MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL GUNA MEWUJUDKAN KOTA BERKELANJUTAN: Catatan Kecil dari Rotterdam Global Urban Summit 2009 dan refleksi terhadap kota-kota di Indonesia
Adji Krisbandono1 Enoh Suharto2 PENGANTAR Seiring dengan diselenggarakannya Climate Summit di Kopenhagen, Denmark dari tanggal 2 hingga 17 Desember 2009 lalu, pada tanggal 3 dan 4 Desember pemerintah kota Rotterdam, Belanda bekerjasama dengan beberapa mitra kerjanya: para pakar, akademisi, dan swasta juga menyelenggarakan sebuah event internasional yaitu Rotterdam Global Urban Summit 2009. Event ini mengambil tema sentral kolaborasi peran kota dan sektor bisnis dalam menjawab tantangan perubahan iklim (climate change), serta menciptakan “New Green Deals”, yaitu kesepakatan multistakeholders untuk mendukung setiap upaya pembangunan kota berkelanjutan (sustainable city development). Beberapa tema lain juga didiskusikan secara paralel, mulai dari upaya pemerintah kota yang bersinergi dengan pihak swasta untuk mengatasi dampak perubahan iklim, bagaimana merencanakan kota dengan pendekatan partisipatif dan melibatkan seluruh warganya, gagasan mewujudkan kota bebas karbon (carbon neutral city), solusi revolusioner untuk mengubah wajah kota (city image), serta tema-tema lainnya. Dalam kesempatan ini, penulis ingin berbagi pengalaman selama menghadiri event tersebut. KOTA BERKELANJUTAN: DEFINISI DAN PRAKTEK Para pakar mendefinisikan istilah “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development) dengan definisi dan pendekatan yang beragam. Secara umum, Brundtland Report (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang ...”development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Terdapat dua konsep dasar dalam definisi tersebut, yaitu: 1) Konsep “kebutuhan” (needs), dimana yang menjadi tolak ukurnya adalah memprioritaskan kebutuhan dasar bagi kaum miskin; 2) Konsep “keterbatasan” (limitations), yaitu upaya merekayasa teknologi dan daya dukung lingkungan agar mampu memenuhi kebutuhan sekarang (present) dan masa depan (future). Dalam konteks pembangunan kota, satu hal yang sangat krusial adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan aspek ekonomi dalam pembangunan kota. Banyak sekali contoh keberhasilan maupun kegagalan bagaimana kota-kota di belahan dunia lain dalam mengimplementasikan konsep keberlanjutan ini. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah cepatnya laju dan dinamika urbanisasi. Tingginya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi khususnya di daerah perkotaan telah merubah wajah kota-kota di dunia. Francis Bailly dalam presentasinya “The Sustainable City” memaparkan fakta bahwa Tokyo, New York, dan Shanghai adalah kota-kota kelas dunia dengan penduduk terpadat pada tahun 1975 (masing-masing sebesar 26,6 juta, 15,9 juta, dan 11,4 juta). Jumlah ini diprediksi akan mengalami kenaikan serta perubahan posisi pada tahun 2015, dimana Tokyo tetap menjadi kota terpadat dengan jumlah penduduk 36,2 juta, disusul oleh Mumbai (22,6 juta), dan Delhi 1 2
Peneliti Perkotaan dan Regional, Badan Litbang Dep. PU. Saat ini sedang menempuh studi pascasarjana di IHS, Rotterdam. Alumni UMC3 dan saat ini sebagai Kepala Bidang Perumahan Formal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
1/6
