Kitab Kenangan
Dedik Priyanto
1
Kitab Kenangan Dedik Priyanto Penerbit Buku Senjakala Cetakan I, September 2013 Penyunting Cover Lay Out
: A. Zakky Zulhazmi : Pablo Picasso (The Old Guitarist, 1903) : JatiDesain
2
Demak, Suatu Ketika Aku menyebutnya menziarahi bayangan. Menelusuri jejak-jejak udara yang kau hirup, menyimak deru kendaraan yang bakal mengantarmu dan menyisir tanah yang nanti akan kau pijak. Aku datang ke kota ini. Tepat ketika kau memberikan kabar di linimasa itu, sebuah kabar yang sebetulnya bukan untukku, tapi untuk semua orang yang kau kenal--tentu saja selain aku. Lalu aku pun sengaja mengambil bus terakhir mudik dari Jakarta, bukan karena tidak ada kendaraan lagi untuk mudik. Melainkan aku ingin merasakan keberadaanmu yang begitu dekat, barangkali. Ya, barangkali aku akan mendengar suaramu dari angin.
Aku tidak tahu di daerah mana kota ini kau bakal menjejakkan kaki. Aku pun tidak pernah mengerti, mengapa aku harus datang ke kota ini. Satu hal yang aku sadari, aku pergi ke kota ini karena dorongan hati. Hatiku berkata bahwa aku akan dekat dengan bayangmu di kota ini, dan di hari ini. Kepulangan semalam menggunakan bus adalah perjalanan yang istimewa bagiku. Tidak pernah kuprediksi jalurnya, tapi aku melewati kotamu yang lain; Bandung. Dan seingatku, ada tiga kota dalam hidupmu--begitulah yang sering kau ceritakan dulu (Ah, kenapa aku selalu mengingatmu). Tiga kota itu adalah Yogyakarta, Bandung dan Demak. Kota pertama merupakan kawah pergulatan hidupmu dengan realitas. Tempat menimba studi dan membangun jaringan, serta lembah bagimu untuk beraktualisasi menjadi dirimu yang sekarang ini--dan aku selalu suka itu.
Di kota ini pula, 56 hari yang lalu kita terakhir bertemu pada sebuah sore yang biasa--dan aku tidak bisa berkisah tentang ini lebih banyak lagi. Lalu kota kedua adalah Bandung. Entah kenapa, kota ini mengingatkanku
3
pada saling kirim antar pesan singkat yang kita lakukan tahun lalu.
Kau balik dari Jakarta ke Bandung selepas sebuah acara yang kau helat bersama kawan-kawanmu itu, sebuah acara untuk mengenang seorang tokoh yang kau kagumi itu. Juga sebuah pekerjaan yang membuatmu berkata bahwa kau tersesat di hutan belantara yang penuh dengan beton dan gedung-gedung tinggi. Itulah Jakarta, kota tempat kita pertama kali berjumpa.
Perjalanan menggunakan bus Cipaganti semalam ternyata tidak aku duga. Aku melewati kotamu dan berbuka puasa di Bandung.
Di kota tempat keluargamu tinggal ini aku merasakan dirimu begitu dekat, atau barangkali hatiku yang merasa tenang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata; gunung, kabut, jembatan kereta api di balik bukit dan senja yang malu-malu di antara ranting pinus. Aku duduk di paling belakang di bus itu. Kau mungkin bisa mengimajikan, aku duduk di pojok paling belakang bagian kanan dengan posisi duduk paling tinggi dari yang lain. Aih... Aku tidak bisa melukiskan bagaimana keindahan melewati kotamu. Apakah kau merasakan hal yang serupa jika lewat di Jalanan ini? Ya, jika kau ke Jatinangor atau Sumedang, maka sebelumnya kau akan melewati dataran indah ini. Seorang kawan di perjalananku ini sampai terkaget, ia belum pernah melihat ini sebelumnya. Kami, para pejalan ini, mengambil arah Bandung-Cirebon untuk menghindari Cikampek yang begitu riuh dan sangat macet, tentu saja. Bagiku, sungguh menggembirakan bisa datang dan walau sebentar menghirup udara di kotamu yang lain.
Nah, kota ketiga adalah kota ini Demak, yang konon merupakan rumah bagimu. Rumah tempat kau tumbuh dan menghabiskan masa yang disebut waktu paling indah; SMA.
Aku sengaja mengambil tiket dengan kota ini sebagai tujuannya. Aku ingin tiba di sini pada hari Senin, dan akhirnya aku tiba pagi hari tadi, pada kisar 06.35.
4
Aku memang menginap di salah satu kawanku. Kau pasti tahu, kawankawanku begitu banyak dan silaturahmi adalah salah satu cara yang diajarkan agama kita.
Apa yang pertama kali terbersit di otakku kala tiba di kota berjulukan 'Kota Wali' ini?
Ah, kau pasti sudah bisa menebaknya dengan tempo yang secepat-cepatnya seperti seorang pedagang yang bisa menebak harga secara tepat di pasaran. Sebab seperti katamu, aku memang penata kenangan yang baik. Sebenarnya yang aku harapkan begitu sederhana. Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan, menghirup udara yang sama, memakan nasi di kota yang sama dan merasakan senja yang sama. Kota ini memberikan harapan itu. Walaupun aku tahu, aku tidak akan pernah bertemu denganmu secara nyata di kota ini. Tapi bagiku, melihat bayangmu di kota ini melalui imajinasiku juga itu sudah cukup. Cukup.
Di kota ini, rencananya aku akan ziarah ke makam Sunan Kalijaga dan Arya Penangsang. Seingatku, aku kesini dua tahun lalu. Akankah kita bertemu secara tidak sengaja di sini? Ah, sudahlah, kebetulan seperti itu hanya ada di film dan cerita belaka. Hmm... Di kota ini, aku mungkin bisa mencari bayangmu, mungkin merasakan apa yang kau rasakan dan menyimak senja seperti halnya kau menyimaknya. Begitu. 7 Agustus 2013
5
Untuk Kamu, Terima Kasih Kepada T Malam ini, tujuh hari yang lalu, aku masih duduk di dalam kereta; berada di samping jendela dan menyimak lintasan pohon-pohon buram di sampingku yang mungkin berbisik atau sekadar melihatku yang terus melaju bersama kereta malam itu. Bagiku, kereta dan perjalanan adalah peristiwa memanggil kenangan. Bisa jadi kenangan itu merupakan partitur retak yang tidak sanggup aku abadikan kala bertandang pertama kali, dan memang harus ada penanda kisah yang bisa jadi, adalah pergumulan yang tak tuntas atas sebuah perjalanan. Tapi untuk itu, aku tidak ingin menjadi manusia yang sama, yang duduk di tepi jendela kereta Yogyakarta-Jakarta 97 hari yang lalu. Mungkin ini terdengar begitu memuakkan, barangkali ini terlihat terlalu bodoh atau bisa jadi semacam linglung yang tak sanggup aku sadari, kala itu. Sebuah peristiwa guncang yang membuat otak ini tidak bisa berpikir dan terus bergemuruh sedemikian rupa.
Percayalah, tidak air mata yang jatuh kala itu—mungkin aku sendiri tidak percaya dengan perkataanku ini.
Aku masih ingat momen magis kala berjumpa pertama kali. Lalu ada sapa, rengek, mesra, sebal, geram, kesal dan akhirnya aku mengerti, bakal ada ada air mata di puncaknya.
Sebermula dari segalanya adalah canda, begitulah kira-kira. Bukan air mata atau sekadar rengek bahagia seperti halnya Tereza yang mengajak Tomas untuk pergi ke desa dan menghindari kota Praha yang muram dalam narasi Milan Kundera, the Unbereable lightness of Being, penulis favoritku. Dan akhirnya, desa adalah puncak canda dari akhir genggaman tangan dari Tereza untuk Tomas. Begitu halnya kita, barangkali ini adalah akhir dari
6
segalanya; sebuah perpisahan yang memang sudah seharusnya.
Tapi bagiku, mengenalmu bukanlah sebuah kesalahan yang harus disesali.
Tidak juga harus diratapi sebab kisah yang dibangun atas dasar saling ketidaktahuan ini tidak berakhir sebagaimana rencana—dan memang tidak pernah terencana. Di ingatanku, ada sebuah sebuah kota. Kota yang penuh dengan dengan canda. Kau mengajakku untuk berkeliling dan menikmati siang di Tamansari, menikmati Brongkos Koyor di selatan alun-alun kidul, taman kota dan segala hal tentangnya, Jogja. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana saat itu, pertama kali, kita saling menggenggam jemari sepanjang Malioboro, juga tawamu yang renyah kala minta dibangunkan pagi hari.
Ya, kamu tahu itu. Aku begitu kesulitan untuk bangun pagi dan itu tidak hanya sekali. Itu pula yang sering membuatmu marah, apalagi aku punya kebiasaan yang buruk tentang ponsel, dan barangkali pikiran-pikiran yang aneh. Sudahlah, kamu tahu itu, aku memang orang yang sedikit konyol dan agak sentimentil.
Kadangkala memang aku rindu saat-saat seperti itu; kala pesan-pesan singkat yang entah, dan pelbagai masalah yang kerap kau ceritakan padaku itu seperti kereta panjang tanpa tujuan, dan jarak yang senantiasa membuatku kangen padamu. Aku menyadari itu, kala jarak dan percakapan kita hampir purna karena beberapa hal yang aku sendiri pun tahu kenapa kita begitu berjarak. Bukan hanya persoalan ribuan kilometer yang tertempuh, tapi lebih karena jarak hati kita yang entah. Toh, seperti katamu, kotamu dan kotaku tidak terlalu jauh, bukan?
Memang, jika kita kisah kita ini diteruskan, dengan segala risiko, aku tidak yakin kita akan saling bahagia. Bisa jadi, kita akan saling menyakiti dengan segala perbedaan ini, dan aku sudah cukup tahu dengan kisah dari sesepuh, serta masa laluku kala masih kanak.
7
Satu hal yang membuatku masih terngiang adalah tangismu.
Ya, kamu tahu itu, aku paling tidak kuasa melihat orang menangis, apalagi perempuan. Aku jadi teringat ibuku, dan aku tidak ingin kamu menangis, aku tidak ingin melihat orang yang aku cintai bersedih dan menitikkan air mata.
Maka tatkala aku mendengar cerita dari orang-orang tentang keadaanmu yang begitu labil, lunglai dan tidak berdaya. Bahkan aku mendengar cerita yang lebih buruk dari itu, aku tidak mau. Aku tidak mau membuatmu terus terpenjara dengan pelbagai ketakutan itu. Sudah seharusnya kita berjalan sendiri, dan kamu harus melanjutkan hidupmu.
*** Biasanya pagi di hari ini adalah ritual memanggil inspirasi, dengan secangkir kopi dan koran Minggu merupakan penanda bahwa hidup ini tidak akan pernah purna. Tapi untuk kali ini, aku barangkali akan benarbenar merindukan masa-masa di kotamu.
Penanda selalu bercerita tentang segala yang acapkali tidak kita mengerti.
Seperti halnya beberapa tanda yang, sebenarnya aku sudah tahu; perpisahan akan benar-benar terjadi sebentar lagi. Barangkali inilah yang disebut sasmita sebagaimana cinta suci Rahwana kepada segala keturunan Dewi Sri. Ia sudah tahu ia akan terluka, dan ia terus menjalaninya. Dan waktu itu aku berkata dalam hati, aku tidak ingin terluka, aku tidak ingin melihatmu kecewa dan sakit hati.
