Rampai Cerpen Minggu - Agustus 2012

Page 1

Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan tehnik perekaman lainnya, tanpa seizin tertulis dari penerbit. Rujukan dari maksud Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan dan memperbanyak ciptaan pencipta atau memberikan izin untuk itu, dapat dipindana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

BUNGA RAMPAI Cerpen Minggu

Periode: 29 Juli --- 05 Agustus 2012


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Bunga Rampai Cerpen Minggu Periode: 29 Juli --- 05 Agustus 2012

All Rights Reserved Riset & Dokumentasi: Ilham Q. Moehiddin Gambar Sampul: Repro Pablo Picasso | OpenArt Gambar Belakang: Repro Erhard Lรถblein | OpenArt Desain: IFW ArtDesign

Agustus, 2012 x + 372 hal; 21 x 29,7 cm iv


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

bunga rampai cerita pendek yang sedang anda baca ini adalah kumpulan yang diriset untuk dokumenasi. tidak ada kepentingan lain, kecuali sebagai basis data semata.

v


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Daftar Isi g Pengantar | viii Dumilah dan Bayi Madu Ratna | 1 Peti Mati | 10 Sidomukti Ibu | 20 Lelaki Passampo Siri’ | 27 Madrasah, Rumah, dan Ziarah | 34 Gadis Terumbu Karang | 46 Anjing Langit | 57 Surat Pertama | 73 Madang | 84 Kota Orang-orang Bisu | 95 Dua Wajah Ibu | 103 Bapak Pucung-Man | 113 Kimat Lokal | 123 Dayang Rindu | 135 Satu Senja dan Hujan yang Pecah | 146 Kemarau di Musim Hujan | 157 Bisikan | 166 Menerka Sisy | 176 Musim Maling | 185 Pecah Mangkok | 195 vi


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tante Mia | 204 Bukan Gerimis yang Bertepi | 218 Hadiah Terindah | 228 Fortuna, Si Pembawa Sial | 234 Markum Mengejar Lailatul Qadar | 245 Arif Kontemplatif | 256 Malem Diwa | 270 Senja Terakhir | 278 Telapak Kaki Ibu | 289 Pencurian Apel | 300 Memeluk Sepi Danau Toba | 309 Budak Hitam | 319 Jibril di Kepala Afriani | 331 Surat Dari Wanita Tua | 341

Cerpen Anak Ayam Jago Kesayangan | 353 Hani Tidak Mau Mengaji | 359 Baju Lebaran | 366 Lampiran Data Cerpen di Media Minggu Ke-VI, Agustus 2012

g vii


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Pengantar o CERPEN-CERPEN minggu ini kian beragam gagasannya. Kendati tetap menyajikan cerpen-cerpen bertema sosial yang kuat dan hubungan kausal antara manusia, namun juga taklepas dari tema mistik dan agamis. Umumnya media masih saja gagap mengkurasi sebuah cerpen yang baik, tidak saja dalam artian gagasan di dalamnya, tetapi juga bagaimana cerpen itu dituliskan, dan sejauh mana pengetahuan teknis menulis si pengarang. Sehinggalah saat Anda membaca beberapa cerpen di himpunan cerpen media minggu ini, Anda akan menemui beberapa cerpen yang tak ditulis semestinya. Beberapa kekeliruan juga didapati pada ejaan (ejaan yang disempurnakan) dan penggunaan kata. Fenomena ini sesungguhnya menarik disimak. Di tengah pertumbuhan minat mengarang, media ternyata tak menyiapkan SDM yang tepat. Masih ada di desk sastra di beberapa media lokal yang tak merasa penting untuk ikut mencermati perubahan EYD, dan bagaimana teknis lainnya. Hal-hal yang berbau teknis memang akan sangat kentara memberi pengaruh pada mood baca ketika sebuah cerita sudah terpasang di media cetak. Jika henviii


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dak membicarakan mutu cerpen Indonesia, maka media juga harus ikut meningkatkan mutu cerpen yang mereka langsir. Paling tidak, media menahan diri untuk tidak memuat cerpen yang ditulis asal njeplak dengan bahasa acak kadut, kendati gagasannya bagus. Sebagaimana perkembangannya, kini cerpen telah menjadi media penyampai pesan yang baik, seperti halnya novel dan animasi. Banyak lembaga, untuk menegakkan misinya, mengadakan lomba mengarang cerpen, dengan tentunya menyisipkannya gagasan tertentu yang diemban lembaga bersangkutan. Selama tak merepetisi nilai-nilai positif dalam masyarakat, upaya-upaya tersebut perlu didukung dan dibantu. Tetapi, apa jadinya jika masih banyak pengarang yang tak tahu (atau, tak mau) mempertajam kemampuan teknis mereka dalam mengarang. Padahal, ide dan gagasan dalam mengarang bukanlah hal utama dan penentu satu-satunya. Kemampuan menulis dan menggunakan bahasa sebagai komunikator (pada pembaca) adalah satu kepiawaian yang mesti diasah. Bikin cerita itu mudah, namun masih sangat sedikit pengarang yang mampu menggunakan bahasa sebagai alat baginya untuk ‘‘memaksa’’ pembaca mengerti hal di sebalik ceritanya. Demikian. Salam. Penyusun

ix


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Jane Whiting Chrzanoska | Repro OpenART

x


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dumilah dan Bayi Madu Ratna Eka Handayani Ginting Published Š Harian Analisa, Minggu 05 Agustus 2012

1


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

RATNA masuk tergesa-gesa ke rumah Dumilah. Wajahnya marah dan memerah. Dia pitam. Di kamar dilihatnya Dumilah sedang menyusui seorang bayi, pasti bayi itu, bayi yang membuat hidupnya sengsara. "Berani sekali kau membawa bayi itu ke sini Dumilah!" Ratna membentak, membuat sang bayi menangis berteriak. "Kak Ratna‌" "Kembalikan bayi itu pada ibunya! Atau kau keluar saja dari kampung ini!" Ratna tak menurunkan volume suaranya. "Kak, apa salah bayi ini? Jika kakak tak menyukai ibunya, tak perlu membenci bayi ini juga!" "Banyak cakap kau Dumilah, benar-benar tak tahu diri. Kalau besok bayi itu masih di kampung ini, maka siap-siap kau kuusir dari rumah ini!" Ratna berbalik badan, dia tak ingin mendengar alasan apapun dari Dumilah. Dumilah telah salah, bagaimana bisa dia membawa bayi perempuan yang dinikahi almarhum kakak iparnya setahun lalu itu. Dumilah menghela nafas, dielusnya wajah bayi mungil itu. Bayi yang kurus karena kurang gizi, ibunya sakit-sakitan dan keberadaannya tak inginkan. "Tenang sayang, aku akan menjagamu. Ini adalah janjiku untukmu dan ibumu!" Dumilah membaringkan bayi itu di samping bayinya sendiri. lalu mereka bertiga lelap.

2


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"DUMILAH, kau telah membuat Kak Ratna marah, orangorang kampung tau, kau yang bawa bayi itu ke sini. Sudahlah, kembalikan saja bayinya!" itu suara Darman, suami Dumilah. "Tapi mas, Cuma padaku saja bayi ini mau menyusu, selain itu ibunya juga sedang sakit, apa kau tak punya iba sedikitpun?" "Dumilah, tak sadarkah kau siapa yang selama ini memberi nafkah kita? Ladang siapa yang kita pakai gratisan itu? Rumah siapa yang kita tempati ini? Jangan mendatangkan masalah baru, aku mau kau pulangkan bayi itu pada perempuan sundal itu!" Darman berkata ketus, wajahnya menunjukkan bahwa dia kehilangan simpati pada bayi yang sedang lelap bermimpi. Darah daging abangnya sendiri. "Mas, kau mulai ikut-ikutan mereka. Dik Sita bukan perempuan sundal, abangmu sendiri yang menikahinya! Apa sekarang kau mau menyalahkan perempuan itu setelah abangmu mati dan kau bergantung hidup pada istri tua-nya?" "Sudah Dumilah, cukup! Aku tak mau mendengar apa-apa lagi, malam ini kembalikan bayi itu pada ibunya!" Darman keluar dari rumah, ditinggalkannya Dumilah yang menangis bersama kedua bayinya.

MALAM hujan. Dumilah sedang menyiapkan beberapa celana panjang untuk bayinya, dingin akan membuatnya sering ngompol. 3


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Assalamu’alaikum." suara perempuan terdengar dari luar. "Wa’alaikumsalam, masuk saja." ujar Dumilah. Dia melangkah menuju pintu. Di sana wajah itu muncul, wajah kurus yang kuyup kedinginan. Dia menggendong bayinya dan menatap Dumilah dengan senyuman. "Sita? Bagaimana kau bisa sampai kemari?" ini untuk pertama kalinya mereka berbicara. Selama ini Dumilah hanya mendengar cerita tentang Sita, gadis muda yang dinikahi kakak iparnya. Dia juga pernah beberapa kali melihat perempuan itu di pasar, tetapi tak pernah ada tegur sapa. Apalagi Ratna sangat membenci Sita yang dinikahi diam-diam oleh suaminya. "Ah ya, duduklah!" Dumilah akhirnya teringat bahwa mereka hanya berdiri mematung sejak tadi. Dia beranjak ke belakang, mengambil kain dan handuk kering. "Ini, keringkan badanmu, biar aku menggendong bayimu!" diraihnya tubuh mungil yang mendekap di gendongan Sita, ringan sekali, bayi itu kurang gizi. "Bayimu sakit?" tanyanya. "Aku yang sakit Mbak, sejak meninggalnya Bang Darto, kami

dikucilkan,

Mbak

Ratna

sering

menyuruh

orang

mengganggu kami, aku sudah tak sanggup Mbak.." perempuan itu menangis. Bayinya terbangun, Dumilah coba mendiamkan, "Mungkin anak ini haus, beri dia ASI-mu!" Sita menggeleng.

4


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Sudah sebulan dia tak mau menyusu padaku, jadi ASInya kering. Dia juga tak suka susu formula, makanya aku bingung Mbak." Dumilah tertegun, pasti Sita depresi karena ditinggal Bang Darto. Makanya bayinya tak mau menyusu. "Jangan terlalu banyak menangis, bayi ini sangat tergantung padamu. Apa yang kau rasakan juga dirasakannya, kau tahu kan? Jika kau menangis, dia pasti rewel, sebab itulah air mata seorang ibu tak boleh jatuh ke tubuh bayinya." Sita mengangguk, dia menghapus air matanya. Sambil menggendong bayi Sita yang menangis, Dumilah ke dapur dan membuat segelas teh panas. Diberikannya gelas itu pada Sita. "Bayi ini, biasanya kau beri makan apa?" tanyanya. "Nasi Mbak, nasi putih yang kukunyah." "Bayi ini masih tiga bulan Sita, kasihan sekali melihatnya sekurus ini." Dia meraih kancing dasternya, lalu mencoba menyusui bayi itu. "Bismillah.." desisnya dan bayi itu pun menyusu dengan lahap sampai ketiduran. Kedua perempuan itu diam. Hujan di luar masih deras. Untung saja Darman masih di luar. Dia terbiasa pulang tengah malam dari kedai tuak. Kalau tidak, entah apa yang akan dilakukannya pada perempuan malang itu.

5


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Bawalah payung itu agar kau tak kehujanan, sebentar lagi mungkin suamiku pulang!" Dumilah melirik jam dinding, pukul 10.55 malam. "Tinggalkan bayi ini padaku, biar aku yang menjaganya sampai kau sembuh dan dia cukup sehat untuk kembali padamu." sejak menggendong bayi itu dan merasakan hatinya hangat, sejak itu pula dia merasa, Tuhanlah yang mengirim bayi itu padanya.

SUAMINYA kembali dalam keadaan mabuk berat, selalu begitu setiap masalah mengisi rongga otaknya. Pelarian satusatunya hanya pada kedai tuak. Percuma saja dulu pernah dikuliahkan sampai menjadi sarjana, otaknya tetap tumpul. Dumilah memang hanya lulus SMA, tetapi cukup arif menyikapi hidup dan menghadapi semua problematika rumah tangga mereka sejak awal keluarga kecil itu dibangun. Dulu, Darman menjadi pilihan orang tuanya, mungkin karena Darman bergelar sarjana, anak kepala desa atau mungkin karena beberapa hektar sawah yang kini ludes entah kemana. "Mabuk lagi, apa yang bisa kau lakukan hanya mabukmabukan, Mas!" Dumilah membopong tubuh suaminya yang setengah sadar ke ruang tamu, lalu membiarkan lelaki itu terlelap di atas karpet dengan posisi menelungkup.

6


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya, Bapakmu juga dulu pemabuk, mungkin kalian akan sama-sama mati karena tuak dan di kedai tuak yang sama!" dengus Dumilah. Teringat lagi peristiwa beberapa tahun lalu ketika Bapak mertuanya yang sedang mabuk jatuh di jalan, berguling-guling sambil tertawa dan menangkap kakinya. Saat itu Dumilah hendak ke sungai, betapa kagetnya dia tetapi terlalu malu untuk berteriak minta tolong, akhirnya dengan segenap kekuatan ditendangnya kepala Bapak mertuanya dan lari terbirit-birit. Entah ada yang melihat kejadian itu atau tidak, kalau adapun orang-orang akan menutup mulut atau tersenyum sinis, sejak dulu lelaki tua itu memang tak layak jadi tokoh di desa mereka. Berselang seminggu dari kejadian itu, Bapak mertuanya jatuh ketika hendak keluar dari kedai tuak, orang-orang mengatakan dia terkena serangan jantung, tetapi Dumilah menganggapnya kualat.

DUMILAH sedang menyiangi rumput padi, kedua bayinya pulas di bawah pohon alpukat di samping gubuk. Dia membuatkan dua buaian dari kain panjang dan menidurkan mereka di sana. Tiba-tiba sebuah suara menyentaknya, "Hei Dumilah, hebat kau ya!" 7


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Perempuan itu menoleh, dilihatnya Ratna dan Darman suaminya datang beriringan, dia paham mengapa mereka datang, pasti ingin menyingkirkan bayi itu. "Sudah kubilang Dumilah, kembalikan bayi itu pada Ibunya, kau tak mau kan kalau kak Ratna datang marah-marah begini?" Darman menoleh bergantian pada Dumilah dan Ratna. Ratna mendelik, "Sudahlah, tak usah banyak basa-basi lagi kalian, pilih mana, pulangkan bayi itu atau keluar dari kampung ini, aku takkan segan-segan menyuruh orang mengganggumu dan bayi itu, kalian juga tak kuizinkan lagi menyewa sawah ini!" Darman diam, tetapi dia tak kelihatan khawatir, Dumilah tau sejak awal mereka bersekongkol. Dengan geram Dumilah mengambil parang yang sejak awal sudah dia siapkan, "Pergilah kelian sebelum kutebas, aku takkan keluar dari sawah ini sebelum masa sewa habis, siapapun yang berani mengganggu kedua bayiku, akan berhadapan dengan parang ini. Kau Darman segera urus perceraian kita. Aku menyesal menikah dengan lelaki pengecut macam kau!" Ditantang begitu, kedua orang itu mundur perlahan. Dumilah menguatkan hatinya, sampai waktu yang dia sendiri tak bisa menentukan.

Simalingkar Medan, 10 April 2012

8


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Peti Mati Nur Hadi Published © Bali Post, Minggu 05 Agustus 2012

Cerpen ini terinspirasi oleh puisi Walt Whitman—penyair Amerika—yang dipersembahkannya kepada almarhum Presiden Abraham Lincoln yang berjudul “When Lilacs Last in the Dooryard Bloom’d”.

10


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

BETAPA ingin sekali aku menjadi puisi abadi yang memancarkan kebesaranmu saat ini. Mungkin keinginanku ini terlampau pungguk untuk kau yang terlampau rembulan. Aku menyadarinya ketika pertemuan kita di malam tak terlupakan itu, ketika cahaya wajahmu meredup di antara banyak orang yang menunggu-nunggu kebijaksanaanmu. Kau memakai jas berpotongan rok warna hitam, dengan sarung tangan putih dari kulit kambing. Saat menjabat tanganmu, entah mengapa aku merasa seolah kau mau memberikan apa saja kepada siapapun asal kau bisa berada di tempat lain. Seolah kau telah menginsyafi akan datangnya hari ini. Hari yang terasa aneh; menyedihkan, tapi amat membanggakan karena akhirnya kami tahu siapalah kau itu. 4 Maret 1865 di Washington, seharusnya adalah hari yang amat berbeda dari saat kau dilantik untuk pertamakalinya sebagai pemimpin negeri ini. Sebuah bangsa yang menurutmu akan menjadi sesuatu yang besar di masa datang. Ingatkah kau—juga semua orang tentunya—ketika kau terpaksa masuk ke kota dengan menyelundup, dan setiap jendela Gedung Capitol yang masih telanjang mesti dijaga oleh serdadu-serdadu demi mengamankan sumpah jabatanmu? Ya, tentu saja amat berbeda. Karena 14 April itu—sehari sebelum kepergianmu hari ini—kubah Capitol telah selesai, bahkan juga patung perunggu simbol kemerdekaan di atasnya. Tempik-sorak kegembiraan di halamannya memecah angkasa 11


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tatkala kau naik ke mimbar untuk menyampaikan pidato kenegaraan. Aku melihat matahari bersinar cerah kala itu, menghangati daun-daun hijau musim semi yang baru saja terbebas dari saju, membangunkan kuncup-kuncup lilak, dan terutama menyingkirkan dingin yang selama ini menyelimuti hati semua orang. Katamu, “Janganlah menaruh dendam kepada siapapun, berbuat baiklah kepada semua orang; yakinlah pada sesuatu yang benar, karena Tuhan telah memberi kita penglihatan untuk melihat kebenaran. Marilah kita berjuang untuk menyelesaikan tugas kita; untuk mengobati luka bangsa; merawat mereka yang telah berjuang dalam pertempuran, dan menyantuni para janda dan anak yatim mereka… melakukan semua yang bisa kita raih dan menghargai kedamaian yang adil dan abadi di antara kita sendiri dan dengan semua bangsa.” Frederick Douglas—pemimpin Negro—yang malamnya juga ada di resepsi Ruangan Timur Gedung putih, sempat berbisik dengan aura bahagia kepadaku, “Sebelum turun mimbar, dia sempat menolehku tadi. Wajahnya bersinar-sinar.” Aku semakin yakin bahwa sebenarnya peti mati itu telah kau siapkan dalam kepalamu jauh sebelum Undang-undang Budak Pelarian membuat ‘Hattie’ Stowe1 terserang insomnia dan lalu memutuskan menjadi tangan Tuhan untuk menulis Uncle Tom’s Cabin.

12


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kau pasti telah membaca Uncle Tom’s Cabin yang masy-hur itu. Kau pasti telah menghayati rajutan kisah-kisah di dalamnya; tentang Paman Tom yang dijual demi membayar utang-utang tuannya, tentang Eliza yang menyeberangi sungai di atas gumpalan-gumpalan es yang terapung-apung, tentang pengawas budak bernama Simon Legree yang tak berhati, tentang Topsy si Negro kecil yang amat badung, dan juga tentang Eva si gadis kecil kulit putih yang terlampau baik hati untuk hidup di dunia. Meski Dickens2 bilang bahwa Hattie terlalu berlebihlebihan dalam menggambarkan penderitaan kaum budak— yang mungkin akan mengurangi simpati dan sokongan atas penghapusan perbudakan, tapi aku yakin kau pasti sepakat dengan para Abolisionis3, Whittier4, Sand5, Heine6, juga Turgenev7, bahwa novel itu adalah sebuah usaha cemerlang untuk menyuarakan persamaan hak. Bukan, bukan peti mati yang saat ini membingkai senyummu yang damai itu yang aku maksud. Saat Stanton takjub dengan pendirianmu—bahwa kau tak akan gentar meski telah delapan puluhan lebih surat ancaman pembunuhan mendatangimu—aku sangat yakin bahwa peti mati dalam kepalamu itu telah kau persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Katamu, “Aku hanya mati sekali. Kalau aku menginginkan hidup yang tiada putus-putusnya dan takut akan kematian, itu

13


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

berarti aku telah mati berulang-ulang. Sekali lagi kukatakan bahwa aku hanya akan mati sekali.” “Macbeth-lah yang harus dikasihani, bukannya Duncan yang telah dibunuhnya, sebab Duncan sudah dalam kuburnya,” begitu kesimpulan yang kau utarakan di depan Stanton setelah beberapa kali membaca kalimat-kalimat Shakespeare ini, ‘Setelah hidup berpanas-panas, ia tertidur dengan nyenyak-nya. Pengkhianatan yang menghabiskannya, bukan racun dan bukan baja. Kebencian di dalam negeri, kerusuhan negeri asing, tanpa arti karena tidak ada yang dapat mengganggunya lagi…’ Kau tinggikan keyakinanmu. Pandanganmu begitu jauh ke depan melebihi siapapun. Menurutmu perbudakan adalah sejarah dunia di masa lalu. Bagimu memecahkan sebuah perserikatan dibandingkan dengan coba menyelamatkannya adalah bagaikan menoleh ke belakang dan bukan melihat ke depan. Kekalahan, jelas telah ada di dalam pemikiran itu sendiri, sebab mau tak mau kemajuan dunia takkan dapat ditahan oleh siapapun. Tak ada yang dapat menentang hari depan. Mungkin karena itulah pengampunanmu terhadap Lee8 dan Davis9 begitu besar. Sebab kau telah melihat kekalahan mereka semenjak meriam-meriam pertama diletuskan di Fort Sumter. Peristiwa di desa Appomatox Court House, Virginia, telah ada dalam peti mati di kepalamu!

14


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DAN 14 April 1865, adalah hari yang sangat membahagiakanmu—dan tentu saja kami. Stars and Stripes kembali berkibar di atas benteng Fort Sumter! Perang saudara usai sudah. Union terselamatkan. Perbudakan telah dihapuskan. Segala yang pernah kau sanggupi untuk dijalankan telah terlaksana. Segala kerusuhan telah berhasil kau petimatikan. Lilak yang kau tanam tinggal menunggu mekar. Meskipun akhirnya perasaan itu kini telah rubah menjadi sesuatu yang sulit dijabarkan. Robert, sulungmu, berujar, “Karena aku baru pulang dari tangsi, kuceritakan saja semua kabar di City Point. Kutunjukkan gambar Robert E. Lee dengan raut sungguh-sungguh. Ayah bilang Jenderal Lee punya wajah orang baik.” Frederick Seward, yang saat itu mewakili ayahnya—Menteri Luar Negeri William H. Seward—karena sakit, pun membeberkan kesannya kepadaku. “Akulah yang pertama kali tiba di sidang kabinet terakhir itu. Kami banyak mengobrol tentang kemenangan Jenderal Grant10 atas Jenderal Lee. Dan beliau bahkan masih sempat bercanda dengan Menteri Urusan Pos. Sampai suatu ketika beliau pun menceritakan mimpi itu. Mimpi yang menurutku aneh, karena beliau bilang bahwa mimpi itu acapkali menjadi penanda kemenangan besar atau malapetaka. Mimpi itu seperti sebuah firasat. Beliau bilang, sering merasa berada di sebuah kapal hantu, terapung-apung atau entah berlayar menuju suatu pantai tak dikenal. Entah siapa—aku 15


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lupa—memberanikan diri menanggapi cerita itu, ‘Mungkin mimpi-mimpi itu disebabkan kegelisahan pikiran Yang Mulia karena terlalu memikirkan apa yang akan terjadi,’ beliau mengiyakannya, namun dengan wajah termenung. Kami sempat khawatir karena membuat beliau tampak sedih. Untunglah kemudian Tuan Stanton masuk.” Edwin McMasters Stanton, Menteri Peperangan yang giat dan cerdas itu pun memberikan kesaksiannya kepadaku, “Aku dan Grant masuk tergesa-gesa karena memang terlambat datang. Aku membawa beberapa gulung surat dan peta rencana pembangunan. Tapi tentu saja, yang terpenting adalah apa yang dibawa Jenderal Grant.” Dan cerita ini pun disambung panglima perang kita kemudian, “Aku berusaha untuk tak terlalu banyak bicara. Menjawab semua pertanyaan beliau dengan singkat dan padat. Misalnya ketika beliau bertanya tentang syarat-syarat apa yang aku tawarkan kepada para serdadu biasa yang mau meletakkan senjata? Aku bilang, kusuruh mereka kembali ke keluarga masing-masing dengan jaminan takkan ada yang mengganggu selama mereka tak berbuat macam-macam. Tanda setuju menyinari muka beliau. Ya, tentu saja. Aku membuat keputusan itu berdasar amanat beliau sendiri ketika dilantik untuk yang kedua kali.” Stanton menyambung lagi, “Pembicaraan lalu beralih ke rencana-rencana pembangunan sesudah perang. Kutunjukkan 16


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

peta-petanya, dan kami baru menutup rapat penghabisan itu hingga pukul dua.” Lalu Grant menyambung lagi, “Beliau sempat menawari aku dan istriku untuk ikut nonton The American Cousin di Ford’s Theater. Dalam surat kabar memang telah diumumkan bahwa kami termasuk undangan yang akan menghadiri pertunjukan itu di samping presiden. Tapi kami tak bisa. Entahlah, tiba-tiba saja aku menyesal. Andai saja saat itu kami menerima tawaran beliau, mungkin…” Semua kesaksian itu mengharu-biru suasana kamar bawah sebuah rumah yang berseberangan dengan gedung Ford’s Theater. Hari ini adalah sebuah hari di musim semi yang segar, bunga-bunga lilak bermekaran, pohon-pohon willow di tepi sungai mulai menghijau, dan dogwood mulai kelihatan bunganya. Alam tampak riang menyambutmu, tapi tidak dengan suasana hati kami ketika harus melepas kepergianmu. Mungkin diriku terlalu sentimentil saat menggambarkan perasaan yang sulit dijabarkan ini. Yah, itulah aku, seperti yang pernah disanjungkan Emerson11 atas Song of Myself dalam Leaves of Grass12, anak rohaniku. Kau mengingatkanku pada bait-bait sepuluh tahun silam itu…

Aku merayakan diriku sendiri, dan kumenyanyi sendiri, Dan apa yang ku hirup akan 17


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kau hirup juga, Karena tiap atom milikku juga baik untukmu.13

Pasti saat ini kau tengah merayakan dirimu sendiri di saat kami baru menginsyafi betapa besarnya dirimu itu. Buktinya wajahmu terlihat begitu teduh dalam peti mati itu. Akan kami terima ‘peti mati’ itu dan lalu kami kuburkan bersama jasadmu. Ya, keyakinan yang telah berbilang tahun kau hirup itu, kini terasa amat menyegarkan dalam dada kami. Kami telah siap menyambut hari baru. Kami telah siap menjadi bangsa yang besar! Ah, tiba-tiba saja aku ingin merajut sebuah puisi, agar bisa kupersembahkan sebagai pengantar kepergianmu. Agar sepeninggalku nanti, kekagumanku terhadapmu ini tetap tercium aromanya ke segenap penjuru dunia.‌.

18


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sidomukti Ibu Teguh Afandi Published Š Banjarmasin Post, Minggu 05 Agustus 2012

20


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

AKU hafal jalan Pulang menuju rumahku di Tegalgunung, dekat kuburan Jlubang. Dulu berlantai plester semen. Aku main kelereng, benthik, jirak, dan engklek di tanah merah pelataran rumah. Bila iring-iringan pengusung jenazah melantunkan lailahaillallah buru-buru ibuku menarikku masuk rumah dan merapal doa agar Tuhan mengampuni dosa jenazah. Aku pulang ke rumah yang telah membesarkanku selama dua dekade. Sebelum aku ke Yogya mencari ilmu, terus ke Amerika menambah gelar di belakang namaku. Saat masih kuliah per tiga bulanan pulang ke rumah. Sejak mendapat beasiswa ke Amerika, hanya mimpi dan khayalan sore hari untuk menikmati nasi pecel dekat perempatan Jlublang. Nasi pecel lengkap dengan petai cina, kerupuk warna-warni, kuah lodeh, dan dilauki bakwan pia-pia. Di Amerika adanya cuma pasta, makaroni atau roti petty. Dari alun-alun ke utara sampai pertigaan Jalan Sutomo, ke kanan menuju Hotel Air Mancur dan SMA 1 Blora. Terus sampai ada perempatan Jalan Gunung Slamet, kalau ke kanan menuju SMP 1 Blora, ke kiri menuju Taman Makam Pahlawan. Persis di timur perempatan, sela dua rumah itulah rumahku. Masih dengan aroma sepi, hanya polusi kotor keluar dari knalpot kempot motor abang 70an. Ternyata tata kota belum terlalu banyak beda.

21


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ibuku langsung menggapai bahu untuk memelukku. Air mata membuncah, membasah bersama reracauan melihat anak lelakinya yang enam tahun di Amerika. “Lenggah disik.” Ibuku menuntunku duduk di kursi. Di meja sudah ada jajanan yang sekian lama kutinggalkan. Dumbeg manis, pasung warna merah menyala, getuk, tumpi bahkan makanan-makanan yang aku sendiri lupa apa namanya. Ibuku menyajikan makanan kesukaanku. Ya ini! Jajanan pasar yang tidak akan ditemukan di Amerika. Lidahku kembali berjodoh dengan taste Blora, setelah lama berzina dengan rasa Amerika enam tahun lamanya.

“BLORA belum berubah ya Buk. Masih kaya dulu.” Aku menanyakan. Sekian tahun kutinggalkan, Blora belum ada banyak perubahan. Jalanan antar kota, masih berlubang dan sekarang ditambah bergelombang. Di travel tadi aku pegangan jok depan, itu pun kepalaku masih kejedot desk board. Rumah-rumah masih seperti dulu, sederhana dan mengaromakan keterbatasan. Hanya mobil-mobil plat merah memenuhi jalanan. Gedung-gedung tinggi pun belum banyak bertambah. Kota Blora masih sama dengan Blora waktu kecilku. Cuma panas dan pengap polusi motor, mengubah udara segar menjadi kotor. “Blora belum berkembang Le.” “Kabar pengilangan minyak gimana Buk?” 22


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Ya wong gedhe-gedhe yang menuai rezeki.” “Wong cilik gimana?” “Masih begini-begini saja. Hidup dari bertani, berdagang dan hidup seadanya.” Teh hangat manis ini tiba-tiba terasa begitu hambar. Aku membayangkan ketika eksplorasi minyak di Blora sudah sedemikian heboh dikabarkan, seharusnya sudah akan banyak ditemukan saksi sebuah kemajuan. Jalanan rata, rakyat sudah tidak menderita, prestasi anak-anak sekolah harusnya sudah bisa dibanggakan negara. Tapi ternyata kopi masih begitu pahit dan getir di lidah. Aku segera berbenah, mandi, gosok gigi dan menjamak sembahyang Dhuhur dan Ashar yang waktunya habis di perjalanan. Aku masih merasakan dingin air di rumahku sama dengan puluhan tahun dulu. Memang benar rumah kita, tempat kelahiran kita adalah surga yang dipertontonkan di dunia. Nyaman, aman, tenang dan senang. Meski hanya makan seadanya, kalau berkumpul itu bahagia. Kata orang, mangan ora mangan sing penting kumpul.

AKU mulai mereka-reka bagaimana aku mengatakannya kepada ibu. Menikah memang hakku, namun tetap harus mendapat persetujuan dari keluarga terdekat. Meski aku sudah mendapat gelar aneka rupa dari Amerika, Blora masih sederhana dan menjunjung budaya Jawa. Aku tidak mau 23


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

menjadi

orang

kota

yang

lupa

pada

kulitnya.

Meski

kehidupanku sudah Jogja dan kota-kota lainnya, tapi sedulur lanangku ari-ariku dikubur di Blora. Itu artinya aku masih harus menjaga keBloraan dalam darahku. Selepas magrib nanti aku bicarakan. Dalam hati aku membatin. Sore, Blora masih saja mengumandangkan aroma nostalgia lama. Radio Gagakrimang, RRInya Blora menyiarkan campursari dan dangdut koplo pereda ketegangan pikiran. Orang-orang wara-wiri membawa aneka rupa barang belanjaan atau setumpuk fotocopyan. Anak sekolah kecikikan menertawakan kelucuan yang mereka sendiri ciptakan. Mereka pasti bahagia setelah usai menyelesaikan ekstrakurikuler. Seorang penjual gorengan yang kuingat namanya Dhe Larsih, masih menjual dagangan yang sama pisang goreng, timus, tempe medoan, bakwan dengan harga yang tentu sudah tidak boleh lima rupiah. Lima ratus sekarang. Baru menjelang malam, saat Magrib berkumandang jalanan sedikit lenggang. Orang-orang bersegera naik motor pulang. Tak mau terjebak malam, dan luput sembahyang. Aku menjadi imam bagi ibuku dan dua adik perempuanku. Syahdu memang merasakan aliran kesejukan Tuhan menjadi satu dalam seluruh badan dan pikiran. Ibuku menangis setelah kucium punggung tangan dan kedua pipinya. Lepas itu kami bersama makan malam, dengan menu andalan ibu tongseng kambing, daging mentok dimasak kecap 24


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dan selodong kerupuk nasi. Menu spesial enam tahun kurindukan. “Le, ibu mau nanya?” “Apa Buk?” “Sekolahmu sudah selesai, pekerjaanmu sudah mapan. Kapan kamu menikah?” “Pengennya tahun ini.” Mendengar jawaban itu ibu senyum, dan menuju kamar membawa selembar kain batik yang disimpan dalam kotak warna merah. “Kebeneran, kemarin ada anak gadis. Cantik, manis, lulusan kedokteran gigi, masih sepupu jauh denganmu bersedia jadi menantu ibu. Namanya Ninda, lulusan kedokteran gigi Airlangga. Ninda sudah jajal kain Sidomukti ini. Cocok dan manis pakai kain ini. Ini harus dipakai menantu ibu pas kawinan.” Ibu masih senyamsenyum, padahal hatiku mulai kecut dan kaku. Lewat email, Michele pacarku selama enam tahun di Amerika, akan sampai Blora besok untuk kukenalkan ibuku. Leherku kaku, senyumku jadi palsu. Blora masih sama dengan dulu ternyata. Jogja, 2012

25


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Lelaki Passampo Siri’ Jumrang Published Š Harian Fajar, Minggu 05 Agustus 2012

Jumrang, lahir di Pinrang, 12 April 1990. Mahasiswa Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah Unhas - Pemprov. Sulsel Angkatan 2010. Ketua FLP Ranting UNHAS Periode 2012-2013.

27


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

AKU kembali, Andi’. Lepas Magrib tadi, kapal yang mengantarku dari rantau menepi di pelabuhan Parepare. Sepantasnya kuinginkan tubuhmu di sana, menjemputku. Tapi, bagaimana mungkin? Kini, kamu tak berdaya. Sekarat. Kamu tahu, betapa ringkihmu kali ini meneror relungku? Mendesakku menjadi passampo siri’mu untuk kedua kali. Rengkah rasanya dada ini. Sementara kedua tungkai kakiku tak jua mampu bergerak ke bangsalmu.

LISAN pencerita, entah aku sudah gila atau terkena tebar jaring-jaring jampi. Tapi, menurutku ini sudah keputusanku. Bahwa aku menikahi seorang perempuan dengan janin tengah bersemi di rahimnya. Tanpa sedikit pun kutahu siapa penebar benih itu. Hingga detik ini, mulutmu terkunci rapat-rapat untuk satu itu. “Jangan pernah menikahi perempuan macam itu, Dalle’!” “Dia itu makkunrai pura rijaru-jaru. Kamu mau yang sisasisa?!” “Memangnya tidak ada perempuan lain, apa? Banyak!” Api kalimat-kalimat itu senantiasa berkobar-kobar, meletupletup sebelum ia padam sendiri selepas ijab kabul kurapal di depan Puang Imang. Kusadari asapnya masih acap kali mengepul. Aku tak hirau. Karena cintakah, Andi’? Mungkin jawabku ‘ya’ jika kau lontarkan tanya itu pada lipatan-lipatan tahun silam. Sebelum 28


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kuikuti tradisi orang-orang Bugis di kampung kita; menjadi passompe’. Mencari bekal untuk hidupku, amma’ku, pun kedua adik perempuanku. Juga agar aku bisa mengisi lembar demi lembar perjalanan yang memang wajib kutempuh dengan luruhan peluh. Dengan rapalan panjang doa. Namun, tahukah tujuan terbesarku meninggalkan Tanah Bugis? Ya, karena tolakmu pada niatku untuk seikat satu dalam simpul perkawinan. Terlebih Petta-mu tak sedikitpun mau tahu kesungguhan yang dulu kusumpahkan. Ketentuan adat masih kukuh ia pelihara. Tak akan pernah dibiarkanmu, yang masih maddara takku’, menikah dengan lelaki biasa. Dan ia tahu betul hulu silsilah keluargarku. Kuhargai itu. Dan aku? Memilih pergi. Ada yang perlu aku buktikan padamu, tentu pun pada Pettamu.

TANAH Jiran mengajarku banyak hal, Andi’. Belajar semangat rantau pendahulu. Apapun bisa menghasilkan asal gigih mengumpulkan bebulir cahaya peluh. Di sana, para pendahulu berbaur, bahkan menyatu dengan masyarakat sipil dalam ikatan halal. Beranak-pinak. Rukun. Tidakkah kau paham aku pun memimpikan? Tiga tahun mungkin singkat untuk mencapai kesuksesan. Banyak orang ‘berdarah-darah’. Di pabrik triplek ternama, aku memeras peluh. Melawan segala ketakutan. Tahukah, tak sedi-

29


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kit buruh pabrik harus berhenti karena kecelakaan kerja? Kerja lembur tentu acap kali diselimuti kantuk. Kamu tentu tahu mengapa aku sesukses sekarang. Ilmu! Ya, jangan sekali-kali melupakan ilmu. Siapa pun akan terangkat derajatnya oleh ilmu. Aku mungkin beruntung dapat kuliah tanpa harus meninggalkan kerja. Karena perusahaan menjamin keduanya untukku. Pahamkah, Tuhan bersama siapa menuntunku selama ini? Ya, amma’ku! Memang ia tak mewariskan jejak derajat kebangsawanan padaku. Tapi, ilmu, Andi’. “Sampai kapan kamu melajang, Nak?” Ah, semua pencapaianku ternyata tak terlalu membahagiakan amma’, Andi’. Melihatku menikah dahaganya. Kepulanganku pada lebaran keempat dari rantau, tak disia-siakan menuntut sesuatu padaku. Berkeluarga.

“TOLONG restui Andi’ Intan, putriku, untuk dinikahkan dengan Dalle’, Sitti!” Kalimat pelas itu tersimpan rapi di benakku, Andi’. Ketika Petta-mu bersimpuh pada amma’ku. Bahkan, ia sama sekali tak meminta kesediaanku. Ia tahu betul, titah amma’ku tak mungkin kutolak. Tentu kamu tahu jawaban amma’ku setelahnya. Kita menikah Andi’. Pada momen yang tak terpikir sebelumnya olehku. Mimpiku untuk seikat satu denganmu menyata. Meski kuakui, itu mimpi bertahun lalu dan telah lama kubenamkan 30


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dalam-dalam. Petta-mu memaksaku menggalinya kembali. Tapi adakah sesuatu yang telah terbenam akan utuh kembali? Bukankah jasad yang bertahun terhimpit tanah telah digerogoti cacing-cacing? Kamu tak usah hirau. Ketulusanku mewujud benih-benih yang kelak berbuah cinta, yakinku. Hanya saja, bagaimana dengan tulusmu sendiri?

AKU kembali ke Tanah Jiran, Andi’. Inginku bersamamu dan ‘anak kita’. Enam bulan bukan waktu yang panjang untuk membangun pondasi kokoh antara kita. Kamu harus ikut denganku. Melihatku, merasakan perjuangan yang selama ini ingin kubuktikan padamu dan Petta-mu. Kontrak kerja dan kuliahku masih butuh tiga tahun lagi kurampungkan. “Aku tinggal di sini saja, Dalle'. Menunggumu. Biar ada yang merawat Amma’.” Pilihan itu tepat sekali, Andi’. Tak ada alasan lain untuk memaksamu ikut denganku. Kedua adik perempuanku yang telah menjadi hak orang lain, tentu membuat amma’ kesepian bila tanpa sesiapa menemani. Lagipula ia akan lebih bahagia dengan kehadiran bayimu. Ia menggemaskan. Pohon ketulusanku yang berbuah cinta ternyata lebih dulu bayi itu petik dibandingmu. Namun, kamu tentu tahu betapa bodohnya aku meninggalkanmu waktu itu. Kalau alasan amma’ tak ada yang menemani, mengapa aku tak membawa kalian semua saja? Sudah-

31


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lah! Bubur tak mungkin mewujud bebutir nasi, bukan? Apalagi bebutir beras. Tak perlu kurutuk kebodohanku sendiri. Harusnya aku masih dirantau meregang otot dan pikiran, Andi’. Tapi, ringkihmu sekarang memaksaku pulang. Orangorang menemukanmu sekarat bersama lelaki lain. Tubuh kalian saling menghimpit tanpa sehelai benang pun. Kalian seperti bayi kembar siam. Sulit dilepas. Masihkah kamu ingat pesan yang kubisikkan padamu, Andi’, sebelum kupergi? “Sekali-kali jangan pernah membuka lemariku dengan kunci lain, Andi’! Kalau iya, engkau tak akan pernah mampu menarik kembali kunci itu sebelum ia patah. Kunci lainmu dan lemariku kupastikan rusak.”

MALAM kian gigil, Andi’. Kakiku masih berat melangkah ke bangsalmu. Tepatnya bangsal kalian. Betapa ringkihmu kali ini meneror relungku. Mendesakku menjadi passampo siri’mu untuk kedua kali. Cukup! Aku memilih pergi, Andi’. Maaf, aku membawa ‘anak kita’! Dia lebih pantas kurawat dan kujaga siri’nya. Karena kelak, lisan pencerita tak akan pernah berhenti mengaungkan perih. Mencengkram telinga pun relungnya. Aungan tentangmu tentunya. Juga tentangku, lelaki passampo siri’. 1. Passampo Siri’: Penutup Malu 2. Maddara takku’: Berdarah Biru/Bangsawan 3. Passompe’: Perantau

32


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Madrasah, Rumah, dan Ziarah Budi Saputra Published Š Haluan, Minggu 05 Agustus 2012

Budi Saputra, lahir di Padang, 20 April 1990. Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

34


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Madrasah SEMUANYA berjalan sendiri-sendiri. Usia. O, begitulah masa silam. Seperti mujair di jernih sungai, seperti dua burung yang terbang di pagi hari. Bahwasanya diri ini seperti tak habisnya membayang semacam ketenangan di jalannya yang rimbun itu. Ada yang selalu menggelitik bagai deras air di pincuran tepi bukit membasahi kaki-kaki yang telanjang. Dirimu, oh, perempuan yang tabah itukah? Perempuan yang kerap mencium jidat seorang perempuan yang selalu membimbingmu bagai meniti di jembatan lapuk. Memandangi wajah ayumu di jenjang kayu setiap pagi yang bersih, pagi kemilau cahaya dari bulir-bulir doanya di bilik sederhana. Di jenjang kayu itu, kau senantiasa mengucap salam takzim. Alangkah lapang sebuah jalan panjang di pelupuk matamu. Subuh, kau telah terbangun, sembahyang, mengaji, dan hentakan batu giling itu, juga bunyi kukuran kelapa, betapa kau mengeja usia dengan begitu bersahaja. Menolong emakmu di dapur, kau menurut begitu saja. Tekun. Dan selalu memandang iba wajah emakmu yang senantiasa dibenamkannya dalam asap tungku itu. Asap tungku yang saban hari memang sebuah keniscayaan. Jika emakmu tak sakit, maka segala rempah dan bahan masak yang kau beli di pasar dan kau petik di kebun kecil belakang rumah, senantiasa diolah menjadi penganan ringan. Pisang goreng, jagung goreng, dan bakwan, adalah bagian dari usia emakmu. Dan tentunya juga kau. 35


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Betapa sangat beruntungnya kau memiliki emak yang sabar dan perhatian: kepandaiannya memasak, pengalaman berjualan penganan, dan berbagai suluh hidup yang sangat berarti, sungguh membuatmu mafhum menjalani usia. Termasuk tentang sebuah peribahasa, enau memanjat sigai. Tentu kau tak ingin. Ya, tentu tak ingin. Kau mencoba menghargai diri sendiri. Kau punya impian seperti halnya perempuan lain yang menggenggam dua jalan penerang di dadanya. Kau memang perempuan yang gigih. Kehilangan ayahmu saat kau menginjak usia tiga belas tahun, memang kehilangan yang membuatmu sangat sedih. Ada lengang yang memanjang di kedalaman usiamu yang licin itu. Menatap wajah emak dan tiga adikmu, sungguh ada debar, ada masa-masa menghentak yang kau bayang di hari depan yang menelikung tajam. Dengan tas yang kau sandang di punggung, kayuhan sepeda di pagi yang gigil, kau pun berangkat menuju madrasah penuh warna itu. Tak lupa penganan ringan yang dimasak emakmu di dapur. Teman-temanmu, dan guru-guru senantiasa membeli penganan yang tak jarang membuatmu menitikkan air mata sendirian di dalam kamarmu yang sempit itu.

AKU begitu tertegun menatap madrasah itu. Madrasah yang begitu jernih, begitu lapang bagimu untuk mencari diri yang sederhana dan bersahaja. Di sebuah denyut pagi yang penuh semburat cahaya. Saat kabut pagi masih tempias, dan 36


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

aroma embun yang menyeruak dari sela ilalang, entah kenapa, jalan menuju madrasah itu selalu saja ada sesuatu yang indah berkelindan dalam ingatan. Apakah itu tentang cinta? Ah, memang terlalu jauh jarak kita untuk menyatu dalam sebuah persuaan. Aku hanya membayang wajah ayumu. Begitu jernih, begitu teduh bagi bocah-bocah kecil yang begitu patuh mendengar kata-katamu, saat bermain sekolah-sekolahan yang kau beri nama Alam Takambang Jadi Guru di beranda rumah. “Ini ibu Budi.” “Ini ibu Budi…” “Ini ayah Ani.” “Ini ayah Ani…” Di lain waktu. “Alif.” “Alif…” “Ba.” “Baaa...” “Ta.” “Taaa...” Sungguh, itu membuatku begitu kagum padamu. Dan tentunya juga emakmu. Betapa sangat berhati-hatinya kau meniti jalan yang mulai banyak berlubang, berliku, dan penuh kerikil tajam itu. Tak seperti teman perempuanku yang membuat malu orangtuanya. Ia hamil sembarangan. Ia dihamili seorang jantan yang sangat ia cintai. Sekolahnya menjadi 37


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

berantakan. Dan tak lama berselang, beredar kabar ia tak malu-malu mengumbar coret di keningnya. Ia begitu betah bersama malam. Bersama aroma alkohol dan rayuan liar di tempat yang begitu suram. Tempat yang sangat-sangat suram.

Rumah Sungguh pertemuan yang tak akan pernah terlupakan olehku. Wajah ayumu, bahwa di balik wajah itulah kutemukan sebentuk ketenangan jiwa. Penyejuk mata. Ya, betapa dalamnya kumaknai tulang rusukmu bagi hidupku. Di kedalaman matamu, ada sesuatu yang senantiasa kumaknai sebagai musim. Sebuah dunia sunyi dengan segenap alunan indah. Suara kita, keceriaan kita, dan kesedihan yang bersetubuh dalam satu ikatan yang suci itu. Oh, tibalah masa itu bagi kita. Aku berpakaian adat, kau pun berpakaian adat. Betapa meriahnya sebuah pesta sederhana dengan tenda, pelaminan, dan marawa yang terpancang sebagai pertanda sebuah helat. Aku tentu tak melupakan masa-masa awal kita tinggal satu atap. Ah, begitulah adanya lelaki yang hadir dalam hidupmu. Lelaki yang sederhana. Lelaki yang hanya bisa memberimu sebuah rumah kontrakan dari hasil jerih payah sebagai karyawan kecil di sebuah penginapan. Perabotan yang seadanya, yang di tiap sudut rumah tak ada kemewahan yang bisa membuatmu bangga. Berbeda jauh dengan kebanggaan istri

38


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tetangga yang berkecukupannya sungguh tak sekalipun kau ceritakan dan keluhkan. Begitulah, mata ini senantiasa berkaca-kaca melihat kesederhanaanmu. Begitu manja, begitu tabah dalam menjalani hidup. Tak jarang, aku pun dengan senang hati menolong pekerjaanmu. Mencuci piring, menyapu, memasak, dan lain sebagainya. Dan di saat-saat seperti itu, kau senantiasa berucap kata-kata romantis padaku. Bahkan katamu, cinta kita lebih romantis dibanding kisah romantis Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya. Ah, betapa terharunya diriku. Meskipun aku tak terlalu tahu apa hakikat romantis itu sebenarnya, tapi begitulah aku memaknai usia. Di balik jendela, kau memandang pagi yang cerah dan burung-burung yang berterbangan mencari makan. Kau mendengus saat kupeluk. Kupeluk perutmu yang mulai membuncit itu. “Ini anak kita ingin dipeluk, Kak.” Kau mencoba memantik semangat keayahanku. Ya, kita memang calon orangtua dari janin yang kau kandung. Kuelus bulatan perutmu sambil memandang bocah-bocah yang berangkat ke sekolah itu. “Jika ia hidup dan tumbuh dengan baik, suatu saat ia akan seperti mereka itu.” “Ya, Kak. Tapi itu masih lama. Ini saja masih sekitar tiga bulan lagi lahirnya.” Kau pun tersenyum. Tersenyum dengan melihatkan wajah yang berseri padaku. Wajah yang kehadirannya bagiku seperti 39


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

birahi hujan pada tanah-tanah gersang dan terbelah. Saat tatapan kita bertemu dengan penuh cinta, pikirku, betapa senangnya Tuhan melihatnya. Selalu diri ini merasa kecil saat melihat rakaat kebahagiaan itu bermekaran. Aku yang berkunjung, dan bertanam di ladangku yang subur. “Perempuan yang berkacamata dan manja ini sungguh seperti ikan di air yang jernih. Ikan yang jinak di negeri yang dingin bagai pagi berkabut di tepi-tepi ladang.” Langsung saja kau mencubit pinggangku dengan lembut setelah mendengar kata-kata itu. Sebuah pujian. Sebuah perumpamaan yang kuberikan padamu. “Ah, begitu puitis,” katamu sambil melepas cubitan di pinggangku. “Jadi teringat dengan kampung. Dengan emak dan adik-adik.” Aku pun mafhum. Kampung, dengan segala masa kecilmu yang berlari mengurai usia. Dari musim ke musim, selalu ada saja cerita yang berlompatan dari rumah-rumah mereka itu. Saban hari, di dusun yang dingin dan dipenuhi kabut-kabut putih, senantiasa terdengar hentakan batu itu. Hentakan batu para perempuan di dapur saat menggiling segala bumbu rempah, atau bunyi mesin kukuran kelapa itu. Bunyi yang timbul tenggelam terdengar dari luar, dari jalanan setapak menuju ladangladang lengang yang selalu saja dikunjungi puluhan primata yang mencari makan.

40


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ya, kita memang kerap saling bercerita tentang masa kecil masing-masing. Bermacam yang kau ceritakan padaku. Tentang musim manggaro, tentang menjajakan penganan, tentang prestasimu di madrasah yang pernah ikut randai. Lain pula dengan ceritaku. Aku punya banyak cerita untuk kuceritakan padamu. Tentang masa-masa mengembala sapi di kampung bako, tentang musim layang-layang dan melukah belut, tentang sengketa tanah pusaka antara ibuku dan mamakku, hingga tentang almarhum kakekku yang seorang veteran masa bagolak. Kakekku itu, banyak bercerita tentang masa penjajahan dan masa PRRI padaku. Sampai kepada bahasa Belanda, memang kerap kupancing untuk terucap dari mulut kakek.

