Kabar dari Kesunyian

Page 1


Kabar dari Kesunyian A. Zakky Zulhazmi


Kabar dari Kesunyian Oleh: A. Zakky Zulhazmi Editor Dedik Priyanto Proof Reader Moham Fahdi Gambar Sampul & Ilustrasi Fajar MM Layout Ahmad Ubaydillah Cetakan Pertama, Maret 2012 Penerbit Buku Senjakala Jalan Jati 32 B, Cirendeu, Ciputat, Tangsel penerbitbukusenjakala@gmail.com 085714445724


sebuah persembahan sederhana untuk: Hj. Ati’ Khoiriyah, MH H. Maftuh Bahrul Ilmi, MH Ghozian Luthfi Zulhaqqi Sabrina Rahma Salsabila Syafaah Restuning Hayati dan untuk orang-orang yang telah meninggalkan kenangan (juga kesunyian) di perjalanan ini‌


Ucapan Terima Kasih

Atas terbitnya kumpulan cerpen ini saya ingin berterima kasih kepada banyak pihak. Pertama, saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan hidup, bakat dan kesempatan. Juga tentu saja kepada orang tua dan keluarga besar saya yang memberi banyak arti di pengembaraan tak berkesudahaan ini. Terkhusus saya ingin ucapkan terima kasih kepada Syafaah Restuning Hayati, bening embun di kerontang dedaunan, oase di gurun sepi. Saya juga tidak bisa sama sekali menafikan peran komunitas yang selama ini mengasuh dan mengasah saya. Pertama kali saya ingin menyebut Komunitas Ketik. Sebuah komunitas kecil yang saya dirikan di Solo bersama temanteman yang visioner dan rela berkorban: Arobi, Ansor, Qisthi, Indri, Hana, Qonita, Afi, Cindy, Nafisah, Zainuri. Komunitas itu berproses sedemikan rupa, hingga akhirnya saya bertemu dengan kawan-kawan yang begitu membanggakan, yang kian berkobar dan berkibar: Anggit, Romzul, Hamam, Diyanti, Arin, Soleh, Faisal, Huda, Isti, Tiara, Nurul, Ima, Tya. Terima kasih, kawan, terima kasih! Tongkrongan Sastra Senjakala di Ciputat juga merupakan bagian hidup saya yang tak mungkin terpisahkan. Komunitas yang saya gagas bersama Nasihin Aziz Raharjo atawa Kenyot Adisattva di awal-awal perkuliahan itu semoga berumur panjang. Sudah barang pasti, saya ingin berkirim terima kasih kepada Kang Asep, Bung Dedik, Mas Arif, Bung Kahfi, Bung Apen, Mbak Qori, Moham, Nadia, Rini, Acim, Amel serta teman-teman lain yang pernah singgah di

4


Tongkrongan Sastra Senjakala meski hanya sesaat. Terima kasih juga untuk Bung Faiz (Kolekan) dan Bung Okky (Mata Budaya). Ucapan terima kasih berikutnya kepada teman-teman SD yang sampai sekarang masih menjadi kawan ngopi menyenangkan di angkringan Tom Gembus: Fuad, Ade, Wildan, Agung, Awang (kami ternyata tak sekadar ngopi sampai hari hampir pagi!) Kepada Paseduluran Callisto, Eureka, Gravity Mutalazymaen, Ikamaksuta Jakarta saya haturkan terima kasih pula. Itu adalah keluarga alumni SD, SMP dan SMA saya, rumah-rumah yang sangat nyaman ditinggali. Kos Jati adalah rumah nyaman berikutnya, yang selalu bikin kangen, dengan penghuni: Sabki, Hagi, Ikhwan, Ubai, Firman. Lalu untuk KPI B 2008 UIN Jakarta: Didiet, Fahmi, Hamid, Bani, Deddy, Andri, Yogi, Lukman, dll. Teman-teman di Manajemen Informatika non-reguler BSI Ciputat 2009, Forum Studi Media ‘Karpet Merah’ dan PMII Komfakda. Terima kasih untuk perkawanan yang baik selama ini. Meski tidak penuh, saya juga (pernah) menjadi bagian dari FLP Solo dan FLP Ciputat. Kepada para senior dan para guru di sana saya sangat berterima kasih atas ilmu dan semangat yang ditularkan. Saya persembahkan terima kasih pula pada AS. Laksana, Teguh Esha dan Jamal D. Rahman, untuk masukan dan diskusi-diskusi hangat yang disuguhkan, mereka adalah juga guru-guru saya, meskipun belum terlalu lama saya berguru kepada mereka. Nama-nama seperti Han Gagas, Sungging Raga, Mashdar Zainal, Bamby Cahyadi dan Tova Zen pasti tidak akan saya lupakan. Walaupun saya belum bertatap muka langsung dengan beberapa di antara mereka (kami lebih sering bersilaturahmi di status FB Minggu siang Bung Bamby), banyak hal yang mereka berikan selama kerja kreatif saya, terutama semangat untuk berkarya. Saya yakin, mereka akan jadi bagian penting sejarah panjang sastra Indonesia. Kota Solo merupakan tempat saya berproses cukup lama, di sana saya mengenal penulis-penulis produktif dan

5


patut diteladani: Mas Bandung, Mas Yudhi, Mbak Indah, Mbak Puitri, Mbak Sanie dkk yang tergabung di komunitas Pawon. Ada pula Pak Wijang (TBJT) yang baik hati. Terima kasih untuk segala-segala yang dibagi pada saya. Untuk Mas Fajar MM, suwun pol gambar sampul dan ilustrasinya. Terakhir, saya berterima kasih kepada Penerbit Buku Senjakala (kecil-kecil menggigit), tanpa mereka buku ini tidak akan pernah hadir di tangan pembaca. Demikianlah, ucapan terima kasih yang lumayan panjang ini boleh jadi juga bisa dibaca sebagai proses kreatif saya dalam melahirkan karya. Tabik. AZZ

6


Daftar Isi

Angkringan ~ 8 Marsha ~ 13 Masjid Abah ~ 21 Sunyi ~ 29 Hikayat Mbah Seno ~ 37 Kereta Kelas Tiga ~ 43 Di Beranda ~ 50 Dewi Bulan ~ 60 Tamu ~ 67 Mbak Nik ~ 73 Langgar Mukadar ~ 84 Makam ~ 91 Teluh ~ 98 Penjaga Malam ~ 103 Malam Tahun Baru ~110 Jejak Karya ~ 116 Tentang Penulis ~ 117 Tentang Penerbit ~ 118

7


Angkringan

Di kota saya sekarang ini angkringan semakin banyak. Bak panu di punggung orang jarang mandi. Angkringan ada di mana-mana: di depan kantor, sekolah, tempat ibadah, pusat perbelanjaan. Dekat rumah saya juga ada angkringan. Penjualnya bernama Mas Satrio. Seorang duda beranak satu. Di depan sebuah dealer motor Mas Satrio berjualan. Setiap hari ia menggelar dagangannya pukul lima sore dan tutup ketika hari hampir subuh. Saya mengenal Mas Satrio sebagai penjual angkringan yang rajin dan supel. Beberapa kali saya juga mendapati lawakan segar Mas Satrio. Saya sering jajan di angkringan Mas Satrio. Biasanya saya memesan susu jahe. Lalu mencomot tahu bacem, sate usus dan tempe goreng. Mas Satrio sudah hapal, yang saya comot tadi dibakarnya. Tak lupa diolesi kecap biar tambah lezat. Saya duduk meleseh di samping gerobak. Menunggu senja turun bersama orang-orang yang sudah sejak tadi berada di sana. Lik Gnowo yang tukang becak, Pak Wiro ketua RT dan Mas Cepuk penjaga kedai pulsa, merekalah pelanggan setia Mas Satrio. Namun, beberapa hari terkahir timbul masalah dengan angkringan Mas Satrio. Angkringannya tak seramai dulu. Tepatnya setelah muncul angkringan baru di seberang jalan. Di depan sebuah toko bangunan. Berjarak sekitar 200 meter dari angkringan Mas Satrio. Atas berdirinya angkringan baru itu, Mas Satrio punya komentarnya sendiri. “Aku sebenarnya ndak masalah punya saingan baru itu. Tapi mbok ya deklit penutup angkringan jangan sama-

8


sama warna merah. Angkringan deklit merah itu sudah menjadi ciri khas angkringanku,” ujar Mas Satrio berapi-api. Saya jadi bingung. Apa salahnya kalau deklit penutup berwarna sama? “Memangnya kenapa Mas kalau deklitnya sama?” tanya saya sambil meraih susu jahe yang disodorkan Mas Satrio. Sambil sibuk membuat kopi Mas Satrio menjawab. “Pelangganku jadi bingung. Kemarin saja waktu aku libur jualan Lik Gnowo tanya, Mas Satrio angkringannya pindah depan toko bangunan ya? Lha kalau semua berpikiran begitu, orang-orang pasti jadi salah kira dan pelangganku lama-lama akan habis,” terang Mas Satrio masih dengan nada sedikit meninggi. Saya mafhum. Mengangguk-angguk pelan. Mas Satrio mengambil piring berisi jajanan saya yang harus dibakarnya. Lalu kembali berujar. “Penjual angkringan itu mau jualan satu meter di samping angkringanku ayo aja, aku berani bersaing, tapi jangan pakai deklit merah!” Saya tak berani komentar. Mas Satrio sedang panas hatinya. Saya cuma menerka-nerka, ada apa dengan deklit penutup warna merah? Apa dengan menggunakan deklit warna merah maka peruntungannya bagus? Banyak rezekinya? Lalu jika ada pesaing yang menggunakan deklit sama warna merah rezekinya akan menguap? Ah, saya masih bingung. *** Dua hari setelah berbincang dengan Mas Satrio tentang keberadaan angkringan baru itu, Mas Satrio jatuh sakit. Angkringannya tutup beberapa hari. Terpaksa saya menyambangi angkringan baru di seberang jalan. Lewat obrolan di angkringan seberang jalan itu belakangan saya tahu penjualnya bernama Kang Nanang. Dia tampak masih muda. Perkiraan saya dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Kang Nanang tak kalah ramah dengan Mas Satrio.

9


Di angkringan Kang Nanang sudah ada Lik Gnowo dan Pak Wiro. Mereka tak bisa jauh dari suasana hangat angkringan tampaknya. Saya ikut nimbrung saja. Obrolan masih seputar harga barang-barang di pasar yang mulai naik. Lalu membicarakan masalah renovasi masjid yang tak kunjung selesai. Beranjak kemudian tentang perpolitikan tanah air. Percakapan sederhana seperti ini biasa ditemani minuman hangat dan jajanan sederhana di hadapan kami. “Mas, sudah pernah makan sate di angkringannya Mas Satrio?” Tanya Kang Nanang pada saya, membuka percakapan sore itu. Angkringan sedang ramai pengunjung. “Sudah, Kang. Tapi tidak sering. Memang kenapa?” “Em…bagaimana ya? Saya yakin sampeyan pasti memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram, iya tho?” Kang Nanang berucap begitu dengan dahi mengernyit seolah berpikir keras. Tangannya sibuk mengaduk kopi susu pesanan Pak Wiro. “Sampai sekarang saya masih selalu hati-hati dalam urusan makanan, Kang.” “Nah, kalau menurut sampeyan tikus itu halal atau haram? Boleh tidak dimakan?” “Wah, ya ndak boleh tho. Masak tikus dimakan? Kecuali dalam keadaan darurat sekali. Kalau saya, meski dalam keadaan darurat sekalipun tetap tak mau makan tikus. Jijik!” “Em… saya tak punya maksud apa-apa. Tapi mas-mas sudah tahu belum kalau sate di angkringan Mas Satrio itu sebenarnya adalah sate daging tikus?” Tanya Kang Nanang agak gugup tapi tatap matanya meyakinkan. “Kang Nanang, sampeyan hati-hati kalau bicara! Masak Satrio tega jual sate tikus?” Pak Wiro coba mengingatkan. “Dagang ya dagang, Kang. Tapi mbok ya jangan menjatuhkan begitu. Ndak baik.” Mas Cepuk menimpali, sedikit tak terima. Sejatinya dia masih saudara jauh Mas Satrio. “Lho, saya tidak sedang menjatuhkan. Saya kenal kok siapa yang setiap hari nitip sate di angkringan Mas Satrio itu.

10


Namanya Pak Jembling, dia jual mie ayam juga di dekat terminal. Belum lama mie ayamnya ditutup karena ketahuan menggunakan daging tikus. Pak Jembling mau nitip sate juga di sini. Tapi saya menolak. Soalnya saya sudah tahu kelakauan Pak Jembling.” Suasana mendadak hening. Informasi Kang Nanang yang entah benar entah salah itu tak ada yang menanggapi. Semua sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Mas Cepuk terlihat yang paling bersungut-sungut. Ada geram yang coba disimpannya. Saya bimbang juga sejujurnya. Rasa jijik tiba-tiba terasa manakala membayangkan Mas Satrio benar-benar menjual sate daging tikus. Tapi setega itukah dia? Demi keuntungan yang barangkali tak seberapa besar? Setelah tutup agak lama, Mas Satrio kembali buka. Saat saya baru datang dan menyapa Mas Satrio, Mas Cepuk sudah di sana dengan Pak Wiro. Asyik menikmati kopi cangkir kecil. Sepi pengunjung. Lengang. Mas Satrio menyerahkan pesanan saya lalu bergabung ikut duduk bersama kami. Dia menyulut rokok. “Nanang itu harus aku beri pelajaran. Sama-sama cari duit kok main nggak bersih. Pakai bilang aku jual sate tikus lagi. Tukang fitnah! Aku gorok lehernya tahu rasa dia.” Saya hampir tersedak mendengar kemarahan Mas Satrio yang meletup. Dari mana dia tahu kalau di angkringan Kang Nanang dia digosipkan menjual sate tikus? Apa mungkin dari Mas Cepuk? Ah, embuh! Dini hari ini saya harus menjemput seorang teman lama di terminal. Waktu melewati angkringan Kang Nanang penglihatan saya terganggu dengan keributan kecil di sana. Sekilas saya melihat beberapa preman mabuk. Entah bagaimana awalnya, kericuhan itu mendadak membesar. Preman-preman mengobrak-abrik apa saja di gerobak angkringan. Gelas-gelas pecah. Jajanan berantakan. Kacau. Kang Nanang berteriak-teriak. “Kalian pasti suruhan Satrio ya? Hayo ngaku!” Percuma. Preman-preman itu justru kian mengamuk. Saya

11


bergidik ngeri. Terpaksa saya mengambil jalan memutar ke terminal. Menghindari keributan. Di angkringan Mas Satrio, sore itu beberapa orang membicarakan pengrusakan angkringan Kang Nanang. Termasuk saya, Mas Cepuk dan Pak Wiro. Sementara itu Mas Sartio sibuk membuat pembelaan. “Lha wong preman mabuk minta rokok sebatang kok ndak dikasih, ya jelas ngamuk!� Tiba-tiba saja dua motor bebek yang melaju kencang berhenti di depan angkringan Mas Satrio. Tiap motor mengangkut dua penumpang. Jelas sekali saya melihat, mereka menyalakan molotov. Mereka yang berpakaian serba hitam itu tepat melempar molotov di deklit pelindung angkringan. Molotov dari botol kecap itu pecah. Kontan deklit terbakar. Api merambat cepat. Disulut minyak dalam botol. Kian membesar. Semua pengunjung kalang kabut. Saya tak berani menduga ulah siapa ini. Tahu-tahu dua sepeda motor itu telah menghilang. “Kejar! Kejar!� orang-orang yang terbakar emosi matanya merah, dadanya panas, hidungnya kembang kempis. Marah. Saya lebih memilih pulang. Terpekur di beranda rumah. Menyadari bahwa segala sesuatunya terjadi begitu cepat tanpa dapat dibayangkan. Inikah wajah dendam? Apakah ini tamsil dari bahaya mulut? Saya belum tahu. Yang saya tahu, untuk beberapa hari ke depan, baik angkringan Mas Satrio ataupun Kang Nanang tentu akan tutup. Dan saya malas mencari angkringan lain yang lebih jauh.

12


Marsha

“Kok ribut betul, ada apa ya?” “Itu ada yang manjat tower?” “Ha?!” “Mau bunuh diri dia sepertinya.” “Siapa? Orang gila ya?” “Bukan, dia anak kecil. Masih SD, umur 10 tahun, cewek lagi.” “Ha?!” “Dia kuat sekali. Sudah setengah jam dia bergelantungan di tower.” “Dia frustrasi atau bagaimana? Menuntut sesuatu?” “Tidak ada yang tahu. Kecuali dia dan Tuhan.” Siang yang heboh. Perhatian banyak orang jelas tersita oleh anak kecil yang memanjat dan bergelantungan di tower sebuah operator seluler itu. Jalanan yang sehari-hari sudah macet jadi makin macet karena orang melambatkan laju kendaraannya demi bisa melihat lebih jelas aksi si anak kecil. Kerumunan orang menyemut di bawah tower. Tontonan gratis di tengah siang yang gerah. Ada yang membidikkan kamera hape, kamera digital dan kamera SLR. Bagi yang tak punya kamera cukup mendongak dengan mata memincing dan sebelah tangan menangkup di kening menahan silau sinar matahari. “Anak siapa itu ya?” “Kapan naiknya? Kok tidak ada yang tahu?” “Wah, polisi mana nih, kok belum nongol?” “Gimana ya rasanya berada di puncak tower?”

13


14


Pertanyaan-pertanyaan serupa itu bertebaran di antara orang yang bergerombol. Orang-orang masih tetap setia mendongakkan kepala mengawasi perkembangan anak itu di puncak tower. Seolah tahu dirinya jadi pusat perhatian si anak tidak hanya berdiam diri di atas sana. Ia perlahan berputar mengitari tower. Kadang-kadang gerakannya seperti orang mau terjatuh karena tergelincir. Tapi keseimbangan dan kekuatan anak itu memang tak bisa diremehkan. Selanjutnya ia berpindah dari ruas ke ruas. Orangorang di bawah tentu saja was-was. Sedikit saja ia kehilangan konsentrasi maka ia akan limbung dan terjatuh. Tak ada satu pun yang berani membayangkan bagaimana jadinya jika ia benar-benar terjatuh. Maka orang-orang padat memenuhi bagian bawah tower. Antisipasi jika anak kecil itu benar jatuh. Setidaknya ada orang yang akan menangkap tubuhnya. Tapi sekali lagi tidak ada yang berani membayangkan jika ia benarbenar jatuh. Sinar matahari masih berdaya penuh, membuat silau dan mengahantarkan panas. Orang-orang masih berkumpul. Mungkin baru akan bubar setelah anak itu turun. Ibarat nonton telenovela, tidak tuntas rasanya jika tidak menonton dari awal hingga akhir episode. *** Namaku Marsha. Itu nama panggilan. Nama panjangku Mar’atus Shalihah. Temanku juga punya nama panggilan yang keren. Tak kalah dahsyat dengan nama asli pemberian orang tuanya. Seperti Ema yang nama aslinya Khusnul Khotimah. Atau Icha yang punya nama asli Khoirun Nisa’. Mereka punya alasan masing-masing kenapa mereka lebih nyaman dipanggil dengan nama itu. Ada yang merasa panggilan itu lebih sederhana dan mudah diingat, tapi ada juga yang beralasan supaya kelihatan imut dan lucu dipanggil dengan nama itu. Panggilan Marsha tak kuketahui sabab musabab dan alasannya. Sejak kecil aku sudah dipanggil begitu. Ya, namaku Marsha. Umurku sepuluh tahun. Saat ini aku sedang berada di puncak tower setelah sebelumnya aku susah payah memanjatnya.

15


Ternyata dari atas sini memandang ke bawah sana sangat indah terlihat. Semua menjadi kecil. Rumah-rumah mengecil. Gedung-gedung mengecil. Manusia dan pohon hanya serupa bintik hitam bertebaran. Motor, mobil dan kendaraan lain seperti serangga-serangga yang merambat di dahan pohon. Dan kau tahu, di sini sejuk sekali. Angin berkesiur melambaikan rambut panjangku. Meski matahari menyengat begitu rupa namun aku tertolong oleh angin yang menjadikan udara tak terlalu panas. Ah, alangkah bebasnya berada di atas sini. Aku bergelantungan dari ruas tower satu ke ruas tower yang lain. Tapi, ups, orang-orang yang sedang menontonku di bawah pasti khawatir. Bisa kulihat mereka menuding-nuding ke arahku. Ada pula yang melambai meminta aku tidak melakukan gerakan yang membahayakan. Atau mungkin lambaian itu bermakna permintaan untukku turun. Tidak, aku tidak mau turun. Aku nyaman di sini. Aku merasa aman. Tak seorang pun bisa menjangkauku. Tak ada. Uh, makin lama makin banyak saja yang berkerumun di bawah tower. Juga di tempat-tempat dekat tower yang memungkinkan bisa melihatku. Aku bingung, apa sih menariknya melihatku yang sedang di puncak tower ini? Dan aku benci ditonton seperti itu. Memangnya aku ini topeng monyet apa? Sudah, pergi sana kau orang-orang yang di bawah! Kembali ke pekerjaanmu saja sana! Nanti kau dimarahi bosmu yang galak lho. Kalian tak kan dapat apa-apa dengan menontonku begitu. Aku baik-baik saja di sini. Tidak akan, aku tidak akan bunuh diri. Tenang saja. Aku cuma ingin hiburan dan sedikit kebebasan. *** “Aku tahu siapa gadis kecil di tower itu.� Sebuah suara berat mendadak mengagetkan kerumunan orang-orang yang sedang menonton anak kecil pemanjat tower. Ibarat mendapat komando dari komandan, para penonton segera menengok ke belakang mencari asal suara. Mata mereka terbeliak manakala mendapati seorang kakek yang berkata begitu. Semua lalu terpaku dan

16


menunggu. Kakek itu tidak segera angkat bicara namun berdehem dulu dengan sangat berwibawa. “Gadis kecil itu bernama Marsha. Ayahnya adalah pencuri motor amatir. Sudah dua kali dia masuk penjara. Padahal dia belum sempat menikmati penuh hasil curiannya. Sedang ibunya adalah tukang gendam atau tukang hipnotis. Targetnya adalah ibu-ibu dan perempuan di bis kota yang duduk bersebelahan dengannya. Adapun Marsha adalah anak SD yang selain bersekolah juga menjadi pencuci piring paruh waktu di sebuah rumah makan Padang.� “Ya, Marsha harus terima itu. Bahwa orang tuanya adalah pelaku kriminal. Dan dia harus giat bekerja sementara teman-teman lainnya asyik bermain. Tapi kau tahu, keluarga itu saling menyayangi satu sama lain. Setiap uang yang mereka dapat hanya untuk keberlangsungan keluarga itu. Kebahagian bagi mereka bukan belanja di mall atau rekreasi di tempat mahal. Kebahagian mereka adalah bersantai bersama di rumah mungil mereka.� “Sampai sekitar sebulan yang lalu ibu Marsha melahirkan anak keduanya. Seperti yang sudah kukatakan tadi, sejahat-jahatnya ayah Marsha namun hatinya tetap tulus. Guna membawa istrinya ke klinik bersalin yang agak jauh dari rumahnya ia meminjam mobil seorang kawannya. Nahas. Ketika proses persalinan selesai, ayah Marsha tersentak tidak mendapati mobil pinjaman dari kawannya itu berada di parkiran. Ia tahu, parkiran klinik itu hanyalah parkiran yang dijaga preman yang nyaris tak peduli soal keamanan. Preman yang hanya berpikir bahwa ia akan dapat uang dari setiap kendaraan yang parkir di sana. Dengan panik ayah Marsha bertanya pada siapapun yang berada di tempat parkir. Tapi semua menggelengkan kepala. Ia hampir menghajar preman penjaga parkiran yang tak becus itu. Namun ia sadar menghajar preman adalah tindakan bodoh. Preman selalu punya organisasi yang dalam waktu singkat bisa balik menghajarnya, bahkan membunuhnya. Maka, ia hanya bisa terpekur di depan klinik dengan wajah yang lebih melas dari apapun. Waktu itu adalah pertama kalinya ayah Marsha yang

17


pencuri motor itu kehilangan kendaraan. Parahnya itu kendaraan pinjaman. Sejak itu ia tahu sakitnya kehilangan dan ia berikrar untuk tidak mencuri lagi.” “Maka empat hari setelah bayi laki-lakinya lahir, ia membagi waktu antara rumah sakit dan mengurus asuransi mobil yang belum lunas angsurannya itu. Untunglah teman ayah Marsha tidak begitu emosional menghadapi kehilangan ini. Kata dia, ini hanya kehilangan kecil, kelak kita harus bersiap dengan kehilangan besar. Ayah Marsha mengamini itu. Seperti sebuah isyarat, bayi laki-lakinya meregang nyawa di hari kelima. Lengkaplah sudah. Ia mengalami kehilangan kecil sekaligus kehilangan besar. Dengan kata-kata lantang ayah Marsha berujar sambil mendongak langit dan mengacungkan telunjuk kanannya: Tuhan, aku sudah bersumpah untuk tidak mencuri lagi setelah aku merasakan sakitnya kecurian. Tapi mengapa kau curi juga nyawa anak laki-lakiku Tuhan? Untuk itu aku cabut sumpahku yang pertama dan aku bersumpah untuk terus mencuri hingga akhir hayatku!” “Semenjak musibah beruntun itu ayah Marsha jadi ringan tangan dan gampang marah. Marsha adalah sasarannya. Sehari ia bisa dipukul hingga sepuluh kali, oleh sebab yang kerap tak masuk akal. Jika Marsha sudah turun dari tower nanti coba kau lihat pelipis, tangan dan kakinya. Semua penuh bekas pukulan dan luka. Kau tak kan pernah tega hal itu terjadi pada anakmu.” Kakek itu mengangguk takzim berkali-kali. Orangorang menampakkan ekspresi berbeda-beda. Ada yang geleng-geleng prihatin. Ada pula yang ikut menangis sesenggukan. Namun tiba-tiba seorang ibu berteriak histeris sembari menuding ke arah tower. “Awaaaas!” Marsha hampir terjatuh! Semua panik. Untung satu tangan Marsha masih berpegangan kuat di satu ruas tower. Orang-orang yang sedari tadi memperhatikan kakek segera berpaling ke tower untuk melihat Marsha. Ketika mereka kembali ingin melihat kakek itu, mereka sudah tidak menemui

18


si kakek di sana. Si kakek menghilang secepat mereka memalingkan muka. Semua terperanjat dan saling berbisik. *** Huft..hampir saja aku terjatuh! Tampaknya aku sudah mulai lelah dan kehilangan konsentrasi. Tenagaku sudah tidak sepenuh saat awal memanjat tower tadi. Ketika aku hampir jatuh kulirik orang-orang yang berkerumun di bawah. Mereka semua tegang dan sebagian berteriak histeris. Anehnya, di antara kerumunan orang itu aku melihat cahaya yang berkelebat. Aku tidak tahu cahaya apa itu, dari atas sini tidak begitu jelas terlihat. Sesaat kemudian kudengar raung sirine dan tampak di kejauhan mobil pemadam kebakaran dan mobil polisi. Ah, mereka selalu datang terlambat. Pahlawan kesiangan. Sebaiknya aku permalukan saja mereka. Aku akan turun sebelum mereka datang menjemputku. Dengan kecepatan terukur dan akurat aku susuri ruas-ruas tower menuju ke bawah. Aku tahu orang-orang di bawah sama takjub melihat aku yang turun dengan lincah seperti monyet. Kini aku sudah berada di bagian tengah tower. Tanganku hendak menggapai ruas tower di sebalah kananku, tapi, oh, aku tergelincir. Hilang keseimbangan. Tidak! Aku terjun bebas ke bawah! Tubuhku membentur ruas-ruas besi. Menghajar tulang-tulangku. Ngilu sekali rasanya. Dalam sekejap mata aku merasakan kedatangan malaikat pencabut nyawa yang bergegas menunaikkan kewajibannya. Oh, selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu. Oh, adik laki-lakiku, sambutlah kehadiran kakakmu ini. Oh, orang-orang di bawah sana sambutlah jasadku! *** “Gadis kecil, sekarang kau aman di sini. Kau tak akan bertemu dengan ayahmu yang gemar memukul itu. Juga ibumu yang selalu tak peduli.� Seorang kakek menenangkan Marsha. Keduanya kini di alam yang tak dapat dibayangkan keberadaannya oleh manusia.

19


“Benarkah itu, Kek? Aku masih sayang dengan mereka sekejam apapun mereka padaku. Aku bisa memahami kondisi ayah, kondisi keluargaku.” “Gadis kecil, kau tahu, rumahmu yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman buatmu justru jadi neraka kecil. Orang tuamu yang semestinya jadi pelindung malah menjelma orang yang paling meyeramkan bagimu.” “Lalu pada siapa aku harus berlindung dan di mana aku harus bernaung?” tangis Marsha meledak. Sesenggukan memilukan. Air matanya menganak sungai. Sementara itu si kakek dengan penuh kasih membelai rambut panjang Marsha. Dan Marsha terus menangis. Jauh lebih terisak. Jauh lebih membuat dadanya sesak. Lantas keduanya menghilang setelah dijemput ribuan sayap-sayap cahaya. Cirendeu, April 2011

20


Masjid Abah

Kemarin malam abah mengajakaku makan sego kucing di angkringan. Aku heran, tak biasanya abah mengajakku makan di luar. Apalagi hanya berdua denganku. Ketika tengah menikmati hidangan Abah mengambil nafas panjang, lalu berujar. “Nak, abah pengen cerita.” “Cerita apa, Bah?” aku menatap wajah abah dalamdalam. “Tapi kamu ndak boleh ketawa lho. Soalnya kamu pasti bakal mengira ini cerita konyol.” Nada bicara abah agak kurang percaya diri. “Iya deh, Bah. Memang cerita apa sih? “Begini, Nak, jadi ketika abah ketiduran di masjid kita kemarin siang, abah bermimpi bertemu kakek. Abah diam sebentar. Menyalakan rokok kreteknya. Menghisap, menghembuskan asapnya, lalu melanjutkan cerita. “Kakek yang di mimpi itu berpakaian serba hitam, menyampaikan pesan yang membuat abah bimbang,” wajah abah berubah serius. “Pesan apa, Bah?” “Kakek bilang bahwa di bawah tiang paling tengah masjid kita itu ada sebilah keris warisan kakek yang seharusnya abah simpan!” Aku tercengang, tapi mencoba tenang. Masjid Syuhada yang dibangun tepat di samping rumahku itu memang dulu kakek yang membangun. Konstruksinya semua dari kayu jati. Disangga sembilan tiang yang kokoh, Masjid Syuhada jadi

21


kebanggaan keluarga kami. Namun, mimpi aneh abah mengusikku juga. “Abah percaya mimpi itu?” “Itulah masalahnya, Nak. Abah bingung, katanya mimpi itu bisa dari setan atau dari Allah ya?” “Tapi masak iya Allah nyuruh kita nyari keris di bawah tiang masjid, Bah? Mimpi dari setan kali itu, Bah.” “Tapi, Abah itu rasanya seperti bertemu kakek beneran. Pesan kakek itu sepertinya harus dituruti.” “Lantas abah mau mencari keris itu? Mau merobohkan masjid?” Tidak habis pikir aku, bagaimana bisa abah termakan mimpi tak logis itu. “Wah, ndak tau lah, Nak. Abah jadi tambah bingung. Sudah, ayo kita pulang aja.” Di perjalanan pulang, kami saling diam. Sampai rumah aku tak kunjung memejamkan mata. Kenapa ya abah bermimpi seperti itu? Ada apa gerangan? Taruhlah jika mimpi itu benar, mengapa pula kakek menanam keris di bawah tiang tengah masjid? Aku ketiduran gara-gara capai mendugaduga. *** Aku perhatikan, akhir-akhir ini abah jadi semakin sering tidur siang di masjid. Biasanya setelah sholat duhur, tanpa berganti pakaian abah merebahkan badan di samping tiang tengah masjid. Ditiup angin yang berkesiur dari kebun singkong di utara masjid, abah bak dininabobokan. Mungkin abah berharap mimpinya tentang keris itu berlanjut. Aku belum berani bertanya lebih lanjut mengenai kebiasaan barunya itu. Masjid Syuhada dibangun empat puluh tahun yang lalu. Saat itu aku belum lahir. Abah juga masih berusia belasan. Pohon jati yang ditanam Mbah Buyut di sehektar tanah belakang rumah, jadi bahan baku utama pembangunan masjid itu. Diam-diam, sebenarnya aku menyimpan rasa bangga melihat masjid keluargaku itu. Masjid yang kokoh dan eksotis!

22


Pertanyaan yang menggelanyutiku sekarang, bagaimana bisa hadir mimpi dalam tidur abah untuk mengambil keris yang tertanam di bawah tiang masjid? Bukankah itu berarti akan merobohkan masjid atau minimal mencederai masjid. Abah juga pasti dianggap orang yang konyol dan jadi bahan tertawaan orang sekampung jika menuruti mimpi itu. Tiba-tiba aku jadi ingat Nabi Ibrahim yang diperintah Tuhan lewat mimpi untuk menyembelih Ismail. Namun abah bukan nabi! Sesaat lamunanku buyar oleh suara ketukan di pintu depan. Ada tamu sepertinya. Bergegas aku menyambangi pintu. Muncul sosok laki-laki parlente berpakain casual lengan panjang motif garis-garis. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya di kampung ini. “Benar ini rumah Abah Dahlan?” tanyanya sembari melempar seulas senyum. “Iya benar.” “Boleh saya bertemu beliau?” “Mari, silakan masuk.” Setelah kupanggil, abah menemui laki-laki parlente itu. Sedang aku kembali masuk kamar. Dari kamarku yang terletak di samping ruang tamu, sayup-sayup aku mendengar percakapan abah dengan tamu asing itu. Sekilas aku seperti mendengar kata-kata masjid, real estate, kompensasi dan harga pantas. Selebihnya aku tak bisa mendengar dengan jelas. Ada apalagi ini? Aku jadi curiga. *** Selepas sholat maghrib, abah tak langsung membaca AlQuran seperti biasanya. Beliau memanggilku, duduk di serambi masjid. Tatapan mata abah mengitari sekeliling masjid. Seolah tak satupun sudut di masjid ini terlewatkan dari sapuan matanya. Bisa kutangkap gelagat resah yang sangat dari wajah abah. “Ada apa, Bah? Kok murung, masih memikirkan mimpi kemarin ya?” “Bukan masalah itu aja, Nak,” abah memandang lekat mataku, “kamu tahu tho tamu abah tadi siang?”

23


“Iya. Memangnya tamu tadi siang itu siapa, Bah?” “Dia itu pengusaha kaya yang mau membangun real estate di daerah kita. Katanya daerah sini itu masih asri, masih terasa nuansa kampungnya, pokoknya dia bilang tempat ini cocoklah kalau dibangun real estate.” “Lalu apa masalahnya?” “Orang itu mau membeli masjid kita, Nak! Dia bilang lahan-lahan penduduk di sekitar masjid sudah dibebaskan, tinggal masjid kita yang belum. Dia berani bayar seratus juta untuk masjid kita beserta tanahnya!” jelas abah kepadaku. Benar dugaanku! Tamu itu tidak beres! “Jangan dijual, Bah! Semiskin apapun kita, Allah pasti menurunkan rezeki untuk hamba yang menjaga dan memelihara rumahNya,” aku coba meyakinkan abah. “Memang benar, Nak. Tapi, seratus juta itu tidak sedikit lho, buanyak banget itu. Dan pasti berguna sekali bagi keluarga kita. Apalagi keenam adikmu sudah masuk sekolah semua.” “Abah, meskipun jamaah masjid ini tak pernah lebih dari dua shof, tapi masjid ini adalah warisan kakek yang harus kita pelihara. Walaupun anak-anak sekarang malas pergi TPA, namun dulu orang-orang kampung belajar baca Al-Quran juga di Masjid Syuhada ini.” Aku berusaha meyakinkan abah. Kupegang pundaknya erat. Menahannya agar tak goyah hati. “Sekarang apa artinya masjid jika tak punya jamaah? Buat apa TPA jika muridnya cuma satu-dua? Jangan-jangan perintah kakek untuk mengambil keris itu adalah isyarat bahwa akan adanya peruntungan besar jika abah merobohkan masjid. Mungkin itu keris bertuah pembawa keberuntungan, ya mungkin saja,” tatapan mata abah menerawang. “Istighfar, Bah, istighfar.” Aku tak mampu menutupi kekhawatiranku. Gubraak!!! Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam masjid. Serempak aku dan abah menengok ke dalam. Innalillahi…

24


Mbah Giyo, satu-satunya jamaah yang masih tinggal di masjid untuk nderes Al-Quran, tertimpa kipas angin! Kepalanya bersimbah darah. Mushaf Al-Quran tua warna cokelat lusuh terpangku di tangannya. Dan, masya Allah, beliau duduk tepat di bawah tiang paling tengah. Tiang yang menurut mimpi abah tersimpan keris pusaka di bawahnya! *** Malam itu kampung kami gempar. Warga berdatangan ke masjid. Abah tampak merasa bersalah sekali. Memang di tiap tiang terpasang kipas angin. Tapi entah bagaimana bisa kipas angin yang di tiang paling tengah yang jatuh. Tepat ketika ada orang di bawahnya lagi. Maut selalu tak mengenal tempat dan waktu. Setelah dimandikan dan disholatkan, jenazah Mbah Giyo dimakamkan malam itu juga. Keluarga beliau berusaha memasang raut wajah ikhlas menerima. Pun begitu kesedihan tak bisa dihapuskan begitu saja. Mbah Giyo memang dikenal sebagai warga yang baik. Beliau tipikal pendiam, tapi cekatan ketika membantu warga yang sedang butuh bantuan. Untunglah dua orang anaknya sudah sama berkeluarga. Sehingga perginya Mbah Giyo tak begitu jadi beban keluarga. Warga sejatinya bersepakat untuk menganggap kematian Mbah Giyo ini sebagai musibah, bukan salah abah. Akan tetapi, suara-suara sumbang tetap terdengar. Menyalahkan abah, menghujat abah dan menuding abah yang bukan-bukan. Abah pasrah saja mendengarnya. Untuk sedikit menebus rasa bersalahnya, abah mengambil sebagian tabungannya sebagai santunan buat keluarga Mbah Giyo. Walaupun sepenuhnya abah sadar, uang yang tak sebarapa ini tak berarti banyak untuk keluarga yang ditinggalkan. *** Hari berikutnya, ibu masuk rumah sakit. Berita kematian Mbah Giyo di masjid jadi beban pikiran beliau juga ternyata. Dokter berkata bahwa ibu harus opname. Istirahat di rumah sakit lebih baik kata dokter. Abah mengelus dada. Memikirkan biaya pengobatan. Sebagian tabungan sudah digunakan untuk santunan keluarga Mbah Giyo. Tapi bukan

25


abah namanya jika tidak memberikan yang terbaik bagi ibu, cintanya. Untung abah tak bercerita perihal mimpinya kepada ibu. Andaikata abah bercerita, tak bisa dibayangkan kondisi ibu sekarang ini. Tawaran untuk menjual masjid beserta tanahnya juga tak pernah diceritakan abah kepada ibu. Di mataku, abah adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab, walau terkadang hatinya sering goyah. *** Sore ini aku dan abah menjaga ibu di rumah sakit. Waktu menunjukkan sudah hampir maghrib. Tiba-tiba, Lik Yoto, tetangga samping rumahku, datang tergopoh-gopoh. “Abah Dahlan, anu Bah, em…itu Dik Bayu, Bah. Dik Bayu kakinya tertimpa bedug masjid!” Gugup sekali Lik Yoto menyampaikan kabar yang membuat seisi kamar tempat ibu dirawat beristighfar. “Astagfirullahal’adzim, Laillahaillallah, di mana dia sekarang?” Abah bereaksi cepat. Mulutku masih ternganga. Sedang ibu sesenggukan menahan tangis. Beliau semakin terkulai dan kehilangan kata. Lekas-lekas aku mengusap-usap pundak beliau, coba menenangkan. “Di UGD, Bah,” Lik Yoto mukanya semakin kusut. Melihat kondisi Dik Bayu kontan abah lunglai. Telapak kaki Dik Bayu sudah hapir putus, terpisah dengan mata kaki. Dokter dan para perawat bergerak tangkas. Tangis Dik Bayu tak henti-henti. Di samping telinganya abah membaca banyak dzikir sambil mengusap rambut Dik Bayu yang basah oleh keringat. Masuk ruang operasi abah sedikit tenang. Dokter mempersilakannya menunggu di luar. Abah menurut, beliau duduk di bangku panjang depan ruang operasi. Sesaat kemudian dokter menghampirinya. “Anak bapak harus diamputasi kakinya.” Mata abah berkunang-kunang. Lik Yoto bercerita kalau tadi ketika TPA di masjid, Dik Bayu bermain di dekat bedug bersama temannya. Belajar iqro’ sudah dimulai Dik Bayu masih asyik bermain. Tak jelas

26


bagaimana mulanya, tiba-tiba saja tangisnya pecah mengagetkan orang-orang di masjid. Setelah tahu kakinya kejatuhan bedug, warga sekitar berdatangan dan membawanya ke rumah sakit. Abah mendengar cerita itu geleng-geleng kepala. Mimpi bertemu kakek serta tawaran dari pengembang real estate berkelebat di benaknya. *** Masjid pembawa sial. Itulah julukan bagi Masjid Syuhada saat ini. Dua musibah sudah terjadi di masjid itu. Dalam waktu yang tak berselang lama pula. Jamaah menurun drastis. TPA malah telah gulung tikar. Kepercayaan masyarakat desa terhadap hal-hal mistis mengalahkan segala rasionalitas. Masjid warisan kakek itu benar-benar jadi simalakama. Tak dibongkar salah, dibongkar juga salah. Abah muram jadinya. Lorong rumah sakit sepi. Ibu dan Dik Bayu istirahat. Tinggal aku dan abah terpekur di atas bangku. “Nak, abah sudah mengambil keputusan. Masjid Syuhada kita itu akan abah jual. Abah benar-benar butuh uang saat ini. Biaya pengobatan ibumu dan amputasi Dik Bayu butuh uang tidak sedikit. Inilah mungkin tafsir mimpi abah kemarin hari. Menjual masjid itu.” Abah sampai pada titik nadir kepasrahan. “Abah, bukannya tidak setuju, tapi apa tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang? Allah pasti memberi petunjuk,” kataku meyakinkan abah. “Tabungan abah sudah habis, Nak. Sejak dulu abah berprinsip kita tak boleh menghutang walau sedikit. Jadi menjual masjid adalah pilihan terbaik. Toh, dari uang seratus juta itu kita bisa membeli tanah dan membangun masjid lagi.” Aku menghela napas panjang. Tak lagi bisa berkata apapun jua. *** Nuansa pagi ini kalah cerah jika dibanding dengan wajah pengusaha yang baru saja menandatangani surat jual beli. Masjid Syuhada kini bukan lagi milik kami, melainkan miliknya. Dua hari berikutnya masjid dirobohkan. Rata

27


dengan tanah. Dari jendela kamar aku menatap nanar tanah bekas masjidku dulu. Namun, malam itu aku melihat sosok lelaki tua membawa cangkul. Menuju bagian tengah masjid. Mencari letak tiang paling tengah dulu berdiri. Tak salah lagi, itu abah! Perlahan gerimis turun lalu menjelma hujan. Abah terus saja menggali, terus menggali. Hujan semakin deras, deras sekali.

28


Sunyi

“Nanti pulang jangan terlalu malam! Beli buku seperlunya! Jangan boros!� Itu suara ayah yang menyesaki telinga Sun sebelum ia pergi ke toko buku. Kini Sun bersepeda menuju toko buku. Malam belum terlalu larut. Sun anak tunggal yang pendiam. Ibunya baru saja meninggal. Ayahnya sakit. Sun tak pernah tahu ayahnya sakit apa. Hanya saja sekarang nada suara ayah selalu meninggi setiap kali bicara. Sehingga susah dibedakan apakah ia mengumpat atau memuji, menyuruh atau memaki. Sun ingin bawa ayahnya ke dokter. Namun ia tak berani. Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa menjadi lelaki penakut. Teman akrabnya hanyalah buku-buku. Apapun suasana hati Sun, ia tinggal memilih buku mana yang ia suka. Sun menggemari puisi. Pada puisi ia bisa melupakan dunianya yang hening, ayahnya yang sakit dan air matanya yang telah mengering. Puisi baginya ibarat pasar malam bagi orang-orang siang. Serupa hujan angin untuk pagi yang gerah. Toko buku ini banyak menyimpan buku sastra. Ini memang toko buku besar. Cabangnya bertebaran. Toko buku kecil sering sirik padanya. Mereka bilang toko buku besar itu kerap memonopoli pemasaran. Sun tidak paham tentang hal itu. Dia hanya paham mimpinya; suatu kali nanti puisipuisinya akan dibukukan, seperti para penyair kenamaan itu. Terpajang di toko buku besar. Orang-orang ramai berkerumun membeli dan membacanya. Dan ia jadi kaya karena puisi. Tetapi Sun ragu, bukankah selama ini ia tak pernah selesai menulis puisi?

29


30


Malam yang disinggahi angin pancaroba membuat toko buku lengang. Hanya terlihat orang tua dengan tongkat di tangannya, seorang mahasiswa dan pacarnya yang gemuk, serta anak kecil bermata sipit di rak komik. Saat larut dalam sebuah buku kumpulan puisi Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing*, Sun tak menyadari ada seorang gadis berdiri membaca di sampingnya. Ia bermata bening embun. Rambutnya yang dikucir juga memercikkan embun. Melintas di hidungnya yang bangir tetes-tetes embun. Pada leher jenjangnya juga terdapat bulirbulir embun. Kaos dan celana jins yang dikenakannya juga bercorak embun. Lalu senyumnya mekar, seperti kelopak melati berlapis embun. Perlahan Sun mengembalikan buku yang tadi dibacanya, ia hendak mengambil buku lain. Dan, oh, gadis embun itu juga hendak mengambil buku yang sama. Tangan mereka bersentuhan. Tangan Sun basah oleh embun. Ia menoleh kepada gadis embun. Bukannya kikuk atau merasa bersalah, gadis yang menyimpan embun di sekujur tubuhnya itu malah mengguyurkan embun lewat senyumnya yang wangi melati. Belum selesai Sun teperangah gadis itu segera meraih tangan Sun dan menggenggamnya erat. “Ayo ikut aku, aku akan mengajakmu ke tempat yang belum pernah kau kunjungi. Aku yakin kau akan nyaman di sana.” Lagi-lagi si gadis tak lupa tersenyum setelah berucap begitu. Sepertinya ia dilahirkan hanya untuk tersenyum. “Tapi… siapa kamu? Aku belum mengenalmu?” Sun kebingungan. “Aku adalah puisi yang selalu kau baca. Ayo kita pergi.” Bak disihir Sun ikut saja ajakan si gadis. Gadis embun dan Sun naik sepeda. Menjamahi jalanan malam yang tak terlalu ramai. Sun tiba-tiba teringat tentang sebuah liburan di masa kecilnya. Jogja. Ya, Jogja. Sun mengenang kota itu. Malioboro, ia ingat tempat di mana ia pernah begitu terkesan. Ia dan ayah ibunya naik becak menuju tempat-tempat yang membuatnya girang. Pusat jajanan, pusat

31


batik dan pusat kaos Dagadu. Waktu itu ibu membelikannya blangkon dan kaos gambar andong. Sun senang dan berbinar matanya menatap ibu. Seolah ibu adalah sayap yang erat merengkuh, yang membuatnya hangat sepanjang malam berhujan. Adalah penjelajahan tanpa peta jika Sun tak bersama ibunya. “Aku belum tahu namamu. Siapa nama kamu?” Sun bertanya pada si gadis. “Panggil aku Nyi. Nyi saja.” “Namamu singkat sekali.” “Begitulah, aku menyukai sesuatu yang pendek dan singkat. Aku juga berharap hidupku berlangsung singkat saja,” Nyi seperti menggumam. Sun tak mau menanggapi. Ia masih merasa asing. “Hei, kita sudah sampai. Ayo turun.” Sun kembali disergap keterasingan yang janggal. Nyi mengajaknya ke sebuah taman kanak-kanak di pinggir kota. Buat apa ia mengajakku ke TK malam-malam begini, tanya Sun dalam hati. “Kamu sudah lama tak bermain ayunan kan? Mari kutemani bermain ayunan.” Nyi lantas menarik tangan Sun. Mulanya ayunan bergerak pelan. Tiba-tiba Nyi berbisik di telinga Sun. Dekat sekali. Agak geli Sun bergidik kecil. “Tak perlu kau hitung detak alroji dan membayangkan getar suara ayah. Di sini kita hanya diperbolehkan bersuka cita,” bisik Nyi sambil menyungging senyum. Tepat setelah Nyi berkata demikian, angin kencang berhembus dari belakang. Mendorong kuat ayunan. Keduanya kini terbang di ayunan. Sun tertawa lepas. Nyi terbahak bebas. Mata mereka beradu. Membagi keriangan. “Waktu kecil, setiap bermain ayunan, ibu selalu mendorongku dari belakang.” Sun berteriak kepada Nyi. “Aku tahu kau memiliki ibu yang baik dan hangat.” Nyi balas berteriak.

