12 minute read

10 Free 4

Jejeran seribuan lobang KJA dikelola petani di kawasan Dusun Sualan Nagori Sibaganding Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun.

Advertisement

Danau Toba, Obyek Wisata Kelas Dunia Berhias KJA (I)

Waspada/Ramsiana Gultom

Menjamur, Mungkinkah Keramba Disingkirkan?

KEBERADAAN Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba wilayah Kabupaten Simalungun, seperti di kawasan Parapat, Haranggaol, Pamatang Sidamanik dan Tigaras, terus bertambah. KJA itu ada yang dikelola perusahaan besar swasta maupun KJA milik petani budidaya ikan.

Keberadaan KJA yang tersebar di berbagai sudut perairan danau terbesar di Asia itu mendapat kritikan tajam dari berbagai kalangan. Bahkan, pemerintah pusat dan provinsi Sumut menginginkan KJA dibersihkan, karena dinilai telah mengganggu kualitas air dan pemandangan di Danau Toba.

Tidak ada data pasti berapa jumlah lobang KJA yang tersebar di perairan Danau Toba itu, terutama yang dikelola petani (masyarakat), karena terus bertambah.

Sedangkan, KJA yang dikelola perusahaan diantaranya PT. Suri Tani Pemuka (STP), anak perusahaan PT. Japfa yang beroperasi di perairan Tambun Raya, Kecamatan Pamatang Sidamanik dengan kapasitas produksi rata-rata 10.000 ton per tahun. Jumlah produksi ini dikatakan masih jauh dari izin yang diberikan kepada perusahaan itu yakni sebanyak ratarata 30.000 ton per tahun.

Persoalan pencemaran kualitas air di Danau Toba ini sudah sering dibahas pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Apalagi Danau Toba sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata kelas dunia, sehingga kualitas airnya harus benarbenar bersih dari pencemaran.

Bahkan, atas instruksi dari pusat dan provinsi, tujuh Pemerintah Daerah yang memiliki akses langsung dengan kawasan Danau Toba, termasuk Pemkab Simalungun, pernah melakukan upaya pembersihan besarbesaran terhadap KJA. Hal ini dilakukan untuk mendukung program pusat yang menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Namun kenyataannya, selepas dilakukan pembersihan di tahun 2016, tidak dilakukan pengawasan secara terus menerus. Akibatnya, KJA kembali muncul dan kesannya terus bertambah dan semakin menjamur. Saat itu, pembersihan hanya dilakukan terhadap KJA milik petani, karena tidak dilengkapi izin.

Sedangkan KJA yang dikelola perusahaan tetap dibiarkan, karena mengantongi izin. Pertambahan jumlah lobang KJA itu juga tidak terlepas dari situasi kesulitan ekonomi saat pandemi Covid-19. Banyak pengusaha beralih menjadi petani budidaya ikan keramba.

Tampaknya, petani budidaya ikan keramba tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan pencemaran air Danau Toba. Bagi mereka, bisa hidup dan menyekolahkan anak dalam situasi ekonomi sulit ini, sudah untung. KJA bagi mereka yang tinggal di sekitar Danau Toba, sudah menjadi mata pencaharian utama.

Jika boleh bicara jujur, sesungguhnya keberadaan KJA di perairan Danau Toba memiliki potensi besar sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya dari sektor perikanan. Seharusnya, potensi besar tersebut dikelola dan dibina dengan baik serta dijadikan andalan, bukan malah dimusnahkan.

Apalagi, KJA bukanlah penyebab satu-satunya pencemaran Danau Toba. Banyak faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pencemaran itu. Misalnya, limbah peternakan babi, limbah hotel, limbah rumahtangga dan lainnya.

Antara KJA dan destinasi wisata, seolah buah simalakama. Kalau KJA dibiarkan lama-lama, bisa merusak alam lingkungan dan kualitas air Danau Toba. Sedangkan kalau KJA ditutup, ribuan warga akan jatuh melarat.

Lalu, apa tanggapan petani KJA dan perusahaan pengelola budidaya ikan yang beroperasi di kawasan Tambun Raya, Kec. Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun mengenai pencemaran air Danau Toba dan rencana pembersihan KJA?

