Merangkai jabodetabekpunjur 2050

Page 1

MERANGKAI JABODETABEKPUNJUR.

Peta Struktur & Pola Ruang Jabodetabekpunjur

ANTARA SUTAMI dan RADINAL Saat perencanaan Jabotabek (istilah awal Jabodetabekpunjur) dicanangkan pertama kali saat Orde Baru baru berdiri, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Sutami berkomentar bahwa jangan sampai Jabotabek direncanakan menjadi “lampu yang besar dan terang�. Lampu yang terang akan menarik banyak laron berkeliling di sekitarnya. Artinya, Sutami mengingatkan jangan sampai Jabodetabek mendorong urbanisasi yang lebih pesat ke Jakarta. Dikhawatirkan, Jabodetabek menjadi konsep pengembangan perkotaan yang terlalu raksasa bagi Jakarta. Dua puluh tahun kemudian, dalam pengamatan Radinal Mochtar, Menteri Pekerjaan saat itu, konsep Jabotabek sudah terlalu kecil untuk dijadikan wilayah pengembangan Jakarta dan sekitarnya. Jakarta sudah berkembang jauh ke arah barat dan timur. Saat itu, ucapannya adalah ucapan yang kontroversial.

1


JAKARTA YANG MELEBAR - JABODETABEK YANG MENYEMPIT Faktanya, Jakarta ‘melebar’. Terencana dan tidak terencana. Pada rencana awal, Jakarta dikembangkan ke arah selatan, mengikuti kecenderungan perkembangan melalui jalan lama Jakarta-Bogor lewat Cijantung. Lalu Jakarta direncanakan dengan konsep jalan yang melingkar menghubungkan kawasan permukiman yang berada di sekitar Jakarta (outer ring road). Konsep perkembangan selanjutnya adalah konsep barat-timur untuk menghindari perkembangan ke selatan yang merupakan daerah resapan air kota Jakarta. Dengan kata lain, kawasan Jabodetabek adalah hasil ekstensifikasi kegiatan-kegiatan di Jakarta. Jabodetabek adalah sebuah Extended Metropolitan Region. Pada akhirnya, dalam proses ini tercipta suatu keterikatan sistem perkotaan yang saling menyatu, terkait sehingga kota inti sudah tidak bisa didefinisikan secara fisik. Konversi lahan di Jabodetabek dalam beberapa dekade naik drastis. Lahanlahan untuk sawah diubah menjadi real estat atau industri. Yang membahayakan adalah lahan-lahan untuk hutan dan area konservasi yang menjadi lahan untuk agrikultur atau real estat, seperti pembangunan di Bogor Selatan. Pembuatan kota-kota baru terus terjadi sejak tahun 50-an dimulai dengan Kebayoran Baru. Lalu Pondok Indah, Serpong, Cibubur, Karawaci, Cikarang, Kelapa Gading, Sentul, Cileungsi, sampai saat ini. Peran pihak swasta juga besar dalam hal ini. Dan saat swasta terlibat, seringkali konversi lahan

Pola Perkembangan Kawasan Perkotaan Jabodetabek. sumber: Fatimah, E. dkk, 2012 = kawasan perkotaan

2002

menjadi lebih mudah. Jumlah penduduk Jabodetabek sendiri adalah 27.957.194 jiwa; 11,76% dari jumlah penduduk nasional (BPS, 2010) dengan Produk Domestik Bruto (PDB) =22% dari total Produk Domestik Bruto Nasional (UN, 2006). Diperkirakan Pada tahun 2025, penduduk Jabodetabek mencapai 40 juta jiwa.

2006

Sedangkan pusat aktivitas ekonomi tidak tersebar sebagaimana menyebarnya kota-kota baru; tetap terpusat di tengah DKI Jakarta. Sehingga intesitas pergerakan manusia sangat tinggi di dalam Jabodetabek. Setiap hari terdapat sekitar 1,1 juta penglaju menuju Jakarta dari Bodetabek (JICA: 2010) Pengelolaan transportasi yang tidak integratif dan berjangka panjang membuat transportasi dalam Jabodetabek menjadi momok. Road ratio di Jakarta yang baru 6,28 %; 98,5% dari 6,5 juta kendaraan adalah kendaraan pribadi; adalah fakta menggelikan tentang transportasi Jakarta. Jika kondisi ini dibiarkan, pada tahun 2020, kerugian yang akan ditanggung adalah Rp. 65 triliun. Bayangkan pula polusi yang dihadirkan oleh kendaraan-kendaraan tersebut. 2

2011


Jutaan orang yang tinggal dalam satu kawasan membutuhkan pelayanan yang lebih baik secara eksponensial dibanding kawasan yang lebih jarang penduduknya. Persoalan sampah masih dikelola secara konvensional di Jakarta. Sungai masih menjadi tempat sampah favorit para warga. Entah karena tidak ada pengelolaan sampah yang mumpuni atau memang warganya yang belum tercerahkan. Sungai lagi-lagi menjadi cermin dari buruknya pengelolaan kota. Permukiman kumuh masih berdiri tegak di Jabodetabek, terutama Jakarta. Sungai identik dengan kotor, jorok, dan ‘belakang’. Padahal sungai adalah fitur alam yang menghubungkan kota-kota di Jabodetabek dan potensi alam yang paling nyata di seluruh Jabodetabek. Banjir juga menjadi problem klasik bagi warga Jakarta. Seringkali banjir dianggap sebagai akibat dari pembangunan di area penahan air di Bogor. Padahal bisa jadi juga karena banjir adalah kekuatan alam yang akan selalu hadir di Jakarta. Evaluasi tata guna lahan diperlukan dalam penanganan banjir ini. Karena harga tanah yang semakin mahal, ruang terbuka hijau semakin sedikit, apalagi ruang publik. Padahal indikator dari kota yang nyaman adalah kenyamanan ruang publiknya. Meskipun Jakarta melebar, bukan berarti Jakarta menjadi ‘lega’. Melebarnya telah membuat Jabodetabek semakin sempit.