(20,9 juta). Fakta tersebut juga mensiratkan bahwa pertambahan jumlah penduduk di perkotaan juga mengakibatkan semakin tingginya kebutuhan akan tempat tinggal, layanan infrastruktur, produksi dan konsumsi energi, serta tekanan terhadap lingkungan. Masih dalam event Rotterdam Global Urban Summit, dalam petikan sebuah wawancara, Winy Maas – salah seorang arsitek dan perencana kota terkemuka– memperkenalkan konsep “density, diversity, and innovation“ untuk merencanakan arah pembangunan kota yang ideal. Winy memandang kota ideal sebagai sebuah kota yang dihuni oleh warganya, dan warga kota tersebut mampu memaksimalkan segala potensi yang mereka miliki. Untuk mewujudkan hal ini, “inovasi” menjadi kata kunci utama. Bagaimana mewujudkannya? Di balik skill sang urban managers bersama segenap komponen kota-lah (private, civil society, NGO, dan warga kota dalam makna luas) segalanya dimulai. BEBERAPA BEST PRACTICES DALAM MANAJEMEN PERKOTAAN Beberapa kota di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa telah memulai upaya-upaya berkelanjutan dalam manajemen kota. Penulis akan memberikan ilustrasi singkat mengenai bagaimana success story kota Portland, Vancouver, dan Rotterdam berbenah diri guna menjawab permasalahan dan tantangan perkotaan saat ini, meningkatkan kualitas hidup warganya sekaligus memperbaiki image kota mereka. The Portland Plan: Perencanaan Kota yang Partisipatif Kota berpenduduk 575.000 jiwa ini mematok visi “to be a thriving and sustainable city” dengan memulai perencanaan kota yang melibatkan aspirasi seluruh komponen warganya. Tiga nilai utama (core value) yang menjadi pedoman dalam implementasi program pengembangan kota yaitu: equity and access, environmental economic and social sustainability, serta community connectedness and distinctiveness. Dalam presentasinya berjudul “Sustainability Meets Livability in Community Strategic Planning”, Michael Armstrong (Deputy Director for Sustainability, Bureau of Planning and Sustainability, Portland City) memaparkan bahwa ketiga nilai ini kemudian diartikulasikan oleh institusi terkait kedalam sembilan lingkup kerja; mulai dari seni & budaya, pendidikan, hingga kesehatan (lihat gambar 1).
Gambar 1. Sembilan Lingkup Kerja Pemerintah Kota Portland Teknik awal yang digunakan untuk “memancing” kepedulian dan partisipasi warga kota Portland adalah dengan menyebar poster yang cukup provokatif berjudul “In a city of 575,000; who gives a rip what you think?”, yang kurang lebih bermakna “dengan jumlah warga kota sebesar ini; siapa yang akan peduli tentang apa yang Anda pikirkan?” tidak hanya kuesioner yang “membosankan”, tetapi pemerintah 2/6
mengoptimalkan penggunaan media-media kampanye publik lain, seperti: kartu pos, website jejaring sosial (facebook & twitter), grup-grup diskusi, serta membentuk badan advokasi/pelindung. Dari mediamedia ini kemudian warga tergerak untuk menyuarakan aspirasi mereka. Keluhan dan masukan guna pengembangan kota berikut fasilitas pendukungnya-pun (hard and soft) dimasukkan kedalam agenda dan program pemerintah kota Portland. Beberapa poin yang menjadi catatan antara lain: Sekitar 40% lapangan kerja yang tersedia untuk keseluruhan Portland Region ada di kota ini, namun di saat yang sama, antara 2000 dan 2006 kota Portland hanya mampu menyerap 11% lapangan kerja baru. Kota Portland semakin berkembang dan mampu menyerap sebagian besar pasar perumahan dalam lingkup Portland Region, akan tetapi harga rumah menengah semakin tidak terjangkau khususnya bagi mereka yang berpenghasilan menengah kebawah. Sistem transportasi massal kelas dunia tersedia di kota Portland, namun di lain pihak, anggaran untuk pemeliharaan dan meng-upgrade infrastruktur yang sudah tua semakin terbatas. Masih banyak poin-poin penting yang mengungkapkan capaian kota Portland selama ini, namun masih banyak juga fakta dan tantangan di lapangan yang harus diatasi. Alhasil hal-hal tersebut diatas mengisyaratkan perlunya disusun rencana Gambar 2. Jalur sepeda di salah satu sudut kota Portland yang baru3. kota Portland Tiga komponen