Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Papua oleh Sando Sasako Lead Consultant Advanced Advocacy Plus Jakarta, 15 Juni 2012 Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Papua ....................................................................... 1 Bentuk Organisasi Kepemimpinan Berbasis Ekologi ...................................................................... 1 Bentuk Organisasi Kepemimpinan Berbasis Sistem Politik Tradisional ......................................... 3 Sistem Pria Berwibawa ................................................................................................................ 3 Sistem Politik Kerajaan ................................................................................................................ 3 Sistem Politik Ondoafi atau Kepala Suku .................................................................................... 4 Sistem Kepemimpinan Campuran ............................................................................................... 5 Perubahan Sosial yang Menyatukan di Papua ................................................................................. 5 Keterasingan fisik membuat setiap masyarakat suku dan/atau masyarakat adat memiliki adat, budaya, dan kebiasaannya masing-masing. Akibatnya setiap suku memiliki chauvinisme tersendiri. Egoisme budaya membuat antara satu suku dengan suku lainnya, bahkan yang berdekatan secara fisik, memiliki bahasanya masing-masing dan tidak bisa dimengerti satu sama lain, dan terutama tidak mau ‘mengerti’ ada bahasa lain. Akulturasi di antara dan sesama penduduk Papua yang berbeda suku sangat susah terjadi. Apalagi ketika penduduk Papua harus berhadapan dengan pendatang yang bukan asli dari Papua. Sentimen rasialisme pun menjadi hal endemik di kalangan masyarakat Papua, terutama ketika harus hidup bersaing secara ekonomi dengan masyarakat pendatang. Bentuk Organisasi Kepemimpinan Berbasis Ekologi Berdasarkan pengamatan Walker dan Mansoben dalam Masoben (1994), kebhinekaan masyarakat Papua terkait erat dengan pola adaptasi sosio-ekonomi penduduk pada 2 kelompok zona ekologi utama, yakni pantai dan pegunungan. Kelompok wilayah pantai mencakup ekologi dataran pantai dan ekologi rawa, daerah pantai, dan muara sungai. Kelompok wilayah pegunungan mencakup daerah kaki gunung dan lembah-lembah kecil; serta daerah pegunungan tinggi. Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi tercermin dalam sistem mata pencaharian hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks inovasi teknologi dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain seperti organisasi sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit. Dua kelompok ekologi ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ikatan kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian makna keluarga mendapat tempat dalam struktur hierarki masyarakat. Di satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktivitas perang lantas menjadi bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan sebagai sarana reproduksi kekuasaan. Tidak mengherankan jika ritual ini menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat. Kebutuhan pesta adat inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola patron-klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta. Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga yang luas, dengan jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan, dan federasi 1
Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Papua yang kompleks. Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani. Tipe ini menghasilkan ikatan horisontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai, kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluargakeluarga inti kecil yang amat bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan relatif sulit dijadikan lahan pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong mereka untuk berdagang. Contoh masyarakat ini adalah penduduk pantai utara. Di masyarakat dengan ekologi muara, dengan aktivitas produksi utamanya meramu sagu, penyelenggaraan upacara keagamaan pada umumnya jauh lebih meriah dibanding dengan penduduk yang menggantungkan dirinya pada kehidupan bertani umbi-umbian. Kompleksitas sistem ritus dan keagaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang berbeda. Tabel – Tipologi Sistem Politik Masyarakat Adat di Papua Sistem Politik Tipe Ekologi Pria berwibawa: Suku Dani, suku Pegunungan Tinggi Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu
Sistem Kerajaan: Suku di kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana
Dataran pantai
Sistem Ondoafi: suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku ArsoWaris
Lembah dan kaki gunung kecil
Sistem campuran: suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya)
rawa, daerah pantai, dan muara sungai
Corak Produksi 1. Pertanian konvensional, terutama umbi-umbian dan sayuran 2. Kegiatan ekstraksi (meramu) dan berburu 3. Mengenal peternakan sederhana 4. Kepemimpinan diperoleh melalui pencapaian individu pada kemampuan individual 5. one man show, belum ada pembagian kerja dan birokrasi 6. mengenal hierarki wilayah Berdagang
1. Kegiataan ekstraksi (meramu) dan menangkap ikan 2. Berladang 3. Mengenal beternak sederhana 4. kepemimpinan diperoleh melalui sistem pewarisan 5. mengenal hierarki wilayah berdasar klan 6. Pusat orientasi kekuasaanya adalah religi 7. Sudah ada pelembagaan dengan struktur yang sederhana Berladang dan menangkap ikan berdagang
Sistem Pemerintahan
1. kepemimpinan melalui sistem pewarisan 2. mengenal hierarki wilayah berdasarkan teritorial, tersentral 3. prinsip-prinsip organisasi menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan kewajiban yang ketat dan tersentralisasi
1. Kepemimpinan diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian 2. tidak ada birokrasi 3. mengenal hierarki wilayah Sumber: Agung Djojosoekarto, Rudiarto Sumarwono, Cucu Suryaman, eds, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Jakarta, Des.2008, hal.10-11.
