orang jawa biasa menyebut selapanan. Tradisi yang diajarkan secara turun-temurun dari masa nenek moyang. Amongamong ini mirip seperti ulang tahun tetapi jika ulang tahun diadakan satu tahun sekali amongamong ini dilakukan setiap selapanan sekali menurut tanggal dan perhitungan jawa. Among-among biasa dibuat pada saat memperingati hari kelahiran berdasarkan penanggalan jawa. Artinya, among-among akan dibuat setiap 35 hari sekali. Dalam penanggalan Jawa, terdapat lima hari pasar, yaitu pon, wage, legi, pahing, kliwon. Hari pasar ini dikalikan dengan tujuh hari dalam seminggu. Hasilnya adalah 35, atau dikenal dengan selapan. Among-among berasal dari kata ‘pamomong’, artinya yang ngemong/ penjaga/ pelindung/ utusan/ pengasuh jiwa raga. Pelindung yang dimaksud adalah malaikan utusan Tuhan.
Isi dari among-among biasanya nasi, sayur-sayuran, dan lauk. Tidak lupa dibawah tedo akan ada uang atau sedekah mall yang direbutkan ketika amongamong selesai. Among-among dengan sayur biasanya menggunakan tujuh atau sebelas macam sayur. Dimana arti dari tujuh atau pitu dalam bahasa jawa adalah pitulungan. Dan sebelas atau sewelas dalam bahasa jawa adalah kawelasan. Tidak ada aturan tertentu yang mengikat akan menggunakan tujuh macam atau sebelas macam semua didasarkan atas kemampuan. Lawuh atau lauk yang ada pada among-among biasanya berisi tempe, petho, telur dan kerupuk sebagai pelengkap. Tidak lupa urap bumbu kluban yang sangat nikmat. Among among biasanya disajikan dalam tedo yang dilapisi dengan daun pisang. Ada dua cara dalam menikmati amongamong ini. Yang pertama dengan cara genduren atau dimakan bersama dalam satu tempat, dan juga dengan cara dibagi bagi menggunakan daun pisang. Makna among-among dimakan secara genduren atau bersama ialah sebagai wujud rasa syukur atas limpahan rejeki dari tuhan yang diberikan
untuk kita semua. Ketika among-among sudah habis akan ada uang dibawah daun pisang untuk direbutkan. Mengapa ketika mengambil uang harus rebutan? Karena setelah kita mensyukuri nikmat yang diberikan oleh tuhan kita harus kembali membangkitakan semangat untuk kembali mencari rejeki atau menggali prestasi untuk semangat hidup yang akan datang. Bapak salim beliau berusia 50 tahun. Memiliki satu anak laki laki. Keseharian beliau adalah mengajar di SD N Karanganyar. Selain menjadi guru bapak salim adalah seorang sesepuh dan tokoh masyarakat di dusun Klipoh. Beliau adalah warga asli masyarakat dusun klipoh. Beliau juga menjadi penasehat pada Kelompok seni kobro siswo klipoh. Kata beliau among-among harus terus dilestarikan sebagai salah satu tadisi bentuk rasa syukur dan berbagi ke tetangga khususnya. Amongamong biasanya memang hanya ditujukan untuk perseorangan saja, tetapi di dusun klipoh amongamong juga ada dalam peringatan dusun. Hanya saja among-among dusun ini tidak dilakukan setiap selapan sekali namun biasanya dilakukan setiap setahun sekali atau ketika ada peringatan tertentu. Tidak jauh berbeda dengan among-among pada umumnya dengan nasi, sayur, dan lauk. Berbeda tujuan saja jika among-among biasanya ditujukan untuk keselamatan perseorangan among-among dusun ini ditujukan untuk acara slametan dengan meminta keselamatan kepada tuhan untuk warga dusun khususnya dusun yang mengadakan atau juga dusun klipoh.
KARANGANYAR
Sendang Mbujet oleh: Miftakhul Fauzi M. Jafar Qodir
yang masih berani mengambil air atau mandi guna mencukupi kebutuhan air sehari hari.
Dusun gunden, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur ada sebuah sendang yang hingga kini masih digunakan mandi masyarakat namun menyimpan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Nusantara. Sendang ini berada di pinggir jalan raya, persis di samping jembatan dan di sebelah kanan kiri ditumbuhi pepohonan jati. warga sekitar menyebutnya sendang mbujet. Tidak ada yang tahu kenapa dinamakan mbujet, hanya nama itu yang tahu sejarahnya sendiri. Jika mandi disitu besar kemungkinan orang yang lewat di jembatan bisa melihat sepintas siapa dan sedang apa disendang itu, hingga kini ada sebagian warga yang takut untuk mandi karena ceritamistis yang beredar di sendang tersebut, namun ada warga
Bapak Rismanto selaku kepala dusun atau dulu orang menyebut kadus dengan Pak Prabot menceritakan, sendang yang berada di sebelah bawah jembatan ini merupakan tempat dimana dulu para pendherek pangeran diponegoro mengambil air untuk minum bahkan berisitirahat karena tempat itu bersebelahan dengan sungai kecil yang pada masanya terdapat ikan ikan kecil yang besar kemungkinan pada masa dulu para pendherek menangkap hingga memasak ikan disitu. Lebatnya hutan jati dan pohon lain meninggalkan kayu kayu keringnya untuk digunakan sebagai bahan membakar ikan. Bahkan setelah Simbah Kundi (seseorang yang membabat alas tanah gunden) menetap di Dusun Gunden, beliau sering mengambil air wudlu atau mandi di Sendang Mbujet ini. Seiring waktu cerita cerita mengenai sendang Mbujet terus berkembang dari hal baik maupun hal buruk, seperti cerita Mas Dwi salah seorang warga Dusun Klipoh karanganyar yang mengingatkan beliau bahwa Mas Dwi pernah mengalami kecelakaan disitu. Saat kami temui dirumah, dia sedang menemani burung perkutut kesayangannya,
sambil menikmati rokok lintingan ditangan, sesaat Mas Dwi menghisap rokok kemudian bercerita. Dia lupa tahun berapa kejadian tersebut tetapi yang jelas waktu itu sekitar jam 11 malam, dia ingin berpergian kesuatu tempat dengan motornya, malam itu jalan terasa sangat sepi, dan bulan seakan bersembunyi di belakang awan mendung. Angin terasa dingin dan suara nyanyian serangga menemani dihampir seluruh sudut jalan. Sesaat sebelum turun kejembatan, perasaan Mas Dwi mulai ragu, digelapnya malam itu, suara nyanyian serangga menghilang tepat saat Mas Dwi melihat jembatan mbujet dari kejauhan. Dia melihat kebelakang seaakan berharap ada pengendara lain walau itu hanya sinar kecil lampunya dari kejauhan, namun harapan itu hanya harapan, bukan kenyataan. Mas Dwi seolah memang sudah ditakdirkan untuk melewati jembatan itu sendirian, dengan alunan motor yang terus melaju Mas Dwi melihat
seorang nenek dengan baju kebaya gelap dan membawa tenggok atau keranjang dengan diikat jarik ditubuhnya di seberang jalan, seolah nenek itu akan menyebrang, dengan kebingungan dan seluruh badan merinding Mas Dwi menghidar kalau saja nenek itu betul akan menyebrang.
Sambil melihat nenek yang berdiri tidak bergerak dengan aura dingin, wajah yang tidak begitu terlihat karena gelapnya malam, tidak disadari Mas Dwi sudah berkendara tepat didepan pembatas jalan di jembatan, dengan segera mengijak rem motor,n amun karena jarak terlalu dekat benturan pun tak terhindarkan. Karana laju kendaraan tidak terlalu kencang, Mas Dwi hanya terlempar sedikit dari kendaraannya dan meninggalkan luka di tubuhnya, dengan takut dia segera berdiri, secepatnya dia ingin segera menjauh dari jembatan itu tanpa meresakan sakit luka ditubuhnya. Dan benar saat dia putar arah untuk pulang kerumah, tepat dijembatan itu Mas Dwi sudah tidak melihat nenek yang tadi berdiri di samping jalan, lalu siapa dia, dan sedang apa dia jam 11 malam. Sampai saat cerita ini tertulis, tidak ada yang tahu siapa yang ada dalam cerita mas Dwi tersebut, namun warga sekitar juga pernah ada yang melihat perwujutan yang sama, namun rasa takut sudah menghilangkan rasa ingin tau mereka. Kembali ke Bapak Rismanto, beliau berpendap bahwa apa yang ada di jembatan itu bersangkutan dengan apa yang ada dalam sendang mbujet, baik alam atau hal spiritual selalu memberikan aura auranya masing masing, baik itu menjaga atau sekedar menggunakan “sendang”. Selama ini warga sekitar berpendapat bahwa yang menjaga Sendang Mbujet adalah seekor ular buntung atau ular pendek, yang sering terlihat disekitar sendang, tidak ada yang menangkap atau sekedar mengusir ular tersebut, karena warga berkeyakinan bahwa manusia tidak akan jauh dari hal-hal spiritual dan saling menjaga adalah kunci keseimbangan alam agar tetap aman dan dijauhkan dari segala musibah. Jadi Sendang mbujet ini bisa dikatakan tempat yang menyimpan sejarah budaya dengan cerita cerita seram masyarakat saat ini
Karangrejo
KARANGREJO
Daur Hidup Desa Karangrejo oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
NGAPATI
Pada saat kandungan seorang Ibu berusia 120 hari atau 4 bulan, masyarakat Jawa biasanya melakukan syukuran Ngapati. Sebagaimana sebutannya, Ngapati berasal dari kata Papat yang berarti empat. Syukuran ini dimaksudkan agar nantinya jabang bayi yang ada di dalam kandungan seorang Ibu diberikan keberkahan dan keselamatan hingga lahir. Masyarakat jawa percaya bahwa pada usia empat bulan, janin seorang Ibu telah ditiupkan ruh oleh Gusti Allah, dan telah ditentukan ajal, rezeki, nasib, dan takdirnya. “Ngapati itu manjinge ruh kepada si jabang bayi pada saat berusia empat bulan,” jelas Pak Umar yang sering dijuluki Pak Kaum oleh masyarakat
Dusun Kurahan, kepada tim Temukenali Desa Karangrejo seusai beliau memimpin ritual Ngapati di rumah salah seorang warga. Disaat Ngapati, biasanya masyarakat membaca empat dari 7 Surah dalam Al-Qur’an, diantaranya Surah Yasin, Lukman, Yusuf, Maryam, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, Al-Mulk, dan di tambah dengan membaca Shalawat. Tujuh surat tersebut di baca dengan harapan ketika lahir nanti si jabang bayi selamat, dengan kondisi badan lengkap dan kelak menjadi anak yang tampan/cantik serta shaleh/ shalehah. Ada beberapa sajian khusus dalam tradisi Ngapati ini, seperti Nasi urap, Sambal goreng tahu, tumis
buncis, baceman, kolak, dawet, ketupat, ubi singkong, jenang abang, jenang putih, telur jawa, ingkung, jejang klekar, dan pelas. Lazimnya, Ngapati dilaksanakan secara turun temurun pada malam Sabtu Wage atau malam Selasa Wage. Saat prosesi doa Ngapati selesai, ditutup dengan ngumbulake Kendhil yang dimaksudkan supaya kelahiran si jabang bayi kelak diberikan kelancaran. Ada juga sebagian masyarakat yang meyakini bahwa jika Kendhil tersebut jatuh dalam posisi tengkurap maka bayi yang akan lahir adalah lakilaki, namun jika Kendhil jatuh pada posisi Mlumah maka bayi yang akan lahir diyakini berjenis kelamin perempuan. Kendhil sendiri digambarkan sebagai Rahim Ibu. Pecah Kendhil dengan cara diumbulke diyakini supaya kelahiran sang bayi nantinya diberikan kemudahan dan kelancaran. MITONI Setelah kandungan seorang Ibu diperkirakan berusia 7 bulan, masyarakat Jawa kembali melaksanakan tradisi Mitoni yang berasal dari kata Pitu atau tujuh. Sama seperti pada saat Ngapati, tradisi Mitoni juga dilaksanakan pada malam Sabtu atau Selasa Wage. Bedanya, larakan atau jajan pasar dalam Mitoni lebih lengkap, yang menandakan bahwa si jabang bayi dalam kandungan telah berwujud lengkap. Sebagaimana saat Ngapati, dalam prosesi Mitoni masyarakat membaca tujuh surah dalam Al-Qur’an secara lengkap, yakni Surah Yasin, Lukman, Yusuf, Maryam, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, dan Al-Mulk. Sesajen yang digunakan masih sama dengan yang ada pada prosesi Mapati. Yang wajib diantaranya ialah sego kluban yang menjadi pelambang kesuburan tanah Jawa. Pengadaan sesajen dalam prosesi ini menyesuaikan dengan kondisi ekonomi penyelenggara.
“Kluban itu menandakan kalau kita orang Jawa. Di dalam Sego Kluban itu sendiri terdapat beraneka ragam makanan seperti sayuran, ingkung, nasi, dan telur, yang menandakan kesuburan tanah Jawa,” kata Agus Prayitno (35) menjabarkan tentang tradisi Mitoni yang masih dilaksanakan di dusun Sendaren 1. Kadang kala masyarakat ada yang menggunakan sego tumpeng, yang menjadi pelambang gunung dan sayuran atau larakan di bawahnya menandakan reja atau mulianya sebuah kampung. Pak Kaum atau kyai di desa bertugas untuk memimpin pembacaan doa dan juga melempar Kendhil. MUPUTI Bayi begitu lahir dari Rahim Ibu masih membawa tali pusar, namun lama kelamaan tali pusar tersebut akan mengering dan lepas sendiri. Pada saat inilah, tradisi puputan atau muputi ini dilaksanakan. Yakni untuk selametan bahwa tali pusar pada bayi sudah terlepas. Tandanya, ia telah resmi lahir ke dunia. “Puputan itu tanda syukur ingsun marang Gusti amarga uwis thukul utawa lahir anak ning bumi. Puput itu artinya putus, atau putusnya tali pusar bayi dari seorang Ibu,” jelas Agus. Oleh karenanya tambah laki-laki berpawakan tinggi, kurus, yang merupakan penganut Kejawen tersebut, jika bayi masih ada tali pusarnya maka masih ada sangkut pautnya dengan Ibu. Puputing puser itu melambangkan kalau seorang anak sudah lepas dari Ibu, sehingga sudah siap menghadapi kehidupan di bumi. SELAPANAN Setelah selapan hari dalam kalender Jawa atau sekitar 35 hari setelah lahir, bayi akan diberi syukuran yang disebut selapanan. Menurut
keyakinan orang jawa, hidup dan matinya seseorang itu digambarkan sebagai selapan. “Uriping Puput, Matine Selapan”, demikian istilahnya dalam Bahasa Jawa. Dalam selapanan ini sesajen yang digunakan menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat yang melaksanakannya, tidak memberatkan, dan menyesuaikan apa yang diyakini oleh masyarakat pada umumnya. AQIQAHAN
bentuk makanan matang ataupun sembako kepada tonggo teparo (tetangga dekat) dan kepada pamong dusun, seperti Pak Kaum, Kyai, sesepuh, dan orang – orang yang menjadi pengayom di sebuah dusun. Namun tak jarang saloka itu diartikan berbeda oleh masyarakat. Sehingga saat hendak ngantenan, mereka meletakkan sesajen di perempatan jalan dan juga di bawah pohon beringin.
KARANGREJO
Jamasan di Karangrejo oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
Sesuai koridor dan norma agama Islam, pada saat aqiqah ketentuan penyembelihan daging kambing untuk perempuan adalah satu ekor, sedangkan laki – laki dua ekor. Di Dusun Bumen Jelapan, biasanya masyarakat yang hendak melaksanakan Aqiqahan secara serentak pada saat bulan Sya’ban di saat momentum akhirussanah Madrasah Diniyah. “Jadi siapa yang mau aqiqah, diantar ke sana. Daging aqiqahan itu nantinya dibagikan ke warga dan ke tamu undangan yang hadir di acara itu,” lanjutnya. LAMARAN Pada saat lamaran, keluarga laki – laki biasanya melaksanakan syukuran kecil – kecilan di rumahnya dengan menyembelih seekor ayam jago sebagai pertanda akan kejantanannya. Kemudian dari keluarga perempuan biasanya meminta mahar atau seserahan tertentu yang lazim digunakan seperti seperangkat alat shalat, perhiasan, dan uang Rupiah. NGANTENAN Lazimnya masyarakat Jawa khususnya di desa Karangrejo saat hendak melangsungkan prosesi ngantenan, melakukan dua tradisi. Kedua tradisi tersebut ialah berupa saloka “Ngewehake sesajen marang prapatan lan wit gedhe” yang tak lain maknanya ialah memberikan berkat baik dalam
Ada salah satu ritual yang cukup unik setiap kali memasuki bulan Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah. Suro merupakan Tahun Baru dalam kalender tradisional masyarakat Jawa. Ritual tersebut Bernama Jamasan, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa (khususnya penganut Kejawen) setiap hendak memasuki malam satu Suro.
Sebagian masyarakat yang tidak memahami budaya Jawa, cenderung menganggap Jamasan sebagai sarana sesembahan terhadap khodam atau jin yang ada pada keris pusaka. Faktanya bukanlah demikian. Agus Prayetno (35) penganut Kejawen mengungkapkan beragam kesalahkaprahan masyarakat dalam memandang tradisi Jamasan.
Pria yang bertempat tinggal di dusun Sendaren I desa Karangrejo ini sudah cukup lama menekuni dunia pusaka peninggalan simbah buyutnya. Di bawah pohon yang sejuk dan rindang, ditemani secangkir teh hangat beserta setoples Slondok, kami ngobrol santai terkait dunia Kejawen terutama tentang ritual Jamasan. Ritual tradisi ini identik dengan memandikan atau menyucikan keris pusaka dengan ritual tertentu, yang lazimnya dilaksanakan pada malam satu suro. Agus menuturkan, ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaan ritual Jamasan di tahun ini. Selain karena faktor pandemi yang mengharuskan adanya pembatasan kegiatan masyarakat, rupanya malam pergantian tahun dalam kalender Jawa yang jatuh pada malam Selasa Pon atau kalau orang Jawa menyebutnya sebagai tahun Asapon (tahun Alif hari Selasa Pon) ini juga cukup langka. Dalam hitungan bobot, Selasa berarti tiga, dan Pon berarti Tujuh, sehingga berjumlah genap. Oleh sebabnya ritual Jamasan tahun ini diperingati dengan orang yang berjumlah ganjil. Berbeda dengan malam satu suro pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu misalnya, malam satu Suro jatuh pada malam Jumat Wage, yang secara bobot berjumlah ganjil. Sehingga diperingati dengan orang yang berjumlah genap. Suasana sejuk di bawah rimbun pepohonan membawa kami larut dalam perbincangan serius siang itu. Pria yang berperawakan tinggi kurus tersebut menjelaskan kepada kami lebih lanjut tentang Suro dan Jamasan. “Kenapa ritual jamasan ini harus dilakukan pada malam satu suro, kenapa tidak pada hari-hari besar lain? Karena saya menganggap Suro ini sebagai bulan awal, atau bulan-bulan sepuh (tua) menurut penganut Kejawen,” lanjut Agus.
Semua perlengkapan Jamasan harus dipersiapkan dengan baik. Sebab bagi penganut Kejawen, Jamasan adalah penanda tahun baru dalam kalender Jawa. Ritual Jamasan ini secara fisik ditandai dengan penyucian keris pusaka, namun secara rohani, penyucian tersebut memiliki makna atau saloka tertentu. Menyucikan keris adalah menyucikan jiwa dan raga kita, mengingat halhal yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya, memperbaiki diri, memperbaiki sikap dan perilaku menuju kehidupan lebih baik ke depannya. “Jamasan itu kita harus anut mbureni atau mengikuti tradisi Simbah leluhur kita dahulu, yang kemudian digambarkan dengan jamasan itu sendiri. Jamasan itu artinya reresik,” jelas Agus. “Nong, Ning, Gung. Nong itu hidup, Ning itu kita harus eling, Gung itu kita harus ngagungke (mengagungkan) kepada sing gawe urip (Sang Pencipta). Urip kudu eling marang sing gawe urip (hidup harus ingat kepada Sang Pencipta)” lanjutnya. Adapun sesajen “Ubarampe” yang digunakan dalam ritual Jamasan ini salah satunya adalah sego kluban, yang bermaknakan seluruh isi bumi seperti tumbuhan, hewan, dan kehidupan manusia baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah. “Semua itu dulu adalah saloka (kiasan). Tapi kebanyakan sudah dimakan mentahnya doang (hanya dipahami sekilas saja tanpa mau menggali maknanya),” jelas Agus. Dia mencontohkan, orang dulu jika ada hajatan besar, diharuskan untuk meletakkan sesajen di perempatan, dan di bawah pohon besar. Orangorang yang tidak paham dan tidak mau menggali lebih dalam maknanya, justru meletakkan sesajen di perempatan dan di bawah pohon beringin. Padahal makna sebetulnya bukan itu.
Perempatan berarti empat arah, kanan-kiri dan depan-belakang, yang berarti tetanga sekitar. Maknanya bahwa kita diharuskan untuk menyisihkan sebagian rejeki kita kepada tetangga sekitar rumah. Sehingga jika musim pernikahan misalnya, tradisi Jawa selalu identik dengan “andum berkat” kepada tetangga sekitar. Kemudian makna pohon besar adalah sebagai pengayom, bisa direpresentasikan sebagai Kyai, Ulama, pemimpin agama, ataupun pejabat desa setempat. Mereka perlu dipamiti untuk dimintai doa dan restu. “Itulah, orang dahulu itu kalau memberikan arahan semuanya berupa saloka. Gambaran. Karena apa? Karena kita semua sama, diberikan akal untuk berpikir,” lanjutnya. Akan tetapi, ada beberapa kesalahkaprahan di tengah masyarakat yang menganggap ritual-ritual tak masuk akal seperti melempar celana dalam sebagai tolak balak supaya tidak hujan, sebagai sebuah ritual Kejawen. Padahal itu sama sekali tidak ada tuntunannya, dan menyalahi kodrat alam. Kesalahkaprahan tersebut yang kemudian membawa sebagian masyarakat meninggalkan tradisi ritual lokal, dan menganggapnya sebagai tradisi kolot, tidak masuk akal, syirik, dan sederet tuduhan lainnya.
KARANGREJO
Perayaan Bulan-Bulan Jawa oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
Suronan (Peringatan Suro) Berdasarkan penuturan Mbah Wiryo Indarto (59), saban Suro masyarakat dusun Sendaren 2 melaksanakan tradisi Suran, yakni berkirim doa kepada arwah leluhur secara bersama-sama. Para warga berbondong-bondong pergi ke Masjid dusun untuk melaksanakan Mujahadah Tahlilan Suro. Dalam tradisi ini tidak ada sajian atau berkatan khusus. Saparan Setiap bulan Safar/Sapar, masyarakat dusun Sendaren 2 selalu melaksanakan Perti Desa. Mereka membawa ambengan atau sajian khusus seperti golong yang bermakna supaya ketika warga memiliki pekerjaan apa saja semuanya Golong, Gumiling, Gembyeng. Maksudnya tak lain ialah menyatukan tekad. Ada juga Tumpengan yang maksudnya bahwa setiap orang nuwun kersaning Gusti Allah melalui doa. Sedangkan larakan bermakna supaya masyarakat yang memiliki hajat selalu tumata larik-larik rapi lan apik wiwit awal tekan rampung kanthi selamet (berjajar rapih dan bagus dari awal hingga akhir dengan selamat dunia akhirat).
Jenang merah dan jenang putih memiliki makna bahwa sebagai manusia kita harus berbakti secara jiwa dan raga kepada Kakang Kawah Adi Ari-Ari, Kakang Mbarep Adhi Ragil kang momong jiwa raganing wong sak kampung di dusun Sendakan. Kakang Kawah Adi Ari-Ari bermakna bahwa sebelum kita lahir, kita mengeluarkan kawah (air), lalu disusul bayi, kemudian ari-ari. Sedangkan kang momong jiwa raga adalah Qarin, yang tidak bisa dterjemahkan. Sebab setiap orang jelas Mbah Indarto, belum tentu bisa bertemu dengan Qarin tersebut. Jenang merah diniatkan untuk mbekteni roh dari bopo atau Ayah, sedangkan Jenang putih diniatkan untuk mbekteni roh dari biyung atau Ibu. “Mula dibekteni roh ing tumetese saka arga ina sing tunggal sewengi lan ora tunggal sewengi sing kerumatan lan ora kerumatan supaya kerumat, supaya njaga ojo ngganggu gawe marang kang dimomong wong sak kampung lan jiwa ragane,” tutur Mbah Indarto dalam bahasa Jawa. Tidak ada hari khusus pada perayaan Saparan di Dusun Sendaren 2, hanya saja wajib dilaksanakan
setiap memasuki bulan Safar. Ritual dimulai dengan bersih-bersih makam leluhur, dilanjut Tahlilan di masjid pada malam harinya. Tidak ada arak-arakan atau kirab, hanya doa bersama di dalam Masjid, lalu disambung dengan pentas seni dusun yakni Jathilan Kudo Sendoko. “Untuk perayaan Saparan, harinya tidak tentu tetapi pasti dilaksanakan,” tambah pria tersebut. Selain itu kata Mbah Indarto, di dusunnya juga masih melaksanakan ritual perayaan Maulud, Djumadil Akhir, Rejeb, dan Ruahan. “Peringatan-peringatan sederhana tersebut dan Tahlilan diniatkan untuk Bhekti terhadap arwah leluhur, ngirim leluhur dan Birrul Walidain,” lanjutnya.
KARANGREJO
KARANGREJO
Miwiti
Mbah Kyai Sendoko
oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
Miwiti bermakna mengungkapkan rasa syukur warga kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga tanaman padi di sawah subur dan bisa dipanen dengan baik. Biasanya tradisi miwiti dilaksanakan setiap hari Rabu Pon. “Miwiti dilaksanakan dengan harapan supaya saat dipanen, diberikan keselamatan baik yang memanen maupun yang dipanen, dan supaya ketika dijual hasilnya bisa berlipat-lipat,” jelas Mbah Indarto. Adapun ubarampe yang disiapkan tatkala Miwiti ialah sego megono atau sego tungguk. Sego megono terdiri dari nasi, kluban, dan telur rebus. Megono bermakna supaya hal-hal yang kita kerjakan dapat lekas menuai hasil. “Sedangkan sego tungguk itu untuk miwiti orang menanam padi. Syukuran ketika hendak memanen padi,” tambah Mbah Indarto. Adapun isi dari sego tungguk adalah nasi, kluban, gereh pethek, telur, pelas yuyu, dan pelas kambil. Sajian lainnya seperti ingkung, jajan pasar, dan lain-lain bisa menyesuaikan kemampuan masyarakat. Doa yang dipanjatkan dalam ritual
miwiti ialah doa hajat, selamet, dan sapu jagad. Tidak ada aturan khusus terkait harus berapa kali doa tersebut dibacakan. Saat miwiti, ada juga ritual pasang janur kuning di sawah yang hendak di wiwiti. Janur kuning memiliki makna supaya di tempat yang hendak diselameti tersebut tidak ada gangguan dari sejenis makhluk astral sejenis siluman yang mengganggu proses panen padi. “Janur itu fungsinya hanya sebagai penangkal. Supaya jangan ada yang ngerusuhi dari sejenis makhluk astral. Karena kita hidup di dunia ini berdampingan dengan makhluk gaib atau makhluk astral,” jelas Mbah Indarto. Janur kuning yang telah disiapkan tersebut pertama-tama dilipat, lalu diikat menggunakan tali, kemudian ditancapkan di setiap sudut sawah yang akan diwiwiti. Setelah prosesi doa, sawah tersebut ditaruh ubarampe berupa sego tumpeng kecil yang bernama tumpeng sundul langit. Di tengahtengah tumpeng, biasanya diberi cabai merah dan bawang merah yang ditusuk menggunakan lidi. Harapannya supaya padi bisa bertumpuk-tumpuk atau bisa panen raya.
Zaman dulu, gelar Kyai sering disematkan terhadap seseorang yang Sakti. Demikian pula gelar yang disematkan terhadap Mbah Sendoko. Mbah Pawirodirno (91) menceritakan tentang sosok Kyai Sendoko, yang menjadi cikal bakal berdirinya kesenian tradisional Kuda Sendoko. Alkisah pada ratusan tahun lalu, Mbah Sendoko merupakan murid dari Mbah Mito (Cikal Bakal dusun Kretek). Suatu ketika Mbah Sendoko kehausan, lalu meminta kepada Mbah Mito untuk memetikkan kelapa muda. “Nek kowe pancen ampuh temenanan, aku ngelak, tulung opekno degan,” kata Mbah Pawiro memperagakan ucapan Mbah Sendoko yang kala itu menantang Mbah Mito. Mbah Mito pun mengiyakan tantangan Mbah Sendoko tersebut. Tak lama kemudian beliau mengambil sebilah pisau, kemudian pisau tersebut melayang ke pohon kelapa, lantas membabat habis kelapa yang ada di pohon tersebut. “Ya kalau begitu caranya, itu merusak!” tutur Mbah Sendoko. “Kalau begitu sekarang kamu, aku juga haus.
Tolong petikkan kelapa muda,” Mbah Mito balas menantang. Tanpa basa-basi, Mbah Sendoko pun mendekati pohon kelapa, lalu berbisik lirih kepada pohon tersebut. “Ini temanku kehausan dan minta kelapa muda satu, mentelung O aku mau petik satu,” ucap Mbah Sendoko. Tak disangka-sangka, pohon kelapa itu seolah mendengar perintah dari Mbah Sendoko. Pohon itu merunduk, sehingga Mbah Sendoko bisa memetik satu buah kelapa muda untuk Mbah Mito. Itulah awal mula Mbah Sendoko mendapat gelar Kyai, lantaran keampuhannya / kesaktiannya.
KARANGREJO
Pijat Tradisional oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
Siang yang cukup terik itu membawa tim temukenali Desa Karangrejo bertemu dengan Bapak Komarudin asal Bumen Jelapan Desa Karangrejo. Beliau merupakan tukang urut dan peramu obat herbal di dusunnya. Pak Komarudin memulai terapi pijat tradisional sudah sejak puluhan tahun lalu dan mempelajarinya secara otodidak. “Kula mboten nate belajar pijet lewat sekolah atau kursus begitu. Tapi ndilalah kok tiyang niku moro pijet kok diparingi jodo,” kata Pak Komarudin menjelaskan kepada kami bahwa selama ini beliau tidak pernah belajar atau ikut kursus pijat, namun ternyata banyak orang yang pijat ke beliau dan diiberikan kesembuhan. “Ngonteniku ya Alhamdulillah,” sambungnya. Pria berperawakan agak gemuk dengan rambut yang mulai memutih lantaran usia sudah memasuki kepala 5 ini mempercayai bahwa obat-obatan herbal cukup manjur dalam mengatasi masalah kesehatan. Misalnya ketika batuk, tanaman herbal yang dipercaya bisa meredakannya adalah daun sirih merah, cengkeh, dan laos merah. Sedang untuk kekebalan tubuh bisa menggunakan serai,
pala, bawang putih, kapulaga, laos merah, dan combrang.
ada dalam Al-Qur’an seperti Al-Fatihah, ditambah dengan doa Nurbuat.
Setiap rempah diyakini memiliki khasiat yang berbeda-beda. Sehingga tidak bisa asal-asalan dalam meracik obat-obatan herbal dari rempah. Karena alih-alih menyembuhkan, bisa jadi malah membawa masalah baru bagi tubuh seseorang. “Tapi kembali lagi, itu menurut keyakinan masingmasing,” lanjutnya.
“Doa Nurbuat itu sakti, tapi kalah dengan AlFatihah. Orang sakit apapun kalau dibacakan doa Nurbuat Insya Allah sembuh. Makanya saya kalau ada pasien yang sakitnya lumayan parah, saya bacakan doa Nurbuat itu,” tegas Pak Komarudin.
Sedang untuk pijat urut, Pak Komarudin mengatakan bahwa pusat syaraf pada tubuh manusia terletak pada telapak kakinya. Sehingga pijat akupuntur menjadi satu terapi wajib bagi setiap pasien. “Tapi namanya juga orang pijat, pasti semua pengin dipijat dan urut. Jadi ya saya menyesuaikan dengan permintaan pasien,” lanjut pria itu. Durasi pada saat pijat urut kurang lebih selama satu jam per pasien. Namun jika ada penyakit yang agak berat, disarankan untuk kembali melakukan pijat dalam kurun waktu setengah bulan sekali. Tidak ada mantra khusus yang dibaca Pak Komarudin saat memijat pasien. Hanya doa-doa keseharian yang
KARANGREJO
Sedekah Bumi Puthuk Setumbu oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani Sedekah Bumi Punthuk Setumbu Karangrejo Dua tahun sekali saban bulan November atau Desember, masyarakat Dusun Kurahan melaksanakan tradisi Merti Desa atau ruwatan yang berupa Sedekah Bumi. Mereka berdandan mengenakan pakaian tradisional seperti lurik dan blangkon, membawa tumpeng dan gunungan hasil bumi seperti padi, singkong, pisang, jagung, dan lain-lain yang dikreasikan oleh setiap RT, kemudian melaksanakan kirab atau arak-arakan menuju bukit Punthuk Setumbu. Tradisi ini dinilai sebagai wujud ungkapan syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas karunia alam yang sangat memesona di dusun Kurahan, juga sebagai ungkapan terima kasih masyarakat terhadap jasa para leluhur yang telah memperjuangkan dusun Kurahan sehingga bisa sejahtera hingga seperti sekarang. Prosesi sedekah bumi diawali dengan bertemu di satu titik kumpul yang lokasinya bisa berubah-ubah. Bapak Timbul, salah satu sesepuh dusun Kurahan mengatakan, awalnya titik kumpul berada di jembatan sesek, begitu kami menyebutnya. Dahulu jembatan yang menyambungkan desa Karangrejo dan desa Kembanglimus ini dibangun sangat
sederhana yakni berupa anyaman bambu yang saban dua tahun sekali selalu diperbaharui. Namun seiring berjalannya waktu, karena masyarakat menilai jembatan dari anyaman bambu kurang kokoh dan tidak bisa dilewati mobil, akhirnya mereka bergotong-royong untuk membangun fasilitas sederhana berupa jembatan semen. Selain di jembatan Sesek, titik kumpul kirab juga pernah berpindah ke lapangan dusun, kemudian pada 2019 lalu titik kumpul kembali berpindah ke pendopo Kebun Buah yang letaknya di sebelah selatan dusun Kurahan. Setelah semua peserta kirab sudah berkumpul, saatnya menampilkan secara sekilas kesenian dusun yakni Kubro Siswo. Anak-anak didandani menggunakan kostum hewan dan menari-nari ria memeragakan peran mereka. Penampilan ini biasa kami sebut sebagai kekewanan. Seusai penampilan, ada sambutan formal dari Kepala Desa yang kemudian dilanjutkan dengan do’a yang dipimpin oleh Kyai desa atau kami sebut Pak Kaum. Akhirnya, prosesi kirab pun dimulai, masyarakat berjalan naik menuju Punthuk Setumbu dengan mengarak gunungan dan tumpengan yang telah
mereka siapkan. Mulanya masyarakat melaksanakan kirab hingga sampai ke puncak, namun sejak 2019 lalu kirab hanya terlaksana hingga loket masuk Punthuk Setumbu, yang kemudian dilanjutkan dengan makan tumpeng Bersama-sama yang kami sebut sebagai ambengan.
KARANGREJO
Kali Seleri dan Tuk Air yang tak Pernah Kering oleh: Fitnasih/Cemplon Vinanda Febriani
Kali Seleri, begitu masyarakat menyebutnya. Sebuah sungai kecil di tepi Selatan Dusun Kurahan Desa Karangrejo, yang airnya tidak pernah jernih. Namun, keberadaanya memberikan manfaat bagi warga. Kali Seleri ini diapit oleh lahan persawahan yang membentang luas, sejuk, dan hijau. Bangunannya terdiri dari dua petak, satu petak untuk pemandian perempuan, satu lainnya untuk laki-laki. Bangunan di Kali Seleri ini konon didirikan oleh warga dusun sejak 1 Juni 1984. Ada beberapa versi penuturan tentang awal mula nama Seleri ini digunakan. Menurut salah seorang warga desa yang kami temui, Pak Romdhani (59) Seleri diambil dari kata “se” dan “leri”, seperti leri. Leri bisa diartikan sebagai air bekas cuci beras. Warna airnya tidak jernih, melainkan agak bercampur dengan warna putih, orang Jawa menyebutnya buthek. Ada juga yang memberi istilah Seleri diambil dari sebuah nama tumbuhan yang hidup di sekitar Kali, yang saat ini pohon tersebut telah punah. Tempatnya yang berada di bawah pohon beringin tua dan dikelilingi persawahan, memberi kesan kesejukan tersendiri.
Meskipun jika larut malam, kali ini memunculkan kesan angker karena persis berada di bawah pohon beringin. Dahulu kala warga dusun percaya bahwa Kali Seleri ini bernilai sakral. Mereka meletakkan sesajen baik berupa menyan ataupun kembang setaman di bawah pohon beringin. Namun, seiring berjalannya waktu, ritual tersebut telah banyak ditinggalkan karena berbagai alasan mendasar. Hanya berjarak sekian langkah dari Kali Seleri, terdapat sebuah “tuk” atau sumber mata air yang konon tak pernah kering. Airnya sangat jernih dan sering digunakan masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mereka mengambil air di tuk ini, mereka sebut dengan istilah ngangsu yang berarti mengambil air langsung dari sumbernya kemudian ditampung menggunakan sebuah wadah sederhana, lalu dibawa pulang. Dahulu kala warga ngangsu menggunakan satu atau lebih klenthing yang terbuat dari tanah liat, atau menggunakan bumbung yang terbuat dari bambu. Namun seiring perkembangan zaman, kini warga mengambil air menggunakan ember atau gembes karena dirasa lebih ringan dan mampu menampung lebih banyak
air. Hingga saat ini, Tuk Seleri menjadi andalan masyarakat dusun Kurahan di saat musim kemarau tiba. Saya menjumpai Mbah Munjariyah (80) saat mengambil air di tuk. Ia mengatakan, masyarakat paling sering beraktifitas ke Kali Seleri pada musim kemarau karena sumur di rumah warga debit airnya berkurang. Terkadang warga sampai harus mengantri ngangsu maupun mandi di Kali Seleri. Mbah Munjariah sendiri sudah beraktifitas di Kali seleri sejak masih kecil. Dahulu, beliau sering ke kali bersama dengan teman-temannya. Menghabiskan sore hari sambil bermain-main di sekitar Kali sebelum mandi. Meskipun sekarang sebagian masyarakat sudah menggunakan PAM, namun Kali Seleri tetap tak pernah sepi. Kali Seleri terbutki memberikan sebuah penghidupan nyata yang ada di tengah masyarakat. Tidak ada yang memungkiri kenyataan tersebut. Selain untuk pemandian, air di Kali Seleri juga sering digunakan warga untuk irigasi sawah di sekitarnya. Sayangnya saat tim penulis berkunjung, sawah di sekitar kali sudah kering, padi sudah dipanen karena telah memasuki musim kemarau.
Kebonsari
KEBONSARI
Kali Sentul dan Mahluk Halus yang tak Memberi Izin oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Di desa Kebonsari selain memiliki kerajinan bambu, kesenian rakyat, juga memiliki sendang atau kolam yang airnya berasal dari mata air. Salah satunya yang sering disebut sebagai Kali Sentul atau Kali Gede yang masih terjaga sampai saat ini. Bahkan masih sering digunakan untuk mandi, mencuci, oleh masyarakat sekitar. Ada juga salah satu warga yang membuat blumbang atau kolam ikan di sekitar mata air tersebut. Kali Sentul ini terletak di Dusun Cakran. Meskipun musim kemarau tidak pernah surut. Lik Dimuk mengatakan, sebelum Kali Sentul ini dibangun menjadi seperti sekarang, ia harus meminta izin kepada penunggu atau mahluk halus yang ada di situ. Awalnya mahluk halus di tempat itu tidak mengizinkan. Lek Dimuk bahkan ditawari imbalan yang cukup mengiurkan dari mahluk halus tersebut asalkan tempat mata air atau tuk Kali Sentul tidak dibangun pemandian untuk masyarakat. “Saya bersikeras tetap ingin membangun, sebab Kali Sentul perairannya sangat bagus disayangkan jika tidak digunakan untuk masyarakat,” katanya. Makanya Lek Dimuk menolak tawaran penunggu dan mengembalikannya. Akhirnya si penunggu mengizinkan tapi dengan syarat, ada 1 batu besar yang tidak boleh dipindahkan, dan Lek Dimuk mengiyakannya. Batu besar tersebut masih ada sampai sekarang tetapi tidak terlihat karena terletak di bawah bangunan pemandian. Dan ada satu mitos mengatakan bahwa konon katanya Kali Sentul tersebut dulunya pernah disinggahi oleh seekor kuda Pangeran Diponegoro untuk minum.
Selain Kali Sentul ada juga Sendang Bendo, yang juga terletak di sekitar Dusun Cakran. Sendang Bendo ini tidak seperti Kali Sentul yang digunakan sebagai pemandian. Menurut penuturan Lik Dimuk, Sendang Bendo sering digunakan untuk pengobatan, misal masuk angin. Dipercaya apabila sedang masuk angin ke Sendang Bendo dan minum airnya akan mengurangi rasa sakit dan bisa sembuh. Dulunya, Sendang Bendo memiliki juru kunci, tetapi beliau sudah meninggal dunia dan tidak ada penerusnya. Meskipun juru kunci sudah meninggal dunia Sendang Bendo masih ada yang mengunjungi hingga sekarang. Sebagian besar yang datang dari orang luar Kebonsari.
KEBONSARI
Babaran (bayen atau lahiran) oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Babaran merupakan peristiwa kelahiraseorang bayi yang disambut dengan adat setempat. Menurut narasumber Mbok Dah, Kelahiran seorang bayi sangat diharapkan dalam pernikahan, karena dengan adanya kehadiran seorang anak akan menambah keindahan suasana dalam pernikahan dan anak sebagai penyambung keturunan atau garis keluarga tidak terputus. Maka dari itu babaran bagi manusia pada umumnya dipandang sebagai peristiwa penting, sebagai kejadian penuh harapan bagi keluarga. Penyambutan atas kelahiran bayi berbagai macam cara tergantung pada adat setempat. Penyambutan bayi setelah lahir biasanya dilakukan seperti: brokohan, sepasaran, puputan, selapanan, setahunan dan seterusnya. Acara adat yang dilakukan setelah babaran diantaranya: 1) pisah ari-ari kepercayaan kejawen menyebutkan bahwa sebelum lahir dan masih dalam guwa garba ibunya berada dalam kesatuan kawah - ari-ari. Masa kelahiran, kawah keluar lebih dulu, disusul bayi dan diikuti ari-ari yang masih menyatu dengan pusar perut bayi. Kondisi demikian dikenal dengan “kakang kawah adhi ari-ari”. Adhi (ari-ari) harus dilepaskan dari pusar perut bayi dengan cara sesuai aturan. Orang
adik. Kenapa demikian, meskipun tidak berwujud manusia ketuban itu keluar lebih dulu sebelum bayi, ada istilah disaat ibu hamil “ketubannya pecah” yang artinya kakak dari sang bayi telah keluar, kemudian sang bayi keluar berserta ari-
ari atau tali pusar. Ari-ari keluar seteah sang bayi keluar makanya disebut dengan adhi ari-ari. Cara pelepasan pusar ari-ari menggunakan alat kedokterran yang memadai jika proses kelahirannya di pukesmas, klinik, atau rumah sakit. Atau orang dulu lebih sering melakukan proses kelahiran dibantu oleh dukun bayi. Setelah selesai proses pemisahan ari-ari dibersihkan dan ditanam atau kadang ada yang disimpan. 2) Labuhan ari-ari
jawa menyakini bahwa kita hidup didunia itu tidak sendiri bahkan dari dalam perutpun sudah memiliki kakak dan adik yang selalu ada didekat kita, kawah atau ketuban adalah kakak dari bayi yang melindungi sang bayi dan ari-ari adalah
yang sudah dipisahkan dari pusar perut bayi perlu segera dikembalikan dengan cara ditanam. Cara menanam pusar ari-ari menggunakan ditanam didalam tanah lalu ditutupi dengan ember yang nantinya ari-ari beserta kasa atau perban atau kain yang digunakan untuk menutup pusar tersebut ditanam didalam ember atau kendi kemudian diberi lampu dan ditaburi bunga. Maksudnya diberi lampu adalah memberi tahu kepada orang-orang bahwa di rumah telah hadir 1 penduduk baru (bayi). sebelum menanam ari-ari dianjurkan untuk dicuci terlebih dahulu. Masyarakat percaya bahwa menanam ari-ari memiliki syarat tertentu seperti jika bayi seorang laki-laki maka ditanam disamping kanan rumah, apabila seorang perempuan makan ditanam disamping kiri rumah.
KEBONSARI
KEBONSARI
Kendhuren (kenduri)
Kematian
oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Berdasarkan penutuiran Bapak Nursalim (80 tahun) kendhuren merupakan perjamuan makan setan dalam rangka menyambut dan memperingati salah satu peristiwa kehidupan manusia. Pada hakikatnya semua orang mengharapkan keselamatan hidup baik dalam hubungan dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia, maupun dengn alam. Harapan keselamatan seseorang dinyatakan melalui berbagai cara menurut adat dan kepercayaan masing-masing. Salah satu cara memohon keselamatan adalah dengan kenduren. Kendhuren merupakan perjamuan makan yang selalu diawali dan disertai doa untuk menyambut atau mengharap keselamatan yang berhubungan dengan tahap dan peristiwa kehidupan yang dialami oleh penyelenggara. Pada dasarnya setiap acara kendhuren ditandai dengan 1) permohonan selamat, selamat atas tahap atau peristiwa kehidupan yang akan dimasuki. Oleh karenanya setiap kali diadakan acara slametan untuk keperluan apapun selalu mengandung pernyataan tentang maksud dan tujuan mengadakan kendhuren, doa berisi puja dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan dan kelancaran dalam menjalani kehidupan selanjutnya, syukur bersyukur atas rahmat yang diberikan
sebelumnya. 2) penyambutan peristiwa kehidupan, maksudnya kendhuren selalu berkaitan dengan penyambutan tahap kehidupan individu atau kelompok, baik yang sedang dilakukan atau sudah dilakukan. Kendhuren selalu diadakan setiap ada acara, acara tersebut misalnya untuk mapati, mitoni, lahiran, supitan, memperingati orang meninggal, syukuran dan masih banyak lagi. Pelaksanaan kendhuren biasanya dipercayakan kepada sesepuh atau Kyai untuk memimpin doa. Selain permohonan keselamatan dan menyambut peristiwa kehidupan kendhuren juga mengandung makna untuk sedekah memberikan makanan yang dapat dinikmati oleh sanak saudara dan tetangga. Jenis makanan yang disajikan dalam acara kendhuren Desa Kebonsari lebih sering menggunakan makanan bahan pokok mentah, jarang sekali yang menyediakan bingkisan atau ‘’berkat’ makanan mateng. Makanan mateng biasanya disediakan pada saat setelah doa bersama selesai dan dimakan bersama ditempat orang yang mengadakan acara kendhuren dengan para tamu yang hadir untuk kendhuren
Simbah nursalim (80 tahun), Kematian seseorang adalah kabar tidak menyenangkan dan menyedihkan bagi keluarga, sanak saudara yang ditinggalkan. Bagi keluarga yang ditinggalkan biasanya akan langsung memberi kabar kepada tetangga atau saudara-saudara terdekat bahwa “si ini meninggal dunia” telah mendahului kita untuk berpulang. Mayoritas penduduk kebonsari apabila ada yang
meninggal akan memberi kabar lelayu melalui toa masjid lalu disambung dengan memberitahu kepada saudara atau tetangga. Dan masyarakat akan bergotong royong untuk membantu menggali kubur dimemakaman ada yang kerumah duka untuk membantu merapikan rumah menyediakan ruang kepada pelayat yang akan datang. Sebelum dimakamkan jenazah akan dimandikan, dirapikan
(dipakaikan kain kafan), lalu disholatkan didoakan. Setiap orang yang sudah meninggal pihak keluarga akan melakukan bentuk penghormatan dengan membuatkan selametan yang dilakukan sesuai selametan daur kubur, bertepatan dengan waktu berpulangnya antara lain: surtanah (sesaat sesudah meninggal dunia), nelung dino, mitung dino, matangpuluh dino, nyatus dino, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu. Ngirim luwur yakni pamulen dengan mengirim doa kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai tahlil dan puja-puji, dapat dilakukan berbarengan dengan acara selametan daur kubur atau waktu-waktu khusus sesuai dengan keinginan orang yang ngirim. Pamulen merupakan penghormatan kepada leluhur yang telah mendahului berpulang. Sekalipun telah mendahului berpulang, leluhur tetap meninggalkan kesan adanya pertalian batin. Keluarga yang ditinggalkan menunjukkan sikap hormat dengan mengadakan acara pamulen (mule, memule). Sikap dan niat menghormati yang sudah berpulang cara mewujudkan dan tata caranya berbeda dari setiap orang tergantung pada adat setempat. Tujuan pamulen memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar leluhur diampuni segala dosa dan kesalahannya semasa hidupnya, mendoakan agar leluhur mendapatkan tempat yang layak di alam baka, menanamkan pengertian kepada yang masih hidup
bahwa nanti pada waktunya kita akan menyusul, menanamkan kesadaran kepada sesamanya dapat menjadi orang yang tahu rasa syukur dan berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. selametan surtanah, selametan ini diadakan pada saat jenazah dikebumikan. Maksud diadakannya selametan ini agar roh orang meninggal tersebut mendapatkan tempat yang layak dan jalan yang terang serta diterima di sisi Tuhan. Surtanah adalah peringatan kematian bertepatan sehari dengan waktu pengebumian jenazah (sur-tanah) pelaksanaannya tidak boleh ditunda. Selametan Nelung dino, Selametan ini diadakan pada hari ke-3 pada saat sesudah meninggal, maksud selametan ini sama dengan selametan surtanah. Selametan ini diadakan pada hari ke-7 setelah meninggal. Selametan mitung dino, hal ini berhubungan dengan anggapan orang jawa bahwa selama waktu 7 hari ini roh orang yang meninggal masih berada disekitar rumah keluarganya. Selametan matang puluh dino Selametan ini diadakan pada hari ke-40 setelah meninggal maksud diadakannya selametan ini agar roh orang meninggal tersebut mendapatkan tempat yang layak dan jalan yang terang serta diterima di sisi Tuhan. Selametan Mendhak Pisan, selametan ini diadakan pada setahun setelah meninggal. Maksudnya selametan ini mengingat kembali akan jasa-jasa orang meninggal. Selametan Mendhak Pindho, selametan ini diadakan pada dua tahun setelah meninggal maksudnya selametan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan semua kulit, darah, dan semacamnya. Selametan Nyewu Dina, selametan ini merupakan selamatan terakhir yang diadakan untuk menghormati orang yang sudah meninggal dan diadakan sesudah hari yang keseribu sesudah kematian. Dari runtutan selametan diatas desa kebonsari melakukan selamatan dengan menggadakan tahlilan mengundang sanak saudara dan tetangga untuk berdoa
bersama. Biasanya tahlilan di Gng Mujil pada sore hari untuk ibu-ibu, malam hari untuk bapak-bapak. Atau di Dusun lain hanya bapak-bapak saja dan dilakuakn pada malam hari/ sore hari, bapak-bapak yang tahlilan akan disediakan makanan untuk disantap bersama setelah tahlilan dan bingkisan “berkat” seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya berkat yang diberikan berupa bingkisan makan pokok mentah, sudah jarang menggunakan tradisi dulu seperti makanan mateng. Selain menggadakan selametan untuk menghormat leluhur yang telah berpulang, tidak luput juga dengan tradisi nyekar. Nyekar adalah acara mengirimkan bunga pamulen kepada leluhur selain mengirim bunga yang ditaburkan ke atas makam terlebih dahulu membersihkan area sekitar makam leluhur. Nyekar biasanya dilakukan di waktu sore menuju malam jumat karena orang-orang percaya bahwa pada malam jumat para leluhur akan pulang untuk meminta didoakan dan ditengok ke makam. Nyekar tidak hanya malam jumat saja, bisa dilakukan kapan saja tergantung pihak keluarga leluhur. Atau nyekar dilakukan pada saat pihak keluarga mau menggadakan hajat misal: akan diadakan acara seperti nikahan, atau mau berangkat kerja keluar kota, biasanya ada beberpa pihak keluarga melakukan nyekar terlebih dahulu dengan tujuan “pamit sek karo mbah (leluhur)”. Meskipun sifatnya mbah sudah tidak ada tidak berwujud tetapi masih memiliki ikatan darah, dan harus menghormati atau menghargai, mengganggap bahwa mbah kita masih ada disekitar kita meskipun beliau sudah tidak ada tetapi jasadnya ada ditanah kubur tersebut budaya spiritualnya masih terjalin baik dengan mbah yang sudah tidak ada. Dan hal seperti itu masih dilakukan oleh berbagai keluarga termasuk pihak keluarga penulis itu sendiri, disaat mau berangkat kerja keluar kota penulis biasa melakukan nyekar terlebih dahulu ke makam tempat peristirahatan mbah untuk meminta doa dan ijin untuk berangkat.
KEBONSARI
Mapati oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Mapati adalah acara slametan pada usia ibu hamil ke 4 bulan. Acara mapati ini bukan upacara adat melainkan acara keagamaan. Mapati di dalam Islam, saat usia kandungan memasuki usia empat bulan dimana sang jabang bayi pada usia 120 hari atau 4 bulan sudah ditiupkan rohnya. Menurut mbok dah, Biasanya acara mapati tidak banyak yang disediakan seperti acara mitoni, yang disediakan dalam acara mapati adalah nasi megono, yang terdiri dari nasi putih, nangka muda (gori), dan urap cecek (nangka muda yang dicacah dan diberi bumbu parutan kelapa). Hidangan ini wujud syukur atas semua kebaikan yang diterima. Kupat sumpel walau isinya sama-sama beras, perbedaan kupat biasa dan sumpel adalah bentuknya yang berupa limas segitiga. Makanan ini melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan manusia. Bubur abang putih, Hidangan ini juga dikenal dengan istilah bubur merah putih atau bubur sengkolo. Keberadaannya adalah lambang dari tolak bala agar kehidupan calon Bayi jauh dari kesialan. Selain bubur sengkolo, kupat, nasi golong, nasi megono, ada juga makanan kolak labu, jajanan pasar (snack
anak-anak). Sebelum menikmati makanan yang disediakan biasanya melakukan penggajian untuk ibu hamil 4 bulan, didalam penggajian tersebut diselipkan doa permintaan, apabila menginginkan anak seorang laki-laki akan dibacakan doa surat Yusuf , jika menginginkan anak perempuan dibacakan doa maryam. Acara mapati biasanya tidak sesakral acara mitoni banyak yang dilakukan dan disediakan. Di Desa Kebonsari sendiri biasanya menghadirkan para tetangga untuk melaksanakan penggajian berdoa bersama. Setelah berdoa bersama selesai para tamu yang hadir disediakan makanan untuk makan bersama dan pulangnya akan dibekali bingkisan. Info Tambahan: Menurut mbak yuni sebagai ibu yang pernah mengalami atau melakukan prosesi acara mapati, yang beliau lakukan pada saat mapati tidaklah banyak, hanya selamatan menggundang sodara dan tetangga. Dan pantangan saat hamil diantaranya: dari makanan yang disediakan untuk acara mapati tidak boleh makan kolak labu. Selain kolak labu pantangan lainnya adalah tidak boleh makan jengkol,
pete, nanas, dan baik ibu hamil atau suaminya tidak boleh membunuh yang memiliki nyawa seperti: membunuh ular, tikus, katak, memancing ikan karena orang dulu percaya bahwa jika membunuh hewan yang bernyawa tadi, kelak anak yang dikandung pada saat lahir akan cacat. Meskipun calon ibu zaman sekarang banyak yang tidak percaya hal tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang mempercayai hal tersebut. Dan dijikalau orang tua memberitahu
pantangan orang hamil tidak boleh melakukan ini itu, ibu yang sedang mengandung tetap mengikuti karena jika tidak diikuti takutnya nanti akan terjadi pada anaknya kelak.
KEBONSARI
Daur Hidup “mitoni” oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Mitoni yang berasal dari kata 7 (tujuh) atau “pitu” angka 7 juga memiliki arti bahasa jawa “pitulungan” atau pertolongan dimana acara ini merupakan sebuah doa agar pertolongan datang pada ibu yang sedang mengandung di usia kehamilan 7 bulan. Selain mohon doa akan kelancaran kelahiran, acara ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi pribadi yang baik dan berbakti. Di Desa Kebonsari sendiri Mbok Dah (sebagai narasumber) melakukan prosesi mitoni ini sudah tidak seperti zaman dulu seperti nenek kakek turunkan, melainkan melakukan prosesi mitoni hanya sebagai simbol saja dan jarang dilakukan. Seperti siraman biasanya prosesi siraman dilakukan dengan cara memandikan sang calon ibu yang sedang menggandung dengan air yang dicampur dengan bunga 7 rupa dan 2 buah telur, diluncurkan seekor belut dari atas sampe ke bawah dengan maksud belut tersebut untuk melancarkan proses kelahiran seperti belut yang licin. Selain itu juga ada acara jualan dawet dengan maksud usaha sebagai calon orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak kelak. Prosesi ini pun merupakan sebuah harapan agar si anak nantinya dapat mendapatkan banyak rejeki untuk dirinya dan orang tua. Tapi sayangnya budaya tersebut sudah jarang dilakukan dan hanya sebagai simbolis saja, air yang dicampur dengan bunga 7 rupa tetap diadakan
hanya tidak untuk memandikan sang calon ibu. Selain bunga 7 rupa, telur dan belut juga ada menu makanan yang disediakan dalam prosesi mitoni ini diantaranya nasi golong “sego golong”, kluban, jajanan pasar, jenang merah maupun putih, ketupat, buah-buahan yang nantinya akan disajikan untuk disantap oleh para tetangga. Sebelum disantap makanan tersebut akan diberi doa oleh para tetangga yang hadir untuk memberi doa.
KEBONSARI
KEBONSARI
Supitan
Sadranan
oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Khitanan atau dalam bahasa jawa “supitan” dilakukan saat peralihan seorang anak laki-laki ke masa dewasa, kebanyakan khitanan dilakukan pada umur anak laki-laki 12-15 tahun di perkampungan sedangkan di kota biasanya bayi laki-laki yang baru lahir langsung dikhitan atau pada usia masih balita. Sebagian masyarakat Desa Kebonsari masih mempercayai waktu supitan ditetapkan menurut perhituangan tanggalan jawa. Di Desa Kebonsari sendiri biasanya khitanan dilakukan secara besar-besaran atau pesta dan disertakan dengan pertunjukan kesenian rakyat seperti: wayang kulit, pertunjukan kesenian dayakan, penggajian atau dangdutan bagi orang yang memiliki biaya cukup atau memang dari pihak keluarga sudah ditekadkan untuk melaksanakan khitanan selain “slametan” juga mengadakan pertunjukan sesuai keinginan keluarga. Biasanya pertunjukan dilaksanakan setelah atau sebelum khitanan, pertunjukan sebelum khitanan bermaksud untuk membesarkan hati anak yang akan dikhitan agar tidak merasa takut melainkan gembira. Pertunjukan setelah khitanan bermaksud untuk mewujudkan rasa syukur telah diberikan kelancaran dalam proses khitanan. Adapun sebelum khitanan bagi masyarakat Desa Kebonsari melaksanakan “slametan” seperti penggajian, gendhuri.
Penggajian dimaksudkan untuk memohon doa kepada sang pencipta agar diberikan kelancaran sampai pada saat anak dikhitan dan memohon agar setelah khitan menjadi anak yang sholeh. Gendhuri merupakan perjamuan makan slametan yang selalu diawali dan disertai dengan doa untuk menyambut atau mengharap keselamatan. Makanan yang disajikan dalam acara khitanan sudah jauh berbeda dari budaya spritiual zaman dulu, sekarang dilakukan secara praktis dan simpel. Meskipun sudah jarang melakukan upacara khitanan seperti budaya zaman dulu tapi masyarakat tidak pernah meninggalkan budaya yang satu ini selalu menyediakan jenang merah maupun putih dan ingkung sebagai simbolis acara slametan. Setelah acara makanan yang disajikan sudah diberi doa masyarakat yang hadir akan menikmati makanan yang sudah dihidangkan dan membawa pulang membawa bingkisan atau orang jawa bilang “berkat”, berkat sendiri sekarang sudah dikemas sedemikian praktis yaitu “berkat” yang diberikan kepada orang gendhuri adalah bahan pokok makanan seperti beras, teh, gula, mie instan, minyak, telur dan lain sebagainya. Melainkan seperti zaman dulu di era kakek nenek berkat yang diberikan merupakan makanan mateng yang diwadahkan makanan kedalam besek.
dan sebagainya. Sadranan dilakukan khusus pada bulan Sa’ban, yakni hari-hari sesudah tanggal 15 Sa’ban sampai datangnya bulan Ramadhan. Pada tanggal 15 Ruwah sampai datangnya bulan puasa merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk ngluru awrah, menyongsong dan menghormat arwah para leluhur, kegiatan tersebut dikenal sebagai sadranan atau ruwahan. Sadranan termasuk adat kejawen yang timbul sejak awal abad ke-14
Simbah Nursalim (80 tahun) Sadranan atau pamulen acara penghormatan kepada leluhur atau keluarga yang sudah berpulang, yang dilakukan setahun sekali yang sudah berpulang, yang dilakukan setahun sekali pada bulan Ruwah. Menurut kepercayaan kejawen, bulan Sa’ban dianggap sebagai bulan terbaik untuk mengadakan pamulen arwah para leluhur atau keluarga yang telah mendahului berpulang, sehingga bulan tersbut dikenal bulan arwah atau bulan Ruwah. Bulan ruwah merupakan saat terbaik untuk ngluru arwah para leluhurnya. Pada dasarnya pamulen bagi arwah pada leluhur dapat dilakukan pada setiap saat misalnya pada saat mitung dina, nyatus, nyewu
dan masih dilakukan di masyarakat jawa termasuk kebonsari. Sadranan berbeda-beda cara pelaksanaanya, tetapi pada umumnyya mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan pamulen pada umumnya diantaranya: memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga leluhur/ keluarga diampuni segala dosa dan kesalahannya, mendoakan agar arwah para leluhur/ keluarga mendapatkan tempat yang layak, menanamkan kesadaran kepada yang masih hidup, bahwa pada wkatunya kita yang masih hidup juga akan menyusul para leluhur ke alam baka dan mengingatkan kepada yang masih hidup supaya bersiap-siap mengumpulkan bekal sebaik mungkin untuk di akhirat nanti. Sebelum sadranan masyarakat kebonsari melakukan tradisi seperti ziarah keliling ke makam para
KEBONSARI
Sungkeman oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
leluhur masing-masing dusun. Ziarah keliling biasanya ditentukan lebih dulu menurut kesepakatan masyarakat, apakah dimulai dari dusun cakran, dalangan, gunung mijil, kebonwage, pule atau gupit. Setiap dusun memiliki makam sesepuh sendiri-sendiri seperti dusun gunung mijil memiliki makam sesepuh mbah mijil, dusun cakran makam simbah cokro, dusun dalangan makam mbah dalang, dusun gupit simbah gupito, dusun pule makam mbah pule, dusun kebonwage makam simbah wage. Setelah ditentukan dimulai dari makam simbah mana dulu, kemudian seluruh masyarakat kebonsari akan mempersiapkan diri untuk berbondong berziarah kedusun tersebut. Biasanya masyarakat yang akan ziarah keliling berbekal makanan dan minuman karena biasanya ziarah keliling dimulai pada pagi hari dan selesai pada waktu dhuzur. Setelah ziarah keliling dilakukan selang beberapa minggu dilaksanakannya nyadran. Dari setiap dusun waktu nyadran berbeda-beda ada yang bareng ada yang tidak. Sadranan dilakukan dimasjid, setiap masyarakat akan menyediakan berbagai macam makanan seperti nasi mateng berserta lauk pauknya, buah-buahan, minuman, makanan kemasan dan lain sebagainnya tergantung kemampuan orang itu sendiri. Semua makanan tadi akan diwadahkan pada keranjang dengan minimal
jumlah 4 keranjang setiap rumah. Kemudian nanti akan diantarkan ke masjid atau ada panitia yang mengambil ke setiap rumah. Setelah keranjang yang berisi makanan tersebut terkumpul masyarkat juga akan berkumpul dimasjid untuk doa bersama yang akan dipimpin oleh simbah kaum.
Berdasarkan penjelasan Bapak khamit, Sungkeman adalah acara pernyataan hormat dan khidmat pengantin baru kepada orang tua dan mertua yang diadakan sesaat sesudah upacara panggih. Bagi keluarga yang tidak menggunakan adat jawa kental dalam upacara pernikahan biasanya sungkeman dilakukan setelah melakukan ijab kobul. Sungkeman penganten yang ditujukan kepada orang tua kedua belah pihak merupakan sebagian dari sejumlah kewajiban sembah sungkem. Dalam kehidupan masyarakat jawa tumbuh dan berkembang bermacam-macam budaya sembah sungkem sebagai
pernyataan hormat dan bakti kepada pihak-pihak yang wajib dimuliakan. Ada beberapa makna sungkeman dalam adat jawa, 1) sungkeman merupakan ritual penyadaran diri dan mengingat bahwa dirinya masih diwajibkan untuk memperlakukan orang tuanya dengan hormat, 2) sebagai wujud ungkapan terimakasih anak kepada kedua orang tua yang telah mengurusnya dari kecil hingga dewasa. Hal ini juga merupakan langkah awal sang anak untuk meminta restu orang tua sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. Tempat sungkeman, biasanya dilakukan di tempat dekor pelaminan atau orang jawa bilang “padi-padi” pengantin baru yang baru disahkan tersebut bersama-sama mendatangi kedua orang tua masing-masing mempelai lalu ndodhok atau jongkok , Setelah sungkeman biasanya dilanjutkan dengan acara resepsi. Resepsi merupakan acara pesta perayaan rasa syukur atas kelancaran prosesi pernikahan dari lamaran hingga disahkannya menjadi suami istri dalam ijab kobul/ akad nikah. Resepsi ini biasanya acara pertemuan antara kedua mempelai dan keluarga pengantin dengan para tamu undangan yang telah hadir.
KEBONSARI
Menolak Hujan dengan Sapu Lidi dan Bumbu Dapur oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
Dalam tradisi adat Jawa, setiap kali masyarakat ingin menggelar suatu acara seperti pesta, hajatan. Acara pasti akan diawali dengan acara ritual tradisi keselamatan dan kelancaran dalam menggelar acara tersebut. Ritual tradisi tersebut selain sebagai wujud keselamatan bagi yang punya hajat, sekaligus untuk penolak bala dan penolak hujan agar senantiasa acara pesta, upacara atau hajatan dapat berjalan lancar karena sejatinya meminta cuaca yang bagus dalam sebuah acara merupakan salah satu hal yang penting demi suksesnya acara yang di adakan. Dengan cuaca yang bagus tidak adanya hujan selama acara maka berbagai kegiatan dapat berjalan secara maksimal, tamu tidak ada hambatan untuk berkunjung, terbebas dari banjir, apabila ada pagelaran hiburan seperti wayang, dll maka akan dihadiri penonton yang ramai. Simbah Bakir seorang sesepuh Desa Kebonsari menjelaskan ada beberapa cara menolak atau menyingkirkan hujan yang sering dilakukan oleh para sesepuh dan leluhur kita zaman dahulu, meskipun bukan seorang pawang hujan. Salah satunya adalah dengan cara mendirikan
sapu lidi di tengah tanah lapang atau halaman sembari menancapkan berbagai macam bumbu dapur. Seperti halnya yang dilakukan Simbah Bakir dan warga masyarakat Desa Kebonsari yang membudayakan tolak balak . Caranya dengan cara menggunakan sapu lidi yang ditancapi cabai, bawang merah bawang putih sebagai tolak balak hujan. Beliau meletakan sapu tersebut di depan rumahnya pada saat beliau sedang menjemur padi. Cara ini konon sangat ampuh jika datang hujan dan angin yang kuat, setelah ditancapkan sapu lidi dan bumbu dapur maka lambat laun hujan dan angin akan reda dan berhenti. Kenapa cabe dan bawang? Keduanya dinilai memiliki sifat pedas dan panas, maka diharapkan hujan akan urung datang dan takut dengan hal tersebut. Sedang Sapu Lidi dipercayai sebagai pembersih, maka diharapkan mendung yang ada dilangit akan bersih dan awan akan kembali cerah. Sapu lidi yang ditancapi bumbu dapur tersebut diletakan di depan rumah dengan posisi terbalik. Ritual tolak balak hujan sejatinya bukan untuk menolak hujan yang sudah menjadi kodrat alam,
melainkan memindahkan hujan. Karena meskipun kadang manusia tidak menginginkan hujan di saat-saat tertentu namun apabila hujan tidak ada maka kehidupan akan mengalami kekeringan. Oleh karena itu tujuan menolak hujan adalah untuk mengalihkan hujan ke tempat lain sementara waktu sampai padi yang dijemur kering.
