Merekam Demokrasi Aceh
Merekam Demokrasi Aceh
Editor: Adi Warsidi Nurdin Hasan
Merekam Demokrasi Aceh Penerbitan ini terlaksana berkat kerjasama Katahati Institute dan Pusat Resolusi Konflik dan Telaah Perdamaian (Center for Conflict Resolution and Peace Studies—CCRPS) IAIN Ar-Raniry, serta dukungan dari Masyarakat Jepang. Diterbitkan pertama kali pada Desember 2009, dari hasil tulisan para jurnalis yang mengikuti pelatihan ‘Studi Antopologi dan Jurnalisme Damai’ dan redaktur yang mengikuti ‘Workshop Jurnalisme Damai’ kerjasama Katahati Institute dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh. Disunting oleh Adi Warsidi dan Nurdin Hasan. © 2009, Katahati Institute. Jl. Lamreung No-17 Ulee Kareng Banda Aceh 23117, Indonesia Telp.(0651) 7410466 Fax. (0651) 636947 Email: info@katahati.or.id Website: www.katahati.or.id Hak cipta dilindungi Undang-undang. Katalog Dalam Terbitan (ed.) Warsidi, Adi, 2009– Merekam Demokrasi Aceh/Adi Warsidi dan Nurdin Hasan xii + 152 h. 20 x 25 cm. ISBN 978-979-16458-3-6 Dirancang dan disusun dengan huruf Palatino dan Helvetica oleh Khairul Umami. Desain sampul oleh gepe dengan ilustrasi dari Tauris Mustafa.
Daftar Isi
R i z a N asser
Hadiah Berbalut Noda • 1 S u parta
Golongan Putih Kutaradja • 9 Y uli R ahmad
Raib Sebelum Mencontreng • 15 M ellyan
Perempuan Antara Peluang dan Ancaman • 27 J unaidi M ulien g
Dua Partai Bergandeng Menang • 35
S alman M ardira
Buah Ingkar Prajurit Pendata • 43 K hithtati
Liku Pesta Demokrasi di Aceh • 51 M uhammad I f dhal
Berlindung dalam Tradisi • 59 R e z a Fahle v i
Berkah Lain dari Pemilu • 65 Zulkarnaini
Kemenangan karena Rakyat • 69 R i z ki M aulida
Bukan karena Iklan • 73 Taharah
Yang Menang dan Ganti Nama • 79 I skandar N o rman
Biola Damai • 85 A laidin I krami
Demokrasi Cacat • 91
viii daftar isi
Fakhrurrad z ie Gade
Usai Jamuan di Sebuah Jambo • 97
M uri z al H am z ah
"Lon Hana Teupeue..." • 105 A ri f R amdan
Kursi Perdamaian • 111 J unaidi
“Perang” Belum Usai • 119 M aimun S aleh
Bermain Api di Takengon • 125 S aid K amaru z z aman
Mengungkap Sipil Bersenjata Api • 131 Ta u fik A l M u barak
Pria Bergelar Komputer • 137 N urdin H asan
Teror Usai Deklarasi Damai • 145
ix Merekam Demokrasi Aceh
Pengantar Penerbit
A
lhamdulillah, situsasi pasca damai Aceh, telah banyak melahirkan kembali inspirasi-inspirasi dari anak bangsa, untuk mengisi semangat perdamaian agar terus bersemi
dalam agenda masyarakat Aceh. Kejenuhan dan kehilangan segalanya akibat konflik yang panjang telah menyebabkan berbagai inpirasi untuk membangun Aceh yang lebih baik menjadi terhambat. 15 Agustus 2005 dengan Mou Helsinki antara Pemerintah dan GAM telah membawa perubahan yang cukup fantastik dalam nuansa ke-Acehan, keharuan yang merupakan hikmah terbesar sejak 30 tahun untuk meniti kembali pembangunan Aceh. Empat tahun damai bersemi di Aceh telah memberikan harapan besar bagi generasi Aceh, untuk bahu membahu menata pranata kehidupan ekonomi sosial dan politik serta mengawal amanah perdamaian nan abadi di Bumi Serambi Mekkah. Buku ini merupakan kumpulan tulisan ide-ide kreatif dari anak bangsa dengan ruh perdamaian dan demokrasi dalam merekam fakta
Aceh, menulis Aceh dengan semangat perdamaian untuk meraih masa depan yang lebih gemilang. Setiap peristiwa ataupun pikiran menjadi penting untuk ditulis sebagai partisipasi anak bangsa dan upaya pendokumentasian atas peristiwa yang selalu terjadi di sekitar kita. Namun, harus dikaji kembali setelah damai terwujud apa yang berubah? Perdamaian menjadi kunci utama untuk menentukan masa depan Aceh dalam segala aspek. Buku Ini menjadi penting sebagai sebuah upaya pendokumentasian atas fakta demokrasi yang berlaku di Aceh dan rujukan pemikiran baik yang terekam baik keresahan, dan harapan, praktek keberhasilan yang menjadi satu. Demokrasi adalah titik ukur awal untuk menulis sejarah selanjutnya. Akhirnya, ucapan terimakasih sekali lagi dari Katahati Institute kepada penulis, organisasi mitra program Aliansi Jurnalis Independen (Aji Banda Aceh), CCRPS IAIN Ar-Raniry dan Kedutaan Jepang yang telah mendanai berjalannya program Jurnalisme Damai. Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H 7 September 2009 FAHRUL RIZHA YUSUF Direktur Eksekutif Katahati Institute
xii pengantar penerbit
Pengantar Editor Oleh: Adi Warsidi
Mencoba rekam kisah-kisah dalam damai Aceh yang masih muda. Tentang demokrasi yang berlaku di Bumi Serambi, untuk dibaca sampai generasi selanjutnya.
M
eneruskan kisah dengan lisan, akan membengkokan riwayat yang dibaca generasi depan. Meneruskan cerita lewat tulisan, sedikitnya terbacalah sejarah negeri dalam
sebuah kebenaran dan layak dikenang. Terilhami kata itu, sebuah agenda kami siapkan. Tujuannya, mengumpulkan tulisan saat pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 sedang berlangsung di Aceh. Catatan memberi label, itulah Pemilu pertama di Aceh setelah konflik senjata berakhir, setelah damai hadir pada 15 Agustus 2005 silam. Beberapa jurnalis muda berkumpul, lalu mengikuti sebuah pembelajaran singkat, sepuluh hari untuk mengingatkan kembali pentingnya merekam sejarah, perlunya menulis dengan baik dan tak ada embel-embel kepentingan penguasa di dalamnya. Pembekalan usai. Mereka terjun ke lapangan mengumpulkan sepatah-sepatah informasi yang terserak pada masyarakat, pejabat maupun mereka yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pemilu
itu sendiri. Kemudian kata dirangkai dan lahirlah tulisan tentang demokrasi, kala damai masih muda. Beragam kisah tentunya. Ada cerita tentang intimidasi dalam pemilihan, golongan putih, kisruh data pemilih sampai keikutsertaan perempuan Aceh dalam ramainya pesta. Mereka menulis dengan lugas dan menyampaikan informasi apa adanya, yang didapat untuk dikabarkan kepada publik. Bahwa beginilah pemilu di Aceh, yang pertama sesudah perang. Bahwa beginilah kisah pemilihan wakil rakyat untuk duduk di parlemen pusat dan daerah. Kekurangan tentu ada, terasa saat kami menyuntingnya. Tapi tiada yang fatal, hingga semua kisah yang ditulis layak tayang. Jadilah buku ini, memuat bagian kecil sejarah Aceh yang tak rugi dibaca siapapun dan sampai kapanpun. Atau mungkin untuk sekadar tahu, inilah lakon demokrasi di Aceh, 2009. Sebagai pembanding dan mungkin juga pengingat, ada beberapa laporan yang tidak bercerita tentang Pemilu, tetapi rekaman Aceh dari sejarah lain, saat konflik dan kondisi seusainya. Tulisan bagian ini lahir saat para jurnalis senior duduk bersama dan berembuk, membahas tentang perdamaian kita. Ikut dibantu oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, mereka di antaranya Nurdin Hasan, Murizal Hamzah dan Fakhrurradzie M Gade. Maka buku ini semakin kaya dengan sumbang tulisan wartawan yang sudah karatan meliput Aceh. Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa para penulis sudah mencoba menorehkan kisah untuk sejarah. Agar generasi sesudah kita tak lagi mengira, bahwa yang dulu hanya pandai berkata-kata. ***
xiv pengantar editor
Banda Aceh, September 2009
Merekam Demokrasi Aceh
Hadiah Berbalut Noda Oleh Riza Nasser vivanews.com
S
ebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam milik Rusli (bukan nama sebenarnya). Ustad di pedalaman Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie itu sedikit gusar. Pengirim pesan, pria yang
pernah bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ternama di kampung dan sempat melarikan diri ke Malaysia. “Assalamualaikum tengku, ada hal penting yang ingin saya bicarakan, saya ke rumah anda sekarang,” bunyi SMS itu. Meski malam telah larut, Rusli mengizinkan. Selang beberapa menit. Pria berkopiah, muncul di ambang pintu rumahnya. “Sebaiknya tengku mundur sebagai Caleg,” ia memulai percakapan. Sontak Rusli terkejut. “Itu tidak dilarang undang-undang, hak saya untuk memilih partai manapun,” kata politisi Partai Daulat Aceh (PDA) ini. Simpatisan Partai Aceh itu tetap ngotot. Dia kembali mendesak Rusli mundur dari bursa pencalonan. Dengan tenang Rusli berujar, “kenderaan kita berbeda tapi tujuan kita sama, demi kemaslahatan
umat itu harga mati bagi saya.” Merasa usahanya kandas, ia memotong pertemuan. ”Kalau tidak percaya ya terserah, nanti tahu sendiri akibatnya,” ujar tamu sambil berlalu pergi. “Saya tahu dia diutus untuk menggertak saya, mereka anggap dia bisa mempengaruhi saya,” ungkap Rusli, 30 tahun kepada saya, pertengahan Mei 2009 lalu. Rusli masih beruntung. Rekannya yang juga calon legislatif PDA bahkan sempat dihadang sekawanan kader Partai Aceh. Perkaranya sederhana, ada stiker partainya di sepeda motor. “Motornya diancam bakar kalau masih ada stiker Partai Daulat Aceh,” kisah Rusli. Sejak dideklarasikan menjadi partai politik lokal, Partai Aceh disegani lawannya. Partai ini dibentuk secara resmi pada tangal 7 Juni 2007 oleh para mantan gerilyawan GAM. Sebelum bernama Partai Aceh, Partai bernama Partai GAM. Departemen Hukum dan HAM menolak memverifikasi, partai ini masih berbau gerakan perlawan, dengan mengunakan bendera bulan bintang ber-striping merah, putih, hitam, serta tak punya singkatan nama Partai. Lalu berganti nama menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Setelah proses panjang, akhirnya nama Partai ini diganti lagi menjadi Partai Aceh (PA), dan ditetapkan menjadi salah satu Partai lokal peserta Pemilu di Aceh. Partai Aceh, memang memiliki massa dihampir semua wilayah Aceh. Dalam setiap kampanyenya, partai ini menyebut dirinya sebagai satu-satunya partai lokal yang diamanahkan perundingan damai (MoU) di Helsinki. “Partai Aceh amanah MoU Helsinki, partai lain semua ikut-ikutan, sudah ada SIRA, PRA, inilah, itulah tau apa mereka,” Sebut Sofyan Dawood, juru kampanye Partai Aceh, dihadapan ribuan masanya yang berkumpul di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, 1
2 hadiah berbalut noda
April lalu. Sofyan Dawood menuturkan, setelah menguasai parlemen, Partai Aceh akan memperjuangkan lahirnya aturan pelaksana serta me-
review Undang-Udang Pemerintah Aceh (UUPA). Yang paling penting, mengenai pasal soal ekonomi. “Dengan banyaknya caleg orang Aceh yang duduk di parlemen, maka akan banyak kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat Aceh, ekonomi Aceh harus maju,“ sebutnya. Menurut dia, Partai Aceh tidak butuh modal uang yang begitu besar untuk kampanye. Sebab, PA telah berkampanye sejak tahun 1976 lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah kendali Hasan Di Tiro. Darah dan keringat orang Aceh selama 32 tahun, kata Sofyan, menjadi modal bagi Aceh kedepan. Dirinya juga mempertegas komitmen kelompok ini terhadap damai. Kata dia, tidak ada lagi tuntutan merdeka bagi rakyat Aceh dan GAM, jika pemerintah pusat berlaku adil. “Baik GAM, KPA (Komite Peralihan Aceh) dan Partai Aceh tidak pernah akan menuntut merdeka lagi,” katanya. KPA adalah organisasi yang dibentuk untuk menampung aspirasi para mantan kombatan. Dengan modal kampanye itu, Partai Aceh berhasil meraih 49,91 persen suara rakyat pada Pemilu legislatif untuk kursi DPR Aceh. Di Kabupaten Pidie yang dikenal sebagai daerah basis GAM, Partai Aceh meraih 152.048 suara. Partai Demokrat menyusul dengan 9.036 pemilih, PDA 5.187 suara, Golkar 5.023 suara dan PKS dengan perolehan suara sebanyak 4.610 pemilih. ***
K
emenagan Partai Aceh disambut riang oleh Syamaun, warga Indrapuri Aceh Besar. Pasalnya pada Pemilu 9 April lalu, dia juga memilih partai Aceh. Harapannya, Aceh akan lebih baik
dari sebelumnya. “Partai ini Partai orang Aceh, pasti mereka akan bikin Aceh lebih baik,” sebut pria berumur 43 tahun ini. Menurut Syamaun, Partai yang dipilihnya selama empat Pemilu ke
3 Merekam Demokrasi Aceh
belakang, tidak menunjukkan perubahan bagi Aceh. Faktor lain yang membuatnya berpindah hati, karena baru kali ini ada partai lokal. “Capek kita dengar mereka umbar janji terus, makanya kali ini kita lihat bagaimana orang Aceh yang memimpin.” Pedagang sayur di pasar Lambaro ini, mengaku mendukung perjuangan GAM. Karena itu alasan itulah, dia memilih Partai Aceh. Meski begitu, dia tak mahu Aceh kembali bergolak. Menurutnya dengan adanya partai, Perjuangan GAM tak memakan korban lagi. “Yang penting tidak ribut lagi, sekarang sudah lebih baik,” katanya. Berbeda dengan Syamaun, Mardiati (bukan nama sebenarnya), warga di Kecamatan Keumala, Pidie, mengaku memilih Partai Aceh karena tak mau panjang urusan. Pasalnya, jauh-jauh hari sebelum pemilihan, dia telah diwanti-wanti untuk memberikan suara bagi partai mantan petempur GAM itu. Tak memilih partai ini, siap-siap saja mendapat cemoohan. “Pernah ada seorang warga yang tidak memilih Partai Aceh selalu disindir-sindir,” kata perempuan berusia 40-an tahun itu. “Kalau nggak milih Partai Aceh, pergi saja dari sini.” Di lain waktu, simpatisan Partai Aceh menakut-takuti warga. “Mereka bilang Aceh akan ribut lagi kalau PA tidak menang,” ujar Mardiati. Selain itu, Kader Partai Aceh kata Mardiati, juga meminta masyarakat untuk tidak memilih caleg untuk kursi DPR-RI. “Aceh tidak punya urusan lagi dengan jakarta, jadi tidak perlu memilih caleg DPR-RI,” ungkap Mardiati, menirukan seruan kader PA itu. Cerita Mardiati, juga menjadi salah satu alasan penolakan hasil Pemilu oleh 21 Partai lokal dan nasional di Kabupaten Pidie. Dalam surat pernyataan yang dikirimkan kepada Komisi Independen Pemilihan
4 hadiah berbalut noda
(KIP) Aceh, Partai-partai tersebut mengungkapkan bahwa banyak saksi mereka yang diancam oleh kader PA. “Ada beberapa saksi yang diusir di TPS. Kita menolak itu karena ingin
ada penyelesaian yang serius,” kata T Syahrial, Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kabupaten Pidie, yang juga ikut menandatangani surat pernyataan penolakan tersebut. Mereka mensinyalir, kader Partai Aceh telah mengatur sedemikian rupa setiap TPS, untuk memudahkan kadernya mengarahkan pemilih saat masuk ke bilik suara. Partai Aceh juga dituding mengerahkan kadernya untuk menjadi pengawas Pemilu tingkat Kecamatan dan Gampong, sampai putagas pengamanan TPS. Sebanyak 21 partai ini sempat berencana mengajukan sengketa itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun hingga batas waktu pemohonan sengketa Pemilu ditutup, partai-partai ini tidak mengajukan keberatan mereka terhadap pelaksaan Pemilu di Pidie kepada MK. “Saya tidak tahu pasti sudah sejauh mana proses penyelesaian kasus itu, yang pasti kita sudah mengajukannya kepada Panwaslu dan kepolisian,” sebut Syahrial. Partai Rakyat Aceh (PRA) mengaku juga sering mendapatkan ancaman. Menurut Seketaris PRA, Thamren Ananda, initimidasi itu berupa gertakan, hinaan, sampai dengan pemukulan kader mereka. “Ada banyak kasus, tapi kami tidak mencatat berapa jumlahnya,” sebut Thamrin. Kata Thamrin, teror dan intimidasi malah sudah terjadi saat masa verifikasi Partai politik. Misalnya di Kecamatan Lamlo, Pidie, Ketua PRA kecamatan tersebut dipukuli oleh kader Partai Aceh, karena menolak mundur dari jabatannya. “Waktu itu Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) belum terbentuk, kita melaporkannya ke Polisi, tapi tidak diselesaikan,” katanya. Demikian halnya dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Safaruddin. Dia juga mengaku, kader partainya banyak diintimidasi oleh simpatisan Partai Aceh. “Mereka cuma bercerita kepada kami, tapi ketika diminta untuk melapor kepada Panwas, mereka tidak berani,” ujarnya.
5 Merekam Demokrasi Aceh
Dia mengatakan, sulit membuktikan intimidasi yang dilakukan kader Partai Aceh. Untuk menyelesaikan kasus intimidasi, pengurus Partai SIRA hanya mengajukan komplain kepada pengurus Partai Aceh. Itu untuk menghindari konflik yang menyebar. “Kami tidak mau memperpanjang masalah, demi menjaga damai,” sebutnya. ***
A
dnan Beuransyah, Juru Bicara Partai Aceh, menampik tuduhan kadernya sering melakukan praktik ancam-mengancam. Menurutnya, pihak PA tidak pernah memberikan perintah
kepada kader Partai untuk melakukan intimidasi. Semangatnya adalah menjaga perdamaian Aceh. “Tidak ada intimidasi yang kami lakukan ke pemilih,” ujarnya. Namun, Adnan menyebut, pengurus tidak sanggup mengontrol para simpatisan. “Pengurus dan kader PA tidak mengintimidasi, tapi simpatisan tidak sanggup dikontrol,” akunya. Seketaris Partai Aceh, Muhammad Yahya, mengatakan teror dan intimidasi malah sering menimpa Partai Aceh. Mereka mencatat telah terjadi 55 kasus. Sebanyak 30 kasus diangap ringan seperti penurunan atribut dan ancaman terhadap kader partai, telah terjadi. Sementara kasus yang berat, seperti pembakaran dan penggranatan tercatat 18 kasus. Selebihnya adalah kasus pembunuhan kader Partai. “Tujuh orang kader kami dibunuh,” sebutnya. Dia menyarankan agar pihak yang menuding Partai Aceh melakukan teror dan intimidasi menunjukan bukti yang kuat. “Selama ini tidak ada bukti yang kuat atas tudingan itu, jika memang ada silahkan buktikan,” ujarnya.
6 hadiah berbalut noda
Meski begitu dia memaklumi tudingan itu. Sebab menurutnya setelah damai, Aceh baru saja mulai menata demokrasi. “Kita sekarang sedang sama-sama belajar berpolitik,” sebutnya.
Anggota Panwaslu Aceh, Asqalani mengaku menerima laporan intimidasi terhadap saksi dari partai nasional dan sebagian partai lokal di Pidie dan Aceh Timur. Namun banyak kasus yang tidak bisa dilanjutkan penyidikannya. Malah juga ada laporan yang dicabut dengan alasan yang tak jelas. “Banyak masyarakat setelah melaporkan adanya tindak pidana Pemilu tidak berani menjadi saksi, jadi banyak kasus yang masuk tidak bisa diteruskan penyidikannya ke polisi,” ungkapnya. Sebelumnya, Panwaslu Aceh menemukan 247 kasus pelanggaran Pemilu di Aceh. Hanya 16 kasus intimidasi yang dilaporkan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Beberapa kasus dilimpahkan kepada Kepolisian, tapi sebagian besar dikembalikan karena tak cukup bukti. Dengan jumlah tenaga pengawas yang terbatas, Asqalani mengakui pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan maksimal. Mereka mengandalkan laporan dari masyarakat untuk menindak lanjuti adanya kecurangan maupun intimidasi dalam Pemilu. Pengamat Politik, Mawardi Ismail menilai kemenangan Partai Aceh tidak serta merta karena teror dan intimidasi. Indikasi itu, katanya tidak terlalu berpengaruh terhadap kemenangan Partai Aceh. “Tidak begitu besar pengaruhnya, meski saya tidak membantah hal itu ada,” katanya. Lebih jauh, Mawardi menyebut, kemenagan partai ini merupakan hadiah masyarakat untuk GAM yang berjuang selama 30 tahun. Dia merunut pada pilkada 2006 lalu, dimana calon independen dari kalangan GAM juga berhasil meraih tampuk kepemimpinan. “Buktinya dari gubernur sampai bupati banyak yang berasal dari mantan GAM, ini merupakan bentuk penghargaan rakyat kepada GAM. ” Mantan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu mengatakan, Partai Aceh lebih siap ketimbang lima partai lokal lain. Struktur partai itu juga sampai ke pelosok desa. ”Untuk Pemilu kali ini saya rasa wajar Partai Aceh menang,” tuturnya.
7 Merekam Demokrasi Aceh
Menurut Mawardi, pengunaan metode teror dan intimidasi untuk dalam Pemilu, sama tuanya dengan praktik membeli suara. Ini sudah lazim dilakukan partai politik, “praktik semacam itu tidak begitu mempengaruhi suara rakyat, tidak terbukti efektif.� Mawardi juga menyebut, jika Partai Aceh tak melakukan intimidasi, mungkin partai besutan kombatan GAM ini akan meraih suara lebih besar lagi. Kedekatan emosional, mempengaruhi pemilih.
“Tanpa
intimidasi pun mereka menang,� ujarnya. Semacam hadiah, tapi berbalut noda? ***
8 hadiah berbalut noda
Golongan Putih Kutaradja Oleh Suparta Harian Aceh
S
epekan jelang Pemilu, undangan sampai ke tangannya. Namun Mahfud, sama sekali tak tertarik pada perhelatan lima tahunan itu. Ia memilih menjenguk keluarga di Pidie Jaya daripada ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kelurahan Buerawe Banda Aceh. Alasannya keengganannya, sederhana; janji para calon legislatif (caleg) tak bisa ‘dipegang.’ Lagi pula, mayoritas kandidat politisipolitisi lama. Bagi pria 28 tahun itu, anggota legislatif tak memikirkan kepentingan rakyat. “Selama mereka duduk di kursi dewan, apa yang telah diperjuangkan untuk rakyat, selain kepentingan pribadi dan kroninya,” tegas Mahfud. Alasan lain, para caleg dinilainya terlalu haus kekuasaan. Padahal, secara akademis dipandang tak mampu mengemban peran legislasi.“ Dari pada salah memilih, lebih baik menerima hasil pilihan orang,” ujar karyawan swasta ini. Ketidakpercayaan pada calon anggota legislatif juga menjadi alasan Saini tak menggunakan hak pilihnya. Pria 37 tahun ini mengaku kesal
dengan anggota dewan yang dipilihnya pada Pemilu 2004 lampau. Ia memilih calon yang dikenalnya sangat merakyat. Namun apa lacur, “Dia berubah setelah duduk di kursi dewan,” kata pedagang keliling ini. “Selama menjadi anggota dewan, dia tidak pernah menepati janjinya semasa kampanye dulu.” Saini berlaku apatis pada pemilihan kali ini. Parahnya, Saini mengklaim mayoritas caleg sekarang ini tak akan mampu menepati janji-janji yang ditebar selama masa kampanye. Pun begitu, warga Peunayong ini memilih menyambangi lokasi pemungutan suara, hanya untuk mengantar sang istri mencontreng. “Tak enak sama Pak Lurah,” katanya, tersenyum. Hal senada juga dilakukan Yanti 19 tahun, walau baru pemilu kali ini namanya terdaftar sebagai pemilih, namun dia memilih tidak datang ke TPS dan memilih bermalas-malasan di rumah pada saat yang lainnya menyalurkan aspirasi politiknya. “Malas datang ke TPS, pemilunya rumit, pake antri lagi,” kata mahasiswi fakultas keguruan ini. Besarnya kertas suara, serta pengetahuan yang minim tentang latar belakang para calon legislatif, menjadi alasan Yanti memilih golput. Uniknya dia mengaku mengikuti sosialisasi cara memilih bagi pemula, yang diprakarsai KIP Aceh di kampus IAIN Arraniry jelang pemilu. Mahfud, Saini dan Yanti, merupakan bagian dari warga yang memilih mengabaikan hak suaranya dalam pemilihan 9 April lalu atau lazim disebut golongan putih (golput). Di Banda Aceh, jumlah mereka yang berada di saf ini mencapai 51.586 orang atau hampir 40 persen, dari total calon pemilih 174.858 orang. Angka ini terbilang besar. Bandingkan dengan angka golput di tingkat provinsi yang hanya 23 persen. Tingginya angka golput ini mengkhawatirkan. Sebab, sikap politik ini lahir dari sikap apatis yang diperlihatkan warga. Sosiolog Universitas
10 golongan putih kutaradja
Syiah Kuala Ahmad Humam Hamid menyebutkan, para pemilih dewasa ini sudah pintar dan tak lagi termakan janji-janji yang diumbar para caleg sebelumnya. “Mereka kecewa, karena calon yang dia pilih
Golput Pemilu Legislatif per Kecamatan
11 Merekam Demokrasi Aceh
Golput pilkada Legislatif per Kecamatan
sebelumnya tidak bisa membawa perubahan seperti yang dijanjikan,” ujar Humam. Humam tak sepenuhnya melihat membengkaknya angka golput karena sikap apatis tadi. Ada juga, menurut Humam, yang mengabaikan hak pilihnya karena memang bisa dikatakan sebagai pemilih rasional, yang kebanyakan tinggal di perkotaan. Namun, “Mereka akan memilih calon, sesuai dengan hati nuraninya,” kata mantan calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu. Tak berlebihan analisis Humam ini. Sejumlah pemilih mengaku menggunakan hak pilih karena ada teman yang menjadi calon anggota legislatif. T. Patria misalnya. Ia hanya mencontreng kertas suara untuk pemilihan parlemen di tingkat kota. Sementara kertas suara untuk tingkat provinsi, pusat, dan anggota senator, dibiarkan terbungkus rapi seperti sedia kala saat diserahkan petugas. “Untuk DPD dan DPR RI, serta DPRA, saya tidak pernah buka, sampai dimasukkan ke kotak suara,” ujar pengusaha muda ini. “Sayang, jagoan saya tidak mendapat kursi.” Persoalan warga menjadi golput juga tak sepenuhnya karena alasan sikap politik. Humam Hamid menilai, amburadulnya proses pendataan pemilih juga menyumbang sebab. Jamak dikabarkan media, banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Belum lagi, proses pencontrengan yang rumit dan merepotkan: kertas suara ukuran jumbo dan calon legislatif yang ribuan. “Ribet sih, kertas suaranya terlalu besar, kenapa tidak dibuat versi kecil aja,” kata Felly Nazilah. Walau demikian Felly mengaku pulang dari Sigli khusus untuk ikut Pemilu. Walau rumit dengan besarnya kertas suara, dia mengaku senang dapat menggunakan aspirasi politiknya. Dokter berusia 27 tahun ini “terpaksa” memilih karena namanya masuk dalam DPT. “Kalau nggak masuk, nggak milih sih,” ujar Felly.
12
Dia mengaku mencontreng dengan benar ke empat kertas suara yang
golongan putih kutaradja
disodor panitia. “Rugi dong, masa udah capek-capek antri di TPS ngak
13
milih semua,” ujarnya polos. ***
K
ecamatan Kutaraja keluar sebagai “juara” karena menyumbang angka golput terbesar di Banda Aceh. Di kecamatan yang dipimpin Ria Jelmanita ini, sebanyak 49,5 persen dari 5.765
jiwa yang masuk DPT, mengabaikan hak suaranya. Angka ini turun dibandingkan jumlah kelompok putih pada pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu yang mencapai 64,1 persen dari 4.161 pemilih Tapi, Ria menolak disebutkan wilayahnya penyumbang terbesar bagi kelompok putih. Menurutnya, banyak warga yang terdaftar di DPT tak lagi berdomisili di kecamatan itu. “Mereka umumnya pindah tempat tinggal karena mendapat rumah bantuan, namun masih terdaftar sebagai pemilih di kelurahan asal,” jelasnya. Selain itu ada juga warga yang telah meninggal masuk dalam DPT, dan ada juga yang namanya ganda. Sedangkan masyarakat yang sudah wajib memilih ada yang tidak masuk dalam daftar memilih, “Kita telah memperbaiki daftar pemilih tetap, untuk pemilihan presiden mendatang.” Menurut dia, partisipasi masyarakat di kecamatannya tinggi, dalam mengikuti ritual lima tahunan itu. “Buktinya pada simulasi masyarakat sangat antusias,” terang camat wanita di Kota Banda Aceh ini. Sementara Manawarsyah ketua Pokja Sosialisasi komisi independen pemilu (KIP) Banda Aceh, manapik, banyaknya Golput dan suara tidak sah di Banda Aceh karena gagalnya sosialisasi yang pihaknya lakukan. Menurut dia, KIP telah melakukan berbagi upaya, untuk membangun partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. “Sosialisasi telah dilakukan KIP, baik dengan pertemuan-pertemuan, selebaran maupun melalui media,” kata dia Munawarsyah mengungkapkan, adanya suara tidak sah pada pemilu
Merekam Demokrasi Aceh
legislatif lalu bukan dikarenakan kurangnya pemahaman dengan cara memilih, tapi suara rusak tersebut di sengaja oleh pemilih, karena terjadi perbedaan angka untuk DPRK, DPRA, DPD dan DPR-RI “Malah di kertas suara, pemilih meneluarkan kreasinya, ada yang menggambar, ‘misalnya menambah kumis caleg’, dan juga ada yang menulis ‘Wakil Rakyat hana jelas’, ‘ Hana Muesoe-soe kajuet keucalon dewan,” kata dia Sedangkan untuk warga yang tidak datang ke TPS, karena banyak pemilih di Banda Aceh dari kalangan mahasiswa dan bertepatan dengan libur panjang, maka diperkirakan mereka memilih pulang ke kampungnya. Apa pun alasan KIP, Mahfud dan Saini masih tetap pada keyakinannya untuk bergolput. Bahkan, sikap ini juga akan ditunjukkan pada pemilihan presiden Juli mendatang. Dengan alasan calon atau pasangan calon yang maju masih juga pemain lama “Dari zaman dulu, siapapun yang duduk di dewan tidak ada yang bekerja ikhlas demi rakyat kalau tidak ada kepentingan, mereka hanya pengemis terhormat menjelang pemilu,” demikian ujar Mahfud. ***
14 golongan putih kutaradja
Raib Sebelum Mencontreng Oleh Yuli Rahmad theglobejournal.com
“
Pastikan nama anda telah terdaftar dalam pemilihan presiden 8 Juli mendatang,� begitu untaian ajakan yang terpampang pada sebuah pamflet berukuran 8 x 4 meter di pojok Simpang Mesra,
Banda Aceh. Adanya baliho yang berukuran besar ini menimbulkan segelintir pertanyaan bagi masyarakat Banda Aceh. Pasalnya, sebelum penetapan DPT Pemilihan Legislatig (Pileg) pada akhir 2008 lalu, baliho bercorak orange ini tak pernah ditemukan. Di situ hanya terpampang iklan isak tangis dan realita duka tsunami, hasil rekaman kamera. Baliho yang sama tidak saja terpampang di Simpang Mesra Banda Aceh. Sejumlah ruas Banda Aceh lainnya seperti di depan Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin (RSUZA), Simpang Surabaya, Keudah, begitu juga di depan kantor Komunikasi dan Informasi Aceh juga menampilkan seruan senada. Kenyataan itu membuat Erlina Wati, warga Desa Rukoh, Banda Aceh terpaksa membuang amarah yang pernah ditujukan kepada
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai pelaksana Pemilu. Pasalnya pada pemilihan legislatif 9 April lalu, hak pilihnya terenggut oleh kebrobrokan kinerja KIP, dalam mensosialisasikan DPS kepada masyarakat sebelum ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT). “KIP sudah sadar. Mereka tahu kalau pada Pemilu Legislatif lalu, sosialisasi DPT minim,� ujar ibu muda ini. Kesal wajar saja dilontarkan Erlina. Pasalnya, tak ada yang memungkiri sosialisasi DPT pada Pileg lalu minim. Perubahan itu jelas dirasa. Sebut saja fenomena unik yang didapati Erlina jelang pemutakhiran DPT Pilpres Mei lalu di desanya. Selain adanya beberapa spanduk yang juga menghiasi ruas desanya, petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) juga mendatangi rumahnya. Tujuan petugas itu tak lain untuk memastikan Erlina dan suaminya sudah terdaftar dalam DPT Pilpres mendatang. Tidak hanya rumahnya, rumah warga lainnya juga dikunjungi petugas yang sama. Sama halnya apa yang dialami Nasruddin, warga Cot Reng, Pidie yang keseharian berprofesi sebagai tukang becak. Langkahnya terhenti menuju lokasi pemilihan ketika diketahui namanya tak tertera di DPT. Kesal juga pernah disampaikan kepada PPS setempat. Tapi hak pilihnya tetap tak bisa didapat. “Saya sudah marah-marah. Tapi waktu saya lirik, Ketua PPS-nya tak memperlihatkan aura marah. Sebenarnya siapa yang salah ya,� ujar laki-laki yang kerap disebut Bang Nas ini bertanya. Namun hal itu tak lama dipikirkannya. Menjalani rutinitas merupakan hal yang lebih penting baginya, daripada membahas calon pemimpin masa depan yang mungkin saja akan membohongi masyarakat demi mendapatkan kursi parlemen. Dari kabar yang beredar di masyarakat, KIP yang merupakan
16 raib sebelum mencontreng
pelaksana Pemilu minim anggaran. Hal itu juga yang membuat aksi sosialisasi minim. Tak ayal, PPS di desanya tak mampu mengadakan sosialisasi secara intens.
