1
timpakul.web.id
@timpakul
#Smr2033 Membaca Samarinda di tahun 2033
Kota dalam Rinjing *Catatan terbuka terhadap Draft Rancangan Peraturan Daerah Kota Samarinda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2013-2033* Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda ini sebenarnya datang dengan sangat terlambat, ketika Perda No. 12 tahun 2002 tentang Revisi Rencana Tata Ruang Kota Samarinda tahun 1994-2004 telah berakhir waktunya cukup lama. Sebelumnya Samarinda memiliki tata ruang melalui Perda Kota Samarinda Nomor 2 tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda. Raperda ini harusnya telah menjadi Perda pada tahun 2005, namun hingga saat ini belum juga di-Perda-kan. Walaupun ada persoalan lain, ketika Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang juga belum kunjung usai. Bila merujuk pada Ketentuan Peralihan di dalam Pasal 78 ayat (4) huruf (c) UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa Perda Kabupaten/Kota tentang RTRW Kabupaten/Kota sudah harus disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak 26 April 2007. Dan saat ini sudah sangat terlambat 3 (tiga) tahun dari tenggat yang seharusnya. Kekhilafan pertama dalam Raperda ini adalah pencatuman Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 sebagai penomoran Perda RTRW Kota Samarinda sebelumnya. Bisa jadi kekhilafan ini dikarenakan penggunaan file (dokumen) lain dalam proses pengetikan dokumen. Perda Kota Samarinda No. 4/2000 ini sendiri adalah tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 17 Tahun 1998 Tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil.
//Catatan ini dibuat berdasarkan pada dokumen Draft Raperda RTRW Kota Samarinda 20132033 https://sites.google.com/site/tepik arangmumus/peti/Draft%20RTR W%20Kota%20Samarinda.pdf?at tredirects=0&d=1 yang diperoleh melalui email dan peta yang ada dalam http://bappeda.samarindakota.go. id/peta.php/
Bayangkan diri kita di dalam sebuah rinjing. Yang terlalu susah untuk keluar dari dalamnya. Warga selalu digoyang-goyang dan goreng-rebus oleh pemerintahan kotanya.
2 3
timpakul.web.id
@timpakul
Masyarakat Kembali Menjadi Penonton
digunakan. Hanya aturan-aturan yang dipandang mengandungi kata-kata tata ruang dan kewilayahan yang digunakan. Misalnya saja, peraturan terkait dengan perlindungan kawasan dan hutan kota, tidak terlihat sebagai rujukan. Misalnya saja PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota hingga Perda No. 28 tahun 2003 tentang Kawasan Lindung, yang sangat terkait dengan kawasan perlindungan, tidak dijadikan rujukan dalam Raperda RTRW Kota Samarinda ini.
Proses penyusunan Raperda RTRW Kota Samarinda kali ini, hampir serupa dengan beragam proses penyusunan Raperda RTRW di wilayah lain dan dalam tingkatan lainnya. Ketertutupan terhadap proses penyusunannya, menunjukkan tidak adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses penyusunan Raperda RTRW Kota Samarinda ini. Padahal, mandat pasal 11 ayat (5) huruf b UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah sangat jelas, bahwa salah satu jenis pelayanan dalam perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota adalah keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Dimana untuk mutu pelayannya dapat dilihat dari frekuensi keikutsertaan dalam penyusunan RTRW Kabupaten/Kota.
Masih terdapat beragam peraturan perundangan yang diabaikan oleh Raperda ini, sehingga bukan tidak mungkin, secara substansi Raperda ini akan banyak memiliki permakluman terhadap kondisi faktual yang dibutuhkan kota ini untuk berkembang dan tumbuh dengan sehat serta berperspektif perlindungan warga dan layanan alam. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur pun tidak menjadi rujukan di dalam Raperda RTRW Kota Samarinda ini. Walaupun hingga saat ini Pemerintah Provinsi masih belum menghasilkan Perda RTRW Provinsi, namun masih tersedia Perda RTRW Provinsi Kalimantan Timur yang berlaku hingga saat ini. Termasuk terhadap Paduserasi TGHK dan RTRW Provinsi Kaltim.