32


“Tapi ayah tak pernah mau menemaniku bermain ayunan. Gengsi kali ya? Hahaha.” Gelak kebahagian Sun memantul-mantul. Terpental pada jungkat-jungkit yang setia mendengar celoteh dan tangis anak-anak, pada warna ceria lukisan di tembok TK, pada mainan-mainan yang bertumpuk di kelas. Sun terperanjat manakala dari arah kelas menghambur sekelompok anak kecil nan menggemaskan. Bajunya tidak seragam hijau-kuning seperti layaknya murid TK. Tapi warnawarni aneka rupa. Topinya lucu bermacam-macam model. Anak-anak itu tak menyimpan kesedihan. Sebab apa yang akan mereka sedihkan dari kehidupan? Boneka atau robotrobotan yang rusak lebih menyita air mata bagi mereka. Mereka juga tak kan pernah didatangi sepi yang menindih. Teman-teman selalu ada setiap hari. Membawa ceritanya sendiri-sendiri dari rumah masing-masing. “Dulu, ayahmu melarang kamu masuk TK, bukan? Aku tahu kamu memimpikan gelak tawa anak-anak itu,” ujar Nyi sembari mengajak Sun menyudahi bermain ayunan. “Anggapan ayah, aku adalah anak jenius. Sehingga tak perlu masuk TK, langsung SD saja. Ketika SMP dan SMA ia juga memaksaku masuk kelas akselerasi. Ia begitu percaya bahwa aku anak yang jenius.” “Ayahmu menyayangimu. Bukankah wujud sayang itu bermacam-macam? Lupakan semua yang membuatmu melupakan bahagia! Hei, anak-anak itu telah menunggu kita.” Senyum itu mekar lagi. Nyi berlari kecil, rambutnya yang dikucir terguncangguncang. Memercik embun. Leher jenjang itu basah. Menetes embun. Sun terpaku di belakangnya. Berdesir. “Ayo cepat kesini!” Tak sabaran Nyi berteriak memanggil Sun. Anak-anak berkeliling mengitari Nyi. Lalu Nyi mulai mendongeng. Tentang Timun Mas. Mendengar Nyi mendongeng, Sun hanya duduk mematung di sampingnya. Ia mirip dengan anak-anak TK yang terkagum mendengar cerita Nyi. Raut wajah tegang anak-anak ketika cerita sampai pada

33


fragmen Buto Ijo meminta kembali Timun Mas, diikuti pula oleh Sun. Sesekali ia juga mengangguk-angguk. Diam-diam di hatinya timbul sebuah pertanyaan, kenapa dulu ibu tak pernah mendongeng sebelum aku tidur? Beranjak ke cerita kedua, Nyi mengangkat dongeng kancil berlomba lari dengan siput. Riuh tawa anak-anak tatkala Nyi memperagakan wajah bingung kancil saat ia dikibuli dan dikalahkan siput dalam lomba lari. Sun ikut tersenyum. Senyum yang menyiratkan kerinduan. Akan waktu-waktu yang hilang. Tentang sebentuk kebersaman yang tersaput rembang pentang. Lenyap seperti tertelan begitu saja. Tak tahu siapa yang menelannya. Di tengah tawa anak-anak yang belum habis, Nyi melirik Sun. Ia suguhkan lagi senyumnya yang diselimuti embun itu. Sun merah tomat matang. Toleh kanan kiri. Tak jelas mencari apa. Dentang lonceng. Anak-anak masuk kelas berlarian. “Nyi, ini sudah terlalu malam. Ayah akan marah jika aku pulang sebegini larut.” “Sun, tak perlu risau. Saat ini ayahmu sedang menikmati pagelaran wayang kulit di televisi. Ia akan pulas dengan sendirinya nanti. Dan kau bisa mengendap dari pintu…” “Hei! Dasar anak kurang ajar! Keluyuran terus!” belum selesai Nyi berbicara, di depan gapura TK sosok tinggi besar ayah Sun muncul bersama gelegar suara hardikan yang serupa halilintar. “Pulang!” Intonasi suara ayah kali ini belum pernah Sun dengar sebelumnya. Gemetar tubuh Sun seketika. Tibatiba ia seperti diserang demam yang janggal. Dalam langkah gontai bercampur ngeri kepala Sun tertunduk. Ia menuruti perintah ayahnya. Pulang, ya, pulang. Tiada lain. Lamat-lamat suara Nyi terdengar menelisik pendengaran Sun. “Temui aku di taman kanak-kanak ini setiap kali kau disergap sepi, Sun.”

34


Nyi lantas melambaikan tangan. Kemudia raib ditelan gelap malam yang ganjil. Sampai rumah ayah terus menceracau. Ujarnya, “jangan pernah temui perempuan itu lagi!� Berulang-ulang kali ayah berpesan demikian. Dengan redaksi bahasa berbeda. Saat Sun beranikan diri menanyakan apa pasal, ayah tak pernah mau menjawab. Sun bertahan dalam kebingungannya. Ayah gemar menawarkan kebingungan demi kebingungan. Lalu hari-harinya berputar seperti siklus hujan. Bahagia dan sedih singgah pergi begitu saja. Tapi yang setia menetap adalah sepi. Ayah Sun masih saja berbicara dengan tekanan yang tak jelas. Kian hari kian susah saja dibedakan, apakah ayahnya sedang membuncah amarah, membagi sedih, bersanda gurau atau sedang apa? Hingga akhirnya di suatu malam tanpa rembulan Sun nekat pergi ke taman kanakkanak. Hendak menemui Nyi, si gadis embun. Siapa yang tahan ditusuk sepi oleh keheningan seorang ayah, kata batinnya. Sun hanya berbekal keyakinan bahwa Nyi juga akan datang manakala Sun datang ke taman kanak-kanak ini. Sembari menunggu, Sun bermain ayunan. Sekian lama Nyi tak juga menunjukkan batang hidungnya. Sun ganti bermain jungkat-jungkit. Nyi tak kunjung tiba. Murid-murid TK berhamburan dari ruang kelas. Waktu istirahat. Mereka minta Sun mendongengkan satu cerita. Sun tersenyum dan menggeleng. Dia bilang, tak banyak dongeng yang dia tahu. Mungkin salah satunya adalah cerita seorang ayah yang aneh yang hidup dengan seorang anak laki-lakinya yang aneh pula. Sementara itu, Nyi tak datang-datang. Sun masih menunggu. Mungkinkah Nyi mengingkari janjinya? Waktu lupa bertugas. Seperti malam kemarin. Ayah Sun dengan begitu tiba-tiba muncul di gapura TK. “Anak yang bebal! Sama seperti ibunya!� Usai mengumpat dengan mata melotot, roboh tubuh ayah Sun. Lepas nafasnya. Dengan tenang Sun menggotong jenazah ayahnya ke rumah. Dia keluarkan peti mati dari dalam kamarnya. Sudah lama Sun persiapkan dan simpan. Sebelum

35


adzan subuh Sun telah berhasil mengubur jenazah ayahnya di samping makam ibunya. Sebuah pemakaman tanpa upacara dan doa-doa. Tanpa air mata. Ketika akan meninggalkan pemakaman, Sun melihat kelebat bayangan Nyi melintas di atas pusara ibunya. Kemudian lenyap bersama kepulan asap. * Kumpulan Puisi Afrizal Malna. Ponorogo-Ciputat, 2009

36


Hikayat Mbah Seno

Mbah Seno di rumah sendirian. Lelaki usia 73 itu tidak punya siapa-siapa lagi. Istrinya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Dan ia memang tidak dikaruniai anak seorang pun. Istrinya mandul. Ia bisa menerima itu. Sadarlah ia bahwa dalam hidup segala sesuatu tak bisa selalu sempurna. Serta semua angan-angan tak mungkin selalu terwujud. Ia juga tak memiliki niatan untuk mengambil anak asuh. Ada perasaan ganjil yang muncul di benaknya jika ia merawat anak asuh. Semacam rasa tak penuh memiliki seorang anak dan sedikit kekhawatiran. Barangkali ia takut dengan prasangka dan bayangan-bayangan yang ia reka sendiri. Sejujurnya ia adalah kakek yang malang. Setelah membikin segelas teh, Mbah Seno duduk di kursi tamu. Ia nyalakan radio. Mendengarkan radio sudah menjadi kegemarannya sejak dulu. Lebih-lebih setelah istrinya meninggal. Praktis teman setianya adalah radio. Acara favoritnya adalah Koes Plus Mania, di mana lagu-lagu Koes Plus terbaik diputar. Mbah Seno, tak bisa dielakkan lagi, adalah penggemar Koes Plus nomor wahid. Ia hampir hafal semua lagu-lagunya. Seharusnya ia pergi ke masjid sekarang. Bergabung dengan warga-warga lain membersihkan masjid. Sebab hari ini adalah sehari jelang Ramadhan. Membersihkan masjid sebelum masuk bulan puasa sudah menjadi adat kebiasaan warga di situ. Tapi Mbah Seno sudah tak kuat lagi untuk ikut kerja bakti. Tubuhnya mulai ringkih. Sedikit dihembus angin bisa jadi akan langsung jatuh sakit.

37


Maka Mbah Seno memilih bertahan di rumah saja. Barangkali di antara riuh rendah suasana hati orang-orang menyambut bulan penuh kemulian, hanya Mbah Seno yang hatinya tak menentu. Di usianya yang sudah uzur ia harus menanggung sunyi sendiri. Kalaupun ada yang kerap mampir ke rumahnya adalah Mbah Eko dan Mbah Drajat. Keduanya mengunjungi Mbah Seno sekadar untuk mengobrol dan minum teh atau merokok di teras rumah. *** Dahulu sekali, sebelum desa ini seramai sekarang, baik Mbah Seno, Mbah Eko dan Mbah Drajat saat masih muda adalah preman kampung. Ketiganya amat disegani. Bahkan hingga preman kampung sebelah menaruh hormat. Tiga sekawan itu berjuluk Gerombolan Tiga Singa. Nama gerombolan itu telah kondang di mana-mana. Tidak ada hajatan yang tak meminta bantuan mereka untuk masalah keamanan. Dan mereka hanya bisa ditemui di kedai tuak Mak Cupet. Sebab di samping bikin onar -dengan dalih menjaga keamanan- kegiatan lain mereka adalah minum, mabuk, lalu tidur. Akan tetapi semua berubah manakala, Mbah Seno muda, pimpinan Gerombolan Tiga Singa itu terperosok dalam pesona seorang Utami. Semua akan berjalan seperti biasa andai saja Utami bukanlah puteri tunggal Haji Ibrohim, guru agama sekaligus sesepuh di desa itu. Utami baru berusia 18 tahun kala itu, sedang ranum-ranumnya. Dan Mbah Seno muda bukan orang yang tak tahu diri. Ia sangat paham di mana posisinya. Ia sadar siapa ia dan siapa Utami. Meskipun ia juga tak bisa membohongi hatinya jika ia telah terhisap ke dalam pusaran seorang Utami, yang menurut Mbah Seno muda memiliki paras secantik perpaduan purnama, matahari senja dan terbit surya di pagi hari. Sebuah ibarat yang cukup berlebihan namun wajar bagi orang yang kasmaran. Maka, pakaian kumal Mbah Seno muda berganti dengan baju putih dan sarung. Meski bukan pakaian baru, namun cukup membuatnya terlihat berbeda sama sekali.

38


Rambut gondrong dan kumalnya dipotong pendek lantas diminyaki. Ia hendak menuju rumah Haji Ibrohim. Penampilan itu kontan membuat Mbah Drajat dan Mbah Eko muda yang segera menemuinya geleng-geleng kepala serta tak habis-habis mengumpat. “Kau ini kemasukan setan mana, bisa berubah drastis begini ha?” tanya Mbah Drajat muda sambil bersungutsungut. Mulutnya bau tuak dan matanya merah. “Apa hanya karena seorang Utami kau berubah? Huh, mentalmu kerdil sekali! Membunuh preman kampung sebelah saja kau tak takut, tapi dengan anak Haji Ibrohim kau bertekuk lutut.” Dengan penuh kewibawaan dan nada suara terukur, nyaris tanpa emosi, Mbah Seno muda menjawab pertanyaan kedua temannya. “Kawan, kau tahu, aku tidak kemasukan setan manapun, ini adalah aku yang sesungguhnya. Kawan, kau juga tahu, aku memang dingin tiap kali menghabisi lawanku,” Mbah Seno diam sesaat, ambil nafas lalu lanjut berbicara,” Tapi, andai kau tau rasanya cinta, kau pasti tak kuasa menahannya. Diserang cinta lebih parah dibanding diserang demam paling mematikan sekalipun.” “Cukup. Jangan lagi berkhotbah tentang cinta. Coba kau pikir lagi, bagaimana bisa sejarah akan mencatat seorang pimpinan Gerombolan Tiga Singa yang paling disegani takluk dengan anak seorang guru agama? Kita akan ditertawakan sejarah dan pasti akan sangat memalukan sekali!” Mbah Drajat mengutarakan pandangannya. “Justru itu kawan, biarlah sejarah mencatat jika di desa ini seorang begundal telah jadi lembut hatinya karena cinta dan cinta telah menunjukkan kuasanya.” “Halah! Wedhus!” Mbah Eko membuang muka sambil meludah. Wajahnya tampak kesal sekali. Tapi Mbah Seno telah berada dalam kendali cinta. Dengan langkah gagah ia menuju rumah Haji Ibrohim. “Assalamu’alaikum Haji Ibrohim. Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang

39


berbuat salah adalah yang memohon ampun,” Mbah Seno muda menyitir hadis sebagai pembelaannya, “Saya sudah berubah kini dan izinkan saya meminang Utami, puteri Anda.” Mendapati Mbah Seno muda dengan pakaian rapi dan rambut dicukur pendek nan klimis Haji Ibrohim hanya tersenyum simpul. Dengan ketenangan luar biasa ia berujar. “Kembalilah lagi ke sini ketika kau sudah mengerti tentang ilmu jujur.” Kontan Mbah Seno muda tersekat. Ilmu jujur? Ah, seperti apa ilmu jujur itu? Dengan lunglai Mbah Seno muda meninggalkan rumah Haji Ibrohim. Ia seperti tersihir sehingga tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia juga begitu penurut lagi jinak. Berhari-hari Mbah Seno muda memikirkan tentang ilmu jujur. Namun ia tak tahu sama sekali. Mendadak ia menyesal enggan belajar agama sejak dini. Ia tahu bahwa penyesalan tiada guna. Ah, setidaknya aku ingin jujur kepada diriku sendiri, katanya dalam hati. Ia jujur kepada dirinya sendiri bahwa minum tuak hanya akan merusak tubuhnya, bahwa merompak hanya akan merugikan saudaranya sendiri. Ia juga jujur jika hidupnya di masa lampau bukan hidup yang selama ini diinginkannya. Jadilah pada suatu petang di hari Kamis Mbah Seno muda datang lagi ke rumah Haji Ibrohim. Kali ini tanpa baju putih dan sarung. Ia hanya mengenakan celana panjang an kaos sederhana. Belum sempat ia mengetuk pintu Haji Ibrohim telah terlebih dahulu membuka pintu. Seolah tahu jika seseorang akan datang. Lantas Haji Ibrohim mempersilakan Mbah Seno muda untuk duduk. Mbah Seno muda tak bersuara sedikit pun. Mulutnya seperti dibungkam oleh sesuatu yang gaib. “Aku tahu memaknai ilmu jujur tidaklah mudah. Dan itu tak bisa ditemukan dalam hitungan hari. Tapi aku sudah tahu jika kau telah berusaha. Aku pun tahu kau telah jujur terhadap dirimu sendiri. Dari pakaian yang kau kenakan telah mencerminkan semuanya. Kau tak bisa berbohong jika kau belum nyaman mengenakan baju putih dan sarung. Kau tak

40


lagi ingin menunjukkan kesalehanmu. Boleh jadi kau telah mengerti jika kesalehan tidak bisa diukur dengan pakaian yang dikenakan,” terang Haji Ibrohim panjang lebar. “Kini pinanglah anakku. Jaga ia baik-baik. Utami adalah anakku satu-satunya,” tambah Haji Ibrohim. Saat itu juga air mata menderas dari mata Mbah Seno muda. Seketika ia mencium tangan dan kaki Haji Ibrohim, calon mertuanya. Kebahagiaan itu terjadi sehari jelang Ramadhan. Hari ini pun adalah satu hari jelang Ramadhan. Namun Mbah Seno sepertinya tak menemukan kebahagiaan apapun. Selain lagu Koes Plus yang meluncur dari kotak radio, belum ada kebahagiaan lain yang berarti baginya sepeninggal istrinya. Hal lain yang cukup bisa menghibur sepinya adalah kedatangan Mbah Drajat dan Mbah Eko yang sama-sama lepas dari dunia preman setelah menemukan pasangan hidup. Ketika semua anggota Gerombolan Tiga Singa menikah secara resmi gerombolan itu dibubarkan. Setelah segelas teh dihadapannya tandas segera Mbah Seno mengambil kemeja batik lengan panjang, sarung dan songkok hitam. Ia bersiap ke masjid. Untunglah ia punya tetangga sebaik Yu Rebi yang ikhlas mencuci dan menyetrika bajunya. Juga memasak setiap harinya. Praktis seluruh hidup Mbah Seno bersandar pada Yu Rebi, tetangganya yang berhati mulia itu. Mbah Seno sudah berjalan ke pintu. Hendak keluar rumah. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia duduk kembali. Seluruh isi rumah dipandangi satu per satu. Setiap benda seolah ingin bercerita tentang semua kenangan yang telah berlalu. Baru kali itu Mbah Seno merasakan sunyi yang amat menusuk ke kedalaman sanubarinya. Suara riang anakanak bermain kembang api dan petasan seperti tak berarti. Di tengah keramaian ia masih merasa sepi. Lepas maghrib Yu Rebi datang ke rumah Mbah Seno. “Mbah, ini ada sedikit lauk buat sahur besok pagi. Masih kuat puasa kan besok?”

41


“Insya Allah. Terima kasih, Yu.� Mbah Seno menjawab seraya tersenyum. Giginya yang beberapa sudah tanggal kelihatan di sana. Kultum dari imam tarawih sedikit banyak membuat Mbah Seno terkesan. Sampai di rumah ia masih terkenang ceramah imam tarawih tadi. “Bulan Ramadhan setan-setan dikekang dan pintu surga dibuka lebar. Tapi, wahai jamaah sekalian, tahukah anda jika manusia sekarang sudah begitu canggih sehingga untuk berbuat kerusakan dan kejahatan tak perlu setan turut campur.� Ya, kata-kata penceramah itu telah menggelitik Mbah Seno. Lelaki rapuh itu diseret ke masa lalunya. Namun ia mampu menghadang gelombang kenangan itu. Meski sedikit terengah-engah melawannya. *** Oleh suara tetabuhan sahur yang dibunyikan anakanak muda Mbah Seno terbangun. Ia bersiap untuk bersantap sahur. Oh, syukurlah aku masih bertemu bulan puasa lagi, batin Mbah Seno. Rona kesyukuran terlihat di wajahnya. Telah ia tuang nasi ke piring. Sepotong tempe dan tahu ia letakkan di samping nasi. Tak lupa sesendok sambal. Baru saja ia hendak menyuapkan suapan pertama saat ia merasakan tulang punggungnya linu. Ia taruh kembali sendok di piring. Lantas menuju kamar, mengambil obat. Sayang, tubuhnya rubuh di pintu kamar. Tak jadi sahur. Tak jadi puasa. Sebab Mbah Seno kini telah tak beryawa. Jasadnya baru ditemukan saat Yu Rebi mengantar buka puasa. Seisi rumah yang lengang itu telah bersiap menyambut kesepian. Bersiap untuk tak bertuan. Semua terjadi di satu hari jelang Ramadhan. Lembang, 25 Juli 2011

42


Kereta Kelas Tiga

“Ini kursi saya, Mas!” Seorang kakek belum terlalu renta menegur seorang pemuda. “Maaf, kakek, tolong dicek lagi tiketnya. Saya sudah pastikan ini kursi saya.” “Jangan meremehkan saya! Saya memang sudah tua, tapi penglihatan saya masih baik. Di tiket tertulis saya duduk di gerbong tiga kursi 15 A.” “Tiket saya juga begitu, Kek. Gerbong tiga, kursi 15 A.” “Tidak mungkin. Pasti kamu yang salah. Bodoh sekali perusahaan kereta kalau bikin tiket sama.” “Maaf, Kek, coba saya lihat dulu tiket kakek.” “Silakan, Tapi begini saja, itu ada Pak Polisi. Biar dia yang menengahi.” Kakek itu memanggil petugas keamanan yang ia sebut Pak Polisi. Dengan sigap petugas keamanan kereta mengecek tiket kakek dan pemuda itu. Petugas keamanan tersenyum, lalu menjelaskan dengan simpatik bahwa kakek salah mengartikan kode K-3 yang tertera di tiket. Kakek itu seharusnya di kursi 15 A gerbong lima, dan bukan tiga. Dari kursi tempat saya duduk saya mendesah pelan melihat keributan kecil di tengah padatnya kereta. Orang kerap salah mengartikan kode K-3 di tiket kereta. Kode K-3 itu bermakna kereta kelas tiga alias kereta ekonomi. Kereta yang murah meriah, kereta rakyat. Mereka yang belum pengalaman naik kereta ini sering adu mulut gara-gara kode K-3. Dikiranya K-3 berarti gerbong tiga. Padahal bukan.