Jelang pelaksanaan Pemilu Presiden, polemik DPT mendapat respon yang lebih besar. Begitu juga dengan perbaikan DPT yang terjadi di Desanya. Seruan peringatan perbaikan DPT hampir setiap hari dibacanya. Begitu juga dengan baliho berukuran besar yang terpampang menantang setiap kali mengantar penumpangnya melewati Simpang Mekar Kota Sigli dan Pasar Grong-grong. Bahkan peristiwa unik yang dialami Erlina juga dialaminya. Petugas PPS mendatangi rumah ke rumah termasuk rumahnya yang sebutnya sangat sederhana. “Akhirnya nama saya terdaftar di DPT,� ujarnya terkekeh-kekeh. Banyak tudingan masyarakat, pelaksanaan Pemilu 2009 lebih buruk dibandingkan dengan Pemilu 2004 dan Pemilu sebelumnya, para peserta Pemilu yang meliputi Partai Nasional, Partai Lokal, dan para caleg juga gencar mencari perlindungan hukum untuk menggugat KPU maupun KIP yang dinilai menyisakan dilema bagi kalangan mereka. Meski para caleg terpilih telah diumumkan pada 18 Mei 2009 lalu, namun empat partai lokal meliputi, Partai Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Daulat Aceh (PDA) masih memperjuangkan haknya di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) legislatif. Selain dugaan tingginya angka kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu, polemik kisruh DPT juga menjadi sorotan mereka. Bagaimana tidak, mereka mengklaim kegagalan meraup suara maksimal akibat banyaknya kader dan simpatisan partainya yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif 2009. Kendati partai Demokrat tidak mengajukan perkara itu hingga ke meja hijau, namun Ketua DPW Demokrat Aceh Nova Iriansyah juga mengaku hal yang sama. Tidak sedikit kader dan simpatisan partai Demokrat tidak masuk dalam DPT. Namun dia membantah dugaan bahwa partai tidak ikut serta mensosialisasikan DPT kepada masyarakat. Jauh sebelum pelaksanaan Pemilu memasuki detik-detik menegangkan hingga kisruh DPT diangkat ke muka publik, Demokrat mengaku telah
17 Merekam Demokrasi Aceh
melancarkan beberapa seruan kepada masyarakat melalui pengurus dan kader Demokrat yang ada di daerah. Kendati demikian, Nova tak ikut menyalahkan pemerintah maupun KIP secara khusus atas masalah ini. Perbaikan DPT berasal dari elemen paling bawah baik masyarakat, kepala desa, dan PPS tingkat desa maupun kecamatan. Unsur-unsur ini harus saling interaktif untuk memastikan setiap elemen masyarakat telah terdaftar dalam DPT. “Nggak benar kalau pemerintah ataupun KIP disalahkan secara mutlak. Masyarakat juga harus aktif,� pungkas Nova yang terpilih sebagai anggota dewan pusat. Terkait dengan pelaksanaan Pilpres, partai asuhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, sebut Nova juga ikut melakukan sosialisasi DPT Pilpres. Demokrat kembali mendata kader serta simpatisannya sehingga perkara senada tidak terulang lagi. Kendati sosialisasi ini lebih ditujukan kepada kader dan simpatisannya, namun secara keseluruhan dia juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam perbaikan DPT Pilpres. “Kalau kisruh ini terulang lagi pada Pilpres ini, bukanlah alasan lagi untuk menyalahkan pemerintah maupun pelaksana Pemilu,� timpalnya lagi. Persoalan DPT menjadi momok bagi KIP di tingkat kabupaten dan kota, juga KIP Aceh sebagai sentral pelaksana Pemilu. Namun yang selalu mendapat tudingan langsung dari masyarakat merupakan PPS di tingkat Desa. Mereka yang keseharian berhadapan dengan masyarakat merasa jenuh dengan tudingan-tudingan tersebut. Sebut saja seperti apa yang dialami Jamaluddin ketua PPS Tanjung Selamat, Aceh Besar. Sedikitnya ada 50 warganya yang melempari tudingan dan kekesalan akibat tidak terdaftar dalam DPT. Awalnya,
18 raib sebelum mencontreng
50 warga tersebut bergantian menghujani pihaknya dengan berbagai sumpah serapah. Mereka tak mau menerima kenyataan tidak berhak memilih para calon anggota dewan di parlemen yang akan menjabat
lima tahun mendatang. Namun masih untung, tudingan itu tak berpanjang lebar. Kekesalan itu bisa diganti dengan penjelasan yang akurat sehingga mereka menerima penjelasan itu dengan lapang dada. Sebenarnya aku Jamaluddin, sosialiasasi DPT yang digelar pihaknya memang minim. Bentuk sosialisasinya hanya berupa penempelan DPS di kantor kepala desa yang juga dalam area Masjid Tanjung Selamat. Namun seruan perbaikan DPS Pileg juga pernah disampaikan melalui Masjid tersebut. Hanya saja, persoalan mendatangi rumah ke rumah masyarakat, sebagaimana yang dipraktekkan dalam perbaikan DPS Pilpres ini tidak dilancarkannya. Tidak adanya aksi itu pada perbaikan DPS Pileg lalu akibat tidak adanya alokasi anggaran kegiatan sosialisasi. Kendati demikian, dia tak bersedia menyebutkan alokasi anggaran sosialisasi yang diterima pihaknya dalam perbaikan DPT Pilpres. Setelah mengalami perbaikan, jumlah pemilih pada Pilpres ini meningkat. Sebelumnya jumlah pemilih di Tanjung Selamat sebanyak 3.686 pemilih. Selama perbaikan DPT Pilpres, diketahui ada 12 nama yang masuk dalam DPT lalu telah meninggal dunia. Akibat pengerucutan itu, jumlah DPS Tanjung menjadi 3.674 pemilih. Namun jelang pemutakhiran DPS, angka itu kembali bertambah sebanyak 20 pemilih. Setelah ditetapkan, DPT Pilpres di desa itu berjumlah 3.694 pemilih. Kendati DPT Pilpres mengalami peningkatan sebanyak 20 pemilih, namun peningkatan itu masih jauh dari yang dibayangkan pihaknya. Pasalnya pada Pileg lalu, sedikitnya terdapat 50 warga yang mengaku tidak terdaftar dalam DPT. “Seharusnya meningkat 50. Tapi yang namanya masyarakat memang seperti itu,� imbuhnya. Tidak hanya Jamaluddin yang mengalaminya. Hampir seluruh PPS tingkat desa di Aceh mengalami hal yang sama. Bustaman Ketua PPS Desa Keuniree, Pidie mengatakan ada 10 warganya tidak terdaftar dalam
19 Merekam Demokrasi Aceh
DPT, namun hal itu menjadi persoalan rumit yang harus dipecahkannya untuk meminimalisir perpecahan di masyarakat. Angka itu kemudian diperbaiki dalam DPT Pilpres. ***
P
asca-Pemilu Legislatif 9 April lalu, KIP Aceh dihujani berbagai tudingan, baik dari masyarakat, maupun Partai Politik yang merasa telah terzalimi. KIP Aceh dinilai gagal melaksanakan
Pemilu, karena telah merenggut hak pilih masyarakat Aceh untuk menentukan wakilnya di parlemen. Kendati demikian, KIP Aceh tidak mentah-mentah menerima tudingan itu. Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Pemilih pada KIP Aceh, Akmal Abzal mengatakan persoalan DPT pada dasarnya tidak saja menjadi tanggung jawab KIP. Harusnya masyarakat harus membangun kesadaran diri untuk memastikan apakah telah terdaftar dalam DPS, sebelum ditetapkan sebagai DPT. Menurutnya, jauh sebelum DPT ditetapkan, pihaknya telah melakukan sosialisasi DPT. Seruan yang mengajak masyarakat untuk memastikan diri telah terdaftar dalam DPT, dapat dilihat dalam berbagai spanduk. Tidak hanya itu, di desa seruan itu juga kerap dikumandangkan oleh pejabat desa melalui meunasah dan dayah. Seruan itu juga tersurat melalui pengumuman dan DPS yang ditempel di masing-masing kantor desa. Di level nasional, KPU juga gencar melakukan sosialisasi itu. Uang miliaran rupiah telah dikucurkan untuk mensosialisasikan hal ini. Media massa, cetak, bahkan elektronik juga mendapat jatah untuk mengingatkan masyarakat. Anehnya, kata Akmal, masyarakat masih
20 raib sebelum mencontreng
saja menyudutkan KPU atau KIP sebagai dalang masalah ini. Sebenarnya jelas Akmal, pihaknya juga telah mengumumkan tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
sejak 5 April 2008 lalu. Hari itu pula, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menyerahkan data kependudukan kepada KIP Aceh. Esoknya pada 6 April 2008, proses pemutakhiran data pemilih dilakukan. Proses itu digelar selama tiga bulan hingga 6 Juli 2008. Dalam rentetan itu juga, sejak 7 Juni hingga 20 Juli 2008, data kependudukan itu juga diteliti dan dicocokkan di tiap-tiap desa. Setelah melalui berbagai proses pencocokan, pada tanggal 1 hingga 14 Agustus 2008 KIP Aceh melalui KIP Kabupaten/Kota mengumumkan jumlah DPS di masing-masing desa. Dalam masa itu pula hingga 21 Agustus 2008, proses perbaikan DPS dilakukan oleh PPS di tingkat desa. Kemudian, 30 September 2008 DPT pemilihan legislatif 2009 ditetapkan oleh KIP Aceh. Artinya sejak itu pula sebut Akmal, masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT kehilangan hak pilihnya. “Saya rasa nggak ada alasan lagi. seruan itu sudah diumumkan di masjid, meunasah, dan rumah ibadah lainnya. Kalau di TV, persoalan itu setiap hari diingatkan melalui Running Tex,� kilahnya. Sekretaris KIP Aceh, Nasir Zalba menambahkan, persoalan sosialisasi DPT dihadapkan oleh minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah. Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Aceh (APBA) hanya mengucurkan alokasi anggaran sosialisasi senilai Rp 400 juta, plus tambahan dari pemerintah melalui APBN Senilai Rp 60 juta. Lebih jauh, Akmal menjelaskan KIP memperoleh data pemilih dari Dinas Kependudukan sebanyak 3.128.790 pemilih. Data tersebut kemudian dijadikan sebagai DPS. Sementara jumlah penduduk yang tersebut dalam data dinas terkait mencapai 4.471.288 jiwa. Artinya, Persentase pemilih dengan jumlah penduduk Aceh mencapai 69,98 persen dari keseluruhan penduduk. Sementara itu, setelah melakukan evaluasi di lapangan, jumlah pemilih itu menyusut hingga 118.825 pemilih. Artinya, jumlah pemilih yang masuk dalam DPT menjadi 3.009.965. Meskipun demikian,
21 Merekam Demokrasi Aceh
persentase pemilih dengan penduduk telah melebihi konteks pemilih rasional yaitu 67 persen. Hal itu berpedoman pada rumus pemilih rasional yang berlaku secara nasional. “Saya rasa sudah sangat jelas, pemilih Aceh melebihi jumlah rasional pemilih yang ditetapkan secara nasional,� kata Akmal. Pemilih rasional harusnya tidak melebihi 65 persen jumlah penduduk. Masih dalam persoalan itu, penyusutan data pemilih itu disebabkan oleh beberapa hal. Data pemilih yang diperoleh dari dinas terkait tidak pernah diperbaharui. Akibatnya, di sana masih terdapat nama pemilih yang tidak berhak. Sebut saja misalnya, masyarakat yang telah menjadi anggota TNI atau Polri, adanya pemilih ganda karena memiliki dua KTP berbeda, terdapatnya anak-anak dalam data itu, meninggal dunia, bahkan pindah alamat ke daerah lain maupun ke luar negeri. Sayangnya kata Akmal, masyarakat juga kurang peduli dengan persoalan itu. Masyarakat beranggapan, persoalan DPT merupakan tanggung jawab KIP sebagai pelaksana Pemilu. Tidak hanya masyarakat, peserta Pemilu yang dianggap memiliki kepentingan dalam perhelatan ini juga lepas tangan. Persoalan ini baru dipersoalkan ketika mereka kehilangan suara. “Seharusnya, persoalan DPT ini dibicarakan jauh sebelum Oktober 2008. Jadi setelah masuk Oktober hingga April 2009, kita hanya membicarakan pendidikan pemilih,� cetusnya. Kisruh DPT yang terjadi dalam Pileg menjadi pembelajaran bagi KIP Aceh sendiri. Untuk itu, proses perbaikan DPT yang dilakukan pihaknya lebih baik untuk Pilpres. Rentetan perbaikan DPS Pemilu Presiden telah diawali sejak 1 April 2009 lalu sampai sebulan menjelang pemilihan presiden, 8 Juli 2009. Setelah melewati masa itu, tibalah saatnya pemutakhiran DPS dilakukan KIP Aceh. Hasilnya pun berubah, tak bertambah tapi
22 raib sebelum mencontreng
menyusut dari 3.009.965 pemilih yang ditetapkan sebagai DPT Pileg lalu, menjadi 3.008.235 pada DPT Pilpres. Penyusutan angka itu salah satunya disebabkan oleh pemilih
yang pindah tempat, adanya sejumlah pemilih dalam DPS yang telah meninggal dunia, juga adanya pemilih ganda. Setelah penetapan DPT Pilpres dilakukan, Akmal berharap tidak ada lagi masyarakat yang mengaku tidak terdaftar. Kalaupun itu terjadi, dia tak ingin masyarakat menyudutkan pihaknya sebagai sumber kekisruhan. Pasalnya, upaya perbaikan DPS Pilpres telah melalui berbagai tahap dan perpanjangan masa perbaikan. Anggota Panwaslu Aceh, Asqalani menyebutkan, kisruh DPT memang menjadi persoalan hangat pasca-Pemilu 9 April 2009 lalu. Namun pihaknya tidak mendata jumlah warga yang mengaku tidak terdaftar dalam DPT Pileg. Pasalnya, persoalan itu tidak pernah diajukan kepada Panwaslu sebagai pengawas Pemilu. Menilik hadirnya kisruh besar itu, Asqalani mengaku sosialisasi DPT yang dilakukan KIP Aceh pada Pileg lalu, minim. Perbandingan itu jelas terlihat dalam sosialisasi DPT pada Pilpres sesudahnya. “Pilpres sosialisasinya jauh lebih baik dan menyeluruh,� ujarnya. Sementara itu, Pakar Hukum Unsyiah Mawardi Ismail mengatakan meskipun sosialisasi DPT pada Pileg lalu minim, namun DPT tidaklah menjadi tanggung jawab KIP semata sebagai pelaksana Pemilu. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam pemutakhiran DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT. Namun hal itulah yang tidak dilihatnya dalam rentetan penetapan DPS sebagai DPT. Penilaiannya, masyarakat masih memandang Pemilu bukanlah prosesi wajib yang harus diikuti oleh setiap masyarakat. Apalagi, sebagian masyarakat masih menilai Pemilu bukanlah hal yang menguntungkannya. Pemilu hanyalah keuntungan sekelompok orang yang sedang mencalonkan diri sebagai caleg. Namun hal itu terlihat sangat aneh ketika kisruh DPT dijadikan polemik oleh peserta Pemilu. Bahkan lebih ironis lagi, para peserta Pemilu mempengaruhi publik untuk meminta pengulangan Pemilu kepada pemerintah. Padahal, jauh sebelum DPT ditetapkan, Partai
23 Merekam Demokrasi Aceh
Politik sama sekali tidak memperlihatkan kontribusinya untuk memperbaiki DPT. Mereka hanya mempersoalkan itu ketika partainya gagal memperoleh suara maksimal. “Psikologi orang kalah memang mencari-cari kesalahan. Coba kalau menang, pasti diam saja. Dan saya berharap, itu tak terulang pada Pilpres,� kata Mawardi. Lain halnya dengan tanggapan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim yang datang ke Aceh untuk melihat keobjektifitasan Pemilu kepada masyarakat, April lalu. Dalam pertemuan yang diadakan pengacara senior J Kamal Farza di kantornya, dia menilai bukan hanya KPU maupun KIP yang mesti bertanggung jawab atas bobroknya pelaksanaan Pemilu Pileg 2009. Dia juga mendesak pemerintah SBY melalui KPU untuk mengadakan Pemilu khusus. Dalam
kesempatan
itu
juga,
pihaknya
merekomendasikan
untuk amandemen UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, serta PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU nomor 23 tahun 2006. Selain rekomendasi itu, pihaknya yang menengarai kisruh DPT ulah minimnya kapasitas anggota KPU, juga merekomendasikan perbaikan sistem pengrekrutan anggota KPU di masa yang akan datang. Berdasarkan pantauan Komnas HAM di Aceh, jelas Ifdhal, sedikitnya terdapat dua masalah yang mengakibatkan hilangnya hak pilih sejumlah rakyat Indonesia pada Pemilihan Legislatif lalu. Dua persoalan itu yakni buruknya administrasi kependudukan pada departemen terkait, serta minimnya kapasitas dan wawasan KIP sebagai pelaksana Pemilu. Imbasnya, KIP tidak mampu menyesuaikan anggaran dan target pelaksanaan Pemilu hingga pengumuman caleg terpilih. Kendati KIP maupun KPU merupakan lembaga independen yang
24 raib sebelum mencontreng
ditunjuk oleh Negara untuk melaksanakan Pemilu, namun Ifdhal menyebutkan, hal ini merupakan bentuk kegagalan Negara dalam memenuhi kewajibannya kepada seluruh warga Negara. “Banyaknya
warga yang tidak masuk dalam DPT merupakan penghilangan hak pilih secara sistemik. Persoalan ini jangan sampai terulang lagi pada 8 Juli (Pilpres) mendatang dan selanjutnya.� ***
25 Merekam Demokrasi Aceh
Perempuan Antara Peluang dan Ancaman Oleh Mellyan Tabloid Sipil Pemilu legislatif April 2009, memberikan peluang besar bagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. Namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen.
H
ari itu, 26 Mei 2009, Siti Maisarah sedang membolak-balik halaman surat kabar satu media lokal Aceh, Ia memperhatikan hasil perhitungan suara Pemilu legislatif yang dimuat media
tersebut.
“Hanya empat perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),� ujarnya. Siti calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK) dari Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), salah satu partai lokal Aceh. Kulitnya sawo matang, hari itu ia menggunakan setelan gamis dan jilbab hitam. Ia sedang mengkliping surat kabar tentang Pemilu legislatif April lalu. Ia duduk di ruang tamu rumahnya yang didominasi surat kabar. Tidak ada hiasan dinding di sana. Rumah sederhana tersebut, terletak di Kampung Mulia, Banda Aceh. Pada Pemilu lalu, perempuan mendapat kesempatan lebih besar untuk berkiprah dalam dunia politik, namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Terbukti dari 304 perempuan
yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRA, hanya empat orang perempuan yang melaju ke DPRA. Perempuan-perempuan yang berhasil melaju ke DPRA adalah Nurlelawati dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2, Pidie dan Pidie Jaya dengan jumlah suara 2.052, Nuraini Maida dari dapil 5, Lhokseumawe dan Aceh utara dengan jumlah suara 1.566 dan Yuniar dari dapil 6, Langsa Aceh Tamiang dan Aceh Timur dengan jumlah suara 4.304. Semuanya dari Partai Golkar. Sementara Liswani dari dapil 8, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue dengan jumlah suara 3.901 berhasil lolos sebagai utusan Partai Amanat Nasional. Siti Maisarah adalah satu di antara sekian banyak caleg perempuan yang tidak lolos ke parlemen. Jika dipersentasikan berarti hanya 05,7 persen dari 69 orang anggota DPR Aceh periode 2009-2014 yang berjenis kelamin perempuan, jauh dari target kelompok perempuan yang menginginkan 20 persen di parlemen. Sebelumnya pada periode 2004-2009 anggota DPR Aceh yang perempuan hanya tiga orang. Tak lolos, bukan berarti Siti putus asa. Ia kembali berutinitas sebagai ibu rumah tangga serta mengembangkan usaha ketering dan kue kering. Tapi ia tetap menjadi partisipan politik. Menjadi anggota legislatif baginya bukan menjadi cita-cita pribadi, tetapi itu semua pilihan rakyat. “Jika belum dipilih tidak perlu meratapi apa pun. Hidup harus terus berlanjut, jalani rutinitas seperti biasa, jangan terlalu dipikirkan. Tapi saya serius untuk terjun ke dunia politik,� ucap wanita ramah ini. “Kita harus akui kebanyakan perempuan itu belum siap. Tapi Alhamdulillah, masyarakat Aceh sudah lebih dewasa dalam berpolitik, sehingga nggak terjadi kekacauan. Kita harus salut dengan masyarakat Aceh,� tuturnya. Parlemen Aceh hanya berhasil menjaring anggota perempuan dalam
28
jumlah minim, menurut Siti kualitas dan kwantitas seharusnya berjalan
perempuan antara peluang dan ancaman
beriringan, jumlah yang banyak dan ditunjang kemampuan yang
bagus tentu lebih baik. Ia mengatakan seperti halnya caleg laki-laki, perempuan juga ada yang kualitasnya baik, dan layak untuk dipilih. “Tapi dalam kenyataannya, yang bagus pun nggak dipilih, kan kasihan. Karena hanya sedikit jumlahnya, satu-satunya cara adalah mereka berjuang semaksimal mungkin dan bekerja sama dengan unsurunsur perempuan di luar parlemen,� ucapnya. Sementara itu, di kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh di Lueng Bata Aceh Besar, Liswani, salah satu anggota DPRA perempuan merupakan kader PAN selalu menebar senyum. Akhir Mei 2009 lalu, dia menyempatkan diri melayani wawancara menyangkut kemenangan dirinya. Liswani, berhasil memperoleh suara untuk duduk di DPRA dari daerah pemilihan delapan; Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulu. Namun kemenangan tersebut bukanlah tanpa usaha, jauh-jauh hari sebelum Pemilu berlangsung, ia telah memperiapkan segalanya dengan matang. Hanya satu stretegi jitu yang dipakai, membuat program yang bisa dirasakan langsung masyarakat di daerahnya. Sasaran utama adalah perempuan. “Dari dulu saya selalu aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Saya selalu memberikan motivasi kapada masyarakat agar bisa berkembang secara ekonomi dan pendidikan,� kata wanita kelahiran Medan, 43 tahun lalu. Ia sudah delapan tahun wara-wiri di dunia politik dan terlibat dalam setiap kegiatan partai. Pada Pemilu 2004, ia juga ikut mencalonkan diri dari partai yang sama, tapi tidak terpilih karena waktu itu memakai sistem nomor urut. Padahal waktu itu, ia juga memperoleh suara terbanyak. Namun Liswani tidak bisa memastikan kalau yang memilihnya kaum perempuan. Tapi yang terpenting ia telah berusaha melakukan yang terbaik untuk masyarakat dan kaumnya. Bahkan ke depan ia akan melanjutkan program pemberdayaan perempuan yang telah dirintis selama ini.
29 Merekam Demokrasi Aceh
“Kita tidak bisa memaksakan masyarakat untuk memilih kita. Tapi yang penting bagaimana cara kita memberikan pemahaman dan pendidikan politik kepada mereka, terutama perempuan,” ujar Liswani. Menurutnya, para politisi perempuan harus lebih aktif dalam memberikan pendidikan dan pemahaman politik bagi masyarakat. Itu adalah hal paling penting. Selain itu, pengembangan perekonomian keluarga juga harus ditingkatkan. “Bagaimana kita bisa mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, sedangkan mereka dalam keadaan lapar,” tuturnya. ***
A
kmal Abzal, Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) terlihat sibuk, handphone-nya hampir tidak
berhenti berdering. Hari itu ia mengenakan kemeja batik
coklat, peci hitam di kepalanya beberapa kali dibuka, kemudian dipakai lagi. “Memang lagi sibuk dan panas, baru siap pemilu legislatif udah nyambung Pemilu Presiden,” ujarnya. Akmal mengatakan banyaknya caleg perempuan yang tidak terpilih salah satu penyebabnya adalah masyarakat belum begitu percaya pada perempuan. Ia mengaku pihaknya sudah maksimal memberikan pemahaman politik terhadap para caleg perempuan dengan berbagai macam even yang diberikan, mulai dari pertemuan dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang dilakukan pemerintah daerah serta partai peserta pemilu. “Kita sudah memaksimalkan diri untuk mensosialisasikan perpolitikan para perempuan. Memang dari 2.099 orang hanya beberapa yang terpilih. Namun yang menjadi masalah bukan hanya perempuan, caleg laki-laki juga bertanya kenapa nggak
30 perempuan antara peluang dan ancaman
dipilih, jawabannnya tanya kepada masyarakat kenapa mereka tidak terpilih,” ucapnya. Menanggapi isu yang menyatakan perempuan menjadi caleg hanya
untuk memenuhi kuota, Akmal membantah. Regulasi itu bukan hanya untuk menutup kuota 30 persen, namun regulasi itu telah memberi kesempatan para perempuan untuk berpartisipasi dalam even yang sama. Keterwakilan perempuan tidak serta merta menempatkan bahwa perempuan itu harus dianggap sakral. Dalam regulasi terbaru, kursi akan diberikan kepada suara terbanyak, maka posisi nomor urut tidak menjadi substansi. “Mereka yang menepati nomor urut tidak basah juga banyak mendapat kursi. Posisi perempuan dengan nomor urut apa pun tidak masalah, sekarang yang jadi masalah mungkin masyrakat yang belum siap dan menerima perempuan itu menjadi anggota dewan dalam tingkat apa pun,” ujarnya. Soal kualitas, Akmal mengungkapkan bahwa mereka adalah orangorang yang belum teruji, Kinerja mereka baru bisa dinilai setelah bekerja selama satu atau dua tahun. Namun ia yakin bahwa orang-orang yang berani menawarkn diri menjadi caleg telah memiliki kesiapan mental. “Untuk wawasan dan tingkat intelektual kita nggak bisa prediksi, karena kita juga nggak kenal dan rata-rata mereka pendatang baru. Kita lihat saja aksinya di parlemen nanti,” ujar alumni IAIN Ar-Raniry ini. Sementara pengamat politik Aceh, Saifuddin Bantasyam, kurang setuju jika minimnya perolehan suara caleg perempuan sebagai suatu kegagalan. Sebab, jumlah perempuan yang terpilih untuk tingkat DPRA dan DPRK, relatif sama dengan Pemilu 2004. “Kalau gagal, jumlahnya lebih minim, seharusnya bisa jauh lebih baik dari sebelumnya,” ungkap Saifuddin. Dosen Universitas Syiah Kuala ini menyebutkan, jumlah perempuan yang terpilih mengalami peningkatan sampai sekitar 4 persen, dibanding hasil Pemilu 2004. Perkiraannya, Pemilu 2004 sekitar 10 persen, untuk Pemilu 2009 diprediksi menjadi 14 persen perempuan yang berhasil duduk secagai anggota dewan tingkat DPRA dan DPRK. Tidak meningkatnya perolehan suara bagi perempuan disebabkan
31 Merekam Demokrasi Aceh
berbagai faktor. Mulai dari strategi kampanye yang tidak tepat sampai kualitas para caleg yang kebanyakan wajah baru dalam dunia politik. Sehingga mereka kurang dikenal oleh lingkungannya. Penempatan nama caleg perempuan di urutan bawah pada kertas suara juga menjadi penyebab lainnya. “Saya percaya bahwa saat mencontreng, pemilih terlebih dahulu melihat nama-nama pada nomor-nomor atas. Sedangkan sebagian caleg perempuan, berada pada nomor urut terbawah,” ujarnya. Saifuddin melanjutkan, masyarakat memilih partai dan wakilnya karena beragam alasan, misalnya karena kedekatan emosional, karena ideologi, agama, suku, dan juga karena kepintaran wakil-wakil tersebut. Tapi ia tidak tahu pasti, apakah perempuan tidak memilih perempuan karena hal tersebut atau ada lainnya. Tapi fakta ini memang sebuah anomali, dari dulu sudah terjadi seperti itu, perempuan tidak mau memilih perempuan. “Mungkin perlu ada satu riset tersendiri mengenai fenomena ini. Siapa tahu, perempuan yang ingin masuk ke perlamen itu memang tidak boleh yang rata-rata, tapi harus di atas ratarata, sehingga dipercayai oleh kaumnya sendiri.” Peralihan aturan kuota 30 persen menjadi sistem suara tebanyak, bagi Saifuddin tidak merugikan caleg perempuan, malah sangat baik bagi demokrasi. Dengan alasan, karena pilihan diserahkan sepenuhnya kepada pemilih. Dulu ketika ada sistem nomor urut, perempuan dirugikan, misalnya karena urutan teratas diberi kepada pucuk pimpinan partai, sedangkan untuk perempuan dapat ‘nomor sepatu’. Suara terbanyak menghilangkan hegemoni partai, meskipun tetap saja laki-laki yang lebih dominan. “Mungkin kali ini perempuan belum siap dengan sistem suara
32 perempuan antara peluang dan ancaman
terbanyak, karena itu jika ingin menjadi caleg lagi pada Pemilu 2014, “berkampanye”-lah dari sekarang. Jangan terus menerus menyalahkan sistem,” ujarnya.
Caleg perempuan yang terpilih harus siap untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Termasuk siap untuk belajar. Saifuddin menyebutkan, legislatif memiliki tiga fungsi, legislasi, penyusunan anggaran dan pengawasan. “Menjadi wakil rakyat yang ideal itu tidak mudah, harus mau buka mata dan telinga terus menerus, juga menggunakan hati atau perasaan untuk menyelami persoalan yang dihadapi rakyat.” Selain itu, legislator dari perempuan juga harus mendalami betul isu-isu mengenai perempuan dan anak. Tentu saja tanpa mengenyampingkan masalah laki-laki. “Tapi caleg perempuan itu perlu sangat peka kepada kaummnya sendiri. Karena hal itulah keberadaan mereka di parlemen penting,” ucapnya. Ia menambahkan, secara umum Pemilu 2009 telah berlangsung dengan baik, namun bukannya tanpa catatan. Banyaknya yang tak terdaftar sebagai pemilih misalnya, di samping disebabkan oleh pemilih sendiri, tak terlepas juga dari kinerja KPU yang lemah. Minimnya perolehan suara bagi caleg perempuan tidak hanya terjadi pada partai-partai yang kalah, tapi juga pada partai menang, seperti Partai Aceh. Partai lokal ini memperoleh suara maksimal dengan memborong 33 kursi DPRA, namun tidak ada caleg perempuan dalam urutan nama legilatif Aceh yang lewat dari partai itu. “Hal ini disebabkan karena yang diberlakukan adalah suara terbanyak. Calon dari perempuan sangat minim memperoleh suara, sehingga mereka tidak bisa memperoleh kursi,” kata Adnan Beuransyah, jurubicara Partai Aceh. Adnan beranggapan, minimnya perolehan suara caleg perempuan dari partai tersebut karena calegnya belum memiliki popularitas. Sementara para laki-laki memang figur yang sudah menjadi panutan rakyat. “Jadi orang yang disukai oleh masyarakat adalah orang-orang yang sudah dikenal. Pada saat Pemilu mudah saja dicontreng namanya, karena udah dikenal,” ujar Adnan. Adnan berharap, pada Pemilu mendatang perempuan bisa lebih
33 Merekam Demokrasi Aceh
berperan dalam dunia politik dan terjun ke masyarakat, agar tingkat kefiguran mereka meningkat dan semakin dikenal. ***
34 perempuan antara peluang dan ancaman
Dua Partai Bergandeng Menang Oleh Junaidi Mulieng Aceh Feature Kemenangan Partai Demokrat di Aceh dinilai adanya campur tangan Partai Aceh. Kader partai Aceh mengarahkan masyarakat untuk memilih Demokrat setelah partai tersebut.