Asas keterbukaan di dalam Pasal 2 huruf e UU No. 26/2007 pun telah memandatkan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. Lebih jauh, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang menyebutkan bahwa peran masyarakat dalam perencanaan masukan mengenai: (1) persiapan penyusunan rencana tata ruang;(2) penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; (3) pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; (4) perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau (5) penetapan rencana tata ruang, serta kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Bahkan lebih jauh, proses pemberian pendapat oleh masyarakat dimulai dari penyusunan kerangka acuan.
Selamatkah Warga dan Lingkungan Kota? Ada beberapa hal yang menarik dari Raperda RTRW Kota Samarinda ini. Misalnya saja, di dalam pasal 5 ayat (5), didalam strategi pemantapan kelestarian kawasan lindung, Raperda ini memilih untuk mengambil ruang terbuka hijau (RTH) publik dengan luas minimal 20 % dari luas wilayah dan hutan kota dengan luas minimal 10% dari luas wilayah kota. Dan merujuk pada Pasal 36 ayat (2) huruf d, tertuliskan luasan hutan kota Samarinda hanyalah 580,18 hektar (0,8% dari luas kota). Terlihat jelas bahwa ada ketidakkonsistenan diantara ayat di dalam Raperda ini.
Pada posisi ini sangat terlihat jelas, bahwa hingga saat hari ini belum ada sebuah proses pembukaan informasi dari Pemerintahan Kota Samarinda terkait Raperda RTRW Kota Samarinda ini. Pengerjaan Draft Dokumen RTRW Kota Samarinda sangatlah tertutup, bahkan dari pihak DPRD Kota Samarinda. Akun @infopubliksmr yang kabarnya sebagai media komunikasi antara Pemerintah Kota Samarinda dengan netizen pun, masih dalam posisi tertidur. Dan hingga saat ini tidak jelas saluran apa yang dapat digunakan warga untuk memperoleh informasi dan memberikan masukan terkait dengan Raperda RTRW Kota Samarinda ini.
Terhadap hutan kota, di dalam pasal 8 ayat (3) PP No. 63/2002 memang menyebutkan bahwa luas hutan kota paling sedikit 10% dengan satu hamparan kompak paling sedikit 0,25 hektar. Namun juga disebutkan kalimat â€œâ€Ś. atau disesuaikan dengan kondisi setempatâ€?. Dengan demikian maka sudah seharusnya Pemerintah Kota memiliki sebuah kajian khusus terkait dengan kawasan hutan kota yang dibutuhkan. Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Adi Supriadi (2006) disebutkan bahwa pada tahun 2011 Samarinda memerlukan hutan kota seluas 19.875,72 ha (27,68% dari luas kota). Dan bila merujuk pada angka tahun yang digunakan dalam Raperda RTRW Kota Samarinda ini, maka bisa jadi kebutuhan hutan kota bagi Samarinda akan lebih besar dari angka tersebut.
Bergantung pada Akar yang Mana Nullam suscipit neque in ligula. Duis lectus. Curabitur magna iaculis sodales placerat, Membaca rujukanornare, peraturan perundang-undangan yang nisi tellus sollicitudin sapien, eu cursus pede justo digunakan, terlihat bahwa tidak semua aturan terkait yang ut nulla. Nullam in magna adipiscing ipsum fringilla iaculis.