3


METROPOLITAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Peraturan Presiden no. 54 tahun 2008 sejatinya telah memberikan landasan normatif agar pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur bertumpu pada prinsip keberlanjutan lingkungan. Konsep Green Metropolis bisa menjadi bentuk elaborasi yang paling tepat bagi Peraturan Presiden tersebut. Prinsip-prinsip Green Metropolis yang mengutamakan keterpaduan (compactness) dan keharmonisan dengan alam sejalan dengan nilai normatif Peraturan Presiden no. 54 tahun 2008. Dalam skala yang lebih luas, implementasi konsep Green Metropolis bisa berkontribusi terhadap keberlanjutan bumi saat ini dan masa depan. Hal ini disebabkan oleh potensi luas lahan dan jumlah populasi yang ada di dalam kawasan Jabodetabek. Green Metropolis sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh David Owen, seorang penulis Amerika tahun 2009. Meski demikian, usaha-usaha untuk menciptakan sebuah kawasan metropolitan yang ramah lingkungan telah popular, bahkan telah diterapkan pada beberapa kota di dunia. Kawasan metropolitan yang ramah lingkungan bisa ditandai dengan penggunaan transportasi massa yang optimal, hemat energi, tata kota yang terpadu dan kompak, pengelolaan limbah yang terpadu, bangunan ramah lingkungan, dan ruang publik hijau yang memadai. Prinsip keberlanjutan lingkungan sendiri tidak bisa lepas dengan keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan budaya. Rencana strategis untuk menjembatani kepentingan ekonomi dan lingkungan seperti penerapan prinsip ekonomi hijau dan ekonomi biru dalam kawasan Jabodetabekpunjur adalah hal urgen. Kota-kota di dunia yang telah sukses mengimplemetasikan konsep metropolitan berwawasan lingkungan seperti Paris, Melbourne, dan Vancouver juga menikmati status sebagai pusat ekonomi regional. Meningkatkan livability Jabodetabekpunjur berarti meningkatkan daya saing ekonomi di tingkat dunia.

4


MERANGKAI JABODETABEKPUNJUR Konsep Green Metropolis merangkai potensi-potensi yang ada di Jabodetabekpunjur guna menghasilkan keterpaduan dan keharmonisan alam dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan lingkungan. Cirinya adalah transportasi massa yang optimal, hemat energi, tata kota terpadu, pengelolaan limbah terpadu, bangunan ramah lingkungan, dan ruang publik hijau yang memadai. Prinsip keberlanjutan lingkungan memicu keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan budaya. Kerjasama efektif antar daerah dalam Jabodetabekpunjur dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan pembangunan. Langkah perwujudannya berupa penciptaan sistem pemerintahan metropolitan sukarela dan alokasi dana khusus Jabodetabekpunjur. Pemerintah pusat, provinsi, dan lokal memainkan peran spesifik sesuai kewenangan dan pendirian lembaga baru untuk mengurus kerjasama antar daerah. Dana alokasi khusus sebaiknya langsung dari APBN yang digunakan untuk program bersama Jabodetabekpunjur. Selanjutnya, diperlukan gerakan tingkat akar rumput agar pembangunan antar daerah berjalan berkelanjutan. Keinginan masyarakat tetap menjadi titik acuan pembangunan. Lahan Jabodetabekpunjur perlu dikembalikan pada fungsi masing-masing. Selanjutnya, dibuat kota-kota baru untuk mendistribusi aktivitas agar tidak terpusat pada satu kota besar. Ruang terbuka hijau sebagai batas area pembangunan diperbanyak terutama di sempadan sungai. Paradigma environmentally oriented planning menjadi solusi untuk mencapai potensi yang optimal dari sungaisungai di Jabodetabekpunjur. Langkah yang diperlukan meliputi sinergi antar sektor dan wilayah Jabodetabekpunjur, pelibatan masyarakat, pengembalian fungsi strategis sungai sebagai penopang kehidupan, regulasi manajemen air, dan penerapan smart infrastructure. Sistem transportasi dibuat beragam dan sesuai dengan kondisi alam dan tata lahan. Transportasi juga dibuat sinergis dengan sistem pengolahan limbah dan energi. Pemenuhan kebutuhan energi dan pelestarian lingkungan membutuhkan strategi energi terbarukan dibutuhkan selain energi fosil. Beberapa strategi energi terbarukan meliputi infrastruktur berteknologi yang menghasilkan energi sendiri, klusterisasi distribusi listrik, dan biomassa dari limbah rumah tangga. Penanganan bencana Jabodetabekpunjur merupakan sinergi antar masyarakat, swasta, dan pemerintah pada tahap pencegahan, penanganan, hingga pemulihan. Sinergi ini diperlukan untuk menghadapi ancaman bencana yang meliputi banjir, amblesan tanah, rob dan abrasi, tanah longsor, gempa bumi, dan letusan gunung berapi. Masalah sampah di Jabodetabekpunjur didominasi oleh masalah non teknis. Alternatif penanganan masalah sampah terbagi atas penanganan di tingkat sumber, tingkat kawasan, dan tingkat kota. Dengan penanganan sampah yang tepat dapat dihasilkan peluang sumber energi alternatif.

5


KERJA SAMA SEBAGAI MODAL DASAR PEMBANGUNAN Jabodetabekpunjur terdiri dari 11 wilayah otonom, yang terdiri dari 3 provinsi serta 8 kabupaten/kota sehingga dalam pembangunan dan pengelolaan Jabodetabekpunjur dibutuhkan kerjasama antardaerah sebagai perangkat untuk menyelesaikan konflik yang berlintas batas dan/atau persoalan yang sulit ditanggungali sendiri, seperti masalah banjir. Namun, kerjasama antar daerah di Jabodetabekpunjur yang disaranai oleh BKSP Jabodetabekpunjur masih mengalami berbagai masalah (Bulletin Penataan Ruang, 2008), seperti: belum siapnya pemerinTah dalam merencanakan dan membiayai program yang integral antarwilayah, belum terciptanya interkoneksitas yang kuat antardaerah, belum adanya kesamaan persepsi, kepentingan dan prioritas bersama kurangnya koordinasi yang terbina, belum siapnya kapasitas SDM, belum tecapainya kesetaraan perangkat daerah dalam kerjasama antar wilayah, perlunya optimalisasi peran BKSP, perlunya instrument RTRW & RPJM kawasan Jabodetabekpunjur, dan perlunya Dana Alokasi Khusus (DAK) dari APBN untuk menipang kerjasama pembangunan wilayah Bodetabekpunjur. Disisi lain mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, mengutarakan bahwa perlu ada empat lingkup aspek yang perlu dibahas bersama pemerintahan daerah Jabodetabekpunjur, yaitu aspek pemahaman masalah, kewenangan, pengorganisasian, dan aspek pembiayaan (Beritajakarta.com,2009). Usulan masukan terhadap Perpres 54/2008 lebih difokuskan untuk menjadikan kerjasama antar daerah di Jabodetabekpunjur agar menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan masalah yang ada. Pembahasan dibagi menjadi bentuk kerjasama, bentuk otoritas, pembiayaan, dan masalah yang diselesaikan. Mixed or voluntary system of metropolitan governance Bentuk kerjasama antar daerah yang cocok untuk wilayah Jabodetabekbunjur (menurut Laquian 2008, dalam orasi ilmiah Prof.Tommy Firman, 2011) ialah mixed or voluntary system of metropolitan governance. Pada model ini, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah lokal secara bersama memainkan perannya secara spesifik sesuai dengan kewenangannya. Bentuk otoritas dan kewenangan untuk mengelola kerjasama antar daerah yang sebelumnya diberikan kepada BKSP yang terdiri dari kepala daerah masing-masing, lebih baik kewenangan tersebut diberikan kepada staf maupun lembaga/dinas khusus baru yang didirikan di masing-masing daerah yang berada langsung dibawah kepala daerah untuk mengurus wilayah Jabodetabekpunjur. Lembaga baru di daerah masing-masing ini nantinya akan langsung berkoordinasi dengan Menteri terkait dan dengan posisinya dapat pula berkoordinasi dengan kepala daerahnya. Dengan adanya lembaga baru ini, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus dalam mengurus Jabodetabekpunjur. Lembaga baru ini nantinya akan memberikan kewenangan untuk implementasi programnya kepada dinas yang terkait, memantau, dan mengevaluasi keberlangsungan program di Jabodetabekpunjur. Dana Alokasi Khusus Jabodetabekpunjur Pembiayaan dalam Jabodetabekpunjur sebaiknya didapatkan dari Dana Alokasi Khusus dari APBN yang di alokasikan khusus untuk wilayah Jabodetabekpunjur, sehingga dapat langsung digunakan untuk membiayai program-program bersama di wilayah Jabodetabekpunjur tanpa mengganggu struktur keuangan masing-masing daerah yang ada di Jabodetabekpunjur. Permasalahan yang selesaikan difokuskan pada masalah-masalah yang memberikan dampak domino ke daerah lainnya. Seperti transportasi dan banjir.

6


menuju ruang-ruang jakarta yang kompak Penataan wilayah yang kompak merupakan keharusan dalam mewujudkan Green Metropolis. Konsep ini akan mendorong terjadinya efisiensi dan interaksi. Kota yang kompak (compact city) dapat mengurangi jarak dan waktu tempuh perjalanan, polusi energi. Pembangunan infrastruktur pun dapat lebih tepat guna. Sehingga ecological footprint akan dapat terminimalisasi, dan ruang-ruang hijau akan bertambah. Identitas kota juga akan berkembang seiring dengan terimplementasinya kota yang kompak. Identitas ini akan memberikan manfaat sosial kepada penduduk Jabodetabek. Untuk menciptakan Jabodetabek yang lebih kompak, identifikasi fungsi lahan dalam skala Jabodetabekpunjur perlu dilakukan. Untuk menjamin keterpaduan identifikasi lahan, pelibatan perencana perwakilan setiap daerah perlu dilakukan. Para perencana ini tergabung dalam sebuah tim pengidentifikasian fungsi lahan Jabodetabek. Pendekatan tim ini memberikan kesempatan yang sama bagi setiap daerah untuk memahami tata ruang daerah tetangganya sekaligus mengkritisinya. Kenyataannya, setiap pemerintah daerah yang ada di Jabodetabek memiliki kepentingan di daerah lain di sana. Evaluasi ulang tata guna lahan juga harus dimungkinkan mengingat banyak penyimpangan fungsi yang terjadi saat ini. Di sisi lain, pengembalian atau peninjauan kembali fungsi ini akan sangat bermanfaat dalam pembentukan Jabodetabek yang kompak. Rencana pembentukan kota-kota baru yang tertuang dalam Peraturan Presiden no. 54 tahun 2008 merupakan upaya yang patut diapresiasi. Yang perlu menjadi catatan adalah jangan sampai kota-kota baru itu hanya menjadi kantong-kantong permukiman. Sedangkan aktivitas warga masih terpusat di tengah kota Jakarta. Diperlukan sebuah kebijakan yang mendorong pihak swasta untuk menciptakan pusat-pusat kegiatan, terutama ekonomi, di kota-kota baru tersebut. Selain pusat kegiatan ekonomi, fasilitas pendidikan, kesehatan, rekreasi, komersial perlu diciptakan di sekitar pusat kota baru. Yang acapkali terjadi, standar fasilitas-fasilitas tersebut jomplang antara satu daerah dengan daerah lainnya. Standardisasi fasilitas-fasilitas dalam skala Jabodetabek harus benar-benar digarap. Dengan demikian, koordinasi antara dinas-dinas terkait pelayanan publik perlu digalakkan. Koordinasi ini bisa pula menjadi ajang mencari solusi permasalahan publik bersama dalam tingkat Jabodetabek. 7


Meskipun begitu, daerah khusus yang menjadi pusat pelayanan tingkat Jabodetabek adalah keniscayaan. Distribusi lokasi pusat pelayanan tingkat Jabodetabek harus merata, tidak melulu di Jakarta. Mengingat perkembangan ekonomi Jabodetabek yang mengarah pada industri, penataan dan relokasi kawasan industri juga perlu untuk menciptakan kota yang kompak. Selain itu, kebutuhan energi industri yang besar dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan permukiman memerlukan klusterisasi kebutuhan energi untuk distribusi energi yang efisien. Hal ini adalah hal penting dalam konsep Green Metropolis. Pemindahan industri manufaktur yang ada di Jakarta ke wilayah Bekasi dan Tangerang, agar fokus penyediaan kebutuhan kelistrikan serta gas bagi industri terpisah dari wilayah pusat kota Jakarta. Fokus industri manufaktur yang dipusatkan di wilayah Bekasi dan Tangerang dimaksudkan untuk memudahkan suplai bahan baku maupun transportasi, Tangerang akan mendekatkan ke pelabuhan Merak yang diproyeksikan menjadi Pelabuhan Internasional Merak. Serta Bekasi akan diproyeksikan memiliki sebuah Pelabuhan Internasional Bekasi. Jakarta sendiri akan berperan sebagai industri jasa, perdagangan serta pusat pemerintahan. Industri agro akan difokuskan di wilayah selatan, yaitu Cianjur dekat dengan pusat bahan baku agro industri dengan akses jalan pasar maupun transportasi laut ke arah Bekasi menuju pelabuhan internasional. Di sisi lain, pusat kota baru jangan dimaknai sebagai pusat segala fasilitas. Kondisi ini bisa menimbulkan konotasi ‘daerah tertinggal’ bagi daerah lain yang tidak menjadi pusat kota, yang pada akhirnya akan memberi efek negatif bagi tata ruang Jabodetabekpunjur. Sehingga distribusi fasilitas, baik di pusat kota maupun daerah non-pusat kota, harus merata secara kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya, ruang terbuka hijau harus diperbanyak sebagai batas area pembangunan. Dalam pandangan kami, ruang terbuka hijau yang paling potensial adalah daerah sempadan sungai. (lihat Memorandum Air Untuk Pembangunan Jakarta Berkelanjutan)

8


memorandum air untuk pembangunan jakarta berkelanjutan Pembangunan di Jakarta yang ekstensif dengan segala akibatnya sedikit banyak dipengaruhi oleh pembangunan yang sangat terpusat kepada ego manusia. Pergantian paradigma pembangunan menjadi environmentally oriented planning atau environment-based planning bisa menjadi solusi. Perencanaan ini menjadikan lingkungan atau bentang alam menjadi setting utama. Sungai adalah fitur alam yang mendominasi kawasan Jabodetabekpunjur. Sungai menyatukan satu daerah dengan daerah yang lain. Sungai juga adalah potensi alam sekaligus potensi ekonomi dan sosial Jabodetabekpunjur.

