SHANNON HARTONO
Pemimpin Redaksi
SHANNON HARTONO
Pemimpin Redaksi
“Memangnya, masih ada yang membaca majalah, ya?” Begitulah pertanyaan yang sering muncul dalam percakapan kami sebagai jurnalis media cetak di tengah dominasi konten digital. Pertanyaan itu tentunya sah-sah saja, mengingat minat baca di Indonesia berdasarkan data UNESCO 2023 hanya 0,001% (artinya hanya 1 dari 1.000 orang) yang memiliki minat baca terhitung sangat rendah. Namun, penting dicatat bahwa fakta ini tidak mencerminkan rendahnya keinginan masyarakat Indonesia untuk memperoleh informasi. Pada dasarnya, ini lebih kepada perbedaan preferensi.
Selama hampir 20 tahun berkarya di industri media cetak, kami telah menyaksikan berbagai evolusi dan transformasi tanpa pernah memandang platform digital sebagai ancaman. Sebaliknya, kami melihatnya sebagai peluang untuk memperluas jangkauan sekaligus memperkaya pengalaman membaca.
Dengan pola pikir ini dan hasil observasi mendalam beberapa tahun terakhir, kami merancang konsep inovatif untuk memenuhi kebutuhan informasi gaya hidup di Indonesia. Tetap mengedepankan kualitas jurnalisme yang konsisten, kami menghadirkan konten majalah cetak kami dalam tiga format berbeda
yang dapat dibaca, didengar, dan ditonton. Inilah yang kami sebut sebagai konten multisensori.
Berbeda dengan konten media sosial maupun digital lainnya yang sangat sensitif terhadap waktu lebih fokus pada berita dan tren yang bersifat sementara konten majalah cetak, sebagaimana mestinya, menawarkan narasi mendalam yang dikemas secara matang dan memiliki relevansi yang melampaui zaman.
Pendekatan ini memungkinkan Anda menikmati informasi berkualitas setara buku, tanpa terbatasi oleh format teks semata. Dengarkan versi audio yang kami bacakan atau tonton versi video dengan visual yang menghidupkan narasi kami. Kian istimewa, Anda dapat membuat daftar putar personal sesuai dengan preferensi konten Anda. Menarik, bukan?
Saatnya berkenalan dengan KINTAKA, media baru di bawah naungan Time International Publications.
hadir sebagai referensi yang reliabel dengan wawasan mendalam seputar industri gaya hidup
Nama KINTAKA dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti arsip kami pilih sebagai penghormatan terhadap esensi jurnalisme gaya hidup dalam mendokumentasikan momen dan peristiwa penting dalam industri ini. Melalui proses kurasi konten yang cermat, data akurat dari sumber kredibel, dan narasi inspiratif, KINTAKA hadir untuk menyuguhkan wawasan mendalam yang mendefnisikan gaya hidup, sehingga dapat menjadi referensi yang reliabel dalam membentuk opini.
Selaras dengan konsep arsip, logo KINTAKA menggambarkan spektrum waktu di mana garis horizontalnya melambangkan jembatan dari masa lalu yang abadi, melewati masa kini
dengan banyak pilihan, hingga masa depan yang penuh kemungkinan tak terbatas. Lima cabang pada logo ini juga mewakili platform kami majalah, situs web, media sosial, surat kabar elektronik, dan acara yang semuanya dirancang untuk menjadi ruang dialog bagi komunitas gaya hidup untuk berbagi ide dan inspirasi.
Filosof tersebut memandu kami dalam menarasikan ragam peristiwa secara menyeluruh. Tak hanya berfokus pada apa yang terjadi saat ini, tetapi juga menggali signifkansi dan warisan dari subjek atau objek di masa lalunya, serta maknanya bagi masa depan berdasarkan analisis lintas waktu.
Harapannya, narasi ini dapat menjadi jendela pengetahuan sekaligus konteks berguna bagi para penikmat gaya hidup muda yang baru men-
jelajahi ragam penawaran di industri ini, membantu mereka membuat keputusan yang lebih terinformasi.
Didesain untuk audiens yang memiliki minat luas dan semangat untuk memperluas wawasan tentang berbagai aspek gaya hidup, KINTAKA menghadirkan sembilan topik utama: horologi, perhiasan, mode, otomotif, boga, seni, desain, teknologi, dan pelesir. Melalui lima platform yang saling melengkapi, KINTAKA menyatukan topik-topik ini secara harmonis.
Didukung oleh tiga pilar konten utama Karya yang berfokus pada produk, Persona yang mengangkat sosok inspiratif, dan Cerita yang mendalami makna serta dampak signifkan dari produk, individu, atau institusi tertentu KINTAKA menjadi wadah multikategori yang memberikan perhatian setara pada setiap topik.
Sebagai media berbahasa Indonesia, kami percaya tak ada yang lebih baik daripada memberikan sorotan kepada Tanah Air tercinta untuk edisi perdana KINTAKA. Mengusung tema ‘Lanskap Gaya Hidup di Indonesia’, KINTAKA mengulas secara komprehensif seputar histori, ekosistem, dan potensi sektor gaya hidup lokal dari perspektif sejumlah jenama dan sosok-sosok yang menghidupkan, membentuk, dan menggerakkan industri ini.
Salah satu sosok yang mengharumkan nama Indonesia di industri seni adalah Naufal Abshar dengan karyakarya yang mendunia. Untuk sampul edisi perdana ini, kami merasa terhormat menampilkan karya eksklusif-
SukkhaCitta mengkreasikan pakaian paling bermakna dengan pendekatan berkelanjutan bagi alam dan komunitas. Baca lebih lanjut di halaman 128
nya khusus untuk KINTAKA yang berjudul The “Kultural” Reader Melalui lukisan ini, Naufal merangkum tindakan membaca sebagai portal ke berbagai dunia dan gagasan dalam upaya memahami dan terhubung dengan lanskap budaya yang lebih luas. Kolaborasi Naufal dan KINTAKA bertepatan pada perayaan satu dekade kariernya sebagai pelukis kontemporer. Tentunya, kami begitu bangga dapat menjadi bagian dalam momentum istimewa ini.
Dari segmen Karya, kami mengkurasi sejumlah produk edisi terbatas khusus Indonesia kreasi para jenama global dan evolusi tren gaya hidup di Tanah Air dari waktu ke waktu. Melalui segmen Persona, Anda dapat mengetahui dan mengenal lebih dalam sosok-sosok di balik peritel lintas industri yang memperkaya lanskap gaya hidup Tanah Air, termasuk sejumlah individu terpilih dengan koleksi mobil klasik, sepatu kets, atau karya seni yang mengagumkan.
Berfokus pada dampak positif dalam mempopulerkan gaya hidup yang lebih baik untuk bumi dan/atau komunitas, segmen Cerita menyuguhkan sejumlah kisah visioner Indonesia yang begitu menggugah. Melalui kemenangan seorang barista Indonesia di ajang kompetisi dunia, kami memaknai pengaruhnya terhadap industri kopi nusantara. Selain itu, kami juga mengupas model bisnis berkelanjutan sebuah label pakaian lokal yang telah menaikkan pendapatan 1.500 artisan di daerah pedesaan.
Terima kasih telah menjadi bagian dari awal perjalanan kami. Semoga KINTAKA dapat menjadi pendamping setiap langkah Anda dalam menjelajahi semesta gaya hidup yang penuh pilihan dan menggapai impian. Selamat menikmati edisi perdana kami, dan selamat bergabung dalam perjalanan penuh inspirasi bersama.
SURAT EDITOR
Penerbit IRWAN MUSSRY
Manajer Redaksi ERIKA TANIA
Eksekutif Editorial CHARLENE ATALIE
SAPA KAMI
Pemimpin Redaksi SHANNON HARTONO
Eksekutif Periklanan NETANYA GABRIELLE
Multimedia Kreatif KRISTY G. LANTANG
Manajer Bisnis AMELIA WIDHARATNA
Eksekutif Editorial Senior ARINTA WIRASTO
Eksekutif Media Sosial ATHIRAH NURFILZAH
Informasi Berlangganan: kintaka@time.co.id Periklanan dan Kolaborasi: netanya.gabrielle@time.co.id
DITERBITKAN OLEH
TIME INTERNATIONAL PUBLICATIONS
PT Komunikasi Perkasa Internasional Centennial Tower lantai 28, Jalan Gatot Subroto Kav. 24-25. Jakarta 12930
Penulis
KEVINDRA SOEMANTRI @kevindrasoemantri
Fotografer / DERAI
REYNALDO TJANDRA @reynaldotjandra
Videografer / DERAI
RAJA IBNU FADERI @crymeariverrs
KEVINDRA SOEMANTRI
Penulis
GIVANIA DWI CITTA @givaniadc
Fotografer / DERAI
AURYN H. GAUTAMA @auryngautama
Videografer / DERAI
DIMITRI ISNANTA @dimitrizuniar
Penulis buku bertemakan kultur boga, juga pemilik restoran papan atas di jantung ibu kota Indonesia.
BILLY SAPUTRA
Penulis lepas yang senang membagikan kabar baik lewat artikel ftur gaya hidup, jam tangan, gawai, dan perjalanan.
REYNALDO TJANDRA
Fotografer dan pendiri DERAI Studio yang memiliki kepekaan tinggi dalam menangkap keindahan hidup.
MICHAEL MADJID
Pria kelahiran Surabaya yang gemar menginjeksikan gaya street ke dalam fotograf pernikahan yang menjadi spesialisasinya.
RAJA IBNU FADERI
Pria yang mengekspresikan emosi dan ide melalui gambar yang bergerak.
HELENA WIJAYA
Pegiat seni yang sedang menekuni elemen audio dan visual.
Penulis
BILLY SAPUTRA @bill_saputra
Fotografer / DERAI MICHAEL MADJID @michaelmadjid
Videografer / DERAI HELENA WIJAYA @helenawijaya
GIVANIA DWI CITTA
Penulis DWI LUKITA @dwilukita_
Fotografer / DERAI BRIAN VALENSKA @briannathanielv
Video Editor ADITYA WIRADIMADJA @awirdja
Mantan editor majalah yang kini memeluk peran sebagai ibu, serta penulis lepas bergairah pada topik seputar gaya hidup dan isu perempuan.
DWI LUKITA
Penulis yang gemar bercanda dan dijadikan bahan bercanda.
AURYN HERMAN GAUTAMA
Pria humoris dengan kamera tergantung di bahunya yang gemar mengubah momen canggung menjadi tawa.
BRIAN NATHANIEL VALENSKA
Fotografer muda yang selalu antusias untuk melakukan eksplorasi kreatif.
DIMITRI ZUNIAR ISNANTA
Videografer yang selalu melihat sesuatu dengan perspektif mendalam dan menuangkannya dalam gambar.
ADITYA WIRADIMADJA
Calon seniman multimedia yang suka mengkreasikan karya sinematik nan bermakna.
SURAT EDITOR
Pengantar dari Pemimpin Redaksi
REDAKSI
Kenali sosok-sosok di balik setiap lembar yang Anda baca
KONTRIBUTOR
Deretan sosok kreatif yang membantu kami mewujudkan makna dan cerita
008
012
013
020 SAMPUL
Naufal Abshar merayakan satu dekade berkarya sebagai pelukis kontemporer
164 DIREKTORI
Temukan detail seputar jenama yang Anda baca di edisi ini
FOKUS
Merayakan Indonesia lewat kreasi lintas disiplin bersama Berluti, Hyundai, Lemaire, dan Seiko
FOKUS
Simbol prestise kini hadir dalam satu kabinet pemutar jam tangan kreasi Billstone
FOKUS
Menerjemahkan seni tari lewat kreasi sarat tradisi dari Tulola
FOKUS
Petualangan romantis terbaik di dunia ada di Plataran Komodo
SIKLUS
Memaknai evolusi arus gaya hidup Indonesia dari era ’90-an hingga kini
032
038
042
046
050
IMAJI 060
Pesona tas kulit eksotis nan ikonis dari Fendi
TELITI
Kulkas Italia dengan corak Nusantara dari SMEG dan Didiet Maulana
TELITI
Keindahan anyaman logam khas Bali karya John Hardy
068
070
KOLEKTOR 074
Memaknai setiap koleksi karya seni Tom Tandio
KOLEKTOR 080
Jejak langkah dan kurasi sepatu kets
Adityalogy
SUDUT PANDANG 086
Menyingkap persepsi enam peritel gaya hidup dari sektor horologi, desain, seni, mode, boga, dan perhiasan.
SUDUT PANDANG 094
Jakarta dan para penikmat kuliner dari kacamata Kevindra Soemantri
SUDUT PANDANG 100
Restorasi dan ekspedisi: misi Hauwke S. di dunia otomotif klasik
SUDUT PANDANG 106
Agatha Carolina dan praktik desain multidisiplin
SUDUT PANDANG 112
Qarrar Firhand: jenius balap gokar berusia belia
IMAJI 116
Penunjuk waktu elegan dari Longines untuk beragam gaya kondangan
INI/ITU 124
Olivia Lazuardy
WAWASAN 128
Pemenang Rolex Awards for Enterprise, Denica Riadini-Flesch, memadukan gaya dengan makna
WAWASAN 134
Menganyam cerita dan warisan Dayak bersama alvinT
WAWASAN 140
Dampak Juara Dunia Barista, Mikael Jasin, terhadap industri kopi Indonesia
KATA KINTAKA 146
Mengurai mitos tentang berlian buatan laboratorium
JURNAL 152
Menyelami semesta fksi Natasha Tontey dan Audemars Piguet Contemporary
JURNAL
Menelusuri cerita balik layar dari konsepsi KINTAKA
158
TRIVIA 166
Serangkaian agenda gaya hidup 2025 yang membuat tak sabar menyambut tahun baru
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Erika Tania
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI PENULIS
VIDEOGRAFI
Raja Ibnu F. / DERAI
Mengapa karya seni yang tampak sederhana dan mudah direplikasi sering dihargai begitu fantastis? Jika Anda memiliki pertanyaan yang sama, tenang saja Anda tidak sendirian dan ternyata ini bukan pertanyaan khas kaum awam. Naufal Abshar, pelukis kontemporer asal Indonesia yang telah memamerkan lukisannya di berbagai belahan dunia, juga pernah mempertanyakan hal serupa saat mengunjungi sebuah ekshibisi seni bertaraf internasional beberapa tahun yang lalu. “Kok (karya ini) bisa lulus kurasi di acara sebergengsi ini?” ujarnya penuh rasa penasaran kala itu.
Kini, berbekal pengalaman dan pencapaian sebagai seniman yang telah berkarya selama satu dekade, Naufal berbagi pandangannya dengan bijak. “Saya menyadari bahwa karya seni bukan tentang produk akhirnya, melainkan tentang proses dan konteksnya,” ungkap pria berusia 31 tahun ini. “Semakin sering Anda mengunjungi galeri, museum, atau pameran, wawasan Anda akan semakin terbuka. Anda akan lebih memahami dan memaklumi bahwa seni sangatlah beragam,” lanjutnya.
Sebagai penganut seni kontemporer, Naufal mengakui bahwa aliran ini memiliki kompleksitas tersendiri dalam menyampaikan makna. “Seni kontemporer merayakan kebebasan tanpa batas dalam berkarya. Para seniman dapat menggabungkan berbagai disiplin dan konteks sekaligus, bahkan menciptakan medium mereka sendiri. Maka tak heran jika sebagian penikmatnya merasa tersesat dan memerlukan waktu lebih lama untuk memaknainya,” jelas Naufal.
“Saya
Naufal Abshar
Kerap terinspirasi oleh isu terkini yang relevan dan familier, karya seni kontemporer terkadang hanya dimaknai sekadar pada permukaannya saja. Ungkapan seperti ‘Ah, ini mah saya juga bisa buat’ sudah tidak asing di telinga para seniman kontemporer. Menariknya, Naufal justru setuju dengan komentar tersebut. “Tentu saja Anda bisa melakukannya karena Anda sudah melihat karya ini. Namun, apakah Anda bisa menggagasnya lebih dulu?” tanggap pria yang, pada awal kariernya, pernah memperoleh komentar bahwa lukisannya tampak seperti poster hasil desain grafs.
Di era modern dengan informasi yang begitu berlimpah, seniman kontemporer masa kini mengkurasi berbagai referensi dan mengombinasikannya dengan perspektif tak biasa, bahkan benar-benar baru. Hasilnya adalah karya-karya yang menggugah Anda untuk menginterpretasi dan mempertanyakannya. Karena, pada dasarnya, seni bukan tentang apa yang seharusnya Anda lihat, melainkan tentang apa yang Anda temukan ketika melihat lebih dekat. Itulah esensi yang Naufal hadirkan melalui karyakaryanya selama satu dekade terakhir sebuah ruang dialog yang memanjakan mata dan menyentuh jiwa para penikmatnya.
REFERENSI SPESIFIK DI BALIK VISUAL ARTISTIK
Kekayaan warna kontras nan harmonis yang membuat setiap karya Naufal begitu memuaskan pandangan, nyatanya bukanlah preferensi baru berdasarkan sebuah tren atau tema tertentu, melainkan referensi sarat makna dari mainan dan karakter favoritnya semasa kecil. “Saya sangat suka Lego karena warnanya yang sangat khas. Meski terlihat sederhana, sesungguhnya terdapat unsur arsitektur dan mekanis yang kompleks saat memainkannya. Maka tak heran bila Lego menjadi bagian signifkan dalam kultur pop yang kerap menginspirasi kreativitas banyak orang, termasuk saya,” cerita pria penggemar gim komputer ini.
“Sebagai generasi ‘90-an, saya selalu menghabiskan hari Minggu dengan menonton berbagai serial anime di televisi sepanjang pagi hingga siang hari. Selain Doraemon, Shinchan, dan Digimon, karakter-karakter dari flm Disney juga begitu melekat di hati saya. Saking terinspirasinya oleh grafs dan konteks dari karakter-karakter tersebut, saya mulai menggambar
Iconic Gala (2024) mengilustrasikan kemeriahan pesta kaum elite, sembari mengeksplorasi ironi yang tersembunyi dalam pemikiran setiap individu
komik, bahkan membuat permainan di atas kertas bersama teman-teman semasa kecil,” kenang Naufal yang kemudian mengikuti les animasi dan desain grafs untuk kian mengasah kemampuannya.
Beranjak remaja, Naufal beralih ke musik metal sebagaimana kebanyakan pemuda tahun 2000-an yang tengah mencari jati diri. Meski bergabung dalam sebuah grup musik sebagai vokalis, Naufal nyatanya tetap menyalurkan bakat menggambarnya dengan mendesain
sampul album untuk diunggah pada platform MySpace hingga poster untuk acara pentas seni di sekolahnya. Genre metal yang memiliki asosiasi erat dengan lirik kaya kritikan tersebut seolah menjadi cikal bakal dari komentar satir pada karya Naufal kini. “Pada saat itu, saya merasa dibebaskan oleh seni di tengah berbagai peraturan sebagai anak SMA dalam jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat eksak. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di bidang seni,” ungkap Naufal.
DEDIKASI DISIPLIN MENUJU DEBUT
Masa di mana media sosial dan internet belum menyediakan akses informasi sekaya dan semudah sekarang, Naufal melakukan riset mendalam lewat buku, katalog, dan berbagai dokumentasi untuk lebih memahami seni. Merupakan anak dari ayah yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ibu rumah tangga, Naufal ingin meyakinkan kedua orang tuanya dengan rencana kuliah dan karier yang jelas. Selain mempersiapkan presentasi komprehensif seputar latar belakang di balik motivasinya, sejumlah kampus pilihan, dan profl-
profl seniman sukses, Naufal juga mengajak kedua orang tuanya ke Selayar Sunaryo.
“Saya memang kenal dengan Arin Dwihartanto Sunaryo anak dari seniman kontemporer tersohor, Sunarya sejak SMA. Saat orang tua saya berbincang langsung dengannya, mereka akhirnya paham dan setuju untuk mendukung saya kuliah di LASALLE College of the Arts, Singapura,” kisah Naufal bangga. Kedisiplinan dan kegigihan hasil didikan kedua orang tuanya tercermin
dari pendekatan Naufal dalam mengakselerasi pengalamannya. Kuliah sambil bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa pemindahan dan penanganan karya seni di Singapura mengantarkan Naufal pada sebuah kesempatan berharga untuk berpartisipasi dalam pameran seni, bahkan sebelum ia lulus kuliah.
“Manajer saya pada waktu itu memiliki galeri bernama Art Porters. Setelah melihat langsung karyakarya saya di studio bersama rekannya, ia pun menawarkan saya untuk berpartisipasi dalam pameran seninya yang akan berlangsung selama tiga hari. Saya beruntung sekali menjadi seniman termuda dalam acara tersebut di antara senimanseniman lain dari New York, Prancis, dan lainnya yang sudah kaya pengalaman dan terkenal,” tutur Naufal. Meski sangat mensyukuri momentum yang diperolehnya, Naufal sempat merasa putus asa lantaran hingga hari terakhir penyelenggaraan pameran seni tersebut, belum ada satu pun pengunjung yang membeli karyanya.
Faktanya, warna-warna yang terdapat dałam karya Naufal diperoleh dari lapisan cat akrilik, krayon, hingga cat semprot untuk menghasilkan tona dan efek yang diinginkan
“Akhirnya, terdapat pasangan suamiistri dari Afrika Selatan yang tertarik dengan salah satu karya saya. Di saat yang sama, pacar teman saya membeli salah satu lukisan saya. Seolah merasa tersaingi, pasangan Afrika Selatan tersebut juga mengonfrmasi pembeliannya sebagai hadiah untuk anak mereka. Pada saat itu saya merasa senang sekali dapat menunjukkan kepada kedua orang tua bahwa profesi sebagai seniman lebih dari sekadar hobi dan dapat menjadi sumber penghasilan,” cerita Naufal yang secara resmi mengukuhkan momen tersebut sebagai debutnya di dunia seni, tepatnya pada tahun 2014.
Sepuluh tahun kemudian, Naufal telah berpartisipasi dalam lebih dari 50 pameran bersama ragam seniman dan mengadakan pameran solo di sejumlah negara, seperti Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, dan tentu saja Indonesia. Saat ditanya mengenai ekshibisi favoritnya, Naufal menjawab, “Pameran solo paling memuaskan bagi saya adalah Flash, Pow, Bham! yang diadakan pada akhir tahun 2022 lalu di Jakarta. Pameran tersebut merupakan yang terbesar dari segi jumlah karya dan luas ruangnya.”
Dikurasi oleh kurator independen, Bob Edrian, pameran Flash, Pow, Bham! memang meninggalkan kesan mendalam bagi para penggemar seni ibu kota yang menghadirinya, termasuk sejumlah fgur publik dan selebriti.
Lebih dari 30 karya seni 80% di antaranya dibuat Naufal dalam kurun waktu dua tahun menuju acara yang dipamerkan merupakan manifestasi dari observasi sang seniman terhadap perilaku manusia di tengah kewalahan informasi dan koneksi dalam dunia interaktif masa kini.
Melalui pameran tersebut, Naufal turut mengekspresikan kematangannya sebagai seorang seniman dengan feksibilitas unik dalam meng-
Melalui serial terbarunya yang bertajuk Day-to-Day, Naufal Abshar menyoroti momen dalam kehidupan sehari-hari, seperti suasana yang diilustrasikan dalam The Happiest Guy of The Year (2024)
interpretasikan ragam isu terkini menjadi karya penuh makna dan memanfaatkan berbagai medium untuk presentasi yang semakin dinamis. Selain lukisan, pameran tersebut juga menampilkan sejumlah instalasi, seperti tumpukan televisi kuno, robot, karpet ular tangga yang bisa dimainkan, lukisan kinetik, hingga sebuah sudut yang dirancang menyerupai studio Naufal ketika berada di New York.
Menengok ke belakang, pelukis kontemporer ini mengaku merasa lebih damai, “Waktu telah menghadiahkan saya pengalaman dan
pertemuan dengan banyak fgur inspiratif yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan dan karier. Kini, saya lebih tenang dalam menghadapi keadaan, serta lebih bisa mengatur suasana hati agar lebih cepat menghasilkan karya. Palet warna yang saya gunakan pun cenderung ke arah pastel, tidak lagi terlalu cerah dan meledak-ledak. Secara konteks, karya saya lebih santai dan tidak terlalu kompleks.”
Memang demikian adanya, pernyataan tersebut tercermin dalam evolusi karya seni Naufal dari waktu ke waktu.
Mengidolakan karya seniman kawakan, Nyoman Masriadi, Naufal Abshar juga menampilkan fgur Batman dalam lukisannya The Timeless Man (2020) namun dengan pendekatan yang berbeda
menggambarkan fragmen kehidupan melalui serial Day-to-Day
Berbicara mengenai karya, fokus Naufal tak hanya terbatas pada ekspresi diri dan peningkatan kesadaran terhadap isu-isu tertentu. Baginya, kolaborasi sangat penting dalam mengedukasi masyarakat tentang seni untuk menghadirkan dampak jangka panjang terhadap industri ini. Selama kariernya, Naufal telah berkolaborasi dengan berbagai individu dan jenama lintas bidang, seperti desain sampul album untuk Kunto Aji yang memperoleh penghargaan AMI 2019 untuk Grafs
Desan Album Terbaik dan Eric Nam, desain pakaian bersama Erigo, merchandise untuk koleksi perhiasan Mondial, instalasi raksasa untuk Treasury di Art Jakarta Gardens, buku Mengingat Yang Perlu Diingat (2023) bersama Ika Natassa, hingga sesi melukis langsung bersama Susilo Bambang Yudhoyono di acara Creativepreneur 2024.
Mengawali kariernya dengan serial HAHA yang sarat pernyataan, ia mengeksplorasi esensi humor melalui kritikan satir. Kemudian, seniman asal Bandung ini berkontemplasi tentang waktu dan makna hidup secara flosofs lewat serial Time Progression yang dihiasi tebaran angka-angka di sekeliling kanvas, seolah menandakan waktu yang terus berjalan sebuah tanggapan terhadap pandemi Covid-19. Kini, Naufal menerapkan pendekatan lebih ringan dengan
Kemudian, tentu saja, kolaborasi terbaru dengan KINTAKA berupa karya seni eksklusif yang menghiasi sampul edisi perdana majalah ini. Melalui karya bertajuk The “Kultural” Reader, Naufal mengundang Anda untuk merenungkan persimpangan antara budaya dan pengalaman pribadi, merefeksikan proses penyerapan informasi dari kegiatan membaca. “Lukisan ini merangkum tindakan membaca sebagai portal ke berbagai dunia dan ide dalam upaya memahami dan terhubung dengan lanskap budaya yang lebih luas, serta bentuk penghargaan terhadap seni
dan pentingnya refeksi pribadi dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern,” ungkapnya.
Ketika ditanya mengenai inspirasi di balik karya ini, Naufal menjelaskan, “Saya tergugah oleh kekuatan transformatif membaca dan kebahagiaan dalam tenang yang ditemukan saat meresapi kekayaan ekspresi manusia. Lukisan ini merupakan respon terhadap kewalahan informasi yang melanda saat ini. Berbeda dengan sifat cepat dan sesaat dari konten digital, saya ingin menciptakan sesuatu yang disengaja dan nyata. Seperti merancang sebuah majalah, karya ini melibatkan pilihan-pilihan yang hati-hati dan langkah-langkah yang penuh pemikiran, mengundang audiens untuk memperlambat diri dan benar-benar terlibat.”
Dengan spirit yang serupa, Naufal juga akan merilis buku bertajuk Bham: 24/7 Naufal Abshar yang mengabadikan perjalanan emosional dan intelektual sebagai pelukis kontemporer selama satu dekade terakhir. Buku yang sudah tersedia untuk praorder di situs resmi Snap Collective penerbit basis Kopenhagen, Denmark ini mengajak pembaca untuk merayakan keindahan dalam momen kehidupan sehari-hari yang selaras dengan serial Day-to-Day terbaru karya Naufal. Menggabungkan elemen buku seni dan autobiograf, Bham: 24/7 Naufal Abshar memberikan kesempatan kepada pembaca untuk lebih mengenal semesta artistik Naufal Abshar yang sekali lagi tak hanya memanjakan mata, tetapi juga menyentuh jiwa.
