2 minute read

Berisiko Stunting

berapa penyebab yang sering terjadi, mulai dari kurangnya asupan makanan ibu hamil, terpapar asap rokok, mengalami infeksi dan cacingan, bahkan kekurangan gizi kronis sebelum mengandung si buah hati.

Oleh karenanya, Dinkes Kulon Progo mengupayakan pencegahan stunting dimulai dari calon pengantin yang hendak menikah. Sehingga, target percepatan penurunan stunting bisa tercapai di tahun ini. “Tahun ini (2023), targetnya (stunting) turun 12 persen,” ucapnya. Untuk mencapai target tersebut, Dinkes Kulon Progo memberikan pendampingan konseling kesehatan bagi calon pengantin. Kemudian, pemberian tablet tambah darah bagi calon pengantin, remaja, dan ibu hamil (bumil). Juga, konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA) sekaligus pemberian makanan tambahan (PMT) hamad Arif Aldian menyebut konsep wisata udara terbilang menarik dan inovatif karena dinilai sesuai dengan potensi Gunungkidul sendiri. Menurutnya, akan jadi pengalaman menarik bagi wisatawan dengan berkeliling di udara menggunakan pesawat. Namun demikian, ia menilai perlu ada kajian yang mendalam. “Terutama terkait regulasi penerbangan demi keamanan dan kenyamanannya,” kata Arif. (alx) bagi balita dan bumil yang terindikasi KEK dengan anggaran dari Kementerian Kesehatan dalam bentuk biskuit. Lalu, pemeriksaan kehamilan atau ANC (antenatal care) terpadu bagi bumil.

Advertisement

“Kami juga melakukan terapeuthic feeding centre bagi balita, pemberian obat cacing bagi anak berusia 1-12 tahun, serta melakukan skrining penyakit tuberkulosis bagi balita stunting,” ucapnya. (scp)

Kisah Pak Pong, Seniman dan Pembuat Barongsai yang Terus Bertahan

Manfaatkan Limbah Kertas Dulang Rupiah

Perajin Barongsai di Kota Yogyakarta banjir orderan saat menjelang perayaan Tahun Baru Imlek. Memanfaatkan limbah kertas, para perajin mendulang rupiah.

BERKAH ini dirasakan

Slamet Hadi Prayitno salah satu perajin barongsai asal Yogyakarta. Pria berusia 75 tahun itu terbilang masih produktif dalam membuat barongsai aneka warna.

Di usianya yang sudah tak muda lagi, bapak yang akrab disapa pak Pong ini mampu mencetak 24 kepala barongsai dalam sehari. Hasil cetakan itu masih mentah, masih berupa kepala barongsai yang pelontos, belum dicat dan perlu di- jemur terlebih dahulu.

“Saya mendalami barongsai dari tahun 1995. Awal mula kami cuma seneng. Saya tahun 2000 sudah memasarkan dan sudah jadi pemain barongsai sampai sekarang,” katanya, dijumpai di rumahnya, Selasa (17/1).

Mencari rumah Pak Pong tidaklah sulit meski lokasinya berada dalam gang. Rumah itu berada di Kampung Pajeksan, Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Warga sekitar Kampung Pajeksan sebagian besar mengenal dirinya.

Produk barongsai hasil dari tangan terampil pak pong sudah tersebar diberbagai penjuru daerah.

“Orderan luar kota banyak, ada dari Papua ada, Medan, Ponorgo ada pesen tiga, ukuran dewasa. Cuma repotnya kalau maketkan itu, kan ini barang ringkih tapi kalau keluar kota harus dibungkus khusus,” jelasnya. Ia sempat kesulitan pada saat pandemi Covid-19 mengganas dua tahun silam. Produksinya menurun drastis dan sanggarnya sepi karena tak ada pentas di luar.

Kini sejak Agustus tahun lalu perlahan usahanya mulai bangkit kembali. Seba- nyak 60 seniman tergabung di sanggar Singa Mataram mulai mengisi pentas berbagai acara. Mendekati perayaan Imlek tahun ini, produksinya juga semakin meningkat. “Pentas juga sudah ramai. Ada sepuluh tempat. Itu pun sudah menolak, karena jamnya kan pas makan malam pentasnya,” ungkapnya. Berawal dari kebiasaannya menyaksikan budaya Tionghoa di Kampung Pecinan Ketandan Yogyakarta, Pak Pong rupanya jatuh cinta dan memilih untuk menekuni kesenian Barongsai.

Pria asal Gunungkidul itu kemudian berguru kepada Abdul Wahab untuk mepro- duksi sekaligus memainkan barongsai.

Ketika baru pertama kali memproduksi, ia harus sembunyi-sembunyi sebab isu rasisme masih kuat pada era 1995. Diceritakan Pak Pong, penggunaan atribut Tionghoa pada saat pawai sempat dilarang pada masa itu.

“Pas dulu enggak berani, pawai saja harus lari. Pas zaman Gus Dur baru berani bebas. Laris manis,” kenangnya. Harga satu barongsai ukuran mini antara Rp70 hingga Rp100 ribu rupiah. “Kalau yang besar yang dewasa antara Rp5 juta hingga Rp6 juta rupiah,” jelasnya. (Miftahul Huda)

This article is from: