SULUK | SULUK PUTU WIJAYA
JAKARTA JAKARTA
WAWANCARA | INTERVIEW
DAOED JOESOEF
“YANG BEKERJA SAMBIL MENGUNYAH ADALAH KERBAU” “ THE ONE CHEWING WHILE WORKING IS THE BULL” TEKSTIL | TEXTILE
MENGHIDUPKAN KEMBALI
ELOKNYO SONGKET
REVITALIZING “ELOKNYO” (THE BEAUTY) OF SONGKET
PEMIMPIN SEJATI BERBUDAYA A CULTURED TRUE LEADERS DWIBAHASA BILINGUAL
HARGA RP 48.500,VOL. II | NO. 18 |15 JUNI -15 JULI 2012
Repro_Ibnu Setiadi
Daftar Isi Contents
59 MENCARI PEMIMPIN BERBUDAYA GONG | GONG
THE FRIENDLY, YET EASILY FURIOUS, NATION
“Kalau ingin menjadi gubernur yang baik di Jakarta, masalah kebudayaan harus diurus. Meskipun bukan budayawan, feeling-feeling terhadap kebudayaan harus ada.” Kutipan kalimat di atas disampaikan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin, saat peresmian Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 30 Mei 1978. “To be a good governor of Jakarta, cultural matters have to be taken care of. They do not have to be culturalist, but they should have a sense of culture.” The quote was stated by former Governor for Special Capital Region (DKI) of Jakarta for the period of 1966-1977, the late Ali Sadikin, when he inaugurated the H.B. Jassin Documentation Center for Literature, on May 30, 1978.
8
SULUK | ESSENCE PUTU WIJAYA
Jakarta JAKARTA
36
PROFIL | PROFILE
KE JAKARTA AKU KAN KEMBALI WALAUPUN APA YANG KAN TERJADI.
Si None Bercerita
Lirik lagu Koes Plus dari era ‘70-an itu sampai kini masih terasa menggigit. Bukan saja karena lagunya enak didengar, melainkan juga karena totokan dua kata, kembali dan Jakarta, yang terasa istimewa.
“NONE” TELLS A STORY Namanya Nila Veronica, dikenal dengan sapaan Non Nila, karena dia adalah None Jakarta 2011. Bulan Juli 2012 ini, jabatannya sebagai None, sudah selesai. Namun, bisa jadi panggilan “Non” masih akan melekat.
The lyric of Koes Plus song from the 70s still grips the heart. In addition to the fact that the song is a delight to listen to, the two words of return and Jakarta have a certain nudge that feels special. 4
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Ibnu Setiadi
TO JAKARTA I SHALL RETURN NO MATTER WHAT WILL HAPPEN
Her name is Nila Veronica, popularly refers to as Non Nila since she was the None (Miss) Jakarta 2011. In July 2012, her duty as None, ended. But, the title “Non” may still lingers on.
Anis efizudin
Foto Sampul | Cover Picture: IBNU SETIADI
UPACARA ADAT | TRADITIONAL CEREMONY
14 AMONG TEBAL Petani Tembakau
DI BALIK SAMPUL | BEHIND THE COVER
“AMONG TEBAL” , THE HOPE OF TOBACCO FARMERS
Memasuki masa tanam, petani tembakau di lereng Gunung Sindoro, Sumbing, dan Perahu setiap tahun melakukan ritual Among Tebal. Mereka memohon kepada Tuhan panen tahun ini melimpah. Upon the coming of the planting season, tobacco farmers of the slopes of the Mountains Sindoro, Sumbing, and Perahu offer their annual ritual of Among Tebal. They pray to God that their crops will yield plentifully.
M
ajalah Warisan Indonesia edisi kali ini menggunakan foto Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, yang menjadi markah utama Ibu Kota dengan latar belakang gedung Hotel Indonesia.
Menjelang pelaksanaan Asian Games IV, yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1962, Presiden RI Bung Karno banyak membangun infrastruktur untuk menyongsong hajatan olahraga terbesar di Asia itu. Beberapa di antaranya adalah Tugu Selamat Datang, Hotel Indonesia, dan Gelora Bung Karno (GBK), yang menjadi lokasi pertandingan dari berbagai cabang olahraga tersebut. Tugu Selamat Datang bertolak dari gambar sketsa Henk Ngantung, pelukis kelahiran Manado, Sulawesi Utara, yang ketika patung ini dikerjakan menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk, seorang pelukis otodidak, dan bersama Asrul Sani (sineas), Chairil Anwar, dan Rivai Apin (penyair), pernah menerbitkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebuah manifesto kebudayaan yang meneguhkan Angkatan 45 kala itu. Henk, yang menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965, juga yang membuat sketsa logo DKI Jakarta, meskipun akhirnya terpental setelah prahara politik tahun 1965.
PERMAINAN TRADISIONAL | TRADITIONAL GAME PELEPAH PISANG PUN BIKIN ANAK RIANG Even The Stem Of Banana Leaves Can Make Children Happy
20
KESEHATAN | HEALTH DENGAN TOTOK JADI KEMPLING Tapping Brings Glow to the Face
25
PROFIL | PROFILE PAK RADEN MENUNGGU SI UNYIL Waiting for Si Unyil
40
Setelah sketsa jadi, patung yang berbahan perunggu dan memiliki tinggi 5 meter dengan figur perempuan membawa buket bunga di sisi kiri berdampingan dengan figur lelaki dengan gestur menyambut tetamu ini dikerjakan oleh pematung Edhie Sunarso.
WAWANCARA | INTERVIEW
52
Konstruksi tugu yang memiliki ketinggian sekitar 30 meter dari permukaan tanah ini dimulai pada 17 Agustus 1961. Selama patung dikerjakan, Bung Karno bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard P. Jones, pernah menyambangi studio Edhie Sunarso, dan mempraktikkan gestur patung yang dimaksud di hadapan Edhie.
82
Foto Tugu Selamat Datang kami jadikan foto sampul edisi kali ini untuk kembali mengingatkan ibu kota Jakarta yang tahun ini berulang tahun ke-485 dan akan memilih gubernur secara langsung pada 11 Juli 2012. Kami berharap, gubernur terpilih, siapa pun itu, lebih memiliki kepekaan kebudayaan pada pengembangan wajah kota, seperti telah dilakukan pemimpin sebelumnya. Semoga warga Jakarta mendapatkan pemimpin sejati yang berbudaya dan tidak menggeber pembangunan fisik semata. EP
DAOED JOESOEF
“YANG BEKERJA SAMBIL MENGUNYAH ADALAH KERBAU” “ The one chewing while working is the bull” SITUS | SITE SERPIHAN KISAH NISAN-NISAN TUA Pieces of Old Tombstones’ Stories SENI RUPA | VISUAL ART PATUNG JAKARTA PASCA BUNG KARNO Jakarta’s Statues after Bung Karno LEGENDA | LEGEND
88 110
MENELISIK JALAN TUA DI JAKARTA | TRACING OLD STREETS OF JAKARTA
LEGENDA LAMA YANG TERLUPAKAN The Forgotten Old Legends KALAM | WORD TO PONDER
SELLY RIAWANTI
116
SUNDA, MENGAWINI TRADISINYA SUNDANESE wed their tradition
T
his edition of Warisan Indonesia uses the picture of the Welcome Statue at the Hotel Indonesia Circle, Jakarta, the main marker of the capital city—with a background of Hotel Indonesia building.
Approaching the opening of Asian Games IV, held in Jakarta in 1962, President Soekarno built infrastructure to complement Asia’s biggest sport event. Some of them are the Welcome Statue, Hotel Indonesia, and Bung Karno Sport Arena (GBK), the location of sport competitions for the event. The Welcome Statue was based on the sketch drawn by Henk Ngantung, a painter born in Manado, North Sulawesi, who was the Vice Governor of DKI Jakarta when the statue was built. Henk—a self-taught painter—with Asrul Sani (a filmmaker), Chairil Anwar (a poet), and Rivai Apin (also a poet), had published Surat Kepercayaan Gelanggang, or Letter of Credence, a cultural manifesto that strengthen the School of 45 at the time. Henk, who became Governor of Jakarta for 1964-1965 period, also made the sketch for DKI Jakarta’s logo. He was thrown out of office during the political chaos in 1965.
PENTAS | PERFORMANCE MARI MENARI BERSAMA INDONESIA Indonesia, Let Us Dance!
122
PAMERAN | EXHIBITION MENJAGA WARISAN DARI EROSI WISATA Guarding the Heritage from Tourist Erosion PANORAMA | PANORAMA PERJALANAN TROPIS KE ADONARA A Tropical Journey to Adonara ZOOM | ZOOM HIKAYAT RATU LENGGER Tale of the Lengger Queen
128
After the sketch was completed, the bronze statue of 5 meter height with a female figure bringing a bouquet of flowers on the left side by side with a male figure waving a welcoming gesture was built by sculptor Edhie Sunarso.
134
The construction of the monument, standing tall 30 meters above the ground, started on August 17, 1961. During the development of the statue, Bung Karno with US Ambassador, Howard P. Jones, visited Edhie Sunarso’s studio, and performed the gesture of the statue in front of the sculptor.
138
We use the picture of the Welcome Statue for this edition’s cover to remind ourselves of Jakarta, the city that turns 485 this year, which will have an election to select its new governor on July 11, 2012. It is our hope that the newly elected governor, whoever wins, will have cultural sensitivity to develop the city, as shown by the earlier leaders. Let’s hope that the residents of Jakarta will have a true, cultured leader, whose interest is not merely on physical development. EP
Anis Efizudin
AMONG TEBAL Asa Petani Tembakau “AMONG TEBAL” , THE HOPE OF TOBACCO FARMERS OLEH/BY ALI SUBCHI (TEMANGGUNG)
14
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Anis Efizudin
Anis Efizudin
Upacara Adat Traditional Ceremony
Memasuki masa tanam, petani tembakau di lereng Gunung Sindoro, Sumbing, dan Perahu setiap tahun melakukan ritual Among Tebal. Mereka memohon kepada Tuhan panen tahun ini melimpah. Upon the coming of the planting season, tobacco farmers of the slopes of the Mountains Sindoro, Sumbing, and Perahu offer their annual ritual of Among Tebal. They pray to God that their crops will yield plentifully.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June-15 July 2012
15
Pelepah Pisang Pun Bikin Anak Riang EVEN THE STEM OF BANANA LEAVES CAN MAKE CHILDREN HAPPY
Yanuar Dwi Sarjono
OLEH/BY IYAN DS (SOLO)
20
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Ibnu Setiadi
Kesehatan Health
Totok jadi Kempling
Dengan
TAPPING BRINGS GLOW TO THE FACE
Totok bukan cuma monopoli Jackie Chan untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Seni pengobatan asal China dengan memijat dan menekan titik-titik saraf ini ditengarai sudah ada lebih dari 4.000 tahun lalu. Mampu menyembuhkan sakit kepala, flu, perut mual, badan lelah, pikiran penat, stres, sakit otot, bahkan juga bisa membuat cantik. Tapping the finger is not solely Jackie Chan’s trick to stifle his enemies. The Chinese healing art of massaging and pressing on nerve points is thought to have been around for more than 4,000 years ago. It could heal headaches, flu, stomachache, fatigue, lethargy, and stress. Tapping also relieves muscle pains and even brings beautiful glow to the face. Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June-15 July 2012
25
I PROPOSE YOU WITH CROCODILE BREAD
Dalam tradisi Betawi, sepasang roti buaya merupakan syarat wajib persembahan calon pengantin pria kepada calon istri.
Ibnu Setiadi
In Betawi tradition, a pair of crocodile bread is a required gift from the prospective groom for his future wife.
S
aat keluarga tuan mantu (calon mempelai pria) datang pada hari ijab kabul, roti buaya berada paling depan dari belasan kotak antaran—seperti mas kawin, pakaian, miniatur masjid yang berisi uang belanja, dan penganan lain—untuk sang none pengantin. 30
W
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
hen the family of the tuan mantu (future son in law) arrive on the day of the wedding, crocodile bread will be the first parcel leading dozens of gift boxes—filled with dowries, clothes, mosque miniature containing money for groceries, sweet treats, and much more—for the bride.
Ibnu Setiadi
Kuliner Culinary
“Buaya, menurut masyarakat Betawi, bersifat ulet, panjang umur, kuat, serta termasuk yang sabar dan setia,” kata Emma Amalia Agus Bisrie, pelestari budaya Betawi. Melalui simbol buaya, masyarakat Betawi memercayai kesetiaan sampai mati. Konon, orang Betawi menghormati keberadaan siluman yang ditemui di sepanjang aliran Sungai Ciliwung yang melintasi Jakarta.
“Crocodiles, according to what the Betawi people believe, are symbols of tenacity, longevity, strength, patience, and faithfulness,” said Emma Amalia Agus Bisrie, conserver of Betawi culture. Through the symbol of crocodile, Betawi people believe in being faithful till death part. Legend has it that the Betawis honor the presence of spiritual crocodile believed to be living along the Ciliwung River that crosses Jakarta.
Pasangan roti buaya itu digambarkan sebagai buaya jantan dan buaya betina. Yang betina digambarkan menggendong anak di punggung, melambangkan telah berakhirnya masa lajang sekaligus pengharapan agar pengantin segera dikaruniai momongan.
The pair of crocodile bread is pictured as male and female crocodiles. The female is formed holding a child on her back, a symbol of the end of being single and a hope for the bride and the groom to have offspring soon.
Kudapan khas Betawi yang benar-benar berbentuk buaya itu tidak boleh dimakan sampai pesta pernikahan usai. Cukup dipajang di atas meja atau di dinding dekat pelaminan. Setelah prosesi adat selesai, barulah roti buaya yang agung itu dipotong, kemudian dibagikan kepada tamu yang datang. Menurut Emma, tujuannya, supaya tamu yang ikut menyantap panjang umur seperti buaya.
Yang membuat roti buaya sedang lebih pendek, terletak di ekornya yang membengkok The medium crocodile is shorter because the tail is curved.
The sweet treats typical of Betawi tradition really look like a pair of crocodiles. It is forbidden to eat the bread until after the wedding party is over. The couple of crocs will stay on a table or on the wall near the pelaminan—the ‘throne’ where the bride and the groom sit. Once the custom procession was completed, the great crocodile bread would be cut and served to the guests. Emma said, they share the bread so the guests would also have longevity as the crocodiles. Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June-15 July 2012
31
Gedung Kunstkring
Ibnu Setiadi
Pelopor Beton Bertulang KUNSTKRING BUILDING, THE PIONEER OF REINFORCED CONCRETE
Pernah menjadi penanda kota pada akhir awal abad ke-20, Gedung Bataviasche Kunstkring kini kembali bersolek. Di gedung yang diarsiteki P.A.J. Moojen inilah perjalanan sejarah seni rupa bermula. Once the city’s landmark by the beginning of 20 century, the Bataviasche Kunstkring building is now beginning to adorn itself. Architected by P.A.J. Moojen it is the start of the history of performing arts.
S
EBUAH papan putih bertuliskan Galeri Seni Kunstkring terpampang di belakang pagar besi tua. Ketika memasuki pelataran Galeri Seni Kunstkring tampak dua menara mengapit pintu masuk yang dinaungi tiga buah kanopi lengkung, seolah-olah menyambut setiap para pengunjung yang datang. Sementara pintu masuk samping juga dirancang dengan gaya yang sama. 34
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
A
white board which read Galeri Seni (Art Gallery) Kunstkring was put up behind old iron fence. Upon entering the terrace of Kunstkring Art Gallery, there were two towers on both sides of the entrance gate over which three arched canopy hung, as if to welcome every visitor. While the side entrance doors were designed with the same style.
Drs Suyadi, yang lebih dikenal dengan Pak Raden, nyaris terlupakan. Kreator serial boneka Si Unyil ini tengah berjuang untuk mendapatkan kembali hak cipta Unyil yang selama ini entah ke mana.
Ibnu Setiadi
Drs Suyadi, warmly known as Pak Raden, is nearly forgotten. The creator of puppet series Si Unyil ini is struggling to win back the copyright of Unyil that has gone to God knows where.
Menunggu Si Unyil WAITING FOR SI UNYIL
D
ari balik jendela tampak Suyadi tengah asyik melukis sendirian di ruang berukuran 2 meter x 4 meter. Mengenakan baju batik, celana pendek, ia duduk di bangku kayu menghadap kanvas yang nyaris selesai itu. Di ruang sempit dan pengap itulah sehari-hari ia menggores dan menghabiskan waktunya, kecuali ada yang nanggap untuk mendongeng. 40
B
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
ehind the window, Suyadi was absorbed in painting by himself in a 2 by 4 meter room. He wore batik shirt and shorts, sitting on a wooden bench facing an almost finished canvas. In the cramped and musty room, he strokes his paintbrush and spends his time, unless someone invited him to recite fairytales for the kids.
Ibnu Setiadi
46
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Profil Profile
Si None Bercerita “NONE” TELLS A STORY
Namanya Nila Veronica, dikenal dengan sapaan Non Nila, karena dia adalah None Jakarta 2011. Bulan Juli 2012 ini, jabatannya sebagai None, sudah selesai. Namun, bisa jadi panggilan “Non” masih akan melekat. Her name is Nila Veronica, popularly refers to as Non Nila since she was the None (Miss) Jakarta 2011. In July 2012, her duty as None, ended. But, the title “Non” may still lingers on.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June-15 July 2012
47
Ibnu Setiadi
52
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Wawancara Interview
DAOED JOESOEF
“yang bekerja sambil mengunyah adalah kerbau” “ THE ONE CHEWING WHILE WORKING IS THE BULL”
P
ADA 1959, Daoed Joesoef membeli sebidang tanah seluas 1.400 meter persegi, lalu bertambah menjadi hampir satu hektar di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Tak semua ia gunakan untuk kepentingan pribadinya. Rumah buat dirinya bersama istrinya, Sri Soelastri, tak terlalu luas, kurang dari 500 meter persegi. Anak perempuan tunggalnya, Sri Sulaksmi Damayanti, bersama sang menantu, Bambang Pharmasetiawan, serta dua cucunya, Natasha Primayanti Pharmasetiawan dan Garin Dwiyanto Pharmasetiawan. Sebagian besar lahan di kawasan permukiman elite itu menjadi lahan berdirinya SD KupuKupu, sebuah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan sistem yang membuat murid bangga menjadi orang Indonesia. Murid-murid mesti secara seimbang mengenal seni dan ilmu pengetahuan. Sekolah itu dipimpin anak perempuannya bersama sang menantu yang bersedia bolak-balik BandungJakarta karena berprofesi sebagai pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB). Adapun Yanti melepaskan posisinya sebagai pengajar di IPB agar dapat lebih berkonsentrasi.
I
n 1959, Daoed Joesoef purchased a piece of land measuring 1,400 square meters, and then grew to almost a hectare in Kemang area of South Jakarta. He did not use the entire land for personal purposes. He lives with Sri Soelastri, his wife, in a house no more than 500 square meters. While his only daughter, Sri Sulaksmi Damayanti, his son in law, Bambang Pharmasetiawan, and his grandchildren, Natasha Primayanti Pharmasetiawan and Garin Dwiyanto Pharmasetiawan, reside in another corner of the property. Most of the land now located in an elite compound becomes the site for an elementary school called Kupu-kupu (Butterfly), a school dedicated to educate students in system that enables them to be proud to be Indonesians. The students must have balance knowledge of art and science and social studies. The school is run by his daughter and son-in-law, a lecturer at the Bandung Institute of Technology (ITB) in Bandung, who is willing to go back and forth Bandung-Jakarta. While Yanti had to let go of her position of a lecturer at Bogor Agriculture Institute (IPB) to have more concentration on running the school.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June-15 July 2012
53
MENCARI PEMIMPIN BERBUDAYA WANTED: A CULTURED LEADER 60
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Gong Gong
“Kalau ingin menjadi gubernur yang baik di Jakarta, masalah kebudayaan harus diurus. Meskipun bukan budayawan, feeling-feeling terhadap kebudayaan harus ada.”
“To be a good governor of Jakarta, cultural matters have to be taken care of. They do not have to be culturalist, but they should have a sense of culture.”
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
61
JAKARTA KOTA DAGANG? JAKARTA, CITY OF COMMERCE? 68
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Ibnu Setiadi
Gong Gong
S
ebagaimana tahun-tahun lalu, gebyar ulang tahun Jakarta kembali memenuhi bulan Juni dan Juli 2012. Tidak hanya di kantong-kantong budaya—seperti Pusat Komunitas Masyarakat Betawi Setu Babakan yang menyelenggarakan pergelaran kesenian Betawi tempo dulu atau Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan “Jakarta is Melting Point Culture”— tetapi juga di mal-mal.
A
s in the previous years, the celebration of Jakarta anniversary will bring merriment to the months of June and July. And not solely in cultural communities—such as the Setu Babakan Center of Betawi Communities that hold performances of old Betawi arts, or the Taman Ismail Marzuki with its own event, “Jakarta is Melting Point Culture”—the celebration also held in malls.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
69
Gong Gong
BERBELANJA SAMBIL KLANGENAN SHOPPING WHILE HAVING PLEASURABLE PASTIME
M
enyusuri sejarah, mungkin pada era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin-lah Jakarta mempunyai visi kebudayaan. “Paling tidak, dia mempunyai rumusan atau visi yang jelas akan Jakarta,” kata JJ Rizal, sejarawan, yang sejak lama mengamati permasalahan Jakarta. Dr. Jasmine Shahab, antropolog dari Universitas Indonesia, pun mengatakan bahwa kebudayaan Betawi dihidupkan kembali pada masa kepemimpinan Ali Sadikin. “Saya sebut sebagai saat yang paling menentukan bagi suku Betawi. Dia memberikan perhatian besar pada kebudayaan dan kesenian Betawi,” ujar Jasmine Shahab. Di tangan Bang Ali pula lahir kantong-kantong, yang seandainya terjadi transaksi jual-beli pun tetap ada interaksi sosial antara pedagang dan pembeli sehingga masih mampu melahirkan solidaritas sosial.
Yang paling menonjol dan tampaknya tak tersingkirkan—termasuk lokasi yang sangat strategis, yaitu di Jakarta Pusat—adalah Pasar Antik Jalan Surabaya. Sesuai namanya, lokasinya di Jalan Surabaya, di antara rumah-rumah kawasan Menteng yang megah. Menurut Koordinator Pedagang Pasar Antik Jalan Surabaya, H. Mumu Hidayat, kawasan ini sudah dikenal sejak 1970-an. “Semula sifatnya
72
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
T
railing the history, it was probably only in Governor Ali Sadikin era that Jakarta had a vision of culture. “At least, he had the formula or a clear vision about the city,” said JJ Rizal, historian, who has long been observing Jakarta’s illness. Dr. Jasmine Shahab, anthropologist from University of Indonesia, also said that Betawi culture was revived during Ali Sadikin period. “I call it the turning point of Betawi ethnicity. He had dedicated his utmost attention to the culture and art of Betawi,” said Jasmine Shahab. It was also through Bang Ali’s hands that cultural pockets were born in the city, that even if there was a trading transaction, a social interaction did happen between seller and buyer hence a social solidarity is recreated. The most standout and apparently still undefeated—was also considered a strategic location, which is in Central Jakarta—is the Antique Market at Surabaya Street. The location is enclosed in between grand houses in Menteng.
Gong Gong
menyerupai lapak pedagang kaki lima (PKL). Pagi digelar, sore harinya langsung dikemas oleh si empunya,” tutur H. Mumu Hidayat, yang sudah berjualan di lokasi itu sejak 1970-an dan menjadi Ketua Pasar Antik Jalan Surabaya selama empat periode. Pada masa itu, hanya ada belasan PKL yang menjajakan barang antik, itu pun tidak setiap hari membuka lapak. Pasalnya, pada masa itu, pedagang masih terbiasa berjualan pada hari Minggu dan hari libur. Namun, seiring perkembangan zaman, jumlah pedagang bertambah banyak. Pada 1978, pemerintah daerah mulai membangun dalam bentuk tenda terbuka. Sepuluh tahun kemudian, pada 1988, pemerintah daerah membuat bangunan semipermanen dengan ukuran 2 meter x 3 meter per kios—yang sekarang sudah diisi oleh 184 pedagang yang 35 persen di antaranya adalah pedagang koper.
The Coordinator of Jalan Surabaya Antique Traders, H. Mumu Hidayat, said the area has been famous since the 1970s. “It started as huts of street vendors. In the morning the stuff was on display, in the afternoon, the owners are packing up,” said H. Mumu Hidayat, who has been trading in the location since the 1970s and leading the Jalan Surabaya community of antique traders for four periods. During the time, only a bit more than a dozen street vendors selling antiques, and they were not open everyday. They were used to trade only on Sundays and holidays. Yet with time, the number of vendors kept increasing. In 1978, the regional government started to build them open tents. The next ten years, the administration built semi-permanent kiosks measuring at 2 meter x 3 meter each—which to date have been occupied by 184 vendors with 35 percent of them sellers of luggage.
Pasar antik yang dibuka pada pukul 08.00 hingga pukul 17.00 ini sudah sejak 2008 direncanakan akan direlokasi. Dikabarkan pasar ini dipindahkan ke Kota Tua. Terdengar pula akan dipindahkan ke bawah Stasiun Kereta Api Cikini, yang tidak jauh dari Jalan Surabaya. Namun, semua isu tersebut belum terwujud.
The antique market which opens at 8 am thru 5 pm has since 2008 been planned to be relocated. Rumor has it that it would be moved to the Old Town area. Some said they would be reloated to the shops under Cikini Train Station, close to Surabaya Street. Yet, not one issue was proven correct.
Tempat “Klangenan”
A Location for a Pastime
Pasar Antik Jalan Surabaya memang bukan pasar antik biasa. Selain sudah mendunia—pengunjungnya didominasi turis asing, bahkan Presiden Bill Clinton pernah datang membeli mangkuk keramik, juga Sylvester Stallone dan Raja Swedia—pasar ini menjadi tempat perburuan para kolektor barang antik dari seluruh Indonesia. Kalau dulu pedagang memburu barang antik hingga ke Solo dan Bali, sekarang justru orang dari Solo, Bali, dan sekitarnya mencari barang antik ke Jakarta, khususnya di Jalan Surabaya.
The Antique Market at Jalan Surabaya is no ordinary antique market. Besides its global fame—the visitors are mainly foreign tourists. Even President Bill Clinton had come to buy a ceramic bowl, also Sylvester Stallone and the Swedish King—the market has become a hunting place for antique collectors throughout Indonesia. In the past, traders used to hunt antiques to Solo and Bali, today it is people from Solo and Bali seek for antiques who come to Jakarta, particularly to this Surabaya Street market.
Selain itu, “Pasar ini juga dijadikan klangenan warga Jakarta dan kota-kota lain,” tutur H. Mumu Hidayat
In addition, “The market is also a meeting place of hobbyists for residents of Jakarta and other cities,” said H. Mumu Hidayat.
Pasar Antik Ciputat Kesuksesan Pasar Antik Jalan Surabaya memicu pembukaan pasar sejenis di Jakarta, yaitu di Ciputat (Jakarta Selatan) dan di Poncol (Jakarta Pusat). Beberapa kios di kedua pasar antik yang baru itu diisi pedagang Pasar Antik Jalan Surabaya, antara lain H. Mumu Hidayat, yang saat ini fokus di lampu kristal. “Namun, jumlahnya kecil. Kebanyakan bukan dari Pasar Jalan Surabaya,” ujar H. Mumu. “Pasar di Ciputat kurang begitu berkembang karena didominasi furnitur dan lampu hias gantung. Padahal, kebanyakan orang mencari barang antik bukan furnitur antik,” tambah ayah empat putra dan kakek 10 cucu ini. SARI HARDIYANTO
Ciputat Antique Market The success of Surabaya Street Antique Market has triggered the opening of similar marketplace in Jakarta, one in Ciputat (South Jakarta) and another in Poncol (Central Jakarta). Some kiosks in both new antique markets are filled by the vendors from Surabaya Street market, including H. Mumu Hidayat, whose focus now is in crystal chandeliers. “But they are still few. Most are not coming from the Surabaya Street,” H. Mumu said. “The market in Ciputat has been underdeveloped because they mostly sell antique furniture and chandeliers. While many people looking simply for antique items and not antique furniture,” added the father of four sons and grandfather of 10 grandchilds. SH
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
73
Ibnu Setiadi
YASMINE ZAKI SHAHAB:
“Siapa pun gubernurnya, perhatikan kekhasan Jakarta” “WHOEVER THE GOVERNOR IS, SHALL CONSIDER JAKARTA’S TRAIT” 74
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Ibnu Setiadi
Gong Gong
D
ibandingkan Sunda dan Jawa, etnis Betawi jauh lebih muda. Kapan sesungguhnya etnis ini lahir, belum ada kesepakatan. Penelitian Lance Castle dengan dukungan data yang kuat mengatakan bahwa proses pembentukan etnis itu mulai terbentuk pada abad ke-19. Sementara budayawan Ridwan Saidi menunjuk pada abad ke-15, masa kekuasaan Padjadjaran sebagai awal berkembangnya etnis itu. Yasmine Zaki Shahab, perempuan Betawi yang kini menjadi Guru Besar Antropologi, Universitas Indonesia, lebih percaya pada Lance Castle yang mendasarkan penelitiannya pada data demografi dan sejarah. Dia kurang yakin temuan Ridwan Saidi karena dari segi waktu sulit untuk melihat hubungan kata Betawi dengan Batavia. Orang Melayu tak mengenal huruf V.
Untuk memahami hal itu, Warisan Indonesia mengutus Viesta Karwila menemui salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Betawi itu di kantornya, akhir Mei lalu. Berikut petikan perbincangan mereka.
C
ompare to Sundanese and Javanese, Betawi is far younger. When exactly they came into existence, has yet to be agreed upon. A study carried out by Lance Castle supported by hard data suggests that the process of the formation of this ethnic group started out as early as 19 century. On the other hand, Ridwan Saidi, a cultural expert, pointed out 15 century, the era of Padjadjaran rule as the start of the process. Yasmine Zaki Shahab, a Betawi lady who is now the Professor of Anthropology, University of Indonesia, tends to believe Lance Castle who based his research on demographic and historical data. She is uncertain of Saidi’s findings as the time frame is not relevant in connecting the word ‘Betawi’ with ‘Batavia’. The Melayu do not recognized the letter ‘V’. To understand this, Warisan Indonesia sends Viesta Karwila to meet with one of the founder of Lembaga Kebudayaan Betawi (Betawi Cultural Institute) at her office, at the end of May. The following is the interview.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
75
Ibnu Setiadi
MUSEUM TAMAN PRASASTI | MUSEUM OF MEMORIAL STONE PARK
Serpihan Kisah
Nisan-nisan Tua PIECES OF OLD TOMBSTONES’ STORIES
Ada kisah yang tersembunyi pada nisan-nisan tua bekas kuburan kaum elite masa kolonial. Sayang, salah satu kompleks permakaman paling tua di dunia itu tak terurus. Di situ bersemayam jenazah para gubernur jenderal, panglima perang, hingga aktivis yang mati muda, Soe Hok Gie. There are stories hidden in the old tombstones of former elite colonial graveyard. Unfortunately, one of the oldest cemeteries in the world is left neglected. There lay the bodies of the city’s former Governor Generals, warlords, even die-young activist, Soe Hok Gie. 82
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Situs Site
Selain sebagai pembuktian sejarah perjalanan Belanda di Indonesia, di museum tersebut dulunya bersemayam sejumlah tokoh berpengaruh di Batavia
Ibnu Setiadi
In addition to being the proof of the Dutch Colonialism of Indonesia, museum also houses several bodies of famous individuals in Batavia
Di taman ini terlukis peristiwa sepanjang massa dari goresan prasasti mereka yang pergi. Di sini pula tertanam kehijauan yang kita dambakan.
P
esan itu tertulis di batu penanda peresmian Museum Taman Prasasti, Jalan Tanah Abang 1, Gambir, Jakarta Pusat. Tertanggal 9 Juli 1977 oleh Pejabat Gubernur KDKI Jakarta Letjen TNI (Marinir) Ali Sadikin. Warga sekitar lebih suka menyebutnya Taman Prasasti Kebun Jahe. Pada masa penjajahan Belanda, bangunan itu adalah sebuah permakaman mewah buat orangorang terpandang saat itu. Namun, Pemerintah DKI Jakarta mengubahnya menjadi museum. Dari kejauhan, museum itu sangat kentara. Gaya arsitekturnya kontras dengan bangunanbangunan lain di sekitarnya. Delapan belas pilar kokoh yang menjulang tinggi di gerbang amat menyita perhatian. Saat membangun museum ini pada tahun 1844, para perancangnya sengaja mengadopsi arsitektur klasik gaya Doria. Hal yang kerap ditemui di kantor-kantor pengadilan.
Here depicts age-long events of epithets of those who passed away. Here also planted the green that we long for.
T
he message was engraved on an officiating stone of the Museum of Memorial Stone Park, Jalan Tanah Abang 1, Gambir, Central Jakarta. It is dated 9 July 1977 by the Acting Governor of KDKI Jakarta Lieutenant General TNI (Marine) Ali Sadikin. The local prefer to call it The Memorial Stone Park of Kebun Jahe. During the Dutch era, the site was an elite cemetery prepared for the affluent and famous then. But the DKI Jakarta administration turned it to a museum. From afar, museum really stands out. Its architectural is in contrast with the surrounding buildings. Eighteen strong soaring pillars at the gats truly a sight to see. When erecting the museum in 1844, its architects purposefully adopted classical Dorian. It is a common style found in Court Houses.
Dua meriam perunggu di kanan-kiri museum seolah-olah menyambut para pengunjung. Di pagar sekeliling tembok depan terpajang sekitar 35 nisan dari batu gunung biru atau batu pantai yang keras dari India Selatan. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin bagus kualitas batu yang digunakan.
Two bronze canon to the left and right of the museum as if welcoming the visitors. On the front walls there are 35 tombstones made of hard blue mountain stones or beach stone from South India. The higher ranking someone was the better the quality of the stone used.
Berbeda dengan museum pada umumnya, Museum Taman Prasasti ini tidak memajang
Unlike other museums in general, the Museum of Memorial Stone Park does not display its collections Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
83
Ibnu Setiadi
Pasca-Bung Karno JAKARTA’S STATUES AFTER BUNG KARNO Meskipun Presiden Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta silih berganti, belum ada yang bisa menandingi Bung Karno dalam hal menghias Jakarta dengan patung-patung publik yang monumental. Mengapa? Even though the presidents of Indonesia and the governors of Jakarta come and go, there has been no one comparable with Bung Karno in terms of decorating Jakarta with monumental public statues.
S
iapakah yang meragukan jiwa seni Ir. Soekarno, proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia? Bung Karno, demikian panggilan presiden pertama RI, amat peduli dengan kecantikan wajah Jakarta, sebagai ibu kota negara, ibu dari seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, yang sudah sepantasnya dibanggakan. 88
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
N
obody doubts Ir. Soekarno’s sense of art. Bung Karno is the other name of Ir. Soekarno, the first president of Indonesia. He was really cared about the beauty face of Jakarta, the capitol city of Indonesia.
Seni Rupa Visual Art dalam perjuangan bangsa. ”Untuk itulah Bung Karno memprovokasi banyak seniman untuk bekerja sebagai ‘pejuang’ pengisi kemerdekaan,” tandas Mikke. Berkaitan dengan Monumen Selamat Datang itu, beberapa waktu lalu di sebuah tayangan stasiun televisi nasional, istri Heng Ngantung meminta perhatian semua pihak bahwa yang membuat sketsa patung itu adalah Henk Ngantung atas gagasan Bung Karno. Namun, menurut ingatan Daoed Joesoef, yang membuat sketsa itu pelukis Trubus yang masuk tim Edhi Sunaryo, Yogyakarta. Bahkan, pelukis S. Soedjojono pun ternyata juga pernah membuat sketsa itu, tetapi tidak dipakai. Sketsa Soedjojono itu pernah muncul dalam pameran tunggalnya di Galeri Soemardja, beberapa tahun silam.
Kurang Leluasa
Selain itu, Monumen Angkatan 66 di Kuningan garapan Dolorosa Sinaga dan tim (Jakarta), Monumen Tonggak Samudra di Tanjung Priok garapan G. Sidharta dan tim (Bandung), dan Patung Tumbuh dan Berkembang di Taman Pakubuwono garapan Rita Widagdo dan tim (Bandung), sejumlah patung di Taman Suropati merupakan hasil lokakarya seniman ASEAN. Sutiyoso ketika menjabat sebagai Gubernur DKI pernah menerima rencana pembangunan 30 titik elemen estetik, yang di antaranya membuat sejumlah patung pahlawan di pusat kota Jakarta, tetapi ditentang keras oleh para ahli tata kota, arsitek, hingga kalangan pematung sendiri. Kini tantangan yang dihadapi patung-patung di wilayah Jakarta adalah percepatan pembangunan gedung-gedung pencakar langit, jalan layang, baliho-baliho segede bagong, yang mengakibatkan patung-patung di Jakarta tambah “cebol” dan tertutupi sehingga tidak tampak lagi. Akibatnya, kita kurang leluasa mengambil jarak pandang dan mengapresiasi. Selamat Ulang Tahun Kota Jakarta. YUSUF SUSILO HARTONO
Ibnu Setiadi
Sepeninggal Bung Karno, patung-patung publik di Ibu Kota terus lahir. Baik yang masih bercorak kesejarahan maupun modern. Selain Monumen Proklamasi yang sudah disinggung di depan dan Monumen Arjuna Wijaya di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, juga garapan Nyoman Nuarta dan tim (Bandung); Monumen Lubang Buaya garapan Edhi Sunarso dan tim (Yogyakarta); Monumen Pemuda Membangun garapan Moenir Pamontjak dan tim (Jakarta); Monumen Sudirman dan Monumen Soekarno-Hatta garapan Sunaryo dan tim (Bandung).
monument and Soekarno-Hatta Monument by Sunaryo and team (Bandung). Also, Angkatan 66 monument at Kuningan by Dolorosa Sinaga and team (Jakarta), Tonggak Samudra monument at Tanjung Priok by G. Sidharta and team (Bandung), and Tumbuh dan Berkembang statue at Taman Pakubuwono by Rita Widagdo and team (Bandung), and some statues at Taman Suropati by ASEAN artist workshop.
Monumen Dirgantara. Bung Karno ingin gagasannya bisa divisualkan dengan baik oleh seniman Dirgantara monuments. Bung Karno wanted his idea can be visualized by the artist
When Sutiyoso served as the Governor of Jakarta, he received a development planning for 30 esthetic point which included the making of statue of national heroes but was objected by the urban planning experts, architects, and the sculpture artists. Today, the challenge are the rapid growing of high buildings, fly over road, huge banners, which making the statues in Jakarta covered and hidden. The result is we can hardly appreciate them. Happy birthday Jakarta. YSH Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
91
Yanuar Dwi Sarjono
BEKSAN GOLEK MONTRO
Mencari Jati Diri di Solo
BEKSAN GOLEK MONTRO DANCE, SEEKING IDENTITY OLEH/BY IYAN DS (SOLO) 92
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Yanuar Dwi Sarjono
Tari dance
Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, baru-baru ini menampilkan sejumlah karya agung, di antaranya tari beksan Golek Montro. Sebuah pencarian jati diri di tengah gempita modernitas? As one of the centers for Javanese culture, Pura (palace) Mangkunegaran, Solo, Central Java, has recently displayed several grand works of arts, among other, the beksan Golek Montro dance. Is it a search for identity amidst the hustle and bustle of modernity?
S
ANGGAR Tari Soerja Soemirat, yang berdiri sejak puluhan tahun silam di Pura Mangkunegaran, selama ini dikenal sebagai penelur sejumlah tarian dan penari klasik Jawa khas Mangkunegaran. Di sanggar itulah kewibawaan Pura Mangkunegaran selama ini dipertaruhkan sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa selain Kasunanan Surakarta, Kesultanan Ngajogyakarta, dan Pura Pakualam. Pada suatu masa, para pemimpin Pura Mangkunegaran, di sela-sela memikirkan pemerintahan di daerah kekuasaan mereka, tak lupa mematut perhatian pada dunia seni budaya, termasuk menciptakan atau menggubah karya tari. Mereka berpikir, menjadi pemimpin berarti harus cakap dalam berbagai bidang, tak hanya cakap di bidang ketatanegaraan, tetapi juga dalam persoalan budaya. Dengan demikian, mencipta karya seni juga menjadi tanggung jawab tak terabaikan.
T
HE Dance Theatre of Soerja Soemirat, established decades ago in Mangkunegaran Palace, has long been recognized as the birth place of several Javanese classical dances and dancers typical of Mangkunegaran. It is at this theatre that the honor of Mangkunegaran Palace has been at stake for being one of the centers of Javanese cultures besides Kasunanan (sunanate) Surakarta, Kesultanan Ngajogyakarta (Yogyakarta Sultanate), and Pura (palace) Pakualam. At one time, the leaders of Mangkunegaran Palace, in between performing their administrative duties within their territories, they were not oblivious of paying their attention to the arts, including arranging or orchestrating dance performances. In their minds, they believed that being a leader meant being able in all sorts of field and not only in terms of statehood, but also culture. Thus, arranging arts is just as important. Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
93
Dari Krebet ke Mancanegara WOODEN BATIK FROM KREBET TO ABROAD
Dok. Pribadi Yoseph Yapi Taum
OLEH/BY SINGGIR KARTANA (BANTUL)
Galibnya, batik diaplikasikan pada kain. Namun, perajin di kawasan Krebet, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menerapkannya pada kayu. Karena unik, karya ini mampu menembus pasar mancanegara. Typically, batik is applied to a piece of cloth. However, batik artists in Krebet area, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta Special Region, apply batik to wood. Due to its unique nature, these works of art is able to go global.
B
ISA dibayangkan, bagaimana keunikan produk kerajinan kayu ini setelah dibatik. Meskipun sedikit aneh, justru menjadi produk yang memiliki daya tarik. Terbukti usaha tersebut mampu bertahan puluhan tahun dan menghidupi ribuan jiwa. 98
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
J
UST imagine how unique this wooden crafts would be once the batik is applied to it. Although seemingly odd, it is the very reason the products have such allure. It proves to stand the test of time for decades and to be the livelihood for thousands.
Dok. Pribadi Yoseph Yapi Taum
kriya crafts
Usaha pembuatan batik kayu di kawasan Krebet mulai berkembang sejak 1992. Sebelumnya, kampung ini lebih dulu dikenal sebagai sentra pembuatan wayang berbahan kayu dengan teknik penyelesaian menggunakan cat sungging. Namun, karena kurang laku di pasaran—kalah bersaing dengan wayang berbahan kulit—mereka mencoba mengubahnya dengan teknik penyelesaian batik. Perubahan itu membawa berkah, produk mereka justru cepat diterima pasar.
The business in the Krebet area has started since 1992. Previously, the village was known for its centre of wooden wayang (puppet) characterized with the use of sungging paint for finishing. But, since the market was difficult—they succumbed to the ones using skin as the basic materials—they tried to resort to using batik as the finishing technique. The shift of technique brought about quite a blessing, and produce were quickly absorbed by the market.
“Meskipun bentuknya wayang, fungsinya khusus untuk cendera mata. Bukan untuk digunakan sebagai sarana pertunjukan wayang,” jelas Purwanti pemilik Tamarin Craft yang juga memproduksi beragam produk batik kayu.
“Though the shape is that of wayang, but it simply has decorative and souvenir-wise function. Never have they been intended for puppet show,” explained Purwanti the owner of Tamarin Craft who also produces varieties of wooden batik.
Saat ini di kampung itu terdapat tak kurang dari 45 sentra kerajinan. Usaha itu mampu menyerap tenaga kerja sekitar 600 orang. Ada beberapa sentra yang besar, di antaranya Sanggar Peni, Sanggar Ragil, Sanggar Punokawan, dan Sanggar Dewi Sri. Yang disebut besar, selain kapasitas produknya relatif banyak dan memiliki karyawan berjibun, juga sudah memiliki ruang pamer sendiri.
Currently the village has no less than 45 arts centers. The venture was able to absorb about 600 artists. There are several major centers, such as Sanggar Peni, Sanggar Ragil, Sanggar Punokawan, and Sanggar Dewi Sri. Those falling into this category, in addition to having relatively large amount of production capacity and lots of artists, have their own gallery.
Khusus untuk produk furnitur menggunakan kayu jati. Especially for furniture produce, the wood used is teak wood.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
99
Hotli Simanjuntak
Seni Bertutur Aceh DIDONG, ACEHNESE ORAL TRADITION OLEH/BY HOTLI SIMANJUNTAK (BANDA ACEH)
102
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Bhrahu Pradipto
Menghidupkan Kembali
Eloknyo Songket
REVITALIZING “ELOKNYO� (THE BEAUTY) OF SONGKET
Di Sumatera Barat, kelahiran songket tidak hanya sebagai penutur kegelisahan. Lebih dalam dari itu, masyarakat Minang menenunnya untuk menyalurkan falsafah hidup. Ajaran adat dan budaya diwariskan kepada anak-cucu melalui beragam motif songket. In West Sumatera, the birth of songket was not only the expression of anxiety. Deeper still, the Minang weave it to channel the philosophy of life. Teachings of the tradition and culture are passed down to the next generations by way of the songket motif. 106
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Legenda Legend
MENELISIK JALAN TUA DI JAKARTA | TRACING OLD STREETS OF JAKARTA
Legenda Lama yang Terlupakan THE FORGOTTEN OLD LEGENDS
Orang Betawi gemar menggunakan nama tokoh bergelar haji untuk menyebut jalan di kampung. Sayang, banyak kisah para legenda itu tak utuh. Ahli waris pun tak tahu persis kapan leluhurnya lahir dan wafat.
Ibnu Setiadi
Names of community figures with a title of hajj are favorites to Betawi people to name the streets in the kampong. Unfortunately, many stories of the legends are incomplete. While the heirs do not know exactly when their ancestors were born and died.
110
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
K
eindonesiaan tampak sekali bila kita menelusuri nama-nama jalan di Jakarta. Bila orang sulit menemukan jalan dengan nama gunung-gunung di Indonesia, Jakarta punya. Demikian pula kalau ingin mencari jalan dengan nama-nama kota, kita bisa datang ke kawasan Menteng. Demikianlah jalan-jalan di kota dengan luas 661,52 kilometer persegi itu dikelompokkan berdasarkan nama kota, nama gunung, nama sungai, dan nama tokoh. Sementara untuk menandai keberadaan para pendatang, pemerintah kota menyebut kampung-kampung sesuai nama asal para pemukim awalnya. Kita pun menemukan Kampung Makassar, Kampung Bali, Pondok Cina, Manggarai, dan seterusnya. Di samping memenuhi kebutuhan untuk menampilkan keindonesiaan, ciri Betawi sendiri masih tetap ada. Nama kampung-kampung lama masih ada meski kini orang lebih suka menghafal simbol kekinian yang modern, seperti mal, sebagai penanda tempat di Jakarta.
T
he diversity of Indonesia is apparent when we are exploring the street names in Jakarta. From mountains to city names, Jakarta has them on its street signs. In Menteng we can find Indonesian cities as street names. Streets in this city of 661.52 square kilometer are grouped into names of cities, mountains, rivers, and public figures. While to recognize the presence of migrants, the city administration named the areas of kampongs according to the origin of the settlers. We can find Kampung Makassar, Kampung Bali, Pondok Cina, Manggarai, and many others. Apart from displaying diversity, the characteristic of Batavia has always been there. Names of old kampongs are still used, although many people now prefer to relate places with symbols of modernity, such as malls, to mark locations in Jakarta.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
111
Kalam Word to Ponder
Dok. Pribadi
OLEH/BY SELLY RIAWANTI ANTROPOLOG, FISIP UNIVERSITAS PAJAJARAN
ANTROPOLOGIST, PAJAJARAN UNIVERSITY FACULTY OF SOCIAL & POLITICAL SCIENCE
SUNDA
Mengawinkan Tradisinya SUNDANESE WED THEIR TRADITION
Bila masyarakat berkepentingan, upaya pewarisan budaya bakal hidup. Kepentingan itu dapat ditumbuhkan. Peran pemerintah di masyarakat Jawa Barat yang longgar, heterogen, dan dinamis amat dibutuhkan dalam menyebarkan informasi, memberikan fasilitas, dan penghargaan bagi warga yang aktif. The effort of cultural heritage can grow and will exist, it depends on people’s concern. The heterogeneity and dynamics of West Java society urgently need the government’s role to spread the information, to facilitate, and to compensate the active citizens.
116
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
www.gambara.co.id
Kalam Word to Ponder
O
rang Sunda adalah penghuni mayoritas wilayah Jawa Barat. Mereka menduduki posisiposisi penting dalam struktur sosial di sana. Sesungguhnya, sejak dahulu wilayah itu telah dihuni oleh orang-orang bukan Sunda. Ada Jawa, Batak, Ambon, juga China serta kelompok orang keturunan Arab atau orang Eropa, , khususnya Belanda, yang setelah kemerdekaan praktis menghilang dari kawasan ini kecuali para keturunannya dari perkawinan campur dengan pribumi. Kesundaan itu sendiri merujuk pada identitas sosial, khususnya kesukubangsaan, berlandaskan kesamaan asal-usul faktual ataupun yang diasumsikan. Namun, hal ini tak berarti bahwa orang Sunda itu pasti berkebudayaan Sunda. Ini jelas urusan lain. Antropologi memandang kebudayaan sebagai pedoman dan cara hidup, atau pola ideal, dan pola aktual tingkah laku manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan bersangkutan mesti dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ini menggarisbawahi sisi fungsional kebudayaan.
S
undanese is the majority inhabitant live in West Java area they took some important positions in the social structure. Actually, the area has been the residential place for people who are not Sundanese. There are Javanese, Batak, Ambonese, Chinese, and descendants of Arabics and Europeans, particularly the Dutch, who disappeared right after independence of Indonesia, except the descendants from mix marriages. Sundanese refer to the social identity, particularly in ethnicity which is based on the similarity of family root, both factual or is as assumed. However, this does not mean they must utilize the Sundanese culture, that is obviously another concern. According to anthropology’s view, culture is the guidance and way of life, ideal pattern, and actual behavior and interaction in the society. That is why culture must be applicable in daily life manners. This underlined the function of culture. When the cultural knowledge and practice is not clearly performed in answering the life challenge, it will be soon abandoned. This will quickly occurred if there are other
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
117
Ibnu Setiadi
Membangunkan
Simalungun TO AWAKEN SIMALUNGUN
Gundah karena merasa mengalami krisis identitas, warga Simalungun di Jabodetabek menggelar pentas budaya dan seni. Sebuah ikhtiar mengenalkan dan mengingatkan kembali keberadaan budaya Simalungun. Having troubled by identity crisis, the people of Simalungun residing in Greater Jakarta staged an art and cultural event. It was an introduction of Simalungun culture that also served as a reminder of its presence. Titik baling selendang tene botou (Berbintik belalang salendang wahai botou) Bukkuk bulungni kasang (Miring daun kacang) Inda antupi bakku demban tene botou (Ramulah untukku sirih wahai botou) Demban laho marlajang tene botou (Sirih untuk pertanda hendak pergi merantau wahai botou) 124
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
Titik baling selendang tene botou (A grasshopper motif stole o botou) Bukkuk bulungni kasang (Leaves of peas are tilted) Inda antupi bakku demban tene botou (Make a betel concoction for me o botou) Demban laho marlajang tene botou (Betel as a sign of leaving overseas o botou)
Pentas Performance
S
D
Pergelaran seni dan budaya yang diadakan akhir April lalu itu diselenggarakan oleh Etah Ham Mambangun Simalungun (EHAMSI), bekerja sama dengan Taman Mini Indonesia Indah. Selain bertujuan mengenalkan EHAMSI kepada masyarakat Jabodetabek, acara ini juga berikhtiar melestarikan jejak leluhur yang terpendam.
The cultural and art festival held late April recently was organized by the community of Etah Ham Mambangun Simalungun (EHAMSI), collaborating with the TMII. The mission of this event was to conserve the hidden heritage bequeathed by the ancestors, while certainly also to introduce EHAMSI to the public of Greater Jakarta.
iang itu, mentari tegak sepenggalah. Dua mudamudi saling menyampaikan keluh kesah melalui nyanyian, atau orang Simalungun menyebutnya Taur-taur Simbandar. Itulah salah satu bentuk kesenian yang dipentaskan dalam Pergelaran Seni dan Budaya Simalungun, di pelataran anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jalan Taman Mini, Jakarta Timur.
Menurut Juniardi Saragih (37), Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah EHAMSI Jabodetabek, acara ini ingin mengenalkan budaya Simalungun kepada kaum muda sekaligus mengingatkan kaum tua. “Kepada anak muda, kami juga memberitahukan kepada mereka itu, ini loh adat Simalungun. Semisal Taurtaur, Tor-tor Sombah, Sirintak Hotang, dan itu pemainnya didatangkan langsung dari Simalungun,” terangnya. Acara ini dimulai dari pukul 10.00 hingga pukul 15.00 WIB dengan berbagai kegiatan, seperti pameran kuliner, lukisan, pakaian adat, serta pameran buku berjudul Peradaban Simalungun dan Orang Simalungun. Sedangkan dalam pentas seni pertunjukan, selain Taur-taur, juga ditampilkan Tor-tor Sombah, Tor-tor Sirintak Hotang, Dihar (semacam pencak silat, Red.), dan sebagainya. Menurut Ketua Pelaksana Gulit Lexbripijoni Saragih (24), subetnis Batak, apakah itu Simalungun, Toba, maupun yang lain, tengah mengalami krisis identitas. “Bahkan, menggunakan bahasanya sendiri mereka merasa malu karena tinggal di Jakarta,” ujarnya. BAMBANG TRIYONO
uring that day, the sun was scorching. Two young exchanged lamentations through songs, that Simalungun people called Taur-taur Simbandar. It was a form of art presented in the Simalungun Cultural and Art Festival, at the courtyard of North Sumatera pavilion, at Taman Mini Indonesia Indah (TMII), The Miniature Indonesia Park, Jalan Taman Mini, East Jakarta.
According to Juniardi Saragih (37), Vice Chairman of Regional Leaders Council of EHAMSI Greater Jakarta, the event was held to familiarize young people with Simalungun culture as well as to remind the older generations of their tradition “We also tell young people, this is the Simalungun custom. The performers of Taur-taur, Tortor Sombah, and Sirintak Hotang, are directly brought from Simalungun,” he explained. The programs started at 10 in the morning thru 3 pm, with exhibitions of culinary delights, paintings, traditional costumes, and also a book exhibition titled The Simalungun Civilization and Its People. On the stage, in addition to Taur-taur, there were also dances of Tor-tor Sombah, Tor-tor Sirintak Hotang, Dihar (a martial art, Ed.), and various programs. The Committee Chairman Gulit Lexbripijoni Saragih (24), said that the Batak ethnicities, be they Simalungun, Toba, or others, are going through a phase of identity crisis. “They are even embarrassed to use their own language because they are living in Jakarta,” he said. BAM
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
125
www.gambara.co.id
“ROAD SHOW” GAMBARA PHOTO DI BALI | GAMBARA PHOTO “ROADSHOW” IN BALI
Menjaga Warisan dari Erosi Wisata GUARDING THE HERITAGE FROM TOURIST EROSION
T
U
Banyak wisatawan asing terpesona menyaksikan fotofoto itu. Flores sama sekali tak pernah ada dalam benak mereka. Bahkan mereka pun tak tahu di mana letak pulau itu. Keterpesonaan itu jadi kian lengkap manakala mereka menyaksikan pertunjukan kelompok seni Watublapi, Kabupaten Sikka, yang mempertontonkan kebolehannya di Ubud.
The pictures fascinated international tourists. Flores has never cross their mind. They even do not know where the island is. Their fascination grew stronger when they watched the art performance of Watublapi from the Regency of Sikka, who show their skills in Ubud.
ak seperti pergelaran di beberapa kota sebelumnya, Panitia Gambara Photo Road Show memilih kawasan Pantai Kuta dan ruas jalan desa adat Ubud untuk menggelar foto-foto realitas sosial Nias dan Flores. Banyak orang terpesona kendati sebelumnya pameran telah berlangsung di Gedung Bentara Budaya Bali (27 April –7 Mei 2012), pameran foto di Kampus ISI Denpasar, SMAN 2 Denpasar, Monumen Perjuangan Rakyat Bali di Renon (8-20 Mei 2012).
128
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
nlike the previous exhibitions in other cities, this time the Committee of Gambara Photo Roadshow choose the area of Kuta Beach and indigenous village road of Ubud in Bali to display the photos of social reality in Nias and Flores. Many were awed by the pictures although there were exhibitions on the same island earlier in Bentara Budaya (27 April –7 May 2012), at the ISI Campus in Denpasar, SMAN 2 High School Denpasar, and at the Balinese People’s Struggle Monument in Renon (8-20 May 2012).
www.gambara.co.id
Pameran exhibition
“Bali merupakan sebuah titik di mana masyarakat dunia memandang Indonesia sehingga kami berharap pergelaran di sini akan membawa dampak lebih besar pada kegiatan kami,” ujar Sakti Simorangkir, Director Program Gambara Photo sekaligus Pemimpin Umum Majalah Warisan Indonesia.
“Bali is a window where people of the world watch Indonesia thus we have high hopes that exhibitions held here will bring bigger impact to our event,” explained Sakti Simorangkir, Gambara Photo’s Program Director who is also the Managing Director of Warisan Indonesia.
Pariwisata sebagai komoditas utama tak selalu ramah terhadap Bali, terutama saat sumber devisa itu mesti bergandengan dengan urusan pelestarian warisan budaya. Para pemangku kepentingan memang telah memberikan dana kepada masyarakat untuk terus menjalankan aktivitas budaya. Hal ini berjalan karena pemerintah daerah menerbitkan peraturan yang mewajibkan hotel dan tempat wisata menyisihkan dana bagi pelestarian budaya.
As the main commodity of Bali, tourism is not always kind to the island, particularly when the source of foreign exchange meets conservation of cultural heritage. The stakeholders have provide funds for the public to keep having their cultural activities. This is a requirement set by the regional government for hotels and tourism sites to reserve a fund for cultural conservation.
Dengan dana sosial dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, masyarakat termotivasi untuk menjaga dan memelihara keunikan budaya. Namun, bukan berarti desa adat atau pakraman, sekeha subak, dan sekehe kesenian bisa lestari karena warga taat pada kewajiban adat. Mereka melestarikan ritual lebih karena memenuhi tuntutan bisnis wisata.
Social fund from the Cultural Office of Bali Province encourage people to guard and preserve distinct features of their culture. However, it is not that their indigenous village or the pakraman, sekeha subak, and sekehe (community) of art is preserved because they obey the custom. They are willing to run conservation efforts for the interest of tourism business.
Saat berbicara dalam gelar wicara bertema “Harmoni Bali yang Kaya Warisan Budaya Sebagai Gerbang Indonesia Timur: Pelestarian dan Eksplorasi Seni Tradisi hingga Modern-Kontemporer. Berhadapan dengan Eksploitasi Pariwisata”, I Nyoman Wardawan, Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Bali, tak menampik dampak itu.
Speaking at the discussion forum with the theme “The Harmony of Cultural Heritage Rich Bali as the Gate of of East Indonesia: Conservation and Exploration of Traditional Art thru Modern Contemporary. Face to Face with Tourism Exploitation”, I Nyoman Wardawan, Head of Bali Tourism Marketing, did not deny the fact.
Menurut dia, perkembangan wisata yang tak terkendali bakal menciptakan masalah yang mungkin mengarah pada kehancuran wisata itu sendiri. Untuk itulah peraturan, baik dari daerah maupun pusat, perlu diperbanyak. Hal itu penting demi menjaga agar bisnis tetap berjalan koridor yang benar. DONNY ISWANDONO
He said, uncontrolled tourism development will create problems that could lead to the very destruction of tourism business. This is the reason that more regulations, be them regional or central, are needed. This is to keep tourism business to stay in the right lane. DON Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
129
Perjalanan Tropis ke TEKS & FOTO/TEXT & PHOTOS : NYOMAN BAYU YUDIANALA
P
ulau Adonara adalah sebuah pulau yang terletak di bagian timur Pulau Flores, dalam gugusan Kepulauan Solor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau ini bersebelahan dengan Pulau Lembata, yang terkenal karena masyarakatnya yang memburu ikan paus dengan peralatan dan perahu tradisional. Kami meninggalkan Pelabuhan Larantuka pada pagi hari. Menyeberang dengan perahu yang kami sewa. Kapten Kornelis bersama dua anak buah kapal yang masih muda mengendalikan Kapal Motor (KM) Clara mengarungi laut di Kepulauan Solor yang tenang. Walaupun hari masih pagi, terik panas mentari sepertinya sangat cukup bagi kulit untuk menyerap sinar ultraviolet yang eksotis. Di sekitar kami gugusan pulau-pulau serta langit cerah menjadi pemandangan yang memanjakan mata. 134
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
A TROPICAL JOURNEY TO ADONARA
A
donara is an island at the eastern side of Flores Island, part of Solor Islands, East Nusa Tenggara (NTT). The island is located next to Lembata Island, famous for its whale hunting that uses traditional boats and handheld harpoons.
We left the Port of Larantuka in the morning. Crossing the sea with a rented boat. Captain Kornelis with two young crew were at the helm of Motor Vessel Clara to sail the calm sea at Solor Islands. It was still early, yet the heat from the scorching sun was sufficient to supply the skin with exotic ultraviolet. Around us, cluster of islands and clear skies were pleasing to the eye.
Panorama Panorama
Kapal merapat di kota administratif Waiwerang dan kami segera turun untuk memulai ekspedisi tropis kami di sana. Tujuan kami adalah desa adat Lewapao, sebuah perkampungan adat yang unik. Jalanan yang menanjak terjal membuat kendaraan kami harus bekerja ekstra keras. Petrus Semae, Kepala Dusun Adat Lewapao, menyambut kami dengan suguhan penawar dahaga, air kelapa muda yang baru dipetik.
The boat docked at administrative city of Waiwerang and we immediately disembarked to start our tropical expedition. Our destination is the indigenous village of Lewapao, an unusual traditional community. The steep road uphill forced our vehicle to work harder. Petrus Semae, Indigenous Leader of Lewapao Hamlet, welcomed us with a thirst quenching drink, coconut water from freshly picked young coconuts.
Kami melepaskan penat di beranda rumah adat, yang konon didiami oleh nenek moyang mereka, yang sangat dihormati. Di dalam rumah adat tersisa beberapa peninggalan yang dikeramatkan, seperti gading-gading gajah yang sangat tua dan kuno. Gading-gading gajah ini adalah harta yang sangat berharga bagi desa adat dijaga secara sakral dan dikeramatkan.
We stretched our backs at the patio of the custom house. Legend has it that the house was occupied by the honored spirits of ancestors. In the custom house we can see some sacred heirlooms, such as ancient elephant ivories. These ivories are precious treasure to the indigenous village. They are sacred and greatly honored.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
135
138
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 Juni -15 Juli 2012
ZooM Zoom
TALE OF THE LENGGER QUEEN TEKS & FOTO/TEXT & PHOTOS : AGUNG PAMBUDHY
S
adam kecil gemar menyanyi dan menari Jawa, tidak seperti anak lelaki lain di kampungnya. Seorang pengembara bernama Kaki Dana Bau, yang tinggal bersama Sadam dan kakeknya, mengatakan bahwa Sadam memang dilahirkan untuk menjadi seorang penari lengger.
Di dalam dirinya sudah bersemayam indhang lengger, kekuatan supranatural dari roh nenek moyang yang membuat seseorang menjadi bintang panggung yang digilai penonton. Mengetahui di dalam dirinya bersemayam indhang lengger, Sadam pun bertapa di Panembahan Ronggeng. Dari tempat itu, Sadam mendapat sebuah jimat yang menuntunnya untuk menjadi penari lengger. Sejak itulah, Sadam berlatih menari serius. Ia juga mendatangi Kaki Nujum, seorang dukun lengger. Dukun itulah yang kemudian “mencabut” kejantanannya dan Sadam pun mengubah namanya menjadi Dariah. Dariah kemudian menjadi Ratu Lengger di setiap pesta rakyat. Sihir kemolekan wajah dan kegemulaian gerak tariannya membuat pengagumnya melupakan fakta bahwa ia adalah seorang laki-laki. Setiap malam mereka silih berganti menyambangi rumah Dariah.
L
ittle Sadam loves to sing and dance Javanese dance, unlike the other boys in his village. A traveler named Kaki Dana Bau, who lives with Sadam and his grandfather, said that Sadam was born to be lengger dancer.
In his body indhang lengger resides, a supernatural power from the spirit of the ancestors who make a person be the star of the stage, adored insanely by the audience. Knowing that within him indhang lengger stays, Sadam meditated in Panembahan Ronggeng. From the place, Sadam received an amulet that drove him to becomea lengger dancer. Ever since, Sadam has been practicing the dance diligently. He also went to Kaki Nujum, a lengger shaman. It was the shaman who “removed” his maleness and Sadam then changed his name into Dariah. Dariah then became the Lengger Queen in every folk celebration. The magic of Dariah’s beauty and delicate movement of her dance made the audience forget the fact that she was actually a man. They come every evening in turns to visit Dariah at her house.
Warisan Indonesia | Vol. II | No. 18 | 15 June -15 July 2012
139