Naufal Abshar menggunakan cat semprot untuk menandai komposisi lukisan The “Kultural” Reader, sebelum menyempurnakannya dengan cat akrilik
Proses sketsa lukisan The “Kultural” Reader untuk sampul majalah KINTAKA oleh Naufal Abshar
Ulasan mendalam mengenai produk lintas industri. Mulai dari rilisan terkini, hingga kreasi klasik yang tak lekang oleh waktu.
Di tengah dunia yang semakin terhubung, kecenderungan untuk mengikuti tren global terasa sulit untuk dihindari. Dengan demikian, memiliki prinsip ‘Berpikir secara global, bertindak secara lokal’ menjadi pedoman yang semakin penting untuk diterapkan di tengah industri gaya hidup. Berpikir global menawarkan persepsi luas tentang bagaimana Indonesia dapat menjadi bagian penting dari kancah internasional.
Di sisi lain, bertindak lokal juga mendorong penikmat gaya hidup Indonesia secara lugas untuk mendukung kreasi buatan tanah air. Meski masih banyak penikmat gaya hidup yang belum bisa memeluk gagasan ini, segelintir pelaku kreatif sudah fasih menerapkannya.
Hal ini memantik pertanyaan penting: bagaimana para konsumen dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk mempromosikan identitas lokal ke panggung dunia? Lebih dari sekadar mengikuti tren, ini tentang merayakan warisan budaya. Salah satu langkah konkret adalah mendukung pelaku kreatif lokal dan mengintegrasikannya pada pola konsumsi dan gaya hidup kita sehari-hari.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Faktanya, kini semakin banyak jenama global yang menggali inspirasi dari para pelaku kreatif Tanah Air. Manifestasnya terlihat dalam berbagai bentuk. Mulai dari kolaborasi kreatif yang melibatkan desainer lokal dan perajin tradisional, hingga peluncuran edisi eksklusif untuk pasar Indonesia. Selain itu, terdapat pula jenama yang memilih untuk melibatkan seniman atau kreator lokal dalam proses kreatifnya.
Hal ini bertujuan untuk memperkaya narasi produk dengan perspektif khas Indonesia. Momentum ini serta merta menguatkan posisi Indonesia sebagai negara dengan potensi yang patut diperhitungkan. Ikuti KINTAKA dalam menyingkap kreasi-kreasi bertemakan Indonesia yang digarap oleh sejumlah jenama internasional.
Berluti mengerti bahwa kedisiplinan untuk mempertahankan tradisi akan menghasilkan kualitas yang tiada duanya. Berangkat dari pemahaman ini, tercetuslah sebuah edisi terbatas yang dicanangkan sebagai penghormatan terhadap budaya Indonesia. Ialah koleksi tas bermaterialkan kulit sapi dengan tato bergambarkan burung cendrawasih. Terdapat tiga elemen tradisi yang patut disoroti dari tas istimewa bernama Bird of Paradise ini. Pertama tentu saja adalah burung cendrawasih, fauna endemik langka yang menjadi fokus sang koleksi.
Burung asal provinsi Papua ini melambangkan keindahan dan elegansi yang beresonansi dengan DNA Berluti. Kedua adalah material kulit sapi Venezia yang telah sinonim
dengan Berluti sejak dikembangkan oleh pewaris tahta jenama aksesori tersebut, Olga Berluti. Sejak tahun 2005, kulit sapi Venezia senantiasa diimplementasikan pada ragam tipe penawaran di luar lini sepatu Berluti.
Sorotan selanjutnya terletak pada elemen tato yang mendemonstrasikan kerajinan tangan istimewa khasjenama asal Italia tersebut dalam hal teknik dekorasi. Berawal dari kolaborasi dengan seniman tato terkemuka Scott Campbell, kini teknik ukiran tersebut telah menjadi opsi personalisasi permanen yang ditawarkan oleh Berluti.
Koleksi Bird of Paradise menyuguhkan lima penawaran yang terdiri dari empat tas genggam dengan warna menyerupai tembakau, cokelat muda,
hitam, dan hijau, serta satu dompet bertona cokelat tua. Layaknya sepatu Berluti pada umumnya, kulit sapi Venezia yang membalut koleksi ini akan mengalami efek patina seiring berjalannya waktu. Koleksi ini diproduksi secara terbatas dan hanya dijual di butik Berluti di Indonesia.
Sesungguhnya, ini bukan kali pertama Berluti menelurkan kreasi bertemakan Indonesia. Pada tahun 2018, Berluti memperkenalkan sejumlah penawaran dengan ukiran tato Garuda dalam rangka hari jadi ke-2 kehadiran sang jenama di Indonesia. Kini Berluti Garuda diproduksi setiap tahun dalam skala terbatas untuk mengakomodasi permintaan pelanggan. Kita lihat saja, mungkin hal yang sama juga akan terjadi pada Berluti Bird of Paradise.
Hyundai memiliki persepsi berbeda mengenai inovasi, yaitu mengintegrasikannya dengan kemanusiaan. Berakar pada visi Progress for Humanity (Kemajuan untuk Kemanusiaan), jenama otomotif asal Korea Selatan ini memastikan setiap kendaraan yang diproduksi memiliki dampak lingkungan yang positif, serta memiliki peran dalam komunitas global.
Realisasinya tak hanya terlihat pada teknologi mutakhir dan berkelanjutan saja, tetapi juga desain yang relevan secara budaya. Bukan sekadar merepresentasikan budaya asalnya, melainkan juga di berbagai negara tempat sang manufaktur hadir.
Pada bulan Oktober 2023, Hyundai memperkenalkan sebuah rilisan
eksklusif dalam rangka memperingati tahun ke-50 hubungan bilateral antara Korea Selatan dan Indonesia. Ialah mobil elektrik IONIQ 5 Indonesian Batik yang dikreasikan menggunakan motif batik kawung pada keseluruhan desain eksterior and interiornya.
Berasal dari Yogyakarta, batik kawung berarti buah kelapa dalam bahasa Jawa memiliki flosof mendalam di baliknya. Batik kawung melambangkan harmoni dan persatuan, serta digambarkan oleh pola berbentuk lingkaran. Sementara garisgaris yang mengelilingi lingkaran tersebut mengilustrasikan hubungan antara elemen-elemen kehidupan.
Tidak berhenti di pola geometris, flosof pada batik kawung juga terdapat pada warna soga yang menjadi ciri khasnya dan turuntemurun diproduksi secara alami dari kayu Tingi, Jambal, dan Tegeran. Soga diketahui sebagai cerminan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Sebagaimana desain IONIQ 5 yang mengutamakan material daur ulang dan ramah lingkungan pada berbagai komponennya.
Manifestasi motif kawung pada eksterior rilisan eksklusif ini dapat ditemukan pada kap, atap mobil, pintu belakang, dan sisi mobil. Pada interior mobil, motif kawung diimplementasikan pada bagian jok, klakson, dan sandaran lengan.
Selain itu, terdapat motif kawung cokelat muda bak soga di sandaran lengan mobil yang berkontras apik dengan warna abu-abu yang mendominasi bagian dalam mobil. Hasil akhir yang elegan mencerminkan sensibilitas Wdesain Hyundai yang mengagumkan, menghasilkan kendaraan yang tidak hanya istimewa tetapi juga secara nyata memberikan penghormatan kepada Indonesia.
Dewasa ini, format kolaborasi antara mode dan seni kontemporer semakin berkembang. Dahulu, interpretasinya hanya terlihat di ranah adibusana. Kini, para desainer mode mulai menghadirkan kolaborasi seni untuk pakaian siap pakai. Di tengah kemunculan ratusan bahkan ribuan jenama mode di kancah global, berkompetisi tanpa nilai tambahan menjadi hal yang semakin menantang.
Bagaimana cara seorang desainer dapat menonjol? Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan flosof mendalam dan elemen artistik dalam setiap koleksinya. Itulah yang dilakukan Lemaire, desainer asal Prancis yang menggaet seniman asal Indonesia, Noviadi Angkasapura, untuk mengkreasikan sebuah koleksi kapsul.
Kolaborasi bertitel JUJUR SABAR tersebut menyoroti ilustrasi makhluk mitologi dan hewan antropomorfk yang diciptakan oleh Noviadi menggunakan berbagai instrumen gambar. Di antaranya adalah pensil warna, bolpoin tiga warna alat favorit sang seniman dan graft.
Menurut Noviadi, mantra tersebut merupakan interpretasi dari kumpulan pesan makhluk supranatural yang pertama kali mendatanginya pada hari ulang tahun nya yang ke-24. Bagi seniman kelahiran 1979 ini, menggambar menjadi semacam doa repetitif sekaligus sebuah bentuk meditasi.
Karya-karya Noviadi kemudian diterjemahkan oleh Lemaire menjadi lini pakaian siap pakai yang meliputi kemeja, gaun, blus, rompi, syal, dan aksesori untuk Musim Semi/Panas 2023. Koleksi bermaterialkan katun ramah lingkungan ini dirancang oleh duo Direktur Artistik sang rumah mode, Christophe Lemaire dan Sarah-Linh Tran. Melanjutkan babak kolaborasi ini, Lemaire mendedikasikan butiknya yang berlokasi di Rue Elzévir, Paris, sebagai ruang ekshibisi bagi 25 karya seni Noviadi.
Berkat perilisan Seiko Quartz Astron pada tahun 1969, jenama asal Jepang ini seketika naik daun dan dilabeli sebagai pelopor inovasi di dalam industri horologi. Saking mutakhirnya, kreasi jam tangan kuarsa pertama di dunia tersebut sempat melumpuhkan bisnis horologi buatan Swiss. Maka tak heran bila hingga kini, Seiko memiliki begitu banyak penggemar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Sebagai bentuk apresiasi kepada para peng ikut setianya di Tanah Air, Seiko menyuguhkan edisi eksklusif yang didedikasikan untuk pasar di tahun 2022 silam. Bernama Seiko Prospex Turtle, iterasi ini hadir sebagai manifestasi literal bendera Indonesia.
Warna putih diusung pada bagian dial dan skala graduasi pada bezel. Sementara, warna merah terlihat pada bezel serta sebagai aksen yang membingkai indeks jam dan jarum penunjuk menit serupa panah.
Selain itu, Seiko membubuhkan warna emas pada case berdiameter 42,4 mm dan bagian crown untuk merepresentasikan lambang Garuda Pancasila. Jam bernomor referensi SRPJ52K1 yang dijual secara terbatas sejumlah 500 buah ini habis terjual tak lama setelah dirilis.
Pada tahun 2023, jenama asal Jepang tersebut kembali mewujudkan antusiasme audiens di Indonesia lewat Seiko Prospex Monster yang terinspirasi oleh endemik langka, komodo. Sesuai temanya, motif dan tekstur dial didesain menyerupai kulit komodo yang bersisik dengan warna cokelat kekuningan.
Bukan tanpa alasan, lini ini dijuluki Monster berkat detail tematik yang dicerminkan oleh indeks jam 12 serupa gigi monster, serta siluet gerigi pada bezel. Tak sekadar edisi khusus, seluruh hasil penjualan dari koleksi ini didonasikan Seiko Indonesia kepada organisasi Komodo Survival Program yang berfokus pada konservasi Komodo.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Billy Saputra
FOTOGRAFI
Dok. Billstone Watch Winder PENULIS
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Keseruan mengoleksi jam tangan lebih dari sekadar berburu model langka yang diinginkan semata. Sesungguhnya, terdapat sejumlah investasi lain yang mengiringi kepemilikannya.
Terutama bila jam tersebut ditenagai oleh mesin otomatis atau dilengkapi oleh komplikasi tingkat tinggi. Mulai dari melakukan servis secara berkala, hingga menyimpan jam di dalam tempat yang layak demi menjaga kualitas, nilai, dan estetikanya.
Perlu Anda ketahui bahwa meletakkan jam tangan dalam keadaan tidak bersih dalam secara terus-menerus dapat memudarkan kilau dan warnanya. Selain itu, jam tangan yang lama dibiarkan dalam keadaan mati dapat menyebabkan keringnya pelumas dalam movement yang kemudian berpotensi merusak komponen internalnya. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah menyimpan koleksi Anda dengan apik di dalam kotak penyimpanan dengan jam otomatis yang bermutu baik.
Meski begitu, terdapat sentimen yang mengatakan bahwa pemutar jam otomatis justru akan menyebabkan keausan atau overwinding pada movement. Tetapi pada hakikatnya jam tangan memang tak dirancang untuk sebuah koleksi semata, melainkan untuk fungsi sebenarnya sebagai instrumen waktu.
Bagi kolektor yang menjadikan perawatan—membersihkan dan mengisi daya—koleksi jam tangannya sebagai rutinitas personal, tentu sah-sah saja untuk melakukannya sendiri daripada mengandalkan mesin. Namun, para kolektor dengan kesibukan yang terlalu dinamis dapat dengan tenang mengandalkan kabinet pemutar jam otomatis untuk memelihara sekaligus memajang koleksinya dengan desain estetis layaknya dekorasi hunian, seperti yang ditawarkan oleh Billstone.
Sebagaimana wujud karya seni yang membutuhkan pemeliharaan khusus, koleksi jam tangan berharga pun memerlukan tempat bernaung (dok. Billstone)
mengutamakan
Merupakan jenama asli Indonesia, Billstone telah memiliki reputasi internasional sebagai produsen kabinet pemutar jam tangan. Pertama kali didirikan sebagai distributor brankas pada tahun 1977 oleh Karto Wiwiksana, Billstone menjelma menjadi manufaktur inovatif dengan memproduksi brankasnya sendiri sejak tahun 1996. Kualitas produknya pun diakui oleh laboratorium kesela-matan independen yang memberikannya nilai tertinggi dalam peringkat keamanan tahan api hingga menetapkan standar baru bagi industri ini.
Tahun 2011 mengawali era baru Billstone di bawah pimpinan generasi kedua, Army Wiwiksana. Tak hanya menyempurnakan kreasi brankas dengan ftur keamanan canggih dengan iris mata dan sidik jari, Army juga berinovasi lewat penambahan kompartemen pemutar jam tangan otomatis pada brankas. Kini, Billstone telah menjangkau pelanggan internasional hingga 80 negara dengan tim global di Indonesia, Swiss, Amerika Serikat, dan Prancis.
Tak hanya berfokus memproduksi kabinet pemutar jam dengan keamanan selevel brankas, Billstone juga paham betul pentingnya pengaturan yang dapat dipersonalisasi sebagaimana setiap jam tangan otomatis memiliki spesifkasi yang berbedabeda. Seluruh kabinet pemutar jam karya Billstone dilengkapi oleh pengaturan yang terdiri dari pilihan jumlah putaran per hari—mulai dari 650, 950, 1.250, hingga 1.650—dan arah putaran ke kiri, ke kanan, maupun bergantian keduanya. Dengan ini, Anda tidak perlu mengkhawatirkan desas-desus bahwa mesin jam dapat menyebabkan keausan karena overwinding
Seri Enigma diklaim sebagai lini terpopuler Billstone berkat desain bersahajanya. Ialah kayu eboni berfnis pernis yang menyelimuti eksteriornya. Semakin mutakhir, Billstone memperkenalkan Enigma 8 Fingerprint dengan ftur keamanan yang tak tertandingi. Ya, pemutar jam otomatis ini dilengkapi sistem sidik jari yang dapat merekam beberapa sidik jari sekaligus.
“Komitmen kami terhadap keamanan dan kualitas pengerjaan memastikan bahwa barang berharga Anda disimpan dengan aman. Kami juga memberikan garansi lima tahun untuk seluruh produk kami sebagai imbal balik investasi Anda,” tutur Denverino Dante, Manajer Penjualan dan Pemasaran Internasional Billstone.
Dari dekat, Anda dapat melihat setiap detail yang dirancang dengan penuh pertimbangan. Di dalamnya, terhampar dinding interior beludru yang dikreasikan untuk melindungi koleksi Anda dari goresan yang tak diinginkan. Begitu pula dengan sistem pencahayaan LED yang mempercantik penampilan koleksi Anda dari luar. Selain itu, Billstone juga melengkapinya dengan sistem penyangga bermetode klik-dan-kunci turut hadir untuk memastikan jam tersemat dengan kokoh pada posisi yang benar meskipun sembari diputar.
Fungsi pemutar otomatis Enigma 8 dilengkapi oleh mode rotasi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan
jam. Terdapat mode searah jarum jam, berlawanan arah jarum jam, dan dua arah. Mode rotasi dapat dikendalikan melalui panel layar sentuh, sebagaimana pengaturan TPD (jumlah putaran dalam satu hari) atau RPH (Rotations Per Hour).
Hal ini memberikan pemiliknya ketenangan dalam menjaga akurasi jam tangan, tanpa harus memakainya setiap hari. Kendati tidak perlu sering diatur secara manual, risiko kesalahan pengaturan yang dapat menimbulkan keausan komponen jam pun dapat dihindari. Melalui komitmennya terhadap kualitas, Billstone mempersembahkan Enigma 8 Fingerprint tak hanya sebagai objek fungsional, tetapi juga simbol prestise penuh gaya.
WAJIB BELI
JIKA ANDA
Adalah seseorang yang menyukai hal serba praktis dan gemar memandangi koleksi jam Anda kapan saja.
PERTIMBANGKAN
DULU JIKA ANDA
Lebih mengapresiasi penyetelan jam tangan secara manual sampaisampai memperlakukan aktivitas ini sebagai bagian dari rutinitas pagi.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Tulola Designs
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Di tengah gempuran desain minimalis yang mendominasi lanskap kreatif di Indonesia, terdapat satu jenama yang setia berjejak pada warisan leluhur: Tulola. Sejak konsepsinya di tahun 2007, Tulola konsisten memberi sumbangsih terbaik kepada budaya Nusantara lewat perhiasan yang tak lekang oleh waktu.
Setiap koleksi Tulola bagaikan puisi visual yang bercerita tentang sejarah, keindahan alam, dan tradisi Indonesia. Bukan sekadar pemanis tampilan, perhiasan Tulola diciptakan dengan detail flosofs. Segelintir di antaranya adalah motif dan elemen khas Indonesia, seperti ukiran fora dan fauna. Dalam setiap potongannya, terkandung narasi tradisional yang diinterpretasikan melalui desain kontemporer.
Kali ini, Tulola memilih untuk menginterpretasikan seni budaya tari yang telah menjadi bagian integral dari pencampuran kebudayaan di Indonesia. Tari adalah wujud ekspresi diri, spiritual, ungkapan sukacita, hingga refeksi sosial. Manifestasinya terlihat pada rangkaian penawaran dalam koleksi The Dancer.
Terdapat lima tarian tradisional dari berbagai daerah yang diangkat Tulola sebagai tema besar koleksi ini. Ialah Tari Pajoge dari Sulawesi Selatan, Tari Saman dari Banda Aceh, Tari Serimpi dari Jawa Tengah, Tari Janger dari Bali, dan Tari Ta’e Benu dari Nusa Tenggara Timur. Izinkan kami mengundang Anda untuk menyelami keindahan setiap tarian yang diangkat dan jelmaannya sebagai rangkaian kreasi sarat makna.
Motif Janger yang diusung adalah representasi tarian asal Bali bernama serupa. Melalui kreasi Janger, Tulola menyoroti peran perempuan bersahaja yang berpengaruh pada segala aspek kehidupan. Sebagaimana tarian tradisional menggambarkan kelihaian perempuan dalam menguasai panggung, flosof tersebut dikomunikasikan Tulola lewat ukiran bak mahkota yang diadaptasi dari atribut para penari.
Seluruh penawaran dalam lini Serimpi mencerminkan koreograf dari tarian tersebut sekaligus melambangkan keseimbangan antara seni dan spiritualitas. Acapkali, tarian ini diasosiasikan dengan suasana mistis nan sakral. Pergolakan tersebut lantas diinterpretasikan lewat sematan mutiara pada beberapa kreasi Serimpi.
Adaptasi selanjutnya adalah tarian Saman yang mengilustrasikan sisi feminin sekaligus maskulin sebagai simbol kekuatan. Hal lain yang patut disoroti adalah para wanita Aceh yang menciptakan tarian ini. Mereka begitu dikenal karena telah memerdekakan hak perempuan. Motif geometri yang diusung pada The Dancer adalah gambaran dari suara lantang para penari dalam tarian Saman.
Pajoge menjadi ilustrasi terhadap pikiran progresif suku Bugis mengenai konsep gender. Sejak dulu, mereka meyakini bahwa eksistensi spektrum gender terbagi menjadi lima jenis kelamin. Kepercayaan itu lalu diterjemahkan dalam tarian Pajoge yang menjadi warisan budaya secara turun-temurun. Dalam The Dancer, kreasikreasi dalam lini Pajoge digambarkan sebagai kebebasan berekspresi lintas gender dengan ukiran bak kipas.
Selanjutnya adalah tarian Ta’e Benu yang menjadikan tarian mereka sebagai persembahan terhadap alam. Semua kreasi Ta’e Benu dalam The Dancer pun diciptakan sebagai perwujudan dari ritme tarian dan lanskap tempat tarian tersebut dipertunjukkan. Seluruh perhiasan dalam koleksi The Dancer mengusung material perak murni 92,5% berlapiskan emas 18 karat yang dikombinasikan dengan sejumlah elemen lain, seperti mutiara, batu bulan, batu kecubung merah muda, mother-of-pearl, kuarsa kuning dan merah muda, serta kinyang kuning.
Instalasi Serimpi yang menampilkan karya desainer Auguste Soesastro menyoroti keseimbangan dan simetri, menggambarkan peran wanita Jawa sebagai sosok ibu
HOLISTIK
Komitmen Tulola dalam melestarikan warisan budaya juga tercermin lewat kolaborasi dengan berbagai pelaku kreatif yang menyemarakkan gaya hidup Indonesia. Mulai dari seniman, selebritas, hingga perajin lokal dari berbagai pelosok. Melalui pendekatan ini, Tulola tidak hanya memberikan panggung bagi kearifan lokal, tetapi juga mendukung ekonomi kreatif berbasis komunitas.
Begitu pula dengan konsepsi The Dancer yang tak dapat dipisahkan dari keterlibatan pihak-pihak yang berandil menghembuskan napas pada tarian-tarian tradisional dalam koleksi The Dancer. Mereka adalah Happy Salma selaku Konseptor Kreatif Tulola, Sri Luce-Rusna yang menjabat sebagai Desainer Kreatif Tulola, serta desainer mode Auguste Soesastro.
Untuk merayakan perilisan koleksi
The Dancer sekaligus kesadadaran seputar seni tari Indonesia, Tulola menyelenggarakan sebuah pameran bernama Kawan Nusantara. Ekshibisi imersif tersebut menghadirkan instalasi sekaligus manekin berbusana karya Auguste Soesastro. Pameran ini dibuka oleh pertunjukan seni tari yang dikoreografkan oleh Josh Marcy, seorang seniman yang berbasis di Jakarta.
Penonton diajak untuk menyelami bagaimana tarian bukan sekadar hiburan, melainkan alat untuk menggali makna mendalam dari identitas kolektif. Dengan memadukan tarian, mode, dan kriya, Tulola bersama para kolaboratornya menunjukkan bagaimana tradisi dapat dihidupkan kembali tanpa kehilangan esensi aslinya.
WAJIB BELI
JIKA ANDA
Ialah seseorang yang gemar memadukan unsur Indonesia pada gaya berpakaian sehari-hari.
PERTIMBANGKAN
DULU JIKA ANDA
Tidak terlalu menggemari desain etnik dan lebih mengapresiasi perhiasan bersinar cemerlang layaknya berlian atau batu permata.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
FOTOGRAFI
Dok. Plataran
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Pulau Flores kian menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di Indonesia. Anda yang belum sempat ke sana, kemungkinan besar pernah dibuai dengan kisah tentang keindahan pantai yang tampak berwarna merah muda, betapa menakjubkannya terumbu karang di Labuan Bajo, atau ketangguhan komodo di Taman Nasional Komodo. Daerahnya yang tidak seramai Bali, dianggap sangat cocok untuk liburan yang intim dan berkesan.
Tak ayal, kehadiran Plataran Indonesia dapat membawanya ke level yang lebih tinggi lagi. Terbukti pada ajang Awards for Excellence 2025 yang diselenggarakan oleh Condé Nast Johansens. Plataran Komodo Resort & Spa memenangkan kategori ‘Best for Romance’, mengalahkan resor-resor ikonik dari Thailand, Maladewa, Australia, dan Jepang. Prestasi ini tidak hanya semakin mengharumkan nama Indonesia, tetapi juga mengukuhkan posisi Plataran Indonesia di sektor wisata dan perhotelan. Rasanya masih segar di kepala bagaimana Hutan Kota by Plataran menjamu tamu-tamu mancanegara di gelaran G20, atau Plataran Bandung, yang menjadi tuan rumah ARCEO’s Conference 2024.
Tetapi keindahan yang ditawarkan oleh Plataran Komodo bukanlah hasil dari pembangunan besar-besaran oleh manusia dan teknologi. Lain daripada itu, resor ini “hanya” bertindak sebagai jendela panorama, membingkai lanskap pemandangan Pulau Komodo dari dimensi yang baru, serta mengintegrasikannya dengan mesra ke semua pengalaman yang ditawarkan bagi pengunjung. Bukan cuma itu, Plataran Komodo juga menginisiasi gerakan “Plataran Gives Back” turut serta mendukung upaya keberlanjutan melalui perlindungan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat lokal.
langsung menghadap ke keindahan pantai (dok. Plataran)
TERBAIK SEJAK
LANGKAH PERTAMA
Kemenangan pada kategori ‘Best for Romance’ tentu bukan tanpa alasan. Sebab, Plataran Komodo memang menawarkan semua yang Anda bayangkan ada pada sebuah petualangan romantis. Dimulai dari lokasinya, di mana Anda harus menempuh 10 menit perjalanan menggunakan perahu dari kota utama Labuan Bajo. Dengan begitu, sejak awal Anda memiliki kesempatan untuk menjelajahi pulau-pulau terdekat, seperti melihat komodo di habitat aslinya, mendaki ke puncak Pulau Padar, atau melihat pesona Pantai Merah.
Terdapat berbagai opsi vila yang bisa dipilih sesuai keinginan. Ingin merasakan suasana temaram dekorasi tradisional yang dipadukan
dengan sentuhan modern? Anda bisa mencoba Founder’s Home. Grand Pool Residence juga bisa menjadi pilihan lantaran dilengkapi dengan kamar mandi luar/dalam yang mewah, kolam renang privat, dan kursi berjemur di pinggir pantai. Adapun Hanging Pool Residence seringkali menjadi favorit karena memadukan pemandangan yang menakjubkan dengan kenyamanan terbaik, di mana masing-masing ruang dilengkapi dengan kolam renang pribadi, fasilitas bersantai dan kamar mandi yang luas bermandikan cahaya alami, serta kamar tidur yang menggabungkan pesona pedesaan dan sensibilitas modern. Bahkan, untuk Anda yang ingin merasakan suasana hening di tengah pepohonan, Anda bisa mencoba Duplex Pool Residence.
Sedangkan untuk memanjakan lidah, Plataran Komodo menyajikan perjalanan kuliner yang menawan, di mana bahan-bahan makanan segar diolah menjadi masakan Indonesia maupun internasional yang lezat. Lalu untuk meningkatkan kualitas waktu Anda, ada berbagai layanan kesehatan diri yang holistik, mulai dari spa hingga yoga di tepi pantai.
“Penghargaan ini menegaskan dedikasi kami dalam menciptakan pengalaman Indonesia yang ikonik, intim, personal, dan berkesan bagi para tamu kami. Momen ini juga menegaskan pentingnya sektor pariwisata sebagai salah satu pilar ekonomi dalam menuju Indonesia emas,” tutur Yozua Makes, CEO Plataran Indonesia.