H
asil perhitungan suara Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan, Partai Demokrat berhasil memperoleh suara terbanyak di Aceh, dibandingkan partai nasional lainnya. Partai nomor
urut 31 ini, menduduki peringkat kedua di parlemen Aceh, setelah Partai Aceh. Untuk tingkat pusat, berada pada urutan pertama. Kemenangan Partai Demokrat di Aceh, berbanding terbalik dengan prediksi sebelumnya, bahwa partai nasional tidak bisa meraih kemenangan di Aceh. Wajar saja, karena pemilu April 2009 lalu, juga diikuti enam partai lokal. “Sebagian besar kursi legislatif di Aceh akan dikuasai politisi dari partai lokal,� ungkap pengamat politik Saifuddin Bantasyam, dalam seminar politik di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, sebelum pemilu legislatif digelar, 2009 April lalu. Parlok dinilai lebih memiliki kedekatan dengan masyarakat Aceh. Selain para pendirinya tokoh-tokoh politik Aceh yang berpengaruh, programnya juga lebih terfokus pada isu seputaran kehidupan masyarakat Aceh. Karena itu, partai nasional dianggap tak dapat
berbuat banyak di Aceh. Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan Saifuddin sebelum Pemilu, 49 persen setuju bahwa partai lokal akan mengalahkan partai nasional dalam Pemilu 2009. Sisanya, 20 persen, tidak setuju pada asumsi ini dan 31 persen tidak tahu. Tentu ini bukan barometer bahwa partai lokal bisa membayangi parlemen Aceh, karena sampel yang dilibatkan hanya 107 reponden untuk masyarakat kota Banda Aceh saja. Selain itu, kelompok responden yang menjawab tidak tahu, juga bisa beralih persepsi. Kemenangan Partai Demokrat kemudian, mengundang tanggapan beragam dari pengamat politik di Aceh. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa kemenangan partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudohono (SBY ini), tidak terlepas dari peran kader Partai Aceh (PA). “Ini satu kondisi yang diciptakan meskipun tidak secara mutlak, bahwa Partai Demokrat harus mereka dukung setelah Partai Aceh. Karena sosok SBY punya peranan penting untuk GAM dan rakyat Aceh,� kata Taufik Abdullah, pengamat politik. PA adalah partai politik yang didirikan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, Filandia 25 Agustus 2005. Setelah melewati proses negosiasi yang panjang antara dua belah pihak, akhirnya perdamaian di Aceh terwujud. Ini terjadi ketika SBY menjabat sebagai presiden Indonesia, bersama pasangannya Jusuf Kalla. Sehingga partai ini mengklaim bahwa mereka adalah partai amanah dari MoU. Hal tersebut terlihat jelas dari motto yang dipakai ‘Partai Aceh amanah MoU Helsinki’. Dengan anggapan, perdamaian Aceh lahir karena adanya GAM dan saat ini mereka berkumpul dalam Partai
36 dua partai bergandeng menang
Aceh. Kondisi keamanan di Aceh pun berangsur pulih dan semakin kondusif. Namun ada kekhawatiran mendalam yang dirasakan
sebagian besar rakyat Aceh, bahwa perdamaian yang telah dirajut di Aceh tidak akan bertahan lama jika dalam Pilpres nanti SBY tidak lagi terpilih sebagai presiden Indonesia. Kekhawatiran
inilah
yang
menyebabkan
masyarakat
Aceh
menjatuhkan pilihannya dengan memilih Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 9 April lalu. Masyarakat bukan mencontreng nama caleg, malainkan lambang dan nama partai. “Jadi, bisa juga ini semacam ucapan ‘terima kasih’ rakyat Aceh kepada SBY,” ujar dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe ini. Hal ini semakin diperkuat setelah mantan juru bicara KPA atau Komite Peralihan Aceh, Sofyan Dawood ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan SBY pada pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Ia bertugas mengatur strategi politik di wilayah Sumatera bagian utara (Sumbagut), meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Beberapa waktu lalu, Sofyan Dawood telah melantik relawan Pilpres SBY untuk wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe. Pelantikan yang berlangsung di aula kontor Bupati Aceh Utara tersebut, dihadiri sejumlah pejabat dan kepala dinas di lingkungan Pemkab Aceh Utara. “Saya mendapat kepercayaan dari rekan-rekan untuk menjadi koordinator pemenangan SBY,” ungkap Sofyan Dawood. Kedekatan SBY dengan mantan petinggi GAM begitu terasa. Pada tanggal 28 Maret 2009, sewaktu SBY kampanye di Banda Aceh, orang nomor satu Indonesia itu menyempatkan diri untuk menghubungi ketua KPA Muzakir Manaf, yang waktu itu tidak berada di Banda Aceh. Dalam percakapan singkat melalui telepon selulernya, SBY menitip pesan damai kepada mantan panglima GAM itu. “Ciptakan dan sukseskan Pemilu dengan penuh Damai, semua masalah bisa diselesaikan sesuai jalurnya masing-masing,” pesan SBY. Sebelumnya, Tgk Hasan Tiro, Deklarator GAM juga pernah melakukan pertemuan khusus dengan SBY, pada 24 Oktober 2008, ketika dia pulang ke Aceh. Pihak GAM menyebutkan, pertemuan
37 Merekam Demokrasi Aceh
Memilih karena SBY Tanggal 9 April 2009, secara serentak pemilu legislatif digelar. Meski menuai berbagai tanggapan dari berbagai kalangan tentang pelaksanaannya, namun Pemilu kali ini sudah ada hasilnya. Itulah pilihan rakyat yang menginginkan adanya perubahan dan kemajuan di negeri ini. Maryani, 27 tahun, masyarakat Lambaro Angan, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, punya harapan suaranya bisa memberikan satu kebaikan bagi rakyat Aceh. Apalagi ini Pemilu pertama yang diikutinya. “Saya tidak mau suara saya sia-sia karena salah pilih, semoga saja tidak,” ungkap penyiar radio komunitas perempuan di Banda Aceh ini. Maryani memiliki impian seperti kebanyakan masyarakat Aceh lainnya, yaitu damai. Wajar, karena daerah tempat ia tinggal pada salah satu kawasan yang masuk dalam daftar hitam semasa konflik dulu. Ia mengaku sama sekali tidak bingung untuk menentukan pilihannya, karena sudah kenal betul dengan partai yang ia pilih. “Tentu saja saya pilih yang sudah ada kerja nyata untuk Aceh, tertuma perdamaian,” ujarnya tanpa menyebut nama partai dimaksud. Ketika saya mencoba mempertegas lagi apakah yang dimaksud itu partai Demokrat. Spontan ia menjawab, “pasti, belum ada partai seperti itu. Saya kurang tahu tentang Caleg Demokrat, yang saya tahu Demokrat partai SBY. Tapi daerah (untuk DPRA), tetap dari orang kita sendiri biar imbang,”
38
sambungnya sambil tersenyum. Begitu juga dengan presiden nanti, ia yakin SBY adalah orang yang tepat untuk mempertahankan perdamaian di Aceh. “Apalagi yang paling diimpikan rakyat Aceh selain keamanan,” lanjutnya. Hal yang sama juga diungkapkan Razali, 35 tahun, warga Banda Aceh. Baginya, Aceh saat ini jauh lebih baik dibandingkan 30 tahun silam. “Ini hal yang patut kita syukuri bersama. Tentunya kita semua tidak mau kembali ke masa lalu yang penuh ketakutan karena konflik,” ujar guru sekolah dasar ini. Ia menuturkan, Pemilu 2009 merupakan penentuan bagi masa depan masyarakat Aceh yang tengah berada dalam suasana damai. Karenanya, pada Pemilu legislatif lalu ia tidak mau sembarangan memilih. Partai yang memiliki kepedulian dan kedekatan dengan Aceh patut mendapat dukungan untuk tingkat pusat. Tapi kalau untuk DPRK dan DPRA, dukungannya sepenuhnya tertuju untuk parlok. “Kalau saat ini yang nyata di hadapan kita kan Demokrat dengan SBY-nya. Kalau yang lain, sudah pernah mendapat kepercayaan rakyat, tapi tidak ada hasil. Sedangkan parlok, semuanya orang Aceh,” ucapnya blak-blakan. Razali melanjutkan, satu periode pemerintahan SBY belum cukup untuk membangun Aceh. Masyarakat harus memberikan kesempatan kepada SBY untuk melanjutkan yang telah dilakukan selama ini. [Junaidi Mulieng]
tersebut hanya sebatas silaturrahmi untuk memenuhi undangan SBY, tidak ada agenda politik.
39 Merekam Demokrasi Aceh
***
R
abu 13 Mei 2009, Adnan Beuransyah sedang berada di kantornya. Bangunan ruko berlantai dua itu, berada tepat di depan Kantor Berita Nasional Antara. Seluruh bangunannya bercat merah.
Bendera merah bergaris hitam di bagian atas dan bawahnya, memenuhi halaman kantor. Di tengah-tengah bendera tersebut bertulis Partai Aceh. Satu pamplet menyerupai bendera, bertulis dewan pengurus wilayah Partai Aceh, dipasang tepat di depan kantor. “Suatu kewajaran jika kami menjalin kerjasama sebaik-baiknya dengan pemerintah Indonesia, terutama untuk mempertahankan perdamaian di Aceh,� ungkap juru bicara PA ini. Ia membantah jika kedekatan mantan tokoh GAM dengan SBY,
telah melahirkan kerjasama politik antara PA dan Demokrat pada Pemilu 2009. Walaupun ada dari mantan kombatan yang menjadi tim pemenangan SBY, hal itu tidak ada kaitannya dengan PA, tapi bersifat individual semata. “Itu tidak ada kaitannya dengan instansi, tapi lebih bersifat pribadi. Dan itu sah-sah saja,� kata Adnan. Baginya, Pemilu 2009 bukanlah saat yang tepat untuk saling bantu membantu. Hal tersebut sangat beralasan, karena selama proses Pemilu 2009 berlangsung di Aceh, partai Aceh kerap kali mendapat ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan partai itu menang. Mulai dari penghilangan atribut partai, pembakaran, penggranatan, sampai penculikan terhadap kader partai tersebut. Karena sibuk mengurus permasalahan internalnya sendiri, PA tidak sempat berpikir untuk memberikan bantuan kepada partai lain. Keberadaan mantan GAM dalam tim pemenangan SBY, tidak bisa dilihat sebagai bentuk dari deal politik. Karena sampai saat ini masih
bersifat individu, belum adanya ikatan antar partai. “Setiap partai pada Pemilu 2009 ini, memperjuangkan kepentingan masing-masing, bukan join kepentingan. Partai Aceh memikirkan untung sendiri, Demokrat mikir untung sendiri. Tidak ada kesempatan untuk membantu,” ujanya. Namun PA selalu membuka diri kepada siapa saja yang ingin menjaga perdamaian Aceh. Saat ini PA hanya memiliki satu keinginan, menjaga, merawat dan mengisi perdamaian yang ada di Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengurus Partai Demokrat Wilayah Aceh, tidak mau berkomentar. Dari beberapa pengurus yang dihubungi, semua mengatakan tidak berani memberikan keterangan tentang permasalahan tersebut. “Saya belum berani memberikan tanggapan tentang itu, coba hubungi saja pak ketua,” kata Helmy, Sekretaris Partai Demokrat. Ketua Partai Demokrat Aceh, Nova Iriasyah juga menolak memberikan keterangannya. Handphonenya tak berhasil dihubungi, bahkan setelah pesan pendek dikirimkan kepadanya. Saifuddin Bantasyam punya penilaian berbeda. Dia mengatakan kemungkinan terjadinya deal politik antara dua partai tersebut bisa saja terjadi, karena keduanya memiliki kepentingan yang sama. Kalau dilihat sekilas, PA tentu ingin Aceh terus damai. Mereka percaya bahwa PD-nya SBY merupakan mitra yang tepat untuk menjaga perdamaian itu. “Bayangkan jika Mega dengan PDIP-nya jadi presiden misalnya, atau Wiranto dengan Hanura-nya, bukan hanya PA yang meragukan masa depan Aceh, melainkan kita semua,” ucap Saifuddin. Meskipun ada rumor yang berkembang bahwa ada kader PA yang menganjurkan masyarakat untuk memilih Demokrat, namun ia melihat
40 dua partai bergandeng menang
keunggulan Demokrat di Aceh karena faktor SBY. Tentu saja mesin Demokrat di Aceh juga bekerja, walaupun tidak secara maksimal. “Orang hanya tahu, Demokrat itu partainya SBY. Tanpa perlu sibuk-
sibuk mencari tahu apakah anggota legislatif dari PD sudah bekerja maksimal selama ini atau tidak,� ujarnya. Bukankah Jusuf Kalla (JK) lebih berperan dalam negosiasi dengan GAM? Menurut Saifuddin, untuk sebuah pernyataan politik, mungkin seperti itu. Tapi dalam sistem pemerintahan seorang wakil presiden hanya bisa bergerak dengan seizin presiden. Artinya, JK di depan karena SBY memintanya seperti itu. Itu sebabnya Golkar di Aceh tidak banyak mendapat lirikan pemilih. Dengan kata lain, JK menjadi sibuk mengurus perdamaian, karena SBY menginginkan seperti itu. “Lagi pula, klaim JK bahwa ia sangat berperan dalam perdamaian Aceh, kan baru belakangan ini muncul, ketika ingin jadi presiden. Jadi, klaim itu sangat politis,� papar Saifuddin. Kemenangan Demokrat di Aceh yang menempati urutan kedua setelah PA, diprediksikan akan memberikan perkembangan politik di Aceh semakin baik. Tentu dengan catatan apabila kedua partai ini bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan dengan tepat mengartikulasikan kepentingan konstituennya. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2009 yang dilaksanakan KIP Aceh, Partai Aceh mampu menguasai parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan memperoleh 33 kursi (48 persen) dari 69 kursi yang disediakan DPRA. Disusul Partai Demokrat di urutan kedua dengan meraih 10 kursi (15 persen) dan tempat ketiga diraih Partai Golkar dengan 8 kursi (12 persen).***
41 Merekam Demokrasi Aceh
Buah Ingkar Prajurit Pendata Oleh Salman Mardira acehkita.com Kisruh DPT borok Pemilu 2009. Dari soal waktu, sosialisasi hingga kurang siap warga berdemokrasi jadi pemicu.
W
ajah Ainal Mardiah (35 tahun) berkerut masam kala melihat Abdul Salam Pohroh beranjak dari tempat duduknya di ruang Aceh I, Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, usai
menghadiri konferensi pers persiapan Pemilu Legislatif 2009, 7 April 2009 lalu. Saat Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh itu berjalan keluar ruangan, Ainal langsung mencegat. “Kenapa kami tidak terdaftar, kami kan berhak memilih wakil kami sendiri,” tanya dia dengan nada tinggi. Seketika suasana ruangan yang penuh pejabat dan sejumlah wartawan itu tegang. Ainal, warga Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Dia memprotes KIP karena dirinya tak terdata di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Akibatnya, ia kehilangan hak memilih dalam Pemilu 9 April 2009. Ainal tak sendiri. Sekitar sepuluh warga Banda Aceh yang senasib dengannya, ikut mengerumuni Salam Poroh kala itu. “Ini adalah
kesalahan KIP,” ketus Cut Fatma, warga Ulee Kareng. Ia juga mengaku tak terdaftar di Tempat Pemungutan Suara (TPS) desanya. Aksi warga secara tiba-tiba itu menjadi tontonan para pejabat seperti Sekda Aceh, Husni Bahri TOB, Kapolda Aceh Irjen Pol Aditya Warman, Kasdam Iskandar Muda Brigjen Hari Purnama, Kajati Aceh,Yafizham dan Ketua Panwaslu Aceh Nyak Arif Fadillah. Ditanya bertubi-tubi, Salam Poroh akhirnya mencoba memaklumi mereka. “Untuk yang belum terdaftar saat ini kita tidak bisa berbuat banyak. Anda masih bisa mendaftar pada Pemilu presiden nanti.” Mendengar itu warga makin berang. “Kami tidak butuh presiden, kami butuh wakil kami di DPR, jika kami tidak terdaftar sebagai pemilih wakil rakyat, kami juga tidak akan memilih presiden,” ujar Ainal. Ainal dan Cut Fatma dua dari sekian banyak warga Banda Aceh yang kehilangan hak suaranya, karena tak terdaftar di DPT. Permasalahan itu tak hanya dialami masyarakat ‘akar rumput’, tapi juga menimpa para tokoh. Sabri Badruddin contohnya. Politisi yang juga calon legislatif untuk DPR Banda Aceh dari Partai Golongan Karya juga tak terdaftar sebagai pemilih. Ia tinggal di Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Permasalahan itu mencuat pada 25 Mei 2009, sepekan setelah ia ditetapkan sebagai anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Kecamatan Kuta Alam. Sabri pun terancam gugur duduk di parlemen. Nasib tak kalah sial dialami J Kamal Farza, seorang pengacara di Banda Aceh. Di hari H, pria bekas aktivis itu datang ke TPS dan berupaya meyakinkan panitia dengan menunjukkan KTP, ternyata ia benar tak terdaftar di DPT. “Akhirnya saya batal memilih,” ujarnya medio April lalu. Masalah banyak warga tak masuk DPT meruncing saat acara
44 bUAH iNGKAR pRAJURIT pENDARA
pencontrengan tinggal menghitung hari. Masalah ini terus menyita perhatian sejumlah komponen hingga Pemilu usai. Di Banda Aceh, jumlah angka pasti warga tak masuk DPT belum
diketahui. KIP Kota juga tak memiliki angka konkrit terkait masalah ini. Namun, dari 130. 177 jiwa jumlah pemilih tetap di ibukota Provinsi Aceh itu, KIP setempat memperkirakan ada sekitar puluhan ribu warga di sana yang tak terdaftar. “Ada sekitar 20 ribu yang tidak terdaftar,” kata Azhari Amin, anggota KIP Banda Aceh, Maret 2009. Menurutnya, banyak warga yang luput masuk DPT karena terlambat membuat KTP. Selain adanya pemilih pemula yang saat pendataan mereka belum cukup umur. Polemik DPT di Banda Aceh bukan hanya warga tak terdaftar. Adanya anak di bawah umur tercatat sebagai pemilih makin terbukti bobroknya sistem pendataan. Adalah Raja Baihaqi. Bayi dua tahun itu mendapat undangan memilih di TPS I Gampong Laksana, Kecamatan Kuta Alam. Raja masuk DPT berawal dari kesalahan di Kartu Keluarga-nya (KK). Di KK itu, usia Raja tertulis 27 tahun. Mulanya Mahdar, ayah Raja sudah memprotes, namun pihak kelurahan tak menggubrisnya. Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) setempat juga tak mau disalahkan. “Kami tak tahu kalau Raja ternyata anak bayi. Baru hari ini kami lihat manusianya. Kami tak mau tanggungjawab,” kata Muhammad Ali, sekretaris KPPS, 9 April 2009. Serentetan kisruh DPT, menurut Andri, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Banda Aceh, terjadi karena buruknya kinerja penyelenggara pemilu dalam menjalin kerjasama mendata pemilih. “Ini juga bukti lemahnya sosialisasi dilakukan KIP Kota Banda Aceh,” katanya. KIP Banda Aceh tak mau disalahkan. Aidil Azhar, Ketua KIP kota mengatakan pihaknya sudah bekerja maksimal. Kisruh DPT, lanjutnya, dilatari oleh banyak faktor. “Masalah DPT memang sangat sensitif,” katanya, 25 Mei lalu. Salah satunya adalah terlambatnya terbentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS). PPS punya tugas penting dalam pemutakhiran data
45 Merekam Demokrasi Aceh
pemilih. Menurut peraturan, PPS harus sudah terbentuk dan bekerja pada Juli 2008. Namun di Banda Aceh, kata Aidil, PPS baru terbentuk pertengahan Agustus 2008. Menurut Aidil, keterlambatan itu disebabkan oleh ketiadaan dana operasional di KIP kota. Sebab, plot dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2008. “Dana baru cair pada Agustus,” ujarnya. PPS kemudian membentuk Panitia Pemutakhiran Data Penduduk (PPDP) pada akhir Agustus 2008. PPDP dibentuk untuk memutakhirkan data secara konkrit. Mereka bekerja mendatangi warga dari rumah ke rumah, untuk memastikan kebenaran data sebelumnya dari KIP Kota. Data awal KIP Banda Aceh saat itu berjumlah 105.833 orang. Data itu diambil 25 Mei 2008 dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota, berdasarkan formulir 101 dari warga pembuat KTP. Sejak itu bibit permasalahan mulai muncul. Pasalnya, masih banyak warga Banda Aceh saat itu belum membuat KTP nasional dan otomatis nama mereka tak terdata. Namun, mereka masih berkesempatan melapor di kelurahan. Setelah sekitar tiga bulan dikantongi KIP, pada September 2008 data itu diumumkan melalui PPS di Kelurahan. Namun, PPDP yang diharapkan door to door, ternyata tak berkerja optimal. Di sinilah persoalan muncul. Temuan KIP Kota, kata Aidil, di lapangan ‘prajurit pendata’ itu hanya mendatangi Kepala Desa atau Kepala Dusun dan mencocokkan data kependudukan sesuai persepsi petinggi kelurahan. Bukan mendatangi rumah-rumah mengecek, seperti diharapkan. Ironisnya, saat itu tak ada pihak yang mengawasi. Panwaslu Kota, yang seharusnya berperan sama sekali belum terbentuk. Saat itu, ada beda paham antara Pusat dan Aceh terkait pembentukan Panwaslu
46 bUAH iNGKAR pRAJURIT pENDARA
Aceh. Panwaslu Banda Aceh baru terbentuk pada Februari 2009, jauh setelah DPT disahkan. “Ketiadaan Panwas saat itu juga menjadi faktor,
karena tak ada yang mengawasi,” sebut Aidil. Karena diburu waktu, kata Aidil, KIP saat itu, tetap menerima hasil pemutakhiran oleh PPDP. Jumlah calon pemilih saat itu hanya bertambah sekitar 13.167 dari jumlah data sebelumnya 105.833 jiwa. Data 119.000 jiwa kemudian dijadikan sebagai Daftar Pemilih Sementara (DPT) oleh KIP dan ditempel oleh PPS di tempat-tempat mudah dijangkau warga di seluruh kelurahan di Banda Aceh, medio September 2008. Saat itu, KIP minta warga berpartisipasi aktif memperhatikan. KIP memberi waktu dua minggu, untuk mengomplain jika ada tak sesuai, seperti tertera nama orang telah meninggal dan warga yang namanya sudah terdata di TPS lain. Jika ada warga belum terdata namanya juga diminta melapor. Di sini juga bermasalah. Keikutsertaan warga sangat kurang. Aidil mengatakan, saat itu pihaknya sangat sedikit mendapat komplain atau laporan dari masyarakat. Bahkan, sejumlah warga mangaku tak pernah melihat pengumuman pemilih itu. “Sudah ada KTP kan pasti terdaftar. Kalau ga, ya tak usah ikut Pemilu,” sebut Safrizal, pemuda Gampong Pineung, Banda Aceh. Terkait ini, Andri Ketua Panwaslu Kota minilai sosialisasi dilakukan KIP gagal, karena tak menyentuh masyarakat langsung. “Ini karena sosialisi dilakukan KIP hanya di tingkat PPK, tak pernah ke desa-desa.” Aidil mengatakan, sosialisasi dilakukan di PPK selalu melibatkan Kepala Desa (keuchik). “Jumlah kami sedikit, tak mungkin turun ke desa-desa. Jadi kami selalu mengimbau keuchik ikut menyampaikan apa yang kami sampaikan.” Kewajiban ikutserta masyarakat mengomplain DPS sebenarnya termaktub di pasal 23, Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Yaitu, masukan dan tanggapan dari masyarakat harus diterima PPS paling lama 14 hari sejak DPS diumumkan. Minimnya partisipasi warga membuat calon pemilih hanya
47 Merekam Demokrasi Aceh
bertambah 11.177 jiwa. Akhirnya, KIP Kota merekap pemilih tetap di Banda Aceh sebanyak 130.177 jiwa. Data itulah yang disahkan KPU Pusat sebagai DPT Pemilu lalu. Beberapa bulan setelah disahkan, mencuatlah kasus banyak warga tak masuk dalam DPT. “Seharusnya untuk masalah ini KIP memiliki suatu kebijakan sehingga mereka yang tidak terdaftar namun memiliki KTP bisa tetap memilih,” kata Cut Fatma, seorang warga. Namun, KIP tetap bersikukuh tak membolehkan warga diluar DPT memilih. “Mereka tak bisa dimasukkan lagi ke DPT. Mereka hanya bisa dimasukkan dalam DPT Pilpres nanti,” ujar Aidil. Banyak warga tak terdaftar di DPT, menurut Saleh Syafie, sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh menunjukkan masyarakat kita belum mampu berdemokrasi secara stubtantif. “Demokrasi adalah partisipasi,” katanya di Banda Aceh, 27 Mei lalu. Masyarakat Aceh, menurut Saleh, belum independen dan mandiri. “Masih harus diantar, misalnya datang ke rumah. Jangan harap mereka datang. Jadi sistem itu belum dihayati oleh masyarakat kita.” Hal itu, kata Saleh, dipengaruhi oleh budaya di keluarga dan masyarakat yang masih dipenuhi doktrin. “Kita di keluarga tak diajari berdemokrasi. Masih banyak doktrin, gak boleh ini, gak boleh itu. Jika melanggar malah anak bisa dipukul.” Saleh menilai pentingnya mengajari masyarakat berdemokrasi secara benar melalui pendidikan formal. Selain itu, para politisi juga harus mencerminkan prilaku yang demokrasi kepada publik. Saleh tak menampik kisruh DPT juga dipicu buruknya sosialisasi dilakukan KIP. “Seharusnya mereka melihat dulu sosiologi masyarakat,” katanya. Menurut Saleh, masyarakat Aceh kini masih belajar berdemokrasi.
48 bUAH iNGKAR pRAJURIT pENDARA
KIP seharusnya jangan hanya meyosialisasi lewat media saja untuk mendaftar, tapi harus didatangi secara langsung. “Ini bisa dilakukan dengan memilih figur yang disayangi masyarakat sebagai pelaku. Seperti
bola salju, dia akan mengajak dan memahami masyarakat,� ujar Saleh. Selain itu, lanjut dia, sosialisai Pemilu, juga tepat dilakukan melalui pengajian-pengajian di desa-desa. “Penyelenggara Pemilu juga harus melihat waktu yang tepat untuk sosialisasi.� Banyaknya warga hilang hak suara karena tak masuk DPT, menurut Saleh, tak mempengaruhi kualitas Pemilu. Namun, hal ini bisa menimbulkan sikap apatis warga negara. Mereka akan merasa tak berkepentingan dengan kinerja parlemen, karena tak punya ikatan emosional dengan orang duduk di sana. Hal ini, lanjut Saleh, bisa mengurangi nilai demokrasi dan kekritisan warga, sehingga berakibat buruk pada pembangunan bangsa. ***
49 Merekam Demokrasi Aceh
Liku Pesta Demokrasi di Aceh Oleh Khithtati Aceh Feature
F
auziah segera menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Ibu rumah tangga ini bergegas menuju Masjid Tungkob. “Harus datang lebih awal biar cepat selesai jadi nggak harus antri,� ujar Fauziah
sambil berlalu pergi. Kamis, 9 April 2009, sebuah pesta demokrasi terbesar di Indonesia digelar. Seluruh warga Indonesia menentukan pilihannya kepada wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasi mereka di parlemen pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, serta di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Beberapa hari sebelum pemilu digelar, berbagai ajang promosi telah dilakukan oleh para calon anggota legislatif agar dirinya terpilih. “Saya sudah punya pilihan jauh sebelum kampanye dilakukan, yang kita pilih bukan karena janjinya tapi apa yang sudah dibuktikan,� kata Fauziah tentang pilihannya. Pukul 08.30 Tempat Pemungutan Suara (TPS) baru dibuka. Fauziah mendapat giliran pertama. Kertas suara yang lebih dari satu sempat
membuatnya bingung. Terlebih pemilu kali ini mengenalkan istilah baru bukan lagi mencoblos melainkan mencontreng. “Ya, harusnya sebelum pemilu orang-orang dikumpulkan terlebh dahulu dan diajarkan cara mencontreng jadi masyarakat tidak binggung sampai di bilik suara,” papar Fauziah. “Saya yang tahu aja sempat binggung apa lagi yang nggak tau sama sekali,” lanjut Fauziah lagi. Usai menconteng Fauziah kembali pulang ke rumah berjalan kaki, kerena bilik suara dan rumahnya hanya terpaut bebebara ratus meter, 15 menit berjalan kaki. Hari itu ada empat TPS di Masjid Tungkob. Sampai pukul 09.00 WIB belum banyak masyarakat yang pergi menentukan pilihannya. Beberapa warung kopi di dekat masjid masih ramai dipenuhi orang. Para petugas TPS tampak bersiaga di lokasi masing-masing. Hanya beberapa kursi yang diperuntukkan untuk saksi terisi. Para petugas memakai baju senada dengan warna putih berkerah hitam dan memakai topi hitam. Saat datang ke TPS petugas meminta surat undangan, lalu satu persatu nama dipanggil untuk memasuki bilik suara. Ada empat lembar kertas yang diberikan. Di tempat pencontrengan yang dibuat dari susunan meja dan ditutupi terpal hitam setinggi orang dewasa itu, telah disediakan pulpen yang diikat dengan benang. Di sebelah kiri bilik ada empat kotak suara yang dijaga oleh laki-laki berpakaian seragam dengan tulisan Limmas. Ada satu meja untuk mencelupkan jari setelah selesai mencontreng. “Lee that keretah, hana meu ta tuoh pilih yang toh (banyak sekali kertas, tidak tahu harus pilih yang mana,” ujar seorang ibu yang keluar dari bilik suara. Dia menggendong anaknya. Mendengar celotehan si ibu, petugas TPS tersenyum kecil.
52 liku pesta demokrasi di aceh
“Saya bingung mau pilih siapa, maka dari itu tadi pagi adik saya datang dan mengajarkan bagaimana cara mencontreng,” ujar Rohani. “Dan sekarang saya sudah tahu, ini sudah memilih,” tambahnya
memperlihatkan jari tangannya yang sudah bertanda tinta. Ada yang memilih ada juga yang tidak. Di antara mereka ada yang belum masuk dalam daftar Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan oleh KIP atau sedang berada di luar kota saat pemilu berlangsung. “Saya lihat lewat TV saja, malas untuk pulang kampung, jauh,” ujar Ahmad salah seorang pedagang. Dia mengaku tidak tahu apakah namanya masuk daftar pemilih atau tidak. Kampung halaman Ahmad di Aceh Utara, sudah dua tahun ia merantau ke Banda Aceh mengikuti jejak saudara laki-lakinya. Hal yang sama juga dialami oleh Taufik Hidayat, kuliah jauh di kampung halaman membuatnya urung mendatangi bilik suara. “Nggak memilih kan tidak apa-apa, nggak dosa kan?” ujar Taufik bercanda. Suasana jalan hari itu lenggang. Hanya ada sedikit orang yang melakukan aktifitas di luar rumah. Sebagian besar toko terlihat tutup. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebagian TPS sudah tidak begitu ramai seperti yang terlihat di depan Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Baiturrahim Ulee Lheu. Hanya ada beberapa orang saja yang setia menunggu pegumuman perhitunggan suara dilaksanakan. Hal yang berbeda terlihat di TPS yang lokasinya pada sekolah di Peunayong, Banda Aceh. Para pemilihnya kebanyakan warga Indonesia keturunan china. TPS ini juga ramai didatangi oleh para wartawan yang ingin berburu berita. “Wah sebentar lagi mau ditutup TPS-nya, orang terus ramai datang,” ujar seorang laki-laki yang di lehernya tergantung bad nama bertuliskan saksi. “Iya memang, tapi kalau masih banyak yang antre, pencontrengan harus terus berjalan, saya sudah mengatakannya kepada kepala desa,” ujar Faisal, polisi yang bertugas mengamankan TPS. Di arena TPS itu hanya terlihat dua orang berseragam polisi lengkap senjata di bahunya. Mereka duduk santai di kursi bawah pohon dekat pagar. “Nanti perhitungannya juga dilakukan di sini, biar sama-sama
53 Merekam Demokrasi Aceh
tahu,” kata Faisal. ***
U
dara semakin panas. Kekacauan saat pemilu yang ditakutkan tidak pernah terjadi. Proses perhitungan sampai malam hari. Beberapa minggu kemudian hasil pemilu baru dapat
diketahui. Yang mengejutkan di antara enam partai lokal yang berlaga dalam pemilu di Aceh, kemenangan mutlak menjadi milik Partai Aceh. Partai para mantan kombatan ini berhasil merebut banyak kursi di tinggkat DPR Aceh dan DPRK. Pada tingkat nasional kemenangan berhasil diraih partai Demokrat. Tapi apakah pesta demokrasi selalu berakhir damai di bumi serambi mekah? “Dulu, saat kerajaan Aceh Darussalam, walaupun belum sedemokratis seperti sekarang tapi juga dibentuk forum pemilihan saat mau diangkat sultan,” ungkap Ridwan Aswad, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Kata Ridwan, hal ini pernah disinggung dalam buku De Inrichting van Het Atjehsehe Staatsbestuar Onder Het Sultanaat atau susunan Pemerintahan Aceh pada masa kesultanan yang ditulis oleh KFH Van
Lagen. Buku yang ditulis oleh Van Lagen pada tahun1888 itu menyebutkan hulabalang (uleebalang) yang berjumlah 12 orang, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan sultan, berkewajiban memilih sultan di antara keturunan-keturunan sultan, siapa yang berhak memerintah kemudian. “Walaupun kemudian ada kudeta-kudeta, karena di Aceh pemberontakan itu sebenarnya bukan barang baru lagi, ribut di Aceh
54 liku pesta demokrasi di aceh
itu penyakit lama,” kata Ridwan lagi sambil membolak-balik buku di tangannya. “Tapi mudah-mudahan pemerintah kali ini akan baik-baik saja tidak
ada lagi naik turun pemerintahan,” harap Ridwan. Sewaktu masuk Belanda ke Aceh, pengangkatan gubernur-nya dilakukan langsung dari Batavia, begitu pula sewaktu Jepang ada. Ridwan berjalan tertatih ke meja kerjanya. Kemudian mengambil sebuah buku, dia berbicara bahasa belanda sambil tersenyum. Umurnya sudah lebih 60 tahun, tapi ingatan dan lafal bahasa Belandanya masih begitu bagus. Pada tanggal 3 November 1945, dikeluarkannya maklumat untuk membentuk partai politik oleh pemerintah Indonesia. Dalam waktu singkat terbentuklah partai MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik Indonesia serta Partai Nasionalis Indonesia. Kemudian provinsi di Sumatera dibagi menjadi tiga yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Awalnya propinsi Aceh berdiri sendiri dengan Daud Beureueh sebagai gubernurnya, namun tak lama kemudian kembali digabung ke dalam wilayah Sumatera Utara. “Pemilu pertama setelah Indonesia merdeka digelar dua kali, yang pertama untuk memilih anggota parlemen yang kedua barulah pemilu memilih konstituante yang bertugas merubah undang-undang dasar,” ungkap M Adli Abdullah, pemerhati sejarah. Pemilu pertama di gelar pada tanggal 29 september 1955 sedangkan pemilu yang kedua digelar pada tanggal 15 Desember tahun yang sama. “Walaupun dalam catatan aktivis pro-demokrasi pemilu pertama merupakan yang paling demokratis, tapi saat itu masyarakat Aceh melewatinya dalam masa konflik DI/TII,” kata Adli. Konflik di Aceh muncul pada 21 September 1953, saat mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Teungku Daud Beureueh memploklamirkan berdirinya Negara Darul Islam, karena sakit hati pada Jakarta yang melebur Aceh dalam Sumatera Utara.
