1 Ada saat-saat ketika sihir benar-benar menyebalkan. Tentu saja, menakjubkan rasanya ketika kau menggunakannya untuk mengubah warna rambut, terbang, atau mengubah hari menjadi malam. Tapi pada umumnya, sihir cenderung berakhir dalam ledakan, atau air mata, atau dengan dirimu telentang entah di mana, sambil merasa bagaikan ada kurcaci kecil yang menambang berlian di dalam kepalamu. Baiklah, mungkin bagian yang terakhir itu hanya menimpaku.
77
Kerugian bepergian dengan Itineris—semacam portal sihir yang bisa membawamu dari satu tempat ke tempat lain—adalah betapa menyakitkannya alat transportasi itu untuk tubuhmu. Setiap perjalanan yang pernah kutempuh dengan Itineris membuatku merasa bagaikan di balik dari dalam keluar; tapi kali ini sangat buruk. Aku benar-benar gemetar. Tentu saja, itu mungkin berasal dari adrenalin. Aku merasa seakan-akan jantungku mencoba melontarkan dirinya keluar dari dadaku. Kutarik napas dalam-dalam dan kucoba tenangkan denyut nadiku yang menggelora. Baiklah. Itineris menurunkanku... yah, di suatu tempat. Aku belum tahu di mana, sebagian besar karena aku merasa belum sanggup membuka mata. Di mana pun itu, suasananya sepi dan panas. Aku merabakan tangan ke tanah di bawahku. Rumput. Beberapa butir batu. Beberapa ranting. Aku menarik napas dengan gemetar dan mencoba mengangkat kepala. Tapi, gagasan mencoba bergerak membuat setiap ujung saraf yang kumiliki bersungutsungut, Huh, enak saja. Sambil mengerang, aku menggeretakkan geraham dan memutuskan sekarang waktu yang baik untuk memeriksa keadaan. 8
Sampai pagi ini, aku masih demon dan memiliki sihir yang sangat dahsyat. Berkat mantra pengikat, sihir itu raib. Yah, bukan benar-benar lenyap; aku masih bisa merasakannya menggeletar di dalam diriku bagaikan kupu-kupu di bawah gelas. Tapi aku tidak bisa mengakses kekuatanku, jadi itu sama saja dengan hilang. Yang juga hilang? Sahabatku, Jenna. Dan ayahku. Dan Archer, cowok yang kucintai. Dan Cal, tunanganku. (Ya, kehidupan asmaraku memang rumit.) Untuk sedetik, nyeri di kepalaku tidak ada apaapanya dibandingkan dengan nyeri yang kurasakan di dada saat memikirkan mereka berempat. Sejujurnya, aku tidak yakin siapa yang harus lebih dikhawatirkan. Jenna si vampir, yang artinya dia bisa mengurus dirinya sendiri, tapi aku menemukan kalung batu darahnya remuk di lantai Thorne Abbey. Tugas utama batu darah yaitu melindungi Jenna dari semua efek samping kevampirannya. Jika batu itu diambil darinya pada siang hari, matahari akan menewaskannya. Lalu Dad. Dia dijatuhi Pemunahan, yang berarti Dad bahkan lebih tak berdaya dibandingkan aku sekarang. Setidaknya aku masih punya sihir, walaupun tak berguna. Kekuatan Dad sudah sirna selamanya. Kali terakhir aku melihatnya, dia tergeletak di dalam sebuah sel, pucat dan tak sadarkan diri, diselimuti tato-tato ungu 9
