7 minute read

Memerdekakan Pendidikan di Usia 62 Tahun

Opini

Memerdekakan Pendidikan di Usia 62 Tahun

Advertisement

oleh Sismono La Ode

y

Gegapg e m b i t a 17 Agus t us menorehkan tanya: Benarkah bangsa

ini telah merdeka? Merenungkan arti 17 Agustus dan arti ulang tatiun ke-62 n e g a ra k 11a mendorong kita

semua untuk

m e n e i u s u r i perjalanan bangsa

kita selama In! dan

m e n c 0 b a memandang hari depannya. Kita sudah menyaksikan bahwa dari umur Rl yang 62 tahun ini, 20 tahun (antara 45 - 65) negara kita ada di bawah pimpinan pejuang besar untuk kemerdekaan, yaitu Bung Karno. Selebihnya, selama 32 tahun, negara kita dikangkangi oleh Suharto dan konco-konconya. Setelah itu, kurang lebih 9 tahun di bawah kepemimpinan, secara berturut-turut, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan terakhirSusilo BambangYudoyono (SBY). Sekarang kita bisa mengatakan - dengan tegas dan iantang - bahwa apa yang dibangun dengan susah payah oleh Bung Kamo selama 20 tahun (bahkan lebih dari 40 tahun kaiau dihitung sejak masa mudanya) sudah dirusak sama sekaii oleh Orde Barunya Suharto dkk. Nat/on building and character building yang merupakan usaha utama Bung Karno dan Bung Hatta sebelum dan

sesudah kemerdekaan teiah hancur berantakan akibat berkuasanya rezim militer Orde Baru selama 32 tahun. Oleh karena itu, sekarang bisa kita lihat dengan jelas -- dari bukti-bukti yang menyedihkan serta akibat-akibat serba negatif yang dapat kita saksikan bersama dewasa ini -bahwa rezim millteristik Suharto (beserta para simpatisan atau pendukungnya) adalah perusak besar cita-cita para perintis kemerdekaan bersama Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan beberapa pahlawan lainnya. Masyarakat adil dan makmur yang di zaman Bung Kamo kerap disebut-sebut, sekarang kelihatan makin jauh. Cita-cita yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 perihal pendidikan dan kesejahteraan pun dibuat luiuh iantak, setidaknya usaha melindungi segenap bangsa Indonesia dan seiuruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. seakan-akan tak mampu mengetuk hati seliap pengambil kebijakan. Mereka malah asyik dengan sti te korupsi, koiusi, dan nepotisme. Presiden SBY sendiri mengakui bahwa sekitar 2005, sedikltnya ada 35juta orang Indones a yang h'dup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan melanda rakyat di 199 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal (Media Indonesia, 15 Juii 2005). Data tersebut akan lebih mengagetkan perihal keterpurukan bangsa in! jika dimasukkan persentase jumlah anak yang putus sekolah