55 Merekam Demokrasi Aceh
Pemberontakan terus berlanjut, dan pelaksanaan pemilu di Aceh terpaksa ditunda karena berada dalam kendali tentara DI/TII. Kisah Darul Islam ini kemudian berakhir dengan damai pada 9 Mei 1962, setelah musyawarah besar rakyat Aceh. Daud Beureueh bersedia turun gunung. Sebelum Daud menghentikan pemberontakan, 29 Mei 1956 Provinsi Aceh kembali dibentuk. Setahun kemudian, Ali Hasyimi diangkat sebagai gubernur. Bersama itu pula kemudian dilantik anggota DPRD aceh yang berjumlah 30 orang. Yang merupakan perwakilan dari Partai Masyumi 23 orang, Perti empat orang, PNI tiga orang dan PARKINDO serta PKI satu orang. Pemilu ini diikuti oleh 546.379 masyarakat Aceh. Pemilu Orde Baru dilaksanakan untuk pertama kalinya pada 5 juli 1971. “Pemilu kala itu cukup aman di Aceh dalam arti tidak ada konflik bersenjata, yang menang ada PERTI, PARMUSI dan NU. Kala itu ada sembilan partai yang saya tahu,” ujar Adli. “Golkar saat itu kalah di Aceh, ini membuktikan bahwa semua partai bentukan pemerintah kalah di sini,” tambah Adli lagi. Berselang enam tahun kemudian pesta demokrasi kembali digelar tepatnya 2 Mei 1977. Sebelumnya, pada 4 Desember 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka. Pengiriman tentara pun kembali dilakukan pemerintah pusat. Senjatapun kembali meletus, pemilu kembali diadakan dalam situasi konflik. Tiga daerah menjadi kosentrasi pemberontakan adalah Pidie, Aceh Utara dan Aceh timur. “Saat itu partai sudah dilebur menjadi tiga, ada PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan Karya) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), tapi yang menang di Aceh PPP kalau Golkar masih sedikit yang melirik,” kisah Adli. Pada pemilu ini PPP menjadi pemenang dengan mengantongi suara
56 liku pesta demokrasi di aceh
57,5 persen dan memperoleh 15 kursi sedangkan Golkar mendapat 12 kursi dan satu kursi untuk PDI. Pemilu selanjutnya dilaksanakan pada Mei 1982. Kala itu letusan
senjata sudah jarang terjadi. Angota Aceh Merdeka lebih memilih diam sementara. Pada 23 April 1987 diadakan pemilu lagi. “ Waktu itu nampaknya Aceh dalam keadaan aman tapi sebenarnya operasi terus dilakukan oleh ABRI,” ungkap Adli. Sejak Mei 1989 sampai 7 agustus 1998 TNI menetapkap operasi Jaring Merah atau yang lebih dikenal sebagai Daerah Oprasi Militer (DOM) untuk Aceh. Dalam rentang itu, Pemilu berlangsung pada 9 Juni 1992. saat itu wilayah yang tidak dimenangi oleh Partai Golkar akan diberlakukan jaga malam yang ketat. Karena daerah itu dianggap tidak pro kepada pemerintah. Sama halnya dengan pemilu pada 29 Mei 1997, juga berlangsung dalam kondisi yang tidak aman. Pemilu saat itu di Aceh dimenangkan oleh Golkar. “Masyarakat kala itu sudah pintar agar kekerasan berkurang mereka memilih nomor dua, intinya menang Golkar hidup tidak susah,” papar Adli sambil tersenyum. Ketika era reformasi, pemilu digelar pada 7 Juni 1999. Status DOM sudah dicabut di Aceh. Tapi kalangan sipil menyerukan pemboikotan pemilu, karena pemerintah dianggap tidak serius dalam menangani masalah pelanggaran HAM. “Kala itu hanya sekitar 30 persen orang ada ke bilik suara di Aceh yang lain memilih golput, dan lagi-lagi PPP menang di sini,” cerita Adli. Pemilu di bawah bayang-bayang konflik kembali dialami masyarakat Aceh pada 5 April 2004. Kala itu daerah Aceh berstatus darurat militer. Status ini dimulai pada tanggal 19 Mei 2003 dan setahun kemudian diganti dengan darurat sipil. Saat itu, Golkar menang tipis dari PPP di Aceh. Lalu damai singgah di Aceh pada 15 Agustus 2005. Pemilu pertama saat damai adalah 9 April lalu. “Pemilu kali ini memang berbeda nilainya bagi masyarakat Aceh, ini merupakan pemilu setelah perdamaian disepakati dan memberi kesempatan bagi banyak orang untuk berpartisipasi tanpa perasaan khawatir yang itu tidak didapat
57 Merekam Demokrasi Aceh
saat konflik dulu,” ujar Saifuddin Bantasyam, pengamat politik Aceh. Ada perbedaan yang sangat nyata pada pemilu lalu di Aceh. Keikutsertaan Partai Lokal didalamnya sebagai sebuah amanah dari perjanjian damai. “Ini yang pertama terjadi di Indonesia.” Menurut Saifuddin banyak masyarakat telah menentukan pilihan mereka jauh hari sebelum pemilu. Memang masih ada masyarakat yang memilih untuk tidak menconteng, hal ini terjadi karena merasa tidak khawatir, merdeka dalam memilih dan sudah melek politik. “Dalam pemilu kali ini masyarakat lebih banyak mempercayakan pilihannya kepada parlok dalam artian ini merupakan cara masyarakat untuk menguji parlok dan masyarakat menunggu apakah kepercayaan ini akan diselewengan atau tidak?” kata Saifuddin lagi. Bagi partai yang menang di Aceh, harusnya dapat membuktikan bahwa mereka pantas dipilih. Menurut Saifuddin selain pemilihan anggota legislatif, siapa yang menjadi presiden pun menjadi penting bagi masyarakat Aceh. “Relasi antara Aceh dan Jakarta memang sangat tergatung kepada siapa yang menjadi presiden nanti,” ujar saifuddin. Pemilu presiden lalu, pasangan Susilo Bambang Yodhoyono – Boediono dipastikan memang satu putaran. Di Aceh sendiri, pasangan itu dipilih oleh 93,25 warga yang berhak memilih. Jumlah DPT di Aceh lebih dari 3 juta jiwa. ***
58 liku pesta demokrasi di aceh
Berlindung dalam Tradisi Oleh Muhammad Ifdhal LKBN Antara
P
agi itu, umumnya warga sibuk berkutat dengan calon-calon yang terpampang di surat suara. Namun, Alhadi mahasiswa di Universitas Syiah Kuala itu memilih diam di rumahnya. Dia
tak ikut mencontreng, padahal namanya terdaftar di Kecamatan Ulee
Kareng, Banda Aceh. Keluar rumah, suasana pagi di hari pemilu 9 April 2009 sudah ramai. Sebagian warga telah mengunjungi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di desa masing-masing. Alhadi santai saja berteman secangkir kopi di kedai sekitar tempat tinggalnya. “Pilih nggak pilih, tidak ada dampak yang signifikan bagi pembangunan,” jelas Alhadi. Hal yang sama juga dilakoni Alif Aprianto, warga Emperum, Banda Aceh yang berprofesi sebagai pegawai negeri di Provinsi Aceh. Dia memilih tidak mencontreng dan tidak hadir di TPS. Menurutnya, setelah lolos para wakil yang dipih rakyat itu jarang bertemu dengan para konsituennya. “Mereka hanya datang lima tahun sekali ke tempat daerah pemilihan mereka,” kata lelaki yang lahir 23
tahun silam itu. Lain lagi dengan Rifda, warga Ulee Lheue yang terdata dalam DPT di sana. Dia lebih memilih menjaga orang tuanya yang terbaring lemas di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA). “Mending saya jaga orang tua saya di sini dari pada saya memilih,” ujarnya. Lain lagi kondisi yang dialami Cut Fatma, warga Ulee Kareng Banda Aceh. Perempuan berumur 34 tahun ini, dipaksa Golput oleh sistem. “Saya kecewa dengan KIP Aceh, karena nama saya tidak terdaftar dalam DPT Pemilu Legislatif,” ujarnya kesal. Soal nama tak masuk DPT, pernah mendapat respon dari Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Banda Aceh, Andre. Dia mengatakan persoalan DPT merupakan momok di seluruh Indonesia bukan Aceh saja. “Kami tidak bisa banyak berkomentar kalau DPT, kami belum terbentuk saat itu,” kenangnya. Pengawas Pemilu di ibukota Provinsi itu juga melempar kritik ke KIP Banda Aceh. Mereka menilai pihak penyelenggara Pemilu itu belum maksimal melakukan sosialisasi ke desa-desa yang tersebar di sembilan kecamatan di Banda Aceh. “Kalau nggak paham mekanisme pencontrengannya, mereka (masyarakat) mengambil sikap tidak datang dan ini dihitung Golput,” tegas Andre. Ia mengaku, belum ada satu kelompok pun mengaku Golput alias Golongan Putih seperti yang dilakukan Arief Budiman aktifis demokrasi dan rekan-rekannya di Jakarta, saat pemilu 1971. “Golput memang tidak dilarang, kalau mengajak dan dilakukan secara berjamaah ini akan kita selidiki,” ujarnya. Pernyataan yang dilontarkan ke KIP Banda Aceh langsung disangkal oleh Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh, Aidil
60 berlindung dalam tradisi
Azhari. Ia berdalih Golput itu terjadi akibat kurangnya kepercayaan masyarakat kepada Calon Anggota Legislatif yang diusung partai politik peserta Pemilu bukan karena kurangnya sosialisasi.
“Kalau persoalan DPT kami akui ada masalah tapi partispasi masyarakat juga perlu dipertanyakan pada tahap Daftar Pemilih Sementara (DPS) diumumkan,” kata Aidil menepis semua tudingan itu. Data Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh, jumlah warga tak memilih pada Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan angka 39,5 persen. Jumlah partispasi masyarakat hadir ke 389 TPS sebanyak 78.689 dari 130.177 jumlah DPT kota Banda Aceh. Sementara untuk jumlah warga tak memilih di seluruh Aceh tercatat sebanyak 22 persen dengan jumlah partispasi masyarakat 78 persen. “Dibandingkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 11 Desember 2006 lalu, tingkat Golput seluruh Aceh hanya 15 persen partispasi 85 persen,” kata Direktur Eksekutif E-Card, Elly Sufriadi. Di Banda Aceh jumlah Golput Pilkada Gubernur justru lebih tinggi dari pada Pemilu Legislatif 2009. Pilkada Gubernur tingkat partispasi masyarakat tercatat 65.535 dengan Jumlah DPT sebanyak 115.633 dan Golput mencapai 51 persen. Sementara untuk Pemilu Legislatif di Banda Aceh tahun 2009, jumlah Golput sebanyak 39 persen. “Golput adalah oposisi semu,” kata Shaleh Sjafei Sosiolog dan Pengamat politik Aceh. Menurutnya banyak pelajaran yang dapat dipetik lewat oposisi semu yang dibentuk oleh masyarakat. Oposisi tak nyata atau Golput itu merupakan buah dari hasil yang diciptakan oleh anggota parlemen dan pemerintah. Ketidakpercayaan, apatis terhadap anggota dewan terhormat telah tertanam dibenak masyarakat. “Ini perlu diperbaiki, bukan hanya pada konsituen saat Pemilu memberikan sedikit bantuan seperti sembako, selebihnya mesin politik seperti partai politik dan anggota dewan terpilih tidak ada lagi melihat masyarakatnya,” kata Sjafei. Dosa lainya, masyarakat tidak pernah diajarkan berdemokrasi secara benar, yaitu demokrasi liberal. Mereka hanya diajarkan demokrasi komunal atau disebut demokrasi menguntungkan satu kelompok bukan mewakili keseluruhan. “Sulit memang untuk membangun demokrasi
61 Merekam Demokrasi Aceh
seutuhnya bila faktor ekonomi masih terbirit-birit,” jelasnya. Ia mengatakan ada cara untuk menyakinkan kembali konsituen untuk tidak melakukan oposisi semu. Pemerintah, anggota Dewan terpilih perlu melakukan intropeksi diri terhadap apa yang telah mereka lakukan dan membangun citra politik baru serta membuka konsep secara menyeluruh bagi seluruh rakyat bukan untuk individual semata. “Rangkul seluruh masyarakat untuk ikut terlibat dalm setiap kebijakan sehingga mereka merasa memiliki,” kata Manager Aceh Justice Resource Centre itu. Penyelenggaraan Pemerintah dengan membangun pilar, keterbukaan, akuntabilitas, penegakan hukum dan transparansi, pengalokasian anggaran, diyakini mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan anggota dewan. “Jangan sampai dosa itu diulangi lagi, kalau tidak jumlah rakyat yang memilih Golput akan meningkat. Walau legalitas mereka tidak terancam namun akan berdampak bila Anggaran Pendapatan Belanja Aceh benar-benar dari rakyat bukan dari subsidi pemerintah semata,” tegas Dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu. *** Golongan putih (Golput) bukan fenomena baru di Aceh bahkan juga Indonesia. Fenomena ini telah muncul lama, sejak Pemilu Legislatif 1971. Saat itu, bahkan Golput dideklarasi dan dikampanyekan besarbesaran oleh para aktifis demokrasi. Jelang sebulan Pemilu 1971 di Gedung Balai Budaya Jakarta, Arief Budiman bersama aktivis mahasiswa dan pemuda memproklamirkan sebuah gerakan moral yang disebut Golongan Putih alias Golput.
62 berlindung dalam tradisi
Karena itulah, Arief dikenal sebagai salah seorang pelopor golongan itu di Indonesia. Gerakan ini merupakan satu sikap protes terhadap sistem pemilu
dan perpolitikan yang terkesan sangat pragmatis. Pasalnya sistem perpolitikan Indonesia saat itu lebih sebagai penopang dan melestarikan kekuasaan yang dilakukan secara sistemik oleh penguasa orde baru. Peristiwa 38 tahun silam itu membuat mereka ditahan oleh penguasa selama tiga puluh hari. Sementara Pemilu di Aceh sebelumnya punya dimensi berbeda. Pesta demokrasi di provinsi paling barat Pulau Sumatera ini berlangsung beriring dengan letusan bedil kala penguasa menerapkan operasi jaring merah atau lebih dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Operasi itu dilancarkan untuk menumpas para gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun Pidie. Saat itulah, ketidaknyamanan dan keresahan untuk memberikan pilihannya tidak sesuai kehendak warga lagi. Ditambah lagi dengan geliat kampanye-kampanye para pemimpin Aceh untuk pemenangan Golongan Karya (Golkar) di bumi serambi. Bahkan sebuah semboyan sempat marak di Aceh kala itu; Pilih Golkar atau dicap Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) nama lain untuk gerilyawan GAM. Pemilu dalam konflik terakhir di Aceh berlangsung pada April 2004. Saat itu Aceh masih diberlakukan Darurat Militer dan pemilunya juga penuh kekerasan dan jauh dari istilah kebebasan berdemokrasi. Banyak warga yang digiring ke TPS untuk memilih. Damai pada 15 Agustus 2005 lalu menumbuhkan sebuah harapan masyarakat dalam kehidupan berpolitik. Pemilu sesudahnya tak ada lagi ricuh, Aceh telah menorehkan sejarah baru, melangsungkan sebuah pesta demokrasi yang berlangsung damai dan aman. Memang masih ada warga yang enggan memilih dengan beragam alasan, karena mungkin sudah tradisi dari pemilu sendiri. ***
63 Merekam Demokrasi Aceh
Berkah Lain dari Pemilu Oleh Reza Fahlevi acehkita.com
H
aji Akmal Hanif Abdullah sibuk dengan order pelanggan. Musim kampanye pada pemilu 2009 lalu, menghadirkan berkah sendiri buatnya. Banyak calon legislator dan tim
suksesnya, yang memakai jasa percetakan perusahaannya. Sebelum musim kampanye pemilu 2009, di percetakan yang diberi nama Elhanief tak begitu sibuk dengan orderan besar. Percetakannya yang baru buka pertengahan tahun 2008, dalam masa kampanye sudah memiliki keuntungan tiga kali lipat dari sebelum. Hanif, yang juga alumnus Al-Azhar Mesir, membuka usaha tersebut bukan karena adanya Pemilu di depan mata. Tapi, dia memperoleh ide setelah terinspirasi dari rekan-rekannya di Jakarta. “Saya membuka usaha ini, tidak terpikir dengan adanya pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan ke depan,� ungkapnya. Bahkan dia akan membuka cabang di Lhokseumawe. Percetakan yang dibuka 24 jam ini, sebelum kampanye menghasilkan omset perbulannya seratus juta rupiah. Dan menjelang kampanye usaha
tersebut memperoleh keuntungan tiga kali lipat. Aset selama sepuluh bulan sudah mencapai Rp 1,2 miliar. Hanif mempekerjakan 11 orang karyawan. “Walaupun ada caleg di beberapa partai yang belum melunasi hasil cetak, tapi itu tidak ada masalah dari pihak kami, karena mereka akan membayar secara nyicil,� kata Hanif. Pengakuannya, selama kampanye penghasilannya melonjak secara drastis. Partai yang berlangganan di percetakan tersebut ada Partai Lokal (Parlok) dan Partai Nasional (Parnas). Dari Parlok yang sering berlangganan adalah Partai SIRA, sedangkan Parnas dari Partai Demokrat. Namun, ada juga beberapa partai lain yang menerima jasa di percetakan tersebut, tapi tidak terlalu banyak orderannya dibandingkan dengan dua partai tersebut. Bukan hanya percetakan Hanif saja yang mendapat kesibukan pada masa kampanye. Namun, ada beberapa tempat usaha percetakan lain di Banda Aceh yang mengalami hal serupa menjelang kampanye pemilu 2009. Misalnya DJ Gallery yang berada di Jalan Pocut Baren, Kampung Laksana. Percetakan yang sama kualitasnya dengan perusahaan Elhanief ini, menggunakan jasa mesin printing. Pada pemilu kali ini perusahaan yang mempekerjakan 12 orang karyawannya tidak menyangka akan mendapat orderan lebih banyak dari partai-partai maupun caleg. “Dan bahkan di percetakan kami waktu menjelang kampanye membuka shif malam, cara kerjanya saling membantu satu sama lain, tidak mesti karyawan saja yang bekerja, tapi kepala perusahaan juga ikut membantu,� ungkap Nong, salah satu karyawati di percetakan tersebut. Hampir semua partai berlangganan di percetakan ini, dan para
66
pekerja selalu siap untuk menerima orderan spanduk, stiker, kartu nama
berkah lain dari pemilu
dan beberapa perlengkapan untuk kampanye para caleg maupun partai.
Para pelangganpun tidak mengeluh dalam segi kualitas cetakannya. “Walaupun ada dari para caleg dan partai yang belum melunasi hasil cetakan, namun kami tetap menjalin hubungan baik dengan para pelanggan. Dan mereka akan membayarnya secara bertahap, kami tetap merasa puas,” tambahnya lagi. Dari partai sendiri, dalam mengorder perlengkapan kampanye memperoleh dana dari para calegnya yang masuk partai tersebut. Dan mereka memberi dana secara patungan, tidak memiliki donasi dari luar partai. Hal itu seperti yang diakui Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh). Menurut Ketua DPP Partai SIRA, Muhammad Taufik Abda, pada masa kampanye, Partai SIRA sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 500 juta, dana tersebut diperoleh dari caleg-calegnya. Mereka juga mencetak spanduk, stiker, baliho dan beberapa atribut untuk kampanye. “Dan dalam hal tempat percetakannya kami hanya memfasilitasi yang ada di Banda Aceh. Namun, ada juga yang mencetak di luar Aceh, itu pun karena kebetulan para caleg yang lagi berada di luar daerah,” tambahnya. Tidak hanya dari Partai SIRA yang melakukan hal demikian. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapat 4 kursi di DPRA, mendapat dana untuk keperluan kampanye, dari para caleg dan juga dari anggota DPR-RI dan DPRA dari PKS. “Dan dana tersebut tidak dipatok, tapi, tetapi berapa yang dikasih oleh para caleg tersebut,” kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Aceh, H Ghufran Zainal Abidin, MA. ”Namun, ada juga yang mencetak atribut tersebut, secara sendirisendiri menurut keperluannya,” tambahnya lagi. Hubungan caleg dan percetakan saling menguntungkan saat perta demokrasi berlangsung. Kendati banyak caleg yang gagal menjadi anggota parlemen, tapi tak sedikit percetakan yang mendapat berkah sendiri dalam Pemilu 2009 di Aceh. ***
67 Merekam Demokrasi Aceh
Kemenangan karena Rakyat Oleh Zulkarnaini Bisnis Indonesia Pada pemilu legislatif 2009 Partai Aceh dari lima partai meraih suara terbanyak mencapai 43 persen suara. Akankah demokrasi berlangsung di bumi mekkah itu?
P
erhitungan terakhir Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh, Partai Aceh menang mutlak dalam pemilu legislatif di Aceh 8 April 2009 lalu, partai yang didirikan mantan
petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini meraih suara 46,9 persen. Memang tak sebesar keyakinan Partai Aceh yang mengklaim mendapat suara 70 persen. Namun, dengan angka tersebut, partai ini menguasai mayoritas kursi parlemen Aceh. Partai Aceh berada di urutan pertama dengan perolehan 33 kursi, disusul kemudian Partai Demokrat berhasil meraih 10 kursi di DPR Aceh. “Demokrasi untuk Aceh dicari model baru,� begitulah kata Teuku Ardiansyah, pengamat politik Aceh. Pasca kemenangan para kombatan itu dan juga kemenangan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Desember 2006, demokrasi dan pemerintahan di Aceh mulai dibicarakan oleh semua elemen masyarakat. “Sampai saat ini belum ada gambaran tentang demokrasi, hukum, akses keadilan dan bebas mengutarakan pendapat di Aceh,�
kata Ardiansyah. Kehadiran partai yang pernah membuat kekhawatiran pihak Jakarta dan elit-elit politik ini, ingin memperjelas kembali isi amanah MoU Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 untuk mengakhiri konflik. Prioritas utama diperjuangkan Partai Aceh setelah sah menduduki gedung perlemen, kata Juru Bicara Partai Aceh, Adnan Beuransyah adalah mengimplementasikan secara jelas butir-butir MoU yang telah disepakati bersama. “Soal kepastian hukum terkait kewenangan pengelolaan ekonomi, gas dan freeport sabang, kepastian hukum adalah landasan, dari sini tumbuh kesejahteraan, sosial, ekonomi, politik dan keamanan,” jelas Adnan. Pasca-MoU
Helsinki,
GAM
telah
komitmen
meninggalkan
perjuangan bersenjata dan berganti dengan perjuangan politik. Untuk tujuan itu, GAM telah ikhlas memusnahkan semua senjata yang menjadi alat perjuangan selama ini dalam usaha memisahkan Aceh dari Indonesia. Bahkan, GAM juga telah ikut berpartisipasi dalam Pilkada 2006 lalu. Sebanyak delapan pasangan bupati/wakil bupati yang berbasis gerakan, unggul menjadi pemimpin di wilayahnya. Sama halnya untuk posisi gubernur Aceh. Sejak enam Partai Lokal (Parlok) disahkan mengikuti Pemilu 2009 di Aceh, menurut Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, wacana politik lama berhenti dan etika demokrasi baru harus dijalankan. “Parlok adalah dialektika positif demokrasi Aceh yang harus diterima sebagai salah satu solusi penguatan rekonstruksi dan perdamaian.” Adnan Beuransyah mengatakan tak mudah bagi GAM untuk mengubah arah perjuangan, dan mengubah dan membentuk sistem
70 kemenangan karena rakyat
pemerintahan yang adil. Dalam proses pemilu 2009 Partai mantan GAM ini banyak menerima intimidasi, tidak hanya itu 6 kader Partai Aceh kehilangan nyawa, “mahal bagi kami sebuah perdamaian dan
mendirikan partai,” ujar Adnan. Sejak Partai Aceh lewat verifikasi dari Departemen Hukum dan HAM, Adnan mengklaim partainya yang paling banyak menerima intimidasi dan penembakan terhadap kader partai serta pembakaran,penggranatan kantor warna merah itu. “Ini tantangan bagi kami untuk membangun Aceh yang adil dan sejahtera,” kata Adnan. “Enam kasus penembakan yang dialamatkan ke Partai Aceh tidak laporkan ke Panwalus Aceh. Kami tau mereka tidak sanggup menyelesaikan ini, apa mungkin kami menembak kader sendiri?” sambungnya. Kematian 6 tokoh yang dianggap sangat berpengaruh bagi Partai Aceh, menurut Adnan, hingga kini sudah ditangani oleh aparat kepolisian. Ada beberapa kasus yang terungkap kemudian, setelah pemilu legislatif berlangsung. Banyak pihak yang menuding Partai Aceh melakukan teror dan intimidasi dalam pelaksanaan tahapan pemilu legislatif April lalu. Ketua Panwaslu Aceh, T. Nyak Arif Fadhilasyah mengaku banyak menerima laporan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh Partai Aceh, namun kasus yang dirterima tidak bisa dilanjutkan penyidikan dengan alasan tidak dapat dibuktikan, “Tiap hari kita terima laporan pelanggaran pemilu, mereka tidak berani menjadi saksi,” ujar dia. Panwaslu Aceh mencatat 247 kasus pelanggaran pemilu legislatif di Aceh. Sebanyak 16 kasus intimidasi yang dilaporkan kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Beberapa kasus dilimpahkan kepada kepolisian, sebagian besar dikembalikan karena tak cukup bukti. Zainal Abidin, anggota KIP Aceh mengatakan usai pleno hasil rekapitulasi suara seluruh daerah pemilihan, pihaknya memboyong 52 kasus pelanggaran pemilu ke Mahkamah Konsitusi, dalam catatan laporan itu yang paling doninan di antara kasus yang dilaporkan adalah tidak pidana pemilu. “Kita belum tahu apakah semua kasus bisa dilanjut ke penyelidikan,” sebut Zainal.
71 Merekam Demokrasi Aceh
Menurut lembaga internasional Carter Center dan Uni Eropa yang ikut pemantau pemilu di Aceh, pihaknya tidak menemukan intiminasi pada hari pencontrengan. “Proses ini menunjukkan sudah baik dibandingkan dengan provinsi lain,” kata Ardiansyah Teuku Ardiansyah menyebutkan, kemenangan Partai Aceh bukan aksi teror dan intiminasi, semua partai mengalami hal yang sama. Partai Aceh tidak hanya diteror bahkan pengeranatan dan pembunuhan terjadi pada kader Partai Aceh. Tapi hal itu tidak bisa disebut sebagai tindakan pelanggaran pemilu karena sampai kini belum ada penegakan hukum yang jelas. Kemenangan Partai Aceh sebut Ardiansyah tidak ada unsur masyarakat ketakutan, jika Partai Aceh kalah. “Kalau orang memilih Partai Aceh karena intimidasi tidak ada buktinya, apakah karena takut atau nggak, itu tidak ada referensinya.” Kemenangan Partai Aceh menurut mantan direktur Katahati Institute itu, partai lokal yang satu ini sangat memahami masyarakat Aceh. Mereka kerap mengedepankan isu soal bagaimana MoU Helsinki, isu undang-undang pemerintahan Aceh, kesejahteraan itu kemudian lebih dekat dengan isu kebutuhan masyarakat paling tidak dengan situasi masyarakat sekarang ini. Jarang bicara soal ekonomi global. “Itu kemudian yang membuat warga memilih Partai Aceh.” Setelah kemenangan diraih, Adnan siap menjamin kesejahteraan rakyat dan Aceh selalu damai. “Ini langkah yang tepat untuk memakmurkan rakyat, bukan memakmurkan GAM saja,” demikian Adnan Beurasyah. Publik masih menunggu kiprah para wakil rakyat setelah dilantik nantinya. Setidaknya harapan kemakmuran Aceh juga bertumpu pada partai yang paling banyak menang, Partai Aceh. ***
72 kemenangan karena rakyat
Bukan karena Iklan Oleh Rizki Maulida Aceh Feature
M
enjelang pemilu di Aceh, jalanan dipenuhi dengan berbagai iklan politik mulai dari stiker di tiang listrik, poster, spanduk, umbul-umbul, baliho atau billboard. Layaknya musim
hujan, saat jamur tumbuh di mana-mana. Bahkan tidak mengizinkan sedikitpun tiang-tiang maupun pohon-pohon kosong begitu saja. Warna-warni memenuhi trotoar jalan, mulai dari merah, kuning, hijau, biru, orange, hitam dan putih. Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY) bahkan sempat menyinggung hal ini “Biarkan pemilu ini berjalan, poster menempel di jalanan, biarkan saja pohon lobanglobang akibat paku dari memasang poster, bahkan lobang pemilu yang lalu juga belum hilang, tak apa untuk berjalan pemilu dengan baik,� katanya dalam pidato saat berkunjung ke Aceh, April 2009 lalu. Benarkah siapa yang lebih banyak iklannya itu yang menang? Seberapa pengaruhkan iklan luar ruang ini? Bagaimanakah aturan hukum itu sendiri pada iklan politik? Dan, berapa rupiahkah dihabiskan untuk mencuri hati masyarakat?
Di Aceh, Pemilu Legislatif pada 9 April 2009, diikuti oleh 44 partai. Selain partai nasional, ada enam partai lokal yang ikut serta. Dengan begitu banyak partai yang ikut pemilu kali ini, masyarakat juga kebingungan memilih. Seperti komentar salah satu mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Siti Murhamah. “Pemilu ini banyak kali partai, entah apa-apa bingung milihnya, ditambah lagi di jalan banyak poster-poster,” ujarnya. “Bingung aja pas buka kertas suaran, pilih mana yaa.. bagusnya sih jangan banyak kali kayak pemilu tahun 2004 lalu,” tambah Aina, rekan Siti. Iklan di jalan-jalan beragam pesan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fahmi Yunus, aktifis sosial di Aceh, pesan umumnya menjanjikan sebuah status yang serba baik. Misalnya memakai katakata perubahan, pembangunan, ekonomi, kesehatan, perempuan, kejayaan masa lalu, persatuan dan kesatuan, keadilan, perdamaian, perjuangan, berkarya, berupaya, mengkritisi dan menpertanyakan hati nurani, mempertahankan syariat islam bahkan ada yang hanya mengangkat tangan sambil tersenyum meminta mohon do’a restu. Pesan dengan tema mohon doa restu dan perdamain menjadi pilihan terfavorit para calon legislator dalam pemilu 2009 di Aceh. Riset yang mengambil sampel pada dua belas ruas jalan utama kota Banda Aceh, ada 45 iklan yang menyebut-nyebut mohon doa restu. Sementara tema perdamaian lebih digemari dengan 46 pesan. Salah satu contoh iklan politik tersebut adalah, “Kita bangun Aceh dengan damai, menjaga MOU dan mengawal UUPA adalah tugas kita bersama. Dan disudut bawah posternya tak luput meninggalkan kata mohon dukungan dan do’a restu atas pencalonan diri saya”. Fahmi mengakui kecewa menyaksikan iklan politik. Penilaiannya,
74
pesan-pesan seperti itu jika dilihat dari segi iklannya tidak ada kreatifitas.
bukan karena iklan
Harusnya pengiklan lebih mengedepankan masalah kesehatan yang
sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat atau langsung mengatakan saya akan perjuangkan hak masyarakat. Menurutnya, pesan atau kata-kata mohon doa restu itu sering digunakan pada undangan pernikahan atau pada acara resepsi pernikahan. “Banyak sekali caleg-caleg mengunakan pesan mohon do’a restu emangnya mau kawin,” guraunya sambil tersenyum. Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum dan Sosiolog, Saifuddin Bantasyam. “Iklan seperti ini sedikit sekali pengaruh ditambah lagi dengan kata mohon doa restu itu tidak efektif,” jelasnya. Walau secara teoritis celeg menjadi terkenal di masyarakat dengan mengunakan iklan out door, namun tidak begitu berpengaruh bagi masyarakat. Iklan seperti itu tidak efektif dan masyarakat sendiri tidak mampu melihat secara keseluruhannya. Paling hanya saat perhentian lampu merah saja. “Tapi hanya ini yang dapat mereka (caleg) lalukan untuk memperkenalkan diriny,” kata Saifuddin. Penilainnya masih ada cara yang lebih menarik yaitu dengan berkunjung dari rumah ke rumah, untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Banyak caleg yang memakai jurus ini dibantu oleh tim sukses mereka. Sedikit tidaknya iklan luar ruangan juga mempengaruhi pemilih. Seperti pengalaman Husnul Azmi, seorang mahasiswi di Aceh. Menurutnya saat mencontreng, dia binggung begitu melihat kertas suara, begitu banyak nama. Lalu dia terbayang pada sebuah iklan dari sebuah kalender di kamarnya. “Lalu saya pilih dia,” ujarnya. ***
W
arna merah memenuhi dinding ruangan di dalam kantor Partai Aceh, sebuah partai lokal yang mendulang suara terbanyak Pemilu Legislatif, Aprl 2009 lalu. “Kemenangan
kami bukan karena iklan. Semua karena masyarakat Aceh, memilih atau
75 Merekam Demokrasi Aceh
tidak terserah mereka. Selama tiga puluh tahun kami memperjuangkan self goverment dan semua orang tau perjuangan ini,” kata Adnan santai. “Rakyat kita sudah matang dalam berpolitik, mereka sudah tau siapa yang akan dipilih,” sambungnya. Adnan mengakui pesan-pesan yang mereka sampaikan dalam iklan memang banyak tentang perdamaian dan MoU. “Pesan kami mendidik, juga kadang-kadang menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa masyarakat umumnya.” Ia juga menambahkan sebenarnya hajat hidup dari pada rakyat itu ada beberapa hal yang dipenuhi seperti rumah untuk para kaum dhuafa, makanan agar orang tidak mati, pakaian agar tidak telanjang, pendidikan dan kesehatan. Dan bagi Negara-negara maju telah memiliki tambahan yaitu komunikasi dan trasformasi. “Itu semuanya adalah amanah dari MoU Helsinki. Bagi kami, iklan tidak menjadi hal yang begitu penting.” Lalu bagaimana dengan iklan politik masa lalu? Ridwan Aswad, Sekertaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) mengatakan sejak zaman dulu sudah ada iklan, hanya ada dari mulut ke mulut. Pada masa zaman kerajaan Aceh dulu, dalam memilih sultan secara musyawarah, para ulee balang umumnya mengetahui pemimpin yang baru dari mulut ke mulut. “Yang paling mengingatkan saya dulu pada tahun 1971. Banyak datang artis-artis ke Blang Padang untuk kampaye dari Golkar. Hebat menggebu-gebu, juga menghibur rakyat. Tahun 1977 juga seperti itu,” kata Ridwan. Adli Abdullah, peneliti sejarah Aceh mengakui hal yang sama. Menurutnya banyak perbedaan iklan politik dulu dan sekarang, salah satunya ada masalah ideologi. “Kalau dulu, merah adalah komunis,
76 bukan karena iklan
hijau islam dan kuning adalah nasionalis dan ini terus dipegang,” kata Adli. Tambah Adli, Sekarang perang ideologi umumnya tak ada lagi,
kampanye dan iklan hanya sebatas aktifitas saja untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Iklan tak menjadi pengaruh besar untuk menggondol suara terbanyak. Tak sedikit caleg banyak iklan tak menang dalam pemilihan lalu. ***
77 Merekam Demokrasi Aceh
Yang Menang dan Ganti Nama Oleh Taharah Tabloid Sipil
P
agi cerah menyapa kota Banda Aceh, menambah hangat suasana kantor Partai Aceh, yang berdiri angkuh di pusat kota. Tembok bercat merah, tiang-tiang berdiri tegak dengan warna sama.