43


44


Meski ketegangan itu mereda dengan berlalunya si kakek tapi ketegangan di hati saya belum reda. Bagaimanapun saya teringat kejadian tadi pagi. Ketika itu, di stasiun Purwosari, waktu menukjukkan pukul delapan pagi. Antrean tiket kereta Senja Bengawan tidak terlalu panjang. Saya ingin membeli satu tiket untuk keberangkatan sore nanti dan saya yakin akan mendapatkannya. Prediksi saya meleset. Petugas loket mengabarkan bahwa tiket duduk tinggal dua. Maklum cuti bersama, tiket cepat habis. Nahasnya, orang yang antri tepat di depan saya membeli lima tiket. Sudah tentu saya tak akan kebagian tiket duduk. Orang di depan saya pun juga hanya mendapatkan dua kursi saja. Maka bekerjalah akal bulus saya. Saya harus dapat kursi supaya nyaman tidur sepanjang perjalanan, lantaran semalam saya begadang nonton final Liga Campion di Manahan. “Aduh, tiket tinggal dua ya? E...maaf, Pak, boleh saya minta satu tiket untuk ibu saya. Ibu saya ingin menjenguk adik saya yang kuliah di Jakarta. Masak tega membiarkan ibu saya tanpa kursi dari Solo ke Jakarta?” ujar saya dengan mimik memelas. “Ya monggo, silakan bilang dengan Mas yang beli lima tiket ini,” jawab petugas loket. Pembeli lima tiket itu masih muda. Tampaknya seorang mahasiswa. Berkacamata dan rambutnya dipotong sasak. Kaosnya adalah kaos distro dan di tangannya seonggok hape sebesar mendoan. Cermin anak muda masa kini. “Oh, tidak apa-apa. Ambil saja tiket saya satu. Kasihan ibunya kalau tidak duduk di kursi,” anak muda pembeli lima tiket cukup tanggap dan pengertian juga ternyata. Saya sumringah dengan keputusan bijak anak muda itu. Hanya Tuhan dan saya saja yang tahu jika saya nyatanya berdusta. Ibu saya tidak sedang ingin ke Jakarta. Saya juga tak punya adik yang kuliah di sana. Ini tipuan saya belaka. Satu tiket duduk sudah di tangan saya kini. Tetapi tak bisa ditutupi rasa berdosa saya ketika di stasiun saya berpapasan dengan anak muda itu. Juga saat ternyata saya

45


satu gerbong dan satu kursi dengan anak muda, kikuk dan salah tingkah nyata terlihat. Habislah saya! “Brengsek,” batin anak muda itu, “katanya ibunya yang berangkat, eh malah dia sendiri yang berangkat. Wajah melasnya memang membuat siapapun jatuh iba.” “Bodoh,” pikir saya, “harusnya saya sadar lebih awal, jika saya mengambil tiketnya saya akan duduk satu kursi dengannya. Dan itu siksaan batin sepanjang perjalanan. Tapi itulah cara terbaik dapat tiket jika sudah kepepet. Kalaupun nanti ditanya anak muda itu, sudah saya siapkan jawaban: maaf, ibu saya kurang sehat, tak jadi berangkat, beliau meminta saya yang berangkat.” Sambil pura-pura tidur saya melirik anak muda yang berdiri tak jauh dari saya. Sungguh saya merasa berdosa menyerobot hak orang lain. Tapi, ya sudahlah. *** Kereta melaju terus. Melindas rel yang seolah tanpa ujung. Saya kadang berpikir, betapa tabah dan berjasanya rel ini. Hampir tak berhenti menanggung beban kereta dengan ribuan manusia di dalamnya. Jika ada pahala bagi rel, niscaya pahalanya akan banyak sekali. Rel akan masuk surga. Namun, mana ada rel masuk surga? Dalam lamunan, entah mengapa saya teringat teman saya saya yang belum lama kecopetan di kereta. Jadi, ketika itu ia duduk di sambungan rel gerbong dengan seorang temannya, belum lama duduk, ia sudah tidak mendapati hape di saku celananya. Panik betul ia kala itu. Dengan gugup ia pinjam hape temannya untuk menghubungi hapenya. Bisa! Seseorang berbicara di seberang sana. Kalau mau ambil hape, saya di gerbong terakhir, suara orang di seberang. Tanpa menunda lagi, ia berlari menuju gerbong terakhir. Ia tidak mendapati apa-apa di sana selain penumpang yang berjubel. Ia justru mendapati dirinya sebagai seorang yang bodoh. Copet tidak mungkin tidak ada di kereta kelas tiga. Mereka bisa menyaru sebagai penjual minuman, nasi, tisu, kopi dan lain-lain. Gerakan mereka juga sangat rapi. Di kereta yang saya tumpangi copet juga beroperasi. Ceritanya, duduk

46


di samping kiri saya ayah dari anak muda (yang tadi pagi saya kelabui), umurnya sekitar lima puluh tahun. Sedang di samping kanan saya seorang lelaki dengan usia sekitar 40 tahun dengan kemeja batik. Berhadapan dengan lelaki berkemeja batik adalah lelaki berjaket hitam. Mengetahui lelaki berkemeja batik menaruh hapenya di saku depan kemejanya, lelaki berjaket hitam menegurnya. “Maaf, Mas, mendingan hapenya ditaruh di saku celana saja, kalau ditaruh di saku kemeja seperti itu rawan kecopetan,” kata lelaki berjaket hitam saat kereta baru bertolak meninggalkan Solo. “Wah, saya sudah biasa taruh hape di sini. Kemarin juga gini tapi aman-aman saja kok.” “Kalau ditinggal tidur bahaya, Mas. “ “Saya pasti bangun kalau ada yang mau nyopet.” Barangkali karena capek mengingatkan, lelaki berjaket hitam tidak komentar apa-apa lagi. Toh sebagai sesama penumpang kereta kelas tiga, ia sudah mengingatkan. Dan benar, hampir subuh, ketika kereta masuk stasiun Bekasi di mana lelaki berkemeja batik hendak turun, ia tak mendapati hape di sakunya. Tentu saja ia kebingungan dan sedikit panik. Namun ia (mungkin) juga merasa malu karena sudah diperingatkan di awal namun ngeyel. Lelaki berjaket hitam setelah tahu lelaki berkemeja batik kehilangan hape tidak bereaksi secara mencolok. Saya membatin lelaki berjaket hitam tersenyum dalam hati sambil menukas: salah sendiri, dibilangin ngeyel. Baru setelah lelaki berkemeja batik turun, seorang ibu yang semalaman tak bisa tidur menceritakan kronologi pencopetan yang menurutnya terjadi sekitar pukul dua itu. “Semua tidur waktu itu, seperti disirep. Dua orang penjual kopi masuk gerbong kita. Awalnya hanya berlalu belaka sambil lamat-lamat menawarkan dagangannya. Namun mata keduanya seolah mencari sesuatu. Dua penjual kopi itu tak lama kembali lagi dan dimulailah pencopetan menyebalkan itu. Satu orang bertugas mengawasi sekitar. Siaga jika mungkin ada yang mengganggu kerja kreatif

47


mereka. Lantas, dengan kecepatan mengagumkan serta gerakan yang tertempa oleh pengalaman, hape bapak berkemeja batik raib dari saku kemeja. Dengan wajah tidak berdosa dua pencopet sial itu pergi meninggalkan gerbong ini dan tak pernah kembali. Pada mulanya aku sudah curiga, dua orang penjual kopi yang berjualan beriringan begitu sungguh tidak masuk akal. Kapan lakunya jika berjualan beriringan dan berdekatan begitu? Tapi sungguh aku tak berani membangunkan siapa-siapa.� Siapapun yang mendengar cerita ibu tadi menampakkan wajah kesal dan geram. Namun ada pula yang tenang dan dingin belaka ekspresinya. Seolah apa yang diceritakan ibu itu sudah seperti dongeng yang dibacakan nenek jelang tidur malamnya. *** Kereta saya sudah masuk Jakarta. Sampai di stasiun Jatinegara saya terbebas dari siksa batin. Anak muda dengan ayah dan tiga temannya turun di stasiun Jatinegara. Saya melanjutkan perjalanan hingga stasiun terakhir, stasiun Tanah Abang. Sejenak saya mengistirahatkan diri di stasiun yang sibuk itu. Menyantap nasi uduk Mpok Gayong di depan stasiun yang sedap tiada duanya. Lalu minum kopi dan merokok. Dan akhirnya semua kembali ke lingkaran rutinitas yang berputar tak berkesudahan. Saya berangkat kerja pagipagi dan baru pulang ketika hari telah malam. Begitu seterusnya. Berangkat ketika hari masih gelap dan kembali ke rumah juga saat hari telah gelap. Nyaris saya tak pernah bertemu matahari andai saja hari Minggu tak pernah ada. Jelang libur panjang. Kampung halaman seperti melambaikan tangan dengan genit dan menggoda. Ya, tak ada tempat yang lebih baik untuk mengistirahatkan diri dari penatnya Jakarta selain di kampung halaman yang tenang dan damai. Pulang kampung juga harus dengan kereta kelas tiga. Selain ongkosnya terjangkau, seni naik kereta hanya terasa dengan naik kereta kelas tiga. Sehari sebelum hari keberangkatan saya beli tiket ke stasiun Tanah Abang.

48


Antrean panjang tanpa ampun. Hampir dua jam saya berdiri. Sampai depan loket saya segera memesan tiket. “Pak, tiket Senja Bengawan satu?” “Apa?” “Senja Bengawan.” “Kemana saja selama ini? Sekarang kereta ekonomi sudah tidak ada lagi, Mas!” “Ha?! Bagaimana bisa?!” Aku terkejut bukan kepalang. “Kenapa tidak bisa? Semua kereta jadi kereta eksekutif, kereta kelas satu. Tidak ada kereta kelas dua dan tiga lagi. Hanya ada satu kereta saat ini, kereta Nusantara Ekspress. Tidak ada kelas dalam kereta. Semua orang naik kereta yang sama.” “Lantas? Ongkosnya jadi mahal? Mana bisa orang kecil bayar kereta eksekutif?” “Tidak, ongkosnya sama dengan kereta ekonomi biasa. Subsidi pemerintah yang memenuhi kekurangan semuanya. Saat ini hampir tidak ada cerita kereta penuh sesak dan manusia berjejalan begitu menyedihkan.” “Berarti juga tidak ada copet? Calo?” “Tidak ada! Satu gerbong dijaga satu polisi. Di sudutsudut stasiun mereka juga berjaga. Dijamin aman! Ini adalah zaman baru perkereta apian kita.” Saya tertegun beberapa saat. Kenapa saya sampai tidak tau ada perubahan sebesar ini? Padahal saya nonton tivi dan baca koran tiap hari. Ah, aneh sekali. Tapi terus terang seperti ini bukan kabar gembira bagi saya. Mendadak melintas dalam benak saya hal-hal yang jadi ciri khas dari kereta kelas tiga tak akan pernah ada lagi. Penjual koran bekas, kipas, kopi, nasi, tisu, tukang semprot pewangi, tukang sapu, pengemis cacat akan tinggal kenangan. Termasuk juga copet, calo dan jambret. Tidak ada pula kehangatan antar penumpang, jika satu orang satu kursi dan kursinya tidak berhadap-hadapan. Saya membayangkan di hari-hari depan saya akan sangat merindukan kereta kelas tiga. Dan saya urung membeli tiket pagi itu. Mungkin saya akan naik bis saja.

49


Di Beranda

Adakah yang lebih nyaman dilakukan pada pukul lima sore, selain menghirup wangi aroma kopi dan menikmati singkong goreng di beranda rumah? Sementara angin berkesiur dari rimbun pohon mangga yang bunganya jatuh berguguran. Batangnya yang kokoh meliuk ke kiri dan kanan. Suara ramai anak-anak kecil main badminton di halaman masjid menyelip di antara obrolan ibu-ibu soal resep masakan. Sembari memandangi ungu rona langit menuju senja, sesekali cecapung mengintip di balik dedaunan cemara. Ada juga kekupu yang riuh mengitari bunga anggrek bulan. Damai yang utuh. Seminggu terakhir ini, kakekku punya kebiasan baru. Setiap pukul empat sore kakek selalu duduk di kursi kayu depan rumah kami. Di hadapannya secangkir kopi tubruk pahit, sepotong gula jawa, singkong goreng dan sebuah buku tua kusam bersampul motif batik. Setelah menyeruput kopi pahit, gigi kakek yang masih kuat akan mengigit sedikit gula jawa. Beliau membeda antara yang manis dan pahit. Dipilihnya merasai pahit kopi dulu baru manis gula jawa. Begitu selalu. Tiap sore kakek tak pernah absen menanti luruh senja di beranda rumah. Kakek hanya akan beranjak dari tempat duduknya ketika bedug mahgrib bertalu-talu. Wajahnya akan berubah agak murung setelah menyelesaikan ritual jelang senjakala itu. Seperti ada sesuatu yang belum beliau dapati dan hal itu membuatnya kecewa. Ayah dan ibu mulai bertanya-tanya tentang kebiasaan baru kakek. Begitu juga dengan paman dan bibiku yang juga tinggal serumah. Suatu kali ayah

50


memberanikan diri bertanya kepada kakek perihal kebiasaan beliau tersebut. Kakek hanya tersenyum simpul dan lantas menjawab: aku sedang menunggu. *** Kakek masih terus melanjutkan kebiasaannya. Pukul lima sore, di beranda rumah, ditemani kopi tubruk pahit, gula jawa, singkong goreng serta buku tuanya. Dan sedang menunggu, entah menunggu apa. Tapi sore ini aku agak terkejut dengan cerita kakek padaku. Pulang dari membeli buku, aku menyapa kakek yang sedang duduk di beranda. Tiba-tiba kakek memanggil dan memintaku duduk di kursi sebelahnya. “Duduk sini, Nang. Temani kakek nyeruput kopi. Ini secangkir buat kita berdua,” ujar kakek mengawali obrolan. “Terima kasih, Kek. Tapi, memang enak ya minum kopi gulanya dipisah seperti itu?” “Weee…jangan salah, rasa kopi tubruk gula jawa ini ndak ada tandingannya. Kopi-kopi kemasan yang banyak dijual itu kalah jauh,” jawab kakek penuh rasa bangga. “Ow…begitu tho, Danang coba ya, Kek?” “Ayo, silakan.” Aku diam sebentar, lantas mengangguk-angguk setelah merasai kopi tubruk pahit dan gula jawa itu. Kakek lalu bertanya. “Gimana rasanya, enak tho? “Iya, Kek. Unik rasanya. Beda dari kopi yang biasa Danang minum,” tukasku sambil tersenyum kepada kakek. “Oh iya kek, kenapa kakek setiap sore selalu duduk di beranda?” Hati-hati aku bertanya. “Ternyata kamu juga penasaran ya, hehehe.” Kakek menjawab seraya terkekeh. Pipinya yang sudah agak keriput terlihat lucu bergerak-gerak. “He-he, begitulah, Kek,” jawabku dengan agak segan. Kakek menarik napas panjang. Sejurus kemudian raut wajah kakek berubah agak sendu. Beliau seperti menerawang ke sebuah masa yang jauh. Bukannya langsung menjawab, kakek balik bertanya.

51


52


“Nang, kamu tahu lapangan bola samping kantor kelurahan yang akan dibangun lapangan futsal itu?” “Iya, Kek. Memang kenapa?” “Rumputnya hijau subur, bukan? Pohon kelengkeng dan pohon rambutan di sana sudah semakin tinggi ya?” “Betul, Danang sering melihat teman-teman memanjat pohon kelengkeng ketika buahnya mulai ranum dan wangi. Tapi dua pohon itu sekarang sudah ditebang, ‘kan mau dibangun lapangan futsal,” terangku polos. Air muka kakek jadi sedikit murung. “Begitu ya…aku ingat ketika masih muda dulu. Gemar sekali aku bermain bola di lapangan itu. Hampir setiap sore selalu bermain bola. Hanya pulang ketika ibu datang memanggil ke lapangan. Pernah suatu kali, telapak kakiku robek lantaran tergores batu lancip saat menendang bola. Perih memang, tapi itu keasyikan sekaligus resiko bermain bola.” “Hmm…seru sekali. Tapi, anak-anak sekarang lebih gemar bermain bola di playstation, Kek. Apalagi sekarang sudah ada playstation 3.” “Nanti, jika lapangan futsal itu sudah jadi, setiap orang yang akan bermain bola di sana tentunya akan dipungut biaya. Tidak gratis lagi seperti ketika masih berupa tanah lapang. Kakek kasihan dengan anak-anak zaman sekarang yang hampir tak punya lagi lapangan bola, yang harus bayar mahal untuk bermain bola.” “Memang begitu kenyataannya, Kek.” Aku ikut miris. “Makanya, setiap jam lima sore aku selalu duduk di beranda ini, menunggu mereka lewat di depan rumah.” Kakek berkata pelan dan berat. “Mereka siapa, Kek?” tanda tanya besar menggelayut di benakku. Kakek menghentikan pembicaraannya. Ada beban yang seolah telah lama dipanggul. Hendak ditaruh beban itu lewat ceritanya. Kakek menghirup kopi satu hirup lalu mengunyah gula jawa. Kemudian melanjutkan cerita.

53


“Mereka itu Yoto, Sutris dan Bimo. Teman akrabku sewaktu muda, sama-sama suka main sepak bola. Kakek berharap, entah di sore yang mana, mereka akan menghampiri kakek sebelum bermain bola. Kalau memang lapangan samping kantor kelurahan itu sudah jadi lapangan futsal, Yoto pasti tahu lapangan bola mana yang tidak akan pernah dibangun apa pun, di ujung desa sana. Aku selalu setia menunggu mereka, tapi mereka tak kunjung datang.” Panjang lebar kakek bercerita. Sesaat aku tersadar dan terhenyak. Bukankah yang dimaksud kakek dengan Yoto, Sutris dan Bimo adalah Mbah Yoto, Mbah Sutris dan Mbah Bimo yang sudah lama wafat? Aku geleng-geleng kepala. Ketika aku akan bertanya tentang tiga orang teman kakek itu, kakek malah melanjutkan ceritanya. “Pohon kelengkeng tua di lapangan itu juga punya kenangan tersendiri bagiku, Nang. Nostalgia manis yang tak habis-habis keindahannya.” Kakek seketika tersipu. Serupa pencinta yang bertemu pujaan hatinya setelah lama dipisahkan jarak. “Ceritanya bagaimana, Kek?” antusias aku hendak mendengarkan cerita. Kakek juga terlihat bersemangat. Diseruputnya lagi kopi tubruk pahit. Saking bersemangat hendak bercerita, beliau lupa mengunyah gula jawa. Baru saja beliau hendak mengeluarkan kata pertama, azan maghrib menggema dari masjid belakang rumah. Ini tandanya kakek harus menyudahi ‘ritual menunggu di beranda’. “Tenang saja, Nang, besok aku lanjutkan ceritaku, cerita tentang pohon kelengkeng yang bersejarah itu. Sekarang mari kita sembahyang. Oya, jangan ceritakan pada siapa pun obrolan kita sore ini.” Aku mengangguk takzim. Sementara di pikiranku mengonggok rasa penasaran tentang cerita pohon kelengkeng. ***

54


Ketika akan berangkat tidur, aku begitu sulit memejam mata. Tak habis pikir, bagaimana bisa kakek menunggu kedatangan teman-teman masa mudanya dulu. Setiap pukul lima sore di beranda. Ternyata selama ini kakek sedang diliputi kabut kenangan masa lalu. Dalam bayanganku, kulihat kaki-kaki telanjang Mbah Yoto, Mbah Sutris dan Mbah Bimo muda yang lincah berlarian di jalanan berbatu menuju rumah ini, menemui kakek, mengajaknya bermain bola. Di lapangan yang rumputnya subur menghijau dan terdapat pohon rambutan serta kelengkeng itu. Berpikir tentang pohon kelengkeng yang menyimpan kenangan kakek makin membuat aku tak bisa tidur. Ada apa dengan pohon kelengkeng itu? Kenangan apa yang sembunyi di balik rimbun daun-daun dan kokoh batang-batangnya? Lantas bagaimana perasaan kakek setelah tahu pohon kelengkeng itu kini telah ditebang lantaran akan dibangun lapangan futsal di lapangan itu? Sakit sekali pasti, sesuatu yang baginya sangat istimewa harus lenyap karena keserakahan orang-orang kaya. *** Keesokan sorenya, setelah membantu Ayah membuat kandang kelinci, aku menemui kakek di beranda. Aku telah bersiap mendengar cerita kakek yang selanjutnya. Tentang pohon kelengkeng. “Lantas, bagaimana dengan cerita pohon kelengkeng, Kek?� “Hehehe, kamu penasaran sekali sepertinya, Nang. Baiklah, aku akan menceritakannya untukmu.� Seperti biasa, kakek menyeruput kopi tubruk pahitnya dan mengunyah gula jawa terlebih dulu. Kali ini beliau mencomot sepotong singkong goreng. Satu gigitan, beliau lalu angkat bicara. “Dahulu, setiap pohon kelengkeng itu berbuah, anakanak muda sekitar sini akan berlomba memanjat pohon kelengkeng. Ada semacam kebanggaan yang sangat jika berhasil membawa buah kelengkeng terbanyak. Tentu

55


ditujukan hanya untuk menarik perhatian dia semata. Dia si kembang desa….” Mata kakek berkaca-kaca. Tatapannya jauh. Seperti menembus masa lalu. “Siapa bunga desa itu, Kek?” aku di ambang rasa ingin tahu yang mendesak-desak. “Namanya Hayati. Tiada lain, dia Hayati, Nenekmu, Nang.” Terkejut aku mendengarnya. Lalu aku tersenyum bangga. Tak disangka nenek Hayati yang telah meninggal setahun lalu itu kembang desa di zamannya. Gurat-gurat kecantikan memang masih bisa dilihat di usia tuanya. “Aku ingat satu kejadian yang sampai sekarang masih membekas. Waktu itu, gara-gara berebut memetik buah kelengkeng, aku terjatuh dari pohon kelengkeng. Sikuku berdarah, kakiku juga. Aku tak tahu bagaimana awalnya, spontan saja, dengan penuh empati, Hayati menolongku. Kebetulan dia sedang bermain bersama teman-temannya di lapangan.” Sampai sini kakek tersenyum, senyum seorang pemenang. “Anak-anak yang sedang bermain kontan terkejut. Ada apa antara aku dengan Hayati? Begitu mungkin tanya hati mereka. Roman muka iri jelas terlihat di wajah anak laki-laki. Aku sendiri setengah tidak percaya. Selanjutnya, Hayati merawatku di pos kamling seberang lapangan. Pos kamling itu sekarang juga sudah tak ada. Hayati mengantarku pulang sampai depan rumah.” Kakek manggut-manggut seraya memekarkan tipis senyumnya. “Waktu itu pasti indah sekali,” komentarku. Aku tersenyum-senyum pula, terbawa cerita kakek. “Memang, Nang. Indah, indah sekali. Di depan rumah kita ini, Hayati berujar: besok-besok kalau memanjat pohon kelengkeng hati-hati, tak perlu berebut. Aku tak tega melihat kamu luka-luka begini.” Kakek berucap begitu dengan tekanan yang kuat namun halus terasa. “Pasti kakek tak bisa tidur setelah itu, hehehe,” gurauku

56


“Luka itu terasa langsung sembuh, Nang. Hahaha, jadi ingin kembali ke masa lalu. Oh iya, ketika Hayati memilihku sebagai suaminya, aku sempat berseteru dengan Bimo. Tapi dari sana aku melihat Hayati yang sangat keras hati dan cerdas.” Kakek menghirup kopinya. Menandaskan singkong goreng pula. Aku diam memerhatikan menunggu kelanjutan cerita. “Kata Hayati: aku tentu lebih memilih orang yang punya hati. Katanya, perangai Bimo yang kurang baik, terutama suka membentak orangtua, telah sampai di telinganya, dan Hayati tidak suka itu. Padahal Bimo yang anak Pak Lurah sudah setengah mati mengejar Hayati. Bimo itu kaya dan tampan.” “Hmmm…Danang jadi bangga dengan nenek Hayati, Kek.” “Ya, aku juga sangat menyayanginya. Sayang, kembang yang selalu mekar itu telah mendahuluiku. Sudahlah, sekarang aku ingin bercerita tentang buku yang ke mana-mana aku bawa ini. “ Dalam hati aku bersorak. Buku yang bikin penasaran itu akan diceritakan isinya oleh kakek. Baru saja kakek akan bercerita, azan maghrib membahana. Urung kakek bercerita. Tak tahu, bisa atau tidak aku memejam mata malam ini. Itu buku apa ya? “Aku janji besok sore akan menceritakan tentang buku ini, Nang.” *** Manakala ibu akan memanggil kakek untuk sarapan, tiba-tiba Ibu berteriak histeris. Hari Minggu pagi keluarga semua lengkap berkumpul di rumah. Kontan mereka langsung menuju kamar kakek. “Kakek...” lirih ibu berujar seraya menangis sesenggukan. Kami melihat kakek duduk di kursi menghadap meja. Tangan dan kepalanya telungkup di meja. Tahukah Anda apa yang tertindih di bawah kapala kakek? Buku kusam

57


bersampul batik itu! Sesaat kemudian, aku seperti disergap rasa kehilangan yang teramat mendalam. Tak ubahnya anak ayam yang kehilangan induknya, seorang buta yang patah tongkatnya. Kakek, engkau masih menyisakan cerita untukku‌. Sigap ayah dan paman membaringkan tubuh kakek di ranjang. Dengan cekatan pula aku membantu prosesi jelang pemakaman kakek. Mulai dari memandikan hingga mengantarkan ke tempat pemakaman pada sore harinya. Kakek dimakamkan pukul lima sore. Ya, tepat pukul lima sore. Sekuat tenaga aku menahan laju airmata. Namun sejatinya sedari tadi sekujur hati sudah basah kuyup oleh kesedihan dan rasa kehilangan. *** Sore hari berikutnya aku duduk sendiri di beranda. Bingung hendak berbuat apa. Aku pergi ke dapur. Memasak air untuk membuat kopi tubruk pahit dan gula jawa. Kupanaskan minyak pula untuk menggoreng singkong. Sambil menunggu air mendidih dan minyak memanas, aku masuk kamar kakek. Kulihat buku yang selalu dibawa kakek tergeletak di meja baca samping ranjang. Dalam hati aku mengucap: Kek, maafkan aku lancang membaca buku ini, tapi engkau telah berjanji untuk bercerita tentang buku ini kepadaku kemarin hari. Buku kusam bersampul batik itu ada di tanganku sekarang. Pelan-pelan aku membukanya. Ada tulisan tangan kakek di sana. Susah sekali aku membaca tulisan kakek. Huruf-hurufnya memudar sudah. Tampaknya ini semacam catatan harian. Aku melihat tanggal, bulan dan tahun tercatat di beberapa halaman buku. Tersentak aku tatkala mendapati foto seorang perempuan di halaman tengah. Di bawahnya ada tulisan: Restuning Hayati, sehari setelah pernikahan. Aku segera paham, itu foto nenek. Manis sekali beliau. Rambutnya dikepang dua, bajunya putih melati. Aku yakin tahi lalat di atas bibirnya itu membuat perempuan-perempuan manapun iri melihatnya.