Adalah petani keramba di Dusun Sualan Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Robin Bakkara, 58. Saat ditemui Waspada, Jumat (2/10), dia mengaku sudah menggeluti usaha KJA sejak 1994. Meski awalnya memulai dari modal kecil hanya 4 lobang, usaha KJA miliknya terus berkembang setelah dikembangkan dengan membuka usaha pemancingan. Sampai akhirnya usaha keramba yang digelutinya terus bertumbuh dan mengalami masa jaya pada tahun 2003 dan 2004.

“Saya pribadi, sempat memiliki 200 kotak lebih. Sayangnya, pada masa Bupati Simalungun JR Saragih, sempat dilakukan pengurangan besar besaran pada tahun 2016. Tadinya keramba saya 200 lobang lebih, akhirnya hanya tinggal 100 lobang saja,” tutur Robin.

Robin menjelaskan, per lobang daya tampungnya 10.000 bibit dengan masa panen antara 5 hingga 6 bulan. Hingga masa panen, para pemilik keramba bisa mengantongi laba bersih antara Rp4 juta hingga Rp5 juta per lobang. Dengan 100 lobang keramba miliknya, Robin bisa panen antara 35 - 40 ton per bulan.

Terkait keinginan pemerintah untuk menjadikan Danau Toba Zero Keramba seperti yang digaungkan beberapa tahun terakhir, Robin mengaku akan sangat berdampak buruk bagi ekonomi masyarakat Sualan.

“Pasalnya, kita hanya menggantungkan hidup dan menyekolahkan anak-anak hanya dari usaha KJA ini. Terlebih saat ini perusahaan asing masih beroperasi di Danau Toba, masa kita masyarakat lokal tidak bisa hidup dari Danau Toba lewat KJA ini? Sebenarnya, kita tidak pernah menghalangi program pemerintah sepanjang itu berlaku adil dan tidak tebang pilih,” ungkap Robin.

Sementara itu, Kepala Desa (Pangulu) Sibaganding, Martno Bakkara mengatakan, saat ini 40 persen warga Sibaganding khususnya Dusun I Sualan menggantungkan hidupnya dari KJA.

“Bagaimana kita hendak menutup usaha keramba ini, sementara warga saya di Dusun I Sualan ini hampir setengahnya menggantungkan hidup dari usaha KJA. Mulai dari pengusaha keramba hingga pekerja harian serta penjual ikan di berbagai daerah,” terang Martno.

Selama ini, katanya, keinginan pemerintah untuk menutup seluruh KJA di Danau Toba tentu akan sangat berdampak bagi perekonomian masyarakat.

Dalam rangka mendukung sektor pariwisata, sebenarnya warga siap mendukung program pemerintah terutama jika dilibatkan langsung dan dibina di sektor pariwisata. “Pernah ada rencana pemerintah menjadikan Sualan sebagai pusat kuliner ikan hasil tangkap Danau Toba. Sayangnya program itu terhenti dan sampai saat ini tidak kita ketahui tindak lanjutnya. Sementara, seluruh warga pemilik keramba setuju dengan program tersebut,” ujarnya.

Haloho, petani lainnya dari

Waspada/Ist Luas Produksi KJA di Danau Toba wilayah Kabupaten Simalungun. Sumber Dinas Perikanan dan Peternakan Simalungun. Haranggaol Horisan bahkan mengharapkan pembinaan dari pemerintah agar petani budidaya ikan di daerah itu bisa surplus. “Melarang petani membudidayakan ikan dengan keramba, berarti sama dengan mematikan mata pencaharian kami,” kata Haloho.

“Kami juga siap urus izin dan bayar pajak kok,” ujarnya seraya menambahkan, keramba jangan dimusnahkan, tetapi dibina agar petani melakukan pembudidayaan ikan dengan baik.

Sementara, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) kawasan Danau Toba, Karmel Sitanggang mengatakan, dari data yang dihimpun, di Kabupaten Simalungun, jumlah KJA milik warga khusus untuk Dusun Sualan terdapat hampir 1.000 lobang. Sementara, secara keseluruhan berkisar 11.086 lobang.

Menurutnya, pasca dilakukan pengurangan oleh Pemkab Simalungun tahun 2006 silam, justru jumlah KJA milik warga terus bertambah. Dari tahun ke tahun, faktanya jumlah lobang KJA milik masyarakat tersebut terus meningkat hingga mencapai angka 11.086 lobang.