KEBONSARI
Pengantin Bambu di Kebonsari oleh: Fredi Trifani Elka Hanna Setia
yaitu anyaman, pulpen, gantungan kunci bambu, tirai bambu, gelang bambu, peralatan rumah tangga bambu dan lain sebagainya. Kenapa disiapkan bahan-bahan tersebut maksudnya adalah wujud rasa syukur kepada sang pencipta atas melimpahnya pohon bambu yang menjadi bahan baku utama dan sarana utama dalam kehidupan dan pergerakan perekonomian di Desa Kebonsari. “Prosesi pengantin bambu ini tidak jauh berbeda dengan profesi pernikahan pada umumnya. Harus ada pengantin dan pengiring pengantin, pengantin yang disiapkan adalah dua bibit bambu unggul, sebagai pengantin bambu laki-laki bibit unggul yang tinggi sedangkan pengantin bambu wanita bibit bambu yang pendek,” kata Mas Anang. Sebagai pengiringnya adalah kerajinan bambu yang telah disiapkan sebelumnya yaitu kerajinan bambu dari masing-masing dusun. Prosesi pengantin bambu adalah sebagai berikut: siraman, mempertemukan pengantin atau (panggih), arak-arak kirab pengantin (hasil bumi, potensi yang ada di Desa Kebonsari), pasrah tinampi, ngomahke. Siraman pengantin bambu
Dua bibit bambu disandingkan dalam sebuah prosesi perkawinan yang dinamakan “Upacara Pengantin Bambu”. Sebuah upaya untuk melestarikan keberadaan pohon bambu yang menjadi penopang ekonomi warga di Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Menurut salah seorang warga, Anang (34) prosesi perkawinan bambu dilakukan warga di Kebonsari karena selama ini desa tersebut identik dengan kerajinan bambu. Melalui prosesi yang mungkin
bagi pihak lain terbilang aneh ini, diharapkan pohon bambu di desa tersebut tumbuh subur. Pengantin bambu ini dilaksanakan pada bulan Oktober minggu ke dua atau perhitungan Jawanya “mangsa ke lima”. Karena pada umunnya “mangsa ke empat” petani sudah memulai melakukan persiapan untuk menanam. Sebelum melaksanakan upacara pengantin bambu, warga menyiapkan bahan sebagai simbolis untuk menjadi pengiring pengantin. Bahan yang disiapkan adalah kerajinan bambu yang telah dihasilkan dari beberapa dusun
Siraman penyucian diri adapun bahan yang harus disiapkan yaitu: air dengan bunga tujuh rupa dan dua kelapa hijau yang belum tua. Bunga itu wangi, 7 (tujuh) berasal dari 7 sumber, secara makna Jawanya, oleh pitulungan seko sing kuasa, lancar sakteruse.. “ dan diterapkan pada prosesi pengantin ini yang bermaskud apabila nanti sudah berkeluarga. “Semoga diberi kelancaran, kemudahan setelah menjadi keluarga agar selalu diberi kemudahan..”. Kelapa hijau yang belum terlalu tua atau istilah “tembung cengkir” dalam pernikahan harus dilakukan dengan pikiran yang kuat atau “kencenge pikir (cengkir)” yang memiliki makna pernikahan bukanlah permainan pura-pura. Panggih pengantin bambu Mempertemukan pengantin “panggih” kedua pengantin yaitu menyatukan kedua bibit menjadi 1 agar nantinya dapat menghasilkan pohon bambu baru yang tumbuh banyak dan subur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kebonsari untuk membuat kerajinan bambu. Arak-arakan atau kirab pengantin untuk mengantar kedua bibit bambu ke pelaminan. Dalam prosesi ini, pengantin bambu dikawal oleh pengiring (kerajinan bambu dari masing-masing dusun) yang ditandu oleh 4 orang pria setiap tandunya dengan tinggi yang sama. Prosesi pasrah tinampi Pasrah tinampi adalah prosesi menyerahkan pengantin bibit bambu untuk dijadikan satu. Ngomahke Ngomahke adalah prosesi menempatkan atau menanamkan bibit bambu. Selain menyiapkan
bahan kerajinan bambu sebagai pengiring pengantin, masyarakat juga menyediakan nasi tumpeng putih. Tujuannya untuk keselamatan dalam memulai prosesi upacara Pengantin Bambu. Tumpeng nasi putih itu nantinya akan disantap bersama setelah prosesi selesai digelar. Kenapa nasi tumpengnya putih? Karena memiliki makna tersendiri dari warna nasi dan lauk pauk yang ada di sekeliling nasi tumpeng. Nasi tumpeng dengan nasi putih yang ada di upacara pengantin bambu sifatnya untuk selamatan memulai suatu acara dan meminta keselamatan kepada sang pencipta. Nasi tumpeng juga dilengkapi dengan lauk pauk khusus seperti kluban yang isinya harus ada bayem, kangkung, kecambah, gereh petek atau ikan asin, telur, kacang panjang. Nasi tumpeng berbentuk seperti gunung, tumpeng sendiri memiliki istilah “tumpeng tumpengo ing pengeran” pengeran yang memiliki makna sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa artinya, hidup itu tidak boleh meninggalkan Sang Pencipta, harus selalu menadahkan. Bayem supaya hidup lebih “ayem”, Kangkung tidak boleh “jinangkung” agar selalu dapat kemudahan dan perlindungan, kacang panjang yang tidak boleh dipotong dengan maksud supaya segala urusannya selalu dipanjangkan dan diluruskan. Kacang panjang boleh dipotong apabila sudah selesai didoakan. Ikan asin atau gereha maknanya, ikan hidupnya selalu bersama-sama atau guyub rukun yang artinya kita tidak boleh hidup sendiri-sendiri. Kecambah berbentuk simbol awal mula. Dan dibumbui menggunakan bumbu urap kemudian semua sayuran dicampurkan, kata urap memiliki istilah Jawa “urap urep urup ang nguripi” maksudnya dengan mencampurkan semua sayuran dengan bumbu urap agar kluban atua sayuran menjadi enak. Begitu juga dalam kehidupan, kita
hidup saling berdampingan tidak mementingkan diri sendiri, harus mementingkan orang-orang di sekitar kita. Ingkung merupakan simbol dari ketulusan, ingkung adalah ayam yang diikat seperti membentuk bungkuk, memiliki makna “ditaleni ditlikung” yaitu agar diikatkan hati dan pikiran agar tidak buyar. Ada juga telur, telur yang ada di nasi tumpeng tidak boleh dibagi dua harus telur utuh. Kenapa tumpeng yang digunakan di upacara pengantin bambu bukan tumpeng nasi kuning? Karena nasi kuning bersifat perayaan kebahagian atau bersyukur, menyampaikan rasa syukur yang telah didapatkan. Selain nasi tumpeng ada juga beberapa jajanan pasar, jajanan pasar menyimbolkan “pepakan” maknanya kehidupan itu seperti dipasar. Dipasar kita dapat menemukan berbagai orang dengan beberapa kasta ada yang kaya, ada yang miskin, ada pengemis, ada pencopet. Begitu juga dengan kehidupan, kita akan menemukan berbagai macam yang nantinya akan kita hadapi.
Kembanglimus
KEMBANGLIMUS
meninggal pada usia 130 tahun. Setelah itu seseorang dapat melakukan ritual tirakatan hingga pagi hari. Tirakatan adalah proses meniatkan menahan kantuk (tidak tidur) sambil membaca beberapa doa tertentu. Dalam pelaksanaannya, seseorang tidak boleh melanggar molimo yaitu minum minuman keras, maling atau mencuri, madhat (menggunakan sabu-sabu dan obat terlarang lainnya), medok yang artinya mempermainkan perempuan agar kekuatan spiritual yang dimiliki tidak berkurang.
Tradisi Suran oleh: Nurul Amin H Wasis
Penyebutan hitungan kalender jawa berbeda dengan penyebutan hitungan masehi. Penyebutan kata bulan oleh masyrakat Jawa disebut wulan atau sasi. Sedangkan awal tahun baru dalam perhitungan Jawa disebut Wulan Suro atau Sasi Suro atau ‘asyuro. Ada beberapa kegiatan khusus bagi orangorang yang masih kental dengan adat istiadat jawa, karena bulan Suro di anggap sebagai bulan yang keramat, ada laku tersendiri yang harus dikerjakan oleh sebagian masyarakat Desa Kembanglimus dalam menyambut tahun baru Jawa. Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat Jawa, tanggal 1 Suro dianggap sebagai hari yang sakral atau keramat. Beberapa orang mempercayai bahwa bulan Suro adalah sarana untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung dan memperbarui kekuatan diri yang sering disebut nuakke. Tradisi suran ini bersifat sakral dan tertutup bagi beberapa orang. Adapun urutan tradisi suran yang ada di Desa kembanglimus diawali dengan mandi dari 7 mata air. Ritual ini tidak dilakukan bersama-sama,
1. JAMASAN PUSAKA
melainkan hanya perorangan saja. Awalnya seseorang akan berjalan menuju 7 mata air diantaranya, Kali Gede, Kali Njumbleng, Kali Cangkring, Dong Tampah, Air Sumur, Mbelik Ndolawe dan kali pancuran atau ngebuh Setelah itu, air-air tersebut kemudiakan dijadikan satu di sebuah tempat air dan digunakan untuk mandi yang tepat dilakukan pada malam satu Suro pukul 24.00 WIB. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan kotoran yang ada di raga sekaligus kotoran yang ada di jiwa. Beberapa orang juga ada yang menambahkan merico bolong (merica berlubang) yang sebelumnya direbus dengan air tujuh sumber tadi. Merico bolong ini umumnya dapat ditemui di toko rempahrempah. Ritual mandi ini dipercaya dapat menolak bala sehingga dapat terhindar dari berbagai macam penyakit dan menentramkan jiwa. Sedangkan tambahan merico bolong dipercaya dapat memperpanjang umur. Alm Simbah Kromo Tani adalah salah satu orang yang mempraktikan prosesi ritual mandi merica bolong semasa hidupnya, beliau
Pada pagi hari tanggal 1 Suro dilakukan ritual Jamasan pusaka keris, tombak dan pedang. Ritual jamasan pusaka ini dilakukan di rumah masing-masing dengan diawali proses ngekum keris(merendam keris) yang diawali dengan proses mencabut pusaka dari rongko atau rangka dan gagangnya kemudian menyediakan tempat untuk merendam keris, tombak, pedang. menggunakan wadah Bambu Gombong yang diambil satu ruas kemudian dilubangi untuk tempat air yang akan menjadi wadah jamasan. Bahan-bahan yang digunakan adalah daun nanas yang di potong-potong kecil-kecil untuk menghilangkan teyeng atau kerak. Proses ngekum atau merendam keris ini dilakukan dari tanggal 1-9 suro. Setelah itu, keris diangkat, dibersihkan dan di sikat menggunakan serabut kelapa dengan media air biasa terus di keringkan selanjutnya ditetesi / dilumuri dengan air jeruk nipis. Setelah itu, di lap / di keringkan dan ditunggu hingga besok hari. Pada tanggal 10 suro disediakan beberapa bahan untuk jamasan diantaranya, kembang setaman yang terdiri dari kembang kantil, mawar, kenanga, melati, air kelapa, dan minyak singer. Setelah itu, keris di cuci menggunakan air kelapa yg di campur wewangian / air kembang tersebut yang ditujukan untuk membuat nyaman sang penunggu pusaka atau biasa disebut khodam. setelah itu keris di lap / di keringkan menggunakan kain putih atau mori
dan diminyaki menggunakan minyak singer dan kemudian disimpan kembali. DOA PERGANTIAN TAHUN DOA AKHIR TAHUN
Bertempat di masjid Al ihlasul iman, pada jaman leluhur dulu melakukan doa tutup tahun di sore hari sebelum suruping srengenge (tenggelamnya matahari) Jika sekarang dilaksanakan setelah ashar menjelang maghrib.
b. DOA AWAL TAHUN
Doa awal tahun di lakukan Bersama sama masyarakat juga yang masih ingin menjalankanya. Dipimpin oleh kaum atau sesepuh dusun yang dilakukan di masjid. Pada jaman leluhur dulu melakukan doa awal tahun dilakukan pada sore hari setelah suruping srengenge (tenggelamnya matahari) kalau sekarang dilaksanakan setelah maghrib sebelum isyak. 2.DILANJUTKAN DENGAN MEMBACA KITAB ALBERZANJI DI IRINGI REBANA Sebagai wujud rasa syukur kepada utusan Allah swt, melambangkan kecintaan (Bahasa cinta) kepada rosulullah Nabi Muhammad saw, karena di dalam kitab arberzanji itu berisi sanjungan dan mahabah kepada Beliau supaya kita di akhir dunia mendapatkan syafa’at dari baginda Rosulullah SAW 3. ISTIGHOTSYAH Pagi di lanjutkan baca kalimat kalimat khusus (istighotsyah). Diawali dengan wasilah yang ditujukan untuk memohon izin dan ridho kepada
nabi muhammad dan syekh abdul khodir jaelani, nabi khidir AS sebagai penguasa air dan nabi ilyas sebagai penguasa bumi. Wasilah untuk cilak bakal (dusun kyai gombong, nyai gombong). selanjutnya wisalah ditujukan kepada pepunden kyai karing, nyai karing. wasilah kepada simbah mudhakir dan wasilah kepada arwah leluhur Mbah buyut ke atas dan mbah buyut kebawah. Almarhum ibu bapak dan ke semua leluhur yang sudah mendahului. setelah itu dilanjutkan membaca Al fatihah, Al falaq, An-nas, Al-ikhlas, Shalawat Nariyah, dan syolawat Nabi, membaca tahlil serta ditutup doa khusus doa istighatsyah. 4. FESTIVAL BUDAYA DAN KIRAB POTENSI DESA kEMBANGLIMUS Kirab potensi dusun dusun se Desa Kembanglimus, dengan menampilkan bermacam-macam potensi kesenian, kuliner, kerajinan, pertanian dan ada yang menampilkan ogoh-ogoh sehingga menarik dan meriah, di laksanakan dan di pusatkan di Balkondes Desa Kembanglimus dan di monitoring oleh Kades dan perangkat desa juga di saksikan oleh tamu undangan Kecamatan dan Pemkab yg membidangi. Semeentara waktu kegiatan ini tidak dilaksanakan di tahun 2020-2021 karena adanya pandemic covid-19 dan mengikuti aturan dari pemerintah Pusat 5. PUNCAK SURAN Dilakukan pada tgl 10 Suro atau 10 Muharam, dengan melakukan kegiatan mujadahan / mengirim doa dan permohonan maaf untuk diri pribadi keluarga masyarakat dan para leluhur, doa Bersama di akhiri dengan kembul bujono / makan Bersama dan di dahului dengan makan jenang suro walau hanya sepucuk sendok, kegiatan itu di lakukan pada Malam 10 (sepuluh) Suro / Muharam. Pagi dan siangnya ada yang melakukan usapan dan memberi sodaqoh
KEMBANGLIMUS
Pancen atau Sajen oleh: Nurul Amin H Wasis pada anak yatim piatu, kegiatan ini bisa di lakukan sendiri atau Bersama-sama di Pondok-pondok Pesantren atau di tempat yang sudah di sepakati. Kegiatan itu sebagai symbol untuk memperingati 1 (satu) Muharam sebagai symbol rasa duka dan prihatin atas terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Selain itu, Perhatian kita pada anak yatim piatu melatih rasa social dan solidaritas kepada sesama, khususnya anak yatim piatu. Sebelum pandemic Covid 19 di desa Kembanglimus juga melaksanakan hal demikian di pusatkan di Dusun Bumen. Ada juga yang menyelesaikan upacara / ritual Jamasan Pusaka, ada yg di lakukan sendiri oleh pemiliknya, ada juga yang menyuruh orang untuk jamasanya, nguri-uri / merawat tinggalan leluhur kita. Mengembalikan terlihatnya Pamor pada keris, tombak atau pedang, supaya tetep lestari dan awet, bagi yang percaya, mengembalikan dan menambah kekuatan qodam yg ada pada benda tersebut, ada juga yang melakukan itu karena weling atu pesan sebelum orang yang punya benda itu meninggal dunia.
kepada leluhur, dahyang dan atau cikal bakal dan pancen tersebut tidak boleh di makan sebelum acara tersebut selesai. Setiap ada kegiatan yang memerlukan adanya pancen biasanya ibu rumah tangga sudah tahu, tanpa diminta akan menyediakanya di rumah bagi yang masih mengikuti adat. Makanan yang ada di piring dinamakan sego among-among atau nasi brokohan.
Berdasarkan penuturan Bapak Wasis, dahulu orang sering menyebut pancen sebagai sajen karena sajen identik dengan agama hindu, maka digeserlah istilah sajen menjadi pancen atau pancenan yang tujuan untuk menghindari sara atau orang yang memusrikan. Uborampe atau perlengkapan itu semua disediakan (manceni) kepada siapapun yang akan memakanya. Pancen sebagai simbul persembahan
Isi dari pancen tersebut diantaranya, satu gelas air bening, teh tubruk (paitan), sego brokoh, nasi kepel, nasi uncet kecil lengkap dgn sayur dan lauk , mie goreng, lento, krecek, peyek, tempe, daging ayam secuil) dan srundeng semua di brengkos(teknikmelipat satu sisi) satu per satu menggunakan daun pisang (sekarang pada menggunakan kertas minyak), rokok 1 (satu) batang dan uang, mengapa di kasih uang dimaksudkan “jarene simbah nek kurang ben tuku dewe”yang artinya jika kurang bisa beli sendiri. Jenis-jenis isi pancen setiap rumah berbeda beda karena isi pancenan itu adalah apa yang di sukai oleh leluhur orang yg membuat pancen itu di masa
hidupnya atau mengikuti naluri atau mengikuti pesan dari orang tua atau mbah mbah kita. Tambahan Informasi : Pada siang hari, saya dan Pak Wasis pergi ke rumah Ibu Royati (43 tahun) yang yang ada di Dusun Gombong, Desa Kembanglimimus untuk melengkapi cerita mengenai Tradisi Rabo Wekasan. Saat kami sampai dirumahnya, Ibu Royati menyambut kami dengan sangat baik. Beliau langsung mempersilahkan saya duduk di ruang tamu dan menyuguhkan wedhang teh kepada kami. Setelah lama berbincang mengenai tradisi rebo wekasan, Ibu Royati menjelaskan isian dari pancen yang dibuatnya setiap ada ritual-ritual tertentu seperti mengirim doa kepada keluarag yang telah meninggal dunia saat 40 hari, 100 hari, Mendhak pisan, mendhak pindo, mendhak telu. Pancen akan disediakan oleh pemilik rumah dan diletakan di dalam kamar keluarga yang
telah meninggal. Berdasarkan penuturan Ibu royati, pancen atau sajen yang telah disediakan oleh pemiliki rumah akan di makan setelah acara proses ngaji selesai. Menurutnya setelah disajikan untuk rasa dari makanan nyata akan berubah rasa. “Sari sari makanan yang ada sudah diambil sehingga rasanya hampa. Jika rasanya beda, berarti doanya sudah ditompo atau terima”. Isi dari Isi dari pancenan tersebut adalah uncet, golong, jajanan pasar, sayur, buah-buahan, Air putih, Kopi pahit, dan Teh pahit. Disediakan juga uang Rp 1.000-, serta rokok yang satu batang.
KEMBANGLIMUS
Cikal Bakal Dusun Sembungan oleh: Nurul Amin H Wasis
Menurut narasumber Mbah Subangkir (75 tahun) yang beralamat di Dusun Sembungan. Pada zaman Mataram dulu wilayah disini masih alas atau hutan ilalang dan pohon Senggani. Si mbah Mambung adalah murid dari si Mbah Ahmad Kusuludin (mbah Maddusul). Mbah Mambung dan Mbah Sembung menetap didaerah itu dan berdatangan para warga yang berguru dengan menghadap di wilayah itu. Setelah si Mbah Mambung dan si Mbah Sembung Senggani meninggal dan dimakamkan di wilayah itu, sebagai penghormatan pada Pepunden. Sama si Mbah Usuludin tempat itu dinamakan Sembungan dan setiap ruwahan atau auman pasti terdapat nama si Mbah Mambung, si Mbah Sembung Senggani, dan si Mbah Pulanggeni disebut dan dikirim doa. Si Mbah Pulanggeni adalah seorang pendatang menurut cerita beliau, bersama istrinya Nyai Pulanggeni entah mengapa akhirnya si Mbah Nyai Pulanggeni pergi ke wilayah Utara Dusun Sumbungan. Karena diwilayah itu berbau pupuk kandang yang menguap maka sama Nyai Pulanggeni dinamakan Bumen. Dan sampai Nyai Pulanggeni meninggal dimakamkam di Dusun Bumen dan ada sumpah serapah yang diucapkan, kalau orang Bumen sama
orang Sembungan tidak boleh menikah karena akan ciloko (hidupnya tidak baik) dan akan meninggal muda sebelum bisa menikmati hidup berkeluarga. Dan sampai saat ini tidak ada yang berani melanggar karena dulu ada yang menikah dan meninggal. Menurut narasumber Bapak Wardi (51 tahun) asal Bumen, Kembanglimus, selain bercerita tentang Nyai Pulanggeni, beliau juga bercerita tempat wingit yang tempatnya bernama ngawu, tempat itu di tandai dengan batu yang lebar dan besar, bagi orang yang disekitar tempat itu tidak boleh ngomong yang aneh-aneh atau ngomong sembarangan dan tidak boleh buang air diwilayah itu.
KEMBANGLIMUS
Mbah Abdul Manan Dusun Kauman oleh: Nurul Amin H Wasis
Menurut narasumber Bapak Muhid AM yang beralamat di Dusun Kauman. Si Mbah Abdul Manan secara silsilah masih keturunan dari nabi Muhammad dan Raja Brawijaya V. Beliau menetap disini dan mendirikan kerajaan kecil sebagai tempat menyebarkan agama islam. Beliau menjadi Imam Masjid Tiban yang sudah ada sejak dahulu kala dan Mbah Abdul Manan memperbaiki masjid Tiban itu yang pertama kali pada tanggal 17 tahun 1932 bersama murid-muridnya. Si Mbah Abdul Manan menjadi cikal bakal Dusun Kauman beliau juga menjadi Imam masjid Tiban itu dan turun temurun keturunan dari si Mbah Abdul Manan sampai sekarang. Si Mbah Abdul Manan mempunyai sebuah batu akik sebagai salah satu jimat yang konon ampuh jika ada orang jahat atau ingin berbuat jahat di Dusun Kauman maka dia tidak akan bisa melihat Dusun Kauman, yang terlihat hanyalah padang ilalang. Di makam simbah abdul manan terdapat catatan silsilah yang di tempelkan di tiang bangunan cungkup keluarga simbah Abdul manan.
KEMBANGLIMUS
Kalender Jawa oleh: Nurul Amin H Wasis
Menurut Simbah Kromotani, orang jawa sudah punya perhitungan almanak atau penanggalan sendiri sebelum Islam masuk dan menjadi agama dari sebagian besar orang orang penghuni tanah jawa dwipa, ada ABOGE Orang jawa memiliki perhitungan tersendiri untuk berbagai kegiatan, entah itu pertanian, pernikahan, khitanan dan sekedar bepergian. Menanam tanaman padi misalnya, harus di hitung pasaranya hari berapa, tanggal berapa , nah nanti akan ketemu waktu tanam dan harapan hasilnya jangan sampai salah waktu tanamnya, hitungan pasaranya harus tepat, karena di percaya tdk akan panen, seandainya bisa panen pun akan mengecewakan di sekitar saya masih ada yang melakukan ritual labuh : memulai menggarap sawah meminta izin atau salam pada penunggu sawah di tmpat itu
Sebagai bentuk rasa syukur pada Dewi padi dan Dewi Pertanian Persembahan pada penunggu tanaman padi Dewi Sri Untuk pancen yang dibawa ke sawah berisikan Nasi uncet kecil, nasi kepel, kluban dgn sambel kambil, telur ayam jawa, krecek, lento, petek, teri, kembang setaman dan dupa atau menyan yg di bakar diatas bunga setaman tadi dan sayur dan lauk yang ada di brengkos kecil-kecil. Untuk kelengkapan atau ganepe laku ritual, ada sugesti kalau ingi buah padinya berat dan banyak, penyerahan pancen harus menghadap Gunung Sumbing kalau menghadap gunungsumbing berarti tidak membelakangi gunung yang ada, karena sebelah utara Gunung Telomoyo dan Tidar, sebelahselatan menorah, sebelah barat masih ada banjaran bukit menorah dan Gunung sumbing berada di barat laut.
masih ada juga yang melakukan ritual Miwiti : ritual akan memanen Padi
Ada tata cara menghitung waktu tanam bagi para pemula, remaja atau siapapun yang ingin belajar atau sekedar ingin tahu, ini dia
mengeluarkan shodakohan supaya panenanya banyak
Sebagai contoh kalau akan menanam Rambutan, ya harus pada hitungan yang ketemunya WOH (buah).
Di hari Ahad Pon karena ahad itu 5, pon itu 7 ketemunya 12 tibo Woh atau Kamis Kliwon, Kamis itu 8, Kliwon itu 8 jadi 8+8 +=16tibo who / jatuh pada hitungan buah. Kalau menanam pohon jati ya yang hitunganya tepat pada Uwit yaitu antara lain Sabtu Legi karena sabtu itu 9, legi itu 5, 9+5= 14 Dari Nara sumber Bapak Mujiono Orang jawa yg masih kental akan perhitungan jawa punya beberapa perhitungan yg menjadi pantangan yang di sebut nogo dino, nogo sasi dan nogo tahun, nah bulan syuro ini adalah tempatnya nogo tahun, artinya Tidak di perkenankanya membuat acaraacara apalagi acara senang senang, seperti: Resepsi
Pernikahan, resepsi khitanan, Awalan (kawitan) membuat rumah atau bangunan lainya, bahkan bepergian di tanggal 1 suro tanpa ada tujuan yang jelas dan seandainya di langar / di terjang maka akan mendapat balak/bilahi/musibah . Tanggal 1 syuro adalah waktunya merenung saat yang tepat untuk pasrah sumarah dan mendekatkan diri kepada sang hyang widhi wasa yaitu gusti kang amakaryo jagat raya.
KEMBANGLIMUS
Rebo Wekasan oleh: Nurul Amin H Wasis
Kegiatan ini di lakukan di hari rabo terakhir di bulan rojab ritual tolak balak memohon keselamatan di selasa malam rabo di adakan sholat hajat di lanjutkan baca surat yasin, tahlilan dan baca kalimatuttoyibah dan doa keselamatan di dunia dan akherat, di laksanakan di serambi masjid al ikhlas dusun gombong yang di hadiri oleh anak² remaja dan dewasa sebagai wakil dari tiap kk. Siang hari di hari rabonya di isi dengan simbolis pemotongan rambut, sebagai simbol menghilangkan sukerto (balak), yang memotong rambut warga masyarakat adalah sesepuh (tetua dusun) / kaom / yang di beri mandat oleh sesepuh dusun, setelah acara pemotongan rambut di lanjutkan minum air yg sudah di sediakan di baskom di namakan air suci (salamun) potongan rambut warga di jadikan satu di mangkok yang sudah di isi air dan bunga, selanjutnya rambut di pendem/ di tanam / di kubur di sekitar masjid. ritual rebo wekasan ini di lakukan oleh warga dusun gombong dan dusun bumen dulu sebelum adanya pandemi covid-19, di masa pandemi ini tidak di lakukan karena pasti terjadi kerumunan dan mengikuti aturan dari pemerintah.
Tambahan Informasi : Pada siang hari, saya dan Pak Wasis pergi ke rumah Ibu Royati (43 tahun) yang yang ada di Dusun Gombong, Desa Kembanglimimus untuk melengkapi cerita mengenai Tradisi Rabo Wekasan. Saat kami sampai dirumahnya, Ibu Royati menyambut kami dengan sangat baik. Beliau langsung mempersilahkan saya duduk di ruang tamu dan menyuguhkan wedhang teh kepada kami. Ada dua versi mengenai penyebutan tradisi ini yaitu Rebo Wekasan dan Rebo Pungkasan. Rabo wekasan ini adalah salah satu tradisi yang dilakukan pada hari rabu terakhir di Bulan Rejeb. Tradisi ini diikuti oleh semua masyarakat di Dusun Gombong. Pada prosesinya Rabo Wekasan ini dilakukan di masjid sekitar. Beliau adalah salah satu orang di Desa Kembanglimus yang mengikuti ritual pemotongan rambut ketika ada prosesi Rebo wekasan. Ibu Royati mengutarakan jika tradisi ini mirip seperti ritual ruwatan yang dilakukan masal. Acara diawali pada hari selasa malam rabu yang diawali dengan sholat hajat di lanjutkan baca surat yasin, tahlilan dan baca kalimatuttoyibah dan doa keselamatan di dunia dan akherat. Kemudian
pada rabu siang dilanjutkan dengan pemotongan sedikit rambut yang diikuti oleh semua orang, baik dari anak-anak sampai orang dewasa. Setelah melakukan ritual potong rambut, masyarakat akan meminum air sumur yang didalamnya ada kertas rajah. Berdasarkan penuturan Ibu royati, setelah melakukan ritual potong rambut ini, beliau merasakan lebih “mantep dan percaya diri”. karena dipercaya dapat menghilangkan bala atau sukerto dan simbol keselamatan. Ibu royati mengutarakan jika belum dipotong rambutnya justru merasa takut karena takut terkena bala atau sukerto. Kini tradisi pemotongan rambut sebagai simbol tolak bala ini sudah mulai ditinggalkan. seiring dengan meninggalnya sesepuh-sesepuh desa yang memimpin prosesi ritual pemotongan rambut. Potongan rambut warga kemudian dijadikan satu di sebuah mangkuk yang sudah di isi air dan bunga, selanjutnya rambut dipendem atau ditanam di sekitar masjid. Di setiap rumah warga umumnya akan membuat satu pancenan yang dipersembahkan untuk leluhur yang telah mendahului. Umumnya isi pancenan tersebut disediakan oleh pemilik rumah dan diletakan di
dalam kamar dari nenek atau kakek yang sudah meninggal. Ibu Royati mempraktikan cara membuat pancen dengan bahan yang sudah ada dirumah. Isi dari pancenan tersebut adalah uncet, golong, jajanan pasar, sayur, buah-buahan, air putih, kopi pahit, dan teh pahit. Disediakan juga uang Rp 1.000-, serta rokok yang satu batang.
KEMBANGLIMUS
Sedekahan oleh: Nurul Amin H Wasis
Sedekahan juga di sebut auman atau shodaqohan ada juga yang menyebutnya limolasan (krn di lakukan setiap tgl 15). Di setiap bulan ada acara ritual sedekahan yang di lakukan oleh masyarakat sekitar, satu dusun dengan yang lain berbeda hari dan tanggalnya, ada yang di lakukan seitan tanggal 7 ada yang setiap tanggal 15 dll di setiap bulannya namun ada beberapa bulan yang tidak di laksanakannya sedekahan yaitu, 1.Bulan Suro – karena sudah ada ritual suronan, 2.Bulan Rojab _ karena sudah ada acara Rojaban, 3.Bulan Poso / Romadhan-kerena sudah ada acara pitulasan, selikuran dan khotaman alquran, dan Bulan Sawal-karena sudah ada acara sawalan. Ritual ini di lakukan oleh setiap keluarga dan berkumpul menjadi satu dan kalau dulu berkumpulnya di rumah bapak Kepala Dukuh kalau sekarang berkumpulnya di serambi masjid masing masing dusun. Setiap KK mengikutkan 1 orang sebagai wakil sambal membawa makanan nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Acara di pimpin oleh pak ustazd atau Mbah Kaom (tokoh agama islam) dengan terlebih dulu meminta
izin sebagai leantar doa kepada ALLAH SWT, Nabi Muhammad SAW, Para Shohabat, Para Sunan dan Para Wali dan Kyai selanjutnya membaca Fatihah, Surat ihlas,Falaq, binnas, ayat Qursy, kalimatutoybah dan tahlih di akhiri dengan do’a amnpunan dari dosa untuk para leluhur kita dan minta keselamatan di dunia dan di akherat. Setelah doa selesai mereka pada membuka makanan yang di bawa tadi dan saatnya kembul bujono atau makan bersama-sama dan saling tukar menukar sayur atau lauk (lebih tepatnya saling icip) saling mencicipi makanan tetangganya, sebegai wujud saling berbagi dan saling merasakan. Ritual ini biasanya di laksanakan oleh orang lakilaki dan perempuan, tua, dewasa dan anak-anak, yang pasti setiap keluarga pasti mewakilkan 1 orang untuk mengikuti kegiatan atau ritual ini. Maksud dan tujuan ritual ini: Sebagai rasa syukur kita pada para leluhur. Sebagai ajang nepung sanak (silaturrahim). Sedekah dengan doa dan makanan untuk para leluhur
Mengumpulkan iyuran wajib bagi setiap KK untuk khas dusun dgn nominal yg sudah di tentuka sebelumnya. Informasi Tambahan : Ketika kita turun kelapangan di pagi hari dengan suasana yang hangat dengan matahari yang bersinar terang dan kicauan suara burung yang khas kita datang untuk menemui narasumber di rumah nya kita berbincang bincang sambil mendegar suara kucing yang turun dari atap rumah. Menurut ibuk Wahyuti yang berumur 41 tahun selaku narasumber yang sudah berpengalaman dalam melakukan dan pernah mengikuti tradisi Sedekahan. Ibuk Wahyuti juga menyampaikan bawah tradisi ini di lakukan setiap bulan nya pada 7 atau 15 tanggal Jawa biasaya nya tradisi ini di lakukan di mesjid, tetapi orang jawa dahulu melakukankegiatan ini di rumah kadus atau kepala dusun. Masyarakat dulu membawa makanan seadanya sesuai makanan yang ada di rumah biasa nya yang membawa ini perkartu keluarga tetapi seiring waktu berubah menjadi satu persatu rumah yang di tunjuk untuk melakukan acara ini sesuai kesepakatan bersama untuk memenuhi hantaran acara ini, untuk hantaran biasa nya terdiri dari sayur
dan lauk pauk. Untuk sayur biasanya ada 2 macam yaitu buncis atau kacang sedangkan untuk lauk nya bisa ayam atau bebek dan selalu berubah ubah tetapi ada makanan yang selalu ada yaitu letok dan petek karena makanan ini merupakan makanan pelengkap karena kalau tidak ada makan ini acara sedekahan nya terasa kurang lengkap. Dari sudut padang pengalaman ibuk Wahyuti sendiri yang pernah mengikuti kegiatan ini merasakan bahagia karena dengan ada nya acara ini silaturahmi antar warga terjaga dan sangat bangga terhadap apa yang telah di lakukan dalam acara ini.
KEMBANGLIMUS
Sendang di Bumi Kembanglimus oleh: Nurul Amin H Wasis
Menurut penuturan Bapak Wasis, umur 47 tahun yang beralamat di Dusun Gombong, Desa Kembanglimus. Sendang adalah tempat khusus yang dibuat untuk menampung air dari sumber atau mata air dengan cara menggali tanah dan dibuat seperti kolam kecil, ada yang berbentuk segi empat, persegi Panjang dan atau sesuai tempat atau sesuai keinginan pembuatnya. Ada beberapa sendang atau belik atau kali begitu orang daerah sini menamakan atau menyebutnya, ada Kali cangkring, Kali Gede, Kali Jumbleng, Kali Pancuran, Kali Dong Tampah, Kali Gal Nongko, Kali tulung. Setiap akhir bulan romadhan setiap pemakai sendang itu biasanya menaruh bunga macan kerah 1 tempel di lokasi sendang itu yang dimaksudkan sebagai persembahan rasa terima kasih karena selama ini sudah membantu dengan air yang tetap ada dan bisa di gunakan untuk kebutuhannya dan orang lain Dahulu sendang itu tidak hanya di gunakan untuk mandi, cuci baju dan bahan makanan namun airnya juga di ambil untuk kebutuhan air minum dan memasak. Pada kesempatan atau acara atau kebutuhan lain, sendang juga beberapa kali untuk meletakkan sesajen dan salah satu ritual pada orang tertentu yang sedang mencari kesembuhan
dari sakitnya. Yang di maksud laku atau perjalanan meminta kesembuhan dan permohonan maaf melalui perantara sendang tersebut. Penunggu sendang permintaan kesembuhan kepada Sang Hyang Penyembuh segera tercapai dan sakitnya segera hilang dan sembuh. Uborampenya antara lain, kembang setaman / kembang macan kerah, dupa/kemenyan yg sudah di bakar, nasi kepel lengkap dgn sayur dan lauk pauknya, jenang abang putih yg di letakkan di takir, dan di kasih rokok 1 batang dan uang sekedarnya. Tambahan Info : Pada pukul 13:44 saya pergi ke rumah Ibu Marminah berumur 43 tahun yang beralamat di Dusun Gombong Kembanglimus. Sesampainya di rumah Ibu Marminah, saya langsung mengetuk pintu 3 kali dan yang keluar adalah cucunya. Kemudian saya menanyakan “Ibu Marminah ada?” sang anak pun menjawab “ada di dapur”. Beliau memiliki sifat yang sangat pemalu. Setelah itu Ibu Marminah keluar dan mempersilahkan saya masuk ke dalam rumahnya dan langsung menanyakan pengalaman beliau mengenai sandang. Beliau sudah menggunakan sendang sejak 20 tahun yang
lalu. Biasanya sendang ini airnya digunakan untuk air minum, memasak, mencuci baju, dan mandi di kalangan anak-anak, remaja, hingga orang tua. Terkadang juga sendang ini sendiri digunakan oleh ibu-ibu yang baru melahirkan untuk mandi dengan menaburkan bunga mawar satu tum atau satu bungkus daun pisang yang biasanya dijual di pasar dengan harga sekitar Rp 2.000 – Rp 3.000. Hal ini dilakukan supaya ibu yang baru melahirkan tersebut cepat pulih dan biasanya mereka mandi pukul 05:00 pagi dan pukul 15:00 sore. Perasaan ibu Marminah menggunakan sendang tersebut adalah senang dan ayem atau tenang. Beliau juga mengatakan pengalaman mistis yang ada di sendang adalah melihat ular yang sedang minum dikali tersebut.
Kenalan
KEMBANGLIMUS
Kebudayaan Hilak Hilak oleh: M. Anjani Erwanudin
Hilak hilak adalah sebuah ritual permohonan kepada YANG MAHA KUASA untuk melindungi atau menjaga tanaman buah dari segala bentuk penyakit, hama (hewan pengrusak). Ritual hilak hilak ini sudah dari zaman dahulu dilakukan oleh warga masyarakat desa kenalan dan sekitarnya secara turun temurun menurut keyakinan dan kepercayaan masing masing warga. Ritual hilak hilak ini tidak bisa dilakukan setiap hari ataupun setiap saat dan hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu saja yaitu pada hari selasa kliwon pada waktu pagi hari antara jam 05:30 wib – 06:00 wib. Foto ritual hilak hilak pada pohon durian Menurut warga masyarakat desa kenalan,manfaat dari ritual hilak hilak adalah: tanaman buah yang sudah lama tidak berbuah akan berbuah lagi tanaman padi yang dirusak oleh hama (tikus) dengan melakukan ritual hilak hilak tidak akan dirusak lagi
pohon dan tanaman buah yang sedang berbunga atau berbuah (penthel) bunga dan buahnya tidak akan gugur hasil panen akan menjadi bagus.
Foto ritual hilak hilak pada pohon pete
Adapun jenis jenis tanaman buah/pohon yang sering dilakukan ritual hilak hilak yaitu; pohon durian tanaman buah alpukat pohon pete tanaman padi pohon kelapa dan segala jenis pohon/tanaman buah lainya Menurut pak Sahlan sebagai narasumber dan sering melakukan ritual hilak hilak tersebut, itu membutuhkan cara atau benda benda tertentu sebagai media ritual. Cara cara dan benda yang digunakan antara lain: dengan mengikatkan rumput ilalang atau sebuah kain ke pohon /tanaman buah yang akan dilakukan ritual hilak hilak dengan bacaan doa-doa kalau untuk tanaman padi yaitu dengan cara menancapkan/menaruh ranting pohon salak di pinggir sawah dan membuat tiang dari bambu dengan ketinggian 1,5 meter dan ujung dari tiang tersebut dikasih kulit kelapa.
KEMBANGLIMUS
Nyadran oleh: M. Anjani Erwanudin
Nyadran adalah tradisi ngirim untuk para arwah leluhur yang disemayakan di desa. Ngirim disini bukan kemudian memberikan sesajen untuk arwah, melainkan mengirim do’a. Nyadran sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Desa Kenalan, ada yang menceritakan bahwa tradisi nyadran ini merupakan tradisi serapan dari Kraton Yogyakarta, ada pula yang menceritakan bahwa tradisi tersebut memang hanya mengikuti tradisi kakek buyut. Menurut Pak Umar yang kami temui, tradisi ini berlangsung setiap bulan ruwah atau bulan sya’ban pada setiap tahunya. Tanggal dan pastinya akan berbeda-beda sesuai dengan dusun yang menyelenggarakan, di desa Kenalan biasa di tentukan dengan jadwal hari asapon. Karena di Desa Kenalan terdapat lima Dusun, berarti juga aka nada 5x proses nyadran ini berlangsung. Nyadran memang sebuah tradisi, tetapi bagi masyarakat desa Kenalan nyadran ini bisa dikatakan sebuah kewajiban. Sebab jika seseorang yang telah memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal dan disemayamkan di Desa Kenalan sudah bisa bahkan harus menikuti nyadran. Tidak hanya
umat muslim, akan tetapi umat non-muslim juga turut menyelenggarakan nyadran. Tradisi mengirim leluhur ini bisa dibilang seperti Bodo sebab, anak atau ahli waris yang sudah pergi dari Desa Kenalan pun ketika ada nyadran, mereka akan pulang untuk ngirim leluhur mereka. Seperti ketika lebaran kita pulang keruamh orang tua yang masih hidup. Dalam proses nyadran terdapat beberapa rangkaian acara mulai dari berseh makam yang dilakukan dua sebelum jadwal puncak acara nyadran. Kedua, merpakan acara persiapan atau Tarub. Ketiga, Qur’an pada malam hari-H. dan yang Ketiga adalah acara puncak Nyadran tersebut. Berseh yang dalam bahasa Indonesia adalah bersih, memang merupakan awal prosesi tradisinyadran di Desa Kenalan. Berseh “BERsih-bersih SarEHan” atau makam. Dilakukan 2 atau 3 hari sebelum puncak aara Nyadran. Ibaratnya seperti ketika mau lebaran, kita membersihkan rumah. Tetapi rumah yang di bersihkan adalah rumah masa depan atau sarehan. Dimana para leluhur, cikal bakal, kakek, nenek, orang tua yang sudah meninggal bersemayam”mosok seng mati arep resik-resik dewe to nduk?” terang narasumber. Membersihkan
seluruh area makam, dilakukan bersama-sam oleh semua warga dusun setempat. Terkadang beberapa warga juga menggunakan kesempatan ini untuk berziarah dan juga nyekar di makam leluhur mereka. Kegiatan selanjutnya yakni tarub. Tarub adalah proses penyiapan tempat yang akan digunaka dalam penyelenggaraan nyadran. Dulu pas masyarakat Klanten (salah satu nama Dusun di Kenalan) belum sebanyak saat ini, kegiatan yadran hanya dilakukan di masjid. Tetapi karena sekarang jumlah penduduknya semakin meningkat, jumlah ahli waris yang datang juga banyak sehingga butuh tambahan lokasi untuk menghormati tamu-tamu yang datang mengikuti acara nyadran tersebut. Karena tarub ini adalah mempersiapkan lokasi, sihingga yang melakukan lebih banyak kaum laki-laki. Sedangkan ibu-ibu akan berada di rumah menyicil pembuatan ubo rampe, yang akan di gunakan dalam pembuatan berkat. Setelah persiapan lokasi selelsai, berarti yang ada adalah giliran ibu-ibu dalam menyiapkan segala bentuk dan keperluan berkat pada acara nyadran. Dari semua warga yang ada, di bagi dalam
beberapa kelompok yang mempunyai tugas masingmasing. Ada yang membuat berkat, ada yang membuat lalaban wedang, ada yang memasak lauk, serta ada yang memasak ingkung dan sego wuduk. Tiba pada malam hari, semua warga desa akan berkumpul di lokasi nyadran untuk qur’anan. Mengapa demikian, sebab menurut narasumber seringkali ketika pada hari-H nyadran masyarakat desa setempat tidak bisa ikut pembacaan do’a, dikarenakan masyarakat sibuk menjadi panitia. Hari-H Nyadran mulai dari pagi hari, bapak-bapak, ibu-ibu, dan para pemuda akan berbondongbondong datang ke lokasi Nyadran. Tentusaja dengan membawa semua ubo rampe yang telah di buat di rumah masing-masing, sesuai dengan tugas yang di terima. Para sesepuh berada di barisan paling depan, menyambut kedatangan tamu-tamu yang hadir pada hari tersebut. Para bapak-bapak berada di lokasi pengumpulan berkat, bertugas menyiapkan berkat agar sesuai dengan jumlah peserta yang akan nanti akan diberikan berkat tersebut. Ibu-ibu, ya tentusaja berada di persiapan konsumsi, meracik nasi, sayur, lauk, untuk nenti di hidangkan setelah selesai pembacaan do’a.
KEMBANGLIMUS
Dino Sangar atau Hari Mulia oleh: M. Anjani Erwanudin
Masyarakat Jawa pada umumnya, dan masyarakat Desa Kenalan pada khususnya masih mempercayai adanya perhitungan hari baik dan buruk. Begitu pula Pak Tarno, beliau adalah salah satu ketua RT di Desa Kenalan. Selama kurang lebih 8 bulan terakhir Pak Tarno sedang mengidap penyakit radang sendi yang lumayan berat. Syukurlah pada hari kami datang kerumanya, beliau sudi menerima kedatangan kami dengan terbuka. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore, disuguhkannya kepada kami beberapa buah Gedang Gintung, yang Ia panen dari kebun rumahnya. “piye, meh butuh opo karo wong seng koyo ngene iki” tanyanya kemudian menceritakan sedikit tentang kondisi kesehatannya yang saat ini semakin membaik. “niki Pak Tarno, meh nyuwun ular-ular tantang kabudayaan wonten desa Kenalan” jawabku. “walah njuk diphoto barang kui?” “lha nggeh, damel dokumentasi, mboten noponopo to?”
“ah yo kono, neg le ngrekam ngko sek ajar sek yo!!hehehe” guraunya lebih lanjut.
kecil seperti kita ini tidak akan mampu menghadapi keistimewaan hari sanggaran tahun “ibarate dewe kui mung uwong seng mbendino turu gasik, kok arep ngrasakke koyo seng dirasake wong turu nganti esok” dalam artian orang yang banyak prihatinya.
Dan mualai lah Pak Tarno sedikit demi sedikit, sepenggal demi sepenggal bercerita kepadaku. Wes mesti nganggo bohoso Jowo lho, jangan ditanya beliau menggunakan bahasa apa. “Nek kanggone wong kene iki sak ora-orane ne ono seng jenenge nas dino” Hari NAS, hari yang dianggap keramat oleh masing-masing orang yang didasari karena pada hari tersebut, salah seorang dari keluarganya meninggal, bisa jadi ayah, ibu, kakek, nenek, atau sanak saudara. Pada hari nas ini, orang akan sangat berhati-hati, tidak akan menggunakan hari tersebut untuk memulai hal-hal baik. Bukan berarti pada hari tersebut akan terjadi malapetaka, tetapi lebih pada rasa menghormati, atau mengenang orang yang meninggal pada hari tersebut. Walaupun dalam beberapa kasus, misalnya digunakan untuk menanam jagung, eh jagung yang ditanam tidak membuahkan hasil. “Seng keloro, dino sangaran tahun”. Hari sangaran tahun, merupakan hari dimana, pada kelender jawa atau Islam adalah hari pertama, missal pada tahunn
“sak lebare kui, ono neh seng jenenge dino gothong, dino seng itungane dino sak uwise ro dino sak durunge itungane podo” diho gothong menurut Pak Tarno bukan hari yang sacral seperti jenis-jenis sebelumnya. Gothong yang artinya kosong, berarti pada hari tersebut adalah hari yang tidak ada apa-apanya. Walaupun tidak ada kesakralan atau keburukan pada hari tersebut tidak memiliki kemanfaatan.
ini tanggal 1 muharam jatuh pada hari selasa pon. Nah maka selama setahun kedepan selasa pon akan dikenal sebagai hari sangaran tahun. Menurut pemaparan beliau, sebenarnya hari tersebut adalah hari yang mulia, hari yang istimewa. Akan tetapi karena saking istimewanya hari tersebut, orang-orang
Terakhir pesan beliau adalah kurang lebih seperti ini “bejo-bejo ne wong kang lali, luweh bejo wong kang nduwe pengiling-iling lan waspodo” jadi apa-apa yang sudah dijelaskan beliau di depan bisa digunakan untuk dijadikan pengiling-iling bagi kami kaum muda agar dalam bertindak selalu ada pertimbangan, tidak hanya waton, pungkas beliau pada kesempatan sore itu.
KEMBANGLIMUS
Sawan oleh: M. Anjani Erwanudin
Sawan, mungkin bagi orang jawa penyakit ini sudah bukan hal asing yang di dengar. Bisa dikatakan menjadi penyakit yang lumrah di rasakan masyarakat desa Kenalan. Anehnya, penyebab dari sakit ini moment khusus. Penyebabnya ada dua hal, yang pertama adalah orang menikah dan yang kedua adalah orang meninggal. Sehingga sawan pun juga terbagi menjadi dua jenis, sawan manten dan sawan mayit. Menurut cerita Mbah Tukirah, sawan manten di sebabkan adanya prosesi pernikahan penderita bisa jadi orang yang menghadiri atau pun tetangga dekat yang tidak datang di acara tersebut. Ciri-cirinya adalah seseorang merasa seperti masuk angin, tubuh terasa lemas lunglai, dan daun telinga terlihat layu. Sedangkan untuk sawan mayit terjadi ketika ada orang yang meninggal, ciri-cirinya sama seperti yang sawan nganten. Bedanya pada sawan nganten menurut narasumber sakit yang di rasakan lebih parah, dan badan seperti sangat kecapekan, dan seperti butuh baru melakukan baku hantam. Untuk obatnya tentu juga hal yang istimewa, sebab penyakitnya pun bersumber dari hal yang yang tidak biasa.
Obat dari sawan manten bisa menggunakan beberapa hal berikut: Pupur/bedak manten Kembang nganten Baju yang di pakai manten Jika terkena sawan manten dari ketiga hal tersebut bisa di pilih salah satu saja. Pupur digunakan seperti biasanya, di balurkan ke tubuh si pasien. Kembang digunakan dengan cara dimasukan kedalam air kemudian airnya digunakan untuk mandi. sedangkan baju digunakan untuk menyelimuti tubuh si orang yang terkena sawan tersebut. Obat dari sawan mayit. Memang sedikit horror, bagaimna bisa orang yang telah meninggal memberikan dampak sakit bagi orang yang masih hidup padahal bukan penyakit menular, bukan penyakit keturunan. Seseorang bisa terkena sawan ini biasanya dari orang yang melakukan layat, di rumah orang yang meninggal tersebut. Nah obat yang digunakan untuk menyembuhkan sawan mayit diambil dari hal yang digunakan oleh simayit sendiri, ada dua hal:
Menggunakan kain (biasanya jarik) yang digunakan untuk menutupi tubuh si mayit sebelum di kebumikan. Jarik ini digunakan untuk menyelimuti orang yang terkena sawan. Tanah, tanah dengan spesifikasi yang tadi terkena air yang digunakan untuk memandikan jenazah atau mayit. Tanah ini digunakan untuk dicampurkan dalam air yang digunakan untuk mandi penderita sawan Menurut narasumber kondisi sawan ini biasa terdeteksi sekitar satu-dua hari setelah orang tersebut terkena sawan itu sendiri.
KEMBANGLIMUS
KEMBANGLIMUS
Domponen
Bertapa di Gua Gondopurowangi
oleh: M. Anjani Erwanudin
oleh: M. Anjani Erwanudin
Ada satu penyakit atau sawan yang dikenal oleh masyarakat Desa Kenalan yaitu domponen. Selain diobati secara medis, ternyata ada cara tradisional yang dipercaya sebagian warga desa bisa menyembuhkan, yaitu dengan diludahi oleh orang yang pernah kena domponen. Mbah Tukirah (70) bercerita bahwa domponen merupakan sawan yang disebabkan oleh hewan bernama dompo. Dompo adalah hewan kecil-kecil seperti rayap. Meskipun memang ada penjelasan secara ilmiah tentang penyakit dompo ini, tetapi masayarakat Desa Kenalan masih mempercayai bahwa hewan dompo itu menyebabkan seseorang menderita penyakit dompo. Sehingga dari bagi para orang tua memberikan anjuran setiap kali seseorang bertemu dengan kerumunan dompo harus meludahi dompo tersebut, meskipun ludah tersebut tidak mengenai hawan tersebut sedikitpun. Ciri-ciri dari penyakit ini adalah munculnya bintilbintil pada permukaan kulit, pada bintil-bintil
tersebut juga mengandung air di dalamnya. Selain itu pada permukaan kulit yang muncul binti-bintil tersebut akan terasa sangat sakit seperti terusuktusuk. Cara mengobati penyakit domponen, bisa menggunakan obat medis dan membeli di apotek. Tetapi ada cara unik yang sampai saat ini masih dipraktikkan oleh masyarakat ketika terkena penyakit dompo. “Dengan cara diludahi, diludahi oleh orang yang dulu sebelumnya sudah pernah menderita penyakit tersebut. Jika ingin lebih mujarab, ludah tersebut sebaiknya ludah ketika bangun tidur sebelum orang yang meludahi turun dari tempat tidurnya,” kata Mbah Tukirah saat kami tanya cara pengobatan dengan cara diludah.
Sore itu, kami berkunjung ke rumah Pakde Noto, warga Desa Kenalan yang rumahnya ada di Dusun Gempal atau Kemloko I. Kunjungan Tim Kenali Desa terkait tugas njajah desa milangkori. Kalau tidak ada tugas ini mungkin bisa jadi kami tidak pernah sowan kepada beliau. Pakde Noto adalah seorang yang bisa dikatakan “juru kunci” Gunung Gondopurowangi. Akan tetapi karena memang tidak ada penisbatan atau penunjukan secara khusus sehingga beliau juga kemudian tidak mengaku-aku sebagai juru kunci. Usia beliau saat ini sekitar 67 tahun, sudah cukup sepuh tapi masih sangat bugar. Buktinya saja, waktu kami berkunjung ke rumah beliau, ia baru saja pulang dari berkebun dengan memikul singkong satu karung besar.
“Di lereng Gunung Gondopurowangi terdapat beberapa gua. Setidaknya ada 3 gua yang berada di lereng Gondopurowangi, yaitu Gua Gantung, Goa Gondopuro, dan yang ke tiga tidak di ketahui namanya,” kata Pakde Noto. Dari ketiga Goa tersebut hanya satu yang akan kita bahas pada kesempatan ini. Menurut Pakde Noto nama Gondopurowangi terdiri dari tiga suku kata, yakni Gondo yang berarti Ambu atau aroma, Puro yang berarti dupa, dan wangi. Sehingga Gondopurowangi memiliki makna aroma dupa yang wangi. Nama Gondopurowangi di nisbatkan oleh masyarakat pada Gunung tersebut karena memang dahulu di gunung tersebut memiliki aroma dupa. Pertanyaanya dari manakah wangi tersebut berasal?
Kami dipersilahkanlah untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana tetapi sejuk, tanpa butuh
Wewangian tersebut berasal dari depan Gua Gondopurowangi, dimana dahulu sering sekali
pendingin ruangan sekalipun. Sambil menyalakan rokoknya, kami utarakan maksud dan tujuan kami. Tanpa panjang lebar beliau langsung bercerita.
gua tersebut digunakan untuk keperluan pertapaan atau dalam bahasa Pakde Noto adalah “ngudi”. Jadi orang-orang yang sedang memiliki suatu harapan besar, sering bertapa di gua tersebut,
untuk mengasah diri mereka. “Seingat saya, budaya pertapaan ini sudah ada sejak tiga generasi ke atas sebelum saya, sehingga kemungkinan jauh sebelum tahun tersebut juga sudah ada,” ujar Pakde Noto. Orang yang akan melakukan pertapaan ini tentunya harus mempersiapkan diri, baik secara mental maupun spiritual. Secara mental karena lokasi gua ini berada di lereng gunung. Tentunya menurut kepercayaanya berada di lokasi tersebut untuk
jalur pendakian sebelah selatan gunung. Gua tersebut berdampingan dengan makam para pejuang yang juga berada di lereng gunung Gondopurowangi. Hanya saja menurut Pakde Noto, antara makam dan gua tersebut tidak ada kesinambungan secara spiritual. Yang memiliki kesinambungan adalah antara gua dan Sendang Kuntul Putih yang diceritakan di awal. Jadi perkiraan ditemukanya Goa Gondopuro ini, juga akan melakukan nyekar, pembakaran dupa, dan juga meminta izin untuk melakukan pertapaan di pelataran gua. Biasanya aktivitas dibantu Pakde Noto, baru kemudian memulai pertapaan. Menjelang malam hari tugas Pakde Noto hampir selesai, biasanya sebelum tengah malam Pakde Noto akan turun, pulang ke rumahnya meninggalkan orang yang dia antar tadi. Maka berakhir pula tugas beliau dalam mengantar perjalanan spriritual orang tersebut.
bertapa sangat membutuhkan mental yang kuat. Sedangkan secara spiritual, orang yang datang membawa bekal doa yang akan dilantunkan oleh seseorang di dalam masa pertapaan tersebut. Lama pertapaan seseorang, pada zaman sekarang biasanya adalah 3 hari atau 7 hari. Biasanya orang akan dimulai pada pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, tetapi juga boleh di hari yang lain. Untuk sampai di lokasi gua, dapat menggunakan
hampir sama dengan tahun ditemukanya Sendang Kuntul Putih. Pakde Noto menjelaskan mengenai proses atau alur saat seseorang akan memulai pertapaan. Waktu untuk mengawali ritual ini biasanya adalah pada sore hari, jadi berangkat ke gunung sebelum waktu magrib datang, ketika jalan masih terlihat. Sesampainya di sana, orang tersebut
KEMBANGLIMUS
Budaya Kelahiran atau Brokohan oleh: M. Anjani Erwanudin
Menurut penuturan Mbah Suhadi, ketika seorang perempuan yang baru saja melahirkan seorang bayi dan menjadi seorang ibu niscaya mereka akan senang,terharu dan bahagia atas karunia ALLAH SWT yang telah di berikan kepada seorang ibu. Dari rasa senang,terharu dan bahagia tersebut maka seorang ibu akan mencurahkan rasa syukur kepada ALLAH SWT dengan wujud brokohan (tasyakuran) Maksud dan tujuan dari brokohan adalah ungkapan wujud rasa syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan keselamatan dan Kesehatan kepada seorang ibu dan anaknya yang baru dilahirkan kedunia.adapun waktu brokohan dilakukan pada saat setelah seorang ibu lahiran. Dari maksud dan tujuan diatas,akan ada beberapa proses yang dilakukan. Diantaranya Proses dan cara sesudah kelahiran Ketika bayi yang baru lahir akan dilantunkan suara adzan pada telinga kanan dan di lantuntunkan sura iqomat pada telinga kiri dan meniupkan pada kedua telinga sang bayi.Maksud dan tujuanya adalah agar yang di dengar pertama oleh seorang bayi adalah kalimat ALLAH SWT dan biar menjadi anak
yang taat beragama,soleh,solihah Menyiapkan tempat (kendil) untuk ari ari (beng beng) Wuwung (dilakukan oleh seorang ibu) Mandi wiladah (mandi besar untuk menghilangkan nifas bagi seorang wanita) Nifas (darah kotor setelah melahirkan) maksudnya adalah selama seorang ibu yang melahirkan selama 40-60 hari tidak boleh berhubungan suami istri Proses dan cara brokohan Membuat nasi slamet dan jenang sliringan (jenang abang putih) maksudnya adalah agar seorang ibu dan si bayi di berikan Kesehatan dan keselamatan selamanya dari ALLAH SWT Menaruh janur pada pintu rumah maksudnya adalah agar si bayi mendapat cahaya (nur) Menaruh daun balaran pada pintu rumah maksudnya adalah agar tidak di ganggu oleh hal apapun Menaruh atau mengikatkan lawe (sejenis sumbu kompor), yang berfungsi untuk menolak hal yang dapat menganggu
KEMBANGLIMUS
KEMBANGLIMUS
Selapanan Bayi
Tradisi Mitoni
oleh: M. Anjani Erwanudin
oleh: M. Anjani Erwanudin
Mbah Suhadi (75) bercerita bahwa setelah tali pusar sudah kering atau puput,maka akan dilanjutkan dengan acara kerik atau selapanan, yaitu ketika usia si bayi sudah masuk usia 1 bulan lebih 5 hari. Maksud dan tujuan kerik atau selapanan adalah wujud rasa syukur pada Allah, bahwa si bayi sudah berumur 1 bulan dan disertai dengan bacaan bacaan selawat Nabi Muhammad Saw.
Pada waktu sore hari sekitar jam 17:00 WIB saya diberitahu oleh teman saya, bahwa ada acara peringatan mitoni di Dusun Kemloko 4 Desa Kenalan. Sayangnya beda dusun, agak jauh dari tempat tinggal saya.
Di dalam lantunan lantunan selawat akan ada ritual tertentu yang dilakukan di antaranya, menggendong bayi dan berjalan memutar dengan arah berlawanan jarum jam ketika selawat nabi sedang dilantunkan. “Maksud dari ritual tersebut agar bayi mendapatkan keberkahan dan safaat dari Nabi Muhammad Saw,” kata Suhadi. Jika seorang bayi perempuan akan ditambahi dengan membawa payung, maksud dan tujuannya adalah agar si bayi tetap dalam lindungan Allah Swt. Mencukur rambut si bayi dan menaruhkanya pada wadah yang sudah berisi air dan di siramkan ke aruman si bayi. Mengusap si bayi dengan bedak yang telah di sediakan.
Akhirnya saya langsung pergi ke tempat teman saya yang rumahnya ada di Dusun Kemloko 4. Setelah saya sampai di rumah teman, langsung saya bertanya. Apakah nanti malam ada acara mitoni di dusun
mitoni untuk meminta dan berdoa kepada Allah Swt agar diberikan keselamatan dan kesehatan dan juga bila waktunya sudah lahir, agar diberikan kemudahan dan kelancaran. Proses dan cara mitoni Desa Kenalan adalah membuat makanan sedekah. Membuat tumpeng pitu tujuannya adalan peringatan jika usia kandungan sudah berusia 7 bulan.
Kemloko 4? Kata teman saya memang ada, tapi sayangnya acara itu hanya internal untuk jemaah. Akhirnya saya membujuknya untuk mendokumentasikan acara mitoni. Setelah malam hari dan mungkin telah selesai acara mitoni di tempat Pak Jemu, teman saya langsung mengirimkan hasil dokumentasi yang saya minta lewat WhatsApp. Setelah saya mempunyai hasil dokumentasi acara mitoni tersebut, pada waktu pagi harinya saya langsung ketempat Mbah Suhadi (75). Saya langsung bertanya pada Mbah Suhadi. Mbah Suhadi menjelaskan mitoni itu memperingati kalau umur kandungan sudah tujuh bulan. Tujuan
Membuat jenang abang maksudnya adalah simbol seorang perempuan (waktu datang bulan) jika di gunakan waktu acara mitoni.
Membuat jenang putih maksudnya adalah simbol seorang laki laki (sel telur) jika digunakan acara waktu acara mitoni. Membuat jenang baning maksudnya adalah jika bayi sudah lahir, pikiranya biar jernih dan bisa mengingat kepada Allah Swt. Membuat jenang baro maksudnya adalah wujud rasa berbakti kepada Allah Swt. Membuat jenang brojol maksudnya adalah jika sudah saatnya lahir,biar di berikan kemudahan dan kelancaran. Jajanan pasar (laraan) maksudnya adalah memberi sedekah kepada orang-.orang yang ikut memperingati mitoni. Liwet waras atau dalam wadah atau kendil, maksudnya adalah biar diberikan kemudahan dan kelancaran pada waktu lahiran.
Proses doa bersama terdiri mujadahan, membaca kitab ayat ayat suci alquran, surah lukman, surah sajadah, surah tabarok, surah waqingah, surah kahfi, surah maryam, surat an nisa, memecahkan nasi waras yang ada di dalam wadah atau kendil jika semua rangkaian acara sudah selesai semua. “Adat istiadat mitoni di Desa Kenalan itu biasa dilakukan dilaksanakan pada hari Sabtu Legi dan Sabtu Wage pada usia kandungan sudah 7 bulan. Tapi kalau untuk orang yang keturunan dari keraton atau darah biru atau orang luhur biasanya melakukan dan melakasanakan mitoni itu pada hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon dan itu prosesnya berat,” tutur Mbah Suhadi.
KEMBANGLIMUS
Kesenian Selawat Katolik oleh: M. Anjani Erwanudin
Orang mungkin mengenal selawat atau sholawat identik dengan agama Islam. Namun, di Desa Kenalan ada pula selawat yang dilakukan oleh umat beragam Katolik. Ada dua agama yang cukup banyak umatnya di Desa Kenalan, yaitu Islam dan Katolik. Namun, dari perbedaan keyakinan tersebut terbentuklah rasa toleransi yang tinggi antar sesama umat beragama. Dari beberapa dusun yang ada di Desa Kenalan, ada dua dusun yaitu Dusun Wonolelo dan Dusun Gempal yang hidup secara berdampingan dengan dua agama yang berbeda. Selain perbedaan dua keyakinan yang ada di Desa Kenalan ada juga kesenian yang berbeda menurut keyakinan masing-masing warga masyarakat. Jika warga Desa Kenalan yang beragama Islam mempunyai budaya kesenian Selawat Jawa Islam (Pitutur) dan bagi warga masyarakat yang beragama Katolik mempunyai Selawat Jawa Katolik (Pitutur). Dari dua kesenian budaya yang ada di Desa Kenalan, kali ini saya akan membahas atau menggali tentang Sholawat Jawa Katolik (Pitutur). Selawat Jawa Islam Kami mendatangi rumah Pak Suroto (60) malam hari. Saya dipersilahkan duduk oleh Pak Suroto, selanjutnya saya menyampaikan maksud kalau ingin tahu
lebih banyak tentang Selawat Jawa Katolik. Pak Suroto menuturkan, Selawat Jawa Katolik (Pitutur) adalah bacaan yang sumbernya berasal dari Kitab Injil yang diwujudkan dalam bentuk seni nyanyian (kidung) dengan iringan musik yang mengisahkan tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama adalah kisah/sejarah yang menceritakan tentang nabi-nabi sebelum kelahiran Nabi Isa dan perjanjian baru adalah kisah/sejarah yang menceritakan tentang Nabi Isa. Kesenian Selawat Jawa Katolik (Pitutur) yang ada di Desa Kenalan ada dua kelompok. Kelompok yang pertama dari Dusun Wonolelo dan kelompok yang kedua ada di Dusun Gempal atau Kemloko I. Di antara dua kelompok kesenian itu hanya kelompok Kesenian Selawat Jawa Katolik (Pitutur) Dusun Wonolelo yang sudah bisa mengisahkan sejarah perjanjian lama dan perjanjian baru. Sejarah atau awal mula Selawat Jawa Katolik (Pitutur) diturunkan dari orang tua zaman dulu dan Pak Suroto mengatakan bahwa beliau belajar dari tokoh kesenian desa lain. Untuk mempertahankan tradisi kesenian tersebut setelah melakukan sembahyangan menurut keyakinan agama Katolik Pak Suroto melakukan pelatihan secara bersama-sama dengan anggota kelompok kesenian secara rutin.
Majaksingi
KEMBANGLIMUS
Peringatan Malam Satu Suro
Menurut Bu Siti, Bu Wiwik, dan juga Bu Fitri selain masyarakat mengadakan doa bersama pada malam satu suro ini, juga ada beberapa masyarakat
Berpindah rumah Menurut orang jawa mau berpindah rumah pun harus memilih hari yang baik pula, karena tidak sembarangan hari memiliki hari yang baik, terkadang juga ada hari buruknya. Menurut orang jawa kenapa kita harus memilih hari yang baik, karena saat berpindah rumah itu maka kita berpindah segalanya baik dari aspek lingkungan masyarakatnya maupun lingkungan keadaan alamnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar orang yang berpindah rumah itu merasakan kenyamanan saat, disukai oleh masyarakatnya dan juga dapat beradaptasi dengan lingkungannya dengan baik. Menurut orang tua yang ada disini dalam berpindah
oleh: M. Anjani Erwanudin
Menurut Bapak Harno dan Ibu Siti malam tahun baru Islam biasanya disebut dengan malam “satu suro” dimana masyarakat jawa khususnya menyebutkan bahwa pada malam ini dianggap sebagai malam yang sakral, karena dengan pergantian tahun yang mana nantinya masyarakat terlebihnya orang Islam berharap dan berdoa bersama agar dengan pergantian tahun Islam ini perbuatan, perilaku, rejeki, jodoh, keadaan menjadi lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Yang pada saat ini Indonesia sendiri sedang mengalami musibah yaitu dengan adanya wabah penyakit covid-19 disini masyarakat berdoa agar wabah tersebut cepat menghilang dan kita semua bisa hidup dengan normal kembali seperti tahun-tahun sebelumnya.
kalah adalah salah satu pasangannya yang baru saja melaksanakan pernikahan atau bisa disebut salah satu dari pasangan tersebut akan mengalami musibah.
acara, baik acara pengajian, doa bersama, mujadahan sampai ke yang sakral, yang dahulu ada acara ritual dengan sesajen, mencuci keris atau benda yang dianggap sakral, serta adanya ritual berendam di kolam dari mata air langsung atau mandi dibawah sendang di tengah malam. Masyarakat Desa Majaksingi meyakini dengan mengadakan acara tersebut maka kita dapat selamat, terhindar dari berbagai penyakit, dan mendatangkan rejeki serta jodoh. Masyarakat Desa Majaksingi sendiri saat melaksanakan ritual tersebut diminta untuk meminta satu permintaan khusus, dimana permintaan tersebut dianggap yang akan dikabulkan dan didatangkan dalam waktu yang singkat Pada jaman dulu orang-orang pada malam satu suro ini mereka serempak mematikan atau memadamkan listrik yang ada di rumah mereka, dan penerangan yang digunakan pada malam satu suro ini diganti dengan oncor ataupun lilin dari minyak tanah. Karena identiknya suro itu dengan kata sepia tau sunyi, maka hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan kata suro tersebut yang berarti sepi atau sunyi. Dengan dimatikannya listrik maka penerengan akan sangat berkurang dn menjadikan suasana menjadi sepi. Dari situ dianggap masyarakat akan menjadi lebih fokus untuk berdoa.
yang meyakini bahwa di malam satu suro ini juga terdapat beberapa pantangan atau larangan yang harus dihindari agar kita semua tidak terkena musibah, pantangan atau larangan yang harus kita hindari diantaranya yaitu :
itu juga menentukan hari menurut kalender jawa, misalnya yang mau berpindah rumah lahir di hari rabu kliwon, maka disarankan juga tidak berpindah rumah di hari rabu kliwon, dan jumat pahing. Jadi, menurut perhitungan kalender jawa, weton tersebut tidak baik berpindah hari pada hari tersebut dengan alasan yang tersendiri, menurut perhitungan jawa.