58


Di halaman berikutnya ada foto tiga pemuda. Aku tahu, foto itu diambil di lapangan bola. Di bawah foto tertulis: Bimo, Sutris dan Yoto, sahabat-sahabat yang baik hati. Aku tak mampu lagi memandangi foto itu. Kakek teramat mencintai orang orang yang juga mencintainya. Tatkala orang-orang itu tak lagi di sisi, kakek ada di puncak rindunya beberapa hari terakhir ini. Segera aku beranjak ke dapur, menyiapkan kopi tubruk pahit gula jawa dan singkong goreng. Untukku sendiri. Ketika semuanya siap aku pergi ke beranda. Kini aku duduk di beranda. Memandangi ungu rona langit menuju senja. Sesekali cecapung mengintip di balik dedaunan cemara. Ada juga kekupu yang riuh mengitari bunga anggrek bulan. Aku seperti menunggui sesuatu. Tapi aku tak tahu sedang menunggu apa. Mungkin saja aku sedang menunggu kakek. Menanti beliau duduk kembali di sini dan menceritakan cerita-cerita nostalgia yang tersimpan apik dan rapi dalam ruang ingatannya. Menanti beliau bercerita tentang buku kusam bersampul batik yang selalu dibawanya. Ya, aku menunggu kakek. Seperti tempo hari. Ketika kakek menunggu di beranda. Ciputat, Oktober 2009

59


Dewi Bulan

Bulan purnama. Angin lirih menyapu pucuk-pucuk akasia, menyentuh kelopak bunga kenanga. Malam yang hangat. Warga desa sama berkumpul di luar rumah. Bercengkrama. Mengakrabi angin. Anak-anak kecil bermain di halaman rumahnya yang lapang. Kebahagiaan di tengah mandi cahaya purnama ini membuat iri kawanan kalong yang bersembunyi di pohon pepaya dan mangga. Matanya tajam mengawasi sekitar. Malam itu Retno rebah di pangkuan ibunya. Ibu-anak itu duduk di lincak depan rumah. Rambut Retno yang hitam panjang dibelai lembut tangan ringkih ibunya. Damai. Ibu, perempuan tangguh yang sisa-sisa kecantikannya di masa muda masih nampak di gurat-gurat wajah, mulai menembang sebuah kidung. Desir pilu. Retno bisa merasainya di tiap ketuk nada kidung. Dari serambi rumah, mereka bisa menyaksikan dengan jelas bulat-terang purnama malam ini. Saat ibunya selesai nembang, Retno yang baru berusia enam tahun bertanya,”Ibu, tidakkah ibu lihat ada bayangan seorang manusia di tengah bulan itu?” ”Ya nak, menurut dongeng Cina, dia adalah Dewi Bulan.” ”Dewi Bulan? Indah sekali nama itu, ibu. Retno ingin menjadi dewi bulan! Sepertinya enak tinggal di bulan purnama yang indah itu. Dikagumi oleh orang seluruh bumi lagi. Dari langit, dewi bulan pasti bisa melihat keindahan bumi. Iya kan, Bu?”

60


Ibu tersenyum dengan sahajanya. Dibelai lagi rambut anak satu-satunya yang amat ia sayangi. �Benar, Nak. Tapi dalam dongeng diceritakan Dewi Bulan itu kesepian. Ia ditinggalkan Yi, suami tercintanya.� Berkata begitu ibu dengan tekanan yang pedih. Suara sayu dari masa lampau mengetuk dinding gelisahnya. Ya! Ia tentu tiada bisa melupakan Esa, suaminya. Di stasiun kota, lima tahun lalu, ketika Retno masih berumur setahun, Esa pamit pergi ke ibu kota. Bukan saja untuk bekerja. Tapi juga hendak bergabung dengan para aktivis pergerakan. Menjaga kemerdekaan negara yang masih seumur jagung, pamitnya. Alih-alih kembali sebagai pahlawan. Malah tersiar kabar burung bahwa Esa turut digorok lehernya pada pembantaian besar orang-orang yang dituduh akan melakukan kudeta terhadap negara. Ada pula yang berkirim warta jika Esa lari ke luar negeri menghindari kejaran orangorang yang kalap ketika mendengar nama sebuah partai. Tentara pemerintah di mana-mana mengincarnya pula. Ibu Retno hanya mampu membisu dengan derai air mata yang tak sudah-sudah mendengar ketidak pastian nasib suaminya di ibu kota. Dukanya semakin menggumpal manakala Retno yang masih belajar berjalan sakit demam berhari-hari. Ibu Retno merasa hari-hari itu adalah hari tergelap dalam sejarah hidupnya. Ia kemudian menuruti anjuran para tetangga untuk sementara waktu bersembunyi. Dengan ditangkapnya sang suami bisa jadi ibu Retno tersangkut pula. Pada masa itu syak wasangka, curiga berlebihan dan tuduhan-tuduhan tak berdasar sedang merebak dalam hati warga yang anti pada suatu partai. Partai orang-orang tak bertuhan, kata mereka. Ibu Retno gusar. Mana mungkin suaminya bergabung dengan partai orang-orang tak bertuhan? Justru karena Esa adalah santri yang rajin beribadah dan giat bekerja menjadi alasan ia labuhkan cinta padanya. Apa betul itu partai orangorang tak bertuhan? Benarkah partai itu hendak mengkudeta negara? Lalu, di mana suaminya kini? Masih hidup atau telah almarhum? Jika sudah tiada, di mana makamnya? Ah, hidup

61


terombang-ambing dalam ketidakjelasan bagai berlayar di tengah badai. *** Suatu ketika, manakala situasi telah dirasa aman, ibu serta Retno kembali ke rumah kecilnya di desa. Dan desa ini menyelebunginya rasa aman. ”Ibu? Ibu sedang melamun apa? Sedari tadi aku minta ibu bercerita dongeng dewi bulan tapi ibu diam saja. Ceritakan tentang dewi bulan yang kesepian itu, ibu” Retno membuyarkan lamunan ibunya. ”Eh, tidak Nak. Ibu tidak melamun. Kamu mau dongeng apa? Dewi bulan? Baiklah. Dengar baik-baik ya.” ”Asyik.” dengan girang Retno bangun dari pangkuan ibunya. Ia kini duduk bersila, kedua tangannya menopang dagu. Wajah kecil itu lucu sekali. Matanya menyimpan binar ketegaran ayahnya. Memandangi wajah Retno, ibu hampir menitikkan air mata. Ia teringat Esa. Buru-buru ia mengalihkan pikiran dan mulai bercerita tentang dewi bulan. *** ”Dahulu kala, di bumi terdapat sepuluh matahari yang secara bergantian menyinari bumi. Dewa langit mengatur matahari itu untuk bersinar satu hari satu matahari.” ”Wah, hebat sekali Dewa Langit itu, ibu?” Ibu hanya tersenyum menanggapi. Dilanjutkan ceritanya. ”Sampai pada suatu hari, pemberontakan itu terjadi, sepuluh matahari bersinar bersamaan. Kontan tumbuhan meranggas, sungai mengering, ternak mati dan manusia menanggung celaka luar biasa. Dewa Langit marah melihat ini. Dipanggil olehnya pemanah handal bernama Yi. Sabdanya kepada Yi: matahari telah menyengsarakan manusia di bumi. Aku ingin engkau mengatasinya. Ini aku serahkan panah pusaka kepadamu. Waktumu tiga tahun untuk menyelesaikan permasalahan ini.” ”Apakah Yi berhasil, ibu? Matahari-matahari bisa ditaklukkan?” Retno penasaran.

62


63


”Bersabarlah Retno. Tunggu ibu menyelesaikan cerita. Yi, berhasil memanah sembilan matahari. Satu matahari dibiarkannya karena bermanfaat bagi manusia dan bumi. Atas jasanya, Yi dielu-elukan penduduk. Ia lah sang penyelamat. Kesengsaraan punah sudah. Penduduk menahannya untuk tidak kembali. Sebenarnya, Yi juga merasa nyaman tinggal di bumi. Suatu waktu, Yi berjalan di tepi sungai. Dilihatnya seorang perempuan sedang mencuci baju. Namanya Chang’e. Setelah lama bercakap tumbuh rasa cinta di hati keduanya. Menikah lah dua orang yang saling cinta itu.” ”Wah...alangkah bahagianya,” mata Retno berbinar. ”Tidak juga, nak. Yi dihukum Dewa Langit karena telah melebihi batas waktu yang diberikan, tiga tahun. Selain itu, Yi telah begitu lancang menikah dengan penduduk bumi. Ia dihukum tidak bisa kembali ke langit. Yi bukan lagi seorang dewa sekarang. Dia telah memilih jalan hidupnya. Setiap hari ia pergi berburu dan mengajar pemuda memanah. Sedang Chang’e memelihara ulat sutra untuk ditenun menjadi benang dan kain.” ”Yi terus menemani Chang’e kan, ibu? Lalu di mana cerita dewi bulan yang kesepian itu ibu?” “He-he. Kamu ini tidak sabaran sekali, Nak. Sama seperti ayahmu,”spontan saja kata-kata itu terlontar. Lantas ibu Retno diam sejenak. Ya, Esa adalah tipe orang yang tergesa-gesa. Keputusannya pergi ke ibu kota juga bisa dibilang gegabah. Hanya karena jiwanya terpanggil dan tak betah berdiam diri di desa, ia segera memutuskan pergi ke ibu kota. Meninggalkan istri dan anaknya yang masih balita. Ibu Retno menghela nafas, ia kembali bercerita. ”Semua bermula dari pil panjang umur. Dalam suatu kesempatan, Yi berkata kepada Chang’e kalau dia tak ingin kebahagiaan hidup bersama ini sirna. Ia ingin abadi hidup bersama Chang’e.” Dalam hati ibu Retno ada yang berbicara. Tentu semua manusia ingin bahagia abadi. Tapi, dalam keabadian belum tentu ditemu kebahagiaan. Sedang pemilik abadi sesungguhnya adalah

64


Tuhan. Mungkin ini bentuk sinis ibu Retno berkaca pada kisah hidupnya. “Yi mendapatkan pil panjang umur itu. Dari Dewi Xiwangmu di puncak gunung Xunlun. Pesan Dewi Xiangmu kepada Yi: jika kau makan pil itu separuh, kau akan panjang umur dan awet muda. Namun, apabila pil itu kau makan seluruhnya, kau bisa kembali menjadi dewa dan kembali ke langit. Pil ajaib ini hanya boleh dimakan setiap tanggal 15 bulan 8. Pesan Dewi Xiangmu disampaikan Yi ke Chang’e pula. Chang’e juga diminta menjaganya. Alangkah celaka, ketika pada tanggal 15 bulan 8 Chang’e menyiapkan makanan dan Yi pergi berburu, Fengmeng murid Yi, mendobrak pintu. Ia telah mendengar perihal pil panjang umur. Dan ia ingin merebutnya.” ”Hufft..jahat sekali Fengmeng itu! Tidak tahu terima kasih,”komentar Retno. ”Iya, Nak. Dia begitu serakah. Chang’e yang sedang dalam keadaan terdesak tak tahu harus berbuat apa. Dia harus menyelamatkan pil itu, maka ia telan semua pil. Lalu ia berlari keluar rumah. Fengmeng mengejar. Tiba-tiba Chang’e merasa tubuhnya sangat ringan, kakinya tak memijak tanah lagi dan gumpalan awan putih membawanya menuju angkasa. Menuju bulan purnama yang bulat penuh serta terang sepenuh. Menuju kesunyian. Sunyi abadi.” kini air mata ibu Retno tiada bisa ditahan lagi. Ia merasa dia lah dewi bulan itu. Pemilik kesepian itu. ”Kenapa ibu menangis,” tanya Retno bingung. ”Tidak, Nak. Ibu tidak menangis,” cepat-cepat ibu Retno menyeka matanya. ”Ibu lanjutkan cerita ya, nak. Akhirnya dengan beringas Fengmeng menghantam kepala Yi dengan balok kayu. Begitu ia menuntaskan geramnya karena tak berhasil mendapatkan pil ajaib. Fengmeng yang jahat diringkus oleh murid-murid Yi yang lain di persembunyiannya. Diikatlah ia di suatu pohon. Regu pemanah menghamburkan anak panah

65


ke tubuhnya, lepaslah nyawa Fengmeng. Begitulah cerita dewi bulan, Retno.� Ibu tersenyum. Retno tersenyum dan bertepuk tangan. Erat ibu memeluk Retno. Seolah tak mau lagi kehilangan orang tercinta. *** Ibu dan anak itu tak tahu sedari tadi ada yang mengawasi keduanya dari balik dinding bambu rumah mereka. Ada yang mendengar percakapan serta dongeng ibu Retno tentang dewi bulan. Lelaki yang sembunyi itu kini sesenggukan. Tubuh kekarnya terguncang-guncang. Benar. Ia adalah Esa. Ia telah kembali. Ayah Retno yang selama ini tak jelas kabarnya. Dikatakan ia tewas dibantai bersama ratusan orang berhaluan kiri, dikatakan pula ia lari ke luar negeri. Itu semua tidak benar. Ia memiliki cerita sesungguhnya. Yang akan ia ceritakan kepada isinya. Akan tetapi, ia ragu kapan ia akan keluar dari persembunyiannya. Ia tak mau membuat kaget istrinya malam-malam begini. Atau sejujurnya ia tak siap dan terlalu pengecut. Maka, Esa melangkah pergi. Bukan mengetuk pintu rumahnya. Tapi entah hendak kemana. Membawa risau di hati. Ciputat, 01.29 WIB, 30 April 2010

66


Tamu

Seekor kupu-kupu masuk ke ruang tamu manakala aku sedang membaca koran pagi itu. Sesaat aku menghentikan aktivitas membaca. Kuamati kupu-kupu yang terus berputar tak tentu mengelilingi ruang tamu. Istriku yang datang membawa kopi mengernyitkan dahi. Barangkali bertanya-tanya kenapa aku bengong melihat kupu-kupu. “Ada apa, Mas? Kok bengong begitu?” Tanya istriku sembari meletakkan kopi di meja depanku. “Itu lho, Dik. Ada kupu-kupu masuk rumah. Apa akan ada tamu ya?” “Bisa jadi, Mas. Tapi, itu kupu-kupu apa ya? Kok warnanya hitam dan sayapnya lebar sekali.” Belum sempat pertanyaan istriku terjawab, telepon rumah berdering. Istriku buru-buru beranjak dari duduknya menuju ruang tengah. Sedangkan aku melanjutkan membaca koran. Setelah beberapa saat istriku berbicara di telepon entah dengan siapa, ia menghampiriku dengan muka gugup sekaligus gembira. “Ibu mau kesini, Mas! 2 jam lagi sampai.” tukasnya. Matanya berbinar tapi sebentar kemudian meredup lantaran gugup. “Wah, kok mendadak begitu? Kemarin-kemarin tidak kasih kabar dulu.” “Iya, ibu dapat undangan sarasehan di kota sebelah, Mas. Undangannya baru dikasih semalam. Sekarang ibu sudah di bandara, sebentar lagi pesawatnya berangkat.”

67


68


Mungkin benar jika kupu-kupu itu memberi pertanda bahwa ada tamu yang akan datang, gumamku. Ibu mertuaku itu sudah lama tidak menjenguk kami memang. Karena memilih menetap di kampung halamannya di Kalimantan, praktis aku bertemu mertua hanya ketika lebaran. Istriku pastilah senang sekali ibunya datang menjenguknya. “Sepertinya kita harus ke pasar, Mas. Persediaan kita menipis. Aku juga ingin memasak ayam kecap dan osengoseng sawi kesuakaan ibu.” “Berarti kita tidak jadi olahraga di stadion dong pagi ini?” “Olahraganya diganti nanti malam aja ya, Mas. Di kamar,” ujar istriku dengan senyum manja dan cubitan mesranya mendarat di pundakku. Sesaat aku berdesir. Wajahnya manis dan menggoda sekali jika sedang merajuk. “Oke deh. Ke pasar sekalian beli jamu ah,”godaku setengah bercanda. Istriku tertawa terkekeh. Sekali lagi dicubitnya pundakku. Lalu ia segera ke kamar, hendak ganti baju. Aku mengambil motor di garasi belakang, kemudian memanasinya. *** Baru beberapa menit di pasar ponselku nyaring berdering. Panggilan dari nomor asing. Aku angkat telepon itu dengan sejumlah tanda tanya di kepala. Setelah aku beruluk salam dan ia yang di seberang menjawabnya aku bertanya kepada si penelepon. “Maaf ini siapa ya?” “Hayo…siapa? Coba tebak?” Suara laki-laki di sana. Sialan. Orang ini malah main tebak-tebakan. “Maaf nomor anda belum tercatat di phone book saya. Ini siapa?” “Bung Hagi ini sudah jadi pelupa tampaknya. Masak tidak ingat dengan kawan sesama demonstran penurunan dekan kita yang korup? Apa sudah lupa dengan kawan mendaki lima gunung di Pulau Jawa?”

69


Aku terdiam sesaat. Setengah tidak percaya. “Ini Sabqi ya?!” “Hehehe. Syukurlah kau masih ingat.” “Wah, apa kabarmu sekarang?” “Ceritanya nanti saja. Ini aku lagi di perjalanan menuju kotamu bersama istri dan anakku. Nanti kalau sudah masuk kota aku telepon lagi. Mungkin 3 jam lagi aku sampai.” “Yang benar?! Jangan bercanda ah!” “Mana pernah aku bohong sama kau.” “Waduh, aku siap-siap dulu kalau begitu.” “Tak perlu repot-repot, kawan. Aku cuma mampir kok. Ya sudah, aku hubungi lagi nanti.” Telepon ditutup setelah ia mengucap salam. Dan aku geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa ada dua tamu yang mendadak akan datang ke rumah dalam satu hari. Boleh jadi kupu-kupu hitam bersayap lebar tadi benar-benar membawa pertanda. Sementara aku tergagap membaca tanda-tanda. Aku terkenang Sabqi. Seorang kawan satu kosku dulu. Selain aktif di organisasi pergerakan mahasiswa ia juga giat di komunitas mahasiswa pecinta alam. Sama seperti aku. Jadilah ia seorang kawan yang menyenangkan. Kami kerap terlihat jalan bersama kemana-mana. Setelah lulus kuliah aku dan Sabqi sama-sama berkomitmen untuk ‘pulang kampung’. Cita-cita kami tak beda, yaitu ingin mengabdi ke tanah kelahiran. Maka, mesti tawaran pekerjaan yang menjanjikan begitu banyak, namun atas nama balas budi kami memilih pulang kampung. Memulai segala sesuatunya dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, Sabqi menjadi pengusaha tanaman obat dan budidaya ikan hias. Oh iya, aku baru ingat kalau Sabqi sangat gemar menyantap ikan bakar. Dulu, jika libur kuliah aku dan Sabqi kerap menyambangi danau yang tak jauh dari kampus. Memancing. Dari pagi hingga sore. Malam harinya kami pesta ikan bakar di halaman kos. Mantab! Nampaknya malam ini akan menarik jika di rumah diadakan pesta ikan bakar. Saat istriku selesai belanja dengan

70


sangat aku memintanya untuk masuk pasar lagi. Membeli ikan nila. Istriku agak kesal. Kenapa tidak bilang dari awal kalau mau ikan nila, gerutunya. “Tadi temanku Sabqi tiba-tiba nelpon. Dia sedang dalam perjalanan ke rumah kita. Nah, Sabqi itu doyan sekali ikan bakar. Jadi, tak ada salahnya kalau kita membahagiakan tamu.” Cemberut yang tadi menggelanyut di wajah istriku perlahan sirna. Wajahnya yang putih kembali cerah. Kami pulang dari pasar setelah semua kebutuhan terbeli. Repot juga ternyata menyambut tamu yang mendadak datang secara bersamaan. Pun begitu, memuliakan tamu adalah wajib. Setiba di rumah istriku segera menuju dapur. Barangbarang yang dibelinya di pasar tadi ia keluarkan. Dipilihnya bumbu-bumbu untuk memasak ayam kecap kegemaran ibunya. Aku tak mau berpangku tangan. Bumbu untuk ikan nila bakar akan kubuat sendiri. Tentu aku sudah hafal di luar kepala bumbu apa saja untuk membuat ikan bakar yang sedap. Sabqi pasti akan suka dengan ikan bakar ini. Pasalnya dulu ia yang mengajari aku membuat bumbu ikan bakar. Selesai membuat bumbu aku bersih-bersih rumah. Walau rumah ini tidak besar dan megah, tapi aku ingin rumah ini terlihat rapi dan bersih. Di lain tempat, istriku sudah mulai memasukkan ayam kecap ke wajan. Bumbu-bumbu telah bercampur dengan ayam. Aromanya menggelitik perut. Membangkitkan nafsu makan. Bersyukur sekali aku punya istri yang pandai memasak. Saat aku melintas dapur hendak mengambil alat pel istriku menegur. “Mas, kupu-kupu hitam tadi kok ada di dapur ya? Coba lihat itu.” “Dia mencium bau masakanmu dan ingin mencicipi mungkin,” jawabku asal. “Masak tamu-tamu kita nanti pada mau masuk dapur?”

71


“Barangkali itu tanda kalau tamu-tamu kita nanti akan menyukai masakanmu, Dik. Setiap makan masakanmu aku kan selalu habis dua piring, kadang lebih. Kamu memang jago masak, sayang.” “Mas ini paling bisa kalau nggombal.” Pipi istriku memerah seketika. *** Aku mengepel teras, membersihkan ventilasi lalu memangkas tanaman depan rumah dengan perasaan yang gamang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati. Entahlah. Dari arah dapur kudengar sayup-sayup istriku berteriak. “Mas, bau gasnya kok menyengat banget. Kenapa ya?" Aku baru saja membuka pintu depan hendak menuju dapur ketika kudengar suara ledakan. Aku terkejut luar biasa. Jantungku berdegup amat sangat kencang. Ada api dan asap di dapur. Istriku! Oh, tidak! Sampai dapur dadaku sesak dan air mata mendesakdesak. Dapur berantakan. Di atap dapur menganga lubang. Istriku tersungkur di samping tabung gas warna hijau! Tubuhnya penuh luka bakar. Inikah tamu itu, wahai kupukupu hitam bersayap lebar? Ponorogo, 3 Agustus 2010

72


Mbak Nik

Saya sedang di rumah sendiri ketika pintu tengah rumah saya diketuk seseorang. Ketika itu siang lengang dan di langit mendung membayang. Posisi saya sudah bersiap untuk mandi setelah tadi bersih-bersih rumah dan tak lupa menyiram kembang. Entah kenapa saya bimbang. Saya buka pintu atau tidak di dalam hati jadi sebuah perang. Jam segini biasanya yang ke rumah adalah Pak Anam yang suka mengantar undangan organisasi untuk ibu yang sudah di kantor sekarang. Adatnya undangan diselipkan di bawah pintu lalu ia pulang. Tapi sepertinya kali ini bukan Pak Anam yang datang. Orang itu mengetuk pintu lama sekali, seperti ada keperluan penting sehingga ke rumah saya siang ini ia harus bertandang. Urung untuk mandi, saya menuju kamar tidur lalu meletakkan handuk dan sesachet shampo di ranjang. Saat pintu tengah saya buka di hadapan saya muncul perempuan berperawakan sedikit gemuk, jidatnya berkeringat, dan pakaiannya berwarna terang. “Maaf, Dik, Ibu ada di rumah tidak?” tanyanya ramah setelah beruluk salam. Saya tidak segera menjawab. Saya perhatikan orang ini sekilas. Di belakangnya saya lihat sepeda onthel merek Phoenix. Oh, jadi itu yang membuatnya terlihat berkeringat dan ngos-ngosan, batin saya. “Waduh, ibu sama bapak baru saja berangkat ke Magetan, Mbak.” “Iya tho? Acara apa di Magetan?”

73


74


“Anaknya teman ibu menikah. Bapak dan ibu diminta jadi penerima tamu.” “Pulang jam berapa kira-kira?” “Mungkin sore atau habis Maghrib.” “Oh gitu ya...” “Oya, kalau boleh tahu mbak ini siapa?” “Saya Mbak Nik, tukang sayur di Pasar Legi, temannya ibumu, Dik. Ibu biasa belanja di tempat saya kok. Rumah saya di Jalan Madura dekat pesantrennya Mbah Muhayat. Sebenarnya saya sudah dua kali kesini, tapi kok ndilalah ibu nggak ada terus, yang pertama ke sini malah rumah pas lagi suwung.” “Ya maaf banget, Mbak. Nanti saya sampaikan ke ibu kalau Mbak Nik ke sini.” “Em… jenengan ini anaknya Mbak Atik?” Tanya Mbak Nik dengan menyebut nama ibu. Sepertinya Mbak Nik memang sudah dekat dengan ibu saya. “Nggih. Saya anaknya yang pertama.” “Kok jarang kelihatan?” “Saya kuliah di Jakarta, Mbak.” “Ooo…Ya sudah, saya pamit dulu, Dik. Besok mungkin saya ke sini lagi.”Mbak Nik menuju sepeda onthelnya dan mengucap salam kepada saya yang termangu. Setelah Mbak Nik berlalu saya segera mengunci pintu. Saya ke kamar tidur mengambil handuk dan shampo lalu ke kamar mandi depan yang letaknya di antara kamar adik saya dan kamar bapak-ibu. Di rumah ada dua kamar mandi, yang belakang terletak di samping kamar pembantu. Saya senang mandi di kamar mandi depan karena lebih luas dan di sana saya bisa menyanyi-nyanyi dengan suara yang terdengar jadi lebih merdu. Kamar mandi belakang hanya saya gunakan jika kamar mandi depan sedang dipakai dan saya terburu-buru. Jika tidak tergesa saya lebih memilih sabar menunggu. Setiap kamar mandi memang punya nuansanya sendiri-sendiri yang kadang kita rindu. Di Jakarta saya kangen kamar mandi rumah, begitu sebaliknya, di rumah saya kangen kamar mandi

75


kosan yang sempit dan juga sekaligus jadi tempat mencuci baju. “Bu, tadi Mbak Nik ke sini,” Kata saya ketika ibu baru masuk rumah. Wajahnya lelah. “Mbak Nik siapa?” “Tukang sayur di pasar, rumahnya Jalan Madura, katanya kenal ibu.” “Iya. Besok kalau ke sini lagi suruh habis maghrib aja. Setelah ibu pulang dari kantor.” Ibu buru-buru masuk kamar. Ingin segera rebah di ranjang tampaknya. Saya kerap merasa kasihan dengan ibu. Setiap jam tiga pagi ia sudah bagun untuk sholat tahajud lalu menyiapkan sarapan. Usai sholat subuh langsung mandi, sarapan dan bersiap pergi ke terminal, memburu bis pagi ke Madiun yang ber-AC. Sekitar pukul lima sore baru sampai rumah. Aktifitas itu berputar terus dari Senin sampai Jumat. Alih-alih di akhir pekan ibu bisa sedikit bersantai di rumah dengan keluarga, di hari Sabtu dan Minggu itu ia justru sibuk di organiasasi keagamaan yang diketuainya. Saya senantiasa berdoa, semoga ibu selalu diberi kesehatan, kekuatan dan keselamatan. Saya sedang sendiri di rumah ketika pintu samping diketuk berkali-kali. Dugaan saya, Mbak Nik datang lagi. Terkaan saya tidak meleset sama sekali. Ia datang dengan sepeda onthel Phoenix, berkeringat di kening, celana merah muda dan bajunya warna merah hati. Seperti kemarin, saya tidak suka pilihan warna bajunya kali ini. Entah dia yang punya selera sedikit norak atau tak ada pilihan baju lain di almari. Ia tersenyum hangat dengan menampakkan giginya yang rapi. “Ibu belum pulang ya, Dik?” kali ini Mbak Nik bertanya langsung. “Iya, Mbak. Kemarin saya sudah bilang ibu. Kata ibu, Mbak Nik habis Maghrib saja ke rumahnya. Ibu pulang kantor sore sekitar jam lima...” Mbak Nik gusar. Ia terlihat seperti sangat perlu sekali bertemu dengan ibu hari ini.

