ARSITEKTUR BETANG DI KALIMANTAN TENGAH

Page 1

ARSITEKTUR

BETANG DI KALIMANTAN TENGAH Kumpulan Tugas Mahasiswa Mata Kuliah Seminar Semester VII Prodi Arsitektur Universitas Palangka Raya (UPR) Tahun 2007

Editor :

Wijanarka Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya (UPR) 2020 1


2


ARSITEKTUR

BETANG DI KALIMANTAN TENGAH Kumpulan Tugas Mahasiswa Mata Kuliah Seminar Semester VII Prodi Arsitektur Universitas Palangka Raya (UPR) Tahun 2007

Editor :

Wijanarka Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya (UPR) 2020 3


4


DAFTAR ISI

Halaman Judul Daftar isi Pengantar Editor 1.

Perkembangan Bentuk Hunian Suku Dayak Oleh : Wijanarka …………………………………………………………..

7

Betang Tumbang Apat Oleh : Andri Natallius Fery dan Kristian Adventus T…………………….

19

3. Betang Tumbang Kori Oleh : Delacrus Galipto, Novellery AS dan Dedy Irawan………………..

49

4. Betang Tumbang Gagu Oleh : Muhammad Syamsudin dan Ahmad Sabriansyah ………………..

69

5. Betang Tumbang Malahoi Oleh : Elwido Sinaga dan Andreas ………………………………………..

83

6. Betang Tumbang Anoi 1894 Oleh : Wijanarka ……………………………………………………………

110

Penutup : Betang Dan Kotta Oleh : Wijanarka …………………………………………………………………..

116

2.

5


6


PENGANTAR EDITOR

Setiap suku, pasti akan menghasilkan budaya yang berupa jenis -jenis bangunan. Dalam pembagian jenis-jenis bangunan suku Dayak di Kalimantan Tengah, Elbas (1986) mengklasifikasikan jenis-jenis bangunan suku Dayak ada 4 (empat) jeni, yaitu bangunan Sarana Pemujaan / Ibadah, bangunan Sarana Sosial, bangunan tenpat tinggal dan bangunan tempat penyimpanan. Mengacu pada Elbas tersebut, Betang merupakan salah satu jenis bangunan suku Dayak di Kalimantan Tengah yang merupakan kategori rumah tinggal atau hunian. Oleh karena, buku ini mendiskripsikan tentang Arsitektur Betang yang ada di Kalimantan Tengah.

7


Gambar foto Diagram Jenis Bangunan versi Elbas (Sumber gambar di screen dalam tesis Syahrozi : http://eprints.undip.ac.id/12661/1/2004MTA3195.pdf )

Isi buku ini sebagian besar merupakan produk Tugas Mahasiswa Prodi Arsitektur Universitas Palangka Raya (UPR), khusunya produk mata kuliah Seminar semester VII tahun 2007. Oleh karenanya, di setiap judul bab, dituliskan juga nama -nama mahasiswa sebagai penulisnya dan dituliskan juga nama dosen Pembimbimnya. Namun untuk

8


melengkapinya, Editor juga turut serta memyampaikan beberapa tulisan yang pernah terbit dalam bukunya maupun yang pernah terbit di surat kabar. Sistematika penyusunan diawali dengan tulisan Editor tentang Perkembangan Bentuk Hunian Sukua Dayak. Tulisan kedua tentang Arsitektur Betang Tumbang Apat, tulisan ketiga tentang Arsitektur Betang Tumbang Korik, tulisan keempat tentang Arsitektur Betang Tumbang Gagu dan tulisan kelima tentang Arsitektur Betang Tumbang Malahoi. Untuk melengkapinya, Editor kembali menyampaikan tulisan tentang Arsitektur Betang Tumbang Anoi 1894. Di akhir penulisan, Editor menutupnya dengan menyampaikan tulisan tentang Betang Dan Kotta. Produk mata kuliah seminar tersebut merupakan produk tahun 2007 yang tentunya kondisi Betang akan berbeda dengan kondisi saat ini. Oleh karenanya untuk melengkapi seperti apa kondisi Betang-Betang tersebut saat ini, pembaca diharapkan juga melihat video-video tentang Betang-Betang tersebut yang diunggah oleh pembuat video dalam chanel youtube. Semoga penyusunan buku yang oleh Editor diberi judul Arsitektur Betang Kumpulan Tugas

Mahasiswa Mata Kuliah Seminar Semester VII Prodi Arsitektur

Universitas Palangka Raya (UPR) Tahun 2007 ini bermanfaat dan dapat ditindaklanjuti dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

Palangka Raya, 31 Desember 2020 Editor,

Wijanarka

9


1 PERKEMBANGAN BENTUK HUNIAN SUKU DAYAK oleh : Wijanarka

Tulisan ini merupakan bagian dari Tesis tahun 2001 yang berjudul Dasar dasar Konsep Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya. Tulisan dan gambar yang ada dalam tulisan ini juga pernah disajikan dalam suatu Panel berukuran A1 dan di pamerkan dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh BIC (Building Information Center) Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2003.

a. Tipe Hunian Suku Dayak. Penelitian dari Jurusan Arsitektur Universitas Udayana di desa Buntoi Kalimantan Tengah pada tahun 1981, menyebutkan awal mula rumah tinggal suku Dayak berbentuk sangat sederhana. Rumah tersebut berbentuk sepenti tenda. Alasnya segi empat, dua sisi tegahnya benbentuk segi tiga dan dua sisi miringnya berbentuk segi empat. Pada rumah ini terdapat satu pintu pada sisi tegahnya. Alas rumah tersebut langsung menyentuh tanah. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat oleh Usop (1996) yang menyebutkan bentuk rumah tinggal suku Dayak awalnya menyerupai tenda seperti gambaran diatas. Dalam perjalanannya di pedalaman Borneo tahun 1894 yang merupakan perjalanan tersukses di Kalimantan dalam abad 19, didiskripsikan oleh Nieuwenhuis tentang rumah tinggal suku Dayak di Tanjung Karang yang memiliki panjang 250 m dan panjangnya sejajar sungai.

10


Bubungannya setinggi 15 meter, di tengahnya sebagian atap beberapa kali lebih tinggi yang menandakan rumah kepala adat. Lantai rumah setinggi 6 m dan ditopang banyak tiang bulat. Pada tiang-tiang bagian rumah kepala suku lebih tebal dan dikerjakan dengan indah. Pada rumah ini terdapat 50 kamar. Di dalamnya terdapat ruangan besar seluas 8 X 12 m. Rumah inl dikenal dengan sebutan Rumah Panjang. Riwut (1979) menyebutkan bahwa nama rumah tiuggal suku Dayak adalah Betang atau Lamin. Ciri khas dari Betang / Lamin ini antara lain 1). Berbentuk pauggung, 2). Memiliki panjang antara 30 sampai 150 meter dengan lebar antara 10 sampai 30 meter, 3). Tinggi tiang lantai berkisar antara 1 sampai 5 meter dan 4). Dihuni oleh satu generasi yang terdiri dari sejumlah keluarga dengan jumlah penghuni sekitar tOO - 200 jiwa. Menurut Usop (1996), suatu Betang tidak memiliki aturan yang mengikat tata ruang. Akan tetapi menunt Riwut (1979), suatu Betang memiliki komponen tata ruang sebagai berikut: 1). Di belakang Betang ada balai kecil tempat menyimpan lesung penumbuk padi, 2). Di halaman belakang Betang terdapat balai atau pesanggrahan, untuk tamu menginap, 3). Terdapat Jorong/Kerangking/Tokou yang berfungsi untuk menyimpan senjata, 5). Dihalaman depan atau belakang Betang biasanya terdapat sandung yang berfungsi untuk menyimpan tulang-tulang leluhur yang telah di tewah, 6). Dihalaman Betang terdapat Sapundo yaitu tiang semacam patung yang difungsikan untuk mengikat binatang-binatang yang akan dikorbankan dalam suatu upacara adat dan 7). Kadangkadang juga ditemukan Petahu atau Pangantoho yaitu rumah pemujaan dan berbentuk rumah kecil. Selain 7 (tujuh) komponen diatas, hasil penelitian dari Jurusan Arsitektur Universitas Udayana menyebutkan: 1). Bila ada tamu kehormatan, terdapat Bara-Bara yang difungsikan sebagai pintu gerbang , 2). Terdapat Pantar Sanggaran yang diletakkan disamping Sandung, 3). Terdapat Pantar Panjang yang difungsikan untuk mengambil arwah dalam suatu upacara pengambilan arwah dan 4). Terdapat Pasah Pali yang difungsikan untuk meletakkan sesaji pada waktu upacara tewah. Di tinjau dari ruang dalam, merurut Riwut (1979) suatu Betang / Lamin memiliki : 1). Kamar-kamar yang berpetak-petak untuk tempat tinggal satu keluarga, dan setiap keluarga mempuayai dapur sendiri-sendiri dan 2). Diruang depan terdapat ruang luas untuk menerima tamu dan untuk pertemuan penghuni. Ditinjau dari baban bangunan, seluruh Betang / Lamin terbuat dari kayu yang pada umumnya berupa kayu ulin atau kayu besi. Penutup atap meuggunakan sirap. Lantai dan dinding berupa papan dan kadang-kadang pada dinding luar maupun dalamnya dilapisi dengan kulit kayu.

11


Tipologi Rumah Tinggal Suku Dayak Nama

Cirri Khas

Sketsa Ilustrasi

Huma (?)

 Lantai Menyentuh tanah  Dua sisi tegaknya segi tiga, du sisi lainnya miring

Rumah Panjang

 Dihuni satu generasi dengan keluarga.  Panjang 250 m  Tinggi tiang 6 m  Panjang rumah sejajar sunagai

Betang Balai

 Dihuni satu generasi dengan sejumlah keluarga.  Jumlah penghuni 100-200 jiwa  Panjang 30-150 m, lebar 10-30 m  Tinggi tiang 1-5 m  Panjang rumah sejajar sunagai  Berpagar keliling / berbenteng  Lebih dari satu amssa bangunan  Panjang bangunan sekitar 20 m dan lebar sekitar 6 m.  Tinggi tiang sekitar 6 m  Dihuni oleh satu keluarga  Tinggi tiang sekitar 4 meter  Panjang rumah sekitar 12-15 depa  Lebar rumah sekitar 8-10 depa  Panjang rumah sejajar sunagai  Berpijak pada lahan berair  Tinggi tiang sekitar 3 meter  Dimensi rumah sekitar 5x5 m

Lamin

Kota Bakota

Huma Gantung Huma Hai

Huma Danum

sejumlah

Karak Betang

    

Dihuni oleh satu keluarga Tinggi tiang sekitar 1-2 m Panjang rumah sekitar 8-15 m Lebar rumah sekitar 6-8 m Panjang rumah atau lebarnya sejajar sunagai

Huma Lanting

   

Terapung di air Dihuni oleh satu keluarga Panjang rumah sekitar 8-10 m Lebar rumah sekitar 6-8 m

Pasak Dukuh

 Dihuni oleh peladang dilokasi pertanian  Panjang rumah kurang dari 5 m,  lebar kurang dari 4 m dan tinggi tiang 2 m

Tingkap

 Dihuni sangat singkat  Tanpa dinding  Lantai menyentuh tanah

Gambar Tipe-tipe rumah tinggal yang dibangun oleb suku Dayak

12


Bila ditinjau dari elemen arsitektural, berdasarkan Elbar (1996) elemen arsitektur Betang pada dasamya terdiri dari tiang, tangga, pintu dan jendela. Tiang tersebut ditanam tanpa aturan yang jelas sehingga jarak antara tiang yang satu dengan tiang yang lainnya tidak sama Tangga atau Hejan / Hejo terbuat dari kayu besi bulat. Pada suatu Betang / Lamin hanya ada satu tangga (Riwut, 1979). Tangga Betang / Lamin ini tidak permanen, sehingga bila malam hari tangga dapat ditarik dan disimpan di dalam rumah. Karena hanya satu tangga, Betang / Lamin juga memiliki satu pintu. Sedangkan jendela pada suatu Betang / Lamin tidak besar bahkan kadang-kadang tak berjendela. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ciri khas suatu Betang / Lamin adalah sebagai berikut : 1). Memiliki dimensi panjang yang lebih besar dari pada dimensi lebar, dan panjang bangunan sejajar dengan sungai ; 2). Berbentuk panggung, dengan tinggi tiang berkisar 1 - 5 meter ; 3). Dihuni oleh satu generasi yang terdiri dari sejumlah keluarga dengan jumlah peughuni antara 100 - 200 jiwa ; 4). Pada ruang luar terdapat seperangkat media untuk upacara adat ; 5). Pada ruang luar terdapat bangunan kecil yang berfungsi sebagai tempat untuk penyimpanan ; 6). Memiliki tangga dan pintu yang hanya berjumlah satu ; 7). Memiliki jendela yang dimensinya minim ; 9). Pada ruang dalam terdapal ruangan yang luas dan 10). Pada ruang dalam terdapat kamar-kamar. Dari basil penelitianya, Usop (1996) membagi rumah tinggal suku Dayak ke dalam 3 (tiga) bentuk yaitu: 1). Betang atau Balai, 2). Huma Gantung / Huma Hai atau Rumah Tinggi, 3). Karak Betang atau pecahan Betang. Ciri klias utama dari ketiga rumah tersebut adalah berbentuk panggung. Sedangkan menurut Jumsan Arsiteklur UNUD (1981), rumah tigggal suku Dayak terbagi atas 2 (dua) tipe yaitu Betang / Lamin dan Huma Gantung. Untuk Betang / Lamin, panjangnya berkisan 30 m sampai 50 m dan tinggi lantai rumah dan permukaan tanah adalah 2,5 m. Sedangkan untuk Huma Gantung, tinggi lantai rumah dari permukaan tanah pada dasamya tidak tersentuh oleh orang berdiri yang memegang tombak. Dalam basil penelitianya, Elbar (1986) membagi rumah tinggal suku Dayak menjadi 2 (dua), yaitu rumah tinggal tetap dan rumah tinggal sementara. Untuk rumah tiuggal tetap, Elbar membagi dalam dua tipe yaitu Betang dan Huma Gatung. Untuk Betang panjangnya 63 depa lebarnya mencapai 10 depa sedangkan tingginya 2,5 sampai 3 meter atau setinggi orang menumbuk padi. Untuk Huma Gantung, tinggi lantai rumah dari permukaan tanah mencapai 4 meter, panjaugnya antara 12 sampai 15 depa, lebarnya antara 8 sampai 10 depa dan penghuninya adalah beberapa keluarga yang merupakan keluarga turun-temurun. Unluk rumah

13


tinggal sementara Elbar membagi ke dalam dua tipe yaitu Pasak Dukuh dan Tingkap. Pasak Dukuh merupakan rumah tinggal sementara di lokasi menggarap pertanian. Rumah ini berbentuk panggung dengan ukuran alas kurang lebih 4 X 5 meter dan tinggi tiang lantai sekitar 2 meter. Sedangkan Tingkap adalah tempat tingal sementara yang di huni sangat singkat dan tidak menggunakan dinding, lantainya langsung berhubungan dengan tanah. Dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Kalimantan Selatan, didapatkan bahwa ada suku Dayak yang tinggal di rumah yang bisa terbawa oleh aliran air sungai (seperti perahu). Orang Dayak menyebutnya dengan Huma Lanting yang artinya rumah di alas lanting. Dalam buku Het Land Onder de Regenboog yang merupakan hasil tulisan Mochtar Lubis (1979) pada halaman 105, tergambar rumah dengan ditopang banyak tiang yang ditancapkan pada lahan berair / rawa. Tinggi tiang rumah tersebut sekitar 3 (tiga) meter. Dimensi rumah tersebut sekitar 5 m x 5 m. Didepan rumah tersebut terdapat sandung yang tiangnya ditancapkan juga pada lahan berair. Pintu rumah tersebut terdapat tangga yang bertumpu pada lahan kayu semacam dermaga. Dalam gambar ini juga terlihat kano (perahu) yang sedang dikemudikan oleh penghuni rumah. Berdasarkan gambar tersebut berarti rumah tinggal suku Dayak juga ada yang berpijak pada lahan berawa. Rumah ini di kalangan suku Dayak disebut Huma Danum (Danum = air). Dalam buku Die Langhauser Von Zentral Kalimantan yang merupakan hasil penelitian Hano Kampffmeyer (1991), pada balaman 141 tergambar rumah panggung dengan tinggi tiang sekitar empat kali tinggi manusia. Rumah tersebut dikelilingi oleh pagar yang tingginya hampir sama dengan tinggi rumah. Jumlah rumah pada gambar tersebut 3 (tiga) buab. Dari gambar tersebut diketahui panjang rumah sekitar 20 meter dengan lebar sekitar 6 meter. Dari gambar ini diketahui rumah tersebut dilindungi oleh benteng. Oleh suku Dayak rumah ini disebut kota / bakota. Bila basil-hasil penelitian diatas ditumpangtindihkan (di-superimposed-kan), diketahui tipe rumah tinggal suku Dayak dapat dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) yaitu: 1). Huma (1) ; 2). Rumah Panjang ; 3). Betang / Lamin / Balai ; 4). kota / bakota ; 5). Huma Gantung / Huma Hai ; 6). Huma Danum

14


7). Karak Betang ; 8). Huma Lating ; 9). Pasah Dukuh dan 10). Tingkap (gambar 2.62).

b. Kajian Etnografi Suku Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan. Oleh Malinckrodt (1928) suku Dayak dibagi menjadi 7 suku besar, 18 suku kecil dan 405 suku kecil-kecil. Ketujuh suku besar tersebut adalah Ngaju, Apu Kayan, Iban / Heban, Murut, Punan, Ot Danum, dan Klemetan. Suku Dayak pada dasamya menganggap alam semesta terdiri dari alam atas dan alam bawah. Alam atas dikuasai oleh Ranjing Hatala Langit dan dihayati sebagai tasik banteran bulau, laut babandan intan.(danau berkilau emas, laut berjembatan intan). Sedangkan alam bawah dikuasai oleh Jata (ular air) dan dihayati sebagai basuhun bulau saramai rabia (sungai emas pengaliran kekayaan). Kehidupan alam atas dan alam bawah dalam konsepsi suku Dayak merupakan perpaduan yang harmonis dan tata kosmos yang suci (Usop, 1996), sehingga air (singai) sangat berperan penting dalam kehidupan spiritual bagi masyarakat suku Dayak dan menjadikan air atau sungai sebagai ruang dominan dalam pembentukan satuan-satuan pemukimannya. Keeratan masyarakat suku Dayak dengan air (sungai) diwujudkan dalam kepercayaan suku Dayak yang menganggap bahwa air adalah sumber kehidupan. Oleh karenanya, air diwujudkan juga dalam berbagai bentuk upacara adat atau kepercayaan sehingga dalam konsep tata letak huniannya selalu dikaitkan dengan air (sungai). Konsep lata letak hunian suku Dayak selalu dikaitkan dengan kepercayaan yang menganggap bahwa aliran sungai yaitu hulu berarti baik dan hilir berarti buruk. Akibatnya arah hadap bangunan huniannya cenderung berorientasi ke arah hulu, dengan posisi memanjang sejajar sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Menurut Riwut (1979) iklim di Kalimantan adalah : 1). Rata-rata hujan, curah hujan tiap bulan tidak kurang 100 mm sehingga hujan ratarata tiap bulannya 6-15 hari dan 2). Suhu rata-rata pada muslin hujan 170 C, dan pada musim kemarau 340 C. Kondisi iklim tersebut mempengaruhi keadaan alamnya, yaitu hutan belantara (hutan hujantropika) dan banyak sungai. Hutan hujan tropika tersebut mengakibatkan permukaan lahan di Kalimantan terlapisi oleh Gambu sehingga kelembaban tanah Kalimantan sangat tinggi. Pada hutan belantara juga dihuni binatang buas seperti ular, macan, buaya dan sebagainya. Banyaknya sungai juga

15


mengakibatkan lahan di Kalimantan selalu tergenang air pada waktu musim penghujan yang dikarenakan oleh air sungai yang meluap. Bahkan menurut Nieuwenhuis (1894), hampir tanah di Kalimantan tidak ada bagian yang kering. Untuk mempertahankan generasinya, suku Dayak mengenal sistem partilinear (Riwut, 1979). Sistem ini meughasilkan keluarga besar. Bila ditinjau dari mata pencahariannya, menurut Syamsuri Arman (florus, 1996), mata pencaharian suku Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan. Kalau mereka berburu, mereka pergi ke hutan. Kalau rnereka berladang, mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan. Kalau mereka mengusahakan tanainan perkebunan, mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Menurut Ave dan King (Florus, 1996) tradisi utama suku Dayak adalah berladang (shifting cultivation atau swidden). Pada jaman dahulu di antara kalangan suku Dayak sendiri saling berperang untuk mencari kepala manusia (Riwut, 1979), sehingga faktor ini menyebabkan tersebarnya suku Dayak ke seluruh wilayah Kalimantan. Mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan suku lain dan mengisolasi diri dari pergaulan. Oleh karenanya, jarak antara kampung Dayak berkisar antara 20 - 30 km. Adanya perang antar suku ini, kini telah didamaikan dalam Rapat Damai Pakat Dayak di Rumah Betang Tumbang Anoi Kalimalan Tengah tahun 1894. Dalam rapat ini diikuti 138 tokoh masyarakat yang mewakili masing-masing kampung Dayak di Kalimantan (Usop, 1996).

c. Sejarah Tipe Rumah Tinggal Pada saat terjadi perpindahan bangsa Yunan secara bergelombang ke pulau Kalimantan pada kurang lebih 200 tahun sebelum masehi, terjadilah koloni bangsa Melayu tua di sekitar pantai. Diduga bangsa melayu tua ini membangun rumah dengan tipe pertama, alasannya karena pada saat itu merupakan masa primitif sehingga teknologi rancang bangun yang diterapkan masih sederhana. Setelah bangsa Melayu Tua, bangsa Melayu Muda datang. Antara bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda tersebut terdapat perbedaan tingkat kebudayaan. Dengan adanya perbedaan tingkat kebudayaan tersebut, bangsa Melayu Tua terdesak masuk ke pedalaman pulau Kalimantan. Bangsa Melayu Tua ini cendenmg kurang bisa bergaul dengan bangsa lain sedangkan bangsa Melayu Muda lebih mudah bergaul dengan bangsa lain. Bangsa Melayu Tua yang terdesak ke pedalaman ini merupakan embrio suku Dayak, sedangkan bangsa Melayu Muda mempakan embrio suku Melayu di Kalimantan.

16


Suku bangsa Melayu Tua (untuk selanjutnya dalam tulisan ini diganti dengan suku Dayak) yang masuk ke pedalaman, diduga pada awalnya mereka juga membangun rumah bertipe pertama. Karena kondisi iklim, dominasi hutan yang banyak binatang buas dan bila musim penghujan lahannya menjadi basah, mereka mulai membangun rumah dengan sistem panggung. Karena pada awalnya mereka saling berperang antar suku, mereka mulai memperhatikan keamanan, Karena mereka sukar bergaul dengan bangsa lain, mereka mengenal sistem keluarga partilinear yang lambat laun mengakibatkan bertambahnya jumlah mereka. Untuk merespon hal-hal tersebut dibangunlah rumah besar yang dapat menampung seluruh anggota keluarga. Rumah ini kemudian dikenal dengan Rumah Panjang. Mengenai lokasi mendirikan Rumah Panjang, pada awalnya mereka tidak mempermasalahkannya. Karena berdasarkan pendapat Usop (1996), ada Rumah Panjaug yang tidak dibangun di tepi sungai. Rumah Panjang yang tidak dibangun ke tepi sungai tersebut beorientasi pada matahari terbit. Akan tetapi adanya kosmologi mereka tentang alam atas dan alam bawah, kepercayaan mereka yang menyebutkan sungai adalah sumber kehidupan, hulu adalah baik maka lokasi Rumah Panjang yang tepat mernurut suku Dayak adalah di tepi sungai dan di daerah hulu. Oleh karenanya, Rumah Panjang yang masih berdiri hingga saat inl selalu ditemukan di daerah hulu sungai (pedalaman). Didalam Rumah Panjang inilah kebudayaan Dayak tercipta. Hal ini disebabkan karena selumh kegiatan bidup berlangsung di rumah ini. Selama itu pusat kegiatan tradisional suku Dayak selalu berlangsung di rumah tersebut. Oleh karenanya pada rumah ini terdapat ruangan yang sangat luas. Kehidupan suku Dayak adalah berladang. Karena suku Dayak mengenal sistem ladang beipindah, maka lambat laun terjadi menipisnya hasih ladang dan menipisnya lahan untuk berladang. Oleh karenanya mereka mulai mencari lokasi penggantinya. Bila mereka telah menemukan lokasi penggantinya, mereka mendirikan rumah deugan tipe Pasak Dukuh sebagai tempat tinggal sementara Selain itu mereka juga mencari ikan. Bila mereka menemukan lokasi yang banyak lkannya, untuk sementara mereka membangun Tingkap. Setelah mereka mendapatkan hasil, baik dari ladangnya maupun tangkapan ikannya mereka tetap akan kembali ke Rumah Panjang. Diduga karena kehidupan hidup, lambat laun penghuni Rumah Panjang mulai merantau. untuk merantau mereka terdiri dari beberapa kepala keluarga beserta anggota keluarganya. Bila telah mendapatkan lokasi yang tepat untuk hidup, beberapa keluarga tersebut membangun rumah. Karena tetap memerlukan keamanan, mereka membangun benteng yang mengelilingi

17


rumah tersebut Dalam perkembangannya benteng tidak diperlukan lagi. Oleh karenanya, berkembanglah rumah tipe Betang atau Lamin. Dalam perkembangannya, penghuni Betang / Lamin semakin bertambah. Lahan untuk berladang serta tangkapan ikan semakin menipis. Akibatnya, mereka mulai memikirkan untuk mencari lahan penggantinya. Satu persatu keluarga penghuni Betang / Lamin mulai menelusuri sungai ke arah hilir untuk mencari lahan yang subur. Diduga munculnya tipe Huma Lating adalah adanya perpindahan satu keluarga dan Betang / Lamin ke lokasi baru. Karena hanya terdiri dari satu keluarga dan untuk mengantisipasi adanya perang antar suku serta bahaya binatang buas, berkembanglah rumah bertipe Huma Gutung. Karena mereka tinggal di pedalaman sendirian (satu keluarga), diduga lambat laun mereka mulai mudah bergaul dengan orang-orang yang menyusuri singai di depan Huma Gantung yang juga mencari lahan untuk berladang. Lambat laun teijadi perkawinan antar anggota keluarga penghuni Huma Gantung dengan anggota keluarga pendatang. Sesuai aturan sistem partilinear yang dianut, bila anggota keluarga dari penghuni Huma Gantung perempuan menikah dengan anak laki-laki pendatang, anak perempuan mereka Ikut dengan laki-laki pendatang. Bila anggota pengliuni Huma Gantung letaki menikah dengan anak perempuan pendatang, anak perempuan tersebut ikut dengan laki-laki penghuni Huma Gantung. Dalam perkembangannya terjadi keterbatasan ruang di Huma Gantung akibat bertambahnya anggota keluarga. Oleh karenanya anggota keluarga yang telah menikah mendirikan rumah untuk mereka sendiri di sekitar Huma Gantung. Rumah yang dibangun disekitar Huma Gartung tersebut kemudian dikenal dengan nama Karak Betang. Lambat laun penghuni Huma Gantung semakin mudah berbaur dengan pendatang. Dengan adanya kesepakatan. untuk tinggal dan menetap di lokasi tersebut, para pendatang membangun rumah bertipe Karak Betang. Dengan adanya tipe karak betang, berkembanglah tipe ini dalam membentuk satuan-satuan permukiman suku Dayak. Dalam perkembangannya, budaya bermukim suku Dayak berbaur deagan budaya bermukim suku Banjar. Meuurut Ali Hasymi (dalam Bale, 1995), adanya pertemuan tersebut mengakibatkan konsepsi suku Dayak berubah 180 derat. Karena, suku Banjar datang dari hilir dan menganggap hulu berari udik dan terbelakang sedangkan hilir berarti maju. Pudarnya konsepsi bermukim suku Dayak tersebut disertai pula oleh pengaruh kristen untuk udik dan pengaruh Islam untuk hilir (Bale, 1995). Oleh karenanya pusat penyebaran agama Kristen di Kalimantan berada di pedalaman, sedangkan pusat penyebaran agama Islam berada di pantai.

18


Gambar Skema Perkembagan Bentuk Hunian Suku Dayak, Suatu Dugaan yang perlu diteliti lebih mendalam (Sumber gambar : Wijanarka, 2001)

19


Gambar foto Rumah Tradisional Dayak bertumpu pada batang pohon (Sumber : https://www.hipstamp.com/listing/north-borneo-p2707b-native-tree-houses-ppc-funk-sons-no136/19522078 )

20


Gambar foto master panel pameran Perkembangan Rumah Tinggal Tradisioanl Dayak yang dipamerkan dalam acara BIC Kalteng tahun 2003

21


2 BETANG TUMBANG APAT Oleh :

Andri Natallius Fery dan Kristian Adventus T Dosen Pembimbing : Syahrozi

Lokasi Penelitian di desa Tumbang Apat, berada di Kabupaten Murung Raya. Kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten hasil Pemekaran dari Kabupaten Barito Utara di tahun 2003. Desa Tumbang Apat berada di dalam wilayah Kecamatan Sei Babuat, Kabupaten Murung Raya Propinsi Kalimantan Tengah. Untuk jarak tempuh dari kota Palangka Raya berkisar  410 Km. Sedangkan waktu tempuh menuju Kabupaten Murung Raya dari Kota Palangka Raya  12 jam dengan jarak tempuh  360 km..

22


Gambar Peta Lokasi Desa Tumbang Apat

23


GEOGRAFIS 01

SEBELAH UTARA KEC. SUMBER BARITO

02

SEBELAH SELATAN DS. TUMBANG KOLON

03

SEBELAH BARAT DS. PANTAI LAGA

04

SEBELAH TIMUR KEC. TANAH SIANG

05

LUAS WILAYAH DS. TBG. APAT 2000ha

06

LEBAR BABUAT SUNGAI 59m

07

LEBAR SUNGAI ONYAK BESAR 25m

08

LEBAR JALAN DESA 2m

09

PANJANG JALAN DESA 700m

Gambar Peta Desa Tumbang Apat Sumber : Sketsa Pribadi Berdasarkan Wawancara Dengan Kepala Desa Tumbang Apat

Gambar Jalan Trans Kalimantan (Kiri) dan Jalan Masuk Ke Puruk Cahu Sumber : Dokumentasi Hasil Survey 2007

Mengambil jalan trans Kalimantan kearah Buntok  4 jam dengan jarak  120 km ,dari Buntok ke Muara Teweh  5 jam dengan jarak  150 km, dari Muara Teweh Ke Puruk Cahu  3 jam dengan jarak  90 km. Untuk masuk Ke Desa Tumbang Apat Terdapat 2(dua) jalur : Alternatif 1 adalah jalan darat menggunakan sepeda motor dengan waktu  1 jam 30 menit sampai di kecamatan Bantian lalu menggunakan jalur sungai perahu motor (ces)  2 jam menuju Desa Tumbang Apat dengan total perjalanan 3 jam 30 menit sampai ke Betang

24


Tumbang Apat, serta kondisi jalan yang sulit. Alternatif 2 adalah jalan Sungai menggunakan Perahu motor (ces) ď‚ą 6 jam dari Puruk Cahu ke Desa Tumbang Apat dengan kondisi sungai berriam (berbatu-batu) tetapi apabila di musim kemarau sungai babuat tidak bisa dilewati dikarenakan air sungai akan surut setinggi lutut orang dewasa.

Gambar Jalan Ke Desa Tumbang Apat (Sumber : Dokumentasi Hasil Survey 2007) Untuk menuju Desa Tumbang Apat yang berjarak ď‚ą 50 km tersebut kita harus melewati 6 desa dan jalan perusahaan tambang Indo Muro yang kondisinya masih bebatuan kecil. Jalannya pun masih pengerasan dari pasir kuning dan kerikil tajam. lalu kita harus melewati jalan setapak(jalan penduduk setempat ke ladang) yang berbukit turun naik dan menyeberang sungai kecil.Betang Tumbang Apat tersebut berada di tengah-tengah Desa Tumbang Apat tepatnya di pinggiran Sei Babuat. Desa Tumbang Apat merupakan Desa paling ujung di aliran Sei Babuat. Jalan Desa Tumbang Apat tersebut masih bertanah liat dan dibeberapa titik terjadi kumbangan Lumpur sehingga kita harus ekstra hati-hati melewati jalan tersebut, dengan lebar jalan ď‚ą 3 m dan ď‚ą 1 m, mengakibatkan roda 4 tidak bisa melewati/masuk ke Desa Tumbang Apat. Bila ada kunjungan Pejabat Pemerintah mengakibatkan harus melewati sungai.

2.a. Tinjauan Sejarah Betang Tumbang Apat di Desa Tumbang Apat merupakan salah satu peninggalan sejarah di Desa Tumbang Apat yang merupakan Betang peninggalan 3 orang aparat desa yang bernama Andin (Kades), Mangku Mengkong,dan Singa Ura. Andin berasal dari Kuala Kapuas, Mangku

25


Mengkong dan Singa Ura sama-sama berasal dari tanah Siang. Andin Mempunyai seorang istri bernama Boli yang berasal tanah Siang. Andin dan Boli mempunyai 7 orang anak (1.Situn, 2.Luhek, 3.Selatan, 4.Singkap, 5.Tendan, 6.Tongking, 7. Pakang). Sedangkan Mangku Mengkong mempunyai 5 orang anak (1.Tonyo, 2.Kumpai, 3.Mine, 4.Medan, 5.Putir). dan Singa Ura mempunyai 4 orang anak (1.Ungket, 2.Kukung, 3.Sambung, 4.Lajai ).

SILSILAH KETURUNAN PENDIRI Betang Tumbang Apat (diambil sampel dari keturunan ANDIN, MANGKU MENGKONG, SINGA URA)

26


27


Pendirian Betang Tumbang Apat di mulai pada tahun 1820 – 1826. Lama pengerjaannya selama 6 tahun dan langsung pada tahun 1826 aparat desa yang mendirikan betang yaitu Andin dan Keluarga,Mangku Mengkong sekeluarga dan Singa Ura sekeluarga bisa menempati rumah betang tersebut. Dan perkiraan umur betang Tumbang Apat berkisar  181 tahun. Konon Pendirian betang apat pada saat itu secara bergotong royong yang diprakarsai oleh Andin yang berasal dari Kuala Kapuas, bermula pada Seseorang yang bernama ANDIN melarikan diri dari kapuas dikarenakan tradisi/budaya potong kepala manusia (Mengayau) masih terjadi dibumi Kalimantan dan masihnya perang antar suku dayak. Serta menurut cerita orang tua-tua di desa tumbang apat pada salah satu tiang kolom yang paling besar bangunan betang tertanam satu kepala manusia (anak kecil) yang diyakini sebagai tumbal pada pendirian tiang kolom betang tersebut. Anak kecil ini kabarnya berasal dari Kuala Kapuas, menurut cerita anak ini adalah anak kepala suku dayak ngaju yang tertangkap oleh masyarakat suku dayak siang pada jaman perang antar suku dayak (Memenggal kepala atau mengayau) sehingga langsung di jadikan sebagai tumbal. Pembangunan Betang Tumbang Apat menggunakan ritual agama Hindu Kaharingan dengan acara pemotongan babi, ayam untuk masyarakat tumbang apat setempat, selain mengadakan pesta pada tahap pemancangan tiang kolom pertama pada Betang masyarakat desa melakukan acara pemotongan 4 ekor kerbau (hadangan). Pembangunan atau pemancangan tiang kolom Betang di awali pada bagian sebelah kanan ke kiri dengan istilah mereka “Bara Tesek Andau” (arah matahari terbit). Posisi arah hadap betang tepatnya di pinggir sungai babuat dan menghadap matahari terbit. Pencarian tiang kolom Betang Tumbang Apat dilakukan warga masyarakat desa diambil pada bagian hulu Sungai Babuat dengan jarak tempuh dari hulu sungai mencapai ke desa Tumbang Apat  7 x Upacara pemotongan babi. Betang Tumbang Apat sudah 4 x melakukan perombakan pada fisik bangunan tetapi perombakan tersebut tidak merubah bentuk betang Tumbang Apat karena yang di pugar hanya sedikit. Didalam bangunan Betang Apat terdapat sebuah benda keramat yang bernama “PROKANG”

merupakan suatu benda keramat yang dipercayai

oleh masyarakat desa

Tumbang Apat atau orang suku dayak siang khususnya yang tinggal di betang Apat sebagai tempat meminta perlindungan agar terhindar dari bahaya, tempat meminta rejeki, dan bisa

28


memberi kabar jikalau ada kabar yang tidak baik.contohnya: “jikalau ada seseorang yang akan meninggal atau hilang benda Prokang akan mengeluarkan bunyi nyaring yang mendengungkan telinga�. Benda Prokang berada di dalam kamar no 2 (dua) yaitu tempat Pakang dan Tongking, sekarang yang tinggal di kamar tersebut adalah Tinus dan Lusi dengan 4 (empat) orang anak yang merupakan keturunan dari ANDIN.(sumber: Aladin,Penghuni Betang )

2.b. Pola Perkampungan Perkampungan menurut aliran sungai berarti bahwa kampung atau daerah permukiman didirikan ditepi sungai dan tersebar secara linier dari muara ke hulu. Umumnya dikampung hanya terdapat sebuah jalan darat yang dijadikan sebagai jalur perhubungan didalam kampung ke kampung lain serta antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya, dibelakang dan bagian depan rumah kampung biasanya ditanami perkebunan seperti : karet, durian, kelapa, rambutan, padi, rotan dan berbagai macam perkebunan dan pertanian lainnya sebagai hasil usaha untuk kehidupan masyarakatnya.