Wahai perempuan yang tak pernah bisa aku definisikan, dan benar-benar tidak pernah bisa aku mengartikan. Aku adalah kebalikanmu, lelaki yang suka memahat kenangan, yang akan terus mendirikan bangunan-bangunan kenangan yang entah kapan aku--dan mungkin kau--bakal singgahi kelak. Suatu ketika, harusnya aku sudah berpulang ke kotaku dan berkumpul dengan keluarga di hari raya, tapi entah kenapa, di hari itu aku memutuskan untuk menziarahi segala jejakmu, merasakan udara yang kau
8
hirup, menikmati langit yang sama denganmu. Ah, aku bisa gila jika terus begini.
Tapi, seperti kata para filsuf, bukan cinta namanya jika tidak gila.
Ya, aku memang telah memilih menjadi gila, dan itu adalah sebuah pilihan. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sendiri selepas tiga purnama yang begitu menguras pikiran. Jatuh cinta itu sakit. Dan aku tidak mau kamu sakit. Cukuplah aku yang menyimpan segala ini. ***
Kopi pekat adalah bagian dari hidupku. Sebab yang aku pahami, ketika aku mencecap kopi manis, aku bakal membohongi diriku sendiri. Begitu banyak yang manis di luar sana, dan cukup kopi sebagai penanda bahwa hidup tidak hanya persoalan manis, ada getir dan luka. Kamu adalah pencinta kopi, walaupun kamu seringkali mengeluh soal lambungmu yang kerap tidak kuat. Tapi godaan kopi acapakali membuatmu lupa.
Menata kenangan di Jogjakarta, kotamu, adalah kisah yang mungkin akan selalu aku kenang. Dan aku begitu menyukai surga kopi di sini; berbincang dengan rekan, menimbang ragam rasa dan menelisik pelbagai kedai. Seingatku, kamu pernah membuatku secangkir kopi. Ya, kopi itu kopi Bali di sanggar kebudayaan Sorowijan, tempat LkiS. Kamu membuatkan kopi yang begitu pahit.
Gurumu, dan juga guruku juga, Mas Salim, bahkan bertanya, kenapa kamu membuatkanku kopi yang pahit? Kamu menjawab ringan, aku, katamu, suka yang begitu. Dan kamu tersenyum simpul. Manis. Seketika itu pula aku yakin, kisah tidak akan lama, seperti hangatnya kopi itu. ***
9
Adakah sebuah peristiwa sederhana yang akan selalu kau kenang dan bakal begitu susah dihilangkan, bahkan akan membuatmu kian jatuh cinta pada orang yang kau kagumi? Seperti halnya aku, yang sudah berusaha untuk melupakan itu. Ya, ini adalah kisah ketika aku merasa dinaungi cinta yang begitu besar, dan mungkin bagimu adalah peristiwa yang begitu sepele dan tidak penting.
Kamu tentu masih ingat malam dikala aku pergi ke kotamu untuk kepentingan majalah ambisiusku ini. Dan pada malam hari sebelum balik ke Jakarta, aku pergi ke tempatmu bersama sahabat-sahabatmu. Tentunya, kamu masih ingat hari itu, semoga. Lebih dari itu, aku masih ingat mimik mukamu kala mendengus.�Fyuh..�. Dan aku bilang,�Kamu cantik malam ini.� Kamu hanya tersenyum dan mengerlingkan mata.
Aku masih ingat, aku memakai baju hitam dan rambut yang mulai memanjang. Rambutku memang agak kotor, dan terkadang ketombe jatuh, dengan tangan kecilmu itu, kau membersihkan pundakku yang penuh noda putih itu. Aku menoleh ke wajahmu sebentar, dan kamu masih membersihkannya dengan jemarimu.
Mata itu, ketulusan itu, tangan itu dan kepedulian itu. Seketika itu juga aku merasa jatuh cinta padamu lebih dalam, begitu dalam. Seketika itu pula aku takut, begitu takut, kita akan berpisah dengan menahan sengsara. Dan maaf, aku baru kali ini aku berani menceritakan padamu. ***
Semuanya telah menjadi begitu purna, di senja itu.
Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus
10
terterima jika rasa tak bertaut, apalagi jika rasa itu tak sanggup dijalani lagi. Lalu kali ini, kisah ini, adalah jejak-jejak yang tak ingin kuperam terus sebagai sebuah luka yang terus menganga. Tanpa ada obat, tanpa ada prawicara.
Kita telah memilih untuk berjalan sendiri sebab jika terus berlanjut, kita akan saling terus menyakiti. Kamu tahu kisah Zainudin dan Hayati dalamn Tenggelamnya Van der Wijk itu, semoga aku tidak begitu. ***
Harusnya aku tidak boleh mengingat-mengingat pelbagai kejadian ini. Tapi beginilah kenangan itu bekerja tanpa diminta, seperti pisau karatan yang ditusukkan ke dada kita dengan perlahan. Ah, sudahlah... Terima kasih, ya terima kasih, telah menjadi perempuan yang terus menginspirasi.
Sebab kamu adalah perempuan pertama yang membuatku terus bergetar sepanjang. “Kita sadar, kita datang dengan pikiran yang sama.”
“Kita memang harus berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak mau menyakitimu terus menerus, dan aku tidak mau sakit lagi.” “Kita bertemu dengan tawa dan canda, dan kita harus berakhir dengan bahagia. Toh, begitulah hidup bekerja.” “Iya. Kita harus tetap hidup.”
Langit telah gelap di rumah kreatif ini, dan aku harus terus berlajan menapaki sisa umurku di hidupku ini.
Untuk kamu, segera temukanlah hidupmu dan jangan ragu lagi. Terima kasih telah menjadi seorang yang mengembalikan cinta dalam hidupku. Jangan pernah ragukan kata hatimu. Terima kasih, dan sekali lagi, kamu harus menemukan hidupmu.
11
I dont love this memories, I fall in love with it Bintaro, 10 September 2013
12
Selepas Sore Itu (Bag 1) Ini berhari-hari setelah itu semua. Selepas pelbagai kepurukan yang dialami, sehabis tetesan air mata yang entah, seusai lintasan yang buram akan kenangan-kenangan.
Lalu lihatlah pagi ini; bangun dengan perasaan tenang. Aku di dalam kamar memerhatikan pendar cahaya yang masuk perlahan lewat jendela kontrakan, aku mendengar bisikan cahaya itu.�Hey, bangun!� Kenangan memang tajam seperti pisau karatan yang coba ditusukkan dengan perlahan. Berkali-kali aku manahan sakit seusai mempersiapkan segala kepedihan dari sejak pertemuan awal, tapi berkali-kali itu pula rasa pedih menjangkiti. Jatuh cinta itu sakit, kawan, nikmatilah, tutur seorang kawan. Tapi perhatikan sekarang ini, aku bangun dengan bugar dan minum air putih yang banyak. Menyalakan komputer dan mulai mengetik segala tentang kesenangan, dan hanya sedikit tentang kesedihan.
Tak lama kemudian, aku keluar kamar dan mulai menyapa tiap kawan yang ditemui; mengajaknya berbincang, menawarkan rokok dan sedikit berbincang tentang keadaan sekitar. Pekerjaan. Ya, pekerjaan. Jangan bertanya tentang ini, semua berjalan. Tapi memang segalanya sudah berubah dan seperti yang sudah-sudah, saya memilih untuk menjadi ronin yang mengembara, yang tak mau ambil pusing perkara rutinitas. Toh, membaca, berbincang dengan kawan dan menulis adalah sebuah pekerjaan. Mereka bilang pekerjaan adalah tempat kita meluapkan ekspresi, mengeluarkan segala daya guna dan menemukan diri kita. Sungguh, aku tidak pernah berpikir demikian. Makanya, memilih tidak bekerja adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang tidak sama dengan pandangan khalayak umum. Sepakbola. Ya, sepakbola. Aku tetap mencintainya hingga waktu tak berjangga. Mungkin di kehidupan terdahulu aku adalah seorang pemain sepakbola atau mungkin pelatih, atau bahkan aku orang Venesia yang lari
13
ke Milan untuk bergabung dengna Internazionale.
Tak perlu murung disesali, tak usah pedih diratapi. Cukup minum air putih dan temukan bahwa air putih berwarna bening, bahwa pedih mengantarkan kematangan. Bening adalah kesadaran, dan kesadaran adalah hasil kematangan.
Kali lain aku berjalan ke pintu, melihat anak-anak kecil di komplek ini bermain. Musim liburan ternyata, dan aku baru tahu. Ahai, kemana saja kau selama ini? Lihatlah, langit saja menertawakanmu. Lalu apa lagi?
Mungkin tidak ada, atau aku salah, mungkin ada sesuatu yang aku pikirkan. Ya aku ingat. Mmm.. aku kangen kamu saat ini. Jakarta, 1 Juli 2013
14
... beberapa yang tercatat di ponsel sederhana Tidak ada maksud apa-apa, selain mendokumentasikan hal-hal sederhana di ponsel sederhana, tempat nomer simpati saya berkediaman. Saya takut ponsel saya hilang lagi beserta pesan-pesan sederhana itu, dan digital adalah dunia yang mampu menyimpan dengan sebaik-baik simpanan.
Baru baca blogmu seperti moment di *** hari menyimpan sebuah kenangan di ruang hatimu? ... senyum2 aja ngebacanya 1-Oct-2012 12:35:30 Kenapa harus marah?:/ Kamu merasa detik-detik itu harus didokumentasikan, apa yang kamu dapat dihari itu? Berbeda dg tulisan2mu yang lainnya. 1-Oct-2012 13:33:53
Tp hidup bukan hanya sekadar harapan. Kalau hidup selalu bergantung dg harapan, hanya kepasrahan yang ada. 1-Oct-2012 14:00:49
Ngapain natap laptop? G sakit po emangnya? Apa salah laptop sampe kamu tatap2in? Sdg menulis sebuah kisahkah? Kamu hidup didunia mana g tahu film one day? 2-Oct-2012 22:40:06 Dan ktdaksadaran itu mengalir bgtu saja. Sdh slese uploadny? pngen baca nih. 3-Oct-2012 21:44:36
15
Enggak, ngambil komunikasi massa. Klo kmu mau lu2s, bs jd qt lu2sny bareng. hahaha. Btw, knp e tmanmu pd mau knalan ma q? 6-Oct-2012 13:46:33
Q suka embun pagi.mengingatkanq bhw malam yg pnjang akan terbitlah harapan.dan embunlah yg mnjd btas diantaranya. btw, tlg bngunin jam 4 ya. kudu bngun pgi nih. 9-Oct-2012 23:12:40 Mash merayap dantara hiruk pikuk Jakarta? 11-Oct-2012 20:27:39 Dan q tdk akan memaksamu brkata-kata... 16-Oct-2012 00:11:52
Kmu udah bli tiketnya? ko dimajukan sih? :-( 26-Nov-2012 15:27:23
Beb, tlg tnyakin alamat emailny abah (alawi)& hafidz dunk... q g punya nomor mereka nih.. 1-Jan-2013 13:18:39 Beib... Barusan q kirim email. Tlong di check yah... 10-Jan-2013 13:18:39 Sayang... lg ngapain? 14-Jan-2013 21:10:24
Sayang.. kamu gmn kbarny?