2
4 5
timpakul.web.id
@timpakul
Hal lain, terkait dengan luasan RTH yang diajukan, yaitu minimal 20%, hal ini berkaitan dengan pasal 36 ayat (2) Raperda tersebut. Dimana disebutkan bahwa RTH Publik yang diajukan adalah seluas 16.460,33 hektar (22,93% dari luas wilayah kota). Padahal Pasal 29 ayat (3) memang menyebutkan bahwa proporsi RTH publik adalah 20% yang disediakan oleh Pemerintah Kota. Sedangkan RTH Privat yang diajukan dalam pasal 36 ayat (3) Raperda ini adalah 14.194,86 ha (19,77% dari luas kota). Secara keseluruhan luasan RTH sekurangnya adalah 30% dari luas kota.
menjadikan kota ini jauh lebih baik dan nyaman bagi seluruh warganya.
Pengarahan Kawasan yang tak Berkeadilan Hal yang juga penting dicermati adalah pembagian kawasankawasan di dalam RTRW Kota Samarinda ini. Misalnya saja, untuk kawasan pendidikan tinggi di dalam pasal 57 ayat (8) huruf (c), yang hanya difokuskan pada Gunung Kelua dan Makroman, yang secara dengan jelas mengabaikan posisi Universitas dan Akademi lainnya yang ada di kota ini, selain Universitas Negeri.
Hal lain yang menjadi kawasan resapan air hanyalah 183 hektar (0,25% dari luas kota) sebagaimana di dalam pasal 33 ayat (2). Padahal, Samarinda ini merupakan sebuah kota yang berada dari 0-200 meter dari permukaan laut. Bappeda Samarinda menyebutkan kawasan rawa yang tidak diusahakan sebagai lahan pertanian seluas 432 hektar, dan bisa jadi luas rawa kota Samarinda ini lebih luas dari yang tertuliskan. Kata Rawa yang dimaknai bukan sebagai nama wilayah, tidak ditemukan di dalam Raperda ini.
Pun demikian dengan kawasan kesehatan pada ayat berikutnya, dimana keberadaan Rumah Sakit hanya pada wilayah Samarinda Ulu, yang menunjukkan tidak lagi dimaknai kehadiran Rumah Sakit di wilayah Samarinda Ilir. Dan Pemerintah Kota masih belum mengantisipasi perkembangan kota ke arah utara dan barat daya, dimana kawasan tersebut, bilamana berkembang dalam 10 tahun mendatang, akan membutuhkan faislitas rumah sakit yang lebih dekat, dibandingkan harus menuju pada rumah sakit yang ada saat ini.
Bagian lain yang penting untuk dicermati dan memperoleh penjelasan adalah posisi kawasan peruntukan lainnya, yang memasukkan pertambangan didalamnya, di dalam pasal 38 huruf (i). Kawasan ijin pertambangan batubara yang merupakan kawasan terluas di Kota Samarinda, bahkan sudah mencapai 71% dari luas wilayah kota. Namun kemudian, terlihat sangat kecil di dalam Raperda ini, dimana hanya dimasukkan di dalam kawasan peruntukan lainnya, yang bahkan dibagi lagi ke dalam beberapa jenis pertambangan (pasal 47 ayat (5)). Berbeda pada Perda RTRW Kota Samarinda sebelumnya, kali ini kawasan pertambangan kelompok batubara akan meliputi: 1.
2.
Peletakan kawasan strategis pun masih perlu masukan dari warga. Misalnya saja, kota Samarinda ini cukup dikenal dengan keberadaan Langsat Air Putih, dimana saat ini kebunkebun langsat warga kian tergerus oleh industrialisasi di sekitarnya. Menjadi penting bagi Pemerintah Kota untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap kawasnakawasan unik serupa ini. Semakin menarik bila melihat pasal 32, pasal 35 dan pasal 67 Raperda ini, tetiba muncul sebutan cagar alam, yang menunjuk pada kawasan Kebun Raya Unmul Samarinda. Cagar alam memiliki rujukan sendiri dalam peraturan perundang-undangan, dimana harus masuk dalam kriteria penentukan kawasan sebagai cagar alam.