Mungkin di antara Anda yang membaca tulisan ini ada yang bertanya-tanya, “Seberapa penting ajang Awards for Excellence 2025 ini?” Perlu diketahui, Condé Nast Johansens selaku penyelenggara adalah direktori hotel, spa, dan tempat-tempat mewah yang telah diakui reputasi dan kredibilitasnya di seluruh dunia. Condé Nast sendiri merupakan perusahaan penerbit yang menaungi media-media prestisius, seperti Vogue, GQ, dan Vanity Fair. Maka dari itu, momen ini tentu akan menarik perhatian masyarakat yang lebih luas lagi, khususnya mereka yang mengandalkan Condé Nast
Traveller sebagai panduan liburan mewah, sesuai dengan target pasar yang diinginkan.
Kemenangan ini dapat memperkuat visi Plataran Indonesia yang selalu merancang dan mengelola setiap propertinya dengan mengedepankan aspek-aspek berkelanjutan yang menekankan pada kelestarian lingkungan dan penghormatan terhadap budaya lokal. Pada akhirnya, menghabiskan malam di Plataran Komodo bukan hanya tentang kenyamanan, tapi juga sebuah kesempatan untuk terhubung dengan sendi-sendiri kearifan lokal Indonesia.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Givania Diwiya Citta
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Gelombang perubahan tren selalu mewarnai pertumbuhan generasi di masing-masing era. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Dinamika transformasi yang terjadi di berbagai sektor gaya hidup turut berkontribusi dalam mencetak identitas anggota generasi.
Dekade ’90-an menandai era eksplorasi bagi generasi muda Indonesia yang dihuni oleh generasi X akhir dan milenial awal. Khususnya dalam mengadopsi pengaruh global selagi tetap berjejak pada tradisi nenek moyang. Faktanya, televisi satelit yang memperkenalkan kultur pop, karya musik dari Barat, hingga jenama mode global mulai berlayar di Indonesia pada dekade itu.
Dengan demikian, generasi muda kala itu menemukan cara baru dalam berekspresi lewat hadirnya gaya street dari Amerika, produk prestisius dari Eropa, serta inovasi teknologi dari Asia atau belahan dunia lainnya. Hal-hal tersebut lantas dikombinasikan dengan kearifan lokal dan dimaknai secara distingtif oleh generasi berikutnya.
Seiring waktu yang terus bergulir, evolusi gaya hidup pun berjalan selaras dengan pergeseran ke era digital. Hasilnya adalah ragam subkultur yang lahir dari asimilasi nilai, ekspresi, dan identitas unik. Tak berhenti di milenium baru (2001-2010), interaksi personal dengan teknologi, mode, dan seni pun berlanjut hingga dekade berikutnya (2011-2020) dan masa kini atau era pasca pandemi.
Kehadiran teknologi di Indonesia yang senantiasa menjadi aksesibel bagi para muda-mudi berjasa menginisiasi gejolak awal kultur pop. Begitu pula dengan kehadiran ragam produk teknologi yang berdampak pada evolusi tren dan membuka pintu konektivitas. Di era ’90-an, Indonesia menyambut komputer personal bermerek IBM, Acer, dan Apple yang perlahan menggantikan dokumendokumen kertas.
Jangan lupakan fenomena warung internet yang senantiasa dikunjungi untuk mengakses informasi baru (dan berbincang dengan calon kekasih di platform mIRC). Dekade ini juga menandai kehadiran telepon seluler (ponsel) yang selamanya mengubah cara berkomunikasi. Model-model seperti Nokia 5110, Ericsson T10, dan Siemens C45 sempat dijuluki ponsel sejuta umat lantaran variasi di pasaran belum beragam.
Selanjutnya televisi satelit mulai mewarnai layar kaca penduduk Indonesia dengan sejumlah saluran internasional. Masih ingat dengan MTV Asia? Ialah pintu gerbang yang mengekspos generasi muda pada
tren seni dan musik global, ikon kultur pop, serta objek mode wajib punya di masanya.
“Saya adalah korban mode era ’90-an,” ujar Astriana Gemiati (42), seorang Asisten Redaktur Pelaksana asal Jakarta. “Bertumbuh besar dengan menyaksikan para model dalam video musik Dewa 19, saya pun ikut menggemari tren mode yang mereka perkenalkan. Mulai dari kalung choker, hingga celana hipster saya terapkan dalam gaya sehari-hari,” kenangnya dalam nostalgia.
Astriana juga sempat menjadi pengikut gaya selancar yang dipopulerkan oleh Billabong dan Ocean Pacifc, serta baju siap pakai dari Benetton. “Dulu saya rela mengantre di mal demi mendapatkan rilisan baru dari jenama-jenama tersebut. Tetapi seiring bertambahnya usia dan mengenali jati diri, koleksi saya menjadi lebih terkurasi,” ungkapnya.
Era ini juga menandai kemunculan subkultur skate yang tersegmentasi, namun amat digilai di kalangannya. “Di era ’90-an, jumlah toko skate di Jakarta bisa dihitung jari. Tetapi
kelangkaan tersebut justru meningkatkan rasa penasaran saya,” ucap Panji Indra (45), seorang foto-grafer profesional yang berbasis di Jakarta. “Mulai dari LA Gear, Reebok, dan Airwalk—sang manufaktur sepatu skate—saya akan memburu setiap model anyar yang dirilis,” tuturnya.
Meski begitu, mode adalah hal yang subjektif. Lingkungan sosial memang memengaruhi cara seseorang memaknai tren. Akhirnya, preferensi yang selaras dengan nilai-nilai pribadi adalah kunci kebebasan individu dalam berekspresi. Maya A. Siregar (37), seorang penulis lepas asal Jakarta memiliki interpretasi berbeda tentang arus mode.
Meskipun tidak tumbuh besar mengikuti tren, ia mengakui bahwa sebuah rumah mode memiliki pengaruh besar dalam membentuk identitas pribadinya. “Alexander McQueen selalu menjadi sosok yang saya kagumi dan saya tetap menjadi pengikut setianya hingga sekarang. Kreasinya—yang dengan fasih diteruskan oleh Sarah Burton—merupakan manifestasi sempurna dari gaya androgini yang saya sukai,” ungkap Maya.
Konsumen mencari produk yang beresonansi dengan prinsipnya, beriringan dengan pendewasaan dalam mengamati tren. Nilai-nilai yang melampaui komersialisme pun akhirnya mendorong pemain-pemain gaya hidup untuk menerapkan narasi yang autentik.
Seperti cerita Maria Risa (37), Senior Vice President of Brand Marketing di sebuah perusahaan teknologi, yang memandang jam tangan sebagai atribut representatif. “Baik untuk kegiatan sehari-hari maupun acara formal, jam tangan menjadi pernyataan gaya saya,” ujar Maria.
“Di tahun 2010-an, saya membeli jam tangan impian yang masih saya banggakan sampai sekarang, TAG Heuer Aquaracer. Saya juga memiliki ikatan emosional dengan Cartier yang selalu menyematkan nilai historis pada penawarannya, seperti koleksi Tank yang terinspirasi dari kendaraan tempur di masa Perang Dunia I,” ungkapnya.
Baginya yang tak terlalu menyukai gaya feminin, jam tangan dapat meningkatkan kepercayaan diri secara instan. Ia pun akan mencari jenama horologi yang memancarkan karakternya. “Saya ingat di era ’90-an pernah memiliki jam tangan Baby-G dengan temali velkro yang sangat trendi,” kenang Maria
Di sisi lain, Wilhelmus Rio (38), Managing Partner di sebuah frma hukum, memaknai jam tangan secara flosofs. “Jam tangan membuat saya menghargai waktu yang tak bisa terulang. Sebagai seorang profesional di bidang jasa, waktu adalah hal krusial yang mendefnisikan identitas saya.”
TAG Heuer merupakan Ofcial Timekeeper bagi ajang Formula 1 pada kurun tahun 1992-2003 (dok. TAG Heuer)
Meski begitu, ia tak menampik bahwa kampanye trendi yang disuguhkan oleh berbagai rumah horologi juga memberi kesan mendalam baginya. Hal ini memperkuat posisi sebuah jenama dalam daftar favorit jam tangan miliknya. Selain proposisi di luar aspek komersil, Rio menekankan bahwa estetika tetap menjadi pertimbangan utama dalam memilih jam tangan.
“Saya ingat betapa berkesannya menonton Formula 1 yang disponsori TAG Heuer di TV saat remaja. Kini sebagai pegiat tenis, saya dibuat takjub oleh hubungan erat Rolex dengan olahraga tersebut dari masa ke masa.” Lebih dari sekadar penentu waktu, jam tangan merupakan refeksi nilai dan identitas autentik bagi Maya dan Rio.
Mungkin sebagian dari Anda familier dengan frasa ‘berpikir secara global, bertindak secara lokal’. Secara tak sadar, penyerapan tren di Indonesia pun menerapkan pendekatan yang sama. Proses akulturasi budaya global dan lokal lantas terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya adalah melalui festival seni.
Di era 2000-an, pergelaran berformat festival mulai diperkenalkan dengan fokus yang berbeda-beda. Sontak, festival menjadi wadah peleburan antar budaya, serta lintas industri gaya hidup. Generasi muda pun berbondong-bondong mendatangi festival yang marak digelar sebagai wujud ekspresi diri dan ajang bersosialisasi.
Galuh Larasati (32), yang tumbuh besar di Bali, mengenang festivalfestival seperti Soundrenaline 2005 dan Ubud Writers and
Readers Festival 2009 yang pernah disambanginya. “Acara-acara ini berjasa mencetak tren yang bermakna sekaligus membekali saya dengan wawasan mendalam tentang berbagai hal baru,” ungkap Galuh yang berprofesi sebagai Project Coordinator di perusahaan swastat.
Zakki Wirasenjaya (32), suami Galuh yang bekerja di bidang logistik, menimpali perkataan istrinya, “Di era 2010-an, Synchronize Fest dan Java Jazz Festival menampilkan kolaborasi unik antar musisi yang belum pernah ada. Pengalaman saya menikmati musik pun semakin mengesankan.”
Lanskap global dapat memperkaya perspektif lokal, begitu pula sebaliknya. Kolaborasi antara seniman lintas budaya juga menjadi pemercik kreativitas bagi para pelaku dan penikmatnya. Seperi tren piringan hitam yang bangkit di era 2010-an dan kian merekah kala pandemi COVID-19.
“Setelah mendengarkan lagu dari piringan hitam dengan sistem stereo yang baik, saya merasakan sensasi yang berbeda dari pemutarpemutar musik lainnya,” ujar Zakki yang ber-sama Galuh mengoleksi piringan hitam dan poster seni sejak tahun 2021.
“Saat menghadiri Record Store Day di Bali, kami bertemu dengan seseorang yang menjual koleksi mendiang ayahnya. Akhirnya berhasil menda-patkan cetakan pertama dari album yang amat kami gemari. Nilai historis seperti inilah yang mendorong kami untuk berburu piringan hitam ke berbagai kota dan melengkapi koleksi,” ungkap Galuh.
“Belakangan ini, sudah banyak album musik dari era sebelum ’90-an yang mulai dicetak ulang karena banyak kalangan muda yang antusias terhadap musik-musik lawas,” pungkas Zakki.
Kini kita tinggal di era yang dihuni oleh masyarakat lintas generasi dengan karakter bertolak belakang. Gen Z mulai memasuki rimba kerja profesional. Kehadiran mereka pun memberi energi baru bagi seluruh disiplin gaya hidup. Nilai-nilai yang diwariskan kepada Gen Z, bersama dengan sejumlah inovasi produk kemudian membentuk tren perilaku baru di lanskap gaya hidup Indonesia.
Jika dulu berperan sebagai penunjang eksplorasi hobi semata, kini teknologi telah menjadi bagian vital dari kehidupan. Mulai dari transaksi digital, hingga rapat virtual, transformasi ini menekankan gagasan bahwa kita memiliki pilihan dalam menjalani hidup.
“Hadirnya inovasi-inovasi baru menjawab kebutuhan masyarakat dan mengubah kebiasaan dalam mengonsumsi konten dan produk gaya hidup,”
ujar Lukman Siregar (32), Senior Brand Analytics Specialist yang antusias mengamati evolusi teknologi di Indonesia. Lebih dari sekadar fungsi, teknologi merepresentasikan cara berekspresi dan interaksi dengan dunia. Dari profl digital yang terkurasi di media sosial, ponsel pintar yang menjadi perpanjangan diri, hingga layanan hiburan dengan algoritma sesuai minat pribadi.
Budaya mengedepankan diri sendiri semakin memiliki makna saat dunia diharuskan untuk berhenti sejenak kala pandemi COVID-19 merebak. Karenanya, lahirlah transisi budaya di mana masyarakat menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Tentu saja tanpa menanggalkan segala tawaran yang ada di dunia metamodernisme.
“Para jenama dan konsumen semakin sadar bahwa industri mode menyumbang polusi lingkungan yang
besar. Dalam lanskap mode Indonesia, tercipta ragam inisiatif dalam men-ciptakan konsep keberlanjutan. Misalnya Sejauh Mata Memandang yang menggunakan material daur ulang atau JENAHARA yang mengkreasikan sabuk dari limbah plastik,” ujar Panji.
Di sisi lain, terjadi peningkatan kreativitas dalam berkarya di kalangan jenama lokal dengan maraknya kolaborasi. “Kolaborasi antar desainer, seperti STUDIOMORAL dengan ANW atau Hi Jack Sandals dengan House of Jealouxy di era 2020-an menyuguhkan sinergi autentik yang sangat digemari oleh Gen Z,” tambah Astriana.
Di ranah horologi, tren jam tangan pintar yang menyoroti ftur kesehatan personal memperoleh momentumnya. “Dengan diperkenalkannya jam tangan pintar oleh jenama besar seperti Apple, konsumen diberi
kesempatan dan kemudahan untuk menjangkau gawai canggih yang mendukung aktivitas olahraga dan wellness,” ujar Maria.
Lebih dari sekadar kemampuannya untuk mencatat jumlah langkah, detak jantung, dan level stres, jam tangan pintar menjadi populer berkat personalisasi yang ditawarkannya.
Tak hanya Apple Watch saja, teknologi juga menjembatani ragam produk dan jasa gaya hidup dalam menerapkan pendekatan yang lebih personal, sehingga semakin relevan bagi para penggunanya.
“Ingat bagaimana grafk permainan di era ’90-an dan 2000-an pada Intel Processor masih berbentuk 2D berpiksel? Tren ini lalu berkembang menjadi visual yang hampir menyerupai kenyataan berkat inovasi kartu grafs Nvidia. Kini inovasi teknologi memungkinkan pengalaman seperti dalam flm Ready Player One (2018) di mana kita bisa bersatu dengan teknologi lewat realitas virtual (VR). Salah satu contohnya adalah platform Unity yang digunakan dalam arsitektur dan desain interior. Para profesional dapat ‘menceburkan diri’ ke dalam rancang bangun yang dibuat secara tiga dimensi,” ujar Lukman.
Seperti prinsip teknologi yang mengubah angan menjadi kenyataan, kematangan kita dalam mengarungi lanskap gaya hidup akan membentuk generasi selanjutnya dalam memaknai dunia yang mereka hadapi. Setidaknya, marilah berbangga hati bahwa evolusi tren gaya hidup yang telah vibran dialami sejak tahun ‘90-an hingga sekarang, membuktikan bahwa Indonesia tidak kenal takut untuk menyambut inovasi dan beradaptasi dengan segala kemungkinan tak terbatas dari hari esok.
“Iklan televisi Levi’s Mr Bombastic sangat berkesan bagi remaja yang relevan dengan kisahnya. Bahkan, musiknya saja masih terngiang dalam memori saya. Sungguh sebuah tren pada masanya!”
– Astriana Gemiati
“Windows 98 secara harfah adalah jendela yang membuka mata saya terhadap peluang tak terbatas yang disuguhkan teknologi. Mulai dari platform hiburan sekaligus pencarian informasi. Cukup membuat anak usia enam tahun (ehm, saya) terkesima dan bertumbuh besar dengan gairah terhadap teknologi.”
– Lukman Siregar
“Pensi (baca: pentas seni) yang diadakan oleh SMA di kota-kota besar Indonesia adalah titik kumpul anak muda pada masanya sebelum kehadiran festival musik berskala masif. Saya rajin hadir untuk menyaksikan karya seni musik lokal yang sedang tren.”
– Zakki Wirasenjaya
“Sejak didirikan, kampanye IKYK selalu menarik perhatian saya berkat tampilannya yang modern. Menurut saya, kreasi IKYK paling menonjol di kalangan jenama mode lokal”
– Maya A. Siregar
“TUDOR menggandeng David Beckham sebagai ambasador global untuk mengawal inisiasi Born to Dare. Bagi saya, tampilan bersahaja dari iterasi yang diluncurkan sangat keren pada masanya.”
– Wilhelmus Rio
“Selama pandemi, saya terpapar tren teknologi untuk membuat gim komputer sendiri. Dan saya menjajalnya dengan program Unity. Meski hanya dikonsumsi untuk hiburan pribadi, namun saya merasa bahwa teknologi memercik kreativitas saya yang belum tersalurkan.”
– Lukman Siregar
“Saya terkesan dengan Swatch HOW MAJESTIC yang dirilis sebagai penghormatan bagi Ratu Elizabeth II atas perayaan 70 tahun titahnya di Kerajaan Britania Raya. Sangat ikonis.”
– Maria Risa
“Tren membuat kamera obscura mulai muncul di era 2020-an. Namun, saya telah mengalaminya sejak akhir era ’90-an berkat mendiang paman yang mengajari saya untuk menciptakannya dengan kaleng kosong. Hasil dari gambar hitam putih lantas menjadi debut pertama saya dalam sebuah majalah yang terbit di Jepang saat itu.”
– Galuh Larasati
AKSES KONTEN MULTISENSORI
FOTOGRAFI
VIDEOGRAFI
Tas Peekaboo ISeeU Petite bermaterialkan kulit ular karung dengan motif
Camellia Pequin, FENDI
Tas Baguette bermaterialkan kulit burung unta kuning, FENDI
Tas Peekaboo ISeeU Petite bermaterialkan kulit burung unta kuning,
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. SMEG
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Terdapat begitu banyak kata untuk mendeskripsikan Smalterie Metallurgiche Emiliane Guastalla atau SMEG. Termasuk di antaranya adalah ahli di bidangnya, inovatif, penuh gaya, dan— paling utama—kolaboratif. Di era ‘50-an hingga ‘70-an, portofolio jenama ini didominasi oleh piranti domestik berukuran besar, seperti alat masak, mesin cuci, dan oven. Pada dekade ‘80-an, SMEG melebarkan sayapnya dan mencanangkan kolaborasi dengan berbagai arsitek dan desainer industrial ternama. Mulai dari Guido Canali (juga berandil mendesain kantor pusat SMEG), Mario Bellini, Renzo Piano, hingga Marc Newson.
Menurut pengamatan kami, puncak ketenaran SMEG baru benarbenar dimulai pada tahun 1997. Ialah saat dirilisnya lini lemari pendingin FAB yang sontak menjadi simbol status di berbagai kalangan dan ikon desain. Kulkas ini mengusung desain retro yang termanifestasi lewat garis desain cembung di setiap tepi, fnis enamel pada permukaannya, dan kenop kromatis. Alasan lain di balik melejitnya lini FAB adalah sejumlah kolaborasi lintas industri yang dirilis, yaitu dengan label mode, otomotif, hingga seniman dan desainer produk. Terdapat beberapa kerja sama yang patut disoroti, seperti dengan Dolce & Gabbana, manufaktur otomotif Fiat, dan komik setrip Peanuts.
Sebagai label yang erat dengan tradisi, SMEG pun pernah merilis kulkas berkonsep patriotis dengan desain Union Jack (bendera Britania Raya) dan Il Tricolore (bendera Italia). Kini, SMEG mengajak desainer pakaian asal Indonesia, Didiet Maulana, untuk menggarap kulkas FAB bertemakan indahnya keberagaman. Sejak berkiprah di dunia mode, Didiet selalu menginjeksikan ragam tipe tenun Indonesia ke dalam desainnya. Kolaborasi ini menyoroti kerajinan tangan Italia dan warisan budaya Indonesia yang diilustrasikan dalam wujud bunga. Sejatinya, bunga adalah simbol dari metamorfosis. Sebagaimana manusia yang terusmenerus berkembang dalam menavigasi kehidupan. Mengingat kentalnya nilai tradisi yang dijunjung oleh SMEG dan Didiet, kami rasa kolaborasi ini sudah semestinya terjadi.
Tampilan retro berwarna krem bergaris desain halus digarap menggunakan
teknik enamel yang begitu sinonim dengan SMEG dan lini kulkas FAB
Terinspirasi dari keramik milik monumen bersejarah di kota Guastalla, motif ini merepresentasikan Italia sebagai negara asal SMEG dengan inkorporasi elemen bertemakan tenun Indonesia.
Selain melambangkan gairah, warna merah yang mendominasi kulkas ini juga menjadi simbol kemakmuran dan prestise.
Motif ini merupakan personifkasi dari bambu, yang melambangkan kekuatan, sekaligus feksibilitas dan hubungan interpersonal manusia.
Ulerati adalah corak asal Maluku yang memiliki arti ulat kecil. Layaknya ulat yang menjadi kupu-kupu, motif ini melambangkan proses transformasi sesungguhnya. Pembuatannya pun memakan waktu yang lama.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. John Hardy
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
John Hardy melambangkan tradisi yang begitu erat dengan Pulau Dewata. Bukan hanya tempat kelahiran semata, Bali dan budayanya diinjeksikan ke dalam setiap kreasinya. Kemunculan John Hardy di tahun 1989 berhasil mendisrupsi kancah perhiasan yang saat itu bergelimang penawaran batu berharga. Sementara, katalog John Hardy justru berfokus pada logam mulia—khususnya perak sterling—yang digarap dengan teknik anyam tradisional Bali.
Para penyuka perhiasan gemerlap mungkin tidak langsung terpikat dengan karya John Hardy pada pandangan pertama. Beda ceritanya dengan mereka yang menyambangi lokakarya John Hardy di pinggiran Ubud dan dibuat takjub oleh proses pembuatannya secara langsung. Terlebih setelah mengetahui komitmen John Hardy terhadap misi keberlanjutan tanpa mengesampingkan kemewahan.
Perlahan citra tradisional sang jenama mulai bergeser agar dapat beradaptasi terhadap permintaan pasar yang haus akan hal-hal kontemporer. Pergeseran ini dikukuhkan sejak didaulatnya Reed Krakof sebagai Creative Chairman John Hardy di tahun 2022. Termasuk dalam upaya modernisasi yang dilakukan adalah mengembangkan lini-lini klasik John Hardy dan mengintegrasikan ragam tipe batu permata ke dalamnya. Salah satu manifestasinya adalah lini Spear yang perdana dilansir pada tahun 2023.
Mengadopsi desain Icon—salah satu koleksi paling distingtif sang jenama—Spear digarap dengan teknik anyaman khas John Hardy. Proses pembuatannya melibatkan delapan tahapan rumit yang memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. Mulai dari menggurat sketsa desain, memodifkasi kawat perak daur ulang sebagai kerangka dasar, menyolder secara manual, dan melakukan pembentukan. Setelah itu, proses penganyaman dilakukan untuk menghasilkan rantaian yang kemudian dikreasikan menjadi gelang, cincin, atau kalung nan memesona.
KARYA
Sesuai dengan nama koleksi yang melambangkan keberanian dan presisi, ujung gelang didesain layaknya perisai tradisional. Namun, alih-alih wujud runcing seperti tombak, bagian ini mengusung desain tumpul.
Bermaterialkan perak sterling gelap daur ulang guna meminimalkan dampak terhadap lingkungan, serta dilengkapi oleh aksentuasi rodium hitam berfnis mengilap.
Untuk mengakomodasi ukuran pergelangan tangan berbeda, gelang berdesain tumpuk ini dapat disesuaikan diameternya hingga 5,5 mm.
Dibuat dengan tangan oleh para perajin Bali, gelang ini menampilkan tekstur anyaman yang dihasilkan melalui teknik kerajinan logam tradisional khas Pulau Dewata tersebut.
SILUET DINAMIS GELANG SPEAR FLEX JOHN HARDY
Penggunaan kawat titanium aeronautika yang pipih dan lentur menjamin feksibilitas saat gelang dibuka tanpa mengubah kontur desainnya.
Wawancara inspiratif dan profl mendalam dengan sosok-sosok yang berperan dalam membentuk, menggerakkan, dan mengembangkan industri gaya hidup.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Pribadi Tom Tandio
VIDEOGRAFI
Michael Madjid / DERAI
Sebuah kunjungan ke galeri di tahun 2007 menandai cikal bakal keterlibatan Tom Tandio dalam dunia seni. Mulai dari menjadi Direktur Pameran di perhelatan Art Jakarta, membina komunitas lewat Art Jakarta Young Gallerist Organisation (YGO), mendirikan platform IndoArtNow, hingga berkontribusi untuk pusat seni Jakarta Art Hub. Dari semua kontribusinya, menjadi kolektor seni adalah cara Tom yang paling personal untuk mengapresiasi cerita dan sosok jenius di balik setiap kanvas.
Lebih dari sebuah investasi, Tom memiliki pendekatan lain untuk mengapresiasi karya seni. Ia mendasari setiap pembelian pada makna yang beresonansi dengannya, sekaligus koneksi personal dengan karya tersebut. Hal ini dilakukan lewat diskusi dengan setiap seniman untuk memahami visi di balik karya yang diciptakan. Tom percaya bahwa seni adalah sesuatu yang subjektif, sehingga konsep tren tak selalu berdampak besar pada pengambilan keputusan.
PERSONA
Meski mengoleksi seni merupakan sesuatu yang personal, riwayat kepemilikan dan autentisitias sebuah karya seni sangatlah penting menurut Tom. Bukan hanya soal menjaga nilainya, kedua hal tersebut wajib diketahui untuk memastikan keaslian, membangun kepercayaan di antara sesama kolektor, galeri, dan museum. Selain itu, riwayat kepemilikan juga memberikan konteks hisori yang dapat memperkaya apresiasi dan signifkansi karya tersebut di dalam komunitas seni.
Sebagaimana proses pembelian yang cermat, Tom memastikan bahwa seluruh koleksinya terpelihara dengan baik. “Untuk merawat koleksi seni di iklim tropis Indonesia saya
mengatur tingkat kelembapan area penyimpanan, menggunakan kaca pelindung UV guna mencegah dampak langsung sinar matahari, melakukan inspeksi berkala yang membantu mengidentifkasi tanda-tanda kerusakan sejak dini, dan berinvestasi dalam layanan konservasi profesional untuk memastikan keapikan kondisi karya seiring waktu berdasarkan praktik,” ungkap Tom.
Kehadiran para kolektor seni seperti Tom memiliki dampak signifkan terhadap karier para seniman pendatang baru. Tak hanya memberikan dukungan fnansial, tetapi juga validasi yang menjadi motivasi bagi sang seniman.
Biasanya, para kolektor juga berbagi koleksi mereka ke kolektor lainnya yang kemudian membantu sang seniman menjangkau audiens semakin luas.
Setelah memamerkan koleksinya di Song Eun Art Space Seoul, pada tahun 2016, Tom berharap dapat menampilkan deretan koleksi karya seninya dalam rentang satu dekade ke depan, sebagai momen refeksi mengenai pengembangan dan per-tumbuhannya dari tahun ke tahun. Selama menunggu, KINTAKA berkesempatan untuk mendengar perspektif mendalam yang dibagikan oleh Tom secara personal tentang lima buah karya seni yang dikoleksinya.
“C.C. Records (2013) karya Duto Hardono adalah interpretasi menarik tentang keterhubungan kultur yang dieksplorasi melalui medium suara. Karya ini menyertakan beberapa paruhan album Long Play (LP) dari berbagai genre musik, kultur, dan bahasa.