16
15-Jan-2013 15:11:15
Just wanna say. .. hi.. 18-Jan-2013 22:11:07
Hola honey... Sibuk ngapain hari ini? 23-Jan-2013 19:56:39
Ok.. slamat tdur sayang.mimpiin q yah.. 23-Jan-2013 22:12:22
Hola, cuma ngabarin udah nyampe bandung. Tp jgn ditelpon dulu yah.. BBku lowbat 25-Jan-2013 16:52:21
hahaha... ada kbar apa di markas bolamania? Eh skrg kmu rajin ngeblog yah...udah nnton les miserable? 31-Jan-2013 20:53:14 Terima kasih sudah menyanyangiku. Itu adlh hal yang sangat berarti bagiku :) 26-Maret-2013 08:02:12 Alhamdulilah sudah selesai rapatnya... kamu lagi ngapain sayang? 2-April-2013 22:26:19
Makasih sayang... Pacarku emang pengertian banget. Berarti kamu g tidur yah malam ini? Nggarap apakah? Ntar nonton bola po? 8-April -2013 23:39:19
17
Berarti kalau q puk-pukin, yakin kamu bisa tidur? 8-April -2013 23:45:29
Preketet... Agenda ke depan kan ngobrolin road map masing2... Belum masuk ke tingkatan aksi lho :) 8-April -2013 23:51:01
lho bukannya situ g ikut forum yah pas FGD. Kan g jd disepakati. Bgmna bs bicara aksi kalau roadmap saja blm terselesaikan? Rekomendasinya jelas harus ke *** 8-April -2013 23:58:50
Sayang, q tolong dibangunin jam 5 yah.. Q harus ngerjain tugas kuliah. Skrg udah mendingan kondisik. Td tidur bentar, bangun udah basah kuyup. 15-April -2013 21:44:09 Oke .. Sayang. Beneran yah jam 5 dibangunin. Penting soalnya. 21-April -2013 21:54:32
Bangun satu jam lalu, baru sadar, q basah kuyup krn keringatan. Terpaksa ganti baju lg. Hehehe. 17-April -2013 03:53:29 Halo sayang... Gmn kabarmu? 26-April -2013 18:20:58
Halo sayangku, hari ini q kangen banget. Membayangkan kamu bisa ke ***** secepatnya. 28-April -2013 18:10:11
18
Need a Hugh ....... 31-May -2013 17:46:19
Pengen take away sementara. Ketinggian kayaknya ekspektasiku. Hehehe. lg ngapain? 31-May -2013 19:09:38 Pagi sayang.... Lg ngapain? 1-Juni -2013 12:12:58
Ngurusin *** yah? *** toh? Hehehe ... Kaapan ke ***? Q pengen ngobrol sama kamu nih... 31-May -2013 15:17:38 Selamat yah.. ***** Pacarku emang keren dweh... 3-Juni-2013 10:51:147
Begitulah, dan beberapa memang saya **** supaya tidak ada hal yang menyinggung, khususnya bagi dan saya pribadi. Tidak ada kalimat setitik pun yang saya ganti, cuma beberapa hal yang tidak sanggup saya terakan kepada dunia digital ini. Dan, semoga bahagia.
19
Selepas Tujuh Purnama Itu ~ Kepada T I Mendadak semuanya begitu sendu. Caramu berbicara yang kian lirih, senarai pesan singkat yang terus memberi jawab, gelisah yang saling berbalas, serta pelbagai percakapan tak henti merupa alur hidup yang entah. Tak ada yang lebih menyehatkan daripada senyum gadis manis yang dengan tulus mengajakmu untuk sekadar berjalan membelah malam.
Aku masih ingat betul malam itu, kala kamu dengan genit menggamit tanganku dengan mesra membelah jalanan Malioboro. Hujan rintik menjadi saksi dan hangatnya tawamu adalah opium yang bagaimana aku bisa melupakannya hari itu—hingga kapan—aku tidak pernah bisa mengerti. Bukankah kenangan dapat tercipta hanya dengan satu sentuhan, satu genggaman tangan, satu malam!
Sebab kangen adalah rasa purba yang tidak pernah mampu terjawab dari dua manusia yang jatuh cinta, dan jarak menjelma guru yang tak henti mengajarkan arti rindu. Maka jatuh cinta kepadamu adalah nasib yang aku nikmati, walaupun sekali lagi, jarak menjelma guru yang senanatiasa terus mengajari mengajari arti merindu.
“Bahkan sampai hari ini, kita tidak pernah mengerti siapa kekasih kita masing-masing,� tuturmu tempo hari di sebuah malam.
Lalu ponsel itu berhenti berdenyit, ada tangis sederhana yang lamat-lamat aku dengar dan getar dada yang sukar aku pahami. Aku lupa, aku sungguh tidak mengingat kapan terakhir kali aku merasa begitu sedih dan begitu ingin pergi ke sebuah tempat yang tidak ada satupun mata yang menatapku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, hilang sejauh-jauhnya dan berteriak sekeras-kerasnya.
20
Jatuh cinta memang sakit, Puan! Tapi, mencintai adalah menyiapkan hati untuk bahagia dan kecewa sekaligus. Kita tidak pernah bisa memesannya satu hanya satu. Aku menikmatinya. Sungguh.
Salah satu peristiwa yang paling aku hindari dalam hidup adalah melihat seorang perempuan menitikkan air mata. Suara yang parau, denting yang berjalan dengan sesenggukan, dan mata sayu berlinang air adalah perkara yang sukar aku terima. Aku pernah melihatnya, dan aku tidak mau mengulangi hal yang serupa Aku acapkali melihat ibuku kala menangis dan aku benar-benar tidak sanggup untuk sekadar menatap matanya yang sendu itu. Kadang aku berpikir, betapa tidak adilnya manusia-manusia yang kerap menggangap tangisan adalah perbuatan cengeng, lemah dan goyah.
Bahkan hanya menisbahkan persoalan tangis kepada perempuan semata. Bukankah Che Guevara juga menangis kala mengirimkan surat dari kepada Fidel, isterinya yang tercinta itu, sebelum ditangkap oleh para bolivar yang berkhianat. Apakah sosok revolusioner itu cengeng? Aku begitu yakin, seorang yang kuat bukanlah mereka yang mampu mengangkat beban ratusan kilogram, melainkan pribadi yang sanggup memberikan ruang bagi hatinya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mengerti bahwa hidup hanyalah perbendaharaan pemahaman kepada manusia lainnya. Dan mendengarmu sesengguhkan menahan tangis merupakan episode sakit yang tak terperi, lebih sedih dibanding gagang badminton yang pernah tertancap di kaki kiriku kala beranjak dewasa. Seakan pusaran waktu berhenti dan malam terasa begitu panjang aku lalui.
“Terima kasih sudah menyayangiku. Itu adalah hal yang berarti bagiku,“ katamu di sebuah pesan singkat. II
Mendadak semuanya begitu sederhana. Caramu merajuk dengan sedikit dengusan yang kian renyah, silang cakap yang terus memudarkan gelisah, tawa kecil yang mengitarkan gembira di semesta dan pelbagai perbincangan yang menawarkan pemahaman akan rindu yang terus
21
memuncak. Tak ada kisah yang lebih sendu dari cinta yang menawarkan gelisah.
Aku masih ingat malam itu, sebuah malam ketika kita pertama kali saling menjejakkan pandang, menutupi apa yang tengah bergejolak lewat perbincangan-perbincangan biasa dan mendedahkan rasa yang entah tak bisa aku pahami—dan mungkin kamu juga.
Lalu semuanya menjadi begitu purna, di malam itu. Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut. Semesta akan menjadi kabar dari kesunyian bagi mereka yang percaya akan cinta.
Nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil. Dan cinta merupakan kesenduan masing-masing, kataku. Lima belas Oktober dua ribu dua belas adalah janji. Janji mengikat rasa yang telah mengudar di semesta. Jika toh bisa, aku ingin membungkus semesta ini menjadi sebuah kado kecil, lalu aku antar ke kantor pos dan membubuhkan alamat rumahmu di sana. Tak ada keinginan lain melebihi itu.
Hening kerap ternyata dari percakapan-percakapan biasa. Masa bergulir seperti janji yang tak pernah teringkari dan matahari tiap hari menyapa tanpa henti. Tanpa aku sadari, kisah itu sudah berjalan hampir tujuh bulan sejak sebuah malam yang—penuh—gelisah cinta itu.
Aku tidak pernah tahu kisah ini akan berjalan sampai mana, seperti halnya aku tidak pernah tahu kapan akan merasa lelah untuk terus mencintaimu— dan aku tidak pernah berpikir untuk berhenti. Namun aku yakin, akan datang suatu masa yang bakal menentukan kisah ini bertaut, memilih untuk berada di dermaga sembari memandang lautan yang luas atau berhenti di terminal dan membuat kita menaiki bus masingmasing ke tujuan yang entah. Belakangan ini, beban pekerjaan yang kian menumpuk membuatmu limbung dan jatuh sakit. Entah kenapa aku begitu bingung dan seakan tidak punya daya untuk melangkahkan kaki beberapa hari. Ingin rasanya ragaku
22
ke sana, membuatkan teh hangat untukmu, menyuapimu bubur dan menemanimu meminum obat.
Dunia terasa begitu suram. Apakah aku terlalu berlebihan? Ah sudahlah.
Aku menulis ini dengan iringan lagu Broery Marantika dan Dewi Yull yang berjudul ‘Sepanjang Jalan Kenangan’. Dan jalan kita memang penuh kenangan. Bukan saja untukku, tapi untuk senyum manismu dan semesta yang selalu menyimpan cerita tentang kita. Jakarta, 18 April 2013
23
#15an “Masa lalu selalu carut dan tidak menarik, masa depan bukan hal yang penting, dan malam yang indah tak ada duanya akan terlupakan. Lalu buat apa hidup?� (Anton Chekov) Saya selalu memperlakukan tanggal dalam tiap bulan tak ubahnya seperti aktivitas makan. Tak perlu diingat tanggal berapa terakhir kali Anda makan enak atau bergizi. Laiknya ritus yang harus dijalani, biarkan saja hari-hari itu berjalan sebagaimana adanya. Bahkan saya cenderung apatis menyaksikan orangorang memberikan tanda warna merah pada almanak yang bisu itu, selalu tak memberi jawaban pasti.
Barangkali karena saya terbiasa dengan catatan harian sejak dulu. Catatancatatan itu terkadang saya publikasikan kepada rekan sejawat, tapi kebanyakan saya buat untuk koleksi pribadi. Tentu saja di dalamya ada tanggal yang memberi jejak permenungan. Sesekali memang saya tengok. Namun tetap saja sukar untuk diingat. Toh, tanggal lahir saya sendiri sukar diingat dan masih membingungkan— tolong siapa yang curhat di sini.
Selebihnya, tak ada yang saya ingat secara pasti dan senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya. Mungkin juga karena hari-hari saya memang tidak terlalu menyenangkan, acapkali tak patut diceriterakan. Namun seperti halnya makan, walau enggan, saya harus menjalani sebagai permisalan yang terus berulang seperti halnya Orcar Wilde yang menera kisah patung emas dan burung cericit yang tersohor itu.
