MP3EI : Oase ditengah Padang Dahaga Pembangunan Ekonomi Indonesia Oleh : Adhamaski Pangeran Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung
Hampir 67 tahun semenjak Indonesia merdeka, garuda kebanggaan Indonesia berjalan lebih lambat dibandingkan sang gajah India ataupun sang naga China. Padahal sejarah mengatakan, bahwa Indonesia lebih dahulu merdeka dibandingkan Negara India (menjadi republik tahun 1950) dan China (1949) yang sekarang menjadi Negara kuat di benua Asia dan Dunia. Strategi ekonomi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan investasi asing belum banyak menuaikan kontribusi untuk pembangunan riil Indonesia. Hutang luar negeri lebih banyak diserap kedalam kantung-kantung koruptor di jaman orde baru. Sedangkan investasi asing yang masuk kedalam negeri atau penanaman modal asing (PMA) tidak diimbangi oleh strategi ekonomi jangka panjang miliki Indonesia seperti analogi menggali liang kubur sendiri, sehingga wajar jika banyak masyarakat yang menilai bahwa PMA hanya akan menghabiskan sumber daya alam dan menjadikan rakyat Indonesia sebagai buruh di negera sendiri. Sejatinya dana hibah dari luar negeri maupun investasi asing adalah bantuan untuk menggerakkan perkonomian Indonesia. Terutama investasi, Faisal Basri,seorang dosen ekonomi di Universitas Indonesia, pernah menganalogikan investasi langsung seperti makanan yang paling bergizi bagi organisme perkonomian, karena mampu menggerakkan pertumbuhan ekspor dan ekonomi keseluruhan sebuah Negara. Sayang seribu sayang, majalah ekonomi terkemuka, The Economist, menempatkan Indonesia berada pada peringkat 36 dari 82 negara tujuan distribusi PMA tahunan 2007-2011 dan kalah bersaing dengan Negara-negara seperti China (peringkat 3), Rusia (13), Brazil (14),Singapura (15),dan India (18). Padahal secara demografi, Indonesia tidak kalah dari negara-negara tersebut sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat didunia dan bahkan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam sumber daya alam seperti gas alam, batubara, dan panas bumi. Lebih sedihnya, negara Indonesia yang indikator pertumbuhan domestik brutonya (PDB) bertumpu pada faktor konsumsi (sampai triwulan pertama 2012) justru dijadikan pasar konsumsi oleh perusahaan dan negara besar, dibandingkan dijadikan pasar produksi. Mungkin faktor-faktor inilah yang membuat, menteri koordinator perekonomian kabinet Indonesia bersatu II, Hatta Radjasa, sibuk bekerja keliling lintas negara untuk mencari investor luar negeri untuk menanam modal asing di dalam negeri dan optimis bahwa rezim konsumsi akan tergeser menjadi rezim investasi untuk menopang perkonomian nasional. Lambatnya investasi yang masuk ke Indonesia juga disebabkan oleh faktor regulasi yang belum mendukung, keterbatasan infrastruktur,dan lemahnya sumber daya manusia yang ada.
Lemahnya investasi yang masuk ke Indonesia dan ketidakadanya strategi ekonomi jangka panjang juga menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi, baik dari segi wilayah maupun struktur perekonomian nasional. Ketimpangan ekonomi dari segi wilayah terjadi akibat investasi dan dana pembangunan yang terpusat di pulau jawa. Sekali lagi, keterbatasan infrastruktur untuk mengalirkan pembangunan ke daerah-daerah menjadi penghambat dalam mendistribusikan pembangunan, terutama ke daerah-daerah timur Indonesia. Otonomi daerah yang menjadi harapan dalam menyeimbangkan pembangunan di Indonesia belum mampu dimanfaatkan secara optimal akibat faktor sumber daya manusia untuk melakukan inovasi ataupun kreatif dalam memimpin daerahnya masing-masing, faktanya dengan peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat ke-124 dari 187 negara dan masih kalah bersaing dengan negara-negara asia tenggara seperti Thailand (103) dan Filipina (112, tidak sedikit daerah-daerah yang jumlah pendapatan asli daerahnya (PAD) tidak mampu untuk membiayai pengeluaran tetap seperti gaji pegawai dan biaya operasional lainnya dan menjadikan dana sebagai pledoi penghambat pembangunan. Ketimpangan struktur perekonomian nasional terlihat ketika terjadi deindustrialisasi. Isu deindustrialisasi cukup kuat dikalangan ekonom, industri, maupun pemerintah pada tahun 2011. Deindustrialisasi terjadi ketika kontribusi indusri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), prosentase kontribusi sektor industri terhadap PDB atas dasar harga berlaku terjadi penurunan 0,5% antara tahun 2010 hingga 2011. Penurunan kontribusi terhadap PDB juga terjadi pada sektor pertanian (0,6%), sektor listrik dan air bersih dan sektor konstruksi (masing-masing 0,1%). Gejala deindustrialisasi juga mengakibatkan