Dalam pemanfaatan sungai dibutuhkan sinergisasi antara hulu dan hilir dalam pengelolaannya (sumber gambar: Pagiola)

Kemunculan permukiman liar di bantaran sungai adalah wujud dari belum teroptimalkannya potensi ekonomi, sosial, dan ekologis sungai. Permukiman liar juga menjadi penyebab banjir, Sungai Ciliwung, misalnya kehilangan daerah limpas banjir karena daerah itu tersandera oleh permukiman. Sungai sebagai tempat sampah juga menambah beban dan menghambat sistem aliran drainase alamiahnya. Di sisi lain, terenggutnya ruang terbuka hijau yang menyerap air di musim penghujan serta pembangunan yang tidak meperhatikan sistem aliran air adalah penyebab banjir yang tak kunjung usai. Degradasi lingkungan memaksa Jabodetabek harus sesegera mungkin membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan kembali air dalam tata kotanya sekaligus menghentikan langganan banjir di sana. 1. Membangun Kesepakatan Antar Sektor dan Wilayah • Penanggulangan banjir Jakarta dibutuhkan deklarasi kesepakatan antar wilayah pemerintahan di dalam kawasan Jabodetabekpunjur untuk mau dan mampu bersinergi mengatasi masalah banjir dan membangun Jabodetabekpunjur lestari dan berkelanjutan sejak sekarang dengan konsep: • Satu Kawasan Jabodetabekpunjur (One Jabodetabekpunjur) • Satu pandangan menyeluruh (One comprehensive view) • Satu visi bersama (One shared vision) • Satu “grand design” paripurna (One overall grand design) • Satu manajemen terpadu (One integrated management) • Perlu adanya dukungan aspek legal Rencana Tata Ruang Wilayah Terintegrasi Jabodetabekpunjur termasuk di dalamnya grand design penanggulangan banjir dan kebencanaan antarpropinsi sebagai pencerminan kesepakatan pemerintahan antarwilayah dan konsekuensi pengimplementasiannya secara terpadu. 2. Menanggulangi Banjir Bersama Masyarakat (Participatory Approach) • Membangun kelompok masyarakat peduli lingkungan untuk mengantisipasi bencana terutama banjir. • Membina dan meningkatakan kapasitas kelompok masyarakat peduli lingkungan secara menerus dalam kegiatan kampanye penyelenggaraan penanggulangan bencana: • meliputi pengetahuan dan pelatihan tahap mitigasi, siap siaga, tanggap darurat, dan rehabilitasi pasca bencana, • dilengkapi aspek manajemen (kelembagaan, organisasi, aturan main), fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), unsur manajemen (visi, misi, program, sumber daya modal dan manusia, ketrampilan, motivasi dan insentif). Tanpa visi/ tanpa arah, tanpa misi/ tersendat, tanpa program/ tidak efektif, tanpa sumber daya modal dan manusia/ frustasi, tanpa ketrampilan/ lambat dan tidak kompetitif, tanpa motivasi dan insentif/ ragu-ragu dan setengah-setengah), 9


• kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam penanggulangan bencana menjadi budaya kehidupan masyarakat sehari-hari, • mengantisipasi dampak ikutan banjir, yaitu timbulnya penyakit (diare, gatal-gatal, dan sebagainya) yang mengancam masyarakat korban banjir, • mampu mengkritisi dan meng’koreksi’ agenda pembangunan yang dapat meningkatkan risiko bencana banjir. • mewaspadai dan menolak bisnis kebencanaan yang merugikan rakyat dan negara. • Membangun kemitraan bersama Dunia Usaha maupun perorangan dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana. 3. Mengembalikan Fungsi Strategis Sungai Sebagai Penopang Kehidupan Masyarakat • Mengembalikan Ciliwung sebagai ikon Jakarta, Cisadane sebagai ikon Tangerang, dan Kali Bekasi sebagai ikon Bekasi. • Merelokasi permukiman liar di sepanjang bantaran sungai dan membebaskan daerah limpasan air dari permukiman, menjadikannya sebagai kawasan buffer zone air sungai. • Menghentikan penggunaan dan penyedotan air tanah serta mengoptimalkan penggunaan air permukaan khususnya air sungai dan air hujan sebagai sumber air utama masyarakat untuk keperluan strategis seperti air minum sehingga diharapkan masyarakat menghargai sungainya. • Memaksimalkan pemenuhan ruang terbuka hijau kota berbasis ruang publik di sepanjang sungai sekaligus fungsi bantaran sungai sebagai kawasan penghubung (urban park connector) • Pencemaran air sungai dikurangi dengan pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk mandi, mencuci, dan kebutuhan air tersier lainnya. • Pengoperasian perahu sungai sebagai sarana rekreasi publik. • Menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menerapkan hasil-hasil penelitian terkait Ciliwung Management System sehingga tercipta role mode Research Based River Indonesia. 5. Regulasi Manajemen Pengololaan Air • Menghentikan pemakaian air tanah dan mengoptimalkan air permukaan seperti air sungai dan pengelolaan air hujan (rainwater harvesting) • Regulasi yang mewajibkan kantor-kantor pemerintahan, pusat-pusat perbelanjaan, dan insitutusi pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber air hujan. • Regulasi yang mewajibkan bangunan-bangunan tinggi untuk memiliki reservoir bawah tanah sebagai sarana penyerapan air. • Normalisasi danau dan pembangunan danau pengendali banjir. • Peremajaan dan pembangunan drainase sampai tingkat kelurahan. Untuk banjir lokal bisa dilakukan dengan penataan ulang seluruh drainase yang ada di Jakarta sampai tingkat kelurahan, RW & RT. Desain dan besarnya drainase harus sesuai dengan jumlah dan debit air yang melalui daerah tersebut. Drainase dan saluran air harus terintegrasi dengan semua DAS maupun banjir kanal yang melalui wilayah tersebut. Program ini harus dikelola sampai tingkat kelurahan. • Mengimbangi program Jakarta Bebas Banjir dengan Jakarta Peduli Peresapan Air.

10


6. Penerapan Smart-Infrastucture Pengelolaan Air dan Penanggulangan Banjir Pada tahun 2050 dipastikan bahwa deep-tunnel Jakarta sepanjang Cawang-Pluit dan normalisasi Waduk Pluit telah dapat diaplikasikan. Deep-tunnel ini sebagai bentuk suplai infrastruktur pengelolaan banjir. Mengadopsi teknologi Kuala Lumpur, secara umum, ada empat mode kerja smart tunnel Malaysia.

Mode pertama diberlakukan jika terjadi hujan ringan. Dalam kondisi tersebut, terowongan masih dibuka untuk kendaraan. Dua dek masih bisa difungsikan sebagai jalan tol. Mode kedua, diberlakukan saat terjadi hujan sedang dan air di Sungai Klang serta Ampang melebihi rata-rata. Dalam kondisi ini, sistem smart tunnel diaktifkan. Air hujan dialirkan ke saluran terbawah atau saluran yang berada di dek bawah atau jalan tol. Mode ketiga, apabila terjadi badai dan banjir. Jalan tol dalam terowongan ditutup untuk semua jenis kendaraan, sehingga secara otomatis gerbang aliran air akan membuka. Banjir akan mengalir melalui terowongan itu. Mode keempat akan diterapkan apabila hujan atau badai yang terjadi jauh lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya.