akibat proses Pemunahan. Archer berada di sampingnya, dan sepengetahuanku, mereka berdua masih terkurung di dalam sel ketika Thorne Abbey diserang. Mereka masih terjebak di sana ketika Dewan menggunakan Daisy, demon lain, untuk membumihanguskan Thorne Abbey. Cal masuk ke dalam mansion berkobar itu untuk menyelamatkan mereka, tapi tidak sebelum menyuruhku menggunakan Itineris untuk mencari ibuku yang, entah mengapa, berada bersama Aislinn Brannick, pemimpin sekelompok pemburu monster. Karena keluarga Brannick menganggapku salah satu dari monster-monster itu, aku tidak habis pikir mengapa Mom bisa sampai bersama mereka. Itulah sebabnya aku berakhir dengan tergeletak, masih sambil mencengkeram pedang milik Archer, kepalaku sakit bukan main. Barangkali aku bisa berbaring di sini saja dan menunggu Mom menemukanku. Enak betul kalau bisa begitu. Aku mendesah saat angin mengakibatkan dedaunan menggerisik di atas. Ya, itu rencana yang mantap. Berbaring saja di tanah dan menunggu sampai seseorang mendatangiku. Cahaya terang mendadak menyoroti pelupuk mataku yang terpejam, dan aku meringis, mengangkat tanganku untuk menghalau siapa pun itu. Saat membuka mata, 10
sejujurnya aku berharap melihat salah satu dari keluarga Brannick berdiri di sana, mungkin sambil membawa obor atau senter. Aku tidak menyangka akan melihat hantu. Tepatnya hantu Elodie Parris, berdiri di samping kakiku, membelalakiku, lengannya terlipat. Dia berpendar begitu terangnya sampai-sampai aku menyipitkan mata sambil duduk. Elodie terbunuh oleh nenek buyutku nyaris setahun yang lalu (ceritanya panjang), dan berkat kami berbagi sihir sebelum dia meninggal, hantunya kini terikat padaku. “Oh, wow,” aku menguak. “Baru saja aku berbaring di sini sambil berpikir tidak mungkin malam ini bisa jadi semakin buruk, ternyata jadi kenyataan. Huh.” Elodie memutar bola matanya, dan hanya sedetik kurasa dia berpendar sedikit lebih terang. Dia menggerakkan mulutnya, tapi tidak keluar suara. Salah satu kerugian jadi hantu—dia tidak bisa bicara. Dari air mukanya dan sedikit keahlian membaca bibirku, menurutku mungkin itu patut disyukuri. “Oke, oke,” kataku. “Sekarang bukan saatnya menggerutu.” Dengan menggunakan pedang Archer sebagai penyangga, aku berhasil berdiri. Tak ada rembulan,
11
tapi berkat pendaran Elodie, aku bisa melihat... yah, pepohonan. Banyak sekali pepohonan. “Kau tahu di mana kita?” tanyaku. Elodie mengedikkan pundak dan mulutnya membentuk kata “hutan”. “Begitu, ya?” Baiklah, jadi urusan “bukan saatnya menggerutu” tadi tidak membuahkan awal yang baik. Aku menghela napas dan memandang berkeliling. “Sekarang masih malam, jadi kita pasti berada dalam zona waktu yang sama. Itu artinya tidak mungkin kita pergi terlalu jauh. Tapi di sini panas. Seperti... jauh lebih panas dibandingkan di Thorne.” Mulut Elodie bergerak, dan setelah beberapa kali mencoba barulah aku bisa mengartikan apa yang dia katakan. Akhirnya, aku tahu apa katanya: “Ke mana kau mencoba pergi?” “Ke keluarga Brannick,” kataku. Mendengar itu, mata Elodie melebar, dan bibirnya mulai bergerak-gerak dengan cepat lagi, tidak diragukan lagi mengatakan betapa aku ini tidak ketulungan idiotnya. “Aku tahu,” kataku, sambil mengacungkan tangan untuk menghentikan racauan heningnya. “Pemburu monster Irlandia, mungkin bukan rencana paling baik. Tapi kata Cal, ibuku bersama mereka. Dan tidak,” 12