Jika tidak, maka dipastikan perut akan melilit dan sesekali berontak dengan teriakan-teriakan. Lalu akan ada yang berorasi memakai toa. Sejurus kemudian, Anda mulai berkompromi, bernegosiasi. Maka datanglah Tapi saya tidak mungkin untuk melupakan sebuah hari, tepat di pertengahan bulan, dan senantiasa datang tiap bulan. Tanggal itu selalu menyapa dengan riak kecil dari percakapan-percakapan
24
sederhana pernah saya lakukan beberapa bulan lalu. Juga perihal kenangan akan hidup yang kian rudin dan ringkih, diringi permenungan paling purba manusia; Cinta, katamu. Bolehkah saya memberi hastag #15an untuk hari yang senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya?
Kala menulis catatan ini, saya menyaksikan hujan turun dengan bergegas.
Ingatan saya terjebak pada kenangan lawas itu, kala rintik yang senantiasa turun dengan lamban, jalanan yang berasa begitu lebar, juga tempo yang tiba-tiba saja berhenti berdetak di kota itu. Kota yang selalu menyimpan rindunya tersendiri.
Peristiwa yang memburamkan nalarku. Seakan puisi tak lagi menjadi sunyi, musik tak mampu memberi arti, dan doa hanya sebagai mantra tak bertuan. Lalu mendung menjadi payung, malam berhenti berkelakar dan dingin tak lagi bersahabat. Itu terjadi karena saya merasakan malam yang penuh arti, bersama kamu, pada tangah bulan itu. Adakah yang lebih subtil dari tatapan sendu dari seseorang yang bayangnya pun tak pernah kau imajikan! Kemudian ia datang membawa bangku di sebuah taman dan membuat tergerak untuk duduk dan menikmati hari-hari di sana. Kira-kira tiga jam yang lalu saya menamatkan cerita klasik Rusia dari Anton Chekov (1860-1904) perihal Olga Ivanovna, Osip Stepanitch Dyamov dan pelukis tenar Ryabovsky. Kisah ketiga warga Moskow ini terjalin sebab ketidaksadaran ihwal cinta yang kian berpilin dan tidak saling mengetahui.
Dyamov tidak tahu bahwa Ryabovsky menaruh hati pada Olga. Lalu mereka bertemu kala Dyamov yang berprofesi dokter itu tercebur pada dunia pengetahuan yang sukar ditinggalkannya.
Seperti halnya ia cinta pada pengetahuan, sebesar itu juga hatinya tertambat Olga yang dinikahinya. Olga jatuh cinta pada kesederhanaan Dyamov. Sedang ia menaruh hati pada sisi seni yang dimiliki Ryabovsky.
25
Lambat laun, Olga menyadari, cinta tak ubahnya misteri yang butuh pemecahan. Kala ia berjalan bersama Ryabovsky, ada sendu di balik tawa dari segelas bir yang kerap mereka nikmati di depan tungku api yang menghangatkan kala dingin terus menerpa Rusia. Bahagia yang sederhana kadang tidak dicapai saat Olga memenuhi otak dengan pilihan rasional yang seakan nyata itu. Sedangkan ia merasakan, jauh di luar ada seseorang yang mendoakan diam-diam, merindukan dengan sederhana dan mencintai dengan sederhana pula. Itulah Dyamov kepada Olga. Cinta yang sederhana akan selalu nyata walaupun jarak, waktu dan cara pandang kerap berbeda. Kisah ini, membuat saya bermenung, dimanakah posisi saya yang memandang cinta bukan sekadar perasaan yang dimiliki dua manusia, ataukah membiarkannya terus bergegas dan menidurkan nyali, serta sesekali menjenguknya seperti anak kecil yang merindukan masa kanaknya.
Entahlah. Yang jelas, hari ini adalah tengah bulan, #15an. Dan saya tidak perlu melobangi almanak. Kamu pasti tahu, sudah ada yang memberikan tanda merah di hati saya. Saya ingat sajak ini sahabat dan abang saya Ahmad Makki ‘puisi jam tiga pagi’. “Cinta itu merah, katamu." “Lihatlah, apa yang ia tinggalkan di dada kita.”
Saya tidak pernah melupakan itu. Saya selalu percaya, cinta tidak selalu bermuara. Kadang kita masih senantiasa mengayuh sungai dan entah kapan akan tiba. Atau seperti Santiago yang ternyata mendapatkan emas di tanahnya sendiri, walau ia pergi sejauh-sejauhnya. Bukankah cinta adalah pencarian yang diceritakan Paul Coelho? Dan kerap tidak perlu kita cari dan datang dengan sendirinya. Ia tahu jalannya sendiri, bukan? Ciputat, 15 Jan '13
26
Memulung Kenangan di Lempuyangan Hari ini, sebulan yang lalu, saya masih duduk terdiam di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun yang menyisakan kenangan tentang sebuah kota, Jogja. Saya dan barangkali anda pernah mengalami hal demikian; kereta yang berderit sesaat sebelum berjalan, parau bel kereta yang merupa lengkingan sirine pemadam kebakaran, orang-orang bergegas mencari tempat singgah melanjutkan perjalanan, dan tentu saja lambaian tangan dari mereka-mereka yang ditinggal. Selalu ada perpisahan di stasiun.
Perpisahan selalu tidak enak. Sama tidak enaknya seperti lengkingan musik dari kamar sebelah yang kita tidak tahu kapan ia berhenti, dan kita tidak pula berani sekadar menegur. Ada geram yang tak mampu kita luapkan, ada getir yang kadang tak selesai dengan sebuah tangisan. Stasiun adalah persinggahan antara perpisahan pelbagai manusia, dan tentu saja selalu ada harapan dibaliknya. Harapan akan pertemuanpertemuan yang barangkali menjadi candu bagi mereka yang ingin bertemu kembali orang yang melambaikan tangan dari balik jendela kereta yang kau tumpangi. Mereka yang dikasihi, mereka yang selalu ingin ditemui. Lalu, apakah di stasiun kita bisa memulung kembali kenangan-kenangan yang berserak?
Saya tidak tahu jawaban anda, tapi saya tahu dengan pasti jawaban saya, Iya. Saya mengalami itu; kenangan-kenangan yang tiba-tiba merasuk dan menjejali alam bawah sadar saya. Bahkan tempat duduk saat kita kereta melaju juga begitu berpengaruh pada jalinan kenangan yang tiba-tiba saja merambat pada diri kita lazimnya parasit pada sebuah pohon yang sukar kita enyahkan. Butuh racun barangkali, atau golok untuk menebang parasit itu. Kenangan itu dingin, adanya. Saya tidak tahu dari apa ia terbuat, mungkin dari serpih paling sunyi yang dititahkan Tuhan kepada manusia. Lebih sepi
27
dari kebahagiaan, kegembiraan, dan bahkan kebohongan-kebohongan.
Saya tidak tahu, saya tidak pernah mengerti itu. Kenangan itu merayap begitu saja, kadang ia bisa memakan sendi-sendi rasionalitas yang terbangun sebagai sebuah bangunan yang sudah terbangun dengan utuh. Tak jarang, ia menjadi merupa tiang. Tiang yang begitu rapuh, pastinya.
Saya begitu sukar untuk menghalau kenangan-kenangan ini. Di stasiun, kenangan-kenangan begini tidak tersedia pada peron-peron yang menyediakan karcis untuk ditinggalkan. Juga tidak mungkin ada penitipan dan sewa yang menyediakan harga khusus bagi jasa penitipan kenangan. Kalau toh ada, dengan senang hati, saya akan menyewanya. Kita hidup dengan kenangan-kenangan yang kita tidak pernah tahu kapan datangnya. Kadangkala kenangan itu manis, namun kebanyakan berupa tebing yang curam dan kita berasa berdiri di sana, memandang dari tubir, di bawahnya penuh dengan kesedihan, kesunyian. Sebisa mungkin kita menutupnya, sebisa mungkin anda membuangnya. Barangkali inilah sifat kenangan; bisa ditutup, tidak bisa dihilangkan. Begitu tidak menyenangkan, bukan? Kadang kenangan ini membutuhkan pemantik laiknya revolusi pada ketidakdilan yang terus menggurita.
Saya menemukan pemantik itu pada seorang perempuan. Seseorang yang tidak pernah saya imajinasikan sebelumnya, yang tiba-tiba datang dan mengajak saya untuk melompati jurang kenangan-kenangan.
Perempuan yang menyeru kepada saya untuk memandang dengan berbeda kenangan yang begitu tampak dingin, begitu sunyi. Perempuan yang membuat dada saya bergetar tatkala mendengar namanya disebut, perempuan yang membuat saya tidak mempercayai keindahan lain selain senyumnya, di malam itu. Perempuan itu, perempuan yang tidak pernah bisa saya definisikan.
Di Lempuyangan ini, saya menemukan arsiran kenangan-kenangan yang berserak. Saya memulung kenangan lawas saya, ihwal perasaan cinta yang entah kapan saya lupa terakhir kali saya merasakannya. Saya menemukannya kembali, tidak sengaja, dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Semua terjadi begitu saja, dan saya tidak pernah bisa berpaling; menjumput satu per satu kenangan itu
28
lalu membingkainya rapat-rapat. Untuk siapa? Ah, saya enggan menjawabnya.
Apakah anda juga pernah mengalami ini? Hanya anda yang bisa menjawab. Ciputat 15 Nov '12
29
Semacam Surat yang Belum Selesai Lazimnya sebuah surat, maka saya akan menanyakan kabar terlebih dahulu. Tentu pertanyaan biasa, dan menimbulkan jawaban yang kerap cuma dua, dan itu-itu saja. Baik atau tidak baik, sehat maupun tidak sehat. Biasa saja. Seperti juga hidup, yang memang kadang terjadi secara biasa saja. Bagaimanakah kabarmu hari ini?
Ah, kamu pasti sedang penat, dengan muka yang mulai beringsut menuju lelah. Aktivitas menggila dan setumpuk pekerjaan tentu membuatmu sukar untuk sekadar mengeringkan keringat yang tiba-tiba bergemericik tanpa kau sadari. Seandainya saya di sana, pasti saya akan menyiapkan secangkir kopi. Kamu begitu menyukai kopi. Walau, katamu, tidak pernah bisa menandaskannya sampai tuntas. Iya, kamu begitu menikmati secangkir kopi. Perpaduan antara halusnya serbuk kopi dengan beberapa sendok gula itu barangkali mampu membuatmu sejenak melupakan lelah. Tahukah kamu bahwa menyeduhkan air hingga mendidih, meracik secangkir kopi dan menyajikannya untukmu adalah peristiwa paling heroik yang ingin saya lakukan!
Begitu halnya tatkala jemarimu memegang cangkir berwarna putih, mencium aroma kopi buatanku, lalu perlahan menyorongkan bibir mungil ke tubir cangkir dan meneguknya perlahan-lahan merupakan peristiwa paling relijius yang ingin segera saya tunaikan.
Entah kapan saya bisa memandangmu menghabiskan secangkir kopi, dan tiba-tiba saja di luar hujan. Kita memandangnya bersama dari balkon, atau dari jendela sebuah warung kopi, dan kamu memegang cangkir itu dengan kedua tangan. Biar badan hangat, katamu.
Saya rela tubuh tambun ini menjadi kurus seketika. Kering kerontang guna membayar momen yang entah kapan saya mengalaminya. Maukah kamu saya buatkan segelas kopi? Kamu pasti hanya tersenyum. Begitu manis, bayangku. Dan kotamu, Jogjakarta, adalah salah satu surga. Minimal surga bagi penikmat kopi seperti saya, dan kamu.