Masing-masing album menawarkan fragmen unik dalam keseluruhan komposisi. Audiens diajak untuk berinteraksi dengan menciptakan pengalaman auditori tersendiri: merangkai alunan musik dari dua LP yang berbeda. Menariknya, melodi yang dirangkai tidak harus bersinambungan untuk membentuk lantunan harmonis.
Elemen interaktif ini begitu membuai saya berkat konsep keberagaman dan keterhubungan yang ditawarkan. Duto berhasil mengilustrasikan bagaimana individu dari berbagai disiplin dan kultur dapat bersatu dengan selaras meskipun berbeda. Rangkaian LP ini bukan hanya menyimbolkan tradisi musik yang beragam, tetapi juga mencerminkan jalinan dinamis yang menunjukkan kompleksitas interaksi global.
Aktivitas memainkan musik ini secara bersamaan atau berurutan mendorong refeksi tentang bagaimana budaya saling berputar dan mempengaruhi satu sama lain, akhirnya terjalin dengan cara yang memperkaya pengalaman kolektif manusia.
Kreasi inovatif Duto dalam suara dan media mentransformasi perspektif terhadap kenikmatan auditori, mendorong pemahaman tentang bagaimana ritme dan melodi dapat menjembatani perbedaan. C.C. Records adalah pengingat akan keindahan yang muncul saat berbagai suara bersatu untuk menciptakan sesuatu yang baru dan harmonis.”
“Karya ini mengeksplorasi kepiluan dan beban emosional dalam kehidupan. Atsushi menampilkan adegan dengan objek-objek yang tersebar di meja, masing-masing melambangkan langkah-langkah yang harus diambil seseorang dalam hidupnya.
Jantung lukisan ini terletak pada Usacchi karakter kelinci yang memeluk seekor burung gagak, hewan
yang sering diasosiasikan dengan melankolia dan kesedihan. Karya ini beresonansi dengan saya karena beban emosional yang sering saya rasakan dalam mengambil keputusan, terutama jika keputusan tersebut berujung pada situasi tak terduga.
Kartu poker yang ditumpuk membentuk segitiga memperkuat narasi lukisan, bahwa risiko dan ketidakpastian selalu mengiringi proses pengambilan keputusan. Setiap kartu menggambarkan pertaruhan dan lompatan ke dalam ketidakpastian yang hasilnya tak bisa dijamin.
Keahlian Atsushi menggabungkan humor dan melankolia berhasil menggambarkan kompleksitas emosi ini, membuat karya ini mudah dipahami dan memantik opini. Melalui ekspresi Usacchi yang lembut namun muram, seniman mengundang audiens untuk merenungkan kehidupan, langkah-langkah yang telah diambil, dan kedalaman emosi yang dihadapi.
Perpaduan karakter menggemaskan dengan tema mendalam menciptakan gagasan visual yang kuat tentang kondisi manusia yang terus bergema bagi saya.”
“The Forest in the Past (2019) karya HyunSun Jeon beresonansi dengan kepercayaan saya tentang hubungan mendalam antara makhluk hidup dan energi semesta yang mengalir di antaranya. Karya ini menggambarkan hutan dengan nuansa fantasi yang memunculkan rasa nostalgia, berfungsi sebagai pengingat sendu akan masa lalu—baik dalam kehidupan manusia maupun dalam konteks lingkungan yang terus berubah.
Saya terpikat oleh elemen geometris yang disuntikkan HyunSun ke dalam lukisan ini. Siluet-siluet tersebut melambangkan konsep waktu dan mengingatkan bahwa alam pun tunduk pada kekuatan serupa yang mengatur kehidupan manusia. Transisi ini menciptakan harmoni antara yang organik dan yang terstruktur.
Jukstaposisi visual ini mengundang audiens untuk merenungkan keharmonisan antara alam dan intervensi manusia, sekaligus menyoroti dampak aktivitas kita terhadap lingkungan. The Forest in the Past mengilhami saya untuk berintrospeksi tentang peran saya dalam semesta, cara bertukar energi, serta kenangan yang melintasi waktu dan ruang tanpa batas.
Sang seniman berhasil menggambarkan kesinambungan hidup, di mana setiap momen menjadi bagian dari eksistensi yang agung dan saling terkait. Karya ini juga menjadi sarana meditasi tentang koneksi yang kuat antara kita dengan alam dan sesama, sembari mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran penuh terhadap dampak dari tindakan kita terhadap dunia.”
“Karya ini beresonansi dengan saya melalui kontras elegan antara marmer, polyresin, dan kertas akrilik, yang menggambarkan hubungan erat antara alam dan ciptaan manusia. Dengan memadukan elemenelemen berbeda, Pijak (2018) menciptakan sebuah karya yang mencerminkan keharmonisan— sesuatu yang didambakan dalam hidup—sekaligus mengingatkan kita
akan pentingnya keseimbangan. Marmer—yang bersifat permanen dan tak lekang waktu—berpadu indah dengan polyresin sintetis dan kertas akrilik, mencerminkan inovasi serta intervensi manusia dalam alam. Keahlian Gabriel dalam mengolah material ini dengan cermat menggambarkan interaksi kompleks antara unsur organik dan buatan manusia. Kekuatankekuatan ini tak perlu bertentangan, melainkan saling melengkapi dengan cara yang menakjubkan.
Keharmonisan ini menjadi inti dari Pijak , yang mengundang kontemplasi mendalam tentang interaksi kita dengan lingkungan dan dampak tindakan kita, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pijak berfungsi sebagai pengingat untuk menghargai keseimbangan rapuh antara alam dan manusia. Seperti beragam material yang bersatu menjadi sebuah keindahan, manusia pun dapat menemukan keharmonisan dengan merangkul konsep keterhubungan dengan semesta yang lebih luas. Karya ini adalah refeksi yang mengajak kita berpikir tentang keseimbangan dan dialog abadi antara alam dan kemanusiaan, yang terus berkembang seiring waktu.”
“At the Ngurah Rai Airport (2023) karya Wimo Ambala Bayang menginterpretasikan konstruksi sosial yang membatasi pergerakan makhluk hidup, bahkan yang paling abstrak. Karya ini menampilkan seekor kuda berwarna seperti unicorn simbol
kebebasan dan keunikan namun terjebak di ujung garbarata dan tak bisa bergerak bebas.
Kontras antara penampilan mencolok kuda dan posisinya yang terbatas menggambarkan paradoks antara identitas dan tuntutan sosial. Karya ini relevan dengan konsep bahwa meskipun identitas seseorang kuat, lingkungan sekitar tetap berpengaruh besar dalam membatasi potensi kita.
Garbarata menjadi simbol transisi dan peralihan, yang secara paradoks mencerminkan bagaimana struktur sosial dapat mengekang aspek paling unik dari diri manusia. Warna vibran pada kuda menandakan individualitas dan potensi dalam diri setiap orang, sementara keterbatasannya menggambarkan kenyataan bahwa tanpa lingkungan yang tepat, potensi tidak akan terwujud.
At the Ngurah Rai Airport (2023) mengundang audiens untuk merenung tentang batasan yang bisa mendukung eksplorasi diri atau justru menyembunyikan jati diri. Lukisan ini memicu diskusi tentang pentingnya menciptakan ruang di mana identitas seseorang dapat berkembang dengan baik.”
3 SARAN UNTUK
KOLEKTOR PEMULA
Pahami Para Seniman
Luangkan waktu untuk mempelajari pesan di balik karya setiap seniman. Alangkah penting untuk mengapresiasi sebuah karya seni dari makna dan emosi yang ditimbulkan, alih-alih investasi semata.
Bangun Hubungan Baik
Terlibat dengan para seniman dan kurator sungguh krusial untuk mendapatkan wawasan mendalam terkait proses kreatif dan narasi di balik karya seni mereka. Ini juga membantu Anda untuk membuat keputusan bijak sebelum membeli.
Ciptakan Preferensi Sendiri
Kembangkan koleksi yang beresonansi dengan Anda secara personal. Biarkan hasrat dan minat Anda memandu Anda dalam proses mengoleksi karya seni.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Michael Madjid / DERAI
VIDEOGRAFI
Raja Ibnu Faderi / DERAI
Kecintaan Aditya terhadap sepatu dipengaruhi oleh dua hal yang ia cintai: musik dan olahraga. Bermusik baginya bukan hanya soal suara, tetapi juga ekspresi diri. Di atas panggung, ia harus menjaga penampilan tanpa mengorbankan kenyamanan. Di sisi lain, ia juga mencari sepatu yang nyaman dan modis untuk menunjang aktivitas berolahraga. “Tiada solusi yang lebih mewakili dua hal favorit saya selain sepatu kets,” ujar Aditya.
Saat bertandang ke rumah Aditya, ia mengajak kami ke sebuah ruangan yang didekasikan untuk koleksi sepatunya. Spontan, kami dibuat terpana oleh sejumlah sepatu kets yang terpampang di sebuah rak kaca. “Bila tidak diperjualbelikan kembali, jumlah koleksi saya bisa mencapai 200 pasang,” ucap Aditya santai. Kami jadi penasaran, sepatu mana yang memulai perjalanan Aditya sebagai kolektor?
Duduk santai di depan etalase sepatunya, Aditya mengajak kami bernapak tilas. Perjalanannya dimulai dari memburu sepatu Adidas NMD yang saat itu didaulat sebagai objek wajib punya. “Begitu berhasil mendapatkan sepatu itu, rasanya ingin memiliki yang lain juga,” ujar musisi pop R&B ini. Dari situlah perjalanannya sebagai kolektor dimulai.
“Sebenarnya cukup banyak usaha yang saya lakukan untuk mendapatkan berbagai sepatu kets.” Demi memiliki karya kolaborasi antara Nike dan RTFKT, Aditya rela bersusah payah mengklaim sebuah NFT terlebih dahulu sebagaimana diwajibkan bagi para pembeli edisi spesial tersebut. Pria berusia 42 tahun ini juga pernah menyambangi satu per satu gerai ritel di mal-mal Singapura hingga jam operasional berakhir demi mendapatkan Nike Airmax 1 Retro ‘Atmos’.
“Bila dibandingkan dengan kolektor lain, sebenarnya saya masih tergolong pemula karena baru mulai mengoleksi pada tahun 2015,” ujar Aditya dengan rendah hati. Namun, keahliannya dalam berburu sepatu yang menjadi incaran banyak orang membuktikan hal sebaliknya. Lebih dari sekadar membeli, Aditya juga mendalami setiap detail yang berkaitan dengan hobinya.
Kini, Aditya memiliki wawasan luas tentang berbagai jenis sepatu kets, mulai dari yang berbasis performa hingga yang dirancang untuk tampil modis, lengkap dengan sejarah dan sosok-sosok inspiratif di baliknya. Rasa ingin tahunya yang mendalam tak hanya memperkaya pengetahuannya, tetapi juga mendorongnya untuk berbagi cerita dengan khalayak luas.
Lewat akun Instagram @adityalogy, kanal YouTube Adityalogy TV, serta platform Soboyow dan Jakarta
Sneaker Day, Aditya mengubah kecintaannya pada sepatu kets menjadi medium untuk menginspirasi dan mengedukasi komunitas. “Objektif saya adalah menyampaikan ulasan sepatu agar audiens dapat mengambil keputusan yang tepat dan tidak merogoh kocek terlalu dalam untuk membelinya,” ungkap Aditya.
Semakin terlibat dan aktif dalam komunitas pencinta sepatu kets, Aditya pun terinspirasi untuk menggagas penyelenggaraan Jakarta Sneaker Day (JSD) yang memberikan akses kepada publik terhadap produkproduk edisi terbatas, sekaligus mendorong terciptanya interaksi yang lebih hidup antara penjual, pembeli, dan komunitas. Selain itu, Aditya juga ingin memperkenalkan para pemain lokal agar lebih dikenal di pasar global.
“Sayangnya banyak yang belum mengetahui bahwa sepatu kets rilisan Adidas dan Nike dengan label ‘Made in Indonesia’ justru menjadi incaran para
kolektor di Eropa dan Amerika Serikat karena kualitasnya yang sudah diakui. Sebagai tuan rumah bagi manufaktur sepatu kets global, saya berharap jenama-jenama lokal dapat segera bersinar di panggung internasional,” ungkap Aditya.
Untuk para kolektor baru, Aditya menyarankan agar membangun koleksi secara perlahan. Menurutnya, hal menarik dari koleksi adalah kurasi yang mencerminkan kepribadian pemiliknya.
“Seorang kolektor yang baik harus bisa mempertahankan nilai sepatunya. Jika tidak bisa merawatnya dengan baik, mendingan dijual kembali. Saya sendiri menerapkan sistem rotasi karena jika tidak diperjualbelikan kembali, jumlah koleksi saya bisa mencapai 200 pasang,” tutur Aditya yang kini mempertahankan sekitar 50 sepatu dalam koleksinya, termasuk lima pasang yang paling istimewa baginya berikut ini.
Termasuk dalam koleksi Aditya adalah objek lain yang mengilustrasikan kecintaannya pada kultur
EXC – 01 ECLIPSE X ADITYALOGY’S SOBOYOW (2024)
“Koleksi ini bernama Eclipse dan sesuai namanya terinspirasi dari gerhana. Manifestasinya terlihat dari tiga pilihan warna yang ditawarkan: serba hitam (gerhana total), serba putih (pasca gerhana), dan hitam abu-abu (gerhana parsial). Kami juga melengkapi sepatu ini dengan elemen refektif yang akan berkilau saat terkena cahaya. Soboyow mendorong jauh standar Kanky lewat kolaborasi ini.
Sepatu ini telah melalui uji ketahanan sebanyak tujuh kali hingga benarbenar terbukti tangguh. Selain itu, kami juga melakukan proses pengepasan sendiri sampai benar-benar terasa nyaman ketika dikenakan.
“Kolaborasi ini kerap dijuluki sebagai titisan Converse Chuck 70 yang begitu legendaris, hanya saja dalam wujud sepatu bot. Banyak yang tidak menyangka bahwa Converse dapat menelurkan sepatu berdesain ajaib. Namun, akhirnya rilisan ini menjadi pelopor sejumlah desain nonkonvensional Converse di kemudian hari. Sesuai DNA A-COLD-WALL* (ACW), sepatu ini hadir bersiluet futuristik distopia bak berasal dari tahun 3000-an dengan warna abuabu yang menjadi favorit saya karena begitu bersahaja.
Koleksi kapsul ini didesain oleh pendiri jenama asal Inggris tersebut, Samuel Ross, yang turut menyatakan keberadaannya lewat ukiran ACW di beberapa sisi sepatu. Saya merasa beruntung saat mendapatkannya lantaran keterbatasan stoknya di Indonesia. Setelah menyampaikan kekaguman terhadap Samuel Ross dan keinginan untuk memilikinya, tim Converse Indonesia meminta untuk membuat konten tentang sepatu ini sebelum dirilis secara publik.“
Dari 2.500 pasang sepatu yang kami produksi secara terbatas, kami sukses menjual sebanyak 2.000 pasang di hari pertama peluncuran. Menurut saya, sepatu ini memiliki banyak kejutan yang bisa meletakkan Indonesia di peta global.
Bagian favorit saya dari sepatu ini adalah tali sepatu yang dapat berputar secara otomatis. Gagasan ini muncul karena saya pribadi bukan penggemar sepatu bertali. Tidak usah ditanya, pasti sepatu ini akan saya pertahankan selamanya.”
“Ada cerita menarik di balik sepatu yang dijuluki Bred ini. Karena terlihat memakai sepatu ini di turnamen NBA pada tahun 1985, pemain basket legendaris Michael Jordan dikenakan denda besar. Saat itu, terdapat peraturan bahwa warna sepatu pemain yang tidak senada dengan seragam tim akan dikenakan penalti sebesar $5.000 per pertandingan oleh liga NBA. Sementara, Michael terus mengenakan Air Jordan yang bertentangan dengan warna seragam Chicago Bulls—timnya saat itu—di sepanjang musim pertandingan. Alhasil, Nike membayar penuh denda tersebut karena ingin terus menunjukkan Air Jordan kepada audiens.
Bagian favorit saya adalah material kulit beraksen kerut yang memiliki tekstur distingtif dibandingkan dengan rilisan Jordan masa kini. Awalnya, saya enggan membeli sepatu ini karena tidak menyukai sepatu basket. Tetapi saya menyesal dan akhirnya membelinya dari Chef Martin Praja. Kini ia yang menyesal telah melepas sepatu ini kepada saya.”
“Sepatu ini adalah cerminan kesukaan saya terhadap desain futuristik. Acronym adalah label asal Inggris yang berfokus pada atribut luar ruangan berteknologi tahan air. Menurut saya sepatu ini adalah salah satu kolaborasi Nike yang ternyaman dikenakan. Bagian favorit saya adalah ritsleting pembuka dengan logo Acronym yang tersemat memudahkan proses lepaspasang, sehingga tidak perlu repot saat mengguna-kannya. ini pula yang membedakan sepatu ini dengan rilisan Air Presto pada umumnya.
Sepatu ini saya dapatkan di tahun 2016, dan sampai sekarang masih terasa nyman digunakan. Sekalipun bagian sol dan ritsleting pembuka sudah mulai melapuk, saya selalu mereparasinya kembali. Sepertinya saya akan memakai sepatu ini sampai benar-benar sudah tidak bisa berfungsi dan tidak akan menjualnya kembali. Pasalnya, sepatu ini tak akan diproduksi ulang pasca berakhirnya kerja sama Nike dengan Acronym.”
“Kolaborasi antara Nike dan mendiang Virgil Abloh ini sempat menggemparkan dunia di tahun 2017. Bagaimana tidak? Virgil kerap dijuluki sebagai desainer yang mengubah dunia 180 derajat. Sebagaimana gaya desain dekonstruksi yang diusung dan berdampak besar pada berbagai disiplin kultur. Secara pribadi, banyak alasan mengapa sepatu ini begitu istimewa bagi saya. Pertama, terdapat
tulisan “AIR” ADITYA di sol sebelah kanan dan “VIRGIL” di sol sebelah kiri yang dibubuhkan oleh sang pendiri Of White. Kedua, momen spesial saat mendapatkan sepatu ini, yaitu kesempatan bertatap muka dan bertukar pikiran dengan beliau.
Bisa dibilang, kiprah saya sebagai pencinta sepatu kets telah dilegalisir oleh Virgil Abloh. Selain menjadi trof
pencapaian, sepatu ini juga membuka jalan kerja sama dengan berbagai jenama. Baik sebagai konten kreator, maupun Jakarta Sneaker Day. Tentu saja sepatu ini adalah memorabilia yang akan saya pertahankan selamanya dan tidak akan saya jual kembali. Kecuali bila ada seseorang yang juga bernama Aditya dan cukup gila untuk menaksir sepatu ini dengan nominal tak masuk akal.”
Virgil Abloh Off Converse x Off White dengan gaya transparan berdesain dekonstruktif. Saya sempat ditawarkan sepatu ini namun tidak saya ambil. Akhirnya saya menyesal sampai sekarang.
Air Jordan x Fragment yang harganya tak kunjung merosot (sekitar Rp60 juta-an di pasaran kini). Bagi yang paham saja, sepatu ini merupakan Air Jordan terbaik yang pernah dibuat sepanjang masa.
Nike Yeezy 2 Solar Red, versi orisinal—bukan rilisan Adidas— yang dikenakan oleh Kanye West dan Jay Z saat merilis album Watch the Throne (2011). Saya akan membelinya jika dapat menemukan dari tangan kedua, sekalipun sudah dalam kondisi usang.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Industri gaya hidup Indonesia saat ini berada di era yang penuh dinamika. Hal ini ditandai oleh kemunculan pelaku kreatif yang terus berinovasi, juga perubahan perilaku konsumen. Pernahkah terlintas di benak Anda, ada entitas yang berperan penting dalam menjembatani pelaku kreatif dengan konsumen akhir? Ya, mereka adalah para peritel yang tak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi, tetapi juga menjadi benang merah antara pelaku industri dan konsumen akhir.
Lebih dari itu, peritel juga berperan sebagai pelopor dalam mendobrak batasan dan menghadapi tantangan zaman. Dengan fokus pada pelayanan terbaik dan penerapan strategi pemasaran imersif, mereka menciptakan pengalaman belanja yang bermakna. Model bisnis yang disuguhkan juga beragam. Beberapa berperan sebagai distributor resmi jenama internasional, sementara lainnya secara eksklusif menciptakan dan memproduksi produk sendiri.
Athirah Nurfilzah
Arinta Wirasto
PENULIS FOTOGRAFI
Dok. Narasumber
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Apa pun pendekatannya, peritel-perital ini mampu menangkap tren lokal dan mengintegrasikannya dengan strategi mereka. Namun, di balik kesuksesannya, terdapat berbagai berbagai rintangan yang perlu dinavigasi oleh para peritel. Mulai dari perilaku pasar yang selalu berubah, transformasi digital, hingga menyuguhkan pengalaman berbelanja yang lebih eksperimental.
Lantas, bagaimana kontribusi para peritel ini dalam memperkaya industri gaya hidup di Indonesia? KINTAKA mengajak Anda untuk menyelami perjalanan enam inisiator yang telah berhasil mengubah wajah industri ini dan merangkul tantangan secara inovatif.
Presiden dan CEO
Time International
Baik pelaku industri maupun penikmat gaya hidup pasti familier dengan nama Irwan Mussry sebagai salah satu peritel jam tangan paling prominen di Indonesia. Kisah suksesnya dimulai dari sebuah pengalaman berkesan di masa muda. Saat itu, Irwan hendak membeli jam tangan impian yang membuka matanya pada sebuah pengalaman yang ternyata jauh dari harapan.
“Jangankan memiliki pengetahuan mumpuni tentang produk, cara menggunakan jam tersebut pun mereka tak tahu,” kenang Irwan.
Pengalaman tersebut menjadi titik balik yang mengarahkannya pada perjalanan panjang, hingga perusahaan yang dikepalainya berada di posisinya kini.
“Saya yakin dapat melayani pelanggan dengan jauh lebih baik, menghormati setiap produk dan jenama, serta melakukannya dengan integritas,” tutur Irwan. Inilah yang melandasi konsepsi TIME International sebagai kurator dan kultivator brand kelas dunia.
Sesungguhnya, presensi TIME International dapat ditelusuri hingga ke era ‘60-an saat generasi terdahulu keluarga Irwan memulai bisnis ini sebagai layanan purna jual dan perakitan komponen produk. Namun, di bawah kepemimpinan Irwan, model bisnis TIME International mengalami pergeseran signifkan, bertransformasi menjadi model ritel yang melayani konsumen secara langsung dengan menawarkan jam tangan buatan Swiss, seperti Rolex, Cartier, Audemars Piguet, Panerai, TAG Heuer, dan banyak lainnya.
Seiring berjalannya waktu, TIME International berekspansi dan menambah diversifkasi lini dengan membawa jenamajenama mode teratas di liganya, yaitu CHANEL, Berluti, Celine, Fendi, Valentino, Zegna, dan Tory Burch. Selain itu, terdapat pula produk gaya hidup dari Fossil, JW Pei, dan Fjallraven Kanken.
TIME International juga aktif dalam berbagai inisiatif dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, salah satunya dengan membangun sekolah-sekolah bekerja sama dengan Happy Hearts Indonesia. Berkat komitmen perusahaan dalam memberikan pelayanan terbaik serta fokus pada kesejahteraan, TIME International berhasil meraih penghargaan dari HR Asia dalam kategori Tempat Bekerja Terbaik dan Perusahaan Paling Peduli di awal tahun 2024.
TIME INTERNATIONAL FAKTA DALAM ANGKA
50+ 100+ 1200+
jenama dalam portofolionya butik tunggal dan multijenama karyawan di Indonesia
Pernahkah Anda merasa kenyamanan sofa yang begitu memanjakan atau terpukau oleh keanggunan meja marmer yang elegan? Michelle Shang telah menyaksikan furnitur berkualitas yang menjadi standar terbaik dari berbagai belahan dunia. Melalui konsepsi ruang pamer furnitur MOIE, Michelle berperan besar membawa desain orisinal dari jenama-jenama ternama dunia, mulai dari Italia hingga Skandinavia, seperti Promemoria, Vitra, dan Tom Dixon ke Tanah Air.
Michelle tak menampik bahwa MOIE menghadapi sejumlah tantangan di awal perjalanannya. “Kami menyadari betapa sulitnya menjelaskan mengapa furnitur bisa memiliki nilai yang begitu tinggi. Namun, kami menghargai desain orisinal dan percaya bahwa cerita di balik sebuah karya sering kali lebih berharga daripada karya itu sendiri. Sama seperti di dunia mode, terdapat merek yang menjadi pencetus tren, dan ada juga yang sekadar mengikuti,” ucap Michelle.
MOIE Living berhasil membuka jalan bagi peritel furnitur prestisius lainnya di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, ia mengamati perubahan persepsi terhadap tren furnitur. “Kini klien, terutama yang berusia muda, sudah lebih teredukasi karena banyak terpapar pada desain furnitur internasional,” paparnya. Hal ini membuat mereka lebih bersedia berinvestasi untuk menghadirkan karya-karya tersebut ke dalam hunian mereka.
Berangkat dari prinsip untuk menjadikan MOIE lebih aksesibel, Michelle memutuskan untuk melebarkan sayap dan mengkreasikan MOIE Haus pada tahun 2022. Lini difusi ini menawarkan pilihan kontemporer yang dirancang khusus untuk generasi muda. Tak hanya berhenti di situ, MOIE juga membuka butik FENDI Casa pertama di Asia Pasifk pada awal tahun 2024, menandai langkah ekspansi yang semakin ambisius.
MOIE dan MOIEHAUS selalu mengedepankan kurasi menyeluruh dalam setiap aspek bisnis. Mulai dari desain, asal-usul material, hingga sertifkasi setiap furnitur. Komitmen ini diperkuat dengan penggunaan 100% material berkelanjutan. Realisasinya terlihat pada tas belanja hingga desain ruang pamer, yang dirancang dengan gaya industrial ramah lingkungan. MOIE memastikan bahwa setiap barang tidak bersifat sementara, tetapi memiliki nilai yang berharga dan dapat bertahan dalam jangka waktu lama.
tahun eksis dengan
jenama dalam portofolionya Pendiri dan Direktur Kreatif MOIE & MOIEHAUS
50+ 10
butik di seluruh Indonesia
Direktur dan Pendiri
RUCI Art Space
Pada Maret 2024, RUCI Art Space (RUCI) resmi membuka kembali pintunya setelah dua tahun vakum. Pembukaan ini menjadi momen penting yang menggugah nostalgia bagi salah satu pendirinya, Rio Pasaribu. Bersama Tommy Sibarani, Rio merintis RUCI dengan keberanian yang luar biasa, terutama karena lanskap seni kontemporer Indonesia saat itu belum sehidup dan semarak sekarang.
Kembalinya RUCI kali ini juga membawa dinamika baru dengan kehadiran mitra strategis, seorang produser flm yang sebelumnya merupakan kolektor karya-karya seni dari RUCI. Kehadiran mitra baru ini memberikan energi segar sekaligus memperkuat visi RUCI untuk terus mendukung dan mengembangkan seni kontemporer di Indonesia.
“Tujuan kami adalah menyediakan platform untuk pameran sekaligus ruang diskusi bagi seniman muda,” ungkap Rio. Ia menegaskan bahwa seniman, kurator, dan kolektor yang aktif adalah pilar utama yang berperan besar dalam mendukung pertumbuhan RUCI hingga hari ini.
Melihat ke belakang, Rio mencatat perkembangan signifkan dalam dunia seni kontemporer Indonesia selama satu dekade terakhir. Dalam observasinya, semakin banyak seniman lokal yang mencuri perhatian kolektor internasional, seperti Christine Ay Tjoe, Roby Dwi Antono, Suanjaya Kencut, Albert Yonathan, hingga Mang Moel.