Mengadakan pernikahan
Sering keluar rumah
Pada saat malam suro atau ketika memasuki bulan suro biasanya orang tua atau sesepuh di desa memberitahu atau melarang anak cucunya untuk melangsungkan pernikahan. Karena dipercaya dengan mengadakannya pernikahan itu akan membuat orang jawa yang memiliki kepercayaan sangat kuat terhadap ritual-ritualnya dianggap akan menyaingi ritual mereka, dan nantinya salah satu dari orang tersebut akan mengalami kekalahan. Dan sampai saat ini masyarakat jawa yang kental akan kepercayaan tersebut menganggap yang akan
Masyarakat jawa meyakini pada saat malam suro dilarang untuk sering keluar rumah karena dengan kita sering keluar rumah itu tidaklah baik karena akan mendatangkan musibah buruk yang ada dalam hidup kita. Maka dari itu kita sebagai masyarakat jawa dianjurkan untuk berdiam di rumah dan berdoa agar mendapatkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak hanya masyarakat Desa Majaksingi, dulu masyarakat di luar Desa Majaksingi pun ikut memeriahkan acara ini, mereka bersama-sama berjalan membawa oncor berjalan naik ke Suroloyo untuk melihat acara yang ada disana, ada yang mandi dibawah sendang, ada yang sedang bertapa, ada yang sedang memcuci kerisnya dan adapula yang sedang memainkan kerisnya dengan keris lawannya untuk menguji keris mana yang lebih kuat.
Menurut Bapak Takim selaku Takmir Masjid, Di Desa Majaksingi setiap malam suro atau setiap malam tahun baru Islam itu biasanya mengadakan
Pada zaman dahulu kata Bapak Andoko yang pada masa kecilnya sering melihat kegiatannya, masyarakat Desa Majaksingi sebagian besar pada
berjalan menuju ke Suroloyo untuk memeriahkan acara malam suro. Disana banyak teman-teman dari berbagai desa yang datang, untuk menyaksikan kegiatan yang ada di Suroloyo tersebut. Masyarakat dari desa lain bertemu dengan masyarakat desa lainnya pun di desa majaksingi, karena titik kumpul saat mau naik ke suroloyo adalah desa majaksingi. Mereka yang naik ke puncak suroloyo disarankan naik di sore hari agar saat tiba disana setelah magrib, karena acara yang ada di suroloyo akan berjalan dari setelah magrib sampai dengan pagi hari. Apabila naik pada malam hari pun diperbolehkan. Namun disayangkan akan ketinggalan acara tersebut. Saat naik masyarakat dihimbau untuk membawa oncor sebagai alat penerangan pada malam hari. Tradisi perayaan malam suro itu sudah ada sejak jaman dahulu dan itu sudah menjadi adat atau kearifan lokal khususnya di Desa Majaksingi ini, dulu sering mengadakan pengajian di masjid, lalu menyantuni anak yatim atau piatu yang belum baligh, acara pembuatan bubur suro, dan juga acara makan bersama. Adapun pengertian dari berbagai macam tersebut yaitu Pengajian atau mujahadan di masjid ini berguna untuk meminta doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk meminta pertolongan, atau meminta permintaan yang kita inginkan agar permintaan tersebut dapat terkabul. Menyantuni anak yatim atau piatu ini dilakukan oleh semua masyarakat yang mampu dan mau tidak ada unsur kewajiban, hal ini dilakukan gunanya untuk memberikan rejeki yang kita miliki kepada orang yang sangat membutuhkan. Ini juga memiliki tujuan agar rejeki yang kita peroleh itu semakin lancar, dan juga berkah. Acara pembuatan bubur suro, bubur suro ini dibuat
dari bumbu gulai yang sudah digoreng tanpa minyak atau biasa dinamakan di gongsong ditambahi dengan merica. Bubur sayur ini terbuat dadi bubur nasi biasa namun lauk yang tersedia itu ada 7 macam lauk wajib dan dipotong sedang 7 lauk diantaranya yaitu : tempe, tahu, tempe gembus,….. Makan bersama dulu acara makan bersama ini dilangsungkan di masjid atau tempat tertentu yang biasa digunakan untuk berkumpul, makan bersama ini di atas tampah yang di tengahnya ada nasi dan pinggirannya itu ada berbagai macam sayuran yang diletakkan di daun pisang. Makan bersama ini dilaksanakan dengan tujuan agar kita masyarakat satu dengan masyarakat lainnya itu semakin dekat dan erat hubungannya. Kalau jaman sekarang sudah berganti nama menjadi makan nasi tumpeng dengan adanya acara tambahan yaitu potong tumpeng. Ingkung adanya ayam ingkung itu memiliki makna yaitu “Ingsun Menkungkung” yang berarti tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa, dari adanya ingkung ini maka kita tidak melupakan bahwa segala nikmat yang telah kita rasakan itu tidak terlepas dari ridho Tuhan Yang Maha Esa. Pada zaman dulu banyak orang yang melakukan suronan atau yang biasa dikenal dengan orang mengadakan acara di rumahnya dengan membaca al-qur’an sampai selesai 30 juz dan juga bacaan-bacaan tahlil yang nanti nya setelah selesai baru diadakan makan bersama dan pulang membawa berkat atau biasa di kenal dengan membawa nasi ceting dengan sayuran dan lauknya. Acara ini dilaksanakan dari setelah ashar atau kurang lebih pukul 16:00 sampai dengan waktu subuh di keesokan harinya atau pukul 04:30. Namun semakin maju jamannya hal tersebut semakin luntur atau semakin punah, di Desa Majaksingi sendiri yang masih melakukan kegiatan tersebut hanya ada satu orang yaitu bernama Mbah Tirto yang bertempat
tinggal di Karangbawang Desa Majaksingi, beliau masih melaksanakan acara tersebut, beliau melaksanakannya dengan harapan acara tersebut tidak akan luntur atau bahkan hilang setelah beliu tidak ada nantinya. Beliau melakukan hal tersebut untuk memberikan contoh kepada anak cucunya agar nantinya budaya seperti ini terus ada dan tidak hilang dengan semakin majunya perkembangan zaman ini.
KEMBANGLIMUS
Watu Putih oleh: M. Anjani Erwanudin
Watu putih ditemukan sekitar tahun 1839. Dimana nenek dan kakek kita pun belum terlahir, “watu putih” atau dalam bahasa indonesia berarti batu besar yang berwarna putih. “watu putih” ini merupakan batuan murni dari alam, konon ceritanya gimana bisa dinamakan “watu putih” itu dikarenakan dulu selalu turun hujan, akan tetapi saat di gunung-gunung sebelahnya basah karena air hujan yang turun, tapi batu putih ini sama sekali tidak basah karena tidak terken air hujan. Batu yang tadinya hitam, tetapi tidak terkena air sama sekali, cuman terkena panas maka lama-lama berubah warnanya menjadi putih. Yang selanjutnya oleh nenek moyang kita dinamakan “watu putih”. Cerita ini sebagian besar di ceritakan oleh Bapak Toyib, merupakan anak yang kakek nya dulu pernah menjadi pelopor atau pelestari watu putih ini, agar tetap dijaga dan tidak ada orang yang berani berbuat semena-mena di watu putih ini. Pernah ada seseorang yang mecoba membuktikan perkataan orang yang dikenal watu putih itu tidak terkena air hujan. Dan orang tersebut membuktikan dengan cara tidur di atas batu saat hujan turun dan memang benar adanya batu putih ini tidak terkena air hujan, batu putih besar yang sangat jelas dilihat
dari kejauhan bahkan dari sawitan, dari srowol, dari ngnrajek batu putih ini sangat terlihat jelas dan dengan corak berwarna putih. Di samping watu putih ini terdapat tempat unik yaitu goa. Yang dimana goa ini belum diberi nama, goa ini sangatkah unik karena memang bisa menjadi jalan tembus dari satu dusun ke dusun lainnya. Apabila kita masuk dan menelusui goa tersebut maka kita dari watu putih yang terletak di Dusun Butuh akan tembus ke dusun atasnya yaitu Dusun Keruk. Pada jaman dahulu goa ini digunakan oleh prajurit-prajurit sebagai tempat persembunyian saat perang antara Pangeran Diponegoro dengan Jepang. Mereka bersembunyi di dalam goa ini, dan pergi pindah ke desa lainnya lewat goa ini. Selain itu, di sebelah timur goa ini biasanya dijadikan tempat nyepi bagi orang yang beragama nya tersebut, dahulu sebelah timur goa ini dijadikan tempat nyepi atau bertama oleh Bapak Hendrik salah seorang karyawan Hotel Amanjiwo yang berasal dari Bali, saat kita yang bergama Islam merayakan kegiatan atau Hari Kemenangan Pak Hendrik ini naik ke watu putih di samping goa yang bisa tembus ke dusun sebelahnya dengan cara
bertapa. Namun, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena Pak Hendrik sudah kembali ke provinsinya. Di watu putih yang besar ini mestinya terdapat banyak hal-hal mistik yang terjadi ataupun mitosmitos yang tersebar luas namun memang benar adanya. Diantaranya mitos-mitos atau mistik-mistik yang ada yaitu : Monyet putih Konon ceritanya pada jaman dahulu watu putih ini ditinggali oleh seekor monyet yang berwarna putih, dan dengan adanya monyet putih ini menyihir batu yang tadinya berwarna hitam menjadi putih dengan cara batu yang terkena paparan sinar matahari setiap harinya tidak terkena air hujan sama sekali selama beberapa ribu tahun lamanya. Monyet putih ini adalah monyet yang terkenal memiliki keahlian atau kesaktian beda dari monyet-monyet biasa. Dan dianggap seperti guru dari monyet-monyet yang ada di gunung menoreh ini. Namun, saat
ini keberadaan monyet putih ini tidak diketahui keberadaanya. Akan tetapi, meskipun monyet putih ini sudah tidak ada lagi di watu putih ini kesaktian atau keahliannya dalam melindungi anak-anak buahnya atau anak-anak didiknya dalam hal permonyetan ini masih sangatlah melekat di watu putih. Masyarakat setempat menganggap bahwa kesaktian yang ditinggalkan monyet putih ini untuk melindungi monyet-monyet lainnya dari musuh. Ribuan monyet Di setiap gunung yang ada mesti mempunyai banyak hewan baik hewan buas maupun tidak termasuk hewannya yaitu monyet, namun di watu putih ini tedapat banyak sekali monyet. Menurut pendapat (toyib) “nek pengen buktikke dewe ewonan monyet yo teko mlebu guwone sing ono ng wetan watu putih kuwi mengko lak ngerti dewe nek monyete ncen ono ewonan” namun monyetmonyet yang sudah masuk ke dalam goa atau naik ke atas puncaknya watu putih ini mereka adalah
monyet yang sudah sakti, gimana bisa dianggap sakti? Karena ceritanya monyet yang sudah masuk ke puncak putihnya itu tidak bakalan bisa terbunuh oleh manusia biasa, pernah ada seorang pemuda dari Tidar Magelang itu naik ke watu putih dengan membawa monyet peliharaannya, dia berniat untuk memancing monyet lainnya yang ada di sana untuk dibawa pulang. Akan tetapi, sebelum sampai watu putihnya sudah melihat monyet yang ada di situ dengan jarak kurang lebih 150 meter monyet yang dibawa pemuda tersebut sudah mati terlebih dahulu. Dan pemuda tersebut pulang kembali dengan penyesalan karena tidak tanya-tanya terlebih dahulu dan sudah diperingati akan tetapi tidak mendengarkannya alhasil mendapati sendiri. Menurut pendapat (Arip, 57) “monyet sing ws isoh munggah ng puncak e putih kuwi rabakalan isoh dibateni wong biasa ha mbok jajal wae kono, di tembak nganggo bedil jarak 10 meter we ra mati kok, metu getihe neng di lap terus ilang lorone” dengan kata lain monyet putih yang dulu ada itu memang ada keberadaannya dan meninggalkan kesaktian yang dimaksud yaitu dengan cara seperti itu agar monyet tidak punah. Akan tetapi, tidak sembarang monyet bisa naik ke puncak putih itu, karena ada juga beberapa monyet yang masih bisa terbunuh. Ular Besar Tidak perlu ke gunung pun kalau ular besar mesti memang ada keberadaannya, akan tetapi berbeda dengan ulang yang ada di watu putih ini, karena dianggap ular yang ada di watu putih ini bukan sekedar ular. Ada dua macam ular besar, yang satu ular besar biasa yang satunya ulang yang lebih besar dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya. Salah seorang dulu pernah ada yang berpedapat bahwa “ulone kuwi ki ulo pesugihan” artinya siapa orang yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan ular tersebut maka
orang tersebut akan dibantu dalam mencari rejekinya. Akan tetapi ular yang membantu orang tersebut tidak semata-mata membantu tanpa mengharapkan imbalan. Dalam pekerjaan apapun yang dibantu oleh makhluk halus pastinya akan membuat perjanjian untuk dijadikan tumbal atau makanan untuk ular tersebut. Dan ketika perjanjian tersebut dilanggar maka salah satu dari keluarga yang membuat perjanjian akan terkena musibah atau dampaknya. Konon katanya ada keluarga yang meminta bantuan kepada ular tersebut dan untuk memberikan makannya orang tersebut menumbalkan tetangganya untuk dijadikan makanan ular tersebut. Dan bagaimana caranya bisa dijadikan makanan ular, menurut cerita masyarakat yang pernah melihat, ketika ular yang besar itu lewat di samping rumahnya maka tidak lama salah satu orang yang ada di rumah tersebut meninggal dunia. Ada seorang warga Desa Majaksingi yang melihat ular yang sangat besar itu, dan ular itupun ketika setelah melewati rumah tersebut hilang tanpa meninggalkan jejaknya. Ada lagi seseorang yang bisa melihat ular tersebut yaitu Pak Harjo (Butuh) ketik beliau sedang mencari rumput untuk dijadikan makanan hewan peliharaannya beliau mencari di daerah watu putih tepatnya di depan goa tersebut. Ketika beliau mencari awalnya tidak terasa apa-apa, namun setelah lama kelamaan beliau seperti merasakan ada yang aneh dengan apa yang beliau injak atau dengan alas kakinya. Pak Harjo ini langsung melihat ke bawah dengan pikiran “ono opo karo lemah sing tak idak, kok lunyu karo mambu nglangu” dan akhirnya dilihatlah ke bawah namun yang beliau temui ternyata bukanlah tanah dengan rerumputan yang menutupi tanah seperti biasanya, akan tetapi yang beliau lihat dan yang diinjak kakinya adalah ular yang sangat besar dan sudah ketutup dengan rumput karena saking tuanya ular tersebut
dan hanya berdiam disitu. Alhasil Pak Harjo ini langsung berlari pulang ke rumahnya dengan sangat cepat karena merasa ketakutan. Akhirnya sesampai di rumah Pak Harjo ditanyai oleh istrinya. Dan Pak Harjo menceritakan kejadian yang baru saja dialami. Selang beberapa jam Pak Harjo mengalami kesakitan tidak bisa bergerak sama seperti dengan sakit struk dan tidak lama beberapa hari Pak Harjo ini meninggal dunia. Makhluk Halus Selain adanya ular dan monyet putih. Di setiap tempat apalagi tidak pernah ada orang yang meninggali, pasti ada sesosok yang meninggali tempat tersebut dan sosok itu tidak mudah dilihat oleh orang biasa. Menurut warga setempat yang bisa melihat hanya orang-orang tertentu yang peka dengan hal-hal halus seperti itu, dan menurut warga hal-hal halus yang tinggal disitu adalah “Genderuwo” dengan sosok yang sangat besar dan tinggi mata merah, dan berwarna hitam. Genderuwo ini tidak melihatkan sosoknya kepada semua orang yang melintas, dan Genderuwo ini biasanya keluar ketika malam hari. Pak Toyib warga setempat adalah seorang pedagang yang berjualan di pasar, dan biasanya beliau ngambil dagangan yang akan dijual ke atas karena rumah beliau di Dusun Pete berada dibawah dan mengambil dagangannya di Dusun Butuh yang ada di atasnya. Suatu hari Pak Toyib ini mengambil dagangannya pada malam hari menggunakan motor melewati watu putih ini, untuk langsiran pertamanya beliu tidak merasakan apa-apa yang aneh, namun untuk langsiran keduanya setira jam 23:00 ketika turun dari Dusun Butuh, beliau melihat sesosok yang hitam besar dengan mata merah dan menutupi jalannya untuk pulang, alhasil Pak Toyib ini hanya memberhentikan motornya tepat di tikungan watu putih ini, dan kemudian menurunkan dagangannya dan hanya berdiam untuk beberapa saat tanpa
melihat sosok tersebut dan hanya berdoa semoga sosok tersebut bisa segera pergi dan Pak Toyib bisa melanjutkan perjalanannya. Selang beberapa menit sosok tersebut pergi, karena dianggap orang tersebut tidak ketakutan dan hanya diam saja. Setelahnya Pak Toyib bisa kembali melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumahnya. Dan menurut Pak Toyib, kenapa sosok tersebut muncul karena Genderuwo ini merasa terganggu dengan adanya orang ynag berlalu lalang di malam hari. Dimana tidak semua orang mempunyai untuk berlalu lalang di malam hari, terlebih lagi setelah mendengan cerita-cerita kalau lewat watu putih dimalam hari pasti ada yang mengganggu. Itulah kisah cerita mistis-mistis dan asal usul nama WATU PUTIH ini.
gajak masyarakat membuat tarian, pakaian, hingga musik yang menyerupai kehidupan suku Dayak.
KEMBANGLIMUS
Topeng Ireng Simolodro oleh: M. Anjani Erwanudin
Desa Majaksingi, salah satu diantara 20 desa yang ada di Kecamatan Borobudur. Berjarak 3 km dari Candi Borobudur ke arah selatan. Tepatnya di garis lintang -7.6391674 , garis bujur 110.2150226, dengan ketinggian 455 Mdpl. Desa yang terdiri dari 12 dusun, diantaranya Dusun Krajan I, Krajan II, Kiyudan, Pete, Karanggawang, Pakem, Wonokriyo, Kerug Munggang, Kerug Batur, Kerug Desa, Kapuhan, dan Butuh. Suasana pedesaan yang masih asri dikelilingi perbukitan Menoreh di sisi selatan, Desa Majaksingi juga memiliki potensi wisata alam, kuliner dan budaya. Salah satu budaya yang ada adalah kesenian rakyat Dayakan atau lebih dikenal dengan nama Topeng Ireng Simolodro. Dayakan atau topeng ireng adalah kesenian tradisional yang berkembang di daerah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Topeng Ireng yang juga dikenal sebagai kesenian Dayakan ini adalah bentuk tarian rakyat kreasi baru. Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, kesenian Topeng
Ireng mulai berkembang di tengah masyarakat lereng Merapi Merbabu sejak zaman penjajahan Belanda dan dilanjutkan perkembangannya tahun 1960-an.Pada saat zaman Pemerintahan Belanda, pemerintah jajahan pada masa lalu melarang masyarakat berlatih silat sehingga warga mengembangkan berbagai gerakan silat itu menjadi tarian rakyat. Tarian itu diiringi dengan musik gamelan dan tembang Jawa yang intinya menyangkut berbagai nasihat tentang kebaikan hidup dan penyebaran agama Islam. Hingga pada akhirnya dayakan atau topeng ireng masuk ke desa-desa, salah satunya adalah Desa Majaksingi. Menurut informasi yang didapat dari narasumber yaitu Bapak Budi Ismoyo, awal mula dayakan atau topeng ireng masuk ke desa majaksingi sekitar pada tahun 1950-an. Berawal dari simbah-simbah dulu yang menjadi romusha ke pelosok-pelosok hutan dan melihat langsung kehidupan suku dayak. Dari situlah simbah-simbah kembali dan memulai men-
Tarian topeng ireng di desa majaksingi sendiri biasa dimainkan pada malam hari di acara-acara seperti syukuran, khitan, nikahan, tapi tidak jarang juga sekarang-sekarang ini tarian tersebut dimainkan di siang hari untuk acara penyambutan tamu dan sebagainya. Para penarinya didominasi oleh laki-laki, dengan umur 10 tahun sampai dengan 40 tahun. Atribut yang digunakan oleh para penari dalam pertunjukkan ini pada awalnya menggunakan kuluk atau tutup kepala yang terbuat dari blengker atau lingkaran kepala yang berapa di dalam caping bambu yang di tambah lancur atau bulu ekor ayam. Untuk atribut di badan menggunakan janur kuning yang dirangkai melingkar dipakai di leher dan pinggang. Seiring berjalannya waktu, atribut yang digunakan pun mengalami perubahan dari awalnya menggunakan janur kuning, karung goni, tali rafia yang di suwiri dan yang terakhir digunakan saat ini .
kesan indah. Alat musik utama yang digunakan untuk mengiringi tarian topeng ireng adalah kemplak/ dodok, jedor, kempong. Alat musik kemplak, berbentuk seperti tabung berukuran 50 cm dengan diameter 30 cm yang terbuat dari batang/glugu pohon aren yang dilubangi dan ditutup salah satu sisinya menggunakan kulit sapi/ lembu. Jedor serupa dengan kemplak tapi ukuran lebih besar seperti bedug masjid. Kempong atau bende, terbuat dari kuningan berbentuk seperti piring cekung, berjumlah tiga buah dengan nada suara yang berbeda. Seiring berjalan waktu terdapat improvisasi dalam penggunaan instrumen. Ditambah dengan dengan
Wajah para penarinya pun dilukis serupa memakai topeng. Dahulu karena masih terbatas, warna yang digunakan hanya hitam yang didapat dari arang kayu dan putih yang didapat dari kapur. Pada akhirnya seiring kemajuan, sekarang mulai ditambah warna lain seperti warna orange untuk menambah
alat musik saron dan rebana. Tembang yang dinyanyikan untuk mengiringi para penari, menggunakan tembang bahasa jawa dan syair-syair islami. Karena mengikuti perkembangan zaman juga sisipkan tembang campursari jawa modern. Di dalam pertunjukkan topeng ireng ini ada urut-urutannya atau sering disebut rodat. Rodat pertama yaitu tarian pembuka oleh penari dayak
atau topeng ireng, disusul keluarnya kewan-kewan atau kawanan hewan buas. Diperankan oleh penari dengan memakai ndas-ndasan atau penutup kepala berbentuk kepala hewan seperti harimau, kerbau, badak, ataupun kuda. Selanjutnya dilakukan persiapan untuk melakukan arak-arakan oleh semua penari dan penabuh gamelan ditambah beberapa orang yang melakukan obar-abir / atraksi api. Setelah semua persiapan selesai semua rombongan berangkat ke titik mulai arak-arakan dengan jarak antara 200-300 meter. Adapaun formasi arak-arakannya, obar-abir berada di posisi paling depan, disusul penari Dayak atau topeng ireng, kewan-kewan, dan para penabuh alat musik berada di paling belakang. Sesampainya rombongan sampai ditratak atau tempat pertunjukkan, obar-abir dan penari Dayak langsung masuk, menyisakan para penari kewan-kewan. Dalam pertunjukkan ini para penari tidak sedikit yang mengalami kerasukan atau dalam bahasa jawa sering disebut ndadi. Di waktu ini para penari yang kerasukan mulai meminta sesaji yang sudah dipersiapkan diatas eblek atau nampan yang terbuat dari bamboo, sebelumnya. Adapun isi sesajen itu sendiri diantaranya kembang macan kerah yang terdiri dari bunga mawar merah dan putih, kanthil dan kenanga, buah-buahan, pisang mas, jeruk, dan beberapa jenis minuman seperti satu gelas kopi hitam tanpa gula, satu baskom air mawar, degan ijo, terkadang juga terdapat dawet. Makna dari adanya sesajen tersebut adalah . . . . . . Setelah para penari kerasukan, biasanya di timbul atau diobati agar tersadar kembali. Orang yang melakukan ini biasanya orang punya “ilmu” dalam segi spiritual. Setelah semua pemain tersadar biasanya dilakukan pertunjukkan terakhir yaitu montolan, tarian dengan unsur lelucon, bisa dari gerakan ataupun suara.
Dari semua rangkaian disetiap pertunjukan dayakan atau topeng ireng pasti ada persiapan terlebih dahulu. Mulai dari persiapan non spiritual seperti latihan terlebih dahulu, para penari maupun penabuh alat musiknya. Dan persiapan sepriritual yaitu berdoa kepada sang pencipta agar pertunjukkan yang akan dilakukan berjalan seperti yang diharapkan. Satu lagi yang unik disini adalah kesenian topeng ireng ini melibatkan anak kecil untuk ikut dalam pertunjukkan yang bertujuan melatih mental mereka, mengenalkan mereka terhadap budaya yang ada di tempat mereka tinggal, dan yang paling penting adalah agar terus beregenerasi kesenian rakyat topeng ireng di Desa Majaksingi.
KEMBANGLIMUS
Kali Sumur oleh: M. Anjani Erwanudin
Watu jaran, begitu Pak Suyut menyebutnya. Salah seorang dari Dusun Pakem,narasumber yang saya temui. Beliau mulai menceritakan sejarah watu jaran, yang mana watu jaran
dulu dengan sekarang sangat berbeda. Kuda zaman dulu sudah punah, sekarang pun hanya ada 1001 orang yang masih mempunyai kuda tersebut.
Pada zaman dahulu saat peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Jepang, tepatnya pada tahun sekita 1840, sebelum adanya peperangan lebih lanjut antara pahlawan Indonesia dengan Jepang maupun Belanda. Saat perang
Dengan kendaraan kudanya Pangeran Diponegoro beserta prajuritnya pergi meninggalkan musuh dengan menaiki kuda tersebut, sesampainya di Desa Majaksingi, tepatnya di Dusun Pakem itu terdapat sebuah sendang yang pada saat itu digunakan untuk mandi, sebagai sumber air
terjadi Pangeran Diponegoro ini selalu membawa keman-mana hewan peliharaannya sekaligus kendaraannya Pangeran Diponegoro yaitu kuda. Orang-orang jaman dahulu terlebih lagi pahlawan atau orang-orang bangsawan itu kendaraannya bukan seperti sekarang yeng menaiki motor atau mobil, kereta api pesawat ataupun lainnya. Melainkan dengan naik kuda. Jaman dahulu, orang yang pergi kemana-mana naik kuda itu sudah jelas dikatakan dengan orang bangsawan atau seseorang yang mempunyai keturunan darah biru, dikarenakan harga kuda pada jaman dahulu itu sangatlah mahal, tidak sembarangan orang bisa membeli kuda ini. Dan terlebih kuda pada jaman
atau mata air yang bisa digunakan untuk masak, karena Dusun Pakem ini merupakan dusun yang paling atas namun disisi sebelah barat desa. Tepat di Dusun Pakem atau puncak Dusun Pakem ini terdapat sendang atau seperti curug atau air mancur namun tidak tinggi. Tingginya curug ini hanya sekkitar 2-3 meter dari kolam yang ada dibawahnya. Saat sesampainya di curug tersebut, Pangeran Diponegoro ini memutuskan untuk berhenti sejenak untuk membersihan badan / mandi dan juga membersihkan atau memandikan kudannya agar kudanya lebih segar dan juga bisa meminum terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke yang lebih jauh lagi. Stelah beberapa
KEMBANGLIMUS
Mapati, Mitoni, dan Puputan oleh: M. Anjani Erwanudin
saat Pangeran Diponegoro beserta prajuritnya melanjutkan kembali perjalanan mereka untuk menghindari musuh atau mencari tempat yang aman untuk berlindung. Atau lebih tepatnya mencari tempat yang tepat untuk mereka melawan musuh tersebut. Sekian lamanya curug tersebut masih tetap digunakan tanpa adanya hal-hal aneh yang mengganggu masyarakat ketika melakukan kegiatan sehari-harinya disana. Suatu ketika saat musim kemarau yang panjang tibacurug tersebut lamalama airnya juga hanya sedikit karena banyak orang yang mengambil air dari curug ini, tanpa adanya air hujan yang turun dengan sendang yang airnya diambil secara terus menerus maka secara logika air akan habis atau surut. Setelah air tersebut surut maka air itu keruh karena tanah atau lumpur yang ada di bawah kolam semakin jelas terlihat dan apabila ada yang mandi masuk ke dalam kolam maka air tersebut akan keruh karena lumpur yang ada di bawah mengual. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya sendang tersebut tidak digunakan karena sudah lama kering menjadikan sendang
tersebut sungut dengan banyaknya rerumputan yang sudah menutupi sendang ini sehingga masyarakat setempat sudah tidak lagi melakukan kegiatan sehrai-harinya di sendang ini. Suatu ketika, ada salah seorang warga yang sedang mencari rumput untuk makan hewan ternaknya tetiba terdengar suara kuda yang begitu keras.
Masyarakat Desa Majaksingi sampai sekarang masih melakukan tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan yaitu ttradisi mapati, mitoni dan puputan. Informasi mengenai tradisi tersebut kami dapatkan dari narasumber yaitu Bapak Harno. Seorang yang dituakan di Desa Majaksingi. Mapat merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat bulan keempat masa kehamilan. Upacara mapati di dalam Islam saat usia kandungan memasuki usia empat bulan dimana sang jabang bayi sudah ditiupkan rohnya, saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) di mulailah kehidupan dengan ruh, dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai akhirat. Mitoni adalah salah satu tradisi dalam masyarakat Jawa. Berasal dari kata mitoni, yang berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Upacara ini dilaksanakan ketika usia kandungan memasuki 7 bulan kehamilan. Acara mitoni adalah sebuah doa agar calon ibu dilancarkan selama mengandung hingga melahirkan janin. Mitoni ini juga disertai doa agar kelak si anak menjadi anak yang baik dan berbakti
kepada orang tua. Puputan merupakan tradisi yang dilakukan dalam rangkaian kelahiran seorang anak. Upacara ini menandai putusnya tali pusar si bayi (puput artinya lepas). Waktu untuk penyelenggaraan upacara ini tidak ada ketentuan yang pasti, hal ini bergantung pada lama dan tidaknya tali pusar si bayi lepas dengan semdirinya. Tali pusar bayi dapat lepas sebelum seminggu bahkan bisa lebih dari seminggu. Sehingga keluarga si bayi harus siap mengadakan upacara puputan jika sewaktu-waktu tali pusar tersebut lepas. Menurut narasumber, dalam tradisi mapati, mitoni atau puputan ini, ada dua hal yang dapat diambil pelajarannya, yakni tradisi berdoa dan tradisi bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir. Tradisi berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak sehat, yang dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung
di dunia dan di akhirat. Kemudian, tradisi sedekah. Adalah sempurna jika dalam tradisi mapati ini selain meminta sejumlah orang untuk berdoa dan mendoakan, juga berbagi rasa syukur dengan memberi berkatan makanan atau yang lainnya kepada masyarakat sekitar. Selain memohon agar janin senantiasa berkembang dan dapat lahir ke Dunia dengan selamat dan dengan takdir yang baik, juga melatih janin sedari dini untuk belajar berbagi kepada sesama. Prosesi acara mapati, mitoni, maupun puputan di Desa Majaksingi biasanya diselenggarakan dengan mengadakan kenduri atau selamatan yang dihadiri oleh kerabat dan tetangga terdekat. Dengan dipimpin oleh Kyai membaca doa. Dan diakhiri mebagikan nasi berkatan. Yang isinya ada nasi putih, lauk dan sayur. Yang berbeda adalah puputan, dimana ada tambahan yaitu bubur merah dan putih. Bukan tanpa alasan bubur itu diberi warna merah dan putih. Menurut narasumber yang kami tanya, ada dua alasan, yang pertama adalah warna merah melambangkan sel telur pada wanita, sedangkan warna putih diibaratkan sebagai sperma pada pria. Ketika keduanya bertemu, maka akan lahir seorang bayi mungil yang membanggakan. Makanya disajikan juga di dalam satu wadah. Untuk alasan kedua warna putih melambangkan doa dari kedua orangtua. Sedangkan warna merah juga berarti melambangkan seorang ibu harus memaafkan kesalahan anaknya di masa mendatang. Disajikan dalam satu wadah yang memberikan harapan dari orangtua untuk si bayi yang baru lahir. Hal ini juga menjadi rasa syukur dari keluarga yang mendapatkan anggota baru kepada tuhan. Filosofi bubur merah putih ini juga sebagai keberanian dan kesucian sama seperti simbol bendera negara kita
merah putih. Terakhir adalah pembagian bubur merah putih yang merupakan simbol dari pembagian rezeki kepada sesama karena telah diberikan seorang anak sebagai pelengkap dalam keluarga. Tidak lupa bayi digendong berjalan, orang-rang melantunkan solawat nabi dan biasanya kepala bayi tersebut ditiup.
KEMBANGLIMUS
Slametan Nethon oleh: M. Anjani Erwanudin
Slametan nethon merupakan hal yang dilakukan untuk memberikan doa dari orang tua kepada anaknya, dilakukan setiap nethon anaknya. Misalnya lahirnya pada hari selasa kliwon maka nethonnya setiap selasa kliwon. Di desa kami, masih banyak yang melakukan tradisi ini kebanyakan yang melakukan tradisi ini ntuk anaknya. Yang biasanya dilakukan dengan membuatkan makanan yaitu klubanan dan juga jenang merah dan putih, nethon ini merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan setiap selapan atau 35 hari sekali. Nethon ini tidak ada maksimal ummur berapa sudah tidak di nethoni. Namun, itu terserah kepada orang tua yang membuat acara Saat itu saya tanya kepada Mbak Wiwik karena dulunya sering memberikan slametan nethon kepada anaknya yang bernama Damar Saya “mbak wik, nethon ki opo to karo kepripun?” Mbk wiwik “nethon ki yo opo yo istilahe ki koyo nylameti, misal kowe ki lahire ng dino minggu wage ya ng pendak sasi kuwi nek ono dino minggu wage kuwi jenenge nethone kowe” Saya “ lha terus nethone niku di pripunke to mbak ?”
Mbak wiwik “ya nethon ki kowe koyo di slameti kae lho istilahe koyo nek ulang tahun, neng nek nethon ki ng dinone koe lahir” Saya “terus niku carane pripun?” Mbak wiwik “ya nek mbiyen pas aku nganu Damar kae, kan iseh ono mbah. Mbiyen nek nethon ki di gawekke sego kluban ngisore kei beras karo duwit receh. Njur didoani njur di bagikke ng tangga-tanggane” Saya “lha kuwi duwit recehe piro mbak? Karo ngisore klubanan ki berarti misale nganggone tampan yo njur tampan, duwit ro beras gek klubanane mau kae yo?” Mbak wiwik “ora ngono carane ki, dadi lak nganggone ki tampan koyo sing sok ge gowo wedang kae nah kae ono duwit karo beras njur ono godong gedhang e, dilemeki godhong gedhang gek klumabanane mau nduwure kei ndok godogan” Saya “ owalah ngoten to mbak wik carane, terus artane receh ki pinten? Di tentukan jumlah e napa pripun ?” Mbak wiwik “yo duwite receh ki yo saksake sing arep ngekei ora ono batesane meng dikei lima
ngatus yo oleh, nek sing suwih arep dikei recehan cacahe sejuta yo oleh, saksak e kuwi ki, kuwi ki wong meng kanggo pelengkap ngono lho istilahe dadi ki saksake nek” Saya “ terus carane lebar ngoten niku njur di doani langsung di maem nggih mbak wiwik?” Mbak wiwik “mbiyen nek ono mbah ki sakdurunge di maem klubanane mau kae ki di delehke ng peturonane bocahe sing arep di nethoni, karo di doani njur nek ws rampung gek di bagikke tanggane ro di pangan.” Saya “lha kok di delehke peturonane nopo mbak wik? Terus doane pripun? Kalih napa kok di bagikke tanggane?” Mbak wiwik “nek di delehke peturonane aku yo ra genah le nopo kuwi mbiyen mbah sing delehke aku lakyo mung manut mbah sing doakke to yoan. Doane yo dongo mugo-mugo anake kuwi slamet, sehat bagas waras. Yo le dibagikke tanggane ki yo le mergane gawene akeh, nek gawene sitik yo di pangan dewe. Kuwi ki di bagikke lakyo le gawe akeh to, mososk gawe keh tanggane ora melu ngrasakke mengko diarani kemaruk tur pelit.”
Jadi, begitulah ceritanya saat saya bertanya kepada mbak wiwik mengenahi nethon yang biasanya dilakukan oleh tetangga-tetangga saya, dan yang dilakukan oleh nenek saya pada jaman dulu ketika beliau masih sehat untuk memperngati hari nethon saya. Yang gunanya untuk meminta keselamatan, kesehatan baik jiwa dan raganya.
Nama
: widiyati
Umur
: 45 tahun
Pekerjaan
: petani
Alamat : Krajan, RT 002 / RW 001, Krajan 1, Majaksingi, Borobudur
KEMBANGLIMUS
Pengobatan dengan “Batu Pusaka” Kayu Setigi oleh: M. Anjani Erwanudin
Sore hari, saya sengaja datang ke salah satu rumah warga di Dusun Pakem, Desa Majaksingi. Sebelumnya saya mendapat informasi dari ibu saya, yang mana di Dusun Pakem ini, terdapat salah satu warganya memiliki keahlian dapat mengobati atau lebih tepatnya mengeluarkan bisa atau racun ular dengan suatu media tertentu. Rumah yang saya datangi ini adalah milik Pak Yasro, begitu orang-orang memanggilnya. Alasan saya datang sore hari, karena pekerjaan beliau ini juga petani, jadi menurut saya kemungkinan besar waktu sore adalah waktu yang tepat untuk bertamu ke rumah beliau. Benar saja, sewaktu saya datang, beliau juga sehabis pulang dari sawah. Lantas mejelaskan maksud dan tujuan saya datang, yang mana ingin mencari tahu mengenai pengobatan yang dilakukan oleh beliau. Dengan senang hati beliau menyambut kami. Tiba-tiba membuka lemari dan mengambil sesuatu. “Ha nggih niki alate kulo”. Kata Pak Yasro sambil menunjukkan suatu bungkusan kain kecil berwarna putih. Sembari membuka isi bungkusan tersebut, yang saya pikir itu adalah batu dan ternyata bukan. “Niku watu?”. Tanya saya dengan penasaran. “Hudu mas, iki kayu”. Jawab Pak Yasro Semakin tambah penasaran, saya meminta beliau untuk menceritakan lebih lanjut. Benda tersebut adalah Kayu Setigi, yang menjadi media untuk mengeluarkan racun ular dari tubuh manusia. Pak Yasro, menjelaskan juga cara kerja dari benda ini dalam mengluarkan racun ular. Pertama adalah merendamnya di dalam gelas berisi air, sambil dibacakan doa yaitu tawasul kepada kanjeng Nabi Muhammad, sohabat qodir jaelani, sohabat papat sunan bonang, mbah maribongso, mbah ki hajar, mbah kyai mojo, dilanjut membaca
alfatihah sebanyak 3 kali, surat ikhlas 3 kali, alfalaq 3 kali, annas 3 kali, dilanjut istigfar 3 kali, syahadat 3 kali, bismillahi masyaallah lahaula walaquwata illabillah 3 kali, selanjutnya pasrah kepada Gusti Allah. Selanjutnya benda tersebut ditempelkan ke bekas gigitan ular, menurut beliau lama nempel benda tersebut bisa mencapai waktu 5 menit atau lebih tergantung banyaknya racun ular yang ada dan jenis ular yang menggigit. Menurut beliau ada beberapa jenis ular yang berbahaya diantaranya ular welang, gadung, dumung. Menurut Pak Yasro, beliau mendaptakan Kayu Setigi tersebut dari Alm Mbah Gubuk yang sebelumnya adalah milik Pak Taslim dari Desa Tuksongo. Menurut beliau juga Kayu Setigi ini bisa juga termasuk benda pusaka, karena dulu waktu mendapatkannya dengan cara menarik dari alam ghaib. Pak Yasro yang saat ini usianya menginjak 65 tahun, menceritakan sedikit awal mula bagaimana beliau diberi benda tersebut sekitar 30 tahun yang lalu bahkan lebih. Awalnya beliau sowan kerumah Alm Mbah Gubuk, dan Mbah Gubuk memperlihatkan tiga benda pusaka, slah satunya adalah kayu setigi teersebut. Ketiga benda tersebut dimasukkan ke gelas berisi air dan jari mbah gubuk dimasukkan ke salah satu gelas tersebut yaitu gelas yang berisi kayu setigi. Kayu setigi tersebut langsung menempel ke jari Mbah Gubuk sewaktu dimasukkan kedalam gelas. Dari situlah Mbah Gubuk memberikan benda tersebut kepada Pak Yasro. “Iki nggo koe wae, Yas”. Begitulah Pak Yasro menirukan perkataan Alm Mbah Gubuk sewaktu memberikan benda tersebut.
Menurut beliau tidak ada perawatan khusus untuk benda pusaka tersebut, hanya dibersihkan dengan lap dan dibacakan doa seperti doa untuk mngobati tadi. Tidaj ada hari tertentu juga untuk memberishkannya. Tapi bisanya adalah sehabis solat magrib.
KEMBANGLIMUS
Pak Yasro menceritakan lebih lanjut, benda tersebut tidak hanya dapat mengobati dari racun ular, tetapi bisa juga gigitan kalajengking, kelabang dan lebah. Bahkan yang tidak terlihat, dalam arti gigitan ular ghaib atau jadi-jadian. Karena menurut beliau, pernah ada pasiennya datang, tergigit ular tetapi dalam mimpi dan ada bekas gigitannya. Dari situ Pak Yasro menggunakan kayu setigi tersebut untuk mengobatinya, dan ternyata sembuh.
oleh: M. Anjani Erwanudin
Begitu sudah lamanya Pak Yasro memiliki benda pusaka tersebut semenjak diberi oleh Alm Mbah Gubuk. Beliau sampai lupa sudah berpa banyak orang yang beliau bantu obati. Karena menurut beliau, ikhlas karena Gusti Allah hanya ingin membantu lewat perantara benda pusaka Kayu Setigi tersebut.
Pohon Beringin
Di setiap desa tentunya memiliki pohon besar yang dimana rata-rata pohon itu adalah pohon ringin. Pohon ringin ini menurut warga setempat di sebut dengan “WIT RINGIN” rata-rata pohon ringin ini tumbuh besar dan berakar yang besar juga. Setiap tempat atau pasti memiliki penunggunya termasuk pohon ringin ini yang sudah lama tumbuh. Menurut narasumber yang terkenal dengan nama Bapak Sol ini pohon ringin sebelah timur desa yang sekarang hanya tertinggal ceritanya saja mempunyai umur yang sudah ribuan tahun. Karena waktu bapak sol ini masih kecil pohon ringin ini sudah tumbuh besar. Pohon ringin ini sekrang hanya tinggal ceritanya saja dikarenakan sudah di tebang karena memang sudah teralu besar dan menghalangi jalan masuk menuju rumah warga maupun makam desa. Pohon ringin sebelah timur desa menurut bapak sol adalah wit ringin yang terkenal sangat angker atau menyeramkan dibandingkan dengan pohon ringin lainnya, beliau berkata saat saya tanyakan silsilah wit ringin bapak sol berkata “ha nek wit ringin sing palung medeni ki yo sing ng jejer omahku kae, neng nek saiki ws raono tapi sing nunggu iseh ono ng kono,mbiyen ki terkenal le medeni, ora kabeh wong wani do njupuki kayu ranting sing do tibo ng ngisore mergane nek ora omong ro sing nunggu teko di jupuk yo kono nek mbengine pengen di
dodoki omahe” dari pendapat bapak sol yang begitu maka saya bertanya lebih dalam lagi apa saja yang terjadi dan apa saja yang dilakukan pada orang dahulu agar tidak tergangggu dan fungsinya dari pohon ringin sendiri itu apa, kok sampai orang yang hanya mengambil ranting yang sudah kering di bawahnya kalau tidak ijin terlebih dahulu tidak di perbolehkan ambil. Lalu saya bertanya lebih dalam lagi dengan bapak sol ini. Billa “lha kok saget sing paling medeni le keptipun to pak sol?” Pak Sol “lha yo nek jaman ndisik ki lakyo deso iki iseh sepi ora koyo saiki, wetane s kalen terus sawah kabeh. Lha tekan saiki lak iseh sawah to, neng nek jaman ndisek aku cilik kuwi sawah e ora ketok padang ko saiki iseh peteng. Lampu-lampu barang isoh arang ora koyo saiaki gemerlap-gemerlap. Ws wit ringin ng pojokan deso dalan arep mlebu ng sarean sisan. Jaman mbiyen aku di ceritani karo mbah ki ratau oleh dolanan ng cedak wit ringin kuwi kok” Billa “lha wit ringin e niku sampun umur pinten to pak sol?” Pak Sol “ah yo ws suwi tenan ws ratusan tahun wong aku seh cilik yo wite ws gede tenan “
Billa “walah kulo malah mpun mboten menangi niku kokan wit e nggih”
Pak Sol “ah yo ora meng pendak sasi ngono kuwi tok”
Pak Sol “haiyo wong jaman aku gek ndue anak siji kae wit e di tebang le ngaling-aling i dalan karo le ws selot tuo to, bahaya nek udan karo angin omah sing ng jejere”
Jadi begitulah ceritanya pohon ringin yang terkenal dengan ke-angkerannya dan pohon ringin itu di sebut dengan penjaga atau satpam desa Majaksingi, karena saat ada maling pasti orang yang mencuri tersebut tertangkap dan belum pernah lolos. Jadi pada jama dahulu pohon ringin ini di sebut dengan satpam wetan desa majaksingi. Namun sekarang pohon ringin ini hanya tinggal ceritanya saja, akan tetapi walaupun pohonnya sudah tidak ada, itu juga tidak menandakan bahwa bisa sembarangan dengan tempat yang dulunya sebagai tempat pohon ini tumbuh. Dikarenakan pernah kejadian pada saat pemasangan pam air itu, tidak bisa di pasang, pipa air atau pralonnya selalu bocor, dan ada salah satu warga yang rumahnya disamping tempat untuk memasang pam air itu tertempel makhluk tak kasat mata, kata pak sol penunggunya itu marah karena belum meminta ijin terlebih dahulu, dan kemudian setelah tanya ke saya (pak sol) saya kasih
Billa “niku ceritane pripun to kok saget medeni niku, riyen damel napa to? Kalih sok disukani sesaji mboten nggih?” Pak Sol (beliau setelah saya tanyakan hal seperti ini lalu langsung menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi pada jaman dahulu) “yo kuwi ki mbiyen akeh sing sok do tempat jejaluk, jejaluk ki yo maksud e njalu nomer-nomer ngono kae lho, nomer togel. Neng ora kabeh wong dikei nek sing atine ora resik karo niate elek yora bakalan dikei nomere, neng nek sing atine resik niate apik yo njur sok di werohi. Neng sing mesti mbiyen nek ono maling ki, nek metune seko ndeso lewat wetan ws ra bakalan kecekel. Wong nek tekan gon pas wit ringin kuwi malinge di puter-puter mlaku ngelilingi wit ringin neng ngertine malinge kuwi mlaku ng ndalan lurus lungo seko deso majaksingi, wong njur nek ono maling metune lewat wetan ndeso kuwi mesti le kecekel wonge utowo malinge kuwi. Neng ya kuwi mau nek gek ora kebeneran sing penunggune kuwi sok rusuh ndodoki omah e uwong ki di dodoki. Nek di kei sesaji yo meng nek setahun ki peng 10 tok dadi ngepasi karo sasine misal koyo sasi suro, saparan, mulutan ngono kuwi. Kuwi yo dikei sesajine madakke karo bulane kuwi. Neng kerepkerep e yo meng dikei sego kluban kuwi niate yo ben wit e ki kokoh ora nibani omah ng jejere tur yo karo sing nunggu kuwi ora gawe rusuh marang wong sing ng sampinge.” Billa “berarti mboten tiap minggu ngoten nggih le nyukani sesajen?”
tahu sudah meminta ijin ke yang tempatnya mau di rubah atau belum kalau belum ya meminta ijin terlebih dahulu. Al hasil setelah meminta ijin dengan bacaan bismillah biasa dan unggah ungguh yang sopan pam air tersebut dapat ke pasang dan sudah tidak bocor kembali. Pada saat pemotongan pohon pun tidak semua orang bisa memotong. Kata pak sol hanya orang yang memiliki hati bersih yang bisa memotong pohon ini, kalau orang yang tidak memiliki hati bersih itu saat gerajinya tidak bisa masuk ke pohon sampai 5 orang baru pohon ini bisa kepotong. Itupun yang terakhir saat sampai di tengah-tengah gerajinya mati dan kemudian gerajinya diambil dan di kasih garam dengan membaca Bismillah sebanyak 21 kemudian di taburkan ke gerajinya baru bisa kepotong sampai selesai.
KEMBANGLIMUS
KEMBANGLIMUS
Sayur Pepaya dan Iwak Banyu
Sendang Sinongko
oleh: M. Anjani Erwanudin
SAYUR PEPAYA DAN IWAK BANYU (MAKANAN KESUKAAN MBAH MARIBONGSO) Desa majaksingi, selain terkenal dengan pemandangan alam yang indah. Juga terdapat makanan khas yang sejak dulu sampai sekarang masih dibuat. Makanan tersebut adalah jangan gandul (sayur papaya muda) dan iwak banyu (ikan air tawar). Menurut narasumber yang saya temui yaitu Bapak Suyut, warga dusun pakem, berusia sekitar 60tahun, yang berprofesi sebagai fotografer. Makanan tersebut dulunya adalah makanan paling disukai oleh Mbah Maribongso. Yang mana Mbah Maribongso adalah salah satu cikal bakal berdirinya Desa Majaksingi. Menurut narasumber yang saya temui, dulu masyarakat majaksingi atau tepatnya dusun pakem ketika mempunyai tawasul atau keinginan dengan Gusti Allah perantara lewat Mbah Maribongso, slametannya menggunakan nasi tumpeng atau nasi berbentuk lancip yang di tempatkan di wadah yang disebut cething. Nasi tersebut berwarna
putih pucat dan di masak dengan rasa gurih atau masyarakat menyebutnya dengan ngrasul. Ada tambahan makanan lainnya seperti lentho dan pethek. Makanan lainnya yang sampai saat ini masih bisa dibuat dan dimakan tanpa hari-hari tertentu adalah jangan gandul (sayur papaya muda) dan iwak banyu (ikan air tawar). Jangan gandul dan iwak banyu. Jangan gandul dibuat dari buah papaya muda yang dicacah sendiri,tidak boleh diparut, dan dimasak osengoseng. Sedang iwak banyu adalah ikan air tawar sisik yang tidak boleh di potong-potong dan tidak boleh dicicipi saat memasak. Makanan tersebut biasanya ada di acara slametan atau kenduri. Yang biasanya akan disantap bersama diakhir acara seperti syukuran atau slametan.
oleh: M. Anjani Erwanudin
Di Desa Majaksingi bagian bawah itu juga memiliki sendang yang bernama “sendang sinongko” sendang ini sudah ada sejak jaman dahulu, namun narasumber yang saya wawancarai ini menemukan sendang pada tahun 1930 an akan tetapi sebenarnya sendang ini sudah ada sejak zaman mbah canggah. Sendang sinongko ini dahulu adalah sendang biasa untuk mandi dan bersih-bersih orang desa majaksingi. Namun semakin berjalannya tahun ada salah seorang yang menjadikan sendang ini sebagai tempat yang kotor sehingga dari adanya kesalahan penggunaan tempat itu maka dari situlah memunculkan hal-hal buruk yang ada di sendang ini. Karena sendang ini tempatnya di pojokan sebelahnya makam jambe dan kalau sudah sore hari sudah sepi. Dulunya sendang ini digunakan sebagai tempat untuk berbuat maksiat baik itu bermain judi maupun tempat maksiat lainnya yaitu tempat untuk berbuat mesum. Dengan adanya kegiatan seperti itu menjadikan tempat ini kotor maksudnya dari kotor adalah tempat yang dihuni oleh makhluk halus yang berhati kotor juga kata Pak Sol. Lama kelamaan sendang ini dijadikan tempat untuk meminta baik meminta pesugihan maupun meminta nomer
togel, akan tetapi air yang ada di sendang ini masih berguna dengan baik karena pada jaman dulu dengan doa-doa air dari sendang ini bisa untuk menyembuhkan penyakit yaitu penyakit kulit. Kata Pak Sol sendang ini dulunya punya juru kunci yang bernama “Mbah Saleh” namun ilmu yang dimiliki mbah saleh tersebut tidak diwariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang tidak ada yang mengetahui dengan pasti rahasia dibalik sendang ini, hanya cerita-cerita dari nenek nenek mereka yang mereka tahu dibalik sendang ini. Menurut Pak Sol orang yang meminta untuk diberikan kekayan atau yang di kenal dengan pesugihan ini tidak semua orang berhasil dan diberikan apa yang di mau. Lagi-lagi hanya orang yang mempunyai hati yang bersih dan niat yang baik yang diberikan atau dikabulkan permintaannya, carany meminta dengan cara bertapa atau prihatin menurut Pak Sol di sendang ini tidak makan dan tidak minum selama beberapa hari minimal selama 3 hari. Namun apbila orang yang meminta tidak mempunyai hati yang bersih maka orang tersebut sebelum 3 hari sudah tidak kuat menjalaninnya, namun juga
ada orang yang kuat sampai 7 hari bertapa di situ lalu permintaannya dikabulkan. Tidak ada syarat yang lebih umum syaratnya apabila meminta disitu ya hanya dengan hati yang bersih dan niat yang baik, kebanyakan yang dikasih adalah orang yang benar-benar tidak punya dan memiliki keinginan yang baik juga. Selain cerita tersebut pada jaman dahulu ada juga cerita lainnya yang semua orang rata-rata bisa mendengarnya yaitu karena tempat sendang ini di sebelah makam jambe maka ada tandanya setiap orang yang meninggal apabila setelah selenyai di makamkan terdengar suara nangis yang kencang maka orang yang meninggal tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak baik atau meninggal karena dijadikan korban sebagai tumbal. Menurut Pak Sol.
Nama
: Bapak Sumardi
Pekerjaan
: Petani
Umur
: 74 tahun
Alamat
: Krajan, RT 001 / RW 001,
Krajan 1, Majaksingi, Borobudur
Ngadiharjo
NGADIHARJO
NGADIHARJO
Nyadran
Petilasan Kidul Griyo
oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan seperti menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama. Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam. Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasnya berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal. Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa makanan
tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.
Petilasan Kidul Griyo merupakan dua buah batu besar yang berdiri sejajar yang terletak ditengah area persawahan dan berlokasi di Dusun Sidengen. Dipercaya sebagai tempat bertarungnya dua orang sakti yang pada saat itu beradu ilmu kanuragan. Mereka berdua duduk di batu batu besar tersebut dengan posisi duduk bersila dan saling berhadapan. Berbagai ilmu batin mereka gunakan namun tetap saja tak ada pemenang diantara mereka karena kesaktian mereka berimbang. Pertarungan yang berimbang tersebut mengakibatkan keduanya terpental dan menemui ajalnya.
Salah satu pendekar tersebut terlempar ke arah selatan dan kehilangan tangan kanannya sehingga tempat tersebut saat ini dinamakan tegal buntung, dan salah satunya terlempar ke timur dan jatuh di tempat yang dinakan gesikan karena pendekar tersebut jatuh di area bebatuan dan batu – batu yang terkena tubuh pendekar tersebut hancur menjadi butiran pasir (gesik). Karena kesaktian dari kedua pendekar tersebut, pepohonan disekitarpun mati sehingga sampai saat ini area tersebut dijadikan untuk lahan pertanian oleh warga sekitar.
NGADIHARJO
Petilasan Kupatan oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Petilasan kupatan ini diyakini sebagai tempet bertapanya Empu Supo. Petilasan ini berada di dusun Kupatan / Karangtengah Utara. Berdasarkan cerita dari Bp Kades, Beliau menceritakan, Empu Supo hidup sebelum tahun 888 masehi.”Empu Supo diyakini sebagai orang yang membangun Candi Songgoriti,” kata Supardi. Empu Supo juga dikenal sebagai pembuat keris dengan keampuhan luar biasa. Menurut Supardi, Empu Supo adalah kakek guru dari Empu Gandring, sang pembuat naga puspa dan juga pembuat keris milik Ken Arok. Konon cerita, Empu Supo membuat keris hanya dengan pijakan tangannya. Pusaka tersebut dicelupkan ke sumber air sebagai proses terakhir pendinginan besi keris. Saking ampuhnya, celupan keris buatannya mendidihkan air yang lokasinya di tengah Candi Supo. Aroma besi keris juga masih menempel pada bau air panas di Candi Supo hingga kini. Asal Empu Supo ada di jaman pertama kerajaan Jawa Tua hingga jaman Majapahit. Karyanya dalam keris menurun sejak banyaknya etnis Tionghoa memasuki tanah Jawa untuk berdagang. Pada suatu ketika, salah satu pusaka yang dimiliki oleh sang Raja pada saat itu hilang dicuri sehingga Empu Supo diperintahkan untuk mengambil
kembali Pusaka tersebut. Beliau mengembara mencari pusaka tersebut hingga tiba di daerah Kupatan. Disitulah beliau bersemedi untuk mencari keberadaan pusaka tersebut karena beliau merasa bahwa pusaka tersebut ada disekitar tempat beliau saat itu. Hingga saat ini petilasan tersebut masih tetap ada walaupun sudah tak lagi dirawat dengan rutin oleh warga sekitar.
NGADIHARJO
Petilasan Kyai Udan Bareng oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Petilasan Kyai Udan Bareng berada di Dusun Ngabean ditengah area persawahan. Kyai Udan Bareng merupakan murid dari Kyai Mojo dan juga salah satu orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Beliau mendapatkan mandat untuk menjaga Area Balai Gede dan wilayah sekitar. Salah satu karomah beliau adalah dapat mendatangkan hujan badai dan mengaburkan pandangan musuh sehingga para penjajah melihat daerah sekitar balai gede menjadi hutan belantara dan tidak dapat melihat keberadaan para pejuang. Sampai sekitar tahun 1980 an petilasan beliau masih sering digunakan untuk mengadakan doa meminta hujan, namun setelah tahun 1990an petilasan tersebut jarang digunakan. Tetapi Keberadaan petilasan beliau sampai saat inipun masih dilestarikan. Pangeran Diponegoro mempunyai kuda putih untuk berperang, namun Beliau juga mempunyai kuda yang digunakan untuk kegiatan sehari – hari. Pada saat bergerilya di sekitar perbukitan menoreh, kuda yang digunakan pangeran Diponegoro untuk kegiatan sehari – hari mati. Diyakini kuda tersebut dimakamkan didepan Petilasan Kyai Udan Bareng tersebut dan diatasnya ditanami pohon yang saat ini telah menjadi pohon besar dan oleh masyarakat disekitar lokasi tersebut dinamakan pohon jaranan.
NGADIHARJO
Petilasan Watu Lumpang
Sepintas kita akan menganggapnya sebagai sebuah benda tak berharga yang terbuat dari batu.Namun, ketika menelisik lebih jauh, ternyata watu lumpang tersebut memiliki nilai sejarah dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Pada masa lalu, lumpang dan alu atau lingga yoni adalah satu pasangan tak terpisahkan yang digunakan untuk menghormati Dewi Sri atau dewi kesuburan. Lalu,seiring dengan perubahan jaman dan perkembangan teknologi yang semakin modern, menjadikan masyarakat Indonesia juga berfikir kekinian. Mengutamakan logika mengabaikan rasa. Sehingga banyak yang melupakan asal-usul, sejarah dan peninggalan masa silam. Dan semoga, mereka tidak melupakan jasa para leluhur dan pahlawan yang telah membangun negeri ini dengan tetesan darah dan keringatnya.
Akhirnya, lumpang tersebut dapat dipindahkan ke kawasan Makam Sidengen dengan cara dipikul oleh empat orang sesepuh desa yang berbadan kekar dan kuat.
oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Watu lumpang ternyata peninggalan masa lalu. Selain berupa candi, sumber mata air dan prasasti sejarah, masih banyak dalam bentuk yang lain. Salah satunya adalah sebuah lumpang kentheng peninggalan masa lalu yang berada di petilasan dusun Sidengen, desa Ngadiharjo.
suk akal. Bagaimana tidak, mobil derek yang digunakan untuk membawanya tiba-tiba alat katrolnya patah dan ditambah dengan hal-hal aneh lainnya.
Itulah perjalanan watu lumpang peninggalan masa Kyai Udan Bareng yang sekarang Menurut penuturan Bapak Wahyu Sariyanto (Bapak Kepala Desa Ngadiharjo), sesepuh dusun Sidengen, saat penulis temui dirumahnya, mengatakan, “Sebelum dipindahkan ke area makam, watu lumpang ini dulu berada di pinggir jalan dibawah makam. Tidak terlalu jauh dari lokasi sekarang.” Sambil menikmati kopi panas sehabis turun hujan, penulis menyimak penjelasan Bapak Kepala Desa ini. Pada tahun 1996, watu lumpang tersebut akan dipindahkan ke Area Makam. Mkeskipun menggunakan peralatan mesin, lumpang tersebut seolah tidak bergeming, bahkan mesin pengangkutnya pun patah. Lalu, sesepuh desa melakukan ritual dan melakukan komunikasi dengan penghuni gaib yang ada di lumpang tersebut. Dan, mereka setuju untuk dipindahkan dengan alasan akan dibangun Jalan Raya. Kemudian, pada tahun 1998, ketika pemerintah mengadakan program ABRI Masuk Desa atau AMD, watulumpang ini akan dipindahkan lagi ke area Makam Sidengen. Seperti sebelumnya, proses pemindahan tidak berjalan dengan lancar dan terkesan tidak ma-
berada di Area Makam Sidengen bagian bawah. Tidak banyak orang yang tahu, jika di dusun Sidengen terdapat satu peninggalan sejarah yang erat kaitannya dengan asal-usul Perang Diponegoro.
NGADIHARJO
NGADIHARJO
Sendang Saji
Suronan
oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Sendang Saji berada di sebelah utara Dusun Saji dan letaknya berada ditengah area persawahan. Sendang Saji merupakan Sebuah sendang peninggalan Sunan Kalijaga yang pada saat itu beliau bersama pengikutnya bermaksud melaksanakan sholat, tapi didaerah tersebut tidak ada air. Sejenak Sunan Kalijaga memejamkan mata dan menancapkan tongkatnya disebelah pohon beringin yang ada disana. Setelah tongkat tersebut dicabut, seketika muncul sumber air yang memancar di tempat tersebut.
Tradisi Suronan adalah tradisi yang dilaksanakan pada malam 1 Suro atau 1 Muharram dalam kalender Hijriyah. Kalender Hijriyah digunakan oleh umat Muslim yang di dalamnya terdapat bulan Muharram yang didalamnya terdapat sunnah untuk melaksanakan puasa Asyura. Dalam Bahasa Jawa, Asyura biasa diucapkan dengan kata Suro. Jika dalam bulan Masehi awal tahun dimulai dengan bulan Januari, maka bulan Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Tanggal 1 Suro dimulai saat matahari terbenam pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa Dulkaidah (Dzulhijah).
Dahulu sendang tersebut digunakan untuk keperluan sehari2 mulai dari mencuci, memasak, mandi, jamasan, dll.air buangan dari Sendang tersebut juga dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan kegiatan pertanian lainnya. Namun karena perkembangan zaman, perlahan – lahan sendang tersebut hanya digunakan oleh beberapa orang karena warga banyak yang sudah mempunyai sumur sendiri.namun keberadaanya sampai saat ini masih dilestarikan.
Dalam tradisi Suronan biasanya terdapat hidangan khas yaitu bubur suro atau disebut juga bubur suran. Bubur ini dibuat pada malam hari menjelang tanggal 1 Suro. Berbahan dasar beras dan santan serta ditaburi lauk seperti kacang-kacangan, ikan kecil-kecil seperti teri, sambel goreng tempe, serundeng, parutan kelapa, irisan telur dadar di atasnya dan disandingkan dengan opor ayam. Bubur suro bukanlah sesajen namun hanya sebagai simbol untuk memperingati malam 1 Suro. Biasanya setiap rumah membuat makanan ini kemudian keluarga berdoa bersama untuk selanjutnya bubur ini dibagi-bagikan ke tetangga dan saudara.
Ada juga tradisi yang biasa dilaksanakan ketika malam 1 suro yaitu Tradisi kungkum atau berendam di air pada malam hari dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Secara turun temurun, masyarakat jawa menggelar tradisi kungkum massal itu untuk menyambut Hari Asyura. Selain tradisi kungkum yang kerap dilaksanakan masyarakat kejawen pada malam 1 Suro, dalam budaya Jawa ada juga kebiasaan masyarakat untuk merawat serta menghargai peninggalan nenek moyang yang berupa benda pusaka. Penghargaan itu dengan melakukan tradisi jamasan pusaka yang dimiliki. Jamasan pusaka sendiri berasal dari bahasa Jawa Kromo Inggil (tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa), Jamas mempunyai arti cuci, membersihkan atau mandi. Sedangkan kata Pusaka menjadi sebutan bagi benda-benda yang dikeramatkan atau dipercaya memiliki kekuatan tertentu. Dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, jamasan pusaka merupakan tradisi mencuci benda-benda peninggalan nenek moyang. Benda-benda peninggalan yang dijuluki sebagai pusaka akan dibersihkan tepat pada malam 1 Suro menurut penanggalan kalender Jawa. Sedangkan pada malam tersebut juga biasanya digelar tirakatan di kampung-kampung untuk berdoa dan sarana
guyub rukun dengan warga. Selain itu, bulan Suro juga adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan, dan pantangan. Karenanya, masyarakat Jawa biasanya selalu menghindari bulan ini untuk melakukan kegiatan besar. Karena takut terkena tulah, seperti kesialan atau apes. Benda – benda peninggalan yang dibersihkan dalam ritual jamasan pusaka antara lain keris, tombak, kereta kencana, gamelan, batu akik/ mustika, dan berbagai peralatan upacara. Masyarakat Jawa meyakini bahwa jamasan pusaka menjadi cara untuk menghargai secara penuh peninggalan nenek moyangnya. Maksud dan tujuan jamasan pusaka yakni untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman. Sebab, bagi sebagian masyarakat Jawa, benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Apabila tidak dirawat, mereka percaya isi yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau akan hilang sama sekali, dan hanya berfungi sebagai senjata biasa. Namun apabila dicermati lebih dalam, jamasan mengandung nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan seharihari. Nilai kebersamaan tercermin dari keberadaan masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat untuk mengikuti prosesi, seperti melakukan doa bersama demi keselamatan bersama. Sedangkan nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.
NGADIHARJO
Wiwitan/Mawiti oleh: Haidar Imama Habib Syafrodin
Wiwitan merupakan salah satu bentuk ritual yang dilakukan masyarakat Jawa pada saat sebelum panen dimulai. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan bentuk rasa terimakasih kepada bumi sebagai “sedulur singkep”. Disini Sedulur singkep mempunyai arti bahwa bumi dan manusia merupakan saudara yang saling melengkapi dan menghormati untuk kelestarian yang berkelanjutan. Selain itu wiwitan juga sering disebutkan sebagai bentuk rasa terimakasih kepada Dewi Sri atau Dewi Padi atas hasil panen yang diperoleh. Wiwitan bermakna memberi dhaharan Mbok Dewi Sri yang mbahu rekso sawah padi tersebut. Pemberian rezeki tersebut sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan seluruh makhluk termasuk yang tak terlihat, karena setiap tempat pasti ada yang nempati atau biasa disebut sing mbahu rekso. Wiwit disini sebagai upacara mantenan untuk boyong Mbok Sri.
Ngargogondo
NGARGOGONDO
cukup ahli dalam ilmu petung, Pak Saeroji sering dimintai pertolongan ketika orang mempunyai hajat. Namun sesuai wasiat dari Eyang Gati Prana, beliau dan para murid yang lain dilarang untuk menerima imbalan yang berbentuk uang. Meskipun menurut beliau, banyak juga teman-teman yang lain melanggar nasehat dari eyang tersebut. Namun eyang juga berpesan bahwa beliau berlepas diri jika para muridnya melanggar nasehatnya.