Rencana Deep Tunnel Jakarta (sumber: Kompas, 2012)

11


SOLUSI TRANSPORTASI UNTUK JABODETABEK Jakarta adalah sebuah kota yang lebih terkenal kemacetannya daripada salak condetnya maupun cerita Si Pitung. Kemacetan Jakarta semakin menjadi-jadi dari tahun ke tahun. Kemacetan di Jabodetabekpunjur disebabkan antara lain: • Pola penggunaan lahan yang tidak tertata dengan baik. Terlebih, tipe Jabodetabekpunjur yang tidak didesain sebagai compact city, memiliki sebuah pusat yang super besar di daerah Jakarta dengan permukiman di pinggirannya (sprawl city). Pergerakan yang tidak efisien pun muncul dari pinggiran ke arah pusat. • Minimnya fasilitas transportasi umum dan kurangnya prasarana pejalan kaki dan pesepeda baik dari segi kuantitas maupun kualitas di daerah Jabodetabekpunjur. Masyarakat masih merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum, naik sepeda, maupun jalan kaki. • Jalan raya di Jakarta yang mengalami banyak kerusakan. • Kendaraan umum di Jabodetabek masih memiliki kualitas rendah, baik dari aspek kecepatan, frekuensi, kenyamanan, maupun keamanan.

sumber: Sayembara Gagasan Perencanaan dan Perancangan Green Metropolis Jakarta 2050

sumber: Jakarta Urban Transport Policy: Racing with Fast Motorization

Menurut Dr. Heru Sutomo dalam Jakarta Urban Transport Policy: Racing with Fast Motorization, jika tidak ada intervensi yang berarti terhadap kondisi transportasi Jakarta, maka pada tahun 2014, total luas kendaraan roda empat akan sama dengan total luas jalan, yang artinya kemacetan akan menjadi sangat parah. Sistem transportasi yang kurang baik ini juga berakibat pada tingginya biaya serta polusi. Bahkan, menurut jakartamrt.com, 80% polusi di Jakarta merupakan akibat dari kendaraan bermotor. Terus-menerus menambah kapasitas jalan dengan pembangunan jalan raya bukan merupakan solusi yang terbaik. Hal ini memicu masyarakat untuk terus bergantung pada kendaraan pribadi. Seperti yang tercatat dalam metrotvnews.com, Dinas Perhubungan memprediksi jumlah kerugian yang diakibatkan macet di Jakarta mencapai Rp45 triliun. Diperlukan pemecahan masalah yang sesuai dengan kondisi masyarakat Jakarta. Selama ini, penggunaan bus dan kendaraan umum lainnya tidak berjalan dengan tertib. Kendaraan umum ngetem di mana-mana, menyebabkan kurang teraturnya sistem transportasi umum dan sekaligus mengakibatkan kemacetan pula. Masyarakat sendiri pun senang menghentikan kendaraan umum di sembarang tempat karena malas berjalan jauh.

12


Kondisi masyarakat dan ketertiban Jabodetabek pun masih buruk. Ada kecenderungan masyarakat untuk terus melanggar aturan yang dibuat, misalnya banyaknya mobil yang nekad masuk ke lajur busway Transjakarta. Solusi yang ditawarkan harus meminimasi kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut, karena bila tidak, maka kemacetan dan masalah-masalah lainnya tidak akan terselesaikan. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka solusi yang dianggap baik untuk Jabodetabek adalah mass transportation dengan sistem yang meminimasi kemungkinan pelanggaran-pelanggaran, seperti kendaraan umum berhenti sembarangan dan ngetem. Sistem yang dipilih adalah MRT (Mass Rapid Transportation) untuk Jabodetabek dan BRT (Bus Rapid Transit) untuk internal Jakarta. MRT dipilih sebagai transportasi untuk Jabodetabek karena jarak tempuh Jabodetabek yang jauh membuat biaya MRT menjadi lebih efisien dibandingkan jika MRT dioperasikan di dalam kota Jakarta. Banyaknya commuter juga merupakan alasan perlunya membangun MRT sebagai sarana transportasi di sekitar Jakarta. Elevated bus dianggap baik karena dapat meniadakan pelanggaran mobil pribadi yang masuk ke jalur busway Transjakarta. Pengadaan lahan juga akan lebih mahal dan memakan waktu bila BRT dibangun di dasar. Elevated bus juga memberi kenyamanan yang lebih kepada masyarakat karena terhindar dari macet serta tidak adanya kebiasaan ngetem dari supir bus. Transjakarta memang termasuk sebagai BRT. Namun, sistem transjakarta masih kurang sesuai dengan kondisi masyarakat yang cenderung mengabaikan peraturan. Karena itu, BRT yang disarankan berupa elevated bus. Elevated bus adalah sebuah sistem BRT berupa adanya jalan fly over yang dibangun khusus untuk bus. Halte akan ditempatkan di beberapa tempat yang strategis dan mempertimbangkan jarak jalan kaki yang harus ditempuh penumpang sebelum naik atau sesudah turun bus. Dalam cuaca tropis, manusia hanya nyaman berjalan sejauh 150 meter. Selebihnya akan menyebabkan lelah karena panas. Jalur elevated bus akan dibangun mengikuti jalur busway yang telah bangun. Sementara itu, MRT dibangun sebagai transportasi di kota-kota sekeliling Jakarta (Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor). MRT akan diintegrasikan dengan elevated bus di Tangerang, Depok, dan Bekasi. MRT maupun elevated bus juga akan terintegrasi dengan stasiun kereta api. Integrasi ini dilakukan dengan mendekatkan halte dari tiap moda tersebut dan halte-halte yang diintegrasikan tersebut harus dapat dicapai dengan berjalan kaki. Untuk semakin mempermudah pergerakan masyarakat, Bandara Soekarno-Hatta juga akan dihubungkan dengan sistem transportasi Jabodetabek tadi dengan MRT menuju Gambir. Untuk mendukung sistem tersebut, dibutuhkan adanya feeder dari permukiman dan zona lainnya untuk mencapai halte MRT maupun elevated bus. Fungsi feeder akan tetap dibebankan pada angkutan umum yang kecil, seperti mikrolet dan angkot.