Karmel mengakui KJA milik masyarakat di Simalungun sama sekali tidak memiliki izin. Sehingga tidak ada kontribusi yang diterima Pemkab berupa PAD dari usaha KJA tersebut.

Di sisi lain, pihak manajemen PT. Suri Tani Pemuka (STP) yang berkantor di Jalan Besar P. Siantar-Saribudolok, tepatnya di Nagori Janggir Leto, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun, tidak banyak berkomentar terkait rencana pemerintah mengosongkan KJA dari perairan Danau Toba.

Adalah Hendri Dayu, Head of Grow Out Tilapia Culture PT Suri Tani Pemuka dan Imam Santoso, Deputy Head of Tilapia Operation Simalungun, PT STP, dalam keterangannya kepada Waspada, Jumat (1/10), menjelaskan, PT Suri Tani Pemuka merupakan anak usaha JAPFA dalam bidang budidaya perikanan.

Di Simalungun, STP mengoperasikan budidaya perikanan berkelanjutan sejak tahun 2012 dan terus berupaya tetap ramah lingkungan.

Dikatakannya, dalam menjalankan operasi bisnisnya, STP menggunakan teknologi tinggi dan memegang teguh prinsip sustainable aquaculture. STP selalu menerapkan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), ramah lingkungan dan berkelanjutan sesuai dengan standar nasional dan internasional, serta telah memenuhi izin yang ditetapkan pemerintah.

Menurut Hendri Dayu, hingga saat ini STP telah mengantongi berbagai sertifikat nasional maupun internasional, seperti Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Food Safety System Certification (FSSC) 22000, Best Aquaculture Practice (BAP), Aquaculture Stewardship Council (ASC), The British Retail Consortium (BRC) dan Kosher Certification.

Sedangkan menyangkut CSR, katanya, pihak perusahaan langsung menyalurkannya kepada masyarakat bersama pemerintah setempat dengan menginisiasi berbagai kegiatan sosial seperti: Gerakan Aksi Untuk Lingkungan (GAUL) Danau Toba, penghijauan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba seluas 20 Ha melalui penanaman 10.000 pohon.

Kemudian, pembangunan Filter Air Bersih untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi, dukungan truk sampah, perbaikan infrastruktur jalan, serta pelaksanakan kegiatan JAPFA for Kids Go Green yang menyasar anak usia sekolah dasar.

Di sisi lain, STP juga memberikan edukasi kepada anakanak sekolah untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan membangun beberapa fasilitas toilet sekolah. Pembinaan kepada masyarakat mengenai cara budidaya yang baik dilakukan kepada pembudidaya masyarakat di sekitar wilayah operasional, agar mereka juga dapat menerapkan budidaya ikan yang berkelanjutan.

“Dalam operasionalnya, STP menaati peraturan dan menjalankan kewajibannya sebagai perusahaan yang taat pajak sesuai dengan kententuan di Indonesia,” jelas Hendri Dayu.

Menyangkut rencana pemerintah melakukan penertiban, pihak manajemen STP tidak memberikan statemen apa-apa. Mereka hanya berprinsip bahwa keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat merupakan prioritas perusahaan. Dan, selalu mengikuti setiap peraturan yang ditetapkan pemerintah.

“Menjaga kelestarian lingkungan di mana kita berpijak merupakan komitmen kami dalam menjalankan operasional perusahaan. Karenanya, kami berupaya menjaga kelestarian ekosistem di wilayah Danau Toba, sehingga diharapkan keberadaan kami dapat bermanfaat dan berdampak besar tidak hanya bagi masyarakat sekitar namun juga wilayah Sumatera Utara,” jelas Imam Santoso.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun, Misliani Saragih, SSos, MSi mengatakan, ada beberapa aspek yang harus diteliti jika membicarakan masalah pencemaran lingkungan Danau Toba.

Menurutnya, Danau Toba bukan hanya milik Kabupaten Simalungun, tetapi masih ada enam kabupaten lainnya yang berinteraksi langsung dengan danau dimaksud.

Dikatakan Misliani, perusahaan KJA yang ada di wilayah Simalungun tetap mempedomani regulasi yang ada, sekali 6 bulan dipantau dan kondisinya tidak di atas baku mutu. Kalau dikatakan Danau Toba tercemar dan sumber pencemarannya adalah KJA saja, itu harus diuji semuanya, ada hotel, ada rumah makan, ada pertanian. Jadi semuanya harus diteliti tidak bisa satu sisi saja.