Ahli Petung oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Berawal dari Ibunya yang seorang ahli memijat, Bapak Saeroji kemudian terlecut semangatnya supaya mempunyai kemampuan. Bapak Saeroji belajar tentang ilmu petung Jawa sejak usia 20an sebelum beliau menikah. Sosok yang sudah berusia 71 tahun ini dahulu ngangsu kawruh (belajar) kepada Alm. Eyang Gati Prana, seorang sesepuh dan abdi Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Keraton Yogyakarta. Untuk mempelajari ilmu petung, Pak Saeroji mengatakan tidak perlu resep khusus “Sing penting nyanthel atine, lantip utekke (Yang penting membekas dihati dan cerdas otaknya)”. Ilmu petung Jawa adalah ilmu perhitungan tentang pasaran, hari, bulan dan lainnya. Perhitungan itu meliputi baik buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Ilmu ini sering digunakan orang Jawa untuk menentukan hari baik setiap ada hajat seperti hendak mendirikan rumah, dapur dan pernikahan. Ilmu petung sangat erat sekali hubungannya dengan Pranata Mangsa dalam sistem penanggalan Jawa/ Almanak. Pranata mangsa sendiri adalah aturan musim yang biasa dijalankan oleh para petani di setiap daerah Jawa. Selama belajar tentang ilmu petung, supaya bisa lekas mahir Pak Saeroji sering melakukan laku
yang beliau sebut dengan Satus. Laku Satus adalah kependekan dari di-Sat (dikosongkan) dan di-Tus (dikeringkan) hati dan ususnya. Dalam laku ini beliau puasa patigeni 3 hari tidak makan dan tidak minum yang diselingi dengan puasa mutih (puasa yang hanya makan nasi putih dan air putih disetiap sahur dan berbuka). Butuh tekad kuat, perjuangan disertai kesabaran dan biaya yang tidak sedikit supaya Pak Saeroji bisa dan ahli dalam ilmu petung Jawa ini. Beliau rela menempuh jalan yang cukup jauh dan berliku dengan mengayuh sepeda onthelnya sampai Borobudur kemudian naik bus sampai Muntilan dan berganti jurusan. Kemudian setelah sampai Jogja, (dulu beliau biasa turun di sekitar Kuncen atau Bugisan) disambung lagi dengan becak/andong sampai ke kediaman Eyang Gati Prana. Beliau sowan (datang bertamu) ke Jogja setiap 35 hari atau malah kadang 2 minggu sekali. Pernah juga Pak Saeroji lupa tidak sowan, terus beliau di koling (berasal dari call/ calling yang artinya memanggil) ketika santai atau agak terlelap istirahat. Kemudian mak gregah dan hari berikutnya beliau langsung sowan ke Eyang. Setiap eyang mau memberi ilmu, Pak Saeroji selalu dikoling terlebih dahulu. Dalam perjalanan laku hidup sebagai orang yang
Pesan lain dari Eyang Gati Prana adalah supaya jangan lupa akan ibadah dan sering-seringlah berdzikir. Dalam menjalani kehidupan Pak Saeroji juga berpegang pada 3 kunci yaitu bait al makmur (mencari kemakmuran), bait al muharram (mencari ridha illahi) dan bait al muhaddats (menjauhi hawa nafsu). Ketiganya senantiasa beliau pakai dan terapkan dalam kehidupan, supaya tercapai ketentraman lahir dan batin.
Sumber: Bapak Saeroji (71th). Malangan, Ngargogondo.
NGARGOGONDO
laksanakan berdasarkan dari kitab suci Al-Qur’an dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasalam.
Berjanjen oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Amalan sholawat berzanji atau yang lebih sering disebut dengan berjanjen, meskipun sudah jarang dilakukan anak muda, tapi kini masih sering dibacakan disetiap Bulan Maulid di masjid dan mushola sebagai wujud dari pengagungan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam. Sholawat berzanji juga sering terselenggara dalam acara kekerik (peringatan pemberian nama bayi). Amalan sholawat berzanji adalah bagian dari warisan para ulama yang menjadi panutan umat Islam yang masih lestari di Desa Ngargogondo. Sebagaimana juga para Sahabat Nabi yang 4, yaitu Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayiddina Ali dan ulama-ulama lainnya yang telah diwarisi dengan ajaran Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam sebagai Rasullulloh yaitu utusan Alloh Subhanahu wa ta’ala. Mereka bertekad untuk meneruskan dakwah kepada semua umat manusia dengan cara menyampaikan petunjuk dalam beragama Islam seperti apa yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasalam. Menurut Bapak Zainal (sekitar 75th), kegiatan berjanjen di Dusun Parakan seingatnya sudah ada sebelum tahun 80an. Bermula dilaksanakan di mushola/masjid setiap selapan dina (35 hari) sekali.
Setelah berjalan cukup lama, barulah mulai berlanjut dengan jadwal (giliran) kerumah-rumah jama’ah. Pada tahun 80an hingga 90an anak muda Dusun Parakan sangat giat bergiliran dari rumah per rumah melakukan berjanjen tersebut, sehingga hampir tiap pemuda pada masa itu mempunyai kitab-kitabnya. Sholawat berzanji ialah suatu amalan yang berisi doa-doa, pujian-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam yang dilafalkan dengan suatu irama atau nada yang biasa dilantunkan. Kandungan isi dalam Sholawat Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam, yang disebutkan berturut-turut yaitu silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Di dalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Disetiap acara berjanjen juga ada satu bagian kegiatan yang dinamakan srokal (membaca sholawat berzanji dengan berdiri) yang bermakna hormat/ menghormati. Gerakan srokal ini terinspirasi dari proses hijrahnya Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasalam. Waktu itu sesampainya nabi di Thaif, kemudian warga setempat menyambutnya dengan membaca asrokol, Tola’al Badru ‘alaina dan seterusnya. Suatu hikmah yang besar bagi yang mau dan rutin mengamalkan shalawat nabi. Diceritakan oleh Pak Zaenal suatu kisah (riwayat): Pada suatu masa terjadi musim kering (paceklik) sehingga mengakibatkan kekurangan bahan pangan. Kemudian ada sahabat Bilal sowan kepada Siti Fatimah untuk meminta pertolongan karena merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian saat itu Siti Fatimah ndawuhi (menyuruh) kepada sahabat Bilal untuk membuka jendela diatas makam Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam dengan diiringi membaca sholawat supaya nanti mendapatkan berkah sesuai keinginan yaitu minta diturunkan hujan. Setelah sahabat Bilal melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Siti Fatimah, seketika itu pula saat pulang mengalami terjadi hujan deras. Begitulah faedah besar dari bersholawat yang hingga kini Umat Islam di Desa Ngargogondo masih mengamalkannya.
Dalam berjanjen ada beberapa macam kitab yang dibaca yaitu ada Diba’, Nasyar dan Nadhoman. Menurut keterangan dari Bapak Zaenal, kitab Al-Qur’an dan kitab sholawat Al Barzanji harus diyakini sebagai pegangan hidup beragama bagi para umat Islam. Karena Agama Islam tidak pernah lepas dari tuntunan wajib dan sunah yang harus di
Sumber: Bapak Zaenal ±75th Parakan, Ngargogondo
NGARGOGONDO
Cerita Mistis Hewan di Menoreh oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Desa Ngargogondo adalah desa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam perbukitan yang luar biasa indah dan eksotis. Perbukitan yang masih tergabung dalam gugusan Pegunungan Menoreh ini menambah keistimewaan tersendiri bagi Desa Ngargogondo. Dalam sejarah, konon perbukitan Menoreh pernah dijadikan daerah jalur perang gerilya pahlawan nasional yang sangat terkenal dan masyhur. Yaitu Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya saat melawan penjajah Belanda atau “Wong Londho” kalau kebanyakan orang-orang Jawa bilang. Kondisi perbukitan menorah yang terdiri dari batuan karst saat ini masih terawat dengan baik dan bahkan masih ditemukan satwa liar dan langka seperti ayam alas (ayam hutan), kera, harimau dan berbagai macam burung. Dilereng bukit Menoreh bagian timur desa terdapat perkampungan yang letaknya paling tinggi yang bisa juga disebut lantai atasnya Desa Ngargogondo yaitu Dusun Ngargosari. Jika kita berada dibawah kampung itu, sudah sangat nampak pemandangan bukit Menoreh dari dekat yang membentang
panjang dan megah dari ujung timur hingga barat. Jika kita berbalik dan melihat kearah utara maka akan nampak terlihat pemandangan luas daerah sekitar Borobudur dan kota Magelang dikejauhan yang di kelilingi gunung Merapi, Gunung Merbabu dan Gunung Sumbing. Sehingga menyuguhkan pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan. Di Dusun Ngargosari tersebut, kami sempat berbincang dengan seorang petani yang bernama Bapak Asrori tentang keberadaan satwa di Bukit Menoreh. Menurut keterangannya, kera adalah satwa yang paling meresahkan. Mereka hidup berkelompok dalam jumlah yang tidak sedikit dan sering memakan hasil dari tanaman warga. Makanan yang mereka makan kebanyakan makanan yang mudah dilihat atau yang diatas tanah seperti: buah-buahan, pepaya, jagung dan lainnya. Menurutnya keberadaan kera tersebut dahulu hanya disekitar Bukit Watu Putih. Yaitu bukit besar yang cukup menonjol dan berwarna putih yang terletak disebelah barat daya Dusun Malangan. Namun kini sudah menyebar dan tinggal ditempat yang rimbun disekitar bukit. Bahkan menurutnya, sekarang sudah ada beberapa jenis kera yang tinggal diperbukitan.
Menurut petani menjelang 50 tahun tersebut, untuk sementara cara yang aman untuk menghalau kawanan kera itu dengan memasang jaring plastik disekeliling ladang. Sebenarnya ada yang lebih efektif selain memasang jaring plastik, yaitu dengan cara memasang tlisik, yaitu anyaman dari bambu yang tidak rapat berfungsi sebagai pagar ladang. Namun cara itu tidak efisien karena hanya bertahan beberapa bulan. kecuali pare. Selain memakan hasil tanaman petani, mereka juga menimbulkan kerusakan. Sehingga keberadaan mereka sungguh sangat meresahkan. Sudah berbagai macam cara untuk mengatasi masalah kera-kera tersebut. Dengan cara memasang racun (obat celeng kalo warga setempat bilang) tetapi tidak berhasil. Bahkan kera itu pernah mendatangi petani melalui mimpi dan mengancamnya jika masih berniat untuk membunuh kera maka akan terjadi sesuatu hal yang sial akan dialami oleh pelakunya. Ada juga yang pernah memasang anjing penjaga di ladang, namun justru dilawan oleh kera-kera tersebut. Ada juga kera yang pernah tertangkap lalu di ikat dalam karung namun saat di tinggal kera itu bisa melepaskan diri. Yang menjadi keanehan warga setempat, mereka belum pernah sekalipun menemukan kera yang sudah mati atau bangkainya. Ada pemburu mengalami kejadian hal yang mistis saat menembaknya karena tiba-tiba sang kera berubah menyerupai wanita berbaju merah dan putih. Anehnya yang melihat perubahan wujud hanya penembak sedangkan temannya tetap melihat itu hanya seekor kera. Berbagai kejadian aneh pernah di alami warga, seperti keterangan Mbah Kabul. Petani kelahiran tahun 1952 ini rumahnya di bawah bukit yaitu di Dusun Malangan, beliau banyak cerita tentang hewan liar seperti harimau (macan) dan kera.
Kawanan kera turun ke lahan warga seringnya pada waktu siang dan menjelang sore. Mereka sangat banyak hingga ratusan kera sering memakan hasil panen di perkebunan dan diladang. Sulit untuk mencegahnya karena mereka berani dengan manusia dan sepertinya sudah terorganisir membuat kelompok-kelompok. Jenis kera ada yang berekor putih, bulu wajahnya juga ada yang putih dan jika jika sedang marah wajah kera itu melebarkan bulunya dan berdiri seperti ayam jago. Pada suatu hari menjelang maghrib, pernah ada kawanan kera dikepung beberapa orang, namun kehilangan jejak dan tidak tahu larinya kemana. Bahkan diambil gambar foto/vidio juga sulit walaupun berada didekatnya, Ada juga kisah cerita seorang wanita pedagang yang sehabis pulang tempatnya berdagang pernah menemui kejadian aneh. Saat itu hujan gerimis, dia bertemu dengan seorang perempuan membawa payung dan berselendang di perbukitan. Dia sapa dan ditanya mau kemana? Jawabnya sedang momong, namun begitu mengagetkan setelah perempuan itu selesai berbicara tiba-tiba menghilang dan kemudian munculah ratusan kera disitu. Seekor harimau juga pernah berkeliaran di sekitar rumah warga di waktu musim hujan, ada yang hanya sekedar momong anak macan dan ada yang sampe memakan hewan ternak kambing, sudah ada tiga warga yang kambingnya mati di makan harimau. Menurut keterangan Mbah Kabul sarang harimau dan kera ada di sekitar Watu Putih, disana terdapat gua yang dijadikan sebagai rumahnya. Warna harimau berloreng hitam dan abu-abu. Jumlahnya mungkin tidak banyak karena jarang muncul dan ditemuinya. Keterangan lain tentang kera datang dari Bapak Sujadi, seorang petani yang juga seorang modin
yang punya ladang dibwah Dusun Ngargosari. Beliau bercerita, suatu ketika beliau beserta isterinya sedang mau memetik lombok diladangnya. Saat itu isterinya melihat seekor kera lalu mencoba mengusirnya namun tidak beranjak pergi. Kemudian mendekatlah Bapak Sujadi untuk menengok, ternyata tak jauh dari kejauhan ada lebih banyak kera. Lalu ia berkata yang kurang lebih “Hei kethek, aku lan kowe podho-podho makhluke Gusti Allah. Ning kene pangane pahit, kono lungo! (Hai kera, aku dan kalian sama-sama makhluknya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disini makanannya pahit, sana pergi!)”. Seketika itu kawanan kera langsung pergi.
NGARGOGONDO
Berdasar dari banyaknya keluhan warga, suatu ketika Pemerintah Desa Ngargogondo meminta bantuan kepada Perhutani untuk membasmi kera tersebut. Lalu dari Perhutani mendatangkan pawang kera yang berasal dari Suku Badui Banten untuk mencoba mengusir kera-kera tersebut. Pawang kera dari Suku Badui lalu berkemah beberapa hari lalu bergerak untuk menangkap dan membasmi kerakera tersebut. Sampai akhirnya ada kejadian mistis terjadi, ada seekor kera yang diyakini dedengkot atau kepala suku yang berhasil tertangkap. Kera yang memiliki jenggot panjang itu tiba-tiba wajahnya berubah menjadi wajah manusia. Wajahnya berubah menjadi wajah manusia yang menangis dan menyerupai ayah si pawang. Kemudian kera itu dilepaskan dan pawang dari Suku Badui itupun kembali ke asalnya.
Begitulah ucapan Bapak Sujadi atau yang lebih dikenal dengan Pak Jadi, ketika bernostalgia membayangkan makan dengan alas daun jati ketika mendapat berkat genduren pada masa lalu.
Begitulah singkat cerita tentang satwa dari Bukit Menoreh yang terletak disisi selatan Desa Ngargogondo.
Genduren oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
“Yen mbiyen mangan nggo dong jati kih walaaah... nikmate.”
Terdapat sejarah panjang sebelum berkat itu disajikan memakai cething plastik seperti sekarang. Berawal dari nasi ambeng (nasi putih yang disajikan diatas tampah dan ada lauk pauk disekelilingnya). Kemudian berganti dengan sarang (wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang didalamnya menggunakan daun jati sebagai alas makanan). Kemudian berganti lagi dengan keranjang mbako (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang tidak rapat, biasa buat tempat tembakau). Setelah itu penggunaan keranjang mbako mulai berkurang, lalu berganti lagi dengan besek (tempat yang dibuat dari anyaman bambu). Barulah yang terakhir berganti lagi dengan cething plastik. Berkat adalah hidangan makanan sebagai upah do’a yang didapat setelah mengikuti acara genduren. Berkat kadang juga dibagikan oleh pengundang dari rumah ke rumah sebelum acara genduren berlangsung. Dalam berkat itu terdapat nasi putih, sekepal nasi uduk, suwiran
ayam ingkung, telur rebus, tahu/tempe, 2 macam sayur, lentho, pethek, serundeng dan kerupuk. Kini dengan berbagai alasan, berkat juga ada yang dibagikan mentahan (bahan-bahan makanan mentah). Menurut Pak Jadi, genduren adalah acara mencari berkah do’a dan permintaan maaf untuk orang hidup dan orang mati kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala. Genduren biasa diadakan dengan mengundang sanak-kerabat dan tangga teparo (tetangga sekitar). Undangan acara genduren biasa dilaksanakan dari rumah kerumah sehari sebelum acara oleh utusan dari tuan rumah. Tidak ada batasan jumlah dalam mengundang orang dalam acara genduren. Dalam acara kematian, genduren biasa diadakan oleh warga setiap acara peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendhak 1 & 2, 1000 hari dan acara haul (atau peringatan kematian). Sedangkan dalam acara orang hidup genduren diadakan pada acara-acara selamatan orang hamil hingga kelahiran bayi dan selamatan pernikahan. Berkah do’a dalam acara genduren, biasa diupayakan melalui perantara atau dengan bertawasul kepada orang yang kinasih (orang yang dikasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) atau orang-orang alim seperti
Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam, para nabi-nabi, para alim ulama, syuhada (orang yang mati syahid), dan para tamu undangan yang datang. Dengan tawasul tersebut dimaksudkan supaya do’ado’a mudah dan segera diijabah (dikabulkan). Bacaan lainnya yang dilantunkan seringnya adalah Surat Yasin dan Kalimah Thayibah/Tahlil yang kemudian ditutup dengan do’a oleh bapak kaum/ modin.
Sumber: Bapak Sujadi (64th). Parakan, Ngargogondo.
NGARGOGONDO
Laras Madya oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Asmaradana
Padha netepana ugi kabeh parentahing sarak terusna lahir batine salat limang wektu uga tan kena tininggala sapa tinggal dadi gabug yen maksih remen ing ndunya.
Terjemahan bebasnya:
Semua harus menjalani juga semua perintah agama lahir dan bathin sholat lima waktu tidak boleh ditinggalkan siapa yang meninggalkan akan menjadi hampa jika masih suka hidup di dunia.
Pada suatu siang, untuk yang ke 4 kali, akhirnya kami bisa bertemu dengan Pak Jalil dikediamannya. Pria 51 tahun tersebut selain sebagai petani dan peternak sapi juga seorang penggiat pituturan tembang-tembang macapat yang tergabung dalam kelompok Laras Madya Dusun Malangan. Sosok humoris yang pernah menjabat sebagai Kepala Dusun Malangan ini sudah menggemari tembang-tembang macapat sejak masih muda belia. Awalnya beliau hanya senang mendengarkan, lambat laun lalu menghafalkan tembang dan menyanyikannya. Akhirnya sejak tahun 2005 bergabunglah beliau dengan kelompok kesenian Laras Madya Dusun Malangan pimpinan Alm. Bapak Sarnun. Kesenian Laras Madya Dusun Malangan sudah eksis berdiri sejak tahun 1982. Berawal dari Alm. Bapak Sarnun yang bersama teman-temannya belajar langsung tentang pitutur laras madya dengan mengundang seorang guru dari Dusun Seganan (Ganjuran) Desa Tuksongo. Kesenian Laras Madya Dusun Malangan cukup sering mengisi acara hajatan seperti supitan/khitan, pernikahan, kekerik bayi dan pernah mengikuti lomba.
Laras Madya adalah seni musik yang digabungkan dengan pitutur Jawa tembang macapat yang berisi tuntunan/ajakan kebaikan dan nasehat kehidupan mulai dari sejak dalam kandungan hingga menghadapi kematian kelak. Kesenian Laras Madya adalah hasil karya seorang raja dari Kasunanan Surakarta. Menurut Pak Jalil, dahulu teks yang digunakan dalam tembangnya masih menggunakan Arab Pegon (kalimat Bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara arab gundul) kemudian oleh Alm. Kyai Siraj Payaman disalin dalam huruf latin supaya mudah dibaca dan dihayati isinya. Kelompok Kesenian Laras Madya Dusun Malangan beranggotakan 15 Orang yang terdiri dari 8 orang pengrawit/penembang dan 7 orang penembang. Kelompok ini latihan setiap selapan dina (35 hari) sekali. Alat musik yang digunakan dalam kesenian Laras Madya Malangan adalah kendang, gong, gembung, kenting-kenting, kentongan dan saron. Dalam setiap kali pentas, busana yang dipakai adalah pakaian adat Jawa seperti Blangkon dan Surjan/Beskap sebagai atasan. Namun untuk bawahannya kondisional, bisa pakai sarung atau juga jarik (kain batik). Dalam sekali pentas, Laras Madya Dusun Malangan sering memainkan 20 tembang-tembang macapat bagian dari: 1. Maskumambang Yang menceritakan tentang keadaan manusia saat masih di alam ruh yang kemudian ditanamkan dalam rahim atau gua garba seorang ibu. 2. Mijil Yang merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia. Mijil atau mbrojol dan keluarlah jabang bayi bernama manusia.
3. Sinom
10. Megatruh
Sinom berarti penggambaran masa muda. Masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya ruh atau nyawa menuju keabadian.
4. Kinanthi
11. Pucung
Pada pola kinanthi ini dicertiakan tentang masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud.
Pucung berarti pocong atau jasad manusia yang dibungkus kain mori putih.
5. Asmaradana Asmara artinya cinta. Mengisahkan akan masamasa kisah asmara, percintaan, atau larut dalam lautan kasih cinta. 6. Gambuh Awal kata gambuh adalah jumbuh atau bersatu yang menceritakan soal komitmen dalam perkawinan untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga. 7. Dhandhanggula Yang menggambarkan kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial serta kesejahteraan, cukup sandang, papan, dan pangan. 8. Durma Durma berasal dari kata darma yang menggambarkan bahwa seseorang sedianya harus melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama. 9. Pangkur Pangkur atau mungkur memiliki arti menyingkirkan hawa nafsu dan angkara murka, serta nafsu negatif yang menggerogoti jiwa.
Dalam sekali pentas, Laras Madya Dusun Malangan durasinya sekitar 3 jam jika dimainkan seluruh tembangnya. Namun ada jeda/istirahat setiap 4-5 tembang. Alunan irama musik laras madya yang halus dan lembut disertai lantunan tembang macapat yang penuh makna disertai penghayatan yang dalam dari para pemainnya, sanggup membawa suasana pendengarnya menjadi tenang dan menentramkan. Meskipun gebyarnya tak begitu ramai seperti kesenian lain seperti Dayak atau Jathilan. Namun, kelompok Laras Madya Dusun Malangan pernah tampil sampai luar daerah seperti di Mertoyudan, Muntilan, Temanggung hingga Wonosobo. Pak Jalil menambahkan, dalam setiap tanggapan (undangan pentas) Laras Madya Dusun Malangan tidak pernah memasang tarif. Yang penting ketika ada tanggapan keluar desa tersedia untuk jasa tranportasi dan konsumsi. Laras Madya Dusun Malangan pernah juga dipentaskan di Pendapa Bupati Magelang pada masa pemerintahan Bupati Bapak Singgih Sanyoto. Yang menarik pada pementasan saat itu sebagaimana diceritakan Pak Jalil adalah ketika itu, menjelang berakhir acara Bapak Bupati pengen tanduk / masih menginginkan untuk dimainkan 2
tembang lagi sebagai penutup. Mungkin karena saking menikmati dan menghayati. Pak Jalil berkata bahwa isi dan makna dari tembang yang dimainkan dalam Kesenian Laras Madya selaras dengan pokok-pokok ajaran Agama Islam. Sehingga jika benar-benar dimaknai arti dalam setiap tembangnya, dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman manusia Jawa dalam mengarungi kehidupan.
Sumber: Pak Jalil 51, Malangan Ngargogondo.
NGARGOGONDO
Makam Ki Parak oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Tradisi berziarah sudah menjadi bentuk budaya umat beragama di Indonesia tak terkecuali bagi umat Islam. Banyak Umat Islam Indonesia memaknai ziarah kubur sebagai ritual yang sangat sakral. Menurut pelakunya, seorang manusia yang masih hidup di dunia masih mempunyai ikatan batin dan menghormati leluhur/nenek moyang/ keluarga yang sudah meninggal. Secara lahiriah mungkin tidak lagi bisa berkumpul/bertemu seperti berhubungan dalam sosial kemanusiaan akan tetapi secara batiniah masih ada rasa ingin bertemu (rindu) sejak terpisahkan dari alam dunia dengan alam lain. Di Dusun Parakan ada makam cikal bakal dusun yaitu Makam Mbah Kyai Parak atau yang lebih dikenal dengan Makam Ki Parak. Makam ini terletak diseberang Sungai Sileng di pojok timur dusun. Makam yang selain diziarahi para warga setiap pekan atau hari-hari khusus ziarah ini, juga dijadikan tempat rombongan khusus/ jama’ah peziarah yang mengadakan kegiatan sowan leluhur setiap malam Minggu Pon. Peziarah yang sudah rutin melaksanakan ziarah ke Makam Mbah Kyai Parak di malam Minggu Pon tersebut sejumlah sekitar 50an orang. Meski siapapun boleh mengikuti ziarah malam ini dengan kesadaran pribadi bahwa masih mengakui dan mempercayai
adanya leluhur yang tentunya harus dihormati. Bapak Sukri adalah salah satu pelaku ziarah malam tersebut. Bapak yang sudah berusia menjelang 50 tahun ini, menceritakan dengan seksama tentang laku ziarah khusus tersebut. Pengetahuan tentang hal keghaiban, sejarah, siapakah para leluhur yang ada di makam itu, dari mana asal dan seperti apa sosoknya. Juga tentang adanya makam yang keramat (istimewa dan berwibawa) di makam tersebut sehingga ada rasa penghormatan lebih kepada leluhur yang dimakamkan ditempat itu. Bapak Sukri bercerita bahwa di pemakaman cikal bakal Mbah Kyai Parak iitu terdapat 3 makam lelulur dalam satu lokasi/satu cungkup. Yaitu Raden Whiwothekto ( Mbah Kyai Parak), P.Puger dan putrinya. Di makam itu terdapat nisan kayu (meisan) diatas gundukan tanah yang keras. Ada yang mengatakan bahwa dahulu tanah itu hanya sedikit dan pendek namun tanah yang letaknya diatas makam tersebut semakin lama bertambah tinggi dengan sendirinya hingga saat ini hampir 2 meter. Adanya nama asli cikal bakal ( Mbah Kyai Parak) yang saat ini sudah diketahui sebagai Raden Whiwothekto berawal dari hasil ritual Bapak Sukri bersama dengan 3 orang temannya. Pada suatu
waktu, beliau melakukan ziarah di makam tersebut yang kemudian beliau ulangi pada malam Minggu Pon. Tiba-tiba beliau dikagetkan dengan keanehan yaitu munculnya penampakan cahaya sinar putih yang terang sebanyak tiga kali kejapan. (byar, byar, byar) Bapak Sukri yang saat itu hanya sekedar menemani 3 temannya tersebut, tidak merasa takut justru itu dianggap sebagai pertanda atau sebuah petunjuk. Rasa penasaran Bapak Sukri berlanjut, seorang diri beliau berziarah lagi setelah waktu subuh dan menemukan keanehan kembali. Kata beliau di makam itu terselimuti gumpalan putih yang tidak bisa ditembus dengan pandangan mata, berbeda dengan keadaan disekitar yang terlihat biasa-biasa saja. Dengan kejadian tersebut kemudian Bapak Sukri berkomunikasi dengan guru ngaji yang sudah sering beliau temui dalam acara pengajian rutin yang diikutinya. Guru ngaji tersebut dikenal sebagai orang pintar (ahli supranatural). Setelah dilakukan ritual secara khusus akhirnya beliau mendapatkan jawaban bahwa di makam tersebut terdapat 2 sosok orang atau arwah yang sangat berwibawa dengan berpakaian jubah dan memakai sorban warna biru kelabu (telur bebek) dan (Asma Karim) bernama Raden Wiwothekto (Mbah Kyai Parak). Raden Wiwothekto jika menampakkan diri terkadang penampilannya berubah-ubah. Selain berjubah dan bersorban, terkadang beliau muncul dengan berpakaian pendekar warna hitam, memakai ikat kepala bersenjata panah dan teken (tongkat). Aromanya sangat wangi dan jika sedang rindu yang ditemui akan mengulurkan tangan untuk bersalaman.. Kemunculan yang lain adalah adanya kuda besar berwarna putih yang tingginya kira-kira 2 meter dan itu diketahui sebagai tungganganya Raden
Wiwothekto. Tidak hanya sebatas itu, ada juga jelmaan pusaka yang berwujud seekor macan putih dan macan kuning yang juga muncul ditempat itu. Terdapat pula sosok lain seorang yang juga berwibawa yaitu P.Puger yang diketahui berasal dari wilayah Jogja. Beliau berpakaian Jawa lurik-lurik, mengenakan blangkon dikepalanya. Ada temuan lain juga dalam penerawangan Bapak Sukri melalui ritual dan meditasi di tempat itu. Makam terbelah menjadi dua, tampak ada jalur ghaib seperti lorong panjang. Diawali dengan pintu pertama berwarna putih kemudian berlanjut warna hitam sebanyak 9 kali dan setelah itu ditampakkan dua buah pohon beringin depan Keraton Jogja. Ujung lorong ghaib yang beliau tembus itu terletak ditengah2 kedua pohon beringin. Dalam waktu yang berbeda, juga pernah ditampakkan sebuah bangunan pendopo yang letaknya tepat di makam itu. Terdapat sebuah dampar dan 3 kursi yang berderet ditengah-tengah pendopo. Disekelilingnya ada bangunan beteng berdinding warna emas yang mengitari beserta 3 pintu gapura dan fungsi masing-masing pintu mempunyai jalur ghaib yang berbeda. Berlanjut di lain waktu, dalam ritual juga menemukan petunjuk/pertanda di sebuah tempat yang jaraknya hanya sekitar 3 (tiga) jengkal telapak tangan. Letaknya sebelah selatan gundukan makam itu ada tanah empuk (gembur), jika di tepuk tanah itu mengeluarkan aroma wangi dan menurut Bapak Sukri disitu ada pusaka dan juga sebagai lorong ghaib yang arahnya menuju keatas. Sekarang ini sudah di tandai dengan sebuah batu berwarna hijau dan berbentuk bulat meninggil. Lebih lanjut Bapak Sukri bercerita bahwa, keinginan untuk memasang tanda batu itupun tidak disadarinya. Beliau hanya seperti mengikuti arahan
dalam kata batin sampai saat pemasangannya. Dalam setiap laku ziarahnya, Bapak Sukri sering membaca tawasul, Surat Yasin, tahlil dan Sholawat Nariyah. Semua bacaan itu sering dibacakan beliau ketika ziarah, meskipun ada perbedaan dalam jumlah berapa kali bacaan itu dirapalkan. Sesuai dengan maksud dan tujuan ketika berziah.. Ada juga wejangan dari Mbah Kyai Parak yaitu jika kita menolong orang tidak boleh pilih kasih atau membeda bedakan antara satu dengan yang lainya. Baik kaya atau miskin harus diperlakukan dengan cara yang sama. Lebih penting lagi adalah harus menuntut Ilmu Agama Islam dengan tekun dan sungguh-sungguh (mengaji). Dengan berniat melakukan hal-hal yang baik, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pertolongan. Berharap dengan ridho-Nya, rasa tulus selalu tertanam dalam hati kita serta benar-benar merasa ikhlas untuk beribadah.
NGARGOGONDO
Makam Kyai Kunci/Pangeran Mijil 6 oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Seorang tokoh pahlawan pejuang kemerdekaan telah meninggalkan sebuah petilasan yang Kramat dan dianggap angker.
yang sebenarnya itu hanyalah sebuah (petilasan mbah kunci) tidak ada jenazah yang terkubur di tempat itu.
Pada zaman penjajahan di negara Indonesia ada seorang pahlawan yang gugur telah di makamkan di makam kunci, Beliau ialah Ki Kertodwiryo yang
Ki kertodwiryo (Mbah kunci/pangeran mijil 6) saat itu terluka karena terkena gegaman (senjata) dan bisa jadi pusaka dari musuh yang telah mengakibatkan keluar darah, kemudian beliau dibawa pergi oleh pengikutnya ke daerah Ngargogondo dan berakhir wafat di dusun kuncen.
sekarang ini dikenal sebagai cikal bakal (kyai kunci/ pangeran mijil 6). Pada saat sebelum wafat biliau adalah pangeran keraton solo/Mataram yang telah mengabdi kepada rakyat dan ikut berjuang membela tanah air dari penjajahan Belanda, beliau dijuluki sebagi pangeran mijil, Artinya mijil ialah karena beliau seorang pangeran dari dalam keraton yang pergi meninggalkan kepemerintahannya dan lebih memilih bergabung dengan rakyat untuk berjuang melawan penjajahan . Keberadaan cikal bakal mbah kyai kunci bermula dari kisah masa peperangan, kala itu Ki kertodwiryo telah terluka di daerah desa Wanurejo, tepatnya yang sekarang ini ada sebuah nama dusun yaitu bekangan dan saat ini terdapat makam kiyai jugil
Menurut cerita oleh Bapak Kamsidi, Bekas ceceran darahnya yang di dusun bekangan itu juga diambil oleh pengikutnya untuk dibawa dan disatukan di pemakamanya, maka saat ini tempat itu dinamai kyai jugil, dinamakan jugil karena dalam bahasa Jawa ( jugil) artinya mengambil benda dengan peralatan dan (Jugil) yang dimaksud adalah pengambilan darah di tanah. Sampai saat ini daerah itu dianggap angker/ keramat, bahkan adanya pohon bambu yang disekitar tempat itu diyakini oleh warga tidak baik di gunakan untuk membuat bangunan/ keperluan bahan rumah karena bisa menjadikan sesuatu
hal yang buruk/sial/musibah bagi penggunanya. Maka sampai saat ini Warga jarang yang berani menggunakan pohon bambu tersebut.
* Dinamakan pemakaman kunci Karena terdapat makam jenazah lelulur yaitu pangeran mijil/ (Ki kertodwiryo) dari keluarga keraton yang secara spiritual beliau di kunci (diamankan) oleh pengikutnya untuk dirahasiakan supaya orang keraton tidak menemukannya, karena dalam makam itu tidak hanya menyimpan berbagai macam pusaka namun juga harta benda/perhiasan.
Ada sebuah cerita dari Warga Kujon (bpk is) yang katanya pernah bertemu dengan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai keturunan dari sriSultan yang ke 10, Pertemuan /perkenalan Bpk. is kujon dengan orang berasal dari keraton itu terjadi saat bpk sis kujon bekerja sebagai tukang karcis di pasar Talun. Bermula hanya sekedar saling sapa dengan orang yang belum ia kenal, kemudian ada percakapan dan pertanyaan. * Orang keraton bertanya kepada bpk sis” Panjenengan tiang pundi pak?” Jawab pak sis, Kulo tiang mbudur.. dan orang itu kemudian bercerita bahwa dia pernah ke daerah Borobudur berniat mencari makam Pakuncen sampai bolak balik tiga kali tidak pernah ketemu. Jika sudah sampai di perempatan sekolahan SD tuksongo dia belok mengarah jalan yang kebarat. Pak is langsung antusias memberikan informasi bahwa kalau makam Pakuncen itu tidak ada di daerah Borobudur tapi kalau makam kunci ada di desa ngargogondo dekat dengan dusun kujon,
rumah saya belakang sekolahan M’I kujon, Lalu bebehari kemudian tepatnya hari Rabu ada Dua orang itu datang krmh Bpk. Sis untuk minta tolong di antarkan ke makam kunci. Setelah sampai depan makam /pintu gerbang makam, mereka lalu diam sejenak dan memperhatikan makam tersebut namun mereka tidak masuk dan berlanjut ingin pulang. Kata mereka, sudah benar memang makam itu yang mereka cari cari. Sepekan kemudian hari Kamis mereka datang lagi dan minta di antar pak sis, setelah sampai makam mereka masuk ke pemakaman dan menuju lokasi kubur Simbah kyai kunci tidak begitu lama mereka keluar dan menunjukan Kpd pak sis sebuah batu merah delima yang di dapat ditempat itu, Kemudian pak sis bertanya.. “kata orang-orang bahwa di dalam makam itu banyak pusakanya, apa benar ya?” Jawab mereka.. “ Iya memang benar dan banyak juga emas didalam peti2 yang dikubur, selain orang dari keluarga keraton tidak akan bisa memilikinya, suatu saat jika harta keraton kekurangan maka akan mengambil yang disini, sekarang ini persediaan harta dikeraton masih cukup”. Begitu katanya. . informasi cerita ini didapatkan dari bpk kamsidi yang mendengar cerita kejadian tersebut.
NGARGOGONDO
bangunan direnovasi menjadi bangunan gedung permanen bermaterial dinding batu bata.
Masjid Darul Huda oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Masjid sebagai tempat ibadah dan pusat syiar Agama Islam menjadi sebuah keharusan bagi Umat Islam dimanapun berada. Tak terkecuali dengan Masjid Darul Huda yang kokoh berdiri tegak di Dusun Parakan. Masjid tersebut adalah masjid pertama dan tertua di Desa Ngargogondo. Adalah peran besar dari Alm. H. Ilham tokoh Islam Dusun Parakan sekaligus sesepuh Desa Ngargogondo pada masa lalu yang menjadi salah satu penggagas berdirinya masjid, sebagaimana penuturan dari Bapak Achyadi tokoh Islam saat ini yang juga salah satu keturunan dari H Ilham. Berdasarkan cerita dari orang-orang terdahulu, Bapak Achyadi menceritakan kembali bahwa dahulu H. Ilham mempunyai gagasan tentang kebutuhan masjid bagi Umat Islam di Desa Ngargogondo untuk mengakomodasi kegiatan keagamaan Umat Islam yang pada masa itu sudah menjadi penduduk mayoritas di desa. Atas gagasan tersebut beliau diberi mandat dalam pendirian masjid oleh Kepala Desa pada masa itu yaitu Alm, Bapak Reso Sendjoyo. Dengan berjalannya waktu, kemudian Alm. H. Ilham mempunyai pandangan 3 tempat untuk mendirikan masjid tersebut. Awalnya Masjid akan dibangun dilahan keluarga H. Ilham dipojok timur dusun yang berdekatan
dengan sungai dengan pertimbangan pada masa itu orang-orang masih wisuh/membasuh badan/ wudhu disungai. Kemudian lokasi kedua adalah supaya masjid didirikan di tengah dusun supaya mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar Parakan. Namun, atas dasar pertimbangan jarak antar dusun diwilayah Desa Ngargogondo, akhirnya diputuskan untuk membangun masjid di lahan Alm. Bapak Cokro Diharjo yang terletak di pinggir jalan diperbatasan Dusun Parakan dan Dusun Kujon. Pada masa awal berdirinya, bentuk bangunan masjid sangatlah sederhana tidak seperti sekarang. Bangunannya berdiri diatas tanah yang ditinggikan atau biasa disebut baturan, sehingga menyerupai panggung. Lantainya pada masa itu masih tanah yang ditutup dengan galar (papan dari bambu cacah). Tiang-tiang penyangga atap/ Saka Gurunya juga masih kayu Waru dan Sengon tua. Dindingnya pun pada masa itu juga masih berasal dari anyaman bambu. Seiring berjalannya waktu, masih pada masa pemerintahan Kades Alm. Bapak Reso Sendjoyo dengan didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat desa seperti Alm. H Ilham beserta anak dan keturunannya, Alm. Bapak Udo, Alm. Bapak Cokro dan dukungan para warga, sekitar tahun 1950an
Seiring perkembangan zaman, renovasi kembali dilakukan guna mengakomodir jamaah pada tahun 90an hingga 2000an hingga tampak bangunan masjid seperti sekarang. Dahulu Masjid Darul Huda lebih dikenal sebagai masjid Parakan. Jamaah masjid ini dahulunya tidak hanya dari Parakan dan Kujon. Menurut Bapak Achyadi sebagai pertama di Desa Ngargogondo dahulu jamaahnya berasal Kuncen, Ngargosari, Wagean, Malangan bahkan juga dari Gedongan Wanurejo. Sehingga keberadaan Masjid ini menjadi pemersatu dari warga Ngargogondo terutama ketika hari Jum’at dan hari-hari besar Islam. Seiring dengan kemajuan masyarakat, dusun-dusun sekitar Ngargogondo kemudian membangun tempat ibadah seperti mushola dan masjid sendiri. Kini Masjid Darul Huda dipakai bersama oleh jamaah dari Dusun Parakan dan Kujon. Ada yang menarik sebagaimana cerita dari Bapak Achyadi, “Dahulu masjid mempunyai kentongan yang terbuat kalau tidak salah dari kayu nangka yang bunyinya bagus dan nyaring. Kemudian pada suatu malam, datanglah utusan dari Borobudur memboyong kentongan tersebut untuk diletakkan di Masjid Kauman”. Kini selain digunakan untuk beribadah sholat 5 waktu, Ibadah Jum’at dan Sholat ‘Id pada hari raya. Keberadaan masjid juga difungsikan sebagai lokasi pengajian selapanan, acara ritual tahunan seperti nyadran, suronan, musyawarah dusun.
Sumber: Bapak Achyadi, 61 th
Parakan Ngargogondo.
NGARGOGONDO
NGARGOGONDO
Mujahadah
Muludan
oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Mujahadah atau yang sering disebut dengan Mujadahan adalah kegiatan Agama Islam dengan maksud dan tujuan meminta kepada Yang Maha Kuasa secara rutin dengan cara ngeyel/ngedrel atau mengharuskan. Bacaannya adalah Surat Yasin, Hasbunallah, bacaan sholawat sepeti Huwal Kahfi, Allahul kahfi, Tahlil dan Asmaul Husna. Bapak Achyadi menceritakan, kegiatan keagamaan di Desa Ngargogondo dahulu selalu berawal dari Dusun Parakan, barulah kemudian menyebar ke dusun-dusun sekitar. Begitu pula dengan kegiatan Mujahadah yang sudah ada sejak tahun 50an bahkan mungkin jauh sebelum itu. Berawal dari para ibu-ibu di Dusun Parakan pimpinan Almh. ibu Cokro Rejo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Alm. Mbah Umu. Dahulu Mujahadah selalu diadakan pada malam Rabu dikediaman Beliau atau di Mushola dekat rumah. Jumlah jamaah mujahadah dari Mbah Umu dahulu sudah cukup banyak, sekitar 60-70an orang. Jamaahnya pun tidak terbatas hanya dari Dusun Parakan saja, namun juga dari dusun-dusun sekitar seperti dari Dusun Kuncen, Kujon, Ngargosari hingga Malangan. Kemudian pada suatu waktu kegiatan mujahadah di Dusun Parakan sempat terhenti. Lalu atas desakan
para ibu-ibu dan Mbah Umu sendiri, antara 70akhir-80an awal, Bapak Achyadi yang waktu itu masih muda dan baru lulus dari pesantren diminta untuk membangkitkan dan menggiatkan kembali kegiatan mujahadah tersebut. Mulailah dari saat itu digilir dari rumah per rumah para jamaah tiap malam Jum’at. Jamaahnya pun masih lintas dusun sama seperti ketika Mbah Umu masih memimpin. Karena jamaah Mujahadahnya yang lintas dusun, kemudian dalam perjalanannya Bapak Achyadi di undang sampai Kujon, Kuncen bahkan Ngargosari. Dahulu kegiatan mujahadah terselenggara tanpa ada sajian makanan apapun. Lalu dalam perkembangannya acara mujahadah kadang diselingi dengan acara syukuran dan haul leluhur. Berawal dari itulah acara mujahadah ada hidangan makanan secara sederhana. Pada medio tahun 80-90an, barulah para lelaki terutama dari bapak-bapak Dusun Parakan mengadakan rombongan mujahadah yang dipimpin oleh Bapak Zainal. Kemudian jamaah mujahadah mulai menyebar dan berdiri sendiri di dusun-dusun sekitar di wilayah Ngargogondo dan masih eksis hingga kini. Sumber: Bapak Achyadi 61th, Parakan, Ngargogondo.
Sejarah peradaban dan kebudayaan Islam di Dusun Parakan adalah yang tertua diantara dusun-dusun lain di Desa Ngargogondo. Adalah Alm. H. Ilham beserta dengan keturunannya seperti Alm. Kyai Zaini dan Alm. Ahmad Syamsudin dari beberapa tokoh Islam pada masa lalu yang mempunyai peran besar dalam mencerdaskan kehidupan beragama Islam kepada masyarakat. Sehingga pada zaman dulu, banyak penduduk dari dusun-dusun dan daerah lain menimba ilmu Agama Islam ke Dusun Parakan yang kemudian menyebarkan adat dan tradisi Islam seperti peringatan muludan ke masyarakat di dusun masing-masing. Bapak Zainudin atau yang lebih akrab dipanggil Pak Nudin, seorang tokoh dan mantan Kadus bercerita bahwa tradisi muludan di Desa Ngargogondo atau tepatnya di Dusun Parakan sudah sejak zaman nenek moyang, sebelum beliau dilahirkan. Menurut Pak Nudin, maulidan atau yang lebih dikenal dengan Muludan adalah peringatan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Maulud pada Kalender Jawa atau Rabiul Awwal dalam Kalender Hijriyah.
Pak Nudin menambahkan, kegiatan warga dalam tradisi muludan adalah pengagungan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam dengan memperbanyak bacaan sholawat kepada Beliau. Selain dikerjakan sendiri oleh para warga, ada juga kegiatan bersama warga yaitu berjanjen (pembacaan shalawat barzanji), diba’an (pembacaan kitab diba’) di mushola dan masjid. Kegiatan ini sudah sejak zaman dulu sering dilakukan oleh para warga selama sebulan penuh pada bulan maulud. Kegiatan lainnya adalah pengajian akbar yang diisi tausiyah oleh ulama atau kyai yang didatangkan dari luar desa. Pengajian ini juga sudah berjalan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Seingat Pak Nudin, bahkan sebelum listrik masuk desa, supaya kegiatan pengajian makin meriah pernah dari pihak dusun menyewa seperangkat alat sound system dari daerah Ponggol, Muntilan dengan tenaga listrik dari aki. Sebagaimana dijelaskan diawal, kegiatan mauludan di Desa Ngargogondo diawali dari Dusun Parakan yang kemudian berkembang dan menyebar ke dusun-dusun lain. Semoga kedepan kegiatan muludan ini senantiasa lestari dan berkembang lebih baik sehingga selain mengingat keagungan
Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam juga tercipta kerukunan antar warga. Sumber: Bapak Zainudin (64 tahun). Parakan, Ngargogondo.
NGARGOGONDO
Pengajian Selapanan oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Sebutan nggon wong santri begitu erat melekat kepada warga Dusun Parakan pada masa lalu dari masyarakat sekitar Desa Ngargogondo. Para leluhur dusun sangat berperan besar dalam kemajuan kehidupan berbudaya Islam pada masa lalu. Salah satu peninggalan sejarah kejayaan Islam Dusun Parakan adalah Pengajian Selapanan. Pengajian yang menjadi cikal bakal pengajian selapanan di seluruh dusun di wilayah Desa Ngargogondo dan sekitarnya. Disebut Pengajian Selapanan, karena pengajian ini terselenggara setiap selapan dina (35 hari) sekali. Pengajian Selapanan Minggu Pon Dusun Parakan terlacak sudah ada sejak awal keberadaan Masjid Darul Huda atau masjid pertama di Desa Ngargogondo. Sejak awal keberadaannya, pengajian selapanan selain menjadi media dakwah Islam juga menjadi penguat gotong royong dan kerukunan warga. Dalam perkembangannya pengajian selapanan kemudian terselanggara didusun-dusun sekitar Ngargogondo atas jasa besar dari Alm. Bapak Kyai Nurhadi dari Dusun Kujon. Bapak Achyadi sebagai tokoh Agama Islam di Dusun Parakan saat ini menceritakan, pengajian
selapanan Ahad (Minggu) Pon di Dusun Parakan sudah terselenggara sejak zaman dulu. Dalam ingatan beliau, dahulu dalam satu majelis pengajian, Kyai yang mengisi acara tidak hanya satu seperti sekarang. Tapi banyak kyai sepuh yang datang dari berbagai penjuru di Borobudur. Mereka mengisi acara secara bergantian, sehingga acaranya lebih lama dan khidmat. Bahkan ada juga Kyai yang datang dari Muntilan, tepatnya dari Desa Menayu, Adikarto. Sebagaimana Mujahadah yang pernah terhenti. Sekitar tahun 70an akhir, pengajian selapanan Minggu Pon Dusun Parakan juga pernah mati suri untuk beberapa waktu. Kemudian sekitar tahun 80an awal, atas desakan para kaum Ibu Pak Achyadi sebagai tokoh muda saat itu diminta dan disemangati untuk menghidupkan dan menggiatkan kembali. Menurut Bapak Achyadi, kegiatannya tidak serta merta hidup kembali seperti yang sebelumnya. Seperti pergantian hari kegiatan pengajian hari dari Minggu Pon ke Jum’at Pahing. Meski pergantian hari itu tidak berlangsung lama, hanya beberapa tahun saja. Kemudian lambat laun dengan dukungan dan pengelolaanya oleh masyarakat, pengajian
selapanan kembali lagi ke hari Minggu Pon hingga kini. Isi dalam acara pengajian selapanan tidak hanya Tausiyah oleh para Kyai yang diundang. Dalam rangkaian acaranya, kegiatan ini diisi juga dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an, pembacaan Kalimah Thayibah (Tahlil) oleh Bapak Modin, sambutan dari wakil tuan rumah yang selain berisi ucapan selamat datang dan terimakasih atas kedatangan jamaah, juga berisi informasi-informasi tentang perkembangan desa. Ada juga pembagian makanan ringan (snack) atau kalau dahulu lebih dikenal dengan sebutan longsongan hasil dari urunan warga. Tidak seperti sekarang yang makanan ringannya lebih banyak beli dari pasar. Pada zaman dulu makanan yang dibagikan ini lebih banyak dihasilkan oleh tangan terampil dari ibu-ibu dusun. Bahan bakunya pun berasal dari hasil ladang atau kebun pekarangan rumah. Ketika memperingati hari-hari besar Islam seperti Maulidan. Makanan yang disajikan tidak hanya makanan ringan saja, namun juga hidangan nasi beserta lauk pauknya. Dahulu hidangan nasi itu dibungkus dengan daun pisang dengan cara di cara di tempel sehingga lebih dikenal disebut dengan tempelan. Yaitu membungkus dengan cara membujur. Kemudian lembar daun pisang diletakkan di telapak tangan kiri, lalu tengahnya diisi nasi dengan lauk kering atau tanpa kuah. Kemudian atasnya ditutup dengan lembaran daun, setelah itu dua pojok lembaran daun bawah (tempat nasi) dan penutup dilipat menjadi bentuk segitiga lantas ditusuk dengan lidi. Demikian cerita pengajian selapanan sebagai salah satu kebudayaan spiritual Islam di Desa Ngargogondo. Semoga senantiasa lestari.
Jadwal pengajian selapanan di Desa Ngargogondo. Parakan Ahad Pon Kuncen Ahad Legi Ngargosari Ahad wage Kujon Ahad Pahing Malangan Jum’at pahing
NGARGOGONDO
Pijat Mbah Samenan oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Wagean Jum’at kliwon
Sumber: Achyadi, 61th Parakan, Ngargogondo
Dusun Wagean adalah dusun yang terletak paling barat dari Desa Ngargogondo. Dusun yang bisa dibilang pintu masuknya desa ini, berbatasan langsung dengan sebuah dusun dari Desa Tuksongo bagian timur yaitu Dusun Ganjuran II atau lebih dikenal dengan Dusun Dipan. Di Dusun Wagean inilah Kantor Balai Desa Ngargogondo berdiri dan menjadi pusat pemerintahan. Letak Dusun Wagean mudah untuk diingat, karena akan dijumpai percabangan/pertigaan untuk memasuki dusun tersebut. Arah kanan menuju Dusun Malangan dan jika lurus menuju ke arah Dusun Kujon, Parakan, Kuncen, Ngargosari dan juga menuju Desa Candirejo. Cikal bakal Dusun Wagean berasal dari nama leluhur/sesepuh di dusun ini yang bernama Mbah Wage. Karena peran besarnya terhadap masyarakat, namanya lalu dijadikan sebagai nama dusun yaitu Wagean. Kata Wage sendiri kebetulan juga salah satu nama hari dari hari pasaran dalam perhitungan Jawa yang terdiri dari Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi. Salah satu keistimewaan Dusun Wagean yaitu terdapat ahli pijat, seorang kakek berusia 76 tahun yang bernama Mbah Samenan. Walaupun bertubuh kecil dan pendek, tapi kondisinya masih terlihat
bugar dan kuat (rosa). Keseharian Mbah Samenan juga masih mencari rumput untuk makanan hewan ternaknya yang sebanyak 6 ekor sapi/lembu. Dengan usia yang tak lagi muda, beliau masih sanggup melakukan pekerjaan itu seorang diri. Beliau tinggal bersama 2 anak perempuannya yang bernama Amini dan Malikah. Letak rumahnya di pinggir timur dusun yang berhadapan langsung dengan hamparan luas ladang pertanian warga. Rumahnya menghadap ke timur, berwarna biru dan berbentuk limasan dengan halaman yang cukup luas. Selain 6 ekor sapi, beliau juga memiliki beberapa ekor burung perkutut dirumahnya. Alunan musik uyon-uyon gending Jawa juga tak lepas dari kesehariannya. Sudah lebih dari 50 tahun Mbah Samenan sebagai ahli pijat, jadi sudah sangat dikenal. Tamu-tamunya yang datang berobat banyak dari luar kota, luar Jawa, pernah juga wisatawan asing asal Eropa yang juga mencoba pijitan beliau dan merasa puas. Dalam prosesnya saat memijat, beliau tidak perlu waktu lama. Bisa hanya sebentar sekitar 5 menit atau bisa juga sampai 1 jam, disesuaikan dengan aneka keluhan para tamunya. Berbagai macam keluhan telah berhasil beliau sembuhkan. Kearifan dan keunikan dari Mbah
Samenan ialah beliau tidak memasang tarif jasa. Bahkan tidak mau menerima imbalan yang berbentuk uang jika melayani para tamu yang berobat kepada beliau. Akan tetapi para tamunya terkadang secara sukarela memberikan sesuatu sebagai tanda jasa dan rasa terimakasih yang berupa sembako atau rokok kretek asal Kediri berbungkus warna merah kesukaannya. Ini dilakukan oleh beliau karena ketulusannya yang berniat untuk menolong sesama manusia dengan keahlian yang telah dimiliki. Selain itu juga karena wejangan atau pesan dari guru yang pernah mengajarkan ilmu pijat kepadanya. Gurunya yang orang Jogja, diceritakan oleh Mbah Samenan sebagai orang yang punya banyak kelebihan. Sehingga menarik pihak Keraton Jogja untuk menawarinya menjadi abdi dalem atau hidup di dalam beteng. Namun, tawaran itu ditolak oleh gurunya tersebut. Tidak mudah yang Mbah Samenan jalani waktu akan menerima pembekalan dari sang guru. Beliau harus melaksanakan laku tirakat, prihatin (merih) dengan cara puasa ngebleng selama 5 tahun. Beliau baru akan buka puasa dengan nasi sekepel (satu genggam tangan) setiap selapan ndino (35 hari). Panduan kitab primbon Jawa pun masih digunakannya. Mbah Samenan juga pernah dibawakan rombongan 7 janda oleh seseorang secara bersamaan yang disiapkan sebagai pilihan untuk dijadikan istrinya. Meskipun duda, tetapi beliau menolak karena lebih memilih hidup secara biasa saja, bermasyarakat dan tinggal di kampung. Di Dusun Wagean berdampingan dengan warga Desa Ngargogondo hingga saat ini.
NGARGOGONDO
Nyadran/Sadranan oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
“Sadranan iku warise nenek moyang, sadranan yaiku njalukke ngapura sing wis ajal bebarengan utawa jamaah kirim arwah yen tradisine mbiyen” (Sadranan itu warisan nenek moyang. Sadranan yaiku memintakan maaf para leluhur kepada Yang Maha Kuasa secara bersama-sama atau jamaah kirim do’a ke arwah kalau menurut tradisi masa lalu). Begitulah Bapak Zainudin menjelaskan apa makna dari Sadranan. Sadranan atau yang lebih sering warga menyebutnya dengan nyadran dilaksanakan setiap bulan Ruwah atau Sya’ban disetiap tahunnya. Ada juga yang mengartikan sadranan itu dengan sederhana. Namun kurang tahu juga siapa yang mengawali apakah Kyai Sodrono atau siapa? Yang lebih jelas dakwah Islam di Jawa tidak terlepas dari peran besar Sunan Kalijaga. Beliaulah salah satu Wali yang menjembatani proses akulturasi budaya Islam dan Jawa. Menurut Pak Nudin, Sunan Kalijaga dengan cara yang sangat halus, tidak serta merta langsung melarang setiap tradisi. Yang mau jathilan dipersilakan, yang mau bakar kemenyan ya monggo tapi tetep pada disuruh sholat. Pak Nudin menambahkan bahwa Wayang itu juga bagian dari cara dakwah Sunan Kalijaga. Kenapa dalang itu cuma satu karena itu perwujudan dari Tuhan yang
satu. Yang bisa menggerakkan makhluk apapun siapapun dan menjadi apapun. Sadranan adalah kegiatan bersama warga. Kegiatan yang kadang lebih meriah dari Hari Lebaran sekalipun. Sadranan ditiap-tiap dusun tidak hanya dilakukan oleh warga setempat. Tapi juga oleh warga jauh atau warga luar dusun yang masih mempunyai leluhur yang dimakamkan didusun/ desa tersebut. Pada masa lalu ketika Pak Nudin masih muda, rangkaian kegiatan yang dilakukan dimulai sehari sebelum nyadran dengan kerja bakti berseh atau bersih-bersih kuburan. Kemudian warga bergotongroyong membuat pagar gedhek (terbuat dari anyaman bambu) yang digunakan sebagai pagar yang mengelilingi kuburan. Barulah pada pagi harinya acara nyadran/doa bersama yang dilakukan di mushola atau dimasjid. Dahulu nyadran dilaksanakan secara bersama-sama seluruh warga Desa Ngargogondo dirumah Kepala Desa. Yang kemudian setelah itu dilanjutkan per dusun sendiri-sendiri. Pak Nudin masih ingat saat masa mudanya, ketika sadranan masih se-desa setelah itu dilanjut per dusun, para warga bersama anggota keluarganya sendiri lalu berkumpul untuk kirim arwah (kirim doa) atau yang lebih disebut
dengan majemukan. Pada masa pemerintahan Kepala Desa Bapak Imam Sarbini, dengan alasan karena pemborosan nyadran se-desa akhirnya dipecah per dusun yang dilakukan bersama di mushola atau masjid masing-masing. Rangkaian acara pada hari nyadran di masjid adalah pembukaan oleh pembawa acara, pembacaan ayat suci Al Qur’an, pembacaan Kalimah Thayibah/Tahlil, pembagian makanan dan berkat lalu ditutup dengan Mauidhah Hasanah/ tausiyah dan Do’a yang dipimpin oleh Ustadz/Kyai setempat. Bingkisan makanan yang dibawa pulang atau yang lebih sering disebut dengan berkat yang dibagikan dalam nyadran dahulu dalam bentuk sarang atau anyaman blarak (daun kelapa). Kemudian diganti dengan keranjang mbako (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya dipakai sebagai wadah tembakau). Kini dengan perkembangan zaman, wadahnya berganti menjadi pakai cething plastik (keranjang tempat nasi yang terbuat dari plastik). Hidangannya pun kini tidak hanya terdiri dari nasi, sayur, lauk, srundeng, lentho, pethek dan kerupuk. Namun juga bahan-bahan makanan mentah dan jajanan makanan ringan. Dulu setiap momen sadranan juga ada tradisi ter-teran yang berarti ngeterke atau mengantar makanan ke sanak saudara. Pak Nudin bercerita, ketika masa pemerintahan desa Alm. Bp Sumorejo dari Malangan. Pada suatu musim sadranan Bp Sumorejo mendapatkan nasi ter-teran sebanyak 24 paket. Kemudian beliau mengumpulkan semua perangkat dan warga dirumahnya tanpa ada maksud apapun kecuali disuruh makan bareng. Nyadran sekarang selain acara kirim doa buat para leluhur juga diselenggarakan pengumpulan infaq. Dana Infaq yang sering juga disebut wajib
ini difungsikan untuk kas nyadran yang kemudian buat modal nyadran tahun berikutnya. Di Dusun Parakan sendiri, dahulu hasil dari dana infaq diwujudkan dalam bentuk hewan ternak kambing yang kemudian digadohke (sistem ternak bagi hasil) kepada warga yang berminat. Kemudian menjelang bulan sadranan hewan itu dijual. Setelah dibagi hasil dengan peternak, lalu dikumpulkan lagi hasilnya kepada panitia sadranan.
NGARGOGONDO
Sumber: Bapak Zainudin (64). Parakan, Ngargogondo.
oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Bulan Suro Desa Ngargogondo
Menurut penuturan Bapak Sujadi dan Bapak Badar, pada tanggal 1 bulan Suro di Desa Ngargogondo secara tradisi tidak ada kegiatan bersama yang melibatkan warga masyarakat se-Desa. Kegiatan diadakan bersama pada tanggal 10 Suro yaitu santunan yatim piatu di Balai Desa Ngargogondo. Selain Dusun Parakan, kegiatan malam 1 suro di dusun lainnya di Desa Ngargogondo, secara tradisi adalah kegiatan pemanjatan doa bersama kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diawali dengan ziarah kubur secara pribadi masing-masing warga. Kemudian ba’da ashar melaksanakan doa akhir tahun berjamaah di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushola. Setelah ba’da Maghrib, kegiatan dilanjutkan dengan berdoa awal tahun. Pemanjatan do’a dilaksanakan sehabis ashar dan setelah maghrib karena pergantian hari dalam kalender jawa dimulai pada saat matahari terbenam. Sedangkan di Dusun Parakan tidak ada kegiatan warga secara bersama-sama pada malam 1 Suro. Namun bila ada warga yang melakukan kegiatan, itu dilakukan secara pribadi. Misalnya kegiatan itu
tirakatan, ziarah ke makam leluhur, jamasan pusaka atau yang lainnya. Menurut 2 narasumber ini, kegiatan di dusun Parakan pada Bulan Suro biasanya diadakan pada malam tanggal 10 Suro yaitu: Berdoa bersama (Mujadahan)/Sedekahan dan kepungan (makan bersama) Do’a bersama (Mujadahan) dilakukan pada malam 10 Suro terinspirasi dari cerita kenabian. Salah satunya cerita dari peristiwa banjir besar pada zaman Nabi Nuh. Saat itu yang tersisa di dunia setelah banjir surut hanya beberapa pasang makhluk, baik dari golongan manusia, binatang dan lainnya. Pada saat itu bertepatan dengan tanggal 10 Suro mereka berkumpul membawa berbagai macam makanan kemudian mengadakan selamatan (Doa bersama). Kegiatan Berdoa Bersama di Dusun Parakan dilaksanakan dengan kepungan sajian nasi kluban, yaitu nasi putih yang diletakkan dalam wadah panci atau tampah dengan taburan berbagai macam sayuran yang direbus terlebih dahulu kemudian
dicampur dengan kukusan parutan kelapa muda yang dicampur dengan ulegan bumbu yang terdiri dari cabe, bawang putih, gula jawa, daun jeruk beserta kencur yang dibuat sore hari menjelang acara. Tidak lupa juga sajian jenang abang putih yang berasal dari olahan beras yang dicampur dengan santan kelapa tua serta dibumbui garam dan daun salam yang dimasak hingga menjadi bubur/jenang putih. Sedangkan jenang abang adalah jenang putih dengan tambahan gula jawa. Penyajian jenang abang putih seringnya diletakkan bertumpuk atau berdampingan dalam satu piring. Sajian nasi kluban adalah simbol dari keselamatan, kebersamaan dan kesederhanaan. Sedangkan jenang abang putih bermakna untuk tolak bala atau untuk menghindarkan manusia dari keburukan. Harapan dari sajian tersebut adalah agar di tahun yang baru diberikan keselamatan dan terhindar dari segala macam keburukan. Acara do’a bersama dilaksanakan sehabis sholat Isya, dengan masyarakat berkumpul duduk berkeliling di serambi masjid. Kegiatan tersebut diawali dengan pembukaan dan sambutan dari bapak kepala dusun, dilanjutkan dengan tahlilan dan pemanjatan do’a bersama yang dipimpin oleh bapak kaum/modin (pemuka agama Islam) lalu diakhiri dengan kepungan atau makan bersama. Santunan Anak Yatim Pada siang harinya tanggal 10 Suro diadakan kegiatan sosial, yaitu santunan anak yatim yang dilakukan baik secara pribadi atau bersama dusun lainnya di Balai Desa Ngargogondo.
Narasumber : Nama : Sujadi Alamat : Parakan, Ngargogondo. Usia
: 63 th
Jabatan : Modin (Kaum) sejak usia 20an. Untuk memimpin didusun Parakan dan dusun2 lainnya sampai saat ini di Desa Ngargogondo.
Nama : Badar Alamat : Malangan, Ngargogondo Usia
: 71 th
Jabatan: Tokoh Masyarakat
NGARGOGONDO
NGARGOGONDO
Tedak Siten
Ziarah ke Makam Kunci
oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Upacara tedak siten atau tedak siti biasa disebut juga ngedun-dunke lemah untuk pertama kali yang biasa dilakukan pada usia bayi kurang lebih 7bulanan. Meski di dusun jarang yang melakukan, tapi menurut Pak Jadi, dalam Islam upacara ini terinspirasi dari kisah Nabi Musa ‘Alaihisalam. Pada zaman Mesir kuno dahulu, bayi Musa dibuang oleh orang tuanya di sungai Nil karena ketakutannya akan titah Firaun yang akan membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir. Kemudian tak lama kemudian ketika Asiyah mencuci di sungai melihat cahaya dari kejauhan yang lama-lama semakin mendekat dan ternyata adalah sebuah peti yang didalamnya ada bayi. Kemudian bayi Musa dibawa pulang dan dirawat dengan baik oleh Asiyah. Pada suatu waktu Musa digendong oleh Fir’aun. Kemudian Musa menggenggam jenggot Firaun dan beberapa helai bulunya lepas. Fir’aun pun murka, seketika itu ia mau membunuh musa karena khawatir ketika besar musa akan melawannya. Asiyah dengan sigap lalu berbicara kepadanya, “Baginda, musa itu masih bayi tak tahu mana yang baik dan buruk. Jika pun ia diberi pilihan berbagai macam barang dan bara. Pastilah ia memiliha bara api karena itu sangat menarik.” Tak lama kemudian, apa yang dikemukakan Asiyah dilakukan oleh Fir’aun. Ia
menyediakan senjata, harta benda dan bara api, kemudian Musa diletakkan dan disuruh memilih beberapa benda tersebut dan ia memilih bara api lalu memakannya. Barulah Fir’aun percaya dengan apa yang dikemukakan oleh Asiyah isterinya. Dari itulah kenapa dalam acara tedhak siten, seorang bayi disediakan berbagai macam benda dan disuruh untuk memilihnya. Dengan harapan benda yang dipilih itulah yang akan menjadi alamat keberuntungan bagi bayi tersebut dikemudian hari.
Sumber: Bapak Sujadi (64th). Parakan, Ngargogondo.
Makam merupakan tempat yang dianggap suci, angker dan dikeramatkan, terlebih makam tokohtokoh penting. Bagi orang Jawa, tentu tidak terlepas dari adanya ritual ziarah kubur. Ritus ini merupakan tradisi masyarakat Jawa yang sudah turun temurun. Dalam tradisi ziarah kubur, tidak hanya mewujud sikap hormat orang Jawa kepada leluhurnya. Sering juga terselip ungkapan harapanharapan agar memperoleh berkah dari leluhur sebagai bekal menjalani kehidupan. Banyak orang Jawa beranggapan, berziarah ke makam leluhur dapat menimbulkan pengaruh tertentu dan ketenangan. Dalam perkembangannya di Desa Ngargogondo, ziarah kubur memiliki makna yang sangat dalam dan menjadi salah satu kegiatan yang tak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat. Bahkan ada ungkapan sebagai guyonan semata dikalangan sendiri untuk menyebut para peziarah sebagai “ahli zaroh” atau juga ibadah turki (turut kijing). Menurut Pak Sujadi, Modin dusun Parakan, 64 tahun, makam Kunci adalah makam yang dianggap istimewa bagi warga Dusun Kuncen, Dusun Kujon dan Dusun Parakan. Selain sebagai makam umum, di makam tersebut terdapat Makam Kyai Kunci yang menjadi cikal bakal Dusun Kuncen, makam Pangeran Mijil yang dipercaya sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro
ketika perang melawan Belanda. Ada juga makam Kyai Abdul Hamid salah satu tokoh cikal bakal Desa Ngargogondo, Haji Ilham beserta isteri sebagai sosok pendiri masjid pertama di Desa Ngargogondo serta Ndoro Wagean yaitu orang kaya Ngargogondo dimasa lalu. Ziarah ke Makam Kunci bagi masyarakat Desa Ngargogondo terutama warga Dusun Kuncen, Dusun Kujon dan Dusun Parakan merupakan ritual yang sering dilaksanakan secara pekanan. Yaitu setiap hari kamis sore sehabis ashar. Ada penjelasan menarik tentang kenapa banyak warga berziarah lebih pada kamis sore atau yang lebih sering warga menyebut langsung dengan “malam jum’at”. Seorang ibu-ibu peziarah dari Dusun Parakan ketika ditanya “Mbak, kok malam Jum’at le ziarah? (Mbak, kenapa malam Jum’at ziarahnya?)”, dengan sedikit bercanda menjawab “Yo yen ra malem jum’at ra ana kancane, yo wedi (ya kalo nggak malam jum’at nggak ada temen, ya takut)”. Kemudian ibu itu menambahkan, “Jare malem jum’at ki para leluhur gek do bali, nakokke anak putu do genah ngaji pora, do genah ngirim wong tua, mbahne pora, ngono. (katanya malam jum’at itu para leluhur pada pulang, menanyakan anak cucu, pada ngaji tidak, pada ngerti kirim doa ke orang tua, simbahnya tidak, gitu)” Sebab-sebab lainnya ibu
itu menambahkan “ndongakke ben do dingapura dosa-dosane (mendo’akan supaya diampuni dosadosanya)”. Keterangan lainnya tentang kenapa para warga lebih mengkhususkan malam jum’at ketika berziarah adalah “nek wektune ki dina sak-sake, ning Kanjeng Nabi ki ngendika dina jum’at kuwi dina kang luwih mulya (kalau waktunya itu bebas harinya, tapi Kanjeng Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wa salam bersabda bahwa hari jum’at itu hari yang lebih mulia”, begitulah jawaban bapak Modin ketika ditanya perihal hari tersebut. Para warga ketika berziarah sering memulai dengan membersihkan makam yang diziarahi dengan menyapu dan mencabuti rumput2 sekitar makam. Ketika makam sudah bersih barulah mereka memanjatkan do’a dengan cara jongkok, duduk diatas dingklik yang tersedia di makam atau duduk dengan alas seadanya. Para peziarah lebih sering membaca Surat Yasin dan Tahlil meskipun bila tidak mampu membaca salah satu atau keduanya “ndonga cara Jawa yo rapopo (berdo’a dengan Bahasa Jawa juga tidak apa)”, kata pak Modin, Sujadi menambahkan. Ziarah kubur bagi warga Ngargogondo tidak terbatas hanya ziarah pekanan saja. Tetapi juga ziarah tahunan misalnya ketika Bulan Ruwah (sya’ban) atau bertepatan dengan acara Nyadran, menjelang puasa, menjelang Idul Fitri dan menjelang acara haul atau mengirim do’a bagi leluhur. Bahkan ketika menjelang Idul Fitri, ada tradisi khusus yang sering juga disebut “Nyekar”. Yaitu ritual ziarah kubur dengan membawa bunga Telasih dan ada juga yang menambahkan dengan sepaket bunga yang disebut dengan “kembang setaman”. Kembang setaman adalah paket bunga berbungkus daun pisang berisikan bunga melati, mawar merah dan mawar putih, kanthil, kenanga.