Dari segi tema, karya seni pun mengalami evolusi. Jika sebelumnya lebih banyak berkutat pada isu sosial-politik, kini karya seni kerap menyoroti nilai-nilai humanisme. Isu kesetaraan gender, penolakan terhadap diskriminasi, hingga konsep keberlanjutan menjadi sorotan utama yang merefeksikan perubahan pandangan masyarakat.
Rio memiliki perspektif menarik tentang mengoleksi. “Mengoleksi karya seni bukan hanya tentang estetika, tetapi juga kontribusi terhadap sejarah,” ujarnya. Ia menggambarkan bahwa karya seni yang dibeli saat ini akan menjadi saksi bisu bagi generasi mendatang, membuka jendela untuk memahami kebudayaan masa kini.
RUCI ART SPACE
FAKTA DALAM ANGKA
tahun eksis di industri ekshibisi digelar partisipasi di pekan seni 10 37 13
Mengapresiasi dunia mode lokal menjadi lebih bermakna saat pengakuan internasional berhasil diraih. Namun, tantangan seperti akses terbatas sering kali menghambat jenama Indonesia untuk memperkenalkan potensi mereka di panggung global. Di sinilah Pillar, di bawah naungan TAR Brands yang diprakarsai Lenni Tedja, hadir sebagai gerbang menuju kesetaraan global bagi pelaku mode lokal.
Dengan kurasi yang mengedepankan artistik tertinggi, Pillar bukan sekadar platform penjualan. Lenni memiliki visi besar: menjadikan Pillar ruang kolaborasi kreatif sekaligus tempat pembinaan bagi desainer muda berbakat. “Kami akan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di dunia mode untuk mengembangkan program komprehensif bagi para desainer dan jenama muda,” ungkap Lenni.
Bagi Lenni, menyaksikan individu berkembang dan mencapai tonggak pencapaian adalah sumber kebahagiaan sekaligus kebanggaan. Ia bersemangat memasarkan gagasan-gagasan brilian kepada audiens yang tepat. “Evolusi dan kesuksesan mereka benar-benar memberi kebahagiaan tersendiri,” tuturnya. Dengan strategi ini, Pillar membuka peluang baru bagi talenta lokal untuk berkembang, menjadikannya destinasi dan tolok ukur bagi pencinta mode di Indonesia.
Komitmen ini tercermin dalam selebrasi hari jadi kedua Pillar, yang mengusung kolaborasi lintas industri. Salah satunya adalah proyek dengan seniman Bali, Andre Yoga, bersama tiga label mode: Studio Moral, Hotel Ofcial, dan Isshu. Hasilnya adalah koleksi pakaian siap pakai dan aksesori yang memadukan seni dan mode secara sempurna.
Lenni mengaku bangga melihat ledakan kreativitas di industri mode Indonesia. “Desainer dan jenama lokal membawa gagasan segar yang membuat industri ini semakin dinamis dibandingkan sebelumnya,” katanya. Namun, ia juga menekankan pentingnya adaptabilitas.
“Sukses diraih dengan pola pikir adaptif, bukan terpaku pada tren tertentu. Kreativitas harus terus mengikuti arus perubahan,” tambahnya. Dengan pendekatan strategis dan visi yang kuat, Pillar terus memperkuat posisinya sebagai tolok ukur bagi pencinta mode di Jakarta dan seluruh Indonesia. Bukan hanya sebagai platform, tetapi juga sebagai pendorong perubahan dan inspirasi bagi industri mode lokal.
PILLAR FAKTA DALAM ANGKA
tahun eksis di industri jenama dalam portofolionya tersedia secara daring 2 35 24/7
Presiden Direktur TAR Brands PILLAR
Pendiri dan Direktur Pengelola
ISMAYA Group
Selama 21 tahun, ISMAYA telah mendefnisikan ulang konsep bersantap lewat hidangan berkualitas dan atmosfer yang mengundang. “Setiap konsep ISMAYA—dari tempat makan santai hingga lokasi premium—dirancang untuk memperkaya budaya lokal dan menjadi ruang konektivitas dan merayakan kehidupan,” ungkap Bram.
Bicara tren di dunia boga, Bram menyoroti pergeseran ke arah eksplorasi format pengalaman bersantap. “Pergeseran ini mendorong kami untuk berpikir lebih kreatif tentang setiap konsep yang kami hadirkan. Bukan hanya soal menu, melainkan juga setiap detail yang dipertimbangkan untuk menambah nilai pada pengalaman konsumen,” ujarnya.
ISMAYA menanggapi evolusi tren tersebut saat memperluas katalog mereka di tahun 2024. Beberapa nama di antara 100 gerai yang dibuka di kota-kota besar Indonesia adalah Markette dan Baku yang menjadi destinasi sarapan sepanjang hari, Charkoal dengan pengalaman omakase, Café Kissa yang berfokus pada cita rasa khas Jepang, serta FLOR yang memperkaya lanskap makanan penutup.
Meski demikian, tentu tidak ada kesuksesan tanpa tantangan. Sebagaimana pelaku gaya hidup lainnya, masa pandemi sempat berdampak besar pada kegiatan operasional ISMAYA. Namun di balik ketidakpastian tersebut, tercipta peluang berharga yang mengajarkan arti ketahanan, kreativitas, dan adaptasi. “Saya menyadari pentingnya memimpin dengan empati. Memahami kebutuhan mereka dan terbuka terhadap perubahan menjadi landasan ISMAYA dalam bertindak,” lanjut pria berusia 47 tahun ini.
Selain itu, grup ini juga berfokus untuk menghadirkan agenda sosial terbaik di industri melalui difusi lini ISMAYA Live. Mulai dari festival musik, seperti Djakarta Warehouse Project (DWP) dan We The Fest (WTF), hingga festival boga, Jakarta Culinary Festival. Masing-masing menghadirkan cita rasa unik untuk setiap selera, suasana hati, dan kesempatan.
Dengan menggabungkan inovasi, empati, dan komitmen pada pengalaman konsumen, ISMAYA telah menjadi pilar penting dalam lanskap gaya hidup Indonesia. Setiap konsep yang mereka hadirkan bukan hanya tentang makanan atau hiburan, tetapi juga tentang menciptakan momen dan kenangan yang berharga.
ISMAYA FAKTA DALAM ANGKA
21 17 129
tahun eksis di industri jenama dalam portofolionya gerai di seluruh Indonesia
Central Mega Kencana (CMK) memiliki peran penting dalam merevolusi lanskap perhiasan Indonesia. Berangkat sebagai manufaktur yang berfokus pada produksi dan distribusi perhiasan, akhirnya CMK memutuskan untuk berekspansi ke format ritel terintegrasi. Babak baru ini ditandai lewat kehadiran Frank & Co. di tahun 1996 yang perlahan menggantikan dominasi toko perhiasan keluarga di sejumlah pusat perbelanjaan tradisional Indonesia.
Dekade-dekade berikutnya menyaksikan perkembangan pesat CMK dengan memperluas portofolio jenama untuk ragam tipe segmentasi. Ialah The Palace dan Mondial— perusahaan asal Singapura yang mereka akuisisi—yang perlahan berkembang hingga memiliki presensi masif di seluruh Indonesia. Bicara visi, Petronella mengungkapkan bahwa ia ingin menciptakan pengalaman berbelanja perhiasan yang bermakna bagi para pelanggan CMK dan berdampak pada sektor perhiasan Indonesia.
Bermakna yang dimaksud adalah menerapkan pendekatan edukatif guna memberikan pemahaman mendalam tentang perhiasan kepada pelanggan. Petronella menjelaskan bahwa CMK adalah satu-satunya peritel di Indonesia yang menyediakan laboratorium mini dan karatimeter di geraigerai mereka. Teknologi tersebut memungkinkan pelanggan untuk menganalisis perhiasan secara langsung dan membandingkan warna dan kejelasan dari perhiasan yang mereka miliki.
Karenanya, CMK berhasil menjadi perusahaan perhiasan pertama yang memperoleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Dedikasi ini sejalan dengan spirit Petronella, yang selama 28 tahun berkarya di CMK telah menunjukan perjalanan karir yang inspiratif. Mulai dari menjadi pramuniaga gerai Frank & Co., hingga berada di posisinya sekarang sebagai Chief of Operations. ”Saya harus tetap beradaptasi untuk menjadi relevan, bahkan di level jabatan saya sekarang. Hasilnya adalah pengetahuan mumpuni tentang industri perhiasan, mulai dari proses produksi hingga rantai pasokan,” tuturnya.
Dengan komitmen CMK dan tekad Petronella, tak heran jika CMK terus menuai prestasi. Mulai dari penghargaan World Branding Award dalam kategori Brand Of The Year selama tiga tahun berturut-turut dan Jewellery World Awards.
CENTRAL MEGA KENCANA FAKTA DALAM ANGKA
tahun eksis di industri jenama dalam portofolionya butik di seluruh Indonesia 50 3 127
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Kevindra Soemantri
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
Dok. Kevindra Soemantri
VIDEOGRAFI
Raja Ibnu F. / DERAI
Pasca Reformasi, tak hanya industri kreatif dan perflman saja yang mengalami kebangkitan. Fenomena serupa pun terjadi di lanskap restoran ibu kota. Katalis utamanya adalah kepulangan para diaspora yang bersekolah atau bekerja di luar negeri seiring berangsur stabilnya kondisi negara. Mereka hadir dengan perspektif baru tentang dunia kuliner dan ditanggapi dengan umpan balik positif oleh para pemain industri. Sebelum era 2000-an, dunia restoran Jakarta secara garis besar dibagi menjadi dua. Ialah restoran kelas atas milik hotel bintang lima dan gerai kasual di dalam mal atau lokasi independen.
Generasi muda yang baru kembali merantau merasa bahwa kota ini kurang menyenangkan. Dibutuhkan percikan baru untuk mempertahankan antusiasme di industri gaya hidup. Mereka ingin menikmati minuman anggur dan hidangan lezat tanpa harus disajikan di atas meja bertaplak putih, atau menggunakan jas parlente.
PERSONA
mendirikan fne dining ESA Restaurant dan bar koktail Congo di SBCD Park dengan Indonesia sebagai inspirasi menu hingga desain interiornya. PERSONA
Kebutuhan anak muda kelas menengah atas inilah yang mendorong kemunculan nama-nama tersohor di era tersebut. Di antaranya adalah Manna House di Senayan, Prego di Blok M, Cinnabar di Menteng, dan Blowfsh di Kuningan. Bola salju bergulir. Paprika di Menteng, Cork & Screw di Wisma Kodel, hingga Loewy turut meramaikan malam-malam para pangeran dan putri Jakarta yang lapar akan hidangan sedap, serta aktualisasi diri di lingkup sosial kelas atas.
Hal ini menandai lahirnya sebuah genre bernama lifestyle dining (kuliner gaya hidup). Ialah konsep di mana kegiatan ‘makan-makan’ bukan melulu soal mengisi perut, tetapi juga bagian penting dari interaksi sosial dan ekspresi gaya hidup.
Konsep ini begitu kuat diasosiasikan dengan identitas Jakarta sebagai kota bisnis dan mercusuar gaya hidup Indonesia. Dengan begitu, konsep yang berakar di Jakarta ini perlahan mulai diadopsi oleh para pemain bisnis di kota-kota besar lain Indonesia. Tentu saja, pembentukannya disesuaikan dengan kesiapan ekosistem baik dari perilaku, maupun daya beli individu setiap kota
Seiring berkembangnya jumlah pencinta kuliner di Jakarta, begitu pula dengan aneka tempat makan yang menghiasi kota ini. Peleburan antara konsep yang semakin variatif saling terkait dengan munculnya perilaku penikmat makanan yang berbeda-beda. Secara garis besar, mereka dikategorikan menjadi empat tipe konsumen.
PENCINTA MAKANAN ASPIRATIF
Tipe konsumen pertama adalah yang saya sebut sebagai pencinta makanan aspiratif. Konsumen dalam kategori ini umumnya adalah kaum berduit baru. Mereka adalah orang-orang yang baru saja mengalami lonjakan fnansial dan terpapar pada dunia kuliner bergengsi.
Pencinta makanan aspiratif memiliki cukup uang untuk pergi ke restoran. Tetapi pembeda utama antara mereka dan tipe konsumen lainnya adalah pemahaman tentang kuliner yang masih terbilang dangkal. Ketertarikan mereka masih terbatas pada dekor menawan, presentasi wah, dan hal permukaan setingkat lainnya yang disuguhkan oleh restoran-restoran ternama tersebut.
Maka dari itu, tipe konsumen ini cenderung tidak loyal dan mudah terdampak oleh tren baru. Umumnya, restoran-restoran di kawasan Senopati dan Pantai Indah Kapuk adalah tempat para kaum berduit baru berkumpul.
Tipe konsumen berikutnya adalah para puritan yang mayoritas sudah berusia mapan. Umumnya, mereka menjabat sebagai pembuat keputusan di suatu perusahaan atau telah memasuki usia pensiun. Mulai dari yang sederhana, hingga yang paling bergengsi, para puritan ini telah menyambangi berbagai jenis restoran. Generasi muda memandang para puritan sebagai konsumen konvensional. Realitanya, mereka adalah konsumen yang lelah
dengan menjamurnya tempat-tempat makan baru. Alhasil, mereka tetap setia dengan cita rasa yang familier dengan lidah mereka. Bukan berarti sedang berhemat. Sejatinya, para puritan memiliki uang berlimpah. Mereka tetap ingin bergaya, meski tipe makanan yang dinikmati cenderung klasik. Para puritan dapat ditemukan sedang melahap dim sum di restoran Tionghoa kelas Michelin di hotel bintang lima, ataupun sup bawang di restoran Prancis terbaik.
Ada juga tipe konsumen yang unik dan baru muncul dalam beberapa tahun terakhir. Tipe ini saya sebut sebagai kultus kuliner. Bisa dibilang, mereka memiliki ciri khas yang paling mudah diidentifkasi. Kultus kuliner adalah generasi muda yang senang berkumpul dan melihat restoran sebagai platform suatu komunitas tersendiri. Jika Anda datang ke sebuah tempat makan dan melihat
sekelompok orang yang datang bergaya ‘seragam’ dari kepala sampai kaki dalam satu genre pakaian serupa, kemungkinan Anda sedang berada di salah satu lokasi berkumpul kultus kuliner. Mulai dari komunitas disko, hingga komunitas motor gede. Mulai dari pekerja kreatif, hingga penganut vegan. Terdapat banyak restoran di Jakarta yang mengakomodasi ragam komunitas tersebut. Tak
hanya itu, menu yang ditawarkan pun mencerminkan ideologi dan selera audiens yang dituju. Lebih dari sekadar tempat makan, restoranrestoran ini dikemas sedemikian rupa agar seseorang dapat menjadi bagian dari sebuah pergerakan. Area Kemang dan Blok M merupakan contoh lokasilokasi tempat para kultus kuliner berkumpul.
Bakmie Aboen di Pasar Baru sudah berdiri selama 62 tahun (dok. Kevindra Soemantri)
Tipe konsumen terakhir adalah pengikut fanatik. Mereka adalah penikmat sekaligus pakar, dengan rentang usia yang cukup luas. Mulai dari 30-an, hingga 60-an. Pengikut fanatik terdiri dari segenap individual yang telah terpapar pada hidangan bercita rasa tinggi. Mereka juga memiliki ketertarikan yang dalam terhadap dunia makan dan minum. Berorientasi pada tren, namun tetap orisinal.
Sebagai fanatik, mereka menikmati makanan dan minuman dari hati. Menyukai makanan kaki lima, namun juga santapan mewah. Umumnya,
pengikut fanatik merupakan konsumen yang tak banyak komplain. Unjuk diri atau pamer dirasa tidak perlu. Namun, bila ditanyakan opini soal hidangan, mereka bisa membedah layaknya dokter spesialis yang sedang menganalisis pasien.
Selain itu, mereka memiliki restoran favorit yang tidak lazim dan berbeda dengan selera pasar. Tipe konsumen ini pun tersebar di banyak tempat. Terkadang mereka dapat ditemukan sedang menyesap segelas Riesling atau Batard-Montrachet di restoran Barat. Kali lainnya, Anda dapat me-
nemukan mereka sedang melahap nasi campur yang tersembunyi di dalam gang di kawasan Glodok.
Setelah mengetahui tipe-tipe konsumen dunia gaya hidup Jakarta, tipe konsumen mana yang Anda rasa paling relevan? Tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Masing-masing memiliki latar dan ciri khas tersendiri yang justru menjadikan lanskap restoran Jakarta semakin dinamis dan semarak. Selamat makan-makan.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
Dok. Hauwke Setjodiningrat
VIDEOGRAFI
Dimitri Zuniar Isnanta / DERAI
Hartawan Setjodiningrat bukanlah nama asing dalam pemberitaan seputar mobil klasik. Pria paruh baya yang akrab dipanggil Hauwke ini telah menjadi narasumber kawakan untuk berbagai artikel koran dan majalah, bahkan siaran televisi maupun media sosial dalam dan luar negeri. Semua publikasi tersebut terdokumentasi dengan apik di dalam bingkai-bingkai yang dipajang rapi di dinding Hauwke’s Auto Gallery di Kemang, Jakarta.
Galeri berdesain interior unik—terdiri dari kawasan serupa bengkel, pom bensin kuno, serta rumah makan dan bar bergaya khas era ‘50-an—tersebut menjadi rumah bagi sebagian besar koleksi Hauwke yang pernah mencapai 200 mobil namun kini telah dikurasi menjadi 70 mobil agar dapat terpelihara dengan baik. Mulai dari mobil Lorrain Detricth rilisan tahun 1908, hingga mobil kepresidenan Chrysler Imperial bekas Bung Karno menjadi sorotan dalam berbagai pemberitaan mengenai dirinya.
Bila kebanyakan narasi menyebutkan tahun 1979 sebagai awal mula dari kecintaan Hauwke terhadap mobil klasik, sesungguhnya ketertarikan beliau telah tumbuh jauh lebih awal. Lahir di Temanggung, Jawa Tengah, Hauwke dibesarkan dalam kesederhanaan meskipun ayahnya seorang pengusaha. Keterbatasan di tempat tinggalnya membuat Hauwke sering berkendara ke kota besar bersama sang ayah untuk membeli perlengkapan sekolah, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dari sinilah Hauwke mulai akrab dengan aktivitas berkendara.
Meski sang ayah tidak memiliki ketertarikan khusus ter-hadap otomotif, beliau senantiasa memberikan banyak pertanyaan dan informasi teknis seperti meminta Hauwke kecil untuk menghitung jarak tempuh, membaca rambu lalu lintas, hingga menyampaikan tip menyalip mobil untuk memastikannya tetap terjaga selama perjalanan. Beranjak remaja, Hauwke melanjutkan sekolah di Semarang yang kian meningkatkan intensitasnya dalam berkendara.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Hauwke diberikan mobil oleh sang ayah yang kemudian mengawali eksplorasinya terhadap mesin. Ia memodifkasi mobilnya sedemikian rupa agar dapat melaju lebih kencang dibandingkan mobil teman-temannya kala itu. Dari situlah muncul cita-cita Hauwke untuk dapat membangun mobilnya sendiri. Untuk mewujudkannya, ia mempelajari Teknik Mesin di perguruan tinggi Australia sembari kursus Teknik Otomotif. Walaupun hingga kini Hauwke belum mencapai impiannya untuk mengkreasikan mobilnya sendiri, ia telah berhasil mendirikan manufaktur Dasa Windu Agung, yang memproduksi dan menyuplai komponen mobil.
Di sisi lain, Hauwke kian dikenal bukan hanya sebagai pemilik banyak mobil klasik, tetapi juga sebagai ahli restorasi yang dihormati di komunitasnya. Sejak tahun 2014, Hauwke mengemban misi baru bersama mobil klasiknya, yaitu menjelajahi dunia melalui perjalanan darat. Kepada KINTAKA, pria berusia 69 tahun ini berbagi wawasan dan inspirasinya, membuktikan bahwa kecintaan pada mobil klasik bisa menjadi jembatan untuk kenangan masa lalu dan membuka jalan menuju petualangan baru yang tak terlupakan.
Dari garasi kecil yang berkembang menjadi galeri berisi 20 mobil klasik, Hauwke menyulap hobi restorasinya menjadi peluang tanpa batas Apa saja pertimbangan Anda dalam mengadopsi sebuah mobil?
HS: Saya hampir tidak pernah jual-beli mobil. Sesama pemilik mobil klasik, biasanya kami melakukan barter. Selain itu, kami lebih suka menyebutkan sebagai proses adopsi agar kapan pun masih bisa kami tengok. Perlu diketahui bahwa pembelian mobil baru hampir selalu diiringi dengan depresiasi, sedangkan mobil klasik itu apresiasi apalagi setelah direstorasi. Nah, kita harus pandai-pandai mengukur kemungkinan restorasinya bisa seberapa banyak.
Kemudian, terdapat beberapa nilai tambah yang penting untuk kita ketahui, seperti besaran jarak tempuh yang masih kecil yang tentunya semakin kecil maka semakin baik, sejarah menarik di balik mobil tersebut misal pemilik sebelumnya adalah fgur publik yang tersohor, jumlah produksi mobil untuk mengukur kelangkaan, serta reputasi jenama mobil tersebut.
Adakah jenama atau preferensi tertentu saat mengadopsi mobil?
HS: Sebelum banyak jenama Jepang masuk ke Indonesia, mobil Amerika Serikat dan Eropa mendominasi pasar. Bila mobil Amerika Serikat seperti Chevrolet Bel Air dan Ford Thunderbird mengutamakan performa, mobil Eropa seperti Jaguar, Rolls-Royce, dan MG memiliki detail yang elegan. Saya tidak bisa berkata mana yang lebih bagus karena perbandingannya memang tidak setara.
Pilihan mobil klasik di Indoneisa tidak terlalu banyak. Daripada selektif, saya berusaha terbuka dengan nilai tambah yang dimiliki sang mobil. Tak jarang saya mengadopsi mobil yang tampak tidak menarik karena ada kesalahan produksi, namun mobil tersebut hanya ada satu di Indonesia dan perlu Anda ketahui bahwa ‘cacat’ produksi justru membuat nilai sebuah mobil klasik kian mahal.
Seperti apakah profil koleksi mobil klasik Anda?
HS: Mobil-mobil klasik yang ada di Hauwke’s Auto Gallery umumnya berasal dari era ‘40-an dan ‘50-an. Dahulu regulasi impor masih belum diberlakukan, sehingga diaspora
Indonesia di Amerika dan belahan dunia lainnya bisa membawa pulang banyak mobil bebas biaya. Terdapat juga sejumlah mobil dari periode pra-perang yang saya dapatkan dari area-area agrikultur.
Ketika menjajah Indonesia, pihak Belanda akan memilih tempat yang bertanah subur, lalu melakukan gentrifkasi dengan membangun rel kereta, mengimpor mobil, dan sebagainya. Maka dari itu, perburuan mobil klasik saya kerap dilakukan di area-area dengan rel kereta api dan perkebunan cengkeh atau tebu, seperti Medan, Berastagi, dan Solo.
Ceritakan mobil klasik pertama Anda.
HS: Mobil Austin 7 warna hijau yang saya beli ketika menikah di tahun 1980 adalah mobil pertama saya. Karena dana yang masih terbatas, saya sengaja beli mobil berharga terjangkau agar bisa saya otak-atik. Mobil tersebut saya beli dari seorang Pak Lurah yang tinggal di kaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah. Karena nilai sentimentalnya, mobil tersebut masih saya simpan sebagai ornamen hingga sekarang.
Sebutkan mobil-mobil favorit dari koleksi Anda.
HS: Untuk level dasar, saya menyukai Jaguar dari Inggris, BMW dari Jerman, dan Chevrolet dari Amerika Serikat. Untuk level legendarisnya, saya memiliki beberapa mobil bekas Bung Karno. Di tahun 1987, tim saya memperoleh kepercayaan untuk merestorasi 23 mobil yang kemudian kita bagi-bagi kepemilikannya di antara anggota Perhimpungan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI) dengan perjanjian tidak boleh jual ke luar negeri.
Awalnya saya hanya punya satu, tetapi beberapa teman yang anaknya tidak melanjutkan hobi ayahnya kemudian mempercayakan saya untuk memeliharanya. Kini, saya ada Chrysler Imperial, Lincoln Continental, Mercedes, Packard, ZIL, hingga Cadillac. Mobil Bung Karno ratarata memiliki jarak tempuh di bawah 20.000 km dengan beberapa ftur khusus kepresidenan, seperti kaca bagian tengah untuk privasi dan berbagai dekorasi khas yang melambangkan Indonesia.
Bagaimana proses Anda dalam merestorasi mobil klasik?
HS: Setelah mengadopsi mobil, biasanya saya cari tahu dulu identitasnya. Kemudian, saya lepaskan segala elemen tambahan yang tidak ada pada versi aslinya. Ketika sudah terlihat orisinalitasnya dan semua onderdil yang diperlukan sudah lengkap, baru saya mulai merestorasinya. Terkadang saya malah membeli onderdil dulu karena itu menandakan bahwa mobilnya pasti ada.
Saya sudah hafal semuanya. Fomoco adalah suku cadang Ford, lalu Carter untuk mobil-mobil GM, termasuk Chevrolet dan Peugeot. Kemudian, Desoto untuk Chrysler. Di tahun ‘80-an saya masih harus menghubungi pejual onderdil lewat jaringan Teleks untuk mengirim dari luar negeri. Sejak mobil impor bisa masuk di Indonesia pada tahun 1995, onderdil mulai tersedia secara lokal. Sekarang bahkan semakin mudah dengan kehadiran internet.
Apa saja kegiatan puritan yang Anda lakukan di HAUWKE Auto Gallery maupun bersama PPMKI?
HS: Misi dari Hauwke’s Auto Gallery adalah melestarikan sebanyak mungkin mobil klasik di Indonesia dan memperkenalkannya kepada masyarakat. Koleksi mobil yang ada di sini bukan sekadar dipajang, tetapi juga bisa disewakan untuk sesi foto pranikah dan syuting video klip maupun iklan. Di sini kami juga pernah mengadakan seminar mengenai restorasi mobil. Selain itu, kami juga menerima orang asing yang tengah perjalanan lintas darat—dari Australia, Austria, dan Jerman—untuk menggunakan kamar mandi, cuci baju, dan lain-lain.
PPMKI juga memiliki misi yang sama untuk melestarikan mobil klasik di Indonesia berdasarkan flosof ‘jangan konsumtif, mari produktif’ yang dicanangkan Pak Solikin Gautama Purwanegara selaku pendirinya. Besama PPMKI, saya sudah berkendara mengelilingi 80% daratan Indonesia. Selama perjalan tersebut, biasanya kami bertemu dengan komunitas lokal dan berbagi edukasi seputar restorasi.
Anda tengah dalam proses mengelilingi dunia menggunakan mobil klasik. Apakah motivasi di balik penjelajahan darat lintas benua ini?
HS: Saya adalah tipe orang yang selalu berencana. Dari dulu saya sudah tahu ketika selesai sekolah mau menjadi apa, pensiun dari kerja mau melakukan apa, hingga tempat peristirahatan terakhir pun telah saya siapkan. Maka, perjalanan darat lintas benua atau dikenal juga dengan sebutan overland telah menjadi bagian dari rencana pensiun saya sejak lama. Saya ingin bertemu dengan banyak orang di dunia ini sebagai bahan refeksi dan menemukan flosof hidup sejati.
Sudah sejauh apakah perjalanan darat Anda untuk mengelilingi dunia?
HS: Penjelajahan pertama saya dimulai pada usia 59 tahun dengan mobil Land Cruiser biru tua. Di Sulawesi, saya bertemu dengan para pelancong ransel yang berbagi cerita tentang perjalanan darat. Lalu saya menghubungi kerabat yang tinggal di Malaysia untuk merencanakannya. Dua rekan saya lainnya menyusul dan kami melanjutkan perjalanan ke Bangkok, Thailand, Laos, Brunei, dan Kamboja selama tiga bulan lamanya.