batubara yang ijinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM terletak di Kecamatan Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Palaran dan Kecamatan Samarinda Ilir; dan batu bara yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda. (Bagian ini menunjukkan tidak ada batasan wilayah untuk pengeluaran ijin oleh Pemerintah Kota samarinda, atau dapat dimaknakan pada keseluruhan wilayah kota)
Dan untuk wilayah kota, dapat mengembangkan kawasan perlindungan setempat, dimana tidak diurai secara detail dalam Raperda ini, dimana dalam pasal 32 huruf b dan pasal 34, hanya mengarahkan kawasan perlindungan setempat pada sempadan sungai dan kawasan sempadan waduk sekitar embung.
Naik-naik Kereta Api
Dengan konstruksi yang telah disebutkan tadi, maka pertanyaan apakah kemudian Warga akan menjadi selamat dan lingkungan hidup akan jauh lebih baik di Kota Samarinda akan dengan sangat mudah dijawab. Pemerintah Kota Samarinda masih belum mempunyai itikad baik untuk
Samarinda akan menjadi kota yang beruntung. Pasal 16 Raperda ini menyebutkan bahwa akan ada kereta api dengan stasiun yang terintegrasi dengan Bandara Samarinda Baru di
3
6
timpakul.web.id
@timpakul
Sungai Siring. Jalur Kereta Api sendiri akan melalui Kelurahan Sungai Siring – Kelurahan Tanah Merah – Kelurahan Lempake – Kelurahan Sempaja Utara – Kelurahan Bukit Pinang – Kelurahan Air Putih – Kelurahan Loa Bahu – Kelurahan Loa Bakung – Kelurahan Loa Buah – Jembatan Mahakam – Kelurahan Sengkotek – Kelurahan Tani Aman – Kelurahan Simpang Tiga. Kereta api ini sepertinya akan melintasi wilayah perkotaan juga, yang tentunya akan memili dampak terhadap berbagai sistem transportasi yang sudah memacetkan saat ini, serta terhadap kondisi lingkungan yang akan dilalui. Walaupun kemudian, menjadi penting untuk membaca secara lengkap sistem transportasi yang akan dibangun dalam Raperda ini.
Samarinda, Kota dalam Rinjing Samarinda bak kota dalam rinjing. Berada diantara perbukitan yang menyimpan air di bagian tengahnya. Dan ketika musim berganti, kota ini semakin panas membara. Suhu udara yang tak lagi berada dalam posisi normal, telah meningkatkan jumlah produksi keringat bagi setiap warganya. Dan tata kelola air yang benarbenar tidak dikelola, menambah keriuhan kota ini. Bayangkan diri kita di dalam sebuah rinjing. Yang terlalu susah untuk keluar dari dalamnya. Warga selalu digoyang-goyang dan goreng-rebus oleh pemerintahan kotanya. Tak pernah tahu apa yang akan terjadi dan dilakukan terhadapnya. Hanya mampu menantikan sebuah keajaiban semata. Pasrah, dan berharap semoga hari esok akan lebih baik. Warga Kota Samarinda jangan pula seperti katak yang diletakkan di dalam panci yang dipanaskan dengan api kecil. Sehingga pada waktunya tetiba diam, membeku, kaku dan lalu disantap di atas piring datar bercorak bunga itu. Warga Kota Samarinda harus mulai membaca lebih lengkap tentang kota ini. Menyaksikan dan melaporkan setiap perilaku pemerintahan kota yang bagi kita akan mengancam masa depan generasi kota ini. Tak perlu berharap belas kasihan darinya. Kota Samarinda pasti bisa keluar dari sekian banyak problematikanya. Hanya butuh sebuah keberanian kolektif untuk memastikan hal itu terjadi. Juga dibutuhkan kejujuran warganya untuk tidak terus berada dalam kandang emasnya. Sebagai kawasan yang tak pernah lepas dari lingkaran kekuasaan provinsi ini, sudah seharusnya kota ini menjadi lebih baik. Ah.. sudahlah… mungkin ini hanya mimpi.