Bunga-bunga itu mereka dapatkan dengan mudah di pasar Borobudur ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Nyekar dilaksanakan 2 hari sebelum hari raya hingga hari pertama Idul Fitri. Ritual ziarah kubur bagi warga Desa Ngargogondo adalah bagian dari tradisi masyarakat dan bagian dari kearifan budaya lokal yang akan terus dilestarikan.
NGARGOGONDO
Guyub Rukun, Ruh Bebrayan di Desa Ngargogondo oleh: Nur Kholiq Arif Sutoyo
Bagi warga Desa Ngargogondo, guyub rukun sangat melekat dengan keseharian mereka. Dua kata itu menjadi ruh dari kehidupan sehari-hari warga desa. Kepala Dusun Parakan, Desa Ngargodongo, Rosyid, budaya guyub rukun memiliki makna yang sangat luar biasa dan hebat. Berasal dari dua kata yaitu “Guyub” yang artinya kebersamaan sedangkan “Rukun” memiliki makna keselarasan. Guyub rukun sejatinya merupakan ruh kehidupan bermasyarakat (bebrayan) di Desa Ngargogondo. “Kegiatan guyup rukun di Desa Ngargogondo tercermin dari rasa gotong royong antar-warga dan saling berbagi dalam suka maupun duka,” ucap Rosyid. Gambaran guyub rukun bisa dilihat dari kegiatan mereka yaitu; Sambatan Sambatan adalah istilah gotong-royong yang biasa digunakan masyarakat desa untuk mendirikan/ memperbaiki bangunan atau rumah warga. Berasal dari kata dasar “sambat” dan akhiran “an”. Sambat yang berarti permintaan bantuan dan akhiran “an” merujuk pada aktifitas atau tindakannya.
Satu hal yang menjadi ciri khas utama sambatan adalah mereka tidak dibayar sama sekali, biasanya hanya disuguhi makanan dan minuman. Hal tersebut merupakan bentuk menjaga kerukunan dan kepedulian sosial yang telah diwariskan turun temurun oleh para pendahulu. Sambatan seringkali dilaksanakan hanya seharian atau bahkan hanya setengah hari saja pada hari Minggu, mengacu pada hari libur nasional. Warga yang ikut sambatan biasanya diundang oleh peminta bantuan dari rumah ke rumah sehari atau dua hari sebelumnya. Kerja bakti Kerja bakti adalah kegiatan masyarakat yang bersifat massal atau bersama dalam mengerjakan suatu sarana dan prasarana umum demi kepentingan bersama. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mulai dari kalangan muda hingga orang tua. Peran bagi laki-laki lebih banyak mengerjakan tugas di lapangan sedangkan ibu-ibu menyiapkan sajian makanan secara sukarela untuk dimakan bersama-sama.
Kegiatan kerja bakti di Desa Ngargogondo selalu dipimpin atau dibawah komando langsung Kadus setempat. Undangan kerja bakti seringkali diumumkan sehari atau dua hari sebelumnya melalui speaker masjid. Waktu kegiatan dimulai pada pagi hari sampai zuhur tiba, dengan diselingi istirahat dan menikmati olahan sajian yang dipersiapkan oleh ibu-ibu. Bila objek kegiatan belum selesai dikerjakan, maka akan dilanjutkan sampai azan asar dikumandangkan di masjid setempat. Ada juga kerja bakti bergiliran, yaitu kerja bakti yang dilakukan secara bergantian oleh anggota masyarakat. Dengan cara warga dibagi menjadi beberapa kelompok dan dibuatkan sistem penjadwalan. Kerja bakti bergiliran biasanya dilaksanakan dalam pengerjaan pembangunan fasilitas umum seperti pembangunan tempat ibadah dan pembangunan gudang perkakas desa. Tradisi itu telah dijalankan sejak dahulu secara turun temurun. Kegiatan kerja bakti bersih-bersih atau pembangunan yang dilaksanakan di jalanan disebut dengan setralan. Tarub Tarub dalam acara pernikahan dan kesripahan atau kematian adalah kegiatan persiapan dalam hajatan, antara lain: menyiapkan tratak/tenda, persiapan bala pecah atau barang yang mudah pecah seperti gelas, piring, peralatan dapur dan lain-lain. Karena kegiatan ini lebih mengutamakan kekuatan fisik, maka kegiatan tarub ini lebih sering dikerjakan oleh para lelaki. Rukun sanak Rukun sanak adalah tradisi sumbang menyumbang dalam bentuk pemberian barang sembako maupun amplop yang berisi sejumlah uang. Rukun sanak
dilakukan dalam hal pernikahan, kelahiran, supitan/ khitanan, menjenguk orang sakit atau dalam kesripahan/kematian. Maksud dan tujuan sebagai wujud dari rasa tenggang rasa dan kasih sayang terhadap sesama. Berbeda dengan tarub yang lebih banyak para lelaki, dalam hal rukun sanak ini lebih banyak kaum perempuan yang lebih berperan. Rukun sanak seringkali ramai dilakukan setelah asar hingga waktu isya meskipun bisa dilakukan dari pagi hingga malam. Berikut adalah contoh foto-foto kegiatan Kerja Bakti bergiliran dan Sambatan pengecoran lantai 2 TK RA Masyitoh Ngargogondo.
Sambeng
SAMBENG
makhluk gaib.
Budaya Spiritual Suran di Dusun Sambeng
Beberapa hal yang masih sering dilakukan sesepuh dan Pak Rowiyanto di malam 1 Suro adalah mengapit tanggal satu suro dengan berpuasa ngrowot (makan umbi-umbian alami dan meninggalkan olahan makanan) dan mutih (makan makanan alami berwarna putih dan anyep/dingin).
Ingkung (manembaho kanti linangkung)
oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
gantian dari Windu Sangsoro ke Windu Sancoyo. Yang menarik, Sangsoro artinya musibah atau kesengsaraan, Sancoyo artinya bercahaya atau melambangkan kemakmuran.
“Harapannya, pergantian dari Windu Sangsoro ke Windu Sancoyo memberi keberkahan dan dunia keluar dari musibah, seperti pandemi covid-19 yang sedang terjadi sekarang,” kata Rowiyanto (40), tokoh di Dusun Kedungan 1, Desa Sambeng, Borobudur, Magelang. Dikatakannya, suran adalah perayaan pergantian tahun baru Suro. Suro adalah bulan pertama dalam pertanggalan Jawa. Tanun ini 1 Suro jatuh pada hari Selasa Pon 10 Agustus 2021 dalam kalender Masehi. Nama: ROWIYANTO Berbicara mengenai Bulan Suro, dalam Budaya 1 Suro 1955 atau bertepatan dengan 10 Agustus 2021 menjadi penanda dalam siklus 8 tahunan di Tahun Jawa. Tahun ini merupakan masa per-
Makna nasi kluban (urap, urip, urup) adalah simbol dari wujud rukun gotong royong,.
Jawa, identik dengan sakral dan mistisnya. Makna Suro bagi orang Jawa di beberapa daerah salah satunya di Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, bulan Suro diartikan sebagai bulan yang menyeramkan, seperti penuh bencana dan bulannya para
Memperingati perayaan malam 1 Suro atau 1 Muharam, Pak Rowiyanto mengadakan acara doa bersama/tirakatan di kediamannya yang disaksikan oleh keluarga dan tokoh-tokoh masyarakat. Di Desa Sambeng sering disebut seslametan. Isinya adalah ritual mendoakan para leluhur yang sudah meninggal dan memanjatkan doa-doa sakral untuk rasa syukur terhadap Sang Maha Kuasa. Di samping itu ada juga macam-macam hidangan makanan dan sesajen yang dikelilingi oleh para pembaca do’a(modin/sesepuh desa)
Menurut Pak Rowiyanto dalam tiap-tiap makanan, sesaji, dan tumpeng selamatan memiliki pemaknaan yang cukup dalam. Nasi kluban (urap) Isi nasi kluban adalah nasi yang dicampur dengan sayur-sayuran dan parutan kelapa yang sudah di kasih bumbu, komplitannya ada tempe goreng, sayur kentang, rempeyek, dan krupuk. Untuk komplitan ini jika mau ditambah pemanis tidak apa apa, asal tidak meninggalkan yang pokok kata Bapak Rowiyanto
Ingkung adalah ayam jago Jawa yang dimasak utuh. Dimasak oleh ibu-ibu dan cara memasaknya dibacem/gurih manis.
Dalam arti simbol hamba Allah kepada Tuhannya. Bentuk dari ayam yang di ikat (ingkung) bermakna mengendalikan hawa nafsu
Bubur suro Isi dari bubur suro adalah, nasi beras dan kacang-kacangan yang merupakan simbol dari wujud syukur dan permohonan maaf apa yang sudah terjadi dan meminta kemuliaan apa yang akan dihadapi, komposisi bubur suran ialah bubur nasi putih, kacang kedelai, isi kacang panjang, kacang tanah, kacang hitam, kacang hijau, biji lamtoro/ mlanding. Menurut Pak Rowiyanto, 7 bahan ini bisa diganti bahan lainnya jika tidak ada sama sekali bahan tersebut yaitu bisa diganti olahan kacang kacangan lainnya asal dengan jumlah 7 macam. 7 (pitu) ini bermakna pitulungan.
Jenang merah putih (manunggaling sawiji)
Sebagai simbol lambang kehidupan manusia yang tercipta dari air kehidupannya manusia, Menandakan merah itu ibu, putih itu bapak (sel darah putih dan sel darah merah, adapun bahan pembuatan menggunakan beras putih dan dimasak dengan cara direbus dengan campuran santan,untuk warna merah ditambah gula jawa.
tkan keharuman para lelujur. Keharuman yang di maksud yaitu berupa nasehat, pelajaran, berkah, dan kekayaan spiritual yang di harapkan akan di wariskan secara turun-temurun. Isi dari kembang setaman ada mawar melati kantil kenanga. Pemaknaan lainnya dari kembang setama adalah perpaduan bunga yang ada di taman dan dijadikan uborampe, memaknai harapan seperti indahnya taman
Jajan pasar Jajan pasar adalah simbol kerukunan yang di wujudkan rasa sukur kita atas apa yang kita punyai dari olahan hasil bumi. Isi jajan pasar: makanan-makanan kecil umbi-umbian kacang-kacangan, buah-buahan,apem. Kenapa kok pada gambar yang tertera ada bingkisan kacang modern? kenapa kok tidak dibungkus daun pisang? Karna jajanan pasar mengaitkan apa yang ada di pasar dengan kondisi pasar saat ini
Telur ayam kampung Simbol dari awal kehidupan (wiji kang urip), bahan ini tidak bisa diganti dengan telur lain kata Pak Rowiyanto, adapun makna Wiji Kang Urip ialah Benih kehidupan
Kembang setaman
Simbol wujud harumnya kembang setaman mewakili pengharapan agar kita senantiasa mendapa-
Wedang 7 Makna wedang 7 manusia hidup berawal dari ari, tujuh berasal dari simbol kenikmatan dan rasa dan sebagai simbol pengingat terhadap hidup karena anggota tubuh manusia juga ada 7 yang digerakkan oleh rasa kulit,bulu,darah,daging,otot,tulang, sumsum. Isi wedang 7 yaitu teh pait, kopi hitam pahit, air putih, susu, wedang jahe, kopi manis, the manis Di samping ritual itu ada juga ibu-ibu yang sibuk mempersiapkan makanan dan sesaji. Sementara bapak-bapak sedang menyiapkan minuman. Mengapa ibu-ibu yang memasak dan bapak-bapak yang mempersiapkan minuman? Jawabannya karena ini adalah tradisi kami warga Desa Sambeng, setiap desa ada cara masing masing, dan setiap negara ada tatanan/aturannya masing masing. Setelah selesai acara ritual di lanjut dengan acara makanmakan bersama dan dan potong tumpeng.
Di samping itu ada juga yang mandi ke tempat sumber mata air yang sering disebut sendang ngudal bertempat di timur Desa Sambeng. Konon katanya, menurut nenek moyang ritual mandi (kungkum/berendam) di sendang adalah cara membersihkan diri dari hal-hal buruk seperti penyakit-penyakit yang ada di tubuh dan juga menghindari terkenanya penyakit atau bencana yang menimpa kita. Kemudian ada tirakatan, tirakatan ini kelanjutan dari ritual mandi yang dilakukan di rumah-rumah sendiri atau di tempat yg sunyi jauh dari keramaian, Tirakatan sering disebut dengan tapa bisu, biasanya di lakukan setelah jam 12:00 malam ritual tirakatan adalah melantunkan do’a-doa dan bacaan sholawat nabi dengan berulang-ulang sampai jam 03:30 pagi, di temani oleh dupa untuk pengharum suasana dan penenang jiwa.
Untuk memperingati tahun baru Jawa di desa kami banyak yang melakukan puasa sunah (Asyura dan Tasua) yang artinya puasa di tanggal 1 sampai tanggal 10 muharam. Di sisi lain ada juga yang memakai make up (celakan atau eyeliner) di zaman modern ini, yang kalau zaman dulu menggunakan arang, khususnya mewarnai bulu mata dengan warna hitam. Menurut Ibu khomariyah itu adalah salah satu ritual dari nenek moyang, guna untuk menghindari terkenanya penyakit mata.
Kegiatan Masyarakat di hari Suro
Pada malam 10 Suro masyarakat di Desa Sambeng mengadakan doa bersama di masjid guna puji syukur dan keselamatan. Waktu yang dilakukan adalah sehabis salat isya. Masyarakat berkumpul di serambi masjid dan membawa nasi tumpeng yang sering disebut juga sedekahan (adapun isi dari nasi tumpeng ialah nasi putih lauk pauk dan sayur sayuran yang ada dan tidak lupa kerupuk untuk pelengkap). Tumpeng itu akan di makan bersama setelah acara doa selesai, dan di lanjut siraman rohani oleh bapak Abdul koliq, biasanya doa yang di panjatkan adalah doa tahlin dan bacaan-bacaan surat pendek. (Tim Penulis, Khoirul Fai dan Zurdhan AP)
SAMBENG
Pengobatan Sendang Kyai Dulmungin
Menurut Bapak Tugi sendang itu bisa mengobati berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit,penyakit demam, penyakit sawan atau kesurupan.
oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
Narasumber Bapak Tugi sebagai Juru Kunci Sendang Kyai Dulmungin Bapak Tugi merupakan juru kunci Sendang Kyai Dulmungin. Juru kunci Sendang Kyai Dulmungin diturunkan secara turun temurun, menurut cerita Bapak Tugi sendang ini adalah peninggalan nenek moyang beliau yang diwariskan secara turun-temurun dari keluarga Pak Tugi dan sekarang diwariskan ke Bapak Tugi sebagai juru kunci. Sendang Kyai Dulmungin adalah salah satu sendang yang terdapat di Desa Sambeng yang airnya sangat jernih dan tidak pernah habis. Sendang Kyai Dulmungin adalah salah satu sarana pengobatan tradisional yang ada di Dusun Kedungan 1, Desa
sambeng, bertempat di sisi timur, tidak jauh dari perkampungan. Menurut Cerita Bapak Tugi, asal muasal Sendang Kyai Dulmungin menjadi tempat yang istimewa berawal dari aktivitas masyarakat yang dulunya setelah pulang mencari rumput atau kayu bakar dijadikan tempat istirahat, mandi, dan tempat untuk mencari air minum, namun setelah itu masyarakat setempat merasa badan jadi segar dan rasa pusing jadi hilang. Sejarah munculnya Sendang Kyai Dulmungin tidak ada yang tau asal muasalnya, karena umurnya sudah ratusan tahun, dinamai Sendang Kyai dulmungin karena penunggu tempat itu bernama Kyai Dulmungin.
Bapak Tugi memperagakan praktek ritual pengobatan
Setelah pengobatan selesai pasien harus menaruh bunga (kembang boreh) dan rokok gudang garam merah. (ketika Khoirul Fai sebagai pewawancara bertanya perihal rokok, “kenapa kok harus gudang garam merah? kenapa kok tidak rokok merk lain, sampoerna misalnya? Beliau Bapak Tugi menjawab “perintah dari sang penunggu seperti itu” jawaban beliau yang sangat singkat hehe) dan uang seikhlasnya buat tanda terimakasih kita ke Sendang Kyai Dulmungin, selain itu tidak ada pantangan apa pun kalau mau berobat di situ, cukup hati yang mantap dan berpikir positif bisa sembuh.
Untuk cara mengobatinya, sebelum memulai proses pengobatan, Bapak Tugi sebagai juru kunci tidak lupa membacakan mantra yang menurut beliau tidak boleh sembarang orang melakukan pembacaan mantra ini, lalu disertai do’a-do’a sembari menyiramkan air dari gayung. Untuk pengobatan tiap-tiap penyakit memiliki cara yang berbeda-beda, diantaranya: Mandi di Sendang Kyai Dulmungin untuk pengobatan yang tergolong penyakit kulit (seperti koreng,cangkrangen) Demam, pengobatannya dengan cara diminum/ basuhkan ke muka, kepala, tangan,dan kaki seperti wudhu. Penyakit sawan atau kesurupan pengobatannya dengan cara di minum.
Sebelum melakukan ritual pengobatan, Pak Tugi melakukan komunikasi kepada sang penunggu untuk meminta izin. (foto oleh Zurdhan)
lebih bagus kalo datang ke lokasi, untuk waktu pengobatan memiliki waktu khusus yang ditentukan, sewaktu-waktu mau berobat bisa dilakukan dengan dampingan dari juru kunci Sendang Bapak Tugi tentunya.
Pengobatan boleh dilakukan di lokasi dan dilakukan di rumah jika pasien sudah tidak bisa lagi berjalan/kondisi kritis, tetapi saran dari Bapak Tugi
Kembang boreh adalah campuran bunga mawar merah, mawar putih, melati, kanthil dan kenanga, dan boreh (parutan dlingo dan bengkle) Makna kembang boreh agar manusia selalu suci murni dalam tindak tanduk dan perilakunya, sebab warna putih melambangkan kesucian dan ketulusan hati, selain itu kembang boreh juga dimaksud sebagai pengingat agar selalu waspada. (untuk mengusir sawan dan tolak balak hati). Boreh sendiri memiliki kandungan makna subur hatinya, dan
ngereh howo nafsune supoyo becik perilakune (menahan hawa nafsu agar supaya lebih baik dalam berperilaku).
SAMBENG
Tembang Mijil dan Kelahiran Manusia di Dunia oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
Dlingo yang berbentuk panjang sedangkan Bengkle yang berwarna kuning Selain bunga, Kembang Boreh terdiri dari parutan Dlingo dan Bengkle yang termasuk dalam kategori empon empon/jamu tradisional. Dua bahan inilah yang dinamakan Boreh. Dlingo memiliki kiasan makna dari kata (Doelingo)/selalu mengingat kepada kuasa Sang Pencipta. Bengkle sendiri berasal dari susunan kata becik perilakune/perilaku yang baik dalam beribadah maupun perilaku keseharian.
Tembang Mijil merupakan salah satu tembang macapat, apabila dilihat dari urutannya Mijil merupakan tembang yang ke dua setelah tembang Maskumambang. Menurut Pak Rowiyanto (40), Mbah Prayit (68), dan juga Mbah Mugi (63), tembang macapat merupakan gambaran perjalanan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Tembang Mijil artinya sebuah kelahiran dari dalam perut ibundanya. Belum terlihat jelas jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Penafsiran lain ada yang mengartikan sebagai lahirnya atau munculnya keinginan untuk menjadi baik. Berikut contoh tembang mijil
Artinya: Nasihat untuk wanita yang sudah berumah tangga Hendaknya dapat dipercaya Melindungi rumah tangganya Mengasuh anak, maru keluarga dan abdi Selalu berhati-hati Sebelum melakukan sesuatu.
Tembang Mijil
Artinya: Tengah malam suasana mencekam, Dia Sang Pemuda, Dari taman keluar pintu belakang, Tidak ada yang menanyai, Perjalanannya selamat, Sudah sampai jalan besar.
1) Wulang estri kang wus palakrami Lamun pinitados Amengkoni mring balewismane Among putra marusentanabdi Den angati-ati Ing sadurungipun
2) Madya ratri kentarnya mangikis, Sira Sang lir sinom, Saking taman miyos butulane, Datan wonten cethine udani, Lampahe lestari, Wus ngambah marga Gung.
Adapun kaitannya dengan kelahiran bayi dan juga rentetan perlakuan bayi selama masih di kandungan
air sumber yang ditaruh di dalam kendi Semuanya didoakan, kemudian kembang dibuat mandi sang ibu hamil dengan air kendi tersebut ditambah dengan air yang ada 3. Mijil/lahiran Mijil/lahiran/brokohan, brokohan berasal dari kata barokah wujud syukur orang tua atas kelahiran bayinya, tradisi brokohan sebagai pengingat dari semua kebaikan yang pernah diterima.
berikut percakapan antara Pak Rowiyanto, Mbah Prayit dan juga Mbah Mugi. Penjelasan urutan pertama perjalanan bayi dari kandungan dimulai dari peniupan ruh janin oleh Sang Maha Kuasa, tepat di usia 4 bulan janin atau yang sering kami sebut dengan istilah ngapati. 1. Ngapati Diartikan adat kami di Desa Sambeng sebagai wujud syukur dan rasa penuh dengan pengharapan karena kandungan usia 4 bulan ditiupkan ruh oleh malaikat atas izin Sang Maha Kuasa. Biasanya mengadakan ngaji surat-surat AlQuran dan tumpengan yang dipimpin oleh modin atau kaum atau ulama desa. 2. Mitoni/tingkepan Salah satu tradisi daur kehidupaan dalam slametan kehamilan di usia kandungan 7 bulan yang bertujuan mendoakan ibu dan juga bayi yang dikandung agar terlahir dengan lancar normal dan dijauhkan dari segala kekurangan juga berbagai marabahaya,
biasanya ngaji 7 surat di dalam AlQuran (Al Maryam, surat Yusuf, surat LukmAn, Sajadah, Waqiah, Ar-Rahman, Al Muhammad bisa ditambah surat yang lain tergantung kaum/ulama yang memimpin. Bersamaan dengan prosesi di atas, masyarakat Sambeng juga mewujudkannya dengan tumpengan 7 bulan yang terdiri dari tumpeng seperti pada umumnya, ditambahkan jenang merah, jenang putih, jenang baning, jenang putih ditimpa jenang merah, jenang putih disilang jenang merah, jenang putih separuh piring dan juga jenang merah separu piring dijadikan di satu piring, dan baru-baru yaitu jenang putih ditaburi parutan kelapa. Kemudian ada ingkung rosul yaitu ingkung ditambah ikan asin, sambel goreng, kentang goreng, urapan 7 macam sayuran, telur jawa 7 butir. Lalu ada aneka jajan pasar, kembang setaman, dan
Inti dari brokohan memendam ari-ari yang sudah dipotong dan kemudian ari-ari dimasukkan ke dalam kendi dan dipendam di dekat rumah. Biasanya jika anak laki-laki di sebelah kanan rumah, kalau perempuan di sebelah kiri rumah. Dipagari dengan anyaman bambu dan diberi penerangan karena ari-ari sebagai pengirim oksigen/teman si jabang bayi yang harus dirawat dan jaga. Ditambah genduren/sedekahan semampu keluarga 4. Makisi/puput puser Biasa dibarengi dengan aqiqahan,dan juga pencukuran rambut bayi 5. Selapan Usia bayi umur 35 hari biasanya diadakan genduren slametan, atas rasa syukur dari sang ibu dan juga bayi kepada tuhan yang maha esa.
maka nginang suroh yang dihilangkan.
SAMBENG
Tradisi Pancen di Dusun Sambeng oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
sedangkan pancen, ritual yang dilakukan oleh pribadi dan keluarga. Jadi istilah pancen adalah menyiapkan makanan atau minuman yang di sukai leluhur di rumah masingmasing. Kelir makanan setiap rumah berbeda beda, tapi kali ini saya akan mengulas pancen sering dibuat keluarga bapak Nur Fatoni.
Di Desa Sambeng khususnya Dusun Kedungan 1, masih erat dengan budaya menyiapkan sesaji untuk leluhur. Biasayan sesaji atau sajen disediakan setiap acara-acara tertentu atau hari-hari tertentu misal pada malam Jumat. Salah seorang tokoh masyarakat, Nur Fatoni mengungkapkan, menyiapkan pancen di malam Jumat sudah tradisi dari zaman dahulu. Ini dilakukan untuk mengirim arwah leluhur yang sudah tidak ada. Istilah Pancen sendiri adalah panci wes wancine leluhur pulang kerumah uuntuk minta sajen dan minta kirim doa. Perbedaan antara pancen dan sajen, sajen merupakan istilah yang digunakan untuk ritual besar
Bapak Nur Fatoni sebagai narasumber Pancen yang disiapkan yaitu teh pahit, teh manis, kopi pahit, kopi manis, air putih, wedang jahe, nginang suruh, rokok, kembang setaman, uang. Jika leluhur yang dikirim pancen wanita maka rokok dihilangkan, akan tetapi jika leluhur yang dikirim pancen lelaki
Adapun maksud kembang setaman mewakili pengharapan agar kita senantiasa mendapatkan keharuman para leluhur. Keharuman yang di maksud yaitu berupa nasihat, pelajaran, berkah, dan kekayaan spiritual yang diharapkan akan diwariskan secara turun-temurun. Isi dari kembang setaman ada mawar melati kantil kenanga. Perpaduan bunga yang ada ditaman dan dijadikan ubo rampe,memaknai harapan seperti indahnya taman.
SAMBENG
Memaknai Tetembangan Asmaradana oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
Malam Sabtu beberapa waktu yang lalu, sekitar pukul 23:15, saya lek-lekan untuk ngobrol di cakruk atau pos ronda Dusun Kedungan 1, Desa Sambeng, bersama Mbah Prayit (68) dan Mbah Mugi (63). Ditemani secangkir teh untuk menghangatkan badan karena memang cuaca malam itu sangatlah dingin, saya mendapat wejangan pengertian-pengertian tentang salah satu tetembangan macapat yaitu tembang Asmaradana beserta artinya.
Artinya: Permintaanku, kekasih yang tercinta sehati selalu bersama tak berpisah walaupun hanya sehelai rambut jauh di mata dekat di hati bila bersama selalu teringat cintaku kepadamu bersungguh-sungguh seperti mimi dan mintuno
Selain itu, saya menyanyikan tetembangan bowo langgam setyo tuhu dan diartikan oleh Mbah Prayit dan juga Mbah Mugi. Pamintaku nimas sido asih ,atut runtut tansah reruntungan ,ing sarino sawengine, datan ginggan sak rambu ,amung adoh caketing ati Yen cedak tansah mulat Sido asih tuhu ,pindo mimi hamintuno, hayo nimas bareng hanetepi wajib sido asih bebrayan
kata Mbah Prayit.
disiang dan malamnya
Ayo, kasih menjalankan perintah hati (pernikahan) saling mencintai, selalu bersama Setelah menyanyikan lagu, kemudian saya meminta Mbah Mugi dan juga Mbah Prayit untuk menjelaskan apa makna yang terkandung didalam bait lagu tersebut. Mbah Mugi dan juga Mbah Prayit sangat apresiasi dan tampak bersemangat. Mereka mengawali penjelasan dengan senyum. “Ngene yo putuku sejatine tetembangan sing mok lagokke kui mau nyritaake kahanan cah enom sing gek kasmaran sak rumakete, yo koyo sampean iki,”
“Kok saget ngoten mbah,niki kulo dereng semerap maknane, mbok bilih panjenengan longgaring penggalih saget nerangaken tetembangan kasebat,” tanya saya. “Kui ngene putuku,” lanjut Mbah Prayit sembari memaknai arti dari tembang tersebut. Secara ringkas, isi tetembangan yang dinyanyikan tersebut adalah.Pertama, maksudnya ngemu wigati, orang yang lagi senang-senangnya berpacaran kalau istilah sekarangnya, orang itu karena perasaannya yang mendalam dia itu tidak ingin berpisah walaupun hanya sejarak rambut sehari semalam tidak ingin berpisah Ketika menjalani kasih, jangan cuma hati tapi juga sertakan pikiran, selidik asal-usul, baik buruk tingkah dari calon pasangan, dan ketika sudah dapat/ cocok maka dilanjutkan menuju ke kursi pernikahan.
Seperti itulah penjabaran dari lagu bowo langgam setya tuhu. Mereka menyudahi perbincangan karena waktu sudah menujukkan 00.30wib dan kemudian membereskan gelas teh yang tadi dibawa ke tempat cangkrukan dan kemudian pulang ke tempat masing-masing. ”Carilah jodoh yang baik kelakuannya dan memberi pengaruh baik untuk keluarga dan juga masyarakat lain,jangan sampai salah pilih,karna jika salah pilih menyangkut jodoh maka akan jadi kekecewaan untuk selamanya,” pesan Mbah Prayit sebelum pulang.
SAMBENG
Mitos Larangan Perkawinan Antardusun di Sambeng oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
fatal. Seperti, tidak mempunyai anak, salah satu anak ada yang meninggal, jika mempunyai anak maka anak pertamanya pasti meninggal, berumah tangganya tidak harmonis atau sering sakit-sakitan terus dan kehidupannya sering mendapat bencana.
Ada mitos unik terkait perkawinan di Desa Sambeng yang masih disakralkan sampai saat ini. Ada larangan perkawinan antar-dusun yang jika dilanggar bisa menimbulkan bencana. Tokoh masyarakat Dusun Kedungan 2, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Pak Prayit (68) yang tidak diperbolehkan adalah perkawinan antara warga Dusun Kedungan 2, Desa Sambeng, dengan Dusun Kedungombo, Desa Candirejo. Juga Dusun Kedungan 1 Desa Sambeng dengan Dusun Sambeng 2, Desa sambeng. Menurut cerita Pak Prayit dan masyarakat setempat, perkawinan antar-desa itu tidak diperbolehkan dikarenakan akan mengakibatkan bencana yang
Nah bisa disebut mitos perkawinan atau larangan menikah dengan desa tertentu dikarenakan ada yang melatarbelakanginya. Salah satu cerita yang berkembang, adalah cikal bakal Dusun Kedungan 2 dan cikal bakal Dusun Kedungombo itu suami istri yang bernama Kiai Kedung yang bersemayam di desa Kedungan 2 dan Nyai Kedung yang bersemayam di Dusun Kedungombo. Jadi sejarahnya kedua desa itu masih bersaudara jadi sampai anak cucu tidak diperbolehkan saling mencintai dan sampai ke pelaminan. Asal usul Desa Kedungan itu berawal dari Kiai Kedung dan zaman dahulu di sisi utara desa ada sungai yang lebar dan sangat dalam dan orang setempat menamainya kedung yang artinya sungai yang banyak airnya. Cerita lain dari Pak Rowiyanto (38) dan masyarakat
setempat sebut mitos perkawinan atau larangan menikah dengan desa tertentu dikarenakan dari nenek moyang atau cikal bakal dusun, ceritanya jaman dahulu cikal bakal Dusun Kedungan 1 dan cikal bakal Sambeng 2 saling berebut untuk waktu pemakaman Kiai Sambeng. Masyarakat berlomba siapa cepat membuat lubang pemakaman dusun itu lah yang berhak memakamkan Kiai Sambeng, dan waktu itu Dusun Kedungan 1 lah yang menang dan paling cepat membuat makam dan Kiai Sambeng dimakamkan di Kedungan 1. Zaman itulah Dusun Sambeng 2 dan Kedungan 1 tidak akur dan sering terjadi perkelahian. Mulai itulah ada kata larangan menikah dengan Dusun Kedungan 1 dan Dusun Sambeng 2 dan yang
melanggar akan mendapatkan bencana seumur hidup. Kejadian mitos perkawinan itu sudah terbukti dan ada beberapa orang yang sudah mengalaminya. Salah satunya, Pak Darmuji dari Kedungan 1 menikah dengan Ibu Toriyah dari Sambeng 2. Keduanya tidak mempunyai keturunan. Peristiwa lain, Pak Samidi dari Kedungan 1 menikah dengan Ibu Tri dari Sambeng 2. Hidupnya sering sakitsakitan dan selalu mendapatkan bencana, tetapi dari tahun 2005 dia memutuskan pindah rumah, dan menariknya tidak lagi sakit-sakitan. Dan masih banyak lagi yang melanggar larangan menikah dengan desa tertentu. Jadi sejarahnya kedua desa itu masih bersaudara, sampai anak cucu kita tidak diperbolehkan saling mencintai dan sampai ke pelaminan dikarenakan cikal bakal nyai sambeng dimakamkan di Dusun Sambeng 2 dan Kiai Sambeng dimakamkan di Dusun Kedungan 1.
SAMBENG
Mimpi yang Membawa Rowiyanto pada Ngelmu Laku Urip oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
dialaminya, lebih dari 20 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1999. Saat itu sedang ngarit atau mencari rumput untuk ternaknya di alas Munggang yang ada di pegunungan Sambeng sebelah utara atau biasa disebut Gunung Lor.
mandi tengah malam tersebut. Saat berpamitan, orang itu meminta saya untuk datang sendiri ke tempat orang pintar tadi di lain waktu,” ujarnya.
Menurut Rowiyanto, ilmu yang ia dapat berkaitan dengan kitab suci dan warna putih yang bersinar menandakan kesucian jiwa, juga rasa, untuk mewujudkan kamulyan atau kemuliaan dan kemanfaatan, kasantosan atau sentosa untuk orang
“Pada mimpi itu saya ditemui dengan sosok tampan dan berjubah putih. Saya disuruh berjalan ke arah barat laut untuk mengambil sebuah kitab, sinar kitab terlihat sangat terang dari alas Munggang,” kata Pak Rowiyanto. Setelah sadar, Rowiyanto bingung dengan mimpinya. Berhari-hari ia galau karena pesan di mimpi itu. “Saya kemudian bersilaturahmi ke rumah teman untuk bercerita tentang kegalauan ini. Cerita saya diterima dengan baik ditanggapi dengan baik,” katanya.
Pak Rowiyanto (40) warga Dusun Kedungan 1 bercerita tentang pengalaman spiritual yang
Pada tahun 2001 Pak Rowiyanto dengan diantarkan oleh temannya datang ke orang pintar atau kasepuhan Jawa. Ia menceritakan mimpinya. Oleh orang pintar tadi Rowiyanto diminta untuk mandi tengah malam sebanyak 3 malam. “Saya mengiyakan, kemudian ditentukan hari untuk
yang saya alami jauh hari itu nyata. Setelah guru saya meninggal, ternyata laku hidup dibilang rumit ternyata sederhana dan jikalau dibilang sederhana ternya rumit,” papar Rowiyanto.
lain, baik hidup di dunia dan bekal akhirat.
Pak Rowiyanto menceritakan, ritual mandi dilakukan malam Rabu Pon sampai malam Jumat Kliwon. Pada malam pertama sebelum mandi diberikan wiridan bimbingan. Dilanjutkan mandi malam Kamis dan malam Jumat dengan wirid atau mantera yang berbeda-beda. “Setelah selesai prosesi mandi, saya diangkat murid kinasih di situ, seiring berjalannya waktu dalam menimba ilmu, saya baru menyadari bahwa mimpi
“Wong apik sitik mesti ono eleke, wong elek sitik mesti ono becike, linambaran ati kang suci lampahan kang becik manut dawuhe bopo biyung lan guru,mulo ketemu laku,” kata Pak Rowiyanto menyebutkan pesan dari gurunya. Ia juga menambahkan sebuah pesan, “Urip nang ndunyo kudu ngutamaake nggayuh akhirat,lan urip kudu manfangat lan manfangati karo sepodo podo, sinauo terus tekan gustine nimbali, wes cukup mangsane bali,” tutupnya.
SAMBENG
Keris Nyai Brojol
19 Pusaka dan Jamasan di Desa Sambeng
Sesuai dengan namanya brojol/lahir, berfungsi membantu seseorang yang mengalami kesulitan saat melahirkan pada zaman dahulu. Keris jenis ini diputar melingkar mengambang di atas kepala wanita yang ingin melahirkan. Pihak yang diberi mandat menjaga menjaga keris ini adalah keluarga Pak Jinal atua Abdul kholiq
oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
Pak Ihjar (43) orang yang dituakan dalam hal-hal pusaka di Desa Sambeng menjelaskan bahwa jamasan ialah kegiatan mencuci pusaka yang dilakukan tiap awal tahun Suro. Biasanya, di Desa Sambeng jamasan berlangsung hari 1-10 di bulan Suro. Kegiatan mencuci/ngumbah pusaka di Desa Sambeng tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya merekalah yang diberi mandat oleh leluhur yang bisa mencucinya. Adapun yang diberi mandat untuk mencuci pusaka ialah keluarga dari Pak Nur Fatoni, Pak Ihjar, dan Pak Ihdar, Pak Sidiq, dan Pak Abdul Kholiq.
Keris yang direndam pada telawah diangkat pada hari ke 10 bulan Suro kemudian bersihkan kerak/ kotoran yang menempel dengan beling/pecahan kaca. Setelah bersih diolesi campuran air jeruk nipis dan warangan yang bisa didapatkan di pedagang bunga di pasar pasar tradisional. Setelah selesai pengolesan, didiamkan sejenak kemudian digosok dengan sabut kelapa. Selanjutnya dicuci dengan air biasa lalu dijemur. Setelah kering pusaka dibungkus kain mori kemudian disimpan ditiap-tiap keluarga yang diberi mandat untuk menjaganya. Menurut Pak Ihdar (43), Desa Sambeng memiliki macam atau ragam pusaka berjumlah 19. Dari jumlah itu, yang diketahui namanya hanya 5 macam, yaitu:
Berfungsi sebagai penolak hujan, biasa digunakan pada zaman dahulu dan juga sekarang jika warga akan mengadakan suatu kegiatan acara maka biasa keris ini digunakan sebagaimana fungsinya, yang diberi mandat ialah keluarga Pak Abdul Kholiq atau Jinal Sombro Berfungsi untuk membantu menyuburkan dan mensukseskan panen pertanian, cara pakai keris ini direndam pada bak air kemudian air rendaman digunakan untuk menyiram tanaman, keluarga Pak Nur Fatoni yang menyimpan keris ini. Pring Apus Berfungsi untuk keamanan diri pengguna atau buat jaga-jagag, khodam dari pring apus ini ialah macan putih. Pusaka ini didapat dari alas Dengkeng. Pak Ihdar yang menjaga pusaka jenis ini.
Di samping itu kegiatan jamasan yang harus disiapkan yaitu telawah atau tempat untuk merendam pusaka. Keris Kiai Semar Pak Ihdar (43)
Tombak Kiai Singkir Banyu
Pusaka keris Kiai Semar ialah sesepuh dari semua pusaka yang ada. Dia berfungsi sebagai penjaga semua pusaka jenis keris di Desa Sambeng yang diberi mandat menjaga keris ini adalah keluarga dari Pak Ihdar
SAMBENG
Batu Bertelapak Kaki Kuda dan Manusia di Bukit Ngajaran oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
bebatuan dari sungai Njaro untuk dibawa ke Ngajaran. Batu-batu itu digunakan untuk benteng dan juga gaman atau alat berperang melawan penjajah,” ujar Pak Prayit.
Bukit Ngajaran di Dusun Sambeng,konon jadi saksi sejarah Pangeran Diponegoro dan anak buahnya melawan Belanda. Lokasinya di kawasan pegunungan Menoreh sisi utara Desa Sambeng. Menurut sesepuh Desa Sambeng, Pak Prayit (68), bukit Ngajaran adalah tempat latihan Pangeran Diponegoro bersama murid-muridnya. Makna Ngajaran sendiri adalah mengajari, melatih, ilmu kanuragan maupun ilmu beladiri. Ngajaran juga dijadikan benteng atau tempat peperangan Pangeran Diponegoro dengan penjajah. “Zaman dulu murid-murid Pangeran Diponegoro berbondong-bondong mengambil
Gambar Ngajaran (di ambil oleh Zurdan) Pada masa perang Diponegoro yang berlangsung 1825-1830 M, bukit Ngajaran adalah benteng dan tempat perang. Masih banyaknya bebatuan di tempat itu menjadi salah satu bukti bahwa tempat itu memang pernah jadi saksi sejarah. Sayangnya, bebatuan itu sekarang banyak yang terpendam dalam tanah.
Kami bertanya kepada Pak Prayit, tentang pernah ditemukannya batu yang ada telapak kuda dan telapak kaki Pangeran Diponegoro. “Dulu memang ada batu yang berdiameter sekitar 50 cm, di situ ada telapak kaki kuda dan telapak kaki manusia, tapi saya kurang tahu itu telapak kaki Pangeran Diponegoro atau telapak kaki siapa, pada intinya ada telapak kaki manusia dan telapak kaki kuda,” jelas Pak Prayit. Batu yang bertelapak kaki kuda dan kaki manusia di Ngajaran dulunya berada di ladang milik Pak Sakri, orang Kerekan, Desa Candirejo. Zaman dahulu batu itu pernah dibawa pulang oleh Pak Sakri karena bentuknya unik. Tetapi setelah beberapa hari Pak Sakri mengalami sakit-sakitan yang cukup lama dan sakit itu silih berganti datangnya. Setelah Pak Sakri sembuh istrinya gantian yang sakit terus berputar satu keluarga. Setelah beberapa lama sakit-sakitan Pak sakri menemui Pak Prayit dan bertanya-tanya tentang penyakitnya itu kok terus-terusan setelah membawa pulang batu yang bertelapak kaki kuda dan kaki manusia itu. “Laaa watu kui ki peninggalan e wong
biyen kok digowo bali, wong kui huduk duwek mu, sesok di balekke karo aku wingi nendi gone,” kata Pak Prayit pada Pak Sakri waktu itu. Selanjutnya Pak Prayit datang ke rumah Pak Sakri dan mengambil batu itu dikembalikan ke Ngajaran. Setelah sehat ia berniat untuk memendam batu itu di ladangnya. Beberapa tahun kemudian, Pak Prayit kembali bertanya ke Pak Sakri mengenai batu telapak kaki kuda dan telapak kaki manusia itu guna untuk menggali sejarahnya dan ingin dibuatkan museum. Tetapi kata Pak Sakri, batu itu sudah terpendam tanah yang sangat dalam karena dulunya Pak Sakri menempatkan batu itu supaya aman tidak bisa diambil orang. “Batu itu masih berada di gunung Ngajaran, cuma di sisi mananya itu yang lupa, yang pastinya masih berada di lading Pak Sakri,” kata Pak Prayit.
SAMBENG
Daur Hidup Manusia oleh: Khoirul Fai Zurdhan A.P.
Bercerita tentang kehidupan manusia di Desa Sambeng khususnya di Dusun kedungan 1, masih erat dengan budaya-budaya spiritual tentang kehidupan manusia dari bayi yang masih di dalam kandungan sampai meninggalnya orang, di desa kami masih sering mengadakan acara-acara spiritual tentang kehidupan manusia. Urut-urutan kehidupan manusia: A. B. C. D. E. F. G.
Bayi dalam kandungan (hamil) Balita/anak anak Remaja Dewasa Pernikahan Tua Meninggal (Praloyo)
Masa masa diatas ialah runtutan kehidupan manusi, dan pada tiap tahapnya manusia selaku pemain drama kehidupan didunia ini mempunyai cara masing masing dalam melakoni alur cerita kehidupannya, nah sedikit akan kami ceritakan dan juga jabarkan urutan alur kehidupan dan perlakuan tertentu dalam bidang kemasyarakatan kebudayaan & spiritual keagamaan di desa kami Sambeng borobudur A.
Saat Kehamilan (bayi di dalam Rahim)
Kehidupan manusia saat ada di dalam kandungan ibunya Adapun kaitannya dengan kelahiran bayi dan juga runtutan perlakuan bayi selama masih dikandungan berikut penjelasan dari bpk rowiyanto: Ngapati (bayi 4bulan dlm kandungan), mitoni(usia bayi 7bulan dalam kandungan), lahiran/mijil, brokohi(barokahan). makisi/puput puser, aqiqahan, tedak siti (dengan cara adat kami balita diturunkan ketanah), nyelapani (usia bayi 35hari) Langsung saja penjelasan urutan pertama perjalanan bayi dari kandungan dimulai dari peniupan ruh janin oleh sang maha kuasa tepat diusia 4 bulan janin atau yang sering kami sebut dengan istilah ngapati. 1. Ngapati Diartikan adat kami di desa sambeng wujud syukur dan rasa penuh dengan pengharapan terbaik untuk sijabang bayi, karna di usia 4 bulan kandungan, ditiupkanlah ruh pada si jabang bayi oleh malaikat atas izin sang maha kuasa,biasanya dalam adat kami,kami mengadakan ngaji surat surat alquran dan tumpengan dengan dipimpin oleh modin/ kaum/ulama dusun, 2. Mitoni/tingkepan Salah satu tradisi daur kehidupaan dalam slametan
kehamilan diusia kandungan 7 bulan yang bertujuan mendoakan ibu dan juga bayi yang dikandung agar,terlahir dengan lancar normal dan dijauhkan dari segala kekurangan juga berbagai mara bahaya,di adat kami biasanya ngaji 7 surat didalam alquran(al maryam,surat yusuf,surat lukman,sajadah,waqiah,ar rahman,al muhammad bisa ditambah surat yang lain tergantung kaum/ ulama yang memimpin).bersamaan dengan prosesi tersebut juga kita mewujudkan dengan tumpengan 7 bulan, syarat tumpeng seperti pada umumnya, ditambahkan jenang merah,jenang putih,jenang baning,jenang putih ditimpa jenang merah,jenang putih disilang jenang merah,jenang putih separo piring dan juga jenang merah separo piring dijadikan di satu piring,baru baru(jenang putih ditaburi parutan kelapa) Ingkung rosulan ingkung ditambah ikan asin,sambel goreng,kentang goreng, urapan 7 macam sayuran,telur jawa rebus 7 butir. Aneka jajan pasar, Kembang setaman, Air sumber ditaruh didalam kendi, semuanya didoakan kemudian kembang dibuat mandi sang ibu hamil dengan air kendi tersebut ditambah dengan air yang ada, kemudian para saksi seslametan itu pulang dan tidak boleh izin pamit dan yang pertama kali pulang menyeret tikar anyaman dan membanting kuali yang berisi sesaji, 3. Lahirnya si jabang bayi Mijil/lahiran/brokohan,brokohan berasal dari kata barokah wujud syukur orang tua atas kelahiran jabang bayi,tradisi brokohan sebagai pengingat juga rasa syukur dari semua kebaikan yang diterima/diberikan oleh sang maha suci Bersamaan dengan brokohan dalam adat kami juga ada prosesi memendam ari ari yang sudah dipotong dari pusar jabang bayi dan kemudian ari ari dimasukkan kedalam kendi dan dipendam didekat rumah biasanya jika anak laki laki di
sebelah kanan rumah,kalau perempuan disebelah kiri rumah,dipagari dengan anyaman bamboo dan diberi penerangan karena ari ari sebagai pengirim oksigen/teman sijabang bayi yang harus kita rawat dan kita jaga dengan baik,.ditambah juga genduren/ sodaqohan semapu keluarga 4. Makisi/puput puser Makisi di lakukan setelah tali pusar sudah kering dan putus, biasa dibarengi seslametan amongamong pemberian nama si jabang bayi dan mengadakan upacara sholawat nabi sembari pencukuran rambut bayi(rambut bajang), bagi yang mampu di lanjut dengan aqiqoh mengadakan genduri/shodakohan, jika bayinya perempuan aqiqoh dengan 1 kambing dan bayi laki-laki aqiqoh dengan 2 kambing.apabila keluarga belum mampu, untuk aqikah biasanya orang tua bayi mempersipkan dulu memelihara cempe(anak kambing)sampai usia dewasa(weduse wes poel) siap untuk aqikah.pada dasarnyaaqikah boleh dilakukan kapan saja asalkan yang akan di aqikahi masih hidup akan tetapi lebih cepat lebih baik untuk menghindari lupa. Aqikah sendiri adalah ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan dan mewujudkan tebusan dari orang tua bagia anak mereka guna mendapatkan syafaat kepada kedua orang tuanya nanti saat mereka sudah meninggal,aqikah juga dapat dijadikan simbol perlindungan pada seorang anak dari setan yang mengganggu saat ia lahir. 5. Selapan Usia bayi umur 35 hari biasanya diadakan genduren/among-among, jenang abang putih slametan,atas rasa syukur dari orantua dan juga bayi kepada tuhan yang maha esa, biasanya di lakukan setiap hari lahir si jabang bayi sampe tua, sering di sebut ulang tahun kelahiran/ seslametan hari lahir,tapi saat ini sering dilakukan tahunan.
B.
Balita atau Anak anak
Balita sampai anak anak sering dilihat dari usia si bocah,disini awal orang tua sangat berperan penting dalam pendidik,menanamkan dan mengarahkan juga memberi kasih sayang pada seorang anak untuk menjadi anak yang patuh berbudi luhur pandai dan berkarakter. C.
REMAJA
Usia remaja bagi laki-laki tidak lupa dengan menjalankan sunah rosul yaitu khitanan/Supitan biasanya di lakukan di umur 12th acara khitanan bagi orang mampu biasanya mengumpulkan keluarga-keluarga besar dan membuat acara berhari-hari danmengundang hiburan, bagi yang tidak mampu mengadakan seslametan genduri di lakukan sebelum berangkat khitanan. Remaja adalah di usia 12th sampai 23th pada tahap ini adalah masa masa penggemblengan/wajib untuk menuntut ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu keagamaan yang mana diwajibkan untuk bersekolah dan juga mengaji, (mencari jati diri atau ngudi ngelmu) masa mengenal percintaan dan masa pubertas. D.
MENIKAH
Menikah adalah di lakukan bagi manusia yang sudah mampu lahir batinnya, jiwa raga dan pemikiran yang dewasa, karna nikah itu didak hanya sebatas aku dan kamu tetapi juga berhubungan dengan orang tua, (kedua belah pihak) sekitar, ekonomu, emosi, semua harus bisa mengendalikannya dan saling memahami, saling menghormati, saling mengimbangi, dikarnakan pernikahan itu di lakukan hanya sekali dan seumur hidup dan satuhal sakral wajib untuk menuju bahagia di surgaNya.
1. Silaturahmi dan Lamaran (Tukar cincin) Silaturahmi di lakukan setelah kedua belah pihak saling yakin dan mantap untuk membangun rumah tangga (bale wismo) silaturahmi di lakukan oleh mempelai pria dan keluarga berniat untuk ke rumah mempelai wanita sering di sebut Nembung/ matengke rembuk sebelum di adakan lamaran/ tukar cincin kedua keluarga saling berbicara dan menentukan hari lamaran dan menghitung weton kedua belah pihak. 2. Acara lamaran atau seserahan Setelah pihak keluarga mempelai wanita merestui dan setelah didapat penghitungan hari untuk tahap seserahan maka kemudian dilaksanakan acara seserahan adapun syarat yang harus dipenuhi mempelai pria untuk melamar mempelai wanita adalah sebagai berikut,mahar berbentuk barang dan uang,menyertakan tokoh masyarakat(rt,rw,kadus,kaum/modin sbg yang mewakili tembung rembug/pembicaraan)setelah prosesi lamaran paripurna maka biasa dikeesokan harinya diadakan seslametan/gendurenan dan juga berziarah dengan tujuan meminta izin ke leluhur untuk kelancaran prosesi pernikahan,dan dilanjut untuk penghitungan hari /weton untuk melngsungkan ke jenjang pernikahan. Bayar tukon, penisit, (mahar ijap qobul) dilakukan dengan sang penghulu,dan ketika saksi sudah berkata sah maka kala detik itu semuanya yang berhubungan dengan mempelai wanita menjadi tanggung jawab mempelai pria 3. Proses pernikahan Ritual dan prosesi pernikahan adat jawa memang dibilang panjang,prosesi memiliki arti dan makna yang mendalam,dengan menjalani prosesi hajatan ini,diharapkan keluarga besar dan pengantin dijauhkan dari berbagai rintangan dan seluruh acara berjalan dengan lancer adapun prosesi pernikahan sebagai berikut
- Pasang tratag dan tarub Dalam pernikahan adat jawa didesa sambeng yang pertama dilakukan ialah memasang tratag (hiasan dari janur/daun kelapa muda), hiasan ini dipasang pada pintu masuk dan biasa menjadi simbol bahwa keluarga sedang mengadakan hajatan ngunduh mantu.janur kuning dipasang melengkung seakan melambangkan permohonan meminta kepada yang maha kuasa agar dilimpahkan keberkahan dan kemakmuran pada kedua mempelai. - Kembar Mayang Seperti namanya, kembar mayang adalah sepasang hiasan dekoratif yang dibentuk dari rangkaian akar, batang, daun, bunga, dan buah setinggi setengah sampai satu badan orang dewasa. Kembar mayang akan dilibatkan dari sub-upacara midodareni sampai upacara panggih. Kembar mayang dipercaya dapat memberikan motivasi dan kebijaksanaan kepada kedua pasangan untuk menjalani lembaran baru rumah tangganya. - Pasang Tuwuhan Makna dari pasang tuwuhan adalah harapan terhadap kedua pasangan suami istri agar dikaruniai momongan. Salah satu bagian penting dalam tuwuhan adalah pohon pisang raja yang buahnya sudah matang. Selain pisang, ada juga tebu wulung, cengkir gading, daun randu, dan dedaunan lain. Dedaunan sebagai simbol rintangan dalam hidup, yang diharapkan mampu dilewati bersama. - Siraman Satu sampai dua hari sebelum akad nikah, keluarga akan melakukan siraman kepada sang pengantin. Akan ada tujuh orang yang melakukan siraman, jumlah ini pun berdasarkan sebutan tujuh pada bahasa Jawa yaitu “pitu” atau disyaratkan sebagai pitulungan (pertolongan) kepada calon pengantin. Ritual siraman ini menyimbolkan pembersihan diri sebelum masuk ke ritual yang lebih sakral. Nantinya, sang ayah dari mempelai wanita yang akan melakukan siraman terakhir.
Kemudian dilanjutkan dengan menggendong anak perempuannya menuju kamar pengantin. - Potong Tumpeng Di Desa Sambeng tumpeng identik dengan simbol kemakmuran dan kesejahteraan karena bentuknya yang menyerupai gunung. Prosesi potong tumpeng pada pernikahan adat Jawa didesa sambeng ini akan dilakukan oleh kedua orang tua dengan mengambil puncak tumpeng beserta lauk pauknya. - Dulangan Pungkasan Dulangan pungkasan berarti suapan terakhir, ritual pernikahan adat Jawa yang satu ini melambangkan tanggung jawab terakhir orang tua terhadap
anaknya. Momen ini cukup mengharukan karena sekaligus melepas anak untuk membangun keluarganya sendiri. - Tanam Rambut dan Lepas Ayam Ritual pernikahan adat di Desa Sambeng selanjutnya adalah memotong sedikit rambut kedua mempelai lalu menanamkannya disekitar pekarangan rumah mempelai. Ritual adat Jawa ini bertujuan agar kedua mempelai dijauhkan dari segala hal buruk dalam rumah tangga. Lalu dilanjutkan dengan pelepasan ayam sebagai bentuk keikhlasan orang tua melepas anaknya hidup mandiri. Seperti seekor ayam yang bisa mencari makan sendiri,ayam biasa dilepas dijembatan jalan raya. - Midodareni Prosesi hajatan pernikahan di Desa Sambeng sebelum hari pernikahan akan diakhiri dengan midodareni. Kata midodareni sendiri berasal dari kata ‘widodari’ yang dalam bahasa Jawa berarti bidadari. Yang diharapkan dari ritual ini adalah sang pengantin wanita akan secantik bidadari dari surga saat hari pernikahannya esok hari. Malam midodareni dilangsungkan pada malam sebelum acara pernikahan keesokan harinya. Mempelai wanita hanya akan ditemani keluarganya saja dan mendapat wejangan seputar pernikahan. Pada malam ini pula, dengan mengenakan busana Jawa
lengkap keluarga calon mempelai pria mengunjungi rumah calon mempelai perempuan untuk memberi seserahan berupa kebutuhan seperti busana, alas kaki, kosmetik, buah-buahan, makanan. - Susunan Acara Puncak Pernikahan Adat Jawa Susunan acara pernikahan adat Jawa akan dilanjutkan dengan acara puncak pernikahan, yaitu upacara dan resepsi pernikahan. Tentunya masih ada ritual-ritual yang bertujuan untuk kebahagiaan dan keberlangsungan rumah tangga sang anak. o Upacara Pernikahan Pada momen ini, waktunya kedua pengantin berhadapan dengan penghulu, orang tua, wali, dan tamu undangan dan mengucapkan sumpah serta janji pernikahan. Kedua pengantin akan mengenakan pakaian tradisional khas adat Jawa
berwarna putih sebagai lambang kesucian. o Upacara Panggih Upacara Panggih disebut juga upacara dhaup atau temu, prosesi inilah puncak acara pernikahan di Desa Sambeng. Setelah kedua pengantin resmi menikah secara agama, orang tua dari kedua belah pihak bertemu secara adat Jawa. Jadi, prosesi ini hanya akan dilaksanakan setelah pernikahan sah secara agama, bukan sebaliknya. berikut ini urut-urutan acar dalam upacara panggih:
Balangan godong sirih Di prosesi pernikahan adat Jawa ini, kedua pasangan akan saling melempar daun sirih yang diikat benang putih. Mempelai pria melemparkan daun sirih ke arah dada mempelai wanita sebagai tanda bahwa ia telah menaklukan hati sang pasangan. Lalu mempelai wanita melemparkan gantal ke arah lutut mempelai pria sebagai tanda bahwa ia akan berbakti kepada sang suami. Ngidak Endhog atau Injak Telur Kemudian lanjut ke prosesi injak telur atau yang disebut ngidak endhog. Ngidak endhog merupakan prosesi dimana sang suami menginjak telur mentah, lalu sang istri membersihkan kaki suaminya dalam posisi berlutut. Ini mengartikan kesopanan istri kepada suami. Setelah itu, sang suami akan membantu sang istri bangkit berdiri yang memiliki makna penghargaan terhadap istri. Sinduran Setelah menginjak telur, prosesi pernikahan adat Jawa berlanjut ke mengenakan kain sindur kepada kedua pengantin yang berjalan menuju pelaminan sambil berpegangan tangan. Kain sindur biasanya berwarna putih dan terdapat renda merah di dalamnya. Kedua warna ini melambangkan keberanian serta gairah dalam menjalani rumah tangga. Bobot Timbang
Sesampainya di kursi pelaminan, kedua mempelai diarahkan untuk duduk di atas pangkuan ayah dari mempelai wanita. Lalu sang ibu naik ke atas panggung untuk bertanya siapa yang lebih berat di antara kedua pasangan. Kemudian, sang ayah akan menjawab keduanya sama saja. Percakapan ini menandakan bila tidak ada perbedaan kasih sayang kepada kedua mempelai. Minum Air Degan Air degan atau air kelapa muda dilambangkan sebagai air suci dan air kehidupan. Air degan yang diminum bersumber dari satu gelas saja untuk seluruh keluarga. Sang ayah dari mempelai wanita akan menjadi yang pertama meminum air degan, lalu diteruskan ke sang ibu hingga kepada kedua mempelai. Kacar Kucur Prosesi pernikahan adat Jawa selanjutnya adalah kacar kucur, dimana mempelai pria mengucurkan uang receh serta biji-bijian kepada mempelai wanita sebagai lambang bahwa sang pria akan bertanggung jawab menafkahi keluarganya, serta menjadi tanggung jawab istri untuk mengelolanya. Dulangan Setelah kacar kucur, kedua pengantin akan saling menyuapi sebanyak tiga kali. Prosesi ini menaruh harapan bahwa kedua pasangan bisa saling rukun, pengertian, dan tolong-menolong dalam menjalani
kehidupan pernikahan. o Tumplek Punjen Kebalikan dengan babak kawah, keluarga akan mengadakan prosesi tumplek punjen saat seluruh anaknya sudah menikah sehingga tidak akan bermenantu lagi. Tumplek punjen berarti melepas darma orang tua pada anak. o Sungkeman Acara sungkeman lah yang akan mengakhiri prosesi pernikahan adat Jawa. Kedua mempelai berlutut di hadapan orang tua dari kedua belah pihak sebagai bentuk penghormatan atas jasa orang tua yang telah membesarkan mereka sampai bisa menikah menjalani lembaran baru kehidupan. o Kirab Pengantin Terakhir, kirab merupakan istilah yang digunakan saat pengantin meninggalkan panggung pelaminan untuk berganti pakaian. - Sepasaran Salah satu contoh tradisi warga Desa Sambeng yaitu sepasaran,sepasaran diambil dari kata pasaran,yang mana dalam penanggalan menurut adat jawa ada 5 pasaran yaitu pasaran Pon,Wage,Kliwon Legi, Pahing. Separan merupakan suatu tradisi seslametan yang di lakukan masyarakat jawa 5 hari paska pelangsungan pernikahan, tradisi tersebut di lakukan dengan cara memberi berkat ( makanan berbentuk nasi dan isinya yang di taruh di besek atau tempat makanan lainnya) Kepada sanak saudara atau tetangga dekat dari kedua mempelai, dengan harapan si pengantin mendapatkan keslametan serta terhindar dari musibah. Dalam berkat tersebut berisi ayam goreng, sayur, bihun, cabcai, yang di bungkis plastik dan di taruh di atas nasi, dan ada tambahan nasi uduk dan suwiran ayam ingkung. - 35 hari (selapanan) Setelah mengadakan kegiatan sepasaran,masih ada
lagi kewajiban orang tua yang harus dilakukan yaitu kegiatan selapanan pengantin.Acara ini dilakukan 35 hari sesudah pesta perkawinan,maksud dan tujuan menyelenggarakan selapanan pengantin yaitu untuk melepas pengantin pindah rumah,karena ingin pisah dari orang tuanya. selapanan pengantin biasa dibarengi dengan acara gendurenan. 4. BERKELUARGA harmonis Berkeluarga adalah kehidupan yang kasunyatan atau sering di sebut hidup yang nyata karna suudah mulai berfikir tentang keluarga barunya dan mulai bertanggung jawab tidak lagi menggantungkan kepada orang tua melainkan sudah bisa menafkahi keluarga barunya dan juga ke dua orang tua, Berkeluarga sudah harus bisa mengontrol hawa nafsu dan jga mengontol keuangan, di dalam berkeluarga sudah harus berpaku dengan karakter yang dewasa,jujur,saling percaya,tidak saling menyalahkan. 5.
TUA cukup umur
Golek pangupojiwo sanguine urip sangune mati,ngalap berkahe Gusti,diusia tua orang biasanya hanya focus kepada tuhannya masing masing,mereka tidak lagi mengharapkan kejayaan duniawi,mereka hanya focus untuk tetap terus beribadah untuk bekal kehidupan selanjutnya dan berharap juga memohon kepada yang maha kuasa agar dosa dosa masa lampau mereka bisa terampuni oleh sang maha pencipta. ( ora mikir bondo donyo nanging mikir suwargo) 6.
MENINGGAL
Gedongono kuncenono wong mati mongso wurungo penggalan lagu kanjeng sunan kalijogo satu ini seakan mengingatkan saya akan peristiwa kematian.Sejatinya bahwa hidup,jodoh rejeki mati semua atas kuasaNya,kematian adalah sebuah
kenyataan yang harus dihadapi dan dilami oleh semua makhluk hidup dialam semesta tanpa terkecuali.ketika seseorang menemui ajalnya maka para warga akan melakukan beberapa rangkaian acara dari si mayit akan dikuburkan hingga acara peringatan setelah penguburannya berikut: 7. Upacara kematian A. Memandikan Jenazah Tata cara mengurus jenazah yang pertama adalah memandikan jenazah. Hal ini sebagai tindakan untuk memuliakan dan membersihkan tubuh orang yang sudah meninggal: · Meletakkan jenazah dengan kepala agak tinggi di tempat yang disediakan. · Setelah itu, ambil kain penutup dari jenazah dan ganti dengan kain basahan agar auratnya tidak terlihat. Bersihkan giginya, lubang hidung, lubang telinga, celah ketiaknya, celah jari tangan, dan kaki serta rambutnya. · Langkah berikutnya, bersihkan kotoran jenazah baik yang keluar dari depan maupun dari belakang terlebih dahulu. Caranya, tekan perutnya perlahan-lahan agar apa yang ada di dalamnya keluar. Kemudian siram atau basuh seluruh anggota tubuh jenazah dengan air sabun. · Setelah itu, siram dengan air yang bersih sambil berniat sesuai jenis kelamin jenazah. Niat memandikan jenazah laki-laki: Nawaitul ghusla adaa ‘an hadzal mayyiti lillahi ta’aalaa. Artinya: “Aku berniat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari jenazah (pria) ini karena Allah Ta’ala.” Niat memandikan jenazah perempuan: Nawaitul ghusla adaa ‘an hadzihil mayyitati lillahi ta’aalaa. Artinya: “Aku berniat memandikan untuk memenuhi kewajiban dari jenazah (wanita) ini karena Allah Ta’ala.” · Setelah membaca niat, miringkan jenazah ke kanan, basuh bagian lambung kirinya sebelah
belakang. Setalah itu, siram dengan air bersih dari kepala hingga ujung kaki dan siram lagi dengan air kapur barus. · Jenazah kemudian diwudhukan seperti orang yang berwudhu sebelum sholat. Perlakukan jenazah dengan lembut saat membalik dan menggosok anggota tubuhnya. · Jika keluar dari jenazah itu najis setelah dimandikan dan mengenai badannya, wajib dibuang dan dimandikan lagi. Jika keluar najis setelah di atas kafan, tidak perlu diulangi mandinya, cukup hanya dengan membuang najis tersebut. · Bagi jenazah wanita, sanggul rambutnya harus dilepas dan dibiarkan terurai ke belakang. Setelah disiram dan dibersihkan, lalu dikeringkan dengan handuk dan dikepang. Keringkan tubuh jenazah setelah dimandikan dengan handuk sehingga tidak membasahi kain kafannya. · Selesai memandikan jenazah, berilah wangi-wangian yang tidak mengandung alkohol sebelum dikafani. Biasanya menggunakan air kapur barus. B.