kataku, sementara mulut hantunya terbuka lagi, “aku tidak tahu kenapa. Yang kutahu pasti rupanya Itineris itu menyebalkan, karena satu-satunya cewek berambut merah mengerikan yang kulihat di sekitar sini hanyalah kau.” Sambil mendesah, aku menggosokkan tanganku yang bebas ke atas mata. “Jadi sekarang kita tinggal—” Sebuah lolongan membelah udara. Aku menelan ludah, dan jari-jariku mencengkeram gagang pedang. “Sekarang, kita tinggal berharap bahwa apa pun itu, tidak sedang menuju ke sini,” aku menuntaskan dengan lemah. Terdengar lolongan lagi, kali ini lebih dekat. Di kejauhan, bisa kudengar sesuatu menerabas semaksemak. Sedetik terpikir olehku untuk melarikan diri, tapi lututku rasanya bagaikan karet sehingga berdiri saja sudah merupakan tantangan. Tidak mungkin aku bisa mengalahkan kecepatan werewolf, yang berarti aku harus bertahan dan melawan. Atau, kau tahulah, bertahan dan dianiaya. “Luar biasa,” gerutuku, sambil mengangkat pedang, otot-otot di pundakku mengerang. Aku merasakan kekuatan berpusar di relung perutku, dan mendadak teror melandaku. Aku manusia normal, kuperingatkan diriku. Hanya gadis tujuh belas tahun biasa, hendak berhadapan dengan werewolf tanpa apa-apa selain... 13
Baiklah, yah, aku punya pedang besar dan hantu. Itu pasti ada gunanya. Aku melirik Elodie. Dia sedang menatap ke pepohonan, air mukanya agak bosan. “Eh, hei,” kataku. “Ada werewolf menuju ke sini. Apa kau sama sekali tidak merasa khawatir?” Elodie menyeringai kepadaku dan melambaikan tangan ke arah tubuhnya yang berpendar. Aku membaca bibirnya: “Sudah mati.” “Begitu. Tapi kalau aku mati juga, kau dan aku tidak bakalan jadi sahabat seumur mati.” Elodie memberikan tatapan yang mengatakan bahwa tidak ada risiko itu terjadi. Suara-suara semakin nyaring, dan aku mengangkat pedang lebih tinggi lagi. Kemudian, sambil menggeram, sesuatu yang besar dan berbulu menerjang menembus pepohonan. Aku terpekik pelan, dan bahkan Elodie juga melompat mundur. Eh, melayang mundur. Sesaat, kami bertiga membeku. Aku memegang pedang seperti pemukul bisbol, Elodie melayang beberapa senti di atas permukaan tanah, werewolf itu merunduk di depan kami. Aku sama sekali tidak tahu apakah itu werewolf laki-laki atau perempuan, tapi menurutku dia
14
masih muda. Buih putih menetes-netes dari moncongnya. Werewolf memang punya kebiasaan menitikkan air liur. Dia merendahkan kepalanya, dan aku mencengkeram pedang lebih erat lagi, menanti makhluk itu meloncat. Tapi bukannya menerjang untuk merobek leherku, werewolf itu mengeluarkan dengkingan pelan, nyaris terdengar seakan-akan sedang menangis. Aku menatap matanya, yang sialnya sangat manusiawi. Ya, tidak salah lagi air mata. Dan ketakutan. Amat sangat ketakutan. Makhluk itu terengah-engah, dan aku punya firasat dia sudah lama berlari. Tiba-tiba terpikir olehku mungkin Itineris tidak semenyebalkan yang kusangka. Ada yang membuat werewolf ini ketakutan, dan hanya sedikit yang terpikir olehku yang bisa melakukan itu. Pemburu Prodigium dari Irlandia yang mengerikan? Nama itu bertakhta di puncak daftar tersebut. “Elodie—� aku mulai berkata, tapi sebelum aku mengucapkan apa-apa lagi, dia telah menghilang. Si werewolf dan aku tenggelam dalam kegelapan. Aku memaki, dan werewolf itu menggeramkan sesuatu yang kedengarannya mirip kata yang sama. Selama beberapa saat, cukup lama untuk membuatku menyangka bahwa aku mungkin keliru, hutan hening dan diam. Lalu, semuanya meledak sekaligus. *
15