
5 minute read
Peserta terbatas hingga kelas VI SD, menyantumkan nama, alamat yang jelas
Hutan Amazon Hasilkan Karbon Lebih Banyak
HUTAN hujan Amazon sedang menghadapi krisis. Setelah deforestasi tanpa henti, ia harus berjuang untuk memulihkan diri karena areanya yang terkenal sebagai penyerap karbon, kini berubah menjadi sumber karbon. Para ahli lingkungan di Brasil menemukan fakta bahwa seperlima wilayah hutan Amazon lebih banyak mengeluarkan karbon dibanding menyerapnya. Perubahan yang signifikan ini dapat berdampak pada iklim dunia.
Advertisement
Meski studi lengkapnya belum dipublikasikan, tapi para peneliti sudah menyampaikan hasilnya kepada BBC Newsnight. Mereka mengatakan bahwa penemuannya berdasarkan data terbaru—dikumpulkan menggunakan pesawat terbang yang dilengkapi dengan sensor sehingga dapat mendeteksi konsentrasi gas rumah kaca.
Salah satu alasan mengapa hutan Amazon lebih banyak menciptakan karbon adalah karena deforestasi. Hutan hujan berperan sebagai penyerap karbon berkat kekayaan pohonnya.
Tanaman-tanaman hijau ‘menghisap’ karbon dioksida dari lingkungan dan menggunakannya untuk fotosintesis. Karbon kemudian diasingkan oleh tanaman tersebut dan disimpan sebagai biomassa. Sejumlah besar karbon juga disimpan di tanah sebagai bahan organik mati, seperti pohon yang membusuk.
Di masa lalu, Amazon menyerap karbon lebih banyak dari yang dikeluarkan. Namun kini, dengan pohon yang semakin sedikit, hutan ini justru melakukan sebaliknya. Bagaimana pun juga, hutan hujan masih menghasilkan karbon, terutama melalui respirasi mikroorganisme yang menguraikan pohon begitu mereka mati. Selain itu, kebakaran hutan yang belum lama ini terjadi juga melepaskan karbon ke atmosfer.
“Hutan Amazon pada tahun 1980 dan 1990-an merupakan penyerap karbon yang sangat kuat, mungkin mengekstrasi dua miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya dari atmosfer,” ungkap Profesor Carlos Nobre, wakil pemimpin penelitian dari University of Sao Paulo’s Institute for Advanced Studies.
“Hari ini, kekuatannya berkurang satu hingga 1,2 miliar ton,” imbuhnya.
Meski begitu, para peneliti mengatakan, bencana masih bisa dihindari jika kita dapat mengendalikan deforestasi.
Jika tercapai, maka itu dapat mengurangi area kebakaran hutan hingga 30 persen dan mengurangi emisi karbon hingga 56 persen di wilayah tersebut.(GNc)
Bahan bakar dari kotoran manusia.

Kenya Buat
Bahan Bakar Dari
Kotoran Manusia
DIPERKIRAKAN sekitar tujuh persen dari emisi gas rumah kaca berasal dari aktivitas produksi yang menggunakan kayu bakar dan arang. Ini mengkhawatirkan karena memicu deforestasi.
Melihat hal tersebut, perusahaan asal Kenya, Sanivation, mengumpulkan limbah kotoran manusia dari toilet khusus dan mengubahnya menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan. Inovasi ini memperbaiki sanitasi sekaligus menahan laju pembakaran kayu.
“Mulanya semua orang mempertanyakan inovasi ini. Pasalnya, produk kami tidak terlihat seperti kotoran, tidak berbau seperti kotoran, dan mereka tidak akan tahu kecuali kami memberitahukannya,” ungkap Co-Founder sekaligus COO Sanivation, Emily Woods, dilansir dari laman World Economic Forum.
Ia menambahkan: “Di Afrika Timur, sekitar 90% penduduk menggunakan beberapa bentuk biomassa padat setiap hari seperti kayu bakar, arang, dan pelet (pellets). Hal ini yang menyebabkan, deforestasi menjadi masalah besar di Kenya dan di seluruh Afrika Timur.” Tidak hanya di Afrika, menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2017, lebih dari 2,4 miliar orang di dunia bergantung pada pembakaran kayu untuk memasak. Pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan akan berakibat pada lonjakan degradasi hutan dan deforestasi.
Sanivation sadar, jumlah karbon dan kalori dalam kotoran manusia sebanding dengan kayu bakar kering. Atas dasra itulah, mereka memutuskan untuk menggunakan kotoran manusia sebagai pengganti arang—dan tentunya lebih sustainable.
“Untuk setiap ton arang briket yang dijual, kami menghemat sekitar 88 pohon di Kenya. Orang-orang sebenarnya membeli bahan bakar kami karena (sadar dengan) dampak lingkungan,” ungkap Woods.
Dua kali seminggu, Sanivation mengumpulkan kontainer lumpur tinja dari sekitar 650 toilet khusus di seluruh Kenya dan membawanya ke fasilitas pengolahan. Ini dikombinasikan dengan limbah biomassa lain seperti serbuk gergaji dan mengubahnya menjadi bahan bakar yang aman dan higienis. “Kami menyebutnya ‘Mkaa kwa jamii’, yang berarti ‘arang untuk keluarga’. Mereka dapat membakar sekitar dua kali lebih tahan lama dari arang lokal dan mengeluarkan sepertiga dari emisi, khususnya karbon monoksida dan partikulat,” paparnya.
“Jika kita bisa mengumpulkan semua limbah manusia di Kenya, semua limbah pertanian cadangan, maka kita bisa memasok hampir 50% dari seluruh permintaan arang dan kayu bakar, sehingga laju deforestasi akan turun secara substansial,” pungkasnya.(GNc)