Mengkafani jenazah
Cara Mengafani Jenazah Perempuan. · Langkah pertama, bentangkan dua lembar kain kafan yang sudah dipotong sesuai ukuran jenazah. Letakkan kain sarung tepat pada badan antara pusar dan kedua lututnya. Setelah itu, persiapkan baju gamis dan kerudung di tempatnya. · Selanjutnya, sediakan 3 sampai 5 utas tali dan letakkan di paling bawah kain kafan. Sediakan juga kapas yang sudah diberikan wangi-wangian, yang nantinya diletakkan pada anggota badan tertentu. Jika kain kafan sudah siap, angkat dan baringkan jenazah di atas kain kafan. ·
Letakkan kapas yang sudah diberi
wangi-wangian tadi ke tempat anggota tubuh seperti halnya pada jenazah laki-laki. Kemudian, selimutkan kain sarung pada badan jenazah, antara pusar dan kedua lutut. Pasangkan baju gamis berikut kain kerudung. Untuk yang rambutnya panjang bisa dikepang menjadi 2/3, dan diletakkan di atas baju gamis di bagian dada. · Terakhir, selimutkan kedua kain kafan selembar demi selembar mulai dari yang lapisan atas sampai paling bawah. Setelah itu ikat dengan beberapa utas tali yang tadi telah disediakan. Cara Mengafani Jenazah Laki-laki · Pertama, siapkan tali-tali pengikat kafan secukupnya. Kemudian, letakkan secara vertikal tepat di bawah kain kafan yang akan menjadi lapis pertama. Bentangkan kain kafan lapis pertama yang sudah dipotong sesuai ukuran jenazah. · Langkah berikutnya, beri wewangian pada kain kafan lapis pertama. Setelah itu, bentangkan kain kafan lapis kedua yang sudah dipotong sesuai ukuran jenazah.Beri wewangian pada kain kafan lapis kedua. · Setelah itu, bentangkan kain kafan lapis ketiga yang sudah dipotong sesuai ukuran jenazah. Beri wewangian pada kain kafan lapis ketiga dan letakkan jenazah di tengah-tengah kain kafan lapis ketiga. · Tutup dengan kain lapis ketiga dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri. Kemudian tutup dengan kain lapis kedua dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri. · Selanjutnya,tutup dengan kain lapis pertama dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri dan Ikat dengan tali pengikat yang
telah disediakan. · Setelah selesai memandikan dan mengafani jenazah, tata cara mengurus jenazah berikutnya menyolatkan jenazah. Adapun tata cara menyolatkan jenazah adalah seperti berikut: o
Berniat (di dalam hati).
o
Berdiri bagi yang mampu.
o Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud). o Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah. o Setelah takbir kedua, membaca shalawat “allahumma sholli ‘ala Muhammad” o Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk jenazah sebagai berikut: Allahummaghfirlahu warham-hu wa ‘aafi-hi wa’fu ‘an-hu wa akrim nuzula-hu, wa wassi’ madkhola-hu, waghsil-hu bil maa-i wats tsalji wal barod wa naqqi-hi minal khothoyaa kamaa naqqoitats tsaubal abyadho minad danaas, wa abdil-hu daaron khoirom min daari-hi, wa ahlan khoirom min ahli-hi, wa zawjan khoirom min zawji-hi, wa ad-khilkul jannata, wa a’idz-hu min ‘adzabil qobri wa ‘adzabin naar. Artinya: “Ya Allah, ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada
istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim no. 963) o
Takbir keempat membaca doa sebagai
berikut: Allahumma laa tahrimnaa ajro-hu wa laa taftinnaa ba’da-hu waghfir lanaa wa la-hu. Artinya: “Ya Allah, jangan menghalangi kami untuk tidak memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya, ampunilah kami dan ampunilah dia”. Untuk jenazah perempuan, kata –hu diganti –haa. o Salam. Setelah jenazah disholatkan kemudian dilanjut serangkaian acara sebelum dikuburkan diliang lahat sebagai berikut C. Brobosan Adat istiadat suku Jawa saat kematian, yang pertama yaitu brobosan. Brobosan adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sambeng ketika ada kerabatnya yang meninggal. Brobosan sendiri dilakukan dengan cara berjalan di bawah keranda mayat yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Kegiatan brobosan ini dilakukan sebelum jenazah di berangkatkan ke makam. Biasanya orang yang melakukan brobosan adalah anak, cucu, atau kerabat dekat dari orang yang meninggal. Ritual tersebut berdasarkan pepatah yang mengatakan “mikulduwur, mendhem jero “ atau menjunjung tinggi dan juga mengenang jasa-jasa orang yang telah tiada tersebut. Tujuan dari tradisi brobosan ini ada 2,yang pertama yaitu menghormati orang yang telah meninggal, dan yang kedua yaitu mendapatkan tuah atau keberuntungan dari jenazahnya. Tata cara melakukan brobosan yaitu bisanya dilakukan di depan rumah. Orang-orang yang bertugas membawa keranda akan mengangkat tinggi-tinggi keranda tersebut kemudian dia dipanjatkan doa
oleh Bapak Abdul Aziz selaku kaum/modin Desa Sambeng. Setelah selesai berdoa, ritual tersebut dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Mereka melewati keranda dengan cara berjalan bergantian. Masing-masing diulangi sampai 3 kali. Berawal dari sebelah kanan, kemudian sebelah kiri lalu ke depanhingga kembali lagi ke sebelah kanan, proses tersebut dilakukan hingga 3 kali. Kemudian diberangkatkan ke menuju kuburan dengan sang pengiring jenzah menebar beras kuning dicampur dengan uang koin dan juga bunga,melambangkan shodaqoh terakhir sang jenazah kepada sesama. D. Memasukkan Jenazah ke Lubang Kubur Bagi jenazah perempuan, dikhususkan untuk membentangkan kain di atas lubang kubur. Ketika memasukkan jenazah ke dalam lubang, yang melakukan sebaiknya dua atau tiga orang laki-laki yang paling dekat dengan keluarga jenazah semasa hidupnya. Selain itu orang-orang yang memasukkan jenazah, diusahakan oleh mereka yang ketika malam harinya tidak junub. Cara meletakkan jenazah dengan mendahulukan kepala, kemudian meluruskan kakinya. - Posisi Jenazah Posisi jenazah di dalam lubang kubur, wajib dimiringkan ke sebelah kanan atau menghadap arah kiblat. Jika jenazah tidak dihadapkan ke arah kiblat namun terlanjur diurug tanah, maka harus menggali lagi dan menghadapkan jenazah ke arah kiblat. Setelah jenazah diletakkan secara perlahan di dasar lubang, disunahkan untuk melepas ikatan talinya, dimulai dari kepala dan membuka kain, pipi serta jari-jari kaki harus menempel pada tanah. - Menguburkan Jenazah o Memperdalam lubang kubur, supaya tidak tercium bau jenazah dan tidak dimakan oleh binatang pemakan bangkai. o Meletakkan jenazah di tepi lubang atau liang kubur sebelah kiblat, lalu ditaruh papan kayu atau semacamnya dengan posisi agak miring,
supaya jenazah tidak langsung tertimpa tanah. o Kemudian di atasnya ditaruh semacam bata posisi mendatar untuk menahan tanah timbunan, sehingga tidak mengenai jenazah langsung. Khusus kondisi tanah gembur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. o Meletakkan jenazah dengan memasukkan kepala jenazah dari arah kaki kubur, atau dari posisi selatan jika di Indonesia. o Letakkan jenazah posisi miring ke kanan menghadap kiblat dengan menopang tubuh menggunakan batu atau papan kayu, supaya jenazah tidak kembali terlentang. o Para ulama menyarankan untuk meletakkan tanah di bawah pipi jenazah sebelah kanan setelah kain kafan dan semua tali dibuka, pipi menempel langsung ke tanah. o Ketika memasukkan jenazah ke liang kubur dan meletakkannya dianjurkan membaca doa berikut : “BISMILLAHI WA’ALAA MILLATI ROSUULILLAAH” 8.
Upacara Setelah Kematian
Setelah jenazah sudah di kuburkan dan tertutup oleh tanah orang-orang pengantar jenazah pada pulang di situ tinggal keluarga dan dan bapak kaum (sesepuh agama) di lakukan tahlin di kuburan dan di lanjut (Talqin) talqin adalah mengingatkan jenazah saat mau di Tanya oleh malaikan di dalam kubur, kata bapak heri (bapak kaum) Selesai maka biasa di adat kami warga Desa Sambeng biasa diadakan acara pengetean/ peringatan 3hari,7 hari,40 hari,100hari setelah meninggal kemudian dilanjut naun/peringatan 1 tahun meninggal, khoul,1000 hari dan juga mendak/peringatan kematian a. 3 dino malam setelah kematian hingga malam ketiga
dilakukan tahlil dan dzikir pidak(menghitung 1000 kerikil dengan dibacakan surat al ikhlas) dan juga membaca surat yasin dan juga bacaan ayat alquran oleh pemuda desa sambeng dan juga kerabat dari
di kuburan supaya tidak hilang dan lupa dengan yang meninggal siapa dan namanya siapa upacara nenger biasanya di lakukan sebelum acara tahlil di mulai, biasanya batunisan sebelum di bawa
keluarga si mayit b. 7 dino peringatan 7 hari dilakukan gendurenan disiang harinya,dan pada malam hari diadakan pembacaan tahlil,disertakan air dan juga kembang diwadahkan didalam wadah dan dibacakan doa oleh kiyai kemudian setelah selesai disiramkan kekuburan si mayit c. 40 dino diperingati dengan genduren dan malamnya tahlil,pengetan 40 hari hamper mirip dengan prosesi pengetan 7 hari,dan dibarengi nyekar d. 100dino menuju 100 harinya orang meninggal keluarga melakukan genduren dan tahlil di lakukan oleh masyarakat kedungan 1 dan di tambah oleh kerabat. Setelah selesai tahlil di lakukan nyekar ke makam yang di tuju 100 hari. e. Nahun atau mendak pisan mendak pindo Nahun di lakukan 2 tahun dalam waktu 336 hari umur 1 tahun meninggalnya seseorang atau memperingati kematian di lakukan oleh keluarga dan mengundang kerabat terdekat dengan tujuan mengirim doa untuk arwah yang sudah meninggal sering di sebut (tahlilan dan genduri) f. 1000, dino atau nenger masang kijing 1000 hari meninggalnya seseorang sering di sebut (Nyewu dino) adalah peringatan seribu hari kematian dan di barengi oleh memasang batu nisan, nyewu sendiri biasanya mengundang banyak kerabat dan warga untuk ikut mendoakan arwah yang meninggal biasanya sering di barengi dengan acara pengajian bagi orang mampu untuk orang bisasa cukup melakukan genduren dan tahlil, karna nyewu adalah puncak peringatan kematian, Nenger atau masang kijing adalah suatu pengingat
ke kuburan, di rumah di bacakan do’a-du’a dan di mandikan dengan air kembang acara pas pemberangkatan batunisan pun unik seperti orang meninggal di kasih kain mori dan juga di kalungi ronce kembang atau rentengan kembang. g. Khoul khoul adalah di lakukan setiap 1 tahun sekali tepat di hari meninggalnya seseorang seperti ulang tahun kematian, di lakukan juga do’a bersama dan tahlil tidak lupa dengan berkatan dan juga nyekar.
Tanjungsari
TANJUNGSARI
Suran Desa Tanjungsari oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Tradisi Suran merupakan tradisi warisan yang selalu dilaksanakan setiap satu tahun sekali bertepatan tanggal 1 Muharam atau Tahun Baru Islam. Tradisi seperti ini di desa kami sudah di laksanakan secara turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat desa Tanjungsari sampai saat ini.Tradisi ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan dan makna dari tradisi Suran (kegiatan malam satu sura) dalam menjalin dan menjaga tradisi Suran di desa Tanjungsari Tanggal 10 Agustus 2021 di desa kami mengadakan ziarah ke makam sesepuh yang berada di desa kami setelah itu tirakatan atau tahlilan di masjid atau Mushola. Berhubung acara suran tahun ini belum semaksimal seperti tahun tahun sebelumnya di karenakan adanya ppkm, di desa kami hanya melaksanakan tradisi seperti pada umumnya. Tidak ada wujud slametan ataupun tumpengan hanya melaksanakan kegiatan doa bersama di masjid/mushola masing masing dusun. Sebagai lampiran atau dokumentasi kegiatan tradisi suran di desa kami sebagai berikut :
TANJUNGSARI
Turonggo Mudo oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Turongo Mudo adalah kesenian jathilan atau sering dikenal sebagai jaran kepang. Padepokan nya terletak di Dusun Nampan, yang diketuai oleh Bapak Rokani. Awal mula kesenian jathilan ini dibentuk oleh Bapak Mupangat dan teman temannya dengan mendatangkan guru seni dari desa Klodran. Sampai saat ini, kesenian tersebut sudah bertahan hingga generasi ke lima. Tradisi yang dilakukan pada saat akan menampilkan kesenian tersebut adalah dengan melakukan ziarah ke makam Kyai Nompo yang bertujuan agar nantinya pada saat pementasaan di berikan kelancaran dan keselamatan dan juga memberikan sesajen ke kali Nampan untuk menghormati arwah penunggu di sana dan juga di pegunungan Menoreh yang biasanya dilakukan dengan membakar kemenyan atau dupa, untuk gamelannya sendiri diusap dengan kain yang di celupkan ke air bunga 7 rupa serta jaran kepangnya juga dimandikan air tersebut. Pada saat pementasan terkadang ada beberapa pemain atau penari yang tidak sadarkan diri atau kesurupan sehingga disediakan kembang setaman dan makanan tertentu seperti buah - buahan dan
kemenyan. Untuk mengobatinya dengan cara menyairkan tembang kidung sruni dan mendekatkan pemain atau penari yang kesurupan tersebut ke jaran kepang yang dipakai tadi dengan tujuan arwah yang merasukinya keluar dari badan dan masuk ke jaran kepang tersebut.
TANJUNGSARI
Jimat Pak Muntakir oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Setelah mendapatkan kabar jika ada seorang warga yang memiliki jimat, kami kemudian berkunjung ke rumah pak Muntakir di dusun Nampan, Tanjungsari Borobudur. Jimat adalah hal yang sangat populer di Indonesia, khususnya dalam khazanah budaya spiritual jawa. Benda yang disebut Jimat dipercayai memiliki kekuatan tertentu. Jimat biasanya mewujud dalam bentuk cincin, batu akik, keris dan lainlain. Menurut pak Muntakir, tak sembarang orang dapat memiliki atau mengelola jimat tesebut. Pria berusia 49 tahun tersebut menambahkan, “wonten syarat-syarate saget ngopeni jimat.” Ada ritual tertentu untuk merawat ataupun memakai jimat tersebut. Pak Muntakir sendiri memiliki dua jimat yang berwujud keris kecil. Saat beliau menunjukkannya kepada kami, rasanya luar biasa seperti anugerah bagi kami dapat menyaksikan keindahannya sekaligus mendengar ceritanya. Jimat pertama milik pak Muntakir disebut dengan Keris Semar. Sebutan ini merujuk pada bentuk keris yang mirip semar. Tokoh penting punokawan dalam pewayangan. Menurut beliau, keris semar ini diyakini dapat digunakan sebagai ajimat pemikat, pengasihan serta untuk penglaris.
Keris semar ini, panjangnya sekitar 10cm dengan lebar 4cm. Pak Muntakir mengatakan bahwa Keris ini beliau dapatkan langsung dari makam ki nompo pada tahun 2003, selepas melalui beberapa ritual dan doa tertentu bersama temannya. Lebih lanjut, pak Muntakir mengatakan bacaan khusus dalam menggunakan keris ini, yakni membaca Surah Yasin ayat 1 sampai 9 sebanyak 3 kali, dilanjutkan membaca Surah Al-insyirah sebanyak 7 kali
Pak Muntakir kemudian menunjukkan pada kami jimat kedua milikinya yang disebut dengan Nyimoro Sungkem. Ajimat Nyimoro Sungkem berbentuk keris berukurannya kecil, seperti Keris Semar. Terdapat ukiran dengan aksara arab. Keris ini dipercaya mampu memunculkan aura wibawa pemiliknya. Keris ini adalah pemberian langsung dari ayah pak Muntakir. Syarat penggunaan
jimat ini adalah dengan membaca lafal tulisan arab di tubuh keris. Bacaannya hampir mirip dengan bacaan tahlil. Perawatan kedua keris tersebut biasanya diolesi minyak minyak zafaron sambil melafalkan doa tertentu. Tidak ada ritual khusus di bulan tertentu, seperti Jamasan Suran. Saat ini kedua jimat tersebut hanya disimpan dalam almari saja.
TANJUNGSARI
Kali Nampan oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Kali Nampan adalah salah satu tempat sakral yang terletak di Dusun Nampan. Dulu, kali Nampan ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kehidupan sehari – hari seperti mandi, mencuci baju, dan keperluan lain yang berhubungan dengan air. Kali Nampan ini disakralkan oleh masyarakat karena dipercaya sumber mata airnya terhubung dengan sendang yang ada di Puncak Suroloyo, yaitu puncak perbukitan Menoreh. Menurut cerita yang beredar, ada kerajaan ghaib yang menjaga kali tersebut dan terhubung oleh sendang yang ada di Kerajaan Menoreh di Puncak Suroloyo. Tokoh yang terkenal di sana adalah Raden Joyo, Raden Slamet, Wisnu Broto, Nyi Sutinah. Mereka adalah keluarga dari Kerajaan Menoreh yang diutus untuk menjaga Kali Nampan tersebut. Ada mitos yang berkembang di masyarakat bahwa masyarakat dilarang memasukkan anggota tubuhnya ke dalam air kecuali tangan. Karena pernah suatu hari ada seseorang yang tidak sengaja memasukkan kakinya ke dalam air, sepulang dari situ orang tersebut tidak sadarkan diri atau sering disebut dengan kesurupan. Cara menyembuhkannya
biasanya dengan cara mandi di air Kali Nampan tersebut dan kaki yang dimasukkan ke air tadi diusap dan didoakan. Setelah sadarkan diri, pihak keluarga diminta untuk melemparkan koin ke dalam air tujuannya sebagai simbolis untuk menghormati penunggu kali tersebut. Setiap ada hajatan Jathilan Turonggo Mudo ada tradisi untuk menaruh sesajen di Kali Nampan untuk memanggil penunggunya dengan tujuan meminta izin dan menginformasikan ke Kerajaan Menoreh bahwa akan ada hajatan Turonggo Mudo. Namun seiring berjalannya waktu, mitos dan larangan itu semakin hilang. Dan dikabarkan pula penunggu yang diutus untuk menunggu Kali Nampan itu sudah kembali lagi ke kerajaan.
TANJUNGSARI
Kisah Penemuan Makam Kyai Sepangi oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
disuguhkan pada kami. Selepas menyeruput sedikit kopi pada gelas yang digenggamnya, pak Samhari melanjutkan ceritanya. “Hujan telah reda, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Saat itu, keadaan sudah dirasa aman. Kyai Wongso dan pak Lurah kemudian bergegas mendekati sungai Sileng, untuk mengecek kondisi banjir tadi. Mereka kemudian ingat, malam itu adalah malam Jum’at Kliwon,” pak Samhari menghentikan kisahnya, dan menyeruput kembali kopinya perlahan. Kemudian ia melanjutkan kembali kisahnya. “Sesampainya di tepi sungai, pak lurah merasa terkejut. Ia melihat cahaya berpendar di tengah-tengah aliran banjir tadi. Anehnya air banjir itu seakan tertolak cahaya tersebut. Mereka hanya dapat melihat dari kejauhan, kondisi sudah malam tidak memungkinkan untuk mendekati lokasi cahaya. Pak lurah dan Pak kyai memutuskan untuk kembali lagi pada keesokan harinya.” Kami ikut menyeruput kopi, sesaat kemudian pak Samhari bercerita kembali.
Sore tadi kami ke rumah pak Samhari di dusun Karang, Tanjungsari, Borobudur. Kami mendapatkan kisah bagaimana makam tokoh Kyai Sepangi dahulu ditemukan dan dipindahkan ke lokasi saat ini. Kerutan yang ada di wajah bapak berusia 73 tahun itu tampak bergerak-gerak saat beliau mulai berkisah. Beliau sendiri tak ingat lagi kapan peristiwa itu berlangsung.
beranjangsana ke rumah pak Lurah. Kyai Wongso menjemput pak Lurah untuk segera mengecek terjadinya Ladon (banjir bandang) di Sungai Sileng. Mereka sudah akan berangkat, namun hujan masih turun dengan deras sekali. Situasi yang dianggap akan membahayakan jika mereka mendekati sungai. Sore itu, mereka memutuskan akan menengok jika hujan sudah reda.”
“Saat itu malam kamis sekitar pukul 5 sore. Pak Wongsodikromo, seorang Kyai dusun Karang
Pak Samhari menarik napas dalam-dalam, ia mempersilahkan kami meminum segelas kopi yang
“Keesokan harinya, mereka mendatangi Sungai Sileng kembali. Kondisi air sungai tampak lebih tenang dan dapat dilewati. Mereka kemudian menuju ke tempat berpendarnya cahaya semalam berada. Tiba-tiba mata mereka nanar, wajah mereka tampak terhenyak. Ternyata terdapat tulang belulang manusia di tempat munculnya cahaya tersebut. Kyai Wongso pun memasukkan serakan tulang-tulang tersebut ke dalam peti. Beliau berniat untuk menguburkannya di dekat Sungai Sileng.” “HIngga beberapa waktu, mereka tidak mengetahui tulang-tulang siapakah yang ada di Sungai Sileng tersebut. Sampai suatu hari Kyai Wongso menemukan sebuah cincin tepat di samping dikuburnya tulang itu. Kyai Wongso membawa cincin itu pulang dan diberikan kepada istrinya. Keesokan
harinya cincin tersebut dipakai istrinya ke pasar, sesampainya di pasar ada seseorang pemuda yang tampak tertarik dengan cincin itu. Ia menawar cincin itu dengan harga tinggi. Istri Kyai Wongso merasa tergoda dengan tawaran itu, alhasil cincin itu dijual olehnya. Pada malam harinya, istri Kyai Wongso didatangi oleh seseorang dalam mimpinya. Orang itu mengaku bahwa dirinyalah yang mempunyai cincin tersebut, sosok tersebut juga menjelaskan bahwa dia adalah Sepangi, pemilik tulang yang ditemukan dan dikuburkan di tepi Sungai SIleng dusun Karang, oleh Suaminya.” Malam semakin larut, saat kemudian Pak Samhari mengakhiri ceritanya. Kyai Sepangi dikisahkan merupakan putra keluarga Keraton Jogja yang dibunuh oleh tentara Belanda. Ia dibunuh di Sungai Sileng, dan makamnya tidak diketahui hingga tulang-belulangnya ditemukan oleh pak Lurah dan Kyai Wongso. Makam Kyai Sepangi, kini menjadi tempat yang dianggap keramat dan sakral di dusun Karang, Tanjungsari. Pada waktu-waktu tertentu, sering dikunjungi oleh masyarakat untuk berziarah, termasuk masyarakat dari luar desa.
TANJUNGSARI
TANJUNGSARI
Pijat Solikhin
Simbah Kyai Nompo: Cikal Bakal Dusun Nampan
oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Pijat, pijit, atau urut adalah metode penyembuhan atau terapi kesehatan tradisional, dengan cara memberikan tekanan kepada tubuh, baik secara terstruktur, tidak terstruktur, menetap, atau berpindah tempat,dengan memberikan tekanan, gerakan, atau getaran, baik dilakukan secara manual ataupun menggunakan alat mekanis. Pijat di tempat pak solokhin ini masih menggunakan metode tradisonal, biasanya para pasien mendatangi rumah bapak solikhin, akan tetapi jika situasi yang tidak memungkinkan pak solikhin juga bisa datang ke rumahnya. Beliau memulai memijat waktu masi muda, diajarkan langsung oleh ayahnyaa yang bernama bapak atemo yang menjadi bakat turun temurun di keluarga. Namun untuk menambah skil pak solikin juga belajar ke salah satu temannya, temlat dan nama orang yang menjadi guru tersebut tidak diperbolehkan untuk di ekspos atau dirahasiakan oleh bapak solikhin Pak solikhin memulai praktek dirumahnyaa sendiri sekitar tahun 2010-an. Beliau hanya menerima pasien dengan keadaan patah tulang,
tulang geser,salah urat. Pasien biasanya di tanyain apa keluhannya dan penyebabnya kemudian dibaringkan ke lantai kemudian di priksa. Jika keadaanya tulang patah di luruskan terlebih dahulu dan dikembalikan ketempatnya. pak solikhin juga memakai alat bantu berbentuk Y yang terbuat dari kayu, namun alat itu juga dirahasiakan. Pak solikhin buasanya tidak mematok harga, karna niat nya hanya mebantu ujarbpak solikhin
Kami sowan ke rumah Mbah Mulyadi di dusun Nampan Tanjungsari. Dari beliau kami mendapatkan cerita tentang Kyai Nompo, tokoh yang menjadi cikal bakal dusun Nampan Tanjungsari Borobudur. Beliau berkisah, bahwa pada masa lalu ada keluarga Kraton Jogjakarta yang pindah di Nampan dan sekitarnya, konon perpindahan tersebut karena ada perselisihan dalam keluarga. Keluarga Kraton tersebut memiliki tiga anak bersaudara.
Saat ini sudah banyak yang sering dstang kerumah pak solikhin, tempat prakteknya dirumahnya sendiri yaitu di nampan rt 02 rw 02 tanjungsari borobudur.
Pada suatu hari orangtua tiga saudara memerintahkan anak-anaknya untuk menjaga tanaman padi dari gangguan burung. Bukannya menjaga padi, mereka malah asyik bermain dan bersenda gurau di sawah. Akibat kelalaian tersebut, tanpa disadari datanglah segerombolan burung pipit (emprit) menghampiri sawah mereka hingga sebagian besar padi habis disikat segerombolan burung tersebut. Saat orangtuanya datang dan melihat bagaimana keadaan padi di sawahnya, mereka murka dan marah pada tiga bersaudara tersebut. “Kenapa kalian lalai dengan perintahku?” “Maaf Ayahanda kami asyik bermain di sawah sam-
pai kami lalai akan perintah Ayahanda.” “Kalian sudah mengabaikan perintahku sebaiknya kalian semua pergi dari sini!” “Baiklah, kalau memang seperti itu keputusan Ayahanda, kami siap untuk pergi.” Tiga bersaudara tersebut kemudian pergi berjalan ke arah barat. Mereka berjalan sangat jauh dan sampailah mereka di suatu tempat yang sepi dan tak berpenghuni. Tempat yang ditumbuhi banyaknya rumput ilalang. Mereka merasa tempat tersebut cocok untuk dijadikan sebagai tempat tinggal mereka yang baru. Namun, salah satu dari tiga bersaudara ini memilih untuk melanjutkan perjalanan. Ia dikabarkan telah sampai di sekitaran Cilacap. Beliau kemudian dikenal dengan nama Simbah Kyai Jropo, merupalan anak terakhir dari tiga bersaudara tersebut . Dua bersaudara lainnya akhirnya menetap daerah dengan hamparan rumput ilalang. Kedua bersaudara itu bernama Simbah Kyai Nompo, sementara yang tertua adalah seorang perempuan yang kelak
dikenal dengan nama Nyai Bumen. Sementara hamparan padang ilalang yang menjadi tempat tinggal mereka kini dikenal dengan nama Sawah Silayer. Mereka membagi wilayah dengan cara membakar rumput ilalang sebagai pembatas. Perjanjian pembagian wilayah mereka buat dan menyepakati sisi barat dan timur menjadi dua wilayan yang terbagi secara adil.
Tempat tinggal Simbah Kyai Nompo kemudian dikenal dengan nama dusun Nampan. Mbah Mulyadi mengatakan bahwa SImbah Kyai Nompo merupakan pepunden dan cikal bakal dusun, namanya disematkan menjadi nama dusun. Nompo sendiri memiliki arti menerima, ikhlas nriman yang maknanya adalah selalu dapat menerima orang yang memiliki niat baik. “Nggih kados njenengan sowan mriki sinau babagan sejarah dusun Nampan, mesti apik tujuane.” Kyai Nompo sendiri makamnya berada di makam dusun Nampan, dan sering diziarahi oleh masyarakat pada saat-saat tertentu, seperti pada bulan Ruwah atau Suran.
TANJUNGSARI
Wiwit oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Wiwit atau sering disebut miwiti adalah ritual persembahan yang menjad tradisi masyarakat jawa sebelum panen. Kebanyakan di daerah tanjungsari wiwit ini digunakan pada saat akan memanen padi, namun bisa juga digunakan untuk panen hasil ladang lain seperti cabai,bayam,dan lain lain. Ritual ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada tuhan, dengan harapan waktu panen mendapatkan hasil yang melimpah. Sebelum diadakan wiwitan biasanya warga menentukan hari baik dimana wiwitan itu akan diadakan, biasanya berdasarkan tanggalan jawa. Biasanya miwiti ini dilaksanakan sehabis maghrib. Pada waktu siang tuan rumah membuat bancakan untuk wiwit,biasanya yang membuat adalah ibu dibantu oleh anaknya. Bancakan ini khusus dibuat untuk miwiti saja biasanya terdiri dari nasi tumpeng dengan sayur kluban yang dilengkapi dengan ayam ingkung,pelas, ikan teri. Sayur kluban adalah campuran dari sawi,kacang panjang, yang dibumbui parutan yang dicampur dengan sambal. Ayam ingkung aadalah ayam yang di masak utuh dengan cara di ungkep. Pelas merupakan parutan kelapa muda yang di campur dengan isian kacang
kacangan bisa dari kacang panjang. Biasanya tuan rumah mengundang tetangga sekitar untuk ikut serta miwiti. Warga datang dan duduk mengitari bancaan yang sudah dibuat tadi untuk kemudian didoakan . Yang memimpin doa biasanya Kyai Barwawi. Lalu dilanjutkan dengan pemotongan nasi tumpeng bagian atas beserta lauk lalu diletakkan di daun pisang dan diletakkan di sawah yang akan dipanen disebut dengan tunggok. Untuk daerah sejengkal yang diletakkan tunggok tidak boleh dipanen, agar panen selanjutnya bisa lebih banyak. Nasi tumpeng yang isinya sayur gluban, ayam ingkung, telur, sayuran dan pelengkap lainnya biasanya dimasak oleh tuan rumah yang akan panen. Pada saat memasak ayam ingkung tidak boleh dicicipi karena pantangan menurut warga sekitar. Nasi tumpeng juga akan dibagikan dan dimakan bersama oleh seluruh tamu yang hadir. Biasanya rangkaian acara ini menggunakan Bahasa Jawa. Tidak ada perbedaan kondisi dari zaman dahulu hingga sekarang.
TANJUNGSARI
Bancakan di Tanjungsari oleh: Rhomdhoni Andika Ulinnuha
Dalam tradisi Jawa, ada yang disebut bancakan, yang merupakan acara selamatan untuk memperingati hari-hari tertentu. Bancakan juga diidentikan dengan hidangan saat prosesi selamatan tersebut. Menurut sesepuh di Desa Tanjungsari, Mbah Ngakib Subki (78) serta dilengkapi oleh Bu Siti Astuti (42) ada banyak macam bancakan. Misalnya, terdapat bancakan ngapati atau dalam rangka empat bulan kehamilan (biasanya dirayakan kecilkecilan) serta bancakan 7 bulan. Hidangan yang disediakan untuk kedua bancakan tersebut berisi sega kluban (nasi urap), mie goreng atau bakmi goreng, sayur kentang dan tahu yang dicampur, tahu atau tempe bacem, telur rebus, pelas atau parutan kelapa, kerupuk, lento atau tepung beras. Kemudian dilengkapi parutan kelapa yang dikepal, petek atau keripik ikan asin, serundeng, kolak labu, ketupat, dawet, kacang rebus, celorot (makanan dari tepung beras. Ada juga gula merah yang dicetak menggunakan janur atau daun kelapa muda, medro mberot telo atau singkong yang direbus, jajanan pasar. Untuk yang memimpin bancakan disebut Pak Kaum.
Ada juga bancakan atau berkat untuk 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1 tahun orang meninggal yang dilaksanakan di rumah orang tersebut. Hidangan yang disiapkan isinya terdapat nasi putih dan sedikit nasi gurih, telur rebus, sayur tahu atau tempe, bakmi goreng, kerupuk, lento atau tepung beras dan parutan kelapa yang dikepal, serundeng, tahu atau tempe bacem, petek atau keripik ikan asin, dan secuil ayam. Untuk yang memimpin bancaan disebut Pak Kaum Siswono. Bancakan berikutnya yaitu bancakan untuk bulan Sura atau tahun baru Jawa dan Hijriyah yang dilaksanakan di masjid atau musala. Isinya terdiri dari nasi putih, jenis sayurnya terdapat kentang, tempe, tahu, terong, daun melinjo, kacang merah, kecambah di sayur bumbu Sura. Di dalam Bumbu Sura terdapat bawang putih, bawang merah, cabai, kunyit, merica, garam, kemiri, dan santan. Untuk yang memimpin bancaan disebut Pak Ustad. Bancakan untuk bulan Ramadan atau khatmil quran yang dilaksanakan di masjid atau musala. Isi hidangannya terdiri dari nasi putih, sayur tempe dan cecek atau kerupuk kulit, bakmi goreng, tahu
atau tempe di uyah bawang atau garam bawang, ingkung atau ayam kampung jantan yang dimasak utuh. Untuk yang memimpin bancaan disebut Pak Ustad. Ada juga among-among yang merupakan selamatan untuk anak-anak yang berulang tahun atau memperingati weton kelahirannya. Menunya terdiri dari nasi putih, kluban atau urap, telur rebus, kerupuk. Untuk penyajiannya nasi putih diletakkan di nampan atau baki yang di atasnya ditaburi kluban atau urap, telur rebus yang sudah dipotongpotong, kerupuk. Di bawah nasi diletakkan daun pisang yang diisi dari beras, uang receh, dan sedikit areng. Lalu dimakan bersama oleh anak-anak.
Tegalarum
TEGALARUM
abdi kinasih lainnya yang menjadi Bupati disana.
Menilik Sejarah Pembentukan Desa Tegalarum Melalui Pusaka oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Beberapa waktu kemudian datang serombongan keluarga, abdi kinasih dan prajurit untuk mencari keberadaan salah satu abdi kinasih yang tak kunjung kembali ke Kraton. Saat tiba di desa Tegal, mereka mendapatkan cerita dari masyarakat setempat, bahwa mereka telah memakamkan
Kami pergi ke rumah Bapak Triyatno yang tinggal di dusun Tegalwangi RT 03 RW 03, desa Tegalarum. Kepada kami, beliau berkisah bagaimana sejarah terbentuknya desa Tegalarum melalui Pusaka tinggalan leluhur. Beliau bercerita bahwa saat ini desa Tegalarum terdiri dari 4 dusun, yakni Prembulan, Susukan, Tegalwangi dan Kedungrengit. Dahulu dusun-dusun tersebut merupakan sebuah desa yang masing-masing dipimpin oleh seorang Lurah. Pada satu ketika, untuk menggalang kekuatan, empat desa tersebut berunding untuk bisa bergabung menjadi satu desa. Perundingan disepakati pula dengan pemilihan lurah pertama. Dari hasil perhitungan, terpilihlah lurah pertama yang berasal dari desa Tegalwangi bernama Raden Nitti Rejo. Penggabungan empat desa tersebut juga membutuhkan nama baru untuk desa gabungan ini, dan untuk membedakan dengan nama desa lama, Ki Lurah Raden Nitti Rejo memberi nama desa gabungan tersebut dengan Tegalarum, tempat yang harum.
Syahdan, dalam perjalanan pulang kembali ke Yogyakarta beliau meninggal di desa Tegalwangi. Tak ada satupun warga yang mengetahui kematian beliau. Hingga selang beberapa hari kemudian warga mencium bau harum di sekitar desa Tegal, tak lama berselang mereka menemukan keberadaan jasad yang mengeluarkan bau wangi itu. Tiada yang tahu, identitas dan asal usul jasad tersebut. Jasad tersebut kemudian dimakamkan di desa Tegal. Nama desa Tegal kemudian dikenal dengan Tegalwangi.
Dibalik kisah pembentukan desa Tegalarum tersebut, ternyata tersembunyi kisah keberadaan Pusaka yang menjadi asal usul nama desa Tegal, nama lama desa Tegalwangi. Salah satu dusun yang dahulu merupakan desa yang bergabung dalam desa Tegalarum. Pada satu ketika, seorang pengelana bernama Kyai Mondoruko berasal dari Bantul Yogyakarta singgah hingga desa Tegal. Konon berdasarkan silsilahnya beliau merupakan abdi kinasih dari Raden Hanyokrowati. Pada saat itu, beliau diutus untuk melakukan perjalanan ke Wonosobo menengok
jasad seseorang yang tidak ketahui identitasnya. Orang tersebut ditemukan karena masyarakat kebingungan mencium bau yang sangat wangi. Dari cerita masyarakat desa Tegal, rombongan dari kraton yakin, bahwasanya jasad tersebut adalah Kyai Mondoruko, seorang abdi kinasih yang selama ini mereka cari. Rombongan kraton kemudian memberikan pusaka yang berwujud tombak bergagang keris sebagai tanda terimakasih kepada masyarakat desa Tegal telah memakamkan jasad Kyai Mondoruko dengan layak. Hingga kini pusaka masih disimpan dan di rawat dengan baik oleh ahli waris. Pusaka tersebut hampir dikatakan masih seperti saat awal diberikan, hanya ada sedikit retakan pada bagian gagangnya namun sudah diperbaiki. Pada bagian ujung tombak sedikit patah karena termakan usia. Pusaka ini menjadi simbol sejarah Desa Tegalarum. Dikisahkan keris tersebut adalah pegangan dari Ki Lurah Raden Nitti Rejo. Pusaka tersebut bernama Keris Kyai Lamat
dengan ciri bronjol pamor banyu mili. Alkisah, pada satu ketika saat warga desa Tegalarum sedang menjemur tembakau, langit tampak gelap, seolah hujan akan segera turun. Ki Lurah Raden Nitti Rejo kemudian berdoa dan menancapkan keris tersebut di tanah sekitar tempat warga meme mbako. Sesaat kemudian, awan mendung menghilang dan cuaca desa Tegalarum kembali cerah. Warga merasa gembira dan sangat terbantu, karena hasil panen tembakaunya dapat cepat kering. Pusaka tersebut telah diwariskan secara turun temurun dari Lurah ke Carik hingga saat ini. Pusaka yang awalnya menjadi milik Raden Nitti Rejo tersebut, kini dirawat dengan baik oleh pak Nong, panggilan akrab Bapak Triyanto, Carik Desa Tegalarum. Pak Nong merupakan generasi Carik ke 5 dari Carik pertama di Desa Tegalarum.
TEGALARUM
Batu Lumpang yang Terlupakan oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Batu lumpang terletak di Dusun Tegalwangi, Desa Tegalarum tepatnya di sebelah selatan Dusun menjadi salah satu sejarah peradaban di desa Tegalarum. Dahulu diyakini batu tersebut sering digunakan untuk menumbuk padi oleh Mbah Nyai Tegal yang tinggal di Desa Tegal (sekarang bernama dusun Tegalwangi). “Batu lumpang memang berada di tanah warisan leluhur saya dan sudah ada sejak lama, turun menurun hingga sekarang dititipkan kepada saya. Saya selalu ingat pesan dari almarhum suami saya, bahwa jika ada yang mau membeli batu itu, berapapun harganya, jangan diberikan” kisah Mbah Sukarmi (52 tahun) yang merupakan warga Dusun Tegalwangi Desa Tegalarum. Oleh masyarakat setempat, sampai saat ini tidak ada yang berani memindahkan letak batu lumpang karena di percaya apabila memindahkan batu tersebut akan terjadi hal-hal buruk. “Pernah ada warga yang mau mengangkat batu tersebut, tetapi akhirnya menyerah karena bobot batu tersebut yang melebihi dari bentuk atau bahkan memang tidak bisa diangkat dari lokasi sekarang” ujar Ibu Ita yang merupakan putri Mbah Sukarmi.
Lokasi batu lumpang berada di dekat makam kuno yang merupakan makam Mbah Nyai Tegal sehingga lokasi tersebut sangat keramat atau terkesan angker. Mbah Nyai Tegal adalah sosok pepunden atau orang yang pertama menempati daerah tersebut. Orang-orang menyebut Desa Tegal terinspirasi dari nama beliau. Selain Mbah Nyai Tegal, ada prajurit Pangeran Diponegoro dan juga abdi kinasih dari Keraton Jogja yang di makamkan disitu. Banyak rumor yang mengatakan di lokasi tersebut sering terlihat penampakan ular besar dan hal hal mistis lainnya. Berbeda dengan situs batu lumpang di Dusun Prembulan, Desa Tegalarum yang sudah terdaftar di Balai Konservasi Borobudur. Batu lumpang di Dusun Tegalwang sudah di laporkan ke perangkat desa untuk ditindaklanjuti. “Saya orang pertama yang menayakan perihal batu lumpang dan memita ijin untuk mengukur batu tersebut untuk keperluan narasi yang saat ini saya tulis” ucap Jamil.
TEGALARUM
TEGALARUM
Genduren
Pengobatan Tradisional
oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Genduren merupakan bahasa umum yang digunakan setiap ada hajatan. Di Desa Tegalarum, hajatan dengan mengahdirkan tonggo tepaleh untuk hadir ke tempat yang bersangkutan itu biasanya disebut genduren. Nanti akan tau acara tergantung pemilik rumah. Ketika hadirin sudah rawuh nanti pemilik rumah akan menyampaikan agenda genduren itu apa. Misalnya saja, ketika ada acara untuk bayi biasanya disebut puputan, ketika ada acara untuk nikahan biasanya disebut bejo krama, ketika slametan menuju acara nikahan biasanya disebut ngirim doa kepada para leluhur dari calon pengantin. Pada dasarnya nama tersebut hanya istilah, untuk secara umumnya tetap disebut sebagai genduren.
Sebelum ada obat-obatan, jamu menjadi andalan masyarakat untuk meringankan bahkan menyembuhkan berbagai penyakit. Hingga saat ini jamu menjadi salah satu alternatif obat yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ada berbagai bentuk jamu yang biasa dikonsumsi, mulai dari serbuk hingga jamu segar atau jamu gendong. Pada saat ini yang masih ada kemungkinan mengkonsumsi jamu tradisional hanya para ibu rumah tangga yang memiliki anak kecil. Jamu yang biasanya diminum yaitu daun kates atau pepaya.
Untuk doa yang dipanjatkan dalam setiap acara genduren sama, hanya saja perbedaannya terletak pada makanan yang disuguhkan. Acara bejo krama biasanya yang masih berjalan saat ini yaitu menggunakan ingkung. Kemudian untuk mitoni biasanya ada kendhil yang berisi jajanan pasar, serta ada tumpeng. Sedangkan untuk acara khoul atau slametan biasanya hanya makan besar (nasi) ditempat dan makanan ringan (snack), kemudian pulangnya diberi berkat / buah tangan yang berisi beras, mie, telur dsb. Acara genduren biasanya dilaksanakan pada waktu sore (bakdo asar) dan malam (bakdo maghrib & isya).
Cara pengolahannya, daun kates ditumbuk terlebih dahulu kemudian diambil airnya untuk diminum. Selain daun kates, jamu lainnya yang dikonsumsi para Ibu yaitu kunir asem. Jamu kunir asem bermanafaat untuk memperlancar asi bagi para Ibu menyusui. Sedangkan untuk anak-anak, jamu yang sering dikonsumsi yaitu temulawak. Jamu temulawak dikonsumsi bagi para anakanak ataupun remaja yang masih dalam masa pertumbuhan. Hal itu dikarenakan temulawak memiliki manfaat untuk menambah nafsu makan, sehingga sangat bagus jika dikonsumsi untuk anakanak. Tidak hanya bagi anak-anak, namun bagi para orang tua yang telah berumur dan memiliki nafsu makan yang kurang maka dapat minum temulawak untuk memulihkan nafsu makan dan menstabilkan
staminanya. Manfaat yang dimiliki dari setiap rempah-rempah berbeda karena berbeda pula jenisnya. Temulawak untuk menambah nafsu makan, jahe bermanfaat untuk menjaga daya tahan tubuh, kunir untuk memperlancar sistem pencernaan. Kunir juga bermanfaat untuk menyembuhkan luka luar baik karena jatuh ataupun bengkak dengan cara dipupuk pada bagian yang luka. Selain menggunakan kunir, untuk mengatasi bengkak dapat menggunakan dlingo bengle. Dlingo bengle dapat pula digunakan untuk semacam mistis bagi anak kecil. Misal ketika anak kecil menangis tanpa ada penyebabnya dan didiamkan pun susah, biasanya oleh orang tua dipupuk menggunakan dlingo bengle agar anak dapat diam dan tidur dengan nyenyak. Dlingo bengle yang telah dikeringkan sering juga dijepitkan pada baju anak kecil dengan menggunakan peniti atau jarum kancing. Hal itu dikarenakan biasanya anak kecil dapat melihat perkara yang orang tua tidak tahu sehingga anak terkadang tiba-tiba kaget dan menangis. Dikarenakan anak tersebut menangis tidak berhenti-henti dan ketakutan, orang tua meyakini bahwa anak tersebut melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang tuanya.
Bahkan saat ini, banyak dibuat gelang yang isinya dlingo bengle, minyak, dan bubuk dari rempahrempah. Hal itu dipercaya sebagai tolak balak agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Daun suruh bermanfaat untuk (rimbangan) mata atau biasanya disebut dengan rimbang daun suruh. Cara untuk merimbangnya yaitu dengan merebus daun suruh terlebih dahulu, kemudian didiamkan hingga dingin. Setelah dingin, rebusan tersebut dapat digunakan untuk merimbang mata. Namun pada awalnya memang terasa perih dan pedas, tetapi setelah berselang 1 atau 2 hari mata akan terasa lebih bening dan terang. Di kalangan masyarakat, masih ada beberapa warga yang menanam tanaman obat di sekitar rumah, salah satunya Bapak Mucholil. “Saya sengaja menanam berbagai jenis tanaman disekitar lingkungan saya. Istri saya juga berjualan bahan jamu-jamuan di pasar dan saya juga memasarkannya melalui online. Pemasaran yang saya lakukan melalui marketplace seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, dan Tokopedia, alhamdulillah sudah berjalan dan selalu ada pesanan. Selain jamu kering yang diperjual belikan, konsumen juga sering mencari daun pule. Sebenarnya kegunaan aslinya seperti apa masih kurang tahu, namun karena konsumen mencari dan saya juga ada maka sekalian dipasarkan. Sehingga penjualan saya tidak terbatas pada jamu kering saja” jelasnya. Jamu-jamu kemasan yang dijual oleh Istri Bapak Mucholil diantaranya berisi temulawak yang telah dikeringkan dan dipotong kecil-kecil, kapulaga, daun kumis kucing, dan sambiloto. Kandungan tersebut adalah beberapa komposisi yang sering ditemukan. Sedangkan seperti jamu pegal linu dan asam urat itu memiliki kandungan sendirisendiri, namun untuk pokoknya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Selain jamu-jamuan, langkah pertama yang
dilakukan masyarakat ketika merasa tidak enak badan biasanya adalah kerokan atau kuikan. Langkah tersebut telah dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan, karena ketika sedang tidak enak badan pasti badan akan merah-merah jika kuikan. Sedangkan ketika badan dalam keadaan sehat, tidak akan menimbulkan merah-merah malah membuat badan sakit. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para masyarakat dari tradisi kuikan tersebut, seperti menggunakan minyak khusus urut, balsem, dan masih banyak lagi tergantung dengan kebiasaan yang dilakukan.
TEGALARUM
Petilasan Desa Tegalarum oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Masyarakat secara khusus Jawa, cukup familiar dengan istilah petilasan. Kata ini merujuk pada “tilas” atau bekas. Suatu tempat yang pernah di datangi atau ditinggali oleh seseorang yang mempunyai jasa besar bagi kehidupan. Terdapat beberapa petilasan di Desa Tegalarum, diantaranya petilasan bekas tapa acara sun haji yang ada di Prembulan dan belum pernah digali, lokasinya ada di lereng. Di dekat lokasi petilasan, terdapat tempat seperti goa tapi tidak begitu dalam. Petilasan yang kedua yaitu petilasan Raden Soemenggolo yang merupakan pengikut prajurit Pangeran Diponegoro yang bermukim di Dusun Kedungrengit, mempunyai anak cucu hingga sekarang sampai generasi ke 7. Raden Soemenggolo meninggal dan dimakamkan di Kedungrengit. Petilasan yang ketiga terdapat di Dusun Tegalwangi, dikisahkan pada awal mulanya terdapat 2 prajurit pengikut Pangeran Diponegoro yang namanya tidak diketahui. Ketika salah satu prajurit meninggal, prajurit lainnya menemui Lurah dan meminta untuk rekannya dimakamkan disini. Akhirnya beliau di makamkan di sebelah barat makam Kyai Mondoroko. Petilasan lain di Dusun Tegalwangi yaitu petilasan Mbah Nyai Tegal, terdapat bukti kongkritnya yang berupa watu lumpang.
Petilasan dari dusun susukan tidak diketahui asal usulnya karena tidak ada makam dan tidak ada sungkup. Untuk petilasan di Dusun Prembulan berada di lor tangsi tepatnya di daerah Macanan, terdapat sungkup pada makamnya, merupakan petilasan dari Simbah Kyai Prembul. Desa Tegalarum juga terdapat peninggalan batu bersejarah berupa batu kentang, lumpang, lingga dan yoni yang terdapat di Dusun yang ada di Desa Tegalarum. Bapak Triyatno selaku Carik Desa Tegalarum menjelaskan “petilasan yang ada di Desa Tegalarum diantaranya seperti yang telah disebutkan, sebagai tambahan di Dusun Prembulan terdapat petilasan yang dikeramatkan, dari beliau yang disanjung yaitu Syaid Ali, dari orang-orang sepuh di Desa Tegalarum masih ingat bahwa almarhum hidupnya disini”. Syaid Ali semasa hidupnya sangat aktif dalam penyebaran agama islam.
Pembawa Acara Penutup
Kyai Setempat Tahlil dan Doa Bersama
Remaja Istirahat
Ketua Panitia Sambutan Panitia
Kepala Dusun Sambutan Kepala Dusun
Pembawa Acara Pembukaan
Masyarakat mempunyai pandangan berbedabeda terkait sedekah di sadranan, ada yang ingin sederhana saja, ada juga yang berpikiran karena sedekah saat nyadran ini dilakukan hanya sekali dalam satu tahun, sehingga ingin memberikan lebih terhadap sedekah yang diberikan, hal ini dilakukan sebagai penyemangat diri sendiri. “Masyarakat Dusun Susukan, Desa tegalarum kurang lebih terdiri dari 200 KK, sudah disepakati bersama, setiap KK menyediakan 5 berkat untuk diberikan kepada tamu dan masyarakat yang hadir pada acara sadranan” jelas Bapak Pandi selaku Ketua RT 02 / RW 02 Dusun Susukan, Desa Tegalarum.
ACARA
09.00 – 09.15
09.15 – 09.20
09.20 – 09.25
09.25 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00
2
3
4
5
6
7
dengan sederhana yaitu tahlil dan doa bersama bertempat di makam setiap Dusun di Desa Tegalarum. Semenjak pandemi, nyadran hanya diikuti oleh internal masyarakat di masing-masing Dusun.
08.00 – 09.00
Prosesi sadranan seperti yang diceritakan diatas terakhir dilaksanakan pada tahun 2018. Di era pandemi covid-19 prosesi nyadran dilakukan
1
Nyadran diperingati sebagai momen untuk bersedekah antar sesama dengan memberikan berkatan berupa aneka macam makanan dan minuman untuk tamu serta masyarakat yang datang ke Mushola atau Masjid untuk kemudian dibawa pulang ke rumah masing-masing. Dahulu nyadran diperingati dengan sederhana yaitu tumpengan dan berkatan yang dibungkus dengan daun kelapa. Seiring perkembangan zaman, di 10 tahun terakhir masyarakat menggunakan keranjang buah yang dilapisi kertas koran sebagai pembungkusnya. Keranjang berisi antara lain nasi, sayur matang, lauk pauk, buah buahan, gula, teh, bahkan ada juga
yang menambahkan rokok, susu kaleng, kopi sachet dan minuman bersoda.
WAKTU
Berikut adalah susunan acara sadranan atau nyadran di berbagai Dusun di Desa Tegalarum salah satunya Dusun Susukan. Nyadran dilaksanakan pada hari Ahad/Minggu di Minggu pertama bulan ruwah. 2 hari sebelum acara, masyarakat melakukan kerja bakti bersih-bersih makam serta jalan menuju makam. Setelahnya, masing-masing saling membacakan tahlil untuk keluarga yang telah meninggal. Sadranan yaitu mengirim doa kepada orang yang telah mendahului kita, terutama nenek moyang di Desa Tegalarum. Nyadran diikuti oleh masyarakat setempat dan para pendatang baik dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta dsb, yang mempunyai leluhur di masing-masing Dusun.
PETUGAS
oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Penyambutan Tamu
Sadranan
Perangkat Dusun dan Pepunden
TEGALARUM
TEGALARUM
Sumber Mata Air oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Desa Tegalarum memiliki beberapa sumber mata air yang berada di Dusun Susukan, Dusun Tegalwangi, Dusun Kedungringit dan Dusun Prembulan. Berdasarkan penuturan masyarakat Desa Tegalarum dikelilingi oleh air. Berdasarkan penuturan Mbah Nur Sodiq atau sering disapa Mbah Gelo (74 tahun), mata air di Dusun Tegalwangi menjadi awal mula peradaban Desa Tegal. Dahulu masyarakat tidak memiliki sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat menimba air menggunakan klenting. Klenting adalah gerabah yang dibentuk menyerupai gentong kecil yang digunakan untuk mengisi air. Masyarakat membawa klenting dengan cara digendong bagi perempuan dan nyunggi membawa klenting di kepala bagi laki-laki. Masyarakat memanfaatkan mbelik (mata air besar yang difungsikan) yang ada di Desa Tegal yang kini disebut Dusun Tegalwangi. Jumlah mata air atau mbelik yang ada di Dusun Tegalwangi berjumlah 11 mbelik. Mbelik yang dimanfaatkan untuk mengairi PDAM Simas sejumlah lima, sedangkan dua mbelik sebelah barat dan timur digunakan untuk pemandian yang bentuk fisiknya sudah beratap dan tertutup. Sedangkan empat mbelik lainnya tidak difungsikan. Mbelik terbesar di Dusun Tegalwangi berada di samping sungai klantungan. sungai kecil yang ada
di belakang Dusun Tegalarum tepatnya di RT 03 yang akrab disebut kali wetan. Ada dua pohon besar beringin tepat diatas mbelik. Akar pohonnya melingkari kolam tersebut seakan membungkus dinding kolam tersebut. Airnya sangat melimpah dan sangat jernih sampai dasaran kolam tersebut terlihat dengan jelas. Air mbelik tersebut tidak pernah kering setiap tahunnya. Setiap bulan Suro, sebagian masyarakat melakukan proses ruwatan di beberapa mbelik di Dusun Tegalwangi. Acara tersebut menjadi agenda tahunan yang dimulai dari berdoa bersama dan memakan tumpeng kluban dan ingkung ayam. Setelah itu masyarakat beranjak ke mbelik untuk melakukan bersih-bersih atau ruwatan. Masyarakat dari beberbagai kalangan usia mengikuti serangkaian acara tersebut. Acara ini selalu dinantikan oleh kalangan anak-anak karena di dasar kolam terdapat banyak belut dan uang receh dari masyarakat yang mencuci dan uangnya terjatuh. Setelah acara bersih-bersih selesai, masyarakat beristirahat dan sambil makan bersama. Makanan disediakan oleh masyarakat secara swadaya yang diperuntukan oleh seluruh masyarakat yang berpartisipasi. Setelah itu, masyarakat kembali kerumah masingmasing untuk membersihkan diri dan beristirahat.
setelah itu, menghadiri acara puncak untuk berdoa dengan tujuan bersyukur atas kelancaran dan keselamatan saat acara berlangsung. Acara dilanjutkan dengan penampilan Sri mudho Utomo sholawat pitutur jowo dilanjutkan pentas jathilan begitu pentas jathilan pungkasan acara ruwat di nyatakan selesai.
TEGALARUM
Tradisi Suran oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Perayaan malam tahun baru Islam atau bulan muharram atau suronan merupakan kegiatan yang sudah turun temurun dari orang dahulu atau nenek moyang. Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat Desa Tegalarum baik anak-anak, remaja atau orang tua. Karena mayoritas masyarakat di Desa Tegalarum beragama islam, jadi peringatan hari-hari besar islam seperti suronan selalu dilaksanakan. Bulan muharam atau tahun baru islam atau suronan diperingati dengan tujuan sebagai momentum untuk refleksi diri dari sesuatu yang kurang baik menjadi baik, sesuatu yang baik menjadi lebih baik dan mempertahankan yang lebih baik untuk tetap lebih baik. Tahun ini kegiatan cukup berbeda dari tahun sebelumnya karena situasi Pandemi Covid-19, jadi kegiatan dibatasi sesuai anjuran pemerintah namun untuk hikmah atau tema yang dilaksanakan tetap tidak berubah. Berdasarkan penuturan Bapak Madi, Kegiatan suronan tetap dilaksanakan dengan harapan masyarakat di Desa Tegalarum tetap mengenang atau tidak melupakan sejarah bagi mereka yang sudah berjasa, baik di tingkat kelurahan, kecamatan atau tingkat nasional, tokoh agama di desa tegalarum khususnya, dan tokoh di tingkat nasional pada umunya. Rangkaian kegiatan yang dilakukan pada bulan muharram antara lain
tahlilan, pengajian, doa bersama, jamasan secara pribadi, takbir keliling melibatakan anak-anak yang mengaji di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) Desa Tegalarum, dengan mengunakan obor/oncor. Selain itu lomba-loma yang sifatnya keagamaan untuk anak-anak, seperti lomba membaca kitab kuning, membaca Al-Qur’an, lomba adzan dan rebana. Dengan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) kegiatan yang dilaksanakan di tahun ini antara lain jamasan yang dilakukan di rumah masing-masing, tahlilan, pengajian dan doa bersama. Malam 1 suro Kegiatan malam 1 suro dilaksanakan masyarakat secara kelompok atau pribadi masing-masing. Kegiatan yang dilakukan secara pribadi oleh mereka yang mempunyai pusaka seperti keris atau pedang dengan mencuci pusaka atau dalam istilah jawa “jamasan/jamasi” menggunakan air, air kelapa dan bunga (bunga kenikir, mawar dsb). Hal itu ditujukan untuk memelihara pusaka atau dalam Bahasa Jawa disebut “ngopeni” karena diyakini pusaka mempunyai kekuatan supranatural, agar tidak menyerang dirinya, mereka harus memelihara pusaka seperti mereka memelihara diri sendiri. Tempat yang digunakan untuk jamasan yaitu
dirumah masing-masing, tidak ada tempat khusus dan tidak dilakukan bersama karena mantra atau doa yang diucapkan kemungkinan berbeda dengan yang lainnya. Kegiatan yang dilakukan secara bersama pada malam 1 suro antara lain beberapa warga melakukan tirakatan dengan membaca tahlil, doa bersama serta mujahadah di masjid, mushola atau perempatan jalan. Harapannya, supaya masyarakat selalu diberikan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Malam 10 suro Kegiatan pengajian di bulan muharram dilakukan setelah sholat Isya’ di Masjid atau Mushola dipimpin oleh tokoh masyarakat (Mbah kaum atau Pak Kyai) dengan bacaan tahlil dan doa bersama menggunakan perpaduan bahasa arab dan jawa agar masing-masing jamaah bisa mengerti doa
yang mereka panjatkan. Selain berdoa untuk keselamatan di awal sampai akhir tahun, diberikan rezeki yang banyak, halal barokah, sehat jiwa dan raga, masyarakat juga mendoakan para leluhur. Setelah selesai, acara dilanjutkan dengan memberikan santunan kepada anak yatim dengan cara mengusap kepala masing-masing anak yatim yang hadir di Masjid. Makna yang terkandung dalam santunan anak yatim lebih dalam lagi, yaitu agar kita senantiasa teringat, bahwa mereka membutuhkan sesuatu seperti yang kita butuhkan juga. Harapannya santunan yang datang bukan hanya di malam suro saja, karena kita punya tanggung jawab utnuk menyantuni anak yatim. Pada pagi harinya sekitar pukul 7 pagi dilakukan ziarah makam di Desa Tegalarum diikuti oleh hampir seluruh masyarakat Desa Tegalarum. Ziarah dipimpin oleh Bapak Kyai yang ada di
Desa Tegalarum dengan membaca tahlil dan doa bersama oleh seluruh peserta ziarah. Kegiatan Ziarah dimulai dari makam Dusun Prembulan yaitu bertempat di seberang jalan sebelum lapangan akmil ke makam Syaid Ali Assegaf. Ziarah berlanjut ke makam Dusun Susukan yang berada jauh sekitar 800 m dari Dusun Susukan. Meskipun jauh, masyarakat tetap antusias berbondongbondong mengikuti kegiatan tersebut. Setelah dari Dusun Susukan, ziarah beralih ke makam Dusun Tegalwangi yang berada di Sebelah Timur Balai Desa Tegalarum. Selanjutnya ke makam Kedungrengit yang merupakan Dusun terakhir kegiatan ziarah Desa Tegalarum. Setelah selesai, maka berakhirlah kegiatan ziarah makam yang ada di Desa Tegalarum dalam rangka mengisi kegiatan di bulan muharram atau dibulan suro.
yang diperingati oleh masyarakat agar mengenang kembali kejadian-kejadian terdahulu agar selalu ingat perjuangan-perjuangan dari tokoh islam / para nabi. Pada bulan muharram ada beberapa
Selain berbagai rangkaian kegiatan di Bulan Muharram, salah satu hal yang identik dengan suronan yaitu bubur suro. Bubur suro adalah sayur yang kita masak khusus di bulan suro dengan rasa yang khas yaitu rasa pedas sedikit kaya akan bumbu rempah-rembah dan lada. Untuk kuahnya selalu berwarna kuning karena terbuat dari warna alami kunyit. Cara menghidangkan yaitu bersamasama dinikmati dalam acara doa bersama baik di masjid atau mushola. Komposisi makanan pada bubur suro seperti sayuran kentang, tahu dan tempe. Yang menjadi spesial adalah tempe suro, berbahan dasar kedelai yang dibungkus bukan menggunakan plastik atau daun pisang, melainkan dengan menggunakan bambu. Cara pembuatannya yaitu menyiapkan bambu 1 buah yang masih utuh, kemudian dibelah menjadi 2 lalu tempe dimasukkan ke dalam bambu tersebut. Bambu ditutup dan ditunggu hingga tempe matang.
Harapan yang disampaikan oleh Pak Madi selaku Kasi Desa Teagalarum “bahwa kegiatan kebudayaan harus tetap lestari sepanjang masa. Teruntuk generasi muda senantiasa nguri-nguri budaya desa
Perayaan di Bulan Muharram bisa dikatakan sebagai kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tegalarum. Suronan merupakan momentum
orang yang berkeyakinan untuk tidak melakukan kegiatan yang bersifat besar seperti membangun rumah, resepsi pernikahan, khitan, atau kegiatan sejenisnya. Mereka tidak berani melakukan kegiatan di bulan muharram ini, karena berkeyakinan jika melakukan kegiatan tersebut, mereka akan celaka atau dalam istilah jawa “ketibanan sial”. Inti dari mereka mempunyai kepercayaan seperti itu adalah untuk menghormati bulan muharram ini karena banyak terjadi peristiwa besar yang merupakan hari berkabungnya umat islam. Sebagai rasa penghormatan terhadap kejadian tersebut agar kita menunda kegiatan kegiatan besar di masyarakat.
bukan hanya di bulan muharram saja, tetapi juga kebudayaan entah yang mengandung unsur agama, religi atau budaya murni agar tetap melestarikan budaya tersebut”.
TEGALARUM
Batu Centeng oleh: Jamil Rocmatulloh Taufik Hidayat
Mendung sedang meliputi di Desa Tegalarum. Di sore itu saat kami dan Pak Yasir (50 tahun) selaku ahli waris dan pemilik tanah dari tempat Watu Centeng berada. Ujar pak Yasir, batu tersebut sudah ada di era kerajaan Syailendra. Di era nenek moyang Pak Yasir batu tersebut sudah terlihat, diyakini batu tersebut adalah umpak gapura. Ada 4 batu, tetapi dari pengakuan Pak yasir, beliau bercerita bahwa hanya ada 3 umpak yang satunya tidak diketahui keberadaannya. Terdapat batu lainnya seperti batu berbentuk tiang dengan lebar sekitar 50-80 cm dengan tinggi 125 cm. Banyak masyarakat yang mempercayai batu itu disebut centeng, karena ada yang menyebut Lingga dan Yoni ada yang berpendapat bahwa batu tersebut adalah umpak. Ciri dari batu umpak tersebut berbentuk lonjong dengan ketinggian 115 cm. keliling lingkaran 67 cm. Diameter 40 cm. Lebar persegi lubang 15 cm dengan kedalaman 18 cm. Pak Yasir bercerita pernah ada kejadian batu centeng dipindahkan ke tempat lain di waktu sore. Pada pagi harinya, batu tersebut berpindah ke tempat semula. Ada seseorang yang pernah menggeser batu tersebut, akhirnya orang tersebut kesurupan dan sakit. Setelah sembuh, seseorang itu kembali dan meminta maaf kepada penunggu batu tersebut. Ayahanda pak yasir pernah bercerita
dikala ada seseorang yang sedang mencangkul di samping lokasi batu tersebut, ada seorang warga yang sedang mencari daun awar awar. Tidak ada yang mengetahui tujuannya, dan tiba-tiba orang tersebut terkejut disekitar batu itu dipenuhi ular berwarna hitam yang sangat banyak dan besar. Orang tersebut berlari dan berteriak minta tolong. Tidak sengaja berpapasan dengan ayahanda Pak Yasir yang sedang mencangkul tidak jauh dari lokasi batu tersebut. Ayahanda Pak Yasir lantas menemani orang tersebut untuk melihat kembali dan tiba-tiba ular tersebut sudah tidak ada. Jadi kepercayaan masyarakat di Dusun Kedungringit, batu tersebut sangat sakral dan angker. Batu tersebut diketahui balai konservasi kurang lebih sejak tahun 1989 dan ditahun 2017 mulai didampingi oleh balai konservasi dan mendapatkan uang pemeliharaan. Untuk keakuratan data terkait batu, ukuran dan sejarah ada di Balai Konservasi Borobudur.
Tuksono
TUKSONO
Daur Hidup oleh: Andi Ahmad Zuhan Andri D.A.
NGAPATI Ngapati adalah tradisi yang ada di masyarakat dari zaman kakek nenek sampai sekarang yang sampai sekarang masih dilaksanakan dengan tujuan untuk selametan atau mendoakan kehamilan dari pasangan suami istri pada saat usia kandungan memasuki 4 bulan supaya kandungan pada orang yang si calon bayi tersebut sehat dan selamat begitu juga dengan yang mengandung. Ngapati dilaksanakan dengan cara mengundang masyarakat sekitar rumah pasangan suami istri tersebut untuk mendoakan bersama di tempat pasangan suami tersebut yang dipimpin oleh bapak kyai/ bapak kaum saat acara dilaksanakan, umumnya dilaksanakan sehabis sholat isya, kemudian dari pihak tuan rumah memberi sedekah berupa nasi cething, lauk pauk dan sayuran yang sering disebut juga sego berkat, tapi didalam ngapati selain sego berkat tersebut ada tambahan 4 macam makanan yang tidak boleh ditinggalkan ketika melaksanakaan ngapti. MITONI Mitoni adalah tradisi di masyarakat tuksongo dari zaman dulu yang sampai saat ini masih dijalankan, tujuan acara mitoni yaitu mendoakan kehamilan pasangan suami istri pada usia 7 bulan dengan cari
mengundang masyarakat sekitar rumah pasangan suami istri yang sedang hamil untuk mendoakan bersama ditempat pasangan suami tersebut yang dipimpin oleh bapak ki yai/ bapak kaum saat acara dilaksanakan, umumnya kegiatan mitoni setelah sholat isya, tidak hanya mendoakan saja tapi ada 7 tamu undangan acara tersebut membacakan ayat Al Qurán sejumlah 7 surat, setiap tamu undangan tersebut membacakan 1 surat antara lain QS Yusuf, QS Maryam, QS Lukman, dan QS Ar Rahman. Kemudian disamping itu setelah acara selesai mereka ada kegiatan makan bersama ditempat tersebut dengan menghadirkan 7 macam makan tambahan yang wajib ada saat acara tersebut, setelah acara selesai mereka juga dikasih nasis sedekah atau sego berkat untuk dibawa pulang. PUPUTAN Puputan adalah tradisi budaya desa tuksongo yang masih dilaksanakan pada zaman dahulu sampai sekarang, Puputan dilaksanakan dengan tujuan untuk selametan atas kelahiran bayi yang mana dilaksanakan setelah tali puser pada bayi tersebut lepas, puputan juga biasanya dibarengi acara akikoh bagi yang mampu 1 kambing untuk anak wanita dan 2 kambing untuk anak laki-laki. hampir sama dengan ngapati dan mitoni, muputi
dilaksanakan dengan cara mengundang masyarakat sekitar rumah untuk datang ketempat bayi lahir, ketempat tuan rumah untuk melaksanakan doa bersama yang biasanya dipimpin oleh bapak kyai atau bapak kaum sebagai rois, setelah acara doa selesai tuan rumah membagikan sedekah berupa nasi berkat. AMONG-AMONG Among-among adalah tradisi yang masih berlaku dari zaman dahulu sampai sekarang yang masih berjalan di masyarakat. Among-among dilaksanakan untuk memperingati hari kelahiran anak selama 35 hari sekali atau selapan dino agar sang anak selalu sehat dan diberi keselamatan sampai ia dewasa dengan cara membuat nasi kluban atau bancakan sederhana dengan potongan telur diatasnya kemudian di bawah bancakan tersebut diberi uang. Setelah itu bancakan amongamong dibacakan doa oleh bapak Kyai atau Bapak Kaum. Seusai berdoa, among-among dibagikan ke anak sekitar rumah atau masyarakat setempat. Sebagaimana contoh kegiatan, jika anak lahir pada hari selasa legi makan 35 hari kedepan bertepatan selasa legi anak tersebut itu diamong-amongi atau dislameti kelahirannya yang bertepatan hari selasa legi.
KHITANAN Khitanan adalah kegiatan selametan yang dilaksanakan dengan tujuan mendoakan anak laki laki yang akan di sunat, acara tersebut dilaksanakan pagi pada saat anak laki laki tersebut akan di sunat. Khitan sama seperti mitoni, ngapati, yaitu dengan cara mengundang masyarakat sekitar rumah datang untuk berdoa bersama yang dipimpim bapak kyai atau bapak kaum sebagai rois, setelah acara doa bersama selesai tuan rumah membagikan sedekah berupa sego berkat. NIKAHAN Genduren Biasanya dilakukan pada tuan rumah yang mempunyai hajatan untuk menikahkan anaknya sebagai tanda rasa syukur atas hari bahagia anaknya. Tradisi tersebut sudah turun temurun dilakukan dengan mengundang sanak saudara kerabat dan juga tetangga untuk menghadiri acara tersebut. Di acara tersebut terdapat tahlilan dan doa bersama untuk mendoakan kedua mempelai. Setelahnya, ada juga acara akad dan acara resepsi bagi yang mampu. Akad nikah biasanya di lakukan dirumah atau di KUA tergantung permintaan kedua mempelai dengan dihadiri oleh saksi saksi dan wali kedua mempelai tersebut. Setelah acara akad selesai dilanjutkan dengan acara resepsi dan
TUKSONO
Tradisi Menurut Penanggalan Jawa oleh: Andi Ahmad Zuhan Andri D.A.
makan makan serta foto kerluarga yang tujuanya untuk mengabadikan momen kebahagiaan acara pernikahan dan untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada tamu undangan untuk meminta doa restu kepada semua yang hadir pada acara tersebut.
