Intap-Intip Rumah Tangga Negeri (pengalaman menjadi reporter magang Ekonomi-Bisnis Koran Tempo) Oleh: Tristia Riskawati
M
emahami seluk beluk rumah tangga pangkal mengetahui seluk beluk negara. Begitu ujar mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kendati menjadi
panglima
laju
pemerintahan
Inggris,
rupanya wanita tangan besi ini memberikan perhatian lebih terhadap urusan remeh temeh seperti kerumahtanggaan. Aku
amini
perkataan
Margaret
Thatcher.
Untuk
mengetahui lebih dalam seluk-beluk negara, perempuan cukup khatam memahami rumah tangganya. Namun, nyatanya, dengan magang menjadi wartawan rubrik ekonomi bisnis, ditakdirkanlah aku untuk mengetahui seluk-beluk rumah tangga negara lebih dulu-sebelum mengenal seluk beluk rumah tangga keluarga. Pada awalnya, keinginan aku melangsungkan job training di Tempo didasari karena alasan relasi. Aku pernah mengikuti Kemah “Menjadi Indonesia� yang diadakan Tempo Institute pada 2011. Salah satu karyawan Tempo Institute, Mbak Maya Wuysang mengaminiku ketika aku mengutarakan niat aku untuk job training di Tempo. Aku pun diberi kontak Mas Yudistiro, bagian Sumber Daya Manusia (SDM) dari Tempo.
Ternyata, proses diterimanya aku untuk job training di Tempo cukup lama. Terhitung dari pertengahan 2012 mulai menghubungi Mas Yudistiro, aku baru dipersilakan mulai job training sedari 2013 awal. Ternyata, relasiku dengan Tempo tidak menjamin kelancaran proses pengajuan job training-ku. Aku memutuskan untuk bekerja di Koran
Tempo
ketimbang di Majalah Tempo. Alasannya, bekerja di Majalah Tempo, berarti membutuhkan waktu tiga bulan kerja atau 90 hari kerja dan tidak terpotong libur. Berarti, butuh alokasi dana kebutuhan hidup di Jakarta yang cukup besar. Belum lagi, ketika tengok kanan-kiri, teman-teman sudah mulai menyusun skripsi. Aku mengajukan ingin menjadi reporter di desk Nasional Koran Tempo. Pada awalnya, aku akan ditempatkan di desk tersebut. Namun, di hari pertama aku job training, aku langsung diajukan bekerja di desk Ekonomi-Bisnis (Ekbis). Terus terang, aku agak khawatir bekerja di desk ini. Desk Ekbis mencakup istilah-istilah yang tidak semua awam mengenalinya. Beruntung, di hari pertama aku bergabung dengan kompartemen Ekbis, ketika itu ada kelas Ekonomi desk Ekbis dari ekonom Bank Danamon, Pak Manggih. Oleh redakturku, Mas Muhammad Nafi, aku disuruh mengikuti kelas tersebut. Walhasil, aku diperkenalkan oleh istilah-istilah yang baru aku tahu semasa aku hidup. Sebut saja tappering off, defisit neraca transaksi, dan lain sebagainya.
Kompartemen Ekbis terdiri dari dua sektor. Pertama adalah sektor finansial yang meliput soal ekonomi makro, seperti inflasi, saham, deflasi, defisit neraca, suku bunga, dan lain sebagainya. Peliputan untuk sektor finansial biasanya di Kementerian Keuangan atau di Bank Indonesia. Kedua adalah sektor riil yang membedah soal penggunaan anggaran yang secara langsung menghasilkan output. Output-nya biasanya berupa barang dan jasa. Oleh staf redaksi bernama Mas Abdul Malik, aku ditawari memilih di sektor manakah aku akan melakukan peliputan. Aku memilih sektor riil, karena aku suka isu-isu yang tercakup dalam sektor riil seperti isu pertanian, pertambangan, industri, dan lain sebagainya. Di samping itu, isu-isu di sektor finansial menyimpan istilah-istilah dan pengetahuan yang musykil dipelajari dalam waktu singkat. Terhitung sejak 8 Oktober 2013 yang aku liput ialah soal upaya swasembada lima komoditas pangan (padi, jagung, kedelai, gula, dan daging), sengkarut izin pendirian maskapai, upaya perbaikan infrastruktur, sengkarut pipa gas open access, launching mobil baru, pengambilalihan inalum dari tangan Jepang ke tangan Indonesia, pro kontra soal industri minyak kelapa sawit, kawasan industri, pelarangan ekspor bahan mineral mentah, dan lain sebagainya. Pada hari-hari awal job training, aku terkejut mengetahui wartawan harian biasa membuat berita tiga sampai lima berita per
harinya. Apalagi, di tiga hari pertamaku job training, aku hanya membuat satu tulisan per hari. Mungkin aku belum terbiasa dengan kemampuan menyusun fakta yang didapat dalam waktu singkat. Namun, lama-kelamaan, aku mulai terbiasa. Pertama-tama, aku ditugasi tandem dengan reporterreporter Ekbis tiap harinya. Pertama, aku ditugasi tandem oleh Kak Bernadette
Christina
atau
Kak
Dedet
yang
mengepos
di
Kementerian Pertanian. Tandem pertamaku berlokasi di Ruang Rapat DPR. Aku tidak menyangka bisa masuk ke gedung yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi dengan begitu mudahnya. Ibuku sampai minta agar aku mengambil gambar gedung kura-kura DPR tampak depan. Aku bertindak lebih norak lagi: iseng memotret toilet DPR! Hehe. Bagaimanapun, melalui kebijakan tandem ini, aku dapat langsung mengamati kerja reporter Tempo. Kerja reporter Tempo berbeda dengan kerja reporter online seperti detik.com atau vivanews. Reporter Tempo tidak langsung mengetik berita dengan ponsel pada saat wawancara, kemudian langsung dikirim—seperti layaknya reporter online. Namun, mereka biasanya mentranskrip hasil rekaman wawancara dengan narasumber terlebih dahulu. Selama aku magang, wawancara selalu dilakukan dengan cara doorstop atau “mencegat� narasumber setelah acara selesai. Karena isu yang ditanyakan kepada narasumber tersebut merupakan
isu follow up yang aku belum terlalu mengetahuinya, aku pun bingung hendak menanyakan apa. Kadang-kadang aku bertanya, walau seringnya aku tidak bertanya. Atau kadang-kadang aku sudah menyimpan pertanyaan, tapi tidak berani mengajukan karena takut pertanyaan yang aku ajukan terdengar bodoh. Ini yang sebenarnya aku sesali. Aku tidak memiliki keberanian lebih mengajukan pertanyaan aku kepada narasumber saat wawancara doorstop berlangsung. Satu hal mengasyikkan yang terdengar norak (sekali lagi) adalah kesempatan untuk makan enak secara gratis. Hehe. Acaraacara yang harus kuliput biasanya diadakan di hotel. Atau kantorkantor pemerintahan tertentu. Biasanya, disediakan snack dan hidangan utama yang lezat di acara tersebut. Konon, fasilitas ini akan jarang didapat seandainya aku menjadi reporter Metro (membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan Jakarta) yang medan liputannya sangat “jalanan�. Kendati lebih suka meliput di luar ruangan, piket di kantor adalah kesempatan bagi aku untuk bisa menggali isu lebih dalam. Pada saat piket, redaktur Ekbis menitipkan kepadaku memfollow-up isu-isu yang harus dikejar untuk hari itu dengan cara menelepon narasumber tertentu. Ketika piket, dalam sehari aku bisa memfollow up sampai tujuh isu. Praktis, ini membuat wawasan aku semakin kaya dengan berbagai pendalaman isu.
Selama bekerja di kompartemen Ekbis Koran Tempo, terdapat beberapa pelajaran yang aku dapatkan, terutama terkait pandanganku tentang Indonesia. Pertama, aku menyadari mengurus negara itu sulit luar biasa, termasuk mengatur prioritas pengeluaran anggaran, bagaimana berhubungan dengan pihak luar negeri, bagaimana meyakinkan masyarakat, bagaimana mengatasi mafia monopoli, dan lain sebagainya. Rubrik bagaimana
Ekbis
agenda
Tempo
pemerintah
mengajak
pembacanya
membelanjakan
tahu
anggarannya.
Mengupayakan negeri untuk berswasembada kedelai itu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Butuh perhitungan yang betulan serius. Iklim dan keadaan tanah di beberapa daerah di negeri ini tidak semuanya cocok ditanam kedelai. Contoh lain adalah menasionalisasi perusahaan asing seperti Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Proses nasionalisasi tersebut butuh kejelian dan strategi yang luar biasa. Atau bagaimana mengusahakan keseimbangan antara lancarnya produksi minyak kelapa sawit dengan kelestarian lingkungan hidup. Prinsip people, profit, planet yang diikat oleh legalitas sedang diperjuangkan oleh beberapa aktivis yang peduli terhadap komoditi kelapa sawit. Kita tidak bisa hanya sekadar meneriakkan jargon-jargon klise seperti "nasionalisasikan perusahaan asing!", "jangan tunduk pada kekuatan asing!", "stop pembalakan hutan untuk kelapa sawit!" atau malah jargon yang bertendensi "mosi tidak percaya" seperti
"gulingkan kekuasaan!", "tegakkan khalifah!". Di sini, bukan tempatnya aku berbicara soal benar atau tidaknya ideologi jenis mana pun. Namun satu hal yang niscaya, filosofi dan ideologi manapun tidak sepatutnya “mengaum� tanpa persiapan teknis yang matang. Pelajaran kedua yang aku dapatkan adalah, tidak sinerginya antar perangkat pemerintahan menimbulkan kekacauan dalam mengatur hajat negara. Aku ingat ketika aku mewawancarai Enny Sri Hartati, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Ia bilang, Ia mencatat terdapat beberapa pembangunan kawasan industri yang macet seperti di Sei Mangke, Sumatera Utara dan di Palu, Sulawesi Tengah. Enny berpendapat, seharusnya
Kementerian
Perekonomian
mengoordinasi
antar
instansi agar pembangunan kawasan industri tidak mandek. Negara kita menganut sistem dimana partai-partai campur aduk
di
dalamnya.
Tentu
masing-masing
partai
memiliki
kecenderungan masing-masing. Nah, kecenderungan ini pun pasti berbeda-beda satu sama lain. Jangankan partai, orang-orang yang tak berpartai pun sering memiliki paradigma yang berbeda perihal satu persoalan. Belum lagi, tidak ada sosok pemimpin yang secara tegas mengarahkan langkah anak buahnya. Atau, anak buahnya yang tidak respek
terhadap
Ketidaktaatan
pemimpin
inilah
yang
untuk akhirnya
melaksanakan
program.
menghambat
program.
Sepatutnya, pemimpin sadar betul bahwa gelar kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa-- sehingga ia akan sangat telaten dalam mengurus negara. Ketika pemimpin telah bertindak benar dan berintegritas tinggi, akan sangat mudah para anak buah mengikuti langkah pemimpinnya. Dari sudut pandang anak buah, jika anak buah berhasil merendahkan ego dirinya ketika pendapatnya tidak diterima kepemimpinan-- walhasil kesamaan langkah pun akan dicapai. Pelajaran ketiga yang aku dapatkan adalah, aparat pemerintahan kini terlanjur nyaman dengan fasilitas istimewa yang mudah mereka dapatkan. Jiwa mereka menjadi kurang peka terhadap suara rakyat yang sebenarnya. Pernah aku meliput rapat antara Komisi VIII DPR dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Rapat tersebut membahas kenaikan tunjangan kinerja para pejabat kementerian tersebut. Tunjangan tersebut bernilai belasan juta Berbagai fasilitas hidup melingkupi para elit pemerintahan ini. Mereka lupa bahwa masyarakat negeri ini menderita bukan main.
Mereka
menunggu
pemerintah
menyelesaikan
segala
kedurjanaan mereka. Selama ini, aku memandang pemerintah menjalankan pekerjaan hanya sekadar menjalaninya saja. Ketika memaparkan rencana pembangunan atau kebijakan kepada pemerintah, seolah
yang terucap hanya sekadar pemaparan yang dilandasi ego kecerdasan. Terlebih, jika ketika rapat terdapat debat antar peserta rapat, beuh. Kalau aku bilang di poin pertama "gemuruh semangat filosofis tanpa disiapkan dengan solusi teknis tidaklah cukup", di poin ini aku bisa bilang "pekerjaan mencanangkan aksi teknis tanpa dilandasi dengan kecintaan yang filosofis juga tidak cukup". Pemahaman akan filosofi yang mantap lagi mengakar sepatutnya ditunjuang dengan kematangan dari segi teknis. Untuk diriku sendiri, aku menemukan sensasi “asyiknya belajar hal baru” kembali dalam hidup. Senang juga menambah pelbagai wawasan perekonomian negeri selama bermagang di Tempo. Aku kadang suka tertawa melihat judul-judul laporan yang telah kubuat, seperti “Tak Ambisius, Indosurya Group Targetkan Captive Market”, dan “Plaju Bakal Menjadi Komplek Industri Petrokimia”, dan lain sebagainya. Kalau aku tidak pernah menjadi wartawan Ekbis, kemungkinan besar berita berjudul seperti itu tidak akan kutilik. Namun, aku belajar menyenangi istilah-istilah tersebut. Walhasil, ketika lepas menjadi wartawan Ekbis pun, aku jadi lebih sering membaca berita-berita perekonomian di suratkabar manapun. Kemudian, aku juga diingatkan kalau aku tidak boleh sombong dengan teori jurnalisme yang telah kukuasai. Menjadi reporter di Tempo membuktikan teori yang dijejal di kepala selama perkuliahan tidak menjamin memperlancar praktik ketika menjadi
wartawan kelak. Dunia jurnalisme sungguh dinamis adanya. Tentu, ilmu yang didapatkan di kuliah tidak serta-merta selalu seiring dengan medan lapangan seorang jurnalis. Terlebih, tiap-tiap media memiliki gaya peliputan tersendiri. Aku juga mengetahui, ternyata aku jagoan kandang (baca: Bandung). Aku merasakan ketakutan yang lumayan meradang dalam proses magangku. Entah, mungkin karena baru pertama tinggal berpisah dari orangtua dalam waktu yang cukup lama. Atau mungkin ritme ibu kota yang belum terlalu familiar. Menghadapi rekan wartawan media lain di lapangan pun rasanya minder. Ada pula rasa malas menyelip dalam jiwa ini untuk belajar karena sudah stress duluan. Ini yang kusesali. Aku belajar untuk berjuang di luar zona nyamanku. Aku berkaca banyak atas kekuranganku selama proses job training cetak kali ini. Sudahlah, untuk apa terpaku dalam rentetan penyesalan bertajuk “Seandainya begini…” “Seandainya saat magang saya begitu…”? Aku teringat hadits riwayat Muslim yang berbunyi seperti ini “…Apabila engkau tertimpa suatu kegagalan, janganlah engkau berkata: Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu. Akan tetapi katakanlah : Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
ucapan
perbuatan Syaithan”.