KEMUDIAN datanglah masa-masa yang penuh ujian itu bagi kita. Harus tahan banting, begitulah orangtua sering berpesan pada anaknya. Kita seperti terasing. Terasing dalam kebahagiaan kita sendiri (bagaimana pun susah, tetap aku menamainya sebagai kebahagiaan). Pagi itu, memang merupakan pagi terakhir di rumah kontrakan yang kita huni selama tiga tahun. Kau saat itu, masih sempat meminumkan seteguk teh ke mulutku. Kau mendengus saat kupeluk perutmu yang mulai membuncit: bakal anak kita yang kedua. “Maaf, Anda harus mencari tempat tinggal yang lain.� Ah, begitulah geramnya aku terhadap perkara tanah pusaka (aku 41


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

teringat dengan ibuku yang tak berdaya melawan mamakku yang semena-mena). Penuh sengketa dan rawan tumpahan darah. Pemilik rumah itu bersengketa dengan sesama keluarga besarnya. Mereka saling perang mulut tentang pembagian tanah pusaka. Hingga rumah kontrakan yang kita tempati pun kena getahnya. Rumah yang harus dirubuhkan untuk dibangun baru. “Sabar, Sayang.� Aku mencoba menguatkanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa ini adalah bagian dari proses hidup. “Kita akan buka toko grosir sederhana dari tabungan tersisa.� Suaraku terucap lemah saat kau menanyai apa pekerjaanku selepas di-PHK oleh pimpinan penginapan. Kesusahan kita, kesusahan yang menurutku tak seberapa dibanding kesusahan temanku, seorang Pariaman. Karena menikah dengan selain perempuan Pariaman, ia menjadi terasing dari keluarga besarnya. Ia tak mendapat restu kedua orangtuanya. Di Solok, ia hidup serba kekurangan dengan istri yang sangat ia cintai. Dan lebih menyedihkan lagi dengan apa yang dialami oleh Riman, teman semasa kuliahku. Istrinya menderita lumpuh total. Badan istrinya sulit digerakkan. Sehingga untuk biaya pengobatan, ia luntang-lantung mencari pinjaman karena harta bendanya telah habis terkuras. Tak ada keluarga yang bisa

42


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

membantu. Mereka sama-sama anak semata wayang. Dan telah ditinggal mati oleh kedua orangtua masing-masing. Ya, kita pun harus pergi dari rumah kontrakan itu. Kupandangi wajah yang berusaha untuk selalu tabah. Kuseka peluh yang bercucuran di wajahmu. Betapa sangat letihnya tubuhmu

ketika

mengemasi

barang-barang

yang

akan

diangkut dengan mobil sewaan. Meskipun awalnya aku telah melarangmu, tapi kau malah berkata mesra padaku di balik daun pintu.�Anak kita ini harus diajari bekerja keras, Kak.� Mendengar yang demikian, aku pun mengalah. Ah, wajahmu itu, wajah yang seperti pohon berbuah ranum.

Ziarah Bagiku, tak ada yang lebih menyedihkan dibanding kesedihan saat kehilangan orang yang sangat kucintai. Begitu cepat, begitu tak kusangka kebahagiaan itu pergi menyisakan luka mendalam. Sebuah pisau hidup yang menusukku tiba-tiba, oh, betapa begitu ngilunya terasa. Di sore itu, kutatap pipit pinang yang terbang dari sarangnya. Langit mendung, dan gerimis turun dengan lamban. Di bawah pohon kedondong itu, saat menatap nisan yang terbujur kaku, aku pun menangis, Rasya. Sungguh, aku tak akan melupakan masa-masa indah yang kita rawat bersama. Mencintaimu siang dan malam, hingga akhirnya, demam panas yang kau derita itu sungguh keniscayaan dari Tuhan yang tak bisa dimundurkan barang se43


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

detik pun. Di saat anak-anak kita sangat membutuhkan kasih sayangmu, di saat itu pula kau harus pergi begitu cepat menghadap-Nya. Sedih. Sungguh sangat sedih aku membayangkan segenap masa lima tahun denganmu, Rasya. Aku pun mafhum, bahwa dalam hidup itu ada saat pertemuan, dan ada saatnya harus berpisah. “Mari kita doakan beliau, Kak.� Istriku yang merupakan adikmu yang lebih muda tujuh tahun darimu, tiba-tiba menyentakkan lamunanku. Rasna, betapa di pandam pekuburan kaumnya, ia begitu sedih menatap kubur kakak yang sangat dicintainya. Dalam kondisi yang tengah hamil muda, ia begitu lembut menuntun tanganku saat menabur mawar di atas kuburmu. Disekanya airmata di pipiku. Betapa ia sangat begitu sayang padamu dan dua anakmu. Juga padaku. Keseharian dengannya adalah masa-masa membangun babak kehidupan baru yang penuh warna. Dari rumah kontrakan kita, dari toko grosir kita, dan kolam ikan yang kubuatkan untukmu, kelak akan lahir makna-makna lain di kenyataan berbeda, di sebuah masa yang berbeda. Anak-anak yang tumbuh besar, meski harus memilih jalan hidup antara kampung halaman, dan tanah-tanah rantauan yang penuh liku dan kerikil tajam. Padang, 2012.

44


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Gadis Terumbu Karang Nini Karnia Published Š Haluan Kepri, Minggu, 05 Agustus 2012

Nini Karnia, tinggal di Jalan Imam Hasanuddin Batu Hitam. Sekolah di SMPN 1 Bunguran. Gadis Terumbu Karang ini satu dari 20 cerpen terbaik sayembara penulisan cerpen Fokusmaker Natuna 2011.

46


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Matahari mulai menampakkan wajahnya seakan tak mau ketinggalan oleh keadaan yang terus berpacu, tampak seorang gadis manis di pesisir pantai: Sita. Ya, itulah nama gadis kini termenung di tepi pantai. Sita sangat peduli dengan pantai, terutama dengan terumbu karang. Sebab baginya, terumbu karang adalah sahabat yang harus dilindungi.

KESEHARIAN Sita tak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ia belajar dan bermain bersama anak-anak sebayanya. Hanya perbedaannya ia selalu meringankan beban orangtuanya, selalu menjaga adiknya jika ibunya pergi ke pasar menjual hasil tangkapan ikan ayahnya. Pagi-pagi sekali Sita sudah bangun untuk membantu ibunya membersikan rumah dan memasak. Bila ada waktu tersisa, ia memanfaatkan waktunya untuk belajar. Tak diragukan lagi, Sita selalu mendapat peringkat satu di kelasnya. Baginya, bila berusaha keras pasti akan memetik hasil yang memuaskan. Debur ombak menghempas karang, seakan hendak menggoreskan mahakarya di karang batu. Begitu pula Sita, jam sudah menunjukkan pukul 06.45, dan ia sudah siap untuk pergi bersekolah. Sita tak pergi sendiri, melainkan bersama temanteman seperjuangannya di daerah pesisir itu. Di sekolah, banyak teman-teman Sita yang selalu ingin belajar bersamanya, karena kepintarannya menjelaskan mata 47


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pelajaran sehingga mudah dimengerti. Tampak seorang gadis mendekati Sita. “Hai Sita, pulang sekolah hari ini kita belajar bersama, ya?” ujar teman Sita sambil memegang buku pelajaran. “Oke, di rumah siapa?” tanya Sita. “Di rumahku aja.” “Baiklah,” kata Sita singat. Matahari sudah setengah perjalanan menuju tempat peraduannya, dan itu artinya Sita akan mengakhiri proses belajarnya di sekolah. Sepulang sekolah, Sita menunaikan janji dengan teman-temannya untuk belajar bersama. Lalu kegiatan Sita selanjutnya adalah menyelam di sekitar laut di dekat pantai rumahnya, untuk melepas kepenatan seusai sekolah. Di daerahnya, kini hanya ditemukan sedikit terumbu karang. Padahal Sita masih mengingatnya, dulu ketika ia masih kecil, ia sering menyelam dan tak jauh dari bibir pantai sudah ditemukannya terumbu karang. Tetapi kini, tak banyak terumbu karang yang bisa ditemui. Kejadian itu membuatnya prihatin. “Apa yang bisa kuperbuat untuk mengubah semuanya?” Seperti biasa, setelah Sita membantu ibunya dengan berbagai kegiatan, ia berpamitan pada ibunya untuk menyusuri pantai yang indah itu. Saat ia berjalan menyusuri pantai, dilihatnya Pak Mamat yang sedang bersiap-siap melaut. Hati kecil Sita berbisik, “Apa yang dibawa Pak mamat? Kok tak biasa-

48


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

nya.” Dengan penuh tanda tanya Sita menghampiri Pak Mamat. “Oh, ini peledak untuk menangkap ikan, Neng.” Sita terkejut, tetapi ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia mencoba mengerti, barangkali Pak Mamat tidak tahu dampak akan pemakaian peledak itu. Ia teringat pelajaran muatan lokal si sekolahnya; bila bahan peledak itu digunakan akan merusak terumbu karang dan tempat persembunyian ikan. “Pak, bapak tahu tidak? Bila menggunakan itu, tanpa disengaja bapak telah merusak ekosistem di sekitarnya. Bila tempat tinggal ikan sudah rusak, di mana lagi ikan itu akan berkembang biak? Bila dilakukan secara terus menerus, akhirnya ikan susah didapat dan akan punah.” Pak Mamat akhirnya mengurungkan niatnya menangkap ikan dengan barang haram itu. Betapa senangnya hati Sita. Ia merasa telah membantu pelestarian terumbu karang di daerahnya. “Pak, besok saya ingin ke rumah Pak Mamat untuk melihat anak bapak yang baru lahir kemarin. Mohon izin ya, Pak?” kata Sita sambil tersenyum. “Oh, jangan sungkan, Neng. Silakan.”

KEESOKAN harinya, Sita berkunjung ke rumah Pak Mamat. “Assalamualaikum,” 49


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Waalaikumsalam. Eh, Sita, masuk nak.” Istri Pak Mamat menyahut salam Sita. “Oh Iya, bu. Pak Mamatnya ada?” “Ada. Tunggu sebentar, ibu panggilkan.” Setelah itu, Pak Mamat keluar dari dalam kamar dengan baju yang cukup sederhana. Dengan berbasa-basi terlebih dahulu, akhirnya Sita bertanya, “Bagaimana tangkapan ikannya Pak? Tidak jauh berbeda kan bila tidak menggunakan bahan itu?” “Ehmm....” “Boleh tidak Sita tahu dari mana Bapak mendapatkan bahan itu?” Dengan wajah setengah bingung Pak Mamat menjawab, “Emangnya untuk apa, Neng?” “Tidak apa-apa, Pak. Sita hanya ingin tahu saja. Karena Sita sangat penasaran siapa yang mengolah, membeli, dan menjual bahan itu.” “Oh, kalau begitu Sita boleh ikut Bapak.” Dengan motor bututnya, Pak Mamat membonceng Sita menuju tempat penjualan bahan peledak. Tempat itu sangat tertutup, bila ingin masuk ke dalam dan membeli bahan haram itu harus mengatakan kode TIDO. Sita tertawa kecil, “Ada-ada saja tempat ini.” Setelah tahu tempat itu, mereka pulang ke rumah masingmasing. 50


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Pak terima kasih atas informasinya hari ini ya.” “Sama-sama, Nak.”

DALAM malam yang gelap gulita, Sita berpikir untuk melaporkan tempat penjualan bahan peledak itu ke polisi. “Tetapi apakah akan berhasil? Harus dicoba!” pikirnya. Setelah itu ia pun bisa tertidur di atas tikar, menemani adiknya yang sudah tampak lelap. Sesuai rencana, hari itu ia akan ke kantor polisi guna melaporkan peristiwa buruk di daerahnya. Sesampainya di kantor polisi ia langsung mengatakan permasalahan. “Pak, saya mewakili warga Desa Sepempang bahwa banyak yang resah akan penjualan bahan peledak untuk menangkap ikan.” “Kalau

begitu,

segera

kami

proses.

Boleh

minta

alamatnya,” lanjut polisi itu. “Alamatnya di Jalan Kramat 2, yang rumah tingkat bercat putih memiliki pagar hitam yang tinggi.” “Baiklah, keterangan Adik sudah cukup lengkap.” “Terima kasih Pak. Kalau begitu saya pamit pulang.” Setelah pulang dari kantor polisi wajah Sita tampak berseri-seri. Di rumah, ia langsung memberitahu orangtuanya agar ketika polisi ke rumah, ibunya tak perlu kaget. Sita mencari ibunya. “Bu…,” Sita memanggil 51


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Iya, ada apa, Nak.� “Sita mau bilang, mau ada polisi ke rumah. Ibu jangan berpikiran macam-macam, ya. Sita tidak berbuat apa-apa. Sita hanya membantu polisi untuk menangkap pelaku penjualan bom untuk menangkap ikan.� Awalnya ibu Sita tidak percaya, apa yang dilakukan anaknya. Ibu Sita menganggap itu perbuatan yang bisa mencelakakan diri Sita sendiri. Tetapi Sita berusaha menjelaskan pada ibunya agar memercayainya. Berita itu menyebar dikalangan nelayan. Ada yang mendukung, tetapi ada juga yang menentang perbuatan Sita. Di dalam hati Sita, hanya ada satu tujuan yaitu menyelamatkan terumbu karang. Sudah berapa hari, tersiar kabar bahwa pelaku telah tertangkap polisi. Dengan senangnya Sita mendengar kabar itu, tetapi tetangga yang tak jauh dari rumahnya ikut-ikutan ditahan karena ia membantu pendistribusian bahan itu di kalangan nelayan. Ternyata dalang dari semua itu adalah warga asing yang tinggal di daerah Desa Sepempang. Keluarga dari desa Sepempang yang tertangkap itu sangat membenci Sita, karena bagi mereka gara-gara Sita tulang punggung keluarga itu hilang begitu saja. Karena terprovokasi oleh keluarga itu, akhirnya banyak warga ikut-ikutan membenci Sita dan keluarganya. Sehingga keluar cemoohan dari warga sekitar. 52


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dua minggu belakangan ini, keluarga Sita sangat dipojokkan oleh warga sekitar. Hanya Pak Mamat dan keluarganya yang memiliki pendapat berbeda tentang sikap Sita waktu itu. Keluarga Pak Mamat selalu membantu Sita dan keluarganya untuk segala sesuatu. Sita sangat berterima kasih sekali kepada keluarga Pak Mamat. Hari Senin, Sita mencoba untuk bersekolah seperti biasa. Tetapi baru setengah jalan, sudah puluhan ibu-ibu membicarakannya. Akhirnya Sita memutuskan untuk kembali karena tidak tahan mendengar ocehan di kalangan masyarakat sekitar. Dengan berbagai cobaan menimpa dirinya, Sita tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa perlakuannya dua minggu yang lalu adalah kesalahan. Baru dua langkah masuk rumah, Sita sudah disuguhi pertanyaan. “Kenapa pulang lagi, Nak?� Sita hanya Menundukan kepalanya ke bawah dan masuk kamar. Sudah dua minggu Sita tak pernah sampai ke sekeloh. Di kamarnya, Sita bertanyatanya: Di mana keadilan? Namun Sita tak berhasil menemukan jawabannya. Akhirnya, karena sudah tidak tahan dengan perlakuan dari masyarakat sekitar dan tidak ingin merepotkan Pak Mamat lagi, Sita dan keluarganya pindah dari desa Sepempang menuju rumah saudaranya di Pulau Tiga. Saat itu Sita sangat sedih, ia harus meninggalkan prestasi belajarnya dan teman-temannya di desa Sepempang. 53


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SETELAH lulus SMP, Sita dan keluarga kembali lagi ke Desa Sepempang dan Sita melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ternyata Sita sudah diterima kembali di kalangan warga sekitar Sepempang. Kata Pak Mamat, tiga bulan yang lalu ada pihak dari pemerintah mengadakan penyuluhan dengan tema bagaimana menjaga ekosistem laut. Dengan mantap Pak Mamat berkata, “Mungkin mereka baru sadar kalau kamu yang benar Sita, sebentar lagi pasti wargawarga di sini akan meminta maaf padamu.” Sita hanya tertawa senang mendengar kabar itu. Tiga hari kepulangan Sita ke Desa Sepempang, Pak Jumadi—perwakilan dari pemerintah daerah—bertamu ke rumahnya. “Kami dari pemerintah daerah, hanya ingin menyampaikan bahwa Sita mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke SMA dan perguruan tinggi. Biaya ditanggung pemerintah,” kata Pak Jumadi menyampaikan perihal kedatangannya.

SETELAH tamat dari SMA, Sita melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Batam. Dengan perasaan sedih bercampur senang, Sita berangkat naik pesawat menuju Batam. Dalam hatinya ada satu kalimat, “Go to Batam Island.” Dan ini

54


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

adalah pengalaman pertamanya menaiki pesawat dan pergi keluar dari Natuna. Roda pesawat telah menyentuh landasan bandara di Batam. Dalam lima tahun, Sita sudah menyelesaikan kuliahnya dengan menyandang gelar sarjana. Sita lalu pulang ke Natuna untuk berkumpul bersama keluarga besarnya. Dalam hatinya Sita Bersyukur. “Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang kau berikan kepada keluarga hamba.� Tak lama Sita mendapat pekerjaan tetap di Natuna, sehingga bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Sejak saat itu, warga di daerahnya menyebut Sita dengan panggilan Gadis Terumbu Karang yang manis. Bagi Sita semua berakhir dengan bahagia.

55


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Anjing Langit Sunlie Thomas Alexander Published Š Jawa Pos, Minggu 05 Agustus 2012

57


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DI ANTARA sekian banyak kisah mitologi yang sering dituturkan pamanku selepas makan malam, salah satunya adalah cerita Anjing Langit. Ia, kata Paman, anjing peliharaan Kaisar Giok yang ditugaskan menjaga delapan gerbang khayangan. Anjing itu besar dan berbulu hitam lebat dengan lidah yang selalu terjulur merah basah. Ah, aku membayangkan betapa garangnya binatang itu, dengan taring-taring tampak putih mengkilap. “Oh, tak perlu takut, Nak. Dia takkan menganggumu atau siapa pun. Dia hanya galak pada orang-orang jahat dan para siluman yang tak mau bertobat,� lanjut Paman di antara santer aroma dupa dari altar keluarga yang mengepul pekat. Entahlah, aku tak tahu kenapa dari sekian banyak kisah, Paman paling kerap menuturkan cerita Anjing Langit itu padaku. Berulang-ulang. Hingga tak terhitung lagi sudah berapa kali aku mendengarnya. Kadangkala kulihat kedua matanya berbinar-binar tatkala sedang berkisah.

PAMAN juga memelihara seekor anjing. Kukira jenis herder tapi dari ras campuran. Bukan hitam tapi coklat gelap, bulunya panjang mengkilap. Cukup besar jika dibandingkan dengan anjing-anjing kampung. Hanya saja Paman tak pernah memberi nama pada anjingnya. Biasanya, ia hanya memanggil anjing itu, “Keuw! Keuw!� yang dalam bahasa Hakka artinya anjing. Akulah yang 58


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kemudian menamai anjing itu: Ran Tan Plan. Meskipun dia tidaklah mirip sama sekali dengan anjing konyol Lucky Luke yang kulihat di komik dan film kartun. Tak ada yang tahu dari mana pamanku memperoleh Ran. Suatu hari, saat aku masih duduk di kelas dua SD, ia pulang membawa Ran yang masih mungil dalam keranjang rotan. Sejak itulah Paman memiliki pendamping yang begitu setia dan lengket satu sama lain. Ya, Paman sayang sekali pada anjingnya itu. Kupikir kami semua juga menyayangi Ran. Dia jinak dan manja pada kami. Dia juga tak pernah menggonggongi para tetangga atau tamu yang bertandang ke rumah. Namun sesekali dia bakal menggeram-geram dengan buasnya pada satu-dua orang asing yang lewat di depan rumah. Cuma orang-orang tertentu saja‌ Ran setiap pagi selalu mengantarku ke sekolah. Dia akan mengejar di belakang sepedaku dengan nafas terengah-engah, dengan lidah terjulur keluar. Terkadang aku iseng mengajaknya adu balapan, yang segera ditanggapinya dengan gonggongan senang. Tanpa pernah diajari oleh siapa pun, dia hanya mengantarku sampai di depan gerbang sekolah lalu berdiri mengawasiku masuk ke halaman sekolah sambil mengkibas-kibaskan ekornya. Tak jarang dia juga datang menjemputku saat bubaran sekolah. Dia biasanya menyambutku dengan riang, melonjak-lonjak kecil begitu melihatku keluar dari pintu gerbang.

59


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Namun di malam hari, dia bakal bersiaga di depan rumah. Berbaring tengkurap di teras dengan telinga bergerak-gerak meskipun kedua matanya tampak terpejam rapat. Dia takkan beranjak dari tempatnya sepanjang malam sebelum ayam jago berkokok. Kadang-kadang di tengah malam, kami mendengarnya mendengking halus, atau melolong panjang dengan nada memilukan. “Itu tandanya dia mendengar arwah penasaran atau siluman lewat,” bisik pamanku dengan mimik wajah serius. Aku ternganga, membayangkan Ran Tan Plan dengan pendengaran supersoniknya menangkap kehadiran makhluk-makhluk halus itu: ada tapi tak beraroma! KATA Ibu, Paman seorang Thung Se1. Tapi aku tak pernah melihatnya melakukan ritual memanggil para dewa merasuki tubuhnya. Paman juga tak pernah terlihat sedang berpuasa atau berpantang. Malah ia menyantap semua daging dengan lahapnya: babi, sapi, kambing, ayam, juga rusa dan kijang buruan. Ya, kecuali daging anjing… Namun sesekali ada saja tetangga datang membawa anak kecil yang sakit menemuinya. Atau, “Aku susah tidur belakang ini, Hiung. Sudah seminggu ini bermimpi buruk terus.”

1

Thung Se: orang yang melakoni ritual kerasukan dewa. Di Kalimantan Barat disebut juga sebagai Ta Thung.

60


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Paman tak pernah menulis kertas Phu2. Ia cuma mengangguk-angguk lantas mengambil sloki teh yang tersaji di altar Dewa Ngi Long dan memberikannya kepada para tetangga kami itu. Minumlah, semoga saja ada faedahnya, ucapnya kalem. Santai dan sedikit acuh. Toh, entah teh itu memang manjur, satu-dua hari kemudian kami selalu mendapat kabar baik dari mereka yang bertandang. Aku ini bukan dokter, bukan dukun, Nak. Mana bisa aku sembuhkan penyakit? Kata Paman suatu kali padaku sambil tertawa kecil. Tapi Dewa tentunya bisa menolong siapa saja kan? Ia menatapku, pandangannya itu seolah hendak menembus ke dalam kedua mataku. Di altar keluarga kami terdapat empat buah guci dupa. Yang paling besar adalah guci untuk Dewi Kwan Im yang berada di bagian tengah altar. Guci itu peninggalan Kakek, terbuat dari kuningan yang warnanya telah memudar kehitaman akibat dimakan usia dan seringnya terkena asap. Tiga guci lainnya berukuran lebih kecil dan terbuat dari tanah liat. Di sebelah kanan adalah guci dupa untuk arwah Kakek dan Nenek yang meninggal sebelum aku lahir. Karena itu aku hanya mengenal wajah keduanya dari foto hitam-putih mereka yang dipajang berdampingan di atas altar (di kemudian hari, kukira itu foto yang sangat tua, sebab Kakek dan Nenek tampak masih muda; mungkin diambil tak lama setelah mereka 2 Phu: Kertas kuning persegi panjang yang ditulisi mantera, biasanya digunakan sebagai jimat penangkal bala.

61


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

menikah menggunakan kamera besar yang harus diselubungi kain hitam saat memotret). Guci yang persis serupa diletakkan di sebelah kiri altar. Tak ada di antara kami yang bersembahyang di altar itu selain Paman. Gambar seorang lelaki muda berpakaian perang keemasan, memiliki tiga buah mata dan membawa tombak bermata tiga tampak berdiri gagah di dinding altar itu. Ia ditemani seekor anjing hitam yang duduk di sisi kanannya. Ya, Anjing Langit yang berulang-ulang diceritakan pamanku. Dan si mata tiga itu adalah Ngi Long Sin, dewa penjaga pintu khayangan, tukas Paman. Setiap pagi dan sore ia tak pernah lalai membakar dupa di depan altar itu, jauh lebih sering dari yang ia lakukan pada altar mendiang orang tuanya (hal mana yang mengundang cibiran ayahku). Guci keempat yang terletak di bawah altar aku rasa tak penting diceritakan. Itu guci dupa Dewa Tanah yang dimiliki oleh hampir setiap keluarga Tionghoa.

AH, aku tak pernah tahu riwayat altar Ngi Long Sin di ruangan depan rumah kami itu. Dewa bermata tiga itu tentunya bukan dewa yang banyak disembah orang. Bahkan pada masa itu pun tak banyak keluarga Tionghoa yang memuja Dewa Ngi Long, apalagi memiliki altar pemujaannya di rumah. Dulu aku kerap membayangkan sosoknya seperti tentara yang sedang

62


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

berjaga di depan Kodim saat aku diajak Ayah ke rumah salah seorang bibiku di kota kabupaten. Tapi menurut pamanku, Ngi Long Sin adalah salah satu Panglima Langit yang memimpin balatentara khayangan. Toh, dibandingkan cerita tentang Anjing Langit, tidaklah pernah utuh Paman mengisahkan riwayat sang dewa. Seingatku hanya dua kali ia bercerita. Itupun setelah aku mendesaknya. Menurut cerita Paman yang sepotong-sepotong dan agaknya berasal dari sumber yang campur aduk: Ngi Long Sin bernama asli Yang Jian. Dia hidup di jaman dinasti Qin dan pernah berguru pada seorang sakti bernama Giok Teng Cin Jin di Gua Lembayung Emas, puncak gunung Yu Quan. Dia adalah seorang perwira menengah balatentara kerajaan pimpinan Jenderal Li Chin, ayah Dewa Na Cha, yang kemudian dikenal sebagai Dewa Langit Raja Pagoda. “Meskipun karir kemiliterannya gilang-gemilang dan digilai oleh banyak gadis cantik, Yang Jian menolak kehidupan mewah dan menikah. Dia vegetarian dan bertekad keras hidup menurut tuntunan Tao dan ajaran Budha. Sehingga Kerajaan Langit pun tergugah oleh kebajikan hidup dan kepahlawanannya yang selalu membela rakyat kecil. Karena itulah, setelah diangkat jadi dewa, ia pun diserahi tugas menjaga gerbang khayangan bersama Anjing Langit,� tutur Paman. Tapi sebagaimana kebanyakan hikayat lama, cerita Dewa Ngi Long sebetulnya memiliki beragam versi berbeda. Ya, 63


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

barulah jauh di kemudian hari aku membacanya dari berbagai buku: Ada yang mengatakan kalau Ngi Long Sin sebenarnya adalah walikota Jia Zhou bernama Zhao Yu yang hidup di masa dinasti Sui, pada masa pemerintahan kaisar Sui Yang Di (605-617 M). Ketika itu dia dielu-elukan setelah berhasil membunuh seekor ular naga ganas di sungai kota Jia Zhou yang menganggu penduduk. Karena itu, dia dikenal juga sebagai dewa pelindung kota-kota tepian sungai dan terkenal memiliki kesaktian yang luar biasa dalam menghadapi siluman atau roh jahat. Riwayat lain menyebutnya sebagai putra Li Bing, gubernur propinsi Sichuan pada jaman dinasti Qin. Sementara dalam cerita Si Yu Ki3, dikisahkan pula bahwa dia adalah keponakan Dewa Giok Hong Tay Te. Ketika Sun Wu Kung mengacau di khayangan, atas saran Dewi Kwan Im, ia diperintahkan untuk meringkus raja kera itu. “Ngi Long Sin tak pernah menang dari Sun Wu Kung. Tapi Wu Kung takut pada Anjing Langitnya,� ujar pamanku menutup cerita. Namun bukanlah Paman jika tak bersikeras bahwa versi dialah yang paling benar. Ia kepala batu sejak kecil! Dengus ayahku bersungut-sungut ketika suatu kali mereka terlibat cekcok mulut atas masalah yang tak penting. Sejak kecil mereka memang kurang akur. Ada saja yang membuat mereka bersitegang. Sehingga sebagai anak tertua, Bibilah yang selalu 3 Si Yu Ki: Perjalanan Ke Barat, sebuah epos tentang perjalanan Rahib Tang mencari kitab suci ke India ditemani tiga siluman.

64


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

menjadi pendamai kedua adiknya. Tapi menurutku, ayahku yang terlalu sering mencampuri urusan Paman. Paling tidak, ia suka mengomentari apa yang Paman lakukan, seolah-olah pekerjaan Paman tak ada yang beres di matanya…

NENEKKU memiliki lima orang anak dari perkawinan keduanya dengan Kakek. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Tapi dua orang anaknya—sesuatu yang normal pada masa itu di kampung terpencil—meninggal saat masih anak-anak. Paman adalah anak keempat, dua tahun di bawah ayahku. Sebelumnya, Nenek sempat menikah dengan seorang tukang tahu yang mati sebelum mereka dikarunia keturunan. Tentu saja semua anak Nenek sudah berkeluarga kecuali Paman. Apakah Paman memang tak ingin menikah seperti Dewa Ngi Long? Aku bertanya lugu suatu kali. “Oh, bukan begitu. Pamanmu itu mau sekali menikah kalau saja ada perempuan yang mau dengan dia!” jawab ayahku dengan sinis. “Husy! Nanti kedengaran dia, ribut lagi!” potong Ibu yang sedang menghidupkan kayu bakar dari balik tungku dapur. Namun terlambat. Tahu-tahu sudah terdengar langkah kaki yang sangat kuhafal dan ketika aku berbalik Paman sudah berada di dapur. Aku dan Ibu sama-sama menahan nafas, bersiap-siap mendengar keributan meledak. Tapi ternyata tidak. Paman hanya menatapku sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa 65


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ia meneruskan langkah ke kamar mandi yang terletak di sudut dapur. Hanya saja, sekilas sempat kulihat wajahnya memerah. “Menikah itu hanya menambah masalah. Jadi buat apa? Kau tahu, pamanmu ini masih bisa mendapatkan perempuan yang paman inginkan kalau mau,” kilah Paman dengan angkuh malam harinya saat kami duduk berdua di teras, “Tapi jika kau memilih tidak menikah atau terlambat menikah, orang-orang pasti mencibir dan mengejekmu tak laku.” Gayanya seperti biasa, acuh tak acuh. Meskipun nada suaranya jelas terdengar kesal. Lalu ditambahkannya bahwa seharusnya ia tidak tinggal di kampung tapi merantau ke Jakarta seperti beberapa orang temannya. Aku cuma diam saja mendengarkan, tanpa keinginan berkomentar apa-apa. Usia Paman waktu itu sudah 42 tahun. Umur yang wajar apabila diledek orang-orang kampung sebagai bujang lapuk. Kendati begitu, seperti kebiasaannya, Paman tetap saja ngotot kalau dirinya masih seorang anak muda. “Kau tahu, seusia Pamanmu ini Alan Tang masih beraduakting dengan Chen-Chen dalam film romantis dan Ti Lung masih berperan jadi pendekar muda yang baru turun gunung. Lihat saja pertandingan-pertandingan Fo-le-man4 di tivi. Coba berapa umurnya sekarang? Tapi ia masih bisa menjadi macan ring!” kata Paman dengan mimik setengah serius.

4

George Foreman, mantan juara dunia tinju kelas berat di tahun 70-an yang kembali naik ring pada umur 40 tahun pada tahun 1990.

66


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ah, sebetulnya pamanku ini tidaklah gampang marah walaupun sering diejek, kecuali jika ia dikait-kaitkan dengan satu nama: Ling Fa… Ya, nama itu seolah-olah nama keramat yang pantang disebut di hadapannya. Tentu saja semua orang kampung tahu itu nama mantan pacar Paman. Tapi aku sendiri baru pertama kali mendengar nama tersebut ketika suatu hari Paman terlibat keributan di warung bakmi. Aku sudah lupa bagaimana persisnya kejadian yang berujung di kantor polisi itu. Yang aku ingat, betapa gusarnya Ayah saat itu karena harus bolak-balik ke Polsek di kota kecamatan untuk mengurus perkara Paman. “Orang Alleluya,” kata Ibu kemudian memberitahu perihal si empunya nama sekaligus muasal kisah asmara Paman yang tak sampai, “Keluarga perempuan itu tak setuju dengan pamanmu.” Aku langsung paham kalau yang dimaksudkan oleh ibuku adalah pemeluk Kristen Protestan. Karena untuk orang Katolik, kami biasa menyebutnya sebagai ‘orang pastur’. Tak banyak orang Kristen di kampung kami waktu itu, hanya beberapa keluarga. Tapi menurut orang tua kami, mereka cukup fanatik dan sedikit menjaga jarak dengan para tetangga. Berbeda dengan ‘orang pastur’ yang tak dilarang memegang dupa dan bersembahyang untuk arwah leluhur, mereka bahkan dengan terangterangan menyatakan altar-altar keluarga dan para dewa di rumah kami sebagai berhala yang mesti disingkirkan. Jelas, 67


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

mereka juga tak makan bekuan darah atau makanan bekas sesajen sembahyang. “Nah, bayangkan saja bagaimana kedua orang tua Ling Fa bisa merestui anak gadisnya menikah dengan seorang penyembah berhala? Apalagi pamanmu tegas-tegas menolak dibaptis,” kata ibuku. Namun ayahku punya versinya sendiri atas garis perjodohan Paman yang buruk. Menurut Ayah, seretnya jodoh pamanku tak lain karena ia dilahirkan pada tanggal 28 bulan delapan Imlek, tepat pada hari ulang tahun Dewa Ngi Long. Bahkan untuk menguatkan argumennya tersebut, Ayah sampai perlu membeberkan sejumlah contoh: “Kau tahu Bibi Lan yang tinggal dekat sekolahmu itu? Ia juga perawan tua kan? Itu karena tanggal lahirnya bertepatan dengan hari moksanya Dewi Kwan Im. Begitu pula Paman Ho, teman kerja ayah. Ia juga tidak menikah lantaran lahir pada perayaan Dewa Fa Kong. Secara tak langsung, mereka itu ikut ketiban bayang-bayang takdir para dewata yang dilarang menikah oleh ketentuan hukum Langit!” “Kok bisa begitu? Tanggal lahirku tak bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu dewa kan, Yah?” tanyaku kaget dan cemas. Ayah tertawa dan mengusap rambutku, “Jangan khawatir. Kita tidak memuja Dewa Nacha di rumah ini…”

68


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

TERLEPAS dari karma atau bukan, keramat atau tidaknya hari ulangtahun pamanku, toh setiap tanggal 28 bulan delapan Imlek, ia selalu menghilang bersama Ran Tan Plan. Tak seorang pun dari kami tahu ke mana ia pergi dan atas kepentingan apa. Tak pernah ia mau bercerita, pun padaku. Apakah Paman pergi menyepi ke suatu tempat untuk bersemedi? Bertapa di hutan atau gua dengan tuntunan dewanya atau menuntut kesaktian seperti para pendekar dalam film. “Ada-ada saja pikiranmu! Dia tuh cuma mencari sensasi saja! Dia pasti pergi ke tempat seorang temannya, atau mungkin pergi mancing ke laut!� sergah Ayah yang tak suka mendengar tebak-tebakanku. Biasanya Paman sudah berangkat pagi-pagi sekali dan baru kembali setelah hari sudah gelap atau keesokan pagi. Namun kadang-kadang bisa sampai dua hari, bahkan pernah sampai seminggu baru pulang. Demikian setiap tahun. Sampai suatu kali, ia pergi lama sekali. Baru sekitar tiga minggu atau lebih ia kembali. Sendirian. Lesu, acak-acakan, dan tampak lebih kurus. “Ran mana, Paman?� tanyaku menghambur ke halaman menyambutnya karena tidak melihat anjing kesayangan kami itu bersamanya. Kulihat Paman seperti tercenung, raut wajahnya setengah bloon setengah sedih. Dua kali aku bertanya, tetapi Paman masih saja bungkam, tampak enggan menjawab. Diteruskan langkahnya masuk ke dalam rumah dengan gontai. 69


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Paman!” aku mengejarnya, “Ran di mana, Paman?!” “Paman!!” aku berteriak dan mengguncang-guncang tubuhnya, “Di mana Ran, Paman?!” tapi Paman tetap saja bergeming. Ayahku yang sedang membersihkan sepeda jadi meradang. Dihampirinya Paman dengan wajah merah, “Hei, jawab! Ke mana kau bawa anjing itu, Hiung!” Wajah Paman ikut memerah, mulutnya tampak berkomatkamit tapi tak bersuara. Ditatapnya wajahku dengan pandangan seperti bersalah lalu berbisik, “Maaf Lie, Ran sudah kembali ke tempatnya di khayangan. Ia moksa…” Aku kaget setengah mati. Namun sebelum tangisku pecah, Ayah keburu membentak, “Moksa kau bilang? Kalau mau gila jangan ajak-ajak orang ya! Kau apakan anjing itu?!” Ibu tergopoh-gopoh datang dari dapur. Tapi ayahku sudah keburu mencekal kerah baju Paman. Paman mendorongnya. Terjadi dorong-mendorong antara kakak-beradik. Ibu berteriakteriak melerai. Saat itulah, kedua mataku yang berlinang melihat sehelai kertas terjatuh dari saku kemeja Paman. Tepat di bawah kakiku. Selembar foto. Foto perempuan muda. Seorang gadis Melayu yang berkulit hitam manis… Ah, ibuku selalu percaya, hujan—lebat ataupun sekadar gerimis—bakal turun pada setiap tanggal suci para dewa. Begitu pula jika ada orang meninggal di sekitar kita. Tentu saja hal itu sulit diterima logika. Tapi tak perlu berdebat dengannya, pengalaman masa kecilku seolah menunjukkan: Ibu memang 70


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

nyaris selalu benar! Setiapkali beliau membersihkan dan menghias altar Dewi Kwan Im dengan bunga-bunga di hari ulang tahun dan moksa sang dewi yang welas asih, aku selalu mengingat rintik-rintik hujan menerpa genteng, terkadang tercurah dengan hebatnya hingga selokan di depan rumah meruap. Toh hari itu, tak seorang dewa atau peri pun yang berhajat besar di khayangan, namun hujan tiba-tiba mengucur begitu deras. Krapyak Wetan, Jogjakarta, Juli 2012

71


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Surat Pertama Richa Miskiyya Published Š Joglosemar, Minggu 05 Agustus 2012.

Richa Miskiyya, alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Beberapa tulisannya tersebar di beberapa media lokal dan nasional. Beberapa Cerpennya juga bergabung dalam beberapa antologi bersama penulis lain.

73


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SAYA ingin kerja saja, Pak,” ucapku suatu hari pada Bapak. “Kerja apa? Kamu harus sekolah, kamu harus lebih pintar dari pada Bapak dan Emakmu ini.” “Tapi saya tidak mau membebani Bapak.” “Bapak tidak merasa terbebani, kamu adalah satu-satunya anak Bapak dan Emak, kamu jangan mengikuti jejak kami.” “Turuti saja keinginan kami.” Emak mengelus lembut kepalaku. Hari itu aku berdebat panjang dengan Bapak dan Emak, di satu sisi aku ingin bekerja agar tak membebani hidup orangtuaku, namun di sisi lain, Bapak dan Emak ingin agar aku melanjutkan sekolah saja. Akhirnya, karena tak ingin membuat hati Bapak dan Emak sakit, aku pun menuruti keinginan Bapak dan Emak untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah sekaligus nyantri di pondok pesantren. Ya, itu adalah kejadian tiga tahun lalu, saat keinginanku untuk bekerja tak direstui oleh orang tua. Kini aku telah lulus Madrasah Aliyah dan aku pun kembali ke desaku, keinginanku untuk bekerja di kota tak pernah berubah. Desaku di Grobogan memang tak begitu subur, banyak gunung kapur, hingga yang banyak ditanam hanyalah pohon jati. Padi di sawah tak bisa sesubur yang diharapkan. Sering kali aku merasa seperti anak durhaka, hanya membebani hidup orangtua. “Pak, saya ingin ke kota.”

74


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Arep opo?15” Bapak menghisap rokok kreteknya dalamdalam. “Saya ingin bekerja di kota, Pak.” “Kerjo wae ning deso26,” Bapak masih menghembuskan asap rokok kreteknya dengan tenang. “Di desa tidak bisa menjamin kehidupan, Pak. Di desa hanya membuat hidup dan ilmu saya sia-sia, Pak. Coba saja lihat kawan-kawan Wahyu yang bekerja di kota, mereka sudah sukses. Bisa membangun rumah dan membeli motor. Bahkan mereka sudah berani menikah,” aku mulai meradang. “Bapak dan Emak memintamu sekolah bukan untuk mencari pangkat, Bapak dan Emak memintamu sekolah agar kamu mencari ilmu, jika semua orang ke kota, siapa yang akan membangun desa ini,” Bapak mematikan rokok kreteknya yang belum habis ke asbak. Jika sudah seperti itu, tandanya Bapak mulai marah akan sikapku. Emak yang mengetahui percakapan kami yang mulai menegang pun langsung beranjak dari dapur dan menenangkan Bapak. Entah apa yang Emak bicarakan pada Bapak, hingga esoknya Bapak mengizinkanku pergi ke kota. “Jika dua bulan belum dapat kerja, kamu harus kembali,” pesan Bapak sebelum aku ke kota. Aku yakin, bisa langsung mendapatkan pekerjaan di kota. Saat Ratno pulang kampung seminggu yang lalu, ia menawari1 2

Arep opo? = Mau Apa? Kerjo wae ning deso = Kerja saja di desa.

75


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ku pekerjaan, dia sudah memberiku alamat tempatnya bekerja. Bus yang aku tumpangi pun melaju ke kota, membawa serta semua mimpiku tentang keindahan kota.

“MAAF, yu. Ternyata pekerjaan yang aku tawarkan kemarin itu sudah diisi orang lain, kamu terlalu lama berpikir. Bosku tak sabar, dan segera mencari orang lain,� ucap Ratno kepadaku. Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Ratno, aku melirik bangunan tempat Ratno bekerja. Sebuah toko bahan bangunan yang besar. Aku pun berlalu dari tempat kerja Ratno dan berjalan menyusuri jalanan kota yang panas dan berdebu.

SUDAH dua bulan lebih aku berada di kota, aku pun hidup seadanya. Berada di kos-kosan 2x1 meter di tengah perkampungan padat penduduk. Awal hidup di kota, setelah aku mencari pekerjaan ke sana kemari, akhirnya aku dapat pekerjaan sebagai kuli bangunan di sebuah proyek bangunan pencakar langit, tapi baru bekerja dua minggu, proyek itu dihentikan. Menurut kawanku yang juga kuli bangunan, ada masalah tender dalam proyek itu yang menyangkut beberapa anggota dewan. Berita itu ia lihat di televisi. Meskipun sudah dua bulan berada di kota, dan sekarang aku menganggur. Aku masih enggan pulang ke desa. Aku malu

76


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pada orang tuaku karena aku belum mampu membuktikan keinginanku. Siang terasa lebih panas, aku merebahkan tubuhku di kos-kosan. Tiba-tiba Soleh yang memang kontrakannya dekat dengan kosanku datang tergopoh-gopoh. “Yu, baru saja aku dapat kabar dari Budiman yang pulang dari kampung, Bapakmu sakit, kamu disuruh pulang,� seperti tersambar geledek di siang hari. Selama ini, bapak tak pernah sakit, meskipun ia bekerja dengan otot di sawah. Aku tahu, meskipun ia perokok berat itu tak pernah membuatnya sakit. Mungkinkah ini karena Bapak terlalu memikirkan sikapku selama ini, entahlah. Empat hari sesampainya aku di rumah, Bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Kata Pak Mantri, Bapak menderita radang paru-paru. Ternyata selama ini Bapak memang menyembunyikan rasa sakit di dadanya agar aku dan Emak tak khawatir. Setelah Bapak meninggal, berbagai pikiran memenuhi kepalaku. Antara keinginan untuk kembali ke kota dan mengadu nasib kembali di sana ataukah memenuhi keinginan Bapak semasa hidup agar aku bekerja saja di desa. Sebelum Bapak meninggal dunia, ia selalu berbisik padaku di tengah nafas yang tersengal. “Bacalah surat pertama,� selalu itu yang dibisikkannya padaku.

77


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Hingga Bapak meninggal pun, aku tak tahu apa yang dimaksudkan oleh Bapak. “Mak, apa Bapak pernah menulis surat, atau menyimpan sepucuk surat? Mungkin surat dari seorang kawan atau dari kakek?” tanyaku pada Emak setelah tujuh hari meninggalnya Bapak. “Surat?” “Iya, Mak. Surat. Bapak sering menyebutkan, Bacalah surat pertama, surat apa, Mak?” Emak hanya menggeleng lemah, tak tahu maksud Bapak.

KUHENTIKAN laju sepedaku di sebuah bangunan yang terbuat dari papan, di depannya tertulis tulisan Musala Al Amin. Aku duduk di teras musala penuh kenangan ini, satu tahun setelah kelahiranku Bapak mewakafkan tanahnya untuk musala ini. Sudah lama aku tak masuk ke musala ini, setiap aku diajak Bapak ke musala, aku selalu mencari alasan. Kupandangi bangunan musala yang sudah mulai rapuh dan banyak sarang laba-laba di pojok dinding. Sejak Bapak tak ada, memang tak ada yang memperhatikan musala ini, bahkan alang-alang yang sudah mulai meninggi pun tak ada yang memangkas. Hanya Mbah Jalal yang masih setia mengumandangkan azan lima kali sehari, meski jalannya sudah tertatih karena renta.

78


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kudengar langkah kaki mendekati musala, ternyata Mbah Jalal. Ia membetulkan kacamatanya, mencoba mencari tahu siapa sosok yang ada di depannya. “Wahyu?” “Iya, mbah. Ini saya, Wahyu.” Aku mendekatinya dan mencium tangannya. Mbah Jalal mengajakku berwudu dan memintaku untuk azan. Waktu asar sudah masuk. Tak ada yang datang untuk salat, akhirnya aku hanya berjamaah berdua dengan Mbah Jalal. “Setiap hari seperti ini, Mbah? Tidak ada yang berjamaah?” tanyaku pada Mbah Jalal selepas salat, kami duduk di depan musala. Mbah Jalal hanya tersenyum, getir. “Jika magrib musala lumayan ramai, tapi jika subuh, zuhur, asar, dan isak, jamaah yang datang bisa dihitung dengan jari, bahkan sering kali hanya Mbah yang salat. Azan sendiri, salat sendiri.” Kulihat pilu menggelayut di wajahnya, aku malu pada diriku sendiri. Aku termasuk orang-orang yang tak pernah datang ke musala. “Kenapa kamu tidak kerja di kota lagi seperti kawankawanmu?” “Almarhum Bapak tidak mengizinkan, Mbah” “Bapakmu benar,” aku menengok ke arah Mbah Jalal. “Bapakmu ingin kamu membangun desa ini.” 79


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Apa yang bisa dibangun, Mbah? Desa ini tak bisa menjanjikan apa-apa, yang ada hanya gunung kapur dan hamparan sawah yang tak subur.” “Dasar anak muda, selalu saja melihat yang nampak.” Lagi-lagi Mbah Jalal membuatku bingung. “Kau lihat anak-anak itu?” Mbah Jalal menunjuk ke arah anak-anak yang berusaha menaikkan layang-layang di lapangan kecil depan musala. “Jika aku sudah tak ada, aku takut tak ada yang mengajari mereka mengaji, tak ada yang mengajari mereka membaca. Membaca keadaan dan kebesaran Tuhan, hingga mereka salah jalan,” ucap Mbah Jalal. Kami terdiam beberapa saat, bermain dengan pikiran kami masing-masing. “Bacalah surat pertama, Wahyu” tiba-tiba kalimat itu terucap dari mulut Mbah Jalal, kalimat yang sama yang selalu diucapkan Bapak di hari-hari akhir hidupnya. “Apa maksudnya Mbah? Bapak juga berpesan itu padaku sebelum Bapak meninggal, tapi sampai sekarang aku tak tahu maksud kalimat itu. Emak pun tak tahu apa maksudnya.” Mbah Jalal beranjak masuk ke dalam musala, beberapa saat kemudian ia membawa sebuah jilidan kertas-kertas warna kuning, sebuah Alquran yang sudah lusuh. Mbah Jalal memberikan Alquran itu padaku, “Bacalah surat pertama,” ucap Mbah Jalal. Aku pun membuka Alquran

80 0


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

itu dan membaca surat pertama dalam Alquran. Al Fatihah hingga selesai tujuh ayat. “Apa itu surat pertama?” tanya Mbah Jalal. Aku mengangguk mantap. “Anak muda memang selalu melihat dari luar saja. Al Fatihah memang surat pertama dalam Alquran, tapi bukan surat pertama yang diturunkan,” aku tercenung, aku kemudian membuka juz 30. Kubaca surat Al Alaq, lima ayat pertamanya adalah yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan,” Mbah Jalal mengartikan ayat pertama. “Bacalah, Wahyu. Kau tahu kabar tentang Ratno yang menikah lagi dan meninggalkan Aning istrinya?” aku mengangguk, kabar itu memang sudah tersebar ke seluruh desa. “Kau pasti melihat Ratno itu seorang yang berhasil, dengan bisa membangun rumah dan mencukupi segala kebutuhan keluarganya. Tapi Ratno tak dapat membaca.” “Ia tak dapat membaca lingkungan dan keadaan, hingga tega meninggalkan keluarganya untuk perempuan yang baru dikenalnya. Ia belum dapat membaca kenikmatan Allah untuknya.” “Bacalah, Yu. Bacalah lingkunganmu, Bacalah apa yang dibutuhkan lingkunganmu, maka Allah akan mencukupi kebutuhanmu.” Mbah Jalal berjalan tertatih meninggalkanku sendirian di depan musala, sendirian dengan hatiku. 81


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Bapak, apakah ini pesan yang kau maksud?� gumamku pelan, sepelan tiupan angin yang membilas ilalang di hadapanku.

82


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Madang Chairil Gibran Ramadhan Published Š Jurnal Nasional, Minggu 05 Agustus 2012

Chairil Gibran Ramadhan, cerpennya tampil di Horison, The Jakarta Post, Kompas, Koran Tempo, dan lainnya. Dua cerpennya tampil dalam antologi bersama untuk pasar internasional terbitan The Lontar Foundation: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I Am Woman (ed. John H. McGlynn, 2011). Penggiat Forum Sastra Betawi ini merupakan penyusun buku Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900-2000)-Sketsa, Puisi & Prosa (Penerbit Padasan, 2011).

84


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Madang 1 ASHAR. Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Telah kutunaikan kewajiban, kudirikan. Namun setan tiba-tiba datang dan berbisik kepadaku, “Makan apa kau menutup puasamu Maghrib nanti, Marjuki?‘ Lalu di kepalaku hadir sepiring nasi mengepul, pecak tawes, pecak jengkol, serta sambel goang. Astaghfirullah. Tak akan kubiarkan puasaku rusak, merusak pahala puasaku, meski ini hanya senen-kemis. Mataku berkunang-kunang, telapak tanganku gemetaran dan jantungku berdetak cepat. Aku begitu lapar. Kemiskinan telah membawa aku dan 14 lelaki lain ‘‘dipimpin Bari, Syaiful Bachri‘‘ menyeberang dari tanah Jawa ke Sumatra ini. Dari Kampung Pondok Terong di Kecamatan Pancoran Mas, Depok; ke Kabupaten Siak Sri Indrapura di Kecamatan Dayun, Riau Daratan. Sebuah bedeng kemudian menampung kami, bersama enam-tujuh lelaki lain pekerja perkebunan kelapa sawit (PKS) milik Haji Harun, di Afdeling 6 Kampung Sialang Sakti. (Di Dayun ini ada dua PKS besar: Sei Buatan yang pegawainya dari perumahan Afdeling Inti Satu hingga Afdeling Inti Tiga; dan Lubuk Dalam yang pegawainya dari perumahan Afdeling Inti Satu hingga Afdeling Inti Tujuh.) Bari-lah yang mengajakku. Ia begitu baik. Ia yang memberiku harapan tentang perubahan di tanah seberang. “Kalu pe85


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ngen maju kudu berani jauh dari rumah, Juk. Oper. Jangan dari beranakin ampe gede, ampe tua, ampe mati, cuman di kampung kendiri kagak pernah kemana-manah. Jangan mentangmentang Betawi lantas eluh jadi betah di wilayah." Ia membuka pikiranku. “‘Nti kalu udah dapet duit banyak, kagak perlu lagih kita nelen kesusahan atawa kesusahan nyang nelen kita. Kita bakal nginjek kesusahan pake banda nyang kita punya. Jadi kagak cuman si Aslan doangan nyang kaya di Pondok Terong. Eluh kagak perlu mikirin apa-apah dah. Semuah ongkos sampe makan guah nyang nanggung. Guah lagi ada duit." “‘Nti kalu guah udah punya duit, guah ganti, Bar. Guah anggep utang semuah nyang dari eluh." “Jangan dipikirin, Juk. Entuh pekara sepele. Nyang penting sekarang kita kudu ke sonoh dulu. Kereja. Jangan lupa KTP ama pakaean. Catet nyang jelas alamat rumah luh." “Guah kagak bakalan lupa rumah kendiri, Bar." “Bukan buat eluh! Buat kang pos! ‘Nti pegimanah diah bisa nganter duit nyang eluh kirim buat nyak ama baba kalu diah kagak tau apa-apah?" Maka aku meminta restu bapak dan ibu. Bapak sempat berpesan, bila sudah punya banyak uang jangan lupa pulang dan menikah: “Eluh punya umur udah 24. Temen eluh udah banyak nyang pada punya anak. Si Rohman, Karya, ama Muzakir ajah udah tiga. Sekarang pegimanah mao nikah kalu buat ma86


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kan ajah susah?! Umur si Iyas udah lapan belas taun katah babanyah." Tapi aku yakin Widyastuti akan menungguku. Sejak kecil aku yakin ia akan menjadi istriku. Aku keluar dari musholla dan perkebunan. Menjauhi. Perutku perih.