Acara 100 hari dan 1000 haripun juga sama seperti acara 40hari dilakukan doa bersama di rumah keluarga yang meninggal tersebut atau ahli waris, kemudian ada acara mendak memperingati ulang tahun meninggalnya orang tersebut.
TRADISI SRIPAHAN ATAU BERDUKA Tradisi sripah atau berduka biasanya semua warga bergotong royong untuk membantu keluarga yang berduka atas meninggalkan salah seorang dalam rumah tangga tersebut. Warga masyarakat mendatangi rumah tersebut untuk membantu apa saja yang harus disiapkan seperti tenda, kursi, meja, dan perlengkapan lainya. Ada juga yang menggali kubur untuk pemakaman jenazah tersebut. Setelah pemakaman selesai masyarakat juga setiap malam mendoakan atau “ikhlasan” selama 7 hari di rumah tersebut. Setelah jangka waktu 40 hari orang yang meninggal tersebut juga diperingati hari 40 hari dan juga diadakan acara tahlilan yang bertujuan untuk mendoakan kepada orang yang meninggal tersebut.
Mbah Mahfud bercerita, bahwa di desa Tuksongo masih kental dengan adat dan budaya pada bulan-bulan tertentu, utamanya dalam kalender Jawa. Sebagai wong Jawa, masyarakat pun sampai saat ini masih nguri-uri secara umum tradisi itu
dilaksanakan. MALAM 1 SURO Salah satu kebudayaan keagamaan yang ada di desa Tuksongo saat bulan Muharram tepatnya tanggal
Satu Muharram / Satu Suro, kami mengadakan mujadahan atau doa bersama di mushola atau masjid untuk menyambut malam tahun baru Islam (malam 1 Suro) tiap tahunnya kemudian diteruskan dengan makan bersama sego tumpengan. Khusus untuk dusun Tuksongo, biasanya acara tersebut diselenggaran di masing-masing RT. Dikarenakan situasi pandemi sekarang ini, acara malam 1 Suro dikemas dengan sederhana yaitu dengan melakukan doa bersama atau slametan di Mushola dan dilanjutkan makan bersama di Balkondes Tuksongo dengan jumlah peserta terbatas. Kegiatan syukuran malam Satu Suro pertama kali dilaksanakan pada tahun 1920an yang diawali oleh bapak Kyai Mundhakir (kyai pertama desa Tuksongo) diera kepemimpinan bapak Lurah Cokro Dwirjo selaku lurah ke-dua desa Tuksongo . Dikarenakan sebelum adanya bapak Kyai Mundhakir, masyarakat desa Tuksongo kurang memahami tentang ilmu agama islam. Untuk menyambut Tahun Baru Muharram bapak Kyai Mundhakir mengajak masyarakat kumpul untuk melaksanakan Tirakat doa bersama yang ditutup dengan makan bersama sebagai syukur atas apa yang sudah dilewati dan berdoa untuk menyambut awal tahun yang akan dijalani. Ubarampe yang dibuat untuk tahun baru islam yaitu membuat sego tumpeng, bubur jenang suro, jenangabang/putih, ingkung, dan disertai doa
bersama.Sego Tumpeng/Klubanan, terdiri dari beberapa sayuran yang dapat diartikan sebagai simbol kebersamaan antar sesama manusia yang terdiri dari berbagai karakter atau sifat manusia. Bubur suro, bubur putih yang dikasih godhong suro (sirih) diatasnya. Makna dari bubur suro tersebut melambangkan agar kita menjadi insan yang lebih baik dari tahun yang sudah dilewati. Jenang abang dan putih, sebagai bentuk penghormatan sebuah kelahiran. Dibulan Suro ini diartikan sebuah tanda penghormatan kelahiran Agama Islam. Ingkung, diartikan sebagai wujud sedekah atau aqiqoh. Aqiqoh tersebut bisa berupa potong kambing bagi yang mampu, jika tidak mampu bisa digantikan dengan pemotongan ayam atau telur ayam. Doa-doa yang dipanjatkan saat acara berlangsung yaitu Al fatihah, Doa Nur Buat, Doa Sulaiman, Sholawat Nariah, Ayat Kursi, Doa Ngakasah. Demikian proses tradisi acara malam tahun baru islam (Suro) yang ada di desa Tuksongo . Prosesi dan doa-doa ini adalah wujud dari pelestarian tradisi yang dijaga dari dulu sampe sekarang. Tradisi inimempunyai nilai dan arti bagi masyakat sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta untuk menyambut tahun baru islam. 10 SURO/MUHHARAM Menurut Bpak kyai H Muh As’ari tanggal 10 suro hari kebaikan/kemenangan bagi seluruh umat islam, biasanya di Desa Tuksongo setiap malam 10
suro memperingati hari tersebut dengan ucapan rasa syukur dan penuh kebahagiaan dengan cara memberikan sedekah kepada fakir miskin dan yatim piatu, kemudian berpartisipasi dalam mengikuti acara pengajian di masjid jami’ darussalam tuksongo. Masyarakat juga banyak yang bersedekah mulai dari membuat makanan seperti membuat nasi ambeng atau bancakan dan makanan ringan lainya, ada juga yang membuat jenang suruh dan jenang abang putih yang dimakan bersama sama ketika acara tahlilan tersebut. Acara tersebut bermakna sebagai simbol wujud rasa syukur masyarakat di desa tuksongo yang masih dilakukan saat ini.
hanya melaksanakan reresik makam dan tahlilan di makam masing-masing sanak keluarga yang dilanjutkan ke masjid secara berjamaah, di dusun Ganjuran 1 atau dusun Seganan melaksanakan penyembelihan hewan berupa kambing atau ayam yang dimakan dan juga dibagikan ke warga masyarakat setelah melaksanakan tradisi Nyadran.
MAULUD NABI
Tradisi ini sudah turun temurun oleh para peziarah di makam Mbah Kyai Segan, selaku tokoh yang menjadi cikal bakal nama dusun Seganan. Para peziarah, terutama peziarah yang hajatnya terkabul, selalu bernadzar dengan menyumbangkan berupa hewan ternak kambing atau ayam diwaktu bulan Ruwah kepada warga masyarakat Seganan.
Biasanya masyarakat Desa Tuksongo umumnya menyambut bulan maulud nabi dengan mengadakan perayaan perayaan keagamaan seperti pengajian. Perayaan mauludan juga dirayakan dengan pementasan kesenian dan ada juga yang merayakan acara berjanjen atau sholawat nabi, sampai saat ini peringatan maulud nabi masih sering dilakukan yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Biasanya, Nyadran dilaksanakan mulai bada’ subuh dimulai dengan reresik makam hingga pukul tujuh pagi. Kemudian tahlilan bareng di masjid Al Huda sampai jam 10 pagi. Setelah itu, warga Seganan berbondong-bondong kembali ke makam untuk melakukan penyembelihan hewan ternak pemberian para peziarah makam Mbah Kyai Segan. Hewan sembelihan tersebut, sebagian di masak di tempat oleh ibu-ibu rumah tangga, sebagian yang lain dibagikan ke warga masyarakat.
NYADRAN
Setelah selesai dimasak, hasil olahan tersebut dibawa ke masjid Al-Huda lagi untuk dimakan bersama, semua masyarakat bahkan warga luar dusun Seganan maupun desa Tuksongo boleh menikmati hidangan tersebut.
Di Desa Tuksongo, hanya ada 1 dusun yang melaksanakan tradisi Nyadaran dibulan Ruwah dengan nuansa yang berbeda. Disaat yang lain
Wanurejo
WANUREJO
Satu Suro: Makna Malam Mistis dan Kramat Tradisi Jawa oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Satu Suro merupakan perayaan Tahun Baru Islam/ Tahun Baru Jawa menurut kalender jawa yang jatuh pada Hari Selasa Pon Tanggal 10 Agustus Tahun 2021. Perayaan satu suro dilakukan dengan sejumlah tradisi yang dilaksanakan pada malam harinya. Pak Nuryanto, seorang tokoh seniman di Dusun Jowahan Desa Wanurejo melakukan perayaan malam satu suro sesuai adat tradisi dari leluhurnya sejak beliau berada di bangku pendidikan SMP. Tradisi ini memiliki makna Ngruwat, Ngrawat, dan Nguri-Nguri Warisan Budaya dengan meyakini akan malam satu suro sebagai malam untuk membersihkan diri secara lahir dan batin, mengamalkan nilai perjuangan para leluhur dan ucapan rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi malam satu suro di kediaman Pak Nuryanto dilakukan mulai pukul 16.00 WIB hingga terbenamnya matahari dan dilanjutkan setelah ba’da Isya Pukul 20.00 WIB dengan rangkaian acara berupa Doa Keselamatan, Kembul Bujana (Makan Bersama), dan Jamasan Pusaka yang diiringi dengan Kidung Jawa.
Sore hari di pendopo omah mbudur (omah mbudur) satu per satu tangan pak nuryanto meraih genggaman pusaka. Kiri, kanan, atas, bawah, samping, depan, belakang perlahan diolesi mengguakan minyak singer yang bertujuan menghilangkan noda lengket karat kemudian didiamkan beberapa saat. Minyak mulai menetes satu persatu dan tangan sesegera mungkin mengayunkan kain nan lembut untuk membersihkan minyak pada pusaka hingga kering dan terlihat segar kembali. Semua pusaka selesai dibersihkan hingga terbenamnya matahari.
Giman, Pak Maryoto, Pak Eko, dan diakhiri oleh Pak Nuryanto. Doa keselamatan di sampaikan untuk mengucapkan rasa bersyukur, memohon ampun, meminta perlindungan, dan keselamatan lahir batin dunia akhirat kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Dzat yang menciptakan dunia dan seluruh isinya. Hati semakin tenang dan nyaman dikala doa selesai dipanjatkan. Tangan dan kaki kami kemudian bergerak bersamaan menuju meja dengan hiasan
Malam sudah tiba, tamu undangan mulai hadir meramaikan pelaksanaan satu suro. Tamu undangan wajib membawa pusaka lalu memberishkannya menggunakan singer di ujung depan meja yang sudah tertata pusaka peninggalan para leluhur tamu lainnya.
nampan yang memiliki bau harum yang khas. Inilah makanan yang berupa Ingkung ayam jawa, telur putih, teri dan Ubarampe sayuran hasil pertanian setempat. Sesegera mungkin kami melahap makanan dengan rasa bersyukur akan nikmat dan karunianya yang telah diberikan hingga detik ini. Tak lain inilah yang disebut Kembul Bujana yaitu makan bersama yang dilakukan setelah doa keselamatan.
Tamu undangan sudah tiba seluruhnya dan duduk rapi mengelilingi meja siap untuk memulai tradisi. Pelaksanaan tradisi ini diawali dengan penyampaian Doa Keselamatan dalam bahasa jawa yang dilakukan secara berurutan oleh Mbah
Tak kala malam semakin larut, seketika ada bisikan dari meja di ujung depan dekat gamelan. Tak lain mereka adalah Pusaka peninggalan para leluhur. Lantunan kidung perlahan mulai mengisi malam ini dengan diiringi alat musik/gamelan
jawa. Dengan sigapnya Bapak Nuryanto meraih sebuah wadah berisikan harumnya wewangian kemudian dioleskan secara perlahan di pusaka peninggalan leluhurnya setelah itu pusaka kembali ditaruh ditempatnya dan disusun secara rapi. Inilah Jamasan Pusaka yaitu kegiatan membersihkan dan memberi wangi-wangian kepada pusaka peninggalan para leluhur dengan diiringi kidung jawa yaitu tembang dhandanggula sarira ayu dan tembang pangkur singgah singgah kala singgah. Setelah itu, mulai bersamaan pusaka keris satu persatu ditegakan dengan posisi bagian ujung keris berada di posisi bawah. Ketiksa keris sudah bisa berdiri tegak artinya pusaka ini sudah seimbang yang memiliki adanya energi antara pemilik dengan pusaka tersebut yang memiliki makna bahwa manusia harus memiliki keseimbangan lahir dan batin untuk yakin kepada Tuhannya. Lantunan kidung secara perlahan mulai terdiam dan kemudian malam menjadi sepi. Terlihat jam menunjukan pukul 12.05 WIB dengan bersamaan kami saling berjabat tangan untuk berpamitan pulang ke kediman masing-masing.
WANUREJO
WANUREJO
Pusaka, Ubarampe, dan Alat Tradisi Satu Suro
Kidung Pralaya Sang Senopati oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Minyak singer untuk membersihkan dan menghilangkan karat pada pusaka Minyak wewangian untuk memberi bau harum di pusaka. Dibeli di took terdekat. Kuas Jaran tidak akan mudah rantas (lepas) digunakan untuk mengolesi minyak singer dan wewangian pada pusaka Pusaka Keris Pedang Panah memiliki ketajaman, kekuatan sebilah keri memiliki bukti bahwa sebagai makhluk harus memiliki ketajaman dalam ilmu pengetahuan untuk menjalankan kehidupan. Gandewa Kayu Ruyung merupakan panah yang digunakan untuk melawan penjajah dan bahan kayu ruyung menunjukan tanda/simbol bahwa dia seorang prajurit setia bangsa. Pengot (pisau) Kurban digunakan oleh leluhur Bapak Nuryanto untuk acara penyembeliha hewan kurban. Pedang Sabet digunakan oleh leluhur sebagai
senjata untuk melawan penjajah. Keris merupakan pusaka yang digunakan untuk peperangan dan sering dikaitkan memiliki kekuatan mistik. Tongkat komando berbentuk naga terbuat dari kayu kalimasada Ubarampe Ingkung ayam jago memiliki makna bahwa dalam menghadapi hidup sekarang dan yang akan datang kalau ingin selamat dan disenangi orang serta langeng dalam suatu pekerjaan harus menjaga kesetiaan dan kepercayaan. Ikan teri : ikan yang tak pernah hidup sendiri yang artinya hidup harus akur baik kepada keluarga, tetangga dan masyarakat lainnya. Telur disajikan utuh dengan kulitnya: kalau ada suara tidak baik tentang hubungan janagn ditelan utuh dengan kulitnya, harus dikupas terlebih dahulu agar mengetahui rasa, makna, dan maksudnya. Nasi Putih : apa yang dilakukan adalah niak baik yang memiliki arti untuk mensucikan dir
Sore ini saya merangkak dari kasur dan sesegera mungkin menuju kamar mandi untuk cuci muka. Kemudian saya mengambil kunci motor dan segera bergegas pergi ke pondok tingal untuk menemui Bapak. Eh ternyata di Pondok Tingal akan dilakukan pagelaran wayang. Bukan sebuah kebetulan saya langsung ngobrol salah satu pelaku dalam budaya ini yaitu Mas Seno (Henoh), “Mas, pagelaran ini lakonnya apa ya?” “Lakon ini nanti adalah Kidung Paralaya Sang Senopati. Lakon ini, selain dakwah disesuaikan dengan rebana dan lagu islami bahwa manusia harus dekat dengan Allah SWT. Dekat dengan sumbernya hidup dan harus sejalan sejalur. Kadangkadang seperti ini, biasanya menjenguk orang sakit dengan membacakan “innalilahi wa innalilahi rojiun” itu kan hal tabu dikira untuk orang mati, namun jika dilihat artinya “dari allah akan kembali ke allah”, kan segala sesuatu itu pasti akan kembali ke sang pencipta”, Mas Seno menjelaskan dengan gamblang. Ketika saya sedang berdiskusi dengan Mas seno,
tiba-tiba Pak Sus (Dalang Pagelaran Wayang) ikut ngobrol bersama kami. Beliau juga menambahkan, “Lakon ini ada kaitannya dengan Bapak Boedihardjo. Bahwa Bapak Boedihardjo menghendaki dibawakan lakon dari Ki Manteb, dimana sebelumnya Bapak Boedihardjo bersama Bapak Teguh dan Bapak Darwo berdiskusi lakon Gatot Kaca Gugur tetapi tidak mati. Bapak Boedihardjo punya darmabakti terhadap NKRI sebagai wartawan, budayawan, dan menteri. Lakon ini dituliskan ketika eyang Beodihardjo di vonis dokter umurnya tinggal singkat, ternyata melewati batas waktu itu. Belum sampai lakon dipentaskan Bapak Boedihardjo sudah meninggal, sehingga lakon ini dipentaskan pertama kali oleh Ki Manteb Sudarsana di Hotel Pondok Tingal”. Saat itu Pak Sus juga menyampaikan bahwa beliau (Pak Sus) didawuhi Pak Teguh untuk mementaskan lakon ini di Hotel Pondok Tingal. Lakon ini menggambarkan bahwa Bapak Boediharjo adalah seorang Gatotkaca karena dulu beliau juga seorang pilot (penerbang). Lakon ini diangkat bagiamana Gatotkaca tidak mati menjadi korban pertarungan
tetapi justru kalaupun dia mati menyelesaikan tugas dengan bagus kalaupun tidak mati akan kembali dengan bagus. Intinya bahwa gatotkaca itu kematian di Barathayuda tidak ada yang pernah sia-sia (mati suci). Saat saya ingin bertanya kepada Pak Sus kembali. Namun, beliau beranjak pergi kebelakang karena ada tamu. Saat itulah saya kembali ngobrol bersama Mas Seno. “Ya seperti itu mas cerita tentang lakon ini”, ujar Mas Seno kepada saya. “Ya mas. Kalau pesan pitutur yang ingin disampaikan itu seperti apa nggih ?” “Kidung pralaya sang senopati yaitu hidup adalah sebuah siklus. Lahir menjalani kehidupan mengalami kematian bagaimana kita akan kembali kepada hidup yang sejati maka di dunia hiduplah dengan hal yang positif”
“Lalu bagaimana dengan laku dari dalangnya mas?” “Laku seorang dalang tentunya kembali kepada kepercayaan pribadi. Salah satunya yaitu, perlunya membaca, menonton film, meditasi, berdoa dalam waktu-waktu hening. Ritual khusus yang dilakukan beberapa minggu terakhir ini oleh Pak Sus (Dalang Pagelaran Wayang) yaitu berada di masjid lebih lama untuk berdzikir. Untuk kembang sebagai simbolik, merah putih bendera kita, merah dan putih simnbol darah dan air yang selalu mengalir di dalam diri kita, kantil hidup harus wangi, menjadi wangi dalam kehiduopan maupun kematian”. “Nggih Mas maturnuwun, acara mulai jam berapa mas ?” “Biasanya Wayangan dilakukan setelah bada isya” tutur Mas Seno di akhir penjelasannya dan berjalan menuju wayang untuk mempersiapkan lakon malam ini.”
WANUREJO
Laskar Sawer Wulung oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Perjalanan saya mulai setelah memahami beberapa alur sejarah Desa Wanurejo, dimana dalam perjalanan memahami cerita mengenai asal usul Laskar Sawer Wulung saya menemui tiga tokoh pelaku budaya di Desa Wanurejo. Langkah penelusuran saya dimulai dengan menemui Mbh Sutrisno. Dalam kesempatan itu saya bertanya kepada Mbah Sutrisno mengenai apa itu sawer wulumg dan kenapa ada sawer wulung. Jawaban dari Mbah Sutrisno yaitu, “Biyen nalikane gek do niko ketropak to, kono ki pokoke to mbah Wanu iku kagungan laskar asmane teko jenenge sawer wulung, ngonten” “Itu dulu caranya gimana mbah ?” “Yo nek biyen yo nek kene kan adipaten, adipaten kan duwe prajurit gampagane prajurit laskar, yo laskar kuwi jenenge sawer wulung” “Sawer Wulung niku nopo artine mbah ?” “Yo rangreti opo artine, teko dijenengi laskare mbah wanu kuwi sawee wulung. Ya fungsine kanggo jaga
kemanan lan perang nek ono musuh”. Dari penjelasan tersebut Mbah Sutrisno menyampaikan bahwa beliau mendapatkan nama prajurit Laskar Sawer Wulung secara (spiritual) disaat beliau sedang dalam acara ketropakan mendapatkan bisikan bahwa prajurit Mbah Wanu bernama Laskar Sawer Wulung. Dalam penelusuran ini saya baru bisa mendapatkan info beberapa poin penting mengenai Laskar Sawer Wulung. Selanjutya saya bergerak menuju narasumber kedua bernama Bapak Sukiadi. Disaat itu saya mewawancarai belaiau mengenai sejarah Desa, ketika itu beliau juga membahas sawer wulung. Alangkah bukan sebuah kebetulan ternyata ada pembahasan yang lain dalam sawer wulung. Akhirnya saya bertanya “ Pak Sukiadi arti Sawer Wulung itu apa nggih pak?” “Jadi kan dulu di sponsori dari taman duwajibkan setiap desa wajib harus ada bergodo atau prajurit, kita pernah dengar kalau laskar sini yang dipimpin oleh Mbah Wanu bernama Sawer Wulung, yang artinya Ular Hitam (ulo ireng). Jadi yang
saya tangkap itu, waktu mbah Wanu Babad alas Wanurejo prajuritnya selalu di ganggu perwujudan ular hitam, nahh setelah ada negosiasi itu akhirnya hidup berdampingan.”
saya bertanya tentang “Pak saya tadi dapat info kalau mengenai sawer wulung, untuk pakainnya berwaran hitam, dan itu diperoleh Bapak ketika meditasi. Itu ceritanya seperti apa ya pak?”
Selain itu Pak Sukiadi juga menyampaikan bahwa “setiap ada pergantian pemimpin pilkades muncul beberapa ekor ular disekitar makam Mbah Wanu, kemarin waktu kepala desa yang jadi juga muncul ular di sekitar makam. Jadi ini maksudnya seperti
Pak Eko menyampaikan ”iya dulu saya meditasi bersama Mbah Sutrisno dan Pak Blendung, saat itu secara sepintas saya mendapatkan penglihatan bahwa Sawer Wulung identik dengan warna hitam, oleh karena itu dalam pembuatan kostum saya identik ke warna hitam. Warna hitam itu identik memiliki warna yang kuat, karena warna hitam adalah warna yang tidak bisa ditembus oleh mata biasa, sepetihanya dalam rumah yang keadaan mati lampu, pastinya orang tidak bisa melihatnya, ya ini sepeti Laskar Sawer Wulung yang bahkan kekuatannya tidak bisa dilihat oleh orang biasa.”
menyapa kepada pemimpin Desa yang Baru.” Lalu saya kembali bertanya “Pak Sukiadi, untuk ciri khusus Laskar Sawer Wulung itu apa pak, mulai dari baju atau perlengkapan lainnya?” Pak Sukiadi “Kalau pakaian yang pasti hitam, tapi yang lebih jelasnya tanya ke Pak Eko, beliau mendapatkan warna hitam itu karena meditasi, untuk lebih jelasnya ke Pak Eko ya mas”. Perjalanan selanjutnya saya menemui Bapak Eko untuk bertanya mengenai ciri khusus dari Prajurit Sawer Wulung. Sore itu setelah selesai dari Bapak Sukiadi saya berjalan menuju rumah Bapak Eko Sunyoto. Dalam wawancara dengan Bapak Eko
Saya kembali bertanya “Untuk kelengkapan tombak kenapa dibuat seperti bentuk senjata trisula pak?” “Ya sebenarnya alat khusus prajurit itu ada tameng dan tombak, khususnya sawer wulung menggunakan tombak berbentuk trisula karena ada hubungnya dengan fajra yang ada di
candipawon dengan maksud bahwa mereka anakn menyampaiakan 3 ajaran yaitu ing ngarso sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Diakhir penjelasan mengenai Laskar sawer wulung Pak Eko menyampaikan “untuk gerak tari laskar sawer wulung yaitu gerak keprajuritan yang memunculkan kekuatan, keselarasan, dan kekompakan yang diiringi gamelan bende, bedhug, saron, gong dan suling. Laskar sawer wulung sangat diutakaman digunakan untuk arak-arak an di pisowanan sanga-sanga dibelakang tetua desa yang membawa air. Jumlah pemain minimal 16 orang”. Akhir dari penjelas Pak Eko, dan saya menyampaikan salam terimaksih.
WANUREJO
Makam Bendoro Pangeran Harjo (BPH) Tejo Kusuma oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Siang ini saya ditemani motor hitam dengan suara yang merdu bergerak menuju kediaman Bapak Sukadi, salah satu sesepuh yang memahami sejarah Desa Wanurejo. Sampai dirumahnya saya diarahkan untuk memasuki ruang tengah yang sejuk nan indah bersama tanaman anggrek dan porang dengan suara kemricik pancuran air kolam menyambut kedatangan saya. Obrolan diawali dengan pertanyaan saya mengenai Bagaimana perjalanan bapak Sukadi mengetahui nama makam cikal bakal Desa Wanurejo. “Sekitaran Tahun 1999 saya bersama pak win dan alm Pak Carik pernah mencoba sowan door to door ke sesepuh desa. Tetapi kita mendapatkan kebuntuan. Ada seseorang yang mengatakan bahwa cikal bakal kita berasal dari bangsawan Yogyakarta. Ditahun tersebut itu Pak Sutrisno sering istilahnya meditasi atau ziarah yang kita kenal makam mbah Wanu itu, tiba-tiba suatu saat mendapatkan bisikan “leluhurmu Ki Tejo Kusumo jenenge”. Sehingga kami meyakini bahwa makam ini bernama Ki Tejo Kusumo jenenge,” cerita Bapak Sukadi sambil berjalan membawa buku mengenai Sejarah Desa
Wanurejo. Setelah itu beliau lanjut bercerita, “Saat pergantian kepala desa kebetulan ada salah satu paranormal dari desa lain mendapat pesan memberikan pencerahan bahwa beliau seorang gini-ginigini mohon disampaikan kepada anak cucu di sini. Sehingga Pak Triyanto sebagai kepala desa mengajak untuk bertemu paranormal tersebut. Saat bertanya kembali paranormal berkata bahwa saya sudah mengharapkan lama anak cucu mengenal saya dan beliau menyanyikan Pupuh Gandhanggula. Saat itu saya semi percaya, tetapi kenapa beliau tahu ada mbah Jugil, mbah sorok, jadi kami tertarik dan mulai percaya. Dan mulai meminta bantuan menelusuri perjalanan sejarah desa. Akhirnya pelan-pelan kami mengurus surat kekancingan pada tahun 2008 dan mendapat pengakuan tahun 2015. Dalam penelusuran tersebut beliau mendapat bisikan untuk menyampaikan bahwa lahirnya Ki Tejo Kusuma bersamaan dengan mendapatkan bumi perdikan di sini pada tanggal 17 Mei. Dan akhirnya setiap Tanggal 17 Mei kita sepakati sebagai lahirnya Desa Wanurejo dengan tajub GELAR BUDAYA.”
“Saat ini makam sudah terawat dan sudah dibuat joglo yang dibangun pada tahun 2010 dengan model Yogyakarta. Dulu mitos yang beredar beliau tidak kersa dibuatkan cungkup. Nah, saat penelusuran saya dan pak yanto matur nek ra di cungkup udan lak bubar mawut-mawut, pas mau buat gubuk di luar makam saya dapat bisikan “Lha aku ki malah ngarep-ngarep tapi pinginku ki joglo”, mulai saat itulah kami pelan-pelan membangun mulai dari babad alas, potong kayu dan lain-lain hingga sekarang sudah menjadi bangunan yang megah. “Pak, kalau mau sowan ke makam apakah ada syarat tertentu ?”, tanya saya. “Sebenarnya Mas, waktu penelusuran kami juga
mendapat bisikan ”nek rene ki yo sing resik, nek ora aku yo ra metu”. Pada waktu itu akhirnya kami sowan ke rumah pak Sutris dan menyampaikan bisikan ini. Akhirnya kami mendapat arahan dari Pak Tris bahwa kalau mau berkunjung ke makam BPH Tejo Kusuma harus mandi atau bersih bersih terlebih dahulu di Mata Air Gayam. Setelah bersih-bersih baru diterima simbah kalau ziarah ke makam”, jawab Bapak Sukadi dengan gamblang. Saya kembali bertanya “ Pak kalau masuk apakah ada pakaian atau tata cara tertentu?” MATA AIR GAYAM Masih dalam satu rangka tukar kawruh saya kepada Bapak Sukadi tentang Makam Bendoro Pangeran
Harjo (Bph) Tejo Kusuma, ternyata saya dibawa Pak Sukadi ke Mata Air Gayam yang jaraknya kurang lebih dari makam. Mata Air Gayam merupakan mata air yang wajib digunakan untuk membersihkan diri saat akan berkunjung ke makam BPH Tejo Kusuma. Saat ini mata air gayam sudah dibangun menjadi sebuah pemandian dan tempat pemancingan, serta airnya juga digunakan untuk mengairi sawah di lahan sekitar. Disebut mata air gayam karena dulu daerah di sana banyak ditumbuhi pohon gayam, dan saat ini masih ada pohon gayam di sekitar mata air. Pak Sukadi pun menjelaskan, “Mas kalau dulu kita masuk ya baiknya memakai ageman jawa (sorjan jarik), tetapi kalau sekarang sudah lain yang penting rapi dan bersih. Nah sebelum masuk ke dalam makam sebaiknya ketuk pintu makam terlebih dahulu, setelah itu kedua tangan dalam posisi menyembah. Setelah itu barulah membuka pintu. Lanjut ketika menuju ruangan makam harus berjalan dengan cara berjongkok. Saat ziarah bisa membawa bunga, jika tidak juga tidak apa-apa”. Makam BPH Tejo Kusuma sekarang sudah terawat sangat baik dilihat dengan bersihnya tempat makam dan adanya jadwal pikte jaga makam Begitu pula dengan Mata Air Gayam yang sudah ada fasilitas toiletnya. Saat ini mulai banyak para masyarakat yang berziarah ke makam tersebut. Salah satunya yaitu ketika ada acara-acara khusus seperti pemilihan Kepala Desa. Pasti para calon kepala desa akan sowan dan mendoakan serta meminta restu dalam pemilihannya. Para calon kepala desa pun harus mengikuti syarat tradisi ketika akan sowan, yaitu dengan membersihkan diri ke Mata Air Gayam, berpakaian sopan serta mengikuti tata cara di pemakaman.
WANUREJO
Menelusuri Masjid Tiban (Jatuh dari Langit) Baitur Rohman oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Berdasarkan tutur tinular masyarakat Wanurejo, khususnya mengenai Masjid Tingal. Kapan dibangun, siapa yang membangun, belum ada yang mengetahui jawaban tersebut. Semua masyarakat mengganggap Masjid Tiban (jatuh dari langit), keterangan tersebut dibenarkan oleh Mbah Somo, beliau pinisepuh yang tinggal di Dusun Sangen.
tersebut. Beliau hanya memberikan saran agar masyarakat ziarah ke Makam di Tingal Wanurejo. Keterangan tersebut diperkuat simbah Sumadi sesepuh dusun Tingal. Akhirnya pada tahun 2005 masyarakat dusun Tingal sepakat masjid tersebut di beri nama Baitur Rohman.
Pada tanggal 27 Desember 1995 ada program pemerintah lewat Departemen Agama tentang
Tingal dibangun tahun 1799 bersamaan dengan waktu BPH Tejo Kusumo mendapat anugerah Bumi Perdikan Wonorejo dari SRI SULTAN Hamengku Buwono II sebagai sarana ibadah masyarakat pada waktu itu, dikarenakan pembangunan masjid yang dikerjakan oleh Ki Sorok dan Ki Jugil dilakukan di malam hari tanpa diketahui masyarakat Wonorejo, dianggaplah masjid tersebut sebagai Masjid Tiban (jatuh dari langit), sehingga masyarakat Wanurejo secara turun temurun menyakininya sampai sekarang.
pendataan Masjid untuk disertifikasi. Bapak Yusmadi sebagai takmir masjid saat itu mengadakan musyawarah bersama tokoh masyarakat, hadir pula Bapak Triyanto Kades Wanurejo dan kantor urusan agama diwakili Almarhum Bapak Junet. Pembahasan musyawarah itu dihasilkan bahwa sebidang tanah untuk bangunan masjid seluas 650 m2 sebagai wakaf Mbah Kyai Suronegoro. Pada tahun 1982 almarhum simbah Prawiro Darmojo, ayah Bapak Triyanto sebagai panitia pembangunan atau renovasi, sowan ke ulama sepuh di Kabupaten Magelang yaitu Mbah Kyai Achmad Abdulkhak pimpinan Ponpes Watucongol desa Gunungpring agar memberi nama masjid
Sumber lain lewat mediator mengatakan Masjid
Di masjid tersebut terdapat bedhug dengan ukuran diameter 80 cm terbuat dari kayu nangka. Menurut cerita, bedhug tersebut pernah dijadikan genderang ‘Perang Diponegoro’ di lereng Menoreh karena Wonorejo merupakan benteng pertahanan atau
laskar beliau banyak bermukim di Wonorejo. Pada tahun 1971 bedhug tersebut dibawa ke Jakarta dalam rangka pameran benda sejarah zaman Perang Diponegoro, bedhug tersebut dibawa ke Stasiun Yogyakarta sampai ke Jakarta. Tibanya di Jakarta, bedhug tersebut sulit dikeluarkan dari dalam kereta, setelah melaksanakan sholat hajat, bedhug tersebut baru bisa dikeluarkan untuk dipamerkan di masjid Istiqlal. Beduk ini selain digunakan sebagai fasilitas masjid juga digunakan untuk pembukaan acara Perti Desa Wanurejo yang dikemas ‘Gelar Budaya Wanurejo’ dari tahun 2003. Akhir cerita Bapak Sukadi bersamaan dengan meminum segelas teh hangatnya.
WANUREJO
Nilai Spiritual Kanuragan dalam Kehidupan Masyarakat oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Dalam perjalanan ini saya ditemani oleh bapak saya untuk mengunjungi rumah beliau Bapak T. Wuryanto. Kunjungan ini kami lakukan untuk mencari apa itu ilmu kanuragan dan bagaiman nilai-nilai itu dalam pelaksanaanya di masyarakat sekitar. Pembahasan diawali dengan penyampaian bahwa beliau tidak mau disebut sebagai guru dan juga tidak ingin dikelan atau populer dalam dunia sosial. Beliau menganggap semua orang adalah teman dan saudara yang artinya bahwa setiap yang bertemu akan selalu bercerita keluh kesahnya tanpa ada keraguan terhadap beliau. Dan setiap orang yang datang untuk meminta bantuan dan pencerahan tidak ada harga atau biaya yang harus keluar (gratis). Beliau menyampaikan bahwa ini semua dalah amanah yang harus diberikan untuk kemudahan seluruh masyarakat disekitar, yang arti hidup harus bisa bermanfaat bagi sesama. Berbagai cerita yang disampaikan saya hanya dapat memahami beberpa kalimat yang diutarakan untuk dituliskan, karena bahasa yang digunakan saya rasa cukup sulit untuk saya pahami, namun saya tetap berusaha untuk menyimak sambil merekam dan nantinya akan mempermudah saya dalam
memahaminya kembali. Dari cerita beliau pernah menyampaikan beberapa ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang hungunganya manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhannya. Ritual adat yang disampaikan seperti pelaksanaan penimbunan kaki kambing di empat titik wilayah dusun. Kemudian ada beberapa ubarampe yang harus diperisapkan untuk sesorang agar terlihat auranya yaitu ada jenang abang putih, buah anggur, pisang raja, apel, dan jeruk sankis, kelapa ijo dan kelapa gading. “Ubarampe itu disiapkan setiap hari- hari tertentu” Ungkap beliau. Bapak T. Wuryanto saat itu menyampaikan bahwa dalam ajaran ilumnya diharuskan juga agar berperilaku budi luhur dan tetap teguh dalam pendirian agamanya, seperti sholat, dzikir, dan bertutur kata yang baik. Saat itu saya ditawari sama beliau untuk ikut belajar “ mas jenengan teko sini, setiap malam jumat kliwon ikut kegiatanya sekalian belajar” ungkap Pak.T Wuryanto. Hehehe saya menjawab “iya sambil tersenyum”
Beliau juga menyampaikan “ untuk belajar ilmu kanuragan ya datang aja nanti kita ikuti acaranya ya ada dzikir, sholawatan dll. Intinya sesuatu yang kita inginkan nantinya pasti akan di beri, bukan saya yang langsung memberi, namun ada waktunya akan datang dengan sendirirnya.” Akhir penjelasan dari beliau “jangan lupa sering main-main kesini ya mas sambil tersenyum”
WANUREJO
Perayaan Malam 10 Muharram oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Suara motor terdengar dari luar rumah, saya bergerak cepat untuk membuka pintu. Ternyata, mas Ardi yang sedang melepaskan helmnya, Tak begitu lama disusul Pak eko yang baru tiba dengan motornya. Sejenak kami masuk dan ngobrol santai di rumah. Waktu menunjukan pukul 18.30 WIB, kami bergegas untuk pergi menuju kediaman Bapak Kadus menghadiri acara malam 10 Muharram. Tibanya di rumah Bapak Kadus, sudah ramai sekali warga yang duduk bersila rapi di depan teras dan dalam rumah, seketika itu kami langsung bergerak menyapa warga dan mencari posisi duduk yang nyaman. Alangkah sulit mencari tempat duduk, akhirnya ada sedikit ruang di depan pintu masuk dan disitulah saya berdiam untuk sejenak menarik nafas dengan lega.
dengan dua tangan, ternyata ini makanan yang dibawa oleh beberapa warga untuk dimakan bersama setelah pembacaan doa. Dengan rasa nikmat kami mulai memakan beberpa sayur tahu, kentang, mie, dan daging ingkung yang ditemani dengan hangat dan manisnya air teh tubruk. Selesai makan bersama, satu persatu warga mulai beranjak dari duduknya dan pulang.
DOA MALAM 10 MUHARRAM
Acara akhirnya dimulai dengan sambutan dari kepala Dusun yang dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh ulama di Dusun.
Dalam sebuah perayaan apapun akan ada waktu di mana semua terdiam dan termenung dengan menundukan kepala. Itulah waktu rangkaian DOA, sebagai ungkapan sebuah penghotmatan dan penghambaan kepada Tuhan YME. Perayaan malam 10 Muharram di kediaman Bapak Kadus Tingal Kulon dilakukan dengan rangkaian acara yaitu pembukaan, pembacaan doa, dan makan bersama. Pembacaan doa merupakan kegiatan yang sakral dalam perayaan ini. Panjatan Doa dipimpin oleh mbah Kaum dengan bahasa jawa dan dilanjutkan dengan bacaan dalam ayat-ayat suci Al Quran. Berikut beberapa kutipan doa yang dipanjatkan
Setelah Doa selesai di panjatkan. Tiba-tiba keluar satu persatu bungkusan besar, berat yang digapai
“Wonten ing titiwanci dalu punika kita warga masyarakat dusun Tingal Kilen kanthi sareng sareng
Dari ujung pintu mata ini fokus melihat ingkung ayam dan tumpeng nasi putih yang ada di dalam rumah. Ayam Ingkung merupakan ayam utuh yang dimasak dan selalu di sandingkan dengan nasi tumpeng.
samio rawuh kempal wonten ing dalemipun Bapak Kadus menika ugi ngasta kewilujengan sae menika awujud arta, sae menika awujud dedaharan sedaya kala wau kanti keniatan sae keniatan kita kagem masyarakat dusun tingal kilen ingkang intinipun kangge keniatan merti dusun utawi sedekahan.” Kutipan tersebut menyampaikan bahwa dalam kegiatan malam ini di Dusun Tingal Kulon bertujuan untuk melakukan niat merti dusun atau sedekahan. “.... wulan muharram menika wulan ingkang agung, wulan ingkang mulyo....” Dalam kutipan ini disampaikan bahwa bulan Muharram merupakan bulan yang penuh agung dan bulan penuh mulia. “....saenggo ing ndalu punika kleres wonten ing malam tanggal 10 suro mugi-mugi kito panjenengan sedaya menika, kabebasaken menika, menang ngelawan Corona menika, saenggo kito panjenengan sedaya masyarakat dusun tingal kulon khususipun menika enggal-enggal bebas saking penyakit corona menika, ugi sedaya menika kanti nyuwun ridhanipun Allah SWT saenggo kito warga masyarakat tingal kulon khususipun tansah pinanggih wilujeng tentrem ayem bagas waras lahir lan dadosipun sehat fikir nipun, jasmani nipun,
sedaya kanthi nyuwun ridhanipun Allah swt..” Doa yang dipanjatkan untuk meminta perlindungan dari bahaya virus corona sehingga masyarakat akan hidup dengan tentram lahir dan batin sehingga terjaga fikirannya dan jasamninya dengan selalu meminta ridha Allah SWT. “...ateges mulai wulan muharram menika kito lumebet wontening tahun ingkang enggal ateges tahun tahun ingkang sampun kita tindakaken kita tilarakaen lan kita panjenengan sedaya lumebet wonten ing lembaran ingkang enggal...” Kutipan ini menyampaikan kepada seluruh warga bahwa dalam bulan muharram kita masuk kedalam bulan yang baru lagi, sehingga kita harus menjadi pribadi yang lebih baik lagi daripada tahun sebelumnya. Selesainya mbah kaum memanjatkan doa, selanjutnya seluruh warga memulai untuk makan bersama ditemani malam yang penuh dengan rasa ketenangan.
WANUREJO
Ngapati oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Sudah lima kali mengunjiungi rumah Mbah Kaum tak pernah bisa ketemu. Akhiranya sore ini saya berniat kembali mengunjungi rumah beliau. Seperti biasa beliau belum ada di rumah. Dengan niat yang membara saya pun di beritahu olrh istri beliau kalau Mbh Kaum sedang di sawah. Tanpa berfikir panjang saya langsung menuju sawah beliau. Menoleh kanan kiri tampak dari jauh itu seperti mbh kaum saya langsung menghampiri beliau. “mbh, maaf menggangu waktunya” ucap saya “Ya mas, bagaimana?” Sambil tersenyum Saya “ini Mbh, saya mau tanya-tanya mengenai Ngapati mbh, dari kemarin ke rumah mbh g ketemu-ketemu” Mbh Kaum “hehehe iya mas, saya itu ada banyak kerjaan ini” Saya “ ya mbah maaf menggangu waktunya sebentar boleh?” “Ya boleh-boleh, ayooo duduk sini dulu” mbh Kaum mengajak saya untuk duduk di tepi sawah dengan sinar sore bergerak meredup.
“ngapati itu bagaimana to Mbh?” tanya saya “Jadi gini Mas, Ngapati itu berasal dari kata papat yang artinya empat. Maksud empat yaitu umur 40 hari bayi di kandungan ibu.” Kata Mbh Kaum Menurut Mbh Kaum bayi di alam kandungan di umur 40 hari itu “pepetaning manungsu iku wes komplit” artinya bayi di dalamnya sudah seperti wujud manusia. Selain itu di umur 40 hari malaikat meniupkan ruh di alam kandungan yang artinya nyawa (sudah hidup). Disebut ngapati juga merupakan perjanjian waktu diberikanya ruh di alam kandunga. Perjanjian ini berisi seperti jenis kelamin yang dimiliki (laki-laki atau perempuan), nasibnya seperti apa, berapa umur di dunia ini itu di janjikan oleh Tuhan di saat Ngapati.
maksudnya nanti saat lahir diberikan kelancaran seperti semrintil koyo dijongkongake seperti klepon. Kupat Boto yaitu manembah kiblat sekawan lor kidul wetan kulon, artinya kalau mengandung tidak boleh memiliki pikiran buruk (lor, kidul, wetan, kulon) harus selalu yakin berdoa kepada tuhan dengan satu tekad dan tujuan agar bayi terlindungi. Kupat Tumpuk menggambarkan bersatunya cinta dua anak manusia anatara ibu dan bapak. Dua kelapa gading menggambarkan seorang ibu agar lancar dalam menyusui bayinya” Cerita Mbh Kaum Nggih Mbh, lalu untuk rangkaian acara Ngapati apa mbh? Tanya Saya.
“Ohhh nggih mbh, lajeng ubarampe wajib wonten ing Ngapati iku nopo mbh?” Tanya saya
Mbh Kaum “Ya biasane mas pembukaan, ada ubarmpe, doa , terus penutupan.”
“yaiku kudu onten kupat boto, kupat tumpuk, pindang boyong, jongkong srintil dan dua kelapa gading. Pindang boyong atau Talas hitam sak daune sak oyote di masak mugo mugo sok paringi lahir gampang sak ubarampene. Jongkong srintil,
Dalam pelaksanaan ngapati doa yang di panjatkan yaitu doa keslamatan dan membaca beberpa doa tambahan yang di arahkan oleh Mbh Kaum. Akhir penjelasan beliau sambil membawa cangkul untuk pulang.
WANUREJO
Pisowanan Sanga Sanga oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Membaca kalimat “Pisowanan Sanga-sanga” apa yang di bayangkan?. Tentunya kalimat ini asing bagi kaum millenial dalam memahami kata dan masud pisowanan dan sanga-sanga. Hari ini saya bersama pelaku budaya Desa Wanurejo yang ikut serta dalam penelusuran cikal bakal Desa Wanurejo, ya Beliau adalah Pak Blendung. Tokoh desa yang memahami seluk beluk perjalann desa salah satunya mengenai adat tradisi Pisowanan SangaSanga di Desa Wanurejo. Bersama Pak Blendung, saya mengobrol mengenai Pisowanan Sanga-sanga. Pembicaraan dimulai dari pertanyaan saya mengenai “Pak Pisowanan SangaSanga itu apa ya pak?” Bapak Blendung menjelaskan “Sebenarnya kata Pisowanan berasal dari bahasa jawa yang artinya menghadap, sedangkan sanga-sanga yaitu sembilan. Jadi pisowanan sanga-sanga yaitu menghadapnya sembilan tetua dusun kepada cikal bakal yang ada di desa wanurejo dengan melambangkan sembilan dusun yaitu tingal wetan, tingal kulon, barepan, brojonalan, jowahan, jonalan, gedongan, bejen, dan ngentak”. Setelah memahi penjelasan tersebut, lalu kapan sih dilakukannya kegiatan itu? Tanya saya
“Tradisi ini dilakukan setiap tanggal 16 Mei atau sebelum tanggal 17 Mei yang merupakan Hari jadi Desa Wanurejo. Pelaksanaan tradisi ini dimuali dari pengambilan air ke sumber mata air di sembilan dusun yang ada di Desa Wanurejo. Air tersebut dibawa oleh kepala dusun atau tetua atau sesepuh dusun masing-masing menggunakan kendi kecil yang terbuat dari tanah liat. Kemudian mata air diarak menuju makam Kyai Wanu Tejokusumo dengan diiringi prajurit sawer wulung, selanjutnya air itu diterima oleh Bapak Kepala Desa yang satu per satu air dimasukan kedalam bejana menjadi satu. Dalam pelaksanaan tradisi inni seluruh pelaku budaya menggunakan baju adat jawa berupa jarik dan lurik yang dihiasi iket dikepala” Ungkap Pak Blendung sambil menikmati keripik singkong yang gurih nan renyah. Pak Blendung juga menyampaikan bahwa maksud dari penyatuan air dalam satu bejana yaitu sombol manunggalnya (bersatunya) sembilan dusun di Desa Wanurejo agar tetap selarasa dengan tujuan dan cita-cita Desa. Sambil menikmati teh mendengarkan penjelasan Pak Blendung, saya berfikir ‘lalu dimulai dari jam berapa pelaksanaan kegiatan ini yaa ?’. belum sempat saya akan berbicara seperti ini, Pak
Blendung tiba-tiba langsung menyampaikan “tradisi ini dimulai dari siang menjelang sore hari dengan acara peyerahan air, selanjutnya dilakukan dengan tahlilan atau mengirim doa kepada seluruh cikal bakal Desa Wanurejo dengan simbolis tukon pasar, jenang abang putih, tumpeng kuning, dan ingkung. Pelaksanaan tradisi ini selalu dilakukan sebelum digelarnya acara Gelar Budaya Wanurejo pada tanggal 17 Mei dalam rangka memperingati hari lahirnya desa. Pisowanan Sanga-Sanga erat kaitanya dengan kepercayaan masyarakat akan kelancaran seluruh komponen kegiatan dalam memperingati hari jadi Desa Wanurejo.
WANUREJO
Saparan: Ritual Wajib Dusun Gedongan Desa Wanurejo oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Sebagian besar orang mungkin masih asing dengan kata “Saparan” terutama generasi millenial saat ini. Saparan merupakan syukuran di setiap dusun atau desa dengan melakukan ritual pada bulan Sapar menurut kalender jawa yang terletak pada hari Rabu terakhir bulan Sapar (pungkasan rabu bulan Sapar). Dusun Gedongan merupakan salah satu dusun yang wajib setiap tahunnya merayakan Saparan. Untuk tahun ini, ritual dilakukan Hari Rabu Kliwon, 6 Oktober 2021. Ritual Saparan ini sudah dilakukan sejak cikal bakal adanya dusun Gedongan.
Bapak Samidi (67 tahun) merupakan salah satu sesepuh desa yang selalu mengikuti perayaan Saparan sejak beliau masih anak-anak. Pelaksanaan saparan di dusun Gedongan dilakukan mulai dari pagi hari hingga malam hari. Pelaksanaan saparan dimulai dengan membawa sepasang kambing jantan dan betina di kediaman rumah Bapak Kadus menuju sungai Sileng. Sepasang Kambing yang digunakan sebagai ritual berasal dari iuran masyarakat sebesar Rp 25.000,- per rumah, apabila masih kurang dalam memenuhi kebutuhan akan ditambah dengan kas dusun. Sampai di sungai Sileng pemimpin ritual Saparan mengambil air tempuran di masukan ke dalam kendi. Selanjutnya sepasang kambing dan air tersebut di bawa menuju perempatan desa Gedongan. Sampainya di perempatan desa, air dalam kendi di masukan ke dalam gentong yang berisi kembang telon (mawar, kenanga, dan kantil) yang kemudian air bunga ini digunakan untuk memandikan sepasang kambing.
Setelah selesai dimandikan, kambing siap untuk di sembelih dengan membaca Takbir terlebih dahulu. kambing yang telah disembelih kemudian dipotong dan dipisahkan beberapa bagian tertentu, yaitu kaki kambing, kepala kambing, dan badan atau tubuh kambing yang dagingnya akan dibagikan kepada seluruh warga dusun.. Kaki kambing yang telah dipisahkan akan dibawa pemimpin ritual saparan untuk di pendam kedalam tanah desa yang berada di setiap pojok dusun Gedongan, sehingga membentuk 4 titik penjuru. Proses pendam kaki kambing dimulai dari ujung timur, utara, barat, dan yang terakhir di selatan. Saat pendam kaki kambing hingga perjalanan menuju titik pendam lainnya dilakukan dengan membaca doa dan dilarang untuk menyapa orang atau menjawab sesuatu ketika menuju titik selanjutnya. Pendam kaki kambing dilakukan sebelum matahari terbenam. Ritual pendam kaki kambing diyakini oleh masyarakat dusun sebagai beteng pelindung desa. Oleh karena itu sampai sekarang dusun Gedongan tetap aman dari berbagai ancaman kejahatan seperti pencurian.
Kepala kambing yang telah dipisahkan dulu oleh leluhur di pendam di perempatan dusun Gedongan, namun sekarang terjadi perubahan di mana kepala kambing di ingkung untuk upacara syukuran di malam harinya. Kegiatan malam harinya yaitu melakukan Kenduren dengan mewajibkan warga membawa daging kambing yang telah dimasak walaupun hanya sedikit. Untuk kepala kambing sudah di-ingkung dan dikepung 1 warga dusun untuk dilakukan Kenduren bersama. Ubarampe Kenduren disiapkan langsung oleh Bapak Kadus baik berupa kupat tahu, rokok, uang Rp 1000, ambeng/uncet, sayur, kerupuk, dan tempe. Dalam Kenduren ini dilakukan doa syukur dan keselamatan kemudian diakhiri dengan makan bersama.
WANUREJO
Manusia Setengah Burung dari Candi Pawon oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Sebuah tarian diciptakan dari relief Candi Pawon yang berada di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Tarian yang diciptakan bukan hanya melalui latihan yang intens tapi juga ‘laku’ spiritual pembuatanya, Eko Sunyoto.
disesapnya. “Dalam perjalanan mencari seseorang yang mengetahui cerita candi Pawon, saya akhirnya bertemu dengn almarhum Mbah Syamsudin, tokoh masyarakat yang memahami Candi Pawon,” kata Pak Eko.
Saya berkunjung ke rumah Pak Eko Sunyoto, awalnya karena tertarik dengan berbagai hiasan seni di rumahnya. Ruang tamunya penuh dengan manik-manik kesenian. Pak Eko Sunyoto merupakan
Saat itu ia meminta izin untuk latihan di depan Candi Pawon. Mbah Syamsudin saat itu mengizinkan untuk berlatih tari. Namun, beliau menganjurkan untuk latihan setiap malam Rabu
“Dalam pentas perdana ini saya juga membuat pancen yaitu jenang abang putih dan bunga setaman yang diletakan di 4 pojok Candi Pawon dan bunga anggrek yang diletakan di dalam candi. Selain itu syarat menarikan Tari Kinnara Kinnari
seniman yang terkenal karena menciptaan karya tari berasal dari relief Candi Pawon di Desa Wanurejo Kecamatan, Borobudur. Langkah perjalanan beliau dalam penciptaan tari ini memiliki cerita yang sangat menarik dan mengesankan. Kepada saya ia menceritakan bagaimana proses tarian itu tercipta.
karena di halaman tidak digunakan untuk acara maupun wisata.
harus ada 1 tokoh putra, 1 tokoh putri Kinnari dan Penari Apsara (bidadari),” kata Pak Eko.
“Saat itu juga saya diberikan tata laku oleh almarhum Mbah Syamsudin, yaitu untuk melakukan tapa kungkum di Sendang Putri selama 5 kali setiap malam Jumat Kliwon,” jelas Pak Eko.
Pak Eko menjelaskan, ie meletakan jenang dan bunga di 4 titik artinya adalah 4 titik keberadaan unsur manusia yaitu ada unsur aluamah, mutmainnah, supiah dan amarah serta ada kekuatan bahwa manusia ada 4 unsur yaitu bumi, air, api, dan angin. Maksud anggrek adalah perlambang sesuatu yang indah.
“Perjalanan saya dimulai pada bulan November Tahun 2007. Saat itu saya masih bekerja di sanggar yang berada di Kota Semarang. Saat itu pulang pergi dari Dusun Brojonalan ke Dusun Tingal selalu melewati Candi Pawon. Ketika itu saya terbesit dalam pikiran, ada apa di Candi Pawon,” kata Pak Sunyoto.
Sambil menjelaskan, sesekali Pak Eko menghisap rokoknya, teh manis yang terhidang juga
Kepada Pak Eko, saya bertanya tujuan dari kungkum. “Jadi seperti ini ya, Mas. Kungkum itu dilakukan setiap jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Adanya kegiatan kungkum dimaksudkan untuk membersihkan badan yang bersifat raga dan untuk mencapai kemantapan diri lahir batin,” jelas Pak Eko.
Setelah 1 tahun melakukan ekplorasi di Candi Pawon dengan gerak tari yang ada. Pada tahun 2008 tepatnya tanggal 20 November Tari Kinnara Kinnari diperbolehkan pentas.
“Kinnara Kinnari itu diambil dari isi relief Candi Pawon yaitu; di tengah relief terdapat 1 pohon kalpataru yang merupakan pohon kehidupan. Sepasang kinnara kinnari yang mengapit pohon
kehidupan. Kinnara Kinnari adalah makhluk setengah manusia dan setengah burung. Dari pusar perut ke atas adalah wujud manusia, dan dari pusar ke bawah adalah wujud burung,” kata Pak Eko menjelaskan kenapa tarian itu dinamakan Tarian Kinnara Kinnari. Kinnara Kinnari sendiri merupakan makhluk penjaga pohon Kehidupan. Falsafah dan maknanya yaitu kinnara kinnari sebagai wujud dari cinta sejati yang melambangkan keabadian cinta. Pak Eko mengatakan, dari eksplorasi di Candi Pawon menjadi dasar baginya membentuk Sanggar Kinnara Kinnari Borobudur yang berada di Dusun Tingal Kulon Wanurejo Borobudur. Sampai sekarang masih bergerak aktif dalam melestarikan seni dan budaya dengan kehidupan. “Semenjak Tahun 20082021 ini banyak berkembang kegiatan di sanggar meliputi latihan tari untuk berbagai kalangan usia dari anak-anak hingga dewasa, pengembangan kostum tari, pedhalangan, karawitan, dan teater tradisional,” katanya.
WANUREJO
Mati Air Suci Umbul Tirta oleh: Rangga Tsulisul A. Loh Sari Larasati
Sore ini saya ditemani bapak sowan ke salah satu sesepuh Desa Tingal. Jarak rumah beliau lebih kurang 700 meter dari rumah saya. Sampai disana saya langsung bertemu dengan Mbah Sutrisno yang merupakan sesepuh desa. Dengan pakaian sorjan dan hiasan ikat di kepalanya, simbah berusia 72 tahun ini menemui kami. Saya duduk di depan beliau dengan suguhan minuman manis dan hangatnya teh tubruk. Saya memulai oborlan dengan santai, selang sepuluh menit kami bergurau mulai saya bertanya mengenai sejarah Mata Air Umbul Tirto. Mbah Sutrisno menjelaskan kalau dulunya itu namanya Sendang Ringin Putih. “Dulu ada pancuran empat. Dulu di barat sendang ada pancurannya itu berjejer-jejer empat ngono kae, dan ada recan (arca) namanya biksu Ekalaya aliran Mahayana. Kalau sekarang ya sudah hilang entah kemana. Yang percaya ya airnya bisa untuk apaapa tapi yang gak percaya ya sudah hanya untuk pemandian saja,” Mbah Sutrisno menjelaskan. Di Mata Air Umbul Tirta terdapat bagian berbentuk piring besar terbuat dari batu berfungsi untuk menaruh sesajen yang sebagai srono permohonan dalam suatu permintaan tertentu. Sajen yang digunakan biasanya tertentu, sesuai ‘bisikan’ yang
didapat dari sana. Kalau tidak dapat bisikan bisa membawa bunga saja. Lanjut saya bertanya pada Mbah Sutrisno, bunga apa saja yang biasanya dibawa oleh orang yang datang. Mbah Sutrisno mengatakan kalau bunga yang dibawa bisa bunga apa saja. Ia sendiri pernah datang ke sendang untuk meminta sesuatu. Ia datang malam hari, dan mendapatkan bisikan yang berbunyi, “sanga, sanga, sanga.” Saya bertanya, apa permintaan Mbah Sutrisno kok sampai dapat bisikan. “Biasa, biyen lak do dolanan nomor ngono,” kata Mbah Sutrisno sambil tertawa terbahak-bahak mengenang. “Bener sek metu angka 9, yo aku menang. Tapi nengkono yo aku ora gowo sesajen ngono wes teko rono wae, yo kuwi tergantung wonge sopo,” kata Mbah Sutrisno yang menjelaskan kalau ia tidak membawa sesajen apa-apa ke sendang itu. Namun, itu tergantung jenis orangnya, bisa dibilang Mbah Sutrisno memiliki kelebihan tersendiri. Saat ini, sendang tersebut lebih dikenal dengan naman Umbul Tirto. Nama ini diberikan dari kebijakan irigasi setempat waktu ada perbaikan. Mata Air Umbul Tirta dijadikan juga saat ini sebagai mata air suci karena dipercaya bahwa airnya mengalir berasal dari Candi Borobudur, oleh
karena itu air ini sering digunakan sebagai air suci untuk acara Waisak maupun Gelar Budaya Desa Wanurejo. Selain itu beberapa orang pernah kalau dimandikan di mata air tersebut insyaallah sembuh, sudah banyak orang yang berikhtiar di sana dan sembuh. Untuk tata caranya yaitu mandi pada malam hari selama kurang lebih tiga kali dengan memberikan sajen sesuai bisikan yang diterima.
Kini Umbul Tirto menjadi tempat wisata di Desa Wanurejo, dilihat dengan adanya warung-warung yang berdiri di sebelah kanan pohon beringin. Oleh karena itu rasa syukur akan adanya Umbul Tirto menjadi anugerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan dijadikanya lokasi wisata desa.
Wringinputih
WRINGINPUTIH
Tradisi Suran di Desa Wringinputih oleh: Jiyomartono Nurudin
Laku dan tirakat tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Jawa, khususnya di bulan Suro. Laku adalah tindak tanduk atau perbuatan untuk mencapai tujuan atau mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Sedangkan, tirakat merupakaan proses penggunaan waktu pada malam hari untuk kepentingan dan aktivitas spiritual. Hal itu dijelaskan oleh Pak Gujiadi (70) sesepuh warga Wringinputih saat ditanya tentang keutamaan bulan Suro. Bulan yang menandai tahun baru yang penuh makna dan sakral bagi masyarakat Jawa. Hasil daripada laku dan tirakat ini tidak bisa ditarget karena orang Jawa percaya bahwa pada saatnya akan datang tetap datang. Hal ini disebut nganggo mongso atau semua itu ada saatnya. Menurut Bapak Aripin dan Subagyo, pada tanggal 1 Suro merupakan awal tahun kalender baik kalender Jawa atau Hijriyah. Pada bulan ini merupakan waktu yang tepat untuk Jamasan pusaka. Jamasan diartikan sebagai proses ngumbah atau mencuci dan membersihkan genclup pusaka. Pusaka yang Keris, pedang, cincin akik, tombak.
Pusaka ini memiliki makna filosofis yang erat hubungannya dengan spiritual yang diolah dengan pikiran dan rasa yang diolah menjadi sikap. Dengan kata lain pusaka sesungguhnya adalah hati yang selalu dibersihkan atau disucikan. Beberapa masyarakat di Wringinputih melakukan ritual jamasan sebelum tanggal 15 Suro pada malam hari. Dilakukan oleh pemilik pusaka. jika ada warga yang tidak bisa melakukan penjamasan sendiri akan dititipkan kepada pemilik pusaka lainnya yang melakukan jamasan. Jamasan dimulai dengan berdoa. Kemudian, pusaka dicuci dengan air bunga kembang setaman yang dicampur dengan air kelapa muda. kemudian dibersihkan kapas setelah itu dicuci lagi dengan air bungan dan dikeringkan dengan diolesi perasan jeruk nipis agar pusaka bersih. Setelah semua kotoran hilang, dikeringkan dan diolesi minyak wangi. setelah itu keris dimasukan lagi dirangkanya dan disimpan ke tempat penyimpanan atau di kamar yang sakral. Terdapat beberapa pantangan saat bulan Suro ini. Satu Suro menjadi menjadi n’as tahun artinya
hari tersebut dilarang untuk melakukan beberapa kegiatan seperti akad nikah, membangun rumah, acara khitan dan bercocok tanam. Sedangkan untuk panen yang memang harus dilakukan pada tanggal 1 Suro, solusinya harus dimulai di hari sebelumnya,
mempunyai trah besar. Beberapa orang yang masih melakukan setiap dusun memperingati dengan tirakatan atau doa bersama yang disebut sedekahan atau auman yang diadakan di musala atau masjid atau di rumah orang yang dituakan.
Selain itu sebagian masyarakat melakukan ritual dengan pergi ke puncak Suroloyo yang terletak di puncak pegunungan Menoreh. Sebagian berniat untuk pergi ke tempat keramaian(menonton). Selain
Peringatan bulan Suro yang dilakukan pada tgl 10 Suro diadakan di tingkat desa bekerjasama dengan bersedekah dengan anak yatim. Suro merupakan waktu perenungan, refleksi dan permohonan
itu, ada warga yang memang pergi untuk ikut tirakatan dan atau ngalap berkah.
ke pada Tuhan. Merefleksikan apa yang sudah dilakukan di tahun kemarin dan menata hati di tahun yang akan datang yang diwujudkan dengan membaca doa akhir tahun setelah ashar dan awal tahun setelah magrib.
Ngalap berkah adalah harapan untuk mendapatkan kenikmatan hidup yang lebih bermakna. Suro berani dan loyo mati yang berarti seseorang tersebut berani mati dalam hal ini prihatin, berani mati dalam hidup. menghindari hawa nafsu yang ada dalam diri. Masyarakat melakukan di rumahnya sendiri-sendiri dengan cara berpuasa satu Suro dan ada yang sampai 10 Suro. Sebagian pemuda dan orang-orang yang mempunyai niat tertentu. Sebagian besar masyarakat Wringinputih masih mempercayai tradisi Suran terutama yang
Dari hasil wawancara dengan beberapa warga di Desa Wringinputih, Bapak Nurudin (52 tahun) ada beberapa tempat pelaksanaan ritual malam satu Suro, di antaranya di rumah masing-masing untuk menjaga privasi dan kesakralan. Selain itu, ada juga yang melaksanakan di tempat sakral atau biasa disebut wingit seperti pertemuan dua sungai antara sungai Tangsi dan Sungai Progo untuk kungkum dan dilakukan di kuburan . Umumnya dua tempat
ini digunakan oleh orang yang memiliki keinginan atau hajat. Dilakukan pada pada waktu tengah malam. Prosesi berandam ini akan dilakukan semalaman atau sampai dia menerima wangsit. Wangsit adalah petunjuk gaib yang diperoleh dengan cara laku. Secara umum pada tanggal 10 Suro diadakan acara auman/sedekahan/makan bersama dengan menu bubur suran/suro yaitu bumbu rempah yang tidak pedas.
WRINGINPUTIH
Batu Candi Ndalem Eyang oleh: Jiyomartono Nurudin
Di Dusun Srigentan terdapat rumah yang bernama rumah eyang miliknya Bapak Setyo Prayogo yang berusia 50 tahun. Di samping rumahnya tertata rapi beberapa batu yang merupakan bagian dari candi dan dan batu Yoni. Beliau mengumpulkan benda benda yang merupakan bukti kebudayaan jaman dulu sebagai ungkapan rasa peduli untuk menyelamatkanya, menurut beliau di masyarakat terkadang batu batu candi seperti ini di gunakan untuk pondasi, alas soko, dan ada pula masyarakat beranggapan bahwa batu tersebut ada penunggunya. Penyimpanan benda-benda ini sudah legal dan tercatat di balai konservasi, beliau juga harus melapor tiap bulan ke kantor Balai Konservasi Borobudur. sebagai kepedulian dan penyelamatan ini pihak konservasi menyarankan benda benda ini di beri alas batu supaya tidak cepat rusak. Di tempat ini batu Yoni dan beberapa batu lainnya diselamatkan keausanya dari sinar matahari dan hujan sehingga Batu Yoni dengan ditutup kaca sehingga bisa sekaligus berfungsi sebagai meja. Batu Yoni ini sebenarnya berpasangan dengan batu yang lain yang disebut Lingga. Yoni dan Lingga ini sebagai satu kesatuan alat pemujaan agama hindu atau ke dewa siwa. Juga diartikan sebagai wahana upacara kesuburan, karena yoni dan lingga ini merupakan simbol kelamin perempuan dan laki – laki. Maka dari itu, yoni dibuat dibawah dengan
bentuk segi empat dan ditengahnya bagian atas dibuat lubang untuk meletakkan lingga. Kemudian, yoni ini sebagian dilengkapi dengan hiasan yang berbentuk pancuran, yang berfungsi tatkala ada ritual upacara mengguyurkan air ataupun darah kemudian tumpah lewat pancuran air tersebut. Sedangkan Lingga adalah batu yang berbentuk segi empat ataupun bulat memanjang, kemudian untuk bisa berdiri diletakkan diatas yoni. Ada yang membuat lingga ini seperti alat kemaluan laki – laki. Contoh di candi cetho, yang berlokasi di Solo. Di Ndalem Eyang ini kita juga bisa mengunjungi sepeda ontel kuno, yang biasanya digunakan oleh ibu dan bapaknya dari Setyo Prayogo dan beberapa sepeda lainnya. Juga koleksi beberapa tape kuno. Ndalem Eyang ini adalah rumah jawa yang sudah dimodifikasi dengan tembok dari batu bata dan semen, tetapi tidak mengurangi aura dan nilai rumah jawa. Mempunyai halaman dan kebun yang luas, sering digunakan untuk outbound bedhil bendhilan.
diadakan acara sur tanah untuk mendoakan orang yang telah tiada yang tinggal atau tidur ditanah dengan membuat makanan slametan berupa nasi golong gilig, kemudian dilanjutkan acara mengirim doa atau iklasan ada yang sampai 7 hari atau 3 hari kemudian dilanjutkan keluarga sendiri. Tetapi acara 3 hari dan 7 hari tetap mengundang tetangga dan yang hadir diberikan makanan berkat yang berupa nasi, dan lauk pauk karena ada kepercayaan bahwa ruh orang yang telah tiada selama 7 hari masih tinggal dirumah.