“Kalau kita berbicara pencemaran Danau Toba harus dilakukan penelitian secara gradual. Tidak bisa kita hanya bicara Danau Toba sudah tercemar. Harus ada uji biologi, uji kimia, uji fisika. Harus diuji semua, baru dapat disimpulkan bahwa Danau Toba itu sudah terjadi pencemaran. Kita tidak bisa bicara seperti itu karena kita belum melakukan ujinya,” kata Misliani.

Terkait dengan izin, Misliani mengakui bahwa KJA yang dikelola petani tidak punya izin. Sedangkan izin perusahaan KJA bukan dari Pemkab Simalungun, tetapi dari Gubernur dan izin memakai air Danau Toba dari Kementerian.

Sejauh ini, pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun telah melakukan sosialisasi bekerjasama dengan perusahaan KJA, mengharapkan kesadaran masyarakat, khususnya petani KJA bagaimana melakukan budidaya ikan dengan baik.

“Itu saja yang bisa kita lakukan. Kalau kita tutup, masyarakat makan apa. Dulu sudah pernah Pemkab sediakan untuk memindahkan sendiri ke darat dikasih biayanya, buka rekening kata pimpinan. Tetapi tidak ada satupun yang mau buka rekening, kita paksa tidak mungkin. Buktinya, Aquafarm dari Simalungun sudah tidak ada, tapi ternyata masyarakat membuka lagi di tempat itu. Coba mau bagaimana kita,” kata Misliani.

Sedangkan Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Simalungun, Pardomuan Sijabat, SP, MSi mengatakan, sesuai data jumlah luas produksi KJA yang ada di wilayah Kabupaten Simalungun tahun 2018 mencapai 8.880 lobang. Lokasi KJA itu tersebar di empat kecamatan, yakni Girsang Sipanganbolon 1.125 lobang dengan 72 pemilik KJA, Pamatang Sidamanik 313 lobang diantaranya 129 milik 32 petani KJA dan sebanyak 184 milik perusahaan PT STP.

Kecamatan Dolok Pardamean (Tigaras) 200 lobang dikelola 24 petani KJA, Haranggaol Horisan 7.242 lobang dikelola 314 petani KJA. Sehingga jumlah total 8.880 lobang dikelola sebanyak 442 petani KJA.

Pardomuan tidak menampik adanya pertambahan KJA dalam kurun waktu 2019 dan 2020. Apalagi di tengah masa pandemi Covid-19, pertambahan KJA di perairan Danau Toba khususnya di wilayah Simalungun belum terdeteksi.

Menurutnya, pada tahun 2016 sesuai dengan program pemerintah pusat untuk menjadikan kawasan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata nasional, ada keinginan Pemkab Simalungun untuk membersihkan dusun Sualan Kecamatan Girsang Sipanganbolon dari KJA.

Kenapa dusun Sualan yang lebih dahulu terkena pembersihan? Karena lokasi KJA dari tempat ini sangat mengganggu pemandangan di Danau Toba. Ini sangat terlihat dari sisi jalan sebelah kanan ketika kita menuju Kota Parapat.

Direncanakan, dusun Sualan akan dijadikan sebagai pusat kuliner ikan hasil tangkapan dari Danau Toba. Namun rencana itu belum terwujud hingga kini.

Kemudian, setelah beberapa kali pertemuan dengan masyarakat di kawasan ini, khususnya petani KJA, disepakati adanya zonasi KJA. Persolannya hingga kini zonasi KJA yang mana dibolehkan dan yang mana tidak boleh, belum ditentukan oleh pihak provinsi dan pusat. “Karena petani juga ingin hidup dan berusaha, mereka tetap memasang KJA-nya. Pemkab tidak dapat melakukan apa-apa,” kata Sijabat.

Permasalahan pencemaran kualitas air di Danau Toba ternyata cukup kompleks. Di sana ada limbah KJA, ada limbah hotel, limbah restoran, limbah peternakan, pertanian dan limbah rumah tangga yang turut andil dalam pencemaran itu. Di satu sisi, petani KJA menjadi sasaran tembak untuk dibersihkan (zero keramba) karena dianggap menjadi penyebab utama pencemaran.