13


Selain itu, pedestrian juga harus dimaksimalkan fungsinya. Masyarakat yang akan menggunakan MRT maupun elevated bus tidak lagi dapat naik-turun kendaraan umum di sembarang tempat. Karena itu, sebagai trade-off, masyarakat harus berjalan lebih jauh ke tempat yang dituju. Karena itu, pedestrian juga harus diperbaiki. Bila saat berjalan kaki masyarakat merasa tidak nyaman, dikhawatirkan elevated bus maupun MRT tidak akan laku dan masyarakat tetap bergantung pada kendaraan pribadi. Pedestrian harus dibangun sebaik mungkin. Lebar pedestrian harus cukup luas. Pedagang kaki lima tidak lagi memenuhi pedestrian yang menyebabkan pejalan kaki harus berjalan di jalan raya. Pedestrian juga harus dapat digunakan oleh penyandang cacat dan tuna netra. Penambahan jumlah kereta api dan pembangunan rel di sisi luar Jabodetabek (dari Cianjur ke Bekasi) juga diperlukan untuk sarana transportasi logistik dan produk agrobisnis Cianjur. Kereta api antara Tanjung Priok dan Serang juga bisa digunakan sebagai alternatif untuk transportasi limbah karena lebih efisien.

ilustrasi sistem transportasi Jabodetabekpunjur

14


PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM SOSIAL MEDIA Kebijakan desentralisasi kekuasaan dan wewenang pemerintahan berimplikasi pada munculnya drama politik tingkat daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada makin sulitnya implementasi kebijakan jangka panjang dalam pembangunan. Selain itu, harmonisasi peraturan satu daerah dengan daerah lain juga makin susah dilakukan. Diperlukan sebuah gerakan tingkat akar rumput agar pembangunan antardaerah lebih harmonis dan berkelanjutan. Dalam bahasa sederhana, siapa pun kepala daerah dan dimana pun wilayah politiknya, keinginan masyarakat yang menjadi titik acuan pembangunan. Mengembalikan kuasa kepada masyarakat bisa dimaknai pula peningkatan kesadaran berkota kepada masyarakat. Implikasi positifnya adalah masyarakat menjadi lebih bertanggung jawab dalam menangani permasalahan kota, baik dalam skala lingkungan maupun skala Jabodetabek. Walikota dan Bupati sebagai salah satu perangkat dari pemerintahan daerah di Jabodetabekpunjur (yang terdiri dari 11 daerah otonom) memiliki peranan strategis dalam peningkatan partisipasi masyarakat. Tugas pokok dari walikota dan bupati ialah pemerintahan daerah yang dilimpahkan dari Gubernur dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas pemerintahan di wilayah administrasi. Pendelegasian ini ialah untuk mendekatkan pintu-pintu pelayanan agar lebih responsif terhadap aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Niat baik walikota sebagai perangkat daerah agar lebih dekat dengan masyarakat ini sebenarnya dapat berkesinambungan dengan sebuah pendekatan baru dalam pembangunan, yaitu partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini adalah sebuah ide dimana masyarakat sebenernya mengetahui apa kebutuhan dan solusi untuk permasalahan yang ada. Optimisme menyelaraskan pendekatan bottom-up dan top-down dalam meningkatkan peran Walikota dan Bupati di Jabodetabekpunjur Sebanarnya banyak pesimisme yang terjadi bahwa pendekatan partisipasi di kota-kota besar, termasuk metropolitan, seperti Jabodetabekpunjur sulit dilakukan. Pesimisme ini dikarenakan kesibukan dari penduduk metropolitan yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan sifat oportunistik dari masyarakat kelas menengah ke atas. Padahal, dengan dukungan intelektualitas masyarakat di metropolitan dan perkembangan teknologi dapat menjadi faktor pendukung dalam keberhasilan pendekatan partisipatif di Jabodetabekpunjur. Faktor intelektualitas misalnya, berita resmi statistik BPS Provinsi DKI Jakarta pada bulan mei 2012 menunjukkan bahwa pekerja dengan jenjang pendidikan Diploma dan Universitas mendominasi di DKI Jakarta (sebesar 23,89%) dan diikuti dengan pendidikan SMA umum sebesar 23,05%. Data ini menunjukkan bahwasanya masyarakat yang bekerja di DKI Jakarta dapat dikatakan berpendidikan dan mengerti akan apa yang menjadi masalah dan apa yang dibutuhkan untuk perkembangan Jabodetabekpunjur. Fakor kedua ialah faktor teknologi. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi semakin hari semakin menjangkau seluruh umur. Tidak sedikit dari masyarakat yang memiliki umur lebih dari 40 tahun (dan dapat dikatakan tua) memiliki akun di sosial media seperti facebook dan twitter. Usulan dalam partisipasi masyarakat ialah adanya pembuatan situs ataupun sosial media yang khusus yang hanya bisa di akses oleh masyarakat Jabodetabekpunjur dengan misalnya akun masing-masing untuk menjaring aspirasi masyarakat. Sehingga pada situs ataupun sosial media tersebut masyarakat Jabodetabekpunjur dapat mengutarakan berbagai masalah yang dirasakan, solusi alternatif yang diberikan, dan berdiskusi guna mencari solusi terbaik untuk Jabodetabekpunjur.

15


STRATEGI ENERGI Energi secara harfiah merupakan kemampuan yang digunakan untuk menghasilkan kerja. Proyeksi kebutuhan energi selalu meningkat setiap tahunnya. Dalam sistem tata kota, kebutuhan terbesar energi adalah untuk pemenuhan kebutuhan energi bagi moda transportasi serta infrastruktur seperti gedung, jalan, bandara, perumahan, industri maupun infrastruktur lainnya. Kebutuhan listrik Jakarta saat ini sebesar 18% (4.250 MW) dari total kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali, sedangkan Jawa-Bali sendiri sebesar 23.640 MW yang merupakan 78% kebutuhan listrik nasional saat ini yaitu 30.000 MW. Proyeksi kenaikan kebutuhan listrik 7-8% tiap tahun dan baru sekitar 70-an% nya yang mampu dipenuhi oleh PLN (DESDM, 2012). Sehingga kebutuhan penyediaan kelistrikan menjadi hal yg vital di masa depan. Ke depannya strategi energi terbarukan akan menjadi hal yang dibutuhkan selain energi fosil yang memang tidak dapat dihilangkan sama sekali, hanya mampu dikurangi sedikit demi sedikit penggunaannya. Konsep zero waste dengan melakukan pengolahan limbah untuk menghasilkan biomassa diawali dari pemilahan sampah rumah tangga yg dihasilkan untuk diolah di Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa menghasilkan listrik. Bagi infrastruktur gedung atau perkantoran, konversi energi angin dengan turbin angin yang memiliki potensi nasional sebesar 9,2 GW belum mencapai 1% pemanfaatannya. Infrastruktur gedung, penerangan jalan dan lampu merah menggunakan teknologi solar cell bagi pemanfaatan energi surya yang memiliki potensi 4,8 KWh/m2/hari. Strategi tersebut dapat kami jabarkan sebagai berikut: • Teknologi untuk infrastruktur yang mampu menghasilkan energi sendiri. Dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur maka harus diimbangi dengan kebutuhan kelistrikan yang memadai. Di masa mendatang kebutuhan infrastruktur yang ramah lingkungan, yaitu efektif dan efisien dari segi konstruksi dan perawatannya. Infrastruktur juga ke depan bisa menghasilkan energi untuk konsumsi listriknya. Sebagai contoh, Bahrain Trade Centre memiliki turbin yang mampu memenuhi sampai 15% kebutuhan energinya sendiri. Dengan adanya industrialisasi teknologi material dalam beberapa tahun ke depan, panel surya diharapkan mampu memberikan efisiensi yang tinggi serta biaya yang terjangkau untuk diaplikasikan sebagai penghasil listrik. Penerapan kebijakan pembangunan gedung bertingkat nantinya diarahkan pada bangunan yg ramah lingkungan dan mampu menghasilkan energinya sendiri. Kebijakan subsidi bagi sisa listrik yang belum mampu terpenuhi oleh gedung tersebut diharapkan juga mampu memberikan rangsangan pembangunan gedung-gedung seperti ini nantinya. • Klusterisasi distribusi listrik untuk efisiensi energi Klusterisasi kawasan industri, permukiman, dan komersial akan membuat sistem pemisahan sumber dan distribusi listrik. Suplai gas bagi industri yang sebagian besar berasal dari luar jawa nantinya akan di penuhi oleh teknologi terbaru seperti Floating Storage Unit (mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2012) yang berada di pelabuhan sekitarnya sehingga ketersediaan gas bagi industri dapat berkelanjutan. • Strategi pengelolaan limbah rumah tangga untuk menghasilkan biomassa. Dengan keberadaan sentral-sentral pemukiman, limbah rumah tangga yang dihasilkan pun akan terpusat di wilayah pemukiman. Sistem dan kebijakan pengelolaan limbah rumah tangga secara terpadu dengan pembangkit listrik tenaga biomassa di wilayah masing-masing akan mampu mengurangi beban pemakaian listrik. Insentif juga bisa diberlakukan bagi rumah tangga yang menyumbangkan limbah. Kebijakan pengelolaan limbah biomassa pun dapat berlaku bagi industri yang ada. 16


SINERGISASI PENANGANAN SAMPAH Riset Dinas Kebersihan DKI (1998-2001) menunjukkan, komposisi sampah Jakarta tidak banyak berubah. Hanya 65 persen di antaranya berupa sampah organik. Sebanyak 35 persen sisanya menjadi rezeki pemulung, yaitu plastik (11 persen), kertas (10 persen), dan bahan lain antara satu sampai tiga persen: kain, kertas, kayu, bambu, logam, kaca, baterai, tulang hewan potong. Sebagai megapolitan, Jakarta menghasilkan sampah melebihi 6000 ton sampah/hari (JBIC SAPROV 2007). Dari jumlah tersebut, kontributor terbesar adalah sampah rumah tangga (52,97%), kantor (27,35%), industri (8,97%), sekolah (5,32%), pasar (4%). Dalam pengelolaannya, Jakarta saat ini mampu mengelola 84,6% dari total volume produksi sampah per hari. Di Botabek baru mampu mengelola 20-30% dari total volume produksi sampah per hari, sisanya ditimbun. Volume sampah per hari saat ini dan perkiraan tahun 2050 dengan estimasi kenaikan rata-rata per tahun sebesar 5%:

Menurut Indonesia Solid Waste Association (InSWA) masalah sampah didominasi oleh masalah non teknis (80%) dan masalah teknis hanya 20%. Berdasarkan hal tersebut, maka alternatif solusi dibagi menjadi solusi teknis dan solusi non teknis. Solusi penanganan sampah terbagi atas: • Penanganan sampah tingkat sumber Penanganan sampah di tingkat sumber diharapkan dapat menerapkan upaya minimasi yaitu dengan cara 3R difokuskan pada proses composting sampah organik. Sasaran: rumah tangga, sekolah, dan kantor. • Penanganan sampah tingkat kawasan Penanganan sampah skala perumahan atau skala kelurahan, yang dikelola dan dikoordinasi oleh lembaga tertentu. Penanganan ini difokuskan pada jenis sampah yang bernilai jual dan dapat didaur ulang, (seperti botol, plastik, kaleng, dll) yang bekerjasama dengan perusahaan pendaur ulang sampah. Pengumpulan sampah bisa dikategorikan sesuai jenis sampah per hari. • Penanganan sampah tingkat kota Sumber sampah dari kegiatan kota yang dianggap khusus, seperti jalan protokol, taman kota, instansi penting, pusat perdagangan, dan sejenisnya dapat dilayani dengan sistem langsung (door to-door), dimana sampah langsung dikumpulkan dan diangkut oleh truk sampah ke tempat pemrosesan akhir. Selain itu penanganan juga meliputi jenis sampah B3 yang tidak dapat dikelola dengan pengelolaan sederhana. Infrastruktur dan kebijakan yang diberlakukan sebagai bentuk kerjasama antara Departemen Pekerjaan Umum dan Dinas Kebersihan mendukung proses pemilahan sampah menjadi sampah organik (sampah dapur), sampah terdaur ulang, dan sampah B3. Penanganan sampah Jakarta - jumlah sampah terbanyak - akan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah barat dan timur. Pada tahun 2050 diproyeksikan TPST Bantar Gebang tidak mampu menampung jumlah sampah.

17


skema pengelolaan limbah di Jakarta

Maka diberikan 2 alternatif TPA, yaitu di wilayah Serang dan Nambo. • TPST Serang, Banten : sampah wilayah utara Jakarta dan wilayah barat Jabodetabekpunjur yang diangkut dengan kereta dari stasiun Tanjung Priok. • TPST Regional Nambo : Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan wilayah Jakarta bagian selatan. Penanganan timbunan sampah di TPST akhir : • Pengomposan untuk sampah organik dari pasar dan jenis sampah organik • Teknologi waste to energy: • Pengumpulan gas metan untuk dijadikan listrik. Hasil listrik dimanfaatkan PLN sebagai alternatif sumber energi • Proses insinerasi untuk jenis sampah anorganik yang tidak dapat ditangani lebih lanjut. Panas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber listrik. • Penanganan sampah B3 yang dialihkan ke PPLI, Bogor. Contoh kasus penanganan sampah kota di negara berkembang adalah 40 ribu ton sampah, dihasilkan setiap harinya oleh warga Sao Paulo, Brazil. Dari pengolahan dengan skema “waste to energy”, satu ton sampah yang diolah dapat menghasilkan 200 liter metan, dan dapat menerangi satu rumah selama 1 jam. Pengolahan landfill selama satu tahun dapat menerangi 400.000 warga. Dalam jangka waktu 7 tahun tempat pembuangan sampah tersebut berhasil mencegah pelepasan 352.000 ton gas metana ke udara dengan mengubahnya menjadi listrik berkapasitas lebih dari 1 juta MW. Tidak hanya sampah basah, sampah kering juga diolah dalam skala besar, seperti kaleng-kaleng, kertas, dan metal. Untuk pengolahan sampah kaleng, dari sejumlah 10 ton sampah kaleng yang dihasilkan, 9 ton dapat diolah oleh 14 perusahaan yang juga berperan sebagai pusat pengumpul. Maka melihat peluang tersebut, Jabodetabekpunjur dapat memiliki alternatif sumber energi dari timbunan sampah yang dihasilkan.

18


JABODETABEKPUNJUR SIAGA BENCANA 2050 Dengan kondisi alam yang makin susah diprediksi karena pemanasan global, Jabodetabek dengan penduduk lebih dari 40 juta pada tahun 2050 harus bisa tanggap bencana alam. Apalagi lokasinya yang ada di daerah pantai dan area rawan gempa. Kesiagaan menghadapi bencana menjadi penting dalam penciptaan Green Metropolis karena bencana adalah titik kritis perencanaan dan keberlanjutan sebuah komunitas. Penanganan bencana Jabodetabekpunjur berdasarkan pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Berikut adalah langkah sinergi menuju Jakarta Siaga Bencana 2050. Pencegahan Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pencegahan bencana merupakan upaya menghilangkan dan mengurangi ancaman bencana. Tahap pencegahan bencana dilakukan sebelum terjadinya bencana. Pencegahan dimulai dari sosialisasi dan edukasi pada masyarakat. Pencerdasan ini bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat menjadi subjek yang mampu bertindak sebelum, selama, dan sesudah situasi bencana. Sosialisasi dan edukasi masyarakat dilakukan dimulai dari tingkat anak-anak di lembaga pendidikan. Sosialisasi juga dilakukan pada pihak swasta dan lembaga pemerintahan. Pada daerah zona bencana, diadakan sosialisasi rutin tentang pencegahan bencana dan keselamatan diri, yang disertai dengan simulasi. Penanganan Penanganan merupakan tindakan yang dilakukan saat terjadinya bencana. Penanganan bertujuan untuk meminimalisasi kerusakan dan kerugian akibat bencana. Sistem peringatan dini terpasang hingga di tingkat desa di pedesaan dan tingkat RW di perkotaan. Pada tahap penanganan, masyarakat diharapkan telah mampu menyelamatkan diri sendiri secara maksimal tanpa merugikan keselamatan sendiri. Terdapat lokasi penampungan warga sementara yang aman dengan fasilitas yang lengkap berikut pusat informasi. Lembaga yang berwenang yakni TNI dan PMI memiliki sistem koordinasi yang terpadu dan melakukan pelatihan secara reguler. Terdapat mekanisme audit bangunan dan kerusakan yang efektif untuk memperkirakan kerusakan dan kerugian yang terjadi. Pemulihan Pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi. Pemulihan masyarakat dilakukan secara terpadu antara masyarakat, swasta, dan pemerintah. Rehabilitasi yang dilakukan memiliki sistem kontrol reguler hingga pulih atau paling mendekati kondisi sebelum terjadi bencana. Ancaman bencana di daerah Jabodetabekpunjur meliputi banjir, amblesan tanah, rob, abrasi, tanah longsor, gempa bumi, dan letusan gunung berapi. • Penurunan Tanah Potensi penurunan tanah terutama terdapat di Jabodetabek bagian utara. Dari studi penurunan tanah di Jabodetabek selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu: pengambilan air tanah dalam yang berlebihan, pembebanan bangunan, dan konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah

19


Secara alamiah, penurunan tanah sedang terjadi di Jabodetabek sebagai akibat dari konsolidasi sedimen penyusunnya. Daerah Jabodetabek diklasifikasikan sebagai Dataran Pantai Jakarta (van Bemmelen, 1949) berupa dataran yang tersusun atas sedimen muda yang masih mengalami kompaksi secara alami. Selanjutnya, aktivitas manusia di atasnya mempercepat proses kompaksi alami tersebut. Masalah penggunaan air tanah dalam dipercaya paling banyak berkontribusi dalam meningkatkan penurunan tanah di wilayah-wilayah utara Jakarta. Penurunan tanah dapat menyebabkan perubahan struktur, kerusakan struktur, pembalikan drainase, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya bencana banjir. Sebagai tindak pencegahan, pada daerah Jabodetabek dilakukan optimalisasi penggunaan air permukaan dari sungai dan danau sebagai sumber air utama aktivitas penduduk Jabodetabek. Selanjutnya, infrastruktur bangunan yang ada di Jabodetabek dibangun dengan bahan yang ringan namun kuat untuk meminimalisasi pembebanan tanah. Edukasi masyarakat, swasta, dan pemerintah dilakukan pada berbagai tingkatan. Edukasi pencegahan terutama berupa penggunaan air, yang merupakan kegiatan paling berkontribusi terhadap penurunan tanah. • Tanah longsor Potensi tanah longsor terdapat di bagian dataran tinggi dan pegunungan di Bogor, Puncak, dan Cianjur. Sebagai tindak pencegahan, daerah dengan kemiringan lereng yang rawan dikonservasi dengan vegetasi dan pembangunan penahan longsor. Masyarakat telah diedukasi untuk membangun pemukiman di daerah yang aman untuk meminimalisasi risiko jatuhnya korban. • Banjir rob dan abrasi Wilayah pesisir Jabodetabek menghadapi ancaman banjir rob dan abrasi pantai jika tidak dilakukan pembangunan yang tepat. Tindak pencegahan utama adalah sebagian besar daerah pantai tidak difungsikan sebagai lokasi pembangunan infrastruktur. Daerah pantai ditanami mangrove sebagai penahan alami air laut. Pembangunan dilakukan di sebagian kecil daerah pantai yaitu daerah sekitar pelabuhan. Pada wilayah ini disertai pembangunan tanggul dengan sistem pound, polder, and pumping terintegrasi yang dapat memompa air kembali ke laut dalam waktu singkat jika terjadi banjir rob. Infrastruktur yang dibangun memiliki ketahanan untuk menghadapi abrasi. • Gempa bumi Wilayah Jabodetabekpunjur tidak luput dari ancaman gempa bumi tektonik akibat pergerakan lempeng maupun vulkanik akibat aktivitas gunung berapi. Tindakan mitigasi yang utama adalah pembangunan infrastruktur yang ringan dan aman namun tahan gempa di seluruh daerah Jabodetabek. Edukasi dilakukan secara berkala pada seluruh elemen yakni masyarakat, swasta, dan pemerintah. Seluruh elemen tersebut perlu untuk membangun infrastruktur siap gempa dan langkah-langkah penanganan saat terjadi bencana.. • Letusan gunung berapi Ancaman letusan gunung berapi berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede yang masih aktif. Tindak pencegahan dimulai dengan zonasi daerah rawan bencana dan daerah terdampak bencana. Kedua daerah tersebut berada di sekitar Bogor, Puncak, dan Cianjur. Daerah terdampak bencana dijadikan wilayah steril tanpa infrastruktur dan penduduk, sedangkan daerah rawan bencana dapat ditinggali oleh penduduk. Edukasi dan sosialisasi masyarakat dilakukan berkala pada masyarakat yang tinggal pada daerah rawan bencana tersebut dan sekitarnya.

20


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.