Gambar Situasi Perkampungan Tumbang Apat (Sumber : Hasil Survey 2007)

29


Pada zaman dulu desa Tumbang Apat merupakan perkampungan keluarga yang masih sepi. Lingkungannya yang masih asli dan dikelilingi oleh hutan belantara sulit ditembus kecuali melalui sungai. Sungai menjadi satu-satunya sumber kehidupan dan sarana berhubungan dengan dunia luar. Hutan tropis sekeliling kampung masih sangat kaya dengan hasil hutan terutama jenis kayu ulin (kayu besi) yang kuat dan tahan terhadap serangan hama dan cuaca sampai ratusan tahun. Namun pada masa sekarang desa tumbang Apat telah berkembang menjadi pemukiman dan perkampungan yang maju.Hal ini dapat dilihat dari beragam suku yang masuk ke dalam desa tumbang Apat selain dayak siang yang sudah ada antara lain suku dayak ngaju,dayak ma’anyan, dayak banjar ,suku flores, dan suku jawa.Hal ini ditunjang oleh terbukanya jalan darat dan majunya sarana transportasi. Rumah-rumah penduduk semakin bertambah jumlahnya di sepanjang sungai Babuat.Mayoritas pekerjaan penduduk setempat adalah Petani Ladang.

2.c. Tata Ruang

Gambar Denah Tumbang Apat saat ini (Sumber : Hasil survey 2007)

Pada denah rumah betang tumbang Apat umumnya yaitu terdiri dari : Tangga, Ruang Keluarga, Ruang Tidur, Dapur, serta tempat mencuci dan menjemur pakain. Pintu masuk betang tumbang apat terletak pada bagian depan dengan pembagian 1 kamar 1 pintu ,jadi terdapat 4

30


pintu masuk dan penempatan nya terletak pada bagian depan kamar dari bangunan. Betang Tumbang Apat juga mempunyai jendela pada setiap kamar tidur, ruang tamu/los, dapur.

Gambar Tabel Penghuni di Betang Tumbang Apat (Sumber : Hasil survey 2007)

Bukung Keluarga, Onyah Jalahan / Ruang Keluarga. Pada bagian Bukung Keluarga di Betang Tumbang Apat mempunyai ukuran 48.70 x 9.70, yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya keluarga, ruang tamu, serta tempat tidur bagi tamu yang baru datang berkunjung ke Betang Tumbang Apat. Di tempat ini terdapat perabotan seperti kursi dan meja tamu, Foto pemilik rumah, serta perabotan peninggalan pemilik rumah pada zaman dahulu.

Gambar foto Fungsi Bukung Keluarga, Onyah Jalahan / Ruang Keluarga (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

31


Bukung Tirui / Ruang Tidur. Kamar tidur diatur menurut keturunannya, sehingga pintu kamar tidur seluruhnya berada pada los yang memanjang, di betang tumbang apat ini terdapat 4 buah kamar tidur dengan fungsi kamar tidur asalnya dari dahulu tetap berfungsi sebagai tempat tidur pemilik rumah/orang tertua dalam rumah. Perabotan dalamnya pun terdiri dari perabotan tidur saja seperti (tempat tidur, lemari, meja dan kursi tulis). Ukurannya berbeda-beda antara kamar satu dengan yang lain kamar 1 = 6.00 x 4.65 meter, kamar 2 = 6.19 x 4.65 meter, kamar 3 = 6.75 x 4.65 meter dan kamar 4 terakhir = 5.50 x 4.65 meter.

Awu / Dapur. Pada bagian dapur dibangun tidak berdempetan dengan bukung keluarga/ruang keluarga, sedangkan luas dapur lebih kecil dari bukung awu dengan bentuk segi empat. Dibagian dapur tidak diberi sekat dengan ruang . Seperti biasanya dibagian dapur ini terdapat perabotan seperti meja dan kursi makan, alat masak, penyimpanan alat masak, serta perabotan dapur lainya. Pada bagian dapur sekarang di Betang Tumbang Apat terdapat tempat memasak seperti kompor, yang diletakan didekat jendela. Ukuran dapur 3 x 3 meter. Awu merupakan tempat memasak dengan menggunakan kayu, yang mempunyai ukuran 2.1 x 1.8 meter. Terletak pada langsung didalam bagian dapur. Awu diletakan ditempat pada bagian belakang supaya asap yang dihasilkan dari dapur tidak mengganggu orang yang berada didalam betang .

Gambar foto Awu / Dapur (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

32


Liwo / Tempat mencuci. Pada betang tumbang apat perletakan liwo / tempat mencuci diletakan dibagian luar, tanpa menggunakan atap. Liwo / tempat mencuci ini juga dapat digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Perabotan didalamnya pun terdiri dari ember, baskom, tempayan air, dan peralatan mencuci lainnya. Pada liwo / tempat mencuci terdapat pintu keluar menuju tangga belakang. Ukuran liwo 3.5 x 2.9 meter.

Gambar foto Liwo / Tempat Mencuci (Sumber : Dokumentasi hasil Survey 2007)

2.d. Fasade Bangunan Pada Betang Tumbang Apat arah fasade menghadap kearah sungai, dengan jarak dari tepian sungai ke Liwo Pucan Âą 50 meter. Betang Tumbang Apat sendiri mempunyai ketinggian Âą 3 meter dari permukaan tanah, dengan bentuk atap pelana, serta mempunyai empat buah tangga masuk. Bahan untuk Betang Tumbang Apat sendiri semuanya berasal dari kayu Tabalion/kayu ulin, pada bagian Dinding dipasang berbaring, serta pada bagian pemasangan lantai dipasang searah/berhadapan dengan sinar matahari pagi.

33


Kat Muka / Tampak Depan. Pada tampak depan terlihat bahwa pintu masuk depan terletak pada bagian depan kamar bangunan, serta pintu masuk tersebut searah dengan tangga depan, demikian juga dengan pintu dapur juga tidak searah dengan tangga belakang. Pada tampak juga terlihat bahwa bangunan cenderung memanjang kearah samping, terutama samping kanan dari bangunan, yang menggakibatkan bangunan terlihat ada kemungkinan lagi untuk berkembang ke samping kiri dan kanan.

Gambar Tampak Depan Betang Tumbang Apat saat ini (Sumber : Hasil survey 2007)

Kat Likut / Tampak Belakang. Pada bagian belakang Betang Apat tidak mempunyai pintu masuk ataupun tangga, dibagian dapur terjadi penurunan lantai dari ruang tidur langsung ke liwo menuju dapur.

Gambar Tampak Belakang Betang Tumbang Apat saat ini (Sumber : Hasil survey 2007)

Balikat Kontou/Tampak Samping Kanan. Pada tampak samping kanan terlihat terdapatnya 2 buah jendela pada bagian samping , serta terlihat jumlah ada 3 jihi induk dan 7 jihi anak yang terhitung ganjil. Pada tangga terdapat

34


dua balok penyanggah berguna menjaga kelenturan sebuah batang kayu yang digunakan sebagai tangga

Kat Balikat Kamuloi / Tampak Samping Kiri. Di tampak samping kiri bangunan pun jumlah johi terhitung ganjil dengan 3 buah johi induk dan 7 buah johi anak, serta terdapat pula 2 buah jendela pada bagian samping. Pada tangga terdapat dua balok penyanggah bergunan menjaga kelenturan sebuah batang kayu yang digunakan sebagai tangga. Terlihat juga lantai bagian dapur dan karayan/tempat mencuci lebih rendah dari ruang keluarga,kamar tidur. Akan tetapi cara pemasangan lantai dan dinding tetap sama selalu dipasang segaris.

Gambar Tampak Samping Betang Tumbang Apat saat ini (Sumber : Hasil survey 2007)

35


2.e. Elemen Bagian Bawah Bangunan

Kalang Johi / Alas Tiang. Alas Johi Betang Tumbang Apat menggukan kalang bawah sebagai alas Johi. Umumnya kalang

bawah menggunakan kayu bulat tabalion/ulin, kalang bawah tersebut dipasang

memanjang sejajar arah penempatan Johi,

Letak Kalang bawah Johi berada pada bagian

samping kiri kanan johi, kalang atas dan bawah berfungsi sebagai alas apabila terjadi penurunan pada bagian tanah maka Johi akan turun secara bersama-samaan sehingga tidak terjadi resiko pada johi.

Johi / Tiang Johi adalah tiang yang tinggi, dipasang pada setiap sudut serta pada sisi memanjang rumah, dimana johii juga pemasangan mulai dari bagian tanah yang paling dasar sampai pada bagian atas bangunan(sampai gording). Johi inilah yang menentukan kekuatan pondasi dari bangunan bahannya dari kayu tabalion (kayu besi/ulin) yang sudah tua dengan Ă˜ Âą 40 cm untuk johi yang paling besar. Dibangunan Betang Tumbat Apat tiang – johi yang menopang bangunan tersebut sebagai struktur utama. Adapun ketinggian dari pada tiang tersebut dari permukaan tanah sampai lantai Âą 3 meter, serta jarak johi dari lantai sampai pada bagian atas Âą 3 meter . Jumlah johi seluruhnya pada betang Apat ada 278 buah terdiri 30 tiang induk dan 248 tiang pembantu dengan dimensinya lebih kecil dari tiang induknya.

Gambar foto Johi (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

36


Dalam pemasangan johi pada bangunan ujung johi ditanam sedalam 2 meter dari permukaan tanah, sedangkan sisa johi yang keatas panjangnya mencapai balok handaran, dengan demikian harus mencakup sampai tinggi rumah, jadi fungsi johi betul-betul sangat penting. Menurut Narasumber Bapa Mikae (Sesepuh / Demang Tumbang Apat),

dalam

pemasangannya Johi tidak langsung bersentuhan dengan tanah melainkan antara johi dan tanah dibuat suatu bantalan dari kayu besi/ulin (Tabalion) dengan ukuran lebih besar dari johi yang dipasang sepanjangan tempat jihi dipasang dan berbentuk segi empat serta mempunyai lubang tempat johi dipasang.

Gambar sketsa bentuk Johi dan bagian-bagiannya (Sumber : Digambar ulang berdasarkan survey 2007)

Dalam pemasangan jihi ada 3 jenis Jihi yaitu : Johi Bakas (Tiang Tertua ) ialah Jihi yang pertama kali dipasang pada Kat Katou/Juoi (Hulu / Kanan), Johi Badehen (Tiang Kekuatan), ialah johi yang mempunyai kekutan (magis) yang terletak pada bagian tengah serta merupakan kayu pilihan yang sangat sulit dijumpai, Johi Busu (Tiang Bungsu) ialah Johi yang terakhir kali dipasang pada Balikat Kamuloi / boi / hilir (Kiri).Menurut Narasumber Aladin (Penghuni Betang Tumbang Apat), johi dalam Betang Tumbang Apat terbagi atas 3 bagian yaitu johi

37


bakah (pria), Jihi Bawe (wanita), dan Johi Anak. Dalam pemasangan Johi pada Betang Tumbang Apat sangatlah berbeda dari rumah biasanya dikarenakan terdapat suatu jarak antara Johi dengan bagian dindingnya

Gambar foto dan sketsa Johi Bawi, Bakah dan Anak (Sumber : Dokumentasi hasil urvey 2007)

38


Gambar foto hasil pemasangan Johi (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Johi Bakas. Johi bakas adalah johi yang pertama kali ditancap/dipasang, sebagai patokan utama pemasangan johi atau tungket yang selanjudnya, johi bakas ini juga merupakan johi yang memiliki ukuran diameter yang paling besar dari johi - johi dan tungket – tungket yang lainnya.

Gambar foto Johi Bakas (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

39


TUNGKET / TONGKAT. Untuk membantu Johi sebagai pondasi atau penguat rangka bawah terutama bagian lantai digunakan Tungket. Tungket dipasang pada bagian tengah lantai yaitu bagian yang tidak dipasang Johi. Dalam betang Apat ini memerlukan banyak tungket yang semuanya terbuat dari Kayu besi / ulin (Tabalion). Untuk ukuran dari tungket sendiri ď‚ą 10-15 cm, mempunyai tinggi dari permukaan tanah sampai pada matung/slof ď‚ą 3 meter serta dengan sistem pemasangan sama dengan johi menurut Narasumber (2).

Gambar foto Tungket / Tongkat (Kiri) dan foto Matung yang menembus Johi (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Matung (Slof) Kalau dalam bangunan beton, matung sama dengan sloof sehingga fungsinya juga sama yakni untuk menerima beban seperti beban dinding dan beban lantai. Tetapi dibawah lantai masih diperkuat lagi oleh Langah (Gelagar). Karena begitu berat beban yang ditanggung, maka bahat juga menggunakan kayu besi/ulin (Tabalion) dengan ukuran 6 x 12 cm dengan bentuk persegi.

Langah (Gelagar) Langah dipasang diatas matung, dengan jarakď‚ą 40 cm sebagai penahan langsung dari tempat melekatnya lantai. Oleh karena itu pemasangannya lebih rapat dari pemasangan matung,

40


bahannya pun menggunakan kayu besi/ulin (Tabalion) dengan ukuran 5 x 7 cm dengan bentuk persegi.

Gambar foto Langah (kiri) dan Saoh (kanan). (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Saoh (Lantai) Saoh juga terbuat dari kayu besi/ulin (Tabalion) dengan ukuran lebar 25 cm dan tebal 2 cm dengan bentuk persegi panjang, yang dipasang dengan begitu rapat.

Dengan cara

pemasangan tegak lurus mengadap matahari terbit.Dalam pemasangannya lantai di Betang Tumbang Apat memiliki tinggi dan rendah, misalnya : Lantai kamar tidur menuju ke dapur lebih tinggi dari Liwo / teras belakang.

Gambar foto dan sketsa penyelesaian perbedaan lantai. (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

41


2.f. Elemen Bagian Tengah Bangunan

Guntung Guntung merupakan tiang yang dipasang berdiri disetiap sisi rumah, menghubungkan antara bahat. Guntung juga sebagai penguat konstruksi bagian tengah juga sebagai tempat menempelnya dinding. Pada ujung gantung bagian atas dibuat pen, sedangkan ujung gantung bagian bawah dibuat takikan. Pada Betang Tumbang Apat pemasangan dari guntung masih menggunakan sambungan takikan dan pen, walaupun terlihat kurang begitu rapat hasil sambungannya

Gambar foto Guntung dan teknik sambungan pada Guntung (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Dinding Untuk dinding betang Tumbang Apat dipergunakan kayu yang keras yaitu kayu besi/ulin (Tabalion), pemasangan dinding pada guntung atau tiang dinding adalah dengan pasak kayu (bukan paku) oleh karena itu tempat yang akan dipasak kemungkinan dibor terlebih dahulu. Ukuran lebar dari papan dinding mencapai 20 cm dan dengan tebal 2 cm, dengan bentuk persegi panjang. Dinding juga dipasang dalam kondisi kayu yang benar-benar kering, yang dipasang tanpa menggunakan cat.

Dalam Betang Tumbang Apat pemasangan dinding dipasang

horizontal arah panjang betang.

42


2.g. Elemen Bagian Atas Bangunan

Longan Berfungsi sebagai penguat tiang/johi, tumpuan peletakan longan, sebelah bawah longah diberi sedikit takikan yang disesuaikan dengan jarak tiang/johi, tempat menempelnya ujung tiang/johi pada bagian sisi kiri dan kanan longah yang sudah ditakik. Longan ini berukuran 8 x 12 cm dengan panjang 5 meter dan berbentuk balok persegi yang menempel pada tiang/johi bangunan.

Gambar foto Longan (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Bapahan Pemasangan bapahan melintang bangunan, ujung bapahan menepel pada ujung setiap tiang/johi yang pada bagian atasnya ditakik/pen, ujung takikan/pen tiang/tungket dimasukkan pada tiap lubang bagian ujung bapahan. Jumlah bapahan pada bangunan disesuaikan dengan banyaknya tiang/johi, ukuran 8 x 25 cm.

43


Gambar foto Rangka Bapahan (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Tulang Bahumbung, Kaki KudaKuda dan Tintai Balawo / Gording Merupakan salah satu struktur bagian atas banguan, berfungsi sebagai penopang bubungan. Jumlah tiang tulang babungan 5 tiang tiap 1 kuda-kuda, tulang babungan terletak diatas bapahan, Ukuran tulang babungan 7 x 14 cm. Kaki kuda – kuda berfungsi menopang gording, jumlah kaki kuda kuda 2 tiang tiap 1 kuda-kuda, bagian bawah kaki kuda – kuda menopang pada bapahan, bagian atas menopang pada tulang rawung/nok, Ukuran kaki kuda kuda 7 x 14 cm. Tintai Balawo/ Gording berfungsi menahan kasau , jumlah tintai balawo 6 tiap 1 kuda – kuda, Ukuran tintai balawo balok 7 x 14 cm, dengan system pemasangan menggunakan (pen/takikan).

Kaso / Kasau. Pemasangan kasau melintang atau searah panjang bangunan, ujung bawah kasau menopang pada bidang Longah dan ujung bagian atas kasau menopang pada tulang bahumbung (nok). Jarak antara kasau Âą 50 cm, ukuran kasau 4 / 6 cm, berbentuk balok persegi panjang. Setelah pemasangan diatasnya dipasang reng. Pemasangan kasau bagian ujung atas pertemuan kasau awal mula dipasang menyilang (sambungan tabe) saat sekarang menggunakan sambungan prestek.

44


Reng, Bahumbung (Nok) dan Tosap / Sirap Pemasangan reng dengan jarak antara 21 cm atau disesuaikan panjang sirap, ukuran reng 2 x 3 cm.Pemasangan reng menumpu pada bagian atas kasau, awal Pemasangan mulai dari bagian atas/bubungan lalu dipasang menurun kebawah.

Pemasangan bahumbung searah

panjang bangunan dari ujung ke ujung bangunan, ukuran tulang bahumbung (Nok) 7 x14 cm berbentuk segi empat. Atap berbentuk atap Pelana dengan bahan atap terbuat dari kayu Ulin, Sirap digunakan sebagai penutup atap bagian atas bangunan. Pada zaman dahulu pemasangan atap sirap menggunakan pasak. Panjang  1 m, Lebar

Bentuk sirap pada awalnya Ujungnya rata/lurus Ukuran,

 20 cm, Tebal  3 cm dan bentuk sirap sekarang ujungnya lancip

dengan kemiringan  45º dan ukuran, Panjang  60 cm, Lebar  7,5 cm, Tebal  0,5 cm.

h. Elemen Khusus Bangunan

Liwo / Emper. Emper / liwo ada 2 bagian yaitu pada bagian atas dan bagian bawah, emper / liwo bagian bawah tersebut terbuat dari kayu / tumpukan batu kali berukuran 15 x 20 x 50 cm, Emper/liwo ini juga mempunyai ketinggian dari permukaan tanah ± 20 cm. Emper/Liwo bagian atas berukuran 50 x 1.70 cm

Gambar Emper / Liwo bawah (kiri) dan atas (Kanan). (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

45


Pucan Muka / Tangga Depan. Pucan / tangga depan ada 6 tangga pada bagian depan bangunan (akses keruang depan), bahan pembuatan tangga berasal dari kayu bulat berdiameter Ø 27 cm yang di pahat berupa trap-trap dengan ketinggian trap ± 5 cm, dan lebar injakan tangga yang berbeda. dan mempunyai 17 buah anak tangga dengan ketinggian 20 cm dengan sudut kemiringan ± 37º.