akibat faktor kemiskinan. Berkaitan dengan peringatan 62 tahun Kemerdekaan Ri 2007, seiuruh komponen bangsa hendaknya menjadikan momentum tersebut untuk menilai hasii kerja selama ini, sekaiigus meiakukan koreksi dan penyempurnaan terhadap aktivitas pendidikan bangsa ini. Berkaitan dengan hai itu, upaya revitaiisasi pendidikan untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita Prokiamasi Kemerdekaan menjadi faktor penting. Di tengah upaya menanggulangi tantangan dan hambatan, seiuruh komponen bangsa hams sadar bahwa pendidikan yang berkuaiitas mempakan penentu keberhasilan meraih cita-cita bangsa Indonesia. Dalam mengamati perjalanan bangsa, kita melihat bahwa selama 62 tahun ini negara kita sudah pemah dipimpin oleh enam presiden, yaitu Bung Karno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan (sekarang) SBY. Dari deretan nama tersebut, tampak jelas bahwa soai pendidikan belum menjadi kompas bagi kebijakan-kebijakan lainnya. Akibatnya, di tengah kegembiraan datangnya usia 62 tahun ini kita masih saja dikagetkan dengan laporan Human Developmentlndex (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2005, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Philipines, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapore yang sesama negara ASEAN. Vietnam berada di umtan ke-108, Philipines umtan ke-84, Thailand urutan ke-73, Malaysia urutan ke-61, Bmnei Damssaiam umtan ke-33, dan Singapore umtan ke-25. Data HDi itu diukurdari indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks perekonomian. Artinya, faktor pendidikan menjadi faktor penting yang menentukan HDi Indonesia. Saiah satu data yang dipakai UNDP di antaranya adalah data pendidikan di Indonesia yang memang kalau dicermati sangat memprihatinkan. MIsalnya, data tentang angka putus sekolah yang mencapai 1.122.742 anak dan angka buta aksara di Indonesia yang mencapai 15.414.211 orang (Depdiknas, 2005). Di sisi lain, di tahun yang sama, Departemen Pendidikan Nasional Rl juga mencatat bahwa mayoritas penduduk usia 15 tahun ke atas masih berpendidikan SD ke bawah (58,6%), putus sekolah SD 2,94% (767.835 siswa). SD msak berat 24,27%, rusak ringan 32,92%, dan balk 42,82%. Pada jenjang SMP 41,5% penduduk bemsia 15 tahun ke atas berpendidikan SMP, putus sekolah 2,8% (277.112 siswa), SMP msak berat 4,28%, msak ringan 9,94%, dan baik 85,78%. Sementara itu, pada jenjang sekolah menengah, tingkat pendidikan angkatan kerja yang berpendidikan SMA dan SMK hanya 17,41 %, putus sekolah

SMA3,64% (298.180 siswa). Persoalan pendidikan memang tidak hanya menyangkut data-data kuantitatif seperti di atas, tetapi halhal lain yang bersifat kualitatif masih juga menjadi 'PR' besar untuk terns dllakukan perbalkan, di antaranya persoalan relevansi (kurikulum), kuailtas pendidik, moralitas pendidik dan peserta didik, desentraiisasi pendidikan, rendahnya kcmitmen anak bangsa, serta alat ukur pendidikan di setiap jenjang pendidikan, teriebih persoalan anggaran pendidikan yang relatif sedikit, sekitar

18%dariAPBN2006/2007. Hal di atas terjadi karena semenjak kita merdeka sampal era reformasi ini, bangsa ini memang tidak memiliki political will yang baik daiam dunia pendidikan. Padahal, . negara-negara industri yang kaya dan makmur yang ada saat ini secara historis daiam perkembangannya selalu memiliki political will yang kuat daiam membangun bidang pendidikan. Jepang, Korea Selatan, dan India adaiah contoh negara-negara yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan.

Merdeka adaiah sebuah kata sifat bemuansa imperatif yang menuntut proses kerja dan aksi yang tiada henti. Karena itu puia, kemerdekaan dengan sendirinya

akan bersifat relatif dan seialu terbuka untuk diukur sesuai dengan konteks sosial politik berikut nilai-niiai yang terkandung di daiamnya. Ailinya, biia 62tahun siiam secara formal kita memprokiamasikan kemerdekaan kita dari penjajahan (fisik) (oleh Belanda/Jepang), pada saat ini

makna kemerdekaan hams diiihat di daiam konteks keberadaan kedauiatan dari rakyat dan bangsa-di daiam • segenap aspekdan sistem kehidupan bernegara. Pada titimangsa inilah kemerdekaan bangsa hams kita terjemahkan daiam format pembentukan kedauiatan ekonomi, demokratisasi, serta kebebasan selumh rakyat Indonesia dari segala bentuk belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbeiakangan. Indikatorindikator ekonomi dan soslai inilah yang menentukan makna dan tingkat pencapaian kemerdekaan kita dari hari ini hingga masa depan. Sekaligus, juga indikator tersebutlah yang menandai adanya kemerdekaan, baik di tingkatindividuai, kelompokmasyarakat, maupun bangsa. Artinya, semakin daiam dan merata kemiskinan merambah kehidupan rakyat kita, semakin jauh ketertinggaian mereka terhadap akses (pendidikan, kesehatan, dan iapangan kerja) yang dapat memajukan perkembangan hidup mereka, semakin jauh puia makna dan cita-cita kemerdekaan dari kehidupan keseharian rakyat kita. Mengisi makna Proklamasi Kemerdekaan berarti sama dengan meretas belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbeiakangan atas kehidupan rakyat

kita.