4
Masukan terhadap RTRW Samarinda dapat disampaikan ke
1 2
timpakul.web.id
@timpakul
Kunanti Kau di Stasiun Kereta “Kunanti kau di stasiun Kereta“, ujar anak muda Samarinda. Inilah gambaran wajah Kota Samarinda di tahun 2033. Kereta api sudah berlalu lalang dari Bandar Udara Sungai Siring, melintasi Sungai Mahakam menuju ke Loa Bakung. Tak ada lagi jalanan yang berliku dan penuh gelombang yang dilalui. Hanya suara kereta api itu yang berdenging di telinga.
satelit kota, dan moda transportasi antar kota dan antar pulau. Kelengkapan sistem transportasi ini menjadi bagian yang penting bagi warga, dan warga harus diberi ruang untuk memberikan gagasannya. Apalagi generasi muda Samarinda serta para Anak Baru Gede (ABG) Samarinda, yang saat ini masih menyukai alat transportasi beroda dua bermesin. Dikarenakan untuk saat ini, untuk memiliki sebuah kendaraan sepeda bermotor itu tak membutuhkan uang banyak dan proses yang rumit. Yang kemudian juga, bila telah mengendarai kendaraan roda dua dengan beragam warna, suara dan aksesorisnya, tentunya jomblo akan semakin menjauh. Paling tidak, akan ada sebuah pertemanan diantaranya.
Pada waktunya, tak lagi aneh untuk bilang, “Kita ketemuan di stasiun Airport aja” atau juga berujar, “Nanti dijemput di Stasiun Sempaja Utara ya“. Kereta api itu pasti akan menjadi trend. Tapi pastinya, bisa jadi kereta api itu akan tetap menggunakan kereta api batubara, atau bahkan kereta api arang, disaat kereta api di luar negeri sudah melaju dengan kecepatan sangat tinggi.
Saat ini, @atcs_samarinda sudah semakin kerap melaporkan jalan padat dan menjelang macet pada beberapa titik. Dua atau tiga tahun ke depan, bisa jadi kendaraan akan memenuhi jalan-jalan utama kota ini. Dan akhirnya, berjalan kaki menjadi pilihan, bilamana transportasi publik massal belum disiapkan oleh Pemerintah Kota.
Kereta api di Samarinda bakal melintasi Sungai Siring, dan berpisah di Tanah Merah. Satu jalur melalui Lempake, terus menyisiri Selili hingga menyeberang Mahakam menuju Simpang Tiga, lalu satu jalur menyisir Palaran, Jembatan Mahakam hingga ke Tani Aman. Dan satu jalur lagi menuju Sempaja Utara, hingga ke Loa Bakung dan Loa Buah.
Kereta api bisa jadi sebuah pilihan. Apalagi bila terhubung ke kota-kota lainnya. Lalu kemudian ini akan mengurangi beban freeway. Hanya untuk kebutuhan tertentu maka jalur transportasi kendaraan bermotor digunakan, selebihnya diharapkan sudah memanfaatkan transportasi publik massal. Dan tentunya, ini akan semakin menguatkan distribusi barang-jasa antar kota, dan juga akan lebih menghemat waktu bagi warga yang suka melintasi kota.
Sebuah mimpi yang indah tentunya, bagi warga-warga yang selama ini berada di lingkar luar kota. Walaupun kemudian, sistem transportasi menuju pusat kota masih menggunakan angkot ataupun bisa jadi bus TransSamarinda, dimana akan ada terminal-terminal bus ber-AC dan ber-internet. Belum ada sebuah gambaran yang utuh tentang bagaimana transportasi publik dibangun di tengah kota. Tak ada gagasan tentang trem, sebagai moda transportasi massal yang lebih ramah emisi, untuk wilayah perkotaan, ataupun bus kota, semodel TransJakarta, yang tergambar dalam draft Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2013-2033.