‘Seandainya’
akan
membuka
(pintu)
Biarlah, kesalahan selama job training menjadi pelajaran dan bahan renungan untuk evaluasi diri. Manusia yang bijak, aku yakin tidak gampang mengutuki diri dan tidak pula melarikan diri atas kesalahannya. Bibit kebijakan akan terpupuk dalam diri jika kita berbesar diri mengakui kita salah, namun optimis untuk berupaya menghindari kesalahan tersebut kelak. Wallahu’alam. ď Š
Magang ‘Rasa’ Daerah Oleh: Destyananda Helen
J
arum jam dinding di ruangan ini menunjukkan pukul 16.30 WITA. Setengah jam lagi, program berita yang kami kerjakan sepanjang hari ini harus segera tayang. Sedari pagi, saya bersama redaktur dan supir sudah berkeliling ke beberapa
tempat. Kami mewawancarai narasumber untuk tiga berita berbeda. Reporter dan kameramen lain juga sudah terjun lapangan. Kalau tidak salah, hari itu saya dan redaktur meliput tentang pelaksanaan Ujian Nasional yang ditunda, termasuk datangnya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim. Naskah berita sudah oke, gambar juga oke, sayangnya, komputer yang digunakan untuk mengedit, menunjukkan tandatanda tak sehat. Parahnya, komputer ini menjadi komputer utama. Hingga waktu penayangan pun, komputer tak juga sembuh. Jadilah durasi satu jam untuk program berita diisi lagu-lagu lawas berlatar pemandangan alam. Perkiraan saya, lagu-lagu itu hits di tahun 1970an. Saya perhatikan, wajah para karyawan lain tampaknya tak sekecewa saya. “Itu sudah biasa, Dek. Sudah beberapa kali komputer ini tiba-tiba error seperti sekarang,� tutur seorang pegawai di tempat magang saya.
“Seberapa sering, Mbak?� saya penasaran. “Lumayanlah,� katanya. Benar saja, 45 hari saya magang di salah satu TV daerah milik pemerintah ini, hampir 3 kali kejadian yang sama terjadi. Parahnya, dari apa yang saya perhatikan, hal tersebut bukanlah menjadi hal yang perlu dievaluasi dan dipermasalahkan. Bahkan redaktur pelaksana dan pengarah acara yang bertugas hari itu pulang dengan santainya tanpa menanyakan keadaan komputer malang tersebut. Itu merupakan salah satu fakta menarik yang saya temukan selama magang di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Magang di TV stasiun daerah adalah pilihan saya sendiri. Begitu pun beberapa kisah yang akan saya bagikan, merupakan keputusan saya sendiri. Tapi sebelumnya, mohon maaf jika mungkin tak menyenangkan beberapa pihak. Apa yang saya kisahkan ini hanya untuk menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah untuk jurnalistik yang lebih baik. TV lokal ini merupakan salah satu media yang terkenal di NTT. Jangkauan wilayah siaran pun hingga ke pelosok daerah. Makanya, nama TV milik pemerintah ini cukup terkenal dan masih menjadi referensi informasi beberapa pihak. Sayangnya, ketika saya mulai magang, TV ini sedang terkena kasus korupsi. Direkturnya tengah diperiksa Kejaksaan terkait korupsi tersebut. Enam bulan usai magang di sana, saya
mendapat kabar, sang Direktur dan bendaharanya kini berada di penjara. Saya sendiri kasihan, mengapa mereka tega mengkorupsi uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli alat-alat produksi yang lebih baik? Lihat saja kasus komputer utama yang malang itu. Seharusnya uangnya bisa dipakai membeli komputer dengan kualitas yang lebih baik, sehingga tak perlu terjadi kejadian berita tak bisa tayang. Kekurangan sarana juga dialami para kameramen. Delapan orang kameramen harus berebut empat kamera. Alhasil, setiap hari ada pergiliran jaga. Dalam satu hari, hanya empat kameramen yang terjun ke lapangan. Nanti, empat kameramen berikutnya baru diterjunkan esok hari. Coba saja uangnya dipakai untuk membeli kamera baru. Mungkin tak ada yang perlu masuk penjara. Malahan bisa saja TV ini mendapat pujian karena jumlah dan kualitas berita meningkat. Ketika magang di TV ini, saya bekerja dari pukul 09.0017.00 Wita. Terkadang saya juga meliput di malam hari. Uniknya, di sini tak ada hari libur, ini berlaku bagi semua reporter. Bahkan di tanggal merah pun, diwajibkan masuk meski hanya setengah hari. Namun, satu liputan tak hanya menghasilkan satu berita. Satu liputan bisa untuk lima berita. Bahkan, seorang redaktur saya sepertinya membuat hingga belasan berita dari satu liputan, luar biasa! Maka tak heran, terkadang gambar yang sama diulang
berkali-kali dalam beberapa berita. Tak heran juga, meski masuk setiap hari, tapi bisa saja tak ada liputan di hari itu. Uniknya lagi, semua hal bisa dijadikan bahan berita. Pernah suatu kali saya diminta membuat berita oleh pimpinan di sana. Mau tahu bahan beritanya? Sebuah video berdurasi sekitar satu menit tentang persiapan hari besar salah satu daerah di Indonesia. Maklum, si pimpinan berasal dari daerah tersebut. Video itu benarbenar hanya berisi wajah si terwawancara, tanpa gambar lain. Tentu saja tak saya kerjakan. Setiap hari Minggu, di TV selalu ada berita tentang kebaktian di sebuah gereja. Berita tersebut berisi kutipan khotbah. Namun ada lagi acara kerohanian yang juga tayang pada hari yang sama. Saya sendiri tak bertanya banyak apa alasan di balik berita rutin tentang kebaktian tersebut mengingat mayoritas masyarakat NTT adalah nasrani. Praktik amplop juga masih kental. Sering kali ketika liputan, beberapa narasumber dengan terang-terangan memberikan amplop. Bahkan untuk mengundang TV ini meliput kegiatan mereka, ada tarifnya. Tarif itu sudah menjadi standar di TV tersebut. Tarif itu belum termasuk ‘uang capek’ reporter dan supir. Entahlah apakah TV lain juga melakukan hal serupa atau tidak. Masalah independensi media juga menjadi pertanyaan saya selama magang. Beberapa reporter umumnya dekat dengan beberapa pejabat dari daerah tertentu. Kedekatan itu terjalin saat mereka
membuat feature TV mempromosikan potensi dan kegiatan di suatu daerah di NTT. Sayangnya, ketika ada berita dari kontributor yang memojokkan daerah tersebut, si reporter akan menyabotase penayangan berita itu. Saya sendiri pernah melihat salah satu berita dari kontributor daerah dicoret dari rundown berita oleh si reporter. Penyebabnya karena berita tersebut menjelekkan pemerintah daerah yang terkenal dekat dengan si reporter. Padahal, isi beritanya memang benar. Lagi pula, bukankah pers bertugas sebagai pengawas kekuasaan? Melihat potret kecil media di tanah kelahiran saya ini, tentunya membuat prihatin. Kualitas informasi yang diterima masyarakat NTT masih jauh dari ideal. Padahal kepercayaan masyarakat pada media masih cukup tinggi. Buktinya, usai magang, beberapa kali saya sengaja berkunjung ke rumah kerabat sekitar pukul 17.00 Wita. Kebanyakan dari mereka memilih channel TV tempat saya magang untuk menonton program berita. Di beberapa tempat umum yang memasang televisi juga menyetel acara yang sama. Meski menurut saya kualitas berita masih jauh dari ideal, namun kekeluargaan di antara para wartawan di sana cukup baik. Karena jumlah wartawan tak sebanyak di ibu kota, jadi setiap kali liputan, besar kemungkinan untuk bertemu orang yang sama.
Begitu pun di TV tempat saya magang. Ukuran kantor yang tak besar membuat kesempatan bertemu dengan orang yang sama menjadi lebih sering. Namun, meski kebanyakan karyawan berusia sekitar 20 tahun di atas saya, mereka merupakan lawan bicara yang menyenangkan. Beberapa reporter dan kameramen juga memiliki kisahkisah yang menarik. Mendengarkan dan mengeksplorasi kisah mereka selalu menjadi aktivitas favorit saya. Ada yang dulunya merupakan orang buangan dari Timor Leste, istri pendeta, bahkan ada yang mantan preman Tanah Abang. Untungnya hati si mantan preman Tanah Abang ini tak segarang tampangnya. Ia pun orang yang selalu mau belajar. Tak heran, dulunya ia hanya supir di TV ini. Namun karena kemauannya untuk belajar, jabatannya naik menjadi kameramen. Semoga saja semangat belajar ini juga menular pada reporter dan kameramen lain terutama dalam menghasilkan berita yang lebih berkualitas. Semoga.
Jatuh Cinta dengan Profesi Wartawan Kesehatan Oleh: Odelia Sinaga
artawan Humaniora? Wah seperti apa ya?”
“W
Pertanyaan
tersebut
berputar-putar
di
kepalaku saat diberitahu bahwa saya akan bergabung di desk Humaniora.
Hari itu, Senin 14 Januari 2013 di mana saya dan beberapa teman Jurnalistik 2009 mulai masuk sebagai wartawan magang di Harian Media Indonesia. Magang sebagai wartawan untuk memenuhi salah satu mata kuliah di jurusan tercinta kami ini, mata kuliah job training. Pemilihan desk yang secara acak membuat saya terpilih dengan suksesnya menjadi wartawan humaniora. Dipikiran saya saat itu, wah baguslah setidaknya humaniora itu mencakup isuisu sosial dan pendidikan. Akan tetapi ternyata semua tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan. “Mari, kamu saya antar ke ruangan asisten redaktur (asred) kesehatan.” ujar asred pendidikan. “Apa? Kesehatan?” kataku dalam hati, “Mati mati, kok jadi di kesehatan?” pikirku dengan jantung yang sudah tak karuan. Jujur
sebelum
memulai
jobtraining,
saya
kurang
mengindahkan isu kesehatan. Ketika membaca koran atau majalah, berita kesehatan hanya saya baca sekilas bahkan sering judulnya
saya lewatkan. Berita kesehatan kurang menarik perhatian saya karena yang dibahas biasanya serius dan banyak istilah medis yang jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari. Ruangan yang saya masuki tidak terlalu besar, terdiri dari beberapa meja dengan komputer di atas meja tersebut. Suasana sangat tenang ditambah dengan udara dingin akibat AC yang menurut saya dinyalakan dengan temperatur yang tidak santai. Saya pun
langsung
diperkenalkan
dengan
seorang
perempuan
berkerudung yang saat itu sedang sibuk mengetik dan tidak menyadari kedatangan kami. “Mbak Eni, ini ada anak magang, di kesehatan aja dulu kata Mbak Cici,” ujar Asred Pendidikan, Mas Sidik. Dia pun menoleh dan melihat ke arah saya, “Oh iya, oke!” ujarnya sambil tersenyum. Saya pun langsung memperkenalkan diri kepada Asred Kesehatan Media Indonesia, Mbak Eni Kartina. Setelah perkenalan singkat seputar pribadi saya dan apa yang telah saya kerjakan di kampus dan hal-hal apa saja yang menarik perhatian saya, tiba-tiba satu pertanyaan yang paling saya hindari terucap, “Menurut kamu nih, berita kesehatan itu seperti apa sih? Coba ceritain ke saya,” tanyanya sambil tersenyum. “Aduh akhirnya ditanyain juga pertanyaan ini.” pikirku. Setelah sukses menjawab dengan jawaban yang berputarputar entah ke mana, saya pun diperbolehkan pulang dan menunggu jadwal liputan yang akan dikirimkan via email untuk esok harinya.
Malam itu, saya terus stand by melihat email dan deg-degan pasti, tak sabar menunggu liputan apa yang akan saya lakukan pertama di desk kesehatan ini. Selain itu saya juga merenung, kehidupan saya selama magang di Media Indonesia akan berubah, bacaan dan pengetahuan saya tentang kesehatan harus mulai diisi. Akhirnya email dari asred pun datang dan ternyata liputan perdana saya meliput ke Depok di Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia mengenai sidang promotor disertasi yang membahas masalah penyebab DBD dan cara yang paling efektif untuk menanganinya. Saat membaca undangan dari Humas Farmasi UI yang dilampirkan asred, saya membaca agak memicingkan mata, karena apa? Bahasa disertasi tersebut benar-benar bahasa ilmiah. Kehidupan saya pun berubah, maksudnya kehidupan liputan saya. Di mana mau tak mau, suka tak suka selama 45 hari kerja harus bergelut dengan dunia kesehatan, dengan isu-isu kesehatan yang selama ini bukan menjadi fokus dan ketertarikan saya. Istilah-istilah kesehatan, ya itulah yang akan menjadi makanan saya sehari-hari. Awal liputan kesehatan mengenai disertasi, saya sudah diperhadapkan dengan istilah-istilah kesehatan. Jujur cukup membingungkan dan memusingkan apalagi istilah-istilah yang dipakai tersebut jarang saya dengar. Belum lagi saya harus mulai mempelajari isu kesehatan apa yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Liputan kesehatan yang saya alami selama 45 sangat berbeda dari apa yang telah saya lakukan selama liputan untuk tugas-tugas kampus. Setiap harinya
apabila ada liputan, saya pergi dari kostan pukul 7 pagi karena undangan atau acara yang saya liput biasanya dimulai pukul 9 atau 10 pagi. Saya mengusahakan agar tidak terlambat karena menurut saya akan sangat menganggu fokus saya ketika liputan. Selama 45 hari saya dominan meliput tentang isu kesehatan walaupun ada harihari di mana saya dialihkan untuk liputan yang bukan tentang kesehatan. Jenis liputan kesehatan yang saya lakukan biasanya menyangkut undangan atau kegiatan kesehatan, seperti acara kesehatan, yaitu peringatan hari kanker sedunia, hari gizi nasional, dan lainnya. Ada juga liputan mengenai pembukaan fasilitas kesehatan baru, tentang penelitian mengenai rokok, seminar mengenai kesehatan dan tumbuh kembang anak, Penelitian Daffodil (penelitian terkait ASI dan susu formula), teknologi penyembuhan tumor, tentang brainwash, alat teknologi linac, wawancara dokter untuk masalah obat kuat dan efeknya, ya kira-kira itulah yang saya lakukan. Satu pengalaman menarik yang saya alami adalah liputan mengenai bedah saraf. Pada 25 Januari 2013, hari di mana saya tak akan melupakan liputan tersebut. Hari di mana saya melihat mayat dibedah untuk pertama kalinya. Saat itu saya mengikuti liputan mengenai bedah saraf internasional di Fakultas Kedokteran, Universitas Pelita Harapan. Sebelumnya saya tidak tahu sama sekali kegiatan liputan secara rinci yang akan saya lakukan. Intinya di undangan dan komunikasi lewat sms yang saya lakukan dengan
asred menugaskan saya untuk meliput bedah saraf internasional di mana Indonesia sebagai tuan rumah. Ternyata liputan tersebut adalah
World Federation of
Neurosugical Societies (WFNS) yang menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah untuk mengadakan training education center. Di mana kegiatan dari acara ini terbagi dua bagian, yaitu workshop dan education course. Workshop diadakan pada 24-25 Januari 2013 yang
terbagi menjadi empat bagian, yaitu Peripheral Nerve
Workshop, Endovascular, Spine, dan Microanastomosis Workshop. Setiba di sana saya melihat roundown acara bahwa kami akan melakukan wawancara dengan seorang dokter saraf terkenal di Indonesia, yaitu Prof. Eka J. Wahjoepramono dan berkeliling melihat peserta yang sedang menjalani seminar bedah saraf tersebut. Dikatakan internasional karena bukan hanya dokter Indonesia saja yang terlibat tapi dokter-dokter dari berbagai negara pun ikut serta, seperti Korea Selatan, Cina, Malaysia, Singapura, India, dan masih banyak lagi. Dan satu hal lagi yang menyenangkan (sepertinya untuk saya saja sih) peserta seminar bedah saraf ini adalah dokter-dokter muda yang memang akan mengambil spesialis saraf. Hal tersebut bertujuan untuk regenerasi dokter saraf dengan standar internasional. Jadi bisa dibayangkan dokter-dokter muda berkumpul, cuci mata pun dimulai (salah fokus hehehe). Akhirnya wawancara selesai, kami pun berkeliling dari suatu ruangan ke ruangan lain dan ada juga pameran alat-alat untuk melakukan bedah saraf. Saya pun melihat bedah ayam dan kodok
saat itu, bahkan berdiri di samping salah satu peserta agar terlihat lebih jelas. Saat itu saya melihat dengan detail seperti apa para dokter itu membedah, mengamati, memotong, menjahit dengan benang yang bahkan lebih tipis dari rambut. Saya berdecak kagum karena dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan ketelitian. Beberapa kali dalam ruangan tersebut terdengar kata-kata “ahh”, “aduh”, “yeay” yang semuanya memiliki arti berbeda-beda bagi mereka. Tiba-tiba seorang humas yang menjadi pemandu kami berkeliling mengumpulkan kami di tengah aula dan berkata dengan santainya “Sekarang kita bersiap-siap ke lantai dua ya, di sana ada bedah saraf punggung dan leher untuk manusia dan alat praktiknya pakai mayat,” ujarnya sambil tersenyum. Saya yang masih terkesima dengan bedah-bedah yang dilakukan dengan hewan tadi langsung diam dan bertanya pada wartawan lain disebelah saya. “Maksudnya apa mbak? Kita lihat mayat dibedah gitu?” “Iya mayat dibedah, ihh aku mah amit-amit, males banget lihat mayat dipotong-potong.” ujarnya “Ohh cobaan apalagi ini,” pikirku. Humas tersebut pun menjelaskan kalau tidak mau melihat tidak apa-apa nanti bisa kami jelaskan atau dokter yang menjadi pimpinan di bedah mayat tersebut bisa dipanggil untuk menjelaskan. Saat itu memang tidak banyak media yang diundang, seingat saya hanya 6 media nasional yang diundang untuk meliput kegiatan tersebut. Kami pun diberi waktu untuk mengambil keputusan apakah akan meliput langsung ke dalam atau tidak. Saat itu saya hanya diam, pengen banget liat tapi ya gimana masa iya liat mayat
langsung
dibedah-bedah,
masih
berpikir
keras
sebelum
memutuskan. Beberapa wartawan mulai memberikan masukan kepada saya, “Udah gak usah ikutan, aku aja gak ikutan, kamu gak serem apalagi nanti kita pulang malam lho, gak baik liat-liat kaya gitu,” “Benar juga, ngapain liat mayat-mayat yang tidak aku kenal siapa dia dibedah-bedah,“ pikirku. Akan tetapi, rayuan terdashyat datang dari humas yang menurut saya rayuannya setingkat dengan sales handal, “Ayo lihat aja, kapan lagi coba? Pengalaman bangetkan? Belum pernahkan? Lagian bisa jadi pengalaman kamu pas jadi wartawan magang (sebelumnya dia memang mengetahui saya masih berstatus mahasiswa dan sedang magang),” “Gak seram-seram amat kok dan kapan lagi coba, siapatau nanti kamu gak jadi wartawan kesehatan, saya saja juga mau lihat,” ujarnya sambil tersenyum. Akhirnya setelah pertimbangan yang kuat dan tekad keberanian penuh saya pun mengatakan “Oke, aku ikut ke dalam,” Saat itu hanya tiga wartawan yang masuk ke dalam di mana saya perempuan sendirian, kami pun diberikan masker yang tebal (sepertinya masker khusus) dan baju putih seperti jas lab. Kami
masuk dan sebelum sampai pintu, saya menoleh ke humas tadi dan nanya dengan polosnya, “Lho, mas gak ikut? Katanya mau ikut?” Lalu dengan santainya dia menjawab, “Aku engga, masih ada kerjaan, kalian bertiga saja, semangat ya!” “What?! Dia melanggar perjanjian! Apa-apaan ini!,” pikirku tapi sudah terlanjur dan pintu dibuka dengan pemandangan yang akan saya deskripsikan tentunya. Pintu terbuka lebar dan di sana saya melihat para dokter sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang diskusi, ada yang sedang ya berdekatan dengan mayat, ada yang di depan laptop, dan ada juga yang menyambut kami di mana beliau adalah pimpinan di ruangan tersebut, dr. Ronny Setiawan, SpBS. Pemandangan kedua ya sudah pastilah, ada lima mayat dengan posisi tengkurap dan alatalat bedah di samping mayat tersebut. Mayat tersebut sudah dibedah dengan bagian punggung dan leher yang terbuka ya terbuka. Jujur pertama kali melihat keadaan yang seperti itu seram tapi penasaran juga. Dengan memberanikan diri, saya mendekati salah satu dokter yang sedang asik memotong-motong saraf di punggung yang telah dibuka tadi. Dokter itu pun menoleh ke saya sambil berkata, “Mbak yang mau liputan ini ya, wah sini lihat lebih dekat mbak biar jelas atau mau coba?” ujarnya santai sambil menyodorkan pisau dan gunting bedah.
“Gila!” pikirku seketika. “Hah? Wah gak usah dokter, saya lihat saja deh, nanti salah-salah lagi,” kataku berdiplomasi. Selama berada di ruangan bedah mayat tersebut, saya memperhatikan setiap dokter yang sangat serius membedah mayatmayat yang ada di depannya sambil sekali-kali berdiskusi. Tangan mereka sangat lincah memegang alat-alat bedah dan tanpa ragu mengutak-atik bagian punggung dan leher mayat tersebut. Kami, wartawan yang masuk ke ruangan diberikan penjelasan oleh dr. Ronny Setiawan selaku ketua tim bedah saraf punggung dan leher, apa yang sedang mereka lakukan dan tujuan untuk bidang kedokteran spesialis saraf ke depannya. Spine Workshop yaitu mengenai pembedahan tulang punggung. Workshop mengenai tulang punggung ini diikuti oleh 17 peserta dan 12 instruktur dari berbagai negara, seperti Spanyol, Amerika Serikat, dan lainnya. “Operasi untuk tulang punggung ini dilakukan juga dari bagian tulang leher depan, leher belakang, dan punggung. Operasi ini biasa dilakukan untuk mereka yang mengalami penuaan saraf pada tulang punggung atau apabila mengalami kecelakaan,” ujarnya. Dan saya baru tahu bahwa kelima mayat yang digunakan sebagai alat praktik bukan milik Fakultas Kedokteran UPH tapi dipinjam dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. “Nanti mayatmayat ini selesai dipakai, diperbaiki lagi, punggung dan leher dijahit baru dikembalikan lagi ke Bandung,” tambahnya. “Kami tidak mendapat izin untuk memiliki mayat ini.”
Selesai melihat dan melakukan wawancara di dalam ruangan, akhirnya kami bertiga dapat terlepas dari harum semerbak formalin. Kami pun segera diantar ke ruangan di mana tiga wartawan lainnya menunggu. Mereka ternyata sedang asik menikmati sajian makanan sambil bercengkrama dengan indahnya bersama humas tadi. Melihat kedatangan kami, humas tersebut langsung menyambut kami dan segera memberikan instruksi kepada salah satu pelayan untuk menyajikan sejenis minuman herbal. Kami duduk dan langsung dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan dari ketiga wartawan yang tidak ikut masuk tadi. “Gimana Del, wawancara apa aja? Kondisi mayat gimana, masih dibedah-bedah gak?” ujar mereka. “Mbak mau tau banget, lihat sendiri aja mbak, seru kok, nyesel loh mbak gak ikut ke dalam, mayatnya ada yang cakep mbak” ujar saya sambil tertawa. “Dasar kamu ya!” ujar salah satu wartawan. Akhirnya minuman yang dipesan tadi datang, setelah saya lihat sejenis teh tapi baunya harum dan menyegarkan. Jujur bau formalin itu memang masih melekat di hidung saya dan kepala pusing karena formalin yang digunakan sangat banyak, pakai masker tebal tapi bau formalin masih tercium. “Ayo langsung diminum tehnya, ini teh yang suka diminum dokter-dokter di sini kalau habis operasi dan sudah mencium banyak bau-bau aneh dan menyengat,” ujar humas tersebut. Kami pun langsung meminum teh
tersebut dan memang baunya yang khas, lumayan membantu menghilangkan bau formalin yang masih melekat tadi. Tiba-tiba, salah satu wartawan yang tadi ikut masuk bersama saya izin ke kamar mandi dan cukup lama dia berada di sana. Setibanya di meja tempat kami berkumpul, kami melihat dia dalam kondisi lemas dengan muka yang agak pucat, “Gue muntah dong, gila mual banget!� ujarnya lemas. Kontan kami tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sedih dan cemberut. Selama satu hari kami berada di sana, berkeliling, mewawancarai, meliput untuk dijadikan berita. Akhirnya kami selesai dan pulang ke tempat kami masing-masing. Malam hari pun tiba dan ternyata saya sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Kejadian tadi siang dan wajah mayat-mayat yang saya lihat tadi berputar-putar di kepala saya, sungguh sangat menganggu dan ya meresahkan, seingat saya menjelang subuh mungkin saya baru bisa terlelap. Pengalaman melihat bedah mayat tersebut menjadi hal yang tidak akan saya lupakan selama saya menjadi wartawan magang. Mungkin tidak akan saya dapatkan lagi untuk ke depannya. Karena itu, satu hal yang saya pikir kembali bahkan sampai saya menulis kisah ini adalah saya tidak pernah menyesal mengambil keputusan untuk ikut melihat proses pembedahan mayat tersebut. Pengalaman tersebut menjadi salah satu pengalaman dari banyak liputan yang saya jalani selama magang sebagai wartawan
kesehatan. Semua liputan kesehatan yang menurut saya pribadi sangat mengesankan. Kesulitan saya dengan istilah-istilah medis dan liputan yang terkadang serius ternyata lama-kelamaan saya nikmati. Status walau hanya sebagai wartawan magang dengan tanggung jawab di kampus dua sks sama sekali tidak saya rasakan selama magang. Intinya, saya menikmati setiap proses liputan selama magang walau pasti dibayar dengan kelelahan dan pikiran yang capek. Berinteraksi dan bergaul akrab dengan isu kesehatan membuat saya semakin mengerti mengapa isu ini semakin dicari oleh khalayak penikmat media massa dan seiring dengan hal tersebut media semakin gencar menyajikannya, baik media cetak, elektronik, maupun online. Karena satu hal yang pasti, isu kesehatan sangat dekat dengan kehidupan seseorang, menyangkut kondisi jiwa dan raga yang dimiliki seseorang, dan sangat penting untuk dijaga. Bukankan kesehatan itu di atas segala-galanya?
Meet The Legends, Love These Game! Oleh: Damar Iradat
ebagai pecinta sepak bola, melihat sosok-sosok terkenal
S
dengan status legenda di atas lapangan hijau merupakan sebuah impian. Apalagi jika legenda lapangan hijau itu berasal dari negeri yang jauh, negeri sepak bola, Inggris.
Beruntung, bagiku impian itu akhirnya menjadi nyata. Lewat praktik kerja lapangan atau yang terkenal dengan job training di kalangan mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, aku berhasil menemui mereka semua. Selama job training di tabloid Soccer, aku sempat bertemu beberapa pemain sepak bola seperti Boaz Salossa, Greg Nwokolo serta legenda-legenda hidup permainan yang paling digemari di dunia itu, sebut saja Ian Rush, mantan penggawa Liverpool era 80an, Peter Schmeichel, mantan penjaga gawang Manchester United yang melegenda, dan Freddie Ljungberg, mantan winger nyentrik milik Arsenal. Pengalaman-pengalaman itu sangat berkesan bagiku, apalagi bisa mewawancarainya, melihatnya dari dekat saja sudah membuatku gembira. In a Rush with Ian Rush Bagi
para
pendukung
Liverpool,
sosok
Ian
Rush
merupakan legenda hidup mereka yang wajib disaksikan aksinya.