Setelah itu kami bertolak ke RRC dan terjebak di perbatasan karena tidak memiliki surat registrasi khusus. Akhirnya saya menumpang kerabat untuk masuk ke RRC via Mongolia. Selain Asia, saya pernah menelusuri negara-negara Eropa (Skandinavia, Nowegia, Maroko, Georgia), serta benua Amerika (Argentina, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Los Angeles). Negara dan benua yang ada di daftar destinasi saya untuk empat tahun mendatang adalah Halifax, Alaska, Route 66, benua Afrika, India, Selandia Baru, Australia, Timor Leste, dan lain-lain.
Ceritakan pengalaman paling berkesan saat dalam perjalanan darat lintas benua Anda.
HS: Acap kali, saya dihadang oleh preman-preman di berbagai negara. Sebenarnya ini semua persoalan penawaran dan permintaan. Bila ditekan, kita harus memberikan sesuatu sebagai balasan. Sebagaimana setiap negara memiliki perbedaan budaya, begitu juga dengan preman. Di Indonesia mungkin Anda dapat membentak mereka, tetapi jangan sekali-kali melakukannya di Brazil atau Anda akan ditembak.
Saya pun selalu membawa cinderamata khas Indonesia, seperti rokok, cerutu, maupun selendang batik dan memberikannya kepada para supir truk. Mereka memiliki Radio CB berfrekuensi 11 untuk memberi peringatan waspada dan memberi pertolongan kepada pengendara di area sekitar. Intinya, kita harus pandai-pandai membaca situasi dan jangan arogan agar mendapatkan banyak bantuan.
Bagaimana Anda berkontribusi pada gaya hidup berkelanjutan selama melakukan perjalanan darat jarak jauh?
HS: Ketika berkendara, menurut saya, mobil baru akan mengikuti pengemudinya. Sebaliknya, pengemudi harus menuruti kesanggupan mobil klasiknya. Mogok adalah hal yang biasa dalam perjalanan darat. Selain itu, kehabisan kopling, bahkan rem blong pun sudah pernah saya lalui.
Yang paling penting adalah antisipasi yang bisa kita persiapkan sebelum perjalanan. Saya memiliki pengalaman tukar mesin dalam salah satu perjalanan darat. Tentu saja, saya tidak membawa cadangan mesin ke mana-mana. Namun, saya memiliki banyak teman yang dapat saya mintai tolong untuk pinjam mesinnya sementara. Pada intinya, mengarungi perjalanan darat jarak jauh memerlukan kesabaran.
Hauwke dan Toyota Land Cruiser VX 80 (1996) berwarna biru metalik yang setia menemaninya dalam setiap penjelajahan darat (dok. Hauwke Setjodiningrat)
Adakah saran untuk menavigasi mobil untuk penjelajahan darat?
HS: Menurut saya, mobil baru akan mengikuti mengemudi. Sementara dengan mobil lawas, pengemudi harus menuruti maunya. Bila sudah tak bisa menanjak, koplingnya harus diganti untuk menghindari gas bobol.
Banyak anak muda yang tidak sanggup mengemudi mobil pra dan pasca perang. Seiring berjalannya waktu, muncul aliran baru bernama hot rod. Ialah mobil klasik yang ditenagai oleh mesin anyar. Namun saya pribadi kurang menyukai aliran tersebut karena terkesan artifsial. Saya pun pernah menghadapi beberapa tantangan teknis. Tak sekadar kemogokan (menurut saya hal yang wajar), mobil saya pun pernah mengalami rem blong di Sumatra. Tetapi hal itu sudah saya antisipasi, jadi saya mengganti mesin dalam waktu empat jam sebelum melanjutkan perjalanan.
APA SAJA YANG DIBUTUHKAN
UNTUK PENJELAHAN DARAT
Surat Izin Mengemudi
Registrasi Mobil — STNK dan BPKB
Paspor Berkendara, Carnet de Passage en Douane
Asuransi Kendaraan Bermotor
Surat Impor dan Ekspor
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
VIDEOGRAFI
Helena Wijaya / DERAI
Dalam dunia desain, arsitektur dan interior sering dipandang sebagai dua disiplin terpisah. Tak jarang, pelaku kreatif yang baru memulai seringkali dilanda dilema untuk memilih salah satunya. Namun, Agatha Carolina beranggapan lain, “Mengapa memilih satu bila dapat melakukan keduanya?”
Hal ini mengantarkan Agatha pada gagasan untuk mendirikan sebuah frma desain terintegrasi bernama Bitte Design Studio, bersama Chrisye Octaviani dan Seno Widyantoro. Meski memiliki kemampuan untuk bersolo karier, Agatha meyakini bahwa kolaborasi dapat menciptakan sinergi dan dampak yang lebih besar.
Terbukti, dalam kurun waktu 12 tahun, Bitte telah menghasilkan berbagai desain yang menghiasi lanskap gaya hidup Indonesia. Saat melihat portofolio Bitte, kami sering bergumam “Ternyata mereka yang mendesain restoran ini atau gerai ritel itu!”
Bagaimana tidak? Di antara daftar klien jangka panjang Bitte adalah sejumlah grup gaya hidup paling berpengaruh di lanskap boga Indonesia, yaitu Ismaya Group, Biko Group, dan Union Group. Selain itu, Bitte juga telah memenangkan berbagai penghargaan dalam dunia desain, termasuk Style Decor Magazine Awards (2016), HDII Award (2017) serta BCI Asia Interior Design Awards (2018 & 2019) dalam kategori gerai kuliner dan perhotelan.
Menurut Agatha, terdapat dua prinsip utama yang menjadi pendorong di balik kesuksesan Bitte: kolaborasi dan pendampingan mentor. Kolaborasi di sini tidak hanya terbatas pada kerja sama tim, tetapi juga mencakup hubungan yang harmonis dengan klien untuk menciptakan sinergi yang optimal dalam setiap proyek.
Wanita yang pernah bekerja di studio Andra Matin ini mengungkapkan bahwa salah satu pelajaran terpenting yang ia peroleh dari artistek ternama tersebut adalah pentingnya pendampingan mentor di antar desainer. Prinsip ini kemudian ia terapkan di Bitte, memastikan setiap anggota tim mendapatkan bimbingan dalam hal teknis, navigasi tantangan di lapangan, hingga kemampuan berinteraksi dengan klien dan pihak terkait lainnya.
Kini, Agatha melihat desain sebagai medium untuk menjawab tantangan zaman. Mulai dari keberlanjutan, hingga perkembangan inovasi. Pendekatan inilah yang membuat Bitte senantiasa relevan. Tidak hanya sebagai penyedia jasa desain, tetapi juga pembentuk tren dalam lanskap gaya hidup Indonesia. Kepada KINTAKA, Agatha menuturkan persepsinya seputar desain multidisiplin.
Tak hanya karya desain untuk kliennya saja yang didominasi material bernuansa alam, rumah pribadi Agatha pun menerapkan konsep serupa
Apa filosofi di balik nama Bitte?
AC: Saat mencari sebuah nama yang mudah diingat, saya teringat momen berpelesir ke Jerman dengan suami. Di sana, kami banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Lalu kata bitte berarti tolong atau sama-sama dalam bahasa Jerman menjadi familier di lidah kami. Menurut saya, kata ini adalah suatu gestur yang ramah dan cocok dengan tujuan Bitte untuk menjadi frma desain yang senantiasa menyambut klien dengan hangat.
Adakah material tertentu yang memiliki tempat istimewa dalam proses kreatif Anda?
AC: Beberapa klien yang saya temui berpendapat bahwa desain Bitte sangat berciri khas. Sesungguhnya, kami takjub karena para pelanggan bisa menyimpulkan hal tersebut! Ternyata setelah diamati, kami memang gemar menggunakan material bernuansa alam. Eksplorasi kami pun umumnya berkisar pada rotan dan kayu yang dapat ditemukan pada aksen furnitur dan panel dinding di berbagai kreasi Bitte.
Manakah kaidah desain yang lebih penting bagi Anda, bentuk yang mengikuti fungsi atau sebaliknya?
AC: Sebagai penganut aliran modernisme yang terkenal simpel, saya selalu mengutamakan fungsi. Setelah kaidah tersebut terpenuhi, barulah kami mengalihkan fokus pada estetika. Bila Anda perhatikan, desain-desain Bitte memang tidak pernah terlalu eksentrik. Pasalnya kami perlu mengakomodasi permintaan komersil yang cenderung aman.
Bisakah Anda berbagi cerita tentang prinsip berkelanjutan dalam karya-karya Bitte?
AC: Perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan mendorong para pelaku kreatif untuk lebih mawas diri dalam berkarya. Bagi Bitte, momen ini datang lewat proyek Central Market di area Pantai Indah Kapuk di mana kami diminta untuk mendesain gedung bermaterial ramah lingkungan. Akhirnya kami mempelajari dampak dari setiap material, serta optimalisasi ventilasi udara dan pencahayaan lewat desain. Usaha memanglah tidak mengkhianati hasil. Central Market berhasil mendapatkan sertifkasi hijau, sebuah penghargaan yang memastikan bahwa sebuah kreasi telah memenuhi standar berkelanjutan.
Seberapa penting peran karya-karya awal Bitte dalam membangun reputasi sebagai firma desain yang unggul di bidang gerai boga?
AC: Kami beruntung telah diberi kesempatan untuk mendesain interior Poke Sushi dan Magnum Cafe di awal karier Bitte. Apalagi, saat itu kami baru saja merampungkan studi arsitektur dan belum memiliki banyak portofolio interior. Testimoni memuaskan yang kami dapat lantas mengantarkan kami ke berbagai peluang lainnya di bidang boga. Sungguh merupakan tonggak pencapaian bermakna dalam riwayat Bitte.
Benarkah Bitte lebih mengandalkan pemasaran mulut ke mulut ketimbang media sosial dan medium digital lainnya?
AC: Tentu saja saya pro media sosial sebagai platform yang memfasilitasi perkembangan banyak bisnis. Namun, saya lebih senang membangun reputasi dari testimoni klien-klien yang telah merasakan hasil kerja kami. Kepercayaan dari para klien berujung pada umpan balik autentik bagi pelanggan lain yang mereka referensikan. Lain halnya dengan ulasan di media sosial yang cenderung hanya menyentuh permukaan.
Apa perkembangan tren yang Anda amati dari awal berkarier hingga kini?
AC: Tentu saja ada evolusi tren yang mengubah lanskap desain secara signifkan. Dahulu para pemain industri masih enggan merogoh kocek dalam-dalam untuk mendesain sebuah gerai boga. Kini setiap minggu selalu dibuka restoran baru berdesain menonjol. Di tengah melonjaknya kultur restoran instagramable, desain sarat estetika menjadi salah satu proposisi penting untuk berkompetisi. Bahkan, menurut saya aspek desain bisa dikategorikan jadi strategi pemasaran dewasa ini.
(kiri ke kanan) Agatha Carolina bersama dua rekan pendiri Bitte, Chrisye Oktaviani dan Seno Widyantoro (dok. Agatha Carolina)
Bisakah Anda berbagi tentang karya-karya desain yang berpengaruh bagi Anda?
AC: Banyak sekali, karena bagi saya arsitektur dapat men ciptakan atmosfer yang menyentuh hati siapapun penikmatnya. Tetapi salah satu pengalaman paling bermakna adalah menyambangi Ronchamp Chapel yang didesain oleh arsitek legendaris Le Corbusier. Selama ini saya hanya melihat karya-karya beliau dalam mata kuliah Sejarah Arsitektur. Sangat mengharukan untuk melihatnya secara langsung. Selain itu, bangunan Fallingwater ciptaan Frank Lloyd Wright dan kreasi Peter Zumthordi juga membuat saya terpana.
Bagaimana Anda menemukan keseimbangan harmonis antara konsep vernakular dan kontemporer?
AC: Meskipun penting untuk berakar pada budaya Indonesia, kita tidak boleh terjebak dalam lingkup yang sempit. Karenanya, setiap tahun Bitte selalu mengadakan perjalanan arsitektur ke destinasi internasional, seperti region Skandinavia, Jepang, dan Australia, untuk mendapatkan perspektif baru. Sejatinya, mencari inspirasi adalah hal yang konsisten kami lakukan agar dapat bertahan di dunia desain komersil. Kami tidak ingin mendesain 100 restoran dengan konsep yang sama. Tetapi inspirasi tersebut tetap perlu diadaptasi sesuai konteks.
Apa saja pertimbangan terpenting bagi Anda dalam merancang hunian atau lanskap residensial di Indonesia?
AC: Dalam mendesain restoran, perhatian kami terpusat pada sirkulasi pengunjung dan rotasi pramusaji saat menyajikan hidangan. Di sisi lain, pendekatan mendesain hunian—yang merupakan suaka bagi penghuninya—jauh lebih personal. Saya berlatih dengan mendesain hunian sendiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan. Hunian seperti apa yang saya inginkan? Kebiasaan apa dari keluarga yang bisa diintegrasikan ke dalam desain? Dengan mempertanyakan banyak hal, kami terbiasa menjadi solutif dalam memecahkan permasalahan desain.
Sebutkan area favorit dari sebuah hunian dan keistimewaannya dari perspektif Anda.
AC: Ruang keluarga adalah jantung sebuah hunian dan menjadi area favorit saya. Khususnya karena kebiasaan keluarga saya yang suka menjamu kerabat, menonton bersama, dan berbincang santai. Banyak yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga dalam rumah mereka, namun tidak dengan saya. Tamu yang berkunjung ke rumah secara tak langsung adalah mereka yang saya undang. Dengan begitu, tidak ada gunanya memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga.
Apa yang mendorong keputusan untuk berekspansi dari Bitte Design Studio ke By Bitte?
AC: By Bitte tercetus oleh problem yang kami alami sebagai desainer. Saat mengerjakan desain gerai boga atau butik ritel, klien kerap meminta kami mencarikan furnitur dan dekorasi—seperti lampu, kursi, atau meja. Masalahnya, pilihan pemasok di Jakarta terbatas, sementara kami tidak ingin mengulang desain produk yang sama untuk klien berbeda. Akhirnya kami bekerja sama dengan perajin lokal untuk memproduksi furnitur. Kemudian arsip kami berkembang menjadi By Bitte yang memiliki sejumlah gerai ritel tersendiri.
Manakah disiplin desain yang lebih menantang untuk Anda, desain ruang atau produk?
AC: Sejujurnya mengelola By Bitte jauh lebih menantang daripada Bitte Studio. Dalam dunia arsitektur dan desain interior, kami sudah cukup berpengalaman mengatasi keluhan klien dan menemukan solusi kreatif. Di satu sisi, By Bitte memaksa kami untuk belajar tentang distribusi, pemasaran, dan sebagainya. Meski masih banyak yang harus kami pelajari, saya sangat menikmati prosesnya.
Bagaimana Anda memaknai kompetisi di ranah arsitektur dan desain interior?
AC: Kompetisi dalam industri desain saat ini berkembang dengan pesat dan inklusif, tanpa dominasi satu pihak tertentu. Para klien kini dapat menjelajahi beragam opsi arsitek dan desainer sesuai preferensi selera dan anggaran. Di sisi lain, para desainer juga memiliki platform untuk berkarya sekaligus mengapresiasi hasil karya kompetitornya.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. QF Management
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Menghabiskan akhir pekan di arena gokar menjadi rekreasi menyenangkan untuk menguji adrenalin. Perbedaannya, kebanyakan orang bukanlah Qarrar Firhand Ali. Bila Anda menyambangi arena gokar untuk hiburan semata, Qarrar melakukannya untuk menorehkan prestasi. Qarrar melaju jauh lebih cepat dari kebanyakan praremaja lainnya. Bukan lagi seorang atlet potensial, Qarrar telah menjadi pembalap profesional, bahkan telah berhasil menyabet sejumlah penghargaan tingkat nasional dan internasional di usia 13 tahun saja.
Bukan kebetulan, Qarrar memang tumbuh besar dengan dunia otomotif sejak dini. “Ketika berusia lima tahun, saya dan ayah sering menonton kompetisi Formula Satu bersama. Dari situ, ketertarikan saya terhadap dunia balap mobil mulai muncul,” ujarnya. Saat mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pembalap profesional di usia 7 tahun, sang ayah menyarankan untuk mengawali karier di gokar terlebih dahulu.
Setelah memperoleh persetujuan dan dukungan dari sang ayah, Qarrar mulai latihan secara konsisten untuk mempertajam keahliannya, bahkan saat liburan sekalipun. Seiring frekuensi latihan yang semakin rutin, Qarrar juga kian meningkatkan kendaraannya. Diawali dengan gokar sewaan berspesifkasi standar, kini Qarrar mengendarai gokar bertransmisi otomatis.
PERSONA
Semangat Qarrar semakin terpompa karena tonggak karier segenap pembalap termasyhur bermula dari arena karting. Termasuk di antaranya adalah Michael Schumacher, Max Verstappen, dan idola Qarrar: Lewis Hamilton. “Saya mengagumi perjalanan Lewis yang bermula sederhana sampai ke titik tertinggi dengan menjadi salah satu pembalap terbaik di dunia,” ungkap anak laki-laki yang nyatanya berbagi tanggal lahir sama dengan sang idola pada 7 Januari.
Mencuri start di usia muda memiliki keuntungan kompetitif tersendiri, seperti pemahaman strategi, pengalaman ekstensif, dan wawasan mendalam. Seluruhnya belum tentu dimiliki oleh pembalap lain yang— meminjam terminologi otomotif— baru menginjak gas di kemudian hari. Hal ini terealisasi oleh berbagai penghargaan yang telah diraih oleh Qarrar, seperti menjadi juara 1 di kategori kelas Cadet dan Mini pada kejuaraan Asian Karting Open
Championship 2020, posisi ketiga di Eshark ROK Cup 2021, dan posisi ketiga di ROK Superfnal 2023.
Pada kejuaraan ROK Superfnal 2023, Qarrar berhasil mengungguli lawanlawan lainnya dan naik 10 posisi dari urutan ke-13 hingga berhasil fnis pada urutan ketiga. Lebih menakjubkan lagi, pencapaian tersebut terjadi saat mesin gokar Qarrar sedang tidak dalam kondisi prima. Pencapaian tersebut sontak menjadi salah satu momen berkompetisi paling membanggakan bagi pemuda yang kini menetap di Italia tersebut.
“Saya berupaya mempertahankan ketenangan agar dapat memberikan performa terbaik,” ungkap Qarrar saat ditanya mengenai cara menavigasi tantangan teknis dengan lihai. “Sebelum memulai pertandingan, pikiran saya selalu berfokus pada apa yang terjadi bila berhasil mencapai fnis,” lanjutnya. Ritual pemanasan lain pembalap ini adalah mendengarkan
musik sebelum balapan dan bernapas tenang tanpa memikirkan apapun. Setelahnya ia akan merancang strategi agar bisa melaju cepat dan memenangkan pertandingan.
Bukan sekadar siasat, strategi yang dirancang dengan menerapkan ilmu olahraga berbasis sains untuk mengoptimalkan performanya. Hal ini termasuk pelatihan yang dipersonalisasi sesuai kebutuhannya sebagai atlet. Menjadi pemenang dalam balapan tak melulu tentang energi, namun juga strategi. Bagi Qarrar, menemukan keseimbangan antara adrenalin dan kecerdasan adalah pertanda bahwa kemenangan tengah menanti.
Terdapat banyak sekali pemicu adrenalin di arena kompetisi dan kecepatan adalah salah satunya. Begitupun kecepatan di dunia balap reli atau gokar yang menstimulasi
adrenalin Qarrar. “Menariknya saat mengenakan helm dan berkendara di dalam gokar, ruang pikiran saya justru berada di tingkat paling tenang,” ujarnya.
Setelah menggeluti balap gokar selama tujuh tahun, rasa bosan tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya. “Tiada yang menandingi sensasi kecepatan saat bertanding di lintasan balap,” ujarnya.
Kontribusi besar Qarrar sebagai representasi pemuda bertalenta Indonesia adalah sesuatu yang sudah sepatutnya mendapatkan pengakuan. Bukan hanya dari dunia balap gokar, namun juga industri gaya hidup lainnya. Salah satunya adalah peritel horologi INTime yang menganugerahi Qarrar sebuah jam tangan TAG Heuer Formula 1 Quartz Chronograph.
Bukan pemberian semata, jam ini turut mengilustrasikan asa Qarrar dan relasi TAG Heuer dengan dunia balap mobil profesional. Jam bermaterialkan baja ini hadir dalam diameter 43 mm, sunray dial merah dengan fnis brushed, dan tiga lingkar penghitung. “Saya memiliki apresiasi tinggi terhadap jam tangan, terutama yang berftur chronograph. Hal favorit saya tentang jam ini adalah warna merah yang merupakan kesukaan saya sejak dulu.”
Meski telah meraih sejumlah prestasi yang luar biasa di usia muda, Qarrar tetap berlatih dengan gigih untuk menjadi lebih baik dan mencapai potensi puncaknya. Sebagai seorang pembalap yang penuh ambisi, ia meyakini bahwa setiap putaran, tikungan, dan keputusan yang diambil di lintasan gokar semakin mendekatkan pada impiannya untuk berlaga di ajang Formula Satu.
IMAJI
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENGARAH KREATIF
Erika Tania
FOTOGRAFI
Brian N / DERAI
VIDEOGRAFI
Helen Wijaya / DERAI
PENATA GAYA
Charlene Atalie
PENATA RIAS
Arimbi
PENATA RAMBUT
Nusanta Widy
MODEL
Samuel Aichner / AMOR
Celine Permata / WHO KNOWS
Di Indonesia, menghadiri pesta pernikahan lebih dari sekadar memenuhi undangan—ini adalah kesempatan untuk menghormati tuan rumah sekaligus menampilkan gaya terbaik. Kekayaan budaya dan norma sosial menjadikan acara ini istimewa, dengan ragam pilihan busana, mulai dari kebaya yang anggun hingga batik modern. Keindahan busana tradisional ini sering kali berpadu dengan elemen kontemporer, menciptakan harmoni antara budaya dan modernitas.
Namun, tampil sempurna untuk acara seperti ini bukan hanya soal busana. Pilihan aksesori yang tepat bisa menjadi kunci menyempurnakan keseluruhan tampilan. Jam tangan klasik, misalnya, bukan hanya penunjuk waktu, melainkan juga cerminan keanggunan dan kepribadian pemakainya. Dalam konteks ini, Longines, dengan desain abadi dan kesan tak lekang oleh waktu, menjadi pelengkap sempurna yang sejalan dengan nuansa budaya sekaligus modern.
Pada akhirnya, menghadiri pesta pernikahan adalah kesempatan untuk mengekspresikan diri. Saat Anda merencanakan penampilan untuk kondangan berikutnya, pikirkan bagaimana setiap detail, dari busana hingga aksesori, bisa menciptakan cerita tersendiri— menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam sebuah momen berharga.
Jam tangan Elegant Collection 30 mm, Longines
Gaun katun muslin, Sapto Djojokartiko
Anting Brielle emas , Aiden and Ice
Sepatu hak tinggi putih ,
Jam tangan Master Collection 34 mm, Longines
Atasan dan kain batik, Solo Putri
Anting Rosa putih,
Sepatu hak tinggi krem, CAVA
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
FOTOGRAFI
VIDEOGRAFI
MAKSIMALISME
ATAU
MINIMALISME ?
Minimalisme. Peran sebagai Ibu sekaligus bekerja di industri mode mengharuskan saya untuk memilih pakaian yang praktis— namun tetap modis—untuk mempermudah mobilitas.
DESTINASI
ALAM ATAU
METROPOLITAN ?
Alam. Suasana hati belakangan ini kerap membawa saya ke destinasi pantai, resor, serta lanskap lainnya yang dikelilingi oleh angin semilir.
KETIK ATAU
TULIS TANGAN ?
Mengetik. Menurut saya, mengetik jauh lebih cepat dibandingkan menulis tangan. Saya juga sudah terbiasa melakukannya, bahkan sering bekerja dari telepon seluler.
BEPERGIAN
RINGAN ATAU
BERAT?
Berat. Saya akan berangkat dengan bawaan yang berat dan lebih berat lagi ketika pulang lantaran hobi berbelanja saya!
KOLEKSI ATAU
JUAL KEMBALI ?
Koleksi. Saya sangat suka mengumpulkan barang-barang. Tak hanya produk mode, namun juga objek lainnya yang bisa dipajang, seperti fgur aksi dan mainan.
TREN ‘90-AN
ATAU ‘00-AN ?
‘90-an. Banyak memori dari era ini, salah satunya adalah lanskap musik asyik (ingat Avril Lavigne dengan tank top dan dasinya?).
JAZZ ATAU R&B ?
R&B. Saya sangat menyukai lagu-lagu yang bisa dinyanyikan bersama.
DESAINER EROPA
ATAU ASIA ?
Asia. Karena potongannya lebih sesuai dengan tipe badan Asia yang cenderung mungil seperti saya. Salah satu desainer favorit saya adalah label Indonesia, TANGAN.
WARNA-WARNI ATAU PALET
NETRAL ?
Netral. Sekarang saya sudah berusia lebih dewasa dan lebih memilih palet warna natural, seperti cokelat, hitam, putih, dan abu-abu.
MASA LALU ATAU
MASA DEPAN ?
Masa depan. Saya ingin terus berkaca ke masa depan, dari sisi kehidupan sebagai ibu, istri, karier, serta berfokus pada pengembangan diri.
TENTANG
Kupas tuntas berbagai fenomena, makna, dan dampak di balik dinamika industri gaya hidup.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Erika Tania
FOTOGRAFI
Sébastien Agnetti / Rolex PENULIS
VIDEOGRAFI
Dok. Rolex
Mengamati tumpukan pakaian di lemari sambil mencocokkannya dalam kepala sering kali menjadi langkah pertama kebanyakan orang sebelum beraktivitas. Namun, pernahkah terpikir sejauh apa perjalanan pakaian tersebut sebelum tiba di lemari Anda? Apa saja materialnya dan dari mana asalnya? Siapa yang membuatnya? Bagaimana proses pembuatannya? Apa dampak yang ditimbulkan dari produksi pakaian tersebut?
Berbagai pertanyaan itulah yang muncul di benak Denica Riadini-Flesch dalam kunjungannya ke sebuah desa kala ia masih bekerja sebagai ekonom pembangunan di World Bank. “Saya bertemu dengan seorang wanita perajin pakaian. Meski pakaian tradisional buatannya begitu indah, wanita ini tidak menghasilkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya,” cerita Denica di acara 2023 Rolex Awards for Enterprises pada bulan Maret lalu di Singapura.
CERITA
“Kita tidak menyadari bahwa keberlangsungan hidup wanita ini—bahkan komunitas dan alam di sekitarnya—terkoneksi dan terdampak oleh keputusan kita dalam membeli pakaian. Kesadaran ini benar-benar mengguncang saya. Ternyata, selama ini saya adalah bagian dari masalah,” ungkapnya. Pengalaman tersebut menginspirasi Denica untuk mendirikan SukkhaCitta, sebuah jenama pakaian etis dengan konsep farm-to-closet (dari ladang ke lemari), yang bertujuan menghubungkan kembali para pelanggan pada asal-usul dan dampak dari setiap pakaian mereka.
Selama delapan tahun berkiprah di industri mode dengan pelanggan di 32 negara, SukkhaCitta adalah satu dari sedikit jenama yang menunjukkan konsistensi dalam menjalankan misinya. Di tengah berbagai janji manis pemasaran yang kerap menyertakan embel-embel ‘ramah lingkungan’ atau ‘etis’, SukkhaCitta menitikberatkan pada regenerasi dan reparasi karena jenama ini paham betul bahwa keberlanjutan seharusnya bukan sekadar mengurangi dampak buruk semata.