Kursi berjejer rapi di ruang tunggu. Dua perempuan setengah baya duduk di sebuah kursi panjang, berbicara tak henti dalam bahasa aceh. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi dan tegap, berdiri di ambang pintu. Membahas isu politik sekarang, dengan logat bahasa Aceh kental. Sesekali terlintas senyum menghias wajah mereka. Di dinding ruangan lain, tertulis “ Partai Aceh Dewan Pimpinan Aceh�. Tepat di bawah tulisan itu, seorang laki-laki berkaos putih dengan paduan jaket kulit coklat tua, tampak mecing dengan peci putih tengger di kepalanya. “Boh jok boh beulangan, wate trok taboh nan (Mampu atau tidaknya
nanti kita lihat). Kami membawa kepentingan rakyat, kepercayaan masyarakat yang lebih penting. Kesempatan yang diberikan harus digunakan dengan sebaik-baiknya,� ucap Adnan Beuransyah, Sekjen Partai Aceh (PA) menanggapi kemenangan.
Partai Aceh adalah partai lokal tunggal yang berhasil menembus gedung DPRA dengan menempatkan 33 kursi. Selebihnya partai nasional yang memegang kendali. Untuk DPRK juga tidak dikosongkan oleh Partai Aceh. “DPRK Pidie, yang paling banyak. Di sana kita mendapat 34 kursi,” ucap Adnan. Kemenangan Partai Aceh menimbulkan kontroversi dalam arus politik pascapemilu 9 April lalu. Sejumlah masyarakat meragukan tingkat kemampuan yang dimiliki Partai Aceh. “Masyarakat telah memberi kepercayaan kepada kita, kita harus mengemban amanah itu dengan sebaik mungkin. Jika memang ada hal-hal yang kurang, kita akan memperbaiki dan mempelajari ilmu itu,” tambah Adnan. Saat
ini,
agenda
kesibukan
partai
semakin
bertambah.
Mempersiapkan para caleg yang terpilih untuk dibekalkan dengan ilmu dan fungsi legeslatif. “Selain menjalankan kegiatan partai seperti biasanya, kita juga sedang mempersiapkan calon para dewan untuk siap, saat duduk di parlemen. Dengan dibantu oleh beberapa akademisi hukum dan politik, yang ada di Aceh.” Berbeda dengan partai lokal lain, misalnya saja PBA (Partai Bersatu Aceh). Mereka sedang melakukan pembenahan dan konsolidasi partai. “Bisa dikatakan kami sedang cuci piring habis kenduri, membenah partai pastinya,” ucap Rusdy, Sekjen PBA. Untuk dana kampaye partai, PBA menghabiskan sekitar 500 juta lebih. Itu belum termasuk dana yang dikeluarkan oleh perorangan caleg. “ Untuk dana kampanye keseluruhan kita tidak tahu pasti, karena ada caleg yang mengeluarkan dana pribadi dengan nominal banyak,” tambahnya. Kemenangan Partai Aceh, PBA menilai positif. Karena pada dasarnya PBA dibentuk sebagai partai alternatif. “Pada awalnya kita bentuk partai
80 yang menang dan ganti nama
dengan misi kesejahteraan rakyat Aceh. Dan jika ada masyarakat yang tidak mau memilih PA, kita akan tampung. Kita selalu mengatakan saat kampanye, masyarakat terserah mau memilih partai apa, asalkan partai
lokal. Yang intinya kita berharap parlemen akan diisi oleh orang kita sendiri, terlepas dari partai lokal mana pun.” PBA juga sangat menyayangkan terjadinya persaingan politik yang tidak sehat. “ Jika partai lokal kompak, parlemen tidak akan diduduki oleh partai nasional. Inikan suatu dilematis, hanya PA sebagai parlok tunggal di DPRA, selebihnya parnas,” ucap lelaki kelahiran Samalanga, 61 tahun lalu. Kepercayaan PBA terhadap PA, memberi warna politik yang positif. “Kemenangan PA itu sangat wajar, karena mereka lebih 30 tahun bersama dalam lingkup masyarakat. Dan suhu politik Aceh pun sangat mendukung hal tersebut.” Walaupun PBA tidak mampu menembus gerbang DPRA, setidaknya partai dengan nomor urut 40 ini mendapat kursi di DPRK. Untuk wilayah Bireun, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Meulaboh, masingmasingnya mengisi satu kursi. Rusdy mengaku banyak hal yang menghambat kemenangannya. Selain faktor internal, juga perilaku menyimpang di lapangan, seperti intimidasi dan strategi politik yang kurang wajar. Membubarkan partai bukan jalan yang ditempuh PBA, jika harus berkoalisi dengan partai lain itu masih dalam keputusan internal partai. “Mendirikan sebuah partai banyak menghabiskan energi dan biaya, jadi tidak mungkin kita bubarkan begitu saja. Paling tidak menjadi lembaga sosial atau ganti nama, karena kita sudah punya pendukung dan jaringan,” tegasnya. Sementara Partai Rakyat Aceh yang didominasi oleh anak muda dan aktivis LSM, optimis bertahan usai pemilu yang tak membuat mereka menang. “Kita sedang melakukan evaluasi kembali pascapemilu legeslatif, konsolidasi ulang biasanya dengan diskusi dan seminarseminar. Masih tahap pembenahan internal dan kaderisasi,” ucap Syafruddin, Wakil Sekjen PRA. Kegagalan PRA saat pemilu legislatif lalu bukan berarti tidak mampu
81 Merekam Demokrasi Aceh
bersaing dalam dunia politik. “Dua faktor kegagalan kita, faktor internal, mungkin intergitas dan finansial caleg kita kurang. Dan faktor luarnya, perubahan situasi politik, intiminasi dan teror,” tambahnya. Partai ini menghabiskan dana kampanye dalam batas wajar, sekitar 500 juta lebih, itu untuk partai saja. Karena ada juga caleg menghabiskan dana sendiri dan belum diperkirakan. “Kami tidak akan bubar, paling ganti nama.” Pascapemilu April 2009, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) juga tidak dipilih rakyat. Mereka tak puas dengan hasil yang ada, sehingga banyak agenda yang harus diselesaikan dengan menguras tenaga dan pikiran. Salah satunya, SIRA mengajukan persidangan ke mahkamah kontitusi atas hasil pemilu lalu, yang dianggap banyak terajadi kecurangan. “Kita meminta agar pemilu di Aceh diadakan kembali. Pemilu kali ini banyak terjadi kecurangan dan tidak sportif,” Ucap Safarrudin, Ketua Konsolidasi DPP partai SIRA. Terlepas dari kemelut di hadapan meja hijau bersama mahkamah kontitusi. SIRA juga sibuk membenah diri dan evaluasi internal partai. “Masih tetap semangat, kegagalan bukan berarti kalah. Tapi keberhasilan yang tertunda,” ucap Tengku Zulaini Putri, Wakil Ketua Departemen partai SIRA. Kegagalan partai SIRA untuk mendulang kursi di DPRA, sama sekali bukan karena tidak berkualitas. Mereka mengaku, mengalah demi perdamaian yang telah ada di tanah rencong tidak ternoda. “Kemungkinan besar pemilu kali ini adalah pemilu yang terburuk. Tidak ada yang namanya damai, jujur dan adil. Yang bahwa penuh dengan intimidasi dan kekerasan.” Tambah Safaruddin. Di tingkat DPRK, SIRA tak kalah telak. Mereka dapat menduduki kursi legeslatif untuk Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara, Lhokseumawe,
82 yang menang dan ganti nama
Banda Aceh dan Pidie dengan masing-masing jatah satu kursi. Soal dana, SIRA menghabiskannya sekitar tiga miliar lebih. Sumbangan dari partisan, masyarakat yang mendukung, kas lembaga
dan dana pribadi sebagian Caleg. “Tapi kami tidak akan menyerah. Masalah bubar atau tidaknya itu tergantung pada kongres dalam anggaran dasar. Karena dibentuk melalui kongres. Yang jelas SIRA akan tetap ada,” tegas Safarudin. Kemudian Partai Daulat Aceh (PDA) juga sibuk berbenah usai tak maksimal dalam pemilu lalu. “Kita sedang membenah diri. Kegiatankegiatan partai berbasis keislaman dan sosial masih kita lakukan,” ucap Tgk Ali Imran, Ketua Harian Partai Daulat Aceh. Partai Daulat Aceh sedikit beruntung. Mereka mendapat satu kursi di DPRA dan 15 kursi di DPRK, untuk daerah Meulaboh, Lhokseumawe, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Selatan, Pidie Jaya, Pidie masingmasing satu kursi. Sedangkan untuk Banda Aceh sebanyak 3 kursi dan Aceh Besar sebanyak 4 kursi. “Kendala kita, intimidasi,” tegas tgk.Ali Imran Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) juga berniat tetap eksis. Sesuai undang-undang, partai ini juga harus ikutan mencari identitas baru. “Kita masih diskusi dengan teman-teman di daerah, apa harus dibubarkan. Tapi kemungkinan ganti nama lebih besar,” ujar Ghazali Abbas, Ketua PAAS. Menurutnya pemilu legislatif di Aceh tidak berlangsung secara demokratis. Terjadinya intimidasi secara global. Dan tidak ada yang berani mengungkapkan dan melawan fakta itu. “Kita tidak akan nyaman jika menang selain dengan cara demokratis,” ucap Ghazali PAAS komitmen kepada anti politik preman dan politik uang, seharusnya menjadi acuan setiap partai. Pemilu yang sukses adalah pemilu yang setiap tahapnya dengan demokratis. Yang tidak ada indikator merusak sendi-sendi penegakannya. “Bisa dikatakan pemilu di Aceh, pemilu terburuk dalam sejarah demokratis. Sangat fasisme. Perbuatan seperti itu tidak sesuai dengan status Aceh sebagai tanah syariah.” Tambah Ghazali Abbas, mantan anggota DPR-RI di senayan ini.
83 Merekam Demokrasi Aceh
Pemilu legislatif di Aceh telah menabalkan satu partai lokal sebagai pemenang yang lolos dari keharusan bubar. Sementara lima partai lokal lain harus bubar karena tak berhasil memperoleh dukungan maksimal masyarakat Aceh. Pengakuan Adnan, mereka menang bukan karena intimidasi, tapi dipercaya masyarakat. “Partai Aceh tidak pernah memaksa masyarakat, tapi kepercayaan yang berikan kepada kita itu sangat berarti. Masyarakat dapat melihat sendiri, seberapa lama perjuangan kita untuk bangsa Aceh,� ucap Adnan. ***
84 yang menang dan ganti nama
Biola Damai Oleh Iskandar Norman Harian Aceh Tujuh tahun memimpin desa, dia harus menanggalkan jabatannya di bawah todongan senjata. Hijrah ke Banda Aceh, untuk menyelamatkan nyawa. Dengan gesekan biola tua, mengabarkan pesan damai.
I
ni kisah pak tua, Ismail Sabi. Publik mengenalnya Syeh Maneh, penggesek biola tradisional Aceh. Pria kelahiran Desa Pulo U, Kemukiman Beuriweuh, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, ini
menggeluti seni gesek biola sejak usia belasan tahun. Di desa yang kelak dipimpinnya pula, dia mendirikan kelompok penggesek biola. Namun, konflik memupuskan segalanya. Selain order pementasan yang tak ada lagi karena pertunjukan biola sering digelar malam hari, regenarasi pun mandeg. Pemuda kampung yang dididiknya harus keluar dari daerah, mencari peruntungan di tempat lain akibat konflik. Ada pula yang naik gunung menjadi gerilyawan. Suatu malam tahun 2000, empat pria berpakaian setengah loreng menggedor pintu rumahnya. Ia dijemput paksa di bawah todongan senjata. Sebagai geuchik (kepala desa-red) yang sudah dua periode memimpin Desa Pulo U, ia paham betul apa yang akan dialaminya. “Mereka yang menjemput saya, saya kenal. Saya tahu itu suruhan siapa, jadi saya ikut saja,� kata Syeh Maneh dalam suatu pembicaraan awal
tahun 2008 lalu dengan saya. Ia pun berkisah. Malam itu adalah malam kudeta baginya. Jabatannya sebagai geuchik ingin direbut dengan memanfaatkan orang-orang bersenjata. Pada malam buta itu, ia digiring ke meunasah. Dugaan tentang kudeta semakin jelas, karena di meunasah seluruh warga sudah dikumpulkan. Pria bersenjata menggiringnya ke dalam meunasah. Dia duduk di tempat imam biasa memimpin shalat, menghadap ratusan warga yang terlihat tegang. “Teungku geuchik tapeutrôn malam nyoë, pèng-pèng bantuan keu janda kageuseukuet, (Kepala desa harus kita turunkan malam ini, bantuan untuk janda sudah dia sunat-red)” teriak seorang pemuda bersenjata itu di hadapan warga. Syeh Maneh mengaku sangat tegang waktu itu. Dia menyadari ada yang menusuknya dari belakang. Kudeta malam itu dilakukan orang-orang yang kalah pada pemilihan geuchik kali kedua. Dalam suasana seperti itu, ia mengingat kembali bantuan apa saja yang pernah disalurkan kepada warganya. “Mereka mencoba mencari-cari kesalahan saja,” kenang Syeh Maneh. Tak terima tudingan itu, ia pun meminta waktu untuk membela diri. “Ada dua hal yang saya sampaikan, soal jabatan saya sebagai geuchik dan bantuan kepada warga,” jelasnya. Soal geuchik, dia menjelaskan, siapapun boleh memimpin. Tak ada masalah baginya. Ia yang dua kali dipilih rakyat, siap turun kalau itu kehendak masyarakat banyak meski periode kepemimpinannya belum berakhir. Dia dipercaya menjadi geuchik sejak tahun 1993. Ia pun bertanya pada warga, siapa yang menginginkannya turun dari jabatan geuchik untuk tunjuk tangan. “Malam itu, hanya enam orang yang tunjuk tangan, dan benar mereka orang-orang yang sudah
86 biola damai
saya duga,” ungkap Syeh Maneh. Lalu, dia kembali meminta warga yang masih menginginkannya tetap jadi geuchik tunjuk tangan. Serentak warga angkat tangan tanda setuju.
“Saat itu, ketegangan saya berkurang. Masyarakat belum terpengaruh dengan provokasi. Saya beranggapan kalaupun saya diapa-apakan, masyarakat pasti akan bantu saya,” katanya. Syeh Maneh kemudian berkata pada empat pria bersenjata yang masih di sampingnya, bahwa masalah pertama sudah terjawab, bahwa ia masih dipercayakan memimpin desanya. Selanjutnya, ia meminta beberapa janda penerima bantuan untuk maju ke hadapannya. Ada 12 orang. Syeh Maneh meminta mereka menjelaskan pemotongan bantuan yang mereka terima. Selain 12 orang itu, ada tiga perempuan lain yang hidupnya sangat memprihatinkan. Mereka menceritakan pemotongan itu atas persetujuan mereka untuk disisihkan kepada tiga perempuan miskin tersebut. “Saya tak perlu menjelaskan dengan mulut saya, karena malam itu mereka yang menerima bantuan hadir,” kenang Syeh Maneh. Setelah kedua persoalan itu terjawab, Syeh Maneh meminta waktu berbicara di hadapan warga. Dengan lapang dada, meski masih diharapkan tetap memimpin desa, malam itu dia menyatakan mundur dari jabatannya. “Masyarakat kecewa, tapi ini soal nyawa saya, saya harus mundur,” lanjutnya. Setelah peristiwa malam itu, Syeh Maneh merasa tak nyaman. Gerak-geriknya selalu jadi sorotan. Teror secara tidak langsung kembali ditujukan padanya. Tak mau keluarganya celaka, ia akhirnya memilih hijrah ke Banda Aceh. Di ibukota provinsi itu, ia harus memulai hidup dari nol. Tak banyak bekal yang dibawanya dari kampung, hanya sebuah biola tua dan beberapa lembar uang seratus ribu. Dengan modal kecil, dia mulai melakoni hidup sebagai pedagang minyak eceran di Simpang Asrama PHB, komplek perumahan yang dihuni keluarga tentara di Lampriek, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Di sela-sela menjajakan minyak kepada pengendara motor yang melintas, ia menjadi bilal di masjid komplek Sekolah Dasar (SD)
87 Merekam Demokrasi Aceh
Bhayangkara yang bersebelahan dengan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3 Banda Aceh. Di sini, dia membangun interaksi dengan warga setempat, hingga kemudian sering diminta menjadi imam shalat. Di waktu senggang, sebelum lelap dalam buaian malam, Syeh Maneh memainkan biola tuanya. Mengulang irama dan bait-bait syair lagu yang pernah dimainkannya. Beragam syair baru diciptanya, mulai soal kerinduan, romantisme, kekerasan, dan lain sebagainya. “Saya menggesek biola untuk menghibur diri dan menghindar lupa,” katanya. Dia masuk ke bilik belakang kiosnya. Sesaat kemudian, keluar sambil mengapit biola warna coklat muda yang mulai memudar. “Ini yang saya maksud, biola lama telah hilang waktu tsunami. Ketika ada tawaran konser damai Aceh, saya pinjam biola dari kawan saya di Aceh Utara,” ujarnya sambil tersenyum. Biola itu disangkutkan di lehernya, jari-jari tangan kirinya menyentuh dawai. Dengan pelan, ia mulai menggesek. Terdengar irama datar mendayu. Sesekali gesekan irama melengking. Dia menggesek biola sambil memejamkan mata, seolah menyatukan jiwanya dengan irama bernada miris. Tangannya begitu cekatan. Beberapa murid SD yang menunggu jemputan, terdiam bengong menikmati alunan nada biola Syeh Maneh. “Jarang-jarang saya main biola ketika sedang jualan. Tapi, karena kita berasal dari daerah yang sama, ini saya persembahkan sebagai penyambut saudara,” katanya sambil tersenyum memamerkan satu giginya berbalut perak. Dua irama khas biola Aceh sudah dimainkan. Ia kemudian menggesek irama Melayu. Belum habis satu lagu, dia berhenti. Seorang wanita menghampir kami, menghidangkan minuman dan makanan ringan. “Ini ibu anak-anak,” Syeh Maneh memperkenalkan istrinya. Setelah menyeruput beberapa teguk kopi, dia melanjutkan ceritanya.
88
Kini, beralih ke soal tsunami. Saat bencana dahsyat 26 Desember 2004
biola damai
itu, kiosnya hancur. Barangnya ludes. Ia harus memulai usahanya dari
nol. Biolanya juga hilang. “Tak ada yang tersisa meski hanya seutas senar,” katanya sambil menggeleng. Meski begitu, ketenarannya sebagai seniman penggesek biola tak hilang. Pascaperdamaian, ia dikontrak Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk ikut melakukan kampanye perdamaian ke seantero Aceh. Awalnya, ia mengaku bimbang. Di satu sisi kerinduannya menggesek biola sangat besar, di sisi lain ia tak lagi memiliki biola. Namun, Syeh Maneh langsung mengiyakan tawaran tersebut. Ia berangkat ke Aceh Utara, meminjam biola pada seorang kawannya. “Biola boleh hilang, tapi kawan tidak akan,” katanya. Syeh Maneh mengaku sudah menggesek biola di berbagai pertunjukan sejak tahun 1954. Mengenal biola melalui Syeh Sabon, pemimpin grup biola di kampungnya. Awalnya ia hanya dipakai sebagai pelakon, yang akan menarik dengan rentak irama biola yang digesek Syeh Sabon. Beragam peran ia mainkan, mulai dari lakon pria banci sampai gadis nan gemulai. Suatu ketika, group Syeh Sabon bertanding dengan grup biola Syah Ali pada pertunjukan pasar malam di Trienggadeng, Pidie Jaya. Syeh Maneh muda bisa mengikuti setiap irama biola dalam jenis lagu apa pun. Melihat talenta berlakon itu, ia ditarik ke grup Syeh Ali dan dibawa bertanding dengan Syeh Ishak di Krung Geukueh, Aceh Utara. Di sana, ia juga ‘dipingit’ Syeh Ishak. Ia diajak untuk melakukan pertunjukan ke berbagai daerah di Aceh. Bersama Syeh Ishak, dia tidak lagi hanya sebagai pelakon, tapi juga pemain biola dan bernyanyi. Karena suaranya yang merdu, ia digelar Syeh Maneh, Syeh yang bersuara manis (merdu-red). Kemampuannya merangkai kata bersajak dalam syair berirama membuatnya semakin dikenal. “Saat itu saya bisa bermain ke semua daerah, tapi kemudian vakum ketika tahun 1965 muncul peristiwa PKI,” kenangnya. Setahun kemudian, dia mendirikan grup Biola Aceh. Remaja-
89 Merekam Demokrasi Aceh
remaja di kampungnya dididik untuk mengembangkan kesenian biola tradisional Aceh. Bersama grup biolanya ia kembali menggesek biola dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain. Menurut Syeh Maneh, ada kebahagian tersendiri baginya bisa bermain ke berbagai daerah. Saat pertunjukan, ia membawakan syair sesuai karakter masyarakat setempat. “Bermain di daerah pesisir, syairnya tidak perlu disensor, jorok sedikit tidak masalah, malah mereka suka, tapi kalau masyarakat pedalaman harus santun,� ujarnya. Pada 2001, Syeh Maneh diundang mengisi acara festival Danau Toba mewakili Aceh. Kala itu hanya dua kesenian Aceh yang ikut, yakni biola dan seudati. Saat mau tampil, persoalan muncul, penonton tidak bisa berbahasa Aceh, sementara syair dalam seudati dan lagu biola semua berbahasa Aceh. Untuk mengubah syair seudati dalam bahasa Melayu tak mungkin. Syeh Maneh pun dituntut kreatif. Beruntung ia bisa menghafal syair dan memainkan irama beberapa lagu Melayu dan gambus. Lagu-lagu Aceh dibawakannya dengan terjemahan ke bahasa Melayu. Kepiawaannya memainkan biola itu pula yang membuatnya dipinang AMM untuk mengisi konser Aceh damai ke hampir seantero Aceh. Ia sangat bahagia, ternyata masyarakat masih mengingatnya. Di usianya yang beranjak senja, dia habiskan hari-harinya di sebuah kios. Murid-murid SD Bhayangkara komplek PHB Lamprit menjadi langgangannya. Namun di balik ketabahannya, ia tetap ingin menggesek biola dengan irama damai dan melupakan kudeta bersenjata atas jabatannya sembilan tahun silam. “Itu masa lalu, sekarang sudah damai, saya juga sering pulang kampung,� katanya menutup cerita. ***
90 biola damai
Demokrasi Cacat Oleh Alaidin Ikrami LBKN Antara
S
eratusan penyandang cacat berbaris rapi dalam sebuah ruangan hotel ternama di Aceh. Dengan khidmat menyimak nama mereka dipanggil satu persatu memasuki bilik penentu pemimpin masa
depan bangsa. Mencontreng dalam keterbatasan fisik untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Itu bukan pemilu benaran. Tetapi hanya simulasi yang ditujukan untuk kaum cacat sebagai bagian sosialisasi Pilpres. "Kita di sini belajar dan menerima pembekalan bagaimana proses pemilu nanti, khususnya bagi kita yang memiliki keterbatasan," kata Mujarifah (23), seorang perempuan tunanetra. Ia sempat terkejut saat mendengar namanya terpilih bersama sembilan penyandang cacat lain, untuk ikut simulasi mencontreng calon presiden yang difasilitasi Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat. Maklumlah, ini pemilu pertama yang diikutinya. “Iya agak sedikit grogi, karena ini yang pertama,� katanya. Setengah jam lamanya alumni SMU luar biasa ini mengantri sambil
duduk di kursi yang telah disiapkan. Dia menunggu giliran namanya dipanggil untuk mencontreng di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah disediakan panitia. Namanya dipanggil. Setelah keluar dari bilik suara, ia mengaku mengalami kesulitan ketika mencontreng di salah satu kolom bersegi tiga, yang disiapkan, walau telah dibantu kertas suara khusus untuk pemilih tuna netra yaitu template braile. “Susah mencontreng. Kami baru pegang kartas suara itu, kami tidak mendapatkan cara lebih detail saat dipapar pemateri,” kata perempuan berpakaian muslimah itu. Dalam pemilu legislatif, jelas perempuan yang akan melanjutkan kuliah di Bandung ini, para cacat tidak mendapatkan alat peraga langsung. Untuk bisa memberikan hak politiknya, dia hanya mendapat bimbingan cara mencontreng seperti orang normal. “Pada pemilu legislatif, saya didampingi orang tua,” ujar Gadis yang punya cita-cita menjadi guru SD itu, tetap semangat memberikan hak suaranya pada Pilpres 8 Juli 2009, walau perlu melatih lagi di rumah. “Saya rasa kalau sudah dipraktekkan lagi, tidak susah lagi mencontreng waktu pemilu nanti,” katanya. Hal serupa juga dirasakan Dike Okta Setiawati (24), penyandang cacat fisik lain. Ia mengaku mengalami kesulitan saat memberikan suara saat pemilihan karena belum ada akses terbuka bagi pengguna kursi roda. "Tidak tersedia ruang terbuka terkadang meyulitkan mencapai TPS. Belum lagi saat pencentangan, jarak meja dan kursi roda, juga menjadi masalah," tutur mahasiswi Universitas Terbuka di Aceh yang menggunakan kursi roda dalam setiap menjalani aktivitasnya. Dia berharap adanya akses terbuka bagi penyandang cacat. Menurut data Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panwaslu
92
Aceh, terdapat 175 penyandang cacat di Aceh yang dibekali sosialisasi
demokrasi cacat
dan simulasi cara mencentang. Dari simulasi mencontreng, diketahui
banyak belum puas setelah keluar dari bilik suara karena akses terbuka dan fasilitas khusus bagi mereka belum tersedia, dalam pesta demokrasi, padahal mereka ingin menggunakan hak politiknya dengan tenang dan nyaman. "Selama ini penyandang cacat, seperti kami yang tunanetra khususnya, sering tidak diperhatikan, padahal kami punya hak suara dan hak politik dalam setiap pemilu," kata Syarifuddin, seorang tunanetra. Tunanetra lain juga mengeluhkan mekanisme pemilihan. Ardi (29) memprotes karena dicantumkan nama calon presiden pada template braile. Baginya, ini sangat menyulitkan tunanetra. “Kalau pakai nama, waktu memilih jantung kita bergetar, jadi susah memilihnya. Seharusnya nama calon presiden cukup ditulis satu huruf depan atau inisial saja,� katanya. "Sebaiknya di kertas suara tak perlu dicantumkan nama capres, tapi cukup kode saja untuk, sehingga tidak menyulitkan kita membaca ulang.� Tak tersedianya akses terbuka inilah membuat penyandang cacat bersuara agar hak mereka diperhatikan dalam ajang pesta demokrasi lima tahunan itu. Diperkirakan sekitar 70 persen penyandang cacat yang memiliki hak pilih dalam pemilu kurang diperhatikan pihak penyelenggara pemilihan. "Itu data dari Departemen Sosial mengenai nasib penyandang cacat dalam pemilu," kata Wakil Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Pusat penyandang cacat, Happy Sebayang. Berdasarkan data di seluruh Indonesia, katanya, hak pilih penyandang cacat sering diabaikan penyelenggara hampir dalam setiap pemilu. Padahal Departemen Sosial menyebutkan, angka penyandang cacat di seluruh Indonesia mencapai 3,11 persen dari 220 juta penduduk Indonesia. "Kira-kira mencapai tujuh juta jiwa, namun yang memiliki hak pilih diprediksi 60-70 persen dari total penyandang cacat di negeri ini. Sangat
93 Merekam Demokrasi Aceh
disayangkan jika hak suara dan hak pilih mereka diabaikan,� katanya. PPUA Pusat penyandang cacat menyatakan prihatin karena pemilu Indonesia belum berpihak kepada warga penyandang cacat. Fasilitas pendukungnya belum tersedia sesuai kebutuhan. "Penyandang cacat selama ini terpinggirkan dalam pemilu, seperti penyediaan bilik suara khusus dan meja yang tidak sesuai bagi pengguna kursi roda," katanya seraya menambahkan, tak tersedianya tempat khusus dalam Pilpres membuat penyandang cacat sulit menyalurkan aspirasi politiknya. Khusus di Aceh, KIP tidak menyiapkan TPS khusus bagi penyandang cacat. Namun, penyelenggara hanya menyediakan lembaran khusus surat suara dengan huruf braile bagi tunanetra. "KIP tidak menyediakan TPS khusus bagi penyandang cacat pada Pilpres, karena memang tidak ada aturan baku tentang masalah itu, namun template khusus untuk tunanetra kita sediakan" kata Ketua Divisi Sosialisasi KIP Aceh, Akmal Abzal sambil menyebutkan bahwa Komisi pemilihan Umum (KPU) tidak menganggarkan dana untuk pembuatan TPS yang bisa diakses penyandang cacat. “Masalahnya masyarakat kita juga belum sadar betul akan kepentingan penyandang cacat, tempat-tempat umum juga banyak yang belum ramah terhadap penyandang cacat,� tambah Wakil Ketua KIP Aceh, Ilham Syahputra. Penyandang cacat selama ini terpinggirkan dalam setiap pemilihan umum. Hak-hak mereka kerap diabaikan. Happy menilai, pengabaian hak penyandang cacat sebagai pelanggaran hak azasi manusia (HAM), apalagi berkaitan dengan hak berdemokrasi. "Hal ini tidak main-main, karena mereka penyandang cacat juga punya hak suara dan memilih dalam pemilu," katanya. Apalagi, tambahnya, jika melihat kecurangan yang terjadi di setiap
94
pemilihan salah satunya adalah penggelembungan suara penyandang
demokrasi cacat
cacat. "Kita menerima laporan banyak penyandang cacat tidak
memilih, tapi di namanya ada yang mencontreng. Belum lagi laporan pemanfaatan kekurangan fisik digunakan untuk memanipulasi kertas suara," katanya. Temuan PPUA pada pemilihan legislatif April 2009, kata Happy, sudah dilaporkan ke KPU Pusat dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. "Ini sebagai langkah advokasi agar aturan khusus bagi penyandang cacat dalam setiap pemilu termasuk Pilpres dapat disediakan tempat representatif," katanya. Happy berharap, dengan advokasi dan meningkatkan kebutuhan informasi tentang pemilu setidaknya dapat memberikan pendidikan bagi para penyandang cacat yang ingin menggunakan hak pilihnya Pilpres 8 Juli 2009. Apalagi disebut-sebut Pilpres adalah ajang demokrasi Indonesia yang paling prestisius. Hampir semua mekanisme yang digunakan dalam aturan merupakan konsep baru yang merujuk pada pemilu sebelumnya. Namun disayangkan berbagai pihak justru menilai lebih tidak efektif dibandingkan pemilu lalu, terutama bagi penyandang cacat. “Jika memang aturan baru lebih baik, kenapa tidak ada aturan yang mengatur mekanisme pemilihan bagi penyandang cacat,� kata Syarifuddin Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Aceh. Hal senada dikatakan Syarifah (65), seorang penyandang cacat lain. Hampir setiap pemilihan, pemenuhan fasilitas dan akses untuk memilih tak pernah ada. “Kita selalu disulitkan karena tidak ada fasilitas memadai untuk penyandang cacat lebih nyaman dalam memilih, apalagi pengguna kursi roda,� kata ibu yang menggunakan kursi roda ini untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari. Berkaitan dengan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan fasilitas dalam memilih, Happy mengaku, panitia memang mengakomodir kebutuhan penyandang cacat, tapi kebutuhan itu belum dioptimalkan. Bahkan alat bantu untuk pemilih tunanetra yang disediakan KPU, tidak difungsikan oleh sejumlah petugas di TPS, sehingga tunanetra tidak
95 Merekam Demokrasi Aceh
bisa memberikan hak suaranya. Kekurangan fisik yang dimiliki seseorang juga kerap menjadi alasan bagi petugas TPS untuk tak menerima penyandang cacat menyampaikan aspirasi politiknya. “Ini pengalaman paling buruk yang saya alami waktu Pilkada Aceh, penyandang cacat tidak dibolehkan memilih setelah tiba di TPS oleh petugas, dan kita semua ribut di tempat itu,� kata Syarifuddin, seorang tunanetra. Dia mengakui, tidak semua kebutuhan penyandang cacat dapat diakomodir dengan baik. Namun ia berharap setidaknya keinginan penyandang cacat itu tidak diabaikan hanya dikarenakan keterbatasan fisik. “Kita sadar pemerintah sudah berupaya maksimal. Meski fasilitas yang diberikan belum semuanya ada, tetapi setidaknya jangan sampai kami yang minoritas ini hak hak pilih juga digantung bahkan dipotong hanya karena fisik kami tidak sempurna, kami juga punya hak,� katanya. ***
96 demokrasi cacat
Usai Jamuan di Sebuah Jambo Oleh Fakhrurradzie Gade acehkita.com (Nurdin Hasan, dan Yuswardi A.S. menyumbang bahan untuk laporan ini)
M
ahyuddin baru saja tiba di Jakarta dari Kuala Lumpur saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menghubunginya melalui telepon selular. Di ujung telepon, Kalla memberinya tugas
khusus. “Mahyuddin, kamu harus meyakinkan orang lapangan agar mereka setuju dengan perdamaian,� pesan Kalla. Tak buang waktu, Mahyuddin mencari tiket pesawat tujuan Medan. Bersamanya ikut Farid Husain, negosiator Indonesia dalam perundingan Helsinki, ibukota Finlandia, dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dari Bandara Internasional Sukarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten, keduanya naik pesawat Garuda Indonesia penerbangan pertama. Kepergian mereka, tanggal 10 Agustus 2005 itu, ke Aceh, sangat rahasia. Mahyuddin tak memberitahu siapapun tujuan keberangkatan mereka kali ini. Begitu juga Farid, termasuk pada istrinya. Sesampai di Bandara Polonia Medan, Mahyuddin dan Farid ketemu banyak tokoh Aceh. Tapi, keduanya bungkam. Dari Medan, mereka naik penerbangan khusus milik ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa
asal Amerika Serikat (AS) – yang menguras isi perut bumi Aceh sejak awal 1970-an, dan mendarat di bandara Desa Nibong, Aceh Utara. Dua kolega Mahyuddin telah menunggu dengan Kijang Innova. Mahyuddin dan Farid dibawa ke masjid Nibong, tak jauh dari bandara milik Exxon. Satu truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut batu dan pasir sudah siaga. Dengan truk inilah mereka akan menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer untuk bertemu Jurubicara GAM Sofyan Dawood. Siang itu, Mahyuddin dan Farid bertemu Sofyan di Pante Bahagia, sebuah bukti di pedalaman Aceh Utara. Agendanya, melaksanakan tugas Jusuf Kalla untuk meyakinkan GAM lapangan, menerima keputusan pimpinan mereka di Swedia, yang akan berdamai dengan pemerintah Indonesia. “Kalau orang lapangan tidak setuju perdamaian, ini bakalan repot,” ujar Kalla pada Mahyuddin. Perjalanan ke Pante Bahagia melintasi medan berat: jalanan berbatu dan berbukit. Perasaan was-was menyelimuti kedua “pelobi” ini. Apalagi, sepanjang perjalanan, mereka menemukan puluhan pos TNI, Brimob, dan polisi. Mereka harus menempuh jalan tikus berliku, untuk menghindari pasukan pemerintah yang berjibun jumlahnya. Beruntung, selama perjalanan mereka tidak dihentikan aparat. Menurut Farid, setiap kali bertemu pos aparat, sang supir langsung mengangkat tangan dan memberi salam. ***
D
ua tahun sebelum perjalanan ke Pante Bahagia, Mahyuddin mulai terlibat dalam menjajaki upaya perundingan kembali antara GAM dan Indonesia. Suatu hari, dia dipertemukan
98 usai jamuan di sebuah jambo
dengan Farid oleh Sutejo Juwono, sekretaris menteri koodinator bidang kesejahteraan rakyat (Menko Kesra). Perkenalan Mahyuddin dan Farid berlangsung di Hotel Sahid Makassar. Mereka menghabiskan malam
sambil bersantap ikan bakar. Esok hari, keduanya menuju rumah Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau, Makassar. Kalla saat itu menjabat Menko Kesra. Usai pertemuan itu, Mahyuddin dan Farid memulai “gerilya” mulai dari Aceh hingga Malaysia, Belanda dan Swedia untuk bertemu tokoh GAM. Mereka juga membangun jaringan dengan tokoh-tokoh di Aceh, termasuk para panglima GAM dan aktivis gerakan sipil. Dari sekian banyak orang Aceh harus mereka temui, ada seorang yang tetap dikenang Mahyuddin sampai sekarang yakni Teungku Idi. Ia seorang lanjut usai yang menetap di Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar. “Beliau pernah bilang pada saya dan Farid saat kami bertemu tahun 2003 bahwa suatu hari nanti, Aceh pasti damai asalkan tidak ada pihak yang berkhianat,” ujar Mahyuddin, yang ditemui ACEHKINI di Plaza Senayan, Jakarta, akhir Juni 2008. “Teungku Idi ialah orang yang diberi kelebihan oleh Allah untuk melihat masa depan. Atas permintaan Farid, beliau pernah meramal bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla akan jadi presiden dan wakil presiden Indonesia jauh sebelum pemilu 2004 digelar,” jelas Mahyuddin, sambil memperlihatkan “dokumen ramalan” tersebut. Pria asal Pidie ini mengaku, dia selalu berharap agar Teungku Idi bisa melihat perdamaian di Aceh. “Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Pada hari Jumat, sebulan sebelum MoU Helsinki ditandatangani, Teungku Idi dipanggil oleh Yang Maha Kuasa,” tutur Mahyuddin. Menurut Farid, perkenalannya dengan Mahyuddin semakin membuka jalan untuk mendekati para tokoh GAM baik dalam maupun luar negeri. Memang tak diragukan hubungan Mahyuddin dengan tokoh GAM. Sampai-sampai Jusuf Kalla berujar pada Farid: “Dia itu bukan GAM, tetapi dia lebih GAM daripada GAM.” Namun kepada ACEHKINI, Mahyuddin menegaskan bahwa dia bukan anggota GAM.