76


“Dik, boleh saya masuk? Saya bicara sama jenengan saja. Sudah tiga kali ke sini kok ibuk tidak ada terus ya.” Saya persilakan saja Mbak Nik masuk. Duduk di karpet yang tergelar di depan televisi. Melihat laptop dan beberapa buku yang baru saya baca berserakan di karpet Mbak Nik meminta maaf kalau mengganggu belajar saya. Sedikit berbasa-basi. Saya jawab tidak apa-apa. Berbasa-basi juga. “Begini lho, Dik, maksud kedatangan saya sebenarnya untuk meminjam uang. Anak saya yang kelas 2 SMK diwajibkan beli seragam montir oleh sekolah. Nah, saya pinjam lima puluh ribu saja untuk menutupi kekurangan pembayaran seragam anak saya ke sekolah. Besok Senin saya janji bakal balikin uang itu. Hari ini hari terakhir pelunasan uang seragam.” Mendapati Mbak Nik yang begitu lugas menyatakan ingin pinjam uang saya terbeliak juga. Hal pertama yang saya pikirkan adalah menghubungi ibu. Pasalnya di dompet saya hanya tinggal ada tiga ribu rupiah saja. Mungkin setelah menelepon ibu, ia akan meminta saya pinjam uang ke rumah nenek yang tidak jauh dari rumah atau ada cara lain supaya bisa meminjami Mbak Nik uang. “Mbak, sebelumnya saya minta maaf sekali. Kalau harus langsung meminjami saya tidak bisa, kebetulan di dompet saya cuma ada tiga ribu. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa selain saya. Sebaiknya saya telepon ibu dulu.” Saya berkata demikian sembari mengirim sms ke ibu dan bapak. Berharap mereka yang akan menelepon saya dan memberi solusi. “Waduh saya jadi merepotkan adik ya? Maaf lho, Dik. Maaf,” kata Mbak Nik dengan wajah bersalah. “Nggak apa-apa, Mbak. Santai saja.” Saya mencari nama ibu di phonebook ponsel saya lalu meneleponnya. Lima kali panggilan tidak terjawab. Tersadar saya bahwa hari ini adalah hari Rabu. Ibu memimpin sidang setiap Rabu. Segera saya mencari nama bapak di phonebook.

77


“Itu foto ibumu waktu menikah dulu ya, Dik?” tukas Mbak Nik sambil menunggu saya yang sibuk menghubungi orang tua. “Iya,” jawab saya singkat seraya tersenyum. “Ibumu memang cantik, Dik. Itu foto pernikahannya dulu ya?” Tanya Mbak Nik sambil memandangi foto pernikahan ukuran 50x60 yang terpajang di ruang keluarga. “Iya.” Lagi-lagi saya menjawab singkat. “Saya dengar ibumu tempat kerjanya pindah ke Madiun?” “Sudah cukup lama pindahnya, Mbak. Setiap jam enam pagi sudah ke terminal. Sore pulang, jam enam maghrib baru sampai rumah biasanya.” “Ya Allah, pasti capek sekali itu. Perjuangan ibumu luar biasa. Mugi Gusti Allah paring kesehatan ya, Dik,” Mbak Nik menyampaikan empatinya diiringi doa. “Amin…” Ayah mengangkat telepon saya. Beranjak saya ke ruang makan di belakang ruang keluarga. Saya utarakan ke bapak tentang kedatangan Mbak Nik dan maksud kedatangannya. Namun jawaban dari bapak tidak saya duga. Menurutnya, kita belum kenal Mbak Nik sebelumnya. Bapak meminta saya hati-hati dan waspada. Khawatir kalau dia penipu, serigala berbulu domba. Saya sejujurnya agak kecewa. Kenapa bapak curiga begitu rupa. Pun begitu saya tak ingin membantah orang tua. Saya mengikuti saran bapak saja. Yakni jika Mbak Nik ingin pinjam uang datanglah kalau bapak ibu sudah di rumah biar bisa langsung bertatap muka. “Begini, Mbak, ini tadi bapak telepon. Kata bapak nanti waktu istirahat makan siang bapak akan mampir ke rumah. Kasih uang ke saya. Istirahatnya antara jam 12 sampai jam satu. Jadi mungkin Mbak Nik bisa ke sini lagi nanti jam setengah satu atau jam satu. Sebelumnya saya minta maaf karena saya memang sekarang tidak pegang uang sebanyak itu. Kalau ada pasti saya pinjami.” Tidak tahu bagaimana saya bisa berujar seperti itu. Saya sendiri kaget. Sangat berlainan dengan apa yang disarankan bapak. Namun barangkali ini

78


adalah cara saya mengusir halus Mbak Nik. Saya perlu waktu untuk menghubungi ibu. Memastikan apakah ibu benar-benar mengenal Mbak Nik atau tidak. “Oh ya sudah. Nanti jam satu saya kembali ke sini. Maaf lho kalau ngrepotin.” “Saya yang harusnya minta maaf, Mbak.” “Tidak apa-apa. Yang penting saya percaya jenengan, jenengan percaya saya. Mari, Dik.” Perasaan saya tenang betul ketika Mbak Nik sudah pergi. Saya perlu orang untuk berbagi. Maka saya segera menuju rumah nenek, ibunya ibu, yang hanya berjarak empat rumah. “Hati-hati sama orang seperti itu. Belum lama Om Jayin juga kedatangan orang berwajah melas dan terlihat sangat ramah. Setelah mengobrol dengan sok akrab cukup lama orang itu bilang kalau mau pinjam uang. Katanya nanti seminggu lagi akan dikembalikan. Nyatanya dia penipu.” Nasihat nenek pada saya. “Wah, jangan-jangan yang tadi penipu juga. Tapi sepertinya Mbak Nik itu memang mengenal ibu. Mbak Nik terlalu banyak tahu tentang ibu jika ia penipu.” “Sebentar, siapa tadi namanya? Mbak Nik? Perasaan penjual sayur langganan ibumu tidak ada yang namanya Mbak Nik. Apalagi yang rumahnya jalan Madura. Sudah, begini saja, kalau nanti ibu nelpon, dan bilang kenal Mbak Nik kamu ke sini ambil uang. Tapi kalau ibu nggak kenal bilang saja ibu tidak kenal jenengan, Mbak. Pinjam uang ketemu langsung saja.” Saya mengiyakan nasihat nenek lalu kembali ke rumah. Di tengah jalan ibu menelepon. Terhenyak saya mendengar pengakuan ibu yang ternyata tidak mengenal Mbak Nik. Meski nada suara ibu masih ragu-ragu. Tapi itu cukup jadi alasan bagi saya untuk berlari ke rumah. Mengunci semua pintu lalu segera tidur. Bodo amat kalau Mbak Nik datang lagi. Jelas dia hendak menipu. Huh, bagus juga aktingnya.

79


Namun mendadak rasa iba saya muncul. Saya tidak bisa sembunyi begini. Harusnya saya temui baik-baik dan menjelaskan ke Mbak Nik kalau ibu saya tidak mengenal Mbak Nik. Sayang saya tidak punya keberanian. Saya sudah terlanjur menjanjikan Mbak Nik untuk mengambil uang jam satu, setelah bapak mampir ke rumah di jam istirahatnya. Jadilah saya memaksakan diri untuk tidur. Jam dinding yang saya lirik menunjukkan pukul satu lebih lima. Ada suara ketukan di pintu samping. Berani taruhan, itu Mbak Nik! Saya buru-buru menutup telinga dengan bantal. Pintu diketuk lagi. Lebih lama. Hati makin berkecamuk. Suara ketukan pindah ke pintu depan. Saya berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Ternyata suara ketukan malah pindah ke pintu depan. Tidak berani saya membayangkan raut wajah Mbak Nik saat ini. Ibu ketika sudah di rumah sore harinya bertanya banyak perihal Mbak Nik kepada saya. Mulai dari ciri fisik, maksud kedatangannya sampai apa saja yang saya bicarakan siang tadi. Ibu berusaha keras membayangkan sosok Mbak Nik. Tapi gagal. Beliau sedikit banyak yakin tidak mengenal Mbak Nik. Meski tidak bisa ditutupi pula kekhawatiran ibu jika ternyata Mbak Nik adalah teman lama atau saudara jauh yang jarang bertemu dan mungkin terlupa. Keesokan hari ibu masih tampak santai meski jam dinding sudah menunjuk pukul tujuh pagi. Ibu mengaku sedang tidak enak badan. Ingin istirahat seharian penuh di rumah. Hari beranjak siang dan saya menduga Mbak Nik tidak akan datang lagi. Ternyata dugaan saya meleset. Ketika saya menatap pohon rambutan di halaman dari jendela kamar saya lihat Mbak Nik datang masih dengan sepeda onthel-nya. Juga masih dengan pakaian berwarna terang, warna yang sedikit norak menurut ukuran selera saya. Buru-buru saya berkata pada ibu bahwa orang yang mengaku bernama Mbak Nik itu datang lagi. Ibu segera menuju pintu samping di mana terdengar suara ketukan beberapa kali. Saya masuk kamar dan mengintip dari lubang kunci. Tak saya kira sebelumnya, wajah Mbak Nik pias sekali

80


demi melihat si pembuka pintu adalah ibu yang dipikirnya sedang di kantor. Ibu dengan tenang mempersilakan Mbak Nik duduk di karpet depan televisi. “Jenengan yang kemarin ke sini ya? “Njih, Bu. Benar.” Keringat sebiji-biji jagung berlelehan di leher Mbak Nik. “Memangnya kita sudah pernah bertemu ya, Mbak?” Ibu saya langsung menukik pertanyaannya, khas seorang hakim. “Se..se…pertinya sudah, Bu. Lama sekali. Di mana ketemunya saya lupa.” Jawaban Mbak Nik belepotan. Grogi betul. “Rumah jenengan di mana?” “Saya di Jalan Madura. Saya masih saudaranya Pak Ali.” “Pak Ali siapa?” “Pegawai rumah sakit yang rumahnya timur rumah ibu.” “Timur rumah saya kan TK? Piye tho?” “Itu lho, Bu. Pak Ali yang tinggi dan agak hitam.” “Wah, ndak ada di sini yang namanya Pak Ali, apalagi yang tinggi hitam. Jenengan itu sudah tahu saya di kantor dan baru pulang sore kok ya pinjam uang datangnya siang-siang. Pasti niatnya ndak bener ini. Saya kasih tahu Mbak, kerja seperti ini tidak baik.” “Ma...ma...maaf, Bu. Saya ini cuma disuruh Pak Ali.” “Pak Ali lagi, Pak Ali lagi. Sudah jangan ngapusi seperti ini. Yang rugi malah jenengan sendiri kalau begini.” “maaf, Bu. Saya pamit dulu.” Tergopoh-gopoh Mbak Nik meninggalkan rumah saya. Wajahnya menyiratkan campuran antara malu dan panik. Di dalam kamar saya menghela nafas lega. Terbukti sudah Mbak Nik ini penipu. Untung saya kemarin tidak berhasil dikibuli Mbak Nik. *** Saya saat ini berada di bus eksekutif jurusan Jakarta. Masa liburan telah purna. Hari beranjak senja. Saya menatap

81


luar jendela. Satu-satu pemandangan berseliweran di hadapan saya. Tukang parkir yang sibuk memarkir motor, anak kecil berbaju lusuh (sepertinya pengamen cilik) sedang makan nasi bungkus, kakek renta berkaki buntung mengemis memelas, seorang ibu berambut kucel ribut dengan lelaki yang mungkin adalah suaminya. Dada saya seperti disentak sesuatu yang tak berwujud-berupa. Mungkin lantaran pemandangan serupa itu yang tampak mata. Hampir tak putus sejauh pandangan ke luar jendela. Mata saya beralih memandagi langit-langit bus yang kosong hampa. Merenungi segala. Perlahan menjelma segumpal duka. Saya dikejutkan asisten sopir yang membagikan bantal dan selimut. Langsung saja selimut saya kenakan. Di luar gerimis dan AC di dalam kelewat dingin. Capai merenung saya tertidur. Sekitar pukul tiga pagi saya terjaga. Suasana begitu sepinya. Tidak tahu saya sudah sampai di mana sekarang. Gerimis masih setia. Melihat air yang mengalir di kaca jendela mendadak saya jadi begitu sentimentil. Saya menangis. Benarbenar menangis. Awalnya pelan namun lama-lama makin kencang. Tidak bisa bohong. Saya terkenang Mbak Nik. Saya berpikir, kemarin ibu saya mengeluarkan dua ratus ribu untuk bus eksekutif ini dengan gampangnya. Lalu apa beratnya mengeluarkan lima puluh ribu? Lepas dari cara Mbak Nik yang keliru, saya yakin sekotor apapun cara orang cari uang adalah tetap untuk keluarganya, untuk anak-anaknya, untuk hidupnya yang tentu tak sesentosa dan semakmur saya. Harusnya tempo hari saya usahakan dan kasih saja lima puluh ribu itu tanpa berpikir Mbak Nik bohong atau tidak. Toh Mbak Nik sudah memohon dan merendahkan diri di hadapan saya. Pasti ia butuh uang itu. Saya membayangkan jika Mbak Nik itu adalah ibu saya, yang harus berkeringat karena mengendarai sepeda onthel buat mencari lima puluh ribu. Oh Tuhan, saya benarbenar tertampar! Spontan saja saya merapal doa. Lindungi dia ya Tuhan. Juga orang-orang yang banting tulang, peras

82


keringat, bersimbah luka dalam mengarungi hidup. Semoga kesakitan dan kepahitan dalam hidup jadi kemuliaan mereka di hadapan-Mu. Tangis saya makin keras, air mata kian deras. Bus melaju cepat, dingin tanpa alamat. Ciputat, Mei 2011

83


Langgar Mukadar

Jika hari beranjak malam dan sepi, sering kali orang enggan lewat jalan itu. Ada pohon beringin tua yang tumbuh di sepetak tanah di tepi jalan itu. Di seberang sepetak tanah terdapat kebun pisang yang tak terurus. Sedang di sebeleh utara terdapat SD Pembangunan dan TK Pertiwi di selatannya. Dua sekolah itu sepi dan sedikit gelap jika malam. Maka lengkap sudah alasan sebagian orang untuk memilih jalan memutar yang tentu lebih jauh demi menghindari jalan yang mereka anggap menyeramkan. Sebenarnya mereka tidak akan terlalu takut kalau saja ada penerangan di sana. Sayangnya tiap dipasang lampu, tak lama raib entah ke mana. Adalah Mukadar pemilik sepetak tanah itu. Lelaki paruh baya juragan ayam potong. Seorang yang dianggap paling kaya di kelurahan itu. Jika ke masjid baju kokonya paling mentereng. Sajadahnya bagus dan wangi. Oleh ta’mir masjid Mukadar diminta menjadi Dewan Penasihat Ta’mir. Di mana-mana orang kaya memang selalu dihormati dan didengar omongannya. Abai dengan latar belakang pendidikan atau usia mereka. Selepas sholat maghrib, Mukadar masih dudukduduk di teras masjid bersama Pak Nyoto, ketua RT dan Mbah Syam, imam masjid. Mereka memang biasa tinggal di masjid sembari menunggu masuknya waktu isya’. “Saya itu kasihan sama orang-orang yang kalau malam suka lewat jalan yang ada pohon beringin besar. Mereka sering nggak jadi lewat situ karena takut,” kata Mukadar mengawali obrolan.

84


“Beringin besar yang mana, Mas Mukadar?” Pak Nyoto merespon. “Itu lho, Pak, pohon beringin yang tumbuh di tanah warisan kakek saya, di antara SD Pembangunan dan TK Pertiwi.” “Ah, itu karena sampeyan tidak pasang lampu di sana. Jadi gelap sekali kalau malam,” tukas Mbah Syam. “Sudah, Mbah, tapi setiap saya pasang lampu disitu pasti hilang. Diambil orang iseng sepertinya. Lama-lama kesal juga saya.” “Waduh, repot juga kalau harus sering-sering beli lampu.” “Makanya itu, saya kok kepikiran mau bangun langgar di situ, Pak, Mbah.” “Berarti Mas Mukadar mau menebang pohon beringin itu?” “Iya, seharusnya memang begitu, tapi…“ Mukadar diam sebentar, “saya takut penghuni pohon beringin itu marah.” “Astagfirullah, zaman blackberry kok masih percaya begituan. Hati-hati, jadi syirik malah bahaya. Sudah bagus itu kalau mau dibangun langgar di situ,” Mbah Syam memberi komentar. “Iya Mbah, maksud saya itu untuk syiar agama dan kalau malam biar tidak terlalu gelap dan sepi. Tapi, saya tetap ingat pesan kakek untuk tidak menebang pohon beringin itu, kakek bilang itu beringin keramat. “Saya kok justru setuju dengan pesan kakek Mas Mukadar itu. Kita tidak bisa sembarangan menebang pohon tua. Harus dipikir masak-masak. Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kan kita juga yang repot.” “Elhoh, Pak Nyoto ini gimana? Kalau menebang pohon dalam rangka kemaslahatan, untuk dibangun langgar, masa ndak boleh?” Mbah Syam bersungut-sungut menanggapi Pak Nyoto. Belum sempat Mukadar dan Pak Nyoto mengutarakan pendapat, muadzin lebih dulu mengumandangkan azan.

85


Percakapan mereka hentikan. Satu per satu menuju tempat wudu. *** “Jelas-jelas kita mengkhawatirkan global warming, kok pohon malah ditebang. Huh, tidak peka lingkungan!” “Sudah benar jika mau dibangun langgar di sana. Makin banyak tempat ibadah masyarakat pasti makin religius.” “Menebang pohon tua itu tindakan konyol. Sama saja mencari malapetaka. Kena getahnya baru tau rasa dia.” “Pohon beringin tua itu lambang kesyirikan. Tebang saja kalau mau ditebang. Kita wajib menyelamatkan anak cucu kita dari syirik.” Suara-suara berseliweran menanggapi perihal penebangan pohon beringin tua dan rencana pembangunan langgar. Tapi Mukadar telah memiliki jawabannya sendiri. Pohon beringin jadi ditebang. Tanpa upacara khusus dan kemenyan. Mbah Syam berhasil meyakinkan Mukadar. Hanya butuh lima orang berbadan kekar untuk menebangnya serta membersihkan reranting dan dedaunan. Semua berjalan begitu lancar. Membangun sebuah langgar kecil di situ bukan pekerjaan lama bagi seorang Mukadar. Sebuah syukuran sederhana sebagai penanda berdirinya langgar digelar hari itu. Pak RT, Pak RW, Pak Lurah meyempatkan diri datang. Warga sekitar juga ramai berdatangan. Di antara tamu-tamu syukuran yang datang terdengar bisik-bisik miring. “Mukadar ini berlebihan. Tempat ibadah sudah banyak dia malah bikin langgar segala. Harusnya bukan memperbanyak langgar atau masjid, tapi lebih penting adalah menjaga dan memberdayakan jamaah.” “Saya sudah peringatkan untuk tidak menebang pohon beringin itu, eh dia kok malah nekat. Sembrono Mukadar itu.” Meski orang berkomentar semiring apa, toh Mukadar tetap berpidato di syukuran berdirinya langgar itu dengan

86


berwibawa. Hidangan lezat yang disajikan juga membuat warga menyungging senyum puas. Kenyataannya pula jalan gelap dan menakutkan itu kini terang dengan adanya langgar itu. Orang tidak takut lagi lewat jalan itu. Tiga hari berikutnya sebuah kejadian mengagetkan terjadi di langgar Mukadar. Ketika itu hari Selasa, Mbah Tumini yang sedang mengambil air wudu terpeleset di tempat wudu. Kepalanya membentur lantai. Mbah Tumini pingsan. Warga yang melihatnya segera membawa Mbah Tumini ke klinik tak jauh dari situ. Sudah barang pasti Mukadar tersentak dan merasa tidak enak hati. “Saya yakin tempat wudu dibersihkan tiap hari. Tapi kenapa masih licin dan bikin orang terpeleset?” gumam Mukadar. Atas kejadian ini Mukadar menyumbang sekian rupiah untuk pengobatan Mbah Tumini. Orang sudah mulai melupakan kejadian terpelesetnya Mbah Tumini di langgar Mukadar, namun nahas, cerita orang terpeleset berulang lagi. Di tempat wudu perempuan lagi-lagi. Harinya sama, hari Selasa. Orang-orang mulai berpikiran yang tidak-tidak. Ada yang nyletuk bahwa Mukadar kualat telah menebang pohon beringin. Ada yang bilang Mukadar tidak tulus ikhlas membangun langgar. Pak Nyoto, ketua RT, merasa perlu bertandang ke rumah Mukadar untuk bicara langsung masalah ini. “Mas Mukadar, saya tahu niat mas membangun langgar memang baik. Biar orang-orang tidak takut lewat jalan itu kalau malam, juga sebagai syiar agama. Tapi sebagaimana yang sudah saya ingatkan jauh-jauh hari, pohon beringin itu keramat, Mas. Harus hati-hati kalau mau menebangnya. Saya kira Mas Mukadar telah berlaku sembrono. Dua orang yang terpeleset di tempat wudu saya rasa bukan kejadian biasa. Itu adalah pertanda!” “Maaf, Pak Nyoto, saya rasa kejadian ini bisa diterangkan secara logis, Pak. Orang yang biasa membersihkan langgar saya mengaku kerap lupa tidak membersihkan tempat wudu. Maklum kalau jadi sedikit licin dan membuat orang terpeleset.”

87


“Baiklah. Saya bisa terima alasan Mas Mukadar itu. Tapi jika ada kejadian lagi yang tidak masuk akal saya tidak bertanggung jawab. Saya sudah mengingatkan sebelumnya.” Pak Nyoto berlalu meninggalkan rumah Mukadar dengan wajah gusar. Sedang Mukadar hanya bisa mengambil nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Suara tiktok jam mendadak terdengar begitu jelas. Lengang suasana rumah hanya tertangkap sebagai kesunyian yang utuh di matanya. *** Dua minggu setelah kedatangan Pak Nyoto ke rumah Mukadar kembali sebuah berita ganjil menyentak telinga warga. Hari Selasa malam, Wendi, anak bungsu Pak Nyoto, berujar bahwa ketika lewat depan langgar Mukadar, setelah beli sate ayam di perempatan, seekor anjing hitam mengejarnya. Kaki kirinya digigit anjing hitam itu. Kabar ini tentu mengejutkan. Pasalnya semua tahu tidak ada seorang pun yang memelihara anjing di sekitar situ. Lantas anjing siapa? Apa mungkin Wendi mengada-ada? Tak lama setelah kejadian ini Mukadar segera mendatangi Mbah Syam. Berharap petuah. Minta diteguhkan hatinya. Di luar dugaan, Mbah Syam memberi nasihat yang tidak terpikirkan Mukadar sebelumnya. “Mas Mukadar, saya yakin kejadian-kejadian ini bukan karena makhluk halus atau sejenisya seperti yang anda takutkan itu. Tidak juga ada hubungannya dengan pohon beringin yang ditebang. Pernahkah terbesit di benak Mas Mukadar ada orang yang tidak suka dengan Mas Mukadar lantas melakukan hal ini? Melakukan hal-hal yang merusak nama Mas Mukadar?” “Siapa ya Mbah? Saya rasa saya tidak punya musuh. Antar sesama pengusaha ayam potong saya bergaul dan bersaing dengan baik.” “Coba Mas Mukadar ingat-ingat lagi. Ada tidak orang yang merasa diuntungkan dengan kejadian-kejadian ini atau pernah bermasalah dengan tanah tempat dibangun langgar itu?”