2
Sando Sasako Bentuk Organisasi Kepemimpinan Berbasis Sistem Politik Tradisional Mekanisme hierarki kepemimpinan internal suku terbentuk berdasar pola pembagian kerja, adanya ritual tertentu, mekanisme penurunan kekuasaan, dan sistem politik yang terbentuk. Keunikan lain dari sistem peradatan di Papua adalah konsekuensi hukum adat yang berlaku, apabila dilanggar, bukan mengikat individu tapi mencakup keseluruhan komunal atau klan. Sifatnya yang komunal di satu sisi harus berhadapan (bertolak-belakang) dengan egoisme pemimpin yang berkuasa. Reproduksi kekuasaan melalui perkawinan, ritus agama, dan mekanisme mengukuhkan pemimpin (lewat perang, atau kecakapan tertentu) yang melibatkan sumber daya dalam hal upacara adat yang memerlukan biaya besar. Walau demikian, berbagai institusi politik moderen (trias politica: eksekutif, legislatif, yudikatif) berlaku efektif dan menjadi kesatuan yang dipatuhi oleh seluruh anggota suku. Dalam prakteknya, implementasi aktivitas politik moderen sangat kental dengan nuansa hubungan darah dan kekerabatan. Mansoben mengklasifikasikan 4 sistem politik tradisional di Papua, yakni sistem pria berwibawa, sistem politik kerajaan, sistem politik ondoafi atau kepala suku, dan sistem kepemimpinan campuran. Sistem Pria Berwibawa Sistem Pria Berwibawa memiliki ciri kedudukan pemimpin yang diperoleh melalui pencapaian individu yang bersumber pada kemampuan individual, keberhasilan dalam mendistribusikan kekayaan, kepandaian berdiplomasi dan pidato, keberanian memimpin perang, bertubuh besar dan tegap, dan sifat murah hati. Dalam sistem ini, kekuasaan dijalankan oleh satu orang serta tidak mengenal organisasi kerja dan pembagian kerja. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh pemimpin selalu dianggap benar dari segi kepentingan umum. Masyarakat adat yang menerapkan sistem ini adalah suku Dani, suku Asmat, suku Me, suku Meybrat, dan suku Muyu. Walau sistem organisasi kerja tidak ada, di suku Dani mengenal empat kesatuan wilayah, yakni kompleks (uma), gabungan kompleks (o-ukul, setara dengan desa), wilayah bertetangga (ap-logalek), dan konfederasi. Masing-masing kesatuan wilayah dipimpin oleh seorang kain. Semakin menonjol peran kain di tingkatan itu, makin besar peluang untuk menjadi pemimpin di tingkat yang lebih tinggi. Wewenang dan kekuasaan terpenting dari kain pada tingkat uma adalah mengatur pemanfaatan tanah milik uma. Sedangkan wewenang dan kekuasaan kain tingkat o-ukul adalah mengatur masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan politik, ekonomi dan agama antar-desa. Pemimpin ap-logalek memiliki wewenang yang hampir sama dengan okul, hanya wilayahnya lintas okul. Sementara pemimpin konfederasi hanya berwenang dalam memimpin perang dan mensponsori penyelenggaraan pesta babi. Pesta babi adalah ritual penting bagi suku Dani karena merupakan media untuk memperkuat solidaritas kesatuan sosial kelompok. Sistem Politik Kerajaan Ciri utama sistem ini adalah pola kepemimpinan yang bersumber pada pewarisan kedudukan pemimpin. Pewarisan bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran maupun klan. Sistem ini sudah mengenal pembagian fungsi dalam melaksanakan kekuasaan dengan berbasis pada teritori. 3
Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Papua
Sistem ini banyak dipengaruhi oleh kerajaan di Maluku, prinsip-prinsip organisasi sudah menampilkan struktur mapan dengan wewenang dan kewajiban yang ketat dan tersentralisasi. Sistem upeti dan pemungutan pajak sudah dikenal dalam masyarakat ini. Pusat orientasi kekuasaannya adalah perdagangan. Masyarakat pendukung sistem ini meliputi kepulauan Raja Ampat, suku di Semananjung Onin, Teluk Berau, dan daerah Kaimana. Di kerajaan Raja Ampat, struktur organisasi terdiri dari dua bentuk, yaitu struktur organisasi pusat dengan seorang raja yang dibantu 5 orang. Selain itu, terdapat dewan adat yang diketuai raja dengan anggota terdiri dari kepala klan kecil. Dewan adat berfungsi merundingkan dan memutuskan secara musyawarah persoalan yang berkaitan dengan pemilihan pemimpin baru. Bentuk kedua adalah