terjangkitnya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi, dimana sektor-sektor jasa,seperti sektor listrik & air bersih, perdagangan, hotel, & restoran, konstruksi, dsb), justru lebih berkembang dibandingkan sektor produksi barang, seperti sektor pertanian, pertambangan & penggalian, dan industri pengolahan. Hal ini terbukti dimana PDB sektor jasa naik 15% dalam kurun waktu dua tahun dari 2009 hingga 2011 dan sektor barang hanya naik 12%. Dalam sebuah teori ekonomi konvensional, disebutkan bahwa ekonomi makro berkembang dari sektor pertanian ke sektor industri kemudian masuk ke sektor jasa. Sedangkan penyakit yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang ialah sektor jasa lebih berkembang dibandingkan sektor industri, dan bahkan peristiwa ini sudah berlangsung semenjak era orde baru seperti yang tertulis dalam penelitian Chris Manning,ekonom senior Australia Nasional University. Akibat dari berkembang pesatnya sektor jasa dibandingkan sektor barang untuk negara berkembang seperti Indonesia ialah sektor jasa hanya dapat menyerap tenaga kerja berpendidikan ataupun yang memiliki modal dan multiplier effect (reaksi berantai peningkatan kegiatan ekonomi yang berasal dari salah satu kegiatan ekonomi lainnya) yang lebih rendah dibandingkan sektor barang. Prematurnya pertumbuhan sektor jasa dibandingkan sektor barang ini kembali lagi disebabkan oleh akses infrastruktur, komitmen politik dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung. Dari perspektif pemerintah pusat, indikator sektor basis & bukan basis dan PDB sudah cukup menggembirakan. Bagaimana tidak, analisis sektor basis dan bukan basis, hasilnya sudah cukup
untuk menggambarkan kemajuan sektor-sektor perekonomian Indonesia. Asumsinya ialah kemajuan sektor basis dan bukan basis dapat menggambarkan produktivitas nasional. Sayang seribu sayang, indikator sektor basis dan bukan basis menjelaskan mengenai content (substansi) pembangunan, bukan context (ruang lingkup) pembangunan sehingga kemajuan basis sektor di satu daerah yang sangat unggul dapat mempengaruhi rata-rata basis sektor nasional dan dilihat bahwa secara nasional basis sektor Indonesia tumbuh, padahal hanya beberapa daerah yang unggul jauh dibandingkan dari daerah lainnya. Dukungan indikator PDB Indonesia yang berada pada peringkat ke-16 menurut IMF pada tahun 2011 dari 182 negara juga menunjukkan Indonesia tengah bersaing ditingkat papan atas perkonomian global. Sayangnya, realita dilapangan menunjukkan bahwa semakin menjamurnya kriminalitas, melebarnya kesenjangan pembangunan fisik dan bukan fisik antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur, dan bertumbuhnya sektor informal membuat tidak percaya masyarakat bahwasanya Indonesia hari ini sudah menjadi negara yang unggul dan bersaing dengan negara-negara papan atas. Terlintas bahwa dibutuhkan jembatan antara optimisme perekonomian makro Indonesia milik pemerintah pusat dengan pesimisme ekonomi mikro Indonesia milik masyarakat., perlulah adanya oase perekonomian untuk optimis terhadap padang dahaga Indonesia.
MP3EI Sebagai Oase Perekonomian Nasional Dari paparan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa permasalahan ekonomi Indonesia terjadi akibat minimnya akses infrastruktur, komitmen politik & regulasi yang mendukung, dan sumber daya manusia yang kompeten. Apabila ketiga masalah tersebut terselesaikan, penulis merasa bahwa investasi akan mengalir masuk ke Indonesia, sehingga mampu membangkitkan perekonomian Indonesia, terutama bangkitnya sektor industri manufaktur yang mampu menyerap tenaga kerja banyak dan menyeimbangkan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur. Angin segar perekonomian Indonesia muncul pada pertengahan tahun 2011, dimana presiden SBY meluncurkan terobosan baru untuk menjembatani optimisme pemerintah dengan pesimisme masyarakat,yakni masterplan percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI ada sebagai penyambung gap antara RTRWN dan RPJMN dalam bidang ekonomi. Terdapat tiga strategi utama, yaitu pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, penguatan konektivitas nasional, dan penguatan kemampuan SDM dan iptek nasional. Infrastruktur adalah salah satu fokus dari MP3EI, karena infrastruktur berfungsi untuk pengembangan ekonomi wilayah juga membentuk struktur kota sehingga akses pertukaran barang dari produsen ke konsumen menjadi lebih murah dengan menekan biaya operasional dan membangkitkan ekonomi wilayah. Fokus lainnya ialah pengembangan 32 potensi ekonomi Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, batubara, pariwisata, dsb, dalam 6 koridor yang dibagi atas pulau-pulau besar Indonesia. Belajar dari masa lalu, Indonesia terbiasa untuk mengekspor barang mentah, harapannya dengan strategi ekonomi jangka panjang ini PMA yang masuk ke