Meiihat kecendemngan tersebut, pada usia 62 tahun ini hendakiah bangsa ini melakukan flash back terhadap sejarah bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia. Ada satu fenomena yang sama di antara mereka, yaitu sangat baik dan kuatnya pembangunan sektor pendidikan. Dengan pendidikan yang baik, mereka mampu menyedlakan tenaga kerja yang terampil dan profesionai.

Opini

pengusaha yang memiliki jiwa entrepreneurship, bukan pengusaha yang hanya mampu bertindaksebagai pedagang dan makelar yang hanya suka mencari keuntungan abnormal (supemormai profit) daiam jangka pendek. Dengan pendidikan yang baik mereka akhimya juga mampu mempersiapkan pemimpin yang bijak, andai, bisa bicara, dan juga bisa bekerja untuk kejayaan bangsanya; tidak sekedar bicara dan tidak ada kinerja yang bermanfaat bagi kemakmuran bangsa dan rakyatnya; atau bahkan bicara saja tidak bisa, apa iagi berkinerja demi kemakmuran, harga diri, dan martabat bangsanya. Sebut saja negara-negara maju dan berkembang iainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Singapura, bahkan Malaysia. Mereka menempatkan pendidikan sebagai fondasi pembangun ekonomi, politik. keamanan, sosial, dan budaya. Mantan Presiden Amerika Serikat, George Bush, menggambarkan betapa pentingnya pendidikan bagi negara adidaya tersebut ke daiam sebuah ungkapan yang sangat lugas: "As a nation, we now invest more in education than in defense". Bahkan, sampai pada kepemimpinan anaknya, George W. Bush, sekarang ini, terbukti pendidikan di Amerika Serikat masih tetap diberdayakan pada prioritas yang amat tinggi. Presiden kontroversial George W. Bush pada 2002 berani mengalokasikan dana sebesar US $ 44,5 milyar untuk programnya yang amat spesifik dan penuh muatan kebljakan keadiian daiam bidang pendidikan. Program itu kemudian diberinya titei yang sangat menjanjikan bagi negara dan bangsanya: No Child Left Behind. Secara garis besar program reformasi pendidikan model 7\fo Child Left Behind memiliki skenario yang berorientasi pada persoaian-persoalan global yang dihadapi AS, (teriepas dari persoalan ideologi, pen.), ternyata Bush yunior mengajak semua unsur yang teriibat daiam kebljakan dan praksis pendidikan di tingkat federal, negara bagian, dan distrik untuk menggunakan standar, peniiaian, akuntabilitas, fieksibiiitas, dan berbagai bentuk pilihan daiam setiap upaya untuk meningkatkan kuaiitas pendidikan bagi semua anak

Amerika.

Sedikltnya, terdapat dua aiasan utama untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi masa depan. Pertama, pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat terciptanya peradaban. Dengan muitifungsinya, seperti sosiai-kemanusiaan, politik, budaya, keamanan, bahkan pendidikan itu sendiri, sumber daya manusia yang berpendidikan otomatis menjadi modal utama pembangunan nasionai dan pemberdayaan masyarakat dengan nilai-niiai yang berwatak kemanusiaan. Kedua, pendidikan adaiah instrumen bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan pendidikan masyarakat muiai memahami pentingnya kemerdekaan hidup, yang nantinya, menginspirasikan untuk terus menggerakkan perkembangan dan pertumbuhan ekonominya menuju kemerdekaan yang seutuhnya.

Sismono La Ode, alumnus Sastra Indonesia UNY; penulis buku 'Di Belantara Pendidikan Bermorai: Biografi Pemikiran dan Kepemimpinan Prof. Suyanto, Ph.D.'

This article is from: