TIRAKAT ZINE #1

Page 1



Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra’jat boeat orang jang merasa perboeatannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA’JAT HINDIA (Semaoen, 24 Djoeli 1919)


Hitam Putih Siti

B

utuh waktu hampir dua tahun untuk bioskop berjaringan di Indonesia menyerah dan merelakan layar perak mereka menayangkan film Siti. Bisa jadi nasib baik film ini dibantu dari predikatnya sebagai Film Terbaik di Festival Film Indonesia tahun lalu.


Eddie Cahyono, selaku sutradara dan penulis skenario, ironisnya memang tidak pernah membayangkan Siti untuk ditonton di gedung bioskop sambil mengunyah popcorn. Siti lebih dipersiapkan untuk dinikmati dari festival ke festival. Pertama diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014, berlanjut dengan menyabet penghargaan dari berbagai kategori di festival internasional, seperti: Singapore International Film Festival 2014 (Best Performance), Shanghai International Film Festival 2015 (Best Scriptwriter) dan beberapa lainnya. Menyerah dan merelakan, dua kata di awal tulisan ini bisa jadi memang pantas. Film yang seluruh lokasi syutingnya di Parangtritis, Yogyakarta itu tidak mencantumkan sederetan artis populer di daftar pemainnya. Siti adalah sebuah film hitam putih, berbahasa Jawa (ada terjemahan bahasa Indonesia), dan selama 90 menit kita akan disuguhi getirnya kehidupan seorang perempuan yang memilih berjuang untuk membayar hutang suaminya yang lumpuh dengan berjualan peyek jingking di pasar pesisir pantai dan menjadi pemandu karaoke kelas bawah di malam harinya. Kemasan dan isi yang tidak populer untuk kebanyakan penikmat bioskop twentiwan yang sedang tak sabar menunggu film semacam sekuel Ada Apa Dengan Cinta diputar. Tapi apakah Siti peduli apabila akan banyak kursi bioskop yang kosong? Seperti kata Eddie Cahyono, “Bukan itu tujuannya, tapi bagaimana sebuah film dapat menggugah hati seseorang untuk mensyukuri hidup.�


Tepat dipasar tengah hari itu. Seorang ibu paruh baya berjalan dengan anak perempuannya. Si anak merengek menuntut mainan “Mak, belikan mainan�. Sambil terus merengek dan menangis tak henti-hentinya. Dia terdiam, kemudian dengan halus dia berkata pada anak perempuannya “Kau tak butuh mainan, hidup ini sudah cukup mempermainkan kita, nak�.


Kala langkahmu berubah. Sekarang tak lagi gagah. Namun kepalamu tetap menengadah. Diantara peluh yang berkecambah. Mengalah pada terik, penat dan gerah. Tak akan melenyapkan gelisah. Sebuah perjuangan tak mengenal lelah. Mencari rizki adalah bagian dari ibadah. Melawan daya. Merawat Budaya.


Tanyakan saja pada sepatu boatku. Aku tak pernah bersengketa dengan hujan tentang siapa yang pantas disalahkan saat air tergenang tak kunjung surut. Ah, sudahlah.


Berjibaku. Ini jalan jihad untuk keluargaku. Lantas, apa yang kalian inginkan aku percaya? Hujan sebuah berkat, atau serupa kiamat.



Rebahku. Aku lebih memilih bermufakat dengan mimpi ketimbang berhadapan dengan kenyataan. Yang mungkin akan selalu bersebrangan dengan kebahagiaan. Seandainya hidup semudah memilih cabai, kupilah yang elok dan buang yang busuk. Siapa aku ini? Kau pasti paham benar, aku bukan lakon tenar dipanggung duniamu yang nampak gempita. Kau pasti paham, aku bukan saudagar pemodal besar. Dan kau pasti sangat mengerti, bahwa aku bukan Tuhan.


Pagi itu kami kembali bersua. Dilos yang sama saat aku menggelar dagangan ikan segar. Genangan hujan bercampur rob semata kaki. Gatal dan perih disekitar telapak kakiku. Sebuah dialog tanpa suara tanpa aksara, saat riuhnya pasar ikan kembali padam. “Hari ini sepi� umpatku. Mata kami sama-sama melolong kosong. Memuja lapar yang menyatukan kami.


“Umi, aku lapar seharian belum makan”. “Sabar ya nak, dagangan umi belum laku”. “Umi, katanya negara kita kaya?” “Kata siapa? negara kita kaya kalau kita mampu makan tiga kali sehari”.


Rampas, belenggu dan lenyapkan. Umpankan kami pada serigala pemodal besar dan relokasi tiada henti.


Terhimpit adalah keseharian. Tak lagi bicara ruang, tapi juga peluang.



Adakah yang lebih menyedihkan daripada mimpi-mimpi yang terbengkalai.


Obrolan kini sunyi. Dikemasi sebagai basa-basi.