organisasi di tingkat daerah. Pada tiap kampung (pnu) di daerah, raja mengangkat seorang pembantu yang diberi gelar marinpnu untuk meneruskan perintah raja yang berkaitan dengan penarikan upeti dan pemungutan pajak pada rakyat di wilayahnya. Sistem Politik Ondoafi atau Kepala Suku Ciri utama kepemimpinan sistem ini adalah melalui pewarisan kedudukan. Sistem kepemimpinan ini mengenal suatu organisasi terdiri dari seorang kepala, dan sejumlah pembantu dengan pembagian tugas yang jelas. Berbeda dengan sistem kerajaan yang berdasar pada wilayah teritori, sistem ini hanya terbatas pada satu golongan atau klan saja. Pusat orientasi kekuasaanya adalah religi. Pendukung sistem ini adalah suku Sentani, suku Genyem (Nimboran), suku di Teluk Yos Sudarso, suku Tabla, suku Yaona, suku Yakari-Skao, dan suku Arso-Waris. Seperti halnya suku Dani, sistem ini pun mengenal tingkatan organisasi, yakni klan kecil dengan pemimpin yang disebut khoselo dengan dibantu 2 pembantu pelaksana ritus (abu-akho) dan bendahara (akhona-fafa). Tugas Khoselo adalah bertindak sebagai hakim untuk mengurus dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut warganya, memimpin upacara adat, mengurus perkawinan, dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi warganya. Tingkat di atas klan kecil adalah kampung yang merupakan gabungan sejumlah klan kecil. Pemimpinnya disebut ondoafi. Ondoafi mempunyai hak atas semua sumber-sumber hidup (tanah, air, dan hutan) dalam lingkungan kekuasaannya yang disebut phuke khelahe. Organisasi di tingkat kampung sudah memiliki 4 fungsi yang jelas dengan 4 bidang utama, yaitu bidang religi, bidang keamanan, bidang kemakmuran, dan bidang ketertiban. Para fungsionaris yang membidangi 4 fungsi tersebut biasanya diambil dari khosole. Selain itu, setiap kampung memiliki dewan adat (yonow) sebagai tempat membicarakan semua urusan dan persoalan penting yang menyangkut kehidupan kampungnya. Tingkat di atas kampung adalah konfederasi atau gabungan kampung dengan syarat mempunyai latar asal-usul moyang yang sama. Pemimpin dewan adat disebut Hu Ondoafi yang bertempat di kampung asal moyang pertama yang sekaligus berperan sebagai pusat persebaran bagi kampung-kampung lain dalam konfederasi. Wewenang utama hu ondoafi adalah memimpin perang antar konfederasi dan memimpin upacara inisiasi bagi pemuda kampungnya.
4
Sando Sasako Sistem Kepemimpinan Campuran Ciri sistem campuran adalah kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian. Mekanisme pewarisan dilaksanakan jika situasi dalam keadaan tenang. Dan melalui pencapaian jika terjadi situasi tertentu yang menuntut penampilan pemimpin untuk menjawab tantangan tersebut. Situasi bisa berupa peperangan, bencana alam, dan lainnya. Berbeda dengan sistem kerajaan dan ondoafi, dalam sistem campuran ini tidak mengenal birokrasi. Pendukung sistem ini adalah suku-suku di Teluk Cendarwasih (Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya). Walau tidak mengenal birokrasi, di suku Biak dan suku Waropen mengenal pula hierarki model sistem ondoafi dengan hierarki tertinggi berada di kampung. Di Biak, pemimpinnya disebut mananwir. Pada soal-soal tertentu mananwir akan mengkoordinasikan kepala-kepala klan kecil (keret) dengan tokoh masyarakat untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan kampung lewat lembaga yang disebut kainkain karkara mnu. Jadi, mananwir mnu membuat keputusan berdasarkan keputusan bersama. Perubahan Sosial yang Menyatukan di Papua Sentimen kesukuan yang kental di masyarakat asli Papua bukannya tidak beralasan. Sebab-akibat yang menjadi kausalitas demikian bisa jadi merupakan simbol dan/atau bentuk-bentuk reaksi akibat ketidakberdayaan mereka terhadap adanya perubahan sosial di kalangan masyarakat asli. Resistensi terhadap masuknya budaya luar dilatarbelakangi budaya lain yang dinilai semakin menggerus akar kehidupan tradisional yang sudah mereka warisi, jalani, dan lestarikan selama ini. Dengan kata lain, ‘adat’ yang berbeda di setiap wilayah mengalami evolusi ke adat yang sama (homogenisasi), yakni semakin berakarnya budaya