Samarinda 2033 adalah kota yang ramah bagi warganya. Entah siapa yang akan menjadi pemimpin kotanya saat itu. Atau bisa jadi sudah tak ada lagi kota ini. Ataupun bisa jadi moda transportasi telah berubah menjadi moda transportasi air. Namun inilah sebuah mimpi. Samarinda di tahun 2033 adalah kota bagi semua. Bukan lagi kota yang hanya dinikmati oleh mereka yang haus akan kekayaan alamnya.
Jalinan transportasi yang dibangun di Samarinda harusnya lebih ramah terhadap warganya. Ada moda transportasi untuk lingkungan, moda transportasi untuk wilayah dalam kota, moda transportasi untuk wilayah
5
1 2
timpakul.web.id
@timpakul
Berteduh di Pohon Mana Ada banyak pilihan bagi sebuah kota agar dapat memberikan kesejukan bagi warganya. Membangun tempat-tempat berair, seperti kolam buatan maupun rawa-rawa alam. Juga dapat dibangun air mancur di berbagai tempat. Pilihan lainnya adalah dengan memperluas kawasan berpepohonan. Kawasan ini bisa berbentuk hutan kota. Kota Samarinda memilih untuk menyediakan 580,18 hektar sebagai kawasan Hutan Kota. Juga ada 300 hektar Kebun Raya Unmul Samarinda, yang 140 hektar kawasannya sudah tidak lagi berpepohonan. Luasan ini sangat jauh dibandingkan kebutuhan lahan berpepohonan di kota ini.
namun kemudian, hampir tidak pernah ada sebuah kebijakan yang memasukkan hal tersebut ke dalam persyaratan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pun ketika hal ini didorongkan, kawasan pertanian, perkebunan, rehabilitasi, hingga kawasan langsat air putih pun harus tergerus oleh aktivitas pertambangan batubara. Sungguh terlalu sulit untuk menemukan tempat yang nyama di kota ini. Ketika Pemerintah Kota masih terlalu nyaman membagikan lahan-lahan berhutan dan berpepohonan, dan lahan produktif warganya, kepada industri yang mengeruk dan mengobrakabrik tanah. Tak terlalu banyak lagi lahan untuk menyerap air agar tersimpan di balik tanah. Pun terlalu semakin menghilang sumbersumber pangan bagi warga, hingga sebagian besar kebutuhan pangan harus dipasok dari pulau seberang.
Ruang terbuka hijau pun didalihkan sebagai kawasan yang diperluas dengan asumsi sebagai ruang yang terbuka saja dan tidak bertetanaman. Lihat saja bahwa tidak kurang dari 14.194,86 ha atau sekitar 19,77 % luas kawasan kota ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hidup privat. Dan Ruang Terbuka Hijau publik 16.460,33 hektar atau sekitar 22,93% dari luas wilayah kota. Kawasan perlindungan bawahan pun tidak jelas akan difungsikan sebagai apa.
Warga ini butuh tempat berteduh di bawah pepohonan. Tak hanya butuh jalan yang baik, air yang bersih, listrik yang tidak byar-pet. Warga kota ini juga butuh tempat bersantai yang dikelilingi oleh pepohonan. Bukan sekedar bagi kehidupan satwa, tapi untuk kebahagiaan warga kota. Dan juga, Langsat Air Putih, sebagai identitas kota ini membutuhkan perlindungan. Apakah ini tak terpikirkan oleh Pemerintahan Kota ini?
Lihatlah kawasan yang berwarna hijau tua dalam peta di atas, itu adalah kawasan yang diasumsikan berpepohonan. Namun kemudian, kawasan tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan hutan kota, apalagi sebagai taman kota. Artinya kemudian, kawasan tersebut akan dimungkinkan untuk menghilang. Apalagi bila ditumpang-tindihkan dengan kawasan perijinan pertambangan batubara yang ada di Samarinda. Maka akan semakin terlihat jelas, bahwa kota ini seperti tak menginginkan kawasan hutan.
