IKLAN LAYANAN INI DIPERSEMBAHKAN OLEH PEWARA DINAMIKA
P E WA R A D I N A M I K A / J U N I 2 0 1 8
T R A N S F O R M AT I F D A N PA R T I S I PAT I F
Pena Redaksi
JUNI 2010
Laporan utama Pewara Dinamaika delapan tahun lalu membahas tema local genius dalam rangkaian Dies Natalis UNY. Ada tiga momen. Pertama, pameran batik, kedua, dalang cilik, dan ketiga munas dan konferensi internasional Ikatan Dosen Bahasa Daerah Indonesia (Ikabudi). Kesemuanya itu adalah bentuk nyata UNY dalam mengaplikasikan kearifan lokal.
SALAM HANGAT, para pembaca yang budiman. Berawal dari ditekennya Keputusan Presiden tahun 2016, tanggal lahir Pancasila kini sudah resmi dicetak di kalender-kalender seIndonesia. Warnanya merah, legal jadi alasan untuk meliburkan berbagai instansi kepemerintahan dalam satu hari itu untuk merayakan hari jadi dasar negara. Namun, dalam edisi Juni ini, Pewara Dinamika bukan akan membahas Kepres No 24 Tahun 2016 tersebut, melainkan bagaimana Pancasila menjadi landasan krusial dalam menderadikalisasi kampus dari paham-paham meresahkan yang ditengarai tengah merongrong institusi-institusi pendidikan.
sama sekali lain oleh oknumoknum tidak bertanggung jawab. Mereka dibisiki pahampaham radikal yang menyaru lewat kegiatan ekstra kampus, organisasi mahasiswa, bahkan grup-grup media sosial. Dengan begitu, benarlah pula ucapan Muhammad Abdullah Darraz, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, bahwasanya penetrasi kelompok radikal saat ini sangat masif di berbagai lini kehidupan, dengan penetrasi di dunia pendidikan yang paling berhasil.
Mei lalu Indonesia diguncang oleh serangkaian aksi terorisme di berbagai daerah. Yang lebih mencengangkan lagi, oknum yang terlibat di dalamnya merupakan mahasiswa. Mahasiswa, yang dalam genggamannya telah dipasrahkan amanat memperbaiki bangsa, justru sekarang disetir ke arah yang
Universitas Negeri Yogyakarta sebagai salah satu motor penggerak pendidikan negeri meluncurkan berbagai upaya guna menggunting penyusupan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengasah ideologi Pancasila di kampuskampus, mengibarkan bendera pengaruh Pancasila dalam Festival Pancasila, serta
menjaga religiositas civitas akademika dalam koridor yang sesuai landasan negara dengan Nusantara Mengaji. Pancasila dirayakan bukan sekadar selebrasi belaka, melainkan sebab ia memiliki pengaruh begitu masif dalam menentukan arah gerak negara sekaligus tatanan kehidupan bermasyarakatnya. Negara tanpa dasar akan kehilangan pegangannya. Ia akan menjadi lemah. Mahasiswa sebagai agen perubahan serta iron stock masa depan merupakan tumpuan yang haram disesatkan.
Miris, di saat dunia pendidikan, termasuk universitas, diharapkan menjadi rahim pemikiran mutakhir malah disusupi paham yang tujuannya merontokkan negara.
Selain tema besar, seperti biasa, kami juga menampilkan berita dari tiap fakultas dan lembaga di bawah payung UNY. Rubrik lain seperti Opini, Bina Rohani, Resensi, Cerpen, Puisi, maupun Pojok Gelitik disajikan sebagai selingan variasi keilmuan sebagai ekspresi intelektual maupun artistik yang tidak kalah menarik untuk dibaca. Akhir kata, selamat menikmati sajian dari dapur redaksi Pewara Dinamika. Tabik. ď Ž
SUSUNAN REDAKSI PENERBIT Universitas Negeri Yogyakarta IJIN TERBIT SK Rektor No. 321 Tahun 1999 ISSN 1693-1467 PENASEHAT Sutrisna Wibawa (Rektor UNY) PENGARAH Margana (Wakil Rektor I)
Edi Purwanta (Wakil Rektor II) Sumaryanto (Wakil Rektor III) Senam (Wakil Rektor IV) Setyo Budi Takarina (Kepala Biro UPK) Sukirdjo (Kepala Biro AKI)
PEMIMPIN REDAKSI Sismono La Ode
PIMPINAN UMUM Anwar Efendi
REDAKTUR PELAKSANA Budi Mulyono
PEMIMPIN PERUSAHAAN Riska
REDAKTUR ARTISTIK Kalam Jauhari
unyofficial
REDAKTUR SENIOR Basikin, Else Liliani, Lina Nur Hidayati, Sigit Sanyata SEKRETARIS REDAKSI Nunggal Seralati
@pewara_uny l @unyofficial
3
Satya Perdana (FIK) Haryo Aji Pambudi (FT) Pramushinta Putri D (PPS) Muhammad Fadli (FE) Dwi Budiyanto (FBS) Binar Winantaka (LPPMP) Agus Irfanto (LPPM) Tusti Handayani (Kampus Wates)
REDAKTUR Rony K. Pratama Ilham Dary Athallah Ratna Ekawati Dedi Herdito Khairani Faizah Febi Puspitasari FOTOGRAFI M Arif Budiman, Prasetyo Maulana, Heri Purwanto REPORTER Anton Suyadi (FIP) Witono Nugroho (FMIPA) Nur Laily Tri Wulansari (FIS) @unyofficial
ALAMAT REDAKSI Jl. Colombo No. 1 Kampus Karangmalang Universitas Negeri Yogyakarta 55281 Telp/Fax 0274 542185 E-mail: pewaradinamika@uny.ac.id Laman: www.uny.ac.id.
unyofficial
Daftarisi
WAWANCARA KHUSUS
Momentum untuk terus mewujudkan keunggulan budaya UNY dalam IPTEK, Seni, Olahraga, hingga Pendidikan Karakter. » 28-30
ARIF / HUMAS UNY
Kampus sebagai pabrik pemikiran tidak lagi aman. Ia diserang oleh radikalisasi yang mengancam mahasiswa.
UNIVERSITAS LAIKNYA JADI RUMAH BELAJAR tahap lanjut selepas bangku sekolah menengah. Ironisnya, universitas, yang seharusnya subur pemikiran mutakhir dari calon penggerak negeri, justru malah dialihfungsikan sebagai rahim teror oleh oknum tidak bertanggung jawab. Banyak cara ditempuh untuk membawa mahasiswa menyeberang dari ideologi normatif yang ada di masyarakat. Dimulai dari menyusupi kajian keagamaan di kampus, organisasi mahasiswa, unit kegiatan kampus, sampai grup-grup media sosial 4 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
yang jamak diikuti dengan tajuk membawa kebaikan. Tanpa sadar, mahasiswa justru dibisiki paham radikal. Mereka dituntun, pelan-pelan dibawa menantang arus, hingga lambat laun menanamkan pikiran bahwa yang didapat dari sana merupakan kebenaran; bahwa itulah yang harusnya ada dan dilaksanakan. Indonesia darurat terorisme saat pemuda-pemuda terbaiknya justru berbalik menentang Pancasila. UNY, sebagai universitas negeri, membangun tameng guna membentengi diri dan melestarikan Pancasila sebagai ideologi negara.
3
PENA REDAKSI
5
REKTOR MENYAPA Perkembangan dan Tantangan Pendidikan Tinggi
6 SURAT PEMBACA
8-32
LAPORAN UTAMA Festival Pancasila, Membangun Rumah Cinta ∫ Radikalisme Tak Sejalan dengan Nilai Tridharma
40-44
SOSOK Ghea Indrawari Idola Centil Indonesia
33-39 BERITA Wayang: Media Pendidikan Karakter ∫ The 10th Global Culture Festival (GCF) Berlangsung Meriah ∫ Nano Sains dan Nano Teknologi Membuat Nyaman Era Revolusi Industri
50
RESENSI Pesona Horor Hereditary
51 BINA ROHANI Tamu Tak Diundang
52-53 CERPEN Perang & Kegelapan
45-49
Opini Manusia Beragama dan Bernegara
54 PUISI Berebut Takhta ∫ POJOK GELITIK Mengaku Salah
Rektor Menyapa Prof. Dr. SUTRISNA WIBAWA, M.Pd. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta ¬ Guru Besar Bidang Pendidikan Bahasa Jawa dan Filsafat Jawa Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Pendikan Karakter Generasi Millennial
S
udah menjadi pengetahuan publik bahwa kini generasi muda Indonesia memasuki zaman yang penuh lompatan kebudayaan. Zaman itu dikenal dengan Zaman Millennial. Generasinya pun akrab di sapa Generasi Millennial. Suatu istilah yang diciptakan dua pakar sejarah Ameri ka, yakni William Strauss dan Neil Howe. Generasi Millennial atau Generasi Y (GenY) adalah generasi yang lahir setelah Generasi X, sekitar tahun 1980-an hingga 2000-an. Itu artinya saat ini mereka rata-rata berusia di bawah 36 tahun. Mayoritas dari mereka adalah peserta didik dari jenjang SD hingga SMA. Bahkan, diprediksi dua tahun ke depan, tahun 2020 mereka telah mencapai 50% dari total penduduk Indonesia. Mereka tumbuh di era pergantian abad yang penuh transformasi budaya dan gaya hidup. Lihat saja mereka lahir di saat TV sudah berwarna dan memakai remote, setiap saat tidak bisa lepas dari smartphone, selalu terkoneksi dengan internet kapan pun dan di manapun, eksistensinya amat ditentukan oleh follower dan like, latah dengan aneka ragam #hastag, sedikit-sedikit live,
senang membuat viral, senang berdebat di media sosial, dan sebagainya. Pertanyaaannya, bagaimana persoalan pendidikan karakter bagi Generasi Y ini? Seiring dengan proses itu, maka pendi dikan literasi media digital atau media sosial adalah hal yang tak bisa diabaikan dalam implementasi pendidikan ka rak ter. Mengapa demikian? Karena literasi media digital ataupun media sosial, tanpa mengabaikan pentingnya pendidikan literasi lainnya, memberi ruang kepada generasi millennial untuk memahami diri, kondisi lingkungan, kondisi budaya, dan tantang an yang akan dihadapi, serta bagaimana menyingkronkan elemen-elemen tersebut tanpa harus menanggalkan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penerapan nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab; yang dalam revo lusi mental disederhanakan menjadi tiga
nilai dasar, integritas, kerja keras, dan gotong royong, haruslah disesuaikan dengan ruh zaman millennial. Ia tak bisa lagi dite rapkan dalam konteks Generasi X ataupun generasi masa lalu. Bagaimanapun, teks millennial tak bisa dipisahkan dari konteksnya. Sebagai contoh sederhana, saat belajar peserta didik didisiplinkan tidak menggunakan smartphone, saat makan bersama tidak boleh ber-HP ria, mengedukasikan posting yang penting bukan yang penting posting, dan hal-hal sederhana lainnya. Jika literasi media digital ataupun media sosial sudah menjadi habitus di ling kungan pendidikan melalui program pendidikan karakter, maka pada tahun 2045 di saat usia kemerdekaan mencapai 1 abad, generasi muda Indonesia akan menjadi Generasi Millennial yang tangguh dan dapat mengolah harmonisasi kecerdasan olah pikir, olah hati, olah rasa atau karsa, dan olahraganya. Di saat itulah Generasi Millennial yang telah mencapai 100 persen jumlah penduduk Indonesia dapat membuktikan diri sebagai generasi inovatif, kreatif, dan bijak dalam menggunakan kemajuan teknologi demi Indonesia Emas. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 5
S U R AT P E M B A C A
Optimalkan Pemanfaatan Digital Library UNY sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kemauan yang kuat untuk menjadi salah satu perguruan tinggi berkualitas dunia harus bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi. Salah satunya adalah melakukan digitalisasi perpustakaan agar informasi yang tersedia di perpustakaan memiliki jangkauan yang tidak terbatas dan memiliki aksesibilitas yang tinggi oleh pengguna perpustakaan dari dosen hingga mahasiswa. Ide digitalisasi perpustakaan kini sudah terwujud dengan dibangunnya gedung digital library yang berada di sisi utara gedung perpustakaan UNY. Oleh ALFARGHANI Pembaca Pewara Dinamika
Pertanyaannya, sudahkah keberadaan digital library dimanfaatkan oleh mahasiswa, dosen, dan seluruh civitas akademika UNY? Saya merasakan bahwa keberadaan digital library belum dimanfaatkan secara optimal, khususnya oleh para mahasiswa. Pada jam-jam sibuk belajar, digital 6 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
library justru tidak terlalu ramai pengunjung. Ini terbukti bahwa pemaksimalan fasilitas belum terjadi, dan dikhawatirkan akan menjadi ketersia-siaan masif bilamana kultur ini masih terus dibiarkan. Para civitas akademika agaknya masih menyenangi perpustakaan konvensional. Hal itu terjadi salah satunya karena para mahasiswa belum tahu dan belum mengerti bagaimana mekanisme dan prosedur
penggunaan digital library tersebut. Oleh karena itu, pihak pengelola digital library perlu meningkatkan sosialisasi kepada
ARIF / HUMAS
civitas akadamika. Kegiatan sosialisasi di antara dapat dilakukan melalui dosen, dengan cara memberi penugasan kepada mahasiswa, untuk mengakses sumber dan bahan bacaan, yang ada di digital library dikaitkan dengan kegiatan perkuliahan. Harapannya, para mahasiswa dapat mengoptimakan sarana yang sudah tersedia untuk kepentingan mempercepat penyelesaian studi. Selain itu, bisa juga diadakan event khusus kunjungan ke digital library supaya civitas UNY, khususnya mahasiswa, mengalami sekaligus merasakan langsung manfaat dari perpustakaan yang telah didigitalisasi tersebut, sehingga proses penggayungan ilmu bisa terjadi dengan lebih luwes, lebih familiar, dan lebih frekuen. Semoga.
Redaksi menerima tulisan untuk rubrik Bina Rohani (panjang tulisan 500 kata), Cerpen (1000 kata), Opini (900 kata), Puisi/Geguritan/Tembang (minimal dua judul), dan Resensi Media (500 kata). Tulisan harus dilengkapi dengan identitas yang jelas, nomor yang bisa dihubungi, pasfoto (khusus Opini), serta keterangan dan sampul media (khusus Resensi Media). Tulisan dikirim melalui pewaradinamika@uny.ac.id atau langsung ke kantor Humas UNY. Bagi yang dimuat, honor dapat diambil di kantor Humas Universitas Negeri Yogyakarta.
T I P S -T I P S
PRAKASIT KHUANSUWAN
Aktivis Berprestasi, Kenapa Tidak?
Oleh IGNATIUS WILCO AR-RAZAK Aktivis Mahasiswa
M
usim mahasiswa baru mulai bergeliat. Kampus-kampus kedatangan generasi baru. Mereka terdiri atas beragam latar belakang. Keberagaman itu disatukan oleh satu identitas, yakni almamater kebanggaan. Ketika masuk ke ranah universitas, mahasiswa baru itu tak lagi mendapatkan ekosistem sama sebagaimana di sekolah menengah atas. Selain kawan baru, lingkungan dan atmosfer akademik—juga organisasi— menjadi penanda kebaruan yang akan mereka rasakan. Menjadi mahasiswa biasa-biasa saja dengan aktivitas kuliahpulang-kuliah pulang (kupukupu) juga wajar dilakukan. Namun, apakah selama belajar di bangku strata satu kita hanya fokus pada satu titik itu saja? Bukankah waktu yang diperoleh di ruang akademik masih dirasa kurang bagi mahasiswa yang “haus” akan ilmu? Jawaban retoris itu tentu bisa dijawab secara sederhana: kuliah jalan, organisasi siap, prestasi oke. Tiga poin berikut ini sekadar rambu-rambu untuk menyeimbangkan tiga elemen tersebut.
1
Bulatkan Tekad Mengikuti kuliah adalah kewajiban primer yang mesti dituntaskan karena di sana, selain didasarkan kehendak pribadi, juga memboyong pesan orang tua. Poin kuliah karena orang tua ini sangat penting. Betapapun ibu dan bapak adalah niat utama yang harus diwujudkan. Jangan sampai mengecewakan mereka, sekalipun disibukan oleh pelbagai kegiatan keorganisasian dan perlombaan eksternal. Tekad di sini, dengan demikian, harus dibulatkan terlebih dahulu. Mendaftar organisasi dan mengikuti kompetisi sangat dianjurkan, namun membahagiakan orang tua agar lulus tepat waktu (plus cumlaude) adalah fondasi utama belajar di perguruan tinggi.
2
Manajemen Waktu Hal pertama dan mendasar bagi seorang aktivis organisasi yang juga mahasiswa ialah cerdas membagi waktu seharihari. Biasanya kita lebih mudah membagi waktu dengan menyusun jadwal atau skala
prioritas kegiatan. Semisalnya, ketika kuliah berlangsung, kita harus fokus ke kuliah. Totalitas berada secara fisik dan pikiran di kelas membutuhkan tekad yang besar. Setelah kuliah, kalau ada tugas mata kuliah, bila ada waktu senggang, jangan menunda untuk mengerjakannya. Tempat seperti perpustakaan dan Pusat Kegiatam Mahasiswa (PKM) terbuka lebar sebagai tempat untuk mengerjakan kuliah. Pada intinya, jangan sampai menyiakan waktu luang, sekalipun waktu itu sedemikian singkat. Manakal sore hari tiba, jangan sungkan untuk menyisakan waktu senja di PKM bersama teman-teman organisasi. Di sana pentingnya nilai srawung (berkumpul) sebagai nilai esensial dalam organisasi. Banyak orang mengaku sebagai aktivis kampus tapi sekadar aktivis “identitas” karena hanya setor muka saat ada acara penting. Menjadi aktivis sesungguhnya harus totalitas. Dalam keadaan apa pun seorang aktivis itu mesti bahu-membahu selama proses keorganisasian. Tak gampang, memang, namun ia membutuhkan latihan periodik
dan mental tahan banting menghadapi situasi di kawah candradimuka itu.
3
Cerdas Memilih Sebagai seorang mahasiswa yang sudah dikatakan dewasa maka ia harus pintar memilih dan memilah organisasi atau prestasi mana yang hendak digeluti. Sekarang ini kita diperhadapkan oleh banyak pilihan organisasi. Akan tetapi, banyak pula yang salah “masuk” karena di awal pendaftaran tak didasarkan atas pertimbangan bakat dan minat. Memilih organisasi juga begitu. Ia wajib dipilih karena relevan dengan bakat dan minat kita. Apa bakat dan minat kita? Tentu tak gampang memutuskannya berdasarkan kecenderungan kita. Hal penting yang mesti dilakukan, karenanya, kenali terlebih dahulu visi-misi organisasi itu. Jika tak sesuai jangan sungkan untuk tegas mengatakan tidak. Banyak mahasiswa terjebak pada organisasi yang sebetulnya tak sesuai bakat dan minatnya. Dengan demikian, memilih dan memilah harus dibarengi oleh sikap tegas. Berikutnya terserah individu masing-masing. Selamat berproses. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 7
Laporan Utama
BHATARAMEDIA.COM
8 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
KALAM / PEWARA
Laporan Utama
MENANGKIS PAHAM RADIKAL DI KAMPUS
B
arangkali masih segar dalam ingatan bagaimana kerusuhan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok tertanggal 8 Mei lalu bisa meletus. Aksi yang mencoreng ketenangan masyarakat itu sibuk wira-wiri di berbagai kanal berita, baik cetak, elektronik, maupun daring. Pangkalnya berasal dari titipan makanan keluarga tahanan. Usut punya usut, kerusuhan yang lalu menyebabkan enam orang tewas, termasuk lima orang polisi, itu memiliki keterlibatan dua orang perempuan di dalamnya. Salah satunya seorang mahasiswi dari universitas negeri ternama. Aksi terorisme, apapun bentuknya, selalu berhasil meninggalkan residu buruk. Meski sudah lama berlalu, asap hitamnya masih terus mengendap dan terasa. Setelah kerusuhan di Mako Brimob Depok, tiga gereja sekaligus Markas Polrestabes di Surabaya dihantam duka. Beberapa hari berselang, Riau hampir mengalami nasib serupa. Beruntung, bom berhasil dijinakkan sebelum meledak. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di gelanggang mahasiswa FISIP Universitas Riau. Meresahkan benar betapa mahasiswa, yang mulanya digadang-gadang sebagai agent of change, dibisiki paham-paham radikal yang justru mengguncang negeri. Terorisme sudah masuk kampus. Paham radikal mulai sanggup bermanuver melewati kisi akademik guna menjaring massa. Padahal, sejatinya, kampus merupakan
pusat pergerakan, serta gudang pemikiran di mana benihbenih unggul pewaris estafet peradaban bakal digodok. Namun, potensi luar biasa kampus justru digerogoti oleh isu terorisme, mengubahnya jadi salah satu inkubator suburnya ideologi anti-Pancasila. Masifnya penetrasi kelompok radikal di dunia pendidikan membuat upaya deradikalisasi mau tak mau harus dilakukan. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus ideologi kebangsaan dijadikan ujung tombak guna memperkuat kebhinekaan. Nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman wajib ditanamkan. UNY mulai menata bata benteng sebagai jawaban dari keresahan ini dengan meluncurkan pelatihan soft skill bagi mahasiswa baru untuk menanamkan nasionalisme yang Pancasilais, juga penguatan pembelajaran Kewar ganegaraan yang bertajuk Mata Kuliah Umum bagi maha siswa. Turut aktif mengadakan program Nusantara Menga ji serta Festival Pancasila juga menjadi jurus UNY dalam berupaya mengikis paham radikal yang terus merongrong kampus. Tentunya, deradikalisasi tidak akan berjalan mulus bila tidak ada kerjasama dari seluruh civitas akademika. Baik dosen, mahasiswa, serta seluruh jajaran diharap getol mengendus sekaligus menangkis hasutan paham radikal demi menciptakan lingkungan belajar yang humanis, toleran, dan tidak berpaling dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tabik. NUNGGAL SERA
P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 9
Laporan Utama
Festival Pancasila, Membangun Rumah Cinta Guru bangsa dan pimpinan universitas sepanggung. Mereka mengorasikan Pancasila secara kreatif dan persuasif. Hampir seribu mahasiswa mamadati halaman rektorat Oleh RONY K. PRATAMA Editor BUDI MULYONO
R
atusan mahasiswa berjas biru itu melingkari tower Rektorat UNY. Mereka, sebagian besar, terdiri atas mahasiswa Bidik Misi dan Ormawa. Menghadap utara, tepat di panggung berukuran sedang, sorot mata mereka menyiratkan antusiasme karena menyaksikan orasi para petinggi perguruan tinggi se-Yogyakarta. Guru Bangsa, Ahmad Syafii Maarif, duduk diapit Sutrisna Wibawa dan Yudi Latif. Selebihnya para penggawa universitas duduk membanjar rapi. Mereka sama-sama menunggu giliran menyampaikan orasi dalam rangka Festival Pancasila pada Rabu, 6 Juni 2018. Gelayut awan yang makin menghitam kemerah-merahan tanda menjelang senja, meskipun juga di bulan ramadan, tak menyurutkan semangat cendekiawan muda UNY. Ketika mikrofon disabet salah seorang orator, sorak-sorai mahasiswa memecah halaman rektorat. Giliran Suminto A. Sayuti, budayawan sekaligus Guru Besar Bidang Sastra berorasi, tiba-tiba suasana hening. Mereka takjub dengan sebiji sajak yang dideklamasikan Suminto. “Dari Karangmalang menuju Indonesia, ngomong Pancasila, tidak harus dengan statement akademik, tetapi akan lebih indah untuk Anda semua melalui puisi,” ucap profesor kampus ungu itu. Ia mewacanakan Pancasila dengan puisinya berjudul Mari Membangun Rumah Cinta. Bagi Suminto, Pancasila serupa puisi yang ditenun pendiri bangsa. Wujud estetik penyampaian orasi itu kemudian ditekankan lewat karya sastra. Salah satu bait menegaskan, 10 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
ARIF / HUMAS
“Kitapun anak-anak khatulistiwa, mari kita bangun rumah cinta, dengan pintu dan jendela terbuka.” Penggalan sajak ini mengamsalkan Indonesia sebagai garis imajiner berupa khatulistiwa yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
SUYANTO, Ph.D. KETIKA MEMBERIKAN SAMBUTAN DALAM FESTIVAL PANCASILA 2018
Di bawah khatulistiwa, beragam suku menginduk pada satu identitas
Pancasila serupa puisi yang ditenun pendiri bangsa. Wujud estetik penyampaian orasi itu kemudian ditekankan lewat karya sastra.
nasional yang menamai dirinya sebagai Indonesia. Diksi “pintu” dan “jendela” yang terbuka di sana memberi makna betapa Pancasila merangkul tiap golongan dengan keterbukaan seluas-luasnya. Suminto mafhum, puisinya itu, secara tersirat dapat ditafsirkan sebagai keterbukaan dan kebermaknaan Pancasila. Ia juga mengejawantahkan sila pertama seperti berikut. “Dengan atap rumbia patahan mega, dengan fondasi agama dan keyakinan diri menghujam tertancap di pekat bumi pertiwi. Dengan tiang keragaman budaya, huruf dan kata menjadi ornamen dinding, kalimat dan wacana menjadi pagar keliling, kita merumahkan diri lewat lintasan lintasan sunyi tapi abadi. Mari kita bangun rumah cinta tempat kita berbagi suka dan duka.” Senada dengan Suminto,
Laporan Utama
Mensyukuri Pancasila, Merayakan Kebhinekaan KITA (bangsa Indonesia) harus mengakui betapa jeniusnya para founding fathers yang telah menggali dan merumuskan dasar negara Indonesia, Pancasila. Jika ditelaah lebih jauh, Pancasila merepresentasikan kehendak umum rakyat Indonesia dari yang bersifat trensendental pada sila pertama, hingga yang berurusan dengan kebutuhan esensial manusia yaitu keadilan sosial pada sila ke lima. Rumusan dasar negara ini disusun dengan kalimat yang begitu indah hingga menghubungkan antar sila dan saling mengkualifikasi atau memberikualitas antar sila-nya. Keunggulan Pancasila tidak hanya terletak pada susunan kalimatnya dengan makna yang dalam, tapi Pancasila menjadi titik simpul yang menghubungkan kemajemukan yang ada di Indonesia sebagai salah satu negara dengan keberagaman yang paling kompleks di dunia. Indonesia ditakdirkan berdiri di atas hamparan samudra yang diatasnya bercokol belasan ribu pulau yang dihuni oleh ratusan juta rakyat dengan segala keberagamannya. Dengan kompleksitas yang dimilikinya, Indo nesia membutuhkan alat pemersatu yang tidak hanya kuat secara ideo logis, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dalam praksis. Pada situasi inilah kita patut mensyukuri kejeniusan para founding fathers yang merumuskan Pancasila dan terjaga eksistensinya hingga kini. Bulan Juni merupakan bulan Pancasila yang merujuk pada pidato Soekarno di hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Pada saat itulah untuk pertama kalinya istilah Pancasila diperdengarkan oleh Soekarno dalam pidatonya yang berapi-api dan penuh dengan optimisme bagi sebuah bangsa yang merdeka. Akan tetapi, menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia ke 73, eksistensi Pancasila sebagai sebuah konsensus ideologi dan philosophische grondslag mendapat arus perlawanan dari sekelompok kecil kalangan yang ingin memecah belah bangsa dengan aksi terorisme. Rentetan teror yang dilakukan pada bulan Mei lalu yang
orasi Yudi Latif, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), keterbukaan Pancasila diandaikannya sebagai representasi jiwa lebar. “Kalau seluruh sila Pancasila itu kita peras dan kemudian kita rangkumkan prasyarat mentalnya, apa yang diperlukan agar Pancasila itu bisa dijalankan? Kejiwaan yang kita perlukan untuk memberikan Pancasila itu adalah jiwa jiwa lebar,” katanya. Yudi menguraikan lebih lanjut kalau Pancasila menampung pusparagam yang ada di Indonesia. Mengambil pilihan kata “keluasan samudera” yang menampung pelbagai jenis ikan, Pancasila diimajinasikan Yudi dengan mengambil anasir geografis. Penjelasannya relevan pula dengan keadaan teritori Indonesia yang terdiri atas bejibun pulau di tengah perairan lepas.
menyasar di Mako Brimob Depok, Gereja Pantekosta dan Polrestabes Surabaya, Bom di Rusun Wonocolo Sidoarjo, hingga penyerangan terduga teroris di Mapolda Riau, hanya ingin menebarkan ketakutan dan perpecahan di kalangan masyarakat. Teror tersebut, meski dilakukan oleh sekompok kecil orang, tetapi mengindikasikan belum sepenuhnya Pancasila diakui sebagai sebuah konsensus nasional. Pasca keruntuhan Orde Baru, yang menggunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan dan alat tekan, Pancasila pada era Reformasi mengalami dekadensi dalam pengakuan dari rakyatnya. Penataran Pancasila yang pada masa Orde Baru sangat digelorakan, justru mengalami titik nadirnya pasca Reformasi karena diangap sebagai perpanjangan tangan Orde Baru. Akibatnya banyak generasi muda yang tidak dibesarkan oleh pendidikan Pancasila yang berkelanjutan laiknya pada masa Orde Baru justru mencari-cari nilai bahkan ideologi lain di luar Pancasila. Untuk itu, dibutuhkan gaung yang menggelorakan Pancasila khususnya kepada generasi muda yang sangat terbuka dengan gempuran ideologi asing melalui gedget-nya untuk menyadari bahwa Pancasila adalah konsensus nasional yang final. Merayakan bulan Pancasila, UNY ikut serta dalam menyuarakan akan pentingnya kita ber-Pancasila dengan menghadirkan tokoh-tokoh nasional dan tokoh pendidikan di Yogyakarta dalam acara yang bertajuk “Festifal Pancasila” pada 6 Juni 2018. Esensi dari kegiatan ini antara lain ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa Pancasila adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Untuk itu kita wajib mensyukuri keberadaanya, serta merayakan kebhinekaan yang kita miliki bukan meruncingkannya. Vamos Pancasila.
BUDI MULYONO
Dengan tegas, Yudi mengatakan, “Jiwa lebar adalah jiwa bersatu. Jiwa lebar adalah jiwa berbagi. Itulah semangat dasar Pancasila yang kalau kita bisa bersatu, bisa berbagi, itulah yang disebut jiwa gotong royong.” Nilai gotong royong ini adalah pembeda rumusan kenegaraan Indonesia dengan negara lain. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, pernah
Nilai gotong royong ini adalah pembeda rumusan kenegaraan Indonesia dengan negara lain," ungkap Yudi Latif dalam orasinya.
mengatakan pula kalau gotong royong merupakan sikap kultural bangsa Nusantara sejak lampau. Itu kenapa Soekarno mengaku bukan pencetus Pancasila, melainkan sekadar penggali nilai-nilai sosiologis yang kemudian dipadatkan menjadi lima sila. Buya Syafii punya argumen lain manakala membincang soal multikulturalisme Indonesia. Bila orator lain hanya merujuk pada analekta suku, ia justru memilih kata kuliner. Pilihan tepat buya ini acap kali luput diulas di tengah festival Pancasila. Kuliner yang akrab didengar jamak orang, namun kurang diperhatikan sebagai nilai pluralitas bangsa Indonesia. Pembukaan orasi yang ciamik itu dikemukakan buya tak serta-merta dalam rangka glorifikasi, tetapi mengantarkan pada titik P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 11
Laporan Utama
ARIF / HUMAS
kegelisahannya. “Sekarang kita sudah merdeka. Hampir 73 tahun. Banyak kemajuan. Banyak prestasi. Tapi sila kelima dan Pasal 33 UUD 1945 masih belum turun ke bumi sepenuhnya. Ini persoalan besar kita,” urai profesor emeritus Jurusan Sejarah UNY itu. Lebih tajam, Buya Syafii mengaitkan persoalan aktual yang mendera bangsa, yaitu gerakan radikal yang mengarah pada terorisme. Menurutnya, pemicu besarnya adalah ketimpangan sosial. Buya Syafii tak mencoba bersikap pragmatis. Orasinya, selain terdengar heroik, khusyuk, dan argumentatif, juga menyodorkan solusi praktis. “Kita berharap para konglomerat yang besar-besar itu. Jumlahnya ada 150 orang dengan aset sekitar 3000 dolar. Melebihi APBN. Mereka diharapkan juga turut mengelola Pancasila ini. Bukan dalam bentuk pidato dalam bentuk pesta ria tapi nilainya itu kita bawa turun untuk menyelamatkan bangsa dari segalam ancaman,” tuturnya. Ia mengalamatkan pelbagai ancaman 12 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
itu meliputi liberalisme, kapitalisme, terorisme.
SALAM PANCASILA DIGEMAKAN DI REKTORAT UNY
Di antara pimpinan universitas yang hadir—UGM, UIN Sunan Kalijaga, USD, UKDW, UPN, dan UST—orasi Sutrisna menggunakan retorika persuasif. Ia banyak menggunakan diksi ajakan. “Jangan katakan Pancasila ajaran thogut. Sebab sila pertamanya adalah ajaran ketauhidan. Jangan katakan Pancasila tidak pro kerakyatan sebab kemanusian dan keadilan
Sutrisna menyampaikan kalau sisi magis Pancasila itu menyatukan dan menggerakan kebhinekaan. Jika Pancasila tak lahir di bumi Indonesia, perpecahan horizontal terjadi.
sosial menjadi nyawanya Pancasila,” ungkapnya. Sutrisna menyampaikan kalau sisi magis Pancasila itu menyatukan dan menggerakan kebhinekaan. Baginya, jika Pancasila tak lahir di bumi Indonesia, perpecahan horizontal niscaya terjadi. Pancasila mengikat mereka di bawah satu payung yang, menurut Sutrisna, “Mengajarkan kita untuk mengutamakan musyawarah sebelum mufakat. Hari ini saya mengajak hadirin semuanya. Kita ber-Pancasila, kita bersatu, kita berprestasi untuk Indonesia Raya. Untuk Indonesia Jaya!” Festival Pancasila diselenggarakan dalam rangka memperingati Kelahiran Pancasila 1 Juni. Panitia di bawah koordinasi Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) UNY. “Festival Pancasila merupakan salah satu bentuk untuk membangun kesadaran publik,” ujar Samsuri, Ketua PSPK.
Laporan Utama
Analekta Bincang Syawal, Dari Pendidikan ke Spiritual-Sosial “Yudi Latif membabar filosofi fitri di bulan syawal. Momen religius dia ungkap secara akademik-ilmiah. Persoalan pendidikan hingga sangkan paran tak luput diulas”
Oleh RONY K. PRATAMA Editor BUDI MULYONO
P
agi itu Auditorium UNY tampak ramai. Mobil beraneka warna dan bermacam merek memanjang rapi tepat di selatan tower. Di sekeliling ikon tertinggi di kampus pendidikan Karangmalang itu juga dipenuhi kendaraan beroda empat. Padahal, Yogya, 22 Juni 2018, masih relatif sepi. Jamak mahasiswa masih di kampung halaman. Kegiatan kantor, sebaliknya, mulai bergeliat. Meskipun hari pertama masuk, di bulan Syawal, acap kali diisi ritual tahunan bernama syawalan. UNY mengisi syawalan, sebagaimana dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, bukan sebatas jabat tangan dan tuturan permohonan maaf. Syawalan, bagi UNY, juga dirayakan secara akademik. Mengundang seorang tokoh untuk bicara di podium, diminta membincang filosofi lebaran, dan diakhiri dengan tanya-jawab personal adalah ciri khas kegiatan perguruan tinggi—semacam kuliah umum bernuansa religi. Kesempatan hangat itu jatuh di tangan Yudi Latif. Ia telah dikontak panitia untuk mengisi ceramah syawalan. Rekam jejaknya tak sekadar urusan Pancasila, tapi juga dimensi religiositas. Posisi ini diemban Yudi jauh sebelum ia dikenal sebagai peneliti sekaligus penggiat Pancasila. Ia pernah berkecimpung di jagat religi dalam koridor akademik sejak mengajar di Universitas Paramadina. Sebuah kampus yang kerap disematkan pada cendekiawan muslim senior, Nurcholish Madjid. “Saya merasa terenyuh sekaligus merasa rikuh. Karena UNY ini seperti menarik saya ke dunia spiritual. Berkali-kali saya diundang di UNY untuk bicara soal-soal keagaman.
Suatu topik atau subyek yang sudah lama saya tinggalkan sebenarnya,” ungkap Yudi, Ketua UKP-KIP, dengan nada rendah hati. Ceramah berdurasi 47 menit itu banyak disampaikan Yudi secara renyah, komunikatif, dan ilmiah. Panitia membentangkan tema bertajuk Meningkatkan Ukhuwah untuk UNY Unggul. Merespons cakupan tema itu Yudi mengawali ceramah dengan pembagian dimensi manusia. Tiga aspek itu meliputi basyar (biologis), an naas (sosial), dan insan (spiritual). Trikotomi demikian diungkap Yudi dalam rangka memotret pencapaian kudus manusia di hari Idul FItri. Masalah pendidikan di Indonesia berpusar pada tiga dimensi itu. Menyorot aspek sosial, menurut Yudi, merupakan akar dari problem pendidikan kontemporer. Krisis dimensi sosial dianggap penting diulas. “Untuk itu kita memerlukan jaringan kebersamaan. Salah satunya adalah menekankan budaya kreatif. Tapi tetap memperhatikan tiga dimensi tadi,” katanya. Lebih lanjut, pendidikan, bagi Yudi, mesti memperhatikan aspek biologis. “Kalau aspek ini terpenuhi maka membangun dimensi insaniah dapat terwujud. Yang paling penting pula ia harus memperhatikan dimensi humanitas dan kepekaan nurani. Jika semua itu dimaksimalkan dimensi an naas dengan silaturahmi berbagi kasih dan rezeki dapat tercapai. Nah, ini yang saya sebut sebagai pulang kampung halaman,” tuturnya. Yudi mengutip hadis mengenai tiap
Yang penting, harus memperhatikan dimensi humanitas dan kepekaan nurani.
manusia terlahir fitrah. Pada posisi fitrah ini ia memberi penekanan betapa pendidikan sudah selayaknya diarahkan menuju kesucian. Menolak teori tabula rasa karena dianggap usang, Yudi, kemudian menjelaskan tugas pendidikan agar tak terjebak pada situasi doktriner. Pendidikan, menurutnya, harus berangkat dari asumsi untuk menebalkan potensi lahiriah manusia. “Kalau Ki Hadjar Dewantara menyebut fitrah ini sebagai suatu bawaan kodrati manusia. Secara biologis manusia kan sudah membawa DNA yang mencerminkan sifat-sifat tertentu. Semacam goresan-goresan atau sketsa-sketsa bawaan,” ujarnya. Yudi memberi gambaran praktis kalau pendidikan era kini mesti menebalkan sketsasketsa bawaan yang positif. “Sedangkan garis-garis negatif yang menjadi bawaan harus dikaburkan, dihilangkan, kalau bisa dihapuskan pula.” Sepanjang ceramahnya di hadapan ratusan dosen dan pegawai UNY, Yudi, lulusan S-3 Australian National University, banyak menarasikan konsep ramadan sebagai penempaan diri dan syawal sebagai musim semi. Menjadi manusia yang suci, kata Yudi, adalah orientasi Idul Fitri. Proses ini dianggapnya sebagai seorang pemenang yang telah melewati dan mengalami kawah candradimuka bulan puasa. Ihwal kesucian manusia pada momen Idul Fitri disinggung Rektor UNY, Sutrisna Wibawa. Ia menganalogikan makna utama bulan syawal adalah kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Syawalan diharapkan jadi pengingat bersama: kembali suci, di hari Fitri, tentu dilalui setelah berpuasa Ramadhan. “Harapannya setelah lebaran kita bisa merekatkan kembali ukhuwah antarkolega dan meningkatkan kinerja,” jelasnya. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 13
Laporan Utama
UNY Siap Telurkan Terobosan Pendidikan Pancasila
Kampus dan sekolah perlu mengajarkan Pancasila sebagai nilai-nilai yang seharusnya menjadi landasan menjalani kehidupan bersama sebagai bangsa yang majemuk. Bahan ajar tentang Pancasila, harus terus direaktualisasi dan diselaraskan dengan tantangan abad ke-21. Oleh ILHAM DARY ATHALLAH Editor BUDI MULYONO
D
ikisahkan dalam Sejarah Pendidikan (Djumhur, 1976), pendidikan di era abad ke-4 sebelum masehi berlangsung dengan damai dan konstan layaknya dirumuskan Aristoteles. Bercitacita atas pendidikan negara, pendidikan dibayakannya sebagai proses pemberian contoh dan latihan agar mereka dapat diajarkan melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang baik. Pendidikan formal, kemudian berlangsung dengan berbagai jenjang hingga usia 21 tahun. Seorang guru, akan memimpin sejumlah siswa untuk memberikan contoh dan latihan atas perilku tersebut. Sedangkan para siswa mengamati lalu menirukannya guna melanggengkan peradaban kerajaan Yunani. 25 abad berlalu, nama jenjang maupun infrastuktur pendidikan antar era boleh jadi berbeda. Namun terlepas dari banyaknya gaung perubahan kurikulum, sistem pendidikan Indonesia kerap dijalankan serupa dengan apa yang dikontemplasikan dan dilaksanakan di Yunani Kuno ribuan tahun yang lalu: seorang guru berdiri di depan, memberi contoh dan latihan atas apa yang ia anggap baik, lalu meminta para siswa menirukan sama persis atas apa yang ia ajarkan. Baik dalam kertas ujian, agar anak tersebut lulus, maupun dalam kehidupannya kelak. Masih belum banyak proses refleksi atau internalisasi, lebih-lebih sikap kritis atau menggelorakan terobosan. Suka tidak suka, hal ini menurut 14 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
ARIF / HUMAS
Prof. Sutrisna Wibawa harus diakui dan dijadikan catatan. Untuk melangkah lebih jauh, Mata Kuliah Umum Pendidikan Pancasila yang memang masih lebih banyak dikuasai dosen, harus direorientasikan kembali agar bersifat studentcentered.
FESTIVAL PANCASILA DIHARAPKAN MAMPU MEMPERUNCING KEBHINEKAAN DAN NASIONALISME
Ia juga tak boleh hanya sekadar menyatakan bagaimana Pancasila diimplementasikan sesuai butirbutir yang telah ditafsirkan secara politis. Tapi harus diinternalisasikan dengan refleksi bersama peserta kelas, untuk menghadapi tantangan global abad ke-21 yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ia juga tak boleh hanya sekadar menyatakan bagaimana Pancasila diimplementasikan sesuai butir-butir yang telah ditafsirkan secara politis.
“Ke depan itu kan masalahnya luar biasa. Ada era disrupsi, pemanasan global, globalisasi, ini perlu pemahaman bersama. Itulah mengapa kita harus mengakui dan terus mengembangkan model pembelajaran alternatif agar terobosan Pendidikan Pancasila ini terus berkembang,� ungkap Sutrisna sembari mengaskan bahwa 25 riset model pembelajaran Pancasila yang dikawal Bidang I UNY bersama dengan Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) UNY, menjadi langkah awal pelaksanaan terobosan tersebut. Guna menghadirkan pendidikan sekaligus internalisasi nilai-nilai Pancasila, yang dapat menjawab tantangan zaman. Tidak Sekadar Mapel atau Matkul Wajib Nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan di sekolah, dalam pandangan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi pada sela-sela peringatan hari lahirnya Pancasila di Jakarta, Kamis (01/06/2018), sekadar diajarkan hanya sebagai dasar administrasi kenegaraan. Menurut dia, pada 2003 di UU Sistem Pendidikan Nasional, mata Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang diubah hanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), masih jauh dari ideal untuk menghadirkan internalisasi nilai-nilai yang seharusnya jadi landasan hidup bersama bagi yang majemuk. Unifah memandang tidak ada ruang yang memadai untuk mendalami nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan di sekolah. Akibatnya, tidak ada pendekatan yang dikonsepkan untuk mendialogkan
Laporan Utama
RISTEKDIKTI.GO.ID
ARIF / HUMAS
tentang nilai dan tata cara hidup bersama. Menurut Unifah pula, kecenderungan menguatnya radikalisme dan intoleransi yang juga mulai merembet di lingkungan pendidikan harus menjadi perhatian serius. Dunia pendidikan harus menjadi tempat yang inklusif, yang menerima dan menghargai keberagaman. “Penerimaan pada keberagaman di lingkungan sekolah bukan terbatas pada suku, agama, ras, dan antargolongan. Keberagaman lain yang juga harus dipahami adalah soal jender dan disabilitas,” ujarnya. Menurut Unifah, penguatan dan reaktualisasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran di sekolah perlu dilakukan. Bukan sebatas pengetahuan, melainkan untuk dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya siswa mendapat pelatihan tentang kecintaan pada keberagaman dan kebangsaan. Juga harus terbiasa bekerja sama dan berkolaborasi, berpikiran kritis terhadap perbedaan, yang merupakan bagian
LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA DIKUMANDANGKAN
dari kecakapan abad ke-21. Guna mewujudkan kemampuan tersebut, nilai-nilai Pancasila harus terselip di semua mata pelajaran ataupun mata kuliah. Disamping itu, Ketua PGRI Sugito juga menambahkan bahwa setiap pendidik harus dapat menjadi teladan dalam mengamalkan nilainilai Pancasila.
Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Terlebih, semangat yang dibawa pembelajaran ini telah berbeda dengan pengembangan Pancasila berbasis konsep Eka Prasetya Panca Karsa yang menjadi materi penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Dalam pandangan Rektor UNY Prof. Sutrisna Wibawa, hal yang sama juga harus berlangsung dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila yang menjadi salah satu mata kuliah wajib umum. Sejalan dengan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
“Agar tujuan pelestarian nilainilai Pancasila dapat lebih terarah, pemantapan ini harus dilakukan dengan membuka ruang dialogis. Jangan sampai Pancasila hanya dipandang di awang-awang, menjadi sebatas ideologi, sebatas ide atau gagasan. Nilai-nilai Pancasila harus diimplementasikan menjadi bagian dari gaya hidup. UNY berkomitmen untuk itu,” ujar Sutrisna.
Sudah saatnya siswa mendapat pelatihan kecintaan pada keberagaman dan kebangsaan. Juga harus berpikir kritis terhadap perbedaan.
Riset Model Pembelajaran Terobosan Lima sila yang menjadi dasar negara memiliki spirit kebangsaan yang mampu menggugah rasa persatuan, menurut Sutrisna dapat digelorakan lewat Pancasila. Nilai tersebut misalnya, terwujud dalam sila ketiga: Persatuan Indonesia. Dengan Pancasila, keberagaman P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 15
Laporan Utama tidak dipandang sebagai sebuah kendala atau masalah, tetapi menjadi potensi untuk bisa saling menolong ataupun saling bertukar kelebihan. Tantangan lainnya, mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera sesuai amanat sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Untuk itu, pembelajaran Pancasila harus efektif dan student-centered sehingga mendorong internalisasi nilai. “Inilah yang hendak diinisiasi UNY. Sehingga tidak hanya belajar teori, tapi mahasiswa dapat membumikan Pancasila dalam dirinya sekaligus bisa mengajak mahasiswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang menjadi bagian dari pengawalan nilai-nilai Pancasila,” ungkap Sutrisna Model pembelajaran tersebut, akan digodok dalam-dalam melalui 25 Judul Riset tentang Pancasila yang diagendakan UNY tahun Ini. Rencananya, penelitian tersebut dilakukan lewat sekolah mulai TK, SD, SMP, SMA dan SMK masingmasing satuan pendidikan dua judul dengan total 10 judul. Jumlah penelitian itu akan ditambah melalui Prodi Pendidikan Pancasila MKU maupun dalam implementasi Pancasila dalam keseharian di UNY yang ditargetkan 15 judul. Sehingga, total akan ada 25 judul riset tentang Pancasila sepanjang 2018. Lokakarya impelementasi nilainilai Pancasila dalam lingkup pendidikan yang digelar UNY pada Selasa, 20 Maret 2018, menjadi mercusuar yang membuka jalan sekaligus memandu perencanaan riset tersebut. Diisi dengan kuliah umum dari Yudi Latif Ph.D, Kepala BPIP yang kini juga aktif sebagai dosen UNY, lokakarya diharapkan bisa memberikan wawasan umum serta menyinergikan perumusan pendidikan Pancasila yang dilakukan universitas dengan badan tersebut. Pengangkatan Yudi Latif sebagai dosen tidak tetap PKnH dengan SK Rektor pada awal tahun ini, juga dipandang Sutrisna menjadi tambahan bahan bakar bagi UNY. Guna melaju lebih cepat dan mendalami secara lebih komprehensif, pada programprogram maupun pendalaman Pancasila yang sedang digalakkan UNY. Hal ini, juga sejalan dengan upaya universitas untuk terus meningkatkan produktivitas karya dan publikasi lembaga demi meningkatnya peringkat universitas 16 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
ARIF / HUMAS
sekaligus kontribusi kehadiran UNY bagi pengembangan dan produksi ilmu pengetahuan untuk masyarakat.
membosankan di tiap karakteristik satuan pendidikan. Serta sesuai dengan minat, situasi, kondisi di tiap satuan pendidikan,” ujar Sutrisna.
“Targetnya kembali lagi, pada keluaran model-model pembelajaran sebagai hasil dari penelitian itu. Bapak Yudi Latif mempunyai modal bagaimana modelmodel pembelajaran yang kita kembangkan. Dengan berbagai banyak alternatif akan menjadi lebih baik, menyenangkan dan tidak
Selain itu, diharapkan pula dari loyakarya bisa tercipta desain Pendidikan Pancasila, dengan modelmodel pembelajaran yang sifatnya terobosan dan lebih student-centered. Sekolah-sekolah mitra UNY yang tersebar di lingkungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, biasa menjadi yang pertama menerima sumbangan model pembelajaran tersebut. Praktik yang telah mereka lakukan kemudian dapat menjadi refleksi bagi BPIP, jika kelak ingin mendiseminasikannya ke seluruh Indonesia lewat pelembagaan kurikulum.
Mahasiswa dapat membumikan Pancasila dalam dirinya sekaligus bisa mengajak mahasiswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang menjadi bagian dari pengawalan nilai-nilai Pancasila.
“Metodologi risetnya Riset dan Pengembangan. Karena riset ini tidak sekali jadi maupun statis, namun kita kehendaki untuk terus bertransformasi dan didalami sesuai konteks variasi spasial dan temporal yang ada,” pungkas Sutrisna.
Laporan Utama
Selebrasi Pancasila Ala Milenial Teater “Membumikan Pancasila tak harus menyodorkan argumen akademik. Cairnya Pancasila ternyata acap dikreativitaskan melalui seni pertunjukan. Di sana Pancasila dirayakan secara estetik” Oleh RONY K. PRATAMA Editor BUDI MULYONO
W
ijil Rachmadani ditakdirkan lahir dan tumbuh di zaman teknologi siber. Gadis kelahiran Wonosobo itu lebih familier dengan gawai pintar. Baginya benda canggih serbaguna itu tak ubahnya seperti kebutuhan primer lain. Hanya ketakketik di papan layar, pusparagam pengetahuan hadir secara lekas. Penanda ini ternyata mengubah pemikirannya. Terutama soal memaknai Pancasila. Bagi Wijil, Pancasila, sebagai ideologi negara, tak seberat teori dan tafsir yang dikemukakan kalangan menara gading. “Pancasila itu ya wujud nyata keseharian kita. Memahami Pancasila semudah bermain Smartphone,” tuturnya. Wijil adalah contoh dari jutaan generasi milenial yang kini dijadikan buah bibir. Sebuah generasi yang digadang-gadang mengisi masa depan Indonesia lebih baik—sebagaimana dicitrakan bonus demografi. Wijil, seorang pegiat muda teater Yogya, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013, punya segudang argumen kenapa Pancasila mesti dibumikan. Pancasila, menurutnya, adalah fondasi negara yang sudah final. “Banyak orang mengartikan Pancasila. Malah banyak juga yang berdebat. Hingga meragukannya pula,” ucapnya. Tapi, menurut gadis manis berambut lurus sebahu itu, Pancasila diungkapkan sebatas katakata. Jamak orang melupakan bahwa Pancasila adalah ekspresi laku. Mempraktikkan Pancasila lebih penting. Setidaknya itu menurut pengalaman Wijil. “Di dunia teater,” lanjutnya, “banyak hal, yang menurut saya, justru menerapkan nilai-nilai Pancasila.” Ia mengungkap proses
seni pertunjukkan, dari pemilihan naskah hingga pementasan, secara implisit menginduk pada tiap sila. Salah satu contoh yang dikemukakan meliputi nilai toleransi. Poin ketiga, Persatuan Indonesia, sangat jelas diterapkan selama proses teater. “Ketika berproses, tiap pemain, sutradara, artistik, pimpinan produksi, dan elemenelemen lain, kan harus bahumembahu. Saling kerja sama. Saling melengkapi,” ujarnya. Wijil menyadari bila perteateran absen kebersamaan yang saling mengisi, alih-alih sukses, malahan bisa retak, bahkan dapat dikatakan gagal. Teater dan toleransi adalah sepaket yang tak bisa dipisahkan. Nilai guyub bukan hanya terjadi sebelum pementasan. Kala para pemain naik panggung, kerlap-kerlip lampu disorotkan, genta orkestrasi dimainkan, dan cakap saling-sambut, mereka niscaya masuk ke ruang harmoni. Sisi keselarasan ini, bagi Wijil, sangat Pancasialis. “Bayangkan kalau tiap elemen berdiri sendirisendiri. Kan tidak masyok,” jelasnya. Anasir kemanusiaan dalam sila kedua dibabar Wijil. Suatu ketika ia mementaskan monolog berjudul Surti dan Tiga Unggas karya Goenawan Mohamad. Naskah itu mengisahkan pergolakan seorang istri yang ditinggal suami. Sang suami pergi berjuang melawan kolonialisme Belanda. Cinta istri terhadap suami membuncah tapi demi nasionalisme ia merelakan belahan hatinya pergi.
Di dunia teater, banyak hal, yang menurut saya, justru menerapkan nilai-nilai Pancasila.”
“Ada sisi kemanusiaan di antara sepasang pasutri itu. Cinta direlakan demi kepergian menghadap mara bahaya. Sekali lagi, naskah itu tentang bela negara,” kata Wijil. Sila kedua yang secara lengkap berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, acap kali diejawantahkan lebih kreatif. Tanpa pernyataan denotatif, esensi Pancasila, ternyata dapat dipersembahkan lebih ciamik dalam seni pertunjukan. Sedangkan poin keadilan, sepengalaman Wijil di jagat seni panggung, pernah diejawantahkan manakala mementaskan naskah berjudul Game. Naskah itu ia geluti bersama komunitas Omah Teater Jogja. Secara ringkas naskah tersebut mengeksplanasikan sejumlah kritik sosial mengenai ketidakramahan Yogya sebagai kota pelajar dan budaya. “Posisi saya menjadi sutradara saat itu. Salah satu dari tiga sutradara. Menariknya, selama proses, saya menemui nilainilai keberadaban, di samping nilai keadilan, dalam melihat Yogya saat ini,” tuturnya. Setarikan napas dengan Wijil ihwal nilai kolektivitas di Pancasila, Yudi Latif, penjaga gawang Pancasila dalam koridor akademik, berpendapat kalau bangsa Indonesia menghadapi problem serupa. Menurut Yudi, persoalan itu spaya diurai benang merahnya, pertamatama Pancasila mesti diedukasikan secara praktik. Terutama melalui semangat gotong-royong. Analisis Yudi sampai pada titik kegagalan pendidikan karakter. “Saya curiga kalau karakter personal kita gagal, karakter kolektif kita juga gagal,” tegasnya. Apa yang digelisahkan Yudi bisa ditopang lewat pendidikan teater sebagaimana dijelaskan Wijil, “Teater memberi edukasi kolektivitas. Kebersamaan yang semacam ini ada di teater." P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 17
Laporan Utama
Menjaga Pancasila, Memintas Terorisme Terorisme masuk kampus lewat paham eksklusif yang menutup rapat dialog. Pancasila menjadi jawaban strategis menangkal radikalisme. UNY menawarkan formula baru internalisasi nilai-nilai Pancasila di ranah akademik Oleh RONY K. PRATAMA Editor BUDI MULYONO
ARIF / HUMAS
K
epulan asap hitam menggelanyut di Surabaya. Bom meletus secara beruntun pada tanggal 13-14 Mei 2018. GKI Diponegoro, Gereja Santa Maria Tak Bercela, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan berduka. Markas Polrestabes Surabaya dan Rumah Susun Wonocolo, Taman, Sidoarjo juga tak luput dari kebengisan teroris. Kabar pilu di dua titik kota besar di Jawa Timur itu terjadi belum seminggu setelah kerusuhan di Markas Korps Brigade Mobil, Depok, Jawa Barat, pada 8 hingga 10 Mei. Lima polisi wafat setelah penyandraan di sel khusus teroris yang dilakukan 155 narapidana terorisme. Menurut Vice lewat warta bertajuk ISIS Claims Responsibility for Riot at Prison Housing Former Jakarta Governor Ahok, 11 Mei, Negara Islam, Irak, dan Suriah (NIIS) menandaskan langsung ikut bertanggung jawab atas peristiwa sepihak itu. Gerakan terorisme internasional, seperti dilakukan NIIS, selalu berhilir pada aksi teror yang merugikan liyan— apalagi mereka yang berada di luar dinding iman acap kali dinegasikan. Tak sampai seminggu, peristiwa senada terulang di Riau. Bom belum sempat diledakan tapi tiga orang perakit telah diamankan Densus 88 dan Polda Riau pada 2 Juni 2018. Mereka, seperti dilansir kompas.com, mengaku merakit bom di gelanggang mahasiswa FISIP Universitas Riau. Pelaku mengatakan kalau bom itu hendak diledakan di dua wilayah, yakni DPRD Riau dan DPR RI. Aksi terorisme dan teroris punya 18 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
wajah sama di pelbagai tempat: memperjuangkan ideologi kelompok secara sepihak dengan penuh wajah garang. Tiga peristiwa terorisme di tiga provinsi itu bukan hal baru di Indonesia. Sekian tahun sebelumnya telah terjadi peristiwa serupa. Bom Bali salah satu yang dianggap paling mencekam publik internasional. Gerakan mereka sedemikian sistematis dan masif. Kampus diduga dan dianggap lahan empuk penyebarannya di kalangan kawula muda. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, menawarkan penggalian kembali nilai-nilai Pancasila dalam rangka menangkal terorisme. Pancasila sebagai pilar bangsanegara ditengarai mampu menggunting aksi terorisme. Sutrisna memberi catatan penting melalui kandungan esensial nilai toleransi pada sila pertama. “Kita sadarkan lewat implementasi pendidikan Pancasila sehingga mereka bisa berpikir kembali untuk Indonesia. Yang cocok ya Pancasila. Sila pertama itu menganggap semua agama dan tiap agama harus saling menghormati,” jelasnya.
JAJARAN REKTOR UNIVERSITAS SEDIY MENGOBARKAN SEMANGAT PANCASILAIS DEMI MENJAGA PLURALISME DALAM KORIDOR AKADEMIK
Lebih spesifik Sutrisna sebagai penggawa UNY melakukan terobosan bernas untuk menanggulangi praktik terorisme di kampus. Menurutnya, mencegah merebaknya teroris di universitas sama artinya dengan menggalakan kembali kegiatan bernuansa Pancasila seperti pelatihan soft-skill. Kegiatan itu diperuntukkan bagi mahasiswa baru. Mereka dianggap perlu dibentengi secara kultural nilai-nilai Pancasila sedari awal. “Kalau fondasinya sudah mapan, Pancasila diinternalkan secara personal, mahasiswa lebih terbuka dan toleran akan perbedaan,” ungkap profesor filsafat Jawa kelahiran Gunungkidul itu. Radikalisme sebagai akar terorisme bermula dari eksklusivisme. Dengan keterbukaan pikiran dan rendah hati, yang diulas tuntas dan mendalam di pelatihan, kecenderungan terorisme sedikitbanyak tercegah. “Kuncinya diri sendiri. Program hanya fasilitas pendamping.” Nilai imaterial Jawa dapat diterapkan dalam menanggulangi terorisme. Sutrisna membabarkan tiga konsep dasar. Pertama, nilai rukun antarsesama. “Kalau sudah rukun satu sama lain maka tidak ada lagi kesempatan untuk mencari kesalahan orang lain. Efeknya masyarakat menjadi kompak,” katanya. Bagi Sutrisna, radikalisme tak mungkin masuk di wilayah kekompakan suatu komunitas. “Yang kedua nilai saling menghormati dalam kehidupan toleransi,” lanjut Sutrisna. Titik tolak hormat ini mencakup komponen rendah hati. Konsep budaya Jawa familier dengan hal ini seperti pemuda hormat kepada orang tua, sesama orang tua, dan sesama anak. Jati diri menjadi kunci kenapa tiap orang harus menerapkan sikap ini.
Laporan Utama Di samping kegiatan penelitian, PSPK telah menjalin relasi dengan 60an Pusat Studi Pancasila di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tak berjalan sendiri, PSPK di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Belakangan PSPK menyelenggarakan Festival Pancasila yang mengundang Yudi Latif dan beberapa rektor di Yogyakarta. Samsuri, melalui PSPK, mengharapkan supaya radikalisme di UNY terbendung. Memutus mata rantai radikalisme itu ia tawarkan lewat sejumlah program. Modalnya Pancasila sebagai landasan utama. Kenapa Pancasila, Samsuri punya argumen khusus. “Ide gagasan Pancasila itu gagasan radikal. Sukarno menawarkan pilihan yang sudah diberikan. Yaitu keluar dari mainstream ide liberalisme dan komunisme. Sukarno membangun ide dengan kepribadian kita sendiri. Akhirnya lahir Pancasila,” tegasnya.
ARIF / HUMAS
Menurutnya, kesejatian diri tiap manusia terletak pada sikap hormat, sedangkan perilaku radikal yang melahirkan teroris menihilkan hal itu. Dua poin yang dipaparkan Rektor UNY itu dimantapkan melalui poin ketiga, yaitu nilai luhur untuk menjaga keselarasan. “Di Jawa itu kan nilai-nilai keharmonisan dijunjung tinggi untuk saling menghormati,” ucapnya. Sutrisna memberi contoh sederhana perwujudan nilai harmonis seperti ketika terdapat orang bertamu saat sedang makan, tamu tersebut langsung ditawari menyantap kuliner. Rukun, hormat, dan selaras adalah tiga kunci utama menjaga diri dari pengaruh radikal. Terorisme mustahil menginfiltrasi pikiran dan sikap manakala ketiga hal itu diejawantahkan dalam laku seharihari. Ketiganya adalah koentji. UNY melalui kebijakan ciamik Sutrisna memadatkan substansi nilai Jawa itu di dalam pelatihan soft-skill bagi mahasiswa baru. Seperti dikatakan Sutrisna, nilai-nilai itu mesti diamalkan
MAHASISWA YANG TURUT MENGIKUTI FESTIVAL PANCASILA
berdasarkan Pancasila. Itupun tak sekadar teori, tapi praktik di lapangan. “Saya berharap mahasiswa di berbagai kegiatan dilibatkan penuh sebagai bagian dari pengawalan nilai-nilai Pancasila. Sehingga sekecil apa pun bisa menerapkannya. Tidak hanya belajar teori. Makna membumikan terletak di situ,” tuturnya. Motor penggerak Pancasila di UNY dinavigasikan Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) UNY. Baru berdiri awal Juni 2017, bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila, bertempat di LPPM, lembaga itu dipimpin Dr. Samsuri dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum. Tugasnya meliputi kajian pengetahuan dan implementasi Pancasila. Saat ini PSPK mempunyai beragam program. “Kami sedang melakukan riset dengan beberapa pihak. Dana anggaran kami dari jajaran satu tahun ini sudah direncanakan untuk sekitar 25 proyek penelitian. Itu diharapkan dapat diimplementasikan di perguruan tinggi dan satuan pendidikan,” ujarnya.
Menurut Samsuri, Pancasila, selain diwacanakan sebagai ideologi negara, juga perlu digalakan dalam rangka, “Counter Issue untuk mengantisipasi pola-pola radikalisme dari ideologi lain.” Dalam konteks UNY, menjaga Pancasila dari gempuran ideologi teroris dilakukan secara sistematis. Kultur akademik harus dijaga. Baik perkuliahan maupun organisasi mahasiswa harus saling menunjang. Dialog menjadi jembatan penting untuk saling memahami. Senada dengan Samsuri, radikalisme, menurut Yudi Latif, tak sekali jadi. “Radikalisme itu merupakan proses pertumbuhan yang panjang. Perkembangannya intens, makin intens, dan proses itu kemudian masuk ke pahampaham yang sifatnya tertutup.” Yudi mengilustrasikan kalau sifat diskusi kelompok radikal itu doktriner di lingkaran internal. Akibat dari kondisi dialog semacam itu akhirnya membentuk pikiran yang keras dan eksklusif. Yudi mengurai kausalitas radikalis me yang semula diakibatkan karena tafsir tunggal. “Fundamentalis sebenarnya hanya mengikuti satu track tafsir paham tertentu karena tidak diperkenalkan paham lain. Jadi, kampus harus belajar Pancasila dan memberi ruang bagi mereka yang terjebak dalam kubangan eksklusivisme,” tutupnya. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 19
Laporan Utama
Radikalisme Tak Sejalan dengan Nilai Tridharma Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat, adalah tugas segenap civitas universitas. Radikalisme dan terorisme, tak mendidik dan justru mempersulit kehidupan masyarakat. Keduanya tak sejalan dengan tugas universitas. UNY juga memastikan para dosen dan mahasiswanya tak terlibat.
Oleh ILHAM DARY ATHALLAH Editor BUDI MULYONO
mengajar, meneliti, dan pengabdian. Fokus pada kewajiban dan kiprah sesuai dengan bidang kita, jangan ada waktu terbuang untuk hal yang tak bermanfaat apalagi menyulitkan kehidupan masyarakat,” ungkap Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, di sela-sela Festival Pancasila UNY.
K
ampus seharusnya menjadi gerbang utama untuk menangkal intoleransi dan radikalisme yang tak sesuai dengan ideologi Pancasila. Kala mengungkapkan hal tersebut dalam Festival Pancasila di UNY pada Rabu (06/06/2018), Rektor Universitas Sanata Dharma Johannes Eka Priyatma Ph.D mengingatkan segenap khalayak tentang bagaimana kaum terdidik bangsa ini dulunya menjadi inisiator berdirinya Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Soekarno misalnya, merupakan salah satu jebolan terbaik Technische Hogeschool yang kini telah berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung. Salah satu tempat diskusi ideologi kebangsaan yang termasyhur di pelabuhan besar timur Jawa, Surabaya, juga berada di bilik kos kecil di Gang Kampung Peneleh. Namun bilik kos tersebut terasa besar, karena sang empu, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, adalah orang terdidik dengan tiga murid yang tak kalah terdidik pula: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo. Itulah kenapa, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof. Mohamad Nasir senantiasa menegaskan bahwa ada sanksi tegas bagi tiap civitas akademika universitas yang terlibat penyebaran intoleransi dan paham radikal. Menanggapi rentetan teror yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur dan Pekanbaru, Kepulauan Riau pada bulan Mei, ungkapannya tegas: mahasiswa akan dijatuhi sanksi, dan dosen dapat dipastikan dipecat jika terbukti merongrong ideologi dan 20 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
MASTER303.COM
falsafah hidup bangsa tersebut. Karena ia tak hanya menciderai perjuangan besar para pendiri bangsa maupun masyarakat luas yang telah bersusah payah menjaga marwah kemerdekaan negeri ini. Tapi juga tak sejalan dengan nilai Tridharma, yang memiliki penekanan untuk menghadirkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “PTN sejalan dengan kebijakan pemerintah, dan UNY sebagai perguruan tinggi negeri senantiasa berkomitmen untuk terus menyuarakan Pancasila. Tugas civitas akademika, terlebih lagi beban kerja dosen, sudah banyak:
UNY sebagai perguruan tinggi negeri senantiasa berkomitmen untuk terus menyuarakan Pancasila.
Fokus Pencegahan dan Penyadaran Menurut Nasir, indikasi dosen yang menyebar intoleransi dan radikalisme antara lain mengajak siapa saja untuk tidak patuh pada konstitusi bahkan tidak mengakui NKRI. “Kalau ada dosen (yang menyebar intoleransi dan radikalisme), kami minta dia memilih, apakah bergabung pada NKRI dengan ideologi Pancasila atau keluar dari PNS (pegawai negeri sipil),” tegasnya. Dalam ceramah umum “Meneguhkan Peran Serta Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme untuk Memperkokoh NKRI” di Kampus Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (28/4/2018), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan juga mengonfirmasi tumbuhnya radikalisme di kampus. Hasil survei BIN pada 2017, 39 persen mahasiswa telah terpapar paham-paham radikal. Riset BIN pada 2017 juga menunjukkan kekhawatiran lain, yakni 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah (Kompas, 30/4/2018). “Rektor harus tahu, kalau ada dosen atau mahasiswa yang tiba-tiba hi lang, atau tidak ada komunikasi, ini yang kemudian bisa jadi embrio radi kalisme,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius dalam Dekla rasi Semangat Bela Negara di UNNES.
Laporan Utama
KASKUS.CO.ID
Kemunculan benih radikalisme dan intoleransi di kampus, lanjutnya, telah dimulai sejak 1983, ketika penerapan kebijakan normalisasi kampus. Ketika kegiatan mahasiswa tidak dibolehkan saat itu, kelompok radikal mulai masuk ke kampus. Dia mengakui, ada kampus yang terlibat pergerakan radikalisme namun jumlahnya sangat kecil. Namun, instruksi Kemristekdikti tetap tegas: meminta rektor untuk menonaktifkan jabatan dosen yang terlibat intoleransi dan radikalisme. Nasir juga mengatakan, perguruan tinggi diinstruksikan mempunyai kurikulum bela negara dan wawasan kebangsaan guna mencegah paham radikalisme. Radikalisme harus dibasmi dari lingkungan kampus untuk menjaga masa depan generasi bangsa. Kurikulum tersebut mencakup empat hal, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Prof. Sutrisna Wibawa telah meneguhkan komitmen UNY untuk melaksanakan instruksi tersebut kala turut serta dalam Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia di Universitas Negeri Semarang
(Unnes), Jawa Tengah, Sabtu (6/5) bersama Menristekdikti dan Rektor PTN dari penjuru negeri. Deklarasi tersebut ditandatangani rektor dan perwakilan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta se-Jateng. Isinya terdiri atas lima poin. Pertama, menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, menjaga semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, antiradikalisme/terorisme. Keempat, anti-narkoba/obat terlarang. Kelima, cinta Tanah Air dan bela negara. “Bagi kami, UNY senantiasa memastikan bahwa tidak ada dosen dan mahasiswanya yang terlibat. Kita lebih berfokus menyadarkan lewat
Fokus penyadaran ada pada implementasi Pendidikan Pancasila, sehingga mereka berpikir bahwa yang cocok untuk Indonesia, ya Pancasila.
implementasi Pendidikan Pancasila, sehingga mereka bisa berpikir bahwa yang cocok untuk Indonesia, ya Pancasila. Untuk dosen, kita lebih banyak fokus meningkatkan kinerja pada produktifitas Tridharma,� ungkap Sutrisna. Penguatan Karakter Dosen dan Mahasiswa Menurut Suhardi, kelompok radikal di lingkungan kampus dapat diidentifikasi. Mereka biasanya terdiri atas segelintir orang yang kerap menggelar pertemuan tertutup dan jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Rektor harus mampu mendeteksi tandatanda penyebaran radikalisme itu sejak dini dengan penguatan antarelemen kampus. Saat ini, kata Suhardi, resonansi kebangsaan pada kaum muda mulai tergerus. Sebagian besar mereka tidak mengetahui lagu-lagu dan pahlawan daerah. Padahal, pada era globalisasi, kaum muda seharusnya tidak melupakan budaya lokal, adat istiadat, dan etika bernegara. Sebab, merekalah yang kelak memimpin Ibu Pertiwi pada 10-20 tahun mendatang. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 21
Laporan Utama Rektor Unnes Fathur Rokhman, juga berharap komitmen perguruan tinggi se-Jateng menolak paham radikalisme mulai dari lingkungan kampus dapat menginspirasi banyak pihak. Deklarasi itu adalah inovasi dari kalangan akademisi untuk ikut bersama menjaga NKRI. Seluruh elemen kampus seyogianya memberi contoh toleransi antaragama, suku, ras, dan budaya. Terkait dengan pengaruh dari luar kampus, selalu ditekankan dosen dan mahasiswa punya kemampuan untuk memfilter ajaran yang bertentangan dengan paham kebangsaan. Guna mengembangkan kemampuan tersebut, implementasi beban kerja dosen sesuai kewajiban Tridharma disebut Rektor UNY Prof. Sutrisna Wibawa menjadi kunci. Pengembangan Pusat Studi Pancasila dan Konstutisi serta kegiatan-kegiatan penelitian untuk implementasi, diungkapkan Sutrisna juga mengemban ekspektasi agar dosen dapat mendalami sekaligus mengembangkan kemampuan dan kontemplasi atas filosofi Pancasila lebih jauh. “Ada 25 penelitian tentang model pembelajaran Pancasila untuk tahun ini. Harapannya, pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, lebih inovatif dan merasuk dalam karakter. Sehingga UNY tak hanya berkontribusi menguatkan karakter para dosen dan mahasiswa, tapi juga keseluruhan anak-anak bangsa, lewat ketersediaan terobosan media pembelajaran alternatif,” ungkap Sutrisna. Sejalan dengan hal tersebut, Rochmat Wahab sebagai Rektor UNY 20092017 menggarisbawahi bahwa menjadi penting agar universitas tak begitu saja memangkas dosen yang terafiliasi dengan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila layaknya HTI. Efektifitas dari kebijakan reaktif tersebut, menurut Rochmat justru minim karena ia tak akan menghapus paham radikalisme dari sosok tersebut. Upaya deradikalisasi menurutnya akan berlangsung lebih mujarab, jika upaya edukatif dan memberikan pemahaman Pancasila yang baik dan persuasif kepada oknum tersebut. “Termasuk guna menjaga rasa keadilan, maka jangan sampai keputusan kita menjadi politis. Harus moderat dan hati-hati, karena jika semena-mena (langsung pecat), sosok tersebut justru makin tidak suka 22 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
ISTIMEWA
dengan Pancasila dan merasa apa yang ia percayai (ideologi radikal) adalah sebuah perjuangan.
berkontemplasi hanya karena adanya indikasi radikalisme pada segelintir oknum.
Kepala Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi Dr. Samsuri, juga mengungkapkan agar jangan sampai universitas membatasi civitas untuk berpikir kritis maupun
Iklim UNY, dan iklim dunia universitas pada umumnya, dalam pandangan Samsuri, bersifat plural dan sangat baik untuk mengembangkan pemikiran kritis. Yang perlu dilakukan segenap civitas adalah menyadari bahwa kebebasan mimbar akademik tersebut dilakukan dengan bertanggung jawab.
Menjadi penting agar universitas tak begitu saja memangkas dosen yang terafiliasi dengan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila.
“Jangan diarahkan atau diperintah, apalagi bertindak dengan agak berbeda dengan pandangan kita, dijudge sebagai radikal. Yang penting ruang dialog selalu dibuka. Dengan pemikiran kritis dan konstruktif, seluruh civitas nanti akan dewasa dengan sendirinya, bahwa Pancasila yang paling cocok bagi Indonesia,”
Laporan Utama
Guru Bangsa di Dewan Pengarah BPIP Sejak NKRI berdiri hingga kini, tiga kali lembaga sosialisasi Pancasila silih berganti. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), adalah yang terakhir mengemban tugas berat tersebut. Prof. Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa sekaligus guru besar FIS UNY, turut memikul tanggung jawab tersebut di pundaknya. Oleh ILHAM DARY ATHALLAH Editor BUDI MULYONO
J
ika kereta api dulu punya penumpang gelap, maka kelas yang diampu Syafii sejak awal bergabung sebagai asisten dosen di FKIS IKIP Yogyakarta pada tahun 1967 juga memiliki penumpang gelapnya tersendiri. Petrik Matanasi, mantan mahasiswa sejarah UNY, mengisahkan dalam kanal Tirto.id seputar keberadaan mahasiswa gelap yang berasal dari kampus Bulaksumur, tepi barat Karangmalang. Jelang jam mata kuliah Filsafat Sejarah, biasanya seorang mahasiswa kerap dimintai tolong oleh Syafi’i. Si mahasiswa akan mendatangi kedai fotokopi terdekat di Dusun Karangmalang itu, untuk menggandakan sebuah klipingan koran, rubrik “Resonansi” di harian Republika. Biaya penggandaan pun ditanggung Syafi’i. Jika banyak fenomena dosen yang menyuruh mahasiswa membeli diktat dosennya, Syafi’i tidak rela mahasiswanya terpaku pada diktat. Syafi’i lebih rela merogoh koceknya agar mahasiswa yang ikut kelasnya bisa membaca lembaran hasil penggandaan itu dengan nyaman. Bila ternyata ada mahasiswa yang belum kebagian, Syafi’i rela merogoh lagi kantongnya. Dia bukan orang pelit. Setidaknya dia bukan orang pelit ilmu dengan rajin menulis di rubrik “Resonansi” Republika, lalu berbagi pemikirannya di kelas. Apa yang ditulisnya pada minggu-minggu itu menjadi bahan yang diajarkannya di kelas Filsafat Sejarah. Kemurahan hati Syafii dalam berbagi ilmu dan pengetahuan tersebut, seiring waktu tak hanya berhenti
dalam kiprahnya di dalam bilikbilik kampus. Pada titik balik era reformasi, Syafii menakhodai PP Muhammadiyah hingga tahun 2005, serta berkontribusi banyak kepada produksi ilmu pengetahuan dengan menginisiasi pendirian Maarif Institute, sebuah lembaga think-tank yang berfokus pada pengembangan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Sehingga ketika Presiden Joko Widodo memintanya secara langsung bersama para tokoh bangsa lainnya untuk berkontribusi dalam Dewan Pengarah BPIP, satu lagi ladang amal jariyah disanggupi dan ditekuni oleh Syafii. “Tapi tetaplah, otaknya dan yang bergerak dan terus berkarya dengan cepat sekali, itu yang mudamuda (menunjuk Pak Yudi Latif yang berada di depan Syafii). Kami yang tua ini, mengarahkan dan mendukung saja,” ungkap Syafii merendah dalam wawancara dengan Pewara Dinamika di Ruang Rektor UNY, Kamis 6 Juni 2018. Mengarahkan Pembinaan Pancasila Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2018, meningkatkan status Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang sebelumnya telah didirikan pada Mei 2017 sebagai sebuah lembaga badan yang setingkat kementerian. Dalam Perpres terebut disebutkan bahwa BPIP mempunyai tugas
Syafi’i lebih rela merogoh koceknya agar mahasiswa bisa membaca dengan nyaman
utama untuk membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Dewan Pengarah, kemudian berperan untuk mengarahkan perumusan dan pelaksanaan BPIP. Tugas-tugas BPIP tersebut kemudian diejawantahkan dalam pasal tiga peraturan tersebut yang diantaranya adalah: 1) Perumusan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila; 2) Penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan peta jalan pembinaan ideologi Pancasila; 3) Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan program pembinaan ideologi Pancasila; 4) Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; 5) Pengaturan pembinaan ideologi Pancasila; 6) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; 7) Pelaksanaan sosialisasi dan kerja sama serta hubungan dengan lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; 8) Pengkajian materi dan metodologi pembelajaran Pancasila; 9) Advokasi penerapan pembinaan ideologi Pancasila dalam pembentukan dan pelaksanaan regulasi; 10)Penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; dan 11) Perumusan dan penyampaian rekomendasi kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila. Anggota Dewan Pengarah BPIP yang P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 23
Laporan Utama juga Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin mengatakan, peningkatan status tersebut memberikan banyak konsekuensi bagi BPIP sendiri maupun dewan pengarah yang diketuai Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri dan salah satunya beranggotakan Ahmad Syafii Maarif. Perluasan cakupan tugas dari berbagai aspek tersebut, juga menurut KH. Ma’ruf Amin terkait dengan kehendak Presiden untuk membumikan Pancasila lewat aspek pendidikan secara lebih luas. Sejalan dengan program revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat. “Bagaimana anak-anak bisa (paham) Pancasila dari SD sampai SMA. Ada pelajaran Pancasila yang nantinya dikoordinasiikan atau dibuat oleh BPIP,” ungkap Ma’ruf Amin dalam Penganugerahaan Syiar Ramadhan di Gedung Perpustakaan Nasional, Kamis (28/06/2018). Beratnya beban tugas tersebut, membuat para anggota Dewan Pengarah BPIP harus terus bekerja keras untuk menghadapi tantangan ideologi kebangsaan. Ketua Dewan Pengarah BPIP dan Presiden kelima RI, Megawati Soekarno Putri, dikutip dari Kompas.id mengungkapkan bahwa banyak pihak telah ingin bertemu dengan badan baru ini bahkan sejak awal pertama kali dilantik. Walaupun ia mengakui bahwa para dewan pengarah telah cukup berumur, tapi Megawati melihat dan meyakini bahwa semangat rekan sejawatnya tersebut luar biasa dan siap mengarahkan pembinaan pancasila. “Akhir-akhir ini sangat banyak menginginkan adanya pertemuanpertemuan. Karena kami yang dari dewan pengarah ini cukup berumur, kalau lihat, tapi lihat semangatnya luar biasa untuk berkontribusi,” kata Megawati yang diterima Jokowi di ruang oval Istana Merdeka pada Kamis (22/03/2018). Tugas Berat Meraih Legitimasi Salah satu fokus Syafii dalam mengarahkan BPIP, dalam pandangannya adalah mengawal tugas BPIP yang menurutnya cukup berat. Sejak NKRI berdiri hingga saat ini, pemerintah sudah tiga kali membuat lembaga sosialisasi Pancasila. Pada era Orde Lama, Soekarno membentuk TUBAPI (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi). Pada era Orde Baru, Soeharto juga dibentuk lembaga serupa dengan nama BP7 (Badan Pembinaan 24 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bertugas merancang program penatara Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Syafii mengatakan, dua lembaga itu gagal. Utamanya sejak Orde Baru tumbang, Pancasila dalam pandangannya semakin tak terperhatikan lagi. Saat ini, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla kembali membentuk lembaga dengan tugas pokok fungsi yang
Nilai-nilai Pancasila yang telah terimplikasi melalui undang-undang yang diciptakan Pemerintah Indonesia sia-sia saja jika tak bergaung di masyarakat.
kurang lebih sama, yakni bernama BPIP sebagai perubahan atas UKPPIP. “UKP-PIP ini adalah yang ketiga. Nah ini harus berhasil. Kalau tidak berhasil juga, menurut saya, kasihan negara kita ini,” ujar Syafii dalam orasi di Festival Pancasila UNY pada Rabu (06/06/2018) Kehendak Syafii untuk mengupayakan agar BPIP berhasil, memiliki tantangan terberat dalam wujud belum terciptanya keadilan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Membawa Pancasila dengan nilai luhurnya hingga turun ke bawah, utamanya sila ke-5, menjadi cukup sulit karena ketimpangan sosial Indonesia dalam pandangan Syafii relatif tajam. Nilai-nilai Pancasila yang telah terimplikasi melalui undangundang yang diciptakan Pemerintah Indonesia, menurut Syafii sia-sia saja jika tak bergaung di masyarakat. Gaung Pancasila yang dimaksud Syafii surut tersebut, terkait dengan
Laporan Utama
TEMPO.CO
sila kelima tentang keadilan sosial yang notabene satu paket dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, belum begitu terlihat hasilnya setelah 72 tahun merdeka. “Belum terlihatnya penerapan sistem perekonomian yang berkeadilan sosial itu,” kata Syafii. Menurut dia, ada berbagai sebab. Misalnya Pancasila hanya jadi jargon kekuasaan di masa lalu namun kosong dalam penerapannya. Dengan kata lain, Syafii menilai negara tak serius membumikan Pancasila khususnya sila kelima sehingga masyarakat cenderung kelelahan terus menerus menerima doktrin Pancasila itu. “Dulu terjadi pecah kongsi antara kata dan perilaku dalam menerapkan Pancasila,” ujarnya. Syafii yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah itu juga menjelaskan sulitnya implementasi sila kelima Pancasila itu karena hal lain. Indonesia mengidealkan penerapan sistem perekonomian
Pancasila demi mencapai sebuah kondisi perekonomian yang berkeadilan sosial. Namun persoalannya, Indonesia sudah terlanjur menganut sistem perekonomian liberal sejak era Orde Baru.
Syafii mengatakan ketika segelintir orang menguasai kekayaan negara itulah, maka salah satu dampaknya tak lain gerakan radikal lebih gampang digerakkan dan bertumbuh subur dengan tawaran mimpi kesejahteraan.
Saat Indonesia menganut sistem ekonomi liberal ini, kata Syafii, sekelompok orang dengan modal besar pun bebas menguasai berbagai aset sumber daya startegis yang mendorong makin tingginya jurang ketimpangan.
BPIP yang kini diarahkan olehnya bersama dengan cendekiawancendekiawan terbaik bangsa dari berbagai bidang dan unsur ketokohan, diharapkan dapat terus mendorong Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan keadilan agar radikalisme dan terorisme tak memiliki peluang untuk tumbuh di Indonesia.
Namun persoalannya, Indonesia sudah terlanjur menganut sistem perekonomian liberal sejak era Orde Baru.
“Tugas pemerintah baik pusat dan daerah menjaga bagaimana agar distribusi perekonomian untuk mencapai keadilan itu terwujud. Karena dalam membina Pancasila, intinya kita menunjukkan bahwa ini lho: Pancasila membahagiakan dan menyejahterakan. Tidak sekadar pepesan kosong,” pungkasnya menggarisbawahi tugas pokok BPIP. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 25
Laporan Utama
Festival Pancasila UNY: Ketika Yogyakarta Bersatu Selalu ada hikmah dibalik masa-masa sulit. Yogyakarta sebagai bagian integral dari NKRI dan bersama-sama khawatir atas maraknya intoleransi, radikalisme, dan terorisme, bersatu dalam satu asa untuk melawannya. Para tokoh Yogyakarta bersatu, mengumandangkan di depan khalayak civitas Universitas Negeri Yogyakarta dalam gelaran festival Pancasila, bahwa Pancasila masih tetap di hati mereka. Juga di hati seluruh warga Yogyakarta. Berikut kutipan singkat para tokoh, kala berorasi dalam gelaran tersebut pada Rabu, 6 Juni. Prof. Ahmad Syafii Maarif Anggota Dewan Pengarah BPIP, Guru Besar FIS UNY Kita sudah punya Pancasila, tapi bangsa ini harus kita yakini belum selesai perjuangannya. Memang telah banyak kemajuan dan prestasi, namun kita juga masih punya banyak persoalan. Ketimpangan sosial misalnya, menjadi pemicu kerentanan terorisme. Mari kita bawa nilai keadilan sosial dalam Pancasila 26 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
untuk turun dan terlaksana dalam segi kehidupan bangsa, guna memperbaikinya! Yudi Latif Ph.D. Kepala BPIP (2018), Dosen PKnH UNY Bertemunya peringatan Pancasila di bulan puasa dalam satu titik konjungtur, me-rewind back memori kepada momen-momen masa
Laporan Utama surut dalam jiwa kita semua. Ia adalah karakter dan identitas bangsa, sekaligus pengikat komitmen bersama seluruh elemen melintasi batas dan sekat perbedaan yang mungkin kita miliki. Mari tetap jadikan Pancasila sebagai wadah kebhinekaan, yang mempersatukan dan tertanam kuat dalam kepribadian. Prof. Sari Bahagiarti Rektor UPN Veteran Yogyakarta Komtimen dan pernyataan sikap UPN Veteran Yogyakarta telah final: sebagai kampus bela negara. Mari kita menjadi garda terdepan menegakkan dan membela empat pilar kebangsaan, sembari terus membela Pancasila dari ancaman ideologi lain yang tak sejalan dengan jati diri bangsa. Mari kita tolak intoleransi dan radikalisme! Dr. Bambang Supriyadi Ketua Kopertis V Yogyakarta Persatuan di Indonesi mudah terwujud jika pilihan, ketetapan, program, kebijakan, dan setiap langkah yang dilakukan dan dituju, senantiasa berlandaskan pada satu asa: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terpenuhinya keadilan adalah pilar yang vital bagi persatuan bangsa. Prof. Yudian Wahyudi Rektor UIN Sunan Kalijaga Indonesia ini negara penuh mukjizat. Ia terjajah dan tercabikcabik ratusan tahun, terdiri atas berbagai kerajaan, kedaerahan, serta agama, namun tetap menyatu seiring pekikan takbir kala mengangkat bambu runcing. Pancasila lah, yang mampu membuat kita keluar dari berbagai himpitan itu dan menghadirkan mukjizat bagi negeri ini.
ARIF / HUMAS
lalu ketika pendiri bangsa menyatakan kemerdekaan negeri ini juga di bulan Ramadhan. Mereka telah meneladankan, bagaimana pelaksanaan merasuk dalam jiwa dan menjadikan jiwa kita menjadi lebar, bersatu, berbagi, dan saling mencintai. Semua berpadu dalam bentuk jiwa gotong royong. Prof. Sutrisna Wibawa Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Jangan katakan Pancasila ajaran thagut, sebab sila pertamanya adalah ajaran ketauhidan. Jangan katakan Pancasila tidak pro kerakyatan, sebab kemanusiaan dan keadilan sosial menjadi nyawa Pancasila. Di tengah gegap gempita kemajuan zaman yang penuh tantangan kebangsaan, mari kita sama-sama berdiri dan bersatu dalam bingkai Pancasila, sembari terus berprestasi untuk Indonesia raya. Prof. Suyanto Rektor UNY 1999-2005, Guru Besar FE UNY Internalisasi Pancasila di masa lalu, dianggap begitu menjengkelkan dan politis. Sehingga ketika saya mengetuai perancangan draft UU Sisdiknas, Pendidikan Pancasila dihapus dari kurikulum. Namun bukan berarti dihilangkan, ia bereorientasi. Karena tafsir Pancasila beraneka dan bukan harga mati, juga bukan milik sekelompok orang saja. Prof. Panut Mulyono Rektor Universitas Gadjah Mada Pancasila sebagai dasar negara tidak akan, dan tidak seharusnya
Henry Feriadi, Ph.D. Rektor Universitas Kristen Duta Wacana Kita tak pernah memilih terlahir seperti apa, tapi dunia ini menjadi indah karena beragam. Pancasila, sebagai hadiah terbesar bagi negara ini, terus merawat keindahan tersebut. Dr. Pardimin Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Sebagai ruh dan hati bangsa, Pancasila ibarat penyebut yang sama dalam matematika. Kita boleh berbeda pembilang dan kuantitas. Tapi ketika dijumlahkan, kita tetap bisa bersatu dalam bingkai Indonesia. Johannes Eka Priyatma, Ph.D. Rektor Universitas Sanata Dharma Pancasila adalah kerangka yang kuat dan hebat untuk menjamin kebersamaan hidup kita sebagai bangsa. Mari terus jaga kerangka ideologis ini, dan mengamalkannya dalam keseharian kita. Prof. Suminto A. Sayuti Guru Besar FBS UNY, Seniman Dengan tiang keragaman budaya, huruf dan kata menjadi ornamen dinding. Kita merumahkan diri, lewat lintasan lintasan sunyi tapi abadi. Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua. Prof. dr. Sutaryo, Sp.A(K) Guru Besar FK UGM, Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pancasila UGM Doa kita senantiasa terhatur seiring semangat kebangsaan. Bahwa perjuangan dan amal bakti Bung Karno dan para pendiri bangsa, kita lanjutkan dengan tetap menjaga marwah Pancasila. Raden Wedono Hasto Prakoso Ketua Sekber Keistimewaan DIY musuh-musuh Pancasila hari ini menyusup dan menginfiltrasi kemana-mana. Marilah kita bersama-sama bergandengan tangan untuk terus senantiasa membangun gerakan-gerakan untuk tumbuhnya Pancasila sampai kapanpun. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 27
Laporan Utama
WAWANCARA KHUSUS YUDI LATIF, Ph.D.
Menjadi Guru, Menjadi "Bidan" Pancasila Radikalisme tak dimungkinkan muncul secara tiba-tiba. Pada setiap insan, Yudi Latif percaya bahwa radikalisme butuh proses pertumbuhan yang panjang. Lewat paparan indoktrinasi, literasi, hingga proses pendidikan. Sehingga pendidik, kemudian tak hanya bertugas untuk menyuapi ilmu eksak. Tapi juga menjadi "bidan" Pancasila kepada setiap putra-putri bangsa, dimanapun mereka bertugas.
Kepada Redaktur Pewara Dinamika, Ilham Dary Athallah, Yudi kemudian berkisah bagaimana para guru tersebut dapat berfungsi sebagai garis terdepan bangsa dalam memperteguh Pancasila kepada para generasi penerus. Rekrutmen hingga proses mendidik calon guru di kampus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) layaknya UNY, juga disorotnya sebagai pilar penting untuk mempersiapkan para bidan Pancasila. Guna mempersiapkan mereka di “medan perang” ideologis. Bagaimana pada dasarnya ideologi radikal dapat berkembang pada sebagian orang? Radikalisme tidak sekali jadi, ia hadir dari proses pertumbuhan yang panjang. Bahkan nyaris, tidak ada kelompok masyarakat yang menganggap dirinya anti Pancasila. Terlepas dari memang ada organisasi radikal yang menyatakan perang kepada Pancasila. Namun hampir semua menyebut (dirinya percaya pada) Pancasila, walau memiliki tafsirnya beda-beda. Ada yang cita rasa syariah, dll. Tapi imajinasinya (tetap) Pancasila. Itulah secercah kabar baik. Memang di dalam dunia rutinitas terang benderang, bintang itu tidak pernah kelihatan. Cahaya bintang, justru hanya kelihatan saat gelap malam. Sehingga momen-momen seperti ini, ketika kita melihat ada radikalisme, tuntunan dan kesadaran atas Pancasila ini justru semakin kita hayati dan pikirkan kebenarnya. Masyarakat mulai membicarakan dan ingat kembali pada Pancasila, dan itu baik. Sehingga dalam studi-studi, kerap bermunculan fakta bahwa orang pada mulanya tidak pernah terpikir ingin menjadi radikal. Bahkan tidak terpikir menjadi radikal, ketika kita mungkin telah menyebut mereka ber28 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
pemikiran radikal. Insan-insan tersebut terpengaruh lingkungan, misalnya paparan indoktrinasi dalam pengajian tertentu yang mengikuti satu track tafsir dan menegasikan tafsir lainnya. Begitu pula dengan literasi maupun proses komunikasi yang mungkin hanya sempit pada satu sudut pandang, dikungkung lingkaran tertutup. Lama-lama, hasilnya insan tersebut mengalami pengerasan. Akhirnya makin eksklusif, makin radikal kan? Sejak kapan proses pertumbuhan ideologi tersebut berlangsung pada suatu insan? Radikalisme sudah dan selalu ada dalam lintas sejarah. Dan ia bisa tumbuh kapanpun, dalam usia berapapun. Orang bisa saja beranjak tua dahulu lalu terpapar radikalisme dari pengajian maupun media sosial yang ia gan-
drungi. Tapi anak-anak, dan mahasiswa, juga sangat rentan di pusaran medan perang ideologis yang makin hari makin pelik ini. Pemberitaan akhir-akhir ini membuat kita mengetahui bahwa ada satu dua dosen dan guru yang bahkan juga terlibat dalam radikalisasi. Padahal Pancasila sebagai landasan negara paripurna kita, harusnya dihadirkan dan mampu terhadir dengan keberagaman yang ada di masyarakat. Termasuk keberagaman dalam cara berpikir. Bagaimana kemudian cara untuk mencegah tumbuhnya radikalisme sejak dini tersebut? Pendidik harus sadar tugasnya untuk mendidik, dan memahami bahwa hakikat menjadi guru adalah menjadi bidan. Melahirkan sesosok insan penerus bangsa yang bukan
Laporan Utama hanya sehat secara lahiriyah dalam bentuk kecerdasan ilmu eksak, tapi juga sehat lahir batin berlandaskan religiusitas dan Pancasila. Karena Pendidikan, education, itu berasal dari kata kerja to educate. Artinya: mengeluarkan potensi. Radikalisme jelas menutup potensi itu. Namun, menekankan Pendidikan Pancasila bukan berarti hanya dengan cara simbolis. Apalagi hanya mengandalkan mata kuli-
Bahkan kalau perlu, hidup dengan kebera gaman itu perlu dibiasakan. Misal kalau mahasiswa, diminta untuk live in. Mereka tinggal di keluarga dengan latar belakang sosio-ekonomi, termasuk suku agama dan ras, yang berbeda dengan mahasiswa tersebut. Kalau anak-anak, kita ajak jalan-jalan dan mengenal kelompok yang beragam. Misal mempelajari sila pertama, maka ajaklah putra-putri penerus bangsa itu berkunjung ke berbagai komunitas agama. Sehingga tak
Pendidikan: S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (1990) • S2 Sosiologi Politik, Australian National University (1999) S3 Sosiologi Politik dan Komunikasi, Australian National University (2004) • Karir: Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1993-sekarang) • Wakil Rektor, Kepala PSIK/PSID Universitas Paramadina (2005-2007) • Kepala UKP-PIP/ Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018) • Dosen Universitas Negeri Yogyakarta (2018-sekarang)
ah PPKN atau MKWU (Mata Kuliah Wajib Umum, diselenggarakan di Universitas layaknya Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila). Boleh jadi Pancasila itu nanti dihafal aksiologinya, misalnya implementasi Pancasila yang memiliki 36 butir lalu dikembangkan jadi 45 butir. Tapi kalau hanya hafalan, tidak memenuhi aspek filsafat ontologi dan epistemologinya, percuma. Itu lagi-lagi bukan educate. Hal Ini (Pendidikan Pancasila) harus berlang sung dengan menumbuhkan habit yang mendorong anak didik pada intuisi sosial. Reaktualisasi pemahaman Pancasila yang demikian misalnya dapat dilakukan dengan cara desain pembelajaran yang harus memberikan ruang orang beda agama dan etnis untuk duduk bareng.
perlu menampilkan teori atau abstrak yang susah dicerna anak-anak. Biarkan mereka mewawancara dan mencerna sejarah hidup keteladanan tersebut. Jumpakan untuk ketemu dengan pahlawan dan idola mereka, untuk menambatkan efek sugesti kuat bahwa keberagaman dalam bingkai Pancasila itu indah. Dari situ, proses interchange berlangsung dan ujungnya mengenalkan identitas kolektif. Sebaliknya, ketidakkenalan karena ketiadaan proses tersebutlah yang selama ini menjadi pangkal kebencian. Bagaimana prospek kemampuan sistem pendidikan Indonesia dalam melaksanakan ekspektasi pendidikan Pancasila tersebut? Ini memang agak menantang untuk sekolah
dasar. Karena kemampuan finansial maupun SDM yang terbatas, biasanya satu wali kelas mengajar berbagai mata pelajaran. Nyaris sehari penuh siswa bertemu guru yang sama. Di lingkungan yang homogen layaknya masyarakat suatu desa pada umumnya memiliki agama serupa, terlebih lagi proses pembelajaran satu arah oleh guru kepada murid, (pembelajaran) bisa dimanfaatkan menjadi indoktrinasi jika pengajarnya tidak teguh pada Pancasila.
ISTIMEWA
Tapi kita tidak boleh menyerah. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) senantiasa berkomitmen menekankan kalau anak-anak ini menjalankan Pancasila, kalian bisa maju dan berprestasi. Baik secara pribadi, ataupun kolektif. Tiap tahun BPIP memberi penghargaan pada insan berprestasi agar menjadi ikon mengkampanyekan Pancasila. Menjadi duta untuk mengenalkan bahwa keberagamanlah yang menjadikan kita berprestasi. Atlet bulu tangkis ganda campuran misal, satu cowok Islam, satu cewek Kristen, tetap bisa duet maut dan mengibarkan panji-panji merah putih kita di kancah dunia. Masih banyak lainnya, dan kita kenalkan lewat program keliling institusi-institusi pendidikan bertajuk “Pancasila Inspirasi Prestasi”. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 29
Laporan Utama
ARIF / HUMAS
YUDI LATIEF ketika ditemui redaksi Pewara Dinamika di Ruang Rektor UNY sebelum Festival Pancasila, J uni 2018
Bagaimana memastikan pendidik Indonesia berkarakter dan mengajarkan Pancasila? Saya pribadi pada dasarnya yakin, bahwa sebenarnya lebih banyak guru Indonesia yang baik dan Pancasilais. Dan jika semua guru, dosen, dan pendidik menjalankan tugasnya sebagai bidan Pancasila dengan baik, tak hanya dengan ceramah tapi juga teladan karakter, tidak akan ada radikalisme di Indonesia. Tapi kalau ada guru dan dosen radikal, lebih baik tidak u sahmengajar. Untuk memastikan hal tersebut, kelembagaan kemudian menjadi penting. Pancasila ini harus diturunkan dalam institusi tidak hanya politik, tapi juga ekonomi dan budaya, Ini memerlukan riset tersendiri dari pusat studi Pancasila, dan keteladanan karena ia justru menyampaikan pesan lebih banyak dibanding bicara berbusa-busa. Mekanisme rekrutmen guru juga selama ini telah berlangsung dengan baik. Misalnya, kemampuan kewarganegaraan ketika ada CPNS. 30 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
Tidak perlu sampai seperti era sebelumnya dimana kita menekankan screening sampai latar belakang dan silsilah keluarga. Justru jadi alat politik kan di masa itu? Yang penting keteladanan dan pendidikan Pancasila yang berkelanjutan saja. Ketika kelak mereka mengajar, bertemu masyarakat, merekalah sebenarnya hulu mata air Pancasila karena ideologi itu digali Soekarno dari nilai-nilai yang telah ada di bumi pertiwi sejak lama. Kalau Pancasila ini kering, ya para guru harus terlibat mengaktifkan sumur itu kembali, turut menggali lebih dalam, pada diri tiap-tiap insan generasi penerus. Terkait dengan rekrutmen guru, bagaimana kemudian Pendidikan Keguruan layaknya UNY dapat berperan? Mengaktifkan sumur tersebut juga seharus nya sudah bisa berlangsung sejak teman-te man UNY masih dalam tahap KKN dan KKL. Mengelola desa binaan secara kontinu, ka-
rena UNY yang kekuatannya di bidang keguruan itu memang tugasnya melahirkan para bidan Pancasila tadi. Ia menjadi pilar penting bersama dengan seluruh stakeholder dan elemen fundamental lainnya, untuk memastikan bahwa proses pendidikan Pancasila hadir dengan sesungguhnya di masyarakat. Walaupun harus diingat, sebagai bidan Pancasila, tugas kita ini ya membantu kelahiran. Bukan melahirkan, apalagi keminter dan menegasikan yang lain. Tugas kita adalah menggali Pancasila dan memastikan keberlangsungannya sepanjang hayat. Sehingga keberhasilan pendidikan Pancasila di kampus keguruan menjadi vital untuk membuka potensi anak bangsa. Ruangruang keberagaman harus dibuka sejak dari kampus. Kemampuan pedagogik yang dipupuk di UNY, akan memastikan mereka kelak melakukan proses edukasi dengan baik. UNY dan semua kampus di negeri ini, sudah pasti berkomitmen untuk itu.
Laporan Utama
WAWANCARA KHUSUS Dr. SAMSURI, M. Ag.
Gelorakan Pancasila dengan Radikal! Kala Pancasila digali Soekarno dan digodok bersama para pendiri bangsa dalam rapat BPUPKI, ia terlahir sebagai gagasan yang radikal. Menegaskan kemerdekaan sekaligus menolak kolonialisme, menjadi fitur ideologi yang tergolong progresif pada zamannya. Sehingga di tengah tantangan radikalisme baru yang kini hendak mencongkel Pancasila, semangat radikalisme yang sama laksana apa yang diteladankan pendiri bangsa kala memperjuangkan Pancasila.
Kepada Redaktur Pewara Dinamika, Ilham Dary Athallah, Samsuri kemudian berkisah bagaimana Universitas Negeri Yogyakar ta turut berkiprah menggelorakan Panca sila sesuai marwahnya sebagai ideologi yang radikal dengan semangat-semangat kebangsaan. Pemaknaan radikalisme positif tersebut, tak hanya dilakukan UNY lewat mata kuliah maupun langkah-langkah taktis di dalam lingkup pengajaran. Tapi juga menyeluruh dalam kerangka Tridharma Pendidikan Tinggi, dengan inisiasi Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi UNY di tahun 2017 menjadi salah satu pilar penyokongnya. Bagaimana pandangan UNY atas radikalisme yang kini menjadi problema kehidupan berbangsa? Tentu kita semua prihatin atas apa yang terjadi hari ini. Tapi kita harus ingat, bahwa gagasan Pancasila itu sendiri gagasan radikal pada zamannya. Digali dari masyarakat dan nilai-nilai kehidupan masyarakat, Soekarno menawarkan pilihan yang keluar dari mainstream kutub ide liberalisme dan ide komunisme yang begitu terpolarisasi pada dan Pasca Perang Dunia II. Kepribadian kita sendiri terumuskan dalam Pancasila. Sehingga ketika kini Indonesia memandang radikalisme, adanya kelompok-kelompok fundamentalis yang mungkin berseberangan maupun dianggap menyatakan perang dengan Pancasila, menimbulkan teror, ini dilematis. Tafsir kita kerap berbeda, dan sering terlalu politis alih-alih keputusan yuridis. Kita kini sering menghubung kan radikalisme dengan agama. Padahal kita perlu hati-hati dalam mengidentifikasi siapa insan akademik atau insan tercerahkan yang mencoba kritis, siapa yang berpikir mendalam dan berkontemplasi, dan siapa yang memang merongrong Pancasila atau mencoba membangun kekuasaan baru. Di sinilah kita butuh gerakan intelektual Pancasila, melalui motivasi yang sifatnya ra dikal pula. Kita gelorakan Pancasila dengan
radikal dan semangat, layaknya para pendiri bangsa kita dahulu. Mereka tak hanya berani mencongkel legitimasi sang koloni (Belanda) sebagai pemenang perang yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan negeri pertiwi pasca Jepang menyerah. Tapi juga berani menegaskan dalam pembukaan konstitusi yang masih menggemakan semangat Pancasila, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Peri kemanusiaan dan peri keadilan, intisari dari sila kedua dan ketiga, menjadi basis atas keyakinan tersebut. Menandakan bahwa para pendiri bangsa berani mengumandangkan Pancasila bukan hanya bagi Indonesia. Tapi juga bagi perdamaian dunia! Ini fitur ideologi yang tergolong progresif pada zamannya. Semangat radikal bersifat positif sedemikian rupalah, yang harus kita contoh dan teladani untuk menggelorakan Pancasila. Bagaimana cara UNY kemudian menggelorakan semangat Pancasila tersebut? Lewat berbagai macam medium. Inisiasi Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi (PSPK) di bawah LPPM pada Juni 2017 lalu misalnya, jadi titik tolak UNY memperjuangkan know ledge sector kajian dan pengembangan implementasi. Dengan PSPK sebagai salah satu pilar, UNY hendak menelaah bagaimana kajian kebijikan Pancasila dapat meresap lewat pendidikan. Apa tugas pokok dan fungsi Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi? Sebagai pusat studi, riset menjadi salah satu fokus. Dalam tahun anggaran ini, ada 25 proyek riset implementasi Pancasila yang sedang kita godog. Bersama Pusat Studi Pancasila di Perguruan tinggi lain yang kita berkolaborasi, ada 60-an proyek riset. Tuju annya untuk mengembangkan terus Pendi dikan Pancasila baik di satuan pendidikan maupun perguruan tinggi. Terlebih lagi, Pancasila sebagai ruh semangat jiwa pen-
didikan itu ya mestinya tidak hanya tanggung jawab guru Mapel misalnya PKn. Tidak akan berhasil maksimal. Kolaborasi kerjasama dan gerakan sinergi sejatinya harus dilakukan secara komprehensif, karena Pancasila sebagai prinsip dasar, nilai dasar, sekaligus nilai praktis, ia harus ada di mana-mana. Di Matematika ada, IPA ada, IPS ada, seperti mata ilmu pelajaran tematik. Saat ini tematik sudah dihadirkan dalam Kurikulum 2013. Riset kita berkomitmen untuk terus mengembangkan itu. Terkait kegiatan Festival Pancasila yang digelar UNY pada Rabu 6 Juni 2018? Itu juga, fokus kita yang lain. Kita berkoordinasi dan kerjasama dengan UKP PIP yang kini telah menjadi BPIP, senantiasa melakukan kajian sarasehan dan diskusi wawasan kebangsaan. Kita mengusung inisiasi pendidikan berparadigma dengan melibatkan sejumlah elemen masyarakat, serta berharap bahwa UNY dapat menjadi sentranya penguatan dan pengembangan inisiatif itu. Awal Ramadhan (pertengahan bulan Mei), kami sudah sowan Pak Rektor dan beliau sangat suportif untuk menegaskan bahwa UNY bisa menjadi basis penguatan Pendidikan berparadigma Pancasila Salah satu cara menguatkan hal tersebut, dengan turut menekankan kesadaran bahwa peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila tak boleh sekedar dimaknai sebagai seremonial upacara. Pancasila yang menjanjikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada warga nya, tentu harus kita sambut juga dengan acara kegembiraan. Festival Pancasila kenapa banyak melibatkan elemen kampus ma syarakat, juga harapannya agar peringatan dan penerapan Pancasila tidak hanya menjadi milik dan domain elit. Pancasila harus menjadi nilai hidup baik dalam wacana aka demik dan praktik kehidupan sehari-hari. Sehingga utamanya ditujukan pada civitas akademika UNY, jauh hari sebelum puaP E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 31
Laporan Utama
Pendidikan: S1 Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan IKIP Yogyakarta, 1997 • S2 Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 2000 • S3 Pendidikan IPS Universitas Pendidikan Indonesia, 2010 • Karir: Dosen FIS UNY (2002-sekarang) • Sekretaris Jurusan PKnH FIS UNY (2011) • Ketua Jurusan PKnH FIS UNY (2012-2017) • Kepala Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi LPPM UNY (2017-sekarang)
Tentu dalam pandangan saya, kita tidak boleh menafikan adanya kendala dalam fasilitas maupun relevansi pembelajaran di era generasi yang jauh berbeda dengan kita sebagai generasi sebelumnya. Memasukkan Pancasila sesuai dengan landasan yang dibawanya sebagai living values, butuh kerja keras. Ada tema global, kontemporer, teror isme, lingkungan hidup, hingga kemanusi aan, yang kini ada di depan mata para gene rasi kita. Kalau kita tidak mengadaptasikan pelajaran dengan mengejawantahkan bagaimana nilainilai Pancasila itu menjawab dan menghidupi persoalan yang generasi muda kita sedang dan kelak akan hadapi, sulit kita untuk related dengan generasi selanjutnya. Mata Kuliah Wajib Umum Pancasila wajib terus dikembangkan sesuai tantangan zamannya. Terkait dengan adanya dosen atau mahasiswa di beberapa universitas yang diduga terlibat radikalisme, bagaimana UNY mencegah hal serupa? Pendidikan Pancasila tetap terus berlang sung, dan atas setiap pilihan yang diambil tiap insan, memiliki konsekuensinyama sing-masing di mata hukum. Tapi, bekali mereka dengan peran publik yang bertang gungjawab dan kita tidak boleh prasangka (bahwa) mahasiswa ini belum dewasa. Kita ajarilah biar dewasa kalau dipandang belum dewasa.
KALAM / PEWARA
sa Pak Halili (Dosen PKnH UNY) sebagai inisiator kegiatan menyadari betul untuk menampilkan performance yang berbeda. Tujuannya untuk membangun kesadaran publik, dengan tetap menjaga peran strategis akademis intelektual di kampus. Orasi tiga menit para tokoh diselingi drama dan melodi Pancasila, kemudian dijatuhkan sebagai pilihan. Apa yang hendak disampaikan melalui orasiorasi singkat tersebut? Kita ingin menarik pokok pikiran yang bisa ditawarkan, sekaligus mengingatkan. Bagaimana bekerja bersama untuk mengingatkan, bahwa ada hal substansial di Pancasila: membangun keadilan sosial sebagai cita utama. Kami berpikiran bahwa persoalan kita di Pancasila itu karena ada kesenjangan idealitas normatik dan nilai pancasila luhur dengan praktek kenegaraan dan masyarakat dan kebangsaan kita yang perlu kosentrasi. Pendidikan memiliki urgensi untuk menjem batani kesenjangan itu. UNY sebagai kampus 32 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
yang sudah beriktikad membangun kampus pendiidkan Pancasila, ikhtiar itu adalah festival. Ikhtiar yang kita wujudkan dengan cara bersama-sama, antar tokoh-tokoh bangsa yang dimiliki UNY layaknya Buya Syafii (Prof. Ahmad Syafii Maarif, Anggota Dewan Pengarah BPIP dan Guru Besar Emeritus UNY), Pak Yudi Latif (Kepala BPIP dan Dosen PKnH UNY), serta para rektor PTN dan PTS Yogyakarta dan banyak lainnya, saling melengkapi. Dalam tataran akademik formal layaknya Mata Kuliah Wajib Pancasila, bagaimana pelaksanaannya? Pelaksanaan tentu baik. Tapi untuk mengatakan apakah efektif atau tidak, perlu riset. Ini salah satu yang sedang kami kaji dalam program penelitian tahun ini. Dan kami berharap riset yang dikelola jajaran 1 UNY (Bidang Akademik UNY) bisa memberikan kontribusi. Dari data itu, kerja ilmiah yang harus berbasis penelitian untuk saya bisa mengatakan apakah efektif atau tidak.
Jangan diarahkan atau diperintah, apalagi bertindak sedikit kita judge sebagai radikal. Terlebih UNY, dan iklim dunia universitas ini kan plural. Kita harus memposisikan diri untuk sekadar memberi pengetahuan dan wejangan. Lalu biarkan mereka sebagai orang dewasa berkontemplasi dan memikirkan sendiri. Selama nilai-nilai yang kita tular dan harapkan adalah nilai yang baik, maka akan baik pula buah ranum yang akan tumbuh dari pohon kepribadian mereka. Karena jika tidak diajak dewasa, kapan mereka akan dewasa? Berikan kepercayaan mereka memakai pe ran sesuai jamannya. Jangan jadi tua sebelum tua. Gerakan mahasiswa dan dunia akademik, telah terbukti seiring zaman menjadi elemen vital bangsa ini. Bagaimana mahasiswa dan dunia pendidikan, tetap menjadi kesetiaannya sebagai gerakan moral. Kultur akademik dan Pancasila akan terus memelihara keberagaman dan idealitas nilai-nilai luhur tersebut. Keterbukaan ruang-ruang dialog dan rem bugan, juga jadi kunci agar ada komunikasi pertukaran ide antar insan maupun antar generasi. Itu semua dinamika, yang kalau kita maknai dengan semangat-semangat kedewasaan sembari memberi tauladan luhur, maka Pancasila tetap akan mampu bergelora. Ke penjuru tanah air dengan begitu radikalnya, layaknya kegigihan yang telah diteladankan para pendiri bangsa.
B E R I TA S i v i ta s a k a d e m i k a
ARIF / HUMAS
SYAWALAN KELUARGA BESAR UNY Setelah sebulan ramadhan mengalami penempaan diri kita memasuki musim semi Syawal, hidup kembali dan menjadi pemenang. Namun kapan kita bisa menjadi pemenang, yaitu kalau bisa kembali ke fitrah, yang terdiri dari dua arti yaitu suci atau ifthar yaitu kembali pada sifat manusia. Dan berproses kembali menjadi manusia seutuhnya. Demikian dikatakan Yudi Latif dalam syawalan kelu arga besar UNY, Jumat (22/6). Lebih lanjut Doktor dalam bidang
Sosiologi Politik dan Komunikasi Australian National University tersebut mengatakan bahwa manusia terbagi dalam tiga dimensi yaitu basyar atau dimensi biologis, an naas atau dimensi sosial dan insaan atau dimensi spiritual. “Tiga dimensi ini perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan,” kata Yudi Latif. Namun menurutnya, Indonesia mengalami krisis dalam bidang dimensi sosial. Untuk itu perlu kembali dibangun jaringan kebersamaan. Salah satunya dengan menekan-
Berita-berita lain dapat diakses pada laman www.uny.ac.id
kan budaya kreatif, dengan memperhatikan tiga dimensi yang ada. Dikatakannya, pendidikan harus memperhatikan aspek kecakap an yang memperhatikan aspek biologis, membangun dimensi insaniah dengan memperhatikan dimensi humanitas manusia dan kepekaan nurani serta dimensi an naas dengan silaturahmi berbagi kasih dan berbagi rezeki dengan pulang ke kampung halaman. Kegiatan yang dilaksanakan di Auditorium UNY tersebut
dihadiri ratusan dosen dan tena ga kependidikan UNY. Dalam kesempatan ini Rektor UNY Sutrisna Wibawa mengatakan makna utama idul fitri adalah kembali ke kesucian seperti bayi yang baru lahir. “Kembali ke fitri karena dosa-dosanya telah diampuni Allah SWT dengan menjalankan puasa Ramadhan,” kata Rektor. Harapannya setelah lebaran bisa meningkatkan kinerja dengan menjalin ukhuwah diantara civitas UNY menjadikan UNY unggul di masa depan. DEDY P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 33
Berita
ZAKIAH BAWA TIM KOPMA UNY JUARA DALAM NCC 2018
HUMAS FIS
APLIKASI OM, MAHASISWA FIS JUARA 1 LKTI
HUMAS FIS
Tim KOPMA (UNY) ikuti ajang Cooperative Concourse (NCC) 2018 yang diselenggarakan di Ballroom hotel UNY belum lama ini. NCC tahun kedua ini mengangkat tema "Kesiapan Koperasi Menghadapi Perekonomian Digital". Pemilihan tema sesuai dengan perkembangan dunia akhir-akhir ini yang sudah serba digital. Tim KOPMA UNY yang diketuai oleh Zakiah Noor Hidayati (Ilmu Administrasi Negara/ 2017) beranggotakan Angesti Fajar Utami (Pendidikan Akutansi/ 2016) dan Setyo Wati (Pendidikan Akutansi/ 2016) berhasil meraih juara II dalam kompetisi tersebut. “NCC merupakan inovasi dalam ranah perkoperasian yang menarik dan penting untuk diadakan secara rutin. Mengingat koperasi sebagai soko guru perekonomian sehingga langkah memahami koperasi mulai dari teori sampai dengan merealisasikan visi misi yang mulia perlu dilakukan oleh anak bangsa, utamanya kita sebagai anggota koperasi. Dengan demikian koperasi dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan pasar dengan tetap melestarikan nilai-nilai lokal, yakni asas kekeluargaan dan gotong royong,” jelas Zakiah Zakiah manambahkan NCC dibagi atas 3 babak yang dilaksanakan selama dua hari. Babak pertama berlangsung selama 60 menit untuk menyelesaikan 1 sampai 20 soal pilihan ganda, soal benar salah berisi 15 pertanyaan, dan soal isian singkat berisi 15 pertanyaan. Ketiga kategori soal tersebut harus dijawab semua oleh para peserta. Pada hari kedua, lanjut Zakiah, diumumkan 10 tim yang lolos babak pertama dan berhak maju ke babak selanjutnya yaitu sesi debat. Kesepuluh tim tersebut berhadapan satu lawan satu dalam debat melalui sebuah mosi yang diberikan oleh panitia. Setelah menilai dari aspek pengetahuan, keterampilan dalam public speaking dan penguasaan peserta, Drs. Supriyanto, M.M., Komarudin Batubara S.E., dan Dr. Siswanto M.Pd selaku juri memutuskan 5 tim yang lolos ke babak final. “Setelah ketiga babak terlewati, seluruh skor di akumulasi dan terdapat persamaan nilai antara tim Kopma UGM dan Kopma UNY maka kedua tim tersebut diberikan soal tambahan untuk merebutkan juara 1. Dalam mengerjakan soal tambahan, Tim Kopma UGM berhasil memperoleh poin yang lebih tinggi dari UNY yakni 1050 poin sehingga Tim Kopma UGM berhak atas juara pertama sedangkan tim KOPMA UNY peringkat kedua.” EKO 34 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
Indonesia telah mencanangkan sebagai poros maritim dunia, akan tetapi masih mengalami banyak permasalahan di bidang kelautan. Dalam 10 tahun terakhir, pelanggaran batasbatas wilayah negara yang berpotensi terjadinya illegal fishing masih banyak terjadi. Selain itu, permasalahan bidang kelautan lainnya juga masih ditemui, misalnya penambangan lepas pantai dan pencemaran laut di batas wilayah negara Indonesia. Salah satu informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan menjaga keamanan serta kedaulatan NKRI adalah informasi geospasial. Hal ini menginspirasi mahasiswa Pendidikan Geografi, FIS UNY untuk menulis karya tulis ilmiah dengan judul “Pengembangan Database Informasi Geografi Spasial Kemaritiman Melalui Aplikasi OM (Our Maritime)”. Tiga mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi FIS UNY angkatan 2016 yang terdiri dari Norma Yuni, Maya Eka, dan M. Hafizh ‘Imaduddin mempresentasikan karya tersebut dalam ajang 2nd IGSS (Indonesian Geography Student Summit) IMAHAGI XV di Universitas Negeri Makassar pada tanggal (10/5/2018) dan berhasil meraih juara 1.
“Dalam ajang 2nd IGSS ini terdapat 10 finalis yang mempresentasikan hasil karyanya, salah satunya adalah UNY. Tim perwakilan dari UNY berhasil menyabet juara 1, diikuti oleh Universitas Hasanuddin sebagai juara 2, dan Universitas Gadjah Mada sebagai juara 3,” jelas Maya. Menurut Maya, aplikasi Our Maritime (OM) dikembangkan untuk menyediakan data spasial terkait aspek-aspek kelautan. Metode yang digunakan untuk membuat software ini adalah metode klasik, yaitu metode waterfall. Secara sistematis, pembuatan aplikasi dimulai dari communication, planning, modelling, construction, dan deployment. Aplikasi OM memuat beberapa infomasi kelautan seperti Batas Territorial Indonesia, Peta Ekoregion Laut Indonesia, Sumberdaya Alam Kelautan, Potensi Pariwisata yang disajikan dalam bentuk petapeta. “Aplikasi ini diharapkan mampu menjadi sarana edukasi yang dapat bermanfaat dalam mempertajam wawasan masyarakat mengenai kemaritiman di Indonesia, sehingga masyarakat mampu berperan aktif dalam pengelolaan wilayah perairan,” paparnya. EKO
Berita
CAIRAN KULIT IKAN NILA OBATI LUKA BAKAR Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas (kematian) dan morbiditas (kecacatan) yang disebabkan olehnya. Untuk pengobatan luka bakar banyak tersedia bahan alam seperti lidah buaya atau salep berbahan dasar kimia. Sekelompok mahasiswa UNY mencoba membuat obat luka bakar yang berbeda yaitu dengan memanfaatkan kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) yang banyak terbuang. Wahyuni Eka Maryati dan Priska Wahyuni prodi pendidikan matematika, Eva Cristyani Br Tarigan prodi matematika, Annisa Husnul Latifah prodi kimia serta Rizni Rahayu prodi pendidikan administrasi perkantoran membuat obat luka bakar dari ikan nila karena konsumsi ikan nila di DIY cukup melimpah dan kulitnya hanya menjadi sampah yang dibuang. Menurut Wahyuni Eka Maryati kulit ikan nila memiliki kelembaban, kolagen dan ketahanan penyakit pada tingkat yang sebanding dengan kulit manusia, sehingga dapat membantu penyembuhan luka. “Pada kulit ikan nila mengandung kadar protein 47,43%, air 23,4%, lemak 1,68%, dan abu 3,01%,” kata Wahyuni “Tipe kolagen yang terdapat dalam kulit ikan nila adalah tipe kolagen dengan pola SDS-PAGE yang memiliki rantai dan yang tidak dapat teramati secara jelas karena masih tampak berhimpitan, sehingga termasuk dalam kolagen tipe I”. Priska Wahyuni menambahkan obat
DOK. HUMAS FMIPA
menjawab kebutuhan para pelanggan mengenai cairan obat luka bakar alami, aman, dan berkualitas. luka bakar ini merupakan satu-satunya obat luka bakar berbahan baku kulit ikan nila yang dirancang khusus berbentuk cairan yang diberi nama Cikikubar (Cairan Kulit Ikan Nila Untuk Luka Bakar). “Produk ini dikemas dan disajikan dengan kemasan 10 gram yang praktis dan menarik” katanya. Bahan baku ikan nila memiliki kandungan kolagen dan omega 3 yang tinggi dan baik untuk regenerasi sel menjadi jaringan ikat fibrin untuk menutup luka. Sehingga produk ini mampu
Annisa Husnul Latifah menjelaskan cara pembuatan Cikikubar, dimana bahan utama yang dibutuhkan adalah kulit ikan nila. Langkah pertama, kulit ikan nila yang sudah di-fillet dari dagingnya dan semua peralatan disterilkan dengan merebusnya terlebih dahulu. Kulit ikan nila dicuci, kemudian direndam dalam air kapur sirih untuk menghilangkan bau amis dan dibersihkan. Kemudian dicampur dengan ddH2O+NaOH untuk mendapatkan cairan kolagen kulit ikan nila. Setelah
cairan kolagen didapatkan lalu dipisah dengan cairan lainnya. Kolagen ini lalu disaring dengan kertas saring dan dicampurkan dengan essen menggunakan methylisothiazolinone. Cairan ini lalu dicampurkan lagi dengan obat gel, dan dikemas dalam kemasan 10 gram. Rizni Rahayu mengatakan bahwa mereka membuat Cikikubar ini karena selain kulit ikan nila me ngandung kolagen, juga mudah diperoleh dan berlimpah, tidak menggunakan bahan kimia ber bahaya dan aman dalam pe makaian. “Harga jual cukup ter jangkau, hanya Rp. 10.000,-,“ kata Rizni. Karya ini meraih dana Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirau sahaan tahun 2018. DEDY P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 35
Berita
GERAKAN CINTA FABEL UNTUK ANAK SEKOLAH DASAR Budaya membaca sudah lazim di banyak negara Eropa atau Asia, sehingga tidak mengherankan jika mereka memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Namun hal tersebut masih jarang ditemui di Indonesia. Untuk itu perlu upaya meningkatkan minat membaca adalah dengan memperkenalkannya sejak dini.
tidak didapatkan anak-anak pada media lain, seperti buku, majalah, dan sebagainya. Sehingga tidak mengherankan jika minat membaca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Keprihatinan inilah yang membawa sekelompok mahasiswa UNY untuk mencoba menumbuhkembangkan kembali
dalam program Getah Cilik ini adalah anak-anak yang duduk dibangku Sekolah Dasar. Titis Nurul Hidayah menambahkan dalam upaya peningkatan literasi masyarakatnya, Dusun Bandung telah mendirikan sebuah perpustakaan dusun yang dipusatkan di balai padukuhan dan sebuah Taman Baca Kuncup Ilmu. Namun anak-anak desa yang identik suka bermain permainan tradisional atau bermain di kebun dan sungai bersama teman-teman sebaya sudah jarang sekali ditemui. “Kehidupan sehari-hari mereka banyak dihabiskan untuk bermain gadget, playstation, dan menonton TV dirumah, yang menyebabkan anak-anak menjadi
Astri Anggraeni mengatakan, gerakan cinta fabel ini dilaksanakan di Taman Baca Kuncup Ilmu dengan serangkaian program yang menarik dan menyenangkan sesuai dengan dunia anak-anak yaitu belajar sambil bermain, sehingga diharapkan program ini bisa menjadi langkah awal bagi anak-anak untuk mengenal dan menyukai membaca. “Langkah awalnya anak-anak dibacakan sebuah dongeng fabel dengan alat perga, dan ditayangkan sebuah film dengan tokoh binatang” ungkap Astri. Para mahasiswa tersebut juga menghadirkan pemateri yang ahli dalam bidang sastra anak, sekaligus mengarahkan agar
HUMAS UNY
Sebaiknya anak mulai belajar membaca padaperiode usia 1 hingga 5 tahun. Karena, pada masa ini otak anak bagaikan pintu yang terbuka bagi semua informasi dan kemampuan belajar membaca lebih mudah dan alamiah. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang ada banyak anak pada usia tersebut sudah diperkenalkan dengan gadget. Tingkat popularitas gadget di kalangan anak-anak tidak terlepas dari karakteristik gadget yang memang menarik bagi anak-anak. Gadget menyajikan dimensi-dimensi gerak, suara, warna, dan lagu sekaligus dalam satu perangkat. Hal ini tentu saja 36 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
minat baca di kalangan anak. Rini Fitrianingrum dan Titis Nurul Hidayah prodi Sastra Indonesia, Jarmini prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS serta Astri Anggraeni prodi Psikologi FIP membuat Gerakan Cinta Fabel Bocah Cilik (Getah Cilik), yang memberikan literasi pada anak melalui dongeng fabel, yaitu cerita tentang binatang. Menurut Rini Fitrianingrum kegiatan ini dilaksanakan di dusun Bandung, Playen, Gunungkidul sebagai program pengabdian masyarakat. “Program ini diharapkan menjadi media bagi anak-anak yang ada di Dusun Bandung untuk dapat meningkatkan gemar membaca” kata Rini. Sasaran
individualis dan kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya” katanya. Disisi lain minat baca dan partisipasi masyarakat khususnya anak-anak yang duduk dibangku Sekolah Dasar dalam mengunjungi perpustakan masih sangat kurang. Minimnya sarana prasarana seperti koleksi buku yang sangat terbatas, membuat perpustakaan tidak ada yang mengunjungi.
gemar membaca serta dapat menangkap nilai moral dari bacaan yang mereka baca. Peserta juga diminta praktek membaca dan menceritakan kembali fabel tersebut. Pun caknya para peserta akan me mentaskan drama fabel yang akan diabadikan dalam sebuah film pendek, sebagai bentuk apresiasi bagi anak-anak peserta program Getah Cilik. DEDY
Berita
BATIK DAN JUMPUTAN BAGI IBU-IBU Tim, yang terdiri dari Arnie Perwita, Ramdhani Nugraha, Pemi Anisa (Prodi Pendidikan Kriya), Ifti Anugrah (Prodi Ilmu Komunikasi), dan Adreaningsih Rustandie (Prodi Pendidikan Ekonomi), ini lantas mengkreasi program pelatihan bagi masyarakat pesisir dengan tajuk Pelatihan Jutawan (Jumputan Untuk Wisatawan) Usaha Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Pesisir Pantai Indrayanti Melalui Keterampilan Teknik Batik Jumputan Sebagai Souvenir Bernilai Ekonomis Untuk Menambah Pendapatan Di Dusun Ngasem, Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta. Targetnya dikhususkan kepada para ibu untuk memproduksi sebuah karya berupa kain pantai melalui teknik batik dan jumputan.
DOK. HUMAS FBS UNY
Gunungkidul menyimpan potensi pariwisata yang menjanjikan. Berbekal bukti data kunjungan wisatawan tahun 2012 yang mencapai angka 1 juta orang, serta peningkatan pengunjung yang hampir mendekati 3 juta pengunjung di tahun 2016, tim PKM Pengabdian Masyarakat tergelitik.
Selain batik tulis, teknik yang diajarkan pun beragam, yaitu, teknik jelujur, ikat, dan juga lipat. Media yang digunakan berupa kain santung dengan ukuran dua meter dan juga kaos putih polos.
Di akhir program, akan dilaksanakan gelar produk di kawasan Pantai Indrayanti, dengan tujuan untuk memperkenalkan hasil karya dan potensi ibu-ibu Dusun Ngasem. Harapannya, semangat untuk terus berkarya dan meningkatkan kondisi perekonomian akan terus terpicu. Pelatihan ini dilaksanakan mulai Mei hingga Juli 2018. BAY/ANT
PUNCAK PELEPASAN MAHASISWA ASING DI UNY Universitas Negeri Yogyakarta, melalui Kantor Urusan Internasional dan Kerjasama (KUIK) menyelenggarakan acara Penutupan Program Darmasiswa, KNB, Transfer Kredit LN, dan Transfer Kredit LPTK DN 2018, Selasa (5/5) di Auditorium. Wakil Rektor IV, Bidang Kerja Sama Internasional, Dr. rer. nat Senam. Mengatakan dalam sambutannya bahwa acara ini diselenggarakan guna memberi kenangkenangan kepada mahasiswa internasional yang telah selesai studi di UNY sehingga lebih bermakna. “kemudian juga bertujuan untuk mengenalkan budaya Indonesia secara praktis kepada mereka sehingga mereka akan mempunyai kenangan sebelum mahasiswa internasional kembali ke negara masing-masing,� kata Senam. Dikatakan oleh Senam, di sela-sela acara bahwa mereka dengan antusias
bukan sekadar menyaksikan penampilan sajian budaya Indonesia lainnya, melainkan juga turut serta unjuk penampilan di panggung.
Semata-mata karena mahasiswa asing yang berasal dari belahan benua dan setahun studi di UNY itu, mempunyai daya tarik khusus bagi penonton kebanyakan. Para mahasiswa Yunan Mincu University menampilkan pentas drama. Mereka bermain dengan sangat apik. Kostum yang
mereka pakai begitu beraneka rupa. Selain sedap dipandang, pakaian mereka khas kearifan lokal Yogya. Di panggung mereka menggunakan bahasa Indonesia. Cukup lancar karena telah latihan cukup
intensif sebelum pememtasan. Di sisi lain, mereka juga mengambil kelas Bahasa Indonesia di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY. Yang tak kalah menarik penampilan dari Fontys University, Belanda. Dengan lenggak-lenggok penuh
gemulai mereka membawakan jatilan. Tarian khas Ponorogo itu memukau penonton. Tepuk tanda apresiasi kemudian menggelegar di auditorium. Gamelan Jawa mengiringi tarian itu. Penonton juga terbuai akan musik ritmis itu sehingga membuat kaki menghentak-hentakkan secara pelan. Selain mahasiswa Yunan dan Fontys, terdapat satu universitas di Tiongkok lagi yang juga mengambil program BIPA. Universitas itu adalah Guangdong University of Foreign Studies. Jumlah peserta dari Tiongkok itu kurang dari 30 peserta, sedangkan dari Belanda hanya dua orang. Meskipun begitu, mereka antusias belajar bahasa Indonesia. Senam berharap pentas itu bukan kali terakhir. Ia berekspektasi agar mereka kembali lagi di UNY. Tentu sivitas akademia UNY membuka lebar tali silaturahmi. RANI P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 37
Berita
DOK. HUMAS FE
ATASI OBESITAS DENGAN TEH CELUP DAUN SIRIH
Obesitas merupakan salah satu penyakit tidak menu lar yang prevalensinya terus meningkat di dunia. Tidak hanya orang dewasa juga banyak anak-anak pra-sekolah mengalami kelebihan berat badan. Penanganan penurunan berat badan sering dilakukan dengan diet, olahraga, atau kombinasi keduanya. Akhirakhir ini banyak kemunculan obat penurun lemak tubuh yang dijual dalam krim maupun tablet. Selain itu, dibandingkan dengan diet, olahraga dianggap lebih aman serta memberikan manfaat kesehatan antara lain berupa peningkatan kebugaran. Akan tetapi, olahraga yang dilakukan secara berlebihan, akan meningkatkan radikal bebas, sehingga dapat merusak sel tubuh. Selain olahraga, salah satu bahan pangan yang menguntungkan bagi kesehatan adalah teh. Teh telah dipakai sebagai minuman sehari-hari 38 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
sejak ribuan tahun yang lalu di Cina, dan sekarang teh merupa kan minuman kedua yang paling banyak dikonsumsi setelah air. Dari beberapa jenis teh yang ada, mahasiswa Fakultas MIPA UNY meracik sejenis teh yang diyakini dapat mengurangi obesitas dan menambah kebugaran. Nadhila Sri Budi Asih dan Imam Riadi prodi Biologi, Endar Chrisdiyanto dan Pony Salimah Nurkhaffah prodi Pendidikan Matematika serta Fauziyyah Diyah Anggita Sari prodi Kimia mengolah daun sirih (Piper betle L.) menjadi teh celup yang praktis dan menyehatkan serta dapat menurunkan berat badan dengan penambahan bahan alam lainnya. Tambahan daun stevia sebagai pemanis, daun jambe sebagai pewarna dan bunga melati sebagai aroma rasa. Menurut Nadhila Sri Budi Asih, pemilihan daun sirih untuk dibuat teh karena daun ini
merupakan jenis tanaman obat (fitofarmaka) sebagai bahan pengobatan tradisional yang memiliki kandungan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, fenol dan steroid. “Selain itu, daun sirih juga mengandung enzim diastase dan gula” kata Nadhila. Imam Riadi menambahkan bahwa daun stevia dipilih untuk campuran teh daun sirih karena mengandung derivat steviol terutama steviosid (4-15%) ,rebausid A (2- 4%) dan C (1-2%) serta dulkosida A (0,4-0,7%), sehingga tidak mempengaruhi kadar gula darah, aman bagi penderita diabetes, membantu memperbaiki pencernaan meredakan sakit perut, dan mengatur berat badan. Pemilihan daun jambe karena mengandung senyawa bioaktif yaitu flavonoid di antaranya tannin serta dapat memberikan warna pada produk, sedangkan daun melati memiliki indole yang merupakan komponen populer wewangian dan prekursor untuk obat-obatan. Fauziyyah Diyah Anggita Sari menjelaskan, bahan yang diperlukan untuk membuat teh celup daun sirih adalah daun sirih (Piper Betle L.), daun stevia, jambe, bunga melati, air dan kantung teabag. “Komposisinya yaitu daun sirih (60%), jambe (15%), daun stevia (15%), dan bunga melati (10%)” katanya.
Langkah pertama kali adalah menjemur daun sirih selama 1-2 hari hingga kering. Lalu daun sirih, jambe, kayu manis, daun stevia disangrai dan aromatisasi dengan penambahan bunga melati. Proses penyangraian dilakukan selama 30 menit dengan temperatur 200ºC. Setelah disangrai, dilakukan pemisahan bunga melati. Kemudian masuk tahap penggilingan untuk menghancurkan bahan-bahan yang telah disangrai serta meluaskan area permukaan teh tersebut dengan menggunakan blender. Tahap akhir adalah pengemasan. Terdapat dua tahap pengemasan, yaitu bubuk teh yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam kantung teabag. Yang kedua dimasukkan ke kemasan luar sebagai packaging. Sebelum dikemas, teh celup daun sirih ditimbang seberat 4 gram per kantungnya. Kemasan yang digunakan mampu melindungi teh dari absorbsi kelembaban yang tidak hanya menyebabkan teh dalam kantung filter menggumpal (mengeras/memadat), namun juga mempercepat penurunan aroma. Produk ini merupakan teh celup herbal berbahan dasar daun sirih yang diberi nama Betle Tea. Produk ini merupakan solusi bagi masyarakat yang sedang melaksanakan program diet aman. DEDY
Berita
INOVASI POJOK BACA DENGAN ANGKRINGAN
DOK. FIP UNY
Mahasiswa tak hanya berhenti pada pembelajaran di dalam kelas saja, tetapi aktivitas penerapan di masyarakat sangat dibutuhkan. Salah satu cara jurusan Pendidikan Luar Sekolah mengembangkan bakat mahasiswa dalam penerjunan langsung ke masyarakat adalah dengan adanya mata kuliah praktik jurusan. Mata kuliah ini bertujuan untuk menciptakan mahasiswa yang mampu menjadi fasilitator di dalam masyarakat sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di lapangan.
EMANSIPASI MELALUI SOMAY Sila-sila Pancasila yang menjunjung tinggi hak asasi manusia belum cukup diresapi dan diim plementasikan secara optimal oleh masyarakat. Fenomena yang jelas terlihat adalah maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, mulai dari kekerasan fisik; psikologis; hingga kekerasan seksual. Selain itu, pelabelan bahwa derajat perempuan lebih rendah diabandingkan laki-laki juga masih menjadi persoalan yang semakin memperburuk citra perempuan di mata masyarakat. Kondisi ini menginspirasi Nurul Asfiani mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) untuk menulis essay berjudul “SOMAY (Short Movie of an Equality) Menciptakan Kesetaraan
Terdapat 6 lokasi penerjunan mahasiswa di dalam praktek jurusan, dimana salah satu lokasi tersebut adalah Desa wisata Pentingsari (DEWI PERI). Desa wisata pentingsari merupakan desa wisata yang terletak di Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Inovasi yang dilakukan mahasiswa PLS dalam praktek jurusan di DEWI PERI adalah Pojok baca. Pojok baca di DEWI PERI sangatlah banyak, namun pengelolaan yang belum baik membuat mahasiswa PLS bersama dengan masyarakat DEWI PERI mencetuskan gagasan pojok baca menjadi “ANGKRINGAN POJOK BACA”. Angkringan pojok baca bertujuan untuk menciptakan nuansa nyaman dalam membaca dengan suguhan makanan khas angkringan sehingga adanya nuansa baru dan tidak membuat membaca menjadi suatu hal yang membosankan. Dengan usaha giat mahasiswa PLS maka pada Minggu, 6 Mei 2018 diadakannya “LAUNCHING ANGKRINGAN POJOK BACA” yang dibersamai oleh dosen PLS yaitu Dr. Pujiyanti Fauziyah. Acara ini mencakup kegiatan jalan sehat, peresmian Angkringan Pojok Baca, talkshow, pembagian doorprize dan hiburan. RINA/MATA/ANT
HUMAS FIS
Gender dan Keadilan bagi Perempuan Melalui Film Pendek”. Karya Nurul tersebut dipresentasikan dalam lomba essay PEKAN HAM yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, FIS UNY belum lama ini. Melalui karyanya Nurul berhasil mendapatkan juara II dalam ajang tersebut.
“Anggapan bahwa jenis kelamin tertentu membutuhkan perlakuan lebih dibandingkan dengan jenis kelamin yang lain hanya akan menjadi supremasi bagi laki-laki. Hal ini sama dengan anggapan bahwa ras kulit putih lebih unggul dibandingkan dengan ras kulit hitam. Ketika kaum perempuan mencoba untuk mengubah pola lama dan berusaha membuat ruang gerak yang lebih luas, bukan mendapat dukungan, tetapi justru mereka mendapatkan penghakiman atau dianggap tidak feminim. Oleh karena itu, perlu pembenahan dan perubahan perspektif dari masyarakat kepada kaum perempuan” jelas Nurul. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk emansipasi wanita menurut Nurul adalah dengan pembuatan SOMAY yakni film pendek yang menekankan pada kesetaraan gender dan keadilan pada perempuan. Film dipilih karena memiliki efek untuk mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan manusia. Dengan menayangkan film tentang kesetaraan dan keadilan secara berulang-ulang, maka secara tidak langsung masyarakat akan mendapat terpaan tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan. “Perubahan pola pikir masya rakat ini tentu membutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat. Namun demikian, dengan dibuatnya regulasi tegas tentang larangan diskriminasi gender dan dilakukan penayangan SOMAY secara berkala maka sterotype yang menyatakan bahwa perempuan adalah kaum marginal akan terhapus. Oleh karena itu, SOMAY sangat berpotensi untuk dija dikan sebagai solusi untuk menciptakan keadilan dan ke setaraan gender. EKO P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 39
Ghea Indrawari IDOLA CENTIL INDONESIA 40 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
KALAM / PEWARA
S O S O K P E N YA N Y I
ARIF / HUMAS UNY
Berawal dari kegigihan dan usaha yang tidak pernah putus, Ghea Indrawari menapaki hal yang ia sukai untuk lantas memintalnya menjadi mimpi yang berubah kenyataan. Berbekal suaranya yang khas, mahasiswi jurusan Pendidikan Seni Musik tersebut finish di lima besar salah satu ajang menyanyi paling bergengsi, Indonesian Idol.
K
Oleh ILHAM DARY ATHALLAH
ala membawakan lagu Karena Cinta dalam Upacara Dies Natalis UNY ke-54 pada 21 Mei 2018 di Auditorium UNY, hati Ghea bergetar bersama seluruh hadirin. Baginya, lagu tersebut menyimpan pesan tersendiri di tengah lembaran baru yang tengah dibuka almamaternya kala bertambah setahun usia. Selaras dengan Joy Tobing yang tak pernah meragukan rasa cinta sang kekasih kala melantunkan lagu tersebut, Ghea tak pernah ragu atas cinta sang almamater. Ketika ia di panggung berdiri di hadapan segenap civitas pun, lantunan merdu nan centil sang finalis Indonesian Idol 2018 tersebut tak hanya hadir dari kekuatan atau kehebatannya. Tapi sekali lagi layaknya termaktub dalam lagu tersebut, semuanya terhadir karena cinta. Cinta yang senantiasa membuatnya berterima kasih, karena telah dipertemukan oleh Tuhan. Karena pertemuan tersebutlah yang menghadirkan dukungan luar bisa selama perjalanannya menuntut ilmu. Sekaligus, dalam perjalanan
mengarungi kontes pencarian bakat Indonesian Idol yang melejitkan namanya.
GHEA INDRAWARI SAAT MENYANYI DI UPACARA DIES NATALIS UNY KE-54
“Sebuah kehormatan untuk Ghea, dan Alhamdulillah bisa diberi kesempatan untuk tampil dalam Upacara Dies Natalis UNY. Ghea merasa berkewajiban untuk berkontribusi di almamaternya Ghea. Walaupun Ghea masih cuti, (kehadiran di panggung) bukan hanya karena kewajiban pengabdian sebagai mahasiswa. Tapi juga karena cinta,” ungkapnya yakin. Karakter Suara dan Centil Lantunan merdu nan centil yang dipandang juri maupun Indonesian Idol khas dari Ghea, boleh jadi matang dan terus
Ghea termasuk anak yang pintar. Dia selalu rangking tiga atau dua saat SD. Kalau SMP 5 hingga 10 besar, kalau SMA 5 besar.”
berkembang kala sang dara menempuh Pendidikan Seni Musik di UNY sejak tahun 2015. Tapi karakternya, telah terpupuk semenjak terlahir pada 10 Maret 1998 di Singkawang. Tinggal bersama orangtua dan adiknya, Ghea disebut oleh Endang Winarni (51), sang ibu, menjadi anak yang manja dan penyayang karena berjarak usia sepuluh tahun dari sang adik. Walaupun manja, Ghea tetaplah anak yang pengertian serta semangat menuntut ilmu. “Ghea termasuk anak yang pintar. Tidak sulit mendidik Ghea dan dia selalu rangking tiga atau dua saat SD. Kalau SMP 5 hingga 10 besar, kalau SMA 5 besar,” ungkap Endang. Bakat kecerdasan tersebutlah yang terus diasah keluarga dengan mengikutkan Ghea dalam les. Sejak kelas 1 SD, ia mengikuti les bahasa Inggris dan berenang. Namun di sela-sela les tersebut, bakat Ghea yang sebenarnya bermunculan. Ghea kerap bersenandung dengan teman-temannya sembari bersenang-senang. Termasuk, ketika bermain dengan tetangganya seperti lompat tali, P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 41
masak-masakan, hingga kejarkejaran. Walaupun keluarganya bukanlah seniman ataupun musisi, Ghea tetap menikmati musik layaknya anak dan remaja pada umumnya. Melantunkan lagulagu hits di masanya seperti Raisa, Isyana, hingga Giselle. Lantunan artis terakhir dengan tajuk Cara Melupakannya, menjadi lagu pertama yang Ghea nyanyikan dalam cover di kanal Youtube pribadinya.