Kerangka Usia 10 Ribu
Tahun Di Gua Bawah Laut
PENEMUAN kerangka manusia berusia 10 ribu tahun di gua bawah laut Meksiko, memberikan bukti baru bahwa manusia pertama kali sampai ke Amerika tidak sebagai populasi tunggal seperti yang dijelaskan dalam teori-teori sebelumnya. Sebaliknya, menurut para peneliti, mereka datang dari berbagai wilayah.
Para peneliti mengatakan temuan ini memberikan informasi tentang beberapa kelompok pemukim awal yang datang “dari titik geografis yang berbeda”.
Kerangka tersebut merupakan milik wanita Paleoindian berusia 30 tahun dan diberi nama Chan Hol 3. Ini karena ia ditemukan di sebuah gua bernama Chan Hol, di dekat kota Tulum, Semenanjung Yukatan, Meksiko.
Para ilmuwan mengatakan, bentuk dan struktur tengkoraknya berbeda dengan kerangka lain yang berasal dari periode sama. Menunjukkan “setidaknya dua populasi Paleoindian berbeda secara morfologi”.
Paleoindian merupakan orangorang pertama yang sampai dan menempati Amerika. Mereka dipercaya telah melakukan perjalanan melintasi jembatan tanah kuno yang menghubungkan Asia dengan Amerika Utara.
Hal ini dikenal dengan nama Beringia pada Zaman Es lebih dari 12 ribu tahun lalu, sebelum bermigrasi ke wilayah Patagonia di Amerika Selatan. Tim yang dipimpin oleh profesor Wolfgang Stinnesbeck, ilmuwan bumi dari Heidelberg University, melakukan penanggalan kerangka menggunakan endapan mineral yang disebut flowstone yang menutupi beberapa tulang jari. Menurut mereka, Chan Hol 3 berusia 9.900 tahun atau lebih tua. Analisis struktural menunjukkan bahwa Chan Hol 3 memiliki kepala bundar dengan tulang pipi yang lebar dan kening rata, mirip dengan tiga tengkorak lain dari gua Tulum. Meski begitu, menurut para peneliti, karakteristik tengkorak yang baru ditemukan ini berbeda dengan kerangka Paleoindian berkepala panjang yang ditemukan di wilayah tersebut.
Dr Silvia Gonzales, profesor geologi dan geoarkeologi dari Liverpool John Moores University, mengatakan: “Kerangka Tulum ini mengindikasikan bahwa ada satu kelompok atau lebih yang pertama kali mencapai benua Amerika dari titik geografis yang berbeda. Atau ada waktu yang cukup bagi sekelompok pemukim awal yang hidup sendirian di Semenanjung Yucatan, untuk mengembangkan morfologi tengkorak yang berbeda.” “Dengan kata lain, sejarah permukiman awal Amerika tampaknya lebih rumit dan mungkin bermula ribuan tahun lebih cepat dari yang diyakini selama ini,” imbuhnya.(GNc)

PA via The Independent Professor Silvia Gonzalez dan Dr Sam Rennie bersama kerangka Chan Hol 3 yang ditemukan di gua bawah laut di Tulum, Meksiko.