2 HARI pertama di perkebunan, Selasa pagi, Bari memberiku seliter beras. Besok ia akan memberi lima liter sekaligus, katanya. Namun esoknya ia malah menyangkil tas. “Ada urusan nyang kudu guah kelarin di Pekanbaru. Dua-tiga ari lagih pasti udah di sinih lagih. Sekalian guah bawain 10 leter beras buat luh. Buat enih ari eluh pinjem ajah dulu barang dua leter ama nyang laen. Atawa langsung ke Haji Harun. Pasti dikasih. Idup kudu sabar, Juk." “Apah kagak sebaeknyah ama eluh ajah, Bar?" “Duit guah pas-pasan enih ari. Kalo ada mah pasti guah kasih. Eluh tau guah kagak pernah peritungan ama duit." Aku mempercayainya. Kami belajar di SD yang sama meski aku hanya hingga kelas dua karena bapak tidak memiliki banyak uang dan bagi bapak yang terpenting aku sudah bisa membaca dan menulis. Bari sendiri hingga kelas enam. Lepas SD ia pergi mengikuti kakaknya yang berjualan ayam di Pasar Jatinegara. Sebulan sekali ia pulang. Namun sudah hampir setahun ini ia tidak ke Jakarta. Kerjanya hanya mencari orang di 87


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kampung kami dan kampung-kampung tetangga yang berniat kerja di Arab Saudi (nanti temannya “orang Jakarta" yang akan menjemput). Katanya ia sendiri sudah jenuh dengan Jakarta dan ingin mencari pengalaman di kota lain. “Jakarta ama Depok pulonyah masing sama, Juk. Guah pengennyah keluar Jawa. Ke Sumatra engkalih." “Guah ama eluh cuman orang kampung, Bar. Kagak perlu macem-macem. Kita cuman perlu nyari duit. Lagian bukannyah eluh udah enak di Jakarta?" “Eluh bisa ngomong begituh lantaran cuman tau Pondok Terong doangan, Juk. Tapi guah? Pan eluh tau pengalaman guah! Guah pengen kaya‘ orang-orang! Guah kagak mao dari diberanakin, ampe gede, ampe tua, ampe mati, cuman ngejedog di kampung kendiri kagak pernah kemana-manah. Jangan mentang-mentang Betawi lantas betah di wilayah." Namun hingga hari kesembilan aku di sini, hari ini, ia tidak juga datang. Sementara tak ada bahan makanan yang bisa kuserahkan ke tukang masak dan Haji Harun sendiri tak pernah kulihat bagaimana rupa orangnya kecuali mandor perkebunan. Pekerja lain pun sama sulitnya keadaannya meski mereka masih bisa makan pagi dan malam dengan ikan asin dan sayur. Aku tak sampai hati meminjam. Namun mereka selalu bergantian membagiku makanan. Ah, tak akan kubiarkan diriku terus menjadi pengemis yang menerima pemberian-pemberian. Maka aku menolak tangan mereka sejak lepas Isya tiga malam 88


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lalu dan hanya mengisi perutku dengan air putih meski mereka terus memaksa. Aku terus berjalan tanpa alas di jalan tanah bercampur kerikil, dengan kanan dan kiri dijajari kali selebar satu meter untuk pengairan kebun kelapa sawit di kiri dan kanan yang lain. Di mana-mana hanya terlihat pohon kelapa sawit. Dua jembatan kulalui. Hingga hari jatuh gelap aku masih di jalan. Aku yakin sudah Maghrib. Aku membatalkan puasaku dengan sebutir rambutan di jalan karena keharusan menyegerakan berbuka. Entah bagaimana pahala puasaku. Sholat Maghrib nanti saja, aku jama‘ ta‘khir dengan Isya, karena sekarang serba tak memungkinkan. Mataku berkunang-kunang, telapak tanganku gemetaran dan jantungku berdetak cepat. Aku begitu lapar. Ketika kakiku semakin panas dan kurasakan luka-luka, mataku melihat sebuah rumah. Apa aku harus mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa aku lapar? Bagaimana bila penghuninya berpura-pura tidak mendengar dan terus tidur, atau mendengar dan membukakan pintu namun memaki lalu mengusirku? Dari kejauhan kudengar suara orang mengaji di masjid. Perutku perih.

3 AKU duduk bersandar pada dinding batu, di antara kandang ayam dan tumpukan barang tak terpakai, di belakang 89


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

rumah yang gelap-gulita, pengap dan bau. Di dalam masih terdengar suara-suara orang bicara. Mataku berkunang-kunang, telapak tanganku gemetaran dan jantungku berdetak cepat. Aku begitu lapar. Kadang aku berpikir, sesungguhnya aku dan keluargaku tidak perlu berpuasa bila Ramadhan tiba, karena kami miskin dan seringkali lapar (Sehari makan hanya sekali, dengan sedikit nasi dan lebih banyak campuran kelapa, atau hari ini ubi dan besok singkong rebus. Bulan-bulan lain seperti sekarang kami biasa melakukan puasa sunat senen-kemis dengan sebab sama: Tidak ada makanan, dan mudah-mudahan dengan begitu kami mendapat pahala pula). Bukankah guru mengaji ketika aku kecil dan ceramah-ceramah agama yang pernah kudengar mengatakan bahwa puasa Ramadhan itu diwajibkan untuk orang beriman supaya mereka tahu bagaimana rasanya menjadi orang miskin yang seringkali lapar? Jadi apa lagi yang harus kami “rasakan‘? Ah, tapi itu sekedar pikiran nakal bahkan kurang ajar. Perutku perih.

4 AKU masuk diam-diam lewat jendela. Dapur! Aku berjingkat berjalan. Suara-suara orang bicara sudah lama hilang. Namun dari kejauhan masih terdengar suara orang mengaji di masjid, karena ini malam Jumat. Sebuah meja dengan tudung 90


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

saji plastik langsung kuhampiri. Nasi, tahu dan tempe goreng, sayur lodeh, bandeng goreng, sambal terasi. Bandeng goreng! Ya, Allah, ampuni dosaku. Lalu aku kembali teringat kata-kata Bari sewaktu kami masih di kampung, “Sekarang orang boleh ngehina kita, Juk. Ngeremehin kita. Tapi nanti, kalo kita udah punya banyak duit dari sebrang, gantian kita nyang ngehina diah-diah pada. Kita kudu lebih kaya dari TKI-TKI nyang belagu kagak ketulungan entuh. Kalu bisa lebih dari si Aslan sialan." Aku masih mengunyah ketika sergapan tiga orang dari belakang mengagetkanku. Seorang perempuan umur 40-an dan dua anak lelaki umur belasan. Mereka berteriak, meneriaki aku maling. Rupanya aku terlalu memikirkan perut hingga telingaku mati. Namun aku tidak melawan. Aku tahu aku bersalah. Aku menurut saja dibawa ke ruang tamu. Lalu orang-orang datang. Sebagian di luar, beberapa di dalam. Tanpa bertanya, seorang berbadan gempal langsung memukul wajahku. Satu kali di kanan, satu kali di kiri. Kurasakan rahang dan mataku nyeri. Perih di perutku hilang seketika. Lalu seorang lelaki datang. Membawa sebilah balok. Bertanya aku mencuri apa dan kenapa mencuri. Kujawab dengan hati. Aku lapar, dan aku ingin makan. Lelaki itu menatapku, menyuruh anaknya menyimpan balok. Ia memercayai mataku. Lalu memberiku makanan-makanan lain setelah menyuruhku sholat Maghrib dan Isya (Kutahu 91


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kemudian, aku berada di Afdeling 4 di Kampung Sawit Permai. Perumahan di sini termasuk dalam Afdeling Inti Satu yang bentuk rumahnya lebih bagus daripada Afdeling Inti Dua dan Afdeling Inti Tiga. Lelaki itu bernama Purnomo, mandor perkebunan di perkebunan kelapa sawit Inti Satu. Ia biasa dipanggil Mandor Satu). Orang yang tadi memukulku meminta maaf. Istrinya datang membawakan kue-kue kering buatan sendiri, ditambah dua potong baju dan sepotong celana panjang di dalam kantong plastik hitam. Aku menolak, tapi ia memaksa, “Kau sudah tidak punya apa-apa sekarang. Jadi jangan menolak. Besok kau akan kembali ke Sialang dan bekerja pada orang Melayu itu?‘ “Tidak, Pak. Saya mau ke Siak kota, mencari pekerjaan." “Bagaimana dengan Bari? Kau akan mencarinya dan melaporkan pada polisi karena telah menjualmu pada Haji Harun?‘ “Itu sudah urusan Allah, Pak. Semua orang pasti akan menerima balasan untuk semua kelakuannya, dari yang kecil sampai yang besar. Lagipula saya tidak punya uang untuk membayar-bayar polisi. Kalau saya datang tapi tangan kosong, mana mungkin mau polisi bergerak." “Padahal kau bisa mengirim Bari ke penjara." Aku diam.

92


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Kalau begitu lusa aku akan ke Sialang dan menyelesaikan urusanmu dan barang-barangmu pada Haji Harun. Ini bukan pertama kali orang dijual kepada pemilik perkebunan." Kami tidak tidur hingga adzan Subuh. Lepas sholat aku diminta Pak Suro istirahat di rumahnya. Hanya di ruang tamu, karena tak ada kamar lain. Aku begitu bersyukur. Badanku remuk rasanya. Ia memberiku uang 70 ribu perak. Aku menolak, tapi ia memaksa, “Aku tahu kau tidak punya apa-apa sekarang. Jadi tidak perlu menolak. Sekedar untuk ongkos jalan. Carilah pekerjaan halal di kota. Pelayan restoran atau tukang parkir. Bila tidak ada, kembalilah ke sini. Aku akan membawamu kepada seorang yang kukenal. Dzuhur nanti kau kubangunkan. Jangan lupa singgah ke Istana Sultan Syarif Kasim.‘ Kini aku telah menjadi pencuri, sekaligus pengemis yang menerima pemberian-pemberian. Dan aku merasa begitu kekenyangan. Perutku membesar. Tak lagi perih. Aku terlalu banyak madang. (Mungkin sekitar dua minggu kemudian terdengar kabar bahwa Bari mati dirampok orang di jalan, di hari ia berpamitan padaku. Kasihan dia. Aku dan orang-orang sudah bersangka buruk padanya.) Ash-Shuffah, Malam

93


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kota Orang-orang Bisu Dadang Ari Murtono Published Š Kedaulatan Rakyat, Minggu 05 Agustus 2012.

95


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SIAPA pun pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota dengan penghuni yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu. Dan karena semua penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum atau menganggukkan wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka menunjuk barang apa saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena semua bisu, maka sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja begitu hening. Kota itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua mengesankan bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun yang lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu sulit dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan letak kota itu) maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang ada di luar kota tersebut. Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama seperti orang normal kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu itu, kota tersebut dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang begitu haus kekuasaan. Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain. Tidak sekali dua kali si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Misal: menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan penduduknya. Atau 96


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang besar selayaknya istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di sana tanpa upah. Persis kerja rodi. Atau romusha. Si penguasa juga menjadikan segala tambang yang ada di kota itu (dulu, kota itu memiliki banyak tambang, mulai tambang emas, tambang minyak bumi, hingga tambang batu bangunan) menjadi milik pribadinya. Tidak ada yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki pasukan yang kuat dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang berani melawan, akan bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah selama bertahun-tahun. Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba melawan si penguasa. Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang takut, pada akhirnya, hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan segala sesuatu tentang si penguasa yang buruk-buruk. Namun, seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah bagaimana, si penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu selalu menggunjingnya, membicarakan keburukannya. “Suatu hari, gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan pemberontakan!� demikian kesimpulan si penguasa. “Ketika waktu itu tiba, bukan tidak mungkin sekuat apa pun

97


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pasukanku, tidak akan dapat meredam orang-orang itu,� pikirnya lagi. Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan tujuan agar tak ada lagi penduduk kota yang membicarakan keburukannya, yang kemungkinan besar bisa membahayakan kedudukan si penguasa di kemudian hari, si penguasa mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan paling aneh yang pernah dbuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu. Dan bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong, melainkan juga lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi. Lalu begitulah. Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong, setelah semua yang ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir, tiba-tiba saja sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga hari ini. Itu memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua itu. Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah orang-orang yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara. Bahkan, dalam tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin bicara. Semua selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang mendengar bila semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbi98


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

cara. Dan keadaan seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata bualan! Bualan belaka! Pada waktu itu, entah darimana, seseorang yang konon adalah wali Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu terkejut mengetahui betapa orang-orang di kota itu teramat suka membual. Namun si wali tahu, lidah bisa membual, namun tidak halnya dengan mata. Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan dasar berupa hati. Itu pula sebabnya orangorang menyebut mata sebagai jendela jiwa. Konon, kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang di kota itu berhenti membual. Agar orangorang di kota itu tidak lagi bicara dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata. Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini. Aku tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting benar bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di sini. Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan kami berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah hanya akan mengucap cinta kepadaku. Waktu itu, aku percaya. Hingga kemudian, beberapa waktu yang lalu, aku tahu, ia menggunakan lidah dan mulutnya 100


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

untuk mengucap cinta kepada lelaki lain. Dan bukan hanya mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga mengecup serta mengulum mulut dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin, bukan hanya lidah dan mulut lelaki lain itu saja yang ia kecup dan kulum. Mungkin juga bagian tubuh yang lain dari lelaki itu. Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya. Tapi ia bilang aku terlalu mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu. Ia bilang ia tidak melakukan apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia berkata lagi, ia bersumpah lagi tetap mencintaiku. Dan aku meminta pembuktian. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal mengucap cinta kepada lelaki lain. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal menjilati tubuh lelaki lain. Begitulah. Dengan bersusah payah, dengan cara yang teramat sulit dijelaskan, kami sampai ke kota ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada enggan di dalam hati kekasihku. Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi ada. Dan aku memaksanya. Demi cinta. “Di sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan. Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang aneh? Negeri di mana orang-orang suka meremehkan orangorang yang mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang101


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

orang bisu itu, kita tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang utuh, manusia normal ketika berada di sana,� kataku. Meyakinkan. “Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?� desakku. Begitulah mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap cinta. Mengucap nama masing-masing. Itulah katakata terakhir yang lidah kami ucapkan. Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling memotong lidah. Saling membisukan diri. Gentengkali Surabaya, 2012

102


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dua Wajah Ibu Guntur Alam Published Š Kompas, Minggu 05 Agustus 2012

104


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

PEREMPUAN tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang. Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang. Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun. Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur 105


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya. Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan. �Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,� itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya. �Dengan siapa Mak ke situ?� lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat 106


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya. �Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,� itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus. Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semakbelukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya. Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanyatanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang107


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati. Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk seharisemalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi. Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepatcepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu. Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-ru108


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

mah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderetderet kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya. �Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,� lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban. �Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,� ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman. �Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke

109


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,� terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap. Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja. Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan 110


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis. Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang. Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan. Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata 111


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya. Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitunghitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat. Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.

112


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Bapak Pucung-Man Sobih Adnan Published Š Kompas.com, Selasa 31 Juli 2012

Sobih Adnan, penulis kelahiran Cirebon, masih tercatat sebagai mahasiswa Fak. Ushuluddin Jur. Pemikiran Islam di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Aktif di Lembaga Kebudayaan RUMBA GRAGE dan Komunitas Seniman Santri (KSS) Cirebon. Cerpen dan puisipuisinya banyak dimuat oleh media cetak dan online, serta buku yang pernah ditulisnya adalah Antologi Sastra: Nyanyian Gagang Telepon (Wedatama Widya Sastra, Jakarta Selatan : 2009).

114


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SELEPAS hujan yang mengguyur sepanjang siang, semuanya masih terasa basah, tapi tak begitu dingin. Air-air hujan itu merangkul pucuk dedaunan di sebuah kebun sederhana milik bocah yang bernama Udin. Daun-daun pun masih basah, lembab, bahkan kuyup, persis seperti cerita keyatimpiatuannya yang masih tersiram deras air matanya yang belia. Menelang sore yang lengang itu, masih terngiang dalam ingatannya, bahwa dia hanyalah bocah yang sepi, dungu, dan tak pernah menyentuh pembahasan sosial apapun. “Bocah murung yang hampir bisu�, hanya itu yang terekam ketika obrolanobrolan antar tetangga sedikit terusik oleh langkahnya yang lembut. Kali ini dia kembali menghabiskan waktu sorenya di sebuah kebun yang sangat sederhana, kebun warisan Bapak, tak tertanami apa-apa selain belukar yang saling melilit tentunya. Sesampainya pada sebuah pojok kebun, Udin dungu membaringkan tubuh keringnya di sebuah pohon kelapa bengkok, dan dia pun terlelap dalam khayalan-khayalan seperti sore-sore sebelumnya. Tapi kali ini berbeda, dia sedikit cerdas. Senja ini tak sekedar mengkhayalkan betapa ajaib dan bahagianya jika si kucing doraemon berkenan untuk hidup bersama dan menuruti semua keinginannya, atau si centil Jerry yang selalu menanggapi gelak tawa kedunguan Tom, si kucing nakal dengan segala kesialannya. Tapi sekali lagi, sore ini berbeda, dalam keter115


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

baringannya yang lelah karena rutinitas nganggur itu, ada yang melompati tangan legamnya, seekor serangga kuning dengan dua titik hitam kecil di sayap, sekedar melompat, meraba kepolosan hayal, dan kembali terbang entah kemana. Udin sedikit tersenyum, kemudian mencoba kembali memejamkan mata, sedikit menarik nafas, dan memulai khayalannya yang baru untuk episode sore itu. Kali ini daya khayalnya begitu kuat, terbangun oleh kegenitan serangga yang tak sempat mengajaknya berbincang. Ternyata Udin merasakan bekas gigitan yang berbintik di pergelangan tangan, merasakan panas yang sangat, memerahkan wajahnya, dan sedikit tersungkur ke dalam tumpukan rumput pendek sisa penggembala yang mengabdi pada kerumunan hewan piaraan. Angin berhembus, memusar kencang di atas kepala, membuat putaran pening yang silau, hingga menurunkan suara gema dari langit yang semakin memetang, “Udin, berubahlah, serangga tadi telah menyuntikkan chip heroic dalam tubuh keringmu, maka berubahlah, lalu berbuat baiklah, untuk sesama manusia, tolonglah mereka yang membutuhkan, kini kau merupakan manusia super power, tapi bukan sebagai Spiderman, melainkan sebagai Bapak PucungMan, sosok pahlawan yang sangat dibutuhkan oleh keterpurukan Indonesia, berubahlah…!!!” Seperti tersambar petir, Udin diam, kemudian perangkat latahnya berteriak, “Berubah…!!!”, hingga tubuh kucelnya sedi116


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kit menegak, dari punggungnya tergerai seperi kain, berwarna kuning, dengan dua bulatan yang menyerupai mata, mungkin sebagai sayap. Kepalanya terdapat sebuah topi prisma, sedikit runcing, seperti kostum pelengkap saat perayaan ulang tahun, tanpa sepatu, hanya dilengkapi kacamata tipis dengan paduan warna yang tak sejajar, kanan merah, dan sebelah kiri biru, konon sebuah kacamata tiga dimensi.

UDIN sedikit kecewa dengan kostum super yang tak segagah idola-idolanya, Spiderman, Superman, ataupun Batman, bahkan tak mampu menunjukkan sama sekali kesuper-powerannya, lebih pas untuk dikatakan sebagai sosok badut dalam tempat rekreasi murah, yang kurang diminati wisatawan karena kekumuhannya. Namun dia cukup gembira, karena impiannya telah tercapai, sebagai manusia super, siap menolong siapa saja yang tertindas. Masih dalam ketermenungan tentang kostum yang dipakainya, Udin memandangi selokan kecil berisi kubangan air keruh namun cukup mampu menjelaskan kedunguan kostum yang dipakainya. Tak lama dia bercermin, tiba-tiba suara misterius itu kembali mendengung, “Wahai manusia super, kuberikan tugas pertama untukmu, dengan kesaktianmu, tolonglah Indonesia, pergilah ke ibu kota, tuntaskan PR terbesar negeri ini, selesaikan kasus skandal Century�. Kemudian hilang, seiring udara yang semakin malam. 117


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Lagi-lagi Udin merasa gembira. “Inilah manusia super yang tak lagi Udin, Tapi sebagai Bapak Pucung-Man, siap menolong semua manusia�. Gumamnya dalam hati.

DENGAN gemetar, Udin mencoba pasang kuda-kuda, tangan kiri berkacak-pinggang, dan hitam lengan kanannya menegak ke arah langit, dengan gagahnya, dia berharap untuk terbang. Tapi ternyata tubuh ringannya tak terangkat sama sekali, atau berharap jari dengan kuku-kukunya yang hitam itu dapat mengeluarkan jaring-jaring sakti seperti Spiderman, dan lagi-lagi ... tidak bisa. Lalu apakah kesaktian seorang Bapak Pucung Man? kemudian dia berlari lamban, menuju tepian jalan raya, dan ternyata di sanalah kesaktiannya sedikit nampak, dengan lengan pendeknya, dia mampu menyetop laju lambat mobil truk yang melintas, dan mempersilahkannya menumpang sampai ke Jakarta.

MATAHARI menunaikan janji berikutnya. Dalam bak truk yang putih karena tepung-tepung yang diangkutnya bertebaran dari sobekan karung, sang pahlawan kembali membuka matanya, setelah tertidur lelap dalam perjalanan yang penuh misi kali ini. “Hai badut, bangun, kau sudah sampai di Jakarta, turun dan berhati-hatilah di sini, mungkin kau akan langsung terciduk oleh petugas satpol PP, karena kota ini sudah terlalu penuh se118


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sak dengan gelandangan sepertimu,� ujar supir truk dengan garangnya. Udin tak mampu mendengar dengan penuh, matanya masih terasa sepat untuk teromeli. Dia turun dan langsung meneduh ke sebuah pohon, dan kembali mengingat misinya ke Jakarta. “Bank Century?� Dalam sengatan kulit matahari, Udin melangkah menuju tengah kota Jakarta, dia mencari dan mengendus di manakah lokasi titik pusat dari fenomena skandal yang sangat merugikan negara ini. Dan ketika sampai pada sebuah gang jalan sudut kota, terdengar teriakan orang-orang seperti sedang mengejar sesuatu, dan benar, mereka sedang mengejar copet pasar, menuju gang buntu tepat di hadapan Udin sang pahlawan, hingga ... Brakkk..!!! tabrakan keras menghantam tubuh sial Bapak Pucung-Man, dia terjatuh, diiringi hujaman pukulan masyarakat yang geram, pukul rata, dan Udin juga merasakan itu semua. Kini kostum kebanggaan Udin nampak compang-camping karena robekan dan pukulan warga, seketika dia ambruk, tanpa ditemani si pencopet yang masih bertahan dan lari diiringi kejaran massa. Dalam keterpurukannya, suara langit dalam hayalnya kembali bergaung, �Pulanglah, kembali ke markas, tugasmu terlalu ringan, kau tidak gagal, hanya sebuah ketertundaan�. Sang hero dengan misi tertundanya ini kembali mengayunkan 119


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

langkah menuju sebuah terminal bus, berharap kendaraan baik hati kembali membawanya pulang dengan tanpa pungutan. Namun sayang, belum tuntas perjalanan pulangnya terwujud, bimbingan tersembunyi itu kembali menitahkan untuk melakukan perannya sebagai seorang pahlawan. “Wahai manusia super, pergilah ke arah timur pulau Jawa, dengarkan teriak tangis saudara-saudaramu, pergilah ke Porong-Sidoardjo, hentikan luapan lumpur yang merampas kebahagiaan mereka, cepat laksanakan tugasmu...!!!”.

INI kali harus tergiring dengan kesemangatan lebih, jangan sampai gagal kembali, sang Bapak Pucung-Man pun melompati tumpangan dari satu kendaraan ke kendaraan berikutnya, mobil truk, kereta barang, bahkan sampai kendaraan pengangkut sampah. Setibanya di pintu kota tujuan, dengan kostum yang masih sama, Udin Bapak Pucung-Man menuju ke sebuah perkampungan, dengan penuh kesemangatan, dia sedikit berlari mencari tahu lokasi semburan lumpur Lapindo, hingga

ternyata

“Krasaakk!!!” terprosok sebuah septic tank milik seorang warga, sial…!!! Sederhana sekali warga-warga di sini yang hanya membuat jamban dengan ditutupi bambu-bambu rapuh dan dilapisi dengan sobekan karung-karung bekas.

120


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

TERUS begitu, dari hari ke hari masa tugasnya, dari kasus satu ke kasus lain yang diembannya, atau dari kota satu ke kota berikutnya, Sang Bapak Pucung-Man tak pernah tuntas untuk mewujudkan label kepahlawanan yang dicita-citakannya. Sampai ketika dengan sisa-sisa kesemangatan yang ada, dia mengemban tugas untuk menyelidiki pelaku pengeboman dua hotel berbintang di Jakarta, dan sekali lagi, dia justru harus berhenti saat mata merahnya terlempar petasan anak-anak jalanan kala menyambut kemeriahan bulan Ramadlan.

DI UJUNG keputus-asaannya sebagai seorang pahlawan yang tak pernah pahlawan, Bapak Pucung-Man sudah tak lagi bergairah untuk menerima perintah, dia bertekad untuk menanggalkan segalanya, kostum lucunya, misi dan tugas-tugasnya, bahkan cita-cita kepahlawanan yang sangat dia idam-idamkan dalam setiap hayalan. Namun hal tersebut harus berhenti kembali, saat udara tersembunyi itu kembali bersuara. “Jangan pernah putus asa wahai manusia sakti, bagaimana pun kau adalah manusia super yang diciptakan sebagai seorang pahlawan, hanya saja kau kutempatkan untuk di sini, di suatu negeri yang sangat sesuai dengan nasib dan kemampuanmu, negeri Indonesia, sebuah negeri dengan masalahmasalahnya yang tak pernah selesai.� Setelah itu, Udin terbangun, dalam suatu Maghrib yang pekat, masih di sebuah kebun yang sangat sederhana, dan 121


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tanpa kepedulian masyarakat sekeliling terhadap kesendiriannya. Cirebon, Juli 2010 *) Bapak Pucung : Hewan serangga yang biasa hidup di ladang-ladang warga kampung, berwarna kuning, dengan sayap yang memiliki dua titik hitam. Dengan nama latin Dysdercus cingulatus.

122


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

122

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kimat Lokal Leopold Indrawan Published Š Kompas.com, Jumat 03 Agustus 2012

124


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

LANGIT merah menyala, darinya lidah-lidah api seolah berarak, melubangi mega-mega, menghujam tanah dan bebatuan, meluluhlantakkan kolong langit, mengubah yang ada menjadi tiada. Dalam angkaranya yang tak terbelenggu, di antara lapangnya langit, pusaran-pusaran angin tak ubahnya menara batu raksasa menjulang mencakar langit seraya menusuk bumi. Kalau kau bisa dengar, siulan angin puyuh itu sungguh memekakkan telinga, macam ia sedang menyiksa bumi! Mengerikan bukan main! Demikianlah, kita semua tahu, sekaligus tak mau tahu, bahwasanya tak ada batu yang akan selamanya sanggup berdiri di atas batu. Semua akan diruntuhkan. Akan tetapi benarkah jika segala sesuatu di atas bumi ditakdirkan untuk sirna? Ibu bumi yang sudah tua kini diam pasrah. Ibu yang telah menua, ibu yang telah mengandung segala kebaikan dan keburukan, kini harus diam untuk mati disiksa. Entah siapa dahulu yang menyiksa, kita manusia atau Ia yang bertahta di sorga?

IBUKU menunggu Imam Mahdi. Tetanggaku menunggu Yesus Kristus. Barangkali di tempat lain ada yang menanti Sang Buddha. Belum ada satupun yang datang. Barangkali sosok-sosok Ilahi itu masih sarapan pagi di sorga sana. Saya harap mereka, atau setidaknya salah satu dari mereka, cepat datang untuk menghentikan semua ini. Atau jangan-jangan 125


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

mereka menganggap ini semua baru permulaan? Sudahlah, aku tak pernah mengerti agama terlalu dalam, setiap kali ibuku menyuruhku berdzikir ya aku hanya manut-manut saja. “Imam Mahdi akan datang sebelum akhir zaman. Percaya itu!” kata ibuku sembari jari dan hatinya merunut doa dalam tasbih. Aku mengangguk. Apapun yang terjadi aku akan percaya. Siapapun yang datang nanti aku akan beriman kepadanya. Sudah tidak ada waktu untuk bermuluk-muluk dalam fanatisme karena segala sesuatu yang termaktub hanya akan tinggal terbukti. Masjid yang menjadi tempat pengungsian kini tinggal menunggu kehendak Langit saja untuk hancur. Penduduk kampung sudah harus pasrah, toh pasrah terhadap kehendak Allah Shubanahu Wa Ta’ala adalah kebajikan juga. Kalau dipikir-pikir pun, pasrah memang jalan terbaik untuk mati, apalagi dalam keadaan semacam ini, sudah tak ada lagi yang bisa mati dengan indah. Sudah tak ada lagi yang namanya “berkorban nyawa demi cinta” layaknya dalam film-film melodramatik. Sejauh ini, Masjid dan beberapa rumah di sekitar memang masih aman. Ya, aman. Guncangan dari batu-batu yang menghujam dari langit hanya membuat pemilik tubuh setiap pasang kaki yang memijak di bumi terpelanting. Aman kan? Maksudku aman ya mereka tak mati oleh karena guncangan itu, tak seperti penduduk-penduduk di luar sana yang sudah hangus oleh 126


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

panasnya batu-batuan tak berperikebumian itu. Manatahu mereka yang berada di luar sana itu sudah jadi manusia. Panggang. “Jangan celingak-celinguk aja kamu! Istighfar! Ga pernah sempet tekun lima waktu. Boro-boro baca Qur’An. Kiamat sudah datang kayak gini kamu masih nengok sana nengok sini kayak kebo di sawah!” Kakak perempuanku tahu-tahu mengomel. Ia menarikku supaya duduk di sampingnya. Aku terdiam, melongo, memandangi wajah kakak perempuanku, juga orang-orang di sekelilingku, termasuk ibuku. Kuperhatikan raut wajah mereka menyiratkan rasa ngeri yang luar biasa. Di antara mereka ada yang tak tahan menangis, tersedu-sedu, terisak-isak, ada pula yang air matanya sudah terlanjur mengering oleh rasa takut. Ada yang tertunduk tak berani membuka mata, ada pula yang menyerukan “ALLAHU AKBAR!” dari waktu ke waktu, terutama setiap kali ada terpaan angin kencang ataupun guncangan bumi. Rasa takut telah membelenggu orang-orang di sekitarku. Kakakku adalah yang terutama. Kulihat ketakutan tergurat jelas di wajahnya membentuk relief sebuah kerapuhan iman. Tak terpungkiri. Dahinya penuh dengan bintik-bintik keringat. Mulutnya berceracau doa. Saya bingung, mengapa mereka orang-orang beriman di saat semacam ini tidak dapat memasrahkan diri. Bukankah kematian hanyalah sebuah kepastian?

127


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Suasana yang penuh dengan kengerian tersebut semakin menjadi-jadi tatkala diiringi suara seng beradu dengan kerasnya angin. Menyurutkan nyali. “ALLAHU AKBAR!” orang-orang berseru. Angin puyuh semakin mendekat. “ALLAHU AKBAR!” Klik klak klik klik klak ckreeeek! Suara tombol kamera bersahut-sahutan. Rupa-rupanya masih ada yang berminat mengabadikan fenomena ilahi yang sedang berlangsung. Padahal umur dari keabadian itu sudah di ujung tanduk. Tapi aku menghargai tindakan mereka, para fotografer jadi-jadian. Tidakkah mereka berada di luar himpunan orang-orang yang pasrah dan panik. Mereka adalah orang-orang yang punya harapan untuk hidup lebih lama lagi: hidup untuk membagi kenangan melalui apa yang mereka tangkap. Sekalipun... “Angin puyuh semakin mendekat...” bisikku. Bebatuan panas menghujan dari angkasa. “ALLAHU AKBAAAAAAAAR!”

KEMARIN, persis kemarin, segala sesuatu berlangsung seolah takkan terjadi apa-apa: tak ada petanda, tak ada firasat. Alam membisu, enggan berbahasa. Desau angin bahkan tak terdengar membisikkan apa-apa, hanya hampa, hanya cerita yang telah lampau: sebuah ingatan atas kampung yang tak begitu kumuh. 128


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Cepat pulang ya Nak!” Ibuku berkata kepada kakakku yang hendak berangkat kerja. Suaranya bergema hingga ke kamarku. Ketika itu aku masih terbaring di kamar tidur menghirup murni udara pagi hari yang menyusup lewat ventilasi, sembari menikmati ereksi, juga fantasi. Baru sejenak kemudian, saat kantukku sepenuhnya pergi, aku bangkit berdiri, mandi, masturbasi, ejakulasi, sikat gigi, lalu sarapan pagi. “Kuliah jam berapa kamu hari ini?” tanya ibuku. “Ntar lagi jam sepuluh.” “Jangan sampe telat kamu. Hati-hati bawa dompet sama handphone. Ada uang kecil buat angkot?” “Ada... ada.” Setiap hari apa yang kuhadapi selalu serupa: pulang pergi kuliah dengan angkot, berhadapan dengan macet, asap, dan debu. Pagi hari pun selaluserupa: selalu tampak sekerumun ibu-ibu menyatroni gerobak sayur, bergosip, memilah-milih sayur, menawar harga, tertawa basa-basi. Begitu pula saat sore atau malam hari: selalu terdengar alunan musik dangdut patah hati ataupun lagu pop musisi lokal yang liriknya seputar itu-itu saja. Tiada satu pun hari yang terlalu berbeda untuk kuabadikan dalam ingatan. Tiada satu pun hal yang lebih berharga untuk kudekap dalam ingatan. Tiada satupun yang berusaha untuk membuat bumi berputar dengan cara yang berbeda. Musisi-musisi terus saja bica129


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ra soal cinta, tak lain tak lebih. Katanya memang cinta itu tak ada habisnya kalau dibahas. Ya, hati lara perlu dilipur. Hati berbunga-bunga perlu dirawat, disiram, dijaga. Hati yang patah perlu direkatkan kembali. Pembenaran demi pembenaran. Omong kosong demi omong kosong. Demikian rupalah pengulangan terjadi. Cinta mewujud lirik-lirik seadanya, menjadi dangkal karena ia tak bersumber dari dalam hati. Tiada satupun yang berusaha untuk mengubah siang menjadi malam dengan cara yang lebih indah. Layar kaca selalu menyajikan kebanalan manusia: seputar perselingkuhan, korupsi, pembunuhan, pencarian orang-orang hilang—penyesalan, kebencian, manipulasi hukum, orang-orang sok suci. Menjenuhkan. Demikian pula dengan kisah-kisah angker. Semakin angker, semakin kampungan. Jelangkung memperanakkan kuntilanak, kuntilanak memperanakan pocong, pocong memperanakkan

genderuwo,

genderuwo

memperanakkan

leak, leak memperanakkan babi ngepet, babi ngepet memperanakkan arwah-arwah penasaran, arwah-arwah penasaran memperanakkan suster rumah sakit yang mati penasaran. Kalau mereka memang benar ada, mau kutantang sekali sekali, misalnya si pocong, supaya ia bertukar tempat denganku: ia di Jakarta dan aku di alam kematiannya. Mana yang lebih menakutkan, kota Jakarta yang penuh dengan siksa dan penderitaan takdir atau alam baka yang hanya dipenuhi makhluk-makhluk

130


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

halus lemah yang hanya takut dengan doa. Kita bisa buktikan SIAPA YANG TAKUT? Kesimpulannya, tiada satupun yang mampu membuat kenyataan menjadi lebih baik.

MALAM melelapkan. Rasa lelah mengundang kantuk. Aku mengintip gang kecil di luar lewat jendela. Masih ramai di bawah sana. Remaja-remaja seumuranku, perempuan dan lakilaki, sedang BBM-an sambil mengisap rokok. Lamat-lamat kudengar gitar akustik dipetik. Suara sumbang berkumandang. Bercampur baur. Tak ada yang mengundang perubahan. Aku merebahkan tubuhku di kasur, membuka novel, katanya bagus, tapi sejauh kubaca roman picisan saja yang kudapat, dari senjakala, bulan baru, gerhana, hingga subuh. Tapi bukankah setiap orang berhak menyukai dan tak menyukai apa saja? Bulan sabit menggelantung merupa senyum kucing Chersire. Ketika mataku hendak mengatup, aku melihat seberkas cahaya menerangi langit malam. Bukan kembang api. Lebih dahsyat dari itu. “KIAMAT! KIAMAAAAT!� teriak orang-orang di luar. Menyusul teriakan-teriakan itu, suara dentuman terdengar keras sekali, laksana kilat berhasil merobek langit dan reruntuhannya bedebam menghantam bumi. Menggelegar dan mengagetkan.

131


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Mataku membelalak. Hatiku sontak berseru: “Ini bukan mimpi Bung!�. Aku bangkit berdiri. Rumahku berguncang-guncang macam perahu di tengah badai. Lekas kucari ibuku. Rupanya kakakku bertindak lebih cepat. Ia sedang menuruni tangga menggandeng ibuku. Kami turun bertiga. Lampu-lampu gantung berputar. Foto-foto dan lukisan-lukisan berjatuhan dari dinding yang meretak. “Allah sudah murka! Allah sudah murka!� seru ibuku hampir menangis. Tak ada yang menanggapi ceracau ibu. Kami cepat-cepat keluar dari rumah dan berlari ke jalanan. Orang-orang berhamburan. Semua berlari tak tentu arah, kami juga tak tahu harus ke mana. Begitu ramai teriakan menggelora di udara, menebarkan kepanikan.Jeritan. Pekikan. Lolongan. Entah bagaimana aku harus menggolongkan aneka teriakan itu. Permintaan tolong. Luapan ketakutan. Atau keduanya bercampur aduk. Bolabola api terlihat menghujan di kejauhan, meronai langit malam. Langit malam menjadi merah seakan ditoreh oleh pisau. Angin pun turut meliar. Semakin meliar semakin kencang mendorong, kemanapun langkah kuambil selalu ditentang. Seng-seng berloncatan, genteng-genteng beterbangan. Ada yang tertimpuk dan bocor kepalanya. Ada yang menghindar dan terjebak dalam selokan bau bangkai tikus. Beberapa rumah rontok tak kuat menahan guncangan. Rumah-rumah itu adalah rumah

132


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kayu sederhana, boleh dikata gubuk derita, tempat orang-orang yang jauh lebih miskin dari keluargaku. Suara-suara dentuman sahut menyahut dari dekat dan jauh. Justru suara-suara itu yang lebih mampu membuatku ciut dibandingkan dengan guncangan yang menyertainya. Benarbenar surut nyaliku mendengarnya. Andai saja kau mendengarnya, kaujuga pasti ketakutan! Ingin aku menghardik langit seperti cerita tetanggaku mengenai Nabi Isa, tapi mulutku terkunci tak mampu. Langkahku, langkah ibuku, dan langkah kakakku terus melaju menuju Masjid. Di sana terdapat lapangan parkir yang luas, tanahnya lapang, barangkali aman. Barangkali saja tapi! Langit retak. Mega-mega terbakar. Menyala merah, seperti darah menjijikkan. Bumi berguncang dan gemetar,seakan mewujudkan rasa ketakutan sang ibu pertiwi atas murka Allah. Ngeri. Ngeri sekali. Ibu dan kakakku sempat-sempat saja membaca doa. Aku sudah tidak minat. Yang harus kulakukan adalah lekas-lekas tiba di Masjid. Akan tetapi firasatku berkata aku takkan hidup sebelum sampai di sana. “ALLAHU AKBAR!” teriakku. Bebatuan raksasa menghujan dari angkasa. Tepat sekali di atasku: merah menyala. “ALLAHU AKBAAAAAAAAAARRRR!”

133


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DI SUATU tempat yang jauh, seorang lelaki sedang duduk di sofa memandang layar kaca. Kedua anaknya duduk di atas karpet hijau berornamen bunga-bunga. Istrinya memasak di dapur yang tak jauh dari ruangan itu. Layar kaca menyiarkan kehancuran sebuah kampung. Kampung yang naas. Tak ada yang selamat dari bencana yang menimpanya, bahkan benda matipun berakhir hancur. Tiada yang sempat dan sanggup menolong. Sembari menunggu lauk yang dimasaknya matang, sang istri berkata kepada suaminya: “Wah, untung kejadiannya jauh dari rumah kita ya Pa.� Karawaci, Rabu, 25—26 Mei 2010

134


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dayang Rindu Arman AZ Published Š Koran Tempo, Minggu 05 Agustus 2012

136


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

KERIE CARANG TELAH kutempuh hujan dan badai. Telah kutentang angin dan gelombang. Hingga peluh yang luruh sepanjang usia, mengantarku jadi lelaki disegani dihormati di Tanjung Iran. Pun telah kusiapkan bekal hidup untuk tujuh risalah keturunan agar kehidupan mereka jauh dari nestapa. Dayang Rindu, cucu nan jelita, kutimang kudodoi ia sejak bayi. Lama sudah kuduga kelak ia akan tersohor. Orang-orang akan membangun kisah masing-masing tentangnya. Rambut hitam panjang tergerai. Tubuh molek sempurna. Alis lengkung tajam. Hingga ada yang berujar ia bidadari cantik yang turun dari langit ke bumi. Ah, biarlah segala hikayat tentangnya beranak-pinak ke seluruh negeri. Biar semerbak namanya dibawa angin dan para lelaki tekuk lutut kehabisan kata di bawah kecantikannya. Yang harus mereka tahu, bukan mudah menikahi keturunan orang terpandang di Tanjung Iran. Siapa pun yang hendak menyuntingnya, harus berhadap muka denganku lebih dulu. Memiliki Dayang Rindu tak semudah memetik daun sirih. Maka, cucuku Dayang Rindu, janganlah engkau tinggalkan Tanjung Iran. Jaga dan rawatlah kampung halaman. Hayati sajalah gairah itu, menjadi wanita cantik yang diperebutkan banyak jejaka. Mungkin juga akan datang mengusung petaka, layaknya raja dari Palembang itu, si Pangeran Riya.

137


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

PANGERAN RIYA Memutih riak sungai Ketahun, petang dan pagi tiada berkala. Memutih bunga di dalam kebun, setangkai saja yang menggila. Kusentuh banyak jemari gadis cantik. Kujumpai banyak wanita berparas indah. Namun semerbak nama itu telah menggeletarkan jiwaku. Makan tak terasa makan. Tidur tak terasa tidur. Air diminum pun terasa duri. Duhai, Dayang Rindu, macam apa gerangan lagak lakumu? Sebab wanita adalah ekor harta dan tahta, maka hendak kupinang kau, Dayang Rindu. Tidak terperi dalam benak mereka, ini bukan ihwal cinta semata. Ada gelegak hasrat kuasa lelaki dibalik niat baik untukmu. Menikahimu tentulah bisa meluaskan wilayah kekuasaanku. Aku rela terbakar demi menggapaimu, Dayang Rindu. Kubayar mas kawin dengan jumlah mahal demi memilikimu, meneguk kecantikanmu. Perahu dan kapal, tombak dan pedang, bedil dan meriam, prajurit dan hulubalang, kusiapkan untuk menghilir ke Tanjung Iran. Niatku tak mundur lagi: Dayang Rindu harus tiba di genggaman. Bila niat meminang bertepuk sebelah tangan, tak lain tak bukan, peranglah jawaban. Semogalah hajatku tak ditampik ayahandamu, si Wayang Semu.

138


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

WAWANG SEMU Ada darahku dalam darahmu, anandaku Dayang Rindu. Namun maafkan aku yang tak bisa berkuasa penuh atasmu. Semua bergantung pada titah petuah kakekmu, Kerie Carang. Aku hanya bisa mengutuk dalam hati. Sesungguhnya dalam hidup ini banyak lelaki tak guna. Bagai bunga kau telah mekar di taman sari. Lelaki mana tak terpukau mendengar pesonamu. Dari cerita mulut ke mulut, namamu menggetarkan birahi kumbang pejantan seantero negeri. Namun entah mengapa di mata kekekmu perjodohan dijadikannya semacam permainan belaka. Semua yang datang meminang, dibuatnya patah arang. Maka ketika serombongan perahu dan kapal bermoncong meriam muncul dari balik kabut, aku berfirasat bala sedang menyambangi Tanjung Iran. Datang menunggang gelombang, rupanya mereka diutus raja dari negeri Palembang. Bertukar pantun, tersampaikanlah hajat meminang putriku Dayang Rindu. Tiada maksud berpongah diri. Seluruh emas dan bawaan mereka telah kami punyai di Tanjung Iran. Selain itu, Dayang Rindu telah dijodohkan kakeknya dengan jejaka lain, Ki Bayi Radin, anak Batin Pasak di Rambang. Lagi-lagi, dengan berat hati, aku menampik niat baik hulubalang utusan dari Palembang, si Tumenggung Itam.

139


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

TUMENGGUNG ITAM Bila ada musuh di talang, bila ada lawan di laut, sangguplah hamba melawan. Tapi, Tanjung Iran?! Berdesir bulu kuduk hamba membayangkannya. Prajurit-prajurit Tanjung Iran bukan sembarang lawan. Terlalu banyak orang sakti di sana. Musuh lama, berilmu halimunan, tarungnya beringas bagai macan lapar. Diutuslah hamba oleh Pangeran Riya untuk melamar Dayang Rindu. Tak pernah hamba lihat sebulat-bulat niat melebihi niatnya memboyong gadis itu ke Palembang. Alamak, adakah cinta telah membutakan seorang raja? Sebagai kerbau jantan yang tak pernah menolak titah tuannya, hamba bawa serta para hulubalang dan prajurit handal ke Tanjung Iran: Ki Bayi Metik, Sipat Angguan, Karang Waringin, Kepitan Karang, Rulah Dalem, dan Jejening Irung. Jiwa hamba pejantan. Jika tak bisa hamba bawa pulang dambaan raja, lebih baik jasad hamba yang kembali ke Palembang. Semua sesembahan telah rapi dalam kapal untuk dipersembahkan kepada Dayang Rindu. Kulit macan, sirih dan tembakau, gambir dan pinang, uang emas dan perak, kain dan pusaka mulia. Segala senjata hanyalah untuk berjaga dari lanun di lautan. Malang tak dapat ditolak. Berhari-hari melintasi sungai Ogan, mengarungi Selat Bangka dan Teladas, niat hati kami ditampik di Tanjung Iran. Utusan mana tak galau, ketika titah 140


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tuannya melamar Dayang Rindu bagai menepuk angin. Bagaimana kelak di Palembang hamba wartakan ihwal buruk ini pada Pangeran Riya? Maka, demi riak sungai Ogan, perang adalah jalan terakhir. Hamba harus merebut Dayang Rindu dari tunangannya, Ki Bayi Radin.

KI BAYI RADIN Adindaku Dayang Rindu, tiada niat burukku mengulur menunda-nunda pertunangan. Kubunuh segala hasrat mencari gadis lain. Di hati hanya tertatah namamu. Telah kuhantar sirih selebar nyiru, pinang sebesar kulak, dan perhiasan berjuntaijuntai. Namun musykillah menemukan kerbau bertanduk tiga sebagaimana permintaan kakekmu. Di malam remang, tiada bulan di langit hitam. Kulukis wajahmu di antara gemintang dan lambaian angin. Rindu membayang, harap menjulang. Bersanding denganmu di pelaminan, mata kita jeling-menjeling seraya menyaksikan joget orang sekampung merayakan pernikahan kita. Ah‌. Sial dangkalan, tunang macam apa yang dicari keluargamu, Dayang Rindu? Di manalah kutemukan kerbau bertanduk tiga? Apatah cinta dianggap permainan semata oleh keluargamu? Banyak getah bukannya menyan. Banyak macan bukannya singa. Banyak batu bukannya intan. Banyak menjangan 141


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

bukannya kuda. Banyak ayam bukannya beruga. Banyak gadis bukannya engkau, Adinda. Duhai Adinda tambatan hati, ini ihwal harga diri. Mari keluarkan sirih dan pinang. Dirajang halus dalam mangkuk. Satukanlah air mata kita sebagai penghancur kapurnya. Reguk pula airmataku sebagaimana kureguk air matamu. Kelak akan tersemat hikayat di hulu dendam, bahwa semua ini bermula dari lelaki penyulut hasut itu, Kerie Niru.

KERIE NIRU Adat tangan bermain api, kalau tak panas terbakar tangan. Andai saja tak kudesiskan ihwal kecantikan Dayang Rindu di Tanjung Iran, mungkin takkan banyak nyawa mati di ujung pedang. Bagaimana menangkap landak, asapi lubangnya dengan api. Bagaimana mula berkehendak, dari mata turun ke hati. Para wanita yang dibawa ke hadapan Pangeran Riya, tak satu pun melebihi kecantikan Dayang Rindu. Parasnya tiada tanding. Elok laksana bidadari tak bercela. Kulitnya gading. Rambutnya panjang terurai menyapu jagat, mengilat bak sutra pemikat. Alisnya runcing tajam serupa taji beruga. Dadanya bagai cermin bersih. Senyumnya bagai kilat kemarau. Tumitnya bagai telur sepotong. Wajahnya bulan purnama. Jika tersenyum, pipinya ranum bak bunga sekuntum. Terlongonglah siapa pun yang menatapnya. 142


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sebenarnya aku ragu bertolak ke Tanjung Iran. Kupilih kembali ke kampung, berkumpul dengan istri. Biarlah dicaci sebagai penghasut sekaligus pecundang. Namun, suratan takdir tak kuasa kubelokkan. Aku tak bisa menolak di bawah ancaman Temenggung Itam yang datang menjemput. Begitulah padahnya. Tersebab mulut, tersebab hasut, petaka tumpah di tanah jauh. Kutuklah aku yang telah menghembus cerita ke telinga Pangeran Riya. Tadir pula yang menyelamatkan ini nyawa. Kubunuh Ki Bayi Radin seperti menetak cinta sepasang anak manusia. Pun kulunasi dendam pada hulubalang Tanjung Iran, si Singa Ralang.

SINGA RALANG Tabik Tuan, akulah hulubalang penjaga Tanjung Iran. Banyak dusun tempat kulalu. Masuk lorong berliku-liku. Jangan bujuk pedangku keluar sarang. Pantang ia pulang tanpa meneguk darah. Wayang Semu kakakku dan Dayang Rindu kemenakanku. Siapa mengusik mereka, sama artinya memancing misaiku tegak berdiri. Aku pun menolak Dayang Rindu dibawa ke Palembang, diperistri Pangeran Riya. Siapatah tahu ia telah beristeri bergundik di sana? Siapatah tahu ia memeram siasat busuk atas Tanjung Iran? Jika sungguh bulan purnama, mengapa tiada di pagar bintang. Jika sungguh tuan bijaksana, mengapa tiada dapat diten143


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tang? Ohoi, Tumenggung Itam, telah lama kudengar namamu. Baru kini bisa kucicipi tarung denganmu. Beradu tajam pedang. Beradu ligat parang. Beradu nyawa denganmu. Pantang kujilat ludah yang telah tumpah. Hanya orang-orang bebal yang berniat melangkahi mayatku. Perang tak dapat ditampik. Amuk beliunglah aku di Tanjung Iran. Patah pedang berganti pedang. Patah tombak berganti tombak. Patah keris berganti keris. Entah berapa nyawa melayang ditanganku. Entah berapa kapal dan perahu kukaramkan. Kutebas telinga Tumenggung Itam, kutebas hidung Ki Bayi Metig, agar mereka menghadap Pangeran Riya membawa malu. Inilah bukti setiaku pada Kerie Carang, pada Tanjung Iran.

IBUNDA Seluruh riwayat tentangmu, anandaku Dayang Rindu, disesaki suara lelaki. Sekian nama yang tertera, sekian nama berseteru, namun tak satu pun menyebutku, perempuan yang melahirkanmu. Gerangan apa yang membuat mereka meniadakanku dari riwayatmu? Apakah sejarah hanya milik para lelaki? Terkutuklah mereka yang menghapus silsilah ibu dari anaknya. Anandaku Dayang Rindu, putri nan jelita dari Tanjung Iran. Demikianlah, dukanya perang, kasih, dan cinta. Binasalah Tanjung Iran. Binasalah Palembang. Embun kalah oleh darah.