Pilihannya hanya ada dua : menyingkir atau dirampas dalam kobaran api.


Terkadang hidup hanya perkara tawar menawar, seberapa rela kita membayar. Sesederhana itu.


JIKA HIDUP KAU PENUHI DENGAN KOMPETISI BAGAIMANA KAMI HIDUP?


Laku Lajak. Singkirkan geliat lajakmu. Ada aku di hamparan sampah dan tumpukan sayur yang membusuk. Senyumku mengulat, menjadi belatung yang coba tersenyum. Laku lajakmu melukaiku. Merampas buah-buahku, merontokkan sayur-sayurku. Dan kemudian, dimakah aku melawanmu? Haruskah merunduk di bawah ketiakmu, dan muntah dengan serapah membabibuta. Nyaliku tak sekejam itu.


Barisan Mata Air. Berhentilah dan lusuhkan sandalmu, kalau masih mau masuk dalam golongan laku lapa. Ada barisan mata air bergelinjang, tertawa terbahak sembari berkecipak. Tindaslah barisan itu, karena mereka hanya akan membuatmu kotor, tapi tak melemahkanmu. “Barisan mata air, sudikah engkau menjalani tapa brata, sehingga keranjangku bisa menghidupi kemanusiaan ini?�



Kesahku adalah kosong. Mataku nanar melihat pasarku meleleh. Berburu cepat dengan kata mereka. Kesahku adalah kosong, karena hanya milikku, bukan milik mereka, bukan kesadaran mereka. Kami tetap bisa bercanda, tertawa, atau bahkan sedikit mengumpat, tapi kesahku makin kosong. “Dimana kuisi kesahku dengan gembira, sehingga keluhku penuh dengan buliran bahagia.�


Keringat Adalah Penjara. Sementara geliat pasaran berkecamuk di muka, keringat tetaplah penjara. Menetes, berkecambah dengan lesu dan bertumbuh dengan kegelisahan. “Akankah keriputku akan lekang oleh lumpuhnya kesadaran bermanusia?� Jemari semakin lemas untuk meronce bunga, lengan makin lelah mengusung tenggok.


Juru Prakata : Manusia Kera Juru Tata Letak : Subali dan Sugriwo Juru Potret : Subali dan Sugriwo

Juru Tulis : Djoko Moernantyo Mazmur Prasetya Aji Subali dan Sugriwo Juru Distribusi : Kaum Kera Info Shop kaumkera.infoshop@gmail.com

Tempat Pengambilan Potret : Pasar Sayung, Pasar Buyaran, Demak Pasar Bulu, Pasar Jatisari, Pasar Gayamsari, Semarang Informasi Lebih Lanjut : tirakatzine@gmail.com


M

odernitas kapitalistik menjadikan angka sebagai acuan parameter dalam banyak hal. Manusia berusaha mengidentifikasi diri mereka dengan pengartian kata tersebut, modern, demi ketakutan tertinggal oleh jaman. Hari-hari yang serba ngebut dan sibuk karena roda kompetisi terus diputar bagi manusia-manusia yang haus akan pencapaian. Modal, kekayaan, bagi manusia modern sekarang, adalah pencapaian. Kamu, manusia modern, akan menilai kapasitas orang-orang lain, berdasarkan uang, berdasarkan angka. Angka yang berkaitan erat tentang menang dan kalah. Berlebih angka menjadi pemenang dan yang kurang angka menjadi pecundang. Manusia modern cenderung memaksakan skala nilai dalam menilai manusia yang lainnya. Dan itu menyedihkan, karena manusia sebenarnya tidak bahagia ketika berada dalam skala penilaian yang seperti itu.