Indonesia dapat membangkitkan industri pengolahan untuk barang-barang mentah Indonesia sehingga memiliki harga jual yang lebih tinggi. Terlebih apabila penulis mengambil kata-kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, dalam kuliah umum Studium Generale di Kampus ITB, yakni penguasaan terhadap energi, air, dan pangan dapat menguasai dunia, maka Indonesia dengan MP3EI sudah berada pada jalur yang tepat untuk menguasai energi, air, dan pangan dalam bentukan enam koridor ekonomi dan menguasasi dunia dengan menjadi eksportir energi,air,dan pangan kelas papan atas dunia. Fokus ketiga dari MP3EI ialah penguatan kemampuan SDM dan iptek. Penulis meninjau, dengan langkah perbaikan ekosistem inovasi seperti pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM, pembangunan klaster inovasi daerah, dan revitalisasi infrastruktur research & development (R&D), adalah langkahlangkah yang tepat untuk membangun budaya penelitian dan inovasi Indonesia yang jauh dari harapan. Harapannya, inovasi-inovasi produk dalam negeri dapat meningkat hingga meningkatkan gairah masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri. Perlu pula dukungan komitmen politik dan regulasi untuk menunjang MP3EI dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada, seperti ketenagakerjaan, kebebasan investor, konflik agraria, dsb. Komitmen politik yang kuat menjadi modal utama untuk mendukung program nasional MP3EI dengan mendukung lewat kelembagaan dan dasar hukum yang ada. Dengan sudah ditetapkannya peraturan presiden nomor 23 tahun 2011 tentang MP3EI, disahkannya UU Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, UU penanganan konflik sosial, bahkan pula kemajuan dan keberanian pemerintah pusat yang patut di acungi jempol dalam menerbitkan peraturan pemerintah nomor 24/2012 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang membatasi saham perusahaan pertambangan asing di Indonesia. Dukungan komitmen politik yang kuat juga regulasi yang mendukung semakin membuat MP3EI dan perekonomian Indonesia semakin cerah.
Sekarang Saatnya Menjadi Bangsa yang Konstruktif! Konsep triple helix dan public-private partnership (PPP) yang mengusung kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, sebenarnya adalah konsep lama yang sudah digunakan oleh negara-negara maju. Namun, di bumi ibu pertiwi, sering kali kerjasama dilakukan hanya antara pihak pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta, ataupun lembaga pendidikan dengan masyarakat. Sangat jarang sekali ditemukan kasus di Indonesia yang semua pemangku kepentingan mengambil peran dalam pembangunan, terutama pembangunan ekonomi. Habitat iklim politik Indonesia yang sering kali destruktif dan saling hina-menghina untuk mencapai kekuasaan perlulah dibenahi oleh anak-anak ibu pertiwi dengan mengambil momentum semangat kolaboratif antar aktor dari MP3EI. Semangat kebersamaan, semangat membangun, dan kerja keras yang sehat pastilah dapat menjadi dampak dari keberjalanan MP3EI untuk pula memperbarui mental bangsa!
Adalah tugas bagi anak-anak muda Indonesia hari ini untuk terus menatap Indonesia kedepan, melakukan fungsi kontrol dan memanfaatkan peluang dari MP3EI untuk belajar tata negara dan pembangunan negeri, mengambil peran dari percikan multiplier effect yang terjadi ataupun melakukan penelitian dan wirausaha pada bidang-bidang yang ada sehingga pembangunan ekonomi Indonesia berlanjut dan berkembang hingga hari-hari kedepan. Bukan tidak mungkin garuda Indonesia terbang lebih tinggi di udara melebihi naga China dan gajah India di angkasa! Dengan komitmen politik, dukungan regulasi, kerjasama antar pemangku kepentingan, dan strategi akademis dari MP3EI, maka penulis optimis bahwa kedepan bangsa kita dapat menjadi bangsa yang unggul dalam bidang ekonomi, menjadi bangsa yang maju dan bermental konstruktif!
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Human_Development_Index (diakses hari rabu,13 juni 2012 pukul 10.13 WIB) Faisal Basri. Buku “Catatan Satu Dekade Krisis : Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia” Dokumen lengkap MP3EI Surat kabar harian KOMPAS tertanggal 12 Mei 2012, berjudul “Indonesia Segera Tinggalkan Rezim Konsumsi” Chris Manning, “Lessons from Labpur Adjusment to the East Asian Crisis: The Case of South Korea, Thailand, and Indonesia” Economist Intelligence Unit. E-Readliness Raking 2008 : A White Paper of the Economist Intelligence Unit. London: EIU-The Economist:2008 Badan Pusat Statistik RI. PDB atas dasar harga berlaku tahun 2009-2011 menurut lapangan usaha