utama yang menjadi tema sentral dalam rencana kota Portland yang baru adalah: 20-Minute Neighborhoods; desain aksesibilitas diupayakan agar warga dapat mengakses fasilitas (layanan umum, pusat bisnis dan komersil, dll.) yang ada di sekitar tempat tinggalnya hanya dalam 20 menit berjalan kaki. Green Places and Connections; jejaring infrastruktur hijau juga menjadi tema sentral dengan memadukan fungsi konservasi, kenyamanan lingkungan, dan artistik melalui pembuatan taman kota, jalur hijau untuk sepeda, jalur pejalan kaki yang rimbun, dll. Vibrant Central City; selain sebagai pusat aktivitas ekonomi, pusat kota Portland juga ditransformasi menjadi sebuah kawasan multi-fungsi yang mampu menampung seluruh aktivitas warga. Eco-density: Meningkatkan Kualitas Hidup Warga Kota dengan Brand New Image of Vancouver Vancouver adalah sebuah kota yang memiliki riwayat perencanaan kota yang sangat kaya. Perkembangan kotanya cukup progresif, bahkan kadang terkesan sangat intuitif. Adalah Brent Toderian, Director of City Planning yang menyampaikan gagasannya mengenai cita-cita kota Vancouver untuk menjadi kota berkelanjutan (sustainable city by design) dalam event ini. “Eco-density” merupakan konsep yang diusung sejak 2007. Konsep ini merupakan salah satu terobosan dalam sejarah perencanaan kota Vancouver dengan memberikan penekanan pada livability guna menghadapi tantangan perubahan iklim dan krisis energi. Dalam konsep ini, telah digariskan bahwa visi Vancouver kedepannya adalah sebagai kota yang berkelanjutan, dimana warga kota beserta atribut gaya hidup yang melekat padanya mampu dioptimalkan guna meningkatkan kualitas hidup mereka. Sesuai dengan konsep yang diacu, “density” (kepadatan) merupakan tema kunci dalam konsep “eco-density” ini, dimana diupayakan agar: (1) warga kota mampu mengurangi carbon footprint4 mereka. Untuk mencapai tujuan ini pemerintah kota Vancouver mendesain tampilan fisik kota agar lebih aksesibel dengan (tetap) 3
Proses penyusunan Portland Plan dimulai pada musim gugur 2009 dan direncanakan selesai pada musim panas 2010 ini. Portland Plan yang telah difinalisasi akan dijadikan acuan untuk menyusun rencana detail tata ruang yang dijadwalkan selesai pada musim dingin 2012. 4 Carbon footprint adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh individu, ataupun sekelompok individu.
3/6
berjalan kaki, mulai dari toko, pusat layanan bisnis, dll; (2) infrastruktur yang sudah ada tetap dipelihara, sekaligus mengurangi tekanan pembangunan terhadap areal pertanian dan habitat alamiah; serta (3) mengoptimalkan sistem-sistem buatan yang lebih ramah lingkungan dalam hal penggunaan energi dan material. Setelah melalui rentetan workshop selama dua tahun, pertemuan/forum diskusi publik (public hearing) yang melibatkan ratusan warga, produk akhir yang dihasilkan yaitu EcoDensity Charter kemudian diadopsi dalam program kerja City Council pada Juni 2008. Dokumen-dokumen ini merupakan pijakan awal bagi kota Vancouver untuk terus mengembangkan diri guna mewujudkan misi awal mereka sebagai sebuah kota berkelanjutan. Rotterdam World Port City: Roadmap untuk Menjawab Tantangan Perubahan Iklim Isu perubahan iklim sedikit banyak telah merubah wajah kota-kota di belahan dunia manapun. Konsep dan strategi mitigasi serta adaptasi diperkenalkan dan diaplikasikan melalui berbagai program. Rotterdam dikenal sebagai sebuah kota yang memiliki pelabuhan internasional terbesar di Eropa. Pesatnya industri pengolahan bahan bakar fosil untuk proses produksi menuntut dikembangkannya upaya-upaya guna menjaga keberlanjutan sumberdaya (termasuk sumber energi yang tidak terbarukan – non renewable resources). Jika tidak