materialisme, ajaran dan keyakinan serta penghargaan yang lebih tinggi terhadap individualisme (neo-liberalisme). Homogenisasi merupakan proses yang tidak terelakkan serta sebagai ciri utama yang melekat pada perubahan sosial dalam perspektif modernisasi. Dua sudut pandang lain yang bisa dipergunakan dalam menganalisis dan membenarkan proses perubahan sosial adalah sudut pandang keilmuan ketergantungan (dependensi) dan sistem dunia (Suwarsono dan So, 2006:21). Evolusi sosial berlanjut pada evolusi budaya. Proses difusi masyarakat berlangsung melalui distribusi berbagai unsur budaya. Unsur-unsur budaya yang tersebar kemudian mengalami akulturasi dan asimilasi yang mengarah pada berbagai tuntutan pembaruan di tengah masyarakat (Koentjaraningrat, 2009:191-213). Enam ciri pokok perubahan sosial dalam perspektif modernisasi yang dirumuskan Huntington adalah sebagai berikut: 1. Modernisasi merupakan proses bertahap. Teori umum yang digunakan adalah teori tahapan pertumbuhan ekonomi ala Rostow. 2. Modernisasi dapat disebut sebagai proses homogenisasi. 3. Modernisasi terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya sebagai proses eropanisasi, amerikanisasi, westernisation, menjadi masyarakat berbudaya barat. 4. Modernisasi merupakan proses yang tidak bergerak mundur dan menyatukan. 5. Modernisasi merupakan perubahan progresif menyusul adanya proses urbanisasi, perubahan dalam kebutuhan, keperluan, dan keinginan di tingkat individu. 6. Modernisasi memerlukan waktu panjang.
5
Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Papua Berangkat dari pemikiran dan teori fungsionalisme, ajaran modernisasi memiliki beberapa asumsi implisit sebagai berikut: 1. Modernisasi merupakan proses sistematik. 2. Modernisasi merupakan proses transformasi dari penggunaan nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai moderen. 3. Modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus (imminent). Sebagai bentuk resistensi terhadap semakin dominannya budaya ‘asing’, mereka ada yang secara bersama-sama menyuarakan keperdulian mereka atas masalah ini. Ada pula yang bersuara sama, tetapi tidak ingin bekerja sama, melainkan menjadi kelompok tersendiri dan bersikap separatis. Beberapa bentuk jaringan kerjasama dan/atau forum komunikasi yang muncul di tengah kelompok masyarakat sipil mencakup: 1. Forum Kerjasama LSM. 2. Kongres Rakyat Papua. 3. Sidang Dewan Adat Papua. 4. Kerjasama dalam Kegiatan. Berbagai bentuk forum komunikasi pada dasarnya bertujuan mencoba melakukan penyamaan persepsi dan pemahaman antara fungsi-fungsi berbagai lembaga MRP dan DPRP (dan dasar implementasinya dalam bentuk Perdasi dan Perdasus) dengan konsep umum, universal, dan dalam konteks NKRI dan hidup berbangsa dan bernegara yang satu, Indonesia, serta bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu (Semangat Sumpah Pemuda 28.10.1928). Berbagai forum komunikasi hendaknya lebih menyuarakan semangat keutuhan bangsa dan nasionalisme, ketimbang isu separatisme. Keutuhan bangsa dan negara hendaknya tidak terbatas dalam konteks integritas wilayah teritorial belaka, melainkan juga budaya dan semangat partisipatif dan demokratis serta sarat dengan rekonsiliasi antara adat dan budaya Papua dengan asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk didalamnya kesepakatan tentang pola-pola hubungan antara lembaga non-pemerintah dan lembaga pemerintahan daerah. Dengan status otonomi khusus, adat dan budaya Papua diakui dan direpresentasikan di tingkat wilayah (provinsi Papua dan Papua Barat) dalam bentuk MRP. Dua muatan kebijakan lainnya dalam otonomi khusus Papua adalah berupa kekhususan penerimaan daerah dengan sebutan Dana Alokasi Khusus atau Dana Otonomi Khusus. Muatan ketiga berupa lambang daerah yang diharapkan tidak dianggap sebagai simbol kedaulatan, melainkan sebagai pengakuan dan perlambang eksistensi budaya Papua. url: http://mayachitchatting.wordpress.com/2013/03/31/sistem-kepemimpinan-tradisional-masyarakat-papua/ Page name: mahalnya biaya kepemimpinan untuk menjadi penguasa wilayah, sektoral, nasional, regional, dan dunia
6