30
“Lah, kamu pingin pergi kemana?” tanyamu beberapa saat ketika saya menginjakkan kaki di sebuah rumah mungil di sekitaran Pogung. Kira-kira 150 meter dari MM UGM. “Kamu ‘kan lebih tahu tentang Jogja,” jawab saya sekenanya.
Mata saya tertumbuk dengan mata itu. Kamu hanya tersenyum. Saya kikuk malam itu. Toh kamu bisa tahu ‘kan kegugupan saya. Dan berpura-pura membetulkan letak kacamata adalah siasat paling kejam untuk membunuh dinginnya tubuh yang mulai menggigil ini. Sekadar pemantik keberanian yang begitu menggebu sejak dalam kereta menuju Jogja, dan tiba-tiba saja beringsut dan menguap seketika sesampainya di rumahmu. “Dimana?” tanyamu membuyarkan lamunan saya. “Yang ada kopi, yah?”
Ia diam sebentar. Saya pun menyebutkan beberapa referensi warkop yang biasa tempat ngobrol kawan-kawan aktivis di Jogja, semisal Blandongan, Mato Kopi dst. “Semesta café, bagaimana?”
Saya hanya mengiyakan. Jujur saya tidak tahu tempat-tempat di Jogja. Kamu tentu tahu bahwa saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Khususnya mengenai tempat-tempat yang baru, bahkan nama yang baru kukenal sekalipun. Sama halnya ketika saya lupa bahwa saya hanya pernah punya dua presiden semenjak saya pertama kali bisa membaca, Bung Karno dan Gus Dur. Selebihnya, entah kenapa saya tidak ingat nama mereka. Atau janganjangan saya memang tidak punya pemimpin negara selain mereka. Entahlah. Hey, ada mendung di kotaku sore ini.
Ya, Ciputat mendung dan barangkali akan segera hujan.
31
Seperti juga malam itu, tepat seminggu yang lalu, hujan menghampiri kita. Setelah perjalanan pendek dengan ragam guyonan, dan semacam kopi yang kamu pesan untuk kutandaskan. Sebuah kopi spesial yang menjadikanmu alasan untuk mengajak saya ke tempat ini, malam ini. Malam untuk ketiga kali kita bertatap muka secara langsung selepas dua kali tatap pandang dalam pertemuan yang ganjil. Dan hari itu cuma ada saya, dan kamu.
Di sebuah café menghadap ke utara itu, kamu memesan juga sepiring mie, yang katanya begitu enak, dan kamu menawarkan saya untuk menikmatinya. Saya menolak halus. Bukan karena saya tidak lapar saat itu. Perut saya memang keroncongan, bahkan seingat saya, terakhir kali saya makan adalah sarapan saat jam 11 siang di Ciputat. Hanya rokok dan kopi yang saban detik menemani saya, dan Alhafiz Kurniawan, kawan saya mengarungi kereta ke Jogja.
Tapi entah kenapa, memandangmu menandaskan makanan dan menyorongkannya ke mulut yang mungil itu membuat saya berdegup, dan tiba-tiba saja merasa nyaman. Kenyamanan ini yang membuat saya melupakan segalanya. Saya merasa kedinginan. Saya memakai sweater coklat. Kamu bertanya, kenapa saya memakai sweater padahal kamu tidak merasa kedinginan? Saya hanya tersenyum. Tiba-tiba.
“Hujan nih,” katamu mendongakkan kepala ke atas. “Iya, Ta.”
Rintik mulai jatuh, dan membuat kami harus berpindah tempat. Kamu mengajakku pindah ke atas. Tempat yang sebetulnya agak ramai. Dan beberapa teman yang kamu sempat bersalaman dengannya. Beberapa wartawan dan aktivis jogja, katamu. “Seperti yang kamu suka. Hujan malam hari,” tukasmu sembari menyunggingkan senyum.
32
“Iya, Ta.�
Saya diam sejenak.
Kita memandangi hujan berdua. Sesekali mata saya melirik ke arahmu. Kita pun membincang banyak hal, dan air yang terus berjatuhan, merupa stanza dalam petikan biola Idris Sardi. Dari hulu ke hilir, kita menyaksikan para penghuni cafĂŠ lain yang saling bersitatap, saling berbincang. Dan jarak antar kita yang kian mendekat, serta obrolan yang kian memikat.
Tiada petir yang bergemuruh pada hujan malam itu, kamu tahu itu, namun barangkali kamu tidak tahu bahwa ada gemuruh yang terus menggumpal di sini, di dada ini. Waktu pun terasa melambat. Sesekali saya melihat ponsel saya, dan sebuah pesan dari kawan twitter saya asal Jogja @wisnu_prasetya menghampiri; Semesta Jogja mendukung @DedikPriyanto menuntaskan kerinduannya, eaaa...
Apakah hujan ini bentuk dukungan dari semesta Jogja? Ah, kau kawan.. ****
Seperti juga malam. Kadang kenangan itu tampak begitu dingin. Dan kenangan memang harus terus diziarahi, kata Puthut EA, salah satu penulis favorit saya. Kita hidup dan tumbuh dengan kenangan-kenangan. Ia akan terus berpilin merupa bayang-bayang yang tiap hari mendatangi. Kadang kita dibuatnya bergelak tawa, dan tak jarang pula membuat kita muram. Membuat kita tampak begitu rudin, dan ringkih. Ataukah kenangan ini semacam residu yang harus kita buang, sementara hidup terus berjalan?
Ketika malam kian beringsut, dan hujan telah berhenti memuntahkan isinya. Di depan sebuah benteng di jalanan Malioboro, benteng Venderburg. Selepas perbincangan tentang sisik melik dunia gerakan, aktivisme, menulis dan film yang begitu kamu sukai. Dan tentu saja soal kedua
33
pertemuan tak terduga kita tempo lalu.
Percakapan yang tidak kami sadari menumbuhkan sesuatu yang begitu ganjil. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Absurd.
Dan kenangan tak jarang berbentuk absurd. Karena ia berada di ruang ketidaksadaran. Sebuah tempat yang menuntut kita kadang melupakannya, menutupnya, sedalam-dalamnya. “Saya pernah mengalami kenangan yang begitu buruk,” kataku,”dan barangkali kamu juga pernah mengalami peristiwa serupa. Kenangan yang membuatku tidak bisa sedikitpun untuk membukanya. Dan perihal cinta yang belum sampai pada kisah yang terdahulu, saya begitu takut untuk membuka ruang itu lagi. “ Kamu hanya diam. Tatapan matamu sendu, nanar.
“Saya kerap mencoba belajar untuk memahami itu semua. Saya pernah jatuh pada rasionalitas yang begitu tinggi perihal hubungan antar manusia. Begitu halnya dengan cinta. Tapi beberapa hari ini ada orang yang membuat rasionalitas saya tampak lunglai. Ia orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tidah pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sebuah pertemuan yang tidak kita duga. Tibatiba ia datang, dan menumpulkan nalar saya.” Malam itu begitu dingin. Karena hujan, katamu. Tapi saya merasa begitu menggigil. Saya lupa kapan terakhir merasakan gigil yang seperti ini. Dan saya yakin, ini bukan dingin karena hujan an sich. Ada gigil yang lain, gigil yang tidak pernah bisa terjelaskan.
“Jadi, bagaimana soal percakapan yang belum selesai itu?” tanyamu, parau. Lalu kamu mulai bercerita tentang lukamu, luka kita.
Sebuah kisah yang tiada mungkin bisa saya ceritakan. Sebuah luka yang menuntut orang sepertimu untuk mengindahkan semua. Sebuah rasa yang sudah kamu tutup, dan dikunci begitu rapat. Kita semua pernah mengalami luka, dan kita pernah sama-sama dikoyak-
34
koyak sepi, seperti kata Chairil. Sunyi, kataku.
Satu hal lagi yang saya pelajari tentang kenangan. Ia adalah sejenis luka, yang menuntut kita untuk tidak lagi mengingatnya. ***
Denting hampir mendekati pukul 12 malam. Jogja sudah mulai sepi. Jalanan pun hanya hanya beberapa pengendara saja yang lewat. Andai Jakarta dan Ciputat seperti ini, maka saya akan begitu betah tinggal di sana. Dan nahas sekali, saya harus tinggal di sana sampai waktu yang belum ditentukan, dan dalam tempo yang belum pernah saya pikirkan.
Saya tetap harus berterima kasih dengan kota itu. Karena di sana pula saya mulai belajar banyak tentang kehidupan. Dan di kota ini pula saya bertemu denganmu, Ta. Setelah sebelumnya bertemu kamu dalam dunia maya. Itupun hanya berupa kabar, tak ada rupa.
Biasanya dalam sebuah film yang romantis, seorang lelaki akan mengantarkan perempuan ke rumahnya. Lalu mereka akan saling bertukar pandang sebelum sang perempuan membuka pagar rumah, serta melambaikan tangan penanda perpisahan.
Namun malam itu sebaliknya, saya harus memintamu untuk mengantarkan ke kawanku @che_udin di sebuah daerah di Monjali, di sebuah klinik berbahaya tempat kumpulnya anak muda revolusioner dan berbahaya, klinik EA, markas mereka yang saya kenal di dunia maya. Iya, kamu tentu masih ingat bukan? Saya pernah berkata dengan agak filosofis tatkala kita melakukan perjalanan thawaf mengitari Vanderburg untuk melakukan perjalanan paling epic yang dilakukan manusia; perjalanan mencari toilet. Dan kita tidak menemukannya sepanjang jalan.
Saya curiga jangan-jangan ini hanya akal bulusmu untuk bisa berjalan bersama, menikmati sunyi malam hari, berdua. Entahlah, hanya kamu yang bisa menjawabnya. “Ta,� kataku saat kita berjalan beriringan.
35
“Iya,” katamu sembari mendongakkan kepala ke arahku.
“Ketika dua manusia bertemu dan ada jalinan intuisi yang begitu kuat antara mereka. Maka saya begitu yakin, pertemuan pertama hanya akan menimbulkan bayangan. Karena belum tentu mereka akan bertemu lagi.
Dan apabila mereka bertemu untuk kedua kalinya tanpa diduga. Yakinlah bahwa pertemuan kedua hanya akan menimbulkan kenangan. Andaikata jika mereka bertemu untuk ketiga kali, maka hanya akan menimbulkan rasa rindu.” “Lalu.”
Saya menghela napas.
“Dan intuisi saya berkata bahwa saya mengalami ketiganya. Dan saat ini saya rindu. rindu inilah yang akan menyatukan kita.” Kami pun berjalan. Malam bertambah malam. Gigil makin menjadi. Kita pun mulai bercanda sepanjang jalan.
Oh ya, Ta, surat ini kok menjadi begitu panjang. Saya tidak tahu kapan bisa mengakhirinya.
Begitu panjang. Seperti perjalanan kita malam itu. Kamu mengajakku untuk berkeliling Jogja, malam hari, sembari mengantarku ke markas Klinik EA, menemui kawanku asal Bojonegoro, @che_udin.