Dengan pengaruh nyata pada ekonomi, budaya, hingga alam, kinerja SukkhaCitta telah diakui oleh sejumlah sertifkasi nan prestisius. Pada tahun 2022, mereka menjadi perusahaan mode pertama di Indonesia yang memperoleh sertifkat dari B Corp, yaitu sertifkasi pihak ketiga dalam hal transparansi dan praktik bisnis terkait dampak sosial dan lingkungan di dunia. Selain itu, SukkhaCitta juga merupakan jenama mode pertama dan satu-satunya yang mengemban sertifkat Ethically HandcraftedTM dari Nest, institusi artisan di bawah naungan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Denica Riadini-Flesch, pendiri dan CEO SukkhaCitta, berbincang dengan Ibu Tun dan Ibu Dair di sebuah ladang kapas di sekitaran Jawa Tengah, Indonesia
Di sebagian besar praktik industri mode, terdapat terlalu banyak lapisan di antara perajin dan pembeli. Akibatnya, 99% perajin lokal kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun menghasilkan garmen berkualitas yang mencerminkan keterampilan turun-temurun bernilai tinggi, mereka hanya memperoleh kurang dari Rp30 ribu per hari.
Pendekatan berbeda diterapkan oleh SukkhaCitta. Untuk menentukan besaran upah, jenama ini mengumpulkan data dari
Seorang Ibu perajin sedang menyiapkan benang kapas untuk bordir
komunitas desa tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga dan mengukur waktu yang dibutuhkan perajin dalam menghasilkan sebuah garmen. Hasilnya? SukkhaCitta telah meningkatkan pendapatan 1,500 perajin hingga 60%, bahkan melebihi upah minimum yang diterapkan pemerintah di desa masing-masing.
“Perubahan sesungguhnya lebih dari sekadar data statistik. Tahun lalu, saya diberi tahu bahwa banyak anak berusia di atas 12 tahun di desa mereka yang tak mampu
melanjutkan pendidikan formal. Maka, para Ibu menabung sebagian dari pendapatan mereka sebagai perajin
SukkhaCitta selama satu tahun dan berhasil mengumpulkan dana sekitar
Rp45 juta-an untuk membangun sekolah baru,” kisah pendiri dan CEO
SukkhaCitta tersebut.
Terharu dengan inisiatif itu, Denica menyimpulkan, “Ketika wanita memiliki kekuatan ekonomi dan pendidikan, mereka tidak hanya memberdayakan diri sendiri, tetapi juga generasi masa depan. Pemberdayaan ini memberi dampak lebih besar daripada ekonomi semata, tetapi juga rasa bangga dan kepercayaan diri bahwa wanita juga dapat menjadi agen perubahan di komunitas mereka.”
Ibu Kasmini mengoleskan kunyit pada biji kapas sebelum ditanam untuk menghasilkan kapas berwarna cokelat di perkebunan Jawa Timur
Tekanan globalisasi dan komersialisasi membuat para petani dan perajin meninggalkan praktik tradisional yang ramah lingkungan, kemudian mulai menggunakan bahan kimia dalam proses produksinya. Hal ini menyebabkan penurunan kesehatan lahan dan hasil panen. Ketika lahan tak lagi produktif, hutan dibabat untuk membuka lahan baru yang merugikan ekosistem. Saat material alami tak lagi mencukupi, banyak produsen garmen beralih ke plastik yang kini mendominasi hingga 70% dari material pakaian di dunia.
“Sesungguhnya, kita mengenakan pakaian yang akan bertahan hingga 200 tahun, tetapi memperlakukannya seolah barang sekali pakai,” ujar wanita berusia 33 tahun ini. “Di sisi lain, saya menyaksikan para Ibu di pedesaan menggunakan bahan kimia berbahaya dalam proses kerajinan mereka, lalu membuang limbah ke
sungai di mana anak-anak mereka bermain. Saya yakin ada pendekatan yang lebih baik. Inilah awal mula perjalanan kami menelusuri kembali praktik-praktik para nenek moyang menggunakan tanaman di Indonesia,” jelas Denica.
Melalui riset dan percakapan dengan seorang wanita yang merupakan generasi terakhir petani kapas, Denica menemukan bahwa pertanian regeneratif adalah solusi untuk memulihkan lahan. Berbekal kearifan dari neneknya, wanita tersebut mengkultivasi kapas secara natural dengan menanam banyak tumbuhan spesifk lain di sekelilingnya yang berperan sebagai penyubur dan perlindungan hama tanpa bahan kimia. Setelah dua tahun, hasil panen kapas meningkat enam kali lipat dan SukkhaCitta kini telah berhasil merestorasi 30 hektar lahan tandus.
Kerajinan Indonesia juga sangat berakar pada kultur antar-generasi. Dalam hal pewarnaan pakaian, SukkhaCitta juga menelusuri kembali jejak leluhur Indonesia untuk mengadaptasi teknik pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Melalui riset tambahan, jenama ini telah berhasil mencapai ragam warna estetik yang tahan lama. Tanpa melibatkan bahan kimia sama sekali, SukkhaCitta berhasil menghindarkan lebih dari 3 juta liter pewarna beracun tercemar ke sungai-sungai di Indonesia.
Selain revitalisasi, SukkhaCitta juga memberi perhatian lebih pada proses daur ulang. Dengan cermat, jenama ini memanfaatkan limbah mutiara menjadi kancing, poliester daur ulang sebagai benang, serta sisa material dari pabrik pakaian untuk membuat pola unik. Bahkan, sisa material terkecil diolah menjadi bubuk yang kemudian digunakan sebagai label pakaian. Senantiasa menghormati alam, SukkhaCitta memproduksi dan merilis karyanya berdasarkan hasil dan siklus panen, menghasilkan busana lintas musim yang sepenuhnya selaras dengan alam.
Sebagai salah satu penerima penghargaan 2023 Rolex Awards for Enterprises yang menganugerahinya dengan dukungan dana dan koneksi internasional, SukkhaCitta sangat antusias dalam memperluas dampaknya. Melalui pembangunan lebih banyak lagi Rumah SukkhaCitta (sekolah kerajinan tekstil pertama di Indonesia) dan mendigitalkan kurikulumnya dalam aplikasi ponsel berbahasa lokal, Denica bertujuan menjangkau lebih banyak orang dan melahirkan generasi perajin baru berbasis tradisi Indonesia.
“Di Rumah SukkhaCitta, para perajin tak hanya menyempurnakan kemampuan mereka, tetapi juga memperoleh literasi fnansial. Kami memberdayakan mereka untuk mengevaluasi secara akurat nilai dari
Denica Riadini-Flesch dengan perajin batik di salah satu sekolah kerajinan Rumah SukkhaCitta. Tak hanya diajarkan teknik kerajinan tradisional, para perajin wanita juga dibekali kemampuan bisnis untuk memonetisasi karya mereka.
hasil karya mereka.
Di saat yang sama, kami juga menginkorporasikan teknik pewarnaan natural dalam kurikulum sebagai bagian dari komitmen kami terhadap lingkungan,” cerita Denica yang memproyeksikan bahwa di tahun 2030 akan dapat membantu 10.000 orang dan meregenerasi 1.000 hektar tanah tandus.
“Visi saya sesungguhnya adalah menciptakan model ekonomi baru yang bermula di sektor pertanian, sebuah model yang berinvestasi kembali pada komunitas lokal. Saya percaya bahwa cetakan biru ini dapat direplikasi dan dibuat skalanya pada berbagai industri dan negara berbeda,” tutup Denica yang patut bersukacita atas segala pencapaiannya dalam mengubah berbagai tanda tanya di industri mode menjadi serangkaian aksi bertanda seru yang begitu lantang.
Telah dilaksanakan sebanyak
kali sejak tahun
1976
program ini telah mengapresiasi
48 160
individual luar biasa sebagai Rolex Awards Laureates dari
65
Berbagai proyek Rolex Awards for Enterprise Laureates telah menghadirkan dampak signifkan bagi lingkungan di mana:
28 juta pohon telah ditanam;
52 spesies yang terancam punah dan 32 ekosistem utama telah terproteksi;
ratusan spesies baru telah ditemukan;
53 ekspedisi ekstrem telah diselesaikan;
dan 49 teknologi inovatif telah dikembangkan untuk berbagai aplikasi. negara berbeda.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
FOTOGRAFI
Dok. Alvin T. dan HANDEP
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Ada ironi yang terselip di balik hiruk-pikuknya gaya hidup modern hari ini. Seiring dunia yang semakin cepat, kita menjadi rentan terjebak ilusi bahwa bertumbuh hanya berarti melangkah maju. Tidak jarang hal ini membuat kita lelah, merasa semua tidak ada esensi dan hidup hanya sekadar basa-basi. Padahal, pencarian akan makna justru seharusnya bukan diarahkan ke luar, melainkan ke dalam. Kembali ke tempat semuanya berasal.
Mari sejenak mengintip situasi yang terjadi di Kalimantan Tengah, tepatnya di jantung Gunung Purei. Anda dapat dengan mudah menemukan masyarakat Dayak Taboyan sedang tekun menganyam. Tentunya, mereka bukan sedang menjalani pelajaran kerajinan tangan, melainkan sesederhana menghidupi nilai-nilai kebudayaan.
Cukup bermodalkan keterampilan tangan dan rotan, setiap kreasi yang muncul menjadi penanda bagaimana kolaborasi alam dan manusia dapat menciptakan kemungkinan yang tidak terbatas. Barangkali ini adalah antitesis, terutama kepada mereka yang dijanjikan kebebasan oleh teknologi, tetapi malah terhanyut pada riuhnya rutinitas sehari-hari.
Proses menganyam tradisional rupanya adalah cara turun-temurun masyarakat Dayak untuk terkoneksi dengan alam (dok. Dodik Cahyendra/alvinT dan HANDEP)
Memahami flosof menganyam ini tampaknya menjadi pesona tersendiri bagi alvinT, sebuah brand furnitur kontemporer yang dibentuk sejak 2006. Beruntung pula, perjalanannya mendalami flosof menganyam didampingi oleh HANDEP, unit bisnis kerajinan tangan yang bertujuan menciptakan ekonomi berkelanjutan di desa Kalimantan. Kolaborasi keduanya melahirkan Ndare, diambil dari bahasa Dayak Ngaju yang berarti “menganyam”.
Ndare kemudian tidak hanya menjadi koleksi furnitur belaka, tapi juga pengingat atas hubungan yang begitu kompleks; sekaligus intim; antara perajin, alam, dan budaya. Kehadirannya diharapkan dapat mengubah persepsi atas tradisi, yang sering dianggap sebagai ‘masa
lalu’, nyatanya adalah jalan menuju ‘masa depan’. “Sebagai seniman atau desainer, kita punya tanggung jawab yang lebih dari sekadar menciptakan objek. Kita perlu memikirkan tentang dampak yang lebih luas, memastikan hasil karya kita mencerminkan esensi dan nilai-nilai sejati pada sebuah kebudayaan,” tutur Alvin Tjitrowirjo, selaku Direktur Kreatif alvinT.
alvinT memang bukan jenama pertama yang mengintegrasikan kerajinan tradisional ke produknya dan kita berterima kasih untuk itu. Sama seperti karya seni lainnya, hal menarik dari Ndare tentu terletak pada kisah di baliknya.
“Ndare berupaya mewujudkan semangat perajin Dayak melalui kreasi mereka. Kami bertujuan menghormati sumber daya alam kita dengan menciptakan karya-karya yang selaras dengan tanah ini, tanah yang melahirkan rotan. Setiap anyaman menceritakan kisah tentang alam, tentang tangan para perajin dan kebudayaannya, yang lalu mengingatkan kita untuk menghargai dan melindungi tempat-tempat yang
membentuk kita,” pungkas Randi J. Miranda, CEO sekaligus pendiri HANDEP.
Pernyataan Randi tersebut agaknya menjadi cerminan bagaimana Ndare juga berupaya membudidayakan tradisi dan masyarakat Dayak untuk menghadapi tantangan global. Sebab faktanya, banyak budaya kerajinan tradisional terancam punah lantaran kurangnya minat generasi muda untuk melanjutkannya.
Banyak yang merasa pekerjaan di kota “lebih terhormat”, dan desa hanya sebagai tempat pelarian saja. Kita seringkali lupa, bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara alam, para perajin, dan hutan. Kemunduran nasib masyarakat lokal, dapat pula mengancam warisan budaya, bahkan kelestarian lingkungan.
Alvin menanggapi situasi tersebut dengan visi dan langkah yang amat terukur. Sejak tahap pengembangan, berbagai sesi kolaboratif dengan para perajin lokal terus dilakukan, guna menemukan ruang inovasi sekaligus perhitungan kompensasi yang adil. alvinT dan HANDEP perlahan membangun kerangka kerja bagi para perajin, agar mereka bangga dan dapat mengambil bagian di industri desain modern.
Selain itu, setiap produk dalam koleksi ini dibuat menggunakan bahan-bahan alami rotan dan kayu solid dengan konsumsi energi yang minimal. Seluruh prosesnya pun sinergi dengan praktik berkelanjutan yang memang sudah merupakan tradisi masyarakat Dayak.
Aksi kolaborasi ini membuat setiap perajin bertanggung jawab memilih jenis dan usia rotan yang sesuai, serta memastikan proses pemanfaatannya berlangsung secara bertanggung jawab. Bahkan, pengetahuan masyarakat lokal memperkenalkan Ndare pada bahan pewarna alami untuk rotan, mulai dari daun-daunan lokal hingga kulit rambutan.
Koleksi Ndare meliputi fungsi-fungsi rumah seperti kursi makan, meja samping, sandaran kaki, lampu meja, lampu lantai, cermin berdiri, cermin cluster, dan cermin dinding. Hal ini selaras dengan DNA dan karya-karya alvinT sebelumnya, yang menggabungkan kekayaan budaya Indonesia dengan kerajinan tangan serta sensibilitas kontemporer.
“Kami pun bertujuan mengangkat industri rotan kita ke level yang lebih luas, serta mengadvokasi pengetahuan masyarakat adat dalam perkembangannya di masa mendatang,” imbuh Alvin pada siaran persnya.
Sebagian besar perajin di Kalimantan sudah bisa menganyam sejak kecil, menggambarkan hubungan mereka dengan kebudayaan tradisional (dok. Dodik Cahyendra/ AlvinT dan HANDEP)
Sebelumnya, alvinT sendiri telah mencicipi panggung pameranpameran internasional, seperti Milan Design Week, Stockholm Furniture Fair, Paris’s Maison et Objet, Tokyo’s Designart, dan NYC Design Week. Menarik melihat bagaimana alvinT, selama hampir dua dekade, setia dengan semangat memposisikan kembali serta mengintegrasikan nilainilai luhur dari kebudayaan Indonesia pada karya-karyanya di tengah dunia yang dianggap semakin homogen.
Dalam sebuah wawancara, Alvin sempat mengenang bagaimana ia sendiri pun mendapat semacam “pencerahan” ketika memerhatikan warga lokal menjalankan hari-
harinya. “Saya belajar tentang bagaimana masyarakat di sini sangat menghormati material yang dipakai. Misalnya dengan hanya mengambil bahan baku sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.”
Pria yang besar di Jakarta ini juga mendapat pengetahuan tentang tanaman-tanaman yang baru akan dibudidayakan di waktu-waktu tertentu. Sepertinya, bahkan sebelum nilai-nilai menganyam menyentuh masyarakat luas, mereka sudah teranyam dalam identitas alvinT itu sendiri, tercermin dari cara mereka menghargai kelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam dengan begitu bijaksana.
WAWASAN
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Erika Tania
FOTOGRAFI
Reynaldo Tjandra / DERAI
VIDEOGRAFI
Raja Ibnu F. / DERAI
Di Indonesia, kopi lebih dari sekadar minuman berkafeina— ia adalah bahasa universal yang mencerminkan kultur, menginspirasi kreativitas, dan menjadi komoditas yang menyatukan komunitas. Berkat kondisi alam yang ideal dan populasi yang luas, negara kita memiliki posisi unik sebagai produsen sekaligus konsumen kopi dalam skala besar. Menurut data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat periode 2022/2023, Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ke-3 di dunia, setelah Brazil dan Vietnam.
Ketinggian lahan dan iklim yang berbeda-beda, ditambah dengan kreativitas dalam pengolahan menciptakan keanekaragaman profl kopi yang menarik minat dan mampu memenuhi tingginya permintaan pasar global dan lokal. Portofolio ekspor kopi Indonesia telah menjangkau ragam negara lintas benua. Mulai dari Singapura, Jepang, Jerman, Italia, hingga Amerika Serikat. Sementara itu, berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia tahun 2023, Indonesia memimpin pasar kopi modern di Asia Tenggara dengan sekitar 10.000 gerai kopi di seluruh penjuru Tanah Air.
Persaingan sehat yang tumbuh di antara para pebisnis kopi pun bertumpu pada keahlian barista masing-masing dalam meracik ramuan kopi yang cocok di lidah para pelanggan. Secara alami, untuk meningkatkan keahlian dan membangun reputasi, para barista mulai menunjukkan kemampuan mereka di berbagai kompetisi, baik lokal maupun internasional. Salah satunya adalah Mikael Jasin yang berhasil meraih gelar Juara Dunia Barista di ajang World Barista Championship 2024, sebuah prestasi yang menandai babak baru bagi industri kopi Indonesia.
Secangkir kopi seduh berkarbonasi, Kamala Aramosa, buatan Mikael Jasin di Omakafé
Diselenggarakan oleh Specialty Cofee Association di Korea Selatan pada 1-4 Mei lalu, World Barista Championship (WBC) 2024 diikuti oleh 53 barista dari 50 negara berbeda. Setelah berhasil lolos dari dua ronde penyisihan, Mikael menutup ronde ketiga sebagai Juara Dunia Barista dengan tiga racikan kopi yang merepresentasikan ‘Mind’ (Pikiran), ‘Body’ (Raga), dan ‘Jiwa’ dalam tema mindfulness—di mana Mikael mengajak para juri untuk bermeditasi guna mengelevasi pengalaman menikmati kopi dengan apresiasi yang lebih mendalam.
“Setelah memenangkan WBC 2024, saya ditelepon satu per satu oleh para Juara Dunia sebelumnya. Mereka menyambut saya ke dalam klub para juara,” cerita pria yang telah 12 tahun menjadi barista ini. “Pesan yang paling berkesan dari mereka adalah bahwa sebagai Juara Dunia, gagasan saya kini akan lebih didengarkan, memberi saya peluang lebih besar untuk menjadi agen perubahan signifkan bagi isu-isu penting dan industri kopi Indonesia. Dua juara dunia sebelum saya, yang juga berasal dari negara produsen kopi, telah membuktikan dampak besar yang dapat dicapai,” lanjutnya.
Daryanto Witarsa, Presiden Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) sekaligus
Co-Founder Common Grounds, membenarkan, “Kemenangan Mikael sebagai Juara Dunia Barista tentunya menjadi teladan dan motivasi bagi barista lokal sekaligus membangun kepercayaan diri para pebisnis kopi bahwa kualitas kafe mereka mampu bersaing dengan negara-negara lain.” Layaknya tren busana lokal yang kerap mengikuti pekan mode luar negeri, kemenangan Mikael di ajang internasional diharapkan dapat mengedukasi lebih banyak pelaku industri Indonesia untuk mempelajari, memahami, dan mengadaptasi standar tinggi dari kopi artisan.
“Miskonsepsi terbesar mengenai kopi artisan berharga relatif mahal adalah anggapan bahwa pemilik bisnis mengambil margin keuntungan besar,” ungkap Mikael yang mendiri-kan Omakafé, kedai kopi artisan premium berkonsep omakase. “Pada hakikatnya, kopi artisan mengedepankan mata rantai produksi yang transparan. Semua bahan berasal dari sumber yang jelas untuk memastikan setiap pihak memperoleh pendapatan layak. Prosesnya pun memperhatikan berkelanjutan dengan praktik ramah lingkungan. Jika dilakukan dengan benar, kopi artisan dapat memberikan dampak positif jangka panjang bagi ekosistem industri ini, dari hulu ke hilir,” lanjutnya.
MEWUJUDKAN BERKELANJUTAN
Berbicara mengenai praktik ramah lingkungan, Mikael mengaku memiliki komitmen tinggi terhadap keberlanjutan yang tercermin pada sejumlah bisnis miliknya—Omakafé, Catur Cofee Company, So So Good Cofee Company, dan Berlian Biotech. Mulai dari memiliki mata rantai produksi yang transparan, upaya nyata dalam mengurangi jejak karbon, hingga memanfaatkan limbah kopi dan plastik sebagai material desain interior di dalam kafenya.
Selain itu, Mikael juga membuat standar tegas bagi para kolaborator yang ingin bekerja sama dengannya. “Terdapat klausa khusus berkelanjutan di setiap kontrak kerja sama saya dengan kolaborator lintas industri.
Cakupan dari klausa tersebut mewajibkan mereka untuk mempraktikkan berkelanjutan di bisnisnya, membeli kredit karbon, atau mendukung proyek reboisasi mitra kami, Bumiterra. Dengan cara ini, saya dapat memastikan kesamaan visi dan bahwa kolaborasi kami pun memiliki dampak positif terhadap lingkungan,” harap Mikael.
Mengingat data dari jurnal Science Advances yang dirilis pada tahun 2019, komitmen terhadap keberlanjutan terasa begitu esensial. “Lima tahun lalu diumumkan bahwa sekitar 60% tanaman kopi terancam punah dalam waktu 50 tahun ke depan. Dengan sisa waktu yang hanya 45 tahun ini, apakah upaya kita sudah
cukup? Bila tidak ada perubahan dan perbaikan signifkan yang kita lakukan untuk memproteksi alam, akan banyak pelaku industri kopi yang kehilangan pekerjaannya,” tegas Mikael.
Sebagai salah satu komoditas terbesar di dunia, terdapat semakin banyak regulasi berkaitan dengan praktik ramah lingkungan yang diwajibkan oleh negara importir. “Sosialisasi, peraturan, dan dukungan teknologi dari Pemerintah diperlukan untuk kesetaraan informasi dan standar yang jelas seputar berkelanjutan di industri kopi,” ujar Mikael yang berharap dapat mempromosikan kesadaran terhadap isu lingkungan secara lebih signifkan melalui platform yang ia miliki sekarang.
Gelar Juara Dunia Barista yang diraih Mikael nyatanya memiliki pengaruh langsung dan jangka panjang terhadap perdagangan kopi Indonesia. “Jika sebelumnya kami memproflkan petani lokal untuk pemasaran ekspor, kini kehadiran Mikael dengan nilai tambah yang ia bawa mempermudah promosi kopi Indonesia kepada importir potensial. Ke depannya, tidak menutup kemungkinan kita dapat menjual kopi lokal dengan harga lebih tinggi berkat pencapaian ini,”
harap Daryanto. Potensi menjanjikan tersebut tentu perlu didukung dengan peningkatan produktivitas dan kualitas oleh para pelaku industri kopi Indonesia.
Namun, di balik potensi besar ini, tantangan geografs dan skala pertanian menjadi hal yang perlu diperhatikan dengan serius. “Di negara-negara penghasil kopi lainnya, satu orang bisa mengelola lahan kopi seluas 6.000 hektar. Sementara
di Indonesia, lahan yang dimiliki petani umumnya lebih kecil, sekitar 2 hektar per keluarga. Artinya, untuk meyakinkan atau mengedukasi petani agar mengadopsi teknologi atau standar tertentu, kita harus berhadapan dengan 3.000 keluarga untuk memiliki dampak yang sama. Jika mereka tidak teredukasi dengan baik, mereka akan terus menerapkan metode yang tidak efektif, merusak lingkungan, dan menghasilkan kualitas biasa saja,” ungkap Mikael.
Melalui program Brewtherhood, Omakafé memilih dua profesional di bidang hospitality setiap bulannya untuk menikmati sajian kopi omakase mereka tanpa biaya
Kopi artisan di Omakafé dibuat dari bahan-bahan yang diperoleh melalui mata rantai transparan, sebagai bentuk komitmen Mikael terhadap keberlanjutan
Menurut Mikael, potensi lain yang memerlukan perhatian adalah inovasi dalam pemrosesan biji kopi untuk menciptakan cita rasa yang lebih beragam. “Metode giling basah yang menjadi ciri khas kopi Indonesia cenderung menghasilkan profl rasa herbal dan beraroma tanah, yang secara global sering dianggap kurang premium. Akibatnya, kopi giling basah kita lebih sering digunakan sebagai bahan utama dalam kopi kemasan. Meski sangat laku di pasar internasional, saya percaya Indonesia juga mampu menciptakan profl rasa baru sesuai standar kopi artisan, sambil tetap menjaga keunikan rasa khas dari setiap wilayah,” sarannya.
Pada akhirnya, penguatan dalam aspek pendidikan dan pendampingan bagi petani juga sangat vital. “Edukasi merupakan elemen esensial agar para petani Indonesia dapat berinovasi dan berkembang. Kami sudah melibatkan Kementerian Pertanian untuk mendukung pembaruan bibit-bibit pohon, bahkan Kementerian BUMN untuk membantu dari segi perbankan dan pengadaan pupuk. Kita berada di arah yang baik,” ujar Daryanto yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua II Project Management Ofcer (PMO) Kopi Nusantara besutan Erick Thohir.
Untuk mendukung berkelanjutan dan kualitas kopi Indonesia, regenerasi generasi muda adalah langkah penting guna menghadirkan inovasi baru. “Salah satu fokus saya adalah menggaet komunitas-komunitas kopi lokal dari golongan Milenial dan Gen Z untuk regenerasi anggota asosiasi kami. Dalam upaya memperoleh kepercayaan mereka, kami mengajak keterlibatan komunitas di kota-kota kecil dalam menjalankan acara-acara AKSI di bawah panduan kami. Berkat
pendekatan ini, anggota asosiasi kami yang tadinya hanya 200 orang, kini melonjak hingga sekitar 1.500 orang,” tutur Daryanto.
Dalam perjalanan panjang kopi Indonesia, gelar Juara Dunia Barista yang diraih Mikael Jasin bukan sekadar prestasi pribadi, melainkan simbol dari potensi besar yang tersembunyi dalam setiap butir biji kopi Nusantara. Namun keberlanjutan
industri ini menuntut lebih dari sekadar inovasi dan regenerasi; ia membutuhkan sinergi antara hubungan manusia dan alam, serta nilai tradisional dan standar global. Dengan kolaborasi yang terus berkembang, masa depan kopi Indonesia bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana setiap tetesnya berkontribusi pada sebuah ekosistem yang lebih baik bagi lingkungan maupun generasi mendatang.
Pertanyaan komparasi seperti ini memang selalu dinanti kemunculannya di setiap konteks kompetisi. Namun, menjawabnya tidak selalu semudah menggeser jempol kiri. Apalagi menyangkut topik bahasan yang satu ini.
Kita bicara tentang berlian. Peradaban manusia lebih lama mengenalnya sebagai material yang terbentuk dari suhu dan tekanan yang berlangsung di kerak bumi selama jutaan tahun, menjadikannya salah satu material terlangka dan terkeras. Oleh karena itu, baik sebagai simbol gaya hidup maupun komoditas, nilai berlian telah mengakar dan dijaga sedemikian kuat oleh para pemain dan pemangku kepentingan.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Namun, dalam lima tahun terakhir, status quo berlian agaknya mengalami disrupsi. Perkembangan teknologi berhasil menyulap proses panjang di atas menjadi kurang lebih tiga bulan saja. Menariknya, seluruh prosesnya ber-langsung sepenuhnya di dalam laboratorium.
Terdapat dua metode utama: HPHT (high-pressure high temperature), yakni mereplika tekanan dan suhu tinggi di kerak bumi untuk melarutkan karbon ke dalam biji berlian); dan CVD (chemical vapor deposition), di mana lapisan karbon diposisikan satu per satu di atas biji berlian dalam ruang hampa udara.
CERITA
Berlian buatan laboratorium menjadi pilihan menarik bagi konsumen modern, baik dari segi keberlanjutan, aksesibilitas harga, maupun kualitas (dok. IGI)
Mungkin Anda berpikir, “Tetapi kita sudah pernah berurusan dengan berlian imitasi seperti zirkonia kubik!” Kenyataannya, berlian buatan laboratorium sudah mengantongi “restu” dari organisasi gemologi, seperti GIA (Gemological Institute of America) dan IGI (International Gemological Institute) atas keidentikannya secara optik, kimia, maupun struktur fsik dengan berlian alami.