144


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kalah meruap jadi abu, menang terongok jadi arang. Begitulah harga yang mesti dilunasi dari perang, anakku. Janganlah keturunan mereka atau siapa pun kelak menghujah perempuan sebagai sumber petaka. Pergilah, Dayang Rindu. Kuikhlaskan perjalananmu. Di tempat dan masa yang jauh, kau akan mengerti, kisah tentangmu dibangun di atas jumawa kaum lelaki. Terbanglah ke khayangan, belahlah dirimu jadi dua, atau relakan tubuhmu jadi batu kutukan. Kelak, di atas awan akan kau temukan cinta. Bandarlampung, 2012 *) Dayang Rindu adalah ceria rakyat (folklore) yang terkenal di Sumatera bagian selatan. Ada banyak versi mengenai Dayang Rindu. Di Lampung dikenal dengan “Tetimbai si Dayang Rindu”. Cerpen ini merujuk manuskrip beraksara Lampung, “Tetimbai Si Dayang Rindu”, yang dikumpulkan Herman Neubronner van der Tuuk selama penelitiannya di Lampung (1868-1869). Manuskrip tersebut tersimpan di beberapa perpustakaan Eropa (Leiden, London, Dublin, dan Munich).

145


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Satu Senja dan Hujan yang Pecah Yetti A. KA. Published Š Lampung Post, Minggu 05 Agustus 2012

147


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DARI kemarin hujan turun lebat. Ah, tidak. Sejak berbulan-bulan lalu hujan sering turun di pagi, siang, juga malam hari. Itu yang paling mendekati kebenaran, kata Bi Tah, pembantu rumah ini, seorang janda lima puluh tahun yang senang menemaniku di meja makan sambil bercerita macam-macam. Dari dua puluh empat jam waktu dalam sehari, setengahnya milik hujan, ujarnya lagi bernada serius. Aku maklum. Ia sedang kesal karena rumput gajah di halaman cepat sekali tinggi dalam cuaca yang selalu lembab begini dan itu membuat ia mesti memanggil tukang potong rumput dua kali dalam sebulan. Kedatanganku ke rumah ini atas tawaran seorang sahabat yang kebetulan bepergian ke Brighton untuk melanjutkan studi doktoral, dan ia ‘memberikan’ rumah mungil bercat purple kesayangannya untuk beberapa waktu. Kau bisa menulis novel dengan tenang di rumah, bujuk temanku itu sebulan sebelum keberangkatannya. Tidak akan ada yang mengganggumu. Kau bahkan bisa mengurung diri di kamar, berminggu-minggu, tanpa harus merasa cemas dianggap asosial. Sekarang aku paham. Sejak kemarin, aku tak menemukan satu orang pun yang sengaja keluar rumah untuk sekadar menyapa tetangga. Oh, bukan. Bukan. Sudah sejak lima tahun lalu, saat pertama kali perumahan orang-orang kaya ini dibangun, lalu dihuni satu demi satu, mereka tak pernah saling berkenalan. Mereka orang sibuk. Berangkat pagi, pulang sore atau 148


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal di luar itu, sanggah Bi Tah. Aku menghabiskan sisa teh melati di cangkir, memandang Bi Tah sekilas, tersenyum canggung.

DI kamar lantai dua, aku banyak membaca buku, selain tentu saja menulis. Benar kata Bi Tah, kota ini selalu diguyur hujan, berhari-hari, yang membuatku lebih sering menutup jendela kamar rapat-rapat. Dan setelah dua minggu di sini, aku belum keluar rumah sama sekali. Semua sudah diurus Bi Tah. Kalau ada kebutuhan lain, aku tinggal bilang Bi Tah dan ia dengan senang membantu. Hanya saja, ada yang terlupa oleh Bi Tah saat bercerita padaku di meja makan. Bisa jadi ini tidak terlalu penting, selain, mungkin saja, Bi Tah memang tidak tahu-menahu soal itu. Namun, bagiku ini rasanya seperti menonton pentas tari atau teater atau melihat pameran lukisan yang luar biasa. Aku terdiam lama. Lama sekali. Bibirku sedikit kugigit untuk memastikan kalau semua yang kulihat itu bukan halusinasi. Hari ini memang pertama kalinya aku membiarkan jendela terbuka sampai senja. Tanpa disangka aku menemukan karya yang indah di balik butiran hujan. Dan aku telah terhisap di dalamnya. Mirip sobekan kertas yang tak sengaja tersedot penghisap debu.

149


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

PAGI-PAGI Bi Tah sudah mengetuk pintu kamar. Aku membuka pintu dengan malas. Kenapa tidak turun untuk sarapan? tanya Bi Tah. Aku bilang semalaman nyaris tidak tidur dan masih mengantuk. "Kau terlalu banyak baca buku," Bi Tah berkomentar. Aku dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Bi Tah. Ia pasti mengira betapa tololnya seorang gadis usia tiga puluhan tahun yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku dan mengabaikan kesempatan bertemu seseorang yang siapa tahu bisa menjadi pacar atau bahkan melaju pada tingkat yang lebih serius. Sebenarnya aku ingin bilang pada Bi Tah: “Sekarang ini banyak gadis merasa nyaman dengan usia di atas tiga puluh, malah ada yang malas menikah seumur hidup. Ah, aku tidak tega melihat mata Bi Tah terbelalak, kebingungan. Bi Tah meletakkan nampan berisi secangkir teh melati dan sepiring kecil singkong goreng yang sengaja kupesan— mengingat menu itu cocok sekali untuk mengusir rasa dingin— di atas meja Oshin yang hampir sesak oleh buku-buku, majalah, koran, laptop, juga kertas yang kucoret-coret dengan tinta berwarna-warni. Saat makan siang kau harus turun, ujar Bi Tah sambil berlalu. Itu seakan perintah yang mesti aku turuti dari seorang ibu. Aku tersenyum, memandangi punggung Bi Tah yang kubayangkan betapa hangat jika aku menempelkan tubuh di sana. Aku tahu ia mulai kesepian. Bisa jadi Bi Tah pelan-pelan terbiasa dengan kehadiranku di meja makan yang akhirnya 150


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

membuat ia tidak tahan jika aku absen sekali saja. Atau ia punya cerita baru yang mesti kudengar untuk melengkapi ceritacerita darinya sebelum ini. Kemarin Bi Tah sudah bercerita soal arisan para pembantu yang mereka lakukan sebulan sekali, juga mengikutsertakan tukang sayur dan tukang potong rumput yang biasa datang ke kompleks. Setengah menyesal Bi Tah menyayangkan para majikan, terutama kaum ibu-ibu, tidak melakukan hal yang sama; berusaha menghidupkan suasana kompleks dengan mengadakan acara kumpul-kumpul juga, semisal arisan, senam bersama satu hari dalam seminggu, pengajian atau yang paling sederhana ngobrol di pinggir jalan depan rumah pada sore hari di saat cuaca bagus. "Apa orang yang kerja kantor itu benar-benar sibuk?" tanya Bi Tah bersungut. Aku tidak menjawab, tapi mengangguk-angguk sembari menahan tawa. Aku ingat sahabatku, pemilik rumah ini, yang mungkin saja sedang disindir Bi Tah. Kukira, jika saja aku salah seorang pemilik rumah di kompleks ini, walaupun aku tidak kerja di kantor, aku akan sama saja dengan sahabatku itu atau orang-orang yang tinggal di sini. Kami sedang ingin melaju, itu alasannya. Kami mesti menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk, berkejar-kejaran dengan waktu. Waktu tidak pernah menunggu orang yang lambat, Bi Tah, kataku dalam hati.

151


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Apa menurutmu kami tidak kalah sibuk dari mereka?" Bi Tah merasa belum puas. Dalam kalimat Bi Tah itu aku seolah mendengar suara lain: Sama saja, kami juga sedang ingin melaju, tapi kami masih bisa menyempatkan diri agar tetap menjadi manusia. Aku nyaris menumpahkan teh di dalam cangkir ketika itu. Mendadak bayangan orang-orang serupa patung kayu berseliweran di depan mataku. Pagi-pagi, sepasang anak berpakaian seragam sekolah dengan cepat melompat ke dalam mobil, membuatku tidak benar-benar tahu jenis seragam sekolah tingkat apa yang mereka kenakan, apalagi pandanganku juga dihalangi hujan. Begitu juga ayah dan ibu mereka, dengan ketergesaan yang sama menutup pintu mobil. Mereka pun segera menghilang dari halaman rumah itu, untuk seharian. Tanpa meninggalkan bekas yang bisa diingat, kecuali betapa mereka benar-benar tergesa, sehingga sama sekali tidak ada satu alasan saja yang membuat orang berpikir kalau mereka keluarga yang hangat. Hampir semua penghuni perumahan ini sama saja. Aku tidak pernah melihat mereka tersenyum satu sama lain saat secara kebetulan mereka keluar dari pintu rumah. Kalau saja aku bisa melihat tubuh kaku mereka dari dekat, aku pasti dapat mengenali serat-serat halus serupa serat kayu di wajah, kulit tangan atau kaki mereka yang membuat mereka benar-benar mirip dengan patung kayu koleksi kakekku. Bagaimana bisa 152


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

orang hidup sedingin itu? Demikian yang dirisaukan Bi Tah. Dan entah karena terbawa suasana hati Bi Tah, aku ikut-ikutan gelisah pagi itu. "Tapi tenang saja. Jangan khawatir. Keadaan di sini tidak seburuk yang kaulihat. Seperti kataku, kami—para pembantu di sini—selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu di tengah kesibukan kami mengurus rumah." Bi Tah sudah tersenyum meskipun aku tahu hatinya belum lega. Sampai kapan pun, menurut perhitunganku, Bi Tah tidak akan pernah lega lagi karena kehidupan sudah melemparkannya ke tempat dan waktu sudah berbeda dari yang ia pikirkan mengenai seharusnya orang-orang yang hidup berdampingan. Tentang para pembantu yang dimaksudkan Bi Tah itu, tentu aku sudah mengetahuinya sejak hari pertama kedatanganku. Setelah majikan berangkat kerja, anak-anak pergi sekolah dan hujan perlahan berhenti turun, mereka akan berkumpul ramai-ramai mengelilingi gerobak tukang sayur. Tidak jarang kikik mereka terdengar olehku yang duduk di ruang tengah, yang diam-diam memerhatikan semua situasi di lingkungan baru ini. Aku seorang novelis, terbiasa ‘membaca’ apa-apa yang ada di sekelilingku, itu yang tidak Bi Tah tahu. Seandainya pun kukatakan, ia tidak akan sepenuhnya mengerti pekerjaan macam apa itu. Yang Bi Tah tahu aku teman baik majikannya yang akan tinggal di sini selama temanku itu pergi ke luar negeri. Atau paling tidak sampai aku merasa harus pergi lagi. 153


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tapi, sekali lagi, ada yang terlewat dari perhatianku selama ini. Sebab itu, sungguh, aku tidak sabar menunggu senja datang, sembari berharap hujan terus turun. Aku ingin kembali merasakan bagai duduk di bangku penonton atau berdiri di hadapan lukisan yang besar, lalu aku terhisap ke dalamnya.

INILAH senja yang kutunggu itu. Hujan masih turun, cukup deras. Aku duduk menghadap jendela kaca yang kubiarkan terbuka dari pagi tadi. Dadaku cukup berdebar. Debar yang sama persis saat aku menunggu-nunggu cahaya lampu muncul di atas panggung, tanda pertunjukan siap dimulai. Kemudian lampu itu pun menyala bersamaan dengan terbukanya jendela besar di lantai dua rumah seberang sana. Tiga orang anggota keluarga segera berdiri sejajar di depan jendela itu. Salah seorang dari mereka, seorang anak laki-laki, melongokkan kepala sedikit keluar dari kusen jendela, sementara dengan antusias tangannya berusaha menangkap butirbutir hujan seolah itu baru pertama dilakukannya. Aku mengusap mata. Aku bergumam tak jelas, berkali-kali. Dengan cepat lampu-lampu lain ikut menyala. Aku kian berdebar. Sungguh. Ini sempurna sekali. Sekarang aku bisa melihat di kanan-kiri rumah, juga di barisan depan—barisan yang demikian panjang—semua jendela sudah terbuka, dan orang-orang

dengan

sukacita

menikmati

hujan.

Mereka

tertawa, sesekali tangan mereka saling melambai pada tetang154


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ga. Juga ada yang saling bicara dengan orang di rumah sebelah, sedikit berteriak, mengingat suara hujan cukup keras. Wajah mereka, yang kutangkap samar-samar, memancarkan kegembiaraan dan kehangatan yang masih sedikit kuragukan bahwa semua ini nyata (sebab bukankah mereka itu patung kayu?). Ya. Orang-orang menikmati hujan dari jendela. Bukan tiga atau empat orang, melainkan puluhan atau mungkin saja ratusan. Semua ini bagai sebuah dunia dalam fiksi. Bagai tak benar-benar ada, tapi semuanya sedang terjadi tepat di depan mataku. Dan... oh! Sekarang orang-orang itu tidak saja duduk atau berdiri di dekat jendela seperti kulihat senja kemarin, melainkan satu demi satu keluar dari jendela itu seakan tubuh mereka seringan kapas. Mereka terus melangkah, saling menuju secara terburu. Setelah bertemu dengan cepat mereka menabrakkan diri satu sama lain (bayangkan saja adegan laron yang menabrak cahaya, begitulah cara mereka melakukannya). Tubuh-tubuh yang bertabrakan itu segera menjadi pecahan-pecahan hujan yang sangat tipis dan hilang perlahan— menyisakan malam yang makin hitam. Aku tidak tahan. Cepat kuambil handphone. Kucari nomor sahabatku secara terburu. "Hello, Tita...," sambut Mauri terdengar gembira. "Senja ini aku sedang menghadap jendela, Mau, dan aku melihat...."

155


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Mauri tertawa renyah. Tawa yang lama-lama membuatku merinding, ngeri. Membuatku tak kuasa berkata apa-apa lagi, bahkan saat kudengar ia mengatakan sesuatu, lalu memanggil namaku dua kali dengan nada seru. Setengah berlari aku turun ke lantai bawah. Bi Tah kutemukan menonton televisi di ruang keluarga, tengah tertawatawa sendirian, tidak menoleh saat kupanggil berulang-ulang. Perasaanku makin tidak keruan. Dengan cepat aku menuju pintu utama yang terbuka, dan—di halaman rumah barisan depan—mataku segera membentur mata merah senja—mata para pembantu yang menatap amat licik. Tidak menunggu lama, tubuhku sudah menjadi patung kayu. Sumatera, 11-12

156


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kemarau di Musim Hujan Yogie S. Memet Published Š Metro Riau, Minggu 05 Agustus 2012

158


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

CUACA ini terasa dingin sekali, seperti cuaca-cuaca hujan lainnya. Tapi ada yang berbeda dengan hari ini. Rima, perempuan dari seberang kota bercerita tentang diri dan pekerjaannya. pada sebuah pertemuan waktu senja, aku menemukannya sedang bercanda dengan sahabatku di sebuah akun milik kawanku, sesekali mereka berbagi canda dan tawa melepaskan segala penat yang mungkin dari kemarin mendekati mereka. Akupun merasa tergoda dengan keadaan itu, kemudian aku mencoba mengintip siapa sosok Rima yang membuat sahabatku Faqi tertawa begitu lepas sore itu. Lama aku memperhatikan bagaimana mereka membagi tawa dan bahagia pada suatu senja, akupun memutuskan untuk menulis nama akunnya dalam pencarian pertemanan sembari berharap agar dia menerima pertemananku. Apa yang aku harapkan akhirnya menjadi sebuah kenyataan, diapun menerima permitaanku saat itu juga. Saat itu, aku melihat beberapa di antara temannya adalah teman dekat yang sekampung denganku, dia adalah Anton, seorang lelaki yang satu hobi denganku. Sebenarnya Anton sendiri sangat lama ingin menemuiku. Maklum saja, ia mengenalku lama, akan tetapi aku tidak mengenalnya. Setelah beberapa peristiwa yang mempertemukanku dengan Anton di sebuah taman kota, rasa penasaran Antonpun ahirnya terjawab pula, hari itu ia bisa melihat bagaimana wajahku, Tono. Begitulah nama yang selama ini selalu disebut-sebut banyak orang 159


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dan membuatnya penasaran ingin mengenal sosokku lebih dekat.

SATU minggu setelah pertemanku dengan rima, aku merasa sangat nyaman dengannya, ia seperti seorang perempuan yang sangat luar bisa bagiku. Berfikiran dewasa, pintar dan cantik. Sungguh perempuan idaman bagiku. Saat itu, aku mengenalnya sebagai sahabat saja. Tapi, kali ini sangat berbeda setelah tiga minggu mengenalnya. Segala perasaan luka dan sedih seperti kemarau dalam diri menyerang dengan sangat garang dan bermukim lama di dalam jantungku. Namun setelah kedatangannya, membuat segala musim itu menjadi basah, ada perasaan damai yang datang menyelinap dalam pertemuanku dengannya. Esok harinya, aku mencoba memberanikan diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan dalam hatiku tentang dirinya, segala perasaan bercampur aduk. Tapi karena aku tidak bisa membohongi diri, akupun mencoba untuk mengatakan semuanya meski dengan pelan-pelan. “sepertinya, aku merasa nyaman denganmu� ucap tono sambil senyum dalam dalam pesan singkat yang dibuat, “aku sangat senang mengenalmu� balas Rima beberapa saat. Pertemuan singkat itupun membuat Tono merasa berbunga-bunga, karena perasaan yang dimilikinya ternyata dijawab dengan sebuah harapan. Harapan yang sangat membuat hati 160


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tono yang gersang seperti menemukan musim hujan. Diamdiam pertemuan singkat mereka melalui sebuah media sosialpun membuat mereka saling suka, walaupun keduanya masih malu-malu untuk mengakui perasaan masing-masing.

BEBERAPA bulan saling mengenal, rima kemudian menceritakan tentang sahabat Tono yang menyukainya. Rima benarbenar kalut saat itu, ia menceritakan tentang Anton yang sering mengajaknya untuk berpacaran melalui pesan singkat, handphon anton berbunyi sebagai tanda pesan masuk. Anton membuka dan membaca pesan tersebut, tanpak dahinya berkerut “Kak, coba kakak terka, apa maksud dari pesan ini”, handphonya berbunyi untuk kedua kali “dia mengajakmu menikah”? tanya anton “tidak hanya sampai disana kak, dia sering mendesakku. Katanya dia sangat mencintaiku, dia tidak perduli jika aku mempunyai pacar seperti penjelasan-penjelasanku padanya”. Anton hanya tersenyum membaca pesan yang dikirimkan itu, karena merasa penasaran Rimapun menelpon Anton “sepertinya temanmu itu mulai sinting, setiap malam ia terus mendesakku untuk menikah kak, dan parahnya lagi dia mengajakku cekin” keluh Rima melalui telpon seperti seorang yang sedang bertemu hantu. Tut-tut-tut (telpon terputus), kemudian sebuah pesan aku kirim “maaf, pulsa adek habis”, “oh ya, gak apa-apa” balasan pesan yang anton kirimkan. Pembicaraanpun selesai malam 161


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

itu, karen waktu memang juga sudah sangat larut. Maklum, besok pagi. Kedua orang itu akan disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, Anton yang tercatat sebagai seorang guru dan Rima sebagai seorang DJ (disk joki).

PERKENALAN mereka sudah menjelang satu bulan, dan merekapun sepertinya mulai menemukan bibit-bibit cinta yang bersemi. Entah, Anton bermimpi apa sebenarnya semalam, hari itu menjadi hari yang sangaat kacau baginya. Sebuah pesan singkat masuk di ponsel abal-abalnya “kak, dia memaksaku lagi”, “hem, biarkan saja, anjing menggonggong” jawab anton singkat. “tapi aku bingung kak” jawab Rima mendesak, “kau tentang saja, cobalah kau ganti akunmu atau kau ganti kartumu. Toh nanti dia nyadar sendiri”, “udah kak, tapi aku gak mau kehilangan teman-temanku yang lain, apalagi nomerku itu sudah lama aku pakai. Ayolah kak, tolong aku”, “dia itu teman baikku rima, aku tidak tahu apakah dia masih menganggapku sebagai teman baikku”, “aku tahu kak, terimakasih. Aku tidak mau mengecewakanmu, asal kakak tahu, aku mencintaimu kak”, “aku sayang kamu, juga sayang temanku rima, apa tidak ada cara yang lebih bijak untuk menjawabnya?”, “tapi kak”, “…….” (tidak ada jawaban dari Anton) pembicaraan hari itu berhenti sejenak. Saat itu, Rima mengganti foto profile pada akunnya. “wah, fotomu”, “kenapa kak”, “seksi”, jawab anton. “kakak tidak suka”, 162


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“aku boleh liat albummu” jawab anton penasaran, nanti aku komen tentang foto seksi dan tidak seksimu ya”, “iya kak, terima kasih”, “…….” Pesan terputus, beberapa saat di layar notebooknya setelah memberi komen pada sebuah albumnya. “fotomu, seksi. “Mengundang nafsu”, “kalau begitu, aku akan menutup akun itu, semua foto aku akan sembunyikan”, jawab rima pada chat Facebooknya. Obrolan kemudian selesai, selepas itu. Anton bergegas menuju kantornya. Lima hari setelah obrolan itu, di sebuah kantin tempat anton bekerja. Sebuah pesan singkat di kirimnya “pantas…kau di acak cek in”, “what!!!!”, “terimakasih kak, atas ucapanmu itu”, “aku tidak bermaksud mengatakan hal buruk tentangmu”, “aku kecewa dengan kakak”, “Anton mencoba menjelaskan duduk permasalahannya”, “terimakasih kakak, ku harap kau menemukan wanita lain yang lebih baik dariku”, “aku tidak bermaksud adek, tidak”, “tapi ucapanmu itu”. Antonpun merasa gerah, karena rima tidak mau mendengar penjelasan Anton tentang maksud pesan singkat itu, Rima yang sudah terserang kemarahan seolah menjadi “babi buba” yang anti dengan penjelasan-penjelasan. Anton terlihat seperti berfikir, merasa ada yang berubah dengan diri rima, seorang perempuan seberang kota yang sangat ia suka. Anton merasa musim hujan yang sedang menghampirinya menjadi kemarau yang lebih ganas dari gurun sahara.

163


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aku ini seorang DJ, seorang DJ itu menjual musik. Bukan tubuhnya, tulis rima pada status terbaru di akunnya. “lihatlah pakaian yang kau gunakan, itulah yang membuat laki-laki memandangmu dengan sedikit nafsu” jawab anton dalam chatnya menuju rima Rima sangat ingin mendengarkan satu kata dari Anton lelaki pujaannya itu, tetapi anton tidak pernah tahu apa yang sebenarnya rima inginkan sebab ia tidak pernah mengungkapkan keinginannya itu. Pada suatu malam, rima menelpon anton. Saat itu sekitar pukul 23: 00, “apa kabar kak” tanya rima dengan suara yang sedikit aneh, “kau flu” tanya anton “ah tidak, aku baik-baik saja. Sudahlah kau tak usah pura-pura perduli denganku” jawab rima cetus “apa maksudmu adek” jawab anton sambil bingung “seharusnya kakak itu tahu apa yang adek inginkan, kakak tau tidak orang kalau berbuat salah harus melakukan apa” jawab rima dengan suara sedikit lirih. Mendengarkan jawaban rima itu, anton merenung dan menjawab dengan pasti “apa”? “kakak menyebalkan, aku tidak seburuk itu kak, aku ini masih seorang yang bisa menjaga harga diri” “adek” potong anton dengan sedikit emosi “dengarkan dulu, sedikitpun aku tidak bermaksud untuk menghinamu, aku hanya komen terhadap poto di Fbmu tetapi dalam waktu yang lain, tidak saat kita sedang membahas poto akan tetapi pada saat yang lain dengan tema yang lain” tutur anton “aku mengerti kak, tapi ucapanmu itu, telah menya164


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

nyat hatiku”, “aku tidak pernah bermaksud demikian adek, aku hanya…ah..sudahlah, sebaiknya kita tidak membahas masalah itu lagi” pinta anton, “aku hanya ingin tahu, apa yang orang ucapkan jika melakukan kesalahan kakak”, pembicaraan sempat terhenti sesaat dan anton menjawab “jika memang itu membuat semua masalah selesai, aku mohon maaf. Aku tidak punya maksud apapun selain mencoba mengatakan kepadamu bahwa cara berpakaianmu itu mengundang nafsu, wajar saja jika seorang laki-laki menganggapmu seperti wanita murahan karena kau sendiri mungkin tidak menyadari apa yang kau lakukan. Baiklah maafkan aku adek, aku hanya mencoba memberikan perhatianku kepadamu agar kau tak dianggap perempuan murahan oleh orang lain. Hanya itu” papar anton, saat itu jam sudah sangat larut. Hampir menjelang pagi, “sekarang sebaiknya kakak istirahat saja dulu, esok kita lanjutkan lagi” ajak rima setelah mendengarkan penjelasan dari orang yang paling ia suka.

165


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Bisikan Eko Hartono Published Š Minggu Pagi, Minggu 05 Agustus 2012

167


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ENTAH, syetan atau malaikatkah yang datang mempengaruhi diriku. Tiba-tiba aku mendapatkan bisikan untuk membunuh laki-laki itu. Ya, aku harus membunuhnya. Karena jika aku tidak membunuhnya, maka selamanya hidup kami akan merana. Kenapa harus dibunuh? Mungkin itu pertanyaan yang nanti muncul. Jawabnya simpel saja; karena tak ada jalan lain. Membiarkannya tetap hidup sama halnya membiarkan kejahatan terus merajalela! Kedengarannya

sangat naif karena aku mendasari

tindakanku atas perintah bisikan. Tapi hal itu mungkin merupakan jawaban yang lebih masuk akal. Karena semua orang yang kumintai pendapat dan pemikirannya tak ada satupun memberikan jawaban memuaskan. Tak seorang pun bisa memberikan solusi atas masalah yang kami hadapi. Mereka malah menganggapku gila dan memintaku untuk mengurungkan niatku. “Itu sama saja kamu cari mati!” “Dia tidak mungkin bisa dibunuh. Kamu bukan lawan yang sepadan. Lagi pula bagaimana caranya kamu bisa membunuhnya?” “Sebelum niat kamu itu terlaksana, mungkin kamu dulu yang dibikin mampus!” “Sudahlah! Jangan bikin masalah dengannya!” Begitu kata-kata yang terlontar dari mulut teman-teman. Mereka memang tidak ada yang berani melawannya. Sosoknya yang tinggi, gagah, berwibawa, dan sangar menciutkan nyali si168


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

apa saja, terutama penghuni kawasan kumuh ini. Apalagi dia membawa beberapa bodyguard berbadan kekar dan berotot yang siap menelan kami yang kecil. Memang, kami bukan lawan sepadan buat mereka! Tapi tidak selamanya yang besar menang atas yang kecil. Sejarah pernah mencatat; David berhasil mengalahkan Goliath, bambu runcing mengalahkan mesiu. Semua tergantung dari tekad dan keberanian. Tekad yang kuat dengan didasari pemikiran cerdas dan perhitungan matang. Ditambah lagi dengan keberanian dan semangat pantang menyerah. Semua itu merupakan racikan kekuatan yang amat luar biasa besarnya. Hanya mereka yang berjiwa kerdil dan pengecut saja tidak mampu melakukan semua itu. Aku menganggap mereka yang tidak berani melawan dan menghadapinya sebagai pengecut, tak bernyali. Mungkin di tempat ini hanya aku satu-satunya orang yang memiliki gagasan ingin membunuhnya. Keinginan itu pun berawal dari sebuah bisikan. Bisikan yang tiba-tiba berdengung di telingaku. Almarhum bapak pernah mengatakan bisikan yang berasal dari syetan mengajak kepada kejahatan dan keburukan, sementara bisikan malaikat mengajak kepada kebaikan dan kebenaran. Tapi bagaimana kita bisa membedakan mana bisikan syetan dan mana bisikan malaikat karena hal itu sifatnya sangat subyektif. Kebenaran bagi seseorang berbeda dengan kebenaran bagi orang lain. 169


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Semua tergantung dari kecenderungan hati dan kesepakatan bersama. Ketika seorang gadis berada dalam bahaya karena hendak diperkosa, lalu dia memilih bunuh diri demi menyelamatkan kehormatannya, apakah hal itu bisa dikatakan benar? Sebab, bunuh diri dianggap dosa besar, sedang mempertahankan kehormatan mungkin benar dari sudut pandang lain. Begitu pula ketika warga suatu kampung menolak seorang warganya yang ingin kembali ke kampung itu karena diketahui mengidap psikopat, meski dia sudah bertobat! Jadi, apakah bisikan yang muncul dalam diriku yang menyuruh untuk membunuh laki-laki itu dikatakan benar atau salah, itu tergantung bagaimana melihat persoalannya? Menurutku, bisikan itu benar. Karena dengan membunuhnya sama halnya memberantas kejahatan. Jika dia tidak dibunuh, maka kejahatan yang diperbuatnya akan semakin merajalela. Bukankah kejahatan sudah selazimnya diberantas dan dimusnahkan? Dan menurutku, satu-satunya jalan untuk memberantas dan memusnahkan adalah dengan membunuhnya. Ibarat membasmi benalu, maka harus dipotong sampai ke akarnya! Tapi seperti kata teman-temanku, sangat berat dan besar resikonya jika aku nekad melaksanakan gagasan itu. Satu hal pasti aku bakal masuk bui, nasibku akan berakhir di penjara. Bukan sekadar belasan tahun, mungkin bisa seumur hidup atau malah hukuman mati. Karena tindak pembunuhan beren170


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

cana dianggap sebagai tindak pidana berat. Ancaman hukumannya kalau tidak seumur hidup, ya hukuman mati! Mereka menyayangkan jika sampai hal itu terjadi. Padahal aku masih sangat muda, harapanku masih panjang. Masa depanku bisa berubah suram karena tergelincir pada perbuatan konyol yang berakibat luar biasa. Mereka memintaku mengurungkan gagasan gila itu. Namun sekali lagi, bisikan yang begitu kuat mendesak dalam diriku sulit untuk ditahan. Siapa yang bisa menghentikan dan membasmi perbuatannya, jika bukan salah satu dari kami yang bertindak? Ya, hanya kami yang bisa melakukannya. Karena selain sebagai korban, kami pula yang merasakan langsung akibat perbuatannya. Melaporkan kepada pihak berwajib? Itu sama halnya memasrahkan diri ke mulut buaya. Karena dia sendiri termasuk aparat penegak hukum. Ketika memakai seragam, dia memang terlihat sebagai sosok pelindung masyarakat. Tapi ketika sudah berganti baju preman, dia tak ubahnya pencoleng yang suka mangkal di terminal. Dengan dalih menjaga keamanan wilayah kumuh ini, dia menarik upeti kepada semua penghuni. Besar upeti ditetapkan menurut kehendaknya. Tak peduli keadaan dan penderitaan kami yang hidup susah. Tidak setiap hari kami mendapatkan uang. Penghasilan sebagai pedagang kaki lima, pemulung, pengemis, tukang semir sepatu, atau pengamen hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Jika tidak mau bayar upeti, 171


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

jangan harap bisa selamat. Dia seakan yang menentukan hidup mati kami. Siang itu‌ Orang-orang dibuat kalang kabut. Laki-laki dholim itu kembali datang bersama dua orang anak buahnya. Beberapa penghuni ada yang sengaja kabur, karena sedang tidak punya uang. Mereka tak sanggup bayar upeti. Sementara yang lain tetap berdiam, karena tak ada kesempatan. Lagi pula apa gunanya menghindar, karena siapa yang tak bayar upeti akan dikenakan denda dan harus bayar dua kali lipat. Jika tetap mungkir, jangan harap badan selamat. Selain babak belur, boleh jadi dihanyutkan ke sungai tanpa nyawa! Tapi aku tetap berdiam, meski sudah dua kali ini aku tidak membayar upeti. Aku sengaja mungkir, sekadar menguji nyaliku sendiri. Ternyata aku memiliki cukup keberanian, meski debar jantung senantiasa menyertai kala laki-laki berbadan tinggi tegap dan berambut cepak itu datang menghampiriku. Dengan suara hardikannya yang mirip gonggongan anjing herder, dia memintaku segera membayar upeti. Ketika kujawab tidak ada uang, sebuah bogem mentah melayang ke wajahku. Tapi kucoba menahan perih dan luka. Dan sekarang, aku kembali harus menguji nyali. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, kali ini nyaliku cukup besar. Rencana untuk membunuhnya membuncah dalam dada. Hatiku tergerak untuk melaksanakannya. Jiwaku tergugah menjalankan aksi 172


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

yang sangat menantang. Tanpa pikir panjang, aku segera beranjak dari tempatku, masuk ke dalam gubuk. Aku mengambil sebilah belati tajam yang sudah lama kupersiapkan. Sejenak hatiku dibuat gamang dan bimbang saat menggenggamnya. Namun tekad bulat ditambah bisikan yang begitu kuat membakar keberanianku. Bisikan itu pun berkali-kali mendesakku; ayo, lakukan! Kapan lagi saatnya. Ini bukan sebuah pembunuhan tapi pembelaan diri. Ya. Kamu membela diri dari kejahatan para preman itu. Dengan demikian hukumanmu nanti akan lebih ringan. Lagi pula, kamu melakukan semua ini demi kebenaran! Demi kebenaran!!! Dengan perasaan yakin aku segera keluar. Kulangkahkan kaki dengan mantap menghampiri laki-laki tinggi kekar berambut cepak itu. Dia tampak berjalan dengan gagah di tengah jalan diiringi dua orang anak buahnya. Aku terus berjalan dengan mata nyalang menatap ke depan. Kusembunyikan belati itu di balik pinggang. Ketika sudah sampai di hadapannya, dengan gerakan

secepat

kilat

kuayunkan

belati

tajam

itu

ke

lambungnya. Tak siap dengan serangan mendadak, dia pun hanya diam terpaku. Wajahnya memucat pasi dan matanya melotot ke arahku saat ujung belati yang tajam menembus lambungnya. Darah segar muncrat. Pekik kematian melengking dari bibirnya. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah. Kedua orang anak buahnya ternganga dan tak sempat berbuat apa-apa me173


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lihat kejadian ini. Mereka menubruk tubuh sang bos. Ketika sadar sang bos sudah tak bernyawa, wajah keduanya pucat seperti mayat. Mereka pun segera lari, menyelamatkan diri! Semua yang menyaksikan kejadian ini terpana, tapi sejurus kemudian mereka bersorak sorai mengelu-elukan aku bak seorang pahlawan. Peristiwa ini akhirnya membuka mata mereka bahwa orang kuat bisa ditumbangkan, kejahatan bisa dimusnahkan. Keberanianku membunuh bos preman mendapat sanjungan. Dadaku membusung dipenuhi kebanggaan. Dengan wajah berbinar aku mengedarkan pandangan. Tapi tibatiba… “Hei, Man! Maman…?!” Sebuah teguran disertai tepukan di pundak membuyarkan lamunanku. Seketika aku menoleh. Dodik, teman sesama pengamen, sudah berdiri di hadapanku dan memandang penuh keheranan. “Ngapain kamu di sini? Dari tadi kulihat melamun saja? Kesambet setan baru tahu rasa!” Aku tertegun. Aku baru sadar bahwa semua kejadian tadi hanya khayalan semata, kejadian yang kureka dalam pikiranku sendiri. Aku membayangkan seandainya hal itu benar-benar terjadi. “Ada apa, Dod?” tanyaku menutupi rasa malu. “Bang Doni sudah datang. Cepat siapkan upeti!” Aku meneguk ludah. Keberanian yang tadi menyala-nyala dalam dada tiba-tiba meredup, raib entah ke mana. Bisikan itu 174


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pun hilang, menguap bersama angin. Dengan wajah lesu dan pasrah aku beranjak dari tempatku. Ternyata aku masih belum cukup punya nyali dan keberanian melawan laki-laki itu. Konon lagi mau membunuhnya!

175


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Menerka Sisy Tjak S. Parlan Published Š Okezone.com, Senin 30 Juli 2012

Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah Mataram. Menulis puisi dan cerpen. Sejumlah karyanya terbit di Majalah Ekspresi (Bali), Koran Kampung, Jurnal Replika, Koran Mataram, Tabloid Shootplus (Mataram-Lombok), Harian Sinar Harapan. Juga dalam antologi komunal seperti Tonggak; (2005-cerpen), Simpang Lima (2009puisi). Kemudian, Dzikir Pengantin Taman Sare (2010-puisi) dan Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), Dari Takhalli sampai Temaram: due likur penyair NTB (2012-puisi). Bersama seorang kawan menulis kumpulan cerpen Ajarkan Aku Mencintai dengan Tangan (2001). Intens sebagai perajin tata letak dan turut aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB.

177


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DI DEPAN sana, di bawah flamboyan yang berderet-deret dengan kenari, angkutan umum memuntahkan beberapa tubuh. Tubuh-tubuh itu bergegas, lenggak lenggok menuju bangunan paling mewah di dekat warung-warung tenda yang tumpah di jalanan. Sesekali tawanya berderai. Saling menatap sebentar. Saling mengomentari. Meyakinkan kepada karibnya kalau-kalau ada yang salah dengan dandanannya. Karibnya menggeleng dan meyakinkan bahwa ia sudah sempurna. Hanya mungkin terendus aroma aneh. Aroma yang tak biasa. Itu membuatnya sedikit mengernyitkan dahi, dan spontan bertanya kalau-kalau ada yang tidak beres pada dirinya. “Ah, cuma nyoba merek baru. Lin bilang, baunya lebih kalem.” “Harga teman.” “Mahalan mana dengan yang kita beli minggu lalu.” “Cuma beda dikit. Ada diskon di lantai tiga.” “Kok ga ngajak-ngajak, sih. Eh, tapi aku kurang suka baunya. Terlalu kalem.” “Kamu sih, maunya yang santer-santer. Biar kedengaran merek parfumnya.” Lalu tawa mereka berderai, renyah. Tawa itu terhenti di depan parkiran taksi yang membuat blok sendiri di sisi timur dari bagian bangunan itu. Tentu saja, jingkat-jingkat kecil mereka menerbitkan keinginan untuk menggoda. 178


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sepatu hak tinggi, rok mini, juga lenggang jalannya, apalagi senyum yang selalu mengembang di bibirnya yang tersaput lipstik warna merah merekah. Rambut mereka yang dibuat sedemikian rupa, mengejar tren dari sebuah majalah fashion nasional yang beredar di kota ini.. Misalnya, mau tidak mau ikut membangun asumsi tersendiri bagi mata awam yang melihatnya. Tetapi mereka bukan wanita-wanita yang tidak teruji pada jalur yang tengah ditempuhnya. Seperti biasa, mereka tetap mengembangkan senyumnya. Tak masalah, senyum bukanlah barang mahal yang untuk mendapatkannya seseorang harus taruhlah, mengajak makan siang bersama atau harus ngedate pada malam-malam tertentu selepas pulang kerja. Tidak seperti itu. Seperti pagi itu, Sisy, Rita juga Lin masih menjaga senyumnya. Seperempat jam lagi senyum itu akan bertebaran di balik-balik kaca. Di balik-balik etalase. Di tengah-tengah bauran parfum dengan aroma dan merk yang berbeda. Pada labellabel harga yang terpajang angkuh di celana-celana, baju-baju, sepatu, kaus kaki, underwear, tetek bengek make up hingga mobil keluaran terbaru di show room pada lantai pertama. Seperempat jam lagi: waktu yang cukup bagi Sisy dan kawan-kawannya untuk ngrumpi soal tren, gaya hidup paling gres yang suatu hari nanti mereka berharap akan mencicipinya. Tentu saja, sebelum pintu utama yang dipasangi tulisan enter

179


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

itu mengangga dan siap menelan mereka selama berjam-berjam di dalamnya.

SISY termenung di balik kaca etalase, menunggu jam siang tiba. Saat istirahat makan, saat melepaskan penat. Ia akan melepaskan tawa riangnya. Menebarkan senyum tanpa dibuatbuat. Ngobrol ringan sana-sini sambil menikmati semangkuk bakso dengan mi basah bebas formalin. Ia memilih tanpa sambal. Mungkin lebih banyak saus tomat dengan kecap manis yang sepadan. Semanis senyumnya. Semanis pesan-pesan pendek yang masuk ke ponselnya. Jari-jari lentik Sisy mulai menari. Sekadar menjawab setiap pesan pendek yang masuk di inbox. Bermacam-macam. Dari sekadar tawaran makan siang atau ajakan kencan di akhir pekan. Beberapa juga dari kawan-kawan lama. Bertanya ini itu tentang ia sekarang ada di mana, lagi ngapain, kerja di mana, bla bla bla. Ada juga beberapa pujian yang menyangkut dirinya. Pasti dari laki-laki. Laki-laki dewasa, sebagian agak kebelang-belangan. Laki-laki yang bersedia menjemputnya dengan mobil mewah pas giliran shift malam. Pernah sekali waktu dengan laki-laki tambun. Dua atau tiga kali, mungkin. Dan Sisy membikin laki-laki itu manyun. Hanya ungkapan thank you, meluncur manis dari rekah bibirnya tanpa tawaran ini itu, bahkan sekadar mampir ke kontrakkan. Lumayan, dapat tumpangan malam-malam, batin Sisy. 180


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sisy tersenyum sendiri. Ia mengenang beberapa orang lagi. Bermacam-macam tipenya, yang paling diingatnya adalah tipe seperti ini: “Sudah lama aku pelajari pohon-pohon dan jenis tanaman. Terutama bunga. Sisy suka bunga apa?” Sisy nyengir. Sebenarnya sedang menebak ke mana arah pertanyaan itu. “Aku punya villa di dekat bukit.” Sisy tambah bengong. Pria di depannya makin semangat bicara. “Aku sering weekend di sana. Biasanya dengan Burgundy. Sore menjadi tenang di dekat bunga-bunga azalea, sebagian mawar ada juga anyelir. Aku juga merawat anggrek. Sisy bisa ke sana kapan saja.” Sisy melirik jam tangannya. Membiarkan pria setengah baya itu ngoceh. Napasnya bercampur aroma bir. Di dekatnya musik impor menguasai ruang. Merayakan suasana, sendawa orang-orang lupa. Sisi menyeruput coca cola ukuran mini hingga tandas. Ia kembali melirik jam tangannya. “Udah malam. Aku malu sama tetangga. Ibu kosku orang baik. Besok giliranku shift pagi. Percaya deh, obrolannya bisa disambung kapan-kapan. Selalu ada waktu, kan?” ujar Sisy setengah merayu, sambil menuangkan bir di gelas terakhir pria itu. Pria itu tampaknya masih enggan. Masih terlalu pagi untuk pulang. Ia menatap lekat-lekat ke arah Sisy seolah ingin melahapnya. Sisy tak mau kalah. Matanya menebar naluri me181


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lindungi diri sendiri. Naluri itu merambat hingga ke tangannya. Sisy merambahi rambut pria di depannya. Membelainya sebentar di kepalanya yang sedikit botak sambil berkata dengan perasaan ingin mematikan. “Cukup honey, please!!. Selalu ada waktu, kan?� Pria di depannya mengangguk tak berdaya. Sisy memberikan isyarat ke pramusaji. Pria itu melolos beberapa ratusan ribu dari dompetnya. Membayar semestinya, memberikan tip sewajarnya. Lalu mereka pergi, berjalan beriringan tanpa bergandengan tangan. Sisi senyum-senyum datar mengenang semua itu. Pukul 12.30 waktu setempat, istirahat siang tiba. Sisy melenggang, menggamit tas jinjingnya, meninggalkan kaca-kaca etalase, menuju ke kafe kecil di lantai bawah tempat ia menikmati pergantian jam kerja bersama Rita, Lin, dan karibnya yang lain.

SAUDARA-SAUDARA, aku teringat pria-pria itu. Dan di dalamnya, aku menerka dan mengenang Sisy. Berpijak dari penuturan seseorang, aku mulai membuat stimulasi teks. Mungkin tak ada kaitannya dengan cerita ini. Mungkin tak melulu begitu. Tapi bisa jadi ada Sisy lain, yang mungkin, sekali lagi mungkin, memang jenis wanita seperti ini: Dalam penciptaan suatu kali waktu, ia adalah roh yang jatuh dari jenis pohon walnut. (Ini menurut penganut tradisi Celtic di sana, dituturkan oleh seorang kawan yang ketika kuli182


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ah di tempat itu sering menghabiskan sore, menatap daun-daun yang berguguran di Leicester Square. Waktu itu di tempat yang lain kami sedang menghabiskan sore tanpa pekerjaan dengan menghirup kopi sambil berdiskusi tentang standar wanita idaman). “Manusia cenderung dibawa oleh sifat pohonnya, katanya. Aku ambil contoh, misalnya Pohon Walnut.” “Ada apa dengan pohon itu?” tanyaku penasaran. “Biasanya dari jenis ini cenderung hedonis, jaga gengsi, bergairah dan yang paling bombastis: seksnya tinggi,” ujar kawanku sambil cengar-cengir. Asyik juga, sih. Tapi bayangkan saja, berapa yang harus dihabiskan untuk manusia mahal semacam ini?” Aku tergelak. Terbesit tentang perempuan-perempuan yang mungkin saja jatuh dari Pohon Flamboyan, tempat Sisy dan kawan-kawannya turun dari angkutan kota. Setengah iseng aku bertanya. ”Bagaimana dengan cewek yang jatuh dari pohon Flamboyan?” Kawanku mengernyitkan dahi, mereka-reka sesuatu. Detik berikutnya ia menjawab dengan spontan. “Ya, kalau ga terkilir, paling-paling kakinya lecet!” Tawa pun berderai di tempat itu. Hujan mereda. Pukul 14.00. Di depan sana, di bawah flamboyan yang berderet-deret dengan kenari, angkutan umum memuntahkan beberapa tubuh. Tubuh-tubuh itu bergegas, menjadi Sisy-Sisy yang lain. Mereka menenteng tas. 183


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tas jinjing yang menyimpan piranti make up. Untuk gaya hidup yang satu ini, aku juga pernah mendengar komentar lain dari kawanku ini. “Sungguh, bukan wanita kelas dewi-dewi yang menenteng tas ke mana-mana, apalagi tas kresek. Coba kau ingat, sejak zamannya Aphrodite hingga Nawang Wulan tidak ada satu pun yang melakukan itu.� Aku kembali dibuatnya tergelak, lalu mendadak diam ketika pikiranku beralih ke Sisy. Jika dipastikan Sisy bukan wanita kelas dewi-dewi, bahkan wanita yang bukan jatuh dari Pohon Walnut, lantas kami, aku dan kawanku itu, kira-kira masuk golongan kelas apa, jatuh dari pohon apa? Lalu satu pertanyaan lagi dalam benak, �Duh, kira-kira yang gimana sih, standar Sisy? Jember, 2012

184


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Musim Maling Riki Utomi Published Š Padang Ekspres, Minggu 05 Agustus 2012

186


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SUNGGUH dia tak mengerti mengapa akhir-akhir ini dadanya begitu bergemuruh. Seperti gemuruh pada saat mendung yang mengurung terang siang di penghujung bulan. Pada saat-saat seperti itu, kontak pikirannya juga menjadi tak menentu, lebih tepat ia merasa pusing, walau tidak begitu menusuk, tapi cukup membuatnya sulit untuk berpikir. Saat-saat seperti itu, tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Ah, setahu dirinya, dia tak punya apa-apa, juga tak menaruh beban pada hidup. Tapi benarkah? Dia mencoba berputar-putar memikirkan lekuk liku hidupnya sendiri sehingga berhasil mapan saat ini. Tapi dia tak mengerti mengapa seolah hal-hal yang rancu seperti singgah kepada dirinya. Seperti kemarin tiba-tiba ia takut akan gelap. Saat itu mati mati lampu dan malam seperti kuburan gelapnya. Hal yang membuat anak-anaknya tertawa karena dia menjerit-jerit ketakutan. Segera istrinya berlari sambil meneranginya dengan senter. Dia melihat istrinya dengan pucat, sepucat seperti dia melihat hantu. Dan, juga kemarin lagi, hal yang tak dimengerti istrinya, dia tiba-tiba tidak mau makan, padahal di meja telah terpenuhi seluruh makanan favoritnya. Kau tahu? Dia berkata yang mencengangkan istrinya, seluruh makanan itu—dalam penglihatan matanya—seolah bagai seonggok bangkai. Dan akhirnya, istrinya pun mencakmencak, bahkan menumpahkan semangkuk sayur lodeh kese-

187


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

nangannya sehingga celana dan bajunya basah karena kuah sayur. Dan... ini yang lebih gawat. Dia telah membuat wajah istrinya cemberut dan masam semasam asam jawa. Pada malammalam yang dimana dia telah berjanji dengan istrinya itu di tempat tidur, tiba-tiba ia menjerit lagi. Dia menggigil dan ketakutan. Dia berteriak keras karena mengaku telah melihat bayangan hitam sambil membawa tombak yang siap menancapkan ke tubuhnya. Ah... dia benar-benar tampak seperti akan gila. Tapi, lain waktu, dia segar bugar, mengawali pagi dengan jalan kaki keliling halaman perumahan elit itu. Berjalan sambil tersenyum mendengarkan dendang burung-burung berkicau.

SEBENARNYA tak ada yang harus dirisaukannya. Sebab segala bentuk kesenangan telah diraihnya. Dia juga saat ini telah berhasil meraih prestasi sebagai konglomerat. Saat pulang kantor dia pasti tertawa lebar, ngakak seperti telah menonton ketoprak humor di televisi. Seperti lelucon yang segar telah dia dapati. Seperti angin semilir yang mengelus pipi. Dia semakin tampak gembul dan bundar seperti bola kasti. Hidup senang adalah harapan! Gaungnya. Setelah itu, dia kerumuni anakanaknya yang ramai. Istrinya menuju kepadanya sambil membawa secangkir teh hangat. Mengecup pipinya dengan panas. Dia semakin tertawa.

188


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Semua telah berada di tanganku. Kita harus menggenggam.” Istrinya mengangguk. “Kita harus tidak ketinggalan seperti mereka, bukan?” Istrinya semakin sumringah, tersenyum lebar. “Tenang saja. Semua yang ada sudah aku kuasai.” Hal itulah yang membuatnya semakin gencar berada di kantor. Dia lebih sibuk dan (mungkin juga giat) tanpa pernah orang lain menyadarinya. Tapi orang lain tidak tahu entah giat bekerja yang seperti apa, karena bisa jadi lain hal yang dilakoninya di kantor dinas itu. Tapi pelan dan pasti dia memang berhasil menggapai bintang cita-citanya: menjadi kepala dinas di sebuah kantor di kota itu. Dia saat ini pemagang kendali segala hal. Dan dia tertawa semakin lebar....

TAPI ada sesuatu hal yang lain di tempat dia tinggal. Pemukiman elit itu—entah mengapa—menjadi seperti neraka baginya. Itu tentu sebuah hal yang tidak menyenangkan. Meski dia belum merasa apa-apa dari hal-hal yang buruk melandanya, dia seperti sudah merasa dilanda, bahkan yang lebih menyedihkan, dia sudah seperti menjadi orang gila. “Rumah Pak Gimun, pejabat itu habis diobrak-abrik maling,” kata istrinya. Dia terdiam sejenak. Seperti ada sengatan listrik menjalar di tengkuknya. Dia memandang istrinya dengan ragu. Tapi ber189


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

usaha tersenyum, lebih tepat untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia juga merasa tidak mengerti mengapa begitu takut akan hal itu. Sebab, baginya, hal itu bukan main-main. Setidaknya semua apa yang dirasakannya juga dirasakan oleh istrinya. Itulah harapannya. Dan wanti-wanti dia mengucapkan pada istrinya, “kita harus hati-hati...� Istrinya tersenyum, seperti menganggapnya tak ada kejadian. Dan itu memang benar, belum ada kejadian. Tapi dia— entah mengapa—sejak saat diangkat sebagai kepala dinas di lingkungan kantor itu, cukup membuatnya resah. Resah? Bukankah itu sebuah harapan dan anugerah? Sebagai hasil prestasi? Ya. Dia telah menganggap dirinya pantas untuk memegang pucuk pimpinan di lingkungan kantor itu. Dia merasa giat dan pantas mendulang prestasi. Tentu semua itu harapan yang gemilang. Tapi... setelah lingkungan tempat tinggalnya tersebut saat ini cukup merisaukan karena maling, hal itu membuat perasaannya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang menusuknusuk pikirannya, menggoyahkan hatinya, dan entah mengapa dia seakan ditertawakan oleh maling itu sendiri. Saat-saat seperti itu dia akan memijit kening dengan terlebih dahulu mengoles balsem. Sesuatu hal yang tak terduga begitu menyentak menyerang pikirannya. Menerornya dengan tatapan tajam, dan dia memejam. Menggeleng. Hatinya bergemuruh lagi, sulit untuk dia redakan. Apalagi setelah istrinya mengatakan hal yang lebih menusuk. 190


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Semalam Bu RT cerita kepadaku. Bahwa orang-orang di Pos Ronda berhasil menangkap seorang maling. Maling itu bonyok digebuki saat diintrogasi karena dia tidak mau mengaku. Setelah babak belur, baru dia mengaku telah mencuri uang dari rumah Pak Haji Dingklik sebanyak ratusan juta. Pipinya biru, bibirnya pecah, dan matanya lebam. Ya, salah sendiri dia maling...� Dia merinding mendengarkan istrinya bercerita. Baginya cerita tersebut begitu menusuk. Mampu mengoyak perasaannya. Betapa beratnya yang diterima maling itu. Tapi bukankah maling tidak perlu dikasihani? Dan untuk apa pula merampas hak orang lain? Apakah maling itu tidak memiliki pekerjaan sehingga berani berbuat hal yang merugikan dirinya sendiri? Dia tak habis pikir. Dan keningnya terasa kian berdenyut. Dia menambah lagi olesan balsem. Memijitnya dengan keraskeras...