S O S O K P E N YA N Y I
Dedi, seorang guru musik di SMA 3 Singkawang tempat Ghea menuntut ilmu, mengendus bakat terpendam tersebut. Kelihaian Ghea dalam tarik suara terendus ketika kelas tersebut melangsungkan tes menyanyi. Kepada Ghea, sang guru berpesan menyarankan Ghea untuk menekuni bakat tersebut. Bersama beberapa teman, ia akhirnya bergabung dalam band yang dibentuk sang guru. Unjuk kebolehan di beberapa event, cafe, hingga acara pernikahan, menjadi panggung Ghea mengasah kemampuan di depan khalayak umum. Kegiatan tersebut sekaligus mengenalkan nama dan bakatnya, juga mengisi dompet Ghea karena dapat menambah kecil-kecilan uang saku hariannya. Bayaran pertama yang diterima Ghea, adalah 100.000 hasil tarik suara dalam sebuah acara pernikahan. “Termasuk untuk melatih percaya diri di panggung. Mulai di situ memang awal karir, walaupun nggak terlalu pengen serius di nyanyi. Ngalir begitu aja,” kenang Ghea. Selain menyanyi di luar sekolah, kegiatan kompetisi formal di bidang kesenian juga digelutinya. Dalam Festival Band Pelajar dan kategori Band dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional di Kabupaten Singkawang, Ghea menyabet gelar juara pertama dan vokalis terfavorit. Semua kegiatan bermusik tersebut dilakukannnya dengan menyeimbangkan kesibukan di sekolah. Manajemen waktu yang baik menjadi kunci Ghea bisa menjaga pencapaiannya di sekolah hingga mencapai peringkat lima besar kala lulus dari SMA. Nilai yang bagus sekaligus beberapa prestasi yang digapai pada jenjang sebelumnyalah yang juga menghantarkan Ghea ke bangku kuliah. Jurusan komunikasi menjadi pilihan pertamanya dalam SNMPTN. Namun takdir 42 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
DOK. RCTI
GHEA MENYANYI DI PANGGUNG SPEKTAKULER INDONESIAN IDOL
menyatakannya tidak diterima. Tak putus asa, jalur Seleksi Mandiri Prestasi UNY menjadi jujukan Ghea. Mengingat bakat dan prestasi Ghea yang dominan di bidang musik, jurusan Pendidikan Seni Musik kemudian menjadi pilihannya. Itupun baru mendaftar di hari-hari terakhir, setelah berkonsultasi dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Walau hanya persiapan apa adanya, pintu kesempatan untuk mengenyam jenjang pendidikan lebih tinggi berhasil direngkuhnya berkat bekal
Manajemen waktu yang baik menjadi kunci Ghea bisa menjaga pencapaiannya di sekolah hingga mencapai peringkat lima besar kala lulus dari SMA.
pengalaman di bidang musik selama ini. Tapi bagi Endang, keharusan sang gadis centil kesayangannya untuk merantau jauh dari Singkawang membuatnya sedikit khawatir. “Alhamdulillah memang Ghea tidak tes macam-macam dan percaya bahwa apapun yang jadi jalan Ghea itu keputusan Allah. Yang pasti terbaik dan ada hikmahnya. Tapi karena sekarang Ghea harus merantau dan manage diri sendiri, mama pasti khawatir. Tapi hanya sedikit, tetap ridho melepaskan,” kenang Ghea menekankan bahwa orang tuanya mendukung penuh Ghea menimba ilmu di Yogyakarta karena sesuai dengan passion. Calon Pendidik Musik Passion bermusik tersebut kemudian diasah berpadu dengan kemampuan pedagogik yang menjadi basis seorang pendidik. Bayangan Ghea yang sesederhana kegembiraan kala bermain musik, harus dituntut untuk belajar dari nol layaknya not balok. Semua
instrumen hingga olah vokal dalam wujud seriosa dan klasik juga harus dikuasai sebagai basis menjadi pendidik musik nantinya.
S O S O K P E N YA N Y I
Karena sebagai pendidik musik, ia tak hanya harus jago melantunkan musik bagi dirinya sendiri. Tapi juga menyampaikan lantunan merdu tersebut kepada khalayak, sekaligus menyampaikan kemampuan tersebut agar mereka yang menyaksikan bisa tercerdaskan dan terinspirasi. Mata kuliah layaknya micro teaching, juga menugaskan Ghea untuk mempraktekkan pengajaran ilmunya di bidang musik secara langsung. Kemampuan inilah yang membuatnya tak demam panggung, kala sempat menjajal kontes pencarian bakat The Rising Star di Semester 3. Walaupun belum berhasil menyabet kesempatan untuk tampil di jenjang panggung yang lebih tinggi, ajang tersebut menjadi fondasi Ghea untuk melejit kala mengikuti Indonesian Idol 2018 setahun kemudian. Pertemuannya dengan komunitas dan dosen-dosen UNY yang dipandang Ghea kece juga menjadi semangat tersendiri baginya untuk terus melebarkan sayap. “Termasuk setelah Rising Star itu, saya mulai menyukai BTS dan nonton-nonton drama Korea. Bias (artis Korea favorit) saya Jin. Termasuk outfit, riasan, potong rambut pendek berponi, dan penampilan seperti ini ya karena saya suka Korea-Korea,� ujar Ghea yang semasa SMA berambut sedikit panjang dan terurai. Dalam pementasan di Indonesian Idol 2018, Ghea yang pada awalnya menginjak semester 5 masih menjalani kuliahnya di UNY. Dalam awal babak pelatihan maupun seleksi bertajuk Specta, Ghea memilih tetap menjalani kuliah dan tak mengambil cuti. Karena, ia belum tahu akan sejauh mana melangkah di ajang pencarian bakat tersebut.
Tahun 2004 saat mengakuisisi Unpam, Darsono membuat gebrakan dengan membuka akses kuliah murah untuk masyarakat marjinal yang berekonomi lemah. KALAM / PEWARA
“Sayang dengan kuliah dan memang belum tau kan sampai berapa besar. Kalau saya memproyeksikan kemarin keluar di 10 besar, kan masih bisa ikut kuliah, hanya ketinggalan sedikit,� ujar Ghea yang menurut Herwin YW, dosen mata kuliah gitar UNY, memiliki IPK selalu di atas 3. Namun berbeda dengan prediksinya, juri sekaligus pemirsa Indonesian Idol mempercayainya P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 43
S O S O K P E N YA N Y I
ARIF / HUMAS UNY
untuk melangkah lebih jauh. Ghealways, kelompok pendukung Ghea, tiba-tiba juga muncul dan menjadi pendukung yang paling militan bagi sang peserta Indonesian Idol. Dukungan dari teman-teman seangkatannya di Pendidikan Seni Musik juga tak kalah heboh. Mereka membuat Vlog yang sempat muncul di panggung Indonesian Idol kala sang dara menginjak babak lima besar. Kala vlog itu ditampilkan, Rektor UNY, Prof. Sutrisna Wibawa bersama beberapa pimpinan civitas juga hadir di Jakarta untuk menghaturkan semangat secara langsung bagi salah satu civitasnya tersebut. Sang rektor juga tak segan membuat video dukungan yang dipublikasikan di media sosial UNY, untuk memberi selamat pada Ghea dan mempromosikan kepada khalayak untuk turut mendukungnya melalui pesan singkat berbayar. 44 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
GHEA DI AJANG INDONESIAN IDOL BERSAMA PESERTA LAINNYA
“Atas dukungan bapak rektor dan segenap teman-teman dan civitas, bersyukur banget dan gak menyangka. Ghea berpikir ini bukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik dan mewakili kampus. Tapi UNY selalu support tanpa Ghea minta. Dukungan mereka sangat berarti,” ungkapnya.
Media Nusantara yang dibesut Ayu Ting Ting. Ia juga tengah mempersiapkan single perdana untuk debut sebagai seorang penyanyi. Agustus menjadi target single tersebut dibesut. Walau masih enggan membeberkan secara rinci single perdananya, Ghea memberi kode bahwa lagu KPOP menjadi inspirasinya.
Kini, Ghea Indrawari telah bergabung dalam Star
Kepada segenap civitas maupun Ghealways, sang mahasiswi tersebut hanya meminta semua pihak menunggu. Karena rencananya di tahun ajaran 2018/2019, Ghea tak hanya juga akan kembali di kampus. Merintis skripsi dan menuntaskan SKS yang belum diambil, menjadi targetnya untuk diselesaikan dalam waktuwaktu ke depan.
Di tahun ajaran 2018/2019, Ghea tak hanya juga akan kembali di kampus. Merintis skripsi dan menuntaskan SKS yang belum diambil, menjadi targetnya untuk diselesaikan.
“Ditunggu saja ya, hehe. Intinya Ghea selalu yakin dan bersyukur, Ghea senantiasa mengusahakan yang terbaik. Bagi UNY dan bagi semua masyarakat Indonesia."
» Opini
Bersatu, Berbagi, Prestasi Oleh YUDI LATIF, Ph.D. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
P
ada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan ”bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham.” Lantas ia katakan, ”Kita bersama- sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu ’Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.” Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menjadi titik ”persetujuan” (titik temu, titik tumpu, titik tuju) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut bernama Pancasila. Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari ”persetujuan” dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk. Setiap kali kita kembali ke 1 Juni (Hari Lahir Pancasila), setiap kali itu pula diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemung kinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan. Prinsip persetujuan itu memang harus tetap mengacu pada Pancasila, tetapi konteks tualisasinya harus mempertimbangkan faktor ancaman, tantangan, hambatan, dan gang-
guan agar Pancasila bisa responsif dengan perkembangan zaman. Dalam konteks Indonesia hari ini, ba gaimana kita bisa mencari persetujuan bagi kemaslahatan umum di tengah kemunduran kecerdasan kehidupan bangsa. Persetujuan memerlukan kemampuan merumuskan substansi dan argumentasi. Kita sekarang hidup di tengah buih keter apungan. Saat ucapan bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Kritik teringkus sebatas caci-maki tanpa solusi. Makna mengu ap dalam keriuhan viral maya. Di seantero negeri, kedalaman dihindari, kedangkalan dirayakan. Ke mana saja menghadap, sampah berserakan mengguritai wajah negeri. Segala yang inti sejati tertindih tersingkir di belam sunyi. Persetujuan memerlukan rasa saling percaya, yang tumbuh dari keadaban publik. Adapun yang berkembang di sini adalah kesalingtidakpercayaan secara paripurna, baik dalam relasi antar-elite, antara elite dan rak-
yat, maupun antar-sesama rakyat. Semuanya itu terjadi karena menurunnya nalar etis dalam kehidupan politik. Setelah 20 tahun demokrasi reformasi digulirkan, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Banjir uang ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan jadi nilai uang. Relasi publik menjadi hubungan konsumtif. Politik meng alami konsumerisasi dan privatisasi. Pengibaran citra-diri menggantikan kualitas jati-diri Sihir moneter ini bahkan menembus jantung pertahanan sipil. Masyarakat madani sebagai reservoir nilai sipilitas dan kesukarelaan jebol ketika uang jadi penentu, bahkan dalam pemilihan pemimpin ormas keaga maan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Kini, cuma sedikit yang masih tersisa. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan, hukum dan institusi lumpuh karena ”diperjualbelikan”; keteladanan kemarau karena kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Persetujuan memerlukan kecerdasan empati, yakni kesanggupan tepa salira untuk bisa menempatkan diri dalam situasi orang lain. Namun, mana mungkin kepekaan bisa diasah jika proses pendidikan lebih mengutamakan kecerdasan dalam ”kedirian yang bersifat privat” (private self), seperti penekan an pada pelajaran yang bersifat hard skill. Kecerdasan empati memerlukan perhatian pada kecerdasan dalam ”kedirian yang bersifat publik” (public self) yang mengarah pada ”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence). Pendidikan harus menumbuhkan kompetensi warga untuk mengemban tugas kewargaan (civic duty), memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita (civic joy). Pengembangan ”kecerdasan kewargaan” lebih fundamental bagi suatu bangsa yang majemuk. Dalam masyarakat plural, warga bisa hidup berdampingan, tetapi sulit me nyatu ke dalam suatu entitas politik terkendala kemusykilan menentukan kehendak ber-
Setelah 20 tahun demokrasi reformasi digulirkan, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Banjir uang ke dunia politik hari ini membawa polusi pada demokrasi dan kehidupan publik. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 45
» Opini sama dan kebajikan bersama. Dalam konteks itu, pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya sebagai ”perwujudan khusus” (”diferensiasi”) dari alam. Lima jalur Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama ini secara keseluruhan membentuk lingkung an sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan ”kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, justru pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini. Persetujuan butuh keyakinan bahwa de ngan bersatu kita bisa meraih kemajuan dan persemakmuran bersama. Bangsa yang tak bisa menunjukkan prestasi dalam peradaban dan kemakmuran tidak memberi kebanggaan pada anak-anak bangsanya. Bangsa yang tidak merasa bangga pada dirinya cenderung mengembangkan sikap nyinyir, saling menjatuhkan, dan saling tidak percaya pada apa pun dan siapa pun. Bangsa yang tidak mampu meningkatkan kemak muran secara merata cenderung mengarah pada eksklusivisme primordial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya mengusik rasa hirau kita, apa kebanggaan Indonesia di pentas dunia? Untuk itu, kita perlu ”senjata” baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Ilmu dan teknologi, daya kreasi yang berbasis etos dan etis-estetis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan. Persetujuan akan kemaslahatan bersama juga mengalami tantangan dari peruncingan konflik nilai yang ditimbulkan oleh pluralisasi ideologi sebagai imbas globalisasi. Selain menimbulkan gejala ketercerabutan (deprivasi) sosial, hidup dalam era globalisasi juga diwarnai kesenjangan kemakmuran antara ”the winners” dan ”the losers” bersama an dengan gerak interpenetrasi berbagai ideologi-budaya yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandang an dunia. Bagi Indonesia, intensitas arus globalisasi yang berbarengan dengan demokratisasi era Reformasi juga ditandai oleh situasi paradoks: tatkala Pancasila ”ditinggalkan”, ideologi lain merebak di ruang publik. Gelombang pasang militansi ideologi-ideologi divergen di tengah surutnya ideologi konvergen (Pancasila) meledakkan ekstremisme di ruang publik. Ditilik dari sudut ini, ekstremisme dan terorisme bangkit sebagai cerminan kelalaian dan kelemahan kita membumikan Pancasila sebagai ideologi kerja (working ideology). 46 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
Jika Pancasila dikehendaki kesaktiannya sebagai ideologi kerja, ada lima jalur yang harus ditempuh. Pertama, melakukan revitali sasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila. Kedua, mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya kewargaan berbasis nilainilai Pancasila, serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras, dan golongan. Ketiga, mendorong terwujudnya keadil an sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya praktik ekonomi berke adilan sosial. Keempat, menguatkan internalisasi nilainilai Pancasila ke produk perundang-undangan, kebijakan publik serta lembaga ke negaraan dan kemasyarakatan. Kelima, menumbuhkan, mempromosikan, dan meng apresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Dari jalur pemahaman diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur kerukunan mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan mengarah pada Indonesia berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada Indonesia tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia terpuji. Pesan moral Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini momen istimewa sebagai wahana reflek si diri karena persentuhannya dengan ber bagai peristiwa keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa, dan umat Buddha merayakan Trisuci Waisak. Rangkaian perayaan Hari Lahir Pancasila, yang dimulai 1 Juni hingga 18 Agustus 2018, juga bersentuhan dengan momen padat politik pilkada di sejumlah wilayah serta menjelang Pemilu 2019. Kita juga akan menyongsong Hari Kemerdekaan RI serta penyelenggaraan Asian Games. Pesan moral dari semua peristiwa dan peringatan ini adalah seruan untuk menggelorakan semangat bersatu, berbagi, dan berprestasi. Bersatu artinya kita kembang-
kan kembali spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang sepanjang ga ris khatulistiwa tak boleh jadi alasan untuk saling membenci, tetapi justru menjadi daya perekat bangsa. ”Bersatu dalam keragaman dan beragam dalam persatuan”. Untuk itu, kita harus memperkuat kecer dasan kewargaan dengan mengasah nalar etis dan bela rasa dalam wujud ”kebajikan kewargaan” (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerah kannya secara toleran kepada tertib sipil. Berbagi artinya kita kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain men-
Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini momen istimewa sebagai wahana refleksi diri karena persentuhannya dengan berbagai peristiwa keagamaan dan kebangsaan. Umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa, dan umat Buddha merayakan Trisuci Waisak.
BASTAMANOGRAPHY
jadi saudara dari keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya merupakan sari pati nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yakni gotong royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan menerima; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; menyelesaikan persoalan lewat musyawarah dan mufakat. Di dalamnya tersimpan pula makna yang senantiasa harus kita aktifkan: menebarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa setiap warga negara dijamin hak hidup, hak milik, dan kehormatannya, de ngan pelayanan publik yang setara. Berprestasi merupakan wujud aktualisasi kebebasan positif, dalam rangka mengembangkan potensi insani dan potensi kolektif bangsa, dalam usaha mencapai cita-cita na-
sional. Berprestasi menjadi hal penting bagi semangat kita untuk terus memberikan karya dan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bangsa, bahkan kemanusiaan secara global. Di tengah kondisi bangsa yang sedang diuji letupan konflik akibat benturan kepenting an dan pemahaman; seruan bersatu, berbagi, dan berprestasi, menjadi ajakan yang tak hanya mendamaikan, tetapi juga mengajak kita keluar dari kemelut pertikaian menuju prestasi positif bagi kemajuan bangsa. Atas dasar itu, tema peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini adalah ”Kita Pancasila: Bersatu, Berbagi, dan Berprestasi”. Melalui tema ini, kita diingatkan bahwa kesaktian Pancasila perlu perhatian simultan terha dap masalah persatuan dan keadilan. Kita
Berbagi sejatinya merupakan sari pati nilainilai Pancasila itu sendiri, yakni gotong royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan menerima; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan. Keduanya ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak secara serempak. Pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti, tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Saat yang sama, demokrasi yang tidak mendorong kea dilan sosial malah memperluas kesenjangan sosial, bisa melahirkan frustrasi sosial yang berbalik menikam demokrasi. Hanya dengan menguatkan semangat bersatu dan berbagi, kita bisa meraih prestasi kehidupan bangsa di berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita nasional menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Prestasi dalam kerangka persetujuan menghadirkan kemaslahatan hidup bersama. Ini impian kita bersama, sebagaimana diwakili tekad Bung Hatta, ”Aku ingin membangun dunia di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya.” P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 47
» Opini
Manusia Beragama dan Bernegara PERSPEKTIF PENDEKATAN BERPIKIR INTEGRATIF Oleh MAKSUDIN Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
M
Pentingnya Beragama dan Bernegara anusia beragama dan bernegara merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena pada hakikatnya kedua hal ini menjadi kebutuhan asasi bagi setiap manusia. Karena itu, beragama dan bernegara bagi setiap manusia sama pentingnya. Artinya manusia beragama berarti manusia berketuhanan (teosentris) dan manusia bernegara (antroposentris) berarti manusia berbangsa, berperadaban dan berbudaya sebagai bagian dari sunnatullah (hukum alam). Ketika manusia beragama sumber ajarannya adalah wahyu Tuhan YME, sedangkan manusia bernegara “Indonesia” sumbernya sunnatullah. Dari sumber sunnatullah dapat dijelaskan bahwa manusia memiliki sifat kodrati, sebagai makhluk sosial dengan ciri manusia berkelompok, zoon politicon, berbangsa, berperadaban dan berbudaya. Sifat kodrati manusia, bagian dari sunnatullah sehingga manusia Indonesia melahirkan Negara Indonesia secara konstitusional. Oleh karena itu, bernegara bagi bangsa Indonesia dipahami sebagai sunnatullah, karena secara historis terbentuknya Indonesia melaui proses sangat panjang dan perjuangan hebat para pendahulu bangsa sebagai pelaku pejuangan kemerdekaan, yang gugur menjadi pahlawan, syuhada, dan salihin yang telah mendahulului kita semua. Bangsa Indonesia saat ini dan sete rusnya menjadi penerus, pengisi, dan penjaga serta pejuang kelangsungan dan keutuhan NKRI ini. Di dalam pembukaan UUD 1945 disebut-
48 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
kan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keingin an luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini menunjukkan secara sadar adanya kepercayaan iman para pendiri, pejuang kemerdekaan Indonesia benar-benar mendapatkan rahmat Allah YME dan atas doa, usaha, ikhtiar dan perjuangan para pendahulu bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, dipahami bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bukti kon kret bersumber sunnatullah, manusia yang merencanakan dan Tuhan yang menentukan. Tafsir ilmi menyebutkan ketentuan Tuhan YME ada dua, yaitu agama dan sunnatullah. Agama yaitu hukum dan ketentuan Allah bagi manusia yang mengharapkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sumber agama adalah wahyu. Agama hanya diperuntukkan
bagi manusia. Manusia dapat memilih untuk taat atau tidak, tidak ada paksaan memeluk agama, mereka yang taat akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan yang tidak, akan mendapatkan akibat di dunia dan akhirat. Sunnatullāh, yaitu hukum dan ketentuan Allah yang berlaku pada seluruh alam dan makhluk-Nya sering disebut hukum alam. Semua makhluk, baik manusia, binatang, tumbuhan, dan benda anorganik, tunduk dan patuh pada hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. pada hukum alam atau sunnatullāh semua makhluk tidak ada pilihan kecuali harus tunduk dan patuh. Dengan kata lain sunnatullah menjadi sumber sains dan peradaban bagi manusia. Agama dan Sunnatullah Integratif Agama bersumber wahyu, yang dijadikan dasar bagi manusia beragama dalam mengamalkan ajaran agama yang diimani. Sunna tullah dalam arti luas menjadi sumber manusia bernegara, berbangsa, berperadaban, dan berbudaya. Pada hakikatnya agama dan sunnatullah adalah integrative. Karena itu, sunnatullah dijadikan dasar bernegara yang diejawantahkan oleh pendiri bangsa Indonesia ke dalam Pancasila dan UUD 1945. Kedua sumber tersebut berasal dan bersumber dari Allah SWT. Agama dari sumber wahyu dikaji manusia secara teologis-dogmatis dan filosofis-metodologis melahirkan ilmu al-ulum ad-Din integrative. Demikian pula sunnatullah menjadi sumber Sains dikaji secara filosofis- metodologis dan teologis-dogmatis melahirkan natural sciences & technology–social sciences & humanities integrative. Manusia beragama dalam menjalankan ajaran agama tidak bisa berdiri sendiri tanpa ruang dan waktu dan sarana prasarana dalam peribadatan. Ruang dan waktu adalah bagian sunnatullah (hukum alam) yang tidak bisa terpisahkan dengan peribadatan manusia beragama. Artinya, ketika manusia beribadah menempati ruang dan waktu serta mengenakan perangkat peribadatan yang dibutuhkan. Demikian pula, manusia bernegara tidak bisa tanpa sunnatullah. Dengan demikian manusia Indonesi beragama sesuai ketentuan agama dan manusia Indonesia bernegara sesuai dengan dasar Negara, ideology, dan falsafah NKRI, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Untuk menghindari dikotomi pengertian, pemahaman, penghayatan dalam memahami manusia beragama (berketuhanan/teosen-
Manusia beragama dan bernegara merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena pada hakikatnya kedua hal ini menjadi kebutuhan asasi bagi setiap manusia. Karena itu, beragama dan bernegara bagi setiap manusia sama pentingnya.