99 Merekam Demokrasi Aceh
***
K
embali ke kisah perjalanan Mahyuddin dan Farid untuk
bertemu Sofyan Dawood. Sebelum mengirim “utusan khusus”, Jusuf Kalla mengontak Sofyan. Dia menanyakan apakah GAM
lapangan mendukung keputusan pemimpin mereka di Swedia yang mau berdamai dengan pemerintah. Apalagi dalam putaran terakhir perundingan Helsinki, kedua pihak telah sepakat untuk meneken Pakta Damai. Sofyan menjawab, pihaknya pasti akan mendukung apapun keputusan yang diambil petinggi GAM di Swedia. Untuk menguji komitmen Sofyan, Wapres mengirim Farid dan Mahyuddin bertemu muka dengan jurubicara militer yang juga Panglima GAM Wilayah Pasee. Selama ini, antara mereka hanya terjalin komunikasi melalui telepon. Kepada Kalla, Sofyan memberi jaminan keselamatan Mahyuddin dan Farid mulai dari bandara Exxon hingga bertemu dengannya dan sampai mereka kembali ke bandara. “Makanya, saya kerahkan pasukan di sepanjang perjalanan yang mereka lewati. Saya juga perintahkan pada pasukan GAM bila ada kejadian tak diinginkan, keselamatan Pak Farid dan Pak Mahyuddin harus diutamakan,” kata Sofyan. Malah tanpa sepengetahuan Mahyuddin dan Farid, supir truk yang
membawa mereka juga gerilyawan GAM, lengkap dengan senjata. “Saya pesan kepadanya dan pasukan yang mengamankan perjalanan bahwa keselamatan kedua orang itu adalah prioritas utama,” kata Sofyan kepada ACEHKINI, awal Agustus 2008. Untuk mengelabui pasukan keamanan, Farid dan Mahyuddin menyamar sebagai toke pasir atau orang biasa sehingga aparat tak
100 usai jamuan di sebuah jambo
curiga. Itu pula alasannya, kendaraan yang membawa mereka ke tempat penantian Sofyan menggunakan truk pasir. “Jika mereka pakai Innova, pasti curiga aparat,” kata Sofyan Dawood.
Sesuai perjanjian, ungkap Mahyuddin, perjalanan mendekati “tempat penantian” Sofyan, setelah mereka bertemu orang bersepeda motor membawa jerigen. Benar saja, usai bertemu pembawa jerigen, mereka tiba di lokasi pertemuan dengan Sofyan. Dua tamu dari Jakarta itu disambut dan dipeluk Sofyan. Benar-benar penuh keakraban, layaknya teman dekat yang sudah lama tak bersua. Sofyan mengaku telah mengenal Mahyuddin sejak tahun 2001. Tapi perkenalan hanya sebatas komunikasi melalui telepon dan tak pernah bertemu muka. Jadi, pertemuan di bukit Pante Bahagia dengan hembusan angin sepoi-sepoi adalah yang pertama mereka bertatap muka. Pengamanan di lokasi berlapis. Mahyuddin memperkirakan, ada dua ratusan pasukan GAM mengamankan kawasan berbukit itu. Ada bersenjata lengkap. Ada berpakaian loreng, tak sedikit pula yang berpakaian preman. Mahyuddin pernah bertanya pada Sofyan soal pengamanan. “Kalau diserang, apa akan tembus ke sini?” tanyanya. “Tidak,” jawab Sofyan pasti. Jawaban Sofyan membuat Mahyuddin dan Farid bisa bernafas lega. Belakangan, Sofyan baru membongkar strategi pertemuan itu. Dalam bukunya, Farid menulis, Sofyan telah menyiapkan strategi evakuasi jika pasukan TNI menyerang. Bahkan, ia mengaku “menyesal” menyiapkan pertemuan di sebuah ladang yang harus dicapai dengan mendaki. Apalagi untuk menuju tempat pertemuan, Sofyan dan pasukannya harus menempuh perjalanan selama tiga hari-tiga malam. “Saya tidak sadari ternyata Pak Farid orangnya besar dan gemuk. Jadi, ketika saya melihat Pak Farid berjalan dan berusaha menggapai sesuatu di jalan mendaki, saya langsung memberikan tangan untuk menolongnya. Saya juga segera kontak teman yang berbadan lebih besar, sebab, kalau ada apa-apa, saya tidak bisa membawa lari Pak Farid yang berbadan besar. Tidak kuat,” kata Sofyan. Di ladang berbukit itulah, Mahyuddin, Farid, dan Sofyan
101 Merekam Demokrasi Aceh
membahas perdamaian antara GAM dan Indonesia. “Saya tanya pada Sofyan, apa GAM lapangan mau menerima perdamaian?” ungkap Mahyuddin. Jawaban Sofyan sama seperti yang diberikan kepada Kalla bahwa pasukan GAM mendukung keputusan pimpinan mereka di Swedia. Untuk meyakinkan Mahyuddin dan Farid bahwa pasukan GAM lapangan menerima perdamaian, Sofyan langsung menghubungi Panglima GAM, Muzakkir Manaf. Kabar gembira ini juga disampaikan Farid kepada Jusuf Kalla. “Sofyan dan Pak Jusuf Kalla ngobrol di telepon. Lalu Sofyan menghubungi Muzakkir (Manaf) dan menyerahkan telepon pada Farid,” ujar Mahyuddin, yang masih terlihat gagah meski sudah berusia 63 tahun. Pertemuan di sebuah bukit berlangsung akrab. Sofyan dan Farid terlibat perbincangan hangat. Sofyan menyuguhi mereka bersantap ketan kuning, ayam panggang, durian, rambutan, dan langsat, di sebuah jambo. Farid mengaku makanannya cukup lezat dan tanpa malu-malu, dia menyantap sampai kenyang. Usai bertemu Sofyan, Mahyuddin dan Farid kembali ke Desa Nibong, melalui rute dan truk yang sama. Perasaan mereka lega. Tetapi, ketegangan masih tampak di wajah kedua pria ini. Sesampai di masjid Nibong, Mahyuddin mengajak Farid merasakan kelezatan rujak khas Aceh, sembari menunggu pesawat tiba di bandara ExxonMobil. Agak lama mereka menunggu pesawat, sehingga Mahyuddin kembali mengajak Farid makan di Lhoksukon, ibukota Aceh Utara. Di sebuah warung nasi, ungkap Mahyuddin, Farid terlihat mondarmandir. Ia gelisah, sampai-sampai, tak mau makan. “Saya was-was juga, tapi bagaimana pun, ini kan kampung saya,” kata Mahyuddin. “Ketegangan” sampai membuat Farid salah tingkah. Dia hampir
102 usai jamuan di sebuah jambo
saja memberi kartu nama pejabat negara pada seorang polisi yang menegurnya. Untung saja, Mahyuddin melihat dan mencegahnya. Ketegangan itu membuat Mahyuddin menitip pesan pada Ali Jauhari,
teman yang menemaninya. “Kalau saya meninggal di sini, tolong bawa pulang jenazah saya ke Sigli,” pesan Mahyuddin. “Tolong juga kasih kabar kepada keluarga saya di Jakarta.” ***
103 Merekam Demokrasi Aceh
Dimuat di Majalah ACEHKINI edisi khusus 3 Tahun Perdamaian, Agustus 2008.
"Lon Hana Teupeue..." Oleh Murizal Hamzah theglobejorunal.com
Y
usuf terpelanting dua meter. Sepatu lars menghujam dadanya. Tubuh ringkihnya terhempas ke bumi. Sepucuk popor senjata menyambar kepalanya. Bogem mentah menerpa dagunya.
Kepalanya dibenam dengan sepatu lars kiri. Yusuf mencium tanah berumput. "Saya bukan GAM," ujarnya memelas. Insiden itu terjadi, Selasa (24 Juni 2003) di Cot Baro Geulempang Minyeuk, Kabupaten Pidie. Desa yang terletak sekitar 130 kilometer timur Banda Aceh itu termasuk wilayah kekuasaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setahun sebelumnya, Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi'e bersama istrinya Cut Fatimah dan pengawalnya tewas dalam baku tembak dengan pasukan TNI dari Tim II Kipur C Batalyon 330 Kostrad. Saya menggeser tombol kamera digital dari on ke off. Tidak bisa mengabadikan momen yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. “Matikan kamera. Jangan ambil gambar,� perintah sang komandan pasukan kepada saya dan tiga wartawan lain.
"Kemana kau lempar pistol," bentak prajurit TNI kepada warga yang kemudian diketahui bernama Yusuf, 35 tahun. Lelaki yang dikenal sebagai guru pengajian itu bersikukuh bahwa dia bukan GAM. Cecaran pertanyaan terus keluar dari mulut pasukan TNI yang menangkapnya. “Di mana kawanmu?” “Berapa orang yang ikut kamu?” dan sebagainya. Namun, Yusuf hanya menjawab, "Lon hana teupeue" (Saya tidak tahu). "Hana Teupeue" adalah ungkapan yang sudah dihapal benar oleh prajurit yang didatangkan ke Aceh untuk menumpas GAM. Mereka percaya, kalimat itu bisa berubah bila telapak sepatu, popor atau tangan yang diayunkan. Infomasi pun bisa mengalir deras. Seorang anggota TNI memperlihatkan lima proyektil yang terdiri dari peluru AK-47 dan M-16. Prajurit lain menemukan empat baterai kecil yang diduga dipakai untuk radio Handy Talky GAM. "Sudah berapa tahun kau jadi GAM?" teriak prajurit lain sambil menghajar Yusuf. Sekitar 15 menit sebelum Yusuf ditemukan, terdengar letusan AK 47 dan M-16 dari moncong senjata gerilyawan GAM. Pancingan itu disambut siaga TNI dengan memburu sumber suara tembakan tanpa melepaskan tembakan balasan sebutir pun. Mereka hanya mengendus jejak. Akhirnya, dipastikan, tembakan bersumber dari kebun coklat yang mempunyai gundukan tanah. Sangat cocok untuk berlindung. Saat penyisiran, lelaki dua putra ini ditemukan tiarap dengan sebilah parang dan empat bungkus mie instan. Adrenalin prajurit mendidih. Lima jam menyisir diiringi salak senjata GAM dari kejauhan, yang diburu tak ditemukan. Jika tidak ada wartawan yang mengikuti prajurit TNI itu, mungkin kekerasan lebih dahsyat lagi dialami Yusuf. Tak jauh, sejumlah prajurit dari Kodam Siliwangi bersiaga sekitar
106
kebun. Mereka tidak ikut-ikutan menghajar Yusuf. Ketika perang
“lon hana teupeue...”
berkecamuk, ada warga Aceh mengidolakan prajurit Kodam Silawangi.
Malah, seorang anggota GAM Pidie menuturkan pada saya, rasa hormatnya terhadap prajurit Siliwangi. Umumnya, prajurit Kodam Siliwangi lebih bisa menahan emosi. Penguasa Darurat Militer Aceh (PDMD) Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya kepada saya di awal Darurat Militer Juni 2003 pernah menyatakan, walau masyarakat Aceh meminta prajurit Siliwangi, namun tak bisa dipenuhi. Sebab empat dari enam batalyon Siliwangi, sudah dikirim ke Aceh. Masalah Bahasa Sekitar 15 menit, saya menyaksikan kekerasan demi kekerasan dialami Yusuf. Apakah saya membiarkan saja dengan alasan ini bukan wilayah kerja jurnalis? Batin ini memberontak. Teringat kisah selembar foto bocah hitam kurus kering dengan latar belakang seekor burung pemakan bangkai. Foto yang diabadikan Kevin Carter tahun 1993 di Sudan mengemparkan dunia. Mulanya, Carter ke Sudan untuk mengambil foto pemberontakan. Di lapangan, Carter menemukan seorang bocah kelaparan yang bersusah payah ke pusat pembagian makanan. Anak perempuan itu kelelahan dan beristirahat sejenak mengumpulkan tenaga. Kala seekor burung bangkai mendarat, dia pun mengabadikan suasana miris itu. Lalu karya itu dimuat suratkabar New York Times. Hasilnya, pembaca meluapkan kritik pada Carter yang dianggap membiarkan bocah itu. Dia beralasan sudah mengusir burung itu usai memotret. Kontroversi menghujani. Di sisi lain, Carter meraih hadiah Pulitzer untuk bidikan foto ini. Namun pada 1994, ia bunuh diri dengan sengaja mengalirkan gas CO dari knalpot mobil ke ruangannya. Dia meninggalkan catatan penyesalan dan kesedihan karena tidak bisa menolong anak Sudan itu, frustasi akibat terjerat hutang dan kesedihan karena sahabat karibnya tertembak.
107 Merekam Demokrasi Aceh
Saya melihat celah untuk mengurangi derita Yusuf. Komunikasi bahasa adalah entry point. Maklum, sekitar 25 prajurit gabungan tak ada yang mengerti bahasa Aceh. Dalam sejumlah kasus, tak sedikit warga sipil dianiaya prajurit TNI dan Polri karena kesalahpahaman bahasa. Misalnya, semasa di Aceh diterapkan Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989 hingga dicabut pada 7 Agustus 1998, belasan prajurit TNI bertanya kepada warga di pos jaga malam. Dengan sopan, aparat negara itu bertanya, berapa orang yang jaga malam di sini. Namun apa lacur, petugas jaga menjawab dengan yakin dan mantap, "Tidak saya bilang." Tentu, ini dianggap menantang. Berani benar, aparat dilawan. Popor senapan pun melayang. Padahal, warga itu sebenarnya ingin menyatakan, belum dihitung. Hitung dalam bahasa Aceh yakni “bileung� yang oleh warga dianggap "bilang" dalam bahasa Indonesia. Raba Betis Saya menemukan kiat untuk ikut-ikutan "menginterogasi" Yusuf dalam bahasa Aceh dan dia menjawab dengan lugas. Kemudian saya terjemahkan kepada komanda TNI. Untuk sejenak, pukulan berhenti. Darah segar masih menetes dari bibirnya. Dia menegaskan bukan GAM. "Demi Allah, saya bukan GAM," akunya. Saya pegang telapak tangan Yusuf. Lalu, saya perhatikan jari telunjuk dan telapak kanan. Saya ingin tahu, apakah dia sering menarik pelatuk? Di sela pangkal jari telunjuk tidak keras. Lalu, saya cium jarinya untuk melacak aroma mesiu. Tidak bau. Saya turunkan pemeriksaan ke betis kaki kiri dan kanan untuk memastikan apakah dia sering berolah-raga atau berlatih. Lazimnya, anggota TNI, Polri dan GAM terlatih, indikasi itu ada. Saya tidak menemukan betis Yusuf kekar. Telunjuknya normal.
108 “lon hana teupeue...�
Betisnya tak berotot yang menandakan dia jarang berolah-raga. "Rumah saya dekat jembatan itu," katanya menunjuk ke arah rumah. Saya bicara dengan sang komandan. Ia setuju ke sana dan saya
menjadi penerjemah. Itu salah satu cara membuktikan lelaki tak berdaya di depan prajurit TNI, bukan GAM. Tidak mudah menemukan warga di Cot Baroe. Kampung itu senyap. Lebih mudah menemukan gerombolan lembu daripada menyapa warga usai terdengar letupan bedil. Sebuah rumah yang sebelumnya sudah dirazia TNI hanya ada beberapa perempuan. Mereka mengaku tidak ada nama Khadijah seperti disebutkan Yusuf bahwa itu nama istrinya. Kalau yang nama Yusuf, sebut warga itu, anaknya empat, bukan dua. Anggota TNI semakin yakin, pria yang ditinggalkan di kebun cokelat itu adalah anggota GAM. Saya melirik wajah TNI itu ceria. Menangkap gerilyawan berarti sebuah prestasi. Silang Data Saya tetap pada prinsip praduga tak bersalah. Yusuf bukan GAM. Paling tidak, berdasarkan instik dan tatapan wajahnya. Di Aceh, nama Yusuf gampang dijumpai di kampung-kampung seperti nama Muhammad, Ibrahim, Abdullah dan sebagainya. Sekali lagi, pengalaman di masa DOM, ada kasus warga sipil dibunuh hanya karena memiliki nama awal sama. Di Cot Baro, ada tiga orang yang bernama Yusuf. "Ini Yusuf yang mamanya bernama Fatimah," ujar saya kepada ibuibu itu. Serentak mereka berseru, "Oo kalau itu rumahnya di depan ini." Mereka pun menuturkan, Yusuf mempunyai anak dua. Nama anak lelakinya 2,5 tahun dan nama istrinya Khatijah. Klop sudah. Saya dan komadan yang dikawal lima prajurit TNI merangsek ke rumah Yusuf. Data yang diberikan Yusuf disilangkan dengan jawaban istri dan ibu Yusuf. Cocok! Namun, Yusuf tak segera dilepas. Dia tetap dibawa ke pos TNI. Tangannya diikat ke belakang dengan tali nilon. Saya mengingatkan dia untuk tidak kabur. Memang bukan tugas wartawan untuk menjadi jaksa, pembela atau hakim. Namun tentulah alangkah bijak menerapkan asas praduga tak bersalah sebab korban memiliki alibi kuat. Sementara
109 Merekam Demokrasi Aceh
tiga rekan wartawan yakni RCTI, SCTV dan Radio 68H mendukung dan juga mengingatkan agar Yusuf tidak kabur. Yusuf terlihat menahan rasa sakit. Wajahnya khawatir. Mungkin dia menduga bakal disiksa di pos TNI itu. Alasannya, di sana tidak ada lagi wartawan. Rekan saya, Alif, reporter Radio 68H menyebutkan, jika tidak ada wartawan, korban mungkin mengalami penyiksaan lebih berat di kebun coklat itu. Dalam perjalanan pulang menjelang sore, beberapa ibu yang mengenal Yusuf menyatakan pada komandan bahwa Yusuf itu guru pengajian dan mengajar di pesantren. Mereka minta Yusuf tidak ditahan. "Dia punya murid yang banyak. Tolong dia jangan diapa-apakan," pinta seorang ibu paruh baya yang menyakini Yusuf itu bukan anggota GAM. Komandan TNI menyatakan setelah diminta keterangan, Yusuf bakal dipulangkan. Sebelum kembali ke Banda Aceh sore itu juga, saya menyempatkan diri berbisik kepada komandan, "Membunuh seorang warga sipil, sama saja kita telah melahirkan 10 anggota GAM." Dia mengangguk tanda setuju. Seminggu kemudian, saya bertemu lagi komandan TNI itu. Dia menjelaskan, setelah dua hari ditahan di pos, Yusuf dibebaskan karena tidak terlibat GAM. Hanya saja, Yusuf berada pada tempat dan waktu yang salah sehingga dia patut dicurigai bagian dari GAM. Menurut sang komandan, ibu-ibu anggota pengajian sempat “berdelegasi” ke pos TNI untuk meminta Yusuf dibebaskan karena dibutuhkan warga. Bagaimana kabar Yusuf pasca perjanjian perdamaian RI-GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki? Saya kehilangan infomasi tentang keberadaannya. Yang jelas, setiap saya melewati wilayah itu, saya terbayang-bayang wajah Yusuf yang memelas agar tidak dikasari. Apakah kini Yusuf telah menikmati damai Aceh? Karena kehilangan
110 “lon hana teupeue...”
jejak dan putus komunikasi serta infomasi, saya terpaksa menjawab “Lon hana teupeue”.***
Kursi Perdamaian Oleh Arif Ramdan Tabloid KONTRAS “Siapa yang bersusah payah untuk perdamaian Aceh, akan saya kasih kursi dari kayu grupel.” —Malio Adnan—
M
inggu, 5 Juli 2009. Siang itu panas matahari di langit Banda Aceh cukup terik. Handphone (HP) saya berdering beberapa kali. Ringtone klasik bawaan HP Nokia terus
berbunyi. Saya tidak lekas mengangkat panggilan itu, karena nomor pemanggil tak dikenal. Saya memang jarang mengangkat pemanggil yang nama dan nomornya tidak terekam di HP saya. Dering HP pun berhenti berdering. Selang beberapa menit kemudian, “Titit...tititit... tititit....” nada tanda ada pesan masuk. “Apa kabar, semoga sehat.” Wass. LK Ara. LK Ara, nama itu tak asing bagi saya. Tapi saya masih mendugaduga apa benar pesan singkat itu dari LK Ara, penyair Aceh kenamaan yang belum lama ini meluncurkan buku Ensiklopedi Aceh. Saya lalu
menghubungi nomor pengirim pesan itu. “Assalamu alaikum, ini LK Ara mana ya.” Saya coba memancing pertanyaan. “Oh ini, saya dapat nomor HP Anda dari D Keumalawati,” jawabnya. Nama terakhir yang disebut, meyakinkan saya bahwa LK Ara ini
memang penyair yang semua orang Aceh tidak asing lagi. Percakapan itu, selanjutnya mengabarkan tentang “Kursi Perdamaian” yang sudah tiba di Banda Aceh sejak Jumat, 3 Juli lalu. “Kursi Perdamaian dan pembuatnya sudah ada di Taman Budaya. Gubernur tidak jadi terima hari ini, sebab berhalangan,” kata LK Ara. Sehari sebelumnya, istri Gubernur Aceh, Darwati A Gani sedang berduka. Orang tuanya, Tgk Abdul Gani bin Ali dipanggil Sang Khalik. Bagi orang wilayah Aceh Tengah sudah lama mendengar kabar “Kursi Perdamaian”. Orang-orang di Banda Aceh tahu kabar itu dari koran yang pernah memuat berita tentang tekad seorang pengolah kayu yang punya janji menghadiahkan kursi bagi mereka yang berjasa dalam perdamaian di Aceh. Seorang dari mereka adalah yang memimpin Aceh setelah damai, yaitu Irwandi Yusuf. Malio Adnan, lelaki berusia 42 tahun itu yang punya hajat membuat kursi antik dari kayu grupel. Minggu, 5 Juli 2009, di salah satu rumah di areal Taman Budaya, Banda Aceh, Malio bercerita asal mula kursi tersebut dan kenapa mau menghadiahkannya bagi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. “Niat ini, memang sudah sejak lama. Ketika Aceh didera konflik, saya pernah punya janji kalau Aceh damai saya akan buat kursi dan akan saya hadiahkan kepada yang punya jasa terwujudnya damai,” kata Malio. Janji itu, seingatnya terbersit di awal tahun 1998 ketika reformasi baru saja bergulir di negeri ini. “Seingat saya, waktu itu masih ramai soal reformasi di Indonesia. Dan Aceh saat itu mulai bergolak,” katanya, sambil mengisap sebatang rokok. Pandangan matanya menerawang, mengikuti kepulan asap rokok yang baru dihembusnya. Baju kaos merah yang dipakainya hari itu, terlihat kumel. Malio
112 kursi perdamaian
sepertinya sengaja berpenampilan begitu. Pria tiga anak ini sedang menyelesaikan pemolesan terakhir untuk kursi spesialnya. Tanganya tak henti mengelus, mengarahkan kuas ke lekuk-lekuk kursi yang
terbuat dari kayu grupel. “Jenis kayu ini memang kelas nomor wahid,” kata Malio. Dia lalu bercerita tentang perjalanan mencari kayu itu. Tidak mudah mendapat kayu grupel. Malio menemukannya di Gunung Ujeun, Aceh Tengah. “Kayu itu sudah lama tertimbun dalam tanah, kata orang-orang di sana sudah tertimbun sejak tahun 1946, setahun setelah republik ini merdeka, ” katanya menirukan omongan orang-orang di kaki gunung yang punya cerita turun-temurun soal grupel yang ditemukan Malio. Membawa kayu itu ke rumahnya juga tak mudah. Dia harus menempuh perjalanan 10 kilometer, melewati jalan berliku, naik turun, dan sesekali mendaki sampai bisa diangkut dengan kendaraan. Akhirnya, dia berhasil membawa kayu itu ke rumahnya di Alur Relem Angkup. Grupel, jelas Malio, jenis kayu yang mengandung minyak atsiri, berwarna coklat tua, berserat dan berbunga di teksturnya. “Kursi Perdamaian ini termasuk barang langka, sebab serat dan ornamen berbunga di kayu itu cukup banyak,” katanya. “Ini menjadi warisan berharga. Kayu ini semakin lama akan terlihat semakin cantik,” tambahnya sambil terus mengelus kuas ke lekukan bagian bawah. Kenapa kursi itu hanya dipersembahkan untuk Irwandi, sementara banyak tokoh lain yang berperan lebih dalam perdamaian di Aceh? Malio hanya menjawab, ”Saya sudah niat akan membuat kursi lain, bagi mereka yang berjasa dalam perdamaian Aceh. Saat ini mampunya untuk pemimpin Aceh dulu. Nanti saya buat lagi.” Menurut dia, Kursi Perdamaian itu dihadiahkan untuk Irwandi karena rasa simpati kepada orang yang memimpin Aceh saat ini. "Irwandi Yusuf kan yang memimpin Aceh saat ini dan telah berupaya menjaga dan melestarikan damai, jadi saya rasa cocok diberikan untuk dia,” katanya. Ditanya kenapa harus diberi kursi, bukan pemberian lain, Malio mengatakan, kursi itu tempat duduk. Orang jika sudah duduk berarti
113 Merekam Demokrasi Aceh
sedang merasa nyaman. “Jadi ini perlambang bahwa rakyat Aceh sekarang bisa duduk-duduk dengan aman dan nyaman, tidak seperti waktu konflik dulu,” katanya. ***
M
alio berprofesi sebagai pengrajin kayu. Ketika konflik masih berkecamuk di Aceh, alumni Panti Asuhan Budi Luhur, Takengon, ini terpaksa hijrah ke Medan membuka usaha
baru. Di Penjara Tanjung Gusta, dia pernah melatih keterampilan untuk para narapidana. Di Medan, usahanya tidak berlangsung lama. Malio bangkrut, pasokan kayu sebagai bahan baku untuk usaha mebelnya dari Takengon sering tidak sampai tepat waktu. “Pernah suatu hari, kayu saya disita aparat. Kadang juga diambil GAM,” kenangnya. Dengan seretnya pasokan bahan baku, banyak pesanan dibatalkan karena Malio tak bisa memenuhi janjinya. Apalagi langganan di Malaysia yang punya jaringan sampai Eropa memutuskan kerjasama ketika Malio sama sekali tidak bisa menyelesaikan pesanan kursi untuk pasar Eropa. “Orang Barat itu kan kalau kita sudah tidak bisa tepat janji, ya sudah kita ditinggalkan, walaupun kita punya keahlian,” katanya. Tentang bahan baku kayu yang tak sampai ke Medan, Malio pernah merasa frustasi. Banyak order yang akhirnya tak dibayar karena kualitas kayu tidak sesuai pesanan. “Ya, saya tak tahu siapa yang ambil. Mereka yang bertikai saat itu. Anak buah saya malah pernah disandera,” katanya. Usaha Malio, kemudian benar-benar bangkrut. Konflik Aceh telah menghancurkan mata pencahariannya. Padahal sebelum suasana di
114 kursi perdamaian
Aceh mencekam, dari usahanya dia mendapat penghasilan Rp 20 juta rupiah sebulan. Ketika konflik memuncak, tak sepeserpun ia mendapat uang. ”Saya sempat jadi petani, tanam sayuran atau buah-buahan,”
katanya. Ketika perdamaian terwujud, 15 Agustus 2005, Malio juga tidak mendapat apa-apa. Ketika orang-orang di kampungnya panen rejeki bantuan, Malio hanya bisa gigit jari. “Saya tak dapat apa-apa. Banyak yang datang ke rumah mendata usaha saya, tetapi sampai kini tak tampak lagi batang hidungnya,” ujarnya. Suatu hari, kali keempat sejumlah petugas dari lembaga bantuan datang, mendata kebutuhan yang diperlukan pengusaha kayu. Karena bosan, berulang kali didata, Malio tidak banyak menjawab pertanyaan tim pendata. “Bosan saya terus didata, tapi tak ada hasil. Akhirnya saya suruh mereka lihat sendiri, apa yang sebenarnya saya butuhkan. Mereka tak bertanya pun kan bisa lihat apa yang saya butuhkan,” katanya. Suami Bulqiah ini mengaku, dia tidak terlalu berharap rezeki berkah perdamaian. “Banyak orang dapat bantuan, banyak orang datang ke Irwandi minta bantuan. Tapi saya ingin beda dari yang lain, kalau yang lain menyusahkan gubernur, ya saya mau kasih hadiah saja. Sebab ini janji saya dulu,” katanya. Niatnya menghadiahkan “Kursi Perdamaian” itu mengalami proses panjang. Malio sempat berpikir, jangan-jangan gubernur tak mau menerima. Jangan-jangan orang-orang akan menuduhnya mencari muka agar dibelaskasihani oleh Irwandi. “Tidak ada niat itu sama sekali, semuanya memang datang dari niatan saya. Ini perdamaian yang harus kita syukuri. Maka wujud syukur saya, ya buat kursi saja karena ini yang saya bisa,” ujarnya. Saat “Kursi Perdamaian” Made In Malio sudah selesai, ia sempat berpikir bagaimana cara membawa ke Banda Aceh. Bagaimana teknis menyerahkannya ke gubernur. Saat itu, Malio bersama abang kandungnya, Sinaria, merencanakan datang ke kantor gubernur, lalu duduk di sana dengan kursi yang dibuatnya itu. “Saya yakin, dengan begitu saya akan diterima gubernur, walau saya harus duduk beberapa hari dengan kursi ini. Toh orang kantor gubernur akan kasihan dan
115 Merekam Demokrasi Aceh
menerima kami, ” katanya, sambil tertawa. Rencana itu, memang tidak terjadi. Sebab, rekan kecil Malio semasa di Panti Asuhan membaca kisah Malio dan kursi yang dibuatnya itu di internet. “Dia telepon saya, sambil berkata, ada-ada saja kamu ini,” katanya menirukan ucapan Mukhtaruddin Gayo yang tiada lain kawan Malio semasa di Panti Asuhan Budi Luhur. Mukhtaruddin
kemudian
membuka
jalan
sehingga
“Kursi
Perdamaian” benar-benar diterima Irwandi. Saat itu, kata Malio, ia juga dihubungi oleh LK Ara, yang memberi kabar kepada Gubernur Aceh tentang niat Malio memberi “Kursi Perdamaian”. “Saat itu, Irwandi sudah bersedia menerimanya. Tapi mungkin nanti setelah suasana berkabung reda. Protokoler Gubenur akan menghubungi Malio, ” kata LK Ara ketika menemani Malio di pekarangan sebuah rumah di komplek Taman Budaya, Banda Aceh. Ketika Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-5 digelar pada 1 – 11 Agustus lalu, Kursi Perdamaian ikut dipamerkan di anjungan Dekranas Provinsi Aceh. Malahan, pada hari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka PKA, 5 Agustus, orang nomor satu di republik ini menyempatkan diri untuk melihat hasil karya Malio. “Kursi Perdamaian” yang dibuat Malio, memang bukan kursi pertama. Sebelumnya, lelaki berperawakan kurus ini pernah membuat kursi untuk pengacara kondang, Adnan Buyung Nasution. Kursi buatan Malio juga pernah merambah pasar Amerika, Malaysia, dan Eropa. Harga kursi seperti yang dihadiahkan Malio untuk Gubernur Aceh, biasanya dijual Malio seharga Rp 8 juta. Meskipun sudah banyak kursi dibuat Malio, namun “Kursi Perdamaian” benar-benar istimewa baginya. “Enam bulan saya selesaikan pembuatan kursi ini. Dari grupel yang istimewa, saya
116 kursi perdamaian
hadiahkan untuk Gubernur,” katanya. Malio punya obsesi membuat “Kursi Perdamaian” Jilid II,III, dan banyak lagi untuk dipersembahkan bagi orang-orang yang berjasa
dalam perdamaian Aceh. “Itu siapa namanya, Martthi Ahtisaari? yang mendamaikan Aceh. Untuk dia mudah-mudahan bisa saya buat juga,” katanya sambil berharap ada pihak yang menjembatani untuk menyerahkan langsung kepada Martti Ahtisaari. Untuk Jusuf Kalla dan SBY bagaimana? Malio menjawab, ”Doakan saja, ada rezekinya saya buatkan nanti,” katanya tersenyum. “Pokoknya siapa yang berkepentingan dan bersusah payah mewujudkan perdamaian Aceh, akan saya berikan kursi dari kayu grupel.” Malio mulai berpikir modal untuk mewujudkan semua itu. “Saya hanya bisa buat kursi. Kalau saya sendiri mungkin agak repot. Tetapi, ya mudah-mudah rakyat Aceh punya pikiran sama seperti saya. Bisa memberikan yang terbaik bagi mereka yang berjasa untuk Aceh,” kata Malio. Hari menjelang petang. Minggu, 5 Juli, Malio ditemani abang kandungnya Sinaria, terus mempercantik “Kursi Perdamaian” yang telah diboyongnya dari Aceh Tengah. Taman Budaya, hanyalah persinggahan sementara untuk “Kursi Perdamaian” Made In Malio sebelum benar-benar diserahkan kepada ‘penguasa’ Aceh. ***
117 Merekam Demokrasi Aceh
“Perang� Belum Usai Oleh Junaidi theglobejournal.com
B
elasan pria mengendap di dinding jembatan. Sebagian mereka memakai sebu dan kacamata hitam, sehingga wajahnya tak terlihat jelas, memanggul senjata AK-47. Sebagian lagi bersenjata
double luv dan beberapa pistol. Sesekali seseorang dari mereka yang berbadan lebih besar memberi perintah kepada belasan pria lain. "Awak kah blah deh, ka meusom bak binteh beh. Watee kamoe ka meutimbak, awak kah ka timbak syiet, mangat awak nyan gadoh sasaran dan hana di tuho balah timbak (Kalian di sebelah sana, sembunyi di dinding. Saat kami menembak, kalian juga harus menembak, agar mereka hilang sasaran dan tidak tahu menembak kemana," ujar pria yang sepertinya pemimpin kelompok pria itu dalam bahasa Aceh. Sekitar lima pria berbadan mungil mengikuti perintah dan langsung menyeberang jalan Banda Aceh-Medan. Mereka bersembunyi di balik dinding jembatan sebelah kanan, posisi yang sedikit terlindung saat menembak telah ditemukan. Sementara sebelah kiri jembatan, sekitar sepuluh pria masih mencari posisi yang strategis untuk membidik
sasaran. Dari jalan, keberadaan mereka tidak terlihat dengan jelas. "Kita akan menyerang tentara yang sebentar lagi ke Idi Cut," sambung pria yang tadi memberi perintah. Melihat pemandangan itu, para pengguna jalan terlihat was-was dan mempercepat laju sepeda motor karena khawatir terjadi kontak tembak dan menjadi korban peluru nyasar bila bentrokan meletus. Dari arah Medan, Sumatera Utara, satu mobil L300 jenis pick up terlihat mulai memasuki badan jembatan. Di dalamnya, belasan lelaki bersenjata lengkap siaga, membalas serangan jika ada lawan menghadang. Di tengah badan jembatan, mobil yang ditumpangi mereka harus berjalan pelan karena jalanan dipenuhi lubang dengan kedalaman 10 centimeter. Kondisi ini membuat penghadang yang sudah menunggu di dinding jembatan lebih mudah menghadang. "Serang...!,"
teriak
pemimpin
pasukan
pengintai.