88


Mukadar malah diam. Seperti berpikir keras. Wajahnya tegang. Seakan mau menumpahkan sesuatu. “Sejujurnya ada satu hal yang selama ini saya sembunyikan, Mbah.” “Apa itu, Mas Mukadar. Katakan saja. Tidak perlu ragu.” “Mungkin tidak banyak yang tahu hal ini. Kakek saya dulunya adalah dukun. Meski tidak terkenal dan kesaktiannya terdengar di mana-mana, tapi ritual-ritual yang kerap beliau lakukan di satu ruangan khusus di rumah kami bisa berharihari. Kakek kemudian tiap hari kedatangan seorang pemuda tanggung yang lantas jadi muridnya. Mereka, guru dan murid, menganggap pohon beringin itu sebagai jembatan antara alam dunia dan ‘alam sana’. Ya, pohon beringin itu penting artinya bagi mereka. Dan murid kakek itu sekarang masih hidup. Dia adalah Pak Nyoto. Ketua RT kita!” “Astagfirullah! Subhanallah! Jujur saya baru pertama kali mendengar ini, Mas Mukadar. Saya benar-benar tidak pernah menyangka. Kalau begini semua sudah jelas. Dengan ditebangnya pohon itu Pak Nyoto dirugikan. ‘Jembatannya’ dirobohkan begitu saja. Oh, pantas saja ia melarang Mas Mukadar menebang pohon itu ketika kita ngobrol di masjid waktu itu.” “Istri saya justru lebih jauh dugaannya, Mbah. Bahwa perihal raibnya lampu yang saya pasang di dekat pohon beringin dulu itu adalah ulah Pak Nyoto atau orang suruhannya, juga tentang orang terpeleset dan anjing hitam adalah rekayasanya belaka.” “Wah, benar itu, benar. Bisa jadi memang seperti itu. Semua makin jelas sudah. Titik antar titik sudah berhubungan.” “Awalnya saya memang mencurigai Pak Nyoto. Tapi, saya agak kurang yakin. Beberapa bulan lalu Pak Nyoto sudah lepas dari dunia dukun macam itu. Makanya ia sekarang rajin ke masjid.”

89


“Baiklah. Kita memang tak boleh gegabah. Tapi kejadian tak masuk akal yang hanya akan mengakibatkan syirik ini harus dihentikan. Harus dicari dalangnya.” “Betul, Mbah. Saya juga sudah capek dan muak dengan semua ini. Saya harus bagaimana lagi, Mbah?” “Sabar Mas Mukadar. Kita selidiki masalah ini pelanpelan. Dugaan kita sementara semua ini rekayasa bikinan Pak Nyoto. Motifnya dendam.” “Baiklah, saya sepakat. Namun kita tetap melihat perkembangan selanjutnya. Segala hal bisa saja terjadi.” Mbah Syam tersenyum. Mukadar mengangguk dan lantas pamit pulang. *** Mukadar baru saja datang dari sebuah restoran dan masuk rumah ketika telinganya dikejutkan dengan berita kematian dari masjid. Awalnya terdengar sayup-sayup. Ia lantas menajamkan pendengarannya. Masya Allah, kabar kematian itu adalah kabar kematian Pak Nyoto. Kontan Mukadar terbeliak dan terhenyak. Ia segera duduk di kursi ruang tamu. Segalanya jadi runyam. Pikirannya buram. Bersama Mbah Syam ia sudah menyusun puzzle atas kejadian-kejadian ganjil yang menimpa langgarnya. Dugaan sementara semuanya adalah rekayasa Pak Nyoto belaka. Maka, bagaimanapun kunci dipegang Pak Nyoto. Sementara jika pemegang kunci raib, lantas mau apa. Mukadar bukan tipe orang yang gemar menuduh tanpa bukti dan menyebarkannya ke masyarakat. Ia tahu bahaya fitnah. Di tengah kegalauan mata Mukadar melirik kalender di tembok. Astaga, ini hari Selasa! Belum reda rasa terkejutnya, istri Mukadar datang dengan sebuah berita. “Pak sudah tahu belum, Pak Nyoto meninggal garagara terpeleset di kamar mandi. Kepalanya membentur WC duduk! Kasihan sekali.” Mendengar itu Mukadar hampir semaput.

90


Makam

Pagi ketika Handoko dan Sudibyo baru saja datang ke water park kebanggaannya, seorang satpam tergopoh menghampirinya. Wajahnya gugup dan takut. “Pak, ada dua orang pengunjung yang tiba-tiba kesurupan di kamar ganti.” Handoko bergeming. Sudibyo buru-buru menelepon orang pintar kenalannya. Keesokan paginya seorang satpam kembali memberikan laporan tak mengenakkan. “Pak Handoko, sebelumnya maaf, sebenarnya saya ini tidak pernah percaya dengan yang namanya setan atau demit. Tapi saya semalam benar-benar melihat seorang perempuan mirip orang gila mondar-mandir di pinggir kolam renang. Ketika saya dekati tiba-tiba ia menghilang.” Handoko mulai gusar. Ada yang goyah dari hatinya. *** “Jangan!” “Kenapa? Di situ kan tempatnya strategis, akses menuju ke sana juga mudah, lebih dari itu, suasananya juga masih asri. Cocok lah kalau kita bangun water park.” “Iya, tapi…” “Sudahlah, di antara semua pemilik saham hanya kau yang masih meragukan pemilihan tempat itu. Kita dulu memang setuju lokasinya di belakang terminal, namun suara bus-bus terlalu bising untuk pengunjung.” “Aku juga memang tidak setuju jika di belakang terminal. Tapi tempat yang baru ini…Ah, kau memang tak pernah memahami hal-hal ghaib!”

91


92


Dua orang yang berdebat sengit terdiam sejenak. Sama-sama menyalakan rokok. Sudibyo bersikukuh meminta untuk tidak membangun water park di lokasi yang baru saja disepakati. Rumahnya tak jauh dari lokasi pembangunan water park. Ia tahu semua cerita tentang daerah itu. Di lain pihak Handoko, pengusaha kaya, pemilik saham terbesar, acuh tak acuh dengan semua cerita yang berkembang di masyarakat perihal lokasi itu. Lebih-lebih hanya cerita mistis yang menurutnya sangat tidak masuk akal dan murahan. “Begini saja, Dibyo, sekarang kau lunasi saja dulu kekurangan uang yang belum kau setor. Nah, masalah ceritacerita tak jelas itu tak usah lagi kau pikirkan. Ini zaman modern, Bung. Semua serba rasional, ilmiah! Toh warga sekitar lokasi pembangunan water park tak ada yang komplain. Mereka justru senang ada lapangan kerja baru untuk mereka.” “Baiklah, aku turuti sajalah apa katamu. Semoga apa yang kau katakan itu benar. Semua serba rasional. Tapi kalau di kemudian hari ada apa-apa aku tak turut campur.” “Tenang saja, Bung. Percaya saja sama aku. Proyek seperti ini bukan kali pertama buatku.” Sudibyo menghela nafas panjang lalu menghembuskannya berat. Handoko senyum-senyum saja. Ia kemudian mohon pamit. Di pintu depan ia masih coba meyakinkan Sudibyo. Kecamuk dalam hati Sudibyo belum selesai. Ya, barangkali benar kata Handoko, saat ini semua serba rasional. Cerita-cerita mistis yang belum jelas kebenarannya memang tak sepantasnya dipercayai. Lalu bagaimana dengan cerita warga yang kerap melihat sosok menyeramkan di pemakaman dekat lokasi yang akan dibangun water park? Sosok perempuan muda yang sebenarnya masih tampak gurat kecantikannya namun bajunya compang-camping persis orang gila dan jalannya terseok-seok. Sosok Sumini edan! *** “Nak, nanti malam kamu mau nonton ketoprak sama bapak tidak?”

93


“Di mana, Pak?” “Di balai desa, Nak. Pak Kades nanggap ketoprak karena panen kali ini bagus.” “Pulangnya malam banget ya, Pak?” “Tidak terlalu malam sebenarnya. Tapi kamu nanti jangan takut ya, soalnya lakon ketoprak malam ini Sumini edan.” “Wah, siapa itu Sumini edan, Pak?” “Sudah. Tonton saja ketopraknya. Nanti kamu bakal tahu.” Maka, Sudibyo kecil menyimpan penasaran dalam benaknya. Siapa itu Sumini edan? Apakah ia orang ternama sehingga bisa menjadi lakon ketoprak? Mengapa pula ada kata edan tersemat di belakang namanya? Di balai desa orang sudah sama berkumpul. Tua muda, laki-laki perempuan, semua tumpah ruah di sana. Bagi warga pinggiran macam keluarga Sudibyo, pentas ketoprak sudah sangat menghibur sekali rasanya. Apalagi waktu itu belum banyak yang punya televisi. Sepanjang pentas mulut Sudibyo menganga. Terpukau oleh penampilan pemain ketoprak yang piawai. Kostum mereka juga menarik hati. Yang paling mengesankan tentu saja jalinan cerita Sumini edan. Kini tahulah ia siapa Sumini edan itu sebenarnya. Dalam ketoprak itu diceritakan, dahulu kala tersebutlah seorang saudagar kaya bernama Broto, bujangan yang selain gagah perwira juga tampan rupawan. Gadis-gadis rela menunggu berjam-jam di beranda rumah mereka demi melihat Broto melintas dengan kudanya yang kekar. Jika telah melihat Broto melintas, wajah mereka mendadak berbungabunga dan matanya berbinar-binar. Selanjutnya Broto akan melintas di bunga tidur mereka yang indah. Kokok ayam jago di subuh hari belum tentu bisa membangunkan tidur mereka yang berhias mimpi berkuda bersama Broto. Di antara sekian gadis hanya Sumini yang menunjukkan ketertarikannya kepada Broto secara nyata. Ia adalah anak saudagar karya, Sastro Kusumo. Dengan

94


kekayaan keluarganya ia tentu sebanding jika bersanding dengan Broto. Namun nahas. Bupati Broto sudah melabuhkan hatinya pada Cempaka. Pada dasarnya tidak jadi soal jika Cempaka adalah gadis lain yang lebih cantik dan lebih kaya daripada Sumini. Masalahnya Cempaka adalah adik sepupunya sendiri yang tidak berpunya lagi tidak rupawan. Singkat cerita, di hari yang dinanti, Broto benar-benar melamar Cempaka. Berkobarlah bara yang lama disimpan dalam hati Sumini. Sumini tertekan hebat menghadapi kenyataan ini. Ayahnya tak bisa berbuat apa-apa. Ia menyadari bahwa kemarahan hanya menghasilkan kesia-siaan. Sumini merasa menjadi perempuan buruk rupa yang tak layak dilirik lelaki manapun. Hari-harinya dihabiskan dengan mengurung diri dalam kamar. Kian hari wajahnya kian kusut, cermin dari hatinya yang kusut pula. Lama kelamaan ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri. Sesekali tersenyum sendiri tanpa ada sebab. Ayahnya khawatir melihat perkembangan Sumini dari hari ke hari. Ia tak mau mengatakan bahwa anaknya gila. Namun kondisi Sumini telah menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sudibyo menahan nafas sampai pada adegan ketika Sumini mengamuk di jalan-jalan desa sehingga menakuti anak-anak kecil yang sedang bermain. Wajah Sudibyo tak bisa menyembunyikan kengerian melihat akting pemeran Sumini yang total sehingga tampak menyeramkan. Matanya melotot, rambutnya gimbal dan compang-camping pakaiannya. Lakon Sumini edan disudahi dengan meninggalnya Sumini di pinggir kali tak jauh dari rumahnya. Penonton bertepuk tangan riuh rendah meski menyimpan rasa bergidik di hatinya. Lantas bubar satu persatu. Sudibyo menyimpan kenangan masa kecil menonton ketoprak dengan lakon Sumini edan hingga ia dewasa. Ketika ia remaja Sudibyo tahu di mana letak makam Sumini edan. Ya, tepat di samping lokasi pembangunan water park. Kini ia

95


sudah kehabisan akal untuk meyakinkan Handoko supaya tidak sembrono membangun water park di lokasi yang terkenal angker itu. Semua orang tahu, dulu pernah berdiri pabrik kembang api di lokasi pembangunan water park, akan tetapi baru sebulan berdiri pabrik itu terbakar hebat. “Resiko terbakar pabrik kembang api memang sangat besar. Hal itu wajar terjadi.” Begitu jawab Handoko menyikapi kebakaran pabrik kembang api. Tapi yang pasti pihak kepolisian belum bisa menemukan penyebab kebakaran di pabrik kembang api itu. Seperti sebuah musibah yang ganjil dan janggal. Layaknya hujan yang tak bisa dicegah kecuali oleh pawang yang betul-betul sakti, Handoko terus melaju dengan proyek pembangunan water park. Ini akan menjadi water park pertama dan terbesar di kota ini, ujarnya di setiap kesempatan. *** Sehari setelah launching water park, Handoko mengundang Sudibyo makam malam di rumahnya. Syukuran. Tak seperti biasa Sudibyo datang lebih awal, dengan seorang perempuan pula. “Tumben kau datang lebih awal. Ngomong-ngomong siapa perempuan ini? Calon istrimu kah? Ah, kau tak pernah cerita padaku.” Sudibyo hanya tersenyum tipis. Dan makan malam berjalan relatif tanpa obrolan. Hingga tiba-tiba perempuan yang bersama Sudibyo angkat bicara. “Sumini sudah berkalang tanah, masih juga kau usik makamnya. Jangan gegabah dan serakah, Handoko.” Perempuan itu berwajah tenang. Handoko sedikit tercengang. “Ah, kita tidak menggusur makam Sumini, hanya menggesernya sedikit. Kita sama tahu kalau makamnya tidak digeser tidak ada lahan parkir buat pengunjung. Hehehe.” Jam berdentang sembilan kali. Sudibyo pulang bersama perempuannya. Saat menutup kembali ke meja makan Handoko menyadari dompet Sudibyo tertinggal. Buru-

96


buru ia meraih ponsel. Menghubungi Sudibyo, berharap belum pergi jauh. “Dompet?! Dompet apa? Sedari tadi aku masih di rumah. Mencari-cari kunci mobilku. Aku lupa menaruhnya. Baru saja aku mau meneleponmu karena terlambat,� jawab Sudibyo di seberang sana. Ponsel Handoko jatuh ke lantai. Bulu kuduknya meremang. Tiba-tiba tercium wangi bunga melati. Ponorogo, Agustus 2010

97


Teluh

Penyanyi dangdut kita itu akhirnya mencalonkan diri sebagai wakil bupati. Di kota kecil yang tidak terkenal ini namanya telah kondang, hingga ke pelosok-pelosok. Masyarakat lebih akrab dengan namanya daripada nama bapak-bapak anggota dewan atau menteri yang kerap muncul di televisi akhir-akhir ini. Niscaya tidak akan ada kehebohan jika penyanyi dangdut kita ini maju sebagai calon wakil bupati. Ia tak seperti penyanyi dangdut yang sering tampil di film-film horor atau komedi berbau porno itu. Ketika menyanyi yang dijual bukanlah tubuhnya, tapi suaranya. Bisa kita dengar cengkoknya yang pas saat menyanyi dangdut, bak penyanyi senior. Hari itu adalah sehari sebelum penyanyi dangdut kita memutuskan untuk mencalonkan diri, mendampingi seorang pengusaha kaya mantan aktivis kampus. Di rumah kontrakannya yang sederhana penyanyi dangdut kita menerima dua orang tamu berpenampilan necis. Siapa lagi jika bukan perwakilan dari partai pengusungnya. �Bagaimana, Mbak? Sudah yakin kan untuk mencalonkan diri sebagai wakil bupati?� tanya salah seorang perwakilan partai. Penyanyi dangdut kita gugup. Ia memilih mengubah posisi duduk ketimbang menghela napas panjang untuk mengurangi ketegangan. �Jujur, Mas, sebenarnya saya belum terlalu siap.� Berkata demikian ia dengan membayangkan sebuah konser dangdut besar yang meriah. Di sana ia menjadi biduan yang menyita perhatian ratusan pasang mata. Bajunya yang

98


gemerlap. Panggung yang megah. Musik yang hingar. Goyangan yang bikin geregetan. Tatap mata nakal pemudaperjaka. Sorot mata penuh birahi penonton mabuk. Saweran yang dilempar tak henti. Oh, penyanyi dangdut kita belum siap meninggalkan itu semua. Meninggalkan dunia yang membesarkannya. ”Apa lagi yang masih membuat Mbakyu ragu?” ”Saya belum siap meninggalkan panggung, Mas,” ujar penyanyi dangdut kita. ”Ealah, Mbakyu ini lho, kalau sampeyan nanti terpilih, pasti jauh lebih terkenal dari pada waktu masih joged di panggung. Juga jangan lupa, gaji wakil bupati itu gede lho, belum lagi fasilitas-fasilitasnya.” Perwakilan partai pengusung berjuang meyakinkan penyanyi dangdut kita. ”Lalu, bagaimana dengan pendidikan saya? Saya ini cuma tamatan SMA, Mas,” kilah penyanyi dangdut kita. ”Kan sudah saya bilang dari kemarin-kemarin, sekarang itu gelar gampang didapat. Nanti kami beli ijazah buat Mbakyu deh. Sampeyan mau gelar apa? SH, S.Sos atau SE? Tapi jangan S.Ag lho ya, kayaknya sampeyan kurang cocok kalau pakai gelar S.Ag.” Penyanyi dangdut kita tersenyum. Tipis tapi manis. Perwakilan partai juga ikut meringis. Miris. ”Pokoknya, kalau sampeyan sudah mantab hubungi kami. Biar kami bisa bergerak cepat. Menyiapkan segala sesuatu untuk membentuk citra baik sampeyan dan bapak calon bupati,” perwakilan partai berdehem, lalu lanjut bicara, ”Sampeyan cocok kok berpasangan dengan beliau. Sampeyan itu masih muda, cantik dan terkenal, sedang beliau gagah, berwibawa, dan ganteng.” *** Hari itu adalah sehari sebelum penyanyi dangdut kita memutuskan untuk mencalonkan diri, mendampingi bapak calon bupati yang istrinya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Sedari tadi ia mematut diri di depan cermin. Hatinya seolah ingin bertanya pada cermin yang bisu. Wahai

99


cermin, apakah aku sudah tidak secantik ketika aku masih muda dulu, ketika suamiku tergila-gila? Ketika hujan menjamah tanah dan halilintar bersahutan, istri calon bupati itu nekad keluar rumah. Waktu itu suaminya sedang tidak di rumah. Dibangunkannya sopir pribadi yang tengah tertidur pulas di pos satpam. Tentu saja si sopir tergeragap kaget. Tanpa ba-bi-bu, si sopir menuruti kemauan majikannya. ”Kita ke rumah Simbah!” perintah istri calon bupati. Siapa yang tidak mengenal Simbah? Seluruh warga di kota kecil ini hampir semuanya tahu siapa Simbah. Dialah dukun sakti yang tinggal di kaki bukit selatan kota. Konon kesaktiannya belum ada yang menandingi di tingkat karesidenan. Dalam perjalanan ke rumah Simbah, istri calon bupati merenung. Terdengar dengus nafasnya yang memburu menahan dendam. Dia selalu bertanya kenapa suaminya tidak menggandengnya saja untuk maju dalam pencalonan bupatiwakil bupati. Tiba-tiba, istri calon bupati ini iseng bertanya kepada sopirnya di depan. ”Pak, aku masih cantik kan? Masih seksi kan?” Yang ditanya terkesiap bulu kuduknya. Ia hanya mengiyakan. Sampai di rumah Simbah, sebentuk ketakutan menjalari istri calon bupati dan sopirnya. Bau yang aneh serta benda-benda yang tak pernah mereka jumpai sebelumnya menjadi ucapan selamat datang yang janggal. ”Apakah benar kedatangan kalian ke sini untuk meminta bantuan mencelakakan seorang penyanyi dangdut?” tanya Simbah mengagetkan keduanya. ”Be..be..benar, Mbah,” istri calon bupati gagap menjawab. ”Aku tidak yakin bisa melakukannya, di belakang penyanyi dangdut itu berdiri seorang dukun yang tak kurang saktinya. Tapi aku akan coba!” ”Apa yang harus kami lakukan, Mbah?”

100


”Tanam buntelan ini di halaman rumah penyanyi dangdut itu, lalu lihat hasilnya sehari kemudian.” ”Akan kami laksanakan, Mbah. Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh dari kami,” kata istri calon bupati sembari mengangsurkan amplop putih. Simbah hanya manggut-manggut dan berdehem. Tak ingin membuang waktu, malam itu juga, saat aroma hujan masih begitu terasa, sopir istri calon bupati menanam buntelan. Instruksi langsung dari istri calon wakil bupati. Tapi, astaga! Ketika buntelan baru akan dimasukkan lubang, tubuh sopir terlempar ke belakang. Satu meter jauhnya. Ia terperangah. Namun belum menyerah. Dicarinya sudut lain dari rumah penyanyi dangdut kita. Setali tiga uang. Beberapa kali tubuhnya terhempas. Sial, bentengnya kuat juga perempuan ini, gumam si sopir. Kembali ke rumah ia dengan tangan hampa. Dan sangat terkejut ketika pada pagi harinya rumah calon bupati gempar. Istri calon bupati tidak bisa bangun dari tempat tidur. Ia hanya bisa mengerang kesakitan. Sekujur tubuhnya penuh bintik serupa kutil. Jika satu bintik pecah, maka cairan busuk keluar dan bau bangkai segera menguasai udara. Jijik. Si sopir hampir muntah manakala hendak membopong istri calon bupati. Mau dibawa ke rumah sakit. Nahas! Tak seorang pun bisa membopongnya. Pun ketika lima orang bersamaan membopongnya. Tidak terangkat. Berat sekali. Seperti lengket. Waktu itu bapak calon bupati sedang rapat partai di luar kota. Orang yang di rumah jelas kelabakan. Berpikir cepat si sopir menuju rumah simbah. Dalam waktu yang tidak lama, Simbah sudah sampai di rumah calon wakil bupati. ”Ini teluh kiriman dukun penyanyi dangdut terkutuk itu! Ia bereaksi, tak terima penyanyi dangdut itu kita serang. Aku tak kuat menangkalnya. Namun, ada satu cara sebenarnya untuk sekadar mengusir kutil-kutil busuk itu.” ”Apa itu, Mbah?” tanya sopir.

101


”Kau cari saudara kandung ibu itu. Bisa kakak atau adiknya. Minta sedikit darahnya, beberapa helai rambutnya, juga kukunya. Tumbuk jadi satu. Tempelkan di kening ibu itu,” simbah berkata dengan keyakinan penuh. Istri calon bupati meski menahan sakit luar biasa, namun masih bisa mendengar bercakapan dan diajakan bicara, walau terbata-bata. Sejujurnya, keadaan ia kini akan menghadirkan iba kepada siapa saja yang melihatnya. ”Ibu, boleh tahu saudara ibu tinggal di mana? Kata Simbah, hanya saudara kandung ibu yang bisa menyembuhkan.” Ditunggu beberapa saat istri calon bupati tak kunjung menjawab. Ia meringis kesakitan. Baru ketika sakitnya merada ia angkat bicara. ”A...aku...cu...cuma punya satu saudara kandung. Di...dia a..adalah penyanyi dangdut laknat itu. Di...dia adikku satu-satunya,” ujar istri calon bupati terbata-bata. Semua yang ada dalam ruangan terkejut. Seolah menemui jalan buntu.