Gambar foto detail Pucan / Tangga Depan (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Pucan Balikat / Tangga Samping. Pucan/tangga

samping

ada

1

tangga

pada

samping

(akses

Liwo(teras

belang)/Awu(dapur), bahan pembuatan tangga berasal dari kayu bulat yang di pahat berupa trap - trap dengan ketinggian trap ± 5 cm, dan mempunyai 12 buah anak tangga, pada tangga bagian samping ini mempunyai ketinggian 20 cm dari permukaan tanah sudut kemiringannya pun ± 32º, lebar pijakan pada anak tangga mempunyai lebar sama yaitu ± 27 cm.

Gambar foto Pucan Balikat / Tangga Sampim (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

46


Hangkung / Pengangan Tangga. Hangkung tangga yang terletak pada kedua sisi tangga berfungsi sebagai pengaman, hangkung ini terbuat dari kayu persegi dengan ukuran 4 x 7 cm, dipasang searah tangga, banyak pakang tiap tangga ada 2 x 3 Hangkung.

Gambar foto Hangkung tangga (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Johin Hangkung / Tiang Pegangan Tangga. Terletak pada bawah tangga berfungsi sebagai penopang tangga juga berfungsi sebagai tiang Hangkung, tiang hangkung ini terbuat dari kayu persegi dengan ukuran 8 x 10 cm, dipasang menyilang dibawah tangga, banyak hangkung/tiang hangkung tiap tangga ada 3 x 2 tiang hangkung tangga. Pada tiap tiang hangkung memiliki ujung kepala dengan bentuk bulat, yang ditancapakan bagian bawahnya ketanah sedalam Âą1 meter.

Gambar foto kepala tiang Hangkung tangga (kiri) dan Tatahan Pucan (Kanan). (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

47


Tantahan Pucan / suai tangga Tantahan pucan/suai tangga berfungsi sebagai penahan/penyokong bagian bawah tangga, jumlah suai tiap tangga 2 suai, suai bagian tengah pucan/tangga, suai bagian atas pucan, pemasangan tantahan pucan berlawanan arah hejan, dengan kemiringan Âą37Âş, ukuran tantahan pucan 10 x 10 cm.

Bauntunkang / Pintu. Pada Rumah Betang Tumbang Apat terdapat 6 pintu utama/pintu (Bauntunkang muka) depan ukuran 100 x 210 cm, 9 pintu kamar (Bauntunkang Bukung Tirui) ukuran 100 x 210cm, 9 pintu belakang (Bauntunkang likut) ukuran 100 x 210 cm, 9 pintu dapur (Bauntungkang Awu) ukuran 100 x 210cm. Semua pintu tebuat dari kayu tabalion, pemasangan seluruh pintu menggunakan engsel, untuk penggunci pintu seluruhnya menggunakan palang dari kayu, dan setiap pintu menggunakan 1 palang kayu sebagai pengunci.

Tungko / Jendela. Tungko pada bagian depan ada 8 ukuran 70 x 120, 70 x 120 cm samping 2 jendela ukuran 70 x 120, 70 x 120 cm, kamar belakang 9 jendela ukuran 70 x 120, 70 x 120 cm, khusus jendela depan, samping dan jendela kamar belakang menggunakan 2 daun jendela sedangkan jendela pada bagian dapur menggukan 1 daun jendela ukuran 70 x 120 cm berjumlah 18 jendela, semua jendela membuka kearah luar, bahannya kayu tabalion.

Lisplank. Lisplank berfungsi sebagai penutup sisi atap, bahan lisplank dari terbuat dari kayu tabalien ukuran 2 x 20 cm, ukiran seperti pada gambar dibawah ini hanya terdapat pada bagian samping kiri dan kanan bangunan serta pada bagian depan dan belakang.

Longan Tucang / Tiang Ayunan. Longan Tucang adalah sebuah tiang ayunan yang berfungsi untuk tempat mengikat tali ayunan seorang anak penghuni betang terutama anak dari seorang yang tertua atau kepala adat saat itu.

48


Gambar foto Longan Tucang (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

Prokang. Prokang merupakan suatu benda keramat yang dipercayai

oleh masyarakat desa

Tumbang Apat atau orang suku dayak siang khususnya yang tinggal di betang Apat sebagai tempat meminta perlindungan agar terhindar dari bahaya, tempat meminta rejeki, dan bisa memberi kabar jikalau ada kabar yang tidak baik.

Gambar foto Prokang (Sumber : Dokumentasi hasil survey 2007)

49


Tulang Bahumbung Ukiran. Tulang bahumbung ukir adalah tulang bubungan yang berfungsi sebagai penahan bahumbung/nok, disebut tulang bahumbung ukiran karena diukir khusus dan hanya 3 tulang bahumbung yang diukir khusus untuk tulang bahumbung bagian tengah pada bagian atas 3 ruang yang paling besar atau diatas ruang tidur kepala / tetua betang.

Gambar Denah, Tampak Depan dan Tampak Belakang Awal Mula Betang Tumbang Apat (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil analisa)

50


Gambar Tampak Samping Kiri awal mula (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil analisa)

51


Gambar Tampak Samping Kanan awal mula (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil analisa)

52


3 BETANG TUMBANG KORIK oleh :

Delacrus Galipto, Novellery AS dan Dedy Irawan Dosen Pembimbing : Noor Hamidah

Desa Tumbang Korik merupakan salah satu desa di Kecamatan Kahayan Hulu utara Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Dari palangkaraya desa tumbang korik berjarak kurang lebih 200km.

Pencapaian kelokasi dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan

menggunakan speed boat untuk transportasi air dengan waktu tempuh kurang lebih 6 jam, kedua melalui darat dengan waktu tempuh ....jam. Kampung ini didiami oleh keluarga 67 kepala keluarga. Objek yang ditinjau, berada di depan sungai Korik Desa Tumbang Korik yang pada saat ini didiami oleh Latai Sampoi yang merupakan istri Djhaler Damang Kuung.

53


.

Gambar Lokasi Desa Tumbang Korik

. 3.a. Tinjauan Sejarah Desa Tumbang Korik merupakan pemukiman tua ditepi anak Sungai Kahayan yag mulai berdiri sejak pertengahan abad 19-an, pada waktu itu telah berdiri betang pertama yang dihuni oleh 12 kepala keluarga.Rumah betang ini didirikan oleh Demang Singa Kenting Âą 50 tahun sebelum perdamaian Tumbang Anoi tahun 1894. Perkakas atau alat yang digunakan pada saat membangun rumah betang ini sangat sederhana sekali, hanya memakai parang belaying dan pahat saja. Karena hanya itulah alat yang ada pada masa itu. Dapat dikatakan bahwa rumah betang ini dibangun hanya berdasarkan tekad dan kemauan yang keras dengan kecerdasan memanfaatkan kekayaan alam yang ada dilingkungan sekitar. Meskipun fisik batang ini hanya

54


sederhana tetapi rumah betang dan makam almarhum Demang Singa Kenting yang ada di hadapan rumah betang ini terutama peti jenazah almarhum yang diukir dengan ukiran yang mengandung arti dan makna yang unik kalau dipandang dari segi budaya. Yang merupakan warisan yang tak ternilai dan merupakan kebanggaan dari ahli waris Demang Singa Kenting dan bagi suku dayak yang berada di wilayah kahayan hulu. Selain itu, rumah betang ini selalu didiami oleh ahli waris Demang Singa Kenting silih berganti sampai saat ini. Bangunan dan makam ini menunjukkan bahwa Demang Singa Kenting termasuk orang yang berjiwa besar pada zamannya dan dapat dijuluki dengan perkataan “Duhung Panduh Lewu� (bahasa dayak kuno yang disebut sangen). Mengingat usia rumah betang dan makam Demang Singa Kenting serta bangunan situs yang terdapat dimuka rumah sudah tentu semuanya itu menunjukkan keaslian kebudayaan yang dimiliki oleh suku dayak dan dapat dimasukkan dalam golongan yang disebut benda cagar budaya dalam undang-undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1992 yang layak mendapat perhatian dan perawatan secara utuh.

Gambar Tampak Depan Betang Tumbang Korik (Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

55


Berdasarkan data-data maupun kesaksian yang diberikan langsung oleh pemilik rumah saat ini yang merupakan keturunan dari almarhum Demang Singa Kenting didapat keterangan tentang silsilah kepemilikan rumah Betang Tumbang Korik sebagai berikut: Oka Hariwung awalya dari kaleka bawui kemudian pindah kedesa Tumbang Korik dan melahirkan anak yang diberi nama Damang Singa Kenting dan Mangku Anom yang kemudian mendirikan Betang Tumbang Korik. Program pembuatan betang bermula dari masa pemerintahan belanda. Pada awalnya Belanda mengusulkan 3 desa yaitu Desa Tumbang Korik, Desa Tumbang Anoi dan Musang Sei Miri, sebelum Perdamaian Tumbang Anoi. Setelah Betang Anoi dan Musang selesai mereka berdiskusi di Banjarmasin untuk perdamaian suku antar mereka bahwa Siden dihapuskan yaitu saling membunuh sesama manusia. Setelah selesai rapat, jatuh lagi perdamaian Tumbang Anoi karena musuh mereka berasal dari Tenggarong, kaltim. Lalu Demang Singa diangkat oleh belanda menjadi kepala kampung. Yang saat ini dikenal dengan kepala desa karena keberanianya. Setelah itu, diangkat menjadi demang (betang sudah didirikan bersamaan dengan Betang Tumbang Anoi dan Musang). Setelah Demang Singa Kenting meninggal pemerintahan dipegang oleh anaknya Damang Kuung sampai ia meninggal. Jaga Kamis merupakan sepupu dua kali dari Damang Kuung. Dialah yang menjalankan pemerintahan. Dia memerintah hanya sampai tiga periode (15 tahun) kemudian Situh Janin selama satu periode memerintah di Tumbang Korik kemudian dilanjutkan lagi

Mahamad

Timbang selama satu periode, kemudian Ringkai Ropoi selama 3 periode. Sampai saat ini Abed Nego sampai saat ini memerintah yang sekaligus mengurus keberadaan Betang Tumbang Korik.Berdasarkan data tertulis urutan kepemimpinan Desa Tumbang Korik sebagai berikut:

Tabel Kepemimpinan Desa Tumbang Korik Tahun a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.

1959-1962 1963-1964 1964-1965 1965-1973 1973-1974 1974-1975 1976-1976 1984-1989 1990-1992 1992-2002 2003- sekarang

Masa kepemimpinan Jaga kamis Situ jamin Rampoi miri Siwung sandi Makin runtih Likai rampoi Mahamad timbang Likai rampoi Soabadirai Soabadirai Abeth Megu

Sumber : Hasil Survey, Februari 2007

56


3. b. Lingkungan dan Pola Kampung Pada saat betang ini dibangun sebagai awal berdirinya perkampungan keluarga yang masih homogen. Lingkungan yang masih alami dengan dikelilingi hutan belantara yang sulit diakses. Satu-satu akses yang dapat dimanfaatkan adalah

jalur sungai,

sekaligus menjadi sumber penghidupan.Pola perkampungan biasanya mengikuti aliran sungai berarti perkampungan didirikan di tepi sungai dan tersebar secara linier dari muara ke hulu, selain itu rumah-rumah penduduk didirikan memanjang berderet - deret merupakan garis sejajar dengan sungai.Selain sungai terdapat juga sebuah jalan darat sebagai jalur perhubungan antar– rumah satu dengan rumah yang lain, di sisi kanan dan kiri itulah didirikan rumah penduduk. Di darat inilah masyarakat membuat ladang dan berkebun yang umumnya ditanami dengan pepohonan karet dan juga sayur-sayuran. Di belakang tanaman buah–buahan. Tetapi

sebagian besar

rumah terdapat tanaman-

orientasi bangunan perkampungan

desa

tumbang korik lebih banyak berorientasi kearah Sungai Korik hal ini di karenakan sungai menjadi sarana transportasi yang dominan dari awal pendirian perkampungan Tumbang Korik ini.

3. c. Tata Letak Bangunan Tata letak massa bangunan pada Betang Tumbang Korik secara umum adalah sebagai berikut:

Bagian Depan Pada bagian depan Betang Tumbang Korik terdapat halaman luas yang digunakan dalam upacara adat tiwah. Pada bagian depan ini masih berdiri beberapa bangunan antara lain sapundu (patung penjaga), tiang pantar (tiang tinggi), sandung (tempat tulang). Bangunan-bangunan ini masih ada namun kondisinya kurang terawat. Dulu pernah ada balai basara untuk tamu menginap.

57


Gambar Situasi Betang Tumbang Korik (Sumber digambar ulang berdasarkan hasil survey)

58


Gambar foto bagian Depan Betang Tumbang Korik (Sumber : Dokumentasi hasil survey, Februari 2007)

Bagian Tengah/ Pusat Bagian tengah berdiri bangunan utama Betang Tumbang Korik yang telah banyak mengalami perubahan terutama pada luas, panjang, denah, tampak, elemen bangunan, atau penggantian bahan - bahan bangunan. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain jumlah penghuni yang berkurang, akibat kerusakan atau adanya tuntutan baru. Betang ini tebuat dari bahan alami/kayu dengan tinggi tiang dari lantai 6m dari permukaan tanah. Panjang bangunan yang ada sekarang 20 m dan lebarnya 10 m. Betang in dilengkapi dua tangga, satu tangga utama dibagian depan dan satu tangga di bagian belakang. Dibagian belakang digunakan sebagai areal bercocok tanam yang merupa kan modal utama untuk kelangsungan hidup seperti buah-buahan

dan sayur- sayuran.

59


Dibagian belakang ini pernah ada tempat pasah parei (lumbung padi) dan balai kecil tempat menyimpan lesung penumbuk padi. Beberapa kandang ternak juga pernah ada dibagian belakang ini. Saat ini

halaman belakang hanya tersisa

kandang ternak dan

kebun buah-buahan yang kurang terawat.

Gambar foto bagian belakang Betang Tumbang Korik (Sumber : Dokumentasi hasil survey, Februari 2007)

3.d. Tata ruang

Betang korik memiliki denah yang sederhana. Denah berbentuk persegi panjang. Yaitu memanjang mengikuti arah sungai korik. Bangunan Betang Tumbang Korik terdiri dari :

1. Tubuh bangunan; memanjang kesamping dan didukung dengan tiang-tiang yang tinggi (6 meter): 2. Memiliki bubungan yang tinggi.

60


3. Bubungan atap memanjang kesamping berbentuk pelana. Memiliki teras didukung 4 tiang yang panjang yang bertumpu diatas tanah diantara 2 buah hejan (tangga). 4. Rambang bulan; sebuah ruang besar tempat basara (ruang tamu) setelah kita melewati batu gang (pintu) sulak 5. Takun (kamar); sebuah ruang tempat beristirahat sekelompok keluarga dan takun terletak sebelah kiri dan kanan rambang bulan. 6. Awu (dapur); terletak dibelakang dan berhadapan dengan huang rambang bulan dan dibatasi dengan dinding. Awu (dapur) dibuat lebih rendah dari permukaan lantai rambang bulan. 7. Bahan bangunan terbuat dari kayu ulin dan balawan. Untuk tiang (jihi), lantai dan dinding dari ulin dan takun (kamar) dari kulit dowui (upa dowui) tahan panas dan hujan untuk waktu yang lama. 8. Anjungan (serambi); hanya terdapat pada bagian belakang betang sebagai tempat penghubung betang yang lain.

Gambar gambar kondisi sekarang tampak depan Betang Tumbang Korik (Sumber : Digambar berdasarkan hasil survey, Februari 2007)

61


Konstruksi rumah tradisional ini dibuat sangat sederhana tanpa dipengaruhi oleh bahanbahan bangunan lain. Artinya keseluruhan bahan hanya didapatkan dari alam yang ada di sekitar tempat itu. Kayu ulin yang merupakan bahan utama bangunan digunakan pada hampir seluruh struktur bangunan, namun ada juga yang dikombinasikan dengan jenis kayu yang lain.

Gambar gambar kondisi sekarang denah Betang Tumbang Korik (Sumber : Digambar berdasarkan hasil survey, Februari 2007)

62


Gambar gambar kondisi sekarang Tampak Samping dan Potongan Betang Tumbang Korik (Sumber : Digambar berdasarkan hasil survey, Februari 2007)

Gambar Denah dan Tampak awal mula Betang Tumbang Korik (Sumber : Digambar berdasarkan hasil survey, Februari 2007)

63


3.e. Elemen bangunan Tiang /jihi bakas Dalam proses pendirian tiang bakas di lingkungan Masyarakat desa Tumbang Korik biasanya diawali dengan acara Ritual khusus yang di sebut sebagai prosesi pendirian tiang bakas yang terletak sebelah kiri dengan didahului dengan ritual membunuh hadangan (sapi). Didirikan setiap hari dengan sistem berurutan dan memutar. Dan diakhiri dengan tiang terakhir/ jihi busu.

Gambar foto Jihi Bakas (Sumber : dokumentasi hasil survey, Februari 2007)

JIHI BUSU

JIHI BAKAS

Gambar Alur pemasangan Jihi (Sumber : dokumentasi hasil survey, Februari 2007)

64


Tiang menggunakaan bahan kayu ulin dan balawan. Dan membangun

berdasarkan

kepercayaan orang dulu menghadap arah matahari rambelum/terbit. Petuah rumah untuk orang yang di rumah dalam keadaan sehat dan bahagia. Pada rumah betang korik ini terdapat 15 buah jihi dengan bentuk bulat, jihi dibagi 3 baris dari arah jihi bakas sampai pada jihi busu. Jarak antar jihi ke jihi 5 m lebar dan 6 meter panjang, dengan diameter sebesar 50-60 cm. Untuk memperkokoh betang ini ditambahkan tungket diantara jihi-jihi tersebut. Pada betang korik terdapat 40 tungket / tongkat dengan menggunakan bahan kayu ulin (tabalien) yang dibagi 4 dalam tiap baris. Tiang tungket ini memiliki diameter antara 30 dan 40 cm. Sedangkan untuk kepercayaan keberuntungan / rejeki bagi penghuni, terletak

pada jihi busu. Dan biasanya sebelum penanaman tiang ini

di

bawahnya terlebih dahulu dikubur pakaian, intan, dan emas. Setelah itu baru didirikan tiang busu diatasnya. Tinggi tiang dari tanah ketubuh betang 6m, dan dari tanah ke plafont 12m. Tiang ini didirikan dengan cara bergotong –royong.

Pondasi Pada betang korik ini cukup unik, yaitu tidak menggunakan pondasi. Namun tiang/jihi langsung ke tejek akan penda (didirikan langsung ke tanah). Sampai mencapai tanah keras. Dan hal ini cukup kuat karena tiang juga cukup besar. Sebelum tiang didirikan terlebih dahulu dibuat lubang bulat ditanah seukuran kayu tiang serta parit miring untuk memudahkan pendirian tiang/jihi. Dengan cara ini tiang dengan mudah dapat didirikan.