MALAM mendung. Angin begitu simpang siur bertiup, menabrak pepohonan dengan sembrono. Beberapa pohon tampak miring kanan-kiri. Sesekali terlihat kilat menyalip malam dan terdengar gemuruh yang beruntun. Dalam pusaran angin yang menabrak-nabrak itu terdengar ranting-ranting dan dahan-dahan pepohonan yang jatuh. Terdengar juga buah kelapa yang ikut jatuh menimpa atap seng kamar mandi. Dan yang lebih menjengkelkan... keadaan tersebut membuat listrik padam.

191


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Istrinya telah tertidur lelap. Entah mengapa dia semakin merasa ketekutan. Dan yang membuatnya jengkel sejak satu jam yang lewat matanya tak dapat terkatup untuk segera pulas tertidur. Dia membayangkan kepulasan dalam tidur yang nikmat di setiap malam. Tapi akhir-akhir ini dia tidak tahu mengapa begitu sulit untuk mendambakan tidur yang pulas dan nikmat. Malam-malam ibarat siksaan baginya saat ini. Dan kegelapan malam yang hanya diterangi lampu minyak tanah itu membuatnya terasa mencekam. Dia memasang selimut lebih tebal. Rintik-rintik gerimis telah turun menderu di atas genteng. Sayup-sayup suara kentungan terdengar dari pos ronda yang berada di simpang jalan. Dia tak dapat menyangka apakah rumahnya juga akan disinggahi maling seperti rumah-rumah elit yang akhir-akhir ini dia dengar dari istrinya. Apalagi cerita maling yang tertangkap di rumah Pak Joki, seorang pejabat teras di kota itu. Maling itu menertawakan tuan rumah, padahal dia telah digebuki habis-habisan oleh para tetangga. Tapi maling itu, yang anehnya tidak seperti merasakan sakit oleh tamparan, tinju, dan tendangan. Dia tetap menertawakan Pak Joki sambil juga meneriaki maling kepada Pak Joki, yang membuat lalaki paruh baya itu murka dan turut juga menendangnya.

192


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Hujan akhirnya turun dengan deras. Malam masih gelap. Hatinya terus bergejolak dan gemuruh. Dia teringat pekerjaan di kantor. Tentang berbagai macam proyek dan kerja sama yang menggiurkan. Negosiasi yang menjanjikan. Juga uang-uang sampingan dan pesangon yang membuat hatinya semakin melambung. Dan... dari segala bentuk proposal yang telah ditandatanganinya, menjadikannya seperti orang terkaya yang mampu untuk memiliki harta apa saja. Gaung mulut manis istrinya yang ingin mobil merk terbaru, sepeda motor untuk anaknya, beli rumah di perumnas, usaha kapal, perabotan, dan tabungan untuk pembiayaan dana kampanye karena sebentar lagi dia juga akan mencalonkan diri sebagai legislatif. Ah...sungguh hal yang besar dan banyak sekali. Dia memejamkan mata dengan berat tapi tetap kantuk tak juga singgah. Dia masih berpikir mengapa maling itu menertawakan Pak Joki? Dan juga orang-orang elit di perumahan itu. Apakah maling itu juga suatu saat akan singgah ke rumahnya? Menjarah segala apa yang ada di rumahnya. Dan dia juga akan ditertawakan oleh maling itu. Dia tak habis pikir. Ah... sungguh kasihan maling-maling itu, dia mencuri karena terpaksa. Karena suatu tuntutan hidup yang mendesak untuk sekadar mengisi perut yang perih karena lapar. Sedang orang-orang yang menjadi targetnya adalah orang-orang kaya yang bergelimang harta karena... dia berpikir ragu. Mengapa dia harus berhenti untuk mengatakan hal-hal jujur? 193


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dia menggeleng dalam diam dan nafasnya naik turun tak karuan. Dia kembali teringat segala urusan kantor. Tentang royalti-royalti yang telah didapatkannya selama ini. Ya, tentang segala macam proyek yang ditanganinya dan tentang simpang siur dana yang dicairkan, juga uang pelicin dari seluruh bentuk ketidakseimbangan dalam proses kerja dan... segala tetek-bengek yang tak lazim diikutsertakan dalam bentuk kerja yang dilakoninya. Tiba-tiba dia ingin menjerit dalam keremangan lampu minyak itu. Segala bentuk ketimpangan dari segala yang telah dilakukannya membuat hatinya tak merasa nyaman. Dan akhir-akhir ini musim maling membuatnya semakin mencekam. Dan... mendadak ia dikejutkan bunyi kaca yang pecah. Dia sempat meneliti dengan menajamkan telinga arah itu dari belakang, apakah dari kamar mandi? Dadanya bergemuruh hebat. Darahnya berdesir kuat. Dia mencoba membangunkan istrinya, tapi sial, istrinya tak bergeming sedikitpun, tetapi tambah semakin mendengkur pulas. Dia semakin cemas. Telukbelitung, 8 Juni 2012

194


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aleksei Tivetsky | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Pecah Mangkok Saut Poltak Tambunan Published Š Pikiran Rakyat, Minggu 05 Agustus 2012

196


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

UNTUK kesekian kalinya aku sulut lagi sebatang rokokku. Asapnya kuhembuskan keras-keras ke muka anak muda suruhan Pak Kodir ini, berharap dia cepat-cepat pergi. Celakanya, dia malah mengeluarkan rokoknya dan ikut-ikutan merokok. “Aku tidak mau jual,” kataku singkat. Aku pikir sudah sangat jelas dan itu sudah berkali-kali kutegaskan lewat telepon pada Pak Kodir. Tetapi bandar besi tua kesohor itu tetap saja mengirim orang suruhannya padaku. Mulai dari angka belasan juta ditawarkannya. Lalu dinaikkan sendiri, naik, naik dan naik hingga puluhan juta meski tak pernah aku tanggapi. “Sayang barang-barang bagus begini telantar karatan jadi rongsokan, Kang,” kata orang itu lagi. Apa pentingnya orang ini buat aku? Hmm, menanyakan namanya pun aku tak hendak. Aku diam saja. Jarum panjang makin melebar jarak dengan jarum pendek pada jam dinding di atas kepalaku. Ada sms masuk telepon genggamku. Hmm, dari isteriku, “orangnya mau ngasih berapa? Terima saja.” Huh! Aku tidak balas. Isteriku, anakku, menantuku bahkan cucuku sudah berkomplot dengan orang ini. Mereka bertelingkah macam-macam agar aku berubah pikiran lalu menjual semua isi pekarangan itu. Anakku yang sulung ingin dibuatkan bangunan kedap suara untuk studio band, tempat dia dan teman-temannya latihan musik. Anak perempuanku nomor dua 197


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lulusan pendidikan guru, minta dibuatkan Taman Bacaan Masyarakat. Isteriku mau mengoleksi tanaman bunga anggrek dan gelombang cinta. Hoalah! Semua punya mau sendiri-sendiri, tak ada yang berniat bertanya mauku apa. Suruhan Pak Kodir pergi. Tetapi tak berselang lama, Mas Raji datang pula. Makelar kayu bekas ini menawarkan ‘kebaikan’ membangun studio musik yang diminta anakku, dengan imbalan semua kayu bekas hingga atap asbes barak bedeng panjang dua lantai bekas tempat tinggal anak buahku. Dia bersedia membongkar sendiri. Rupanya anakku sudah lancang bicarakan itu dengannya tanpa sepengetahuanku. “Buat anak sendiri jangan pelit-pelit, Pak. Daripada kosong bertahun-tahun, habis di makan rayap,� tukas Mas Raji membuat aku benar-benar marah. Dengan suara keras kusuruh dia pergi dan jangan coba-coba datang lagi menawarkan itu. Bermula dari nol, empat puluh tahun aku membangun semua ini. Dengan bambu pikulan minyak yang hingga kini masih kukeramatkan di lemari kaca besar ruang tamu rumahku, aku berangkat menjadi juragan minyak tanah terbesar di kawasan ini. Tahun ke duapuluh aku beli tanah hampir seluas lapangan sepakbola ini ketika seluruh kawasan ini masih semak belukar dengan alang-alang sebahu orang dewasa. Aku bangun bedeng sederhana, tempat empat puluhan anak-anak buahku tinggal beserta anak isteri mereka. Tiga periode aku jadi Ketua RT 198


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lalu menjadi Ketua RW sampai akhirnya aku tak mau dipilih lagi. Di atas tanah ini aku membangun bumi dan langit untuk keluargaku. Aku penguasa di kerajaanku seluas lapangan sepak bola. Tetapi semua berubah begitu cepat sejak para petinggi negeri ini bicara di televisi. Aku benci presiden, wakilnya, menterinya, de-pe-er atau siapa pun mereka yang pernah bicara seperti dewa di televisi: Mengganti minyak tanah dengan elpiji!? Lha, jauh sebelum mereka duduk di kursinya, aku sudah merintis usahaku dengan keringatku sendiri. Terseok dari kampung ke kampung, keluarmasuk gang dan lorong. Sekarang sudah ada 4 RW dengan 50 lebih RT di sekitar sini, semua kenal aku karena berpuluh tahun aku menghangatkan ribuan dapur mereka. Mencoba bertahan. Itu yang aku lakukan meski tangki besar, drum, kaleng serta puluhan gerobak pengangkutnya teronggok menjadi besi tua. Bedeng panjang dua lantai itu pun sudah serupa rumah hantu karena tak berpenghuni. Dua truk tangki sudah ditukar isteriku menjadi dua mobil kecil yang diiklankan di televisi. Lalu dia minta lagi agar separuh tanah ini dijual saja daripada tak terurus. Tentu saja aku marah. Aku tak hendak menjualnya berapa pun dan kepada siapa pun. Biarkan semua menjadi monumen. Keriangan sehari-hari yang aku nikmati puluhan tahun bersama anak-anak buahku, berganti muram tak bertepi. Se199


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

mua telah pergi. Tak ada lagi anak-anak mereka bermain bahkan berkelahi dengan lucu. Tak terdengar lagi isteri mereka yang bertengkar saling iri hingga isteriku harus turun tangan melerai. Aku punya teriakan yang khas dan kemudian kuwariskan kepada semua anak buahku. Biasanya suara mereka bersahutsahutan di seluruh gang di kawasan ini. Dari lantai dua rumahku, aku bisa mengenali setiap anak buahku dari suara mereka dan tahu persis di gang mana mereka sedang berada. Aku dan anak-anak buahku adalah denyut jantung kawasan ini. Teriakan kami yang khas sudah puluhan tahun menelingkah sunyi di kawasan ini sejak masih hutan belukar hingga berubah jadi permukiman padat: Miiinyoaaaaakk! Nyak!! Nyak!! Teriakan ini khas milikku. Aku yang menciptakan iramanya, khas dengan lekukan naik di ujungnya. Disusul dengan bunyi ‘nyak-nyak’ serupa echo, terinspirasi dari speaker dangdut yang pernah aku undang manggung untuk pesta sunatan anakku. Mencoba bertahan! Itu yang aku lakukan dengan menyuruh anak-anak buahku tetap berkeliling dan berteriak menjajakan minyak tanah. Tapi bagaimana? Isteriku sendiri sudah menyerah. Ia beli kompor gas dan pakai elpiji. Ia tetap memakainya kendati aku marah besar. Sempat seminggu aku makan di warung karena tak mau makan masakannya. 200


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dalam hitungan hari, hasil penjualan anak buahku menurun cepat. Apalagi kemudian aku dengar ibu-ibu dapat pembagian tabung gas 3 kg gratis! Aku tidak menyerah, kuganti sistem komisi anak buahku dengan gaji bulanan. Laku tak laku mereka akan mendapat penghasilan tetap. Sialnya, satu persatu mereka mengundurkan diri dan meninggalkan aku. Mereka bilang malu makan gaji buta. Kunaikkan gajinya, tetapi malah lebih banyak yang minta mundur. Aku benar-benar pecah mangkok, usahaku terancam gulung tikar. “Maaf, Pak, kami mau pulang saja. Bertani di kampung lebih baik,� tiga orangku yang tersisa akhirnya menghadap aku. Sudah seminggu ini mereka kusuruh hanya berteriak-teriak di ujung setiap gang: Minyoaaaaakk!! Nyakk!! Nyak!! Tak perlu membawa gerobak, tak usah menawarkan minyak tanah karena sudah tak ada yang mau beli. Hanya memikul kaleng kosong pun tak apa. Aku hanya ingin mendengar teriakan itu. Aku rindu teriakan khas yang memberiku hari-hari cerah puluhan tahun. Aku benar-benar terpuruk serendah-rendahnya. Aku linglung kehilangan semua alasan untuk bertahan hidup. Aku mencintai anak isteriku berikut tiga cucu yang kudapat dari kedua anakku. Aku tidak minta dihormati berlebihan. Tetapi luka hati paling menganga justru dibuat oleh orang yang paling aku cinta: Isteri dan anak-anakku. Mereka bilang aku hanya bisa

201


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

marah dan marah, namun tak pernah mau berusaha supaya aku tidak marah. Telah kupertaruhkan segala yang aku bisa untuk membuat mereka tegak berdiri hingga di titik ini. Kini mereka perlakukan aku bagai orang sudah tua dan pikun. Mereka menganggap aku orang yang sudah ‘selesai’ dalam segala artian. Aku hanya menunggu mati sebagai musuh bersama di rumah, biang kerok dari segala ketegangan bagi keluarga yang aku bangun dengan seluruh hidupku. Tiga tahun terakhir amat berat. Anak-anakku sudah dewasa, menikah dan punya keluarga masing-masing. Isteriku pun ‘berkomplot’ dengan mereka untuk berjarak dengan aku. Aku sudah lelah uring-uringan dan didiamkan hingga hangus terbakar amarah sendiri. “Aku belum tamat!” pekikku dalam hati. “Aku masih belum kalah. Bahkan aku masih sanggup memulai sesuatu yang baru.” Cukuplah itu, tanggung jawabku untuk mereka selesailah sudah. Haruskah aku menjadi tua membusuk di sini? Apakah harus mati gantung diri di bedeng itu? Bukankah aku berhak bebas pergi dan tinggalkan semuanya setelah tanggung jawabku usai? Menurutku, sekarang aku berhak memilih. Karena itu aku pilih bebaskan diri saja. Aku tanggalkan semua yang pernah aku punya. Aku pergi tanpa pamit. Hanya pesan singkat lewat 202


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

HP agar jangan mencari aku. HP itu pun kemudian aku buang di Kalimalang agar tak seorang pun bisa menghubungi aku. Aku ingin kembali pada seadanya aku seperti saat pertama kali datang di kota ini dahulu. Enampuluh tahun umurku dan aku masih berhak atas sisa hidupku. Belum terlambat untuk menyeberang ke kehidupan lain. Aku bukan perahu tua yang bocor di sana-sini dengan layar lapuk dimakan usia. Aku dicipta bukan untuk diayun-ayun ombak kecil di dermaga sambil menunggu waktunya tenggelam. Aku - perahu yang dirancang untuk bertarung di laut lepas. Aku pergi. Kutinggalkan semua yang pernah aku miliki. Selasar Pena Talenta, Juli 2012

203


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Alexander Sigov | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tante Mia Redia Yasianto Published Š Pontianak Post, Minggu 05 Agustus 2012

205


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

TIK-TAK langkah kaki itu kian nyaring terdengar. Bukan bukan, itu bukan langkah kaki siapa-siapa. Itu langkah kakiku sendiri. Sungguh. Padahal aku sudah berusaha untuk berjalan dengan setengah berjinjit agar setidaknya jika bersuara pun, langkah kakiku tidaklah terdengar begitu nyaring. Sayang, aku gagal. Ketakutanku, juga perasaan galau yang kian membuncah, membuat tiap hentak langkah kakiku semakin berat, semakin menimbulkan suara yang nyaring tentu saja. Koridor sekolah sudah sepi. Hati dan detak jantungku malah kebalikannya. Ah, contoh yang sangat bagus untuk menggambarkan sebuah paradoks yang sempurna. Dan, dan aku benci dengan semua ini. Aku mematung di depan pintu sebuah kelas yang seperti tak berpenghuni. Sepi sekali. Kubaca sekali lagi tulisan yang tertera persis di atas pintu. Aku takut salah masuk. Luar biasa malunya jika itu sampai terjadi. Aku sudah terlambat lebih kurang tujuh belas menit. Gobloknya aku saja kalau sampai menambah rasa malu ini dengan salah masuk kelas. Aku menarik napas perlahan lalu menghembuskannya. Sekali lagi kulihat tulisan yang tertera di atas pintu kelas. Memastikan. VIII-B. Iya, kelas VIII-B, kelasku. Aku tersenyum. Tapi itu sebentar saja. Kemudian yang terjadi adalah aku merasa sangat bodoh telah melakukannya. Tersenyum itu. Tersenyum disaat yang sama sekali tidak tepat.

206


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tanganku terasa sangat berat. Sungguh. Aku seperti tak mampu mengetuk pintu yang hanya sekitar tiga puluh senti di depanku. Tapi aku harus melakukannya. Harus. Semakin aku mematung di depan pintu ini, tentu saja semakin buang-buang waktu. Dadaku semakin bergemuruh. Pintu sudahpun aku buka setelah sebelumnya aku ketuk tiga kali. Miss Maria menatapku dengan tatapan yang, sungguh, biasa-biasa saja. Tapi aku tahu, tatapan yang ‘biasa-biasa saja’ inilah yang berpotensi untuk ‘membunuh’ juga meski tanpa mengeluarkan darah. Sementara untuk mengedarkan tatapanku sendiri ke seluruh penjuru kelas, aku sama sekali tidak memiliki keberanian. Aku tahu kalau saat ini, detik ini, semua pasang mata sedang menatapku dan mungkin ingin sekali membunuhku karena sudah membuat konsentrasi mereka dalam mengerjakan soal-soal daily test seketika buyar. “May I come in?” kataku takut-takut. Aku tak berani menatap mata Miss Maria. “Why are you late? Don’t you see what time it is now?” itu kalimat Miss Maria. Hanya itu. Tapi tatapan matanya sudah berbicara lebih dari itu. Aku hanya bisa berdoa semoga aku tidak disuruh keluar kelas. “The bus I was in stalled on the road. That’s why I’m late,” kataku berbohong. Sumpah, aku berbohong. Tuhan, maafkan aku. 207


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Miss Maria masih menatapku. Aku tahu itu. “Marinka,â€? Aku menengadahkan wajah. Miss Maria mengangsurkan selembar kertas yang tinggal satusatunya di atas meja. Kertas soal daily test. Aku mendekat. Kusambut kertas itu dengan perasaan yang luar biasa bahagia. aku tidak dikeluarkan dari kelas. Entahlah apa alasannya. Aku duduk dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Waktuku untuk mengerjakan soal sudah terbuang sekian puluh menit lamanya. Kulirik kertas soal yang kuterima dari Miss Maria barusan. Dua puluh soal. Lumayan banyak. Sangat banyak malah jika khusus untuk siswa yang terlambat mengerjakan soal dan kehilangan sekian puluh menit seperti aku. Sialnya lagi, semuanya esai. Itu artinya aku tidak bisa mengisi soal dengan asal silang saja sambil mengharapkan keajaiban silanganku yang asal tadi bisa menemukan options yang benar. Belum lagi teman dudukku yang segera menyambutku dengan serentetan pertanyaan, yang seolah tidak bisa lagi ditanyakan nanti pas jam istirahat. Harus sekarang. Sekali lagi, harus sekarang. Ah‌ Rin, matamu sembab. Kamu abis nangis ya? Napa? Aku menerima sobekan kertas yang diangsurkan Aulia persis di hadapanku. Aku tahu, Aulia tidak mungkin berbisik-bisik hanya sekedar untuk menanyakan ini saja. Terlalu berbahaya. Ini kelas Miss Maria, yang pada saat belajar seperti biasa saja suasana kelas bisa sangat tenang dan damai selalu se208


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

panjang masa, apalagi saat daily test seperti sekarang? Cari mati namanya jika nekat bikin onar. Sebenarnya aku sangat malas untuk menjawab pertanyaan Aulia ini. Tapi Aulia beberapa kali mencolek pinggangku. Sesekali juga malah mencubit lenganku. Aaaaaaaaaaaaaaahhhh!!! AKU UDAH PERNAH CIUMAN!!! Balasku. Dengan huruf besar semua. Lantas segera saja kuangsurkan kertas yang kusobek asal-asalan dari buku catatanku ke Aulia. Kulirik kertas soal di hadapanku sekali lagi. Bersih. Belum tercoret sama sekali. Aku ingin segera mengerjakannya. Harus. Harus selesai secepat mungkin dengan sisa waktu yang tersedia. Tapi, tapi seketika aku tersentak. Ciuman itu? Aiiiiih‌ sekali lagi aku merasa sangat bodoh. Ciuman itu. Ya ampun, kenapa juga aku harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Aulia? Bukan, bukan karena aku tidak percaya bahwa Aulia adalah teman yang baik dan bisa menjaga rahasia, tapi lebih karena sekarang ini aku harus mengerjakan soal-soal daily test yang sisa waktu untuk mengerjakannya sudah terbuang sekian puluh menit lamanya. Tahu kalau aku sudah pernah ciuman, Aulia pasti penasaran dan‌

209


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

HAH??? SERIUS KAMU??? SAMA KEVIN YA??? DIA TANGGUNG JAWAB GAK??? NGGGGGGG,

RASANYA

GIMANA, RIN??? HEHEHE‌ Sudah aku duga. Pasti, pasti Aulia akan menanyakan ini. Dan, what??? Tanggung jawab? Kalaupun iya aku ciuman sama Kevin, lantas sesuatu yang seperti apa yang harus dipertanggungjawabkan oleh Kevin? Apakah hanya dengan ciuman saja seorang remaja putri empat belas tahun seperti aku bisa hamil? Masa iya sih? Aku kok belum pernah menemukan materi ini di pelajaran Biologi ya? Bu Laily, guru Biologi kami, gak pernah bilang gitu kok. Hufffft‌ Tapi aku sudah memutuskan. Aku tidak akan melayani Aulia dulu. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya maksudku. Aku harus menyelesaikan soal-soal ini dulu. Harus.

JAM istirahat kedua. Aku masih di kelas. Menghabiskan dua kali waktu istirahat dengan mematung di kursi. Kepalaku pusing. Aku masih memikirkan daily test tadi pagi. Akhirnya aku hanya bisa menyelesaikan sebelas soal saja. Itupun aku sendiri tidak yakin apakah akan benar semua. Seketika aku ingat sama mama yang memarahiku habis-habisan semalam. Kiranya inilah pangkal masalah yang membuat aku sangat kacau hari ini. Padahal, aku kan cuma ciuman. Tidak lebih kok. Tapi mama tidak mau tahu itu. Kesal!!

210


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Aku tadi ke kelasnya Kevin loh, Rin.” Tau-tau Aulia sudah ada di sebelahku sambil mengangsurkan segelas juice melon kesukaanku. “Aku lihat wajahnya begitu ceria. Ah, pasti dia senang sekali.” Aku

dengar

Aulia

terkekeh

setelah

mengucapkan

kalimatnya yang terakhir. Tentu saja aku sangat sebal. Aku memang pernah bilang kalau aku suka, tepatnya aku naksir sama Kevin. Pasti ini yang membuat Aulia memiliki dugaan bahwa Kevin-lah cowok pertama yang telah menciumku. Padahal sumpah. Aku tidak melakukannya dengan Kevin. Melakukannya? Tidak tidak, bukan ini maksudku. Kata itu kedengarannya vulgar sekali. Ciuman. Iya, ciuman. Aku tidak ciuman dengan Kevin. “Kok kamu malah nangis sih, Rin? Tadi pagi matamu sembab. Kamu nyesal ya, udah ciuman? Riana pernah cerita sama aku soal ciuman pertamanya, dan dia kelihatan bahagia sekali.” Aku pikir seharusnya aku juga gitu. Bahagia. tapi rupanya tidak. Apa aku harus mengatakan hal yang sebenarnya ke Aulia? Terlebih soal mama yang sangat tidak senang dengan berita ciuman pertamaku ini? “Marinka!” Aulia menepuk pundakku. Sumpah, aku kaget sekali. “Eh, iya. Ngggg… aku dimarahi mama. Mama gak suka aku ciuman. Malah saat mendengarnya, mama nangis. Sebelumnya aku ti-

211


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dak pernah lihat mama nangis. Lantas mama memarahiku habis-habisan.� Kulihat Aulia sudah akan melontarkan pertanyaannya lagi. Tapi aku bersyukur, bel masuk menggagalkan niatnya. Aku menghembuskan napas perlahan. Kulihat, juice melon di depanku masih utuh.

MAMA masih sesenggukan. Matanya meredup sayu. Masih basah. Sesekali mama mengusapnya. Mata yang basah itu. “Ayolah Ma, Rin hanya ciuman saja. Ciuman, Ma. Tidak lebih. Rin rasa itu wajar, kan? Rin sudah empat belas tahun.� Kataku sedikit memelas. Mama? Ah, sesenggukannya terdengar lagi. Mama menangis lagi. Tentu saja ini semakin membuatku serba salah. Bingung. Aku sudah memelas. Bahkan tempo hari aku sudah setengah berteriak bahwa aku hanya ciuman. Apa aku salah? Oke, kalau mama berpikir ciuman adalah awal mula dari seks bebas, mama salah. Bukan tentang pemikirannya tadi, tapi tentang aku. Aku belum dan bahkan tidak pernah berpikir kesana, ke seks bebas itu. Sedikitpun. Mama tidak tahu itu. Tapi mama akan aku beri tahu. Secepatnya. Atau, pola pikir mama sama dengan pola pikir Aulia yang menurutnya ciuman itu bisa menyebabkan remaja putri empat belas tahun sepertiku bisa hamil? Oh, Tuhan!

212


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Ma,” aku mulai menyusun kalimat sehalus mungkin. Sangat sulit rupanya di saat seperti ini, “Rin cuma ciuman. Tidak lebih.” Kataku akhirnya. Rasanya sudah lebih dari tujuh ratus lima puluh kali aku mengatakan ini, tentang ciuman itu. Tapi toh mama masih nangis juga. Kepalaku tambah berat saja. “Ma, Marinka tidak akan melakukan seks bebas. Mama harus percaya itu.” Plong. Aku sudah mengatakannya. Mengatakan sesuatu yang memang sudah seharusnya aku katakan. Tapi…tapi… “MARINKA!!!” Tuhan, mama membentakku? Benarkah? Aku tidak percaya ini. Mama membentakku. Aku, remaja empat belas tahun ini, sebelumnya tidak pernah dibentak oleh mama. Sekalipun. Tapi barusan mama melakukannya. Mama membentakku. Sumpah, aku benci mama. Aku benci mama! “Kamu, sekali lagi kamu melakukannya, kamu keluar dari rumah ini. Mama tidak akan pernah memaafkan kamu seumur hidup Mama!” Sungguh. Kepalaku seperti dibenturkan ke dinding karang rasanya. Aku tidak percaya bahwa orang yang ada di depanku ini adalah mamaku sendiri. Aku tidak ingin mengatakan apaapa lagi. Kebencianku ke mama sudah sampai pada puncaknya.

213


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aku berlari, melesat cepat meninggalkan mama yang masih mematung dengan sisa isak tangisnya. Aku ingin teriak. Kurasa, semakin dewasa aku semakin sial. Aku hanya ciuman. Itu saja. Jika aku melakukannya lagi, aku akan diusir. Itu kata mama. Aku sedih. Kepalaku kian berat. Aku bingung harus berbuat apa lagi. Aku cuma punya mama di rumah ini. Papa? Aku hanya kenal fotonya saja. Papa meninggal setelah gagal mendaratkan pesawat yang mengalami kerusakan di udara. Waktu itu aku masih bayi. Ini juga cerita mama. Ah, mama lagi. Tapi tidak. Rupanya aku tidaklah sesial yang aku kira. Aku masih punya Tante Mia, adik kandung mama. Tante Mia baik. Aku bisa merasakan setiap apa yang dia lakukan padaku itu sebagai bentuk kasih sayang. Tante Mia selalu memanjakanku. Barang yang tak bisa kudapat dari mama, Tante Mia selalu memenuhinya. Tante Mia belum menikah. Padahal kata mama, usia Tante Mia hanya terpaut dua tahun dengan mama. Entahlah. Aku tidak mau memikirkan kira-kira apa alasannya dia tidak segera menikah. Yang aku pikirkan saat ini, aku ingin segera menelponnya. Menelpon Tante Mia. “Ada apa, Sayang?� Ah, suara itu. Sungguh terdengar sangat lembut. Rasanya aku ingin memeluknya sekarang ini juga. “Hei, ada apa, Rin?�

214


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Aku dimarahi mama, Tante.” Aku mengadu. Suaraku terasa bergetar. Sakit sekali. “Mama sudah tau aku ciuman. Mama marah. Aku akan diusir.” Tak ada suara diseberang sana. Tapi aku tahu, Tante Mia ingin mengatakan sesuatu. “Sudah dulu ya, Sayang. Biar Tante yang bicara sama mamamu. Tante pikir ini hanya masalah sederhana.” Pembicaraan terhenti. Aku segera mengusap mata. Kutinggalkan kamar secepat mungkin. Aku ingin melihat mama. Bukan, bukan untuk bicara dengannya. Aku masih benci mama. Aku sedang marah sama mama saat ini. Aku hanya ingin melihat apakah Tante Mia benar akan menelpon mama atau hanya sekedar ingin menenangkanku saja. Mama masih di tempat tadi. Di sofa. Matanya sembab. Mata itu menatapku kini. Tak lagi setajam tadi memang. Malah mata itu memancarkan kelembutan yang sangat. Kupikir, mama telah kembali. Seketika itu juga rasa benciku ke mama terkikis dan menguap. Hilang. Aku masih butuh mama. Aku sadar benar akan hal ini. Aku mendekat, duduk persis di sebelah mama. Refleks kujatuhkan kepalaku ke pundak kiri mama. Aku tahu mama pasti memelukku. Dan itulah yang dia lakukan sekarang ini. Memelukku dengan hangat. Aku menangis. Sungguh, aku menangis. Mama mengusap kepalaku pelan.

215


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kami sama-sama tersentak. Hp mama bergetar. Fur Elise segera mengalun lembut. Aku bangkit dari dekapan mama. Kurasa aku tahu siapa yang menelpon mama sekarang ini. Wajah mama menegang. Ditatapnya layar Hp dengan raut serius. “Hallo,” jawab mama dingin. Aku memang tidak tahu persis kalimat-kalimat yang sedang diucapkan oleh orang yang menelpon mama. Tapi aku tahu dengan pasti inti pembicaraan mereka. Soal ciuman itu. “Mia, silahkan kamu nikmati gaya hidup kamu. Terserah. Mbak tidak akan melarangmu lagi. Tapi tolong, satu hal yang Mbak minta, jangan bawa-bawa Marinka!” Selesai mengatakan itu, mama menutup pembicaraan. Aku mematung seraya menatap mama yang hampir menangis lagi. Kugigit bibirku kuat-kuat. Aku memeluk mama yang segera balas memelukku. “Rin sayang sama Tante Mia, Ma.” kataku pelan. Mama mengusap kepalaku. Tenang sekali rasanya. Terasa juga olehku kalau sesekali mama mengecup puncak kepalaku. Membelai rambutku. Dan ini sungguh membuatku semakin sesak. Aku tak kuat untuk tidak menangis. “Tapi Rin janji sama Mama, Rin tidak akan melakukannya lagi. Rin janji, Ma.” kataku lagi, sambil sesenggukan. Kudengar tangis mama meledak. Tak lagi sesenggukan seperti beberapa jenak yang lalu. Seketika juga pelukan mama

216


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

semakin erat. Mama mendekapku dengan hangat. Aku…aku sayang mama. Sungguh.

217


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

An He | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Bukan Gerimis yang Bertepi Martinus Limahekin Published Š Pos Kupang, Minggu 05 Agustus 2012

219


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

PINTU Unit Gawat Darurat masih tertutup rapat hingga jam dua belas malam. Orang tua George menunggu dengan tak sabar dan wajah mereka gelisah. "Ma, kita harus yakin bahwa putra kita dapat terselamatkan," kata ayah George meyakinkan istrinya. Dokter Franza muncul dari balik pintu. "Bisa bicara dengan orang tua dari pemuda yang di dalam?" tanyanya setelah menanggalkan masker yang ia gunakan. Pak Darmawan dan Monika istrinya segera mendekati dokter Franza dengan keyakinan bahwa putra mereka akan luput dari maut, walaupun terlihat sedikit cemas. "Bagaimana, Dok, keadaan George? Sudah siuman, `kan?" tanya Monika dengan harapan bahwa dokter itu akan menjawab `ya'. Kerja keras pasti berbuah hasil. Tetapi tidak dalam hal menentukan waktu hidup seseorang yang sudah kedatangan maut. Mulanya makluk berakal budi tidak dapat hidup untuk selamanya. Kini maut telah datang menjemput. "Sebelumnya saya minta maaf karena kami

telah

berusaha untuk menyelamatkan George, namun pembuluh darahnya pecah. Ia mengalami pendarahan hebat, sehingga nyawanya tidak dapat kami selamatkan," jelas dokter Franza dengan berat hati. "Dok, bohong, `kan?" tanya Monika dengan terkejut dan tidak percaya.

220


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Benar, Bu. Putra Ibu mengalami banyak luka sehingga kehilangan banyak darah!" dokter itu berkata. "Dokter jangan bercanda. George pasti masih hidup. Saya tahu George itu kuat," kata Darmawan dengan tegas sambil memegang tangan dokter. Dokter Franza terdiam seakan kehabisan kata-kata. Sepasang suami istri itu hanya dapat menangisi apa yang telah terjadi pada putra tunggal mereka. Kehadiran orang yang dikasihinya rasanya tak ternilai harganya. Apabila kini dia tidak lagi hadir untuk selamanya, bukan berarti segala tentangnya hilang begitu saja. Kehadiran seseorang tidak dapat tergantikan oleh apapun dan sampai kapanpun. Demikian yang sedang dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan.

HARI masih pagi dan di Pekuburan Kalam dekat Rumah Sakit Clarus, sunyi tanpa suara yang berarti. Senyap. Tempat manusia beristirahat setelah perjuangan hidupnya berakhir, entah berhasil maupun tidak. Tidak ada bunyian ataupun suasana yang ganjil yang mengusik tempat yang kudus itu. Setelah kepergian George, ayah dan ibunya sangat shock dan terpukul. Rutinitas yang dijalani kedua orang tuanya hanya sekadar cara untuk mengurangi rasa sedih yang mereka alami, tidak seperti dahulu ketika putra mereka masih hidup. Kini bagi mereka, sia-sialah bekerja. Hanya ada kesepian dan kerinduan akan putra tunggal mereka yang telah pergi. Me221


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

reka yakin bahwa mereka hanya berpisah secara fisik dengan anak kebanggaan mereka. Perstiwa kecelakaan maut telah terjadi pada hari Sabtu (5/3/2012) di Jalan Flamboyan, Kota Manado. Akibat kecelakaan tersebut, George Budianto mahasiswa semester empat Fakultas Hukum di Universitas Sam Ratulangi meninggal dunia. Penyebab utamanya, rem sepeda motor yang dikendarainya tidak berfungsi sehingga sepeda motor yang sementara melaju kencang menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Luka parah dan darah yang terus mengalir membuat pemuda 20 tahun ini tak sadarkan diri. Sepeda motornya rusak berat. Korban diduga tewas sesaat setelah tiba di Rumah Sakit akibat terlambat mendapat penanganan medis. Caesil segera melepaskan surat kabar yang ia baca dan memutuskan untuk kembali ke Manado guna mengetahui segalanya tentang apa yang baru saja ia baca. Dalam perjalanannya, ia berharap agar pemuda yang ada dalam surat kabar itu bukanlah George kekasihnya. Keduanya adalah sepasang kekasih yang mengenyam pendidikan di tempat yang berbeda. Caesil juga mahasiswi semester dua, Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin. Keduanya saling mengasihi namun mereka berkesempatan bertemu pada waktu-waktu tertentu.

222


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

KETIKA gadis itu hendak menuju rumah kekasihnya, ia bertemu dengan Monika, Ibu George. Sebagai tuan rumah, Monika mengajak Caesil untuk masuk ke dalam. Kedua kaki gadis itu terasa tak kuat menopang tubuhnya ketika melihat foto pujaan hatinya dihiasi dengan lilin yang bernyala. "Bu, apa yang terjadi dengan George?" gadis itu bertanya. "Ia mengalami kecelakaan dan tidak dapat diselamatkan," kata Monika dengan menatap foto anaknya yang sedang tersenyum. Sekejap mata gadis itu berkata dan isak tangisnya memecah kesunyian rumah itu. Ternyata pemuda yang mengalami kecelakaan di dalam surat kabar itu adalah benar-benar George, pemuda pertama yang berlabuh di dermaga hatinya. Monika mengira bahwa gadis itu adalah teman biasa putranya, namun ekspresi yang dimunculkan oleh gadis cantik itu sungguh lebih daripada sekadar teman-ketika mengetahui bahwa George telah pergi untuk selamanya. Hal itu membuat Monika teringat akan sebuah surat yang dituliskan George sehari sebelum ajal menjemputnya. "Tunggu ya, Nak! Ibu ke belakang sebentar," kata Monika sembari menghilang dari hadapan gadis itu. Beberapa menit kemudian, wanita dengan rambut yang mulai tampak uban itu muncul dengan sebuah amplop biru berukuran persegi panjang. Ia tidak langsung memberikan surat itu

223


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pada yang berhak menerima, tetapi ia lebih ingin mengenal siapa sebenarnya gadis yang ada di hadapannya itu. "Non sahabatnya George?" tanya Monika dengan nada ingin tahu. Pertanyaan wanita itu semakin menambah rasa sedih pada gadis itu. "Begini, Bu. Sejak mengenal George dua tahun yang lalu, hidup saya terasa lebih berarti. Banyak yang saya pelajari darinya, khususnya keindahan hidup ini bisa dijalani dengan kesetiaan. Saya tidak pernah mengenal pemuda sepertinya sebelumnya. Saya sangat mencintainya, Bu," jelas gadis ramping itu dengan irama kesedihan. Setelah Caesil menjelaskan demikian, muncul beberapa pertanyaan dari wanita itu tentang hubungannya dengan almarhum putranya. Akhirnya, Monika menyadari bahwa perubahan sikap putranya dalam dua tahun terakhir menjadi lebih ramah dan semakin dewasa merupakan andil dari gadis yang mengenakan terusan putih itu. Dengan demikian, Monika telah mengetahui siapa sebenarnya Caesilia Carista. Tiba-tiba Monika mengeluarkan amplop yang tadi diambilnya. "Dari George. Tadi ibu ambil di kamarnya dan ibu yakin George menulis surat ini untukmu," kata Monika sambil memberikan surat itu padanya. Caesil membuka dan mulai membacanya. 224


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

........................... Dearest Caesil Rangkaian kata di atas lembaran biru ini menepis jarak di antara kita yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Entah apa yang sedang aku rasakan sekarang, keraguan dan ketakutan selalu menghantui diriku. Aku ragu dan takut bila tak lagi bertemu dan bertatapan denganmu. Entahlah apa yang menyebabkan aku mempunyai perasaan yang demikian. Kini rasanya tak kuasa lagi menahan kerinduanku untuk bertemu denganmu. Mungkin karena sudah tiga bulan kita tidak jumpa. Caesil... Setiap saat, setiap detik atau kapan dan di manapun aku tengah berada, paras wajahmu yang memancarkan ketulusan serta tutur katamu yang ramah tak akan pernah lenyap dari ingatanku. Maafkanlah kasih... novel yang pernah engkau berikan di taman itu kini tak kuketahui keberadaannya. Aku telah berusaha mencarinya tapi tidak aku temukan. Aku tahu novel itu sebagai kenang-kenangan darimu sebelum kita pisah untuk berkuliah. Aku masih sangat ingat perkataanmu waktu itu bahwa jika aku merindukanmu, aku dapat membuka novel itu yang di dalamnya terukir indah namamu. Sekali lagi maafkan aku yang tidak bisa menjaga kenangan darimu. Kasih... Natal nanti kuharap engkau datang dan kita bisa bersama, bermain kembang api bersama. Aku tunggu kedatanganmu. 225


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Jarak di antara kita tak sekali-kali mengurangi besar dan tulus kasihku. Yang selalu merindukanmu George Castilas ............................. "Mengapa ini harus terjadi padaku. Saat aku masih ingin bersamamu, ternyata engkau pergi meninggalkan aku sendiri," batinnya.

LANGIT tak seindah biasanya. Bayu senja seakan dihalangi oleh sederet awan yang tiba-tiba muncul. Langit terlihat gelap, seperti hati Caesil yang kehilangan seorang George. Hawa yang mulai terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Gadis itu seolah tegar dengan hati yang hancur. Hanya bertemankan kehampaan dan penyesalan. Dara itu terus melangkahkan kakinya menuju makam. Tempat peristirahatan kekasihnya tersisa beberapa langkah lagi. Matanya hanya tertuju pada sebuah kubur yang berhiaskan krans bunga, lilin-lilin yang mulai redup dihembus angin dan papan jati berukuran kecil, berbentuk salib yang mengisyaratkan penghuninya sedang tenang dalam peristirahatannya. Langkah kakinya terasa berat, seakan kekuatannya telah mendahuluinya. Sekali berkedip, kedua matanya meneteskan air mata sebagai lambang ketidakrelaan dan kesedihan yang belum bertepi. George telah pergi untuk selamanya. 226


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ada dua hal yang tak akan aku lupakan dalam hidup ini: yaitu membiarkan dirimu hadir dalam kehidupanku, membagi perasaan yang sama dan mengakui bahwa engkau harus pergi untuk selamanya. Selamanya. Satu janjiku, tempatmu selalu ada di hatiku dan tak akan dapat digantikan oleh orang lain. Aku yakin suatu saat nanti kita akan bertemu di surga. Nantikan aku. Akhir November 2011 *) San Juan Community, SMASSTRA

227


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Angelica Privalihina | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Hadiah Terindah Eka Rakhmawati Published Š Radar Lampung, Minggu 05 Agustus 2012

229


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

MENTARI pagi ini seolah menyapa Zahro dengan sangat ramah, begitu teriknya. Angin lembut membelai rambut Zahro yang hitam dan panjang. Senyum Zahro merekah, menambah kecantikan wajah alaminya. Ia berjalan menyusuri gang kecil menuju jalan raya,menanti bus orange yang setia mengantar jemputnya ke sekolah. ’’Suit...suit....” beberapa pemuda di gardu sebrang jalan itu mencoba merayu Zahro dengan kedipan mata genit seperti biasanya. ’’Mau kemana neng?...kakak antar ya?” tanya seorang pemuda itu pada Zahro.Untung saja bus yang ditunggu telah datang, Zahro segera naik tanpa memperdulikan pemuda-pemuda itu. ’’Zahro..! Kenapa wajahmu murung gitu?” tanya Fattah, sahabat Zahro. ’’Aku sebel..., yah.. mungkin risiko jadi cewek cakep kali ya, ke mana-mana selalu digoda. Risih banget rasanya! ’’Puasa gak kamu?” ’’Iya dong..” ’’Sabar kalau gitu,” Fattah tersenyum manis pada sahabatnya itu,Raut wajah Zahro yang semula masam kini kembali memancarkan kecantikannya.Kedua bola matanya yang begitu bening menatap Fattah begitu antusias. ’’Astagfirullah.., heh jangan mandangin aku seperti itu, dosa!” Zahro malah tertawa mendengar kata-kata Fattah baru230


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

san. Tak lama kemudian Fattah ikut tertawa, merasakan dirinya yang begitu kikuk di hadapan Zahro, ruangan kelas yang sepi itu seolah mengintai keduanya,memperhatikan tiap kata yang terucap. Siang ini panas begitu terik, Zahro dan Fattah sedang berdiskusi membahas tugas Matematika di bawah pohon mangga yang rindang. ’’Fattah.., mau tanya boleh?” ’’Apa?.., tanya aja...” ’’Memakai jilbab itu panas gak?” tanya Zahro sambil melirik beberapa siswi berjilbab yang melintas dihadapan keduanya. ’’Allah yang menciptakan manusia, paling Mengetahui perkara yang mendatangkan maslahat (perkara yang membawa pada kebaikan) dibanding manusia itu sendiri. Allah Maha Mengetahui, Maha Kasih Sayang dan Maha Bijaksana kepada hamba-hamba-Nya,” Fattah melanjutkan penjelasannya. Seperti ada angin yang berhembus lembut menyusup ruang hati Zahro, ada kedamaian disana. ’’Coba saja..,kamu akan merasakan sesuatu yang berbeda..” ’’Belum siap Fattah, mungkin nanti..” ’’Oia, besok hari ulang tahunmu kan?Bagaiman kalau kita buka bersama di panti asuhan?” ’’Wah ide bagus tuh.” 231


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Keesokan harinya Fattan dan Zahro bersama beberapa teman dekat mengadakan buka bersama anak-anak di panti asuhan. Hari itu Zahro terlihat begitu senang, seharian senyum manis terus terukir di wajahnya. ’’Med milad ya sahabatku, semoga menjadi wanita Soleha yang dirindukan surga,” kata Fattah sambil menyerahkan kotak berukuran sedang yang dibungkus dengan kertas kado yang terlihat begitu cantik. ’’Amin, Apa ini? Repot-repot banget,makasih ya? Boleh ku buka sekarang?” Fattah mengangguk,ia tak sabar melihat ekspresi Zahro saat melihat kado darinya. Sebuah jilbab yang cantik keluar dari kotak itu. Zahro terdiam, ada secarik kertas terselip di sana. Belum sempat Zahro membacanya, Fattah mengambilnya dan memasukkannya kedalam tas Zahro. ’’Baca nanti, di rumah.., hee.” Sesampainya di rumah, Zahro berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ia sudah tak sabar ingin segera membaca surat dari Fattah, dibukanya surat pemberian Fattah itu perlahan. ’’Untuk sahabatku yang saleha, selamat hari lahir.., semoga sisa umurmu berkah. Semakin cantik hatimu, akhlakmu dan dipermudah segala urusanmu dalam mencapai cita dan asa. Ku berikan hadiah yang tak begitu berharga ini untukmu. Jangan kau nilai berapa rupiah yang ku keluarkan untuk itu, tapi nilailah ketulusan hatiku inginkan keselamatan untuk dirimu di dunia dan akhirat. 232


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Karena jilbab bisa membuatmu semakin cantik dan Allah akan selalu menjagamu.” Di depan cermin yang berdiri tegar di sudut kamar, Zahro memakai jilbab pemberian Fattah. “Benar, aku terlihat lebih cantik ya Rabb, ku azamkan untuk berhijab mulai hari ini. Jadikan aku wanita yang Soleha ya Rabb,” kata Zahro dalam hati. Sejak Zahro memakai jilbab, ia lebih disegani pemuda-pemuda yang sering menggodanya. Kini menyapanya dengan doa ’’Assalamualaikum?” teman-teman cowok di sekolah yang sering menggodanya pun melakukan hal yang sama. Dan Zahro merasakan ketenangan dalam hatinya. ’’Ternyata memakai jilbab itu tidak sepanas yang ku bayangkan. Jilbab bahkan membuat hati menjadi sejuk, menjaga prilaku kita dan membuat seorang wanita itu lebih dihargai.” Fattah tersenyum mendengar ulasan sahabatnya itu. ’’Terima kasih Fattah, hadiah darimu adalah hadiah terindah dalam hidupku.”

233


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Anna Bocek | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Fortuna, Si Pembawa Sial Muna Masyari Published Š Radar Surabaya, Minggu 05 Agustus 2012

235


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SAYA yakin, anak itu benar-benar pembawa sial. Sebelum lahir saja, tanda-tanda kesialan sudah mulai menyambangi keluarga tuan. Bayangkan! Bulan pertama nyonya hamil, tuan tiba-tiba dipecat dari tempatnya bekerja, yang berakibat roda ekonomi keluarga terkendala. Uang tabungan yang sebelumnya dipersiapkan untuk dana persalinan, terkuras habis demi menjaga kesehatan nyonya yang sering sakit-sakitan, dan harus bolak-balik klinik kandungan. Bahkan, gaji saya sempat ditangguhkan selama 6 bulan. Sembilan bulan lebih nyonya mengandung dalam kondisi kesehatan yang sangat payah, dan menyedot keuangan. Maka, ketika nyonya hendak melahirkan, tuan bingung kesana-kemari mencari hutangan pada saudaranya untuk biaya persalinan. Proses persalinan pun terpaksa dilakukan operasi cecar, tersebab penyakit asma yang membuat nyonya kesulitan mengejan. Bayi itu lahir pada saat bulan gerhana, jatuh tepat pada hari ketujuh setelah hari weton nyonya. Hari sial. Bukan itu saja. Bayi merah itu terlahir dengan anggota tubuh tidak sempurna. Sebelah matanya terkatup rapat, ada benjolan sebesar telur ayam di atas mata kiri, serta ketiak kanannya merekat hingga ia tidak leluasa menggerakkan tangan kanan. Jari tangan kirinya tidak lengkap. Hanya ada kelingking, jari manis dan jempol. Itu pun berukuran pendek, tidak seperti normalnya. 236


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Nyonya sempat shock begitu melihat kondisi puteri pertamanya dengan keadaan tidak diharapkan. Saya masih ingat, betapa nyonya tidak mampu membendung tangis menerima kanyataan itu. Untung tuan berdada lapang, dan berhasil meredakan kesedihan nyonya. “Semua sudah kehendak-Nya, Ma. Seperti apa pun, dia tetap puteri kita. Buah hati yang kita tunggu-tunggu selama 4 tahun. Dia akan tetap menjadi puteri yang sempurna di mata kita. Karena kita akan menyempurnakannya dengan cinta.� Ujar tuan, lembut. Menyingkirkan anak rambut di kening nyonya yang melekat. Nyonya tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Hanya mampu mengangguk-angguk dengan mata basah. Mereka sepakat menamai bayinya dengan nama Fortuna. Berharap ada keberuntungan yang dibawa serta oleh sang puteri. Sebenarnya, saya tidak yakin nama tersebut akan memiliki pengaruh keberuntungan terhadap hidup mereka. Justru saya berkeyakinan sebaliknya, menghitung hasil primbon dari hari dan tanggal lahir bayi tersebut. Ia tetap akan menjadi anak pembawa sial. Fortuna! Apalah artinya nama seperti itu? Nama memang doa. Tapi tentu nama yang mengandung makna. Seperti nama pemberian kiai di kampung; Nurul Hasanah yang bermakna cahaya kebaikan. Marhamah yang bermakna disayangi. Atau 237


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Mas’adah, yang diberi keuntungan. Tapi Fortuna? Nama apa pula tuh? Meskipun tuan dan nyonya memanggilnya Fori, saya tetap merasa lebih gampang memanggil Non Tuna. Lidah ini rada kaku mengucapkan huruf ‘F’ untuk sebuah nama. Nanti malah jadi Non Pori. Dengan panggilan Non Tuna, rasa-rasanya juga lebih pas. Bukankah tuna artinya tidak sempurna? Menginjak tahun kedua usia Non Tuna, tuan dan nyonya baru sadar kalau pertumbuhan kedua kaki puteri mereka tidak seimbang. Kaki kanannya lebih kecil dan lebih pendek dari kaki kiri. Hal tersebut membuat Non Tuna berjalan agak bergoyanggoyang. Bicaranya juga gagap dan kurang jelas. Selanjutnya, anak itu pun mulai merepotkan. Apa yang dipegang pasti berakhir dengan pecah. Gelas, mainan, asbak, pernah juga handphone nyonya terbanting ke lantai hingga baterai dan kesingnya berhamburan. Rusak berat dan tidak bisa dipakai lagi. Kepalanya juga nyaris dijatuhi telepon duduk saat menarik ujung taplak mejanya. Pokoknya, penghuni rumah jadi berantisipasi untuk tidak meletakkan barang-barang yang mudah dijangkau oleh Non Tuna. Apalagi anaknya tidak bisa diam. Gerakannya sering berakibat berantakan. Kalau berjalan, sering senggol sana-senggol sini. Kesalnya, pekerjaan saya yang bertambah. Membereskan pot bunga yang pecah. Membenarkan letak tong sampah yang terguling. Membetulkan rak sepatu yang terjungkal. 238


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Membenahi keping-keping CD yang berantakan. Pokoknya macam-macam. Saya merasa benar-benar ketiban sial. Tiap hari dada ini dipenuhi rutukan. Untungnya, ketika terdengar pacahan barang atau mendapati rumah serupa kapal pecah, nyonya maupun tuan tidak lantas menyalahkan saya dengan alasan kurang menjaga Non Tuna. Mungkin merasa tidak enak karena gaji saya juga sering ditunggak. Ketika Non Tuna dibawa bepergian, selalu saja ada kendala di tengah jalan. Ban bocor, tersenggol kendaraan lain, selip, bahkan sempat juga menabrak sepeda motor yang kebetulan diparkir di pinggir jalan. Anehnya, kata tuan ia tidak bisa melihat motor tersebut sebelumnya. Tahu-tahu sudah merasa menabrak sesuatu. “Papa ini bagaimana sih? Kok bisa-bisanya menyerempet seperti itu?” protes nyonya, hanya beberapa saat setelah urusan dengan pemilik motor dibereskan dengan ganti rugi 2 juta rupiah. Damai. “Sumpah, Ma, Papa tidak melihat kendaraan tadi.” “Memangnya Papa ‘ngantuk? Kalau menyetir yang konsentrasi dong!” ketus nyonya lagi. Bersungut-sungut. “Mungkin karena buru-buru saja, jadi kurang awas.” Tatapan tuan semakin difokuskan ke depan. Lebih berkonsentrasi.