102


Penjaga Malam

Malam yang muram. Kaca jendela di sebuah hotel tengah kota basah oleh embun lantaran gerimis bertahan sejak sore. Penjual bakmi tercenung di sudut kontrakannya. Hanya beberapa piring bakmi saja yang laku hari ini. Gerimis dan dingin menahan orang-orang keluar rumah menjenguk dagangannya. Sementara itu, aku baru saja menjejak bumi. Sudah tiga hari ini aku tidak diijinkan oleh Tuan Langit untuk mengunjungi bumi. Menjalankan pekerjaan sampinganku: menjaga malam. Ya, aku adalah seorang penjaga malam. Menjaga malam di bumi yang katanya sering berselimut kabut warna kelam. Pekerjaan utamaku sebenarnya adalah mengawasi perputaran mendung. Kapan ia akan menjadi hujan yang membasahi bumi, kapan ia harus berdiam di sela-sela awan. Sering aku tak tega jika Tuan Langit memerintahkanku mengguyurkan hujan yang begitu derasnya tanpa didahului dengan isyarat mendung. Aku lihat orang-orang sama kelabakan mendapati kehadiran hujan yang begitu tiba-tiba. Ada yang berlari-lari mencari tempat berteduh, ada yang bergegas membuka bagasi motor untuk mengambil jas hujan. Tapi biarlah begitu, aku hanya mengawasi perputaran mendung. Tuan Langit lah yang punya wewenang penuh untuk menjadikannya hujan atau tidak. Membuatnya tanpa isyarat mendung atau dengan mendung yang menggulunggulung. Saat ini aku harus konsentrasi dengan tugas menjaga malam di bumi. Oya, aku lupa memberi tahu pembaca

103


sekalian, bahwa aku ini tak kasat mata. Jadi manusia-manusia di bumi tak bisa melihatku. Hanya orang-orang dengan tingkat kesaktian tertentu yang mungkin bisa melihatku. Biasanya mereka dari kalangan yang bersih hatinya, jauh dari angkara murka dan iri dengki. Pun begitu, selama bertugas menjaga malam di bumi aku belum pernah kepergok sekalipun oleh manusia. Aku awali pengembaraan malam ini di sebuah café. Bangunan dua tingkat ini tidak terlalu besar. Di lantai dasar terdapat mini bookstrore dan meja kasir. Sedang di lantai dua, selain meja bar yang memanjang di salah satu sudut, ada meja kayu artistik dengan ukiran, sofa, serta mini library. Selain menjual kudapan ringan, tempat ini memang menjual buku terbitan baru dan best seller. Di beberapa sudut café juga ditemui rak-rak buku dengan koleksi buku sastra, filsafat dan agama. Itu untuk dibaca di tempat, tidak dijual atau disewakan. Hanya ada segelintir buku teenlit disini. Yang jelas tidak bisa ditemui adalah majalah atau tabloid infotainment. Tampaknya café ini memosisikan dirinya sebagai tempat nongkrong pelajar dan mahasiswa yang hendak mengais ilmu. Tak sekadar tempat kongkow-kongkow menghabiskan malam. Di lantai dua cafe, empat orang mahasiswa tampak sedang berdiskusi. Memperdebatkan keberadaan Tuhan. “Setiap yang ada pasti ada yang menciptakan. Kita ada di dunia buah dari hubungan ayah dan ibu kita. Lantas jika dibilang Tuhan itu ada siapa yang menciptakan Tuhan? Pasti ada makhluk yang lebih hebat, karena dia bisa menciptakan tuhan yang menciptakan manusia,” terang seorang mahasiswi berleher jenjang dengan rambut dikucir mirip buntut kuda. Parasnya akan mengingatkan kita dengan seorang penyayi perempuan di era tujuh puluhan. “Tidak perlu kita simpan keraguan atas Tuhan! Cukup kita percaya dan sudah. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak penting.” Sanggah mahasiswa berambut kribo.

104


“Iya seharusnya begitu. Tinggal percaya saja apa susahnya?” dukung mahasiswa dengan tato kepala elang di lehernya. Aku tersenyum simpul mendengar diskusi mereka. Sejenak aku tinggalkan keempat mahasiswa yang berdebat. Diskusi itu selanjutnya didominasi oleh mahasiswa berambut kribo dan mahasiswi berleher jenjang. Yang lain lebih banyak diam, merenung sembari menyimak lagu-lagu Efek Rumah Kaca yang diputar pemilik café. Selanjutnya aku masuk ruangan kecil di bagian belakang café. Di ruangan dengan penerangan minimalis itu aku mendapati dua orang sedang bercakap serius. Pemilik café rupanya. “Penjualan buku dua bulan ini anjlok. Bagaimana kalau kita sudahi saja penjualan buku? Rak-rak buku itu bisa kita ganti dengan meja kursi untuk pengunjung café. Itu pasti lebih menguntungkan,” keluh si lelaki. “Berhenti jualan buku? Tidak, John. Aku tidak mau. Bukankah itu bagian dari idealismeku yang kita sepakati bersama. Café ini bukan sekadar tempat menghibur diri tapi mencedaskan juga,” si perempuan bersungut tidak setuju. “Tapi fakta bicara lain, Alin. Buku-buku itu hanya menenuhi café kita,” kali ini si lelaki coba meyakinkan si perempuan dengan mengatupkan kedua tangannya di pipi si perempuan. Didekatkan muka si lelaki pada muka si perempuan. “Kita mesti bersabar, sayang.” Si perempuan tak mau kalah. Di dekatkan bibirnya dengan bibir si lelaki. Matanya mengerjap menggoda. Si lelaki menahan nafas. Bibir mereka sudah tak berjarak. Terjadilah apa yang diinginkan si perempuan dan si lelaki, di ruangan dengan penerangan yang minimalis itu. Aku ketuk saja pintu ruangan. Mereka tergeragap. Buru-buru membetulkan letak pakaian. Ketika pintu dibuka si lelaki tak mendapati siapa-siapa. Berdiri bulu roma keduanya. Mereka semakin bergidik saat pintu sudah menganga terbuka ketukan masih terdengar.

105


106


Aku terkekeh-kekeh meninggalkan lelaki dan perempuan yang ketakutan itu. Kini aku telah sampai di parkiran café. Mahasiswi berleher jenjang yang tadi berdebat tentang Tuhan telah bersiap di mobilnya. Tiba-tiba mahasiswa berambut kribo lawan berdebatnya menghampiri. “Jalan pulangmu melawati kosku, bisakah aku menumpang mobil yang cantik ini?” Tanya mahasiswa berambut kribo. Ia lempar senyum termanisnya. “Em… Masuk lah!” Mobil melaju membelah jalanan kota yang basah. Aku duduk di jok belakang mobil itu. Dua orang yang tadi sengit berdebat kini terlihat hangat menikmati lagu-lagu jazz yang diputar dalam mobil. Tanpa terasa kepalaku menganggukangguk mengikuti nada-nada syahdu yang menelusup ruang dengarku. Sampai di kos. Tak disangka mahasiswa berambut kribo merayu mahasiswi berleher jenjang. “Hujan makin deras. Tak baik mengemudi dalam cuaca seburuk ini. Mampirlah di kosku,” tawar mahasiswa berambut kribo dengan jantung berdegup kencang. “Em..boleh deh.” Mahasiswi berleher jenjang menjawab dingin, sedingin udara malam itu. Aku ikut masuk bersama dua orang terpelajar muda usia itu. Entah siapa yang mengawali, pakaian yang melekat di badan berguguran sudah. Mereka sama memagut. Bukan aku yang meminta kawanku pengatur petir menyambarkan petir kencang. Sambaran petir yang membuat mereka kaget. Mobil mahasiswi berleher jenjang menjerit-jerit alarmnya. Selalu begitu, jika petir menyambar dengan kencangnya. Seketika ia meraih kunci dan menakan tombol di gantungan kunci. Tapi hatinya gamang. Ia teringat sesuatu. Diakhiri ritual purba bersama mahasiswa berambut kribo itu. “Maaf, aku harus segera pulang, ibuku sedang sakit, di rumah dia sendirian.”

107


Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir mahasiswa berambut kribo. Matanya menatap nanar kepergian perempuan yang wanginya telah membuat mabuk. Gontai aku berjalan menyusuri trotoar yang berlubang disana-sini. Aku beralih dari hiruk pikuk hura-hura manusia modern menuju pinggiran jalan. Menjumpai orang-orang tak berumah. Menggelandang di sekujur tubuh kota. Aku masuk bilik kecil penjual kopi yang anaknya terbaring dengan badan demam. Harap-harap cemas dia menunggu tetangganya yang mau mengantar ke rumah sakit. Lama ditunggu tetangga itu tak muncul juga. Kali ini aku minta kawanku yang mengatur hujan untuk sejenak menghentikan hujan. Biar bapak-anak ini bisa berangkat ke rumah sakit. Tak tega aku melihat gigil anak itu. Benar. Hujan sesaat berhenti. Dengan penuh kasih bapak penjual kopi berlari menggendong anaknya. Mencari becak dan ojek di malam yang kian merapat ke pagi, seperti mencari jarum dalam jerami. Kalut. Bapak yang menggendong anaknya terus berlari, berlari. Aku memutar otak. Apa yang mesti aku lakukan untuk membantu bapak penjual kopi. Dari jauh aku melihat mobil mahasiswi berleher jenjang melintas di jalanan. Aku melambaikan tangan, coba menghentikan mobilnya. Dia acuh. Aku tak dilihatnya. Sial! Lalu melintas John dan Alin, pemilik cafĂŠ, dengan motor gedenya. Aku hentikan mereka. Namun, menoleh pun mereka tidak. Ah, aku benci tak terlihat! Tiba-tiba terbetik satu pemikiran untuk membawa bapak-anak itu ke langit bersamaku. Biar mereka menemu damai di sana. Ragu menggelanyut. Boleh jadi justru damai mereka ada di sini. Bukan di langit sana. Aku tak peduli, pokoknya aku harus membawanya ke langit. Kota ini hanya menawarkan luka demi luka. Celaka! Kudengar ayam berkokok bersahutan. Pagi menjelang. “Tugasmu sudah selesai, wahai penjaga malam. Kembalilah ke langit!â€? Kata penjaga pagi.

108


“Tapi aku belum menolong bapak penjual kopi itu, anaknya‌,â€? belum selesai aku berkata tubuhku seperti tersedot suatu pusaran kencang. Ditarik ke langit. Aku merasa sangat berdosa lantaran tak segera mengambil keputusan. Bodohnya aku. Tak bisa menolong bapak-anak itu. Kemudian, sampai di telingaku, anak yang malang itu meregang nyawa kala fajar menyingsing. Aku tidak senang menjadi sesuatu yang tak terlihat! Ciputat, Maret-April 2010

109


Malam Tahun Baru

Kota ini sudah ramai sejak tadi sore. Suara terompet sesekali terdengar, akan bersahutan jelang tengah malam nanti. Penjaja aneka kembang api terlihat di mana-mana. Dagangan mereka laku keras. Kota kian malam kian semarak. Entah sejak kapan dan siapa yang merumuskan, jika malam tahun baru tiba musti dirayakan dengan berkumpul di pusat kota, meniup terompet dan menyalakan kembang api. Pun begitu ada seseorang yang seolah tak terpengaruh oleh hiruk pikuk macam itu. Hanya ada kesedihan dan kesunyian dalam hatinya. Orang itu bernama Mbah Asri. Seorang nenek renta yang mengundang empati siapa saja yang memandangnya. Mbah Asri berjalan pelan menyusuri trotoar depan taman kota. Langkah gontainya terhenti tepat di depan gerbang taman. Ia pegang erat pagar besi taman. Seolah tak mau lepas. Nanar matanya menatap kolam ikan, jungkatjungkit, ayunan, perosotan dan seluruh pepohonan rindang. Hatinya berkecamuk. Ada pertempuran yang tak selesai di sana. Sesuatu yang tak diinginkannya datang tiba-tiba. Menyergap tentram jiwanya. Sesuatu yang mungkin akan ia namai luka. Tiap kali ia mengingat kejadian dua tahun silam. *** “Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, terima kasih sudah berkumpul di sini. Pagi ini akan diadakan pindahan masal menuju rumah susun. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak akan tinggal di lingkungan kumuh ini lagi. Lingkungan baru yang akan bapak-bapak dan ibu-ibu tempati nanti tentu akan lebih sehat, lebih nyaman dan lebih bersih. Apabila pindahan masal ini berhasil berarti bapak-bapak dan ibu-ibu telah membantu

110


pihak Pemkot membangun taman kota di tempat ini. Pembangunan taman kota adalah upaya untuk mencegah global warming yang saat ini menjadi ancaman nyata bagi bumi,” jelas salah seorang yang berseragam safari. “Saya tidak mau dipindah! Saya mau tetap di sini!” Tiba-tiba seorang kakek memotong pidato orang itu. Wajahnya terbakar. Hidungya kembang kempis. Sontak orang yang berpidato kaget. Namun dengan tenang ia melempar senyum, menutupi kegugupan. “Kek,” sapaannya terdengar lembut, “saya yakin lingkungan baru pasti lebih baik. Lagi pula warga di sini tidak punya sertifikat tanah. Dalam artian selama ini para warga menempati tanah ini secara ilegal.” “Tapi saya lahir, besar, beranak-cucu di sini. Kakek dan bapak saya juga asli sini. Saya tidak mau pindah. Ini tanah saya!” Bersungut-sungut si kakek membela diri. “Sudah, sudah. Kita bicarakan ini di luar forum saja. Yang sudah siap pindah langsung menuju mobil pick up. Kita berangkat bersama ke rumah susun.” Si kakek diam sesaat. Ditatapnya Kang Gino yang semalam sepakat untuk tidak mau pindah. Muka Kang Gino pias. Ia berusaha menyembunyikan wajah. “Kamu pengkhianat, Gino! Semalam kamu bilang mau membantuku menolak penggusuran biadab ini? Mana? Mana buktinya? Dasar pengecut!” Si kakek terpekur di depan rumah. Rokok kretek murahan yang dihisapnya tinggal separuh. Sementara itu orang-orang lalu-lalang mulai memindahkan perabot dan barang-barang yang sekiranya berharga. Mereka hendak pindah rumah. Legowo. Dalam bayangan mereka rumah susun tentu lebih baik, dalam segala hal. Meskipun jika harus jujur mereka sesungguhnya berat juga meninggalkan tempat yang telah mereka diami sekian lama ini. Gino, si pesakitan itu, terdiam di hadapan si kakek. Ia tak berani angkat bicara. Malu. Omongannya tidak selaras dengan perbuatan. Semalam ia tampak berdiskusi dengan si kakek dengan serius dan berapi-api. Akan menolak

111


pemindahan, atau menurut bahasa si kakek lebih tepat disebut penggusuran. Gino bahkan menyatakan hendak mengajak tiga kawannya menolak pemindahan ketika hari H. Tapi nyatanya, si kakek jadi seperti macan ompong. Berkoar sendiri, di tengah orang-orang yang mengangguk pasrah. “Maafkan saya, Mbah. Tadi, tiba-tiba saja minder dan kehilangan keberanian.� Gino tak bisa bohong bahwa ia sedang berbohong. Ia menyimpan rahasia. Alasan kenapa ia tak membantu si kakek. Mbah Asri, pada akhirnya, pergi menjauh dari taman. Ada kesedihan yang tak bisa diterjemahkan. Mengendap di dasar hati seperti lumpur di dasar sungai, lama-lama menyatu jadi cadas dan tak dapat diangkat. Lekat abadi. Adakah yang lebih membuat orang risau dan tak menentu selain sendiri mengarungi hari di usia senja? Ya, si kakek yang menentang penggusuran itu adalah suaminya, Mbah Joyo nama lelaki yang di masa mudanya pernah berjuang melawan PKI itu. Codet di pelipisnya adalah saksi perjuangannya yang masih tampak hingga kini. Ia selalu teguh pendirian. Cenderung keras malahan. Sekali ia berkata A susah betul diubah jadi B. Bahkan hampir tak bisa. Sayang nasibnya selalu berkisar dari kepedihan ke kepedihan. Tahun 1948. Madiun bergolak. Di usianya yang belia Mbah Joyo muda harus menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya terkapar dengan sayatan lebar di leher. Bekas gorokan golok tajam. Ia dan kakak laki-lakinya yang baru datang dari bukit tempat mencari kayu tercekat di depan pintu rumah. Air mata mendesak keluar, tapi sumpah serapah dan rasa pedih menggumpal jadi satu. Menutup semua lubang di tubuhnya. Tiba-tiba badannya bergetar hebat. Kakak laki-laki merangkulnya erat. Tetangga yang baru muncul dari persembunyian beberapa saat kemudian memberi tahu, pelakunya orang-orang merah. Ayahnya yang modin dan imam masjid itu jadi sasaran utama. Ujarnya, orang-orang merah telah merangsek mengusai kota sejak kemarin hari. Mbah Joyo muda serta kakak laki-laki satu-satunya tahu apa yang harus diperbuat. Pergi ke rumah paman. Agak

112


jauh memang dari rumah mereka. Berharap di sana lebih aman. Jika mereka tetap bertahan di rumah sama artinya dengan setor nyawa kepada orang-orang merah. Maka setelah pemakaman kedua orang tuanya di suatu senja yang muram, dua kakak beradik itu pergi diam-diam ke arah selatan, ke rumah paman mereka. Keberuntungan bukan milik mereka. Rumah paman mereka kosong. Begitu juga dengan rumah warga di sekitarnya. Mungkin mereka telah mengungsi, mencari tempat aman. Setelah berdiskusi panjang, Mbah Joyo dan kakaknya memutuskan untuk sembunyi di gunung batas kota, di tengah rimbun pohon-pohon raksasa. Sehari dua hari, Mbah Joyo masih berusaha tegar. Namun lama-lama ia tak bisa berdiam diri. Ia ingin berjuang. Melawan orang-orang merah. Kakaknya memilih bertahan di gunung. Suasana telah kembali normal, orang-orang merah kalah. Sekonyong-konyong Mbah Joyo disentak sebuah kabar. Pamannya yang petani itu, dipenjara (dan tentunya juga disiksa) karena dituduh PKI, dicap merah. Ah, ia kenal betul siapa pamannya. Meski ia tak menyentuh bangku sekolah tapi ia masih bermoral dan sedikit banyak tahu agama. Tak mungkin ia ikut PKI. Alangkah runyam zaman ini, keluh Mbah Joyo. Siapa benar siapa salah jadi samar. Dan lengkaplah duka Mbah Joyo saat tak mendapati kakaknya di gunung. Hilang. Hanya gubuk reot tak terurus yang tersisa. Apa ia telah ditangkap PKI? Apakah ia masih hidup? Sebatas tanya! Tanpa jawab. Hingga kini. “Oh, suamiku, pahit sekali perjalanan hidupmu,� ujar Mbah Asri di malam pengantin yang mendebarkan. “Tapi aku yakin bersamamu segala kepahitan akan berubah jadi madu yang manis.� Lamunan Mbah Asri dihentikan oleh suara kembang api yang meledak di udara. Kembang api warnah merah. Seperti warna penderitaan. Nenek itu lalu menyibak keramaian. Mencari bangku taman yang mungkin masih kosong. Tapi semua sudah penuh. Terutama oleh pasangan muda mudi yang memadu kasih. Orang-orang seperti tak

113


acuh dengan kehadiran Mbah Asri. Mungkin mereka mengira pengemis yang mencari peruntungan di tengah keramaian tahun baru. Mbah Asri menuju pojok gelap taman kota. Ada batu besar mengonggok di bawah pohon kecapi rindang. Di sana Mbah Asri duduk. Mendadak air matanya menganak sungai. Ia teringat bahwa di sini, di tempat yang sekarang menjadi taman Mbah Joyo wafat. Kakek malang yang tak mau pindah itu seperti tak mampu meredam laju amarah di hatinya. Ini semua tentang harga diri. Benar, Mbah Joyo meninggal dalam usaha membela martabatnya. Untuk sekedar menghibur diri Mbah Asri berusaha keras mengenang beberapa kisah atau mengingat sejumlah teman lama. Mbah Asri terkenang salah seorang kawan suaminya. Namanya Pribadi. Tak terlalu istimewa. Tapi jika dilihat di kartu pengenal maka akan didapati nama menggelikan: Pribadi Pancasila Sejati. Itu benar-benar nama aslinya. Konon orang tuanya ketakutan pasca geger politik 1965. Orang tua Pribadi ingin menunjukkan bahwa anaknya, dan juga keluarganya, adalah penganut Pancasila tulen. Tidak ikut-ikutan partai terlarang yang aneh-aneh. Lucunya saudara kandung Pribadi diberi nama tak kalah menggelikan: Muji Pangeran Roso Satuhu, disingkat MPRS. Lantaran lahirnya bertepatan dengan dibentuknya MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Ah, ada-ada saja. Kini, entah ada di mana kedua orang itu. Seperti hilang ditelan pusaran waktu. Suara terompet yang terlampau keras mengagetkan Mbah Asri. Ia menghela nafas panjang. Sementara itu, tak jauh dari tempat Mbah Asri duduk terpekur, orang-orang sedang bersiap menghitung mundur pergantian tahun. Di bundaran simpang enam mereka terpusat. Mereka bersiap menyambut harapan baru di tahun baru. Melupakan luka, kegagalan dan keterpurukan tahun lalu. Ini malam harus dirayakan. Akan tetapi Mbah Asri merasakan sesuatu yang beda. Ia justru merasakan sebentuk sedih menindih perasaannya.

114


Serupa perasaan tak berartinya hidup dan kesendirian yang asing. Sepuluh, sembilan, delapan‌ Hitung mundur telah dimulai. Diam-diam Mbah Asri mengambil sesuatu yang tersimpan di saku baju kumalnya. Lima, empat, tiga, dua‌ Pukul dua belas malam tepat! Suara terompet dan letusan kembang api seperti beradu di udara. Semua bersorak dalam suasana gegap gempita. Tak ada yang tidak bersuka cita malam itu. Kecuali Mbah Asri. Ia telah berhasil membuat sayatan di pergelangan tangannya dengan silet yang tadi dikeluarkannya diam-diam penuh perasaan. Tubuh ringkihnya roboh lalu menggelepar. Seorang tukang ojek yang hendak kencing di pojok gelap itu kontan berteriak mendapati jasad dingin Mbah Asri. Kelak orang-orang yang mengurus mayat Mbah Asri akan menemukan secarik kertas di lipatan baju Mbah Asri. Semacam surat wasiat. Di sana tertulis dendamnya pada Gino yang mengkhianati suaminya dalam kasus penggusuran. Kenapa Gino tidak ikut protes kala itu diterangkan di sana. Juga siapa Gino sebenarnya akan kita tahu dengan membaca pesan terakhir Mbah Asri. Perihal keterlibatan Gino dalam penggusuran termaktub pula. Tentu itu surat yang buruk bagi Gino. Sebab akan terus menghantuinya seumur hidup. Apapun itu, Mbah Asri telah mengakhiri hidupnya di taman kenangan ketika malam pergantian tahun. Sesaat gerimis turun. Berubah menjadi hujan yang rimbun.

115


Jejak Karya

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Angkringan, Jurnal Nasional, 22 Mei 2011 Marsha, antologi cerpen Taman Budaya Jawa Tengah ‘Paras Perempuan Cadas’ Masjid Abah, Republika, 6 Maret 2011 Sunyi, antologi cerpen Tongkrongan Sastra Senjakala ‘Sunyi’ Hikayat Mbah Seno, Jurnal Nasional, 14 Agustus 2011 Kereta Kelas Tiga, buletinmuara.blogspot.com Di Beranda, antologi cerpen Komunitas Ketik ‘Disleksia’ Dewi Bulan, kompasiana.com Tamu, Joglosemar, 3 Oktober 2010 Mbak Nik, annida-online.com, Mei 2011 Langgar Mukadar, Buletin Sastra Teh Hangat edisi ‘CeritaCerita Pengantar Tidur’ Makam, Solopos, 17 Oktober 2010 Teluh, Joglosemar, 16 Mei 2010 Penjaga Malam, Majalah Kalpadruma FSSR UNS, Solo Malam Tahun Baru, Buletin Sastra Teh Hangat edisi ‘Kami yang Terluka’

116


Tentang Penulis

A. Zakky Zulhazmi lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Menempuh pendidikan di TK Aisiyah Banyudono Ponorogo, SD Muhammadiyah Ponorogo, MTs Al Mukmin Solo dan MAPK Solo. Saat ini kuliah di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Jakarta dan Manajemen Informatika, BSI Ciputat. Bergiat di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik. Karyanya telah dimuat di sejumlah antologi bersama serta di berbagai media massa lokal dan nasional, seperti Republika, Jurnal Nasional, Solopos, Surabaya Post, Harian Joglosemar. Email: abrahamzakky@gmail.com Blog: abrahamzakky.blogspot.com Twitter: @zakkyzulhazmi

117


Tentang Penerbit

Penerbit Buku Senjakala adalah lini dari Tongkrongan Sastra Senjakala yang bergerak di bidang penerbitan. Adapun Tongkrongan Sastra Senjakala merupakan komunitas sastra yang berkedudukan di UIN Jakarta. Berdiri pada 3 Desember 2008, komunitas ini menggelar diskusi sastra mingguan dan rutin menerbitkan Buletin Sastra Teh Hangat tiap bulan. Di samping itu juga telah menerbitkan antologi cerpen bertajuk ‘Sunyi’. FB: tehangat@ymail.com

118



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.