Gambar Foto dan Sketsa Fondasi ( Sumber : Dolumentasi dan Digambar berdasarkan hasil survey Februari 2007)

65


Kayu ulin dengan dimensi yang cukup besar, merupakan kayu pilihan yang memiliki serat bagus dan rapat serta kuat ( cukup tua). Kayu ini tahan terhadap iklim maupun rayap. Dalam pemasangan pondasi jihi bakas biasanya dilakukan ritual menurut kebudayaan masyarakat korik dimana mereka mengadakan acara membunuh sapi (hadangan) sebelum tiang itu di tancapkan ke tanah. Upacara tersebut dimaksudkan untuk kesalamatan serta suksesnya pendirian rumah mereka, agar terhindar dari gangguan, kesialan dan penyakit.

Lantai Bahan lantai menggunakan papan kayu ulin yang disusun membujur. Penggunaan bahan ulin ini memiliki dua makna yaitu, pertama kayu kuat yg maknanya agar orang yang tinggal pada rumah itu kuat baik lahir maupun batinnya. Kedua kayu ulin memiliki sifat keras yang dapat mempengaruhi sifat/karakter penghuni rumah. Adapun ukuran papan lantai dengan lebar 50 cm dan tebal 5 cm. Pemasangan lantai tidak menggunakan pasak maupun paku, namun langsung diletakan begitu saja.

Papan tersebut diolah secara manual

sehingga tekstur

permukaannya tidak rata namun tetap terasa licin dan halus. Papan dibuat dengan menggunakan otak/beliung.

Biasanya papan lantai diolesi ramuan khusus untuk menjaga keawetannya.

Ramuan tersebut dibuat secara tradisional yang bahan bakunya berasal dari kulit kayu luar yang ditumbuk sampai halus dan diambil airnya. Ramuan tersebut menjadikan papan kayu lantai berwarna agak kehitaman dan mengkilat.

Pintu Pintu terbuat dari bahan kayu doho (dalit doho ) dengan tebal 4 atau 5 cm. Dengan tinggi 2m. Dalam pintu ada ukiran langsung ukir tama lilang (binatang paling buas). Fungsi sebagai ciri khas dari orang mamut (berani). Konon menurut cerita ukiran tersebut merupakan ciri rumah orang yang berpengaruh (demang).

Dinding Pada bagian dinding kayu yang digunakan adalah kayu papan ulin/tabalieh yang disusun mendatar. Kayu-kayu tersebut dirakit sedemikian rupa menjadi sebuah bidang, dengan menggunakan bahan ikat uwei (rotan), jenis uwei rokong (rotan hutan). Dinding pembuatanya tersusun, untuk memudahkan pengikatan atau pada saat pemasangan, pada dinding tidak terdapat ukiran, hanya menggunakan cat alam.

66


Gambar foto lantai Betang Tumbang Korik (Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

Gambar foto Pintu Betang Tumbang Korik (Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

67


Gambar foto Kondisi Dinding Betang Tumbang Korik saat ini(Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

Plafond Plafond sepenuhnya susunan kayu papan yang dipasang lurus dari balok plafond. Papan tersebut dipasang jarang guna mengoptimalkan sirkulasi udara dalam ruangan. Ukuran papan plafond sama dengan papan yang digunakan pada lantai yaitu 60cm untuk lebar dan 5 cm untuk tebal papan plafont.

68


Gambar foto Kondisi Flafond Betang Tumbang Korik saat ini(Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

Atap Bentuk struktur atap yang digunakan rumah betang ini adalah pelana. Bahan yang digunakan untuk penutup atap adalah bahan sirap yang terbuat dari kayu ulin dengan tebal 1cm, dengan lebar 30cm dan panjang 1,15 m. Pada masa itu, masyarakat tumbang korik memasang atap sirap tidak menggunakan paku, melainkan mereka menggunakan pasak bambu doring potung (bambu petung) yang digunakan merakit atap sirap tersebut.

Sedangkan untuk reng

menggunakan sistem pengikatan dengan bahan uwei lakong dengan sistem ikatan atau simpul sapaliki bahuka.

Tangga Pada huma betang tumbang korik terdapat 2 tangga , satu tangga utama pada bagian depan yang digunakan untuk menuju kebangunan utama dan satu tangga pada bagian belakang menuju keruang servis (karayan). Tangga utama terbuat dari kayu bulat yang ditakik, sehingga terbentuk uptrade dan untrade. Tangga ini memiliki bordes yang terbuat dari papan ulin. Pada tangga bagian bawah bordes telah mengalami perubahan sekarang menggunakan bahan papan. Sedangkan yang asli masih ada di sebelahnya yang baru. Sudut tangga sekitar 400,yang bertumpu pada balok lantai betang, dan bagian bawah bertumpu pada bordes. Bordes disangga

69


oleh 6 tiang. Pada kanan-kiri tangga bagian atas terdapat pegangan/railing. Sedangkan bagian bawah hanya bagian kiri saja. Sedangkan tangga bagian belakang terbuat dari papan ulin dengan lebar sekitar satu meter. Tidak memiliki bordes, maupun pegangan.

Gambar foto Kondisi Tangga Utama Betang Tumbang Korik saat ini(Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

70


3.d. Bahan bangunan Dari pengamatan dilapangan didapat informasi penggunaan bahan material bangunan untuk huma betang tumbang korik sebagai berikut :  Tiang

: kayu tabelien/ kayu besi

 lantai

: papan dengan pasak kayu,

 dinding

: Papan ulin dan kulit kayu yang dipasang berebah/horizontal

 Atap

: sirap ulin dengan sistem pemasangan menggunakan paku,

selain sirap dipakai pula daun rumbia pada bagian karayan  Tangga

: terbuat dari kayu ulin yang bentuk beruas tempat pijakan kaki

 Pintu

: pintu terbuat dari

kayu biasa (kamper), tetapi ada kunci

khusus yang bila pintu tersebut ditutup hanya dapat di buka dari dalam.

3.f. Ornamen Ornamen yang terdapat pada betang tumbang korik tidak banyak. Ornamen ini terdapat pada sapiang, pelipir hambujur, sambungan tantian tikus, dan katili / talang air. Pelipir membujur dipasang dekat dengan dengan pelipir sapiang yang merupakan bentuk kehormatan rumah. Sambungan tantian tikus dibuat pada pinggiran listplank. Pada bagian ini terdapat ukiran tembus dan tidak tembus seperti pada pintu. Dibuat oleh seluruh keluarga Betang Singa Kenting. Ornamen menggambarkan motif naga, daun, sesuai dengan petuah betang ”pemberani/kepahlawanan”.

Ornamen-ornamen ini menggunakan bahan kayu ulin. Dalam

interior tidak terdapat ukiran, hanya pada eksterior, tidak diwarnai, hanya menggunakan warna alami kayu.

Gambar foto Ornamen Betang Tumbang Korik saat ini(Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

71


Gambar foto Ornamen Betang Tumbang Korik saat ini(Sumber : Dokumentasi hasil survey Februari 2007)

72


4 BETANG TUMBANG GAGU oleh :

Muhammad Syamsudin, Ahmad Sabriansyah. Dosen Pembimbing : Ave Harysakti

Rumah Betang Antang Kalang terletak di tepi Sungai Kalang yang merupakan anak sungai Mentaya. Ditinjau dari pembagian Suku Dayak, letak Rumah Betang ini termasuk Suku Dayak Ngaju. Bila ditinjau dari posisi kota Palangka Raya yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, letak rumah Betang Antang Kalang ini berada sekitar 218 km kearah Barat laut. Posisi Rumah Betang Antang Kalang ini berada sekitar 40 km kearah Utara garis 1o Lintang Selatan. Betang Antang Kalang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur, posisi dari betang tersebut berada di desa Tumbang Gagu, dimana kawasan tersebut terletak diperbatasan antara kabupaten kotim dengan kabupaten katingan. Sebenarnya masih terdapat rumah betang di Kalimantan Tengah yang lebih tua umurnya dari betang ini, akan tetapi betang ini paling terakhir dibangun dari betang yang ada di Kalimantan tengah dan umurnya mencapai lebih kurang 150 tahun atau 1,5 abad.

73


Akses pencapaian untuk ke lokasi tidak begitu baik, dapat dicapai dengan beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Menggunakan Kendaraan bermotor berangkat dari kota Palangkaraya menuju kecamatan Tumbang Samba kabupaten katingan. Karena untuk kendaraan bermotor hanya bisa sampai di kecamatan Tumbang Samba, selanjutnya akses yang tersedia hanya melewati jalur sungai katingan 2. Menggunakan perahu/kelotok berangkat dari kecamatan Tumbang Samba menuju desa Pendatangaring kabupaten katingan. Karena jalur sungai yang tidak saling berhubungan antara sungai katingan dengan sungai mentaya. 3. Berjalan Kaki dari desa Pendatangaring menuju desa Tumbang Gagu, sejauh 8 km atau selama kurang lebih 2 jam. karena belum tersedianya jalur jalan untuk kendaraan bermotor menuju objek tersebut dan jalur jalan yang tersedia hanyalah jalan setapak yang memiliki lebar jalan kurang lebih 2 meter.

4.a. Sejarah Betang ini dibangun pada tahun 1880 oleh Bapak Antang yang mana pada massa itu merupakan Rumah Betang yang pertama didirikan di desa Tumbang Gagu. Bapak Antang merupakan seorang Pejuang yang berasal dari desa Bukit Rawi ( Kahayan ), dan menetap di desa Tumbang Gagu. Bapak Antang membangun rumah betang ini tidak hanya sendiri melainkan dibantu oleh beberapa orang pengikutnya dari Bukit Rawi, selanjutnya dibantu oleh penduduk setempat yang secara suka rela membantu pembangunan Betang tersebut selama 7 tahun lamanya. Betang ini dibangun oleh Bapak Antang di desa Tumbang Gagu karena daerah ini aman dari kejaran Belanda pada masa itu karena daerah ini sangat jauh dan terpencil. Akan tetapi Belanda mengetahui keberadaan Betang tersebut, dan sampai akhirnya Belanda ingin mencapai daerah tersebut dengan mengupayakan membuat jalan sendiri agar sampai ke tempat kediaman bapak Antang. Dalam pembuatan jalan tersebut Belanda memaksa kerja rodi penduduk desa Pendatangaring, akan tetapi jalan itu tidak sampai selesai karena diketahui oleh bapak Antang dan akhirnya bapak Antang beserta penduduk desa Tumbang Gagu menyerang pihak Belanda

74


terlebih dahulu dan akhirnya Belanda kalah dalam pertempuran melawan Bapak Antang beserta penduduk desa Tumbang Gagu, bukti sejarah kekalahan Belanda masih ada yaitu masih tersimpannya 2 ( dua ) buah Meriam kuno milik Belanda, sampai sekarang masih bias kita lihat di dalam Rumah Betang Antang Kalang. Pada tahun 1887 bapak Antang beserta keluarganya dari Bukit Rawi dan penduduk setempat yang tidak memiliki tempat tinggal mulai menempati Betang ini. Jumlah keseluruhan penghuni betang ini pada masa itu adalah 6 kepala keluarga. Sampai sekarang Rumah Betang Ini masih didiami oleh cucu – cucu dan cicit – cicitnya dengan 6 kepala keluarga dan sampai sekarang Betang ini dikenal sebagai Betang paling besar dari Betang terdahulu khususnya di Kalimantan Tengah.

Gambar Denah Betang Tumbang Gagu (Sumber : digambar ulang berdasarkan hasil survey)

75


4.b. Pola Perkampungan Dan Orientasi Bangunan Pada waktu itu pola perkampungan di desa Tumbang Gagu masih menggikuti arah jalur sungai mentaya berjejer dipinggiran sungai Karena sungai merupakan jalur transportasi yang utama dan sumber air yang terutama saat itu sehingga orientasi bangunan menghadap ke sungai.Orientasi fasade bangunan menghadap kearah sungai. Karena sungai dianggap sebagai sumber kehidupan dan sebagai alat transportasi utama pada masa itu.

Gambar foto perspektif tampak depan Betang Tumbang Gagu (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

4.c. Elemen Exterior Betang

Jihi / Tiang dan Tungket / Tongkat Jihi / Tiang terbuat dari ulin berbentuk bulat dengan diameter 50 – 60 cm yang dipasang pada bagian sisi memanjang rumah Betang ini. Jihi ini terbuat dari kayu yaitu kayu ulin yang langsung menerus keatap dengan jarak antara tiang yang teratur antara 6 – 8 m. Tungket / TongkatTerbuat dari ulin berbentuk bulat dengan diameter 30 cm yang digunakan sebagai penyangga lantai, sebagai pondasi.

76


Gambar foto Jihi (kiri) dan Tungket (kanan). Sumber : Dokumentasi hasil survey)

Gambar foto Bahat (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

Bahat / Sloof, Gahagan / Gelagar dan Laseh / Lantai Kalau dalam bangunan beton, bahat sama dengan sloof hingga fungsinya juga sama yakni untuk menerima beban seperti beban dinding dan beban lantai. Bahat terbuat dari ulin berbentuk bulat persegi empat. Gahagan dipasang diatas bahat. Fungsinya adalah sebagai penahan langsung dan tempat melekatnya lantai. Oleh karena itu pemasangannya lebih rapat dari pemasangan bahat. Gahagan ini terbuat dari kayu ulin. Laseh / Lantai terbuat dari kayu ulin dengan ketebalan 3 cm, lebar kurang lebih 20 – 30 cm dan panjangnya 2 – 4 meter yang digunakan sebagai alas dan dipasang dengan begitu rapat mengguanakan pasak dari ulin. Untuk lantai dari ruang tamu sampai dengan dapur sama rata, kecuali pada karayan ada sedikit turun 10 cm.

77


Hejan / Tangga Tangga pada betang ini terdapat 3 buah tangga, yang pertama untuk menuju ruang tamu, kedua untuk menuju dapur dan yang ketiga untuk menuju dapur, yang terdiri dari 2 jenis tangga yaitu : a.

Terbuat dari kayu ulin yang berbentuk bulat dengan diameter 30 cm dan ditakik menyerupai anak tangga dengan kemiringan 30o . memiliki borders dengan ukuran 3,5 x 2 meter dan memiliki jumlah anak tangga yang ganjilyang langsung menuju keruang tamu.

b.

Tangga biasa terbuat dari kayu ulin dengan kemiringan 45o yang disangga oleh 2 buah tiang peyangga, dengan lebar anak tangga kurang lebih 60 – 65 cm dan langsung menuju dapur.

Gambar foto Hejan Betang yang dihubungkan dengan titian menjuju Sungai (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

78


Gambar foto Hejan (Sumber : Dokumentasi hasil surveu)

Dinding, Pintu dan Jendela Untuk dinding dipergunakan kayu ulin dan dubuat tanpa dibelah dengan gergaji melainkan dengan beliung. Untuk meletakkan dinding adalah dengan pasak kayu (bukan paku). Bilah- bilah papan setebal 3 cm dengan lebar 20 cm dengan ketinggian kurang lebih 2, 65 cm. Pintu dan jendela juga dari ulin, sistem penahan menggunakam engsel untuk jendela dan papan untuk jendela berjumlah ganjil (3papan) kiri dan kanan, dan untuk pintu menggunakan system rool yang terbuat dari kayu ulin dengan papan tanpa sambungan/ada juga yang berjumlah 3 pasang, kiri dan kanan. Pada jendela terdapat jeruji yang dibuat dari ulin dengan jumlah 5 jeruji yang berfungsi sebagai pengaman.

Listplank, Atap dan Penutup Atap Lisplang terbuat dari ulin dengan dilengkapi ukiran yang bermotifkan tambun (naga sakti berkelamin betina). Penutup atap terbuat dari kayu ulin yang disebut dengan nama sirap yang di pasang dengan menggunakan pasak ulin tanpa menggunakan paku. Penutup atap pada bagian dapur masih utuh dan masih asli, tidak pernah mengalami renovasi sekalipun, Hanya saja penutup atap pada bagian bangunan utama sudah di renovasi, dan sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi.

79


Karayan / Ruang Penghubung Ruang penghubung merupakan ruang transisi penghubung antara bangunan utama (batang huma) dengan dapur sebagai areal basah, dan sering digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang perkakas rumah yang jarang digunakan seperti guci, tampah beras, serta pisau untuk bekerja di luar rumah. Disamping sebagai tempat cuci perabot dapur, pakaian, karayan juga digunakan untuk tempat menyemlih hewan kalau ada pesta, dan tempat mengeringkan beras pada musim panen (gerem).

Gambar foto dan sketsa Karayan (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

Gambar foto Dapur (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

80


4.d. Elemen Elemen Interior

Ruang Tamu Adalah ruang yang luas sebagai tempat berkumpulnya pemilik rumah dengan tamu, yang terletak pada bagian paling depan setelah pintu masuk. Pintu masuk ke ruang tamu ini ada tiga buah tetapi yang paling sering digunakan adalah pintu bagian tengah untuk menerima tamu di hari-hari yang biasa dan kedua pintu yang ada disebelahnya digunakan apabila ada acara keluarga atau berlangsungnya pesta dirumah tersebut.

Ruang Tempat Tidur Pada Betang Antang Kalang terdapat 8 buah ruang tidur yang mana setiap kamar tidur bisa ditempati oleh 1 kepala keluarga dan ukuran ruang tersebut berukuran 7 x 7,5 m, dengan pembagian 2 ruang pada bagian kiri dan 4 ruang pada bagian kanan. Ruang tempat tidur dibuat berjejer, setiap kamar atau ruang tidur tersebut menghadap ke ruang los.

Ruang Kumpul / Ruang Keluarga Pada ruang berkumpul ditempati oleh seluruh keluarga penghuni rumah betang ini yang juga digunakan untuk melakukan aktivitas kerajinan tangan seperti menganjam (menjawet) lontong, tikar, topi, tampah serta menjahit pakaian dan menyulam taplak meja, gorden.Kegiatan tersebut dilakukan sebagai kegiatan sampingan selain kegiatan para wanita untuk memasak dan membersihkan rumah beserta halamannya.

Bapahan, Dinding Bagian Dalam Ruangan, Guntung dan Hambatang Pada ruangan terlihat bahwa bapahan jihi / tiang langsung mencapai atap dan sekaligus sebagai tempat menopangnya Handaran. Dinding kamar tidur ini masih asli dan pemasangan yang teratur tanpa menggunakan paku tapi menggunakan pasak dari ulin. Sedangkan dinding pada bagian belakang ruang tamu sudah tidak rapat lagi, hal ini diakibatkan usia bangunan yang sudah tua, dan belum pernah diganti/direnovasi. Berbeda pada tampak bagian depan yang terlihat masih bagus, karena sudah direnovasi. Guntung sebagai tiang dinding yang dipasang berdiri di setiap sisi rumah Betang ini. Habantang dipasang disekeliling rumah, sejajar dan berhimpitan dengan dinding.

