Haruskah Situ-situ Terus Mengalah?

Page 1

HARUSKAH SITU-SITU TERUS MENGALAH? Adji Krisbandono Peneliti Perkotaan dan Regional, Puslitbang Sosekling Kementerian PU

Banjir Jakarta: permasalahan multikompleks yang tak kunjung selesai

J

akarta lumpuh! Demikian diberitakan oleh berbagai media cetak dan elektronik setelah ibukota negara direndam banjir plus dikepung macet beberapa hari yang lalu. Tak hanya Jakarta. Bahkan Hari Air Sedunia yang jatuh setiap tanggal 22 Maret pun harus “dirayakan� dengan musibah banjir di daerah lain. Bojonegoro dan Gresik, ambil contoh. Banjir telah merendam 5 kecamatan di kawasan hilir Sungai Bengawan Solo tersebut, termasuk jebolnya 2 tanggul. Jika kondisinya sudah separah ini, sepertinya tak ada guna kita membenamkan triliunan rupiah untuk proyek penanganan banjir dan penanganan kemacetan ibukota. Investasi yang dikeluarkan sangat tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh penduduk, baik materiil maupun non materiil. Mengapa banjir kerap melanda Jakarta? Kapankah warga Jakarta bisa sepenuhnya terbebas dari bencana ini? Bukankah banyak pakar yang kerap mendiskusikan isu ini di seminar-seminar? Banyak pula pakar yang menjadi bagian dari sistem birokrasi pemerintahan agar knowledge yang mereka miliki dapat langsung mempengaruhi kebijakan publik. Jika kita berbicara masalah banjir, mau tidak mau kita harus menelaah lebih jauh mengenai pengelolaan sumberdaya air (SDA) dalam lingkup daerah aliran sungai (DAS) yang terintegrasi; dari hulu hingga ke hilir. Pendekatan ini juga membawa konsekuensi bahwa pengelolaan SDA harus melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders), baik pemerintah pusat, pemda, masyarakat lokal, akademisi, serta sektor swasta. Selain itu, sangatlah mustahil jika pemerintah bercita-cita ingin menangani banjir Jakarta hanya dengan mengejar target fisik pembangunan infrastruktur pengendali banjir semata (structural measures) tanpa memperhatikan upaya-upaya non struktural; terlebih jika yang menjadi fokus hanyalah kawasan hilir (Jakarta red.) tanpa mencegah penggundulan hutan di daerah hulu (kawasan hutan tropis/areal konservasi di Bogor misalnya), mengendalikan pencemaran untuk mempertahankan kualitas air agar dapat dimanfaatkan untuk penyediaan air baku, melestarikan Situ-situ sebagai wadah/tempat parkir air, meningkatkan mekanisme kontrol dan pengawasan pemanfaatan tata ruang agar alih fungsi lahan dapat dikurangi, mengendalikan eksploitasi air tanah, dan lain sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis ingin menggagas pentingnya re-internalisasi peran Situ sebagai salah satu infrastruktur SDA yang selama ini terlupakan dan terabaikan serta upaya merevitalisasinya untuk mencegah banjir yang terus-menerus berulang. Situ-situ yang tak terurus Sejatinya, Situ berperan sebagai daerah parkir air, penyedia keanekaragaman hayati, serta penyeimbang siklus hidrologi di wilayah sekitarnya. Penyusutan luas Situ yang kerap terjadi di Jabodetabek disebabkan karena banyak hal, antara lain kebutuhan lahan yang mendesak untuk permukiman, perdagangan dan kegiatan lainnya. Data menunjukkan bahwa sebenarnya jumlah Situ di wilayah ini lebih dari 100 buah, namun 90% dalam kondisi rusak dan tidak terkelola secara optimal. Jika dikaitkan dengan kemampuan menahan limpasan air hujan, peran Situ sangatlah besar. Namun saat ini Situ dianggap sebagai sumberdaya yang tidak memiliki nilai ekonomis karena pembangunan kerap dilakukan tanpa mempedulikan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menyebabkan semakin meningkatnya tekanan terhadap alam. Pembangunan dan pengembangan wilayah memaksa Situ menjadi salah satu sumberdaya alam yang harus terus mengalah, yang pada akhirnya membuat Situ-situ mengalami pengurugan dan beralih fungsi.

1


Dari observasi lapangan serta wawancara dengan penduduk dan pejabat pemerintah yang dilakukan oleh Tim Peneliti Balai Litbang Sosekling Bidang SDA di beberapa Situ di Jabodetabek, ada beberapa faktor mengapa Situ-situ terus terabaikan: Pertama, ketidakjelasan wewenang pengelolaan. Patut diakui, sampai saat ini memang belum ada kerangka regulasi yang tegas dan jelas mengatur kewenangan pengelolaan Situ. Belajar dari tragedi Situ Gintung, banyak pihak lantas saling menuding untuk dimintai tanggungjawab mengapa bencana tersebut sampai merenggut banyak korban jiwa. Jika terdapat pembagian kewenangan yang jelas, misal: pemerintah pusat cq. Kementerian PU bertanggungjawab melakukan inventarisasi dan rehabilitasi Situsitu yang masuk dalam kategori rusak berat, kemudian pemerintah daerah bertanggungjawab mengelola sekaligus melakukan perawatan berkala (termasuk jika ingin memanfaatkan potensi Situ sebagai objek wisata dan rekreasi keluarga). Masyarakat-pun harus turut dilibatkan.

Gambar 1. Bebek Air sebagai salah satu objek wisata di Situ Citayam, Kec. Pancoran Mas, Kota Depok

Sebagai contoh, hampir seluruh Situ yang berada di kota Depok dikelola oleh Pokja yang beranggotakan warga masyarakat. Selain bertugas dalam operasionalisasi pengelolaan harian, Pokja juga bertanggungjawab untuk mengajukan usulan perbaikan ke pemda jika anggota Pokja tidak mampu mengatasinya sendiri. Pengerukan sedimen dan pengangkutan gulma air yang telah mengakar hingga ke dasar Situ biasanya menjadi kendala mereka. Untuk itu, mereka mengajukan proposal pengerukan ke pemda. Pokja ini juga berperan penting dalam pengawasan daerah sekitar Situ. Salah satu anggota Pokja Situ Pengasinan, kota Depok menyatakan bahwa dulu kerap ditemui pihak-pihak yang hendak memanfaatkan Situ secara ilegal, misal: mengurug sebagian perairan Situ untuk kepentingan pribadi (membangun tempat pencucian mobil, showroom, dan lain sebagainya). Berlatar belakang kondisi tersebut kemudian menggerakkan Pemkot Depok untuk membentuk Pokja-pokja pengelola Situ. Penyelesaian persoalan-persoalan di lapangan melalui koordinasi dengan lurah dan camat setempat juga merupakan tugas utama Pokja. Namun sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tiadanya kewenangan yang jelas terkadang membuat Pokja bingung hendak melapor ke instansi mana yang bertanggungjawab dalam pengelolaan Situ. Dari sini kemudian muncullah kasus-kasus pengurugan Situ, pembuangan limbah ke badan air, dan lain-lain. Melihat semakin maraknya pengurugan Situ yang dilakukan masyarakat, Direktur Sungai dan Pantai Ditjen SDA, Ir. Pitoyo Subandrio, Dipl. HE. menyatakan dengan tegas pada acara Kolokium Hasil Litbang SDA di Bandung 23 Maret lalu bahwa dalam rangka turut berkontribusi mengendalikan banjir Jakarta, pihaknya melarang keras praktik-praktik reklamasi Situ. Kedua, minimnya koordinasi antar instansi. Dalam satu Situ, biasanya terdapat beragam instansi yang terlibat dalam pengelolaannya, dan koordinasi merupakan persoalan yang kerap terjadi. Misal: Dinas PU bertanggungjawab dalam pembuatan tanggul serta perbaikan saluran inlet dan outlet, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menata kawasan Situ untuk menggarap potensi wisata, Badan Lingkungan Hidup melakukan pemantauan kualitas air, hingga masyarakat yang memanfaatkan perairan Situ untuk pemancingan dan keramba. 2