tris) dan bernegara (antroposentris), maka diperlukan paradigma integrative dan nondikotomik. Paradigma integrative beragama dan bernegara pertama dan utama adalah harus jelas dan tegas memposisikan agama dan Negara sehingga hubungan antar keduanya juga jelas dan tegas. Agama bersumber wahyu dan Negara bersumber sunnatullah. Bagi kita bangsa Indonesia mayoritas umat beragama dikokohkuatkan sumber agama yang dipeluk adalah wahyu, sedangkan kita bernegara berdasar, berideologi, dan filosofi Negara adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Posisi dan Hubungan Manusia Beragama dan Bernegara Dengan demikian jelas posisi dan hu bungan bangsa Indonesia dalam beragama dan bernegara secara utuh integrative, nondikotomik, dan holistik dalam tatanan hidup
dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI tercinta. Pemahaman integrative nondikotomik seperti ini sebagai upaya konstruktif dan konstitusional dalam penegakkan kelangsungan hidup dan menuju kua litas hidup berbangsa, beragama, dan bernegara. Karena itu, bagi bangsa Indonesia tidak lagi mempersoalkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara, ideology, dan falsafah negara yang sudah final. Untuk itu, tidak diperlukan lagi adanya upaya menggantikan dasar Negara, ideology, dan falsafah dengan selain Pancasila dan UUD 1945. Dengan dasar Negara Indonesia yang telah ditetapkan secara konstitusional mestinya semua elemen bangsa Indonesia tidak ragukan lagi kebenaran dan ketetapan kons titusi yang konstitusional itu, sebagai dasar dan landasan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Eksistensi agama yang dipeluk jelas dan tegas, begitu pula eksisten-
Bagi kita bangsa Indonesia mayoritas umat beragama dikokohkuatkan sumber agama yang dipeluk adalah wahyu, sedangkan kita bernegara berdasar, berideologi, dan filosofi Negara adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
si NKRI sebagai wujud manusia bernegara sudah jelas dan tegas. Jika demikian, maka hubungan agama dan Negara bagi umat beragama dengan NKRI bangsa Indonesa sangat jelas dan tegas, tidak perlu penafsiran dan pemahaman yang kontraproduktif atau bahkan destruktif dalam memahami manusia beragama dan bernegara. Akan tetapi, jika sebaliknya pemahaman posisi dan hubungan umat beragama dan bernegara “di NKRI” ini tidak menjadi keutuhan, integrative, nondikotomis, maka senantiasa akan memunculkan permasalahan dalam tatanan kehidupan dan sistem kehidupan di NKRI ini. Manusia beragama dan bernegara meru pakan kebutuhan hakiki manusia bersifat kodrati. Manusia beragama tidak bisa dipisahkan dengan bernegara. Negara dijadikan pemeluknya sebagai tempat untuk mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya sesuai dengan petunjuk wahyu, sedangkan bernegara sesuai dengan ketetapan dan kesepakatan konstitusi secara konstitusional para pendahulu, pejuang kemerdekaan yang diladasi jiwa nasionalisme, patriotisme, sehingga menjadi bangsa beradab, berkepribadian Indonesia. Dengan uraian singkat di atas menjadi jelas dan tegas posisi dan hubungan manusia beragama dan bernegara secara integratif pada hakikatnya sama-sama bersumber dan berasal dari Tuhan YME, wahyu dan bernegara bersumber dan berdasar Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, permasalahan dasar, ideologi, dan falsafah Negara RI sudah final dan tidak ada selain Pancasila dan UUD 1945. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 49
Resensi
PESONA HOROR HEREDITARY, MENIKAM BULU KUDUK
R
umah mewah berkayu dua di tengah rerimPeter, yang diperankan Alex Wolff menjadi kunci bun pohon pinus punya sisi mistis sendipenutup Hereditary, bertahan sebagai pihak yang HEREDITARY Sutradara: Ari Aster ∫ ri. Apalagi rumah itu tampak sepi bila dite menyaksikan kenapa warisan kutukan itu jatuh di Pemeran: Alex Wolff, Toni ngok dari radius seratus meter. Semilir angin keluarganya. Collette, Ann Dowd, Gabriel terdengar syahdu dan ternyata efek ini memDi dalam akhir cerita Peter merangkak masuk ke Byrne, Mallory Bechtel ∫ Produksi: Finch Entertaintment perkaya suasana sekeliling rumah berlantai ruangan berkayu sebelah rumahnya dan menyaksiWindy Hil Pictures ∫ Rilis: 8 Juni dua itu. kan kurang dari sepuluh manusia tanpa kepala su2018 ∫ Durasi: 127 menit Sorot kamera diarahkan tepat ke prosesi jud menghadap dinding. Pada dinding itu terpatri berkabung. Di sebuah ruangan, seorang nelukisan kudus. Film usai dengan menyisakan serinek, kira-kira berusia kepala tujuh, tergeletak di dalam peti. bu tafsir penonton. Duapuluhan orang berbaju hitam pekat duduk berbaris menyiBangunan cerita dari awal hingga akhir penuh tanda tanya. mak pidato terakhir yang disampaikan seorang ibu beranak dua. Tapi model semacam inilah yang membuat Hereditary adalah film Perempuan itu, Annie Graham (Toni Collette), dengan sedu sedan horor yang patut ditonton tahun ini. Saran saya, kalau hendak memengucurkan ucapan bela sungkawa mewakili pihak keluarga. nonton di bioskop, bawa pacar atau teman agar tak terhantui sepanSiapa sangka petaka dimulai sejak hari perkabungan. Seca jang film yang berdurasi satu setengah jam itu. AMADEUS FITRA NIRVANA ra perlahan irisan-irisan mencekam disodorkan melalui bayangan sesosok nenek. Tak seperti film horor lain yang menarasikan situasi menakutkan dengan suguhan sosok hantu. Film berjudul Hereditary cenderung mengeksplorasi secara mencekam dengan alur cerita tak terduga. Hentakan kaki, daun pintu berderit, dan sisi audio-visual lain. Baru diluncurkan pada pertengahan 2018, film ini menarik atensi Festival Film Sundance sebagai tayangan yang wajib disaksikan. Banyak narasi dan situasi horor yang dikatakan berbeda sehingga menurut debut internasional itu Hereditary diharapkan menjadi film horor jempolan tahun ini. Secara garis besar Hereditary mengisahkan teror kolektif yang menyerang Annie, seorang seniman miniatur, dan keluarganya: Peter (suami) dan Peter dan Charlie (kedua anaknya). Teror itu menyeruak pascakematian ibunda Annie. Sepanjang cerita horor-horor disuguhkan ciamik tanpa terlepas inti cerita, yakni warisan kutukan sang nenek. Teka-teki teror akhirnya perlahan terpecahkan. Annie mulanya menyangsikan bahwa teror yang menghantui keluarganya adalah bawaan dari ibunya. Namun, suatu ketika, ia mendapati buku kuno ihwal praktik okultis. Buku itu milik ibunya. Saat kilas balik, melalui tokoh Annie, ibunya pernah tergabung ke dalam komunitas pemujaan setan. Penyebab gentayangannya arwah nenek bermuara dari sana. Seperti acap diketahui khalayak, tiap pemujaan pasti mengikat, sekalipun pihak yang mengikuti itu telah tiada. Warisan kutukan itu akhirnya jatuh pada anak terakhir Annie, Cahrlie (Milly Shapiro). Pada pertengahn cerita Charlie yang diduga indigo itu tewas ketika terserang penyakit misterius dan kepalanya tertabrak plang jalan manakala diboncengkan kakaknya dalam perja lanan pulang—saat itu Charlie ikut kakaknya pesta bersama kerabat sekolah. Usai Charlie mati teror masih berlanjut. Anak sulu Annie dan suaminya menjadi korban pula. Demikian pula Annie di akhir cerita. Anehnya 50 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2018
Bina Rohani
Tamu Tak Diundang
M
anusia adalah makhluk hidup yang memiliki strata tertinggi di bumi. Makhluk yang memiliki akal untuk dapat berkembang menjadi lebih baik. Manusia adalah makhluk yang selalu ingin mencapai apa yang diinginkan dan direncanakan. Tidak jarang apabila yang kita inginkan dan kita rencanakan itu gagal maka marah, sedih, emosi dan segala perasaan negatif tercampur menjadi satu. Akan tetapi Allah sering memberi kita kejutan tanpa kita duga-duga yang membuat kita tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan. Salah satu takdir yang sama sekali tidak bisa kita prediksi dan kerap kali mendadak adalah kematian. Sesungguhnya setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Tamu yang tidak diundang yang bisa datang kepada manusia tua, remaja bahkan bayi sekalipun. Karena sesungguhnya malaikat maut tidak akan mengetuk pintu rumahmu untuk meminta izin mencabut nyawamu. Meninggal karena penyakit, kecelakaan, atau karena sebab yang tidak diketahui bukanlah hal yang bisa kita pilih. Tamu yang hampir tidak seorang manusia pun menginginkan kedatangannya. Bahkan kematian tidak pilih-pilih tempat untuk bertamu kepada kita. Me ninggal di rumah, rumah sakit, jalan, atau yang kebanyakan manusia inginkan yaitu meninggal di saat atau ibadah di tempat ibadah. Selain tempat yang baik, manusia kadang mati di tempat yang buruk seperti di tempat pelacuran, tempat perjudian, atau tempat-tempat maksiat lainnya, naudzubillahi mindzalik. Terkadang ada pula manusia-manusia bodoh yang menga nggap bahwa kematian, terkhu sus membunuh diri sendiri itu adalah jalan keluar dari sega la macam masalah. Namun, ma raknya kemunculan fenomena tersebut tidak lantas menjadi pembenaran. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang menghalalkan bunuh diri. Ada orang bunuh diri karena hutang, apakah ketika bunuh diri hutangnya lunas? Malah justru akan menambah banyak masalah baik di dunia terlebih di alam setelah mati. Selain itu ada pula manusia bodoh lain yang bunuh diri karena cinta, padahal sungguh kalaupun jodoh tidak akan kemana, dan justru Allah tidak memberimu jodoh
posisikan diri agar ketika tamu yang tak diundang itu datang bisa dalam kondisi yang kita inginkan, maka ada tiga jawabannya. Berbuat baiklah karena sesungguh nya seseorang itu akan dimatikan dengan tersebut merupakan jalan yang terbaik bakebiasaannya. Apabila seorang manusia gi masa depanmu. Sesungguhnya kematian memiliki kebiasaan menjadi orang baik itu pasti, tetapi kita tidak bisa mendahului maka niscaya orang tersebut akan dimatakdir dengan mempercepat kematian. tikan ketika berbuat baik. Apabila seseoTerdapat dua status ketika seorang marang itu memiliki kebiasaan menjadi orang nusia itu mati. Pertama, manusia itu mati tidak baik maka dia pula akan dimatikan karena sesungguhnya bumi beristirahat dalam kondisi tersebut. Maka mari kita atas kejahatan-kejahatannya di dunia. Mati paksakan diri ini menjadi orang baik, le yang seperti ini adalah mati yang tidak inbih baik dibilang sok baik daripada sok jagin dialami oleh semua manusia, matinya hat karena bisa jadi itu adalah doa agar kiseorang bandar narkoba yang sedang menta benar-benar menjadi orang baik. gonsumsi narkoba atau matinya preman Tebarkanlah ilmu kebaikan seba yang sedang aksi klitih. Status kedua adanyak-banyaknya. Sungguh bahwa ketilah manusia itu mati karena dia beristiraka kita menyabarkan ilmu maka ilmu kita tidaklah berkurang dan VIVA.CO.ID cenderung untuk bertambah. Selain bertambah, apabila kita mengajarkan ilmu kebaikan kepada orang lain dan orang tersebut te rus mempraktikkan ilmu tersebut, maka akan beruntunglah kita baik di dunia maupun di akhirat. Sebarkanlah ilmu yang bermanfaat kepada orang lain, selain itu tambahkan hal yang paling penting dalam menyebarkan ilmu. Hal tersebut adalah niatkan hanya kepada Allah, karena sesungguhnya ketika kita meniatkan diri hanya unutk-Nya tidak mungkin kita akan dikecewakan. Hal ini didasarkan karena kadang kita berbuat baik kepada seseorang atau mengajarkan ilmu yang baik kepada seseorang justru orang tersebut membalasnya dengan se suatu yang kurang baik kepada kita, maka niatkan hanya kepada-Nya. Jadikan keturunanmu adalah keturunan yang soleh/solehah dan hebat. Sungguh bahwa tidak ada manusia yang tidak ingin melanjutkan keturunannya. Melihat lucunya anak-anak dan mendidiknya adalah hal luar biasa bagi sepasang orang tua yang bisa membangun keluarga. Anak laiknya tabungan, maka buatlah tabungan tersebut semakin hat oleh lelahnya dunia dengan meninggalkaya; kaya akan akhlak dan ilmu yang baik. kan warisan berharga. Kondisi kematian tidak ada gunanya jika memiliki anak yang yang sangat diinginkan manusia. Kematian kaya atau tampan sekalipun kalau agama ini jelas lah bukan kematian karena bunuh dan akhlaknya jelek. Orang tua akan lebih diri akan tetapi kematian yang terjadi di memilih anak yang kurang tampan atau tempat baik dan kondisi yang baik. Sesunghidup sederhana tapi anaknya memiliki guhnya amal itu tergantung pada akhirnakhlak yang baik. Semoga ketika tamu tak ya. Meninggal ketika bersedekah, ketika diundang itu datang kita selalu siap dan diberibadah dan lain sebagainya merupajemput dengan senyuman. Walaahu a’lam kan contoh dari status kedua ini. Ketika bi sawab. ada pertanyaan bagaimana kita bisa memOleh DARPITO NUGROHO Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS dan PAI UNY
P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2018 5 1
Cerpen
Perang DAN Kegelapan
M Oleh RULY R KOMUNITAS KAMAR KATA KARANGANYAR (K4) DAN LITERSI KEMUNING.
MULANYA negeri Pantamima dikenal subur dan kaya, segala yang dibutuhkan ada. Sumber daya alam melimpah ruah, tapi sekarang sejauh mata melayangkan pandang ke sekitar, tanah sudah tak terlihat, yang ada hanya reruntuhan bangunan dan puing-puing yang berserak tak keruan. Di sana, air menjadi barang mahal, kecuali air yang keluar dari indra penglihatan. Pemandangan indah di negeri itu bak hewan yang dimasukkan ke dalam taman margasatwa. Yang akrab di telinga masyarakat sana adalah jerit penderitaan dan darah yang panas, yang mengucur tanpa henti, tanpa mengenal kompromi hari. Siang dan malam, penderitaan meraung, menyisa kecemasan yang tertahan di dada setiap penduduk Pantamima. Manusia, tumbuhan dan hewan sibuk dengan kegelisahannya masing-masing di setiap malam. Bahkan jangkrik di sana tak berani mengeluarkan suaranya. Tapi dari semua malam, ada malam yang menjadi anomali. Seekor kelelawar yang terbang di hamparan cakrawala gelap berhias cahaya peluru. Kelelawar itu melenting di udara, sayap elastisnya tak ubah penggambaran sebuah kebebasan dari kungkungan
52 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
penderitaan. Sesekali hewan nokturnal itu menukik tajam, tubuhnya hampir menubruk puing, namun tak jadi. Entah tanda apa seekor kelelawar keluar tidak seperti malammalam yang telah jauh berlalu. Tidak ada seorangpun yang tahu, juga tidak ada yang acuh akan hal itu. Toh tanda hanya bergerak berdasar rasa dan karsa, tapi di Pantamima, rasa dan karsa sudah diganti dengan penderitaan. Kelawar keluar malam memang sudah sewajarnya. Tapi kewajaran yang sudah lama hilang tak ubahnya kejanggalan. Ada satu tanda yang terkenal tapi bukan tentang kelelawar, itu tentang rombongan walet. Konon jika pada siang hari rombongan walet berputar-putar di udara, itu tanda hari akan segera turun hujan, tapi di Pantamima itu hujan sama langkanya dengan kebahagiaan, sekali lagi di sini hanya ada hujan air mata, darah, dan peluru. Kelelawar itu terlihat oleh dua orang tentara yang siap menembakkan meriamnya ke udara, sebagai tanda peringatan untuk penduduk negeri itu, sekaligus meluluhlantakkan gedung tersisa, yang masih tegak berdiri. Tapi bukan hanya kelelawar itu saja yang mencuri perhatian dua prajurit berseragam itu untuk memandangnya, ada seorang lelaki berambut perak, yang tangannya sibuk mengeruk puing-puing, entah mencari apa, mungkin makanan, mungkin juga sanak
keluarganya yang tertimbun puing. “Ada apa ini?” tanya tentara satu yang bernama Omar. “Apanya?” tanya dibalas tanya oleh tentara dua—kawannya bernama Yusuf. Dua serdadu itu terus berbincang. Menjeda mulut meriam yang pelurunya siap mereka tembakkan ke udara. “Kau tak lihat?” Telunjuk Omar mengarah ke lelaki berambut perak itu. “Apanya yang salah?” “Kasihan.” “Ini perang.” “Bukannya ada toleransi dalam perang?” “Hanya untuk anak-anak dan perempuan.” “Bagaimana jika kakek itu mencari makanan untuk sanak keluarganya?” “Siapa yang peduli?!” Yusuf menjawab pertanyaan Omar dengan ketus. Air mukanya bak singa padang pasir yang kelaparan, ganas mencari mangsa. “Kau tak peduli?” “Apa perang mengenal peduli? Kita hanya melaksanakan tugas.”
Memang begitu adanya, dua tentara itu hanya melaksanakan tugas dari sang Komandan. Komandan itu juga melaksanakan tugas dari komandannya. Begitu terus menerus hingga komandan teratas. Konon komandan teratas itu saat ini ada di belahan bumi bagian Barat, sedang menyaksikan sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara opera sabun. Lain di belahan Timur, di negeri yang kondang gemah ripah loh jinawi, ada masyarakat yang berdemo, menuntut perang di Pantamima, yang jaraknya jauh dari mereka segera selesai. Entah karena apa mereka melakukan itu, apa karena kepedulian, atau konstelasi politik semata, sudah tak jelas. Agama bercampur dengan kepentingan politik, atau sebaliknya, semua kabur, semu dan tak menemu juntrungannya. Dari tempat yang tak jauh dari dua tentara yang sedang bercakap-cakap, gemuruh panser berjalan bebas melindas puing. Malam yang gelap berhias cahaya-cahaya yang meletup bak malam tahun baru dengan pesta kembang apinya. Jika tahun baru selalu memberi harapan, tidak demikian dengan malam-malam yang ada di Pantamina, negeri yang akrab dengan penderitaan. Setiap malam adalah kecemasan. Esok atau lusa adalah penderitaan yang bertubi-tubi, antre untuk
segera menusuk dalam diri penduduk Pantamina, negeri yang tak habisnya didera konflik. Sementara kelelawar masih terbang, sayap elastisnya merentang tak acuh dengan apa yang ada di langit. Lelaki berambut perak itu juga tak
semua muntab dan nekat untuk melakukan segala hal. “Apa kita benar-benar akan menembak? Tidak menunggu kakek itu pergi?”
begitu, semua tentang strategi.” “Kenapa kita tidak damai?”
“Kenapa kau ragu?”
“Memang kita siapa? Damai bukan urusan kita, itu urusan komandan. Kita hanya melaksanakan tugas.”
“Apa kita benar?”
“Meski perintah itu salah?”
dari perintah, kalau kita tidak ingin mati. Ini sudah takdir kita.” Takdir saling bersilang antara lelaki tua, kelelawar, dan dua tentara. Masing-masing tak bisa menghindar akan apa yang sudah digariskan padahal mereka tak pernah
FREEPIK.COM
GAMINGBOLT.COM
memedulikan suara panser, tangannya sibuk sendiri, pikirannya mungkin juga. Entah apa yang dia cari. Makanankah? Potongan tubuh keluarganya? Harapan? Segalanya tak jelas. Pun jika mencari hal-hal itu, lelaki berambut perak harus berebut dengan anjing jalanan yang kudisan. Lelaki tua itu mungkin tahu jika tak ada anjing yang akan keluar di malam hari, tapi tidak ada juga yang tahu bahwa rasa lapar akan membuat
“Lalu kita salah? Bukankah benar atau salah tidak ada ukurannya?. Ini perang. Jika kita tidak menembak, kita bisa ditembak musuh!” “Bukannya musuh kita sudah kalah?” “Jangan meremehkan. Kadang musuh hanya pura-pura kalah, tidak benar-benar kalah.” “Darimana kau tahu?” “Perang itu siasat, politik juga
“Bukankah tadi sudah kubilang! Jika kau tidak berani menembak, biar aku saja.” Tumpukan kekesalan nampak di wajah Yusuf. Hatinya seperti dibakar dengan pertanyaan kawannya itu. Sesaat dia membentak, “Sini! Kau terlalu banyak mikir. Kau pikir aku tidak punya iba? Aku juga punya itu sejak dulu, saat pertama kali aku ditugaskan untuk melakukan ini semua. Tapi kita tidak bisa mengelak
memesan takdir seperti itu. Takdir yang dibawa angin, yang menghimpun busuknya luka dan kentalnya darah. Takdir yang rumit, yang memaksa mereka mematikan harapan masing-masing. Harapan di negeri itu sudah tertimbun di bawah puing. Tangan dan dada Omar bergetar hebat. Mulut meriam memun tahkan isi. Kelelawar berubah menjadi gelap yang menghilang kan lelaki berambut perak itu. P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8 53
PUISI TEMBANG G E G U R I TA N
Berebut Takhta /1/ tanah pati jatuh, adipati pragola terbunuh seisi istana dijarah, semua puan dijamah satu putri berdiri, tegak menantang melawan bak harimau garang wiraguna, sang tumenggung, bingung tak mengerti: ia jatuh hati /2/ nyai ajeng berbalik arah, tak lagi marah pada nasib dan waktu ia sumarah wiraguna merasa tak berguna hadapi mendut yang rara "bayar atau mati," ia membentak /3/ kotaraja seisinya jatuh cinta pada liur di ujung kretek beserta desahnya tak ada yang mengerti, sang rara menanti lelaki yang akan menghadiahinya cahaya bulan
hingga pranacitra datanglah menghibur hati yang gelisah /4/ terbongkar sudah, wiraguna di puncak amarah pelarian sang rara berhari-hari sia-sia sudah pranacitra-wiraguna beradu dada di pantai terbuka andalkan rasa dan tajam di dada keris dan tekad membakar elan; salah satu ucapkan selamat jalan /5/ dalam dendang duka gelombang rara mendut-pranacitra berpulang tunjukkan siapa sebenarnya pemilik takhta di jantung masa Mei, 2018
* SYAFIQ ADDARISIY Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNY
POJOK GELITIK
Mengaku Salah Umarmoyo: Di, di bulan Juli ini ada peristiwa penting apa enggak sih? Umarmadi: Jelas ada dong! Umarmoyo: Apa coba? Umarmadi: Idul Fitri. Setelah umat Islam berpuasa sebulan penuh. Umarmoyo: Terus ada apa itu namanya Umarmadi: Syawalan atau halal bihalal. Ini budaya kita yang ruar biasa lho! Umarmoyo: Harus dilestarikan keberadaannya! Kenapa ta? Umarmadi: Syawalan atau halal bihalal itu sebuah prosesi pesta. Pesta saling memaafkan satu dengan yang lain. Umarmoyo: Lho, minta maaf kalau salah dan 54 P E WA R A D I N A M I K A J U N I 2 0 1 8
memberi maaf kan bisa sewaktuwaktu kapan kita merasa bersalah? Umarmadi: Betul! Cuma, konon maafmemaafkan pasca Idul Fitri, bersamaan dengan halal bihalal atau syawalan itu dirasakan sangat afdol dan jangan lupa “unik”! Umarmoyo: Unik? Di mana uniknya? Umarmadi: Pada saat bersya walan, berhalal bihalal, semua orang tanpa kecu ali “mengaku salah” dan mengi krarkan semua kesalahannya selama setahun itu untuk dimaafkan. Umarmoyo: Hebat ya!
Umarmadi: Dan, tidak ada seorang pun yang merasa paling benar, sehingga harus menyalahkan orang lain. Umarmoyo: Hebat ya! Umarmadi: Semua pejabat, mulai dari presi den, menteri, MPR, DPR, DPD, gubernur, bupati, walikota, camat, kepala desa, lurah, kepala dukuh, ketua RW, sampai ketua RT mengaku bersalah dan berikrar minta maaf. Umarmoyo: Dari rektor, wakil rektor, senat, dekan, wakil dekan, ketua jurusan, sekretaris jurusan, ketua prodi, kepala lab, kepala studio, dst. semua mengaku bersalah berikrar minta maaf.
Umarmadi: Hebat kan! Seba liknya, rakyat kecil, akar rumput, ma hasiswa, pegawai, pekerja, dst.semua pun mengaku ber salah dan berikrar minta maaf. Kedua belah pihak saling memberi maaf dan saling meminta maaf dengan ikhlas. Umarmoyo: Tidak ada yang tidak mengaku salah, semuanya minta maaf. Hebat! Umarmadi: Betul! Para penjahat, para koruptor pun pada waktu syawalan, halal bihalal, semuanya minta maaf, semuanya mengaku bersalah. Anehnya, pada sidang-sidang berikutnya mereka kembali bersikeras tidak mengaku bersalah! Umarmoyo: ............??? EMA R '18
#FestivalPancasila #UNY2018
FOTO-FOTO: M ARIF BUDIMAN
Sedang dikerjakan
#kamibagian #UNY #Smart&Smile HERGITA SYI VADILLA (kiri) Mahasiswa Psikologi UNY (angkatan 2015) Diajeng Kota Jogja 2017 ROMANDHA EDWIN (kanan) Mahasiswa Akuntansi UNY (angkatan 2015) Dimas Kota Jogja 2017 FOTO: KALAM JAUHARI
W W W . U N Y . A C . I D