81


Gambar Jihi yang menerus ke atap dan berfungsi untuk menopang Handaran (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

Gambar foto Guntung (kayu vertikal) dan Hambatang (kayu horizontal). Handaran (Sumber : Dokumentasi hasil survey)

82


Gambar Tampak Depan, Tampak Belakang dan Potingan Memanjang (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil survey)

83


Gambar Tampak Samping Kanan, Tampak Samping Kiri dan Potongan Melintang. (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil survey)

84


Gambar Isometri Betang Tumbang Gagu. (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil survey)

Gambar Ilustrasi 3D Hejan Utama Betang dan Hejan sekunder. (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil survey)

85


Gambar ilustrasi 3D tampilan Depan dan Belakang. (Sumber : Digambar ulang berdasarkan hasil survey)

86


5 BETANG TUMBANG MALAHOI oleh :

Elwido Sinaga dan Andreas Dosen Pembimbing : Doddy Soedigdo

Desa Tumbang Malahoi terletak di Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas tepatnya ditepian Sungai Baringei yang merupakan anak sungai rungan(cabang sungai Kahayan). Ditinjau dari pembagian suku dayak, letak desa Tumbang Malahoi ini termasuk dalam suku dayak Ngaju bila ditinjau dari kota Palangka Raya yang merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah, letak desa Tumbang Malahoi ini berada disekitar 250 km ke arah timur laut. Sedangkan Posisi Rumah Betang Toyoi Tumbang Malahoi ini berada sekitar 15 km ke arah utara dari garis kastulistiwa.(sumber :Abdul Fattah Nahan, Situs Cagar Budaya di Kalimantan Tengah bagian I) . Untuk pencapaian menuju lokasi desa Tumbang Malahoi dapat ditempuh dengan jalan darat maupun jalan Sungai dari PalangkaRaya langsung menuju desa Tumbang Malahoi dengan waktu perjalanan 6 – 7 jam.

5.a

Kondisi Betang Seperti bangunan- bangunan Betang pada umumnya yang ada di Kalimantan Tengah

arah orientasi Bangunan Betang ini menghadap ke sungai yaitu Sungai Baringei (anak dari Sungai Rungan). Posisi Betang membujur sungai panjangnya yakni sekitar tiga puluh tujuh meter (termasuk dapur dan selasar) dengan lebar sepuluh meter. Kerusakan – kerusakan yang

87


didapati pada Betang ini sejak Betang ini dibangun antara lain : Dinding kamar (bahan dari kulit kayu Pendu), Guntung (Kayu Rompeng), Atap Sirap (Kayu Ulin), Gelagar dan lantai (Kayu Ulin) serta beberapa Tiang akibat korosi.

5.b

Sejarah Rumah Betang Rumah Betang Toyoi ini dibangun oleh keluarga besar Toyoi Pandji berserta dengan

menantu dan keponakannya tepatnya di Desa Tumbang Malahoi yang diperkirakan pada tahun 1869. Toyoi dan keluaga dulunya tinggal di Desa Mandehan yang jaraknya 2 km dari desa Tumbang Malahoi. Namun karena Desa Mandehan itu lokasinya berada di perbukitan sehingga tidak memungkinkan untuk biasa dikembangkan maka Toyoi dan Keluarganya berpindah menuju Desa Tumbang Malahoi. Pada saat itu di Desa Tumbang Malahoi sudah ada berdiri bangunan Huma Hai Damang Singa. Damang Singa menurut cerita warga kampung merupakan seorang Tokoh Adat/ Damang yang sangat terkenal pada saat itu. Sementara sisa – sisa peninggalan bangunan Huma Hai Damang Singa sekarang sudah tidak biasa dilihat karena pada tahun 1950 an sudah runtuh/ rusak berat karena dimakan usia, dan Material – material bangunan yang tersisa sudah hilang diambil oleh warga sekitar.

Gambar : Toyoi, kiri berdiri, beserta keluarga (Sumber ; Dolumentasi Hasil Survey Kelompok) Adapun Silsilah Keturunan Toyoi seperti sebagai berikut :

88


Ongko Langit Sahui Nyai Mulung Tanggalo ng Jaranga n Sangia ng

Sange n

Hangkung an

Kalun Benan g

Panta u Unah

Saluh

Umban Bulau Pato n

Nuh Lalean

Jarangan Manya ng

Daran g Tingang Lenjun Taliu Antang Harue Darung Tengku Pangkit Langgar Bungai Toyoi Panji

Gambar : Skema Silsilah Keturunan Toyoi (Sumber : Hasil Survey Kelompok)

89


Dalam proses pembangunanannya Betang Toyoi memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun dimana selama 7 tahun Toyoi beserta anak dan keponakannya mengumpulkan material bangunan serta menyiapkan alat yang diperlukan dalam pembangunan dan selebihnya merupakan proses pembangunan fisik bangunan. Pada tahap pembangunannya proses pembangunan ini di Koordinir oleh Toyoi Panji dengan di Bantu oleh : 1. Jajou (anak Toyoi) 2. Darau (Keponakan Toyoi) 3. Panyat (anak Kandung) 4. Tihang (menantu)

5.c.. Periode Pembangunan

5.c.1. Pengumpulan Bahan Sebelum Toyoi melaksanakan tujuannya untuk membangun Betang dimana Betang ini nantinya dapat menampung seluruh keluarganya kelak. Toyoi beserta anak dan keponakannya mengumpulkan Bahan serta material bangunan. Untuk 4 tiang yang besar yang berada ditengah Betang didapatkan di daerah Bukit Tangkiding di Hulu Sungai Baringei yang di cari oleh Darau (Keponakan Toyoi) yang berada di Selatan desa Tumbang Malahoi. Animar (penghuni Betang), Awalnya untuk tiang besar tersebut ada 5 namun namun pada saat ditarik diatas bukit oleh Darau satu buah tiang itu jatuh kebawah jurang dan hanya 4 (empat) yang berhasil dibawa. Untuk material lainya seperti silap ulin dibuat di Sungai Dahiri yaitu anak Sungai Baringei. Toyoi serta anak, keponakan serta menantunya membawa alat bangunan menggunakan rakit selama 3 bulan. Adapun bahan – bahan yang berhasil dikumpulkan yaitu sebagai berikut : 1. Tiang / tonggak terbuat dari ulin 2. Sloof dan gelagar dari kayu ulin. 3. Bapahan, handaran, gording, tulang bubungan kaku. 4. Kasau dan reng dari kayu Bangkirai Tembaga. 5. Atap dari kayu ulin serta menggunakan pasak kayu ulin. 6. Lantai terbuat dari papan kayu bataran.

90


7. Hejan terbuat dari kayu ulin lampahung. 8. Dinding terbuat dari Kayu Pendu dan kulit kayu Langise.

5.c.2. Proses Pembangunan Sebelum membangun Betang diperkirakan Toyoi sebagai orang yang mengagas ide dalam membangun Betang sudah mempunyai bayangan mengenai Bentuk Betang yang akan dibangun nantinya. Terlebih lagi pada zaman itu di desa Tumbang Malahoi sudah ada berdiri Huma Hai Damang Singa

Gambar Sketsa Betang Toyoi (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

A. Upacara/ Ritual Sebelum Mendirikan bangunan. Sebelum mendirikan bangunan terlebih dahulu mengadakan suatu upacara yang disebut Marasih Petak dan Manawur sahut. Pengertian Marasih petak ialah memeriksa atau membersihkan tanah atau perwatasan, memgukurnya serta membuat patokan diatas tanah dimana bangunannya akan didirikan. Pada saat biasanya dilakukan upacara kecil yang disebut Marasih Petak. Menurut kepercayaan orang jaman dahulu bahwa setiap tempat yang baru, baik tanah, pepohonan, ada dihuni atau dijaga oleh makhluk jahat. Oleh karena tempat tersebut mau

91


dipergunakan oleh manusia untuk mendirikan bangunan/ rumah penghuni yang sudah menempati tempat itu dimohon berpindah tempat dan jangan menggangu ketenangan orang yang akan menempati rumah itu kelak. Oleh karena itu disamping memindahkan makhluk halus tersebut, juga diberi makanan dalam bentuk sesajen yang sudah disediakan oleh orang yang akan mendirikan bangunan. Manawur Sahur, upacara ini dilakukan pada waktu orang akan pergi baramu yaitu pergi kehutan mencari bahan – bahan selengkapnya untuk membangun yang disebut Baramu. Alat – alat yang digunakan adalah benda tajam seperti parang dan beliung, karena mereka melakukan pekerjaan yang cukup berbahaya, yaitu menebang pohon dan memotong kayu untuk bangunan yang akan didirikan maka mereka menawur sahut ( bernazar) agar mereka selama berada dihutan terhindar dari malapetaka atau kecelakaan seperti terluka oleh senjata tajam, tertimpa kayu atau digigit binatang buas. Upacara ini sekalipun kecil dan sederhana, namun maknanya terutama bagi mereka yang melakukan cukup besar. Lokasi dimana bangunan rumah betang akan didirikan nampaknya lebih menekan pada pertimbangan aspek religius. Yang sebenarnya secara tidak disadari sudah tercakup aspek – aspek lain seperti kesehatan, keadaan alam dan lain – lain. Misalnya kalau mendirikan rumah harus menghadap Pambelum Andau (arah matahari terbit ) sama halnya dengan bangunan rumah betang toyoi ini yang menghadap kearah timur serta berorientasi kearah sungai. Agar penghuninya hidup berkembang dan mempunyai kekayaan yang berlimpah, serta jauh dari segala macam penyakit. Padahal secara ilmiah memang betul kalau rumah rumah mengahadap matahari terbit, maka dari segi kesehatan sangat baik.

B. Mendirikan Bangunan Bagian Bawah Bahan – bahan utama yang diperlukan pada bagian bawah suatu Betang adalah sebagai berikut : 

Jihi yaitu semacam tongkat yang tinggi, yaitu dipasang pada setiap sudut serta pada bagian panjang rumah/ bangunan. Jihi inilah yang menentukan kekuatan pondasi bangunan.

Tungket yaitu untuk membantu jihi sebagai pondasi atau penguat bagian lantai, tungket dipasang dibagian – bagian tengah dibawah lantai yaitu dibagian yang tidak dipasang jihi.

92


Bahat (sloop) yaitu kalau dibangunan beton, bahat sama dengan dengan sloop yaitu fungsinya untuk menerima beban seperti beban dinding dan beban lantai.

Gahagan (gelagar), gahagan dipasang diatas bahat. Fungsinya adalah sebagai penahan langsung dari lantai.

Laseh (lantai), lantai juga terbuat dari bahan kayu keras seperti kayu tabalien, kayu kahui, kayu lanan dan kayu karuing.

Setelah bahan untuk keperluan bagian bawah terkumpul, maka ditetapkan waktu mendirikan bangunan. Mendirikan bangunan biasanya dilakukan pada saat dini hari sekitar pukul 04.00. hal ini dilakukan lebih bersifat kepercayaan dan sedikit dengan upacara kecil. Pertama – tama tanah digali untuk meletakan jihi, kemudian untuk menanam tungket. Setelah selesai penggalian menurut jumlah keperluannya maka, yang pertama didirikan adalah jihi yaitu dimulai disudut – sudut bangunan. Menurut kepercayaan suku dayak ada istilah jihi bakas (tertua/ sulung) dan ada jihi busu ( bungsu). Sehingga pendirian jihi dilakukan berturut – turut mulai jihi bakas dan diakhiri dengan jihi busu. Untuk Jihi Bakas terletak ditengah bangunan Betang yang membentuk formasi empat titik bujur sangkar. Setelah keempat tiang setelae empat tiang utama ini dibangun kemudian dipancang Jihi berikutnya berjejer mengikuti arah aliran sungai yang secara linear sampai semua kebutuhan tiang terpenuhi. Setelah jihi semua terpasang , baru didirikan tungket pada lobang yang sudah tersedia. Jumlah tungket yang diperlukan dalam suatu bangunan menurut luas bangunan tersebut. Bentuk jihi pada jaman dahulu berbentuk bulat dan pada bagian tengah jihi diberi lubang sekitar 10 – 15 cm, ini dimasudkan tempat meletakan bahat (sloop). Proses selanjutnya setelah jihi dan tungket terpasang, maka dipasang lah bahat(sloop). Jaman dahulu bahat tidak boleh bersambung sebab menurut kepercayaan kehidupan yang mendiami bangunan tersebut tidak terputus – putus melainkan selalu bekecukupan

93


Bahat

Jihi

Bahat

Jihi

Gambar Sambungan Jihi dengan Bahat (Sumber : Syahrozi)

94


Semua bahan (sloop)dipasang diatas tungket, sedangkan pada baris timur-barat, utaraselatan ujungnya menancap pada lobang yang terdapat pada tengah jihi. Setelah semua bahat terpasang maka diatas bahat atau sloop dipasanglah gahagan (gelagar), yang dipasang dalam bentuk melintang. Selesai pemasangan gahagan, biasanya proses selanjutnya langsung pemasangan bagian atas, sedangkan pemasangan lantai dilakukan kalau bagian atas dan atap sudah terpasang.

C. Mendirikan Bangunan Bagian Tengah Beberapa bahan yang diperlukan untuk bagian tengah bangunan Betang adalah sebagai berikut : 

Guntung, dalam bahasa Indonesia guntung sama dengan tiang dinding yaitu dipasang berdiri disetiap sisi rumah. Guntung menghubungkan antara bahat ( Sloof) disetiap sisi dengan handaran (Mrplat). Disamping fungsi guntung sebagai penentu kuatnya kontruksi bagian tengah juga berfungsi tempat menempelnya dinding

Habantang dinding, dipasang sekeliling rumah sejajar dan berhimpitan dengan dinding. Banyaknya baris habantang dinding tergantung dengan tingginya rumah bagian tengah. Biasanya paling banyak tiga baris habatang dinding untuk satu rumah.

Dinding , kayu yang digunakan adalah Kulit kayu Pendu diperoleh di hutan bukit Tangkiding. Untuk meletakan dinding pada guntung atau jihi adalah dengan pasak kayu (bukan paku). Setelah bahan – bahan yang digunakan untuk bagian tengah sudah terkumpul, pertama –

tama yang dipasang adalah guntung. Guntung didirikan bertumpuan pada lambang (bawah) dan melekat pada handaran (atas), cara pemasangan lebih dahulu dengan membuat lobang pada lambang (sloop) sesuai dengan keperluan banyaknya guntung. Begitu pula pada handaran dibuat lobang menghadap kebawah, banyak dan jarak juga tergantung dengan jumlah guntung. Kalau semua telah dibuat maka tinggal memasang pada tempatnya masing – masing. Setelah memasang guntung dalam arti sudah dianggap kuat lengkap dengan pasak maka proses selanjutnya mulai memasang habantang dinding. Pemasangan dilakukan kemudian , setelah bagian atas termasuk atap sudah selesai dipasang.

95


Gambar Dinding Betang berbahan Kulit Kayu (Sumber : Syahrozi)

D. Mendirikan Bangunan Bagian Atas Bahan – bahan yang dipergunakan untuk bagian atas bangunan Betang adalah sebagai berikut : 

`Handaran, berfungsi sebagai tumpuan ujung kasau bagian bawah, sehingga praktis berfungsi pula sebagai penahan atau kekuatan bangunan bagian atas.

Handaran

Gambar Handaran yang berfungsi sebagai tumpuan kasau bagian atas (Sumber : Syahrozi)

96


Bapahan (balok tarik), pemasangan bapahan adalah melintang bangunan, tempat pemasangan adalah melintang ditengah bangunan.

Tulang babungan (tulang bubungan), adalah satu – satunya bahan bagian atas yang cukup penting.

Tulang ulet (Tatean Balawau) adalah sepotong kayu yang dipasang memanjang diatas tulang babungan dan dipasang sepanjang rumah sebelah menyebelah. Bapahan/ balok Tarik

Gambar Bapahan yang berfungsi sebagai balok tarik (Sumber : Hasil Survey kelompok 2007)

Kasau dan reng

Tulang Rawung (Nok) Pertama – tama yang dilakukan saat mendirikan bangunan bagian atas,

handaran diberi lobang kira- kira berjarak 1 meter. Gunanya untuk menempel ujung guntungbagian atas yang sudah diberi pangguti. Kemudian pemasangan bapahan ujung kedua bapahan tersebut ditempel/ dilekatkan pada setiap ujung tiang dinding bagian atas yang sudah dibuat pangguti. Sehingga ujung pangguti dimasukan pada lobang yang terdapat pada ujung bapahan. Jumlah bapahan tergantung banyaknya jihi dan jihi

97


dinding. Sedangkan untuk jumlah tulang babungan sama dengan jumlah bapahan, sebab menempatkan tulang banbungan persis diatas bapahan dan jihi dinding. Kasau dipasang bejejer menurut panjangnya rumah/ bangunan. Kedua ujung kasau bagian atas sebelah menyebelah dipasang tidak simetris, melainkan silang. Pemasangan demikian memang ada pengaruh kepercayaan orang dayak jaman dahulu. Pemasangan Nok membujur dari ujung keujung bangunan dan selalu pada ujung tulang ulet (tiang kuda – kuda) atau ujung kaki kuda – kuda.

Tulang Babungan

Gambar : Tulang Babungan (Hasil Survey Kelompok)

Gambar Tulang Banbungan (Sumber : Syahrozi)

Pada Bangunan ini relative tidak banyak berubah dari saat pembangunannya. Adanya beberapa kali Renovasi yang dilakukan hanya diupayakan menggunakan bahan yang sama tanpa merubah bentuk aslinya. Serta pemakaian dinding dari bahan papan Ulin yang berbeda dari aslinya hanya untuk memberikan perkuatan yang lebih baik, dan untuk memperlihatkan tampak aslinya dinding papan Ulin tersebut dilapisi lagi dengan lapisan kulit kayu agar mendekati pada bentuk aslinya Rumah Betang Toyoi hingga sekarang didiami oleh 6 keluarga yang merupakan penghuni tetap yang memelihara Betang tersebut. Sebelumnya Rumah Betang tersebut dihuni oleh banyak keluarga, namun karena para keturunan Betang sudah banyak yang berkeluarga serta mempunyai pekerjaan tetap (Pegawai Negeri) maka tidak memungkinkan untuk tetap tinggal di Rumah Betang tersebut dan adapula keluarga yang sudah berani mandiri karena sudah mampu mendirikan tempat tinggal sendiri di sekitar rumah Betang tersebut.

98


5.d. Kodisi Betang pada masa sekarang Setelah melewati dari masa ke masa hingga sekarang Betang Toyoi mengalami 3 (tiga) kali renovasi yaitu : o

Renovasi Lantai pada tahun 1991. Lantai pada bentang pertama menggunakan kayu bataran yang didapatkan daerah hutan Takinding (hulu sungai baringei). Namun karena kondisi kayu yang sudah tua dan sudah tidak layak untuk digunakan maka lantai diganti dengan menggunakan bahan kayu ulin. Agar lantai tersebut lebih kuat serta kokoh.

o

Renovasi dinding pada tahun 1993 dinding yang awalnya hanya menggunakan kulit kayu pendu. Karena kulit kayu tersebut sudah dimakan usia serta kurang layak untuk tetap digunakan maka oleh pemerintah setempat atas usulan oleh penghuni Betang maka dinding kayu diganti menjadi dinding kayu ulin. Agar terlihat bentuk dinding tetap terlihat menyerupai aslinya maka dinding kayu ulin dilapisi kulit kayu pendu.

o

Renovasi Dapur pada tahun 1997. Setelah sebagian besar para keturanan penghuni Betang Toyoi sudah bisa hidup mandiri serta sudah berkecukupan sehingga bisa membangun tempat tinggal sendiri maka penghuni yang tinggal di dalam rumah betang semakin berkurang jadi pada Dapur bagian kiri dilakukan sedikit renovasi yaitu dilakukan sedikit pengurangan luasan ruang karena factor kebutuhan ruang yang berkurang mengingat penghuni yang tinggal dibangunan bagian kiri lebih sedikit dibanding penghuni betang di bagian kanan.

Sedangkan untuk luasan kamar ada beberapa kali perubahan yang dikarenakan factor penghuni yng tinggal didalam.

99


Dulunya pada kamar ini sama besar karena orang yang tinggal 8 – 10 orang karena makin lama penghuni yang tinggal didalamnya semakin sedikit maka kamar ini di rubah sedikit menjadi lebih kecil

Kondisi Betang Sekarang

Gambar Denah Betang Dulu dan Saat ini (Sumber : Syahrozi)

100


5.e. Ciri-ciri fisik bangunan Betang Toyoi Tumbang Malahoi Berdasarkan hasil survey, menurut kami hal-hal yang menjadi ciri-ciri fisik bangunan adalah sebagai berikut:

1. Hampir semua bangunan merupakan arsitektur kayu.

Gambar foto tampak depan (Sumber : Syahrozi)

2. Hampir semua bangunan mempunyai penekanan pada bentuk atap

Gambar foto perspektif keseluruhan (Sumber : Syahrozi)

101


3. Hampir semua bangunan memperlihatkan struktur rangka dengan empat tiang sebagai penunjang utama

Sumber : Hasil Survey Kelompok

Gambar sketsa posisi 4 tiang utama (Sumber : Syahrozi)

4 tiang Utama

Dinding berfungsi sebagai penyekat dan sifatnya ringan, menggunakan konstruksi kayu system knock down

4. Hampir semua rumah betang ini memiliki ruang pertemuan utama atau ruang sosial. Ruang Pertemuan

102


Ciri-ciri Rumah Betang Toyoi Tumbang Malahoi : 1. Memiliki nilai kekeramatan, nilai perlambang atau symbol 2. Bentuk rumah simetris menggambarkan keseimbangan atau keselarasan yang umum dipakai dalam hidup 3. Pembagian ruang dalam rumah betang merupakan ungkapan dan perlambang tujuan batin hidupnya 4. Pemilihan material dan ornamen berdasarkan pertimbangan batiniah 5. Orientasi bangunan memiliki makna

5.f Tata Massa dan Orientasi Bangunan Tata massa bangunan Betang yang didirikan oleh Toyoi Panji di Tumbang Malahoi ini adalah sebagai berikut 1. Bentuk panggung dan berupa rumah panjang dihuni oleh 100 – 200 jiwa. 2. Panjang dimensi rumah antara 36 meter 3. tinggi lantai dari AS tanah 2,29 meter 4. kontruksi bangunan dari kayu. Orientasi bangunan Betang Toyoi Panji ini menghadap kearah sungai.

Gambar Denah Site Plan kondisi saat ini (Sumber : Syahrozi)

103


5.g. Elemen Arsitektural Dan Material Pada Rumah Betang Toyoi di Tumbang Malahoi ini, elemen-elemen arsitekturalnya meliputi : 1. Tangga (hejan)

Gambar Foto Hejan (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

Pada rumah Betang Tumbang Malahoi terdapat tiga hejan. Hejan yang berada di tengah merupakan hejan utama. Hejan ini dibuat oleh Engkan dan Bangkan bersaudara di Sungai Hanye hejan ini terbuat dari kayu Ulin Lampahung. Dulunya Hejan/ tangga dikawal oleh patung harimau sebanyak 2 buah yang berada di sisi hejan. Ada dua hejan tambahan di tumbang malahoi, diduga karena pengaruh adanya peraturan pemerintah belanda.

Gambar Foto Hejan (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

104


Gambar Foto Hejan (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

2. Tiang atau tonggak. Pada rumah betang tumbang malahoi tiang atau tonggak rumah tingginya sekitar 2,29 m. ditinjau dari peletakan tiang atau tonggak pada rumah betang tumbang malahoi ini tiangnya ditanam dengan aturan pola grid akan tetapi jarak antara tiang tidak sama.

Gambar Foto Hejan (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

105


3. Lantai Lantai pada rumah betang tumbang malahoi terbuat dari papan kayu Bataran. Ketinggian lantai adalah sama tingginya pada ruang tertentu lantai papan ini dilapisi dengan lampit. 4. Dinding Dinding pada rumah Betang terbuat dari papan kayu pada dinding luar yang dilapisi kulit kayu Pendu 5.

Pintu dan Jendela Pada rumah betang ini pintu dan jendela dibuat kecil. Pada pintu dan jendela ini terdapat

daun pintu dan jendela sehingga bilal malam hari pintu dan jendela dapat ditutup

Gambar Foto Lantai Kayu dan Lantai Kayu yang dilapisi Lampit rotan (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

106


Gambar Foto Dinding (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

Gambar Foto Jendela di Betang Tumbang Malahoi (Sumber : Hasil Survey Kelompok 2007)

107


4. Atap Atap pada rumah betang ini berbentuk pelana dengan kemiringan 30 derajat. Penutup atap yang digunakan adalah sirap kayu ulin yang didapatkan didaerah Sungai Dahiri anak sungai Baringei

5.

Material Material bahan bangunan yang digunakan adalah seluruhnya terbuat dari kayu yaitu kayu

ulin kulit kayu Pendu,kayu Bangkirai Tembaga, kayu bataran, kayu lagise.. Untuk sambugan pada sistem konstruksi digunakan paku kayu atau pasak terbuat dari kayu ulin.

5.h. Tata Ruang Luar Rumah Tradisional Betang Tumbang Malahoi Pada rumah betang tumbang malahoi elemen arsitektural yang terdapat pada halaman rumah betang, sandung dan sapundu rumah betang tumbang malahoi berada dihalaman depan tepatnya berada disisi kanan hejan utama.

1. Di belakang betang ada balai kecil tempat menyimpan lesung yang digunakan untuk menumbuk padi

108


Gambar Balai kecil tempat menyimpan Lesung untuk menyimpan Beras di bagian Belakang Btang (Sumber : Hasil Survey kelompok 2007)

2. Dihalaman depan atau dihalaman belakang rumah betang biasanya terdapat sandung yaitu tempat menyimpan tulang-tulang orang yang telah meninggal dan telah diadakan upacara tiwah.

109


Gambar foto Sandung didepan Betang (Sumber : Hasil Survey kelompok 2007)

3. Di halaman rumah betang juga terdapat sapundu yaitu tiang yang dibuat semacam patung yang fungsinya untuk mengikat binatang-binatang yang akan di korbankan pada suatu upacara adat

Gambar foto Sandung dan Sapundo yang ada di depan Betang (Sumber : Syahrozi)

110


5.i Tata Ruang Dalam Tradisional Betang Tumbang Malahoi Pada ruang dalam rumah betang tumbang malahoi terdapat ruang tersebut diatas yaitu kamar-kamar dan ruang pertemuan. Pada rumah betang tumbang malahoi ini juga terdapat dua ruang yang terletak pada kedua sisinya. Kedua ruangan ini juga berhubungan langsung dengan hejan.

Gambar foto Balai (Ruang Keluarga) dan foto salah satu kamar Betang (Sumber : Hasil Survey kelompok 2007)

111


Gambar Denah Betang saat ini (Sumber : Syahrozi)

Gambar Tampak dan Potongan Memanjang Betang saat ini (Sumber : Syahrozi)

112


Gambar Tampak Samping kiri dan kanan saat ini (Sumber : Syahrozi)

113


Gambar potongann Melintang saat ini (Sumber : Syahrozi)

114


6

.

BETANG TUMBANG ANOI 1894 oleh :

Wijanarka (Artikel ini pernah terbit di harian Kalteng Pos berjudul Arsitektur Tumbang Anoi pada tanggal 24 September 2014)

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan yang berjudul Kotta Tapen Dan Kotta Kaharingan yang terbit di Kalteng Pos pada 20 Mei 2013. Kotta (double T) merupakan tipe arsitektur Dayak tempo dulu yang terdiri dari beberapa rumah panggung dan berada dalam suatu benteng. Dari hasil expedisi orang-orang Belanda dan Jerman ke pedalaman Borneo, terutama di sepanjang S Kahayan, S Kapuas Murung dan S Barito yang kemudian oleh mereka diilustrasikan dalam bentuk gambar, terlihat bahwa dalam benteng terdapat beberapa tipe rumah panggung antara lain Rumah Panjang, Rumah Besar (Huma Hai), Rumah Tinggi (Huma Gantung) dan ada juga rumah panggung tapi tak tinggi. Ilustrasi hasil expedisi tersebut juga menggambarkan adanya ruang terbuka di dalam benteng yang sepertinya sengaja dirancang berada di antara rumah-rumah tersebut. Salah satu fungsi ruang terbuka tersebut adalah sebagai wadah kegiatan ritual. Arsitektur Dayak tempo dulu tipe Kotta ini berkembang hingga pertengahan abad ke -17. Kampung Tumbang Anoi merupakan salah satu perkampungan Dayak di DAS Kahayan. Pada tahun 1894, di Tumbang Anoi diadakan Rapat Damai yang waktu itu dihadiri 145 utusan. Damang Batu yang tinggal di Kampung Tumbang Anoi, waktu itu ditugasi untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan Rapat Damai di Tumbang Anoi. Waktu itu usia

115


Damang Batu 73 tahun. Bila melihat usia Daman Batu tersebut, bisa dipastikan Kampung Tumbang Anoi itu berdiri sebelum pertengahan abad ke – 17. Dan bila dikaitkan dengan Tipe Arsitektur Dayak tempo dulu, khususnya tipe Kotta, muncul pertanyaan : Apakah Arsitektur Tumbang Anoi juga merupakan Tipe Kotta, yang terdiri dari banyak rumah panggung dan berbenteng ?. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan foto-foto saat berlangsungnya Rapat Damai tahun 1894. Dunia maya, kini memang sangat membantu dalam mencari foto-foto tempo dulu. Dalam 5 (lima) tahun ini, kita dapat dengan mudah mencari dan melihat foto-foto tempo dulu melalui internet. Melalui internet kita bisa melihat 10 foto saat berlangsungnya Rapat Damai di Tumbang Anoi tahun 1894 tersebut. Dari foto-foto tersebut kita bisa melihat tipe arsitektur Dayak apa saja yang ada di Tumbang Anoi saat itu.

Gambar Foto 1 Kampung Tumbang Anoi Dilihat dari Sungai Kahayan (Sumber : https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-60010390#/query/47ba437c-38bc433d-8186-d492afb963d2 )

116


Foto 1 memperlihatkan bahwa di kampung Tumbang Anoi pada posisi tangkapan kamera foto terlihat ada 3 (tiga) tipe Rumah yaitu 1 Tipe Rumah Panjang, 2 Tipe Rumah Besar dan 1 Tipe Rumah Panggung tak tinggi. Tinggi lantai rumah untuk Tipe Rumah Panjang dan Rumah Besar tingginya cenderung sama. Bila membandingkan tinggi orang yang ada di foto tersebut dengan tinggi lantai bangunan, kira-kira tinggi lantai Rumah Panjang dan Rumah Besar tersebut sekitar tiga kali tinggi orang. Foto 2, memperlihatkan perbandingan sketsa ilustrasi interior Kotta Kaharingan (kiri) dengan foto interior Kampung Tumbang Anoi tahun 1894 (kanan). Sketsa ilustrasi Kotta Kaharingan tersebut merupakan hasil expedisi Schwaner di pedalaman Borneo tepatnya di Kapuas Murung. Diceritakan oleh HG Maks, panjang Kotta Kaharingan adalah 130 kaki, dikelilingi tiang-tiang kayu besi setinggi 17 meter, dan dihuni 250 jiwa, dulunya Kotta Kaharingan ini kediaman Tumenggung Hoendjon. Sketsa ilustrasi interior tersebut muncul di dalam bukunya yang terbit tahun 1864. Dalam sketsa interior Kotta Kaharingan, terlihat ada 3 tipe rumah Dayak tempo dulu yaitu Tipe Rumah Besar, Tipe Rumah Tinggi dan Tipe Rumah Panggung tak tinggi. Dalam ilustrasi tersebut terlihat juga bangunan panggung namun kecil yang kemungkinan digunakan untuk tempat makanan / padi. Dari ilustrasi interior Kotta Kaharingan ini, dapat diketahui adanya ruang terbuka yang dibentuk oleh rumah-rumah panggung yang dengan kata lain ruang terbuka tersebut berada di dua deretan rumah-rumah panggung. Dalam ilustrasi ini tergambar juga semacam acara ritual dengan kerbau yang masih diikat.

Gambar Foto 2 Perbandingan Ilustrasi Interior Kotta Kaharingan (1859) dan Interior Kampung Tumbang Anoi 1894.

117


Dari Foto 2 sisi kanan, terlihat juga adanya ruang terbuka yang tercipta diantara deretan rumah-rumah. Dalam foto 2 sisi kanan tersebut, terlihat juga sedang diadakan acara ritual dan terlihat 3 ekor kerbau yang sudah tergetak di tanah. Kemungkinan, acara ritual yang ada pada foto 2 sisi kanan itu adalah acara pembukaan Rapat Damai Tumbang Anon 1894. Dalam foto 2 sisi kanan, terlihat ada 2 tipe Rumah Dayak tempo dulu yaitu, Rumah Besar dan Rumah Panggung tak tinggi. Dalam interior Kampung Tumbang Anoi tersebut, terlihat juga semacam jalan titian dan beberapa bangunan kecil yang mungkin juga digunakan untuk menyimpan makanan atau padi.

Gambar Foto 3. Foto saat acara pembukaan rapat rapat damai (Sumber https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-60010390#/query/edcfbd70-559b434f-9801-f14f268f1af8 )

:

Membandingkan foto interior Kampung Tumbang Anoi saat berlangsungnya Rapat Damai tahun 1894 dengan sketsa iliustrasi interior Kotta Kaharingan yang merupakan tipe Arsitektur Dayak tempo dulu, terlihat ada kesamaan arsitektur kampung Tumbang Anoi tersebut dengan tipe Kotta. Kesaman tersebut adalah 1). Terdapat lebih dari satu tipe Rumah Panngung dan 2) Adanya ruang terbuka yang salah satunya sebagai wadah kegiatan ritual yang berada di

118


deretan rumah-rumah panggung, dan mungkin bila diteliti lebih mendalam akan diketahui lagi kesamaan-kesamaan lainnya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Arsitektur Kampung Tumbang Anoi itu dulunya sebelum tahun 1894 merupakan tipe Kotta atau dalam bahasa Ngaju disebut Bakota. Kini pertanyaan, mana dinding bentengnya ?. Foto 3 adalah foto yang memperlihatkan acara pembuakan Rapat Damai Tumbang Anoi 1894. Tempat berkumpulnya para undangan / utusan yang terlihat dalam foto 3 tersebut berlatar belakang Rumah Panggung tak tinggi. Bila kita amati secara detail foto 3, terutama pada sisi kanan, terlihat dinding kayu bulat yang tingginya sekitar 2,5 kali tinggi orang yang ada disebelahnya. Bila dihubungkan dengan foto 1, dinding kayu bulat tersebut berada pada sisi paling kanan. Dengan demikian, dinding kayu bulat yang terlihat pada foto 3 ini merupakan sisa-sisa benteng. Adanya sisa-sisa dinding benteng ini, dapat dipastikan bahwa Tumbang Anoi, dulunya merupakan Kotta atau dengan kata lain merupakan perkampungan yang terdiri kumpulan banyak rumah atau bangunan dan dikelilingi benteng. Kini muncul pertanyaan : 1). Sejak kapan Tumbang Anoi itu berbenteng ?, dan 2). Sejak kapan dinding benteng di Tumbang Anoi tersebut dibongkar ?. Untuk mengetahui jawaban nomer 1, kiranya perlu penelusuran lebih lanjut. Untuk dugaan jawaban nomer 2 : mungkin menjelang dilaksanakan Rapat Damai, benteng tersebut dibongkar (persiapan pelaksanaan Rapat Damai memakan waktu 6 bulan). Pertanyaan selanjutnya, apakah kampung Tumbang Anoi sebelum kondisi th 1894 itu seluruhnya berbenteng ?. Atau yang berbenteng hanya sebagian saja, yaitu pada area cikal bakal kampungnya yang mungkin dalam perkembangannya, akhirnya benteng pada area cikal bakal kampungnya tersebut dibuka karena kampung tumbuh dan berkembang secara arsitektural seperti pada kondisi tahun 1894. Kampung Tumbang Anoi, kini keberadaannya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan Indonesia, khusunya di Kalimantan. Di lihat dari sisi arsitektural, kampung Tumbang Anoi pada tahun 1894 telah mencerminkan sekumpulan beberapa tipe arsitektur Dayak masa lampau. Oleh karennya merekonstruksi atau membangun kembali kampung Tumbang Anoi semirip mungkin seperti kondisi saat dilakukan Rapat Damai 1894 perlu dilakukan. Dan dalam pembangunan kembali kampung Tumbang Anoi semirip mungkin tersebut sebaiknya menggunakan bahan bangunan, menerapkan cara pembangunan dan menerapkan teknik konstruksi semirip masa lalu. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, bila akan dibangun semirip kampung Tumbang Anoi tahun 1894, lokasi pembangunan berada di kampung Tumbang Anoi saat ini atau di luar Kampung Tumbang Anoi ?. Penelitian-penelitian

119


tentang penggunaan bahan bangunan, cara pembangunan rumah secara adat dan teknik konstruksi Arsitektur Dayak tempo dulu juga harus dilakukan dalam jangka pendek kedepan guna mendukung Rekonstruksi Perkampungan Tumbang Anoi tahun 1894 atau Kotta Tumbang Anoi.

Gambar suatu halaman ppt yang memperlihatkan sisa-sisa benteng di Tumbang Anoi saat berlangsung acara Rapat Damai

120


PENUTUP : BETANG DAN KOTTA Oleh :

Wijanarka (Tulisan tentang Kotta dalam Penutup ini merupakan Artikel yang pernah terbit di harian Kalteng Pos tanggal 12 Mei 2013, berjudul Kotta Tapen Dan Kotta Kaharingan)

Membaca dan mempelajari Arsitektur Betang produk mata kuliah Seminar Semester VII tahun 2007, dalam laporannya belum ada informasi tentang arti kata Betang dan berasal dari manakah kata Betang tersebut. Selain itu ada yang menarik bahwa diinformasikan beberapa Pendiri Betang berasal dari Kotta (Kampung Dayak Berbenteng), yaitu Pendiri Betang Tumbang Malahoi yang berasal dari Kotta Mandehan dan Pendiri Betang Tumbang Gagu yang berasal dari Kotta Rawi. Dengan belum adanya informasi tentang arti dan asal asul kata Betang tersebut, dalam cacatan akhir ini mendeskripsikan tentang penelusuran asal usul kata Betang dan artinya. Selain itu dalam penutup ini, diinformasikan juga secara sekilas tentang Arsitektur Kotta (Kampung Dayak Berbenteng) yang ada di Kalimantan Tengah.