Pun bila tetap sebagaimana yang tercantum dalam dokumen RTRW Kota Samarinda, maka bukan tidak mungkin pada tahun 2033, kota ini menjadi kota yang terlampau panas dengan air dan udara bersih yang semakin sulit diperoleh. Masih cukup waktu untuk warga kota agar RTRW Kota Samarinda bisa lebih ramah pada warganya. Saatnya warga menyuarakan keinginan dan mimpinya, bagi kota ini di tahun 2033. Lakukan ataupun lupakan kota ini!
Pernah ada gagasan untuk mendorong warga agar menanam pepohonan buah di halaman rumahnya,
6
1 2
timpakul.web.id
@timpakul
Mari Berenang di Tengah Kota Kota Samarinda menyajikan tempat-tempat yang asyik untuk menikmati dinginnya air. Selain sungai-sungai yang menjadi anak dan cucu Sungai Mahakam, masih ada beberapa embung dan waduk. Namun setiap kawasan ini tidak memiliki fungsi tunggal. Waduk Benanga misalnya, kawasan ini berfungsi sebagai prasarana air baku, kawasan perlindungan setempat dan untuk pelestarian ekosistem air tawar spesifik lokal antara lain ikan jelawat, sepat, belida, biawan.
Kawasan rawan banjir meliputi Kelurahan Sempaja, Kelurahan Lempake, Kelurahan Temindung Permai, Kelurahan Loa Bahu, Kelurahan Sungai Siring, Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kelurahan Sungai Kapih, Kelurahan Pulau Atas, Kelurahan Sindang Sari, Kelurahan Loa Janan Ilir, Kelurahan Simpang Pasir, Kelurahan Rawa Makmur, Kelurahan Bukuan, Kelurahan Bentuas, Kelurahan Karang Asam, dan Kelurahan Gunung Kelua. Sedangkan kawasan rawan longsor meliputi Kelurahan Selili dan Kelurahan Sidodadi.
Embung adalah kolam berbentuk persegi empat (atau hampir persegiempat) yang menampung air hujan dan air limpasan di lahan sawah tadahhujan yang berdrainase baik atau sebagai tempat/wadah penampung air irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungaiatau pada saat hujan.
Pun telah dimuat jalur evakuasi terhadap beragam bencana, meliputi bencana banjir, bencana longsor dan bencana kebakaran, serta ruang evakuasi bencana. Bencana banjir, misalnya, menempatkan ruang evakuasi di wilayah Perumahan Bukit Alaya Kecamatan Sungai Pinang, GOR Segiri Kecamatan Samarinda Ulu, Kantor Kecamatan Samarinda Ilir Kecamatan Samarinda Ilir, Stadion Madya Sempaja Kecamatan Samarinda Utara, Balai Kota Samarinda Kecamatan Samarinda Kota, Islamic Centre Kecamatan Sungai Kunjang, Gedung SMA Negeri 11 Kecamatan Sambutan, dan Lapangan KNPI kecamatan Samarinda Seberang. Dan untuk bencana longsor memiliki ruang evakuasi di Kantor Kecamatan Samarinda Ilir dan GOR Segiri Kecamatan Samarinda Ulu.