Aksi
penghadanganpun terjadi, mereka yang bersembunyi di balik dinding jembatan terus menumpahkan peluru ke arah mobil ditumpangi 17 pasukan musuh, yang juga membalas serangan tersebut. Pertempuran di satu jembatan Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur, pada hari pertama Idul Fitri 1429 Hijriah hanya berlangsung beberapa menit. Tidak jelas berapa korban dari pasukan yang menumpang L300 karena mobil yang mereka tumpangi terus berlalu, namun teriakan kesakitan terdengar jelas dari mereka. Hal yang sama juga terjadi pada pasukan penghadang, sebagian mereka mengeluh kesakitan karena terkena peluru saat peperangan terjadi. Tidak ada korban jiwa, mereka hanya memar-memar terkena peluru musuh. Ini pemandangan yang terjadi di Aceh Timur saat Lebaran tiba. Puluhan anak-anak memanggul senjata mainan yang mirip senjata laras panjang asli. Mereka bermain perang-perangan seperti pertempuran
120 “perang� belum usai
antara TNI/Polri dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelum kesepakatan damai pada 15 Agustus 2005 ditandatangani di Helsinki. Sejak pagi Lebaran pertama usai shalat ied, puluhan bahkan ratusan
anak-anak berusia tujuh hingga 14 tahun memenuhi kota Idi untuk membeli senjata mainan dengan harga Rp. 20.000,- sampai Rp. 50.000,tergantung jenis dan besarnya senjata. "Saya bisa menjual senjata mainan hingga 50 pucuk pada lebaran pertama, tapi pada hari raya kedua jumlah senjata yang terjual menurun. Pada lebaran kedua dan ketiga yang paling banyak terjual adalah peluru senjata yang terbuat dari plastik," ujar seorang pedagang senjata mainan musiman, Firdaus. Menurut dia, umumnya yang paling banyak disukai anak-anak adalah AK-47 dan Double Luv, karena kedua senjata itu sangat mirip dengan senjata asli dan mudah dalam mengokangnya. "Kalau jenis pistol dan lain tidak begitu membuat anak-anak tertarik," sambung Firdaus, di sela-sela berdagang senjata mainan. Ia menambahkan, senjata mainan tersebut didatangkan dari Medan oleh sejumlah agen yang dijual kepada pedagang musiman untuk dipasarkan kepada anak-anak dari enam kecamatan di Aceh Timur. Anak-anak turun ke Kota Idi untuk mendapatkan senjata mainan tersebut. Firdaus mengaku dalam berdagang senjata mainan selama tiga hari bisa mendapat keuntungan hingga Rp 300.000 lebih. "Lebaran ini kami bisa berdagang dengan mudah karena tidak dilarang oleh polisi. Tapi kalau lebaran sebelumnya kami menjual secara sembunyi-sembunyi karena polisi menyita senjata tersebut dengan alasan bisa membuat celaka anak-anak. Jika mengenai mata bisa buta," jelas Firdaus. Sejumlah anak-anak yang ikut dalam permainan perang-perangan di sejumlah tempat seperti di jembatan Idi Rayeuk, Simpang MTsN Idi Rayeuk, jembatan Idi Cut kecamatan Darul Amal dan tempat-tempat lain mengaku aksi-aksi mereka itu dilihat saat terjadi penghadangan pasukan TNI/Polri oleh GAM beberapa tahun silam. "Kami pura-pura pasukan GAM dan yang kami hadang adalah pasukan TNI/Polri yang sedang melakukan patroli," ujar seorang anak
121 Merekam Demokrasi Aceh
yang ditemui di pinggir jembatan Idi, Muis. Menurut dia, jika peluru senjata mainan mengenai badan bisa memar dan jika mengenai mata bisa buta. "Namun kami semua pakek baju tebal dan kacamata sehingga jika peluru mengarah ke mata bisa terhalang oleh kacamata," katanya. Muis mengaku mengeluarkan uang jajan Rp. 35.000,- untuk mendapatkan senjata AK-47 belum lagi untuk membeli peluru satu plastik seharga Rp. 1.000. Dalam sehari dia bisa menghabiskan lima plastik. "Meskipun mahal, saya suka senjata AK-47 karena dulu saya sering lihat senjata jenis ini dipakek orang GAM. Dulu ayah saya juga GAM dan sering membawa pulang senjata AK-47," cerita bocah berusia 14 tahun itu. Hal yang sama juga disebutkan anak lain di Jembatan Idi Cut Kecamatan Darul Amal Aceh Timur, Ramlan. Menurutnya, main hadang musuh di pinggir jalan mereka contoh saat pasukan GAM menghadang TNI/Polri ketika Serambi Mekkah masih dilanda konflik bersenjata. "Kami melihat itu saat ada perang antara GAM dan TNI/ Polri. GAM dulu sering menghadang tentara di pinggir jembatan, kami sekarang melakukannya," ujar anak nelayan ini. Lain halnya dengan anak-anak yang menumpang mobil L300 Pick Up. Mereka mengaku mobil itu disewa dari pemiliknya dengan harga bervariasi tergantung jarak tempuhnya. "Kami sewa mobil karena rumah kami jauh dari Kota Idi. Jika naik mobil lain tak seru karena tidak bisa main perang-perangan dengan anak-anak pinggir jalan," ujar Zahri yang mengaku berasal dari Julok. Aceh Timur. Mereka tak pernah membuat kesepakatan dengan anak-anak lain untuk menunggu mereka tiba di sejumlah tempat. "Kami tidak pernah mengajak mereka berperang. Siapapun anak-anak yang kami temui di pinggir jalan yang berkelompok dan memegang senjata akan kami
122 “perang� belum usai
tembak. Kalau mereka tidak membalas, ya sudah, yang penting kami tembak," ujarnya. Setelah perjanjian damai Helsinki, empat tahun silam, sekilas terlihat
jiwa berperang sudah tak ada lagi di Aceh. Tapi itu hanya berlaku pada orang dewasa yang dulu memang suka berperang beneran. Malah akibat perang sekian tahun, kadang anak-anak yang tidak terlibat konflik ikut menjadi korban peluru nyasar. Kini, ribuan anak Aceh belum bisa membebaskan jiwa dan pikiran mereka dari perang. buktinya lihat saja aksi perang-perangan mereka di setiap lebaran. Anak-anak tidak mau tahu dengan resiko jika peluru plastik menghantam mata yang bisa membuat buta. Bagi mereka, yang penting bisa berperang layaknya orang dewasa dulu. Tentu itu akan membuat mereka cukup senang. Bagi anak-anak, perang belum usai. ***
123 Merekam Demokrasi Aceh
Bermain Api di Takengon Oleh Maimun Saleh acehkita.com Lima anggota Komite Peralihan Aceh wilayah Aceh Tengah tewas dibakar massa, satu lainnya dilempar ke sumur. Ada yang ingin merusak perdamaian. (Sabtu, 1 Maret 2008)
A
walnya adalah Bedul alias Abdul Razak. Pria 30 tahun itulah yang datang membawa proposal berujung sengit. Dia anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Linge, Aceh Tengah.
Komite itu wadah bekas tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah perdamaian Aceh diteken tiga tahun silam. Selepas perang, Bedul tak punya keterampilan. Dia dan kawankawan seperjuangan lantas melirik terminal bus di Takengon. Pikirnya, kalau dikelola baik, tentu tempat itu bisa jadi kolam rezeki. Apalagi, setelah damai, mereka belum punya pekerjaan tetap. Lalu, Bedul pun menyusun struktur pengelolaan terminal itu. Tentu, sifatnya tak resmi. Meski membangun organ informal, Bedul serius juga. Struktur baru itu dibagikan ke para sopir, bahwa ada “bos� baru di terminal itu. Tembusannya pun dikirimkan ke Dinas Perhubungan setempat. Tak lupa selembar buat Bupati Aceh Tengah. Rupanya, ulah Bedul itu membuat para penguasa? lama terminal panas hati. Mereka adalah Ikatan Pemuda Terminal alias IPT. Di tempat
itu, Ikatan sudah bercokol sejak 1978. Belakangan, urusan rupanya tak semudah perkara terminal belaka. Ketika Aceh dalam keadaan perang, IPT adalah organ yang mendukung misi Pembela Tanah Air (Peta) atau front aksi melawan separatisme. Front ini pula yang rajin memburu anggota GAM di kampung-kampung. Ada yang ditangkap, ada pula yang dibujuk agar menyerah. Tentu, TNI pada waktu itu mendukung mereka dengan sukacita karena sejalan dengan misi menghancurkan pemberontakan. Soal hubungan IPT dengan Peta itu pun sangat kentara. Ketua IPT, Muhammad Sanen, misalnya. Lelaki itu adalah tokoh Peta Kecamatan Bebesen, Takengon. Di terminal itu, ada sebuah plang nama terbaca jelas: IPT/Peta. Sanen rupanya merangkap juga Ketua Peta Bebesen. Tapi, “Itu hanya kebetulan saja,” ujarnya berkilah. Singkat kata, IPT pun menolak Bedul dan kawan-kawan terlibat dalam urusan terminal. Kalian kan sudah kaya, kata Win Ariano Putra, Wakil Ketua IPT, saat dua kelompok itu berunding, Jumat pekan lalu. Bedul mengelak. Dia bilang tak semua bekas GAM itu kaya, tapi Ariano tetap menolak berkongsi. Alasannya, laba di terminal itu tak lagi besar. Cuma Rp 150 ribu. Sekarang ada 53 anggota IPT, ujarnya. Situasi pun tegang, kedua pihak ngotot sebagai yang paling berkuasa. Ditengahi Kepala Dinas Perhubungan Aceh Tengah Zulkifli Rahmat, keduanya mencoba berembuk, Jumat pagi pekan lalu. Empat tokoh IPT datang, sementara dari KPA Wilayah Linge, enam anggota hadir. Tapi, dialog belum lagi dimulai, kerusuhanlah yang meledak. IPT menuding anggota KPA sengaja membawa senjata tajam. Menurut versi mereka, bekas pejuang GAM itulah yang petantang-petenteng. “Mereka bilang, mau tembak siapa saja yang menantang,”ujar Ariano. Gara-gara itu, bentrok fisik pun terjadi. Buntutnya, tiga anggota KPA
126 bermain api di takengon
kabur, satu babak-belur. Versi itu dibantah Ketua KPA Linge, Ramdana. Kata dia, hanya lima orang yang datang malam itu dan semuanya tidak bersenjata. Mereka
juga tak mengancam siapa pun. Yang terjadi, kata Ramdana, justru sebaliknya. Saat berada di Dinas Perhubungan, ratusan personel IPT memenuhi gang-gang kantor itu. Sebetulnya, undangan itu datang dari Polres dan Polsek Kota, plus Dinas Perhubungan, tapi aparat polisi tak tampak. Cekcok mulut pun memuncak. Baku pukul terjadi dan polisi menangkap Ariano dan Hasballah, keduanya dari IPT. Sementara itu, tiga utusan KPA dilarikan ke rumah sakit Datu Beru, Takengon. Kabar itu sampai ke telinga Bupati Aceh Tengah Nasaruddin. Pada 2003, perdamaian di Aceh hancur gara-gara kantor pemantau keamanan bersama atau Join Security Council (JSC) dibakar massa Peta di Takengon. Karena itu, dia memilih lembur, mengundang kedua kelompok itu ke kantornya. Rapat damai itu dimulai setelah isya dan berlangsung sampai tengah malam. Yang hadir petinggi kedua organisasi, KPA diwakili Ikil Ilyas Leube, T. Muha Abubakar, Arjua Mansyur, Ilyas Kelowang, dan Abdul Razak. Sementara IPT dan Peta diwakili Muhammad Sanen, Abdullah Ali, Gurdy Damora, dan Misradi M.S. alias Adijan, yang terkenal sebagai ’bos’ Peta Kabupaten Bener Meriah. Dari pemerintahan setempat, hadir Bupati Nasruddin dan perangkatnya. Sampai di sini aman: kedua pihak akhirnya sepakat berdamai. Tapi, begitu rapat kelar, tragedi yang mengancam perdamaian itu, justru terjadi di Meurah Mege, 30 kilometer dari Takengon. Entah dari mana, dua truk penuh lelaki bertopeng membelah pegunungan Meurah Mege, Atu Lintang, Aceh Tengah, Jumat malam itu. Rata-rata menggenggam parang. Mereka lalu mendatangi rumah kepala desa dan meminta kaum lelaki di kampung itu ikut siskamling. Kampung sunyi yang dihuni 128 keluarga itu pun mendadak gaduh. Saat malam tambah larut, dua truk itu bersama ratusan massa mengepung kantor KPA di sana. Kantor itu tak besar dan berdinding kayu. Pada malam nahas itu, tujuh anggota KPA setempat berada di
127 Merekam Demokrasi Aceh
dalamnya. Massa menggedor pintu dan meminta mereka keluar. Para bekas gerilyawan itu hanya diam. Lalu, entah ide siapa, kantor itu pun diguyur bensin. Begitu api menyala, mereka yang di dalam pun keluar lintang-pukang. Di luar, mereka disambut kelewang dan parang. “Ada yang setengah mati, lalu dilempar ke api,” ujar seorang ibu yang rumahnya berseberangan dengan lokasi. Dia tak berani ikut campur, hanya melihat saja. Seorang korban yang lolos dari kepungan api disergap sekelompok lelaki. Dia bernama Selamat, 28 tahun, anggota KPA Meurah Mege. “Saya orang sini,” ujarnya pasrah, seperti dituturkan keponakannya. Satu batu besar menghajar rahang sang paman. Selamat jatuh dan bungkam. Lalu perutnya dihujani tombak, tubuhnya disiram bensin, dan diseret ke api menyala. Dia tak lagi bergerak ketika api itu melalap tubuhnya. Keponakannya yang masih 12 tahun itu melihat semuanya. Polisi yang tiba di lokasi kalah banyak dengan massa. “Kami hanya sembilan orang,” kata Aiptu Irvan Lubis, Kapolsek setempat. Bantuan satu peleton polisi dari Takengon baru sampai esok harinya. Kepala Polres Aceh Tengah AKBP Kawedar menyatakan menerima laporan peristiwa itu dari pesan pendek di teleponnya sekitar pukul tiga dini hari. ”Tidak ada sinyal. Cuaca berkabut, jalanan rusak,” kata Kawedar soal pasukannya datang telat. Empat jenazah ditemukan hangus. Mereka adalah Ramlan, 35 tahun, Sabri, 25 tahun, Selamat, 25 tahun, dan Gading. Di sumur sedalam 35 meter, Polisi menemukan satu mayat lain: Sejahtera Putra, 24 tahun. Kata seorang saksi, Sejahtera sempat masuk ke gorong-gorong untuk menyelamatkan diri. Namun, nahas, ia ketahuan lalu dilempar dalam
128 bermain api di takengon
sumur. Mayatnya baru bisa dievakuasi setelah tim Labfor dari Medan tiba di lokasi, Senin pekan lalu. Yang lolos dari maut adalah Suhandar, 27 tahun. Punggungnya
tergores parang dengan tiga luka tetak di kepala. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan pengawalan 11 polisi bersenjata lengkap. Tidak satu pun boleh menjenguknya kecuali atas izin Kepala Polres. Saksi hidup lainnya adalah Tega Sendi, 27 tahun. Dia kini disembunyikan aparat keamanan guna penyelidikan. Sampai Jumat pekan lalu, polisi sudah menahan 16 orang tersangka dan memeriksa 32 saksi. Sebelumnya, polisi menahan lima tersangka, yaitu M. Sarjono, 29 tatun, Ahmad Zainuddin, 32 tahun, Giman, 32 tahun, dan Sumardi, 70 tahun. “Semuanya warga setempat,� kata Kawedar. Lalu, adakah hubungan insiden itu dengan cekcok di Takengon? Kawedar tak begitu pasti. Tapi dia mengatakan, dalam pemeriksaan para tersangka mengaku tak bisa menerima kehadiran kantor KPA di wilayah mereka, karena anggotanya suka memalak warga. Dia juga tak menutup kemungkinan peristiwa itu terkait dengan ribut-ribut soal terminal itu. Saat peristiwa berlangsung, massa IPT memang sedang terkonsentrasi di kantor bupati di Takengon. “Belum ada korelasi mendasar, tapi mereka ini saling kontaklah,� kata Kawedar. Di Banda Aceh, juru bicara KPA Pusat, Ibrahim KBS, menyatakan berterima kasih kepada polisi yang berhasil menahan sejumlah tersangka. Kami yakin ada yang mau merusak perdamaian di Aceh, ujarnya.***
129 Merekam Demokrasi Aceh
Mengungkap Sipil Bersenjata Api Oleh Said Kamaruzzaman Tabloid Kontras Sudah banyak masyarakat yang menjadi korban kejahatan bersenjata api. Aparat kepolisian tampaknya tidak mudah membekuk mereka. Razia dan sayembara berhadiah bisa menjadi solusi ampuh.
T
eh (30), warga Desa Kampong Baro, Pidie, mengaku sering mendengar bahwa banyak orang luar Aceh yang sengaja datang ke Aceh dengan membawa senjata api untuk merampok.
Menurut pria yang kini sedang dikejar-kejar oleh aparat keamanan ini, perampokan ini bermotifkan ekonomi. Lalu, berapa banyak senjata yang masih beradar di kawasan Pidie? Teh tidak mau menyebut. Namun, dia menjawab dengan satu ungkapan, "Ureueng Aceh kon ka neu teu oh. Beude yang dijok yang hana geut (Orang Aceh pasti Anda sudah paham. Senjata yang diserahkan yang kurang bagus)," katanya. Teh tak mau menjelaskan apa maksud kalimatnya. Namun, tentu mudah untuk ditebak pernyataannya itu bahwa sebagian senjata masih dipegang oleh sebagian mantan anggota GAM. Dan sebagaimana diketahui, MoU sendiri mensyaratkan bahwa pihak GAM harus menyerahkan minimal 850 senjata api kepada pemerintah melalui Aceh Monitoring Mission (AMM). Kalau mau ditelisik lebih jauh, pada masa darurat militer, pernah
diperkirakan bahwa senjata GAM mencapai 3.000 pucuk dengan jumlah personel aktif mencapai 5.000 orang. Namun lagi-lagi, sebagaimana tercantum dalam MoU, jumlah personel yang 'diakui' hanya 3.000 orang dengan jumlah senjata sebanyak 850 pucuk. Dan dalam penyerahan senjata GAM yang berlangsung selama tiga tahap, mereka menyerahkan sebanyak 1.018 pucuk senjata api, sebanyak 769 pucuk diterima, 178 ditolak, dan 71 pucuk dalam sengketa. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Drs Jodi Heriyadi mengaku tidak bisa memprediksi berapa banyak senjata api ilegal yang masih beredar di tangan warga sipil. Yang bisa diprediksinya hanya jumlah warga sipil yang memiliki senjata legal di Aceh, yakni tujuh orang. Itu pun kepada mereka diberikan peluru karet, sekadar untuk membela diri dari aksi kejahatan. Yang pasti, katanya, senjata api ilegal itu masih banyak beredar di tangan warga sipil di Aceh. "Buktinya, aksi kriminalitas bersenjata api terjadi di mana-mana," kata Jodi kepada Kontras, Senin (5/5) lalu, di ruang kerjanya. Menghadapi kenyataan ini, pihaknya telah menempuh banyak cara, mulai melakukan sweeping di jalan-jalan hingga menggeledah rumah dan tempat yang dicurigai menyimpan senjati api. Bagaimana hasilnya? Hingga kini masih mengecewakan! Pasacamaklumat yang deadline-nya 10 Oktober tahun lalu, pihak kepolisian hanya berhasil mendapatkan 66 senjata api berlaras panjang, 77 senjata api laras pendek, 5 GLM, 6 granat, dan 778 butir amunisi. Senjata-senjata ini dikumpulkan dari 10 kabupaten/kota. Misalnya saja untuk kawasan Aceh Timur, hanya didapat satu GLM, sedangkan di kota Langsa diperoleh dua Senpi pendek dan satu GLM. Jika membandingkan dengan aksi kekerasan bersenjata di kawasan pesisir
132 mengungkap sipil bersenjata api
timur itu, jumlah senjata api ilegal yang berhasil dikumpulkan dengan berbagai cara ini masih jauh dari mencukupi. Artinya, jumlah senjata ilegal yang beredar bebas masih terlalu banyak.
Untuk
daerah
mengherankan
jika
seperti
Aceh,
kekerasan
tidak
dan
aksi
kriminalitas bersenjata api masih marak. Sebagai daerah bekas konflik yang terjadi puluhan tahun, tidak mudah begitu saja melenyapkan
berbagai
simbul
kekerasan
seperti membalikkan telapak tangan. Cuma, jangan-jangan setelah damai pun masih
133 Merekam Demokrasi Aceh
Muzakkir Manaf, Ketua KPA Pusat:
Kami tak Berkuasa Menghentikannya
ada pasokan senjata baru. Inilah yang dikhawatirkan semua pihak. Beberapa bulan lalu sempat beredar luas isu ini. Informasi ini pun disampaikan kepada Kontras oleh seorang petinggi TNI. Kata sumber itu, setelah damai diteken, masih ada beberapa kali senjata baru dipasok ke Aceh. Senjata-senjata itu diduga dipasok dari luar negeri. Sayangnya, petinggi TNI itu tidak mau menjelaskan lebin rinci, bahkan namanya pun tidak bersedia dipublikasi. Sebaliknya, Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Drs Jodi Heriyadi yang ditanyai Kontras mengaku tidak tahu. "Hingga kini belum ada informasi
ke kita
bahwa ada senjata baru yang masuk," katanya. Ditambahkannya, jika senjata yang masuk satu-dua pucuk, tidak tertutup kemungkinan. Tetapi, jika jumlahnya ratusan hingga ribuan pucuk, Jodi menilai tidak mungkin. Soalnya, tambahnya, aparat saat ini sangat ketat menjaga perairan Aceh, terutama perbatasan menuju Aceh."Jadi, kalau satu pucuk-dua
Tidak benar anggota GAM/KPA masih memegang senjata. Setelah decommissioning selesai, kami tidak lagi bersenjata. Setelah itu siapa pun yang memegang senjata di luar lembaga resmi mereka adalah kriminal dan tidak ada sangkut paut dengan organisasi kami. Siapa pun dan dari kelompok mana pun bisa saja melakukan aksi kriminalitas. Bila pun ada di antara anggota kami yang melakukan hal tersebut, maka itu menjadi tugas aparat penegak hukum, karena mereka warga negara seperti orang lain juga. Soal mengapa itu terjadi, kita kembalikan saja kepada pengambil kebijakan di negeri ini. Sudahkah mereka menyelesaikan tugas-tugas yang diamanahkan MoU. Faktor ekonomi dan kesempatan kerja/ usaha mungkin menjadi salah satu pemicu mereka mengambil jalan pintas di samping mentalitas yang buruk. Secara institusi KPA tidak punya kapasitas apa pun untuk mengambil langkah-langkah menghentikan fenomena ini. Kami hanya bisa mengimbau dan menyerukan, tapi tidak punya kuasa apa pun menindak dan menghentikannya. Ini menjadi tugas pemerintah dan aparat penegak hukum. []
Selain Razia, Perlu Sayembara Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Supiadin AS, polisi perlu meningkatkan frekuensi sweeping (razia) senjata api dan terus mengejar serta menangkap para pelaku kejahatan di Aceh. Usulan tersebut dikemukakan Pangdam Supiadin untuk menekan angka kejahatan bersenjata api dan bersenjata tajam, sekaligus untuk menjawab dan membuktikan dari mana sebetulnya senjata api yang digunakan dalam aksi kejahatan itu berasal. "Pembuktian ini sangat diperlukan. Untuk itu, masyarakat perlu membantu polisi. Setiap ada warga yang berperilaku mencurigakan, secepatnya dilaporkan kepada aparat kepolisian terdekat," ujar Pangdam Supiadin dalam jumpa pers seusai membuka Penataran Bela Negara untuk Para Dosen di Provinsi Aceh di Oasis Atjeh Hotel, Banda Aceh, Selasa (5/6). Menurut pangdam, meningkatnya eskalasi kriminal berbasis senjata api di sejumlah kabupaten/kota dalam beberapa bulan terakhir mengindikasikan bahwa jumlah senjata api yang beredar di Aceh memang masih banyak. Senjata api ilegal yang digunakan untuk kejahatan tersebut, diduga Supiadin mungkin baru dipasok dari luar Aceh atau berasal dari sumber lain. Kemungkinan berikutnya, ada oknum TNA (sayap militer GAM) yang tak patuh pada atasannya, sehingga belum menyerahkan kepada komandannya senjata yang dia miliki pada saat berlangsung pengumpulan senjata untuk decommissioning (penghancuran) di bawah pengawasan Aceh Monitoring Mission (AMM) mengungkap sipil pada tahun bersenjata api 2005.