WRINGINPUTIH
Kematian oleh: Jiyomartono Nurudin
Beberapa orang di Desa Wringinputih ada yang berumur diatas 90 tahun, tatkala orang sudah tua ,rentan terhadap penyakit kadang ada yang sakit sampai berbulan bulan bahkan satu tahun lebih. Saudara yang menjenguk terkadang meminta kapada keluarga untuk diikhlaskan jikalau meninggal sewaktu waktu. Untuk mempermudah ajal biasanya disuruh melepaskan pusaka atau cekelan yang ada didalam tubuh. Biasanya diambil oleh orang yang dianggap bisa untuk membantu hal tersebut, terkadang ada yang sangat sulit untuk mengeluarkan dari badannya kemudian dicari pantanganya.dengan pantanganya tersebut dilanggar maka otomatis cekelanya akan keluar. Setelah cekelan atau pusakanya keluar kemudian dilarung di sungai. Apabila ada orang meninggal, penyumuman lelayu tersebut akan disiarkan di masjid. Setelah itu semua berbagai masyarakat baik laki-laki dan perempuan datang kerumah duka, ada pembagian tugas untuk mengurus jenazah. Bapak Mudin atau tokoh agama akan mengurus pemandian sampai mengkafani yang sebelumnya ada orang yang mengukur tinggi badan jenazah guna untuk membuatkan lubang kubur. Kemudian Bapak Mudin menunjukkan tempat galian kubur .untuk memulai menggali maka dibuat garis persegi empat pakai cangkul
dengan berdoa semoga dibawahnya tidak ada mayat lain. Hal inilah yang disebut Bedah Bumi. Sebagian tetangga menggali kubur, sebagian lain membuat gladak dari bambu atu kayu, kedalaman kubur sekitar satu setengah meter kemudian setelah itu dibuat karasan untuk meletakkan mayit. Setelah mayit diletakkan di dalam karasan dan ditutup dengan gladak yang rapi dilapisi galar kemudian baru diurug atau dikubur dengan tanah. Setelah selesai penguburan, diatas tanah diletakan 2 bambu berukuran 50 cm ditanan sisi utara selatan sebagai tanda kuburan kemudian disiram air dan ditaburkan bunga. Upacara dirumah duka untuk penghormatan terakhir didahului sholat jenazah, kemudian acar lugsuban serta doa pengantar jenazah.jenasah akan diantar diatas krendo. Masih ada kepercayaaan bagi orang yang menggali kubur bahwa setelah selesai tidak boleh langsung masuk rumah tetapi harus mandi dulu, karena nanti kalau menjumpai orang lain terutama annak anak mereka akn kena sawan, yakni badan menjadi lemas, panas dan, sakit.sebagai penawarnya maka dimandikan air kembmanngg yangg disebut kembangg maccan kkerah, terddiri darri bunga mawar, melati, kenanga, daun jambu, adas. Pada malam hari
Melayat adalah kegiatan untuk datang kerumah duka dengan membawa amplop yang berisi uang atau membawa beberapa kebutuhan sehari hari bagi keluarga dekat atau yang masih punya ikatan keluarga atau teman dekat.terkadang orang ayang melayat dititipin teman atau tetangga maka untuk menyampaikan ketuan rumah yang kena musibah merekan bilang ada yang titip sholawat sambil memberikan amplop yang kemudian dimasukkan ke kotak untuk membuka kotak biasanya menunggu setelah 7 hari dan juga barang barang kebutuhan sehari-hari ini dikumpulkan untuk diuangkan. Untuk acara 40 hari satu minggu sebelumnya semua keluarga berkumpul untuk menentukan kapan dan jatuh pada hari apa acara matang puluh, mereka menggunakan hitungan yaitu : nomo soro dengan cara menghitung hari kematiannya atau hari nggeblak. Sebagai contoh jika wafat hari Kamis Wage maka dihitung dino limo pasaran limo maka jatuh hari ke lima dan pasaran ke lima yaitu senin pon. Sajian hidangan berkatan di isi dengan nasi, sayur, lauk, srundeng, peyek, lentho, krupuk. Acara 100 hari dihitung noro sarmo yakni dino loro pasar limo. Jika wafat kamis wage hari 100 nya jatuh Jumat pon. makanan berkatan nasi, sayur, lauk, srudeng, peyek, lenthi, krupuk mendak dihitung nopat sarno,dino papat pasaran limo. Wafat kamis wage
mendak hari minggu pon. Sedangkan mendak loro dihitung nopat sarmodino papat pasaran limodino papat pasaran limo. Jika mendak pindo wafat kamis wage maka acara jatuh minggu pon. Nyewu dihitung nonem sarmo dino enem pasaran limo. Jika wafat kamis wage maka acara nyewu diadakan pada seloso pon . Untuk acara selamatan Bedah Bumi, 3 hari,7 hari dan doa di lanjutkan di hari ke 40, 100, naun, mendak, nyewu tetap menyembelih jago sebagi ingkung dan setelah 2 tahun kalau yang mampu baru boleh dibuatkan nisan. Untuk doa keselamatan selanjutnya diwaktu waktu tertentu di sebut khol.Untuk menghormati dan mendoakan leluhur yang sudah meninggal disebut birul walidain, sebagian masyarakat tetap mendatangi makam atau kuburan, ada yang berdoa dan ada yang melakukan bersih bersih pasarean sekaligus menabur bunga. Acara khoul bersama juga diadakan diwaktu pengajian dusun pengajian desa dan pengajian keluarga.
WRINGINPUTIH
Lahiran oleh: Jiyomartono Nurudin
Berdasarkan penjelasan Ibu Trimurni (63 tahun) proses melahirkan jabang bayi, sebenarnya masyarakat jawa dulu lebih memilih melahirkan dirumah karena mereka percaya akan keberkahan rumah mereka jika sebagai tempat melahirkan, ketika wanita mau melahirkan akan di bantu atau di dampingi oleh orang tua beserta suami dan dipandu oleh mbah dukun bayi atau tenaga medis. Mengadzani Setelah bayi lahir,dan menangis maka di kumandangkan adzan ditelinga kanan bayi dan iqomah ditelinga kiri, hal ini dimaksudkan bahwa hal yang pertama di dengar oleh si bayi adalah kata kata baik. Dilakukan oleh ayah dari anak atau ibunya ataupun mbah dukun bayi.Selanjutnya mbah dukun atau tenaga medis akan mengemas ariari dari cabang bayi dan dibungkus dengan kain mori putih dimasukkan ke dalam kendil atau kendi dengan dikasih beberapa bunga mawar, kenanga kantil. Mendem ari ari Ari ari ini di pendem atau di kubur, sebelum dipendem ari ari tersebut akan di gendong dulu oleh ayahnya. tempat mendem atau kubur biasanya di depan atau disamping kiri rumah
yang melahirkan, sewaktu mendem dibacakan doa terlebih dahulu supaya ari ari ini tetap selalu ngancani atau temani si bayi, dengan sebutan “sedulur papat kakang kawah adi ari ari” artinya air ketuban yang membantu kita terlahir dari dunia ini, bahwa orang jawa sangat menghormati pengawal si bayi yang lahir atau keluar duluan yakni air ketuban/ kawah dan setelah baayi ari ari. untuk penghormatan dan agar ari ari tersebut tidak di curi atu selamat maka tempat mendem atau mengubur ari ari ini harus dijaga dikasih pagar atau ditutup kranjang atau keranjang kemudian dikasih penerangan, pada waktu dulu penerangan hanya memakai senter tetapi sekarang sudah memakai lampu. Tak lupa bunga mawar, kenanga kantil. juga ampas ramuan jamu uyup uyup yang dimaksudkan bahwa kita juga perlu merawat ari ari sebagai adik atau teman yang selalu menyertai bayi. Brokohan Adalah makanan yang berisi nasi dicampur sayuran dimasak secara klubanan. Kemudian dimakan bersama orang yang hadir atau di bagikan ke tetangga sebelah sebagai ungkapan bahagia atas kelahiran bayi. kemudian sang ibu mandi keramas dari ujung rambut sampai ujung kaki guna untuk membersihkan semua kotoran yang menempel
dan untuk menyegarkan badan biar pulih seperti sebelumnya, karena orang jawa percaya setelah melahirkan semua anggota tubuh menjadi muda lagi, balung nom atau tulang muda. Untuk rituaal kesehariaanya sang ibu sebelum merawat bayi di sarankan untuk uyup uyup yaitu minum ramuan jamu uyup uyup dimaksudkan untuk memperlancar air susu. Dibawah ini merupakan kegiatan tambahan untuk ibu yang sebelum dan sesudah melahirkan: a. Pijat, selama sebelum puput. b. Ngorek : memandikan bayi. c. Nggurit : memakaikan baju bayi yang disebut guritan dan popok. d. Mbarut/ nggedong : membungkus bayi dengan kain selendang biar bayi hangat dan tidak banyak bergerak. e. Pilisan : memakai pilis terdiri dari ramuann dingoo. benggkle,injet,cengkeh,kunir.yangg ditaruh dibathuk. Pupoh : meneteskaan aairr cengkehkeemukus ke mata sebagai terapi agar matta ttetaap sehat. g. Wuwung : mandi dengan mengguyur seluruh tubuh agar darah putih keluar f.
melalui rambut. h. Bobokan : melumuri badan dengan tidur dari beras digerus sampai lumat dibusukkan dengan air,wewangian jinten kencur badan sehat segar wangi. i. Bayi di canteli dlingo bengkle atau memamasangkan sebuah benda untuk tolak bala biar tidak ada pengganggu apapun j. Dadah : Adalah minyak yang terdiri dari brambang atau bawang merah dan kunyit pertanda sebagai tilik bayi atau melihat bayi, bagi ibu yang ingin hamil bisa mengusap perut dengan dadah dan anak kecil yang ikut melihat bayi diusap dadah biar tidak meri atau iri. sebelum acara puputan memberi bunga ke tempat melahirkan, tempat mencuci ari ari, tempat mnadi temapt mendem ari ari. Komposisi uyup uyup : Daun pepaya ,tapak liman, tapak doro, betithet atau pucuk daun nanas, salam watuk, temulawak, temu giring,kunir, kencur, garam, daun katu, pohon kambil kambilan atau pohon kelapa. Puputan
Biasanyaa dilaksanakan hari ke 7 atau sebelumnya jika puser sudah puput atau lepas Makanan yang di sajikan: Ingkung ayam jago dan atau aqiqah kambing 2 bagi bayi laki laki, kambing 1 bagi bayi perempuan. Untuk para tetangga rewang memasak guna mempersiapkan hidangan buat para tamu ataupun buat berkat, adapun isi berkat nasi, sayur, ingkung, endok, peyek gereh, peyek kacang, klubanan, lentho, serundeng, kerupuk, mie goreng, pelas. Setelahh pothol puser atau pusernya lepas maka puser ini harus disimpan dan dirawat, suatu saat jika bayi meriang bisa diberi air rendaman puser. Acara malam hari dengan membaca bacaan al berjanzi dan solawat selanjutnya pencukuran rambut bayi dengan gunting, yang dikasih air bunga mawar, ditaruh telur ayam kampung, setelah mencukur sebagian rambut bagi para tetangga meniupkan doa ke kepala bayi, bayi digendong oleh ayahnya atau saudara laki laki dan di lindungi payung. Sementara semua orang berdiri berdoa ada seseorang yang menyemprotkan minyak wangi ke setiap orang.
Among among atau hidangan klubanan diadakan setiap hari neton bayi yaitu mengundang anak kecil untuk berkumpul dan makan bersama nasi klubanan, telur yang ditaruh di nampan bambu. Dilapisi daun pisang dan dibalik daun pisang dikasih uang. Nyapeh atau ibu berhenti menyusui bayinya : nyapeh bisa dilakukan dengan cara mengolesi puting payudara dengan brotowali. Khitan dan khataman Sejak anak anak, orang tua telah mendidik anaknya atau di pasrahkan ke orang lain untuk mengaji, setelah selesai mengaji quran atau Menginjak remaja bagi anak laki laki ada acara supitan atau khitan, yang sebelumnya didahului acara khataman quran
WRINGINPUTIH
Keprajan oleh: Jiyomartono Nurudin
Keprajan berasal dari kata projo yang berarti terhormat. Jadi keprajan merupakan kehormatan yang ada di strata sosial dan kepemerintahan yang bisa diperoleh dari sistem pulung, ketiga wahyu, keempat bejo, kelima teturunan. Keprajan ini diperoleh dari perjuangan keluarga sebelumnya atau keluarga yang berasal dari keturunan orang besar atau orang pintar. Jika bapak lurah, bapak carik atau jabatan yang lain digunakan secara bijaksan dan tepat maka orang lain akan memberikan pangkat kepada istri maupun anak keturunanya walaupun mereka tidak menjabat. Sistem ini ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Contohnya adalah pemilihan pejabat seperti RT, RW, Kawur, Carik atau Sekdes ( Sekretaris Desa ), dan lurah. Sistem perundangan mereka dipilih oleh rakyat dengan ketentuanketentuan yang berlaku, seperti untuk pemilihan lurah atau kepala desa menggunakan sistem mencoblos tanda gambar dengan menggunakan hasil pertanian ( pohon padi, kelapa, ketela, papaya, dll ). Kemudian pemilih mencoblos gambar yang disukai untuk mewakili nama calon lurah atau kades. Sebelum mereka menjadi calon lurah, mereka harus mencari biting atau jiwa pemilih dengan menghubungi atau di dukung oleh botoh. Fungsi botoh adalah untuk mengkondisikan dan
memastikan jumlah calon pemilih serta membantu pembiayaan pemilihan kepala desa atau lurah. Setelah diketahui pemenangnya, pemenang pertama akan menjadi lurah atau desa. 1.
Pulung Jabatan Keprajan didesa dianggap sakral. Untuk memperolehnya melalui lagu dan tirakat. Seseorang calon lurah melaksanakan jajah desa milangkori dan harus memiliki karakter yang baik, sehingga waktu pemilihan calon kades bisa menang.
2.
4.
Wahyu Calon kepala desa yang akan mengikuti kontes pemilihan kepala desa harus melakukan semacam Topo atau puasa sehingga mendapatkan wahyu. Wahyu ini biasanya datang atau tiba di malam hari. Calon lurah dan keluarganya akan melakukan tirakat di malam hari yang kemudian akan ada sinar putih yang memasuki rumahnya yang disebut Ketiban Wahyu.
3.
jan yang didapat secara pengecualian seperti orang tersebut tidak pintar, tidak melakukan tirakat, tidak memenuhi kriteria yang maksimal, tetapi beruntung untuk mendapatkan jabatan. Contohnya, Bapak lurah meninggal dunia kemudian ada yang menggantikan.
Bejo Bejo merupakan jabatan kepra-
Bapak RT Bapak RT adalah pejabat terendah yang berada di kampung, yang pemilihannya berdasarkan musyawarah atas mufakat. Tugas Bapak RT berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti urusan patirojo, sambatan, undangan, dan pirukunan. Bapak Rt ini menguasai satu wilayah terkecil sekitar 15-50 kepala keluarga.
5.
Bapak RW Bapak RW adalah pimpinan para RT di sebuah dusun yang biasanya terdapat 2 – 10 RT. Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh Bapak RT akan diselesaikan oleh Bapak Rw.
6.
Kami Tuo Kami tuo atau biasa disebut
kepala urusan / Kaur merupakan jabatan sebagai orang yang dituakan untuk urusan kepemerintahan desa. 7.
Carik Carik merupakan sekretaris desa yang di pilih langsung oleh pemerintah melalui sistem yang dinamakan penjaringa. Tugas Bapak Carik adalah mengurus administrasi pedesaan.
8.
Lurah Lurah atau kepala desa merupakan jabatan tertinggi di sebuah desa yang menjabat selama satu periode lima tahun dan bisa lanjut mencalonkan diri dengan pemilihan lagi. Semua orang yang menjabat di struktur desa akan mendapatkan Bengkok yaitu berupa sebidang tanah milik desa yang digunakan sebagai alat kampanye. Contohnya, calon lurah berjanji kepada masyarakat jika tidak akan mengambil jatah bengkok dan memberikannya kepada warga untuk mengelolah tanah tersebut tanpa harus memberikan sebagian kepada lurah. Hal ini tidak berlaku untuk Carik, Kami Tuo , RW, dan RT, yang tidak berkampanye untuk mendapatkan jabatan
sebagai Projo. Jabatan lurah di strata sosial mempunyai tugas sebagai berikut : 1. Sambutan di acara warga 2. Sambutan menerima nganten 3. Sambutan di acara-acara resmi
WRINGINPUTIH
Misteri Rumah Jawa
desa kewajiban-kewajiban lurah di mata masyarakat : 1.
2. 3. 4.
Menghadiri tempat resepsi atau kondangan dari yang punya hajat sebagai bukti warga menghormati bapak lurah, sehingga yang punya hajat munjung makanan kepada bapak lurah Hadir dalam acara lelayon Acara kerja bakti warga Memberi contoh yang baik terhadap warga
oleh: Jiyomartono Nurudin
“Yo prokonco dolanan neng njobo ,Padang bulan padange koyo rino Rembulane ne seng awe-awe, Ngelingake ojo turu sore” Malam yang syahdu, bulan purnama pertengahan suro, Minggu 22 Agustus 2021 sejak matahari terbenam, hari begitu gelap tidak seperti biasanya, menambah suasana mistis dibarengi semilir angin yang membawa wewangian bunga jeruk dan bunga kopi di depan rumah ditambah teguran teman untuk membawa masuk keris pusaka hasil pemberian dari keponakan yang habis menjamas beberapa hari lalu. Tiba tiba rembulan keluar dari peraduanya seolah olah menyapa “sungeng ndalu sedulur“, saya pun tersenyum dari halaman rumah membalas salam dari rembulan, setelah itu rembulan pergi ditelan awan dan saya pun masuk rumah. Teringat diwaktu kecil sebelum ada penerangan listrik, bulan purnama adalah waktu yang ditunggu tunggu untuk bermain bersama dengan menyanyikan lagu “Yo prokonco dolanan neng njobo, Padang bulan padange koyo rino, Rembulane ne seng awe-awe, Ngelingake ojo turu sore” begitu bahagianya kita bermain di halaman rumah. Siang harinya pun kita bermain lompat tali, kelereng egrang dan jilumpet. Itulah mengapa rumah-rumah di desa punya halaman yang luas, selain berfungsi jadi tempat bermain juga tempat
untuk hajatan. Orang tua duduk di kursi panjang ditemani tetangga lesehan di amben, bercerita tentang aktivitas yang telah dilakukan seharian, ada yang capek bersandar di soko guru sehingga dipijat oleh temannya sesekali ada sendau gurau yang melambangkan betapa bahagia dan rukunnya kehidupan di desa. Simbah kadang-kadang menyelipkan kata kata bijak untuk menghadapi hidup ini karena simbah dipandang tetangga orang yang berilmu, kuat prihatin dan tirakat sehingga bebejan atau keberuntungan menghampirinya dan dijadikan sesepuh desa. Terkadang simbah menerima serombongan tamu yang ingin sowan atau berkunjung untuk ngangsu kaweruh atau menimba ilmu seperti di padepokan. Diwaktu waktu tertentu simah mengumpulkan semua keluarga baik yang jauh dan dekat untuk menjaga agar semuanya hidup rukun saling membantu. Di bawah amben (tempat duduk yang terbuat dari bambu) bergeletakan hasil bumi seperti kimpul, kelapa, ketela rambat, sementara itu disudut ruang masih tergelatak hasil panen padi yang belum sempat disimpan di lumbung, ditangga naik batur bersandar pisang raja yang sudah suloh atau masak dipetik tadi sore karena takut dimakan codot. Hal inilah alasan rumah jawa baik Joglo, limasan, bagian depan berfungsi sebagai pendopo yang begitu luas tanpa sekat bahkan tanpa dinding luar hanya ada tiang tiang yang disebut soko.
Setelah lingsir wengi para tetangga pulang kerumah masing masing, simbah masuk kedalam rumah, untuk mengambil teh hangat yang telah disiapkan simbah putri dari dapur di samping rumah. Simbah putri menutup kan teh dengan serunduk untuk menjaga teh agar tetap hangat yang disampingya ada dua roti bolu emprit satu berwarna merah dan satu lagi putih terbuat dari beras ketan dan gula oleh oleh dari cucunya. Di ruang makan Simbah Putri dan Simbah Kakung masih bercengkrama sementara anak dan cucunya sudah tidur di kamar yang berbeda, jadi kamar simbah di tengah, diapit oleh anak yang ragil (anak terakhir) dan cucunya, sementara anak anak yang lain tidur di kamar gandok. Sebelum tidur Simbah Putri mengingatkan apakah lumbung, kandang, sudah di kunci? Simbah kakung menjawab “gak apa apa mboten dikancing wong saya mau tirakat ditengah tengah pendopo diantara 4 soko guru,tirakat lan prihatin biar anak cucu bejo, mulyo donya aherat”. Simbah putri hanya mantuk mantuk (menganggukan kepala) dan minta diantarkan ke sumur di belakang rumah untuk ambil air wudlu dan minta ijin menemani tirakat dikamar. Simbah Kakung menggandeng tangan simbah putri karena harus melewati longkang yang becek kena air hujan dan setelah berwudlu simbah putri berhenti di longkang untuk berdoa langsung menghadap kelangit, beliau percaya di saat lingsir atau malam Gusti mboten sare, jadi beliau percaya
doanya pasti didengar dan dikabulkan. Rumah jawa memang mempunyai banyak fungsi dan mencerminkan kepribadian pemiliknya, simbah dan orang tua yang menempati masih menjaga tradisi tirakat dan prihatin, sehingga hormati dan disegani tetangga sekitarnya. Hal ini tercermin dari tutur kata tetangga yang memakai boso kromo kepada simbah dan orang tua, simbah pun menjaga tata kromo lan boso kepada semua orang. Setelah simbah dan orang tua meninggal ada perubahan drastis karena anak anak kuliah dan tetangga tidak memakai boso kromo, Ibu Jauharoh Zulaikha kebetulan anak yang diwarisi rumah ini merasa kaget dan sakit hati. Beliau kemudian mengkoreksi diri mengapa hal ini terjadi. Memang orang lain kadang menghormatinya karena masih ada orang tua. semenjak itu beliau bertekat untuk mendidik dan mengajari langsung anak anaknya tentang toto kromo lan boso. Mengajarkan bahasa langsung praktek lan mengenalkan semua nama tetangga dengan nama nama orang tuanya. Hal ini jadi sangat penting diajarkan sejak dini untuk mengenal dan menghormati sesama dan mengapa harus mengenalkan nama anak dan orang tua? iki lo nek sampeyan karo konco muni maem,nek karo wong tuwone konco muni dahar. Podo karo nek takon ibu muni ; ibu sampun dahar? Nek adik jawab muni : sampun maem “toto kromo, budoyo kui seko keluargo, terutama ibu, maka bahasa ibu harus di ajarkan, dididik
dilatih supoyo dipraktekan|”,
Dalem/rumah
Misteri jogglo umur 114 tahun
Klontong –klontong.....klontong –klontong...
Jarum jam hampir menunjukan pukul 12 malam, sepasang suami istri pemilik Joglo tua belum tidur, hawa dingin merasuki tulang, suasana hening tidak seperti biasanya, apa ini karena malam jumat kliwon ya? ah mereka tidak menyebutkan hari apa wakttu itu, jam lonceng berbunyi memecah suasana, dari luar terdengar suara rintihan kuda mereka terkejut dan bersama sama keluar untuk melihatnya, namun tidak ada binatang apapun diluar rumah. mereka menuju dapur untuk ambil teh panas untuk melawan hawa dingin, waktu minum teh mereka sangat menikmati dan ada aroma bau sate ayam dari kamar sebelah, terdengar penjual sate berbincang dan pembelinya mereka penasaran dan membuka ternyata kosong.
Suara grobag sapi dari klaten datang menempuh jarak 80 km, gerobag yang tinggi ,berserta dengan 2 sapi yang gagah perkasa menghantarkan kayu jati yang galehnya telah berwarna coklat. Bapak Surodimejo mermpersilahkan bajingan/sopir gerobag ini untuk istirahat, makan ala kadarnya, ditahun 1906 Bapak Surodimejo sudah bertani ketela dan para tetanggaanya membuat gula jawa dari pohon kelapa miliknya. Beliau meminta istrinya memasak ketela dan membuatkan teh. jangan lupa gulanya, namun gulanya belum jadi, masih angkrop. Pada jaman belanda gula adalah hal yaang sangat mewah baik gula jawa atau gula tebu karena sebagai andalan bahan dagangan belanda di Eropa. Sang bajingan menyindir apa benar disini jauh dari pabrik gula? Pak Sura tersinggung dan
Hal semacam ini sering terjadi kemudiaan suatu hari mereka sowan dengan seorang kyai dan akhirnya pak kyai datang dan berdoa. Menurut bapak kyai, semenjak ditinggal simbah, joglo ini dihuni banyak jin. Kemudian tuan rumah minta tolong untuk membuat mereka tidak mengganggu. pak kiai penasaran mengapa banyak jin yang tinggal disitu.
beliau tahu bahwa orang ini ingin minum dengan gula, maka beliau mengambilkan gula yang masih angkrop dan tidak mungkin bisa dimasukkan ke teh untuk di minum. maka beliau bijaksana : monggo telanipun di cemplungke gulo angkrop. Setelah dicoba ternyata bajingan itu sangat puas dengan suguhan itu tapi sebagai tamu yang punya jiwa perwira beliau tidak mau menghabiskan.
Sisa ketela yang dicemplungkan di gulo angkrop tadi dimakan oleh para tetangga setelah bergotong royong menurunkan kayu jati yang diatas grobag. Mereka bertanya, ini singkongnya siapa, simbah menjawab Bajingan. Sebagian yang lain mendengar dan lama kelamaan mereka menyebut makanan tersebut ‘bajingan’. Beberapa tahun kemudian berdirilah joglo komplit Ditengah tengah desa Wringin putih yang masih rimbun kanan kiri jalan masih sepi, malam hari sunyi senyap,hanya terdengar suara jangkrik dan belalang,kebayakan orang yang lewat mengatakan bahwa iini adalah hutan.,banyak pohon bambu nangka,dan kelapa yang tinggi, kebun kebun ditanami banyak buah buahan. Dari jalan tidak kelihatan banyak penduduknya, sungguh sungguh terasa mistisnya. Mbah Suro Dimejo ini merupakan orang yang senang prihatin, tirakat dan rajin, beliau menabung dari hasil panen untuk membangun joglo dan juga korban kebijakan politik belanda yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh memiliki tanah di daerah lain, karena mengurus administrasinya susah, jika tidak dijual akan menjadi milik belanda, padahal beliau punya tanah di Kalisari Tempuran, yang sudah beda kecamatan. Maka
beliau harus menjualnya tetangga sekitar banyak yang minta tolong pinjam uang untuk beli beras, hal ini dilakukan berkali kali yang pada akhir para tetangga pergi ke mbah carik di kantor desa untuk mengubah status tanah dijual ke Mbah Suro Dimejo. Sampai akhirnya ada dua setengah hektar tanah milik mbah Suro, namun Mbah Suro tetap baik dan rendah hati meminta tetangganya untuk bekerja, ada yang mencangkul ada yang nderes. Pulungg dan bejo
Simbah punya anak delapan. Satu laki laki dan tujuh perempuan. Jadi joglo ini diwariskan ke anak laki lakinya Bapak Munawir, beliau mondok di Tebuireng, setelah beliau sepuh membagi warisan ke anaknya dengan sistem hibah karena orang tua masih hidup dan untuk joglo di lotre atau diundi.
Rumah kampung Atap doro gepak
Undian pertama jatuh ibu Jauharoh, undian kedua sama, sehingga ibu Jauharoh menyarankan tidak dilotre, “sopo sek gelem, sopo sek mampu ngrawat monggo”. Namun adiknya yang bernama Muhibbin menyatakan jika memang pulung, memang kena sampeyan juga tudak apa-apa. Maka kepemilikan Joglo jatuh ke Ibu Jauharoh, namun bapaknya berpesan nanti kalo kakak kamu, bapak Mustanir tidak mampu buat rumah mengambil atau nyabut rumah ndlalem/rumah gandenganya joglo. Oleh karena itu, saat ini rumah joglonya tidak komplit, tinggal joglonya yang sudah berfungsi jadi rumah, maka gebyok kayu yangg dulu diluar sekarang dipasang sebagai sekat kamar. Joglo ini pernah ditawar 1,5 milyar ditahun 89 oleh orang jepang, bahkan akan dibayar cash. Namun, Ibu Jauharoh tidak membolehkan karena beliau percaya bahwa simbah simbahnya dulu membangun ini ada doaga agar yang menempati hidupnya berkah. Jika joglo ini dibeli oleh orang lain maknanya mereka membawa juga doa doa yang diberikan oleh orang tua. Joglo ini merupakan simbol power bagi orang Jawa.
Limasan Gebyok kayu
WRINGINPUTIH
Mitoni: Acara Tradisi Tujuh Bulan Kehamilan oleh: Jiyomartono Nurudin
Menjelang tujuh bulan kehamilan menurut orang jawa pada usia tersebut sama seperti jumlah hari dalam satu minggu yaitu 7 hari, karena usianya yang genap maka si jabang bayi sudah siap lahir sewaktu waktu, namun pada umumnya akan lahir setelah berumur 9 bulan 10 hari, dan jikalau lahir sebelum genap 9 bulan maka disebut lahir premature. Orang jawa paham betul tentang ini maka tidak lupa mereka harus berdoa dan mengadakan acara mitoni atau 7 bulanan agar sewaktu waktu bayi lahir dengan selamat, kelak menjadi anak yang bermanfaat dan berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa. Pembacaan doa di awali dengan membaca surat 7 dari Al-quran. Berdasarkan penjelasan Ibu Sumiyati, maksud dari acara mitoni ini juga karena kita minta tolong kepada sang pencipta biar mendapat pitulungan atau pertolongan untuk dimudahkan sewaktu melahirkan maka angka 7 sebagai simbol pitulung atau pertolongan. maka ubo rampe atau perlengkapan yang di sajikan mengarah kepermintaan kemudahan dan keselamatan,
bayi yang lahir komplit dan tidak cacat baik fisik maupun mental. Sebelum acara selamatan dimulai akan didahului dengan siraman atau mandi yang dipimpin oleh orang tua ibu dari perempuan yang hamil atau dipandu oleh mbah dukun bayi. Ubo rampe 1. Degan kuning atau kelapa gading muda, biasanya kelapa gading muda tersebut biasanya yang berwarna kuning bersih di simbolkan ada saat melahirkan banyinya bersih. degan ini berjumlah 2 dengan 1 degan di hias tokoh laki laki dan 1 degan lagi di hias tokoh perempuan, dengan harapan besok kalau bayi nya lahir laki laki seperti Rama dan kalau bayi nya lahir perempuan seperti dewi Kuma ratih.. 2. Tumpeng robyong, tumpeng yang berisi tujuh, yang bermaksud permohonan doa ke sang pencipta dengan minta pitulungan atau pertologan baik untuk bayi atau orang tuanya. 3. Dawet : Dawet menjadi sebuah makanan yang menajadi perumpamaan dan harapan sewaktu ibu hamil yang akan melahirkan,bayi nya keluar dengan lancar dan selamat
4. Joko nginthil : adalah makanan jenang yang ditaruh di daun nangka yang jatuh dengan sendirinya. 5. Clorot, biar kalau keluar langsung mak clorot. 6. Kolak waloh. 7. Jajan pasar, supaya dapat berniagaa. 8. Ketupat. Mecah kwali Mecah kwali “Acara Puncak” adalah memecah kwali yang berisi jenang abang putih, telur dan uang, dan sebagian makanan. Kwali ini diumbulkan keatas biar jatuh dan pecah dengan mengucapkan mantera “lanang wedok arep slamet” yang artinya “walaupun yang lahir bayinya laki laki atau perempuan yang penting selamat”.
WRINGINPUTIH
Tradisi Napak Tilas Desa Wringinputih oleh: Jiyomartono Nurudin
Napak Tilas adalah salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat Desa Wringinputih tepatnya di Dusun Sri Gentan Wetan untuk memperingati HUT RI yang ke-76. Kegiatan ini dilakukan pada malam 17 Agustus 2021. Kegiatan ini diawali dengan membaca doa yang dipimpin sesepuh dusun dan tokoh agama yang kemudian dilanjutkan kegiatan berjalan kaki berkeliling dusun membaca shalawat. perjalanannya melewati batas Dusun Sri Gentang timur yang merupakan wilayah krajan atau pusat pemerintahan desa. selanjutnya dilanjutkan dengan berbakti kepada sesepuh dan orang tua yang sudah meninggal dengan membaca tahlil yang baca bersama-sama. Ketika prosesi berjalan mengelilingi dusun, beberapa masyarakat menggunakan obor/oncor yang terbuat dari bambu yang diberikan isi minyak tanah dan sumbu pada ujungnya sebagai sumber penerangan jalan. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh masyarakat yang terdiri dari semua kalangan usia. Baik anak-anak, kalangan muda dan kalangan oranngtua semua bercampur baur menjadi satu di lapangan. setelah itu makan bersama dengan ingkung yang terbuat dari ayam janjtan utuh yang dimasak dengan
ayam ingkung. Sajian makanan yang disajikan pun berupa jajanan pasar tradisional seperti pethotan yang terbuat tepung, gula jawa, dan kelapa yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya tidak terlalu rapi sehingga disebut pethotan. Berdasarkan penuturan Bapak Gujiadi kurang lebih berumur 70 tahun, untuk memperingati upacara kemerdekaan republik indonesia. menghormati para pahlawan, menghoirmati nenek moyang atau generasi yang telah meninggal. ketiga untuk menjaga wilayah guna menambah semangat cinta tanah air. kegiatan ini sudah dirintis sejak 2013 dan dilaksanakan secara rutin dan kompak mulai tahun 2017.
WRINGINPUTIH
Ni Mas Roro Ayu: Tradisi Nembung Calon Nganten oleh: Jiyomartono Nurudin
Sebuah kebanggaan bagi para lelaki di manapun khususnya di Desa Wringinputih untuk bisa menikah dengan gadis yang berparas cantik, semampai, berambut panjang,bisa memasak dan mempunyai banyak anak. Dipagi hari yang cerah telah tersedia teh dan kopi beserta masakan denngan aroma yang menggoda dari hasil karya seorang istri pujaanya suara lembutnya menghampiri untuk mengajak sarapan bersama dengan kata “mas sarapane pun mateng” Sambil menunggu suaminya datang istri inipun masuk kembali ke ruangan untuk macak sehingga kelihatan lebih cantik didepan suaminya bersih bersih rumah halaman sudah dilakukan semenjak bangun pagi untuk bergerak badan agar tetap sehat dan langsing guna menjaga badan tidak melar apalagi dia sedang mulai hamil. Inilah gambaran sosok ni mas roro ayu yang jadi idola semua lelaki dan kebangggan keluarga, seseorang yang memenuhi kriteria jawa wanita harus bisa masak, macak, manak. Suaminya datang di tempat sarapan dengan penuh ceria apalagi disambut kicauan burung perkutut kesayangannya yang menambah komplit suara alam pedesaan.
Di mas bagus, sang janoko Di sebuah dusun yang rindang penuh dengan pepohonan seperti bambu, kelapa, pisang pepaya ketela dan beberapa jenis palawija berdiri beberapa rumah yang asri, gagah , berasitektur jawa ada yang limasan, joglo, kampung sehingga kesan mrebawani dengan halaman yang agak luas menambah suasana yang menggambarkan jiwa pemiliknya inilah gambaran kampung Srigentan Wringinputih. Salah satu rumah ini adalah milik Bapak Widiyanto yang dulu swargi Bapaknya menjabat sebagai Sekretaris desa. Bapak Widiyanto merupakan sosok seorang yang sregep, rajin menuntut ilmu dan tirakat, kerja keras, srawung dengan siapa saja dan berhati lapang, beliau suka melindungi, mengayomi dan menolong sesama tanpa pamrih karena berpedoman pada empat kata yang bisa dikatakan pedoman sebagai lelaki, kata-kata ini bisa dikatakan mantra, pedoman hidup atau ajaran luhur, yang kalau dipraktekan akan membentuk sosok dimas bagus, sang Janoko, berkarakter kuat ,tak akan lekang oleh panas dan hujan walaupun hujan badai. Bunyi ajaran ini : “ ing pamrih rame
ing gawe” yang artinya Orang yang banyak diam, banyak isinya. Bagi orang tua yang anaknya menginjak dewasa, mereka mengimpikan tokoh idaman ini menjadi miliknya guna untuk melestarikan generasi keluarganya untuk mendapatkanya perlu perjuangan yang tidak mudah, mereka harus mengatur strategi, mengatur waktu untuk memulai pembicaraan tentang hal ini medayoh, badan, datang di tempat memantu merupakan media yang paling efektif. para orang tua berkumpul ngobrol saling menayakan kabar dan anaknya, sesekali guyonan bagaimana kalau kita besanan. Suatu malam tiba asari bertamu ke pak Dimyati asari : kulo nuwun.... Dimyati membuka pintu dan menucapkan : monggo....,kok janur gunung kang...ono opo Asari : yo ora ono opo opo ,mung ngejak anak lanang iki ben genah sedulure. Sebagai tuan rumah Bapak Dimyati akan menjamu ala kadarnya walaupun sekedar teh panas
Sambil saling menayakan kabar dan bicara yang membuat mereka kelihatan senang, sesekali tertawa membuat Pak Asari krasan atau betah. Disela-sela perbicangan munculah anak putri Pak Dimyati membawa teh panas dan menghidangkan ke meja sambil melirik anak lelaki disamping pak Asari. setelah tamu pulang putrinya Pak Dimyati bertanya pada ibunya : sopo kae bu? Ibunya menjelaskan dengan detail siapa anak lelaki tersebut karena melihat anak perempuannya tertarik. Beda dengan bulan lalu waktu ada tamu putrinya tidur dikamar tidak mau keluar.
WRINGINPUTIH
Pengobatan Tradisional oleh: Jiyomartono Nurudin
Sebagian besar masyarakat Desa Wringinputih masih percaya kepada orang pintar atau wong tuo atau orang yang berilmu dengan ilmu kebatinan. Inilah tradisi mengobati yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Mereka mendapatkan ilmu ini dengan cara melakukan laku dan tirakat. Mereka berguru kepada orang yang ahli. Orang jawa atau kebatinan jawa ini menganut paham aliran sunan wali songo yaitu Sunan Kalijaga. Seperti yang dilakukan oleh Bapak Kasno 63 tahun, beliau tiap malam hampir tidak tidur untuk terus belajar dan menghapal ajaran dan mantra atau rapalan dari gurunya. Beliau berguru kepada seorang Kyai yang bernama Kyai Ahmad Sauni dari kauman Desa Kembanglimus. Setelah melalu ujian yang sangat berat seperti contoh diperintahkan jalan pada saat dini hari. Akhirnya Bapak Kasno ini bisa mendapatkan ilmu kebatinan. Setelah itu, pada saat gurunya meninggal, ilmu kebatinan gurunya juga masuk ke dalam tubuh Bapak Kasno melalui cahaya yang keluar dari wajahnya ketika akan dikubur. Bapak Kasno juga mendapatkan transfer ilmu dari kuburan belakang Masjid Kauman, ssat dia berada di makam tersebut, ada cahaya neon yang masuk ke dalam mulutnya. Lalu mendapatkan transfer ilmu juga dari seorang cikal bakal Desa Kembanglimus yaitu si Mbah Kyai Limus berupa asap putih yang masuk ke dalam kepalanya.
Kemudian beliau juga ditemui pepunden dari Desa Wringinputih yang disebut si Mbah Ronggo yang dimakamkan di kembanglimus. Saat ini, banyak orang yang datang ke Bapak Kasno untuk meminta pertolongan seperti, meminta tolong untuk mencari hitungan hari baik untuk mendirikan rumah atau ngeslupi rumah, meminta pertolongan untuk menghitung hari dan pasaran saat orang akan menikah, meminta pertolongan uuntuk mengobati orang sakit. Caranya adalah Bapak Kasno akan berdoa kemudian memberikan air kepada orang yang sedang sakit dan akhirnya orang tersebut akan sembuh. Ini yang disebut dengan suwuk, dan meminta pertolongan tentang masalah rumah tangga dan asmara. Selain itu, ada juga orang pintar yang bisa mengobati orang yang digigit binatang buas atau berbisa. Dengan cara membacakan doa dan rapalan kemudian ditiupkan ke air putih dan air tersebut diusapkan ke area tubuh yang terkena bisa, maka bisa ini akan hilang. Beliau bernama Bapak Jamil berusia 65 tahun. Di Dusun Bojong juga ada seorang ibu yang bernama Mbok Gimah. Beliau juga mempunyai keahlian kebatinan yang dipadukan dengan keahlian pijat. Mbok Gimah ini juga sering diminta untuk melakukan pengobatan dengan cara pijat lalu mengambil bisa binatang berbisa di tubuh korban.
Di Dusun Ringinputih juga ada seorang ahli pijat yang terkenal untuk mengobati orang sakit. Selain dengan jopomontro beliau memijat semua anggota badan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Beliau bernama Bapak Dahlan, dia juga ahli kebatinan dan sering mempraktekkan kidung kidung jawa dari mocopat. Beliau juga orang yang mengetahui tentang tolak bala dari guna – guna. Di Ringinputih kidul ada seorang tukang pijat yang mengobati capek, seorang wanita muda yang bersama Ibu Yahmi (35 tahun). Di Dusun Jetisgayu ada si Mbah Sri berusia 70 tahun, sering menolong orang yang ingin melahirkan dan memijat pasca melahirkan termasuk noto weteng. Bisa juga memijat orang stroke dan juga mengatasi masalah anak – anak balita. Contohnya kalau anak sering rewel dan menangis atau terkilir maka beliau bisa memijat untuk mengobatinya. Beliau juga sering memimpin acara ritual puputan. Di Dusun Brongsongan ada pengobatan dengan cara pijat dengan cara tabib oleh Bapak Slamet. Bapak Slamet ini dapat memijat semua kalangan usia dari mulai bayi hingga dewasa
WRINGINPUTIH
Petilasan oleh: Jiyomartono Nurudin
Didekat pertemuan dua sungai yang legendaris sungai Progo dan sungai Tangsi terdapat sebuah dusun yang bernama Bojong,sungai ini merupakan jalanya alat transportasi Gethek ke magelang,sepertti yang di tuturkan Mbah Darso (75 tahun) menceritakan dulu jamanya simbah kalau ke magelang naik gethek dari sini.aliran sungaai yangg tenang dan belokan arah arus air membuat battu baatu kkecil daann paasir menumpuk ditambah waktu banjir yang membawa batu dan pasir dari hulu sunga lamam kelamaan terbentuklah Klatakkan. Disinilah awal mereka menaiki gethek unttuk menuju tempatt lain. Klatakaan ini membawa berkah bagi penduduk Bojong karena mereka bisa mengambil batu batu kecil ini untuk dipecah lebih kecil kemudian dijual sebagai bahan cor bangunan.beruntung kami bertiga berpapasan dengan seorang yang sedang menyunggi battu untuk di bawa pulang dan kami sempat ngobrol dengan beliau,ternyata beliau seseorang yang sangat penting di dususn Bojong karena beliau merupakan keturunan langsung dari cikal bakal tokoh yang disegani yang bernama simbah Kerto Menggolo keturunan sunan Amangkurat 3 dari solo.
Dulu petilasan kelurga beliau ada satu rumah Joglo yang sekarang telah dijual. Simbah Kertomenggolo mempunyai kesaktian yang luar biasa, punya banyak pusaka, pusaka yang paling dikenal masyarakat adalah pusaka kyai Kasur,beberapa kuda peliharaan yang biasa untuk berkelana. Jejak jejak kesaktian beliau yang masih bisa di saksikan berupa sendang Malih rupa yang masih ada hingga saat ini.
WRINGINPUTIH
Petung dan Pranotomongso Jowo oleh: Jiyomartono Nurudin
“Sak begjo begjone wong kang lali , luweh bejo wong kang eling lan waspodo” Ungkapan ini sangat cocok untuk menggambarkan orang jawa daalam hal bertindak harus tetap hati hati ,tetap ingat kepada tuhan agar dapat keberuntungan dalam hidupnya.menurut Bapak Kasno 63 tahun mengibaratkan bahwa segala kegiatan hidup ini seperti orang berdagang,semua ada hitunganya,semua pedagang berharap untung bukan buntung,maka semua kegiatan kehidupan ini terutama hal hal yang berhubungan dengan hari dan saat pelaksananpernikahan, pembangunan atau ngeslupi rumah harus benar benar di persiapkan dengan hitungan hari jawa. Prinsip perhitungan hari adalah angka hari ditambah pasaran dibagi 3 maka akan ada kemungkina hasi : kosong ,sisa 1 atau sisa 2 Begitu juga dengan caalon pasanggan hidup jumlah neton caalon pengaantin laki laki ditambah jumlah neton perempuan dibagi 3. Gambaran hitungan jumlah hari dan pasaran:
Jawaa mempunya iklim tropis yang berakibaat mempunyai ddua musim yaitu mussim hujann dan mus-
sim panas yang dalam bahasa jawa musim ketigo dan musim rendeng.dalam rentan waktu atau hari hari dalam dua musim tersebut memiliki intenssitas panas matari dan curah hujan yang berbeda karena awal musim hujan contohnya curah hujan tidak akan sama di pertengahan atau diakhir musim .Untuk bercocok tanam untuk mengetahui tanda tanda alam terutama panas matahari , hujan yang akan mengakibatkan kondissi tanah , perkembangan pertumbuhan ,perkembangan binatanng yang hidup didalam tanah maka masyarakat jawa memiliki perhitungan yang di sebut pranoto mongso. Praanoto mongso ini berrjumlah 12 sama dengan jumlah bulan ,namu lam atau jumlah hari tidak sama,awal dan akhir dari satu pranoto mongso sama ,berlaku hingga saat ini.dan adapun kalau ada hujan yang ddiluar pranoto mongsso maka masyarakat jawa mengatakan hujan salah mongso dan ini pun belum tentu baik untuk mengawali aktivitas bercocok tanam.ada ungkapan lain jika terjaadi kemarau panjang terutama sampai lebih 3 bulan dari biasanya maka disebut ketigo kembar,ini juga berlaku jika hujan sampai lebih 3 bulan dari biasanya maka disebu rendeng kembar. Daari sejarahnya Mengenai pranoto mongso ini, saya akan memasukkan sumber aslinya, yaitu kitab
mingggu senin selasa rabo kamis Jumat Sabtu
5 4 3 7 8 6 9
Pon
Wage
kliwon
Legi
7 13 11 10 14 15 13 16
4 9 8 7 11 12 10 13
8 13 12 11 15 16 14 17
5 10 9 8 12 13 11 14
primbon ”Qamarussyamsi Adammakna”; Pranata Mangsa puniku petangan mangsa wawaton lampahing suz. Petangan punika dede barang enggal, wiwit kina-makina inggih sampun wonten. Ing taun masehi 1855 potongan wau kabangun malih saking mangsa kasa (mangsa 1, dhawah ing suraya 22 juni 1855. menggah jengkapi sataun wonten ing wekasaning mangsa : Sadha (mangsa 12), dhawah surya 20 juni 1856. Dados pranata mangsa taun : 1 jangkep umur dinten. Peteangan taun pranata mangsa wau, manawi dhawah taun wastu (taun lak) umur 365 dinten (mangsanipun kawolu umur 26 dinten), dene dhawah taun wuntu (taun panjang), umur 366 dinten dene pratelan kados ing ngandhap punika. Pranata Mangsa diambil dari sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium Radya-Pustaka. Menurut sejarah, sebetulnya baru dimulai tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII, yang memberi patokan bagi para petani agar tidak rugi dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1855 titik balik matahari pada musim panas, penanggalan ini dipakai di daerah tropis seperti di jawa dan bali.
pahing 9 14 13 12 16 17 15 19
Tabel pranoto mongso
nama
mulai
Berahir
Jumlah hari
Tanda
kasa
22 Juni
1 Agustus
41
Para petani membakar dami (batang pohon padi) yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija. sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
karo
2 Agustus
24 Agustus
23
Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak). Musim kapuk bertunas tanam palawija kedua.
ketigo
25 Agustus
17 september
24
Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran). Musim ubi-ubian bertunas panen palawija.
kapat
18 Sepetember
12 oktober
25
Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber). Musim sumur kering, kapuk berbuah, tanam pisang. . Pada masa ini kemarau berakhir.
kelimo
13 Oktober
8 november
27
Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.
kanem
9 November
21 desember
43
Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan). Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.
kepitu
22 Desember
2 februari
43
Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit). Musim banjir, badai longsor mulai tandur.
kewolu
3 Februar
28 februari
27
Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin). Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.
kesongo
1 Maret
25 maret
25
Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara). Musim padi berbunga, turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.
desedoso
26 Maret
18 april
24
Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil). Musim padi berisi tapi masihhijau, burung-burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.
dhesto
19 Apri
11 mei
23
Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan). Masih ada waktu untuk palawija, burung-burung menyuapi anaknya.
sodho
12 Mei
21 Juni
41
Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin). Musim menumpuk jerami,tanda-tanda udara dingin di pagi hari.
WRINGINPUTIH
Mistery of White Banyan “Wringin Putih”: Topeng Ireng oleh: Jiyomartono Nurudin
Today, August 17th, sore ini, kami bertiga janjian ketemu di “base camp” rumah teman, rumahnya besar ada pendoponya, maklum “juragan telo” di dusun Srigentan, Wringinputih, Borobudur. Saya sendiri tidak tahu apa maksud dan tujuan undangan ini. Sesampainya di basecamp sudah ada Bapak Irfan dan tuan rumah bp Nurudin, sesaat kemudian datang temanya mas Nurudin yang ikut gabung dengan kami. Setelah ngobrol ngalor ngidul, saya baru tahu ternyata beliaunya ini adalah Bapak Slamet, seorang seniman yang sangat mencintai seni khususnya Topeng Ireng. Dari beliau inilah kemudian kami belajar dan menggali kesenian Topeng Ireng dan inilah hasil ngobrol kami bertiga dengan bp Slamet yang dikenal dengan sebutan Bapak Slamet Osela. 1.
Cikal bakal
Narasumber kami kali ini adalah seorang petani, sebagai penjahit dan pandai membuat kranjang, tinggal di dusunl Sri Gentan, kira kira 4km sebelah barat candi Borobudur. Disela sela kehidupanya
sebagai petani, beliau menyempatkan waktu untuk belajar kesenian Topeng Ireng di tetangga desa Ngadiwinatan yang jarak dari rumahnya kira kira 5km. Setelah dirasa cukup menimba ilmu dan karena rasa cintanya pada kesenian Topeng Ireng, beliau mulai memperkenalkan dan mengajarkan pada masyarakat dikampungnya sekitar tahun 2000. Karena antusias dan semangat warga dalam berlatih, satu tahun kemudian kesenian rakyat ini diresmikan dengan nama kesenian “Anak Rimba” . Seiring dengan berjalanya waktu, kesenian “Anak Rimba” ini akan di ikutkan tampil dalam perlombaan kesenian rakyat, untuk memenangkan perlombaan ini sang perintis membuat ‘desain kostum penari’ yang lain dari kostum yang umumnya dipakai yang dijahit sendiri. Dari kekompakan dan semangatya yang tinggi, “Anak Rimba” akhirnya nenunai hasil dapat memenangkan perlombaan sebagai juara pertama dan semakin terkenal, sampai sang artis Titik puspa tertarik untuk menampilkanya di Istana Negara dan beberapa hotel dijakarta. Bahkan Ibu Titik Puspa juga pernah pesan dibuatkan beberapa “kuluk”
untuk group kesenianya “Puspa Rimba” yang akan pentas di Eropa. 2.
filosofi
Ketika kami menanyakan maksud tujuan mendirikan kesenian ini, dan untuk apa?. Dengan berapi api, beliau menuturkan : selain sebagai hiburan, kesenian ini hanyalah media yang mudah untuk mengumpulkan warga, setelah kumpul kemudian diberi pitutur dalam bentuk gerak dan tembang. Jadi semua tembang atau lagu yang dinyanyikan selama pentas ini adalah tentang pitutur luhur. Pementasan One day, saya dapat info dari tetangga yang jualan penthol bakso keliling, aka ada pentas anak rimba di dusun Sri Gentan. Saya tertarik untuk menonton, lalu saya tanyakan dirumah siapa, dalam acara apa? dia menjawab dirumah p. slamet akan mantu/ngrabek ke anake, nggilirke kesenian anak rimba. Pada waktu berangkat nonton, saya ngajak anak karena mau jajan dan istri saya pesan dibelikan geblek untuk dibawa pulang. Ditengah perjalanan
sudah terdengar suara jedor, bendhe dan seruling. Sesampainya di tempat pertunjukan sudah ramai dan meriah, banyak anak anak, orang dewasa, dan orang tua, disudut sudut halaman rumah dan pinggir jalan juga banyak orang berjualan makanan, mainan dengan menggunakan alat penerang teplok. Ini benar benar hiburan rakyat yang murah meriah. Karena sudah kenal dengan yang punya hajat, saya menemui bp Slamet untuk melihat lihat persiapan para penari di dalam rumah. Saya menyaksikan para penari lagi sibuk merias untuk persiapan tampil, ada yang sedang merias wajah dengan bedak warna hitam dan dicoret coret warna putih dan merah seperti orang dayak/pedalaman, maka masyarakat menyebutnya ndayakan, terus berganti sebutan topeng ireng. Sebagian penari sibuk memakai mahkota dari bulu enthok dan bulu ayam jago yang disusun rapi yang disebut “kuluk”. Tiba tiba seseorang datang ketempat rias dengan membawa dos besar sepertinya berat sekali, ternyata setelah dibuka berisi aksesoris, hiasan seperti badhong, borci dan klinting’ kemudian saling berebut untuk memakainya karena sudah terdengar suara peluit yang ditiup oleh komandan anak rimba. Kepala
suku mulai mengatur barisan anggotanya untuk siap siap keluar sambil komat kamit membaca do’a. Di arena pertunjukan penonton sudah berjubel, tidak sabar menanti keluarnya penari, sehingga keamanan / hansip meminggirkan para penonton yang menutup akses jalan penari. Sesaat kemudian, komandan menyanyikan lagu “selamat datang” pertanda pentas anak rimba segera dimulai dan siap menghibur masyarakat. Semua mata penonton tertuju ke pintu masuk arena pentas, karena tidak mau terlewatkan tampilan para penari pada waktu memasuki arena pentas. Dengan terdengarnya lagu “selamat datang” yang kedua kali para penari yang berjumlah 12 orang memasuki arena pentas. Dengan semangat komandan menyanyikan lagu lagu pengiring tarian yang pada intinya mengajak kerukunan dan kebaikan. Jenis dan ragam gerak tari dipimpin oleh kepala suku sesuai dengan lagu yang didengungkan. semua penonton terpesona dengan tari tarian yang ditampilkan, tidak terasa tarian babak pertama sudah berakhir dan para penari kembali ke ruang rias. Kemudia kepala suku menemui komandan kesenian untuk persiapan ritual babak
selanjutnya dengan rapalan do’a “tunggal guru ojo ngganggu, tunggal konco ojo nggoda” karena babak ini akan menampilkan tarian yang dapat membuat orang termasuk penonton ndadi. Tidak lama kemudian komandan menyanyikan lagu “kewan kewanan” yang dibarengi masuknya kepala suku dengan membunyikan pecut yang di ikuti para penari dengan kostum berbentuk hewan, seperti singa, harimau, kuda, kerbau dan sapi. Mereka menari sesuai kostum hewan yang dipakai, kepala suku digambarkan sebagai penggembala atau penakluk hewan hewan tersebut. Ada kejadian aneh salahsatu penari keluar dari arena dan susah untuk digiring masuk ke arena karena mempunyai kekuatan yang lebih, bahkan ada yang minta makan kembang, inilah suasana para penari sudah kesurupan dan akan di jinak kan “ditambani” agar sadar kembali. Dengan terdengarnya lagu “Gilang sepatu gilang” pertanda pertunjukan kesenian anak rimba sudah selesai.
WRINGINPUTIH
Cara Panen Padi di Desa Wringinputih oleh: Jiyomartono Nurudin
Suatu hari sekitar jam 11 pagi kami, Nurudin dan Irffan Andi Jatmiko menelusuri jalan setapak yang penuh dengan semak belukar di bawah pohon bambu yang rindang. Sebagian bambu itu ada yang ditebang belum lama, sehingga menyisakan dahan dan ranting yang masih berserakan. Ada perasaan takut jika kaki terluka, selalu was-was jika ada ular berbisa yang konon tempat ini masih menyimpan misteri ular besar yang bisa muncul setiap saat. Untunglah di tengah perasaan yang tidak menentu tersebut dari arah depan muncul sosok seorang bapak-bapak tua yang sedang menyunggi rumputnya dan menyapa kami. Namanya Pak Sugeng (60). Perjalanan dilanjutkan dengan sangat hati-hati karena banyak rumput dan ilalang yang menutupi jalan setapak sampai sampai kami harus berhenti untuk memastikan kami menginjak jalan yang tepat jangan sampai kejeblos di lubang tikus atau lubang ular. Sepuluh menit sudah terlewati dan akhirnya tiba di pematang sawah yang pemandanganya sangat bagus, padi menguning dan suara ibu-ibu yang sedang memanen padi dengan satu alat yang
disebut ani-ani. Melihat alat ani-ani ini teringat cerita pada tahun 2000 saat saya ditanya wisatawan dari Prancis apa nama hiasan rambut atau jepit orang desa yang ditaruh di atas gelungan dan dimana belinya? Saya tertawa lha wong ani-ani kok dikiro jepit rambut? Maklum rata-rata wanita desa punya rambut panjang, untuk menjaga rambut tidak rusak dan leher tidak gerah maka rambut diikatkan atau digelung dan jika pergi ke sawah untuk memanen padi, ani-ani ini ditancapkan di rambut. Hal ini dimaksudkan agar lebih praktis karena mereka membawa bekal, peralatan untuk menampung atau membawa padi semacam liri dan tenggok, sedangkang ani-ani ini jika dibawa dengan tangan takut melukai jari atau melukai orang lain karena ada mata pisau kecil yang sangat tajam. Kami beristirahat di galengan yang nyaman untuk duduk santai dengan kaki menjuntai, galengan ini setinggi 50 cm berfungsi sebagai batas kepemilikan sawah juga sebagai jalan para petani. Sawah yang subur ini membuat galengan ditumbuhi rumput
seperti karpet hijau. Dari kejauhan ada kakek-kakek yang berumur 85 tahun dengan sangat hati-hati berjalan di atas galengan yang sempit berukuran kurang dari 10 cm. Namanya Mbah Warso. Beliau berjalan dengan sangat yakin, tidak takut terpeleset, terlihat sekali beliau bisa menjaga keseimbangan badannya walaupun tangan kanannya digunakan untuk membawa sebilah sabit yang sangat tajam dan di tangan kirinya membawa 2 bilah kayu berupa potongan kayu kecil sepanjang 10 cm dan sepotong bambu yang pecah 50 cm. Kami yang muda memberi salam lebih dulu kepada yang lebih tua dengan ucapan, “sugeng enjing“ yang berarti selamat pagi. simbah ini punya kebiasaan yang khas sebagai orang tua di desa, beliau memakai caping dari bambu yang sudah compang-camping atau hampir rusak seperti tinggal sepertiga bagian. Sudah berubah warna jadi hitam kena panas matahari dan air hujan. Ini merupakan bukti bahwa simbah ini sering atau hampir tiap hari berjalan di sawah diterik matahari yang menyengat. Sehingga beliau tetap sehat dan
kuat. Mbah Warso merokok dari racikannya sendiri. Rokok racikannya, menghasilkan aroma asap rokok yang khas, jadi kemanapun simbah ini pergi di saku celana kombor hitamnya ada plastik lungset yang berisi tembakau, kemenyan, klembak, cengkeh dan korek. Setelah menjawab salam kami beliau jongkok untuk melihat dan mengamati sawah miliknya. Sepasang mata beliau yang masih awas dan jeli menatap di pojok sawah yang penuh dengan burung pipit sedang makan padi. Beliau langsung berdiri, meletakkan sabitnya di tanah, tangan kanannya memegang kayu kecil dan tangan kirinya memegang bambu yang pecah. Tangannya mengayun dengan kuatnya untuk menabuh bambu ini sehingga ke luar suara thek-thek yang keras sampai-sampai kami kaget dan mengakibatkan semua burung pipit kabur, beterbangan. Beliau menghela napas lega dan meletakkan kayu dan bambu yaang digunakan untuk mengusir burung pipit. Duduk dengan santainya, mengeluarkan sesuatu
dari saku celana hitam yang sudah berubah warnanya. Ternyata kami diajak nglinting dengan tembakau hasil panennya sendiri di tahun lalu. Karena kami tidak merokok kami mencoba ngelinting tapi ditertawakan karena tidak bisa. Kemudian beliau memberi contoh nglinting dengan meletakkan kertas atau garet di atas jari kaki, kertas dilipat sedikit, kemudian mbetot tembakau satu genggam lalu dihirup dulu untuk memastikan rasa tembakaunya. Setelah itu ditaruh di atas kertas ada sebongkah batu berwarna putih yang beliau keluarkan kemudian digerus pakai pisau kecil, ditabur di atas tembakau, karena penasaran kami bertanya “Apa itu mbah“ “Kemenyan, kemenyan ini ditambah klemblak dan cengkeh biar mantap rasanya,” kata Mbah Warso menjelaskan. Setelah semuanya diracik kemudian digulung dengan kedua telapak tanganya yang terampil, setelah itu ujung pinggiran kertas ditempelkan di lidah untuk membasahi dan berfungsi sebagai
perekat seperti lem. Rokok sudah di mulut simbah, namun beliau masih sibuk berdiri dan tangannya dimasukkan ke kantong celana. Sibuk mencari sesuatu seperti ada yang tertinggal. Lama beliau mencari sesuatu di celananya namun barang yang dicari tidak ketemu, kemudian beliau berjalan balik arah dengan pandangan menatap ke bawah, beberapa meter kemudian beliau menemukan benda yang dicari.
suro, sudah susah payah wawancara, tetapi diminta untuk menghapus.
Kami bertanya : nopo mbah?
30 kg. Beliau juga memelihara beberapa kambing sebagai tabungan yang sewaktu waktu bisa dijual untuk keperluan keluarga seperti, kenduri, selamatan, memperbaiki rumah.
Simbah menjawab : iki lho senjatane ketemu. kami bertanya kembali : Senjata nopo mbah? simbah kembali menjawab : “Senjatane wong udud kuwi erek, elek elek koyo negene iki nek ora ketemu yo oraa iso udud, podho wong urip nek ra duwe senjata yo cotho” Kemudian kami minta izin untuk mewancarai dan mendokumentasi, karena kalau kita mendokumentasi tapi kalo orangya tidak berkenan kita akan malu dan sia-sia, ini yang terjadi pada penggalian data sebelumnya di acara jamasan satu
Maka agar tidak terjadi kesalahan lagi kami memohon izin dan syukurlah simbah ini bersedia. Kami bertanya tentang tanaman padinya. Simbah yang garap sendiri walaupun punya anak dan cucu yang lebih kuat untuk bertani di sawah. Namun, beliau tetap bertani, mencangkul, merumput dan membawa hasil rumput yang beratnya lebih dari
Orang tua di desa seperti simbah ini tidak punya pensiun atau tabungan atau rekening bank maka ada tradisi atau kepercayaan kalau anak-anaknya sudah berumah tangga orang tua akan memberikan pusaka rumahya pada anak laki-laki yang ragil dan orang tua tinggal bersamanya. Ketika kami bertanya, kapan padinya akan dipanen, beliau menjawab dengan dahi berkerut. Seperti berpikir dan mulut komat-kamit mengucapkan kata
kata asing yang belum pernah kami dengar, jari-jari bergerak seperti anak kecil berhitung. Kemudian beliau menjawab: “Rabo Pon,mengko nek Rebo Pon kui parine bobot tur keket, nek panen kui ono itungane dino. Ongko dino biasa dijumlah karo dino pasaran, terus dietung :suku, watu, gajah, buto” Nek tibo suku: okeh kesel Nek tibo watu: bobot tur keket Nek tibo gajah: gede-gede Nek tibo buto: bar panen cepet entek Ternyata ketika komat kamit itu, beliau baca: suku wattu gajah buto Dan jarinya menghitung ittu untuk menghitung angka di hari biasa dan hari pasaran. Setelah mendapatkan informasi tentang hitungan hari dan pasaran ini kami mengunggah di grup WA dan ada beberapa yang komentar dan juga ada yang bertanya tentang hitungan: suku watu, gajah, buto ada yang berdebat bahwa yang benar bukan
kata “suku” tapi luku. Dan ada yang menyangsikaan apa itu “suku’. Terlepas dari perdebatan di grup WA yang notabene orang orang cerdas dan berpendidikan kami tetap menulis kat “suku” yang disampaikan Mbah Warso. Kalau yang benar “luku” mungkin karena Mbah Warso sudah sepuh jadi pengucapanya kurang jelas jadi terdengar “suku”.
WRINGINPUTIH
Kerajaan Danyang oleh: Jiyomartono Nurudin
Menurut Bapak Kasno 63 tahun, di aliran sungai tangsi di sebelah barat laut ada jembatan yang namanya jembatan bonjok. Disitu, tiap hari Jumat Paing, banyak orang melintas dan membuang kembang guna amit – amit sama penunggunya. Penunggunya ini para danyang, danyang danyang ini semacam makhluk halus yang sering meminta tumbal, maka disitu sering terjadi kecelakaan maut sampai mati. Menurut cerita seorang bernama alm Bapak Cholil, dulu pernah bertamu disitu, dan di tempat itu kelihatan istana atau rumah besar. Maka beliau masuk meminta makan dan uang saku mau menonton pertunjukan, kemudian beliau diberi uang saku dan disuruh makan dulu. Orang yang memberi uang saku tadi berpesan, kalau nonton jangan sampai terlalu malam. Menurut rakyat sekitar, jika ada kecelakaan dan orang mati disitu, karena danyang nya minta teman atau tumbal. Setelah orang mati disitu, bisa diartikan penduduk danyang bertambah. Di tempat tersebut, di malam tertentu juga sering terdengar pertunjukan wayang atau karawitan. Penunggu Tempat Sakral Di aliran sungai tangsi, yang begitu indah dan aliran air nya tidak begitu deras ada sebuah Gedung di sebut tretes. Tempat ini favorit bagi para pemancing
untuk mendapatkan ikan yang diharapkan. Para pemancing yang biasa mereka menndapatkan ikan cuma 1 atau 2 tidak terlalu banyak, tetapi untuk orang tertentu yang tau ada yang mbaurekso mereka akan meminta izin untuk meminta ikan, maka si mbaurekso akan membukakan jalan dimana tempat ikan berkumpul atau mereka akan diberikan, jadi orang bisa mendapatkan ikan lebih banyak sesuai yang diinginkan. Nama si mbaurekso adalah Mbah Juremi, ada keturunan anak cucunya yang sering menyelam dan minta ikan disitu, seperti bapak Mufid dari Dusun Karangjati. Bapak Mufid ini selain pintar menyelam dia juga bisa berkomunikasi dengan mbaurekso, keahlian beliau sering digunakan menolong orang lain contohnya menyelam di sumur untuk mengambilkan barang yang jatuh di dalamnya. Tempat tretes ini juga sering meminta tumbal atau banyak orang yang mati contohnya anak kecil dari dusun lain dari Dusun Kiyudan berjarak sekitar 1km berumur sekitar 10 tahun tidak pernah mandi ke sungai tersebut, suatu saat beliau mengajak temannya untuk mandi di sungai tersebut lalu tenggelam dan mati. Di tahun 1994, suatu sore ada 2 orang dari jogja yang mau mincing di tempat itu, tiba tiba abis isya teman nya ke masjid untuk meminta tolong bahwa teman nya sakit keras dan dia minta tolong orang banyak untuk mengangkut orang tersebut
ternyata orang yang sakit tersebut meninggal di tempat sungai tersebut. Tahun 2020 juga ada orang yang meninggal disitu. Sekarang penunggu Kali Curi yang bernama Mbah Parjan, beliau adalah yang Mbhaurekso sebuah kolam kecil dipinggir sawah Dusun Srigentan, tempat di sekitarnya juga Wingit atau sangat berbahaya, kadang kadang ada ular besar datang, juga ada tempat tempat rumahnya atau istana para siluman ikan khususnya ikan lele. Disini ada danyang nya yang disebut Lele Truno yaitu seekor lele yang tidak ada dagingnya cuma kelihatan kepala dan tulangnya. Lele Truno ini sebagai pemimpin para lele – lele yang lain, jika dia berjalan maka akan diikuti di belakangnya dengan cara lele itu menggigit ekor lele yang di depannya. Jadi kalau lele truno ini sampai ditangkap orang maka dia minta dikembalikan, kalau tidak biasanya orang nya sakit atau meninggal. Kalau kita mau meminta ikan lele ini ke yang Mbaurekso dia akan menyuruh rombongan lele ini keluar dipimpin oleh lele truno kemudian kita memotong rombongan lele itu di belakangnya lele Truno. Yang sering meminta biasanya dari keluarga yang mbaurekso yang bernama Mbah Minto. Kejadian terakhir pada April tahun 2020 sebagian lahan di tempat wingit ini dijual ke orang asing. Waktu lahan ini
ingin diratakan dengan buldozer, alat tersebut mati dan tidak bisa jalan, lalu proyek tersebut tidak dilanjutkan. Ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa kalau kita mau mengerjakan tempat ada mbaurekso harus minta izin ke sesepuh setempat dan sesepuh tersebut akan meminta kan izin ke Mbaurekso. Petilasan Kyai Banyak Di sebuah desa yang tua, di tengah nya ada Danau Purba. Menurut penuturan Bapak Dahlan, Bapak Gujiadi, dan Bapak Dakelan. Ketiga tokoh ini merupakan tokoh – tokoh yang sering tirakat (semedi), berpuasa dan jalan jalan malam seperti ungkapan “Njajah Desa Melangkori”. Mereka menceritakan ada pusaka yang sangat sakti di Dusun Ringinputih dengan gambar banyak atau pamor banyak sehingga di Desa Wringinputih ini tidak diperbolehkan memelihara banyak (angsa) bahkan gambar atau motif pun tidak boleh, kalau ada yang memelihara membawa gambar akan celaka atau sakit bahkan meninggal. Ada suatu kejadian yang cukup menarik terkait pantangan angsa ini, ada seromboingan pekerja yang sedang membakar sejumlah batu bata yang tertata rapi dan kuat. Pembakaran batu bata ini membutuhkan waktu satu malam. disaat mereka lapar dan membuatuhkan makan, mereka mencari lauk dan
kemana-mana tidak ada satupun yang ditemui. Akhirnya mereka sepakat untuk menemukan seekor grati (persilangan angsa dan mentok) untuk dijadikan lauk makan malam. Ketika baru saja sampai, tiba-tiba batu bata yang sedang dibakar runtuh. Akhirnya sebagian besar batu bata menjadi rusak. Hewan grati yang hendak disembelih akhirnya dikembalikan kepada penjual. Akhirnya setiap ada penjual kain ataupun lukisan yang bermotif angsa tidak diperbolehkan masuk. Tempat tempat seperti ini ada di masing-masing dusun.