dilakukan upaya antisipatif, tentu saja akan berdampak negatif bagi Rotterdam maupun negara Belanda secara keseluruhan. Sebagai kota pelabuhan yang berbasis pada kuatnya sektor industri, Rotterdam berkontribusi menyumbang 16% emisi CO2 yang dihasilkan negara ini (jumlahnya sekitar 29 mega ton). Untuk mereduksinya, pemerintah kota Rotterdam bekerjasama dengan sektor swasta/industri baru-baru ini sedang meng-uji coba teknologi baru yang dinamakan carbon capture and storage (CCS). Inisiasi CCS (yang juga merupakan pilot project pertama di Belanda) ini dimulai pada November 2006 ketika International Advisory Board (semacam dewan penasehat walikota Rotterdam) ingin memfokuskan perkembangan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Tepatnya pada January 2007, Rotterdam menerima tantangan ini. Pemerintah kota Rotterdam bekerjasama dengan Rotterdam Port Authority, pihak swasta, dan Badan Pengendali Lingkungan Hidup (DCMR Environmental Protection Agency Rijnmond) membentuk sebuah konsorsium bernama Deltalings sekaligus mengumumkan ketertarikan Rotterdam untuk berpartisipasi dalam program Bill Clinton Agenda dalam menjawab tantangan iklim global. Adalah sebuah pekerjaan rumah yang sangat sulit; bagaimana mengubah perubahan iklim menjadi sebuah snow ball yang menggulirkan manfaat bagi warga kota Rotterdam secara luas, bagi lingkungan, dan tentu saja menjaga agar roda ekonomi tetap berputar. Rotterdam Climate Initiative, aksi sekaligus roadmap yang dicanangkan oleh stakeholders tersebut juga turut menggandeng pemerintah, perusahaan, institusi pendidikan, dan tentu saja warga kota untuk berkolaborasi mencapai target pengurangan emisi CO2 sebesar 50%, beradaptasi menghadapi perubahan iklim, dan mendukung geliat ekonomi kota, sebagaimana dikatakan oleh walikota Rotterdam dalam kutipan berikut: “Reducing CO2 emissions by 50% in 2025, making sure that we are prepared for climate change, and boosting economic growth – together we can achieve these goals if we, as market parties, citizens and government authorities, pool resources and join forces. Our willingness and ability to put our backs into this is what makes this innovative collaboration an example in point of the Rotterdam mentality� (Ahmed Aboutaleb, Walikota Rotterdam)
4/6
PENUTUP: SEBUAH REFLEKSI UNTUK KOTA-KOTA DI INDONESIA Beberapa literatur telah merekomendasikan bagaimana muwujudkan keberlanjutan proses partisipasi dalam perencanaan kota, antara lain: (1) menciptakan iklim politik dan sistem demokrasi yang kondusif dimana pihak swasta dan masyarakat luas memegang peran penting dalam praktek perencanaan partisipatif. Selain itu perlu dibentuk lembaga formal yang responsif, akuntabel, dan mendapatkan dukungan politis agar dapat mencapai sasaran yang telah ditargetkan, perlu disusun landasan hukum yang kuat guna berlangsungnya proses perencanaan kota yang partisipatif, serta memahami lebih dalam mengenai keuntungan (advantages) dan kelemahan (disadvantages) dari pendekatan partisipatif agar dapat dilakukan langkah-langkah antisipatif jika selama pelaksanaan proses perencanaan mengalami kebuntuan, kegagalan, atau bahkan konflik sosial. Jejak Portland dan Vancouver dalam meningkatkan kualitas hidup warganya melalui perencanaan kota yang partisipatif dan aspiratif, dapat pula kita copy-paste (tentu saja dengan tambal-sulam serta penyesuaian kondisi sosial kultural disana-sini). Kota Jakarta sebagai contoh, yang saat ini tengah menggodog RTRW untuk jangka waktu hingga 2030. Proses interaktif yang sedang diinisiasi oleh pemda DKI Jakarta melalui website www.RTRWJakarta2030.com untuk menjaring aspirasi dan masukan warga, meskipun dinilai sebagai sebuah