Berlian buatan laboratorium lalu hadir ke pasaran dengan harga yang lebih terjangkau—berkisar antara 20-40% lebih murah dibanding berlian alami. Selain itu, klaim yang juga digaungkan oleh berlian buatan
laboratorium adalah keramahannya terhadap lingkungan. Ya, dengan seluruh proses pembuatannya terjadi di laboratorium, berlian ini dianggap minim dampak ekologis karena tidak berisiko merusak ekosistem, serta bebas dari potensi konfik penambangan dan eksploitasi pekerja. Hal ini menjadi narasi yang beresonansi dengan tren zaman sekarang, di mana kesadaran masyarakat tentang alam dan keberlanjutan semakin luas.
Sebagaimana inovasi kerap hadir bersama kontroversi, tidak sedikit pemain maupun sosok besar di kancah berlian menyerukan
komentarnya. “Kelangkaan adalah nilai yang menentukan harga berlian. Jika Anda bisa mendapatkan zirkonia kubik seharga $25, buat apa Anda membayar $3.500 untuk sebuah berlian sintetis?” ujar Tom Gelb, seorang konsultan berpengalaman di industri berlian sekaligus Co-Founder dari Diamond Durability Laboratory. Martin Rapaport, ketua dari Rapaport Group dan pendiri Rapaport Diamond Report, bahkan pernah melayangkan surat terbuka yang menyerukan kepada pelaku industri berlian untuk berhenti berbisnis dengan berlian buatan laboratorium. “Mereka beroperasi secara tidak jujur dan etis!” ujarnya.
Memang, tantangan pertama bagi berlian buatan laboratorium barangkali terletak pada hukum ekonomi, di mana ketika biaya produksi kian menurun, harganya pun akan semakin murah. Beberapa pihak kemudian menganggap berlian buatan laboratorium tidak akan bisa menjadi instrumen investasi dikarenakan nilai penjualan kembalinya yang rendah. Tantangan berikutnya adalah pada etika bisnis, di mana mulai bermunculan pihakpihak yang tidak transparan pada pelanggan terkait apakah berlian yang dijual buatan laboratorium atau alami.
Walau begitu, pesona berlian buatan laboratorium belum menunjukkan tanda kemunduran. Beberapa jenama global bahkan turut meramaikan fenomena ini. Misalnya saja TAG Heuer, melalui jam tangan Carrera Plasma Diamant D’avant-Garde, yang menghiasi bagian dial dan crown dengan berlian buatan laboratorium berukuran besar dan bersiluet unik sebagai simbol kreativitas yang menembus batas. Langkah serupa diambil oleh Prada yang telah merilis koleksi menggunakan berlian buatan laboratorium sejak Oktober 2023 lalu.
Situasi serupa juga terjadi di Indonesia. Lihat saja manuver yang dilakukan oleh nama-nama seperti Sol et Terre dan ISAGO, yang notabene menyematkan prinsip keberlanjutan pada setiap produknya. “Kami ingin rangkaian perhiasan dari Sol et Terre tak sekadar memberi keindahan pada pemakainya, tetapi juga diproduksi tanpa berdampak buruk kepada lingkungan hidup dan manusia, sehingga dapat ikut melestarikan bumi,” tutur Chelsea Islan, mewakili Sol et Terre.
Saat ini, berlian buatan laboratorium mungkin belum memasuki arus utama. Tetapi melihat langkahlangkah pemainnya, antusiasme dari ragam jenama lokal, serta kesadaran lingkungan yang juga terus meningkat, bukan tidak mungkin dinamika popularitasnya menyamai apa yang terjadi di Amerika Serikat.
Chopard sebagai salah satu nama besar yang menjunjung tinggi penggunaan berlian dan bahan-bahan tambang lain secara etis. (dok. Chopard)
Sebaliknya dari “kubu” berlian murni, Petronella Soan; COO dari PT Central Mega Kencana yang menaungi Frank & Co, Mondial, dan The Palace; mengungkapkan belum adanya rencana untuk berekspansi ke bisnis berlian buatan laboratorium. “Karena kita belum tahu seberapa rendah harga berlian buatan laboratorium akan turun, bukan tidak mungkin suatu saat harganya justru bisa menyamai atau bahkan menggantikan zirkonia kubik,” tuturnya. “Lalu, ada juga persepsi tentang bagaimana berlian buatan laboratorium itu pasti berkelanjutan dan ramah lingkungan. Padahal, mesin dan energi yang digunakan di laboratorium itu juga pasti mengeluarkan emisi.”
Salah satu perhiasan Gala Collection dari Mondial (atas) dan Love Infnity Collection dari Frank & co. (kanan). Dua nama besar di kancah berlian lokal yang berkomitmen menawarkan berlian kualitas terbaik dengan proses pembuatan yang sesuai etis. (dok. Mondial dan Frank & co.)
Menariknya, terlepas dari argumenargumen tersebut, fenomena yang dipicu oleh berlian buatan laboratorium ini secara tidak langsung mendorong perkembangan industri berlian secara keseluruhan ke arah yang lebih baik. Dari sisi global, nama besar seperti Chopard telah mendeklarasi komitmen mereka dengan bergabung di Responsible Jewelry Council dan memenuhi seluruh standar dan kode praktik yang disepakati. Ungkapan senada juga diutarakan oleh Petronella Soan, “Sejak pertama kali CMK memproduksi perhiasan, kami berjanji pada semua pemangku kepentingan bahwa seluruh material yang digunakan berasal dari sumber terpercaya dan etis.”
Maka jika kita kembali ke pertanyaan tentang nilai dan kualitas, jawaban terbaik akan berdasar pada nilai fundamental kita masing-masing. Khususnya dalam memaknai keindahan dan tanggung jawab di kehidupan modern. Berlian, pada akhirnya akan tetap menjadi simbol kemewahan. Sebagian orang menemukan nilai tersebut pada aspek historis, atau prosesnya yang padat karya. Sebagian lagi menemukannya pada makna yang diukirnya sendiri, maupun kisah-kisah sentimental yang dialaminya sendiri. Lantas, yang manakah Anda?
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Natasha Tontey dan Audemars Piguet Contemporary PENULIS
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Terdapat rasa penasaran dan antusiasme yang memuncak saat saya dan jajaran jurnalis lain memasuki ekshibisi tunggal terbesar dari perupa Natasha Tontey yang berjudul Primate Visions: Macaque Macabre atau Larik Sungsang Kaum Primata untuk pertama kalinya. Pasalnya, seluruh karya dalam pameran merupakan komisi untuk Audemars Piguet Contemporary yang menandai kali pertama program ini menggandeng seniman Indonesia. Meskipun sudah menerima undangan melalui surel untuk menghadiri pembukaan pameran, tetap saja, kami tidak tahu apa yang harus diharapkan
Bertempat di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), kami digiring menuju pojok tempat konferensi pers berlangsung. Selama perjalanan menuju ke sana, kami melewati seluruh instalasi yang dipamerkan tanpa mengetahui narasi di baliknya. Di depan kami, sang perupa Natasha Tontey sudah menunggu, didampingi oleh Venus Lau selaku Direktur Museum MACAN, dan Denis Pernet, kurator dari
Audemars Piguet Contemporary. Bertindak sebagai moderator adalah Kepala Divisi Komunikasi, Margie Untoro. Saat mereka duduk dan acara dimulai, kami pun siap menggali lebih dalam.
Menghadirkan pengalaman mendalam, Natasha Tontey mengundang penonton berinteraksi dengan objek absurd yang disesuaikan dengan narasi dalam flm yang ditayangkan
Selain mengupas tuntas tema besar ekshibisi, diskusi tersebut mengangkat topik yang tak kalah penting, yaitu kebutuhan seniman akan ruang baik secara harfah, maupun fguratif yang dapat sepenuhnya mendukung kreativitas mereka. Pasalnya, seniman bukan hanya pencipta karya, tetapi juga pembangun narasi yang menyuguhkan perspektif baru. Tanpa wadah yang tepat, suatu ide brilian bisa terkubur begitu saja dalam pikiran.
Inilah landasan Audemars Piguet Contemporary saat menginisiasikan program khusus untuk mendukung para seniman berskala global. Divisi seni milik jenama horologi yang mengemban status trinitas horologi ini telah mengomisikan karya dari seniman terpilih. Sejak didirikan pada tahun 2012, Audemars Piguet Contemporary telah mengomisikan karya dari 20 perupa dan menjadi kurator bagi 57 ekshibisi berisikan karya komisi seniman.
Melebarkan sayap ke Asia Tenggara, Denis Pernet bangga dapat merealisasikan konsep visioner Natasha. “Di Audemars Piguet, kami percaya bahwa kreativitas membantu kita melihat diri kita dan dunia dengan cara yang berbeda dan kami sangat menantikan untuk membagikan instalasi unik karya Natasha.”
Saat pertama kali melihat Natasha, saya terpana akan penampilannya yang unik, dengan sepatu bot tinggi bergaya retro. Begitu pula dengan persepsi terhadap dunia yang diterjemahkan oleh perupa asal Minahasa tersebut ke dalam Primate Visions: Macaque Macabre. Praktik artistik Natasha sering menggali konsep ketakutan buatan—bagaimana perasaan ini bisa terbentuk dari berbagai faktor. Contohnya terdapat pada dua karya seni bertemakan fksi spekulatif yang dikreasikan Natasha terdahulu, Other Tomorrows Never Known (2023) dan The Order of Autophagia (2021).
Kini lewat Primate Visions: Macaque Macabre, perupa kelahiran tahun 1989 ini kembali menyoroti ilmu primata melalui sebuah semesta fksi. Karya Natasha mencerminkan simbiosis yang kompleks antara yaki (makaka hitam Sulawesi) dengan masyarakat adat Minahasa. Dalam 40 tahun terakhir, populasi yaki menurun hingga 80%, menjadikannya salah satu primata paling terancam punah di dunia.
“Sejarah hubungan antara keduanya menunjukkan bahwa manusia tidak selalu lebih superior dibandingkan Yaki. Meski berkontribusi pada keanekaragaman hayati hutan, yaki dianggap hama oleh manusia seiring meningkatnya deforestasi,” papar Natasha tentang kompleksitas yang ia maksud. “Meski terlihat seperti musuh, kedua spesies ini sebenarnya saling membutuhkan,” lanjutnya.
Natasha menggabungkan estetika video gim, video musik, fksi fantasi, dan produksi swakriya untuk menghubungkan budaya mistik masyarakat adat dengan gaya futuristik generasi muda
Pertemuan pertama Natasha dengan primata tersebut dapat ditelusuri saat ia menghadiri sebuah ritual adat Minahasa bernama Mawolay dan melihat tengkorak yaki dihidangkan di tengah meja. Selanjutnya, ritual yang menyoroti kompleksitas hubungan antara yaki juga memercik keingintahuan Natasha lebih dalam.
Natasha juga mengambil acuan
dari Donna Haraway, sarjana terkemuka dalam studi sains dan teknologi, yang memaparkan bahwa primatologi adalah wujud narasi.
“Saya ingin menonjolkan solidaritas antara manusia dan makhluk non-
manusia lewat pendekatan fksi. Meski terlihat seperti musuh, kedua spesies tersebut sebenarnya saling membutuhkan,” tuturnya.
Namun di balik seluruh paradoks tentang yaki dan manusia, Natasha justru menemukan ruang untuk mengeksplorasi bagaimana hubungan ini dapat ditafsirkan ulang. Melalui Primate Visions: Macaque Macabre, ia menawarkan perspektif baru yang mengaburkan batas antara fksi dan realita, sekaligus mengundang audiens untuk merenungkan kembali interaksi manusia dengan makhluk non-manusia.
Natasha menuturkan bahwa kecenderungan menerapkan konsep imajinatif dalam sejumlah karyanya muncul karena pendekatan tersebut menawarkan cara baru berinteraksi dengan dunia. “Saya sangat tertarik pada konsep fksi. Ialah ruang imajinatif di mana saya memiliki otonomi untuk menciptakan sistem dan struktur sosial,” ucap Natasha.
Bukan tanpa tantangan, Natasha sempat khawatir karya-karyanya tak dipahami oleh audiens karena cakupan maknanya yang luas. Bagaimana tidak? Karya Natasha menggabungkan fantasi dengan isu-isu dunia sekaligus. Dalam konteks ini, kepunahan spesies dan warisan yang terancam hilang.
Bila tidak hadir pada konferensi persnya terlebih dahulu, mungkin saya juga tidak bisa menerjemahkan setiap karyanya. Namun sebagaimana karya seni pada umumnya, karya Natasha pun terbuka pada interpretasi. Jika Anda ingin mendapat gambaran menyeluruh sebelum menelisik arti dari setiap instalasi, saya menyarankan untuk memulai dari sebuah layar besar di tengah ruang ekshibisi yang menjadi sorotan utama.
Natasha menampilkan flm berdurasi sekitar 40 menit yang mengisahkan hubungan kontradiktif antara dua spesies. Film ini menceritakan peran
yaki—bergender betina—dan manusia yang terbalik dengan percikan elemen ekofeminisme. “Dalam karya ini, saya menggunakan aktor pria Minahasa untuk memerankan Yaki, sementara aktor wanita menggambarkan manusia, mengembalikan keseimbangan dalam dunia yang semakin terputus dari alam.”
Terdapat juga sejumlah karakter yaki yang digarap dengan referensi mode global yang menjadi kiblat penduduk Minahasa. Instalasi ini dikreasikan menggunakan kain katun, rotan, rambut, dan bulu sintetis, dakron, cat akrilik, dan lain-lain. Tetapi, hal yang paling menarik atensi saya adalah nama dari setiap karakter: Madame
Chafeur, Xenomorphia, Imago Organella, dan Yaki Number 1. Rasanya terdengar berkelas dan memikat.
Seusai ekshibisi tersebut, saya seolah mendapatkan pencerahan tentang hubungan antar spesies dan ingin menuangkannya dalam sebuah karya. Apakah terlambat untuk memulai karier untuk menjadi perupa? Natasha menutup diskusi kami dengan saran bagi seniman-seniman muda yang tengah menavigasi karier di bidang kreatif. “Tantang norma yang ada. Tetaplah berjejak dengan kehidupan di sekitar dan gunakan seni untuk mendisrupsi sistem sosial. Ubah ruang sehari-hari menjadi dunia yang penuh imajinasi.” pungkasnya.
Instalasi-instalasi pada Primate Visions: Macaque Macabre dirancang untuk menantang persepsi audiens tentang keindahan, kepalsuan, dan cerita yang disampaikan
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Reynaldo Tjandra/ DERAI
VIDEOGRAFI
Helena Wijaya / DERAI
Membuat sebuah majalah adalah perjalanan yang penuh tantangan sekaligus peluang. Sebuah perjalanan mengumpulkan gagasan dan komitmen untuk menghasilkan karya terbaik. Sebagaimana konsepsi apapun dari awal, begitu banyak suka dan duka yang mengiringi proses pembuatan KINTAKA.
Tetapi setiap rintangan adalah undangan untuk bertumbuh dan setiap hambatan adalah pelajaran berharga. Dengan kegigihan, setiap visi menjadi mungkin, dan setiap cerita menemukan ruangnya untuk bersinar. Proses ini bukan sekadar menulis, melainkan juga menciptakan sesuatu yang menggugah. Sebab di balik setiap upaya, terdapat tujuan untuk melahirkan karya yang meninggalkan jejak mendalam.
Kami ingin membawa Anda dalam perjalanan mengkreasikan KINTAKA. Mulai dari mengkurasi konten, berburu narasumber, melakukan pemotretan, hingga menyusun halaman sebelum memasuki proses percetakan. Mari bergabung dan saksikan bagaimana setiap elemen menyatu untuk menghasilkan majalah cetak setebal 168 halaman dan konten multisensori penuh makna.
CERITA
AESTHETIC PLEASURE
@aestheticpleasure_
AIDAN AND ICE
www.aidanandice.com
@aidanandice
ALVIN T
Indonesia Design District
Pantai Indah Kapuk 2
Tel: 0812 1325 7885
AUDEMARS PIGUET
Plaza Indonesia
Level 1, Unit 170
Tel: 021 2992 3982
BERLUTI
Plaza Indonesia
Lantai 1 No. 182A
Tel: 021 2992 4363
Plaza Indonesia
Lantai 3, Unit i002
Tel: 0813 1033 9022
Plaza Senayan
Lantail 3, Unit 305
Tel: 0813 8323 0238
Pondok Indah Mall
Level 2, Unit 207
Tel: 0813 8323 0238
BITTE DESIGN STUDIO
@bittedesignstudio
BY BITTE
www.bitte-design.com
@by___bitte
CAVA PRIVÉ
@cavaprive
CHOPARD
Plaza Indonesia
Level 1, Unit 182B
Tel: 021 2992 4350
CONGO & ESA RESTAURANT
SCBD Park
Lot. 7 Unit 3A 0811 1001 6282
Plaza Indonesia
Level 1 No. 66-71
Tel: 021 2992 3755
Plaza Senayan
Level 1, #117-119
Tel: 021 5790 0159
FRANK & CO.
Plaza Indonesia
Level 3 0811 1990 1011
Plaza Senayan
Level 1, #1.146B 0811 1990 004
AUTO
Jalan Puri Mutiara VI No. 18B, Cipete Cilandak Timur
HUBLOT
Tersedia di butik The Time Place
BSD City
Lot II. 18A
Jl. BSD Boulevard Utara Commercial De Park
Simprug
Jl. Teuku Nyak Arif No. 14, Simprug Kota Jakarta Selatan
Grand Indonesia
West Mall, Unit G19
Tel: 021 2358 1208
Mal Kelapa Gading 3
Level Ground, Unit G42
Tel: 021 4584 8977
Central Park
Level Ground, Unit G-117B
Tel: 021 5698 5156
ISAGO
www.isagojewels.com @isagojewels
JAN SOBER
www.jansober.com @jansober
JOHN HARDY
Butik Ubud
Jl. Raya Mambal Br. Baturning No. 1
Tel: 0361 469 888
Butik Seminyak
Jl. Petitenget, Kerobokan
Kec. Kuta, Kabupaten Badung
Tel: 0811 3811 8003
LEMAIRE
www.lemaire.fr @lemaire_ofcial
LEXUS INDONESIA OFFICE
Jl. Proklamasi No.35 2nd Floor
Menteng, Jakarta Pusat
Tel: 021 3901 325
Tersedia di INTime
MOIE LIVING
Pacifc Place
Level 1, Unit 119A-121A
Tel: 021 5790 5371
MOIE HAUS
Regent Residences
Level 56
Jl. Gatot Subroto Kav. 11
Jakarta Selatan
Ashta District 8
Jl. Senopati No.5
Jakarta Selatan
Lotte Shopping Avenue
Lavel GF, unit #03
Tel: 021 2988 9033
Pacifc Place Jakarta
Lavel 2, unit #32
Tel: 021-579 7317
MOIE DESAIN
Plaza Senayan
Level 1, Unit 119A-121A
Tel: 021 5790 5371
MONDIAL
Pondok Indah Mall 2
Level G, Unit G 20
Tel: 0811 1990 1116
Plaza Indonesia
Lantai 3, Unit #122A
Tel: 0811 1990 1055
Plaza Senayan
Level 118B & 120B
Tel: 0811 1990 1045
MUSEUM MACAN
www.museummacan.org @museummacan
NA ARTHOUSE @naarthouse
OMAKAFÉ @omakafe.jkt
PILLAR
Plaza Indonesia
Level 2, Unit #056
Tel: 021 2992 0133
PLATARAN KOMODO
www.plataran.com @platarankomodo
ROLEX
Plaza Indonesia
Level 1, Unit 69 & 70A
Tel: 021 2992 3982
RUCI ART SPACE
@ruci.art
SAPTO DJOJOKARTIKO
MAISON SAPTO DJOJOKARTIKO
Jl. Vila Sawo Kav. 17
Cipete Utara
Tel: 021 724 8104
Plaza Senayan
Level 1 Unit 128C
Tel: 0811 3811 8003
SEAN & SHEILA
www.seansheila.com @sean_sheila
SEIKO
Plaza Senayan
Level 3, Unit 353
Tel: 021 572 5689
Blok M
Jalan Melawai IX No.46
Tel: 021 720 8717
Sun Plaza Medan
Level 1, Unit C32 – 33
Tel: 061 450 1505
Tunjungan Plaza Surabaya
Jalan Tunjungan No. 98 – 100
Tel: 031 547 4756
SME G DESIGN
www.smegindonesia.com @smeg.id
SOL E TERRE
www.soletterre.com @sol.et.terre
SOLOPUTRI
www.soloputri.com @soloputri.id
SUKKHA CITA
www.sukkhacitta.com @sukkhacitta
TAG HEUER
Central Park
Level GF, Promenade 002
Tel: 021 2920 0422
Pacifc Place
Level GF, Unit G-16A
Tel: 021 5797 3725
Plaza Indonesia
Level 1, Unit 129 – 130
Tel: 021 2992 3990
Plaza Senayan
Level 1, Unit 155C
Tel: 021 572 5137
Senayan City
Level GF, Unit G-53
Tel: 021 7278 1601
TEMMA PRASETIO
@bytemmaprasetio
THE TIME PLACE
Pacifc Place
Level GF, Unit 12 A-B
Tel: 021 5140 2796
Plaza Indonesia
Level 1, Unit 165 – 168
Tel: 021 310 7715
Plaza Senayan
Level 1, Unit 122 – 128B
Tel: 021 572 5759
Tunjungan Plaza 4 Surabaya
Level UG, Unit 30–37
Tel: 031 532 7991
THE PALACE
Pondok Indah Mall 3
Jl. Kartika Utama No.1
Tel: 0811 1990 1117
Lippo Mall Kemang
Level GF, Unit 03
Tel: 0811 1990 1105
Senayan City
Level GF, Unit 03
Tel: 0811 1990 1105
Plaza Senayan
Level 2, Unit 118 C
Ashta District 8
Level GF, Unit 17
Tel: 0811 184 142
WILSEN WILLIM
@wilsenwillimofcial
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Athirah Nurflzah
VIDEOGRAFI
Aditya Wiradimadja
Tahun 2025 semakin dekat, begitu pula dengan Anda yang mulai menyusun kembali rancangan resolusi untuk tahun mendatang. Mulai dari ambisi karier, tujuan pribadi, hingga eksplorasi gaya hidup, semuanya layak mendapatkan perhatian lebih. Tahun baru, sembari menyilangkan jari telunjuk dengan jari tengah, diharapkan membawa suasana yang penuh energi dan membuka peluang baru untuk mewujudkan setiap impian yang telah lama terpendam. Jadi, apa impian terbesar Anda di tahun 2025?
Gaya hidup sering kali menjadi katalis, menghubungkan ide-ide kecil yang sebelumnya tak terpikirkan menjadi sebuah visi besar. Dari melihat seseorang berpelesir ke tempat eksotis, mendadak muncul keinginan menjelajahi dunia dengan satu ransel. Atau mungkin, setelah menonton serial tentang seorang koki terkenal, timbul hasrat untuk terjun ke dunia boga. Gaya hidup mengubah keinginan kecil menjadi impian besar, membuktikan bahwa inspirasi sering kali datang dari cara kita menikmati hidup sehari-hari. Apakah gaya hidup Anda juga sedang merancang impian baru?
Sembari Anda menyusun resolusi berisikan impian di tahun mendatang, KINTAKA juga menyiapkan rangkaian agenda gaya hidup yang patut ditunggu di tahun 2025. Siapa tahu, setelah mengenal agenda berikut, daftar resolusi Anda bertambah panjang atau malah berubah arah. KINTAKA akan memaparkan berbagai agenda mulai dari horologi, perhiasan, mode, seni, desain, boga, otomotif, teknologi, hingga pelesir. Setelah Anda membaca agenda ini, jangan lupa beritahu KINTAKA: agenda mana yang sudah masuk ke dalam catatan Anda?
Feb 13-Mar 23
IIMS kembali menghadirkan pameran otomotif yang berpadu dengan pertunjukan musik IIMS Infinite Live, langsung dari JIExpo Kemayoran, Jakarta.
Apr 27-Mei 4
Piala Sudirman adalah kejuaraan bulu tangkis internasional yang diadakan setiap dua tahun sekali. Pertama kali diselenggarakan di Indonesia pada tahun 1989, kompetisi ini dijadwalkan berlangsung di Tiongkok tahun depan.
Apr 24-27
Puluhan jenama dari desain interior, material, arsitektur, hingga konstruksi berkumpul di pameran yang digelar oleh Megabuild Indonesia dengan tema masa depan berkelanjutan.
Mei 8-11
Pameran dan konferensi arsitektur kelima ini diselenggarakan oleh Ikatan Arsitektur Indonesia sebagai wadah pameran maupun bertukar pikiran bagi pelaku industri maupun pembeli.
Mei 30-Jun 1
Festival musik jazz ini paling ditunggu masyarakat seluruh Indonesia. Tahun 2025 akan menjadi hari jadi ke-20 Java Jazz berkontribusi dalam lanskap musik jazz di Indonesia
Jun 20-Jul 31
Sebuah ruang pertemuan bagi para seniman asal Indonesia dalam bertukar gagasan dan kreativitas melalui pameran seni rupa kontemporer tahunan di Yogyakarta, Indonesia.
Jul-Agu
Berbagai jenama kendaraan meluncurkan produk dan inovasi terbaru di pameran tahunan GIIAS, yang biasanya diselenggarakan selama lebih dari sepekan di antara bulan Juli atau Agustus di BSD City.
Pertengahan Tahun
Sebagai festival hutan pertama dan terbesar di Indonesia, LaLaLa Festival menyuguhkan pengalaman menikmati musik lokal dan internasional yang unik setiap tahunnya di Bandung.
Sep 18-Okt 5
JICAF menghadirkan pengalaman visual yang mempertemukan ilustrator dan penggemar untuk menampilkan karya orisinal serta berjejaring dengan pelaku industri lainnya.
Jul-Agu
Festival mode tahunan yang telah berlangsung sejak 2004, berfokus pada pengembangan industri mode dan boga yang berkolaborasi dengan para UMKM, pengrajin, dan desainer lokal.
Pertengahan Tahun
Memadukan penampilan musisi internasional dan nasional dengan sentuhan seni, mode, dan boga menjadikan We The Fest karya ISMAYA Live populer dan ditunggu setiap tahunnya.
Sep 26-28
Sebagai festival kreatif lintas generasi dan industri gaya hidup, IdeaFest menjadi wadah kolaborasi untuk merayakan kreativitas, menciptakan dampak positif, dan mewujudkan visi inklusif bagi masa depan Indonesia.
Sep-Okt
Merupakan salah satu destinasi berbelanja produk lokal yang paling dinantikan, Brightspot Market juga diramaikan oleh pertunjukkan musik, lokakarya, dan sesi panel inspiratif pada akhir pekan di September dan Oktober.
Okt 3-5
Digagas oleh para pelaku seni Indonesia, Art Jakarta memamerkan karya seni kontemporer berbagai medium yang merefleksikan kreativitas luar biasa seniman lokal dan internasional.
Penghujung Tahun
Acara tahunan yang menghadirkan kolaborasi menu khusus dari berbagai tempat makan khusus pencuci mulut di ibu kota.
Okt 20-26
Okt 2-5
Festival musik multi-genre tahunan berskala nasional merayakan karyakarya musisi Tanah Air. Sebuah pertunjukan terkurasi yang menghadirkan musisi lintas generasi.
Selain sebagai pekan mode tahunan untuk memperkenalkan desain dan tren terbaru, JFW juga menjadi wadah kolaborasi kreatif berbagai label sepanjang tahun.
Penghujung Tahun
Lebih dari sekadar berlari, Borobudur Marathon menawarkan pengalaman olahraga atletik dengan memanjakan mata melalui trek lari yang melewati titik ikonis di Jawa Tengah.