Ngomong-ngomong saya mempunyai kenangan pribadi yang kuat tentang sesuatu yang dinamakan : pasar. Iya, pasar tempat untuk menjual dan membeli. Sesuatu yang terbentuk dari pertemuan orang-orang yang memiliki barang dan jasa dengan mereka yang membutuhkan barang dan jasa itu untuk memenuhi kebutuhannya. Hampir setiap hari Minggu pagi saya mengantarkan ibu untuk pergi ke sana. Bersedia mengantarkan, dengan imbalan setelahnya akan terhidang kolak pisang bersantan sebagai pengisi hari libur. Sebuah kenangan sederhana, seperti jaman itu sendiri, pernah sederhana. Kemudiannya, saya akan melihat ibu merebus air dan memarut kelapa untuk kemudian memerasnya menjadi santan. Semuanya dilakukan dengan berurutan, satu demi satu, sabar, penuh gembira. Ketika jaman masih sederhana, manusia bergembira dengan proses, bukan pencapaian akhir. Rasa kolak itu bukanlah menjadi masalah yang utama karena pada akhirnya berkumpul bersama sambil berinteraksi langsung pada hari libur sambil memakan kolak tersebut adalah hal yang lebih nikmat daripada mempermasalahkan rasa kolak pisang bersantan tersebut. Masa sekarang , saya sudah tidak pernah lagi mengantar ibu lagi ke pasar. Saya jarang pula lagi menyantap kolak pisang bersantan buatan ibu. Saya lebih sering membuat kolak sendiri. Selain sudah tinggal ditempat yang terpisah dengan ibu, tapi ibu memang sudah sepuh. Beliau memilih untuk memakai hal-hal yang instan ketika berkegiatan apapun. Beliau tidak pernah memarut kelapa untuk menghasilkan santan lagi, beliau lebih memilih santan yang diawetkan dalam kemasan. Masa sekarang semuanya diawetkan dalam kemasan. Bahkan air yang dulu bisa kau ambil dari sumur dan kau masak untuk diminum, sekarang terperangkap dalam kemasan yang mempunyai barcode produksi. Dalam pasar modern semuanya harus diawetkan dalam kemasan, tentu saja berdasarkan logika keuntungan ekonomis. Dalam pasar modern lagi kapitalistik, pemilik modal adalah penguasa. Apa yang tidak ada dalam pasar tradisional, akan diadakan oleh penguasa modal untuk kemudian memaksa kita mendatangi pasar bentukan mereka melalui hasutan iklan yang mereka tempelkan disetiap sudut mata kita memandang. Dan pelan-pelan, ribuan pedagang pelaku pasar tradisional, tersisihkan. Ketika menyadari tentang hal ini, ingatan saya selalu melayang kepada hidangan kolak pisang bersantan yang dibuat ibu dengan berurutan proses yang penuh dengan kesabaran sekaligus kegembiraan. Penyadaran yang berlanjut mengingat kenangan tersebut, sering kali membuat sedih.


Kita sedang menuai konsekuensi dari sesuatu yang dinamakan globalisasi dan liberasisasi ekonomi. Para pemodal yang menanamkan investasi di berbagai belahan bumi demi berebut pasar, dan kamu pada akhirnya akan menemukan pasar-pasar yang sering kamu datangi ketika mengantar ibu membeli berbagai belanjaan kebutuhan sehari-hari semasa kecil, akhirnya tutup dan hilang ditelan masa. Kamu akan menemukan tetangga sebelahmu yang sebelumnya hidup tentram menjadi pedagang pasar tradisional mulai kehilangan sumber nafkahnya dan bangkrut karena harus membayar hutang bank. Kapitalisme dan modernisme, ketika dilaksanakan bersamaan, sering kali menjadi sesuatu yang jahat. Untuk menjadi pemenang, setiap golongan cenderung menggilas, mempersetankan kemanusiaan. Ketika kamu melihat pemenang, maka kamu akan melihat korban yang juga menggelimpang. Sampai di sini, sebenarnya kita harus menyadari bahwa pasar tradisional adalah benteng terakhir yang seharusnya dipertahankan untuk melawan hal-halk tersebut. Sayangnya, pemerintah yang diharapkan menjadi fasilitator dan mengemban amanah untuk berpihak kepada rakyat kecil, rupanya tidak cukup memiliki kemampuan untuk mengantisipasi persaingan dengan pasar modern. Parahnya adanya kesan yang mungkin sudah menjadi fakta bahwa pemerintah dianggap lebih “tunduk� kepada para pemodal besar dibanding rumah tangga yang menggantung hidupnya dan keluarga dari berjualan di pasar. Ironi negara pasar bebas di mana pasar tradisional menjadi pemain kecil kesepian yang tidak berdaya, yang sedang menunggu kematian. Terpujilah para pelaku yang tetap bertekad menghidupi budaya pasar tradisional baik sebagai pembeli ataupun pedagang. Terpujilah bahwa masih ada para pelaku-pelaku tersebut yang menyadari bahwa menciptakan tempat di mana bersama-sama mereka bisa mencari penghidupan tanpa harus menggilas yang lainnya, adalah hal yang patut diperjuangkan. Berikut ini adalah sebuah photozine yang dibuat dengan semangat kolektifitas berusaha menangkap gambar-gambar dramatis di mana para pelaku-pelaku tersebut memperjuangkan apa yang mereka yakini. Memperjuangkan jaman yang pernah sederhana, memperjuangkan kemanusiaan yang penuh dengan kebersamaan dan kerja bersama. Sebuah dunia yang bukan hanya milik mutlak para pemodal besar, memperjuangkan dunia yang seharusnya bisa untuk penghidupan bersama-sama dengan secukupnya, tidak berlebihan. Akhir kata, silahkan di simak, semoga menginspirasi. Semoga bisa berjumpa di edisi selanjutnya. (Manusia Kera) Salam Tirakat Zine


TIRAKAT ZINE S E B U A H

P H O T O

Z I N E

RELUNG GUSAR DI SUDUT PASAR



TIRAKAT SEBUAH PHOTO ZINE

relung gusar di sudut pasar


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.