media yang relatif mahal –mengingat tidak semua warga Jakarta mendapatkan layanan akses internet– tapi setidaknya proses ini perlu terus di-improve. Peran para pakar, NGO, dan civil society untuk terus mengawal proses ini dengan cerdas harus dikampanyekan pula. Pemanfaatan media-media lain sebagaimana dilakukan kota Portland juga layak untuk dicoba. Tindak lanjut dari proses ini juga harus terus diikuti dan dikontrol supaya warga tetap dapat menjustifikasi sejauh mana aspirasi mereka diakomodasi. Kata-kata kunci seperti "sustainability", "livability", dan lain sebagainya untuk mewujudkan Jakarta yang mampu memakmurkan status sosial ekonomi warganya juga harus tetap menjadi vision supaya kita tidak kehilangan pegangan dalam hidup berkota. Pengalaman Rotterdam dalam menyelaraskan pembangunan fisik dan ekonomi kota dengan tetap menjunjung tinggi etika lingkungan juga harus menjadi catatan bagi para pengelola kota di Indonesia. Mungkin kita belum sampai pada taraf membenamkan investasi yang sangat mahal untuk memaksimalkan proses mitigasi perubahan iklim di sektor industri, seperti halnya industriawan di Rotterdam meng-install sistem CCS untuk “menangkap” CO2 dan kemudian memasarkannya di pasar karbon. Tapi dalam skala kecil, upaya minimalisasi emisi tetap bisa dilakukan. Sebagai contoh: pemberlakuan car-free day di beberapa jalan arteri di Jakarta tetap dilakukan, atau bahkan ditambah durasi jam dan harinya. Moda transportasi publik seperti Busway Transjakarta ditingkatkan kapasitas layanan dan faktor kenyamanannya. Setidaknya, meskipun masih parsial dan belum menyentuh ke persoalan inti climate change, langkah kecil tersebut bisa berdampak masif dan berkesinambungan. Kota Surabaya telah mencoba mengaplikasikan secara operasional pembangunan fisik kota dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (equity) tanpa mengabaikan aspek lingkungan yang telah diterapkan di negera-negara maju melalui modifikasi pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat. Triger utama pembangunan kota yang produktif dengan memperhatikan aspek pemerataan dan lingkungan di mulai dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pada lingkungan masyarakat berpenghasilan menengah bawah melalui inovasi produk-produk unggulan komunitas dan fasilitasi terhadap administrasi keuangan usaha, bahan baku serta akses pasar menjadi triger. Kolaborasi pro aktif Pemerintah Kota dan Perguruan Tinggi dikontrol oleh Media dan Masyarakat yang sangat kritis adalah triger kedua dalam mensukseskan pembangunan kota Surabaya yang produktif dan ramah lingkungan bagi masyarakatnya. Referensi Armstrong, M. 2009. The Portland Plan: Sustainability Meets Livability in Community Strategic Planning, paparan dipresentasikan pada Rotterdam Global Urban Summit 3 – 4 Desember 2009, Rotterdam. 5/6
Bicknell, Jane, David Dodman, and David Satterthwaitte (ed.), 2009. Adapting Cities to Climate Change: Understanding and Addressing the Development Challenges, International Institute for Environment and Development, Earthscan, London. DCMR, 2009. CO2 Capture Transport and Storage in Rotterdam, Rotterdam Climate Initiative Report 2009. DCMR, Rotterdam. Pal, Anirban, 2006. Scope for bottom-up planning in Kolkata: rhetoric vs. reality, Environment and Urbanisation, Vol. 18 (2): 501 – 521. Toderian, B. 2009. The Future of a “New Generation” Vancouver: A Sustainable City By Design, paparan dipresentasikan pada Rotterdam Global Urban Summit 3 – 4 Desember 2009, Rotterdam. UN Habitat, 2009. Planning Sustainable Cities: Global Report on Human Settlement, Earthscan, London. http://www.rtrwjakarta2030.com/ http://www.urbansummit.rotterdam.nl/en/index.php
6/6