Jika dieksplorasi lebih dalam, upaya pemanfaatan ekonomis Situ dengan membuat pemancingan yang tidak terkontrol telah menurunkan kualitas air Situ dikarenakan konsentrasi pakan ikan yang terlalu berlebih. Pembangunan keramba juga tidak terkontrol. Fakta ini terungkap ketika penulis mewawancarai salah seorang staf kecamatan Parung, Bogor. Ketika mengetahui adanya pembuatan keramba besarbesaran di salah satu Situ di wilayahnya, pihaknya hanya menanyakan izin pemanfaatan tanpa bisa melakukan penertiban. Diakuinya, lemahnya pengawasan dan koordinasi ditambah dengan tiadanya kewenangan yang diberikan bagi kecamatan untuk menertibkan jika pemanfaatan tidak sesuai dengan izin merupakan hal yang lumrah terjadi. Jika dibiarkan terus-menerus, praktik-praktik ini akan memperburuk kinerja Situ dalam menyediakan fungsi ekologis bagi lingkungan serta fungsi estetika bagi warga sekitar yang ingin memanfaatkan keindahan alamnya. Ketiga, kurang optimalnya implementasi kebijakan di level makro guna pengentasan kemiskinan dan persoalan permukiman. Menjamurnya permukiman liar di badan tanggul Situ Gintung ditengarai sebagai faktor utama mengapa pondasi tanggul menjadi amblas. Dari informasi yang penulis himpun, ternyata rumah-rumah tersebut mengambil air tanah dengan cara mengebor sumur pompa. Hal inilah yang menyebabkan permukaan air tanah turun hingga pada akhirnya membuat pondasi tanggul menjadi labil akibat konsolidasi/penurunan tanah. Melihat fakta ini, seharusnya di level makro perlu diformulasikan kebijakan yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena dengan adanya jaminan penghidupan yang layak dibarengi dengan upaya penyadaran warga secara berkesinambungan, mereka tidak akan menempati daerah yang seharusnya memang tidak diperuntukkan bagi areal permukiman.

Integrasi, kolaborasi, dan konsistensi adalah kuncinya Hari Air Sedunia baru saja diperingati oleh seluruh penduduk bumi. Tema yang diusung kali ini sangat relevan dengan kondisi Jakarta, yaitu water for cities: responding to the urban challenge. Di tengahtengah tingginya tekanan penduduk, tantangan perubahan iklim, harapan akan pertumbuhan ekonomi yang sehat, serta euforia desentralisasi, air menjadi salah satu sumber daya alam yang mutlak harus dipenuhi; tidak hanya untuk warga ibukota, tetapi juga penduduk yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun satu hal yang harus diingat, bahwa pemanfaatan air juga harus dibarengi dengan pelestarian sumber air, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain membangun Banjir Kanal Timur di Jakarta, perlu pula dilakukan konservasi kawasan hulu secara masif dan konsisten. Di era otonomi ini, hendaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak dijadikan satusatunya target pembangunan hingga membuat kepala daerah melegalkan praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam (termasuk air didalamnya), yang pada akhirnya akan menggangu keberlanjutan ekosistem dan penurunan fungsi kawasan hulu DAS dalam menjamin pasokan air ke daerah hilir.

Gambar 2. Situ Saat di hulu DAS Ciliwung Cisadane Kab. Bogor masih belum dikelola secara optimal

3


Kedengarannya memang terkesan tidak adil; di satu sisi ibukota dituntut untuk terus berekspansi memacu geliat ekonomi nasional, namun di sisi lain daerah-daerah di sekitar Jakarta dituntut menjaga keberlanjutan pasokan air. Disinilah letak pentingnya kolaborasi dan kerjasama antar daerah. Perlu dipikirkan mekanisme kelembagaan (institutional setting) yang tepat untuk mengatur pembagian fungsi wilayah melalui implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jabodetabekpunjur. Situ-situ di Jakarta dan kawasan perkotaan lain di wilayah Jabodetabek harus ditata dan direvitalisasi menjadi tempat parkir air, sehingga di kala terjadi banjir dapat dioptimalkan fungsinya sebagai penampung. Sedangkan di kawasan tengah dan hulu, Situ-situ harus dikelola agar tetap berfungsi untuk konservasi sumber air. Pemanfaatan Situ untuk fungsi pariwisata/rekreasi baik di hulu maupun hilir juga masih terbuka lebar mengingat banyak sekali warga lokal yang memanfaatkan waktu senggang mereka untuk bercengkerama sambil duduk-duduk di tepi Situ. Namun tetap saja, pemanfaatan nilai ekonomis Situ, tidak boleh tidak, harus mengedepankan kaidah-kaidah lingkungan. Pada akhirnya, komitmen seluruh pemangku kepentingan-lah yang memegang peran kunci untuk tidak membiarkan Situ-situ terbengkalai dan terus menyusut luasannya. Semoga Hari Air Sedunia di tahuntahun mendatang tidak lagi “diperingatiâ€? dengan musibah banjir di Jakarta serta wilayah-wilayah lain di Indonesia. -ďƒƒ-

4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.