Sementara, ratusan bahkan ribuan kepala keluarga menggantungkan mata pencahariannya dari hasil KJA. Sekarang terserah kepada pemerintah pusat dan provinsi bagaimana bersikap, apakah membersihkan KJA atau melakukan relokasi atau zona khusus KJA.(a27/a36/a37/I)

“Kami Akan Patuh, Jika Seluruh KJA Dibersihkan Tanpa Terkecuali...”

RIBUAN petak Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba masih menjadi andalan untuk penopang ekonomi keluarga bagi warga Silalahi Kecamatan Silalahi Sabungan Kabupaten Dairi.

Hal ini dikatakan Budi Sidebang, 55, salah seorang nelayan keramba jaring apung di Danau Toba Silalahi Kecamatan Silahisabungan Kabupaten Dairi, belum lama ini.

Penghasilan masyarakat Kecamatan Silahisabungan secara umum hanya petani bawang dan sebagai nelayan keramba jaring apung. Sedangkan sektor lain seperti pariwisata dan lainnya belum mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keramba jaring apung sangat berdampak positif bagi masyarakat Kecamatan Silahisabungan. Yang paling nyata adalah banyaknya perputaran uang setiap pekan, membuat ekonomi masyarakat dapat bertahan apalagi di masa pandemi Covid-19.

Ditambahkan Sidebang, selain perputaran ekonomi setiap pekan, adanya nelayan keramba jaring apung juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga Silalahi.

“Jika pemerintah akan membersihkan keramba dari Silalahi ini, tentu kami menolak. Kami akan patuh terhadap peraturan pemerintah jika seluruh keramba jaring apung dibersihkan dari perairan Danau Toba tanpa terkecuali,” katanya.

Camat Silahisabungan Hamaska Silalahi Kepada Waspada di kantornya mengakui KJA di perairan Danau Toba kawasan Silalahi belum ada memiliki surat izin. Nelayan keramba jaring apung sifatnya hanya perorangan. Kendati hanya usaha perorangan, namun tingkat perputaran uang di Silalahi mencapai Rp3-5 miliar per pekan.

Dulu, menurut Camat, Kecamatan Silahisabungan hanya mengandalkan hasil pertanian bawang dan ikan alami dari perairan Danau Toba. Namun lahan petani bawang tidak dapat dikembangkan karena secara umum wilayah Kecamatan Silahisabungan adalah perbukitan dan bebatuan.

Sedangkan dari sektor pariwisata belum dapat dikelola dengan baik karena belum ada regulasi yang mengaturnya.

Menurut Camat, kebutuhan ekonomi sudah tidak memadai kalau hanya mengandalkan pertanian bawang. Sedangkan ikan alami sudah tidak ada lagi ditemukan di Danau Toba . Karena itu, beberapa warga yang mempunyai koneksi beralih menjadi nelayan keramba jaring apung.

Disinggung terkait dugaan pencemaran air di Danau Toba akibat maraknya keramba jaring apung, Hamaska berpendapat, perlu dilakukan penelitian dan kajian terkait itu. Sehingga masyarakat mengetahui sejauhmana pencemaran air Danau Toba.

Disebutkan Hamaska, jika pemerintah melakukan kebijakan untuk membersihkan keramba di perairan Danau Toba tentunya pemerintah kecamatan siap mendukung kebijakan tersebut.

Bahkan, dalam rapat di kabupaten, belum ada kebijakan seperti apa yang akan dilakukan terkait keberadaan KJA di perairan Danau Toba Kecamatan Silahisabungan.

“Pada prinsipnya, kami dari pemerintah kecamatan siap menjalankan kebijakan dan peraturan jika ada perintah untuk membersihkan KJA di wilayah Silalahisabungan,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Dairi Amper Nainggolan melalui Sekretaris Bahrim Tarigan kepada Waspada, Selasa (29/9), di ruang kerjanya mengatakan, penelitian ada atau tidaknya tingkat pencemaran di perairan Danau Toba di kawasan Silahisabungan biasanya dilakukan oleh Dinas lingkungan Hidup Provinsi secara berkala. Sebab, kawasan Danau Toba sudah menjadi kewenangan Pemprovsu.

Bahrin menjelaskan, data yang diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara melalui Pengelolaan

Kualitas Air Danau Toba pada Tahun 2018, untuk lokasi perairan Silalahi dinyatakan tercemar berat disebabkan beberapa parameter yang melebihi baku mutu.(a24/a25/B)

This article is from: