Menapaki Jalan Struktural Menuju Kesejahteraan Sosioekonomi Masyarakat Desa Sumberkencono
Tsabita Prameswari Jannati Az-Zahra
Universitas Gadjah Mada
Tsabita Prameswari Jannati Az-Zahra
Universitas Gadjah Mada
Desa Sumberkencono, terletak di sisi timur seberang Laut Bali, merupakan salah satu bagian dari Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Kondisi geografisnya yang memuat wilayah pertanian basah dan kering beserta garis pesisir pantai panjang membuat masyarakatnya memiliki profesi yang beraneka ragam, dengan persentase terbesar bermata pencaharian petani, buruh tani, nelayan, dan pedagang keliling (Profil Desa Sumberkencono, 2022). Beragamnya kontur situasi sosioekonomi masyarakat di Desa Sumberkencono lantas
memunculkan kebutuhan untuk memahami lebih mendalam mengenai kondisi terkini dari aspek sosial dan ekonomi mereka, tepatnya dengan berbekal pertanyaan utama: “Apa saja tantangan sosio-ekonomi yang dialami oleh masyarakat di Desa Sumberkencono?”
Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan, dapat diidentifikasi sejumlah permasalahan yang prominen dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di Desa Sumberkencono. Kertas kebijakan ini selanjutnya berupaya mengajukan sejumlah alternatif kebijakan—yang secara spesifik menarget aspek struktural—yang harapannya dapat dipertimbangkan dan ditempuh oleh pemerintah setempat, baik di tingkat desa maupun di tingkat nasional.
Ketimpangan Akses terhadap Bantuan Sosial Masyarakat
Berdasarkan hasil interpretasi atas wawancara yang telah dilakukan, empat representasi mata pencaharian di Desa Sumberkencono sama-sama menunjukkan
ketidakpuasan atas distribusi bantuan terhadap masyarakat yang disalurkan oleh pemerintah. Sebagian menyebutkan bahwa bantuan tersebut jatuh tidak tepat sasaran, juga persoalan proksimitas sosial terhadap perangkat pemerintah yang justru menjadi determinan dalam perolehan asistensi, alih-alih atas dasar kebutuhan.
Di samping ketimpangan, aspek keberadaan bantuan menjadi penting pula untuk digarisbawahi. Di bawah rezim perdagangan dunia, World Trade Organization (WTO) menganjurkan negara-negara anggotanya untuk membatasi dukungan industrial kepada masyarakat karena dianggap sebagai manifestasi kebijakan proteksionis. Dalam catatan kebijakan pemerintah Indonesia, memang terjadi pembatasan terhadap alokasi bantuan subsidi, khususnya untuk petani, yakni kebijakan pembatasan pupuk bersubsidi dari yang awalnya 70 komoditas menjadi hanya 9 komoditas saja (Perdana & Theodora, 2022).
Inkonsistensi Pelatihan dan Penyuluhan serta Tiadanya Pemandu yang Berkelanjutan dan Berkomitmen
Dua mata pencaharian utama di Desa Sumberkencono, yakni petani dan nelayan, merupakan profesi yang telah dihimpun secara organisasional melalui institusi seperti Balai Pelatihan Pertanian (BPP) dan Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP). Meskipun demikian, para pelaku pertanian dan perikanan di desa mengeluhkan kontribusi kedua organisasi di bawah pemerintah tersebut yang cenderung tidak adaptif terhadap kebutuhan anggotanya.
Tidak hanya itu, sejumlah narasumber juga menyebutkan kecenderungan pelatihan maupun penyuluhan sebagai bentuk formalitas semata. Hal tersebut menyebabkan masyarakat petani dan nelayan kesulitan untuk menyalurkan aspirasinya, juga kehilangan pemandu dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan.
Berkaca pada dua persoalan utama tersebut, penulis berargumentasi bahwa permasalahan sosioekonomi yang dialami oleh warga Desa Sumberkencono merupakan bentuk dari kekerasan struktural. Kekerasan dalam konteks ini tidak dimaknai sebagai kekerasan yang umumnya melibatkan pertarungan fisik. Akan tetapi, dengan meminjam pemikiran Galtung (1990), kekerasan struktural—yang seringkali dirujuk pula sebagai ketidakadilan sosial— merupakan kondisi ketika kesulitan tak kasat mata yang secara riil dialami oleh masyarakat yang muncul akibat distribusi kekuasaan dan sumber daya yang tidak merata.
Dengan bertumpu pada konsep tersebut, tantangan-tantangan sosioekonomi yang dialami oleh masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh inkapabilitas keterampilan semata, tetapi lebih dalam lagi, merujuk pada disfungsi struktur sosial, ekonomi, dan politik yang “mendukung” ketidakadilan untuk terus berlangsung. Sebab kekerasan struktural atau ketidakadilan sosial tersebut muncul dari elemen sistemik, perubahan yang diadvokasikan juga perlu menyasar level-level sistem, atau dalam kata lain, ranah kebijakan.
Sistem proteksi sosial merujuk pada rangkaian kebijakan dan program yang didesain untuk mereduksi dan/atau mengurangi dampak dari kemiskinan dan kerentanan yang dialami oleh masyarakat (ILO, 2023). Berbeda dengan subsidi, sistem proteksi sosial utamanya menarget seluruh populasi tanpa konsiderasi kebutuhan industrial, misalnya petani berupa pupuk, nelayan berupa jaring, dan seterusnya. Sayangnya, dalam kasus Indonesia, pembatasan terhadap subsidi berbasis mata pencaharian tidak diikuti dengan perbaikan sistem proteksi sosial; yang lantas meletakkan masyarakat pada posisi kerentanan berlapis.
Oleh karenanya, upaya memperkuat sistem proteksi sosial di Indonesia perlu menjadi prioritas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah tingkat pusat sebagai penentu kebijakan nasional. Hal ini dapat dilakukan melalui realokasi anggaran subsidi ke anggaran perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), KIS (Kartu Indonesia Sehat), dan lainnya yang utamanya berbentuk transfer kas (Patunru & Respatiadi, 2017) Hal tersebut bersesuaian pula dengan temuan Bank Dunia bahwa program-program bantuan sosial yang demikian berdampak lebih besar pada kesejahteraan masyarakat miskin karena mereka secara langsung menangani masalah pendapatan rendah, kesehatan, dan pendidikan (World Bank, 2016)
Keberadaan sistem perlindungan sosial yang kuat diharapkan dapat memberikan landasan “melambung” atas kegagalan atau kesulitan yang dihadapi di kehidupan mata pencahariannya Misalnya, dengan bantuan kas ketika gagal panen, petani tetap dapat bertahan dan mengumpulkan modal kembali untuk bercocok tanam di masa tanam selanjutnya Eksperimentasi terhadap cara bertanam juga dapat dilakukan dengan lebih leluasa, mengingat petani selalu memiliki cadangan kas ketika hal yang tidak diinginkan terjadi.
kat dari komplain terhadap inefektivitas badan pelatihan pemerintah, ditemukan pelatihan yang ada belum menyertakan teladan atau best practices (contoh-contoh aik) sebagai acuan bagi masyarakat untuk asi mengembangkan usahanya Dalam pan bertani, berlayar, maupun berdagang, akat utamanya memanfaatkan ahuan sendiri yang didapatkan dalam nannya berusaha Hal tersebut babkan tantangan berupa kemandekan menemui persoalan-persoalan yang pelik n membutuhkan teknologi serta mpilan yang spesifik.
n membentuk ekosistem pengetahuan yang silitasi adaptasi dan inovasi pengembangan masyarakat dapat mengakses informasi u, mengidentifikasi peluang, dan mbangkan strategi untuk meningkatkan mereka. Selain itu, ekosistem ini juga dapat i platform mengatasi tantangan yang pi serta membangun kapasitas Dalam em ini, kolaborasi antara akademisi, , pemerintah, dan masyarakat menjadi untuk mengumpulkan, berbagi, dan mengaplikasikan pengetahuan secara efektif.
Bentuk Ekosistem Pengetahuan bagi Adaptasi dan Inovasi Pengembangan Usaha MasyarakatProfil Desa Sumberkencono (2022). Desa Sumberkencono Galtung, J. (1990). Cultural Violence. Journal of Peace Research, 27(3), pp. 291–305.
International Labour Organization (ILO). (2023). Social protection. International Labour Organization. https://www.ilo.org/100/en
Patunru, A. A., & Respatiadi, H. (2017). Protecting the Farmers: Improving the Quality of Social Protection Schemes for Agricultural Workers in Indonesia. Policy Paper of Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Vol. 9. https://doi.org/10.35497/270482
Perdana, A. P., & Thedoora, A. (2022, July 15). Pupuk Bersubsidi Dibatasi Hanya untuk Urea dan NPK. kompas.id.
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/07/15/pembatasan-pupuk-bersubsidi-agarpenyaluran-fokus
World Bank (2016). Indonesia’s Rising Divide. https://doi.org/10.1596/24765
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Diberi kesempatan untuk berdinamika bersama dengan masyarakat Sumberkencono selama 50 hari merupakan sebuah kehormatan yang besar untuk saya. Terima kasih yang sebesarbesarnya kepada seluruh warga yang telah menyambut dan mendampingi kami dengan hangat selama hari-hari kami berada di sini. Terima kasih pula kepada perangkat desa yang suportif terhadap riset kami, juga pada Poktan S.A.E, Poktan Sumber Lampit, nelayan rumput laut, nelayan budidaya ikan lele, dan pedagang keliling yang telah berkenan untuk berbagi cerita, keresahan, dan aspirasinya kepada kami. Terima kasih yang setulus-tulusnya pula kepada teman-teman KKN-PPM UGM Bahari Wongsorejo yang senantiasa, tak ada hentinya, saling mendukung program masing-masing. Semoga kertas kebijakan ini dapat bermanfaat untuk menginspirasi pembacanya, lebih-lebih menjadi pemantik perubahan bagi kesejahteraan sosioekonomi masyarakat di Desa Sumberkencono.