134
Untuk menekan dan mencegah tindak kejahatan bersenjata api dan bersenjata tajam itulah, Pangdam Supiadin menyarankan pihak kepolisian meningkatkan sweeping senjata api dan tajam. "TNI tidak bisa melakukan hal itu, karena status Aceh sekarang ini sudah normal seperti daerah lainnya," katanya. Tingginya eskalasi kejahatan di Aceh pascatsunami dan konflik, menurut analisa Pangdam Supiadin, disebabkan beberapa faktor. Antara lain, akibat tingginya angka penduduk miskin dan pengangguran, sedangkan penciptaan lapangan kerja baru oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dunia usaha di Aceh belum berjalan optimal dalam dua tahun terakhir. Untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dan pengangguran, menurut pangdam, pemerintah perlu membuat program pemberdayaan ekonomi yang tepat sasaran. Konkretnya, buatlah program pemberdayaan ekonomi yang komprehensif dan berkelanjutan, sehingga bisa membuat pendapatan per kapita masyarakat miskin dan para penganggur yang terlibat di dalam program itu, meningkat. Mereka yang terlibat juga menjadi yakin bahwa apa yang dikerjakannya itu bisa menjamin hari depan dan memberikan kesejahteraan bagi keluarganya. Solusi yang tidak kalah menarik adalah mengadakan sayembera. Siapa pun masyarakat yang menyerahkan senjata api kepada aparat keamanan perlu diberikan hadiah. Dengan demikian, pada akhirnya akan mendorong banyak pihak untuk menyerahkan senjata api kepada aparat kepolisian.[]
pucuk yang dibawa dengan perahu, itu masih masuk akal," kata pria ramah ini. Ada beberapa kelompok Seperti diuraikan di atas, senjata-senjata yang kini beredar luas di tangan sipil boleh jadi merupakan peninggalan masa konflik, sebelum MoU RI-GAM diteken tahun 2005. Apalagi MoU hanya "mewajibkan" penyerahan senjata api dari pihak GAM sebanyak 840 pucuk. Nah, di luar itu beredar banyak prediksi, antara lain senjata yang dimiliki pihak GAM sebetulnya ribuan pucuk. Kalau asumsi itu benar, berarti senjata yang masih beredar di lapangan lebih banyak ketimbang yang diserahkan. Kalaulah senjata-senjata ini digunakan untuk merampok, maka tidak tertutup kemungkinan pelakunya adalah mantan anggota GAM. Kedua, senjata-senjata itu dibawa oleh pelaku aksi kriminal yang sengaja masuk Aceh. Sudah banyak kelompok ini yang tertangkap. Mereka antara lain berasal dari Sumatera Utara dan Palembang, Sumatera Selatan. Mereka tentu saja leluasa keluar-masuk Aceh. Ketiga, kelompok yang tidak menginginkan Aceh aman. Ketika Aceh berada dalam intensitas konflik yang begitu tinggi, segelintir orang jutru menikmati situasi itu, meskipun sebagian besar masyarakat sipil menjadi korban. Maka ketika Aceh damai, "kekuasaan" yang mereka miliki menjadi hilang. Semakin aman kondisi Aceh, semakin tergerogoti kekuasaan mereka. Oleh karena itulah, kelompok ini berusaha agar Aceh senantiasa tidak aman. Caranya, antara lain dengan terus memasok senjata dan disebarkan ke tangan warga sipil. Lalu, siapa kelompok ini? Menurut seorang anggota DPRA, mereka bisa dari golongan mana saja. Sedangkan Kapolres Aceh Barat AKBP Linggo Wijanarko yang ditanyai Kontras, Kamis (7/5), menyangkut dengan masih banyaknya peredaran senjata ilegal di wilayah itu mengaku tak bisa memastikan hal tersebut, karena berdasarkan operasi yang dilakukan pihak intelijen
135 Merekam Demokrasi Aceh
sejauh ini belum ditemukan adanya peredaran senjata secara ilegal yang dimiliki oleh kaum sipil di kawasan Aceh Barat. "Sejauh ini belum kita temukan senjata ilegal yang berada di tangan masyarakat, akan tetapi kita terus meningkatkan razia senjata ilegal secara rutin bersama pihak TNI guna menghindari ancaman tindak kekerasan yang menggunakan senjata api di wilayah ini," jelasnya. Menurut Kapolres Linggo, sebagian besar pelaku kejahatan yang menggunakan senjata api berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian, TNI, serta masyarakat di wilayah itu. Sebagian besar pelaku tindak kejahatan itu merupakan warga luar kabupaten dan merupakan penduduk di bagian pantai Timur Aceh dan warga luar Provinsi Aceh. Ini diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihaknya. Motif kejahatan yang digunakan para pelaku itu hanyalah untuk mendapatkan uang dengan cara merampok dan melakukan penculikan terhadap korban. Nah, Ketua KPA pusat Muzakkir Manaf membantah kalau disebutsebut sebagian mantan anggota GAM masih memegang senjata api, apalagi ikut melakukan aksi kriminal. "Tidak benar GAM/KPA masih memegang senjata. Setelah decommissioning selesai, kami tidak lagi memegang senjata," katanya. Kalaupun ada mantan anggota GAM yang melakukan aksi kejahatan dengan menggunakan senjata api, ulasnya, itu tidak ada sangkut pautnya dengan pihaknya. "Setelah itu siapa pun yang memegang senjata di luar lembaga resmi, mereka adalah kriminal dan tidak ada sangkut paut dengan organisasi kami," tandasnya. ***
136 mengungkap sipil bersenjata api
teungku jamaika;
Pria Bergelar Komputer Oleh Taufik Al Mubarak Harian Aceh
D
i masa konflik, ia merupakan pria di balik suara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke berbagai media. Ia menyusun release propaganda dari berbagai tempat. Di balik perang urat saraf
di media itu, ia ingin mendirikan sekolah gratis untuk masyarakat. Setelah damai ia pun mewujudkannya. Pria berpostur mungil ini lahir di Meurandeh Paya, Sampoiniet, Aceh Utara, 5 April 1977 silam. Mencerdaskan anak-anak korban konflik dan kurang mampu adalah perjuangan yang sesungguhnya bagi dia. Meskipun pernah bergerilya dan berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, pria yang sering disapa Jamaika ini memandang perang harus dilupakan. Mewariskan dendam untuk generasi mendatang, justru merusak masa depan mereka. Dengan bantuan fasilitas dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Jamaika membuka sekolah komputer gratis untuk anak-anak korban konflik, korban tsunami dan anak-anak kurang mampu. Di sekolah berbasis masyarakat itu, mereka dipandu oleh
beberapa tutor yang sudah mahir mempergunakan komputer. Ada 25 unit komputer yang tersambung internet tempat mereka merenda masa depan. Tidak salah jika di kalangan GAM Tgk Jamaika diberi gelar komputer. Sekolah tersebut bisa jadi jawabannya, kenapa dirinya dipanggil dengan komputer. “Saya ingin agar anak-anak korban konflik mandiri, dan bisa berkembang,” katanya singkat. Sejak damai bersemi di Aceh, aktivitas Jamaika tak lagi dihabiskan di depan komputer, mengirim rilis ke media dan membantah pernyataan petinggi TNI. Malah, Jamaika berharap tak lagi melakoni pekerjaan tersebut. Dulu, saat Aceh dibalut konflik, pernyataannya saban hari dirilis media, baik lokal, nasional maupun internasional. Sebagai salah seorang juru bicara Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Jamaika kerap menebar perang urat saraf di media. pernyataannya membuat petinggi militer di Jakarta berang. Dalam salah satu babak perang urat saraf dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Juru bicara GAM Wilayah Pase itu pun pernah dinyatakan meninggal. “Saya ‘ditewaskan’ oleh Panglima Komando Operasi (Pangkoop) TNI, Bambang Darmono,” kata Tgk Jamaika membantah. Bantahan itu dimuat di koran terbitan Jakarta tahun 2003 silam. Bambang Darmono menduga Jamaluddin Kandang, seorang TNA yang tewas dalam sebuah pertempuran sebagai Tgk Jamaika, tokoh GAM yang termasuk paling dicari saat Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh. Saya yang berada di Jakarta, sempat kaget mendengar berita tewasnya Tgk Jamaika. Sebagai orang yang pernah akrab dengan Tgk
138 pria bergelar komputer
Jamaika, saya tidak percaya pernyataan Bambang Darmono. Saya menganggap itu sebagai bagian perang urat saraf antara Tgk Jamaika dengan Pangkoop TNI tersebut.
Keraguan itu pula yang kemudian menggerakkan hati saya untuk menghubungi Jamaika melalui nomor hand phone (HP) yang pernah diberinya saat masih berada di Aceh. Keraguan saya berubah menjadi gembira, ketika mendengar suara di seberang, persis seperti suara Jamaika yang pernah saya kenal. “Saya baik-baik saja. Sekarang berada di tempat yang aman,� jawabnya mantap. Selang beberapa bulan kemudian, saya bertemu langsung dengan Tgk Jamaika di Meunasah Aceh, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kebetulan hari itu, ada acara doa bersama untuk almarhum ibu Tgk Nasruddin Abubakar, presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang sekarang menjabat Wakil Bupati Aceh Timur. Tubuhnya lebih kurus dari biasanya. Penampilannya biasa saja. Wajahnya pucat. Hari itu, Tgk Jamaika seperti teman-teman yang lain ikut berdoa. Tak banyak bersuara. HP-nya sesekali berdering. Selepas itu kami lebih sering bertemu. Saya mengenal Tgk Jamaika ketika berkunjung ke kantor SIRA. Pertama melihatnya, saya sama sekali tidak yakin bahwa orang yang saya lihat adalah Tgk Jamaika, juru bicara GAM yang setiap hari pernyataannya dikutip media. Selepas itu, kami sudah sering berkomunikasi. Hubungan saya dengan Tgk Jamaika semakin akrab setelah saya tinggal di kantor Koalisi Gerakan mahasiswa dan pemuda Aceh Barat (Kagempar), di Lamprit, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Saya melihat bagaimana setiap hari dia menghimpun data pelanggaran HAM di lapangan. Jam 4 sore, Tgk Jamaika sudah mengurung diri di kamar dan merekap semua laporan yang masuk untuk dikirim ke media. Selepas Magrib, pernyataannya sudah difax dan dikirim ke berbagai media, baik lokal, nasional dan internasional. Anehnya, Tgk Jamaika sama sekali tidak menggunakan mesin fax, melainkan progam winfax
139 Merekam Demokrasi Aceh
yang sudah diinstall di laptop Sony VAIO miliknya. Untuk koneksi internet, Tgk Jamaika menggunakan HP. Meskipun Tgk Jamaika melakukan pengiriman berita dari kantor Kagempar di Lamprit, hasil fax yang diterima oleh media berasal dari nomor fax markas besar GAM di Sweden. Jika saya tidak melihat langsung bagaimana dia mengirimkan pernyataannya, saya tidak percaya bahwa faks itu berasal dari kawasan Lamprit. Tapi, Tgk Jamaika tetap misterius. Di kantor Kagempar, misalnya, tak banyak yang tahu bahwa dia adalah Tgk Jamaika. Di kalangan aktivis ia menggunakan nama Muhammad. Soal nama asli, Tgk Jamaika sama sekali tidak memberi tahu saya. Saya baru tahu nama asli dia ketika damai bersemi di Aceh pasca-MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Ternyata Dani, adalah nama panggilan dari nama panjangnya Syardani M. Syarif. Saya bersama beberapa kawan pernah berkunjung ke markas besar GAM di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara sekitar akhir Januari 2002. Di markas tersebut saya melihat ada beberapa unit komputer, laptop, dan printer. Markasnya benar-benar mirip sebuah kantor LSM di Banda Aceh. Ada ruang tamu, ruang meeting, ruang kerja, ruang tidur dan dapur. Di sekeliling markas tersebut, ada gubuk kecil yang dijaga 24 jam oleh pasukan GAM. Di markas besar itu pula, saya pertama kali melihat Tgk Sofyan Dawood dan Tgk Muzakkir Manaf secara langsung. Sebelumnya, wajah kedua tokoh GAM yang berpengaruh ini hanya terpampang di media massa. Saya pernah tersenyum kecil ketika melihat Tgk Sofyan Dawood bermain game race di laptop di kantor tersebut. “TNI capek mencari Sofyan Dawood, ternyata dia cuma main game balap di markas,� ucap
140 pria bergelar komputer
saya dalam hati. Semua komputer dan laptop di markas tersebut di bawah kontrol Tgk Jamaika. Foto-foto latihan, foto penyerangan TNI, foto kegiatan
GAM semua tersimpan rapi di laptop dan komputer lewat tangan Tgk Jamaika. Di kalangan GAM, menggunakan nama sandi adalah hal lumrah. Begitu juga dengan Tgk Jamaika. Dia menjadi orang ke sekian yang menggunakan nama sandi Jamaika. Masa kecil dihabiskannya di kampung, dan bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri Hagu Buwah, Baktiya, SMP Negeri Sampoiniet, Baktiya, SMANegeri Baktiya, semuanya di
Aceh Utara. Setamat dari SMA Baktiya, Syardani melanjutkan
kuliah di Banda Aceh. Tetapi, katanya, dia hanya sempat kuliah sampai semester VII (tujuh), pada Jurusan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Selepas itu non-aktif, sampai sekarang. Tgk Jamaika non-aktif bukan karena tidak sanggup lagi membiayai kuliah, melainkan akibat membaca sebuah seruan GAM akhir tahun 1998. Setelah membaca seruan itu, cerita Jamaika, dirinya weueh hate (bersedih), bukan karena isi seruan tetapi cara membuat surat itu masih diketik dengan menggunakan mesin ketik biasa. Sejak itu, hatinya tergerak untuk terlibat dalam perjuangan GAM. Abu Sayed Adnan, Gubernur GAM Pase yang kini almarhum tersebut berjasa di balik bergabungnya Syardani dalam barisan GAM. Oleh Abu Sayed, Syardani diserahi tugas bidang IT dan mengajari kombatan GAM menggunakan komputer terutama yang dipandang mampu mengutakatik perangkat lunak tersebut. Soal nama, katanya, membuat komunikasinya dengan para kombatan dan juga Abu Sayed jadi kendala. Pasalnya, jika butuh bantuannya, tak ada yang tahu memanggilnya dengan nama siapa. Karena saat itu dikenal pintar mengutak-atik komputer, Abu Sayed memutuskan memanggil namanya dengan sandi ‘komputer’. Setelah seminggu di markas GAM tersebut, saya kembali ke Banda Aceh, dan kuliah seperti biasa. Baru beberapa bulan kemudian saya mendengar lagi suara Tgk Jamaika. “NZ ditangkap!” katanya
141 Merekam Demokrasi Aceh
memberitahu tentang penangkapan Ketua Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Malam itu merupakan malam lebaran haji, 12 Februari 2002. Tgk Jamaika menelepon langsung dari markasnya di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara. Malam itu, saya, Muhammad MTA, dan Nasruddin Abubakar tidur di kantor SIRA di kawasan Peunayong. Saya yang mengangkat telepon. “Nyoe soe? (ini siapa),” tanya saya karena penasaran. “Nyoe lon Tgk Dani,” jawab suara di seberang. Setelah itu saya baru tahu kalau yang menelepon adalah Tgk Jamaika. Saya hanya diam saja, karena bingung. Bagaimana mungkin Tgk Jamaika yang sedang berada di hutan Nisam tahu tentang penangkapan Ketua SIRA, sementara kami yang tidur di Kantor SIRA tidak mengetahuinya. Tanpa komando, saya membangunkan MTA, dan Tgk Nasruddin. Semua kawan akhirnya dikontak satu per satu memberi tahu informasi yang disampaikan Tgk Jamaika. Telepon itulah kontak terakhir saya dengan Tgk Jamaika pada masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) berlaku di Aceh. Dua bulan kemudian seluruh Aceh diberlakukan Darurat Militer, dan para aktivis harus mengungsi ke Jakarta, termasuk saya. ***
D
i Jakarta, kami pernah tinggal satu rumah dalam waktu yang cukup lama. Kami sama-sama tinggal di kantor Aceh Support Groups (ASG) lembaga advokasi Aceh yang didirikan oleh
beberapa kawan aktivis dari SIRA, KARMA, CeSAR, dan lembaga lainnya. Di kantor ASG, aktivitas Tgk Jamaika seperti di kantor Kagempar
142 pria bergelar komputer
terulang kembali. Cara dan waktu kerja dia persis sama. Tgk Jamaika diberi tugas merekap semua laporan dari medan perang yang dikirim oleh juru bicara atau panglima-panglima GAM dari 17 wilayah teritorial
GAM seluruh Aceh. Biasanya, untuk wawancara dalam bahasa Inggris dengan media asing, Tgk Jamaika pasti sudah menyiapkan bahan atau pernyataan apa yang ingin disampaikan di laptop Sony VAIO miliknya. Wartawan yang ingin mewancarainya pasti diminta menelepon balik sekitar sepuluh sampai 15 menit kemudian. Waktu sepuluh menit itulah digunakannya untuk menyiapkan pernyataan, termasuk dalam bahasa Inggris. Para wartawan hanya hafal suaranya. Sementara wajahnya sama sekali tidak diketahui. Jamaika
benar-benar
misterius.
Saya
sendiri
juga
sering
memperhatikannya setiap kali melayani wawancara dari wartawan. Kepada mereka, Tgk Jamaika memberi tahu sedang berada di salah satu markas GAM di gunung. Saya jadi heran, bagaimana bisa Tgk Jamaika menyembunyikan tempat persembunyiaannya. Karena penasaran, saya mencoba memperhatikan gerak-gerik dirinya. Lama juga saya harus menunggu momen, bagaimana siasat Tgk Jamaika menyembunyikan lokasi aslinya. Ternyata, setiap kali menerima telepon, Tgk Jamaika pasti masuk kamar. Setelah mengangkat telepon, Tgk Jamaika tak langsung berbicara, tetapi membunyikan suara kicauan burung atau suara ombak laut dari Laptopnya yang selalu standby, layaknya di sebuah hutan belantara atau tepi pantai beberapa detik. Selepas itu baru berbicara. Sering juga ketika sedang berbicara, tiba-tiba HP-nya diputusin. Ketika si wartawan menelepon balik, Tgk Jamaika mengaku di tempatnya sedang kehilangan sinyal, karena harus berpindah ada informasi TNI mendekati markas GAM. “Pakon watee teungoh neupugah haba, tiba-tiba Hp sereng neupeumate (Kok sering kali ketika berbicara, tiba-tiba HP dimatiin?� tanya saya iseng. “Kiban han tapeumate, wate teungoh ta telepon ka su Bajaj (Gimana nggak dimatiin, pas lagi saya ngomong tiba-tiba kedengaran suara
143 Merekam Demokrasi Aceh
Bajaj lewat?� jawabnya enteng. Soalnya, jika tetap melayani telepon, si wartawan pasti tahu bahwa Tgk Jamaika bukan di gunung, tetapi di Kota Jakarta atau di kawasan Pulau Jawa. Hal yang sama juga dilakukan setiap kali terdengar Adzan. Kini banyak orang bertanya-tanya, ke mana dan apa pekerjaan Tgk Jamaika sekarang. Seperti halnya beberapa tokoh GAM lainnya, nama Tgk Jamaika seperti tenggelam ditelan bumi. Jarang sekali media mengekposenya sekarang. Jamaika sempat bekerja di BRR. Setelah habis masa tugas BRR di Aceh, tak ada yang tahu di mana pria berjuluk si komputer itu. Suatu kali, melalui yahoo messenger, Jamaika mengaku sedang berada di Malaysia mengikuti kursus bahasa Inggris yang dibiayai Pemerintah Aceh. Ternyata, belakangan Jamaika sibuk sebagai anggota tim asistensi Gubernur di bidang transisi.***
144 pria bergelar komputer
Teror Usai Deklarasi Damai Oleh Nurdin Hasan Majalah Acehkini Upaya pembakaran dan penggranatan kantor partai lokal kerap terjadi menjelang pesta demokrasi. Polisi diharapkan lebih serius mengungkap motif di balik rangkaian aksi teror itu.
M
uhammad Taufik Abda, 34 tahun, baru saja merebahkan tubuhnya usai menunaikan shalat subuh. Sebuah pesan pendek (SMS) masuk ke handphone Nokia miliknya. Ketua
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) itu raih handphonenya. Pikirannya biasa saja karena memang selama Ramadan tahun ini hampir saban hari ada SMS iseng masuk. Apalagi operator telepon seluler memberi fasilitas gratis SMS dari tengah malam hingga menjelang pagi. Tetapi, betapa kagetnya Taufik begitu melihat sang pengirim, karena tak biasa rekannya mengirim SMS pada waktu matahari belum terlihat di ufuk timur. Pasti ada sesuatu yang genting, pikirnya. Segera dibuka dan dibacanya kata demi kata yang tertera dalam handphonenya. “Kanto KPK kota Juang di desa Meunasah Blang, Bireuen, ka positif tutong ditoet le OTK sekitar poh 5 suboh, pelaku dipake moto Avanza warna hitam. Jinoe lon na di tempat kejadian.� Itulah pesan yang dikirim Khairil Miswar, Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) Partai SIRA Bireuen, mengabarkan pembakaran kantor partai politik lokal tersebut.
KPK dimaksud bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, namun Komite Pimpinan Kecamatan Partai SIRA. Taufik sangat terkejut dan tak membuang waktu. Ia segera menelepon Khairil, menanyakan detil insiden itu. Setelah berbicara sejenak, Taufik lega karena api tak memusnahkan kantor. Masyarakat sekitar berhasil memadamkan api. Hanya bagian depan kantor yang dilalap. Kepada Khairil, Taufik minta segera melapor kasus itu kepada pihak kepolisian. Beberapa saat sebelum pembakaran, sebuah mobil Avanza gelap melintas di depan kantor yang merupakan rumah semipermanen. Rumah itu berhadapan dengan meunasah desa setempat. “Kemudian mobil itu kembali lagi dan dua orang turun, membawa jerigen minyak. Mereka menyiram minyak ke pintu dan dinding kantor. Lalu, menyulut api,� kata Khairil, mengutip saksimata. Aksi itu dilancarkan saat jamaah di meunasah hampir menyelesaikan shalat subuh. Kebetulan saat itu, seorang bocah sedang duduk di kulah meunasah, menyaksikan ulah pelaku. Seorang warga yang rumahnya bersebelahan juga melihat aksi kedua pelaku. “Warga itu jelas melihat,� ujar Khairil. Begitu api tersulut, para jamaah meunasah segera datang memadamkan kobaran api. Pelaku langsung tancap gas, kabur. Upaya pembakaran kantor Partai SIRA, pada Minggu (21/9) dinihari, adalah rangkaian aksi teror terhadap partai politik lokal menjelang pesta demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Sebelumnya, insiden nyaris serupa dialami Partai Aceh, yang didirikan oleh para bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kasus pertama terjadi menjelang sahur 9 September lalu ketika sebuah granat dilempar seorang pengendara sepeda motor ke arah rumah Ketua Partai Aceh Muzakkir Manaf di desa Lamreung, kecamatan Barona Jaya, Aceh Besar. Saat insiden terjadi, mantan Panglima GAM
146 teror usai deklarasi damai
itu sedang tak berada di rumah. Kemudian aksi teror berlanjut terhadap partai bekas pemanggul senjata mulai upaya pembakaran hingga pelemparan granat. Kantor
Partai Aceh Panggoi, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe dibakar orang tak dikenal, pada Senin (15/9) silam. Sehari kemudian, upaya pembakaran dilakukan terhadap kantor Partai Aceh di Kecamatan Langsa Timur. Pelakunya memakai mobil Kijang, yang kabur usai beraksi. Teror berikutnya dilancarkan terhadap Kantor Partai Aceh Wilayah Bireuen. Sebuah granat dilempar orang yang datang dengan mobil, menjelang subuh 17 September lalu. Dua hari kemudian, sebuah granat yang dipasang pengatur waktu, gagal meledak di kantor Partai Aceh Kecamatan Baktiya, Aceh Utara. Tidak ada korban jiwa dari serangkaian aksi teror itu. Taufik Abda tak mau berspekulasi motif dan pelaku di balik serangkaian teror terhadap kedua partai lokal itu. Apalagi, polisi belum menemukan titik terang motif di balik aksi pembakaran dan pelemparan granat terhadap kantor partai lokal. “Pelakunya serba mungkin. Yang saya lihat maksud dari teror ini adalah upaya mengganggu konsentrasi dan konsolidasi partai lokal,” ujarnya. Dengan adanya insiden seperti itu, tambahnya, energi pimpinan partai lokal akan terkuras sehingga konsolidasi tersendat. “Dampak yang diharapkan oleh pelaku ingin membuat orang shock dan waswas. Targetnya mengganggu konsentrasi dan konsolidasi partai,” ungkap mantan aktifis Sentral Informasi Referendum Aceh ini, pada ACEHKINI, 21 September lalu. Jurubicara Partai Aceh, Adnan Beuransah, menyatakan, teror terhadap Partai Aceh didalangi kelompok antiperdamaian di Aceh. “Mereka menganggap jika Partai Aceh menang dalam Pemilu 2009, maka Aceh akan merdeka,” ujarnya. Baik Taufik maupun Adnan mengharapkan, aparat kepolisian bekerja lebih ekstra lagi dan serius untuk mengungkap pelaku dan motif aksi teror. Karena, ketertiban masyarakat merupakan tanggung jawab polisi. “Yang kita sesalkan, selama ini polisi tidak pernah berhasil
147 Merekam Demokrasi Aceh
ď ž
Bagaimana Anda melihat fenomena teror terhadap partai lokal yang terjadi belakangan? Pembakaran dan teror dilakukan untuk menaikkan popularitas partai-partai yang ada. Pertanyaan mendasar sekarang adalah kalau ada satu partai merasa dirugikan atau dizalimi, sebenarnya itu dizalimi oleh siapa. Kalau dia dizalimi oleh negara, harus jelas siapa aparatur negara yang melakukan itu. Kalau ia dizalimi oleh sesama kontestan peserta pemilu, itu bukan dizalimi namanya. Itu kan persaingan. Jadi, kalau ada dugaan sekarang proses teror terhadap partai politik itu dilakukan oleh partai politik yang lain, maka menurut saya, itu bukan teror, tapi persaingan. Tapi poin pentingnya adalah sampai hari ini tidak ada yang berhasil diungkap dari berÂbagai aksi-aksi teror terhadap partai politik. Kenapa bisa terjadi seperti itu? Pertama tidak ada Panwaslu. Tapi teror kanmasuk kategori tindak kriminal? Kalau kehilangan alat kampanye, apa itu urusan polisi juga. Menurut saya, ini adalah skenario yang tidak disadari oleh pelaku teror, ini bisa mengundang intervensi pemerintah, intervensi militer, dan intervensi polisi dalam proses demokrasi (yang sedang dibangun di Aceh).
148
Teuku Ardiansyah Ketua Badan Pengurus Katahati Institute:
Ini Hanya Kecengengan Berpolitik Orang Aceh Teror apapun saya lihat dilakukan lebih pada kepentingan untuk menaikkan tingkat kampanye dan populeritas partai politik. Jika tujuannya untuk meningkatkan populeritas, berarti aksi itu dilakukan oleh internal partai sendiri? Pasti, pasti. Pasti dilakukan oleh internal partai. Karena apa urusan orang lain. Kalau misalnya Partai X menghancurkan Partai Y, apa kepentingannya. Semua orang sedang sibuk konsolidasi internal, semua orang tidak ada waktu mengurusi rumah orang yang lain, ngak ada waktu ngurusin kebun orang lain karena sibuk ngurusin kebun senÂdiri. Jadi logika berpikirnya begitu. Apa alasannya Anda katakan bahwa itu dilakukan oleh internal partai untuk mencari populeritas? Kalau kita perhatikan, sekarang tidak ada kampanye politik apapun yang dilakukan oleh partai. Tidak ada membangun diskusi tentang partai. Itu tidak ada. Yang ada kan pengibaran spanduk. Ini kan persis yang dilakukan Golkar tahun 1980-an, kuningisasi. Semua orang di semua tempat, bicara spanduk. Pendidikan politik nggak ada. Kenapa bisa terjadi demikian? Menurut saya, semua orang di dalam partai kaget ada situasi, katakanlah perubahan daftar calon
atau perubahan apapun di tingkat partai. Kemudian membingungkan orang-orang dalam partai itu sen diri. Sebelumnya kan tidak pernah terjadi kejadiankejadian seperti ini? Kalau kita lihat pengalaman dalam periode sebelumnya, katakanlah periode 1999 misalnya, tidak ada kondisi seperti ini. Baru sekali ini terjadi menjelang pemilu di Aceh. Menurut banyak orang, situasi politik Aceh sekarang sangat anomali, sangat tidak jelas. Yang paling penting adalah polisi harus bisa mengumumkan pelaku-pelaku teror sebelum penetapan daftar calon tetap. Itu harus dilakukan. Tidak hanya teror-teror terhadap partai politik, tapi teror terhadap penyelenggara pemilu saja itu tidak bisa ditindak secara khusus oleh polisi. Misalnya ketika ada ancaman kepada anggota KIP. Apa tidak ada indikasi teror itu dilakukan kelompok yang anti perdamaian seperti diklaim sebagian kalangan? Selalu kalimatnya adalah kalau ini dizalimi negara, maka harus jelas aparatur negara mana yang melakukan itu. Kalau aparatur negara yang selalu dicurigai misalnya adalah tentara dan polisi, maka harus bisa dibuktikan itu dilakukan oleh tentara dan polisi. Jangan karena ketidakberdayaan kita dalam mengendalikan personil partai, ketidakberdayaan kita membangun kampanye humanis pada calon pemilih, kita menyalahkan orang lain. Menyalahkan lawan di masa lalu. Pertanyaan mendasar saya adalah kita mau berpolitik atau kita mau jadi politisi cengeng. Apakah ada indikasi akibat persaingan dalam penetapan caleg? Jadi tidak hanya soal penetapan caleg, tapi juga posisi, komposisi, struktur partai dan segala macam, itu juga berkolerasi. Kalau kita bicara partai, khusus
149
untuk peserta pemilu karena dia caleg, tetapi ada struktur partai, ada relasi partai dengan kekuatanMerekam kekuatan ekonomi. Jadi tidak sesederhana Demokrasi melihat Aceh karena dia tidak lulus sebagai caleg, dia kemudian merusak partai. Kan tidak seperti itu. Ini suatu proses yang menurut saya juga cukup kuat.Tapi, poin penting adalah kalau ini kemudian dituduhkan kepada salah satu kekuatan masa lalu, maka itu harus dibuktikan. Yang membuktikan siapa? Orang yang mengatakan. Kalau ini upaya-upaya untuk merusak perdamaian, kan harus dibuktikan oleh orang yang menyatakan itu. Apa bentuk merusak perdamaian. Jangan kemudian karena alasan-alasan ketidakmampuan kita, itu ditimpakan kepada orang lain. Apa yang harus dilakukan polisi dalam menyikapi aksi teror ini? Polisi harus bisa memberikan perlindungan dan rasa aman. Itu kan salah satu tugas polisi. Polisi ndak bisa hanya menunggu laporÂan. Kalau perlu polisi menempatkan personilnya untuk mengawasi kantorkantor partai politik. Tapi masalahnya apakahpartai bersedia menerima itu. Yang menarik soal ini hanya terjadi terhadap partai lokal. Tidak ada satu partai nasional pun yang katakanlah berafiliasi dengan mantan tentara, bersoal-soal deÂngan kejadian teror. Itu kan tidak ada.Jadi menurut saya, ini hanya tingkat kecengengan berpolitiknya orang Aceh. Maksudnya? Tidak berani melawan dengan tegas dan keras, kemudian menyalahkan orang lain dengan mengatakan kita dizalimi oleh pihak lain. Paling tidak setiap hari surat kabar lokal menulis itu. Padahal selama ini kalau kita perhatikan tidak pernah ada satu partai lokal pun yang berbicara soal program politik. Semua diskusi adalah soal kami dizalimi. Jadi ini cara berpolitik cengeng. []
mengungkap kasus-kasus seperti itu,” tegas Adnan. Taufik minta polisi melakukan upaya pencegahan dan meningkatkan fungsi intelijen keamanan untuk pengamanan menjelang pemilu. “Polisi harus bisa mendeteksi potensi-potensi kerawanan, seperti aksi teror,” katanya. “Ini kan kasus kriminal, jadi polisi harus lebih serius lagi.” Lantas, apa tindakan polisi sehubungan maraknya aksi teror? Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Aceh, Ajun Komisaris Besar Polisi Farid Ahmad Saleh, menyatakan pihaknya akan terus menyelidiki kasus-kasus teror terhadap partai politik di Aceh.“Sesuai perintah Pak Kapolda, ndak ada alasan, tindak tegas asal melapor dan tahu siapa tersangkanya. Teror-teror kalau ngak jelas, siapa yang neror. Kalau ada laporan ke masing-masing wilayah Polres, sudah perintah dari Pak Kapolda tindak tegas,” ujarnya ketika dikonfirmasi ACEHKINI, 21 September lalu. Ditanya apakah dari serangkaian kasus yang terjadi sudah ada titik terang, dia menjawab, “Belum.” Aparat polisi masih menyelidiki. “Kalau polisi malaikat, mungkin tau. Ini masih dalam lidik. Dilihat jenisnya senjata apa. Granat itu dalam bentuk apa. Kan (tim) Lapfor sudah turun ke sini, ngecek itu. Nanti dikumpulin. Baru nanti dilidik siapa, kelompok siapa. Kalau langsung tunjuk, kan ngak mungkin,” ujarnya. Sebelumnya, Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Aceh, Inspektur Jenderal Polisi Rismawan menyatakan dari dulu jika menjelang pemilu, suhu politik di Aceh agak meningkat. ”Kita sudah mengantisipasi, mempersiapkan untuk ke depan adalah operasi-operasi khusus kepolisian dalam rangka menciptakan kondisi sehingga saat pelaksanaan pemilu itu bisa aman. Saya yakin aman,” tegasnya, usai menghadiri acara ‘deklarasi dan ikrar pemilu damai’ di halaman Masjid
150 teror usai deklarasi damai
Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 12 September silam. Tidak terlihat unsur pimpinan Partai Aceh saat deklarasi dan ikrar dibacakan secara bersama-sama itu. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad
Nazar, ketika ditanya wartawan, menyayangkan tak semua partai politik peserta pemilu ikut kegiatan seremonial yang bertujuan memperkuat
151 Merekam Demokrasi Aceh
perdamaian, tetapi kurang mendapat sambutan dari masyarakat. “Saya melihat pasti ada dampaknya. Cuma kita sayangi mestinya harus hadir semua. Ini ada yang tidak hadir, tetapi saya tidak tahu apa pertimbangannya. Yang penting saya mengharapkan seluruh partai politik lokal dan nasional harus menciptakan kecerdasan politik dan demokrasi kepada seluruh rakyat,� ujar Nazar. Untuk menjaga perdamaian abadi di Aceh, partai peserta Pemilu 2009 antara lain berikrar untuk menghormati antarsesama peserta pemilu dengan tidak mengintimidasi, memprovokasi, atau melakukan tindakan yang mencederai pemilu demokratis dan perdamaian di Aceh. Mereka juga menolak segala bentuk tindak kekerasan. Apabila melanggar butir-butir ikrar itu, mereka siap menerima sanksi moral dari masyarakat Aceh. Tapi, kok masih ada teror setelah ikrar damai. Siapa yang bermain?***
Laporan ini dipublikasikan di Majalah ACEHKINI edisi Oktober 2008.