239


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Nyonya mendesah, menggeleng-gelengkan kepala penuh sesal. Entah percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan tuan. Padahal uang yang dikasih ke pemilik motor tadi merupakan hasil berhutang pada adik tuan. Mobil yang tuan kendarai juga mobil adiknya yang dipinjam sementara untuk mengunjungi nyonya besar –ibunya tuan- yang stroke dan opname di rumahsakit spesialis jantung. Sementara Non Tuna yang saya pangku di jok belakang hanya tertawa-tawa, mencoba menggapai kaca jendela. Sesekali nyonya menoleh ke arah kami. Mungkin khawatir dengan keadaan Non Tuna setelah kendaraan yang kami tumpangi mengalami goncangan cukup keras. Tapi toh, Non Tuna tidak merasa apa-apa. Saat itu, usianya hampir menggenapi 3 tahun. Kalau hendak bepergian, seharusnya Non Tuna dimandikan air kembang biar tidak ada kendala di jalan. Namun nyonya tidak pernah percaya pada primbon semacam itu. “Itu tahayul, Bi. Mitos. Jadi tidak usah berpikiran anehaneh.� Begitu bantah nyonya. Apalagi tuan. Saya pun diam. Sekarang Non Tuna sudah remaja. Namun tubuhnya tetap saja tidak mengalami pertumbuhan normal sebagaimana anak-anak pada umumnya. Tubuh Non Tuna kecil dan pendek. Tingginya hanya sepinggang saya, dengan berat badan tidak seimbang.

240


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Entah sudah berapa gelas, piring, vas bunga, kacamata tuan, kaca jendela, yang habis dipecahkannya. Entah sudah berapa kali tuan dan nyonya dipanggil oleh pihak sekolah garagara tingkah laku Non Tuna yang selalu dituding biang masalah. Entah sudah berapa kali pintu rumah digedor kasar oleh tetangga karena berang dengan ulah Non Tuna yang telah mengapa-apakan anak mereka. Non Tuna memang anak yang tidak mau mengalah meskipun jarang bicara. Siapapun yang berani meledek tentang kondisi tubuhnya, pasti ia serang. Nah, hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun Non Tuna yang ketujuh belas. Pagi-pagi sekali nyonya meminta saya berbelanja untuk memasak menu istimewa karena akan mengadakan buka bersama dengan mengundang keluarga besar mereka. Namun, hari ini merupakan hari paling sial yang saya saksikan. Sepulang berbelanja, mata saya mendadak nanap. Halaman rumah tampak dibentangi garis polisi. Bangunan berlantai dua tempat saya bekerja selama 20 tahun, sudah hangus lebih separuh. Ambruk sebagian. Asap putih membubung ke udara. Para tetangga memandangi itu dari luar garis. Berdiri memagar dengan wajah-wajah prihatin. Sementara para polisi tampak mondar-mandir di halaman. Pemadam kebakaran belum berhenti menyemprotkan air ke arah asap yang masih mengepul.

241


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya saya dengan nada bodoh. Barang belanjaan yang saya tenteng terbuang tak terasa. “Kamu ke mana saja? Rumah majikanmu hangus kebakaran.” Jawab seorang ibu tetangga yang terkenal paling sering menggedor rumah majikan karena anaknya yang tengil selalu pulang dengan wajah tercakar, sehabis bermain dengan Non Tuna. “Lalu bagaimana keadaan Nyonya dan Non Tuna?” dengan panik, saya mencoba menembus garis polisi. “He, mau ke mana? Mereka sudah dilarikan ke rumah sakit.” Ibu tetangga yang lain menarik tangan saya. “Apa? Rumah sakit?”

NYONYA terbaring tak berdaya dengan pernapasan dibantu tabung oksigen. Tuan berdiri di samping kiri pembaringan sambil memerhatikan dokter yang sedang memeriksa nyonya. Dua tangannya melingkari leher Non Tuna yang berdiri merapat di depannya. Sementara saya berdiam kaku di dekat kaki nyonya dengan lutut menggigil. Tak berani berbicara apaapa. “Kamu memang anak yang kuat! Anak yang hebat!” puji dokter, mengusap ubun-ubun Non Tuna penuh kagum dan senyum. Pemeriksaan baru saja selesai.

242


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Non Tuna hanya memamerkan giginya yang hitam dimakan ulat, dan tak pernah tanggal sejak kecil. “G, g, gim, gimmana mm, mm, Mammah?” tanya Non Tuna, dengan suara patah-patah. “Tenang, mamamu sudah baik-baik saja.” “Istri saya tidak apa-apa kan, Dok?” sela tuan, masih menuntut kepastian. Kekhawatiran tetap menggayuti rautnya. “Penyakit asmanya membuat isteri bapak tidak kuat menghirup asap. Tapi syukurlah, sekarang sudah tidak apa-apa. Untuk sementara, biar dioksigen dulu.” Non Tuna mendongak menatap papanya. Tersenyum senang mendengar jawaban dokter. Terdengar derit pintu dibuka. Lutut saya semakin gemetar. Tiga polisi mendekat dengan lingkaran besi di tangan salah seorang di antara mereka. Menghampiri saya. Dada saya terasa sesak. “Anda kami tahan!” Saya tergeragap. Pemegang borgol itu meraih tangan saya yang menggigil. Menurut keterangan mereka, kebakaran terjadi akibat ledakan kompor. Saya ingat. Tadi, pagi-pagi sekali Non Tuna minta dibantu memakaikan baju. Tepat saat saya tengah menjerang air. Saya tinggalkan kompor yang menyala, dan buru-buru ke kamar Non

243


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tuna. Belum selesai memakaikan baju Non Tuna, nyonya memanggil dari kamar sebelah, meminta saya pergi ke pasar. Setelah menggenggam catatan yang dikasih nyonya, gegas saya berangkat. Lupa tidak memeriksa air yang dijerang di dapur. Kemungkinan besar, kompor yang lupa saya matikan itulah yang meledak dan berakibat kebakaran. Sementara tuan sedang tidak di rumah. Kebakaran diketahui tetangga setelah api membubung ke udara. Non Tuna ditemukan sedang bersusah payah menyeret tubuh nyonya keluar. Non Tuna tidak sempat berteriak meminta pertolongan karena melihat nyonya pingsan di kamar yang sudah dipenuhi kepulan asap. Ah, ini benar-benar hari paling sial dalam kehidupan saya. Semua gara-gara anak pembawa sial itu. Polisi menggiring saya yang sudah pasrah. “T, t, tunggu!” Sebuah suara gagap menghentikan langkah kami di ambang pintu. “Bib, bib, bibi tidak bersalah….” Dengan langkahnya yang bergoyang-goyang, Non Tuna menghampiri, dan menahan tangan saya. “Sa, sa, saya yang menyalakan kompornya,” Saya tercekat. Pamekasan, 23-03-2012

244


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ans Markus | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Markum Mengejar Lailatul Qadar Zaenal Radar T. Published Š Republika, Minggu 05 Agustus 2012

Zaenal Radar T., menulis cerita dan skenario teve. Bukunya yang telah terbit; Harga Kematian (2003), Airmata Laki-laki (2004). Bergiat di Bengkel Sastra Pamulang.

246


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

MARKUM yakin dan percaya, bahwa di dalam bulan Ramadhan ini ada sebuah malam yang lebih baik daripada malam seribu bulan, yakni malam lailatul qadar. Seperti yang pernah ia dengar dari Ustad Sahroni, seorang ustad yang menjadi penceramah di masjidnya. Markum penasaran, kapan kira-kira malam lailatul qadar itu datang. Untuk itulah ia ingin menanyakan lebih detil lagi pada Ustad Sahroni. Sore hari, sebelum buka puasa, Markum mendatangi masjid untuk bertemu beliau. “Tad, kira-kira kapan malam lailatul qadar itu datang. Apakah malam ini, atau besok? Tolonglah ustad kasih tahu ke saya. Saya ingin sekali bertemu dengannya….” Ustad Sahroni tersenyum mendengar pertanyaan Markum, “Kum, nggak ada yang tahu kapan datangnya malam lailatul qadar. Saya sendiri juga nggak tahu….” “Lho, ustad kan pernah bilang, kalo malam lailatul qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Tolonglah ustad, kasih tahu saya. Atau jangan-jangan Pak Ustad merahasiakannya, supaya Ustad sendiri yang tahu dan bertemu dengannya…?” Ustad Sahroni menghela napas panjang. Lalu geleng-geleng kepala. Itu artinya, Ustad Sahroni benar-benar tidak tahu. Atau mungkin menandakan beliau bingung menghadapi salah satu warganya yang satu ini.

247


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Pak Ustad nggak usah pelit begitu, dong… Pak Ustad pasti tahu. Kalau memang nggak mau menyebut kapan waktunya, bolehlah ciri-cirinya Pak. Saya kan ingin sekali bertemu pada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Tolonglah Pak Ustad….” “Haduh, Kum… kamu kok, maksa? Begini saja. Dalam salah satu riwayat, saya pernah membaca. Malam lailatul qadar itu terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir….” Markum mengangguk-angguk mengerti, “Jadi, Tad, kalau nggak malam ke-21, berarti malam ke-23? Atau malam ke-25, ke-27, atau… ke-29? Wah, banyak betul pilihannya Pak Ustad…?!” Ustad Sahroni garuk-garuk kepala. “Ya sudah kalau begitu. Biar nanti saya cari sendiri. Terima kasih, Pak Ustad. Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikum salaam…” Markum meninggalkan masjid. Ustad Sahroni memandangi kepergian Markum dengan tatapan heran. Namun di dalam hatinya, beliau senang betul melihat kemauan Markum beribadah di bulan Ramadhan ini, apalagi sampai ingin menemukan malam lailatul qadar segala. Sepengetahuan Ustad Sahroni, selama ini Markum bukan cuma jarang ke masjid. Tetapi dia pemuda pengangguran yang malas dan kerap ketahuan mencuri sandal penduduk. 248


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

PADA Ramadhan malam ke dua puluh satu, Markum sudah bersiap-siap menghadapi malam lailatul qadar. Siangnya sengaja Markum tidur seharian. Supaya malamnya bisa begadang untuk bertemu pada malam yang lebih baik daripada malam seribu bulan. Kalau memang benar, dia berencana akan berdoa kepada Tuhan, supaya diberikan limpahan rezeki dan dikaruniai jodoh. Markum pernah mendengar kabar burung tentang Haji Duloh, bahwa dulunya ia pernah berdoa di malam lailatul qadar. Waktu itu beliau berdoa minta diberikan keluasan rejeki. Dan semua itu terwujud. Sekarang ini Haji Duloh punya lima buah toko pakaian. Dua kali naik haji. Punya istri tiga. Mobil enam. Rumah empat. Kontrakkan berpuluh pintu. Dan tanah yang sungguh teramat luas. Markum yakin kalau semua itu berkat malam lailatul qadar. Untuk itulah ia ngotot pada ramadhan kali ini bisa bertemu dengan malam yang dimaksud. Selepas mengikuti salat tarawih berjamaah, Markum ke warung Ucok memesan obat nyamuk oles. Markum tak mau diganggu nyamuk-nyamuk nakal itu. Menurut Pak Anwari, marbot masjid yang tidur di masjid, nyamuk-nyamuk nakal suka mengganggunya. Markum tak mau bertemu malam lailatul qadar bersama-sama dengan nyamuk. Bisa-bisa konsentrasinya terganggu lantaran gangguan nyamuk-nyamuk itu.

249


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Di masjid sudah terdapat beberapa jamaah lainnya yang tengah mengaji atau beberapa orang yang tidur-tiduran melepas lelah. Markum sengaja berdiam di salah satu sudut, agar jamaah lainnya tidak melihat atau merasa pangling padanya. Sebab baru malam ini ia bermalam di masjid. Sambil menunggu penghujung malam, Markum bersandar di dinding masjid yang terasa sejuk. Obat nyamuk cair sudah ia oleskan ke sekujur tubuh. Terdengar beberapa orang membaca ayat suci Alquran sedemikian merdu. Hal itu membuat Markum terkantuk-kantuk. Dan Markum yang dasarnya doyan tidur pun secara tak sengaja mengorok. Ia baru bangun saat Pak Anwari membangunkan warga sahur dengan pengeras suara. Markum tersentak dan kebingungan. Ia merasa gagal bertemu dengan malam lailatul qadar! “Kum, kok sedih begitu…??” tanya Pak Anwari, paginya saat berpapasan di sebuah jalan dekat masjid. “Saya gagal bertemu malam lailatul qadar…,” lirih Markum. “Lha, emangnya semalam itu malam lailatul qadar, Kum?” “Ya, benar. Kan semalam itu malam ke-21. Malam ganjil!” “Ah, belum tentu, Kum! Soalnya pas subuh tadi saya lihat langit, nggak keliatan terang….” Markum kebingungan mendengar kata-kata Pak Anwari. “Terang gimana, Pak? Subuh kan emang belum terang? Soalnya matahari masih belum kelihatan….” 250


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Kalau memang benar malam lailatul qadar, akan keliatan cahaya terang setelah fajar. Itu salah satu ciri malam lailatul qadar lainnya, Kum….” Markum mengangguk-angguk mengerti, “Berarti malam lailatul qadar belum datang…,” batin Markum. Pada malam ke-23, Markum kembali bermalam di masjid. Tujuannya masih sama, ingin menyambut malam lailatul qadar. Markum tak ingin ketiduran lagi. Markum memesan kopi supaya tidak mengantuk. Sepanjang malam itu Markum berdoa, yakin kalau malam itu malam lebih baik dari seribu bulan. Tapi paginya, saat melihat ke arah terbitnya matahari, Markum tak menemukan cahaya itu. Boleh jadi, langit sedang mendung. Yang datang justru gerimis. Markum hanya bisa menghela napas berat. Markum yakin, kalau malam itu bukanlah malam lailatul qadar! Markum tidak putus asa. Di malam ganjil yang lain, yakni malam ke dua puluh tujuh, Markum kembali bermalam di masjid. Seperti malam sebelumnya, yakni pada malam ganjil sepuluh malam terakhir yang lalu, Markum pun berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlelap. Sepanjang malam itu Markum berdoa. Markum tidak sendirian. Di masjid terdapat beberapa orang melakukan hal yang sama. Tapi Markum tidak tahu, apakah mereka juga tengah berharap bertemu dengan malam lailatul qadar seperti dirinya. Markum ingin bertanya, tapi gengsi. Takutnya ia dicap bermalam di masjid hanya karena berharap 251


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

bertemu dengan malam lailatul qadar, padahal memang begitu adanya. Di tengah malam, saat tengah khusuk berdoa, tiba-tiba lampu mati. Masjid menjadi gelap. Semilir angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Pepohonan di luar masjid bergoyanggoyang diterpa angin malam. Sesekali terdengar suara halilintar. Inikah malam lailatul qadar itu‌? Markum belum yakin. Lampu masjid gelap ternyata karena memang mati lampu. Belakangan ini sudah biasa lampu PLN byar pet, karena alasan tertentu. Angin bertiup agak kencang dan hujan turun karena cuaca memang sering tak bisa diterka. Halilintar sudah biasa terdengar kalau keadaan hendak hujan. Jadi, apa yang membuatnya berpikir bila malam ini malam lailatul qadar? Demi menguji kebenaran apakah malam lailatul qadar atau bukan, Markum pun berdoa. Kalau doanya dikabulkan, berarti malam ini malam lailatul qadar. Markum pun berdoa semoga mendapatkan rizki. Kalau jadi kenyataan, berarti malam ini tak salah lagi, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam dimana orang akan mendapat pahala berlipat ganda. Dan semua doa-doa dikabulkan Tuhan. Semalaman suntuk Markum berdoa. Paginya, setelah makan sahur, Markum melongok ke arah terbitnya matahari. Ia melihat cahaya yang begitu terangnya meski matahari belum

252


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

kelihatan. Barangkali memang benar bahwa tadi malam adalah malam lailatul qadar? Kalau begitu, Markum tinggal menunggu doa-doanya dikabulkan. Semalam ia minta dua permintaan, yakni memohon diberikan keluasan rizki dan minta cepat-cepat mendapat jodoh. Markum tinggal menunggu doanya dikabulkan Tuhan. Tapi, berapa lama ia harus menunggu? Apakah sehari, dua hari… tiga hari? Seminggu, dua minggu… atau sebulan? Atau tiga bulan…? Atau jangan-jangan setahun…?? Untuk menghilangkan rasa penasaran, Markum mendatangi kediaman Haji Duloh. Markum ingin menanyakan kebenaran tentang malam lailatul qadar itu. Terutama soal berapa lama ia harus menunggu doanya dikabulkan Tuhan. “Kum, denger ye…, Gue emang punya lima toko kain. Tapi semua itu dari hasil kerja keras gue selama puluhan tahun! Kalo pun gue udah dua kali naik haji, karena gue mampu bayarnya, yang duitnya dari keuntungan toko-toko gue tadi. Terus kalo pun gue udah tiga kali kawin, karena gue emang ganteng, nggak kayak elo…? Heheh, maaf Kum, bukannya nyindir. Terus, kalo pun gue punya banyak mobil, rumah, semuanya dari hasil kerja keras. Kalo elo mau kayak gue, elo kudu kerja keras juga. Nggak cuman berharap duduk-duduk di dalem mesjid…?” terang haji Duloh panjang lebar, membuat Markum sesak nafas.

253


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Kalo begitu, percuma dong saya berdoa malem-malem di malam lailatul qadar?” ujar Markum. “Lha, doa tuh kagak ada yang percuma, Kum! Kalo pun kagak dikabulkan di dunia, mungkin nanti di akhirat. Lagian, emang siapa yang tahu malam datangnya lailatul qadar? Nabi aja kagak tahu kapan persisnya.” “Wah, berarti saya ketipu, Pak Haji…??!” “Hah?! Ketipu pegimane??” “Soalnya saya udah nguber-nguber malam lailatul qadar itu? Kalo nggak ada hasilnya, kan percuma…?” “Kum, malam lailatul qadar itu kagak perlu dikejar! Kalau Allah berkehendak, dia yang bakalan datengin elo.…” “Masak sih Pak Haji?” “Ye, yang penting elo ikhlas….” Setelah mendapat penjelasan dari Haji Duloh, Markum pulang. Pada malam yang ke-29 dan ke-30, meski tidak bermaksud mengejar malam lailatul qadar, Markum ternyata tetap bermalam di masjid. Markum tidak mau berdoa muluk-muluk. Dia hanya ingin punya uang buat lebaran. Ustad Sahroni, yang melihat kegigihan Markum, siangnya menghampiri Markum. Kebetulan Ustad Sahroni lagi dapat rezeki lebih. Ustadz Sahroni memberikan amplop buat Markum, karena beliau merasa senang pada Markum yang mau berubah. Selain itu, semalam Ustad Sahroni yang berjalan melin-

254


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tasi masjid mendengar doa Markum yang diucapkan keraskeras itu. Setelah mendapat amplop dari Ustad Sahroni, Markum merasa bahwa semalam ia benar-benar telah menemukan malam lailatul qadar! .

255


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Audrey Kawasaki | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Arif Kontemplatif Fathromi R. Published Š Riau Pos, Minggu 05 Agustus 2012

Fathromi R, penikmat cerpen, karya-karyanya pernah terbit di beberapa media. Bergiat di Forum Lingkar Pena.

257


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SETIDAKNYA aku paham, aku merasa Arif mulai sinting sejak menemukan buku tua tak punya nama penulis itu. Ia tak lagi Arif atau Arif yang aku kenal dua minggu lalu. Ia lain. Dan sekarang, aku ingin menyampaikan padamu kepada apa kegilaannya itu ia tumpahkan: film! Baru nanti aku ceritakan semacam apa kesintingannya itu. Ya, film. Ia, perlu kuceritakan sekilas, Arif seorang pecinta berat film. Ia juga punya obsesi besar menjadi pembuat film kelas dunia. ‘’Aku yakin. Suatu saat nanti aku akan duduk sama rata dengan Peter Jackson, hmm atau, Steven Spielberg? Sam Raimi! Wow... Tim Story! James Cameron! Joe Johnson!! Ah! Kok orang Barat semua yang aku sebut?’’ Ia memang sedikit gila. Tapi aku sendiri maklum. Masih maklum, setidaknya juga aku masih bisa menerima meski pernah suatu hari ia memanjat pohon kelapa samping rumahnya. ‘’Beginilah contohnya stuntman itu, Fik!’’ jeritnya dari atas. Lalu ia tak kepalang terjun dengan hanya memakai tali rafia satu lapis tipis. Empat meter jarak dari tanah. Tali putus. Terdengar suara nangka jatuh. Kakinya terkilir. Masuk Puskesmas. Tak henti-henti aku ceramahi beberapa hari setelah itu kalau datang ke rumahnya. Tapi kupikir sia-sia melihat wajahnya yang tampak tak menyesal itu. Matanya itu lagi, seakan berujar: jika aku sudah sembuh nanti, aku tentu akan ambil yang tujuh meter, tentu lebih seru! 258


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dan ini masih bisa kuterima mengingat ia barangkali agak kurang paham makna kekuatan tali rafia dibandingkan berat badannya cukup besar itu.

AKU melihat sendiri Arif membolak-balikkan buku lusuh itu. Ia mengerjap-ngerjapkan mata tanda ada yang sulit dicerna. Terkadang ia tersenyum. Tandanya paham. Tapi aku tak yakin benar. Sebab, tulisan yang dibacanya itu bukanlah tulisan latin, bukan Arab, melainkan, entahlah. Saat kutanya temanku itu, ia mengatakan ini simbol. Ya, simbol yang bisa dipahami oleh orang yang punya keinginan tinggi untuk duduk bersandar di kursi istimewa, dan sesekali menjerit, Action! Tapi jujur, aku sedikit tertarik dengan apa yang ia buat. Meski keyakinanku hampir sempurna bahwa ia takkan bisa menerjemahkan dengan benar isi buku itu, setidaknya, akan ada hal yang lucu, spektakuler, dan, ya, lagi-lagi gila. Hmm.. buku itu.. ‘’Engkau jangan bilang siapa-siapa!’’ Arif menarik tanganku saat kuliah selesai jam tigaan sore. ‘’Soal buku itu?’’ bisikku. ‘’Lebih dari itu.’’ ‘’Aku tak paham.’’ ‘’Mari aku tunjukkan.’’ Arif menarik paksa tanganku. Di oplet. Sesak. 259


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Di rumahku. Aku tak mengerti saat ia meletakkan buku itu di atas meja. Lima detik kemudian, aku mulai paham ketika ia membuka lembaran kesekian, ia bertutur lirih: ‘’Ini dia yang akan kita baca!’’ Sontak bulu kudukku berdiri saat wajahnya berubah persis dukun yang akan berkomat kamit baca mantra. Mencurigakan. ‘’Apa maksud kau?! Mau berhubungan dengan Jin ya!’’ Sudah kuduga sebelumnya dia.. ‘’Aku..’’ Kurampas buku itu. Tanpa buang waktu, kubuang ke tong sampah samping rumah. Aku marah. Saat itu aku benar marah. ‘’Selesai. Jangan kau ulangi lagi. Jangan pernah kau pergi ke rumah tak berpenghuni itu lagi, dan jangan buat aku sama gila dengan kau, paham?!’’ Arif menggeleng pelan. Ia benar-benar buat aku sakit jantung. Tapi aku terkadang tak sampai hati. ‘’Aku mohon, Rif,’’ pintaku. ‘’Kita bisa selesaikan skenario film laga impian kau tu... bagaimana..., atau aku bahkan yakin, cerita yang kau kasi tahu tiga minggu lepas itu bisa kita garap jadi film indie yang bagus Rif, kalau itu jadi, tentu marvelous, Rif, menawan!’’ ‘’Buku itu, Fik.’’ ‘’Oya, aku bisa ajak kau pergi bioskop melihat film yang kau bilang disutradarai oleh sutradara terbaik sepanjang masa itu... ya... itu Rif, aku lupa... siapa?’’ 260


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

‘’Buku itu...’’ ‘’Semalam aku melihat di surat kabar ada artikel soal film. Aku pikir engkau tentu suka, aku bisa beli sekarang di kedai. Ya..!’’ ‘’Buku...’’ Wajahku jadi merah padam. Lelaki itu keras kepala! ‘’Sebenarnya apa maumu hah?!’’ ‘’Aku, mau buku itu...’’

‘’DENGARKAN aku dulu...’’ suaranya tertahan. ‘’Ini bukan mantra jin,’’ ia melanjutkan, membela diri. ‘’Melainkan simbol untuk untuk mengaktifkan mesin waktu.’’ Mesin waktu?? ‘’Maksudmu?’’ ‘’Kita tidak melafalkannya bahkan. Ini hanya simbol yang akan kita pakai untuk alat ini... Aku belum begitu paham, tapi, instingku mengatakan, deretan simbol ini adalah yang terpenting dari sekian banyak simbol. Justru itu aku minta kita samasama membacanya, berulang kali, sampai paham! Sampai paham, kau tahu?!’’ Kini dia pula yang memarahi aku. Aku terdiam. Arif mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Kubus seukuran dua senti kubik. Arif, Arif, Arif... dia memang pintar membuat dramatisasi, seperti Nurdin Ahmad dalam film Cucu Datuk Merah. Apa lagi yang akan ia sebut sesudah ini...

261


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

‘’Ini kubus yang pernah diciptakan oleh saintis negeri Eropa sana pada abad 19. Ia telah menggunakan hukum fisika kuantum sebagai teori dasar menciptakan alat ini. Pada masa itu, ia... ‘’Bagaimana cara pakainya?’’ Aku jadi tak sabar. ‘’Tunggu dulu. Pada masa itu, saintis tersebut membuat alat ini sebagai mesin ruang dan waktu. Banyak yang tidak percaya. Sekian ilmuwan mencemooh ide briliannya. Namun ia tak..’’ ‘’Ukurannya mirip dadu untuk ular tangga itu, haha,’’ kataku sambil melihat lihat benda itu atas meja. Kupotong katakatanya supaya berhenti. Aku bosan dengar ceramahnya. ‘’Sebentar. Namun saintis luar biasa itu tak peduli. Ia punya mimpi. Dan mimpi itu pulalah yang membuat ia punya tekad besar membuat kubus ini. Mimpinya, ia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh yang sangat ia kagumi. Engkau tahu? Ia ingin jadi seperti lelaki itu. Karena memang itulah cita-citanya selama ini, cita-cita saintis itu sungguh besar.’’ Ah aku tertarik dengan kalimat terakhirnya itu. Cita-cita saintis itu... ‘’Maksudmu, ia akan mengujikannya pada orang yang ia favoritkan, muncul di depannya dengan mesin ruang waktu?’’ kataku penasaran. ‘’Pintar!’’ Hoho, aku dipuji. 262


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

‘’Tunggu, biar aku tebak siapa tokoh inspiratifnya itu...’’ aku sangat merasa bisa menjawabnya. ‘’With pleasure.’’ ‘’Hehe, Albert Einstein. Siapa lagi kalau bukan dia.’’ Yes! Aku benar. ‘’Bukan.’’ ‘’Lalu??’’ ‘’Tokoh itu bernama Arthur Penn.’’

ARTHUR PENN? Siapa dia? ‘’Tokoh favoritnya.’’ ‘’Arthur Penn itu saintis?’’ ‘’Sutradara film.’’ ‘’Sutradara??’’ ‘’Sutradara legendaris.’’ ‘’Jadi, lelaki pencipta mesin canggih ini bercita-cita jadi sutradara? Sama sekali tak ingin jadi saintis? Apa ada orang yang ingin jadi sutradara berlelah-lelah memahami teori relativitas dari lelaki kelahiran Jerman itu? Aku pikir ia lebih cocok jadi ilmuwan seperti Dr Emmett Brown di film Back to The Future, atau Professor bertampang sedih di film The Time Machine.’’

‘’BEGINI...’’ matanya memanah pandanganku serupa pimpinan batalyon yang tengah memarahi anak buah gara-gara telat bangun pagi. ‘’Ini adalah cara bagaimana memindahkan po263


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sisi objek dalam sekelip mata dengan pemahaman sifat partikel sebuah materi.’’ Kedengarannya intelek. Tapi aku belum yakin. ‘’Susah aku percaya,’’ katanya tiba-tiba. ‘’Apalagi aku.’’ ‘’Tapi setelah melihat rumus dan aksioma-aksioma yang ada, aku jadi sangat percaya!’’ Hm, ia mulai lagi.. ‘’Baik, tampaknya, kita tak perlu susah-susah membuat alatnya, sebab bendanya sudah jadi, dan...’’ dia tersenyum menang. ‘’Baiklah, Fik! Engkau sudah siap? Sekarang aku akan menuliskan di layar biru, nama ‘Deddy Mizwar’ kuberi tanda koma, lalu kutulis, sutradara Indonesia.’’ ‘’Itu kan...?’’ ‘’Lalu kita tulis tanggal, bulan, tahun, dan waktu kita tentukan limabelas menit dari sekarang, tempat di kedai makan simpang jalan Kamboja dekat jalan besar sana, oke...’’ ‘’Itu artinya?’’ aku mencoba menebak. Arif tersenyum. Aku tak melihat ia akan menjawabnya. Aku mulai paham. ‘’So?’’ ‘’Sebelum limabelas menit, kita harus sudah ada di sana untuk melihat hasilnya!’’

264


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ARIF mengendap-ngendap di balik akasia. Aku ikutan gila bersamanya. ‘’Masih ada tigapuluh empat detik lagi,’’ katanya sambil melihat jam tangan. Serius. ‘’Setelah lelaki itu datang, kuharap engkau tidak menampakkan wajah terkejut. Kita akan menuju ke Pak Deddy.’’ Time is over. Tak ada tanda-tanda kedatangan manusia. Lewat satu menit. Dua menit. Dua menit setengah. Lima menit. Arif masih berusaha serius. Tapi tampak gelisah. Perutku mulai digelitik oleh sesuatu. Entah apa itu, tapi aku merasa -sangat merasa- ingin tertawa melihatnya. Menit ketujuh. Saat aku akan mengibarkan kata ‘menang’ atas kekalahannya, ada lelaki setengah abad lebih datang jalan kali mengarah ke warung itu. Kupikir lelaki itu... ‘’Akhirnya... akhirnya Nagabonar kita hadir juga!’’ Aku sama sekali tidak percaya... Arif mendekati warung itu, tepatnya menghampiri lelaki itu. Berjabat tangan dengannya.

ARIF kini di atas angin. Ia melayang. Esoknya, ketika aku bertemu dengannya di kampus, ia memberi tahuku akan memanggil semua sutradara berbakat dari negeri ini sampai negeri seberang. Tapi sebelum semuanya terjadi, katanya, ia akan memanggil seseorang yang bernama Sulaiman. Kutebak, itu

265


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sutradara kawakan dari Iran. Arif menyanggah sejenak setelah membenarkan. ‘’Ia memang sutradara, tapi bukan dari negeri Persia sana,’’ kata Arif. Ia lalu memberi senyum. Agak pahit. Aku tak mengerti. ‘’Engkau masih mau ikut misiku ini lagi?’’ katanya. Aku masih mencari kebenaran dari wajahnya. Ada yang tidak beres dari ketidakberesannya. ‘’Sulaiman itu siapa Rif?’’ Arif tak menjawab, ia tampak bergegas memasukkan buku-buku ke dalam ranselnya. ‘’Sulaiman itu bukan sekadar sutradara, bukan?’’ Lelaki berkulit putih itu segera keluar ruangan menuju tangga ke lantai dasar. Kukejar ia. ‘’Jangan bilang Sulaiman itu seperti Sukarno, Rif! Engkau tidak bisa bertemu dengan orang mati. Mereka tidak akan kembali lagi di dunia ini Rif!’’ aku tak sanggup mengejarnya. Kakiku kelelahan. Entah kenapa. Aku merasa ada beban berat menimpa punggungku. Ada sesuatu yang tak ingin aku tahu darinya. Tapi yang pasti, aku takkan pergi petang ini. Kuharap ia paham dan berbalik arah dari apa yang tak pantas ia lakukan. Sejak itu aku tak menemukannya lagi. Sudah lima hari ia tak masuk kelas. Ia menitipkan surat izin ke kosma kami, cuti selama lima hari. Junaidi, kepala suku kelas kami itu terus-terusan bertanya padaku soal Arif. 266


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

‘’Engkau teman dekat dia. Mustahil kau bisa hilang jejak.’’ ‘’Ya, teman dekat, selama ia masih waras,’’ kataku. ‘’Maksudmu?’’ alis Junaidi berkerut.

AKU tak menemukannya di rumah, tak kudapati di tempattempat yang sering ia kunjungi, tetangganya tak tahu, pak RT di perumahannya tak paham. Kucing di loteng rumahnya tak mengerti. Itu artinya, Arif pergi dari kota ini. Tapi ke mana?

TIGA tahun setelahnya... Arif benar-benar hilang. Teman-temannya telah melupakan lelaki itu. Majelis guru pun ikut melupakannya. Kepala sekolah, polisi, tetangga dekat, tetangga jauh, ibu-ibu majelis taklim, para ustad, pengurus Masjid al Hakim dan jajarannya, kucing yang nyenyak tidur di atas rumahnya dulu, seantero negeri melupakannya. Mereka hanya berharap Arif pindah ke tempat lain. Hidup tenteram di sana. Itu saja. Itu artinya, aku pun turut harus melupakannya, sebab ia tak punya saudara dekat yang sedarah dengannya lagi, selain dirinya sendiri. Ia tak punya keluarga lagi, bahkan tak mau bercerita soal ayah, ibu, dan saudara-saudara lain, yang terkadang itu membuat masalah lain di sekolahnya. Dan kisahnya telah pun usai sejak tiga tahun lalu, harusnya. Namun tidak! Nya267


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tanya aku tak bisa lupa sosok lelaki maniak film itu. Sejak tiga tahun lalu, tiap aku masuk kampus, aku merasa ia ikut bersamaku ke kampus. Duduk di bangku depan favoritnya. Senang bertanya, suka ditanya, tapi tak senang menjawab. Tiap aku pulang kuliah, ia seakan selalu mengikutiku. Terkadang aku merasa menjadi sosok lelaki yang diteror hantu yang katanya dulu ketika ia hidup, sebagai manusia yang mati tak wajar, lalu penasaran dengan kondisi kematiannya. Pernah suatu hari, aku bentak dan berteriak sekerasnya agar ia tak mengikutiku lagi. Setelah itu, ia lenyap sendiri. Beberapa menit setelah itu, aku baru sadar, telah banyak orang memperhatikanku dengan khawatir. Terkadang aku percaya itu bukan dia, di lain waktu, aku yakin itu memang dia. Mengingat itu, aku jadi stres. Aku jadi menyesal karena percaya dengan hal-hal semacam itu. Ya, percaya.. Percaya? Apakah ini semua disebabkan satu hal kecil yang disebut Percaya? Apakah kerena itu pulalah tiap hari aku dihantui sosok Arif yang -harusnya- telah lama punah? Bahkan aku bisa jadi tak tenteram tiap petang sehabis Asar, di waktuwaktu tertentu ketika harusnya aku tenang menikmati film Tin Tin, Detective Conan, atau Sherlock Holmes, selalu aku dikejutkan oleh suara yang muncul dari dalam TV, seakan-akan suara itu tak sepatutnya di sana. Anehnya, aku sangat kenal suara itu. Pada titik waktu itu pula, aku bahkan tak bisa mem268


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

bedakan antara ilusi dan realita. Garis pemisahnya telah melebur di benakku. Dan suatu petang, ‘’Fik!’’ Suara itu terdengar samar. ‘’Fik...!’’ Masih samar, tapi aku sangat kenal. ‘’Di sini!’’ Aku mencari sumbernya. Kiri, kanan, belakang, bahkan atas, juga di bawah meja. Aku tak menemukan apa-apa. Namun, tiba-tiba bulu kundukku berdiri ketika akal sehatku lagilagi diuji. Lelaki itu. ‘’Fikri, engkau jangan bilang dengan siapa-siapa!’’ Arif.. Bukankah itu Arif? Ia muncul dalam film di TV itu! ‘’Soal buku itu?’’ kata suara lain di sana. Terdengar pelan. Kuperhatikan dengan penuh selidik. Itu, itu suaraku.. Itu aku! ‘’Lebih dari itu.’’ ‘’Aku tak paham.’’ ‘’Mari aku tunjukkan.’’ The End Director Arif bin Sulaiman Ini sudah cukup buat aku makin gila.. Sumatera Island, 2012

269


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Autorretrato | Repro: Francis Bacon (OpenART)


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Malem Diwa Ibnoe Hadjare Published Š Serambi Indonesia, Minggu 05 Agustus 2012

Ibnoe Hadjare, alumnus Muharram Journalism College, Banda Aceh.

271


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

MALEM DIWA bukanlah pendekar, bukan juga suami dari seorang Putroe Bungsu. Ia hanya pemuda biasa. Seorang abang dari lima orang adiknya yang yatim, seorang aktivis ketika masih kuliah dulu, seorang pengurus remaja mesjid di kampungnya, dan seorang penganggur setelah menamatkan kuliahnya. Belakangan, Malem Diwa juga sempat diisukan gila di kampungnya. Begitulah mungkin biografi yang pantas untuk seorang sarjana muda, Malem Diwa. Kebingungan demi kebingungan kerap melandanya setelah tiga tahun ini memikul ijazah. Sebuah beban jiwa yang sulit ia urai dengan kata-kata. Sulit juga ia tulis meski ilmu yang dituntutnya adalah ‘Bahasa dan Sastra’. Dalam kesendiriannya Malem Diwa mulai sering berujar bahwa nasib mempermainkan hidup diri dan keluarganya. Terlebih setelah kemarin pagi ijazah sarjananya ditawari sepuluh ribu oleh Kasem, si pedagang sayur yang kehabisan kertas pembungkus bawang di kiosnya. Malem sangat terpukul karena itu, meski dia tahu sesungguhnya Kasem hanya bergurau. Malem merasa takut jika harus menjadi penganggur justru setelah mendapatkan gelar sarjana. Bukan lantaran malu pada tetangga, bukan juga pada rekan-rekannya, tapi sebab terlalu pedih perjuangannya dulu. Pernah beberapa kali ia harus berurusan dengan pihak kampus karena telat membayar SPP, atau karena tidak meng-copy ba272


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

han, atau juga karena menulis makalah dengan tangan. “Ini bukan lagi zaman batu, Malem. Bapak menolak makalahmu!� Kalimat itu sudah menjadi langganan mulut Pak Juned setiap kali memeriksa tugas makalah Malem. Memang kenyataan yang kini diterima Malem pantas untuk ditangisi. Semua tetangga pun tahu perjuangan hebatnya dulu. Sedari kecil Malem telah mencari uang sendiri demi menamatkan sekolah. Kini dia sering terlihat pada bukit-bukit kecil kembar yang melingkar di sekeliling rumahnya, juga pada jalan setapak di pinggiran sungai. Atau saat laut senja memerah dia juga terlihat duduk mematung pada tumpukan batu besar penghalang ombak di ambang samudera. Dari atas batu-batu raksasa itulah saban hari berlalu matanya menatap tak jemu ke arah gugusan pulau kecil di tengah Samudera. Pucuk-pucuk gunung yang terlihat ranum itu seakan memanggilnya untuk segera berkunjung dan berlabuh di sana. Sebuah pulau dimana seorang temannya bermukim di sana. Pikiran Malem pun jadi kacau. Akal sehatnya semakin kotor. Ranjang kecil tempat tubuh rikihnya berbaring tak pernah lagi terawat. Juga tak terlihat lagi selembar sajadah yang dulu senantiasa menggantung pada paku dinding kamarnya. Mak Saudah tak sanggup lagi menasihatinya. Memang pada bulanbulan pertama keanehan putranya itu ia terlihat panik sekali. Berbagai cara pun diusahakannya supaya Malem tidak terus 273


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

terpuruk meratapi nasibnya. Namun, sia-sia saja. Malem tak kunjung tersenyum juga. Entah dengan adik-adiknya. Mungkin juga akan mengikuti jejak Malem. Surat peringatan dari sekolah masih tergeletak di meja makan. Mulai minggu depan bocah-bocah itu tidak diperbolehkan lagi masuk kelas jika uang SPP belum terbayarkan.

SUATU siang, Mak Saudah kedatangan tamu. Tamu yang sudah tak asing lagi baginya. Namanya Banta, teman seperjuangan Malem semasa sekolah dan kuliah dulu. Malem dan Banta berteman dekat sejak kecil. Mereka sama-sama aktivis dulu. Dan mereka juga diwisuda bersamaan tiga tahun lalu. Hanya saja nasib Banta sedikit lebih mujur. Beberapa bulan yang lalu dia memilih menyimpan ijazahnya dan memutuskan untuk menjadi petani. “Bagaimana keputusanmu?” tanya Banta lagi. Malem hanya tersenyum. Kemudian tubuh kurus itu menghela nafas panjang dan kembali menghisap sebatang rokok yang diberikan Banta tadi. Kepulan asap dan tawa kecil menghiasi kamar yang sehari-hari dibalut sepi itu. “Aku tau kau tidak gila” “Memang siapa yang berpikir aku gila?” jawab Malem sambil terkekeh. “Tapi kalau begini terus, nanti kau bisa gila benaran?” Banta juga terkekeh. 274


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Tapi idemu konyol, Banta!” “Setidaknya tidak lebih konyol dari apa yang kau lakukan selama ini di kamar ini.” “Baiklah, seberapa besar keyakinanmu?” Kali ini Malem bertanya serius. “Sebesar rasa peduliku terhadapmu, kawan,” jawab Banta mantap. “Mengenai risiko nanti?” “Bahkan terus bertahan di kamar ini saja kau bisa berisiko, kan?!” “Iya, tapi… ,” Malem terdiam. “Sudahlah, gak pake tapi-tapi. Ini kesempatan terakhirmu. Aku pun sudah cukup lelah merayumu selama ini. Jika memang setuju, besok Subuh kau datang ke rumahku. Bawa baju-bajumu juga. Boat temanku menjemput kita Jam setengah tujuh pagi,” ucap Banta meyakinkan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu.” Banta menepuk pundak kawannya itu, lalu berlalu pergi.

SAAT seisi rumah telah terbuai mimpi, Malem masih ribut dengan bisikan-bisikan hatinya. Mungkin inilah saatnya Malaikat dan Jin di sisi kanan dan kiri Malem bertarung mempertahankan argumen masing-masing. Tapi bisikan Jin ternyata lebih berasa dan masuk meresap pikiran Malem. Seakan sia-sialah ilmu yang selama ini dituntutnya dan malulah hatinya pada 275


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sekalian remaja masjid yang sekian lama ini digemblengnya untuk menjadi pribadi-pribadi mulia. Malem pasrah. Apa mau dikata, kemiskinan memang dekat dengan kekufuran. Maka menjelang Subuh hari itu Malem mendekati pintu kamar Emaknya. “Baiklah, jika memang itu keputusanmu, nak. Semoga kau berhasil di sana.” “Iya, mak. Tidak perlu khawatir. Sesering mungkin saya akan berusaha pulang menjenguk emak,” ucap Malem menenangkan maknya yang bermuka sedih. “Tapi...” Mak Saudah menghentikan kalimatnya. “Bukankah kebun kosong milik Chik Suman juga diizinkan untuk sekadar kau pakai tanam cabe?” Mak Saudah menyambung kalimatnya dengan nada lemas. “Tidak mak, tanah di pulau itu lebih subur daripada tanahtanah di sini. Doakan saja saya berhasil dan pulang dengan selamat supaya adik-adik bisa tetap bersekolah.” Malem berujar dengan mata berbinar. Sebenarnya ia tak tega. Sungguh tidak ada niat di hatinya untuk membohongi orang yang disayanginya. Tapi kali ini terpaksa dia lakukan. Hatinya berkecamuk perasaan aneh. Sepanjang perjalanannya menuju rumah Banta menangis. Seakan pohon-pohon yang dijumpainya di sepanjang jalan setapak ikut melaknatnya. Di penghujung malam buta itu ia pergi dengan tujuan mulia, tapi dengan cara ternoda:

276


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Malem akan bertani ganja. Ini untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.

277


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Justyna Kopania | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Senja Terakhir Muhammad Pical N. Published Š Sinar Harapan, Sabtu 04 Agustus 2012

279


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

APAKAH kau pernah melihat senja? Tahukah kau bahwa di dalam senja itu terdapat peri-peri cantik? Apakah kau tahu kalau mereka menggunakan gaun dan liontin dari dasar langit? Aku sering melihat senja, aku sangat menyukai senja, bahkan lebih dari sekadar suka, aku mencintainya. Terkadang, sering aku berkhayal, suatu saat nanti akan kubawa kau ke sana, ke muara senja. Di sanalah tempat persinggahan orang yang tulus memberikan kasih sayangnya kepada orang yang dicintainya. Mereka kekal di sana bersama para peri. Di sebuah sore yang sangsai, saat pasukan bangau hendak pulang ke pangkuan waktu, kusempatkan untuk datang ke rumahmu. Aku ingin mengajakmu ke tempat itu. Aku tak akan menjelaskan secara detail sesosok tempat yang sedang kurahasiakan keberadaannya darimu. Aku akan mengajakmu ke sana untuk melihat senja. Bukankah kau pernah mengutarakan niat untuk menikmati senja bersamaku setelah aku menceritakan betapa indahnya senja itu? Kini, kutagih keinginanmu itu. Hati ini bukan main senangnya saat kau turun melewati tangga rumahmu. Bahkan aku tak mendengar derap langkah kakimu. Ya, begitu lembut dan mengagumkan. Wajahmu yang anggun bak embun pagi yang hinggap di pucuk daun akasia. Kau melemparkan tanganmu ke hadapanku.

280


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dengan sigap aku menangkapnya. Lalu kupapah kau menuju tempat itu untuk menikmati senja bersamaku. Kita seperti sepasang merpati yang hendak berbulan madu ke lautan asmara. Kau duduk sambil berkata apakah penutup matamu sudah bisa dibuka. Lalu kau membuka penutup itu setelah aku mempersilakannya. Aku melihat katub matamu yang bergerak dengan sangat hati-hati. Aku duduk tepat di sampingmu. Aku menatapmu dan kau menatapku. Kita saling melempar senyum dan pandang. Lama, begitu lama kita diam seribu bahasa. Sampai akhirnya desir angin membangunkan kita dari buaian itu. Lihatlah, senja sebentar lagi akan hanyut ke sungai waktu. Lalu aku menyuruhmu untuk menatapnya. Sayang jika dilewatkan begitu saja. “Mengapa kau begitu menyukai senja?” “Dia indah. Aku sering ke tempat ini. Sewaktu kecil, Ibu selalu membawaku ke sini.” “Hanya itu?” “Kurang lebih begitu.” “Aku rasa tidak hanya itu.” “Maksudmu?” “Yaaa, pasti ada alasan lain kenapa kau menyukainya. Bukan begitu?” “Aku suka senja. Bahkan aku mencintainya.” “Kau mencintai senja? Aneh!” 281


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Apanya yang aneh. Lihatlah ke atas!� Kemudian kau melihat senja itu. Bahasa wajahmu mengatakan kalau kau juga mengaguminya. Bukankah seseorang yang mencintai sesuatu berawal dari rasa kagum? Aku ingin kau mencintai senja. Sama halnya seperti aku mencintainya. Setelah kau menikmati rona senja itu, kau menatapku. Kemudian kita diam seribu bahasa, sampai akhirnya senja itu perlahan-lahan punah dari pandangan mata kita. Di sepanjang jalan pulang, kita masih diam. Padahal, aku merasakan detak jantung yang tak beraturan bunyinya. Aku rasa kita saling mengagumi. Sama halnya seperti kita melihat senja sebelumnya. Bukankah seseorang yang mencintai sesuatu berawal dari rasa kagum? Sesekali, kau melirikku. Kemudian kita tersipusipu malu. Ketika kita sampai di rumahmu, kau masih melayangkan senyum indah itu kepadaku. Jujur, setibanya di rumah, aku tak bisa tidur. Aku melihat senja di senyummu. Aku melihat senja itu berpidah ke pendar matamu. Aku melihat senja di altar wajahmu. Ibu pernah berkata, bawalah orang yang kau cintai menikmati senja. Kata Ibu, senja akan mengajarkan kita banyak hal. Senja akan mengajarkan kita agar bisa menerima kenyataan. Kutanyakan kepada Ibu kenapa bisa begitu. Lalu Ibu menjawab, senja akan selalu muncul di sore hari. Senja tak akan kita temukan di pagi hari. Senja tidak pernah 282


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

marah kepada Tuhan jika di suatu sore langit mendung dan senja tergantikan perannya. Ibu pernah bilang, kalau Ayah selalu ada di sana. Tiap sore, Ibu mengajakku untuk melihat Ayah walaupun aku sendiri tak melihatnya. Jika kau tak ada di rumah maka aku pergi sendiri untuk menikmati senja. Tersenyum sendiri seperti orang gila, bahkan aku berdialog dengan orang-orang yang ada di sana. Ibu juga dulu seperti itu. Jika aku tertidur pulas, Ibu pergi sendiri. Sering kau datang dengan tiba-tiba. Kau mengejutkanku. Lalu kau berkata apakah aku melihat Ibuku? Ya, aku melihatnya. Mereka sedang menatapku. Mereka melempar senyum dan pandang. Lama, begitu lama. Aku diam seribu bahasa. Sampai akhirnya, desir angin memutuskan pertemuan itu. Kita duduk berdua di antara bunga-bunga yang sedang mekar. Di bawah kaki kita, jamur luminisence menguntit malumalu. Kau pegang tanganku dengan erat. Lalu kau memintaku untuk mengajarkanmu bagaimana cara mencintai senja. Aku rasa kau sudah mulai mengaguminya. Ini adalah langkah awal untuk mencintai senja. Bukankah rasa kagum adalah awal mula tumbuhnya cinta? Detak jantung kita sedang tak normal. Aku rasa kita sudah saling suka. “Ajarkan aku mencintai senja!” “Sering-seringlah ke tempat ini. Kalaupun aku tak ada, datanglah. Senja itu akan selalu terlihat dari tempat ini.” “Tapi aku belum bisa mencintainya!” 283


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Kau kagum?” “Sedikit.” “Sejak kapan?” “Sejak aku mengagumi Sang Penikmat senja.” Dan kita tertawa terbahak-bahak. Kau memegangi tanganku sangat erat. Tawa itu pelan-pelan hilang, lalu tergantikan dengan wajah sepasang anak manusia yang mulai jatuh cinta. Kita harus belajar dari senja. Bukankah senja mengajarkan kita untuk bisa menerima kenyataan? Maka, kita harus bisa menerima kenyataan bahwa kita saat ini sedang dilanda rasa cinta yang luar biasa. Aku pegang tanganmu, kuangkat, lalu kucium. Aku katakan kepadamu apakah kau mau mendampingiku untuk terus bisa menikmati senja. Kau pun menerima tawaran itu. Kita duduk di tempat itu sampai akhirnya malam melewatkan masamasa indah yang begitu romantis. Kuantarkan kau pulang ke rumahmu. Di tengah jalan kau kelelahan dan tak kuat lagi untuk melangkah. Lalu aku menggendongmu ibarat pohon yang selalu menopang buahnya. Kau berkata kepadaku untuk selalu mengajarkanmu bagaimana cara mencintai senja yang juga aku cintai. Tepat ketika kita sampai di rumahmu, aku katakan bahwa cintailah aku, pasti kau bisa mencintai senja dengan tulus. Kau pun tersenyum. Kau mencium keningku, dan kita berpisah.