Kamu tahu saya memang pernah ke Jogja, dan belum pernah berjalan malam hari, denganmu. Maka kuambil motormu yang diparkirkan, dan kita berjalan. Kamu marah ketika saya mengendarai motor dengan begitu kencang. Pelan-pelan saja, kita nikmati malam ini, katamu sembari mencubit perut saya yang membuncit ini beberapa kali. Dan kita tertawa lepas bersama.
Kamu bilang cuma lima kilo meter saja, tempatnya, tapi saya curiga untuk kesekian kali, ini adalah akal bulusmu untuk tetap bersamaku. Karena lima kilo tentu begitu dekat dengan tingkat sepinya yang jalanan seperti ini. Dan tampaknya kamu berhasil menipuku, saat itu. Hebat.
36
Di sela-sela perjalanan itu, kamu bercakap tentang sesuatu yang membuat semuanya begitu berubah. Momen yang membuat saya melupakan kenangan-kenangan masa lalu. Saya tidak perlu menceritakan kepadamu, bukan? Tentu kamu tidak perlu menceritakannya padaku. Karena kita mengalami. Kita yang merasakan. “Jadi bagaimana kita,” tanya saya tepat di depan markas @che_udin dkk. Ia tersenyum.
“Kalau begitu, kita toss.”
Saya lemparkan tangan kananku, dan ia menyambutnya. Toss…
“Ih, kamu nggak romantis sekali sih,” katamu sembari tersenyum simpul. Manis.
Saya hanya ketawa. Dan kawanku, Udin, ikut tertawa. Entah ia mengerti atau tidak. Semoga saja tidak mengerti. Saya tidak bisa berpikir apa-apa waktu itu, dan ketika malam kami berbincang sembari sesekali diskusi agak serius dengan Udin, Wisnu, Azhar dkk perihal Marxisme Cina, buruh dll, momen ini tidak membuat nalar saya tergerak untuk larut.
Entah kenapa, padahal selain sepakbola, diskusi adalah ibadah suci yang tidak boleh terlewatkan. Jika terlewat, maka saya pastikan hari itu saya akan mengalami hari yang begitu suram. Sesuram hari sabtu-minggu tanpa tontonan bola. Menyedihkan. Apalagi mereka adalah kawan yang acap bertemu di dunia maya. Sebuah kesempatan langka, seharusnya. Maafkan, kawan! ***
Saya memang tidak romantis, katamu.
Oh ya, kabar saya baik-baik saja di Ciputat. Saya sampai lupa memberitahumu. Rutinitas kembali menyita, dan entah kenapa ada daya yang membuat saya kembali menemukan sisi puitik yang telah lama menghilang. Salah satunya adalah saya kembali menulis puisi, setelah sekian lama meninggalkannya. Kabar baik, tentunya.
37
Dan inilah suratku. Tidak romantis, barangkali. Semacam surat yang belum selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Ia membutuhkan kita untuk menyelesaikannya. Surat ini tidak akan pernah berhenti, Ta. Seperti juga pertemuan yang ketiga kita di tengah bulan itu, barangkali surat ini sebagai pewarta. Pewarta rindu. Pertemuan kita tidak akan berakhir, dan percakapan kita tidak akan pernah selesai. Kira-kira begitu. Ciputat, 21 Oktober 2012
38
Sebuah Pertemuan dan Percakapan yang Belum Selesai Ada tiga kota yang membuat saya begitu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana berlama-lama. Ketiga kota itu adalah Bojonegoro, Ciputat dan Venesia.
Kota pertama adalah tempat saya menimba serat-serat ilmu, bercengkerama dengan keluarga, serta menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup menghirup udara sejuk pedesaan.
Kota kedua merupakan lembah pengembaraan. Kota yang membuat nalar bawah sadar saya begitu yakin akan ragamnya dunia. Indonesia adalah bagian dari Ciputat. Maka yakinlah, Indonesia akan terus berdiri tegak jika Ciputat tidak ada yang merusak. Dan Venesia‌ Ah, saya hanya bisa membayangkan kota lewat imajinasi. Saya dan Venesia adalah perpaduan kepercayaan. Saya percaya bahwa nanti saya pasti akan pergi Venesia. Dan tentu kota air di pinggiran Italia itu begitu yakin suatu hari dikunjungi oleh orang Bojonegoro ini.
Kepercayaan ini tertancap begitu saya di benak dan hati saya sejak lama. Barangkali merupa iman dalam narasi agama-agama, atau datangnya ratu adil bagi masayarakat Jawa. Bukankah keyakinan kadang-kadang hadir tanpa membutuhkan sebab? Ada sebuah kota lagi yang membuat saya begitu tertarik. Sekadar menikmati secangkir kopi, menghisap batang-batang kretek, berdiskusi dengan kawan-kawan lama, atau sekadar jalan-jalan. Sudah beberapa kali saya ke sana. Dan beberapa kali itu pula saya merindukannya. Kota itu adalah Jogjakarta. Kota dengan jutaan wajah, jutaan peristiwa, dan jutaan cerita. Dan pada kota ini pula percakapan bermula, lagi.
“Berarti kamu tinggal di Jogja yah,� tanya saya kepada perempuan berbaju putih lengan panjang.
39
“Ya, Iyalah,” jawabnya singkat. Saya menganggukkan kepala.
“Masak iya tinggal di sini, “ tambahnya riang sembari menunjuk bawah.
Ia memakai kerudung pink pendek. Berdiri tidak jauh dari tempat saya. kira-kira 5 meter dari tempat saya berdiri. Sesekali ia bercakap dengan teman-temannya. Tangannya mengenggam sebuah ponsel smartphone. Tas kecilnya ia selampangkan dari kanan kiri, sama seperti saya meletakkan tas mungil saya. Beberapa kali pula ia meninggalkan samping kiri panggung. Tak lama kemudian kembali lagi. Entah apa yang dikerjakannya, tentunya sebagai panitia inti di acara, ia harus siap sedia. Dimanapun, kapanpun. Perempuan hebat, pikirku. ***
Panggung Ziarah Budaya #1000HrGD di TIM itu tampak begitu megah. Desain Morenk yang menghiasai latar panggung yang dianggit Mas Aan dkk itu tampak elegan. Ditambah dengan kalimat menggelitik yang menjadi tema acara; Menggerakkan Tradisi, Meneguhkan Indonesia. Tentu membuat acara yang demikian besar ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Penat dan lelah tentu menjadi bumbu yang menguatkan para anak-anak ideologis Gus Dur ini untuk menyajikan yang terbaik untuk mereka yang sudah merelakan akhir pekannya di acara ini. Tiba-tiba saya teringat guyonan khas Gus Dur. “Gitu aja kok repot.”
Gus Dur memang bikin repot. Walau beliau telah meninggalkan kita 1000 hari yang lalu, beliau beberapa hari ini telah merepotkan begitu banyak orang. Termasuk hari ini. Namun anehnya, yang direpotkan malah tampak begitu gembira. Begitu bahagia. Menakjubkan, Gus. “Duduk di sini aja,” ajaknya sembari menempatkan tubuhnya di bawah layar. Duduk di pelataran karpet berwarna merah.
Saya melihat pendar dalam matanya. Ada sesuatu yang memancar di balik senyum itu.
40
Saya mendongakkan kepala atas, sesekali meliriknya. Sudah begitu lama saya tidak melihat bintang di langit Jakarta. Saya curiga jangan-jangan para bintang memang sengaja walk out dari langit Jakarta. Atau barangkali mereka juga sedang duduk di antara penonton menyaksikan pagelaran budaya malam ini. Entahlah. Dari mata itu pula saya menemukan bintang. Di senyum itu pula saya menemukan cahaya. Dan saya memang salah. Ternyata hari ini adalah purnama. Pantas saja tidak ada bintang, pikirku.
Tapi apakah purnama ini membuat para bintang enggan menampakkan cahayanya?
Saya kira juga tidak. Atau kalau merujuk ke agak teori; asap dan polusi Jakarta yang membuat bintang tidak tampak pada tiap malam. Atau janganjangan pendar cahaya dan sinar yang memancar dari senyumn perempuan itu yang membuat bintang tiada. Barangkali saya hanya bercanda.
�Nonton dari sini lebih menarik deh,� ajak perempuan itu membuyarkan lamunan nakal saya.
Saya hanya tersenyum. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Barangkali dia lupa. Ukuran tubuh saya yang menjulang setinggi 175 cm dengan bobot hampir setengahnya tentu tidak mudah untuk duduk, dan secepat kilat harus berdiri kembali. Atau barangkali dia sengaja menyindir saya seperti pelawak saling sindir dan kemudian tertawa bersama-sama. Ia tampak begitu girang malam itu. Layar berukuran jumbo itu menyuguhkan tampilan yang utuh. Tentu ini lebih baik, terlebih bagi kami yang menonton dari samping panggung dan disibukkan dengan rundown acara. Sedikit hiburan sudah cukup. Kesuksesan acara tentu menjadi tujuan. Namun tersebarnya ide akan kebersamaan, persaudaraan, dan perdamaian adalah inti dari peringatan ini. Sebagai penanda, sebagai penolak lupa bahwa kita adalah satu; Indonesia. Salut, kawan-kawan Gusdurian. ***
41
Pertemuan yang biasa tentu akan menimbulkan percakapan yang biasa. Namun pertemuan yang ganjil, tatapan yang ganjil, dan tentu saja senyuman yang ganjil akan menimbulkan pemaknaan yang ganjil pula. Saya harap pertemuan itu menjadi pertemuan yang ganjil. Namun yang terjadi adalah pertemuan biasa. Tidak ada yang istimewa, belum ada yang bisa dibilang ganjil. Semua berjalan begitu saja. Selepas acara itu, kami melangkahkan kaki bersama ke sebuah café. Tentu bukan pertemuan yang ganjil, karena kita berjalan bersama-bersama. Bukan berdua. Dan tentu cerita-cerita yang berbeda. Pasti percakapanpercakapan itu akan saya tuliskan, nanti. Entah di sini, atau di catatancatatan pribadi. Tiap detik begitu berharga, bukan? Percakapan yang biasa, dengan guyonan yang tentu juga biasa. Di sebuah café, kami bercanda, bercakap dan bergurau bersama. Saya memandang beberapa lukisan yang terpajang. Mengedarkan pandang. “Old Gringo ada nggak mbak?” tanya saya pada pelayan café itu. Ia terkaget. Digelengkanlah kepala berambut hitam pekat itu.
“Pasti nggak ada,” tandas saya. Ia tambah kebingungan. Ia pun membolakbalik daftar menu yang ia bawa,lagi. ”itu novel Carlos Fuentes kok, pasti nggak ada,” canda saya sembari tertawa.
Perempuan yang mengenakan baju hitam dan putih itu tersenyum. Pasti pelayan itu begitu capek, pikir saya, dan semoga senyum itu sedikit membantu melepaskan ketegangannya malam ini.
Lalu kami pun saling memesan minuman dan makanan masing-masing. Ada pelbagai makanan dengan nama asing. Sumpah, andaikata saya disuruh memilih, tentu saya akan lebih menikmati secangkir kopi di pinggir jalan. Minimal namanya tidak sesusah daftar menu yang terpampang di sini. Saya pesan minuman hangat, dia dingin. Kami saling mencicipi pesanan masing.
42
“Hmm… Lebih cocok minumanku, lebih enak, ” selorohnya. Saya mengiyakan.
Gojlokan demi gojlokan saya terima, dan barangkali ia serupa. Kami duduk berlima. Tepat di samping pintu. Ia duduk menghadap ke utara. Di atasnya ada sebuah sketsa. Sketsa tentang Gambir tahun 20-an. Saya duduk begitu dekat dengannya.