Dalam Draft Raperda RTRW Kota Samarinda, tidak diketemukan kata “rawa�, padahal dalam profil Kota Samarinda, terdapat kawasan rawa yang bisa jadi lebih dari 432 hektar. Rawa memiliki fungsi penting bagi kawasan di sekitarnya, dimana sudah ada PP No. 27 tahun 1991 tentang Rawa yang sedang dalam proses revisi. Sepertinya Pemerintah Kota Samarinda sangat tidak melihat pemaknaan rawa bagi kota ini, dimana hampir setiap tahunnya kawasan rawa telah beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran dan pertokoan. Rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi, dan biologis. Penguasaan rawa oleh Negara mengandung makna bahwa Negara menjamin hak setiap orang dalam pemanfaatan rawa sebagai sumber daya air dan lahan bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Namun kemudian, dalam membaca kawasan-kawasan rawan bencana tersebut, tidak terlihat sebagai kawasan yang sebenarnya sedang dan kerap kali terancam oleh bencana-bencana tersebut. Misalnya saja kawasan Sempaja Utara dan Air Putih hingga Karang Paci, yang juga memiliki potensi bencana longsor. Demikian pula halnya dengan bencana banjir, yang selalu mengancam kawasan Jl Dr Sutomo, Prevab, dan lainnya, yang kerap meluas. Langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda dalam mengelola banjir adalah pembuatan kolam retensi dan kolam detensi, serta perbaikan sistem drainase pada kawasan rawan
Di luar itu, Draft RTRW Kota Samarinda ini sudah sedikit baik dengan menampilkan kawasan rawan bencana, meliputi rawan banjir dan rawan longsor.
7
4 3
timpakul.web.id
banjir dengan sistem berjenjang dan terpadu. Selain itu terdapat beberapa ketentuan umum sebagaimana dituliskan dalam pasal 69 Draft RTRW Kota Samarinda tersebut. Melihat gambaran kota Samarinda di tahun 2033 ini, maka akan sangat terlihat bahwa kota ini masih akan punya kolam renang di tengah kota, meliputi kawasankawasan banjir di Sempaja, Lembuswana, Pahlawan, Remaja-Pemuda-Sentosa, DI Panjaitan, Rapak Dalam, hingga kawasan tepi sungai Mahakam, yang setiap tahun akan meningkat intensitas dan frekuensi kejadiannya. Tindakan-tindakan yang diambil dalam penanggulangan banjir, hanyalah pada penyelesaian masalah di hilir, sedangkan masalah di hulu tak pernah diselesaikan. Kota ini membutuhkan proses belajar pada masa lalunya. Tak harus melakukan studi banding ke Belanda ataupun negara lain, dalam mengelola banjir kota. Samarinda masih punya banyak catatan bagaimana kemudian warga kota ini membangun rumah panggung, agar daya serap tanah tak berkurang banyak, menyediakan sumur resapan, yang tak sekedar biopori, dan juga melakukan pengelolaan terhadap
Ditulis oleh:
@timpakul
kawasan lahan basah, seperti waduk, rawa, dan sungai serta sempadannya. Pengetatan perijinan pembangunan perumahan juga menjadi penting, sebagai bagian dari proses memastikan pengurangan aliran air permukaan. Kewajiban menyediakan embung pada setiap komplek perumahan, hingga kewajiban untuk sumur resapan pada setiap rumah yang dibangun. Pun yang tak kalah pentingnya adalah memastikan perijinan pertambangan di Kota Samarinda itu dihentikan, dan diganti pada usaha-usaha perkebunan, perikanan dan pertanian lahan basah dan lahan kering. RTRW Kota Samarinda sudah seharusnya dibuka bagi publik, agar kemudian ada tumbuh gagasan dari warga untuk memikirkan masa depan diri, keluarga dan kota ini. Warga yang sejatinya memiliki hak untuk tahu dan berkontribusi kepada arah pembanguann kota ini, jangan lagi dibungkam dan ditiadakan. DPRD Kota Samarinda harus mulai berani membangun proses diskusi publik pada tingkat kelurahan, agar RTRW Kota Samarinda ini akan memberikan kebaikan bagi kota dan warganya. Bila tidak, marilah kita bersiap untuk terus berenang di tengah kota ini. Mari membahasi pikiran kita!
Ade Fadli - @timpakul -http://timpakul.web.id
Ciptaan ini dilisensikan di bawah Lisensi Creative Common AtribusiNonKomersial-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi. Untuk melihat salinan lisensi ini, kunjungi http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/ 8