284


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Kini aku bisa menikmati senja bersamamu, kekasihku. Dari tempat ini, kita akan melihat peri-peri cantik yang sedang menggunakan gaun dan liontin dari dasar langit. Aku mau hidup kekal bersamamu, bersama anak-anak kita nanti, dan cucu-cucu kita, di muara senja itu. Di sanalah tempat persinggahan orang yang tulus memberikan kasih sayangnya kepada orang yang dicintainya, dan mereka kekal di sana bersama para peri, juga bersama kita. “Apakah kau melihat Ibu?” “Ya, Sayang. Aku melihat Ibu dan juga Ayah. Mereka tersenyum melihat kita. Pasti mereka senang.” “Aku juga melihat mereka. Coba perhatikan, mereka melambaikan tangan.” “Di sana juga ada peri-peri.” Aku yakin kau senang bukan kepalang. Aku rasa kau telah menemukan hakikat mencintai. Kau telah berhasil menikmati senja dengan cara mencintainya. Aku melihat senja di wajahmu, di matamu, juga di hatimu. Biarkan senja itu merasuk ke dalam dirimu sayang. Kemudian kita mengelilingi tempat itu. Kita menikmati senja dari sudut yang berbeda-beda. Dari sudut itu, beragam rupa terpapar di sana. Indah, sungguh indah kiranya.

“KAPAN kau mau mengajakku ke muara senja itu?” “Kapan kau mau?” 285


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Secepatnya!” Aku melihat pandangmu yang kosong. Sepertinya kau menyimpan maksud yang begitu besar. Aku akan mengajakmu ke sana sayang. Tapi saat ini tidak, sebab kau harus banyak belajar dari senja, belajar menerima kenyataan. Aku menuntunmu ke arah pulang. Di tengah jalan kau kelelahan dan tak kuat lagi untuk melangkah. Aku tak lagi bisa menggendongmu, sebab badanmu semakin bertambah berat. Aku melihatmu menangis. Kau tepis sedih itu, lalu kau bangkit sendiri. Bukankah kita harus banyak belajar dari senja? “Mengapa kau menangis?” “Aku belum bisa menerima kenyataan.” “Kenyataan apa?” “Aku belum bisa mencintai senja dengan sepenuh hatiku.” “Kalau begitu, cukuplah dengan mencintaiku!” “Tidak. Aku harus benar-benar mencintai senja.” Malam menelan bulat-bulat percakapan kita. Setelahnya, yang terdengar hanya nyanyian jangkrik, dengus nafas pohonpohon, dan gemuruh laju mesin waktu. Aku masuk ke kamar kita, dan kau tertidur pulas di ranjang yang begitu empuk. Aku mendekatimu. Wajahmu terlihat pucat. Rambutmu semerawutan. Di pipimu aku masih melihat bekas aliran air mata yang kerontang. Aku tahu kau lelah. Seperti yang dilakukan Ibu ketika aku tertidur pulas, maka aku pergi ke tempat di mana aku bisa melihat senja. Tapi ma286


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lam tak akan pernah memunculkan senja. Aku duduk sambil menunggu senja itu datang kembali ke hadapanku. Semoga saja esok sore langit tak mendung. Kau datang dengan tiba-tiba. Kau mengejutkanku. Lalu kau berkata apakah aku melihat Ibuku? Ya, aku melihatnya. Mereka sedang menatapku. Mereka melempar senyum dan pandang. Lama, begitu lama. Kau mendekat dan duduk di sampingku. Aku melihat wajahmu semakin pucat. Bibirmu seperti tanah yang dilanda kemarau akut. Bajumu lusuh. Kau seperti manusia yang hampir tak bernyawa. Kau mengajakku untuk singgah di muara senja itu. Tetapi aku mengatakan bahwa aku tak bisa. Orang-orang di sekelilingmu menertawakanmu. Mereka berkata kalau kau gila, kekasihku. Aku mendekatimu dan membawamu mengelilingi tempat itu. Kau berdiri di antara upat-puji orang. “Sayang, kita harus belajar dari senja!” “Kau bisa menerima kenyataan ini, Sayang?” “Aku bisa. Kau juga begitu. ” “Kapan kau mau membawaku ke sana, Sayang?” “Nanti, jika waktunya sudah tepat.” Hari hampir larut. Orang-orang pergi meninggalkanmu sendiri. Kini kau telah mengerti apa itu makna cinta. Kau telah merangkulnya kekasihku. Di tiap sore, aku masih memandangmu saat kau melempar senyuman, saat kau melihat senja. Di 287


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sinilah tempat persinggahan orang yang tulus memberikan kasih sayangnya kepada orang yang dicintainya, dan mereka kekal di sana bersama para peri. Agustus 2011

288


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ademaro Bardelli | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Telapak Kaki Ibu Weni Suryandari Published Š Suara Karya, Sabtu 04 Agustus 2012

290


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

IBU sudah pergi. Kamarnya kosong, dapur pun sepi. Darah kental menggenangi lantai semen, merembesi keset di depan kamar mandi. Suasana senyap mengepungku. Agaknya seekor burung gagak raksasa telah puas bermain-main di rongga kepalaku semalaman. Pagi ini kepalaku terasa bolong. Entah kemana burung itu pergi! Mungkin membawa aroma kematian yang mampir saat dini hari tadi ketika sepasang telapak kaki Ibuku yang halus ada dalam genggamanku. Guratan-guratannya begitu jelas, namun aku tak menemukan ada surga di sana. Rasa penasaran kerap menggerogoti pikiranku sejak aku masih kecil. Saat itu usiaku masih terlalu kanak-kanak untuk dapat memahami misteri surga di bawah telapak kaki Ibu. Telapak kaki Ibuku jelas sangat halus dan terawat karena selalu menggunakan krim pelembab kulit kaki. Jika aku mengamati kaki ibu-ibu lainnya, yang kulihat hanyalah kulit tebal dengan tekstur pecah-pecah, bahkan bentuk kuku-kukunya berantakan seakan angslup kedalam jemari, namun tidak demikian halnya dengan kaki Ibuku. Kuku-kukunya bersih dan indah, bahkan ia sering ke salon di kecamatan hanya untuk merawat kuku kaki. Tentu mahal sekali tarifnya! Kuberitahu saja padamu, kawan! Ibuku cantik, kulitnya bersih, matanya indah, bibirnya mungil, hidungnya bangir. Keriput di pipinya tak begitu kelihatan meski usianya hampir separuh abad. Aku mengagumi kecantikan Ibuku. Beliau bagai bida291


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

dari dalam dongeng bergambar dari luar negeri.Jika tersenyum, lesung pipitnya seakan terpasang dari surga. Aku mencemburuinya! Bagiku, Ibuku sainganku, atau aku saingan Ibuku. Begitulah, dibolak balik sama saja.Nanti kau akan tahu juga, kawan! Aku masih ingat ketika Bapak hendak menolongku dari serangan pukulan Ibu yang bertubi-tubi di kedua betis dan punggungku hingga membiru. Seringkali bilur-bilur merah terlihat jelas bekas sabetan sapu lidi. Aku menahan isak di pojok ruang makan, menggigil ketakutan sebagai bocah polos yang tak berdaya. Bapak membentak Ibu sambil menyeretku menjauh, meng-hindarinya. Sebenarnya ada Bapak atau tidak ada Bapak, siksaan tetap saja menderaku. Apalagi jika Bapak kembali bekerja di Hongkong sebagai supir TKI, aku dan Ibu hanya berdua saja di rumah yang sederhana itu. Siksaan dan makian adalah selingan makan tiga kali sehari. Sesudah meluapkan emosinya, biasanya Ibu kelelahan dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Wajahnya memerah. Herannya, ia pantang menangis. Seakan puas setelah menyiksaku, meski tak jelas apa salahku. Pernah aku tak sengaja menumpahkan segelas coklat panas yang akan diminumnya, kejadian itu membuatnya marah besar. "Anak tidak tahu diuntung! Pemberian siapa susu coklat ini? Kalau ibu beli sendiri tak akan mampu. Apalagi bapakmu.

292


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Memberi anaknya makan saja tidak becus!" Begitu bentaknya, sambil memukuliku. "Ampun Bu, tidak sengaja." belum sempat aku menjawab, Ibu sudah mengangkat sapu ijuk siap memukulku. "Jangan membantah! Kamu memang tidak becus apaapa! Tidak berguna! Setan!" "Aku bukan anak setan Bu! Aku anak Ibu!" isakku sambil mengelus-elus kepalaku. Ah, rasanya aku ini memang benar-benar anak setan, anak anjing atau anak haram seperti yang selalu diserapahkan Ibuku. Mungkin benar apa yang dikatakannya. Tapi aku tetap harus mendarmabaktikan seluruh hidupku untuknya, bukan? Begitu petuah guru Agama di sekolahku. "Uh, kalau saja dulu Bapakmu tidak menikahi perempuan itu, tentu kau tak akan dilahirkan!" Aku diam menahan gemetar, sambil bertanya maksud perkataannya. Setiap pulang sekolah, aku selalu melihat Ibuku baru selesai berdandan. Rapi dan wangi! Biasanya ia akan keluar rumah. Pergi menemui pelanggan, katanya.Mereka pelanggan dagangan Ibu. Aku tak tahu Ibu berdagang apa, sebab aku tak pernah melihat Ibu membawa sekeranjang barang seperti umumnya pedagang. Ah, mungkin Ibu punya sepetak toko di suatu tempat. Jika aku bertanya, ia akan membentak, "Kau tak perlu ikut campur!"

293


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ibu selalu pulang lewat tengah malam dengan wajah kusut. Tubuhnya beraroma campur-campur. Bukan bau parfum atau bau badannya. Bau yang tidak aku kenal. Entah bau apa aku tak terlalu mengendusnya, sebab Ibu akan langsung menuju kamarnya dan tertidur pulas. Aku hanya mengintip dan membuang sisa susu coklat kegemarannya yang kubuatkan. Percuma, sudah dingin. Jika didiamkan sampai besok pagi pastilah basi. "Zainab, mau kemana malam-malam?" tanya Ibu sore itu. Ia melihatku keluar kamar hendak menonton sebuah film yang diputar di lapangan depan kantor Kepala Desa. Ibu agak terlambat pergi ke tokonya. "Ke lapangan Bu. Ada pertunjukan film, hiburan gratis dari Pak Kades." "Ganti bajumu! Jangan memakai baju itu." "Kenapa Bu? Ini baju kiriman Bapak dari Hong Kong. Kaos bagus Bu!" "Ganti! Pakai ini!" Ibu meletakkan kaos loreng abu-abu di kursi ruang tamu. Kaos yang biasanya kupakai untuk tidur atau beres-beres rumah. "Bu, ini baju rumah, sudah kumal pula!" "Ah, ganti kataku!Baju biasa saja, tak perlu pakai baju bagus.Kamu genit ya?" Aku tak heran. Setiap saat ibu selalu mengatur penampilanku, dengan alasan tak boleh tampak genit. Padahal di masa remajaku aku ingin tampil gaya. Aku ingin seperti teman-teman, 294


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

sebab aku juga bukan keluarga tak mampu. Rumahku, meski sederhana tapi tergolong cukup besar. Bapak selalu mengirimi kamiuang atau oleh-oleh baju meski pun kadang-kadang dipakai Ibu. Sepulang dari lapangan, aku diantar pacarku. Ia pernah menciumku di suatu malam sepulang pesta ulang tahun Surtini anak kepala desa. Saat itu Ibu belum pulang dari tokonya. Pardi, demikian namanya, duduk sebentar menunggu kedatangan Ibu. "Ibu baru pulang berdagang nanti malam," Pardi diam. Ia menangkup rapatkan kesepuluh jemarinya dan menggeretakkannya. Jari-jarinya terlihat kokoh. "Berdagang? Sampai larut malam? Di mana tokonya?" "Entahlah.Dagangan Ibu banyak.Hampir setiap hari Ibu pergi ke tokonya." "Sampai larut malam begini belum pulang dari toko?" aku tersenyum kecut. "Kamu tentu bangga sebagai anaknya!Ibumu pekerja keras." Lanjutnya. Anaknya? Tapi aku diperlakukan bukan seperti anaknya. "Aku tak pernah diajaknya, Mas. Aku harus membereskan rumah tiap pulang sekolah. Kasihan Ibu, capek cari uang. Kalau rumah berantakan ia marah." "Bapakmu?" "Oh. Bapakku bekerja di Hong Kong, TKI."

295


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

"Oh..." Pardi menatapku tajam. Kepalaku berdenyut penuh keraguan terhadap iktikad baik Pardi. Untuk bersikap kurang ajar kepadaku, rasanya tak mungkin. Pardi Sunta adalah pemuda tampan. Tubuhnya atletis, berkulit bersih. Ia rajin menjemputku sepulang sekolah. Rumahnya berjarak lima petak sawah dari rumahku. Sekolahnya terletak lebih jauh dari sekolahku, jika berangkat atau pulang ia pasti akan melewati sekolahku. Kadang-kadang ia menungguku di pintu gerbang sekolah. Ia sengaja mengajakku pulang bersama-sama. Suara jengkerik dan rerimbunan pohon tertiup angin menggigilkan senyap yang semakin malam semakin mencekam. Aku tak tahu harus berkata apa pada lelaki ini. "Zainab, anak tunggal? ucapnya membuka obrolan. "Iya Mas. Kata Ibu aku pernah punya kakak, tapi meninggal dalam kandungan." "Oh..." Ia terdiam. Matanya menerawang, sebentar-sebentar ia menatap arlojinya. "Apa Ibumu tidak marah aku ke sini, Nab?" "Biasanya marah. Ibu tak senang aku bergaul dengan lakilaki, Ibu terlalu sayang padaku." Sahutku gugup. "Kalau begitu aku pulang saja ya? Aku tak mau kamu ada masalah dengan Ibumu." "Terimakasih Mas." antara lega dan menyesal aku mengucapkan kata itu.

296


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Terdengar suara selop Ibu yang diseret, membuka pintu pagar. Rasanya hari belum terlalu larut, tetapi mengapa Ibu sudah pulang? "Naaab! Zainab! Ada tamu? Tamu Ibu?" terdengar suaranya yang serak. Aku tersentak, tahu Ibuku akan marah! Bisa-bisa aku ditamparnya di depan Pardi, lalu menjambak rambutku dan mengusirku dari ruang depan agar segera ke dapur, dengan cacian yang lebih sadis dari biasanya. Sudah tiga kali aku mengalami kejadian serupa. Dulu Sudiono, teman SDku, lalu Fransiskus, siswa SMP Katolik di kota, lalu Pambudi, tetanggaku di dusun sebelah. Oh, jangan terjadi lagi yang ke empat! Palu besar mengetuk-ngetuk rongga dadaku keras sekali! Segera kubukakan pintu dengan jantung seakan mau copot! Wajah Ibu tersembul penuh senyuman. Baru kali ini kulihat Ibu tersenyum. Meski senyum itu bukan untukku. Oh, betapa cantiknya! Pardi berdiri hendak menyalami Ibu. Ibu tampak ramah, memasang senyumnya tanpa melepaskan genggaman jabat tangan Pardi, Ibu menatapnya tak berkedip. Palu di dadaku berhenti mengetuk. Kini dadaku menyemburkan api. Aku tahu arti tatapan Ibu! "Hm, siapa namamu anak muda?" "Pardi, Bu. Saya di SMA dekat sekolah Zainab." "Oh... Dekat sekolah Zainab? Sudah lama di sini? Ayo, silakan duduk. Maaf, Ibu ke belakang dulu ya?"

297


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Pardi tersenyum, aku tersenyum, sementara api di dadaku meletup-letup, tubuhku melunglai. Ibu berlalu dari hadapan kami. Gerakan tubuh Ibu yang gemulai meninggalkan aroma macam-macam. Aku tak hafal aroma itu. Entah parfum, atau minuman beralkohol, atau keringatnya yang wangi! Pardi duduk kembali dengan mimik wajah salah tingkah. "Sstt, Zainab! Rasanya aku sering melihat Ibumu di sekitar kota, dekat pasar Permai. Aku sering membuntuti Pak Imam, Pakdeku jika disuruh Budeku. Ibumu hebat!" "Pasar Permai? Mungkin toko Ibu di situ...?" Pardi meletakkan telunjuknya di bibirnya. Aku terdiam dan bingung. Ibu punya toko di dekat pasar Permai. Apa yang membuat Pardi menjadi penuh rahasia? "Aku pamit ya. Sudah malam." Ucanya mengejutkanku. "Salamku buat Ibumu. Pasti beliau kenal Pak Imam, itu langganan Ibumu." Pardi tersenyum penuh arti. Bukan sesuatu yang menarik hatiku, tetapi lebih menyerupai seringai yang membuat tubuhku kian mendidih. Segera kututup pintu.Deru motor Pardi meninggalkan kebingungan di kepalaku. Ibu bekerja di Sarkem. Sejak malam itu Pardi tak pernah lagi menjumpaiku. Hingga aku tamat sekolah. Mungkin ia malu berteman denganku. Ibu juga jarang ke luar rumah. Ia hanya sesekali ke pasar. Aku pun jarang dipukulinya 298


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lagi. Ibu tampak lebih pendiam dan bermulut manis. Beberapa kali sudah kupergoki Ibu menyimpan lelaki di kamarnya. Aku tahu dari tawa dan desahan mereka. Ah, sebatang palu besar mengetuk rongga kepalaku. Kujambak rambutku demi meredakan ketukan palu itu. Bibirku gemetar, gigiku gemeretak. Aku tertidur kelelahan.Tugas mata kuliah psikologi belum kukerjakan, aku enggan dan masa bodoh.Lelah. Bahkan nyeri di kepalaku kian tak tahu diri, membabi buta membayangkan kekasihku bertindihan dengan Ibu di kamar sebelah. Tawa lelaki itu jelas terdengar, persis seperti ketika Pardi sedang menggodaku sambil bersepeda saat pulang sekolah. Aku sering mendengar Ibu merintih menyebut namanya. Pagi mengatup gelisah, menggigil sepi. Aku tersendatsendat mencari handuk, matahari seakan hendak kuusir agar tak muncul di Timur. Aku bangun terlambat, artinya aku tak akan masuk kuliah. Aku bersyukur tak mendengar teriakan Ibu menyuruhku bangun dan memasak untuk sarapan. Selembar keset memerah darah di pintu dapur. Sekawanan polisi datang menggotong tubuh Ibuku yang bersimbah darah. Aku terpaku dalam tatapan polisi yang memborgol kedua tanganku. Ada tawa yang menggaung di kepalaku, seperti tawa kemenangan. Ibu sudah mati! Telapak kakinya, oh, tak ada surga di sana! Januari 2011 299


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Christine Comyn (Tielt, Belgica, 1957) | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Pencurian Apel Miljenko Jergovic Published Š Suara Merdeka, Minggu 05 Agustus 2012

Cerpen ini diambil dari kumpulan Sarajevo Marlboro karya Miljenko Jergovic, terbitan Archipelago Press (2004). Miljenko Jergovic lahir di Sarajevo pada 1966. Ia seorang penyair dan wartawan yang menulis untuk koran harian Oslobodjenje. Selain Sarajevo Marlboro, ia telah menulis lain kumpulan cerita serta dua novel: Buick Riviera dan Mama Leone. Karyanya telah diterjemahkan secara luas di seluruh dunia. Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Bosnia ke bahasa Inggris oleh Stela Tomasevic dengan judul “Theft�. Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Saroni Asikin.

301


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DI TAMAN kami, ada sebatang apel yang buahnya menerbitkan air liur siapa pun yang melihatnya dari jendela di lantai dua rumah tetangga kami. Tetangga kami, Rade dan Jela, sering pergi membeli apel di pasar untuk kedua anak perempuan mereka. Tapi itu sering tak berarti buat mereka. Selezat apa pun apel-apel yang dibeli tak akan lebih menggiurkan dari yang terlihat dari jendela rumah keluarga itu. Tiap pagi, begitu Rade dan Jela pergi bekerja, kedua anak mereka akan melompati pagar taman untuk memetik apel yang sudah sangat ranum. Biasanya aku mengusir mereka dengan melemparkan bongkahan lumpur atau batu. Singkatnya, aku mempertahankan propertiku, lantaran alasan prinsip dan bukan karena terganggu atau lebih-lebih karena telah kehilangan apel. Sebagai balas dendam, gadis yang lebih muda mengadu pada ibuku bahwa nilai matematikaku “F�. Walhasil, secara tak terduga ibuku datang ke sekolah dan membuktikan sendiri kebenaran pengaduan musuhku itu. Beberapa hari berikutnya, dia menyiksaku dengan persamaan kuadrat. Semua urusan tentang xs dan ys itu bikin hidup serasa tak punya toleransi, jadi aku memutuskan akan membuat perhitungan dengan tetanggaku itu, semampuku, apa pun caranya. Inilah yang kulakukan: aku menemukan tempat bersembunyi di taman dan sepanjang hari menanti kedatangan para 302


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pencuri itu. Akhirnya mereka muncul, seperti perkiraanku. Aku segera melompat dari rerimbunan dan menangkap salah seorang dari mereka dengan menggaet rambutnya dan segera membawanya ke rumah kami. Rencananya aku akan menguncinya di lemari makanan hingga ibuku pulang dari tempat kerja dan memberinya hukuman. Tapi gadis kecil itu melawan mati-matian, berteriak-teriak dan memukul-mukul. Pada akhirnya dia lolos juga, hanya meninggalkan di tanganku sejumput rambut dan sesayat kecil kulit kepalanya. Aku ketakutan, menghambur masuk rumah, dan mengunci pintu. Sesaat kemudian, aku dengar Rade berteriak-teriak dari jendela rumahnya bahwa dia akan membunuhku. Dia juga melancarkan ancaman berulang-ulang pada ibuku yang membalasnya dengan tak kalah sengit. Seperti yang sudah diperkirakan, mereka melancarkan umpatan-umpatan dari jendela selama tiga atau empat jam. Ibuku menyebut Rade gangster dari Kalinovik. Dia menyebut ibuku wanita jalang yang tak tahu malu.

SELAMA 20 tahun berikutnya, mereka tak pernah bertegur sapa, meski aku bilang, dua gadis bersaudara itu tak lagi datang untuk mencuri. Setiap tahun, Agustus dan September datang dan berlalu, dan apel-apel semakin terlihat indah dan menggiurkan, tapi dua keluarga yang tinggal berdampingan

303


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tanpa saling berhubungan, bahkan untuk sekadar bersitatap sekilas. Orang tuaku menua tanpa melupakan umpatan-umpatan keluarga Rade. Saat kedua gadis itu menikah dan pindah tempat tinggal, suasana di antara kami tetap sama. Beberapa hari setelah perang dimulai, polisi mendatangi flat Rade dan Jela dan menemukan dua senapan berburu dan sebuah senjata otomatis. Tentu saja para tetangga lain jadi panik. Mereka mulai berspekulasi tentang siapa yang sedang diincar Rade untuk dibunuh, dan bagaimana caranya. Selama beberapa tahun dia memang tak keluar dari rumahnya. Selama itu, apakah dia sedang memancing calon korbannya ke dalam sebuah jebakan? Jela masih selalu ke pasar untuk mengambil ransum bantuan dan air hingga suatu hari sebuah bom meledak 10 yard dari dirinya, dan membuatnya kehilangan sebelah tangan. Tragedi itu membuat Rade keluar rumah agar bisa berkomunikasi dengan orang lain. Untuk kali pertama sejak bertahun-tahun lamanya, para tetangga melihat sosok Rade secara nyata. Hanya dalam beberapa bulan saja dia tampak menua, dan lebih menyerupai lelaki berusia 100 tahun saat dia berjalan membawa sepanci kecil sup dan tiga lemon kisut. Dia mengunjungi rumah sakit sekali sehari, dengan mata menatap tanah saat berjalan, seolah-olah takut berjumpa dengan orang lain. 304


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Selama perang pecah di bulan September, pohon apel kami memunculkan buah yang terasa lebih ranum dan lezat dari yang sudah-sudah. Ibuku bahkan berseloroh, pohon apel terakhir yang buahnya paling lezat hanya tumbuh di Taman Eden. Aku memanjat pohon apel, dan dari cabang tertinggi aku bisa melihat posisi pasukan Chetnik di Pegunungan Trebevic. Sambil bergelayutan, aku petik lusinan apel dengan antusiasme serupa Scrooge McDuck yang melempar-lempar uang ke udara dari kubahnya. Ketika aku sampai ke tempat apel di ranting yang jaraknya hanya setengah yard dari jendela rumah Rade, tak hentihenti aku berusaha mencari keberadaan lelaki itu di dalam kamarnya. Aku gemetar saat bergelayutan pada cabang pohon ketika mendadak Rade beringsut. Aku tak tahu kenapa tapi saat itu aku tak ingin dia berlalu dari tempatnya. “Apa kabar, Paman Rade?” “Hati-hati, Nak, kau terlalu tinggi. Jangan sampai jatuh….” “Bagaimana kondisi Bibi Jela?” “Baik, dia sedang berjalan-jalan dengan satu tangannya agar dia tetap merasa masih hidup. Para dokter bilang dia akan segera keluar dari rumah sakit.” Kami bercakap-cakap dalam situasi seperti itu, hanya selama dua menit tapi kurasakan begitu lama. Dengan satu tang-

305


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

an memeluk cabang, satu tangan lagi mencengkeram tas penuh apel. Mendadak aku kalut diliputi perasaan mual, dan itu pasti lebih buruk dari tragedi ledakan bom atau penemuan senjata di rumah orang. Dalam keadaan bergelayutan di pucuk pohon apel yang berhadapan dengan jendela rumah Rade, segala yang kuketahui tentang diriku sendiri dan orang-orang sekitar seolah-olah tak lagi berarti. Rade melanjutkan omongannya, “Kau tahu, Nak, kalau kau kehilangan sebelah tangan, kau akan selalu merasakan kehilangan itu dalam waktu yang lama. Ini persoalan psikologis. Kau akan berusaha menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa seolah-olah kau masih memiliki bagian tubuh yang hilang itu. Setiap hari aku memasak sesuatu yang bisa kubawakan untuk istriku, tapi sebenarnya sudah tak ada lagi kehidupan di situ. Aku selalu melihat ke sup kacang atau sup bening, lalu melihat ke istriku dan berkata, ‘Jela!’ tapi dia tak merespons. Lalu dia bilang, ‘Rade!’ dan aku pun tak merespons. Kau paham, Nak? Kami masih hidup hanya dengan cukup saling bertemu satu sama lain dan hanya untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya kami tak lagi punya kehidupan. Begitulah. Kadangkala aku melihat apel-apel itu dan kagum pada kehidupan yang tersimpan di dalam buah-buah itu. Mereka tak peduli pada semua ini. Mereka tak paham. Aku bahkan tak berani menganggap mereka.” 306


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aku menjulurkan badan ke jendela dan mengangsurkan tas apel. Dia memandangku, agak terkesiap, lalu mulai menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendadak tenggorokanku tercekat. Ketercekatan itu semakin hebat manakala aku ingin menggerakkan bibirku. Selama setengah menit aku merasa lumpuh. Andai pasukan Chetnik mencariku, mereka pasti akan sangat kebingungan. Rade terlihat gemetar seperti seorang lelaki yang tak memiliki apa pun. Dia bahkan lalu menggigil bagaikan binatang yang ketakutan dan bersedih. Pada hari berikutnya, Rade mengetuk pintu kami sambil mengucapkan ratusan kata maaf karena menganggu kami. Dia memberi kami sesuatu yang terbungkus kertas koran dan meninggalkannya dengan tergesa-gesa sehingga aku tak punya kesempatan berbicara padanya. Bingkisan itu berisi setoples kecil selai apel. Tak lama setelah itu, Jela keluar dari rumah sakit. Suami dan istri itu kembali lagi hidup di dalam rumah dengan jendela tertutup. Rade hanya berani keluar untuk mengambil ransum bantuan. Suatu hari, saat berdiri berjajar dengan ibuku, dia membisikkan kata “Terima kasih� padanya. Ibuku membalikkan tubuh tepat saat mendengar Rade berkata, sekali lagi, bahwa apel-apel kami itu menyimpan kehidupan.

BEBERAPA bulan berikutnya, serombongan orang berseragam yang menyandang senjata mendatangi Rade dua kali, 307


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

membawanya ke suatu tempat dan kemudian mengembalikannya. Para tetangga menyaksikan kedatangan dan kepergian misterius itu dengan menyingsingkan kain gordin, dan kadangkala mengintip lewat lubang kunci. Mungkin karena merasa bersalah, mereka berusaha mengingat-ingat soal senjata-senjata yang disembunyikan Rade. Setengah lusin gossip kembali beredar bahwa kemungkinan Rade ingin membunuh seseorang. Yang lainnya hanya bergeming, seolah-olah menggunjingkan tetangga mereka akan membuat yang digunjing sakit hati. Dan yang jelas terlihat adalah mereka ingin mengambil sikap membenci Rade, tapi bagaimanapun itu tak mungkin. Tak seorang pun tahu siapa yang membunuh Rade dan Jela. Mereka menghilang suatu hari, diam-diam dan tanpa penjelasan. Mungkin yang akan kukatakan ini keliru, tapi aku hanya ingat dua hal berkenaan dengan Rade yang malang: selai apelnya dan fakta bahwa tak sekali pun, bahkan di malam kelam, dia berusaha menjulurkan tubuh dari jendela untuk mencuri sebutir apel. .

308


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Claude ThĂŠberge | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Memeluk Sepi Danau Toba Tova Zen Published Š Sumut Pos, Minggu 05 Agustus 2012

310


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Langit yang tadinya masam dalam kelabunya mendung, tibatiba muntah mengeluarkan ribuan gerimis air serupa jarum yang menusuk bumi. Di tengah hujan yang kian pongah menumpahkan ribuan kubik air dalam sekali guyur, sosok gadis bertubuh mungil terus mengayuh sampan menuju tengah danau.

TUBUHNYA menggigil, giginya gemelatuk, dan bulu romanya kian merinding di tusuk dingin. Tangan mungilnya menyebar jala, menangkap ikan

di tengah Toba, tapi ribuan ikan

tak mau di bodohi untuk masuk dalam perangkap jalanya. Hanya teri-teri tolol yang masuk perangkap jalanya. Kali ini kerja kerasnya harus di bayar kehampaan. Seharian mengapung di tengah Toba, bahkan hingga hujan mengguyur, tangkapannya masih lah teri-teri yang meloncat-loncat di atas perahu sampannya. Namanya Rohana. Gadis kumal berkulit langsat. Hidupnya tak lebih sebagai pesuruh yang selalu patuh. Saat tubuhnya di rejam rasa letih, Rohana terduyung-duyung mengayuh sampannya untuk menepi. Danau Toba adalah teman sejatinya, yang mendengarkan setiap keluh dan kesahnya. Saat sepi memeluk erat jiwanya, Toba datang menawarkan berjuta keindahan dalam silau biru airnya. Dengan terampil ia tarik sampannya ke darat dan ia ikat sampan itu di sebatang pohon. Pohon itu hanya mengangguk dalam hempasan angin malam ser311


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ta siraman hujan, rasanya pohon itu selalu menunduk sedih melihat derita hidup Rohana. Kadang pohon itu menangis dengan rontok daun yang berguguran, saat Rohana bersandar di batangnya yang kokoh sambil berleleran air mata. Malam ini sang pohon berharap Rohana tak lagi menangis, agar daun-daunnya tak jatuh dan membuatnya gundul. Bagaimana bisa sang pohon tak di rundung sedih, saat melihat sepasang mata bocah kecil yang berkaca-kaca pilu, lalu serpihan kaca yang keluar dari pelupuk mata bocah itu menggelinding dan pecah bercipratan di akar-akarnya. Kadang Rohana menangis menggerung-gerung sambil memeluk batangnya. Anak kecil yang malang dan sebatang kara. Saking malangnya, pohon itu pun rela menjadi ibu bisu baginya. Di danau itu lah Rohana memeluk sepi, bercengkrama dalam riak airnya, dan bergelut dalam gelombang teduh arusnya. Langit masih murka, bahkan kemurkaannya semakin menjadi-jadi dengan melontarkan umpatan petir yang berteriak keras membelah malam dalam dentum keras guruhnya. Kian terseok-seok tubuh Rohana yang terus menggigil kedinginan. Langkahnya terseret-seret dalam becek tanah Samosir. Tangan kanannya menggenggam gagang ember yang berisi ikan kecil hasil tangkapannya. Langkah Rohana terhenti di depan pintu. Ya, itu adalah rumah majikan Rohana. Majikan yang merasa punya hak memperbudak Rohana, kerena sejak orok dia lah yang memberikan suapan nasi pada Rohana. Pak Rojaya 312


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

namanya. Seorang pemalas yang hanya mengandalkan perasan keringat dari anak buahnya dan Rohana merupakan salah satu anak buahnya. Dalam guyuran hujan yang tak henti menderas, tangan kecil Rohana mengetuk pintu kayu. Ingin rasanya

ia

segera

meringkuk

dalam

kehangatan

kamar.

Pak Rojaya muncul, badannya yang tinggi besar seperti raksasa yang siap menelan hidup-hidup tubuh mungil Rohana. Kumis tebalnya ia plintir, dan matanya menyipit tajam memandang isi ember yang di bawa Rohana dengan tangan gemetar di gigil rasa dingin. “Plakk”. Sekali tampar langsung membuat tubuh Rohana terlempar jatuh ke tanah becek. Tubuhnya kian kotor seperti kerbau yang berkubang di becek lumpur. Ember dalam ganggaman tumpah, di sambung langkah pak Rojaya yang menendang ember hingga melayang di tengah hujan. “Brakk”. Ikan kecil yang dikumpulkan dengan tetes keringat berjingkrat-jingkrat di becek lumpur. “Kemana saja kau seharian ini Rohana, ha! Aku menyuruhmu mencari ikan tawes, mujair, gurameh. Eh! Kau malah mencari kecil ini. Tak punya otak kau bocah! Kalau saja istriku tak memungut kau yang digenangkan di tengah Toba saat kau orok dulu. Mana sudi aku rawat kau, jijik aku liat kau itu. Palingpaling kau anak jadah, yang di buang ibu kau yang selingkuh dengan manusia setan! Anak setan kau! Pergi sana! Jangan masuk ke rumahku”. Perkataan Rojaya sangat kasar, melebihi umpatan preman pasar. Bahkan di telinga Rohana, suara keras 313


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pak Rojaya lebih keras dari pada guruh. Sungguh suara pak Rojaya bukan hanya kasar, tapi tajam dan mengiris-iris hati kecil Rohana. Andai saja istri Rojaya masih hidup, mungkin Rohana akan mendapatkan perlindungan darinya. “Oh, ibu! Aku kangen sekali padamu bu�, pekik Rohana lirih saat bangkit dari becek tanah. Namanya ibu Tukena, istri pak Rojaya yang telah memungut tubuh bayi Rohana dari dalam kardus yang digenangkan di tengah Toba. Rasa sayang Tukena pada bayi yang di pungutnya dari Toba, sungguh amatlah besar. Bahkan nama Rohana di ambil dari nama yang mirip sekali dengan suaminya, Rojaya. Saat Rohana berumur dua tahun, ibu Tukena melahirkan anak pertama yang mengakhiri hidupnya dalam persalinan. Pak Rojaya merasa ini adalah kutukan yang dihantamkan padanya. Pak Rojaya merasa anak yang di pungut istrinya pembawa sial, dan sejak itu rasa sayang pak Rojaya pada Rohana berubah murka. Rohana tahu bahwa dirinya lahir dari Toba. Bu Tukena sering bercerita tentang asal-usul Rohana dan secara jujur bu Tukena mengatakan pada Rohana bahwa dirinya bukan ibu kandungnya, tapi kasih sayangnya menyamai ibu kandung. Tukena bercerita merdu pada tubuh mungil Rohana yang mulai bisa berceloteh kala itu, bahwa Rohana anak Toba. Sejak saat itu Rohana yang baru bisa berjalan mulai memahami kiasan dirinya yang berinduk ke Toba. Dalam kesepian hati dan kepilu314


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

an jiwa, danau Toba selalu bisa memeluknya hangat, seperti ibu Tukena yang dulu pernah menimangnya dalam gendongan. “Anakku sayang, anakku riang, tidurlah sayang, tidur dalam pelukan ibu Toba‌..â€?. “Braak!!â€?, pintu rumah di tutup rapat. Rohana bangkit berdiri, guruh kian bergelegar dan rasanya ia ingin sekali tersambar. Merasa hidupnya tiada arti lagi untuk bertahan. Tidak! Rohana selalu bisa menguatkan perasaannya. Bocah cilik itu punya seribu cita untuk

di perjuangkan. Mengubah nasib

yang tak pernah berbelas kasih padanya. Mengharap iba yang tak pernah mempedulikannya. Kini ia makin terlena dalam duka. Rindu memilin jiwanya, ia pun mendongak ke langit. Memandang muram langit masam yang masih muntah. Kini ia menangis dan langit pun serasa ikut menangis dalam derai derasnya hujan. Kepada siapa lagi ia ingin berpulang selain kepelukan ibu. Ibunya menunggu untuk memeluknya. Rohana pun mulai melangkah dengan menyeret kaki-kakinya, menuju ibu Toba yang sudi memeluknya dalam sepi. Kakinya menginjak-injak tanah becek, tangan kanannya memegang pipinya yang masih terasa panas menjalar kulit muka. Leleran air mata kian derasnya, bercampur dengan guyuran hujan yang membuat basah kuyub tubuhnya. Rohana masih berjalan menuju pohon di tepi danau toba. Kali ini pun ia ingin menangis di keheningan malam, dan akan merasa nyaman saat riak air Toba menjilat kakinya. 315


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sesampainya di pohon besar itu, Rohana duduk di akarakar yang telah lama menyembul ke permukaan tanah. Sang pohon tahu, kali ini ia akan melindungi si bocah dalam keteduhan dedaunannya yang rimbun. Rohana tidur meringkuk di cekungan akar pohon, menangis sesegukan sambil memeluk erat kaki-kakinya. Sampan yang ia ikatkan pada pohon kini berisi penuh air hujan. Andaikan tak hujan, pastilah Rohana mengayuh sampannya untuk datang ke pelukan ibu Tobanya itu. Malang, malam ini hujan begitu deras, ia pun harus dipeluk sepi dalam dinginnya hujan, dan dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh gelegar langit. “Kak…kak Rohana”, suara samar membuat Rohana membuka kelopak matanya. Dalam samar di kegelapan malam ia melihat bocah cilik berpayung di tengah hujan tak jauh dari tempatnya meringkuk. Bocah cilik itu menenteng plastik di tangan kirinya. “Kak, ini aku bawakan makanan untuk kau”. Suara polos bocah itu menyejukkan hati Rohana. Barulah ia tahu, bahwa sosok kecil yang datang menghampirinya adalah Rohman, adiknya dari rahim ibu Tukena. Mata Rohana berbinar melihat kepolosan sang adik terhadapnya. Rohman masih kecil, tapi seperti tahu belas kasih ketimbang Rojaya yang tua bangkotan yang tak mengenal rasa kasih.

316


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Rohman membuka bungkusan plastik yang berisi segenggam nasi dan seongok ikan asin. Dengan lahap Rohana melalap habis makanan yang tak seberapa itu. Rohman tersenyum simpul melihat rona kebahagiaan di wajah kakaknya. “Kak, besok aku ikut kau ya ke Toba. Aku ingin menjala ikan kayak kau”. Rohana menatap polos wajah Rohman. Mulutnya masih berjubal nasi yang ganas ia kunyah. “Jangan dik, nanti ayah kau itu marah lagi sama kakak”. Rohana mulai mengusap rambut adiknya dengan sayang. “Tapi kak, aku ingin seperti kau yang gigih menjala ikan. Aku ingin mendayung

di tengah Toba kak”.

“Rohman, adikku. Kakak masih punya tujuan hidup yang mesti kakak perjuangkan. Kakak terlalu sedih di sini dan Toba selalu mendamaikan hati kakakmu ini. Mungkin kakak harus pergi merantau ke Medan”. “Kakak mau pergi dari rumah bapak ya? Lalu siapa yang mau Rohman ajak main kak. Aku tak suka bapak. Kadang mabuknya sering kumat dan aku sering digampar juga kak”. Rohana memeluk Rohman dengan sayang. “Dik, kakak mengerti. Pak Rojaya masih sayang padamu dik, kau anak kandungnya. Beda denganku yang hanya anak Toba. Kau akan baikbaik saja bersama ayahmu itu”. “Kakak mau pergi ya?”. Rohana mengangguk. “Kakak sayang kau, dik. Kakak akan kembali membawa jajan dan mainan untuk kau. Kakak juga akan sering-sering 317


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

menjenguk kau, dan kita bercengkrama lagi di tepi danau Toba ini�. Rohman menatap wajah kakaknya yang berkaca-kaca. Tiba-tiba tangan mungil Rohman mengusap air mata Rohana. “Kakak jangan menangis lagi ya�. Lagi-lagi Rohana hanya mengangguk. Ternyata di dunia ini masih ada orang yang menyayanginya, selain ibu Toba dan pohon tua ini. Rohman berdiri dan melangkah pergi dengan berpayung. Kecipak-kecipuk bunyi becek tanah yang di pijak kaki kecil Rohman. Rohman menoleh ke arah Rohana, dan tangan kecilnya melambai ke Rohana. Lagi-lagi Rohana menangis, kali ini ia menangis haru dengan perhatian yang polos dan begitu tulus dari seorang bocah kecil macam Rohman. Keesokan paginya, langkah kecil mendatangi pohon tua di pinggir Toba. Sinar pagi menerawang menembus dedaunan pohon. Mata kecilnya terpanah rindu saat menatap kosong sampan yang terikat di pohon. Bocah kecil itu tak lain adalah Rohman yang menunggu setiap fajar dengan duduk di sampan Rohana. Berharap kakaknya datang kembali padanya. Kakaknya yang penuh sayang terhadapnya, kakaknya yang menjadi teman bermainnya, dan kakaknya malang yang selalu memeluk sepi danau Toba.

318


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Alberto Pancorbo | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Budak Hitam Ahmad Moehdor al-Farisi Published Š Tabloid Nusa | Edisi Ke-3 | Agustus 2012

320


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

KHAROM mengamuk. Budak yang selama ini melayaninya, memenuhi semua permintaan, juga mengimani sesembahan dalam agamanya, kini beralih pandang pada kepercayaan lain. Seperti orang kalah judi, Kharom membentak sambil menggebuki Majid dengan sabilah kayu yang besar, seukuran lengan. Suaranya mengundang warga untuk menyaksikan kekejihanya. “Jahannam! Berani-beraninya Kau mendustakan ajaran kita. Ini pasti ulah Kyai bajingan tengik. Sudah saya bilang, jangan sekali-kali berbicara dengan bajingan itu. Mulut Syakur adalah sihir, siapa pun akan mengikuti apa yang dibicarakanya. Sekarang Kau yang jadi tumball selanjutnya. Keluar Kau dari kepercayaan Syakur atau akan kuremukkan tulang-belulangmu?!” Dengan keras Kharom menghantamkan kayu yang ada di tangan kananya. Tepat mengenai hidung dan lengan Majid. Darah segar mancur dari kedua lubang hidung Majid, sedang tangan kirinya menggenggam erat lengan kanan, menahan rasa sakit. “Tidak! Demi Zat yang Maha Kuasa aku tidak akan meninggalkan agamanya,” Jawab Majid dengan nada tak kalah keras dengan suara Kharom. Suaranya bergemuruh di gendang telinga yang menyaksikan. Menelusup robek-robek jantung dan hati yang selama ini mereka kotori dengan sesembahan keji. “Biar pun tulang-tulangku remuk, biar pun darahku terkeruk, bi-

321


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ar pun sekalian nyawaku Kau cakar-cakar, aku tidak akan meninggalkan ajaran Kyai Syakur.� Lanjut Majid tanpa bimbang. “Heh, apa Kau bilang, Kau tidak akan meninggalkan ajaran Syakur bajingan itu? Sampai tulangmu remuk? Sampai nyawamu kucakar-cakar?� Mata Kharom membelalak. Mekar memerah, seperti srigala yang lapar. Giginya menggerutu. Tiga pukulan kembali ia daratkan tepat di lengan, bahu, dan kaki Majid. Dalam waktu sekejap sabilah kayu Kharom berlumuran darah. Orang-orang yang mengerumuni bergemuruh menyaksikan kekejian Kharom. Bulu kuduknya berdiri, merasa ngeri melihat tubuh Majid yang babak belur. Matahari yang berangsur merangkaki celah-celah ranting pohon mangga yang berbaris, mulai menulusup ke celah kerumunan warga dan menyirami wajah Majid yang terbaring di pelataran rumah Kharom. Seraut wajah yang hitam, dengan tubuh kurus telanjang dada, lelaki berumur mendekati setengah abad itu sejak masa kecilnya tidak ditemani siapapun. Ia hidup sebatang kara sejak kedua orang tuanya meninggal dunia. Kedua saudaranya telah menghilang, entah kemana. Ia sendiri tidak tahu kenapa setelah kedua orang tuanya meninggal, saudara-saudaranya juga ikut menghilang. Terakhir ia mendengar kabar bahwa kakak perempuanya menjadi korban birahi para lekaki hidung belang, dipadang ilalang. Sepuluh lelaki berkulit hitam, pedagang dari kampung sebelah, memergoki kakak perempuanya yang tengah 322


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

merenung di padang ilalang. Tak banyak tingkah, sepuluh lelaki yang birahi melihatnya langsung menyantap keperawanan kakaknya. Digilir hingga nafsunya tergelintir dalam kenikmatan yang tak bisa diukir. Sedang kakak pertamanya hilang tanpa jejak. Tak satu pun yang tahu kemana ia pergi. Sejak itulah Majid mulai pasrah dalam hidup yang susah. Sampai matahari naik sepenggalah, Majid belum juga sadarkan diri. Orang-orang bingung. Mereka yang menyaksikan hanya bisa menunggu tak berani menolong Majid. Kharom mengancam siapa yang menolongnya akan menerima perlakuan yang lebih kejam dari apa yang terjadi pada Majid. Karena Kharom adalah penggede di kampung itu, maka tak seorang pun yang berani bertindak menolong Majid. “Ayo kita pulang saja. Apakah kalian tidak melihat para budak-budak Kharom yang berdiri di depan pintu itu? Apakah kalian tak eman jika leher kalian ditebas dengan golok yang dipegangnya itu? Ayo kita pulang saja.” Celetuk salah satu warga. “Sungguh kau tega membiarkan orang yang disiksa seperti ini. Dimana jiwa kemanusiaanmu? Dimana rasa jiwa persaudaraan yang telah diajarkan oleh nenek moyang kita? Sungguh tega benar, Kau, meninggalkan Majid tersiksa seperti ini.” “Salahnya sendiri, siapa yang nyuruh mengikuti perkataanya Syakur?” Sambung warga tadi membela diri. 323


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Apakah salah jika Majid mengimani apa yang diimani Syakur?” Warga yang nyeletuk tadi terdiam, yang lain menatap kearah bocah yang membela Majid. “Bukankah dalam kepercayaan kita diajarkan kebebasan? Siapa pun bebas melakukan apa saja. Mengimani ajaran Syakur kek, mengimani ajaran nenek moyang kek, atau bahkan tidak mengimani salah satu diantaranya. Jadi tidak salah jika Majid mengimani ajaran Syakur.” Hampir semua kepala mengangguk pertanda membenarkan ungkapan bocah itu. Memang di kampung tersebut, bocah itu terkenal akan kecerdasanya. Dia mempunya kelebihan dari bocah-bocah yang lain. Bahkan pola fikirnya melebihi pola fikir orang-orang dewasa. Sejenak semua terdiam, kemudian ada salah seorang yang berkata, “Lantas apakah yang harus kita lakukan? Menolongnya?” “Itu kalau kalian masih memegang teguh prinsip ajaran nenek moyang kita.” “Tidak. Ayo kita pulang. Menolong Majid sama saja menjemput maut.” Tolak seorang wanita tua. “Persetan dengan ajaran kita. Ayo kita pulang. Biar Majid sendiri yang menanggung semua ini.” Celetus pemuda bertubuh kekar yang melangkah meninggalkan kerumunan. Ternyata langkah pemuda itu memancing yang lain untuk mengikuti. Hanya bocah tadi dan dua pemuda yang tertinggal, masih terdiam memandang Majid yang terkulai. 324


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Sekarang apa yang harus kita lakukan, wahai Saudaraku?” Tanya seorang pemuda pada si bocah. “Hanya satu jalan yang bisa kita lakukan untuk menolong Majid.” “Apakah itu, Saudaraku?” “Membelinya.” Kedua pemuda itu memandang kearah si bocah. Mulut, mata, semuanya terbuka. Melongo, kaget mendengar solusi yang disampaikan si bocah. “Membelinya?” Tanya mereka datar dan serempak. Mereka kembali terdiam, memandang kosong kearah si bocah. Kemudian salah seorang berucap, “Kita bukanlah termasuk golongan yang mampu memberi budak milik Kharom. Biarpun semua harta kita dikumpulkan menjadi satu, tetap saja kita tidak akan mampu.”

SI BOCAH mengganggukkan kepala

membenarkan

ucapan itu. “Jika demikian, kita tidak akan bisa menolong Majid. Selamanya. Hanya cara itulah yang bisa mengangkat Majid dari penderitaan ini.” Hari semakin dewasa. Matahari terus memercikkan cahaya melalui ranting-ranting mangga, menyirami kulit orang-orang yang berfikir bagaimana cara menolong Majid. Sama, Majid belum saadarkan diri. Pukulan yang dihantamkan Kharom sungguh keras hingga menjadikan Majid pingsan, tak sadarkan diri 325


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

hingga saat ini. Angin pelan mengibaskan ranting mangga. Menyingkap jobah yang dipakai si bocah juga yang lainya. Rambut Majid yang kering bergerak lemas. “Kalau begitu kita panggil saja Syakur, minta untuk membelinya.” “Iya, benar. Syakurlah yang harus membelinya. Bukankah karena dia Majid seperti ini?” “Kalau begitu ayo kita cari Syakur.” Si bocah terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mengikuti perkataan dua pemuda itu atau cari jalan lain? Berangkatlah kedua pemuda tadi mencari Syakur. Si bocah tertinggal. Ia masih menatap Majid yang tergeletak terpanggang oleh sinar matahari. Entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah. Kedua matanya juga ingin terus memandang Majid. “Bukan Syakurlah yang bisa menolongnya,” Teriak si bocah hentikan langkah kaki kedua pemuda tadi. “Bukan Syakur yang bisa menolongnya.” Kata si bocah dengan melangkah setengah berlari menghampiri mereka. “Bukankah Syakur itu tak punya apa-apa? Tidak kah Kalian tahu bahwa makanan yang selama ini Syakur makan hanyalah buah mangga yang ia petik dari depan rumahnya? Dan tidakkah Kalian tahu bahwa nasi yang dimakan Syakur adalah nasi berian dari orang lain? Kalau seperti itu keadaanya, uang dari mana yang Syakur dapatkan utuk membeli Majid?”

326


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Seperti batu dari puncak gunung yang jatuh kelaut, berdebum pecahkan ombak. Perkataan si bocah memudarkan keinginan kedua pemuda untuk mencari Syakur. Mereka kembali dibingungkan oleh bagai mana cara menolong Majid. Mereka tak punya apa-apa, apalagi Syakur yang mampu merasuki pemikiran Majid. Seharusnya Syakur yang bertanggung jawab. Setidaknya membelinya atau apalah, yang penting ada rasa tanggung jawab untuk mengentaskan Majid dari penyiksaan ini. Hari semakin dewasa. Kaki yang tanpa alas itu mulai merasakan panasnya pasir yang bercampur kerikil. Keringat terlahir dari pori-pori mereka dan akhirnya pun memutuskan untuk pulang.

CUACA memanas. Matahari mendidihkan keringat, robohkan sepoinya angin yang berhembus kibaskan ranting-ranting mangga. Majid sadarkan diri. Jarinya bergerak. Kakinya bergerak. Matanya mulai membuka sedikit perlahan. Terpejam lagi, silaunya sinar matahari menekan mata Majid untuk kembali terpejam. Tapi Majid bersikokoh untuk tetap membukanya. Duh nasib, belum sempurna Majid duduk dari pembaringan, tibatiba Kharom datang mengahampiri dengan didampingi dua pengawalnya yang kekar lagi berwajah bringas. Cemeti di tagan kanan Kharom, dan dua tali di tangan pengawalnya. “Ou, ou, ou, rupanya kamu sudah sadarkan diri ya, Nak? Bagus, bagus, bagus. Bagaimana, apakah sudah ada keingin327


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

an untuk keluar dari ajaran Bajingan itu?” Tanya Kharom dengan mengelus-elus cemetinya. “Demi Dzat yang telah menciptakanku, juga dirimu wahai, Majikanku, sampai kapan pun aku tidak akan meninggalkan ajaran Kyai Syakur.” Jawab Majid dengan sempoyongan hendak beridiri. “Anjing!” Tendangan keras menghantam muka Majid. Majid terpelanting. “Masih kurangkah siksaan ini untuk mengeluarkanmu dari ajaran Bajingan itu? Anjing!” Mendaratlah cemeti Kharom sabeti tubuh Majid. Majid menjerit kesakitan. Menggeliat seperti ular yang terbakar. “Ikat dia dan seret keliling kampung.” Siang jahannam, penyaksian keji dalam perlakuan yang sewenang-wenang. Kharom berteriak-teriak sambil mensabeti Majid ke sekeliling kampung. Tak pelak, siang yang biasanya damaikan warga dalam peristirahatan, kini seperti dihantam badai. Orang-orang yang tertidur pulas dalam peristirahatan tibatiba harus dikejutkan dengan suara petirnya Kharom dan cemetinya. “Siapa yang berani mengikuti ajaran Syakur Anjing, keluarlah, tunjukkan mukanya padaku?! Akan aku robek-robek mukanya. Syakur adalah penyihir. Ia berusaha memecah-belahkan keimanan kita. Ia berusaha memalingkan kita dari Tuhan nenek moyang. Berhati-hatilah dengan mulut Syakur.”

328


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Dalam waktu sekejap, orang-orang telah berkumpul di depan rumahnya masing-masing, menyaksikan Majid yang diseret seperti kambing. Mereka merasa ngilu melihat Majid yang berkali-kali disabeti dengan cemeti. Berkali-kali pula pengawal Kharom menendangi, menginjak, dan meludahi. “Wahai anak-anak, kemarilah, ini ada mainan untuk kalian. Ambillah.” Kharom menyeru anak-anak warga untuk mengambil mainan yang dibawanya. “Ayo, kesinilah, ambillah mainan ini. Seretlah dia keliling kampung kita.” Seperti segerombolan ayam yang diberi pakan oleh peternaknya, anakanak berlarian menghampiri Kharom. Saling rebut mainan yang diikat dengan tali. “Ambillah, Nak. Seretlah ia keliling kampung kita.” Diseretlah Majid oleh anak-anak tersebut. Tubuh yang kering lagi hitam, tanpa pakaian, babak belur tergores kerikilkerikil tajam. Jalan-jalan membekaskan darah. Beberapa kerikil kecil menempel di tubuh Majid. Perutnya robek, mukanya seperti dicakar-cakar ayam jantan, darah segar tertinggal di jalanjalan. Lengkap sudah penyiksaan Kharom. Ia tersenyum sinis melihat Majid yang dilempar ketengah tanah lapang, tanpa pepohan, dan penuh bebatuan. Sedang matahari tak berdaya untuk menolongnya. Matahari tetap patuh pada kodratnya; kobarkan siang, memanggang tubuh Majid yang babak-belur. “Masihkah Kau bersikeras mengimani ajaran Syakur wahai Budak Hitam?” 329


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Laailaha illaalloh Muhammadarrosulullah...” Majid mendesah, tak mampu bergerak sedikit pun. “Iya-iya, saya beri kesempatan padamu untuk bernostalgia dengan Tuhanya Syakur.” Senyum tipis dan pahit Syakur guyurkan pada Majid. Kedua tanganya dilipat di dada. Kedua pengawalnya menampakkan wajah garam dengan memukulmukulkan kayu ke telapak kirinya. “Tidak, Allah bukan untuk bernostalgia. Dialah Tuhan pencipta alam semesta. Dialah Tuhan yang menciptakan manusia, juga termasuk nenek moyang yang kalian sembanh-sembah.. Syakur bukanlah anjing. Syakur adalah Kyai yang dicintai tuhanya. Engkaulah yang harus bernostalgia dengan nenek moyangmu dan Engkaulah anjing yang lebih angkuh dari pada anjing.” “Biadab. Matilah kau wahai Budak Hitam!” Langit bersaksi. Awan bersaksi. Matahari pun bersaksi atas kekejian Kharom. Angin, batu, juga tanah lapang bersaksi atas kekejian Kharom. Sebuah batu yang sangat besar lagi panas terbakar matahari di tindihkan ke dada Majid. Majid berteriak “Laailaha illaalloh. . . Laailaha illaalloh. . .” Majid tersenyum.

330


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Jane Whiting Chrzanoska | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Jibril di Kepala Afriani Ikal Hidayat Noor Published Š Tribun Jabar, Minggu 05 Agustus 2012

Ikal Hidayat Noor, lahir di Tuban, 29 Mei 1988. Menulis puisi dan cerpen. Saat ini aktif bergiat di komunitas menulis Forum Lingkar Pena Jakarta dan tinggal di Depok.

332


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

AWALNYA aku tak pernah mengerti mengapa Afriani, setiap kali melintas di Jalan Ridwan Rais, selalu menyebut patung sepasang petani itu sebagai patung Kristus dan Bunda Maria yang disamarkan. Akan tetapi, setelah kecelakaan maut pada Minggu terkutuk itu, segala hal ganjil itu tersibak. Pun ceritanya yang berulang-ulang tentang persembahan agung yang diminta Jibril kepadanya sebagai mahar sebuah nubuat.

SETELAH menandaskan sihir setengah butir pil ekstasi dan beberapa linting ganja di XXL Club yang dibalut hangat entakan musik seorang DJ itu, Afriani, yang kupastikan mengemudi sambil tertidur, memulai lagi racauannya tentang Jibril yang kembali datang dan menagih kesediannya untuk menjadi wanita pilihan. Jibril dan wanita pilihan? Aku yakin, kau pun akan menganggap perempuan yang sehari-hari sebagai asisten produser di sebuah production house itu telah kehilangan kesadarannya karena pengaruh obat-obatan. Tetapi akan lain ceritanya jika kau sudah pernah mendengarnya mengisahkan hal itu di saat ia benar-benar sadar, bersih dari pengaruh alkohol dan obatobatan apa pun. Iya, aku tak hanya mendengarnya sekali ini saja. Bahkan, sudah berkali-kali. “Kau pikir aku hanya membual? Hei, kepalaku taruhannya jika ternyata tawaran nubuat itu hanya omong kosong. Sungguh! Jibril sendiri yang datang kepadaku, dan.... 333


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Sudahlah, Sayang! Aku tak ingin mendengarkan cerita itu lagi, marikita bersenang-senang saja!” “Kau benar-benar tak percaya ceritaku? Oke, lihat saja, sebentar lagi aku akan menjadi wanita suci itu. Wanita yang dirahimnya kelak akan dititipi janin seorang Mesias. Juru selamat yang telah dinanti.” Akhirnya aku memilih diam dan pura-pura mendengarkan Afriani menuntaskan ocehannya, sembari terus mencoba untuk tenang karena wanita itu masih saja memejamkan matanya. Memacu mobil Xenia seperti seekor kuda terbang melajukan kereta kencana. Melesat. Tetapi ia memang hafal betul lekuklekuk jalan raya. Ia tahu pasti kapan harus belok, menikung, menaik-turunkan tuas kopling, dan mengatur gas. Bahkan, ia tak pernah telat satu detik pun menekan pedal rem di setiap lampu merah. Ia benar-benar seperti mendapat bisikan. “Ha-ha-ha. Kau tak perlu khawatir, Sayang! Jibril yang akan menanggung keselamatan kita. Tugasmu hanya satu, bangunkan aku jika kau melihat ada polisi lalu lintas menguntit kita. Kau tahu, Lucifer, iblis paling kuat, sering kali menyusup ke otak mereka.” Seperti biasa, Afriani seolah bisa membaca isi kepalaku.

ITU hari keduaku bersama Afriani, dan tiga teman lainnya, berburu kesenangan. Berpindah-pindah dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan lainnya. Mereguk berbagai macam minu334


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

man surga. Entahlah, seolah roh Dionisos telah merasuki kami. Pria tua bermahkota hedera itu seakan telah menjerat kami untuk tak henti-henti berpesta, menyesap setiap jengkal gemerlap Ibu Kota. Sebenarnya, saat itu kami sedang diminta seorang teman untuk membantu resepsi pernikahannya di sebuah hotel yang terletak tak jauh dari Lapangan Banteng. Tapi, toh, bisa dipasti-kan semua hal akan beres. Ada event organizer yang bisa dipercaya. Dan benar, semuanya berjalan lancar sampai acara selesai. Kami pun meneruskan pesta yang sempat tertunda. “Di diskotek tadi apa kau juga melihat Jibril? Apa kau juga sempat menyaksikan malaikat penyampai wahyu itu turut mengisap ganja denganku? Ha-ha-ha. Kau pasti tak percaya kalau melihat malaikat juga suka mabuk-mabukan....� Terus terang, sekali pun aku mencoba untuk tak mengacuhkan setiap kata yang berloncatan dari mulutnya dan berlomba memasuki gendang telingaku itu, aku selalu gagal, bahkan aku seperti dikutuk untuk mengingat setiap penggal huruf. Aku tak pernah bisa lupa cerita kekasihku itu tentang sepasang sayap hijau malaikat yang akan selalu membentang menaungi mobil. Maka, secepat apapun aku mengemudikan mobil ini, di jalan mana pun, dan dalam cuaca apa pun, tak perlu ragu, pastilah keselamatan akan menyertaiku. Begitu juga ceritanya tentang sepasang patung tugu tani yang menurutnya lebih mirip patung Kristus dan pangkuan Bunda Maria itu. 335


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Meski tak bisa melupakannya, bukan berarti lantas aku memercayainya. Bagiku patung pria yang mengenakan topi caping dengan senapan di bahunya dan patung wanita yang sedang mengulurkan segenggam nasi itu hanyalah patung biasa. Tidak lebih. Memang, buah karya Matvel Manizer dan Otto Manizer itu punya cerita. Patung tersebut adalah hadiah dari pemerintah Rusia kepada Indonesia. Konon, sebagai bentuk persahabatan kedua negara. Patung yang dibuat di Uni Soviet dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 itu terbuat dari perunggu. Sebuah plakat yang bertuliskan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya� ditempelkan di bawahnya. Sudah, hanya itu. Tak ada sedikit pun hal yang bisa disangkutkan dengan pesan ketuhanan seperti yang aku dengar dari bualan Afriani. Lagi pula, bukankah Uni Soviet adalah negara komunis?

TIBA-TIBA saja Afriani menghentkan Xenia hitam itu tepat di depan Galeri Nasional, di bawah jembatan penyeberangan, dan menarikku ke luar. “Sudah tiba...waktunya sudah tiba. Hari ini juga aku harus memberikan persembahan agung itu. Hari ini aku akan....� Lihatlah, nada suaranya yang dipelankan, seolah ia sedang membocorkan rahasia besar yang tak boleh seorang pun 336


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

tahu itu, kedua bola matanya yang kelabu, dan wajahnya yang pucat. Ah, Betapa malangnya wanitaku ini! “Sudahlah, Sayang! Hentikan omong kosong ini. Tuhan tak mungkin memberikan mukjizatnya kepada manusia-manusia busuk seperti kita. Jadi, sudahlah, lebih baik kita kembali ke mobil saja. Kita meluncur lagi ke Kemang Cafe dan menandaskan beberapa botol wiski. Bagaimana?” Sial! Tanpa merasa perlu menjawab ajakanku, kekasihku itu mendorongku hingga terjerembap. Belum juga aku tegak berdiri Afriani telah masuk ke mobil dan kembali melajukannya. Tak sampai hitungan menit Xenia hitam itu telah raib. Sesaat sempat kulihat kedua matanya yang menyala hijau penuh kebencian, seperti mata seekor ular.

DAN, aku mulai merutuki nasib Afriani, kekasihku yang malang itu. Betapa cerita-cerita konyol tentang Jibril, persembahan agung, dan wanita terpilih itu telah menumpulkan akal sehatnya. Segala ingatan tentang percakapan-percakapan ganjil dengan Afriani kembali bertumpang-tindih di otakku: “Kau tahu, syarat menjadi wanita pilihan itu sangatlah berat. Aku harus melakukan persembahan agung terlebih dulu. Lalu, Jibril akan mengantarkanku ke bilik penyucian. Dan nanti di bilik ituah ia akan meniupkan janin manusia terkasih itu dalam rahimku.” “Persembahan agung?” 337


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Ya, persembahan agung.” “Oh, ya? Boleh aku tahu persembahan agung apa yang diminta Jibril darimu?” “Tentu saja.... Tapi nanti, jika waktunya telah tiba, akan kuceritakan semuanya ke padamu.” Sungguh, aku tak punya niatan untuk mempercayai ucapan Afriani. Bahkan, seandainya ia nanti melakukan persembahan agung itu di depan mataku. Tetapi, saat itu, sebagai seorang kekasih yang baik, bukankah aku wajib mendengarkannya. Paling tidak aku harus terlihat peduli. Percaya atau tidak, Afriani, sebagaimana aku, hanyalah seorang penyembah yang biasa. Maka, mustahil jika ia dipilih oleh Tuhan dari agama mana pun untuk menjadi utusan, apalagi menjadi wanita suci yang akan dititipi janin seorang juru selamat, yang kelak akan menyelamatkan dunia ini dari kegilaan manusia dan kiamat yang menyedihkan. “Kau tak perlu mengimani semua yang kukatakan. Kau hanya cukup mendengar saja, atau paling tidak kau mengerti mengapa selama ini aku menolak bercinta denganmu.” Memang, selama lima tahun lebih berpacaran dengannya tak sekali pun ia mengizinkan aku menidurinya. Seberapa pun ia tak sadarkan diri, ia akan segera mengelak ketika tanganku mulai berani menanggalkan pakaiannya. Bahkan, ia tak segansegan menampar. “Bagaimanapun wanita pilihan harus tetap perawan. Aku tak mau Jibril mencampakkanku hanya gara338


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

gara kuturuti nafsu bejat yang dibisikkan iblis terkutuk itu ke kepalamu. Aku harus menjaganya, sampai nubuat itu benarbenar kuterima.� Itu juga alasan yang selama ini ia gunakan untuk menolak lamaranku, dan menunda-nunda pernikahan. Padahal toh kini usia kami telah melewati angka dua puluh sembilan. Pernah suatu ketika aku mendesaknya, tapi justru sebuah ancaman yang aku terima.“ Kalau kau tak sabar, kau boleh pergi dan mencari perempuan lain! Tapi jangan pernah menyesalinya!� Entah karena memikirkan keganjilan-keganjilan itu, atau karena pengaruh alkohol dan obat-obatan, siang itu, batok kepalaku serasa akan pecah ditimpa terik matahari, maka kuputuskan saja untuk menghentikan taksi, dan pulang. Ternyata, setelah duduk di dalam taksi pun aku masih belum bisa melupakan Afriani dan segala keganjilannya. Bahkan, aku mulai khawatir dan bertanya-tanya di mana kekasihku dan ketiga temanku (yang mungkin masih tertidur) itu sekarang. Pening. Mataku mulai berkunang-kunang. Taksi yang aku tumpangi telah akan sampai di Tugu tani ketika hape-ku bergetar. Sebuah pesan masuk. Kuperiksa, tak lain dari Afriani. Mataku semakin berkunang-kunang membaca isi pesan itu: Persembahan agung itu telah tunai. Mahar telah lunas kubayar. Sembilan arwah suci sudah kusuguhkankan di depan patung Kristus dan Bunda Maria. Sebentar lagi, Jibril 339


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

akan membawaku ke lembah penyucian. Dan kelak, dari rahimku akan lahir seorang juru selamat yang telah dinanti semua umat. Sekarang kau pasti percaya, pesan nubuat itu bukan omong kosong.

PADA akhirnya, kau boleh menyimpulkan sendiri, dari tulisanku ini juga dan dari berita yang tersebar di media cetak dan elektronik, wanita seperti apa sebenarnya Afriani itu. Kau juga boeh percaya atau tidak ceritaku tentang Jibril dan tetekbengeknya itu. Bahkan, sah-sah saja seandainya kau percaya, dan akhirnya mengambil kesimpulan bawha Afriani mengidap sakit jiwa, atau entah skizofrenia. Aku tak peduli. Yang ada di kepalaku saat selesai menulis cerita ini hanyalah menjauh (sejauh-jauhnya) dari kehidupan Afriani, dan memulai kisah cintaku dengan wanita lain. Biarlah Afriani merenungi nasibnya di balik penyucian yang ia yakini itu. Ciliwung, 25 Januari 2012. *) Dionisos: Dewa anggur, pesta dan festival, kegilaan, mabuk dan kesenangan. Dia digambarkan dalam seni sebagai pria tua berjenggot atau pemuda berambut panjang. Simbolnya adalah thyrsus (tongkat berujung cemara), gelas minum, tanaman anggur, dan mahkota Hedera.

340


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Elizabeth Catlett | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Surat Dari Wanita Tua Epi Nurlinda Published Š Waspada, Minggu 05 Agustus 2012

342 341


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Saat matahari mulai mengintip gelisah. Karena awan pagi itu hampir menutupi langit-langit Kota Medan. Bertanda hari ini takkan cerah, seakan hujan akan datang mengguyur kota ini dan akan membanjiri jalan-jalan yang akan membuat sesak, bahkan akan saling mengutuk sesama penikmat jalan. Atau awan hanya mampir sebentar melepas lelah di atas kota ini. Memayungi setiap insan untuk terlepas dari sengatan terik matahari seperti hari-hari sebelumnya.

ENTAHLAH, aku hanya sedang memikirkan kenapa takdir hidupku seperti ini. Aku tak mengenal kedua orang tuaku, padahal aku masih ingat betul aku pernah sangat dekat dengan wanita yang melahirkanku. Tapi lemahnya ingatan masa kecilku membuatku tak mengerti kenapa tiba-tiba aku sampai di sini. Di pagi itu, saat ku menangis karena tak ada wanita yang biasa menemaniku di sisi. Tempat yang sama sekali tak kukenal. Tiba-tiba ada seorang wanita yang membuka pintu gerbang tepat di belakangku. Tangisku pun makin pecah ketika wanita itu menggendongku masuk. Ya, sampai aku terbiasa tinggal di tempat ini, juga sampai detik ini, atau bahkan selamanya aku akan menggantikan umi di panti asuhan ini. Tak ada yang mau hidup tanpa orang tua seperti ku. Tapi inilah jalan hidupku, yang ku minta saat ku belum lahir dari wanita yang seharusnya ku panggil ibu itu. 343


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Nana, ada surat untukmu,” Umi membuyarkan lamunanku. “Iya, Umi.” Dahiku membentuk beberapa kerutan, padahal tak pernah aku mengenal teman jauh. Hanya seputaran Kota Medan dan teman sepanti saja yang ku kenal. Kenapa aku dapat surat, bukankah bisa bertemu saja. “Dari siapa, Umi?” “Tidak tahu, tapi di sini tertulis namamu.” “Hm.... tapi alamat pengirimnya? Jauh Umi, di sini ditulis di Kenopan, Ledong Timur. Padahal kan aku tidak punya teman selain di Medan.” “Umi juga tidak tahu, coba baca saja suratnya.” Kubaca surat itu. Tidak salah, ini memang surat untukku. Tapi aku benar-benar penasaran. Isi suratnya seperti seseorang yang telah lama mengenalku. Ia mengagumiku, padahal tak terlintas di pikirku mengenalnya jauh-jauh hari. Aku mencoba membalas dan mengirimnya ke alamat pengirim. Mencoba membuat hati wanita tua senang dengan balasanku. Sudah enam bulan ia mengirim surat padaku. Entah mengapa hatiku selalu menanti balasan surat darinya. Padahal yang ku tahu ia selalu menyelipkan kata “Wanita Tua” di akhir suratnya. Saat ku meminta nomor telepon yang bisa dihubungi, ia hanya menjawab lebih suka menulis surat. Padahal aku benarbenar ingin mendengar suara wanita tua itu. 344


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Sungguh, ada perasaan yang membuat hatiku berkecamuk saat satu bulan itu ia tidak membalas suratku. Ada sesuatu yang hilang, entah mengapa aku selalu merindukan tulisan tangan dari wanita tua itu. Aku berpamitan pada umi untuk mengunjungi wanita tua itu. Dengan berbekal alamat yang selalu kukirim bersama suratku.

INI kali pertamanya aku pergi ke luar kota. Berjalan menyusuri desa yang tak pernah kujamah. Beberapa kali aku harus bertanya pada penduduk setempat tentang alamat yang kugenggam. Sungguh, aku tak menyangka wanita tua itu mengirimku surat dari desa sederhana ini. Menapaki jalan sunyi ini, tiba-tiba mengingatkanku pada sosok wanita yang setia menggendongku. Agar ketika ku berjalan tak ada duri atau bunga rumput yang menggores betisku yang baru kokoh. Rumput-rumput liar tumbuh semrawutan di pinggir jalan, membuat jalan semakin sulit untuk ditapaki. Ia menggendongku dengan kaki pincang karena ia pernah terjatuh dari mobil yang menghantarkannya kerja berkebun, hingga tulangnya kadang masih terasa ngilu untuk berjalan tegak. Langkah-langkah pincangnya membuat dudukku tak nyaman di pinggang kirinya. Tapi aku menikmati keteduhan berada di sisinya. Melihat matanya tajam memandang jalan yang sempit penuh batu, licin karena hujan baru turun membasahi jalan tak bernama itu.


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aku masih memandang wajahnya, kedua tanganku melingkari lehernya untuk berpegangan agar ku tak jatuh. Tangan kanannya menjinjing ember yang berisi kain bersih yang baru ia cuci dari sumur ladang, tangan kirinya membawa keranjang yang berisi singkong, pisang, dan daun singkong untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu, bukan istri. Suaminya telah meninggal di gubuk ladang saat wanita itu minggat dari rumah karena selisih paham dengan suaminya. Sedangkan wanita itu sedang mengandungku lima bulan. Sesekali ia menurunkan keranjangnya untuk menempatkan bokongku dipinggangnya yang kadang tergeser agar aku sedikit nyaman di gendongannya. Jalan licin itu menanjak, wanita itu memperkuat tenaganya, kulihat ia mencengkeram kedua bibirnya untuk menahan segala beban yang ada di tubuhnya. Dan aku makin berpegangan erat di lehernya. Takut jatuh di jalan yang berlumpur, karena baru saja aku dimandikan wanita kuat ini. Sedangkan badanku setengah telanjang, mudah kemungkinan jika terjatuh tubuhku akan teroles lumpur-lumpur yang baru tercipta itu. Tapi rintik hujan jatuh lagi. Semakin banyak dan semakin deras. Kaki pincangnya berlari menuju pohon besar yang mungkin bisa kami singgahi untuk berteduh. Kulihat ia menyeringai sakit, kaki pincangnya tersandung akar pohon besar itu. Aku, ember dan keranjang hampir jatuh di bawah pohon yang berlumpur itu. Ia memelukku dan memayungi kepalaku dengan ta346 345


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

ngannya. Tapi ku lihat pohon besar ini pun tak mampu memayungi kami, sehingga kepala wanita itu tertetes air hujan yang melewati saringan daun-daun pohon besar itu. Tak tahu seberapa lama, tiba-tiba ku terbangun dari tidur. Wanita itu menyelimutiku dengan kain panjang yang ku ompolin tadi malam. Aku berada di rumah petak yang tidak mempunyai sekat-sekat pembatas. Aku menangis untuk mendapat perhatian dari wanita itu. Ia dengan buru-buru menghampiriku dan mempersembahkan salah satu puting susunya untukku. Langsung saja aku mengulumnya, sekejap suaraku hilang karena menikmati air kehidupan yang ia persembahkan untukku. Terdiam aku ketika beberapa menit aku menikmatinya. Ia meletakkanku di tempat tidur bekas yang sudah tua, yang keempat kakinya sudah hampir habis dimakan rayap. Ia terburuburu membolak-balikkan racikan sayurnya sambil menghembus-hembuskan api yang hampir padam. Kulihat hujan masih turun malu-malu, aku tadi berada di bawah pohon dengan wanita itu, tapi tiba-tiba aku sudah berada di sini dengan lelap. Aku tak tahu bagaimana wanita kuat itu membawaku bersamasama bawaan yang lainnya. Sesekali ia melirikku, aku masih bermain dengan kain panjang yang bau pesing itu. Ingin kulihat apa yang dikerjakan wanita itu. Tapi aku tak berani turun dari tempat tidur reok ini. Kulihat beberapa air menetes dari atap yang terbuat dari daun rumbiah tua yang sudah minta diganti. Tetes demi tetes air me347


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

lubangi tanah di dalam rumah kami. Hujan semakin deras, anginpun tak mau kalah kencangnya. Aku menangis ketakutan ketika melihat salah satu atap rumah kami terbang dibawa angin. Wanita itu berlari memelukku erat, ia melihat langit-langit atap yang mungkin akan siap jatuh atau terbang untuk kedua atau kesekian kalinya. Aku melihat matanya ketakutan dan awas. Mungkin ia ingin berlari membawaku dari rumah rapuh ini, tapi hujan di luar menghalanginya. Tak ada pilihan lain untuk pergi, kehujanan atau tertimpa atap yang sudah berumur. Setelah bencana itu, kami selamat. Walau sayur racikannya dibumbui oleh beberapa tetes air hujan dan beberapa helai pecahan daun kering dari atap rumbiah. Tapi malamnya aku tetap tidur pulas walau tiga dari atap rumah kami terbang jatuh dibawa angin. Wanita itu tak pernah mengeluh dari bibirnya. Padahal mulutku yang kecil ini kadang tak henti-hentinya memekakkan telinganya. Ia tetap diam dan diam. Hanya matanya yang berbicara padaku dan bahasa tubuhnya yang kukenal. Aku tak pernah melihat wanita itu lagi semenjakku berada di panti asuhan. Wanita itu sama sekali tak pernah mengajarkanku sebuah katapun. Ia hanya diam, tapi kadang ku masih ingat ketika matanya berbicara kepadaku. Aku juga tak tau siapa namaku, karena wanita yang kukenal itu pun tak pernah memanggilku. Hingga sampai di panti aku baru mengenal namaku Nana dan bahasa duniaku.

348


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Mau ke mana, Neng?” ada seseorang lelaki yang membuyarkan ingatanku. “Eh, mau ke alamat ini. Apa Mas tahu di mana alamatnya?” “Oh, ini ya. Ya tahu lah Neng, tapi sudah dua bulan kosong rumahnya.” “Loh, memangnya pemilik rumahnya ke mana?” “Tidak tahu saya Neng, kalau mau biar saya antarkan.” “Iya, terimakasih, Mas.” Benar-benar. Sungguh, seperti mimpi. Aku begitu pernah dekat dengan rumah ini. Tapi tak sereok dalam ingatanku, rumah ini agak sedikit kokoh. Tapi, ya sudahlah, aku hanya ingin bertemu wanita tua itu. “Neng, kata tetangga sebelahnya ibu ini sudah pergi ke kota. Ini ada alamat yang ditinggalkan.” “Medan? Terimakasih, Mas.” Aku buru-buru langsung ke stasiun. Aku benar-benar gelisah, ada perasaan iba dalam hatiku. Entahlah, yang ku tahu aku ingin menemuinya. Segera. Sampai. Aku menemui alamatnya. Karena tak sulit bagiku jika harus mencari alamat di kota ku dibesarkan. Tapi begitu terherannya saat ku temukan alamat itu. Rumah panti jompo. Aku mencoba bertamu. Menanyakan wanita yang kumaksud. Wanita tua, dari Kenopan. Aku tak tahu namanya. Aku juga tak pernah melihat wajahnya. Aku dihantarkan wanita se-

349


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

perti Umi, pasti ialah pemilik hati yang tulus menjaga orangorang jompo di sini. “Siapa namanya, Bu?” “Kami memanggilnya Ibu Tua.” “Itu dia, ibu dari Kenopan yang dua bulan lalu baru datang. Ia mengenakan kursi roda, selain sudah tak kuasa lagi berjalan, ia juga tuna wicara. Mari silahkan.” Hatiku berdesir begitu hebat. Wanita tua itu bisu. Pantaslah ia hanya menuliskan surat untukku. Hatiku bergejolak saat wanita tua itu di hadapanku. Ada perasaan yang tak dapat aku apungkan. Begitu dalam untuk kutelusuri melalu lisanku. “Selamat pagi, Ibu Tua. Ada yang ingin berjumpa dengan Ibu.” Kata wanita yang mirip umi itu. Wanita tua itu hanya menundukkan kepala. “Wanita Tua? Apakah Ibu Tua yang mengirim surat padaku?” Aku duduk di hadapannya, mencoba menjaga gejolak hatiku. Wanita tua itu melihatku perlahan, dan matanya membuat layu hatiku. Sungguh, mata itu? Mata yang dulu pernah ku kenal, bahasa matanya pernah ku pelajari. “Saya Nana, Bu.” Ia memandangku sejenak, ada lipatan-lipatan kulit yang menambah sayu matanya. Kurasakan pandangan yang begitu dalam. Hingga hampir tak kuasa mataku membalas tatapnya. Tiba-tiba wanita tua itu menangis tersedu-sedu, bahunya ber350


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

guncang. Ia mencoba mengulurkan tangannya untukku. Ku sambut tangannya yang terbalut kulit tuanya. Sungguh tak percaya wanita tua ini menulis surat untukku. Tangannya yang sudah terbalut usia masih mampu menarikan pena di atas kertas. Ia merangkulku, hangat dan damai peluknya mengingatkanku pada delapan belas tahun yang lalu. Aku juga tak tahu kenapa wanita tua itu menyambutku dengan haru. Apakah degup yang kurasa sama dengan degupnya. “Ibu Tua, apakah Ibu yang melahirkanku?� tangisnya semakin menjadi. Medan, Fokus UMSU

351


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

CERPEN ANAK

352


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Ayam Jago Kesayangan Eri Marlinasari Published Š Kedaulatan Rakyat, Minggu 05 Agustus 2012

354


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

DI SEBUAH desa, hiduplah seekor ayam jago. Namanya Kuku. Kuku tinggal bersama Kakek Akbar. Kakek Akbar sangat menyayangi Kuku. Menganggap Kuku seperti keluarganya sendiri, mungkin karena Kakek Akbar hidup sendiri di rumahnya, karena semua anaknya tinggal di kota. Setiap hari Kuku selalu dimandikan, diberi makan, dan diajak bermain oleh Kakek Akbar. Kuku mempunyai bulu yang sangat indah dan juga suara yang sangat merdu. Hampir setiap hari Kuku membangunkan semua orang desa dengan kokoknya yang merdu. Namun, suatu hari Kakek Akbar jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Tentu saja Kuku sedih. Salah seorang anak Kakek Akbar bernama Paman Doni membawa Kuku ke kota, Di kota, Kuku dibuatkan kandang yang besar dan bagus. Tentu saja Kuku sangat senang. Namun lama kelamaan Kuku merasa bosan karena hanya dikurung di kandangnya dan tidak diperbolehkan bermain di luar kandang. Paman Doni tidak suka kalau Kuku mengotori rumahnya. Di rumah Paman Doni juga tidak pernah dimandikan, sehingga Kuku merasa sangat sedih. Dia tidak mau makan sampai tubuhnya kurus. Kuku juga tidak mau berkokok mengeluarkan suaranya yang merdu. Di samping rumah Paman Doni, hiduplah seorang anak bernama Zaki. Zaki adalah anak yang baik dan sangat menyayangi binatang. Di rumahnya, Zaki memelihara kelinci, ikan, dan burung. Suatu sore saat Zaki sedang bermain bola sendi355


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

rian, tiba-tiba bolanya jatuh di pekarangan rumah Paman Doni. Tanpa sengaja Zaki melihat Kuku yang lemas di kandangnya. “Kasihan sekali kamu, ayam jago. Apakah kamu sakit?” tanya Zaki dengan penuh rasa kasihan. Zaki kemudian masuk ke dalam rumah untuk menemui Paman Doni. “Paman, ada apa dengan ayam jagomu? Sepertinya dia sakit,” kata Zaki. “Beberapa hari ini Kuku tidak mau makan sehingga dia sakit. Dia juga tidak mau berkokok seperti biasanya. Padahal Kuku mempunyai suara yang bagus,” ujar Paman Doni. “Kasihan sekali Kuku, kalau seperti ini terus dia bisa mati, Paman,. Bolehkah aku merawat Kuku sampai sembuh?” tanya Zaki kemudian. “Apa kamu bisa merawatnya?” tanya Paman Doni. “Tentu saja aku bisa, Paman. Di rumahku saja aku bisa merawat kelinci, ikan, dan burung,” jawab Zaki untuk meyakinkan Paman Doni. “Baiklah, kamu boleh merawat Kuku ini, tapi hanya sampai dia sembuh saja,” kata Paman Doni. “Terima kasih, Paman,” Zaki tersenyum senang. Akhirnya Kuku dibawa pulang oleh Zaki ke rumahnya untuk dirawat. Sesampai di rumah, Zaki langsung menghampiri ibunya. “Ibu, bolehkah aku merawat ayam jago Paman Doni sampai dia sembuh?” tanya Zaki kepada ibunya. 356


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Iya, boleh, sayang,� jawab ibunya. Betapa senang hati Zaki saat itu. Zaki berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan merawat Kuku sampai sembuh nanti. Kuku langsung dia beri makan. Awalnya Kuku tidak mau, namun setelah dibelai bulu tubuhnya oleh Zaki, akhirnya Kuku mau makan walaupun sedikit. Zaki langsung membuatkan kandang untuk Kuku di sebelah jendela kamarnya, agar Zaki dapat melihat keadaan Kuku setiap saat. Zaki tidak mau kalau sampai Kuku mati. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah Kuku selalu dimandikan. Zaki membiarkannya bermain bebas di luar kandangnya. Zaki selalu mengajak Kuku bernyanyi agar mau berkokok lagi. Zaki menganggap Kuku seperti sahabatnya sendiri. Suatu pagi Zaki terbangun kaget karena mendengar kokok ayam yang sangat merdu. Ternyata itu adalah kokok si Kuku. “Kuku, kamu sudah mau berkokok lagi. Akhirnya kamu benar-benar sembuh,� ujar Zaki gembira. Suatu hari, tidak sengaja Zaki membaca ada pengumuman lomba kokok ayam dengan suara termerdu dan terpanjang. Zaki kemudian mengajak Kuku untuk mengikuti lomba tersebut. Kuku berhasil menjuarai lomba itu. Zaki sangat senang, tetapi juga sedih karena harus mengembalikan Kuku.

357


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Tiba saatnya Zakii mengembalikan Kuku kepada Paman Doni. “Paman, karena Kuku sudah sembuh, sekarang aku ingin mengembalikannya,” kata Zaki. “Terima kasih, Zaki, karena kamu telah merawat Kuku dengan sangat baik. Paman bangga sama kamu. Tapi sepertinya Paman akan sedih karena Paman akan memberikan Kuku padamu agar Kuku dapat selalu berkokok dengan suaranya yang merdu.” “Benarkah, Paman? Terima kasih, Paman,” ujar Zaki senang.

358


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Daiva Staškevičien÷ | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Hani Tidak Mau Mengaji Karta Kusumah Published Š Padang Ekspres, Minggu 05 Agustus 2012


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

SEPULANG sekolah, Hani membuka sepatu, meletakkan tas di depan pintu kamar, tanpa mengganti seragam sekolah dasarnya

ia

langsung

mengambil

sepeda

lantas

pergi

menjelang teman-temannya yang sudah menunggu dengan sepeda masing-masing. “Hani mau ke mana?” kata Mak dari dapur. “Ke

rumah

Anan,

mau

belajar

kelompok,”

sambil

menggeos sepedanya. Mak keluar dari dapur, “Jangan lupa pulang sebelum Ashar, ngaji...” Tapi, Hani sudah jauh, tidak mendengar apa yang disampaikan Mak. Mak kembali ke dapur, meneruskan pekerjaannya. Mak sedang memasak makanan kesukaan Hani. Namun, tanpa disadari sampai azan Ashar selesai berkumandang, Hani belum juga pulang. Mak mulai rusuh. Sudah tiga hari Hani selalu begitu. Pulang sekolah, langsung pergi, dengan alasan yang sama, belajar kelompok. Tapi, tak pernah nampak Hani membawa buku tulis, buku pelajaran, atau peralatan belajar lainnya. Mak sangat heran, sekarang Hani begitu malas pergi mengaji. Biasanya Hani rajin mengaji, sebelum Ashar ia sudah pergi menjemput teman-temannya untuk pergi. Tapi, belakangan ini, sudah tiga hari tidak pernah lagi dia menanyakan apakah azan Ashar sudah berkumandang atau belum, tanda ia tak sabar untuk pergi mengaji. Selain itu, dulu, kalau misalnya Mak lupa mengingatkannya untuk siap-siap berangkat mengaji kare361 360


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

na sedang sibuk di dapur atau mengerjakan hal lainnya, Hani akan merajuk dan meminta uang belanja dilebihkan. Mak akan tersenyum melihat tingkah laku Hani saat merajuk.

HANI baru pulang ketika hampir Maghrib. Dengan sedikit sembunyi-sembunyi ia letakkan sepedanya dan masuk ke kamar. Hani melakukan hal itu sambil berharap tidak akan ketahuan Mak, atau berharap Mak masih sedang sibuk di dapur. Tapi, sesampainya di dalam kamar, Hani terkejut melihat ternyata Mak ada di kamar. Rupanya Mak sudah tahu Hani pulang dan sengaja sembunyi di dalam kamar. “Mengapa Hani baru pulang?” tanya Mak dengan lembut. “Tadi banyak PR yang mesti dibuat, Mak,” jawab Hani beralasan. “Coba Mak lihat PR yang kamu buat, sayang.” “E, anu, emm, bukunya ditinggal di rumah Anan, Mak...” “Kamu ingat kan, kalau berbohong, apalagi sama orangtua itu dosa.” “Hani nggak bohong, Mak...” “Ya sudah, kalau memang nggak bohong, sekarang Hani mandi, terus makan.” “Iya, Mak”, lantas Hani bergegas ke kamar mandi. Bagaimana pun Hani bersikeras bahwa dia tidak berbohong, sebenarnya Mak tahu kalau itu cuma alasan. Tapi, Mak tidak mau memarahinya. Terlebih lagi Mak tahu, bahwa ketika 362


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

pulang tadi Hani pasti sudah berpikir akan dimarahi Mak. Itu pasti membuatnya semakin tidak akan jujur. Mak masih menunggu saat yang tepat untuk menanyakan pada Hani mengapa dia tidak mau mengaji lagi. Sembari menunggu Hani selesai mandi, Mak menyiapkan makan malam. Setelah mandi dan shalat Maghrib, Hani dan Mak pun makan bersama. Mak sudah memasak lauk kesukaan Hani. Ada telur mata sapi dan tempe yang ditaburi bawang goreng, ada juga tumis kangkung yang tidak terlalu pedas. Hani makan dengan lahap. Hani nampak senang karena Mak tidak marah padanya. Hani menghabiskan makannya tanpa sisa. Mak memang tahu benar bagaimana cara merayu Hani, bagaimana menyenangkan dan menenangkan hatinya. Sehabis makan dan merapikan sisa-sisa makan malamnya, Hani menyalakan televisi, seperti biasa, menonton film kartun favoritnya. Tampak oleh Mak Hani tertawa-tawa dengan riang. Mak merasa inilah saat untuk mencari tahu apa sebab Hani sekarang tidak mau mengaji. Mengapa Hani sekarang begitu pemalas. Dihampirinya Hani oleh Mak. “Hani...� Mak berkata sambil mengelus-elus rambut Hani dari belakang, “mengapa Hani kok sekarang pemalas?� “Hani nggak pemalas kok, Mak, tiap hari Hani selalu belajar dengan giat,� jawab Hani menjelaskan.

363


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Iya, Hani memang rajin belajar, tapi sekarang malas mengaji, mengapa?” “Emmm, Hani, Hani...” “Ayo, mau bohong lagi, ya?” “Bukan, Mak, tapi...” “Anak Mak bukan pembohong, kan? Mak nggak pernah ngajarin bohong, kan?” “Iya, Mak, tapi...”, Hani menundukkan kepala, “Kalau Hani cerita, Mak janji jangan marah, ya...” “Mak, janji,” jawab Mak pasti. “Hari Minggu kemarin, pas didikan Subuh, Hani kan disuruh maju oleh Pak Ustad, disuruh membacakan Ayat Kursi tapi Hani nggak hafal.” “Kenapa nggak hafal? Bukannya sudah disuruh menghafal sebelumnya?” tanya Mak setenang mungkin. “Iya, tapi, Hani kan juga mesti mengafal pelajaran buat ulangan harian di sekolah. Hani bukannya nggak menghafal, tapi kebetulan pas didikan subuh itu Hani lupa Ayat Kursinya.” “Ooo, terus?” Hani makin menundukkan kepalanya, dengan suara terbata karena tanpa sadar telah menangis, Hani menjelaskan kepada Mak bahwa sepulang didikan Subuh dia dipanggil oleh Pak Ustad. Pak Ustad marah sejadi-jadinya di depan teman-teman, mengatakan Hani pemalas, Hani tidak mau menuruti dan mengerjakan perintahnya. Dan mengatakan pada anak didik364


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

nya yang lain bahwa Hani adalah contoh yang tidak baik, jangan ditiru. Hal itu membuat Hani selalu diejek teman-temannya. “Hani malu, Mak…” kata Hani sambil mendekap Mak dan semakin menangis. Mak sekarang tahu, apa yang membuat Hani malas mengaji. Sebenarnya Hani bukan malas mengaji, tapi ada alasan lain yang membuatnya tidak mau mengaji, Mak bicara dalam hatinya, “Kamu bukan pemalas, sayang…” Dan kepada Hani, Mak berjanji, besok akan menemui Pak Ustad dan juga berjanji untuk memindahkan Hani ke tempat mengaji yang baru.

365


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Fausto GuillĂŠn (Murcia, 1966) | Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Baju Lebaran Ematul Hasanah Published Š Riau Pos, 05 Agustus 2012

Ematul Hasanah, bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru.

367


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“PAK, lebaran besok Icha ingin dibelikan baju baru!” Permintaan Icha masih berdengung di daun telingaku. “Iya Sayang, besok akan Bapak belikan.” Ujarku menatap penuh cinta malaikat kecilku yang baru saja genap berumur 7 tahun. Meski aku sendiri tidak yakin apakah aku mampu untuk membelikannya baju baru di lebaran kali ini. Dengan penghasilanku sebagai penjual jagung bakar selama ini hanya cukup untuk menutupi perut kami agar tak kosong. Aku hanya seorang penjual jagung bakar. Yang saban hari duduk berjam-jam lamanya di tepi sungai siak. Menanti pembeli yang hanya satu, dua, bahkan kadang tak ada satupun. Apalagi di bulan Ramadan aku hanya berjualan saat mentari mulai tenggelam hingga isya menjelang. Hingga sering kali aku pulang dengan tangan kosong. Hanya mampu memberikan janji-janji indah kepada Icha. Satu-satu harta yang paling berharga yang kumiliki. Buah cinta aku dengan Ros, perempuan yang dulunya bahkan sampai hari ini masih kucintai. Meski ia lebih memilih untuk pergi. Karena tak sanggup hidup berlamalama denganku dalam kondisi yang serba kekurangan. Meninggalkan Icha sebagai satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup. Dalam bentuk apapun. “Pak, jagungnya,” suara wanita bertubuh gempal itu menghentikan lamunanku. “Berapa Dik?” tanyaku mulai meraih beberapa jagung. “Dua aja Pak.” 368


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Terima kasih Pak.” Perempuan itu beranjak meninggalkan selembar rupiah yang hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi. Sementara senja sempurna tenggelam.

“BAPAK bohong.” Isak Icha saat aku pulang tanpa membawakan baju baru untuknya. “Bapak tidak bohong Sayang.” Aku mencoba membujuknya. “Esok Bapak janji akan membelikan baju baru yang paling bagus untuk Icha.” Aku membelai rambut panjangnya yang membelakangiku. “Bapak tidak bohong kan?” Tangis Lisa terhenti kini kedua bola matanya menatapku penuh selidik. Aku menggelang mencoba tersenyum sewajar mungkin. “Hore, Icha punya baju lebaran.” Tangis yang tadi pecah seketika berubah menjadi tawa yang membuat hatiku sedikit membaik. “Baju lebarannya yang seperti punya Anis ya Pak, yang banyak pitapitanya cantik sekali.” “Iya Sayang.” Gumamku menghapus sisa air matanya yang melelah. Meski esok aku tak pernah tahu apakah aku mampu memenuhi pintanya. Hanya berharap semoga esok akan banyak yang membeli jagung bakar yang kubawa.

369


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“ALLAHU Akbar, Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laa Illah ha illahahu allahu akbar allahu akbar walillahilham.” Suara takbir saling berkejaran dan mendekat mungkin saja akan ada takbir keliling. Aku terus melangkah menuju pulang. Dengan tubuh begetar membiarkan keringat membanjiri wajah tirusku. Seiring degupan jantung yang terus berpacu. Mencoba melupakan kejadian yang hampir saja memberi luka untuk Lisa. Menguatkan hati untuk mengatakan kepada Icha aku tak mampu membelikan baju baru untuknya di Lebaran kali ini. Icha harus terbiasa tanpa baju Lebaran bahkan tanpa makan sekalipun. Kerana ia hanya anak dari penjual jagung bakar. Meski aku sangat ingin membelikan baju Lebaran untuknya seperti yang selalu dimiliki teman-teman seusianya. Tapi bukan dengan keringat yang haram. “Pak, jagungnya masih banyak?” Suara lelaki yang menggunakan peci dan berbaju koko itu mendekatiku membuat langkahku terhenti. “Masih Dik.” Jawabku berharap ia berkenan membeli jagung bakar milikku meski hanya satu. Setidaknya uang itu bisa kugunakan membeli sepotong roti buat Icha. “Saya beli saja semua jagung punya Bapak.” “Banyak benar Dik.” Aku masih tak percaya dengan ucapan yang baru saja mengalir dari bibir lelaki itu.

370


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

“Iya, Pak nanti bisa dimakan setelah takbir keliling.” Ia meraih dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Dan bibirku kelu seiiring tangan yang bergetar menerima beberapa lembar uang darinya. Kejadian beberapa jam yang sudah terlewatkan kembali berserakan.

AKU berjalan gontai. Tak menghiraukan cacing-cacing yang menggelitik perutku. Membiarkan keringat berguguran di wajahku. Namun, tak membuat rasa kecewaku ikut berguguran. Karena hari ini jangankan untuk memenuhi janjiku kepada Lisa, untuk membeli sebungkus nasi pun aku tak memiliki uang. Setelah tak ada satupun yang ingin membeli jagung bakar. Sementara esok Lebaran menjelang. “Jangan lupa baju Lebaran buat Icha ya Pak.” Suara Lisa tadi pagi melintas di benakku. Membuat hatiku perih kerena lagi-lagi aku tak mampu memenuhi keinginannya. Aku terus membawa langkah membiarkan senja berlalu. Masih mencari-cari alasan untuk kusampaikan kepadanya nanti biar kecewa tak terlalu dalam. Hingga kutemukan perempuan paruh baya yang sedang berdiri seorang diri menunggu angkutan umum. Dengan tas yang melingkar di lengannya. Tiba-tiba saja niat jahat itu menyinggahi benakku. “Larikan saja tasnya.” Entah dari mana bisikan itu.

371


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Aku masih mematung tak mengalihkan pandangan sejengkal pun dari wanita paruh baya itu. “Ayo lah tidak akan ada yang tahu kalau kau melarikan tas miliknya.” Bisikan itu semakin mendesakku. Perlahan aku mulai melangkah dengan tubuh yang bergetar karena untuk pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini. “Ayolah cepat, jangan tunggu terlalu lama.” Bisikan itu semakin dekat saat hanya tinggal beberapa langkah lagi tas milik perempuan itu akan berpindah ke tanganku. “Pak, Icha ingin dibelikan baju lebaran.” Suara Icha dengan segala kepolosannya membuat hatiku terhentak hingga langkah tak berlanjut. “Apa yang sedang aku lakukan?” tiba-tiba saja sesal itu menyentak nuraniku membiarkan perempuan paruh baya itu berlalu tanpa tahu akan niat jahat yang baru saja ku urungkan.

KUSAPU air mata yang meleleh. Bersama rasa haru yang membuat dadaku semakin sesak. Berulang kali berucap syukur dan memohon ampun atas kecewa yang hampir saja membutakan nuraniku. “Icha, Bapak akan belikan baju lebaran untukmu Nak.” Aku berlari segera memenuhi janji.

372


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Repro: OpenART


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

Lampiran o ANALISA Eka Handayani Ginting | Dumilah dan Bayi Madu Ratna BALI POST Nur Hadi | Peti Mati CEMPAKA Eko Wahyudi Sutardjo | Sidruk BANJARMASIN POST Teguh Afandi | Sidomukti Ibu FAJAR MAKASSAR Jumrang | Lelaki Passampo Siri’ HALUAN Budi Saputra | Madrasah, Rumah, dan Ziarah HALUAN KEPRI Nini Karnia | Gadis Terumbu Karang JAWA POS Sunlie Thomas Alexander | Anjing Langit JOGLOSEMAR Richa Miskiyya | Surat Pertama 374


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

JURNAL NASIONAL Chairil Gibran Ramadhan | Madang KEDAULATAN RAKYAT Dadang Ari Murtono | Kota Orang-orang Bisu KOMPAS Guntur Alam | Dua Wajah Ibu KOMPAS.COM Sobih Adnan | Bapak Pucung-Man KOMPAS.COM Leopold Indrawan | Kiamat Lokal KORAN MERAPI Mahwi Air Tawar | Orang-orang Legung KORAN TEMPO Arman AZ | Dayang Rindu LAMPUNG POST Yetti A. KA | Satu Senja dan Hujan yang Pecah METRO RIAU Yogie S. Memet | Kemarau di Musim Hujan MINGGU PAGI Eko Hartono | Bisikan OKEZONE.COM Tjak S. Parlan | Menerka Sisy PADANG EKSPRES Riki Utomi | Musim Maling PIKIRAN RAKYAT Saut Poltak Tambunan | Pecah Mangkok PONTIANAK POST Redia Yasianto | Tante Mia POS KUPANG Martinus Limahekin | Bukan Gerimis yang Bertepi

375


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

RADAR BANYUMAS Novi Anggraheni | Tetap Bisa Lebaran RADAR LAMPUNG Eka Rakhmawati | Hadiah Terindah RADAR SURABAYA Muna Masyari | Fortuna, Si Pembawa Sial RADAR TASIKMALAYA Lintang Ismaya | Peninsula REPUBLIKA Zaenal Radar T. | Markum Mengejar Lailatul Qadar RIAU POS Fathromi R. | Arif Kontemplatif SATELIT POST Arjuna Ireng | Endog Ayamku SERAMBI INDONESIA Ibnoe Hadjare | Malem Diwa SINAR HARAPAN Muhammad Pical N. | Senja Terakhir SUARA KARYA Weni Suryandari | Telapak Kaki Ibu SUARA MERDEKA Miljenko Jergovic | Pencurian Apel SUMATERA EKPRES Rifan Nazhif | Tentang Buah Duren SUMUT POS Tova Zen | Memeluk Sepi Danau Toba SOLOPOS Andi Murtopo | Bangku Kosong TABLOID NUSA Ahmad Moehdor Al-Farisi | Budak Hitam

376


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012

TRIBUN JABAR Ikal Hidayat Noor | Jibril di Kepala Afriani WASPADA Epi Nurlinda | Surat Dari Wanita Tua KEDAULATAN RAKYAT (Cernak) Eri Marlinasari | Ayam Jago Kesayangan PADANG EKSPRES (Cernak) Karta Kusumah | Hani Tidak Mau Mengaji RIAU POS (Cernak) Ematul Hasanah | Baju Lebaran

u

377


Bunga Rampai Cerpen ~ Minggu Ke-VI ~ Agustus 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.