Saya menghadap ke timur. Di depan saya perempuan berkacamata asal Pati, adiknya Savicali, saya lupa namanya. Di samping perempuan itu Mbak Rahma, dan seorang pria berjanggut dengan blangkon Jawa, itulah Jay, alumnus Filsafat UGM, entah berapa tahun yang lalu. “Kalian itu cocok. Nah, bagaimana? Kita doakan di 1000 hari Gus Dur ini,” tukas Jay bercanda setelah bosan terus menjodohkan-jodohkan kami. Barangkali inilah derita seorang yang tidak punya kekasih, rela dihina dan sebagai pesakitan kena gojlokan. Saya memalingkan muka kepadanya. Ia pun sama. Kami saling pandang. Saya pikir tidak ada sesuatu. Dan pasti tidak akan pernah sesuatu. Karena ini memang bercanda. Tapi, saya salah. Mungkin ada sesuatu. Barangkali. Saya diam. Mereka tertawa semakin renyah.
“Bagaimana, Ta, kapan kita? he… he… ” canda saya. Ia hanya tertawa terbahak-bahak.
Entah kenapa, nama panggilan dari perempuan itu mengingatkan saya pada sebuah film klasik yang hingga saat ini begitu membekas dalam benak saya. Khususnya tentang akhiran kata “ta” yang entah kenapa membuat saya teringat cara Nicholas Saputra memanggil Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). ”Ta… cinta,” kata Rangga.
“Ta… tata,” panggil saya, barangkali. ***
Empat hari telah berlalu, perbincangan demi perbincangan terus berjalan. Percakapan telah dimulai dari sebuah malam yang biasa. Tidak saling
43
ketemu, tidak saling bertatap muka. Hanya dunia maya yang membantu kami bertegur sapa.
Mulai dari persoalan tulisan yang bertajuk ‘saya, #1000HrGusDur, tentang ketidaksadaran saling menghubungi via pesan singkat, dan tentang ketidaktahuan saya akan sebuah film. Semua berlalu begitu saja. Tapi detik ini tidak boleh lewat, pikirku. “Entar malam aku balik ke Jogja. Mau ikut?” tulisnya dalam sebuah pesan pendek. Saya diam sebentar. Saya memutuskan jalan kaki ke warkop terdekat. Memesan kopi item . Mata saya nyalang menyaksikan mahasiswamahasiswa yang lewat. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini. Sedang otak saya memikirkan jawaban apa yang sekiranya pas untuk menjawabnya. Tiba-tiba tangan saya tergerak dengan sendirinya.
Barangkali inilah ketidaksadaran seperti yang ia cakap beberapa saat lalu. Dan acapkali kita memang harus percaya itu, pikirku. “Yuk. Andai saya bisa ikut. Kita bisa bercakap banyak ragam,” tulis saya. Waktu seakan berhenti. Saya kembali ke kontrakan.
Lamat-lamat saya mendengar dendang lagu Klasik Katon Bagaskara tentang Jogjakarta..”Pulang ke kotamu, ada setangkup haru, dalam rindu…” Ciputat hujan, saya hanya bisa memandangnya dari jendela kamar. Langit kian muram. Apakah saya rindu? Entahlah Ciputat-04-10
44
Saya, #1000HariGD dan Cerita-cerita Lainnya Sebuah tulisan biasanya dimulai dengan ungkapan yang menyentak, atau paling tidak menukil pernyataan seorang tokoh/filsuf untuk menyelematkan pendapatnya dari hantam caci. Ah, syukur-syukur tulisan itu tidak dimulai dengan sebuah kalimat tanya. Orang model begini biasanya hidupnya sengsara. Kenapa?
Alih-alih membuat pembaca menyunggingkan senyum, lalu secepat kilat menjawab pertanyaan yang diajukan. Terkadang pertanyaan-pertanyaan itu malah menjadi bom Nagasaki yang tanpa sengaja diletakkan begitu saja di dada dan pikiran pembaca. Beruntung jika pembaca itu orang yang kuat, tegar, dan tentu saja masih muda. Bayangkan jika pertanyaan yang merupa bom itu tidak sanggup ia pikirkan, lalu tiba-tiba pembaca itu memiliki penyakit jantung. Maka anda tinggal menunggu polisi menggerebek kediaman anda, memborgol dan menangkap atas tuduhan; pembunuhan berancana. Lalu anda akan merutuki diri sendiri, sedangkan kawan-kawan anda hanya bisa tertawa nyinyir karena kesialan anda. Bukan begitu, bukan? Tapi tunggu dulu. Saya tidak ingin menakuti-nakuti, saya hanya ingin bercerita tentang sebuah malam, bercakap tentang sebuah pertemuan, dan berkisah tentang sebuah percakapan. Percakapan yang dimulai dari sebuah ketidaksengajaan. Permulaan yang diawali dari sebuah malam, dan tentu saja berakhir dengan sebuah malam. Malam yang belum pekat, malam yang masih benderang. Malam yang masih menyisakan sebuah tanya;
Bukankah perpisahan selalu mulai dari sebuah pertemuan? Dan tidakkah terlalu sayang jika tidak ada penanda, tidak ada catatan akan pertemuan, dan perpisahan? Tiba-tiba saya teringat sebuah malam di Taman Amir Hamzah, selepas saya dan suhu Hamzah Sahal menjemput D Zawawi Imron dan Ahmad Tohari menghadiri sebuah acara kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, maka tugas saya selanjutnya adalah membantu Nyewu #1000HariGD.
45
Terdorong rasa bersalah yang tiada terkira melihat kawan-kawan Gusdurian berjibaku mempersiapkan pelbagai rangkaian acara, sedang saya terlalu lama bertapa di rumah. Entah apa yang dibantu, saya pun belum tahu. Minimal saya telah berniat membantu. Malam itu saya menghubungi Morenk Mauladi, dan turut ke Ciganjur menumpangi mobil BMW keluaran 1996 milik Savicali yang dikendarai oleh Imam. Dengan tekad membulat, dan niat ingin segera berbagi pundak dengan kawan-kawan, atau sekadar menyiapkan minum bagi mereka yang kehausan menyiapkan acara. Atau barangkali jikalau mereka lelah, saya bisa memijit kaki mereka, itu sudah cukup bagi saya. Sebagai penebus dosa kepada saya kepada kawan-kawan Gusdurian, sebagai pelipur lara dan duka. Kami bertiga menyusuri jalanan Matraman-Ciganjur dengan pelbagai kicauan, dan tentu saja perdebatan-perdebatan. Terkadang inspiratif, tak jarang sarkastis. Dari hulu ke hilir, perbincangan kami laiknya anak-anak muda dengan gairah yang membara; mengumpat Jakarta lengkap dengan kemacetan yang kian menggurita, tentang Gus Dur, dan tentu saja cinta. Kata ini, entah sejak kapan, kata ini selalu membuat saya linglung.
Kita bisa mendebat apapun tentang gerakan, atau berdiskusi berhari perihal buku-buku pemikiran dan sastra yang menggetarkan dunia, atau ihwal isu-isu yang kian hari kian memanas berikut dengan penjelasan teori-teori yang acapkali membingungkan. Tapi ketika berbicara soal cinta, saya memilih untuk menepikan diri. Mengedarkan pandangan ke jendela, menyaksikan malam yang kian semarak dengan lampu-lampu ibukota, atau bintang yang entah kapan saya melihatnya bersinar kembali di langit Jakarta.
“Elu udah pernah ciuman, Ded,� tukas Morenk tiba-tiba membuyarkan lamunan saya. “!!!�
Saya hanya diam. Sedangkan imam yang sedang mengemudi hanya bisa tertawa bengis. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, saya hanya menelan air liur, dan tersedak.
46
“Elu itu kebanyakan baca buku sih. Nyari pacarlah.”
Saya hanya diam. Otak saya berputar, saya mencari referensi dari bacaan yang pernah saya baca. Tentu nukilan atau kata-kata ilmiah perihal cinta tidaklah menjadi sulit bagi saya untuk dipakai jurus melawan. Tinggal mengambilnya dari otak, seperti seorang lapar yang mengambil apa saja dalam kulkas. Tapi entah kenapa tiba-tiba saya tidak bisa membuka cakrawala itu. Siapa pula yang menggembok, rutuk saya kala itu. Dan semakin saya diam, tawa mereka kian melengking. Kian nyinyir. “Belum, gua yakin,” tambah Imam menambah derita saya. "Pernah, tapi sekarang enggak," jawab saya datar.
Tawa mereka kian menggema. Bahkan lebih keras dari suara mobil yang berjalan, lebih nyaring dibanding sirene motor kemacetan yang bersahutsahutan. Hujan tiba-tiba turun membasahi jalanan ibukota. Tidak terlalu deras, tapi sudah cukup membasahi hati. Obrolan perihal cinta berhenti ketika Savicali mengajak menjenguk seorang kawan yang sakit di Kalibata.
Setelah kongkow dan ngobrol ngalor ngidul di sana. Kami yang datang membawa banner dll untuk acara Nyewu Gus Dur melanjutkan kembali perjalanan ke Ciganjur. Perjalanan ini berasa begitu lama, begitu jauh. Mirip perjalanan ke barat yang dipimpin oleh Sun Go Kong. Lengkap dengan kuda dan Bhiksu Trivitaka, dan Ciganjur adalah tempat suci itu. Dan saya, ah, jangan-jangan menjadi Panglima Tian Feng yang selalu gagal bercinta Kami tiba di Ciganjur kira-kira tepat tengah malam.
Menyaksikan pagelaran wayang Ki Enthus Susmono dengan lakon Kumbakarna Gugur. Saya takjub. Begitu banyak manusia yang setia untuk menonton pagelaran ini. Bahkan hingga pagi hari, saya masih bisa merasakan aura kegembiraan di mata orang-orang ini. Perkiraan saya, masih ada seribuan orang yang bertahan hingga wayang usai.
47
Lalu kami melangkahkan kaki ke kediaman Gus Dur, meletakkan banner dan melangkahkan kaki menuju belakang panggung. Ke kantor Puan Amal Hayati, tempat kawan-kawan berkumpul.
Di rumah yang dekat dengan asrama santri Ciganjur tersebut, kami bergabung dengan teman-teman gusdurian lain. Saya agak canggung, karena beberapa tidak saya kenal karena memang kebanyakan bukan dari Jakarta; ada mas jay, mbak yuni, dan Tata, dan lain-lain.
Perkenalan di situ pun tampak begitu lucu. Bermula dari isu soal saya, pacar dan ciuman. Dan lagi-lagi Tengku Morenk Mauladi (Ah, kenapa saya lebih suka menyebut Mauladi dibanding Beladro. Maafkan..) membuat nalar tertawa kami bangkit. Derita itu ditambah dengan ‘update’ twit dia di akun @MorenkBeladro yang bertutur ihwal tentang cinta dan kegalauan akan ciuman yang menerpa kawan-kawannya. Sudah pasti yang menjadi bahan sasaran adalah saya dan kegagapan menghadapi cinta. Ah, kau, kawan…
Waktu berlalu. Denting kian bertalu. Lengking tawa dari para hadirin yang menyaksikan pertunjukan wayang terus saja menggoda saya untuk keluar dari ruangan itu. Sekadar menikmati gaya postmodernitas perwayangan yang dianggit Ki Enthus, dan tentu saja Megan, sinden asal Amerika yang saat itu sedang tampil bersama Ki Enthus dkk. Namun, urung saya lakukan. Saya pun berkenalan dengan kawan-kawan Gusdurian baru ini dengan candaan lama, dengan ‘gojlokan yang lama’ dan dengan komodifikasi yang lama pula; Jomblo dengan segala penderitaannya. Tiba-tiba.
“Akhirnya ketemu. Saya kira sudah tua, dan memang sudah tua. Saya yang biasa menghubungi teman-teman gusdurian. Heuheu,” paparnya seraya menjulurkan tangan. Ternyata dia yang kerap menghubungi, dan percakapan bermula.
48
***
Pagelaran puncak #1000HariGusDur hampir dimulai. Panggung sudah berdiri dengan begitu megah. Tepat di depan Galeri Cipta TIM. Entah kapan dan siapa yang sudah memasang panggung itu. Beberapa hari lalu saat saya menemani pak Ahmad Tohari masih belum ada apa-apa, hanya beberapa besi penyangga yang tidur manis di samping jalan. Namun sekarang panggung itu telah berdiri dengan gagahnya dan ada foto Gus Dur tertawa di sana. Ah, kita rindu sampean, Gus. “Eh, katanya mau datang siang,� ujar seorang perempuan yang memakai baju putih lengan panjang bergambar #1000HrGusDur di depannya. Saya menoleh ke belakang.
“Saya sudah dari tadi kok,� jawab saya singkat.
Saya yang datang agak sorean diminta Hamzah Sahal untuk menemani kiai D. Zawawi di Hotel memang agak telat, dan langsung menuju Hotel Alia yang berada tepat berada di depan TIM.
Namun lagi-lagi, rasa bersalah hadir tanpa diundang, melihat kawan-kawan Gusdurian yang sudah mempersiapkan acara yang tampak bakal begitu meriah. Dan saya pun kembali merutuki diri sendiri. Acara Ziarah Budaya #1000HrGusDur pun berjalan dengan begitu hebatnya. Kawan-kawan dari lintas agama pun datang ke lokasi yang dibangun oleh Ali Sadikin itu. Tempat yang mula adalah kebun binatang pada jaman Belanda itu riuh oleh para penonton.
Dari hulu ke hilir, saya bisa melihat bahwa apa yang dilakukan Gus Dur telah melampui sekat apapun. Mulai dari berkulit coklat, hingga berkulit putih. Mereka tumpah ruah di Taman Ismail Marzuki, Cikini (29/30).
Saya yang sudah menahbiskan diri membantu suksesnya acara ini pun begitu begitu gembira. Mata saya berkaca-kaca tatkala mendengarkan paduan suara kawan-kawan GKI Yasmin, serta bagaimana Glen Fredly memulai berbicara soal Gus Dur, soal perjuangan dan persaudaraan, serta lantunkan lagu-lagu perdamaian. Sesekali saya menoleh ke arah para penonton, yang dengan di depan panggung.
49
Ah, apa yang telah kau lakukan Gus hingga membuat orang-orang ini begitu gembira!
Malam itu, saya berpindah-pindah tempat. Karena tugas saya adalah menemani kiai Zawawi Imron, maka saya pun mengikuti kemana penyair kelahiran Batang-batang 69 tahun silam itu melangkahkan kaki. Dan ketika kiai tampil ke panggung, tentu saja saya menemani di samping kanan panggung. Di situ pula saya bercakap dengan teman-teman panitia gusdurian yang bertugas mempersiapkan performance acara ini. Di situ pula saya pertama kali bertemu dengan @fahrisalam, wartawan pantau, yang sebelumnya kita saling mengejek di twitter. Dan tentu ia pun berkomentar rambut saya sekarang yang sudah tidak gondrong lagi karena mengejar akademik. “Yakin mau lulus,” tandasnya.
Saya pun berdiri di situ. Dengan baju lengan panjang berwarna putih, bermotif Gus Dur dengan tautan #1000HrGusDur hasil desain Morenk, mengenakan tas hitam kecil, dan ukuran XL yang agak kekecilan, saya menyaksikan konser dari samping. Berbincang dengan mbak yuni, mbak Alissa, Mbak Inay, Hamzah, jay, da Tata, dan lain-lain. “Wah ternyata satu angkatan,” ujarnya dengan raut yang membeliak. Entah ketakjuban apa yang telah mendera perempuan itu, atau barangkali kekagetan.
Dia memandang saya, dan tak pelak mata saya pun tertuju padanya. Alunan musik kian bertalu. Tepuk tangan penonton kian riuh. Warna-warni lampu terus saja berganti seiring hentakkan suara dari panggung. “Capek ya.”
Saya menganggukkan kepala. Barangkali ia iba melihat saya berdiri terus, atau ia kasihan pada dirinya sendiri. Entahlah. “Kemarin saya malah berdiri terus,” ujarnya.
Ia lalu duduk di bawah layar. Saya tetap berdiri.
50
“ Kita 'kan masih muda,� seloroh saya menyunggingkan bibir.
Acara #1000HrGusDur yang begitu hebat itupun selesai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ah, entah kenapa saya selalu merindukan peristiwa ini, menyanyikan lagu Indonesia Raya bersamasama dengan orang banyak. Berdiri bersama, membusungkan dada, dan bernyanyi bersama. Sama rindunya ketika dada saya bergemuruh tatkala Indonesia Raya berkumandang di stadion Gelora Bung Karno dalam pertandingan timnas Indonesia. Tampaknya, hanya di kedua peristiwa ini saya merasa begitu bangga melantunkan lagu ciptaan WR Soepratman ini.
Seusai acara, dengan penat yang terus bertambah, dan bangga yang kian bertambah pula, keyakinan akan keindonesiaan menjadi begitu tinggi. Bukankah kita hidup dengan harapan?
Dengan harapan pula kita percaya akan hari esok. Dan kita percaya bahwa masa depan bangsa ini begitu cerah, dengan senyum-senyum persaudaran, dengan binar-binar perdamaian yang diwariskan Gus Dur dan diteruskan banyak orang, seperti malam ini. ***
Malam sudah kian memburam. Kepala saya arahkan ke atas. Ah, saya sekali lagi tidak menemukan bintang di langit Jakarta. Tapi perasaan itu berbalas dengan bulan yang tampak begitu bulat, begitu purnama, begitu indah. Saya yakin, purnama malam ini adalah penanda bahwa Gus Dur pun gembira di atas sana, bahwa anak-anak ideologis beliau makin banyak, yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian pun kian meruyak.
Saya pun mengucapkan selamat kepada kawan-kawan Gusdurian yang telah sukses membuat acara #1000HrGusDur, kepada Moreng Beladro dkk.
Seusai acara, sebagian dari kami menghabiskan obrolan di sebuah cafĂŠ, sembari melepas lelah dan membincang acara yang baru saja usai. Obrolan itupun jadi ngalor ngidul, dan menjadi lingkaran-lingkaran.
51
Ada lingkaran serius yang menempati pojok café, ada lingkaran ‘orangorang tua’ yagn menempati dekat jendela, dan kami, lingkaran anak muda+sebagian jomblo yang menempati lingkaran paling dekat dengan pintu. Tentu isi obrolan berbeda pula, dari persoalan acara, tepuk tangan kesuksesan acara, hingga urusan cinta. Obrolan itu selesai ketika café itu hendak tutup, menjelang pagi, dan kami berpisah. Saya dan Hamzah harus kembali ke hotel menemai si celurit emas, sedang yang lain ada yang ke Matraman, Ciganjur dll. Tentu mereka lelah, dan tentu saja mereka bangga bahwa acara berjalan sukses, dan fellowship ini akan terus terbangun. Selamat, kawan-kawan Gusdurian. ***
Sebuah pertemuan akan terasa biasa saja jika tidak ada yang mengabadikannya, tentu saja proses menjadi abadi itu ada pelbagai macam cara. Mulai dari potret memotret, lukis melukis, patung mematung, hingga tulis menulis. Tiba-tiba ingatan saya meluncur pada percakapan dalam sebuah film Alexandria, sebuah film pop yang entah kenapa saya begitu suka. Ketika Julie Estelle memergoki Fahri Albar sedang sakaw dalam mobil. “Kamu tahu nggak sesuatu yang paling mahal itu apa?” tanya Julie. Fachri hanya diam.
“Detik yang sudah lewat, kita tidak pernah bisa membeli waktu itu lagi," tandasnya. Ah…
Saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Maka saya pun membiasakan diri bergumul dengan catatan-catatan, dan saya pun tidak mau kehilangan detik yang barusan lewat itu. Dengan catatan itu saya berusaha mengabadikan segala sesuatu. Termasuk saya pun menuliskan detik-detik ini sebagai pengingat, sebagai penanda bahwa tiap detik begitu berharga. Ketika menuliskan catatan ini tiba-tiba ponsel klasik saya berderit. Ada pesan masuk. Saya curiga, jangan-jangan ini pesan dari intel untuk
52
menculik saya, dan hari ini adalah 30 September, atau jangan-jangan ada pesan suruhan dari rektorat yang jengah dengan seorang mahasiswanya yang saban hari membully sang rektor di jejaring sosial. Mungkin pula kawan yang mengajak ngopi. Uh, saya hilangkan persaaan itu dan membuka isi pesan, ternyata; ”Hey Jomblo, gmana kabar skripshitnya? ”
Terpekur sejenak. Saya mendongakkan kepala ke atas. Sejenak kemudian mata saya berpendar ke sekitar kamar. Lampu kamar tampak muram seketika. Bunyi gemericik air yang sedari tadi biasa saja tiba-tiba menguar dengan suara yang begitu keras. Saya kenal nomor itu, begitu kenalnya karena saban hari saat acara gusdurian acapkali memakai nomor yang itupula. Saya membalasnya singkat. ”Tata?”
Ia belum menjawab. Ciputat-30-09
53
9 fakta tentang Dedik Priyanto: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Redaktur Pelaksana Majalah Surah Koordinator Forum Studi Piramid Announcer di Radio NU Pecinta akut Inter Milan Penyuka tiga kota: Bojonegoro, Ciputat, Venesia Penulis buku: Demam World Cup 2010, Bolot (novel anak), Pemuda dan Pergerakan (sebuah refleksi), Sampah Mak Isah (novel anak), Sunyi (antologi cerpen). 7. Tumbuh bersama sajak-sajak Goenawan Mohamad, cerpen-cerpen Puthut EA, novel-novel Eka Kurniawan. 8. Setidaknya sudah punya dua mantan. 9. Sedang gemar bersepeda (entah sampai kapan).
Kita bisa menyebut buku ini sebagai sekumpulan gumam. Sangat mungkin ia akan menjadi genre baru dalam sastra Indonesia. Tinggal menunggu legitimasi dari para kritikus dan akademisi sastra belaka. Gumam, rasa-rasanya telah berada setingkat di atas puisi dan prosa. Gumam adalah puncak literer. Dedik Priyanto, penggagas sastra gumam, telah sampai di wilayah itu. Ia mendobrak tatanan sastra konvensional yang telah mapan. Capaian estetik Dedik Priyanto adalah post-sublim. Membaca kumpulan gumam ini, barangkali kita akan segera teringat selarik sajak Goenawan Mohammad: sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.