Betang : Asal Usul Kata Dan Arti Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, tulisan sub bab Betang Asal Usul Kata Dan Arti ini diawali dengan pertanyaan : Sejak kapan kata Betang muncul dalam buku ?. dari penelusuran buku-buku kuno melalui Google Book, sampai saat ini diperoleh 4 (tiga) buku yang terlolong lama yang menyebutkan kata Betang. Pertama, buku Borneo Beschrijving van het stroomgebied van den Barito yang terbit tahun 1853 yang ditulis oleh CALM Schwaner. Buku ini semacam buku harian

121


perjalanan yang memceritakan expedisi Schwaner di pedalamam Kalimantan antara tahun 1843 sampai 1847. Dalam buku ini Schwaner membuat tabel nama Kampung dan Kotta yang ada di DAS Barito, DAS Kahayan dan DAS Kapuas. Pada tabel tersebut ada tertulis 2 nama kampung yang bernama Betang yaitu di Distrik Kahayan Hulu dan Distrik Bakumpai. Diinformasikan oleh Schwaner, kampung Betang yang ada distri Kahayan Hulu. Kedua, buku kamus bahasa Dayak Ngaju – Jerman yang berjudul DajackschDeutsches Worterbuch. Kamus ini disusun oleh AUG Hardeland, terbitkan oleh Frederik Muller: Druck Von CA Spin and Sons, Amsterdam, pada tahun 1859. Dalam kamus tersebut, dituliskan bahwa: �Betang, sebuah rumah panjang, tapi tidak lebar dan agak rendah - (kebanyakan di pedalaman Kalimantan dapat orang temui rumah -rumah seperti itu), - Babetang, betabetang, panjang, sempit dan rendah; (Rumah-rumah)�

Gambar foto screen dari 3 (tiga) buku yang menuliskan kata Betang

122


Buku ketiga adalah Kamus Lokasi yang terbit dalam tahun 1861. Dalam kamus ini diinformasikan : Betang, desa di bagian selatan dan timur Kalimantan, Distrik (Kecamatan) Bekompai. Penduduknya 150, mengakui doktrin Mohammad (beragama Islam). Betang, desa di bagian Selatan dan Timur Kalimantan, Distrik (Kecamatan) Kahayan Hulu. Memiliki 7 rumah dan 200 penduduk (1853) Dalam buku ketiga tersebut, terdapat tulisan tahun yaitu 1853. Tahun 1853 adalah tahun buku Schwaner terbit, sehingga kata Betang yang ada dalam buku Kamus Lokasi ini mengacu kepada buku karya Schawer. Mengacu kepada 3 (tiga) buku tersebut, diketahui bahwa Betang mempunyai 2 (dua) arti yaitu Betang sebagai nama Desa dan Betang yang berarti nama suatu bentuk bangunan di yang waktu itu banyak ditemui di pedalaman Kalimantan. Dari salah satu buku tersebut, menyebutkan bahwa Betang bentuk bangunannya panjang dan tidak lebar, sehingga secara proporsi, perbandingan panjang dan lebar bangunanya adalah sangat panjang dimensi panjang bangunannya daripada panjang dimensi lebarnya. Dengan demikian, mengacu kepada 3 (tiga) buku tersebut, dapat diketahui bahwa kata Betang berasal dari nama suatu Kampung dan Betang berarti Rumah yang bentuknya bertiang dengan dimensi panjang sangat besar daripada dimensi lebarnya. Namun demikian, kiranya masih perlu penelusuran lebih lanjut dan lebih mendalam guna mengetahu asal usul kata Betang tersebut dan artinya.

Kotta “31 Maret 1859, jam 7 pagi kami meninggalkan Kotta Baroe, sore jam 2 kami sampai di Kotta Tapen, terdiri dari 4 rumah yang sebagain besar memiliki panjang 100 kaki, kayu besi yang mengelilingi Kotta Tapen ini setinggi 17 meter, dalam rumah tersebut terdapat 21 kamar, yang masing-masing dirancang untuk rumah keluarga lengkap. Kotta Tapen ini dihuni oleh 500 jiwa, dan Dambong Anoem (40 tahun) adalah pemimping Kotta Tapen yang dicintai rakyaknya� “12 April 1859, jam 7 pagi kami berangkat, dan malam hari kami sampai di Kotta Kaharingan. Panjang Kotta Kaharingan adalah 130 kaki, dikelilingi tiang-tiang kayu besi setinggi 17 meter, dan dihuni 250 jiwa. Dulunya Kotta Kaharingan ini kediaman Tumenggung Hoendjon.�

123


Penggalan cerita hasil terjemahan bebas diatas adalah sekelumit catatan HG Maks, Gubernur Sipil Wilayah Dayak Besar dan Dayak Kecil saat di Kotta Tapen dan Kotta Kaharingan, ketika melakukan perjalanan susur sungai Kapuas Murung dan Kahayan yang dilaksanakan pada bulan Maret, April dan Mei 1859. Catatan perjalanan tersebut kemudian dibukukan dan diterbitkan tahun 1861.

Gambar foto screen buku kuno yang menuliskan kata Kotta (atas) dan buku kuno yang membedakan arti kata Kammpung dan Kotta (bawah)

Dalam kontek Ke-Kalimantan-an, tulisan Kotta mulai populer sejak awal tahun 1800 an, ketika orang-orang Belanda, Jerman dan Inggeris mulai mempublikasikan hasil catatan perjalanan expedisi mereka di Pedalaman Borneo. Dalam catatan-catatan mereka, permukiman Dayak tersebut mereka tulis dalam dua tipe, yaitu Kampung dan Kotta. Kampung untuk menunjukan satu atau kumpulan beberapa rumah panggung yang tak mempunyai batas fisik

124


yang jelas, Sedangkan Kotta menunjukkan kumpulan rumah panggung yang mempunyai batas fisik yang jelas berupa palisade atau tonggak-tonggak kayu bulat yang mengelilingi kumpulan rumah-rumah tersebut. Waktu itu, Kotta mereka anggap kota (city) karena keberadaannya lebih besar / lebih luas dan lebih banyak penghuninya daripada kampung (village). Dengan demikian, Kotta adalah kumpulan rumah-rumah panggung yang berada dalam benteng kayu. Pemberitaan tentang Kotta Dayak ini, ternyata telah diinformasikan dalam sebuah artikel yang dipublikasikan dalam Majalah Untuk Literatur Negara Asing (Magazin fßr die Literatur des Auslandes) yang terbit di Berlin pada 30 Oktober 1837. Artikel itu berjudul Ostindien : Die Dayakdal'S auf der Insel Bornes, yang dalam uraiannya, ada sekilas informasi tentang Kotta yang kira-kira terjemahan bebasnya seperti ini : "......dimana ada tiga desa kecil atau kampung yang berdiri bersama dalam sebuah benteng dan palisade setinggi 20 meter itu melingkarinya.....". Waktu itu, sungai Kahayan oleh pemerintah Belanda disebut Sungai Dayak Besar dan S Kapuas Murung disebut Sungai Dayak Kecil. Terlepas dari Kotta, waktu itu, Kahayan oleh mereka para expeditor-expeditor pedalaman Borneo, dalam catatan mereka ditulis Kahaijan, yang mungkin hai dalam kata Ka-hai-jan tersebut berarti besar. Dalam catatan HG Maks, sepanjang sungai Kahayan dan sungai Kapuas Murung yang ia susuri tersebut terdapat 20 Kotta. Keduapuluh Kotta tersebut sempat ia singgahi untuk dilakukan pendataan, terutama pendataan tentang kependudukan. Menurutnya, benteng kayu besi bulat yang mengintari kumpulan rumahrumah yang benbentuk panggung itu tingginya antara 17 – 20 meteran. Keduapuluh Kotta menurut versi Maks ini antara lain : Kotta Baru, Kotta Rawi, Kotta Muroh, Kotta Kurun, Kotta Tapen, Kotta Kaharingan, Kotta Samuhing dan lain-lain. Sebelumnya, Anton Luwig juga melakukan perjalanan susur sungai Kahayan dan Kapuas Murung. Menurut Luwig ini, di sepanjang sungai Kahayan dan Kapuas Murung tersebut ada 29 Kotta, dan yang menarik, catatan perjalanan Luwig ini kemudian dibukukan dan dihiasi dengan beberapa lukisan karya C. Buddingh tentang Kotta Kaharingan. Luwig juga meletakkan lukisan Kotta yang menggambarkan empat rumah besar yang dikelilingi benteng. Lukisan Kotta ini, dalam bukunya ia letakkan pada uraian yg menceritakan Bukit Rawi, Bukit Barah dan Bukit Padandot. Apakah, empat rumah besar yang dikelilingi benteng itu menggambarkan satah satu dari ketiga bukit itu ?. Dan yang menarik lagi, buku Luwig ini dihiasi juga lukisan Kotta di atas bukit terjal. Apakah Kotta diatas bukit terjal ini menggambarkan permukiman berbenteng diatas

125


bukit Batu Suli Kahayan, Kabupaten Gunung Mas ?, yang memang diatas Bukit Batu Suli tersebut ada situs perkampungannya Amoi Rawang. Kotta Tapen dan Kota Kaharingan merupakan dua dari sekibat banyak Kotta yang ada di tepi sungai Kapuas dan sungai Kahayan khusunya, dan umumnya di Kalimantan (di Sarawak juga ada yang pernah mengsketsa Kotta Palangai, namun rumah-rumah panggungnya lebih pendek). Menurut versi HG Mark, Kotta Tapen adalah Kotta yang paling banyak penghuninya dan Kotta Kaharingan merupakan Kotta yang paling bersih diantara Kotta-Kotta yang pernah ia datangi. Selain itu, Kotta Tapen dan Kotta Kaharingan ini sering dibahas dalam buku-buku tentang Pedalaman Borneo yang terbit tahun 1800 – 1900.

Sketsa Kotta Tapen, digambar oleh HV Gaffron tanggal 7 Juni 1845. Tapen kini sebuah desa dekat Pujon.

Mempelajari Kotta Dayak tempo dulu hasil catatan-catatan perjalanan expeditor dari Jerman, Inggeris dan Belanda di pedalaman Borneo, kita dapat mengetahui arsitektural kottanya. Selama ini, dalam dunia pendidikan arsitektur, permukiman di pedalaman Borneo itu dikenal berpola linear mengikuti pola sungai. Adanya Kotta ini, diketahui bahwa pola

126


permukimannya tidak linear akan tetapi menggerombol yang mungkin menggelombol ke satu titik. Dengan adanya penggerombolan rumah-rumah panggung baik berupa Rumah Tinggi (Huma Gantung) maupun Rumah Besar (Betang / Lamin / Balai) berarti kemungkinan juga ada prisnsip penyusunan yang diterapkan, oleh karenanya mungkin memiliki teori desain “kota�. Adanya penggerombolan rumah-rumah panggung dalam benteng, berarti dapat dipastikan adanya ruang terbuka yang sengaja dibentuk yang dibentuk akibat adanya peletakan rumahrumah panggung dalam benteng tersebut. Adanya benteng yang terbuat dari kayu bulat, kemungkinan dikenal juga adanya (semacam) gardu pandang guna melihat suasana atau situasi di luar benteng. Bila saat ini, dalam dunia pendidikan arsitektur dikenal bahwa pola permukiman di pedalaman Borneo itu berpola linear mengikuti pola sungai, dengan adanya Kotta-Kotta ini, kini mumcul pertanyaan : Kapan pola permukiman linear itu mulai berkembang di pedalaman Borneo ?. Kemungkinan, jawabannya adalah ketika Kotta-Kotta itu mulai merobohkan bentengbentengnya. Dan kapankah perkembangan Kotta-Kota ini berakhir ?. Jawabannya belum ada waktu yang pastinya. Menurut HG Mark, Tomenggung Hunjon yang awalnya tinggal di Kotta Kaharingan, pada tahun 1850 membangun sebuah Kotta yaitu Kotta Muroh di tepi sungai Kapuas Murung yang kemudian Kotta Muroh ini menjadi kediaman Tumenggung Hunjon. Kemungkinan juga, hasil rapat damai di Tumbang Anoi juga mempengaruhi berakhirnya perkembangan Kotta-Kotta Dayak tersebut. Ilustrasi sketsa dua Kotta yang sama yang diketsa dalam tahun yang berbeda ini, barangkali dapat menjadi alternatif dasar jawaban kapan berakhirnya perkembangan Kota Dayak Berbenteng.

Gambar Ruang dalam sebuah Kotta, kiri digambar oleh HV Gaffron tahun 1845, dan kanan oleh S Magdelin tahun 1896. Dua sketsa hasil survey dalam tahun yang beda yang memperlihatkan tidak adanya benteng pada survey tahun 1896.

127


Kotta-Kotta Dayak yang ditemui oleh para expeditor-expeditor Jerman, Belanda dan Inggeris saat melakukan perjalanan ke pedalaman Borneo awal tahun 1800 an, dideskripsikan oleh mereka kurang lebih keadaan luar bentengnya seperti yang tergambar dalam sketsa Kotta Tapen. Melihat kota-kota benteng yang pernah dibangun dibelahan bumi ini, yang mana ada juga benteng luarnya yang dikelilingi kanal / parit, jangan-jangan Kotta-Kotta Dayak yang dibangun sebelum Kotta-Kotta yang ditemui oleh para expeditor ini, ada juga yang benteng luarnya dikelilingi kanal / parit (?). Sangat menarik untuk ditelusuri dan kita dipelajari lebih lanjut.

128


DAFTAR PUSTAKA Fery, AN., Adventus, A. 2007. Bentuk Awal Betang Apat Di Murung Raya (Laporan MK Seminar Semester VII). Palangka Raya : Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya. Galipto, D., Novellery., Irawan, D. 2007. Perkembangan Betang Damang Batu Raya (Laporan MK Seminar Semester VII). Palangka Raya : Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya. Sinaga, E., Andreas. 2007. Perkembangan Betang Toyoi Raya (Laporan MK Seminar Semester VII). Palangka Raya : Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya. Syamsudin, M., Sabriansyah, A. 2007. Tinjauan Betang Antang Kalang Di Desa Tumbang Gagu Kecamatan Antang Kalang Kabupaten Kotawaringin Timur Raya (Laporan MK Seminar Semester VII). Palangka Raya : Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya. Syahrozi. 2004. Bentuk Awal Komplek Huma Gantung Buntoi Kalimantan Tengah (Tesis S2). Semarang : MTA Undip. Wijanarka. 2001. Dasar Dasar Konsep Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya (Tesis S2). Semarang : MTA Undip

129


BIODATA EDITOR Wijanarka, ST., MT., lahir di Semarang tahun 1971. Pendidikan S1 Arsitektur diperoleh dari Unika Soegijapranata tahun 1996 dan Pendidikan S2 Arsitektur alur Teori Dan Perancangan Pembangunan Kota dari Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) tahun 2001. Mulai Sepetember 1997, Wijanarka menjadi Dosen Honorer pada Prodi Teknik Sipil Universitas Palangka Raya (UPR). Dan sejak Februari 1998, Wijanarka menjadi Dosen Tetap di UPR. Selama menjadi Dosen Tetap di UPR, Wijanarka pernah diberi tugas sebagai : Sekretaris Jurusan Arsitektur, Ketua Jurusan Arsitektur dan Kepala Laboratorium Arsitektur Kota Dan Kawasan Tepi Sungai. Jabatan Fungsional saat ini Lektor Kepala / Associate Professor (IVa). Aktif menulis naskah buku, empat Buku yang sudah terbit : 1) Sukarno Dan Desain Rencana Ibukota RI Di Palangka Raya (2006), 2). Semarang Tempo Dulu Teori Desain Kawasan Bersejarah (2007), 3) Desain Tepi Sungai Belajar Dari Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya (2008) dan 4). Buku Ajar Arsitektur Amfibi (2019). Lihat : https://sinta.ristekbrin.go.id/authors/detail?id=6154064&view=book Dalam hal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, aktif mengusulkan penelitian ke Simlitabmas Kemenristekdikti. Penelitian skema terapan yang telah dilaksanakan : 1) Inovasi Fondasi Anti Banjir Studi Pengembangan Dan Keandalan Ark’a Modulam Dengan Berbagai Bahan Apung Melalui Uji Model Fisik (2017 – 2019), dan 2). Model Konseptual Kota Berbasis Sungai Pasang Surut Studi Pengembangan Dan Keandalan Ruang Kota Berdasar Modifikasi Kearifan Handil - Saka Sebagai Upaya Mitigasi Kenaikan Muka Air laut (2019). Saat ini sedang riset tentang Uji Tarik, Tekan Dan Plintir Sambungan Multiplek Berpola Huruf W Sebagai Dasar Mewujudkan Inovasi Arsitektur Rumah Veneer / Plywood Berbasiskan Air. Lihat : https://sinta.ristekbrin.go.id/authors/detail?id=6154064&view=research Pada tahun 2007, Wijanarka masuk 100 besar dari sekitar 2000 peserta Sayembara Ide Gila pertamina. Ide yang di hasilkan Wijanarka berupa Ark’a Tidal Energi Modulam Modul Konstruksi Fondasi Rumah Apung Dan Sekaligus Pengubah Arus Pasang Surut Menjadi ListrikSelain itu bersama Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, sedang melakukan penelitian tentang Kotta, Kampung Dayak Berbenteng Abad XIX Di Kalimantan Tengah. Lihat video presentasinya : https://www.youtube.com/watch?v=O52cip-aoCw&t=20s. Akhir tahun 2019, Wijanarka mengikuti Program Dosen Merenung 2019, yang selama 2 (dua) bulan dari bulan November s/d Desember 2019 salah satu kegiatannya menjadi Dosen Tamu pada Prodi Perencanaan Wilayah Dan Kota (PWK) Institut Teknologi Kalimantan (ITK) di Balikpapan. Melalui Program tersebut, Wijanarka menghasilkan naskah buku final berjudul Sumbu Dan Desain Ibu Kota. Pada tahun 2020, dalam bulan Oktober – Desember, Wijanarka terpilih mengikuti Program Detasering 2020 dengan bertugas sebagai Nara Sumber dalam kegiatan pelatihan pembelajaran dan penelitian / pengabdian masyarakat di 7 (tujuh) Perguruan Tinggi.

130


131


ARSITEKTUR

BETANG DI KALIMANTAN TENGAH Kumpulan Tugas Mahasiswa Mata Kuliah Seminar Semester VII Prodi Arsitektur Universitas Palangka Raya (UPR) Tahun 2007

Editor :

Wijanarka Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya (UPR) 2020 132


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.