Mantan pemain Liverpool era 80 s.d 90-an itu merupakan striker subur di masa keemasan. Bertemu dengan pria asal Wales itu secara langsung pun tak pernah bisa dibayangkan oleh orang biasa. Bagi para The Kop, sebutan fans Liverpool, bertemu seorang Ian Rush merupakan sebuah impian. And I’m the lucky bastard who did it! Bertemu Ian Rush bukanlah seperti dalam benak yang kubayangkan. Sialnya, kejadian itu terjadi begitu saja pada 25 Februari 2013 silam. Menjalani proses Praktek Kerja Lapangan atau yang lebih dikenal dengan sebutan job training, aku memilih menjalani proses tersebut di sebuah tabloid sepak bola yang sudah memiliki nama besar, Soccer. Dari situlah aku bisa bertemu banyak pemain-pemain sepak bola atau legenda lainnya. Ian Rush yang biasanya hanya bisa kusaksikan lewat layar kaca atau dari dunia maya. Kembali ke cerita tentang liputan mengenai sosok Rush, hari itu datang ke kantor tabloid Soccer yang terletak di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat tanpa tahu akan ada agenda mengenai liputan Rush. Namun, tiba-tiba editor sekaligus pembimbing saya di SOCCER, Kang Jalu memintaku menemani dirinya ke Mall kawasan Senayan. Biasanya, aku memang liputan bertandem dengan wartawan asli, dan kali itu langsung liputan bersama editor senior dalam tabloid sepak bola nomor satu di Indonesia. Sebelum diajak oleh Kang Jalu, aku tak tahu menahu jika Rush akan ada agenda mengunjungi Indonesia. “Mar, lo ikut gue, kita liputan pembukaan gerai Liverpool sama Garuda Indonesia di
Sency (Senayan City),� katanya. Sebagai anak magang atau PKL, setiap diajak liputan aku selalu senang dan ternyata kali ini benarbenar pengalaman yang sangat luar biasa. Saat itu dipikiranku, pembukaan gerai tersebut hanya akan didatangi oleh orang-orang penting dari Garuda dan dewan direksi Liverpool yang mengurus hal tersebut. Ternyata, saat ngobrolngobrol dengan wartawan lain di tempat acara, Ian Rush memang dijadwalkan datang ke Indonesia dan melakukan coaching clinic pada Rabu, 26 Februari. Ternyata, Rush datang lebih cepat untuk menyapa penggemarnya. Sesaat sebelum acara konferensi pers peresmian gerai resmi Garuda Indonesa dan Liverpool FC, Rush tiba-tiba masuk dan menyapa para awak media yang sudah hadir dari siang. Aku pun terpana dan bergumam dalam hati “Wow! Kampret! Ian Rush asli depan mata gue!�. Rush sempat berkomentar sedikit mengenai kerja sama antara pihak Garuda Indonesia dan Liverpool. Maklum, Rush sendiri merupakan ambassador untuk Liverpool. Jadi, tidak aneh jika dia ternyata sering bolak-balik Inggris-Indonesia untuk membawa nama Liverpool. Setelah acara selesai, aku dan Kang Jalu kembali
ngobrol-ngobrol
soal
lain,
ternyata
aku
langsung
ditugaskan untuk liputan coaching clinic bersama Rush besoknya! Ini mungkin merupakan sebuah tanggung jawab yang paling menyenangkan selama aku melakukan job training di sana. Esok harinya, aku bersiap-siap dan bangun lebih pagi dari biasanya. Tentu saja, hari yang paling ditunggu-tunggu itu tak boleh
terlewatkan, apalagi karena ketiduran. Berangkat dari rumah, aku pergi ke kantor terlebih dahulu untuk mendapatkan arahan lebih jelas. Setelah itu, berangkat ke kantor Garuda Indonesia untuk dijemput. Garuda menyediakan bis untuk para wartawan ke tempat coaching clinic yang digelar di Cengkareng, tepatnya komplek olahraga milik maskapai terbesar Indonesia itu. Sesampainya di venue sudah banyak berkumpul para wartawan dan komunitas Big Reds Indonesia (sebutan fans Liverpool). Kami semua menunggu lumayan lama, memang sebenarnya kedatangan kami terlalu dini dari jadwal yang sudah ditetapkan oleh pihak panitia. Selama menunggu, para tamu undangan dijamu dengan makanan mewah, di sela-sela itu, aku seorang diri dari tabloid SOCCER, dan status hanya sebagai anak magang. Beruntung, ketika sedang makan, seorang wartawan senior melihat kartu magangku dan diajak ngobrol. Tak disangka, yang mengajak ngobrol itu satu almamater denganku, aku lupa namanya, tapi yang pasti dia adalah alumni Jurnalistik Fikom Unpad angkatan 1991. Dari situ aku juga dikenalkan oleh alumni Jurnalistik lainnya, seorang perempuan angkatan 2003. Betul-betul menyenangkan bisa bertemu angkatan-angkatan atas dari almamater yang sama. Kembali ke cerita tentang Rush, akhirnya eks striker yang mencetak 229 gol selama berseragam The Reds itu kembali ke atas lapangan. Meski usianya kini sudah menginjak angka 52 tahun, skill Rush di atas lapangan masih membuat terpana orang-orang yang hadir. Selain memberikan materi-materi dasar cara bermain
Liverpool, dia juga ikut bermain di lapangan futsal dalam beberapa pertandingan. Setelah duet Kenny Dalglish di Liverpool itu ‘pamer’ skill di atas lapangan, para awak media pun langsung menghampirinya. Aku tidak langsung menghampiri keramaian tersebut. Aku hanya menyaksikan
para
wartawan
dari
media
elektronik
mewawancarainya. Aku menunggu kondisi untuk wawancara one by one dengan sosok seperti Rush. Akhirnya, kondisi tersebut datang, berbicara langsung dengan legenda sepertinya membuat jantungku berdegup cepat, salah-salah kata pasti malu, keringat pun berkucur deras dari atas kepalaku, selain karena gugup, arena futsal tersebut memang terbilang panas. Wawancara orang bule langsung dan statusnya sudah melegenda, siapa yang tak gugup? Apalagi dia berasal dari Wales, masih masuk dalam wilayah Britania Raya. Aksen bicara orang Wales memang serupa dengan aksen British yang terkenal sulit. Beruntung, wawancaraku dengan mantan striker Liverpool dan Juventus itu berjalan lancar.
The Great Dane dan Ljungberg Bagi para pecinta sepak bola, haram hukumnya untuk tak mengenal mantan penjaga gawang Manchester United, Peter
Schmeichel. Ya, sosok Schmeichel tak bisa dilupakan begitu saja dari dunia si kulit bundar. Tahun 1998-199 menjadi tahun penting bagi dirinya, bersama The Red Devils, Schmeichel meraih treble winners yang bersejarah. Beruntung bagiku bisa melihat secara langsung Schmeichel dengan mata kepala sendiri. Bertempat di sebuah mall kawasan Kuningan, Jakarta Selatan aku ditugaskan untuk meliput konferensi pers kerja sama antara produk ban dengan klub sekelas Manchester United. Datang ke tempat lebih awal membuatku mencari-cari tempat konferensi tersebut. Sialnya, aku pertama kali datang ke mall tersebut, alhasil membuatku berhasil nyasar di dalam mall tersebut sebelum datang ke tempat konferensi pers. Beruntung, aku datang lebih dulu, jadi selama satu jam nyasar tidak membuatku ketinggalan acara tersebut. Melihat sosok The Great Dane membuatku cukup terpana. Tak bisa mewawancarai langsung seperti Ian Rush memang, tapi melihatnya dengan mata kepala sendiri saja sudah membuatku puas bisa melihat langsung seorang kiper legendaris The Red Devils. Perawakannya tinggi besar, pantas dia mahir menjaga gawang Manchester United. Dia juga sempat bercerita bahwa Jakarta merupakan kota yang macet dan sangat bising, ya, Schmeichel yang baru sekali ke Jakarta saja bisa berujar begitu, mungkin para Jakartans sudah terbiasa menghadapi itu semua, tidak seperti dirinya.
Selang sebulan, aku kembali dikirim ke konferensi pers, kali ini, acaranya tentang menyambut kedatangan klub asal London Utara, Arsenal. Tahun 2013 memang menjadi tahunnya para klubklub Inggris menyambangi fans mereka di Indonesia. Dahaga para pendukung yang telah merindukan sosok-sosok mereka di atas lapangan kini bisa disaksikan langsung. Setidaknya ada tiga klub besar Inggris yang hadir di Jakarta pada tahun 2013, diawali oleh The Gunners, kemudian ada klub Inggris dengan sejarah yang besar, Liverpool, serta Chelsea dengan manajer nyentrik-nya, Jose Mourinho. Kebetulan, acara yang kudatangi di daerah selatan Jakarta, tepatnya kawasan GOR Bulungan digelar acara konferensi pers kedatangan Arsenal. Seorang legenda mereka pun turut hadir dalam acara tersebut. Bagi para Gooners pasti tahu sosok ini, pria asal Swedia yang kerap gonta-ganti warna rambut dan identik dengan nomor punggung 8 saat masih membela Arsenal. Ya, dia tak lain adalah Karl Frederik “Freddie� Ljungberg. Sama seperti konferensi pers lainnya, aku tak bisa mewawancarai satu lawan satu dengan Ljunbgerg. Sosoknya ramah, dia selalu tersenyum saat disapa oleh para penggemarnya. Dia juga tak menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para awak media yang hadir. Setelah acara konferensi pers, dia menyempatkan diri untuk bermain futsal dalam GOR Bulungan. Riuh suasana ramai pun bergema dalam lapangan tertutup itu. Meski kondisi fisiknya
menurun karena digerogoti umur, tapi keahliannya mengolah si kulit bundar masih apik. Tiga pengalaman di atas hanya merupakan sebagian kecil kisah-kisahku ketika menjalani masa jobtraining di tabloid Soccer. Selain Rush, Schmeichel, dan Ljungberg, aku juga memiliki momen unik. Saat itu masih dalam acara konferensi pers kehadiran mantan bintang pesepak bola Premier League. Di sebuah hotel bilangan Senayan, saat menunggu kehadiran bintang-bintang tersebut, aku yang tidak tahan untuk buang air kecil terbirit-birit pergi ke WC, saat asyik-asyiknya mengeluarkan air seni, tiba-tiba di sebelahku ada seorang bule yang juga ikut buang air kecil. Tanpa mempedulikan sang bule, aku menyudahi, ternyata oh ternyata, setelah keluar dari WC baru sadar bahwa bule yang buang air kecil di sebelahku tadi adalah sosok Steve McManaman! Mantan pemain Liverpool era 90-an dan bintang Real Madrid saat menjuarai Liga Champions tahun 2002. Selain para legenda itu, aku juga mendapatkan kesempatan emas bertemu dengan mantan-mantan bintang lapangan hijau asal Indonesia, sebut saja Ricky Yakobi, Ponaryo Astaman, Nur’Alim. Aku juga mewawancarai langsung striker naturalisasi tim nasional Indonesia, Greg Nwokolo, makan malam bareng staf dan para pemain Arema Cronus yang saat itu masih dilatih oleh Rahmad Darmawan. Mungkin, pengalamanku mengenai bidang jurnalistik saat melakukan jobtraining tidak semenarik teman-temanku yang lain.
Mereka mungkin akan menceritakan betapa ‘hitamnya’ dunia jurnalistik ataupun politik Indonesia. Tapi, bagiku pengalaman di tabloid Soccer adalah hal paling luar biasa. Menemui idola masa kecil, lebih mengenal olahraga yang paling digemari di seluruh dunia, membuatku ‘orgasme’. Ada satu hal penting yang kupelajari dari sepak bola, bahwa permainan indah dan simpel ini menyimpan berbagai filosofi hidup. Kita semua akan mengerti saat kita benarbenar memerhatikan sepak bola dan hidup tidak hanya dari satu sisi. Arrivedercci!
Kisah Amplop, Putri Kecantikan, dan Reporter Jemawa Oleh: Yohannie Linggasari
S
ebagai
mahasiswi
Jurnalistik
Fakultas
Imu
Komunikasi Universitas Padjadjaran, saya dan teman-teman selalu dididik untuk menjadi jurnalis yang jujur dan profesional. Saya selalu kagum
dengan kisah-kisah heroik para jurnalis yang begitu gigih dalam memperjuangkan idealismenya. Hal itu pula yang memotivasi saya untuk berkecimpung ke dalam dunia jurnalistik suatu saat. Sampai kemudian tiba saatnya saya untuk melakukan job training alias magang di media. Nah, tampaknya saya harus berpikir ulang apakah saya benar-benar ingin jadi jurnalis. Saya magang di sebuah stasiun televisi yang mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Stasiun televisi ini sempat berjaya dulu, tetapi sekarang semakin banyak saingan yang lebih bagus darinya. Meski begitu, kesombongan masih hinggap di diri beberapa jurnalis di tempat ini. Sulit memang melepaskan kenangan manis yang pernah terpatri. Saya bertemu dengan berbagai macam orang di tempat ini. Ada yang saya kagumi karena keseriusannya
bekerja. Ada pula yang saya ragukan cara kerjanya. Satu hal yang pasti, sulit menemukan reporter dan kamerawan yang benar-benar berangkat tepat waktu untuk liputan. Sering kali saya menunggu hingga berjam-jam sampai akhirnya kami berangkat liputan. Sebagai “anak magang�, saya tidak bisa protes, saya hanya bisa mengikuti pola kerja mereka. Pada saat liputan, tidak jarang, kami diberi amplop oleh penyelenggara acara. Amplop tersebut, tentu saja, berisi rupiah. Di bangku kuliah, saya selalu diajarkan untuk hati-hati dalam urusan amplop ini. Sebaiknya, amplop yang berisi uang ditolak agar tidak memengaruhi idealisme dan objektivitas jurnalis. Beberapa rekan menganggap sah-sah saja menerima amplop asalkan tetap bisa menulis secara objektif. Saya pribadi merasa lebih baik tidak mengambil amplop karena saya merasa hal itu sama saja dengan berutang kepada orang itu. Nah, tampaknya urusan amplop ini sudah jadi hal yang biasa dalam dunia media. Malah, kalau tidak dapat amplop rasanya tidak komplet. Beberapa kali saya ikut liputan, beberapa kali pula saya dengar keluhan dari reporter maupun kamerawan yang mengharapkan dapat amplop dari acara yang diliputnya.
Pernah
suatu
kali
kami
meliput
acara
dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai susu, dan kami pun diberi goodie bag berupa susu. Saya pikir, lumayan juga dapat susu. Bukan hanya satu, dua kotak, tetapi satu tas. Namun, ternyata tetap muncul keluhan dari mulut reporter. “Yah, masa dapet susu doang. Nggak ada duitnya,” begitu ujarnya. Seperti timbul penyesalan meliput acara tersebut karena ternyata tidak mendapatkan amplop. Di lain kesempatan, saya dan tim lain melakukan liputan mengenai program kerja bedah rumah Kementerian Sosial ke daerah Parung, Bogor. Bisa dibilang, ini liputan yang lumayan jauh. Liputan pun berlangsung sampai malam. Dari obrolan reporter dan kameraman, saya tahu mereka mendapatkan amplop. Namun, yang terdengar lagi-lagi adalah keluhan. “Gila, liputan sejauh ini cuman dapet segini? Kebangetan deh!” begitu ujar reporter. Dari pembicaraan mereka selanjutnya, saya kemudian tahu bahwa reporter ternyata sempat protes ke bagian Humas mengenai isi amplop yang katanya “kebangetan” itu. Saya menyimpulkan, motivasi beberapa reporter dan kamerawan dalam melakukan liputan adalah hanya amplop semata. Bukan lagi semenarik apa isu yang diliput, penting atau tidaknya isu itu, tetapi ada atau nihilnya amplop. Namun,
tidak semua reporter dan kamerawan seperti itu. Ada pula beberapa jurnalis yang saya hormati karena profesional dalam bekerja. Pada hari berikutnya, seorang reporter yang terhitung senior curhat pada saya mengenai gajinya yang sangat minim dan tidak kunjung naik. Mendengarkan ceritanya, saya jadi tidak heran mengapa banyak jurnalis yang berharap pada amplop.
Keadaanlah
yang
membuat
mereka
senang
mengambil amplop. Jadi, kalau begini, siapa yang seharusnya disalahkan?
Putri Kecantikan Pembaca Berita Putri kontes kecantikan jadi pembaca berita? Si tampan pemain film jadi news anchor? Hal ini tentu bukanlah kisah baru di dunia media. Sebenarnya sah-sah saja, tetapi tunggu dulu‌! Pertanyaannya, apakah si putri dan si tampan ini punya keahlian jurnalistik? Apakah ia tahu bagaimana kerja jurnalis? Atau, ia hanya bermodalkan wajah rupawan? Sayangnya, contoh yang saya temui di tempat ini adalah si putri yang hanya bermodalkan wajah cantik.
Memang, pada saat ia berada di depan layar, ia tampak begitu percaya diri dan menarik ketika membaca potongan berita. Namun, saat liputan ke lapangan, ternyata ia masih belum mengerti bagaimana menulis berita dan lainnya. Setidaknya, itu yang saya amati. Gosip-gosip panas pun seringkali beredar di antara para
reporter
dan
kamerawan.
Beberapa
reporter
mempertanyakan kredibilitas si putri maupun si pemain film itu. “Harusnya dia belajar dulu jadi reporter yang bener, biar nggak terlalu keliatan oon di tivi,� ujar salah satu reporter. Yang lainnya berkometar, “Kalau mau jadi artis ya tetep jadi artis aja. Kalau tetep jadi artis, nanti pas baca berita, wibawanya luntur.� Dari yang saya perhatikan, memang banyak cemoohan dan sindiran terhadap si putri ajang kecantikan dan artis tampan pemain film tersebut. Bila diperhatikan, memang, pembaca berita di televisi Indonesia termasuk cantik dan tampan, dibandingkan dengan pembaca berita negara maju. Selain itu, mereka juga masih sangat muda. Tak dapat dimungkiri, tampang menjadi kriteria yang diutamakan dalam dunia jurnalisme televisi. Oleh karena itu, tak heran bila muncul fenomena pembaca berita yang berasal dari kontes kecantikan.
Seorang jurnalis televisi bernama Luviana dalam bukunya “Wajah-wajah Cantik Jurnalis Televisi� mengatakan bahwa kawannya pernah ditolak menjadi jurnalis televisi karena ada bekas cacar di wajahnya. Ia dianggap tidak layak menjadi jurnalis televisi karena kurang good looking. Beberapa kawan Luviana yang lain juga mengeluhkan tidak boleh membawakan sendiri beritanya di depan kamera hanya karena tidak cantik. Padahal mereka adalah jurnalis lapangan yang sering bangun subuh-subuh dan kepanasan. Luviana juga menceritakan lebih banyak jurnalis televisi perempuan umumnya diambil dari perempuan yang pernah menjadi pemenang kontes putri atau pernah menjadi model yang hanya tinggal dipoles dan nanti produser dan redaktur yang menuntun mereka. Televisi menganggap ini lebih baik daripada merekrut jurnalis yang handal tapi tidak layak di depan kamera (Dalam Jurnal Perempuan “Apa Kabar Media Kita?�, 2010). Sebagai manusia yang mencintai keindahan, saya mafhum
bila
penampilan
menjadi
hal
yang
sangat
diperhatikan dalam berita televisi. Namun, pada akhirnya, penampilan menjadi urutan kesekian ketika pembaca berita dapat tampil dengan cerdas dan penuh wawasan. Isi kepala menjadi lebih cantik dibandingkan rupa.
Hormati Narasumbermu! Di lain kesempatan, saya ditugaskan meliput program Jokowi. Saat itu, sedang dilaksanakan pembagian Kartu Jakarta Sehat (KJS) di sebuah puskesmas di daerah Jakarta. Suasana ketika itu sangatlah ramai. Warga berlomba untuk foto dengan orang nomor satu di ibukota. Reporter dan kamerawan pun kewalahan dalam menjalankan tugasnya. Beberapa
menit
kemudian,
setelah
perjuangan
“meraih Jokowi”, akhirnya tim kami pun berhasil mendapat pernyataan serta gambar Jokowi. Tiba-tiba Mas Reporter menghampiri saya dan berkata, “Kamu tahu gimana saya bisa menerobos kerumunan tadi?” Saya lalu menanggapi, “Gimana emang, Mas?” Ia lalu menjawab, “Nih, ya, lain kali kalau situasinya rame banget kayak tadi, kamu injek aja kaki orangorang itu, biar pada minggir.” Saya hanya terdiam sembari memikirkan pengalaman saya beberapa waktu lalu saat liputan di Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Tahu sendiri ‘kan, bagaimana ramainya situasi di KPK? Para kamerawan berebut gambar, begitu pula dengan reporter yang berusaha sekuat tenaga untuk dapat menyorongkan mic ke narasumber. Reporter yang saya ikuti
punya cara lebih pintar dalam menerobos kerumunan. Ia merangkak di antara puluhan pasang kaki sampai mencapai lini terdepan! Nah, itu baru cara cerdik tanpa perlu kekerasan. Setelah mewawancarai Jokowi, reporter pun mencari narasumber lain, yaitu pengguna KJS yang bermasalah. Narasumber ini adalah seorang ibu muda yang sakit kista. Ketika ia berobat dengan menunjukkan KJS, ia ditolak mentah-mentah oleh pihak rumah sakit. Saat dialog bersama Jokowi, ia sempat mengutarakan keluhannya, dan saya bisa melihat ia sedikit emosi saat menceritakan pengalamannya. Saya lihat juga ia tampak lelah, apalagi dengan banyaknya pertanyaan dari wartawan maupun orang lain yang hanya ingin tahu pengalamannya. Belum lagi, ia juga menggendong seorang anak yang masih kecil. Si Mas Reporter kemudian memanggil-manggil ibu itu, berniat mewawancarainya.
Namun,
tampaknya
ibu
itu
tidak
mendengarnya. Hal yang dilakukan reporter selanjutnya membuat saya sedikit risih. Ia menarik baju ibu itu dengan kasar, sampai ibu itu memalingkan wajahnya ke reporter dan berkata, “Aduh!� Pastilah Mas Reporter menariknya dengan cukup kasar. Tidak ada kata maaf. Yang ada, ia segera memulai wawancara dengan ibu itu.
Dari wawancara yang dilakukan, saya bisa melihat ibu itu tampak sangat lelah dan sebenarnya tidak ingin banyak bicara lagi. Tampak mood-nya juga sudah jelek karena kejadian tadi. Seusai wawancara, saya lihat ia langsung pulang. Kejadian itu cukup berkesan bagi saya. Saya mendapatkan pelajaran bahwa sebagai jurnalis, penting sekali untuk menghormati narasumber, selayaknya kita ingin dihormati. Memang terdengar sepele, tetapi menarik baju narasumber agar ia menoleh pada kita bukanlah hal yang sopan dan layak. Saya juga belajar bahwa ladang jurnalisme adalah dunia yang keras. Banyak godaan serta tantangan di dalamnya. Celakanya, kita tidak bisa 100% memercayai senior kita di lapangan. Wah, tentu rasanya akan sangat menyenangkan bila kita punya panutan yang bisa memberikan pelajaran berharga pada kita. Namun, kenyataannya, seniorsenior kita itu belum tentu merupakan jurnalis yang profesional. Kita harus tetap kritis mengenai mana yang benar dan salah. Mana yang layak diikuti, mana yang layak diabaikan.
Jangan terlalu cepat percaya! Begitu pula kamu yang baru saja selesai membaca tulisan ini, jangan cepat percaya!
Hikayat Hadiah Oleh: Dara Aziliya
S
iapa di dunia ini yang ga senang kalau mendapat hadiah? Ga ada! Persoalannya, hadiah sekecil apapun, semurah apapun, segampang apa pun mendapatkannya, bisa berdampak besar. Mulai dari
ketidakberimbangan, persoalan etika dan moral, sampai membohongi masyarakat. Januari-Maret
2013
lalu,
saya
apply
menjadi
internship reporter di Media Indonesia. Waktu itu saya dan empat teman saya berdoa, “Ya Allah, jangan sampai kami ditempatkan di kopartemen Ekonomi�. Kalau soal politik, kita tidak bisa memilih tidak tahu karena semua orang di sekeliling kita membicarakannya, kan? Kalau Ekonomi? Kita harus (kalau saya tidak boleh menggunakan diksi terpaksa) belajar, mengetahui konteks, bahkan yang terlihat mudah. Oke, balik ke topik. Akhirnya sayalah yang beruntung menjadi anak ekonomi dimana saya meliput dan menulis persoalan-persoalan ekonomi negeri ini. Sejujurnya, field liputan saya hanya satu, yaitu ketika meliput peresmian Pedagang Kreatif Lingkungan (iistilah Pedagang Kreatif
Lingkungan yang awalnya Pedagang Kaki Lima ini, dicetuskani oleh menteri Perdagangan Gita Wirjawan). Selebihnya, saya meliput di kantor-kantor dan hotel-hotel megah nan melangit yang di Jakarta (paling sederhana itu justru kantor-gedung DPR ď Š). Kebayang dong ya, berapa biaya perusahaanperusahaan yang mengadakan kegiatannya di hotel demi sebuah konferensi pers. Bahkan salah satu perusahaan, sebut saja namanya Telk*m, kalau mau konferensi pers, suka ngajakin reporter nonton dulu film-film yang lagi premiere. Padahal, mereka harusnya tau wartawan tidak punya wewenang memuat berita atau tidak memuatnya. Wartawan saja belum punya wewenang, apalagi anak magang seperti saya ini. Pernah suatu hari, saya diajakin Bu Wulan (humas Telk*m) untuk nonton premiere Rectoverso
di Plasa
Senayan. Waktu itu saya diskusikan sama redaktur saya tentang undangan itu, saking
idealisnya sama apa yang
didapat di kampus :p . Mbak redaktur saya menanggapinya, “Ya ampun, Dar. Kalo nonton ya pergi aja, have fun ya!�. Saya bengong sih karena sebelumnya saya mengembalikan amplop yang isinya Rp 100 ribu dan mereka apresiasi. Hari
ini saya nonton premiere yang
harganya sekitar itu
dibolehin. Kali aja asal-bentuknya-jangan-duit ya-___Nah, kirain itu bentuk Telk*m untuk membina hubungan baik sama jurnalis, ga ada acara apa-apa lagi selain nonton. Ternyata, ada peluncuran produk baru Telk*m, sebelum film dimulai. Saya masih ga ngeh ketika mereka mengumumkan produk baru itu, karena ga dikemas seperti launching produk baru. Setelah nonton, saya mikir ‘Ini wartawan ngapain pada ngerubungin direktur blabla?’. Saya jalan melewati kerubungan wartawan-wartawan media lain dengan polosnya, menuju tempat parkir, lalu pulang. Sepanjang perjalanan saya tiba-tiba ngeh, kalo itu juga salah satu bentuk konferensi pers. Berapa
kira-kira
perusahaan
habiskan
sebuah
konferensi pers berbentuk nobar, dinner, dan foto bareng artis film tersebut? Saya yakin tidak sedikit. Saya tidak paham bagaimana sistem anggarannya, tetapi yang pasti perusahaan itu berdiri di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menggunakan uang negara. Saya juga berpikir, mengapa wartawan-wartawan itu terbiasa dengan aktivitas perusahaanperusahaan yang menghabiskan uang dengan nonton bareng. Saya sempat ngobrol dengan beberapa wartawan dan saya menyimpulkan wartawan-wartawan tak berpikir mengenai
servis yang diberikan perusahaan kepadanya. Bagi mereka yang penting terpenuhi target sehari 10 berita, terserah bagaimana sumber berita memperlakukan mereka. Belum lagi konpers yang biasa diadakan di hotelhotel. Saya pernah diundang ke peluncuran suatu produk, di hotel Le Meredien (Bener! Ini hotel yang mendadak-beken seIndonesia gara-gara Ahmad Fathanah yang tertangkap sama Maharani), sebut aja nama mereknya AVA*A. Makanannya saya jamin harga perporsinya juga selangit, saya cobain beberapa. Sampai kantor, saya tahu beritanya tidak naik. Ada lagi undangan di Hotel Hyatt, peluncuran apartemen. Setiap 15 menit makanan di depan saya diganti sama pelayannya. Enak semua dan pastinya dengan harga mahal. Namun, beritanya juga tidak naik. Waktu acara selesai, teman-teman wartawan dibekali hadiah jam meja berbahan stainless steel. Ga hanya pihak-pihak swasta. Pernah sekali saya menghadiri pertemuan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) follow up kasus pemilik saham Bank Century. Belum masuk ke ruangan konpers, saya sudah diberikan satu tentengan besar yang isinya kalender, notes, powerbank, payung, saya lupa ada apalagi di dalamnya. Begitulah sepanjang saya dapat hadiah, saya ambil, lalu di sisi lain saya merasa bersalah.
Pernah juga saya dengar celetukan teman-teman di kantor yang mengatakan sebuah perusahaan bisa membayar hingga ratusan juta untuk dapat dimuat. Kalau hanya diberikan kalender, tiket nobar, itu hanya persoalan cetek saja. Suatu hari, saya lagi ngobrol sama para redaktur dan asisten redaktur di kopartemen Ekonomi. Mereka tiba-tiba mengungkit permasalahan wartawan amplop. Well, mereka tidak menampik fakta bahwa ada wartawan – tanpa sepengetahuan mereka – menerima uang dalam jumlah besar dari narasumber agar beritanya dimuat. Waktu itu, salah satu asisten redaktur mengatakan, “Kalau ada konpers, saya ga akan ngambil hadiah ini itu, saya suka cek apa isi goodiebag yang mereka bagikan. Tapi setelah saya ambil siaran pers-nya, saya kembalikan goodiebag itu lengkap dengan isinya�. Saya sebagai anak magang dan masih norak dengan goodiebag, makanan enak, atau tiket nonton, praktis merasa jleb waktu dengar kalimat itu. Ia meyakinkan saya yang terbaik ialah menjaga amanah masyarakat dengan menjaga kredibilitas diri, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan akhirnya yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat. Para pengambil keputusan di media massa, pada umumnya ialah orang-orang yang berhasil melewati proses penuhgodaan tersebut.
Pasca mendapat petuah tersebut, saya ga bawa pulang lagi hadiah. Semacam susah karena masih norak sebagai wartawan ibukota. Sudah cukup hadiah yang ini saja: menjadi orang pertama yang mendengar berapa persen pertumbuhan ekonomi negara ini, jadi orang pertama yang nge-tweet realisasi investasi, atau jadi orang pertama yang tau nasib Bank Mutiara (eks Bank Century yang untuk menambal-nya, menggunakan pajak kita semua). Selain cerita-cerita berbagai hadiah di atas, tentu saya tak menampik begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan ketika magang sebagai reporter ekonomi di Media Indonesia. Selain update diri mengenai berita-berita ekonomi dalam negeri, saya juga dianjurkan untuk selalu mengakses portalportal berita negara lain. Jangan tanya betapa frustrasinya saya ketika membaca The Economist (kalo ga percaya, go read it :p). Namun, terkadang belajar harus demikian, harus memaksakan diri, agar kaget sendiri sama apa yang ternyata dapat kita lakukan ď Š
Mata Najwa: Risetnya Tolong Dilengkapi dong! Oleh: Dara Aziliya
“Risetnya tolong dilengkapi dong!”, “Kok yang ini ga lengkap?”, “Kok yang ini datanya minim banget?”, “Tolong wawancara si ini ya”, “Tolong ke sana dong untuk cari kelengkapan berkasnya”, “Kok yang ini ga ada sih?, “Ih gue pengen ini deh”. Pernah saya bayangkan sebelumnya, kalau seorang Najwa Shihab itu adalah orang yang sangat perfeksionis, mendetil, pintar, dan
teliti.
Ternyata
dugaan
tersebut
benar
adanya.
Dari
karakteristiknya ketika mewawancara dan menembaki narasumber, bisa terlihat betapa intelektualnya dia. Dua bulan bekerja untuknya, saya paham alasan Mata Najwa menjadi 5 besar talkshow terbaik Indonesia. Menurut saya, wajar dari seorang Najwa Shihab dan dua produser yang luar biasa lahir sebuah program talkshow yang cerdas. Kalimat-kalimat pada paragraf awal adalah kalimat-kalimat khas dari Najwa Shihab yang biasa saya panggil Mba Nana. Selain menyandang status owner program Mata Najwa, kita semua tau kalau Mba Nana adalah wakil pemimpin redaksi stasiun TV berita negeri ini, Metro TV. Hari pertama di mata Najwa, produser membawa saya bertemu Mba Nana untuk dikenalkan. Saya yakin saat bersalaman
kami freeze 5 detik melihat hidung satu sama lain, saling iri. Well, saya akhirnya tau kalau hidung Mba Nana lebih mancung dari milik saya :p . She’s smart dan saya ga paham lagi dengan betapa telitinya dia. Mba Nana adalah orang yang bisa tegas bahkan untuk kesalahan titik dan koma. Namun, itu tidak membuatnya terlihat menyeramkan karena di titik yang sama, Mba Nana adalah orang yang tetap memakan makannya yang telah jatuh atau mengorek-ngorek kerak Astor sampai habis. She’s so decisive and humble at the same time . Saya belajar banyak hal dari Mba Nana. Paling terasa jelas, kemampuannya dalam mewawancara. Saya sampaikan sebuah rahasia: kalau ada narasumber yang ia ‘serang’ di studio, sesungguhnya itu sudah terencana. Saya juga belajar bagaimana mewawancara yang baik, di kelas wawancara. Namun, sampai detil memperhitungkan
“pertanyaan
ini
harus
dikeluarkan
ketika
narasumber mengambil napas ke sekian”, sejujurnya saya bengangbengong sendiri mendengarnya. Mba Nana tidak pernah kehilangan fokus, ia total menyerahkan diri ketika mewawancarai narasumber. Benar apa yang sering kita dengar, sebelum mewawancara pewawancara harus siap. Menjelang taping, Mba Nana belajar total dari bahan riset yang sudah disusun oleh tim. Saya pernah melihat ia terus membaca melalui iPad-nya, sementara perias sibuk membenarkan make upnya.
Seperti yang selama ini kita tahu, Mata Najwa selalu berusaha menghadirkan narasumber-narasumber lingkar satu dari sebua kasus/persoalan. Meskipun demikian, Mata Najwa tak lupa mengajak mahasiswa internship dalam mengambil keputusan. Dia pernah bertanya, “Siapa ya Dar yang bisa kita jadikan pengamat?”. “Menurut lo judulnya ini bagus ga, Dar?” sampai menanyakan, “Besok rapat kita makan apa ya?”. Jangan mengira, tidak pernah ada yang menolak diundang Mata Najwa. Beberapa menteri misalnya, mengaku jera karena di episode sebelumnya telah ‘dikupas habis’ oleh Mba Nana. Jangan mengira juga, program ini digarap dengan produser serius yang super nerdy. Kalau frustrasi mikirin narasumber, produser bisa dengan lunglainya mengajak beli rujak atau ngopi di kafe, lalu tertawa lagi. Jujur, mulai dari hal sederhana sampai rumit, saya tidak pernah merasa tidak dianggap oleh tim. Saya amat diberdayakan dengan baik dan menyenangkan. Meski berada dalam tekanan riset dan riset, tim menyusun kondisi sedemikian rupa, agar tidak ada anggota tim yang tertekan saat bekerja. That’s right, drama drama oh so everywhere. Meski hanya magang untuk Mata Najwa, saya memang mendengar banyak selentingan gejolak di Metro TV. Sebagian karyawan memilih memperjuangkan hak yang menurut mereka harus mereka dapatkan, di saat sebagian lainnya memilih diam dan bekerja dengan tenang. Saya ingat ketika saya menyelesaikan masa magang di Mata Najwa,
saya menyalami setiap orang sambil menangis sedih karena masa job training yang menyenangkan akan berakhir (or I cried because I just realized that I must back to reality – Lapjob, Usmas, dan berbagai Sidang. I don’t even sure :p). Salah seorang staf tim Mata Najwa mengatakan: Dara, don’t ever come back here! Iya, dia bilang, jangan sampai saya bekerja di Metro TV. Saya ga paham persis apa alasannya, tapi saya yakin, persoalannya tidak jauh dari aspek pemenuhan hak karyawan. Baiklah, saya tidak melanjutkan, karena saya ga mau menyebar isu yang saya sendiri tak yakin :D Demi kebaikan semua pihak, tolong sangat, give the best of your best saat melakukan job training. Untuk apa tiga tahun di Jurnalistik, kalau job training kita lakukan setengah hati♼
Hikayat Berburu Kepala Sistem Informasi e-KTP Oleh: Surya Rianto
J
alan Tanah Abang pukul 09.30 WIB di Jumat awal tahun 2013, aku panik resah melihat jam tangan setiap detik. Saat itu kendaraan roda duaku berhenti karena macet. Hari itu pertama kalinya aku meliput sebuah liputan khusus pada
media yang menjadi tempatku bernaung saat menjalani job training. Pertemuan pukul 10.00 WIB di Gedung E Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) samping Istana Negara menjadi tujuanku saat itu. Satu kekonyolan pagi itu, aku tak tahu letak persis Gedung Kemendagri. Hanya tahu satu informasi, gedung itu berada di samping Istana Negara. Nyatanya hal ini membuat sebuah masalah selanjutnya, walau masalah kecil. Setiap liputan khusus “43 Kiprah Peneliti Indonesia� di Harian Media Indonesia , aku selalu didampingi fotografer. Kali ini, pasangan fotograferku ialah Mas Adam. Ia juga pernah menemaniku saat liputan Rubrik Komunitas seminggu sebelum bertemu peneliti sistem informasi e-KTP yang sedang kuwawancara ini. Untungnya, kali ini Mas Adam terjebak macet jadi tak perlu merasa tidak enak karena terlambat.
Sebelum hari-H (wawancara narasumber dari peneliti eKTP), aku merasakan dilema. Jadi menurut sebuah sumber, si peneliti yang akan diwawancarai nanti ternyata terjerat kasus penyelewengan e-KTP. Namun, pemberitaannya tidak terlalu diangkat dan saat itu hanya muncul di satu portal berita dalam jaringan (daring) saja. Aku ingin membicarakan hal tersebut kepada asisten redaktur yang menjadi penanggung jawab liputan khusus ulang tahun. Namun, aku ragu karena kondisinya sedang kekurangan stok berita liputan khusus tersebut. Akhirnya, aku memutuskan mewawancarainya saja dan berencana bertanya mengenai kasus tersebut pada akhir wawancara biar jelas. Kembali ke perjalanan menuju Gedung E Kemendagri, akhirnya aku bisa lolos dari macet di Jalan Tanah Abang yang amat menakutkan tersebut. Kendaraan roda dua berumur empat tahun yang kukendarain pun langsung melaju kencang bak Jaguar memburu mangsanya. Akhirnya sampai pula di dekat stasiun Juanda, di sana pula kebingungan melanda mencari Gedung Kemendagri. Aku cari tukang ojek yang kuyakin tahu ke mana arah Gedung Kemendagri, tukang ojek tersebut memakai jaket hitam merah dan sedang memakan sate usus di tukang bubur.
“Gedung Kemendagri lurus aja dikit lagi, yang warna putih mas,” ujar tukang ojek tersebut yang kubalas dengan ucapan terima kasih. Setelah mendapatkan penjelasan dari si tukang ojek, aku pun melaju dengan tenang dan senyum kemenangan. Namun, beberapa detik kemudian, aku baru menyadari semua gedung berwarna putih dan itu ada sekitar empat gedung. Dua gedung pertama tidak mungkin Gedung Kemendagri karena itu gedung swasta dan satunya lagi rumah makan padang. Akhirnya, dengan polosnya aku memasuki gedung ketiga yang dijaga dua orang berpakaian loreng bertanda Tentara Nasional Indonesia (TNI). Baru beberapa langkah masuk ke dalam gedung, tiba-tiba terdengar suara bentakan. “Hey mas! Bawa motornya, buka jaket dan helmnya, ke sini sekarang juga!” ujar salah satu penjaga pos yang mengenakan seragam loreng kepadaku. Aku terkejut panik dan dalam hati berkata, Apakah peraturan di gedung Kemendagri seketat ini? Aku pun berjalan menuju ke pos penjagaan sambil membawa motor dan bagian tubuh lain ribet menahan jaket yang baru saja kulepas dan tak sempat dirapikan. “Ada urusan apa kamu ke sini?” tanya si bapak pakaian loreng sambil membentak.
“Mau wawancara e-KTP di Kemendagri pak, saya dari Media Indonesia,� aku menjawab dengan sungkan dan was-was takut-takut ia minta tanda pengenal pers yang aku tak punya. Tiba-tiba bapak pakaian loreng yang galak tadi merubah mimik wajahnya menjadi tersenyum. Dia berubah 180 derajat menjadi sosok yang ramah dan memberitahuku kalau tempat itu bukanlah Kemendagri, kantor Kemendagri ada di gedung sebelah. Akhirnya aku diizinkan keluar Gedung Angkatan Darat tersebut tanpa embel-embel push up yang aku perkirakan. Aku menceritakan hal itu pada Mas Adam dan ia tertawa. Katanya, untung saja aku tidak disuruh buka baju, jalan jongkok dan push up. Dalam hati, ya beruntunglah aku hari itu. *** Bersama Mas Adam, aku masuk ke ruang yang menjadi tempat pertemuan dengan narasumber e-KTP. Ruangannya di tempat server , di mana semua data penduduk se-Indonesia ada di tempat tersebut. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi amat sejuk dan pengamanan ketat serta bersih sekali. Ada sebuah ruang kecil yang biasa digunakan untuk rapat, di sanalah aku bertemu dengan bapak peneliti sistem informasi e-KTP ini. Aku terkejut ketika masuk ke ruangan, di dalam ruangan itu ada sebelas orang, dua mahasiswa, dua orang asing yang berasal dari India dan sisanya peneliti sistem informasi e-KTP. Cuma, formasi sebelas orang yang terlihat seperti mengeroyok ini, sempat
membuatku canggung. Pasalnya aku ingin membicarakan masalah kasus personal narasumberku itu. Hampir satu setengah jam penjelasan teoritis dan profil narasumber yang kuangkat dijelaskan, hingga membuat Mas Adam tertidur di ruangan. Posisi dudukku di ruangan yang mempunyai meja elips itu ialah di sisi sudut tengah bagian kanan tepat disamping narasumberku. Sementara, lainnya mengitari aku dan narasumberku. Mata mereka menatap dalam-dalam berbagai perbincangan kami dari masalah secara umum tentang e-KTP dan pribadi narasumber. Namun, hari itu aku putuskan untuk tidak menanyakan kasus tersebut, terlalu banyak pasang mata melihat, hati ini jadi tidak enak. Di situlah kesalahanku, rasa tidak enak itu membuat berbagai pertanyaan dikepalaku tidak terjawab. Apalagi, jauh setelah liputan e-KTP tersebut, senior kampusku yang bekerja menjadi wartawan di Media Indonesia mengatakan sosok yang kuwawancarai itu memang bermasalah. Namun, aku mencari beritanya setelah itu malah sudah tidak ada lagi. Kembali pada saat aku mewawancarai narasumber e-KTP tersebut, sampai pada momen pengambilan gambar. Entah orang yang saya ceritakan ini asistennya narasumberku atau apanya, tapi pada proses pemotretan entah mengapa dia yang ribet sendiri. Latar pemotretan diambil pada ruangan server yang cukup dingin. Karena di sana ada beberapa CPU yang mempunyai daya
simpan hingga sekitar 1 juta Terrabyte. Sehingga suhu ruangan harus tetap dingin agar CPU tersebut tetap terjaga. Namun, ada momen
kikuk,
ketika
asisten
narasumberku
ini
mencoba
mengeluarkan dua orang asing dari ruangan server. Katanya sih takut dilihat tidak enak saja ada orang asing di dalam ruangan server yang berisi data negara. Akhirnya, dua orang asing tersebut menunggu di luar hingga sesi pemotretan selesai. Meskipun begitu, seperti yang kubilang tadi, entah mengapa asisten narasumberku itu begitu riweuh pada sesi pemotretan. Seolah-olah dia yang ingin di foto, atau mungkin seolah-olah
dia
fotografer
dengan
ribet
mengatur
pose
narasumberku. Kemudian, ribetnya asisten narasumberku tak hanya saat sesi pemotretan. Tapi, juga ketika sesi makan siang setelah Salat Jumat, ia menjadi sosok yang repot. Pertama, ia repot mencari tempat makan, tapi kali ini memang ia mendapatkan tugas mencari tempat makan. Kedua, ia repot mengambil lauk dan memesan minuman. Bayangkan, di meja makan itu, semua minumannya teh tawar hangat kecuali asisten narasumberku yang memesan jus. Selain itu, di meja makan itu, semua hanya mengambil satu lauk pauk, tapi asisten narasumberku itu mengambil tiga lauk pauk. Aku saat makan siang itu dilema, bertanya-tanya dalam hati apakah ini termasuk gratifikasi? Apalagi si narasumber punya
kasus? Apakah nanti kalau dia terjerat kasus aku akan jadi saksi karena pernah ditraktir? Tapi benarkah aku ditraktir? Ini rumah makan padang yang punya sejarah dan harganya agak tidak sesuai, kemudian aku belum ambil uang pula. Akhirnya, kami semua santap siang yang saat itu Jakarta sedang diguyur hujan yang deras. Pembicaraan makan siang pun agak mengarah ke permasalahan banjir di Jakarta dan peran gubernur yang baru saat itu, Joko Widodo. Pembicaraan pun semakin panjang karena menunggu asisten narasumberku ini selesai makan. Karena setelah ini lanjut perjalanan ke Penerbitan Negara Republik Indonesia (PNRI) di dekat Salemba. Selesai makan siang, ternyata aku benar ditraktir dan semoga kalau dia terjerat kasus sebagai tersangka, aku tak ikut-ikut menjadi saksi karena telah menerima gratifikasi. *** Perjalanan selanjutnya menuju PNRI, dengan kondisi jalanan yang masih basah karena habis disiram hujan lumayan deras. Aku menjalankan motorku agak cepat menyeimbangkan kecepatan motor mas Adam, Fotograferku. Sementara, narsumku naik mobil dan asistennya juga naik mobil yang berbeda dengan narsumku. Sekitar lima belas menit kami sampai di PNRI, karena habis hujan lebat membuat jalan Jakarta tidak macet. Ternyata pengamanan di PNRI cukup ketat, aku dan Mas Adam tidak bisa masuk lebih dulu ke dalam ruangan karena identitas tidak jelas dan
orang yang akan ditemui belum tiba. Akhirnya, kami berdua menunggu di parkiran sampai narasumberku tiba. Kami akhirnya masuk PNRI bersama narasumberku dengan asistennya. Kesan pertama masuk PNRI dari pandanganku ialah seperti masuk ke sebuah markas dalam permainan di komputer. Bayangkan, pintu masuk ke dalam saja ada tiga lapis yang amat berdekatan. Semua pintu itu bisa terbuka dengan kartu identitas khusus. Sebuah ruangan yang besar dengan sekitar tujuh mesin pencetak e-KTP , serta ada beberapa orang asing dari Jerman mondar-mandir mengecek berbagai hasil pekerjaan dan kinerja mesin cetak asal Jerman tersebut. Saya pun disambut seorang pria bertubuh kecil yang menjadi pemimpin di tempat itu tampaknya. Obrolan pun dimulai dengan bahasan tentang mesin cetak asal Jerman dan kehadiran beberapa penelitinya. Mereka bekerja sekaligus meneliti di ruang tersebut karena alat cetaknya jenis paling baru dan sedang di uji ketahanannya. Namun saya melihat dari sisi lain, miris melihat bangsa sendiri bekerja dengan susah payah, tetapi orang asing hanya mengecek seolah mempunyai kasta yang lebih tinggi. Pria bertubuh kecil itu pun melanjutkan pembicaraan dengan menjelaskan berbagai keunggulan dari e-KTP Indonesia dibanding negara lainnya. Walaupun, e-KTP yang sekarang saya pegang belum mempunyai keunggulan yang konkrit. Tapi, pria
bertubuh kecil yang menjadi koordinator di PNRI tersebut mengatakan harusnya ada integrasi informasi yang dimanfaatkan dari e-KTP oleh pihak pemerintah dan swasta. Ditengah-tengah obrolan, tiba-tiba ponselku berbunyi yang membuat hening situasi ruangan seketika. “Surya, bagaimana wawancaranya? Ini tulisan untuk besok ya, deadline kamu jam 9 malam ini, dua feature, ditunggu!� ujar asisten redakturku lewat telepon yang membuat aku sedikit terkejut. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul empat sore, sementara aku berada di pinggiran Jakarta Timur. Rumahku berada di Kota Tangerang yang tepatnya di pinggiran Jakarta Barat. Estimasi waktu dari PNRI ke rumah kutentukan menjadi 2,5 jam karena bersamaan dengan jadwal pulang kerja. Di sana aku mulai resah, kukatakan apa adanya kepada Mas Adam. Akhirnya, Mas Adam segera mencari stok gambar di berbagai ruangan PNRI dan aku melanjutkan obrolan sambil keliling-keliling. Akhirnya pada pukul setengah 5 sore, aku dan Mas Adam langsung segera bergegas dari PNRI. Di jalan pulang Mas Adam dapat godaan dari pekerja SMK di PNRI. Aku iri pada Mas Adam yang sudah punya istri dan anak masih saja digoda. Masa aku yang masih bujang, jangankan digoda, dilirik saja tidak (hahaha intermezzo). Tapi itu tak terlalu dipikirkan dalam-dalam karena yang jelas aku panik diburu garis mati dari asisten redaktur tersebut.
*** Ditengah perjalan pulang, teman sejawat magang yang satu kampus
juga
mengirimkan
pesan
instan
kepadaku.
Isinya
menyarankan aku untuk menanya kasus e-KTP yang berhubungan dengan
narasumberku
itu,
karena
asisten
redaktur
sudah
mengizinkan. Namun apa mau dikata, saat wawancara aku seperti dikeroyok sebelas orang yang akhirnya tak kutanyakan dan jadi rasa penasaran tersendiri hingga kini. Aku pun memilih fokus jalan pulang agar sampai secepat mungkin di rumah dan
menyelesaikan tuntutan dua tulisan.
Sebelumnya aku beli se-bar coklat untuk menemani kepanikan garis mati. Tapi karena terlalu memburu rumah aku lupa mengisi bahan bakar motorku yang sudah habis. Untungnya tak lama kemudian aku menemukan pom bensin. Sesampai di rumah, aku mengunci pintu kamar dan minta untuk tidak diganggu. Akhirnya kukebut tuntutan garis mati dua tulisan sambil sedikit ada teror lewat pesan singkat untuk segera menyelesaikan tulisan. Tulisan pertama kukirimkan pada pukul setengah Sembilan malam. Hal tersebut sebagai dalih agar tulisan kedua bisa kukirimkan agak telat. Tulisan keduaku pun dikirim pada pukul setengah sepuluh malam. Esoknya, kubolak-balik surat kabar Media Indonesia, ternyata sama sekali tidak ada tulisanku. Aku pun langsung berpikir ternyata tulisanku itu tidak layak naik karena jelek. Pikiran itu sedikit membuat kepercayaan diriku jatuh.
“Surya, sini ke meja saya sebentar,” ujar redakturku yang pendiam. Mengejutkan bagiku karena itu pertama kalinya aku berkomunikasi dengannya. Ternyata dia baik sekali. “Kemarin ada kiriman dari kontributor, jadi punya kamu saya geser buat besok saja, soalnya belum sempat diedit,” ujar asisten redakturku itu dengan senyuman. “Surya, yuk kita edit tulisanmu ini,” ujar sang redaktur. Setelah itu aku tenang, ternyata bukan masalah tulisanku yang terlalu buruk rupa hingga tak layak tayang. Selanjutnya, aku pun bertemu berbagai macam jenis peneliti lainnya, dari yang malu-malu kucing saat diwawancarai, curhat masalah gaji sampai narsis dalam hal foto. Tapi, dari sana ada satu simpulan dariku, jurnalis harus siap membahas apapun, bahkan hal yang diluar dasar pengetahuannya. Seperti mewawancarai peneliti, setidaknya jurnalis harus paham berbagai hal ilmu pasti yang menjadi dasar penelitiannya. Walaupun hanya paham sekilas tak masalah. Jurnalis merupakan jembatan untuk menerangkan ilmu yang kompleks kepada masyarakat awam dengan latar yang beragam.
TV LOKAL TEMPAT BELAJAR Oleh: Arif Mulizar
K
uliah di jurusan Jurnalistik Fikom Unpad mungkin tidak menjadi harapan semua orang. Tapi penulis yakin, orang-orang yang punya jiwa petualang, keras dan tahan banting akan “bahagia� mengikuti proses
merengkuh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di jurusan ini. Berbagai mata kuliah dengan tugas “segudang�, deadline
yang singkat,
disiplin yang tinggi tentu bukan kehidupan yang mudah dijalani oleh seorang mahasiswa yang baru saja lulus dari kemanjaan siswa SMA. Berbagai mitos melekat erat di jurusan ini, menyakitkan memang mengetahui mitos-mitos yang benar adanya. Salah satu mitos yang ternyata bukan sekadar mitos adalah lulus lama. Kuliah di Jurusan Jurnalistik ternyata memang memerlukan durasi yang lebih panjang dibanding jurusan lain di Fikom Unpad. Bukan karena jumlah SKS yang lebih banyak, dan bukan pula karena kuliah di jurusan ini lebih sulit sehingga menyulitkan lulus di berbagai mata kuliahnya, tapi karena satu mata kuliah saja. Mata kuliah ini sederhana, mahasiswa diminta untuk menjadi seorang jurnalis sungguhan, di media sungguhan selama 90 hari kerja. Mata kuliah ini disebut Job Training (saya singkat: JT). Dibagi menjadi dua jenis, JT Cetak yaitu bekerja di media cetak, dan JT Elek untuk
bekerja di media eletronik. Mata kuliah inilah yang membuat mahasiswa jurnalistik lulus lebih lama. Apakah lulus lebih lama karena JT merugikan mahasiswa jurnalistik? Tentu tidak, menurut penulis JT adalah kesempatan terbesar bagi mahasiswa jurnalistik untuk menjadi wartawan 4 SKS dan mengaplikasikan semua ilmu yang dimilikinya. Dalam tulisan ini penulis akan menceritakan sekelumit kisah dan pengalaman tentang JT di stasiun TV lokal, PJTV (Paris Van Java TV) yang menurut penulis luar biasa dan mudah-mudahan bisa dijadikan pembelajaran bagi pembaca. Televisi atau biasa disebut TV sudah tak asing lagi di telinga dan mata manusia. Walau tidak semua orang memiliki TV, tapi hampir mayoritas orang tau TV itu apa. Penulis tidak akan menjelaskan
sejarah
pertelevisian
nasional
atau
sejarah
perkembangan teknologi TV di Indonesia. Penulis hanya akan berceritra tentang kegiatan penulis berusaha membuat isi dari benda bernama TV. Menjadi pekerja di staisun TV bukanlah sesuatu yang mudah. Itulah yang pertama kali penulis rasakan saat turun langsung ke lapangan sebagai jurnalis TV. Penulis merasakan betapa tidak mudahnya mencari isu, wawancara, menjadi kamerawan, floor director, bahkan switcherman
Dalam pelaksanaan job training
(JT) ini penulis merasakan manfaat yang sangat luar biasa, ilmu pengetahuan yang semakin bertambah serta mendapatkan berbagai
pengalaman-pengalaman menarik dan luar biasa. Pelaksanaan JT penulis diawali sejak tanggal 15 April- 15 Juni 2013. Selama pelaksanaan JT penulis mendapatkan sangat banyak pengalaman. Berkali-kali mungkin penulis akan mengatakan bahwa PJTV merupakan tempat JT terbaik yang pernah ada. Penulis berkata demikian karena PJTV benar-benar memfasilitasi penulis untuk belajar yang benar-benar belajar. PJTV mengarahkan dan memfasilitasi penulis untuk mempelajari apapun. Mulai dari kamerawan, floor director, telepromter, vo, reporter, sampai switcherman. Awalnya penulis sempat frustasi pada hari-hari awal melaksanakan JT di PJTV. Penulis tidak tau harus mengerjakan apa, penulis hanya duduk, nonton, internet-an, lalu pulang. Tidak jelas mau melakukan apa. Namun, hal itu hanya berlangsung beebrapa hari, karena hari-hari selanjutnya penulis benar-benar merasakan padatnya bekerja sebagai insan pertelevisian. Tugas pertama penulis adalah mengisi vo (vo) berita. vo adalah suara yang membacakan berita saat gambar dari berita ditampilkan. Tak pernah terbayang oleh penulis, suara penulis bisa menjadi pengisi vo untuk berita yang disiarkan. Ternyata menyenangkan mendengarkan suara diri sendiri lewat kota ajaib bernama TV. Kegiatan penulis tidak sebatas mengisi vo, penulis mulai merambah
berbagai
kegiatan
lain.
Salah
satunya
menjadi
kamerawan, menjadi kamerawan bukanlah hal yang mudah. Penulis sangat merasakan ketika melakukan liputan sebagai kamerawan.
Betapa berat dan sulitnya menentukan pengambilan angle gambar menggunakan kamera. Bukan hanya karena ukuran kamera TV yang besar dan berat, tapi juga karena kurang terbiasanya penulis memegang kamera produksi TV. Penulis merasa beruntung bisa memepelajari semua itu dan bahkan dipercaya untuk berbagai produksi berita yang ada di PJTV selama penulis melaksanakan JT di PJTV. Penulis bukan tanpa kendala dalam melaksanakan tugas sebagai kamerawan. Sering kali penulis diingatkan atau malah dimarahi karena salah mengambil angle kamera atau tidak fokus dalam mengambil gambar. Pelajaran yang bisa penulis ambil adalah, betapa beratnya tugas para kamerawan TV yang berjam-jam memikul kamera dan berkeliling kesana kemari. Penulis juga menyadari setiap menonton liputan langsung atau liputan lapangan di TV di balik gambar yang terpampang di TV, ada seorang kamerawan dengan pundak yang skait dan tangan yang pegal. Selain menjadi kamerawan penulis juga menjadi repoter yang mencari berita dan mewawancara narasumber dengan mic di tangan, hal ini dilakukan beberapa kali oleh penulis, salah satunya penulis melakukan stand up
di depan kamera saat
melakukan
liputan tentang Cibaduyut. Selain itu penulis juga melakukan beberapa kali pengambilan video tape
untuk pelaksanaan debat
Gubernur Jabar dan Wali Kota Bandung. Penulis merasa beruntung PJTV sangat percaya dengan produksi yang dilakukan oleh mahasiswa JT. Penulis merasa seperti benar-benar dibebani dengan
ilmu yang dimiliki tentang produksi berita elektronik, feature televisi, dan produksi jurnalisme TV yang dipelajari sebanyak 9 SKS di bangku perkuliahan. Selama JT penulis paling sering melaksanakan dua tugas utama, yaitu menjadi switcherman dan floor director. Penulis tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang switcherman dalam sebuah produksi siaran TV,ternyata PJTV mewujudkan hal tersebut. Penulis
bertanggung
jawab
mengatur
dan
memerintahkan
kamerawan mengambil gambar sesuai apa yang penulis inginkan. Penulis bertanggung jawab atas apa yang ditampilkan dan dilihat di layar kaca oleh khalayak PJTV. Floor director juga tidak kalah penting dibandingkan tugas sebelumnya, menjadi FD penulis mengatur keadaan studio atau lapangan tempat produksi seperti narasumber, penonton, dan pembaca berita, penulis melakukan hitungan mundur untuk menentukan kapan pengambilan gambar selesai dan dimulai, kapan take kapan cut, dan kapan penonton bertepuk tangan, atau kapan kamera bisa dimatikan. Selain semua pekerjaan atau tugas yang telah penulis lakukan di PJTV selama penulis JT, ada salah stau hal yang paling berkesan bagi penulis. Hal yang paling berkesan itu adalah ketika penulis dipercaya oleh produser untuk mengajarkan pada anak magang lain cara bekerja di PJTV. Tugas ini sangat berat bagi penulis, tapi ini merupakan suatu penghargaan yang sangat besar bagi penulis. Penulis berkesempatan berbagi ilmu dengan 4 orang mahasiswa dan
2 orang SMK yang baru melaksanakan magang di sana. Penulis menjelaskan bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan di PJTV. Menjadi seorang jurnalis di TV lokal membuat penulis merasa sangat bernilai. Selama ini penulis hanya menjadi wartawan untuk tugas kuliah, tapi sekarang penulis mampu menjadi wartawan sungguhan yang beritanya bahkan liputannya disaksikan di sebuah stasiun TV lokal Awal mula bergabung dengan PJTV penulis merasa bukan siapa-siapa. Tapi lama-kelamaan penulis merasa inilah tempat penulis. Penulis merasa sangat beruntung melaksanakan JT di PJTV. Lingkungan dan orang-orang yang sangat ramah dan kekeluargaan yang akrab membuat penulis sangat nyaman berada di kantor selama ber jam-jam. Penulis juga melaksanakan berbagai macam tugas tanpa dibatasi. Penulis diperbolehkan menjadi apa saja yang penulis mau dan belajar apa saja agar mendapatkan pengalaman lebih. Berat rasanya mengetahui bahwa penulis harus segera meninggalkan semua ini karena JT yang setelah diselesaikan jangka waktunya. Tapi penulis sadar bahwa pelajaran di sini sangat berharga dan tidak akan sia-sia. Penulis merasakan betapa keakraban yang sangat kuat di seluruh karyawan PJTV, tidak ada perasaan bahwa penulis merupakan mahasiswa magang. Penulis dianggap keluarga besar PJTV. Bahkan yang paling berkesan penulis seringkali diikutkan di rapat-rapat besar redaksi dan rapat penting lainnya.
Mungkin hanya sedikit paparan kisah penulis tentang JT di PJTV, semoga ada manfaat yang bisa diambil dari kisah ini. Tidak ada pekerjaan yang mudah, tidak ada keberhasilan tanpa usaha. Tujuan utama penulis dalam pendidikan adalah menjadi Sarjana Ilmu Komunikasi dan JT adalah langkah untuk menuju itu, Ternyata JT bukan hanya formalitas untuk syarat kelulusan tapi, JT menjadi pelajaran berbeda di luar kampus yang penulis dapatkan secara maksimal. Menjadi insan pertelevisian selama 3 bulan bukanlah hal yang mudah jika penulis tidak mengikuti perkuliahan di bangku kuliah secara serius.
Gara-gara JKT48! Oleh: Satria Perdana
“K
ak kok tinggi banget sih?” “Kakaknya kok malu-malu sih?” “Emang oshinya siapa sih kak? Nanti aku salamin deh...”
Itu tadi kata-kata kenangan yang paling gue inget selama magang di majalah paling gaul pake banget di Indonesia, HAI Magazine. Pasti penasaran itu dari siapa? Hehehe... Nanti gue jawab. Nah, gue kurang lebih 90 hari, lah, magang di majalah yang kantornya terletak di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu. Banyak banget pengalaman luar binasa dan enggak biasa di kantor media yang sehari-harinya kerjanya ‘nyantai’ banget gitu. By the way, gue Satria Perdana. Biasa dipanggil Satria dan bisa dibilang gue ini anaknya agak pendiam, serta tukang galau. Nggak tahu sih galauin apaan yang penting dibikin asik aja. Kayak pertama kali magang di HAI, di hari pertama masuknya kaku, tapi pas pulang di hari pertama pula jadi nggak kaku lagi. Jadi gini ceritanya. Hari pertama gue magang di HAI tuh agak awkward ya. Gimana nggak, masa hari pertama ketika gue
duduk di bangku kosong buat anak magang ada tutup mesin cuci sama kartu Yu-gi-Oh!? Nggak cuma itu, masih di hari pertama, tapi di sore harinya, di kantor ada yang main sepeda! “Gila ini kantor, emang berkah banget gue kalo nanti bisa kerja di sini! Tapi kalo tiap hari begini entah beneran berkah atau musibah sih,� kata gue dalam hati. Well, semua pada awalnya berjalan baik, sejak hari pertama itu.
Mulai
akrab
sama
anak-anak
kantornya,
serta
sama
senior/alumni di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ) gitu. Ya, pada awalnya emang agak malu-malu di hari pertama. Cuma harihari esoknya udah nggak tahu malu lagi lah gue. Yup, kemaluan gue, eh, ehm maksudnya gue menyimpan rasa nge-fans-nya gue sama sekelompok idol group di Indonesia, JKT48. Udah nggak ada malunya lagi buat gue simpen diem-diem. Soalnya, temen-temen yang notabene reporter-reporter di HAI itu ternyata fans JKT48 juga! Yah, ini semua terbongkar gara-gara gue nulis berita tentang mundurnya oshi (idola) gue dari dunia per-Je-Ka-Te-an, namanya Mova alias Allisa Galliamova. Bibir doi paling seksi deh di JKT48. “Oshi lo siapa nih sekarang? Kan Mova udah graduate...� kata Rian, reporter HAI yang juga anak emo banget.
“Mova tetep sih, dan oshi gue sekarang si imut Kinal,” jawab gue. “Hah!? Kinal? Lo saingan kalo gitu sama gue,” cerocos Atha, reporter HAI yang pegang rubrik musik, paling gaul di antara anak-anak HAI lain. Iya atau nggaknya sih ya gatau gue ya hehehehe.... “Oh gitu,” tantang gue. “Yaudah... gue tetep paling ganteng depan dia.” FAIL. Dari obrolan itu dan sejak hari terkuaknya gue sebagai fans JKT48, hari-hari gue di HAI makin seru aja sih. Banyak banget pengalaman berharga dan nggak terlupakan. Terutama banyak liputan tentang JKT48 dong pastinya. Cuma, sebelum gue beranjak ke cerita-cerita kenangan gue sama dedek-dedek lucu itu, ada cerita yang bikin gue jadi cowok strong banget. Sleeping With Sirens (SWS) ke Indonesia broh! FYI, SWS itu band post-hardcore favorit gue yang lagi ngehits banget gitu. Kellin Quinn, vokalis SWS, suaranya kece banget men dan gue suka sama lagu-lagunya yang bikin...galau... “Hey Kellin, can i have your signature on my jacket?” tanya gue. “Oh, of course dude, with pleasure,” jawab Kellin.
“Thank you so much. Your last EP really great and i love it,” sasar gue sambil gagap. “I’m happy to hear that. Tonight i’ll make you guys high,” katanya waktu mau manggung malam hari itu. Itu tadi obrolan singkat gue sama Kellin yang keren banget dan malamnya gue nonton aksi doski di atas panggung yang benerbener menghipnotis banyak penonton. Gue ketemu Kellin itu siang. Sorenya abis ikut wawancara Atha, gue balik ke kantor dan panik serta dagdigdug karena gue pengen buru-buru ke tempat konsernya ikut liputan. Sumpah, gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi waktu ketemu Kellin. Bukan karena gue terpaku dengan kerennya doski di mata gue, tapi gara-gara doski lagi mabok dan nyerocos nggak tahu apaan! “Do you know Captain Hook? Captain Hook?” tanyanya sambil niru gaya sang kapten. “I am Captain Hook.” Oke, gue tahu lo keren Kel, cuma kalo lo mabok ya agak sungkan juga gue ngobrolnya. Selama nonton konsernya dan ngeliput sampai acaranya habis, gue tertegun dan berasa keren banget gue bisa wawancara band luar negeri yang gue suka banget. Bersyukur banget gue bisa magang di HAI. Dari situ gue berpikir tentang kesempatan buat wawancara ‘modus’ ke idola gue di Indonesia, JKT48!
(FYI, gue nggak ngefans banget sih sebenarnya hahaha...) Nggak lama kemudian, hari-hari gue jalani dan berharap kapan bisa gue wawancara JKT48, akhirnya hari yang gue tunggu datang tiba-tiba. Gue wawancara Beby, Shanju, Nabilah, sama Sendy sekaligus waktu liputan Pocari Sweat di Hotel Le Meridien (paling inget gue kan...), siang-siang mendung gitu. Selama liputan, gue mesti duduk dulu dong dengerin acaranya kayak gimana dan ternyata pas mau abis, ada games-nya. Nah ini nih, games-nya mesti nendang bola ke gawang yang dijaga member tadi. Untungnya gue ikutan nih dan yang jaga Beby, sob! (Lo mesti banget tahu, Beby itu salah satu member yang cantik dan gemesin, lho). “Beb, sorry ya kalo gol” “Iya MAS nggak apa-apa” WHAT!? MAS!? Lo kira gue MAS-MAS barbershop ya!? (Oke lebay, nggak gitu sih sebenernya hehehe...) “Yaudah langsung aja, nih, ya” JOSS! Daaaaann... gol. Gue akhirnya ngegolin ke gawang yang dijaga Beby dan dapet hadiah voucher belanja. Senengnya bukan main gue bisa berinteraksi sama member JKT48. Eits, tapi rasa
seneng gue nggak cuma berhenti di situ. Soalnya habis itu gue langsung wawancara sama mereka! Wawancara gue sama Nabilah, Sendy, Shania, and Beby berjalan seru nih. Ngomongin bola, fans, JKT48 sendiri, sama ngomongin gue yang ganteng ini, nggak ada habisnya. Ada sih habisnya, gue wawancara cuma setengah jam aja bolehnya. Sedih. Banget. Cuma dari situ gue dapet simpulan yang sampai sekarang gue nggak nyesel bikinnya. Yup, ternyata kalau magang di tempat yang kita pengen dan sesuai dengan harapan yang kita inginkan itu, bisa bikin kita happy dan hati tentram. Nggak ada kegalauan lagi sebenernya. Seru dan menyenangkan banget kalau ikutin kata hati, sih. Tapi cerita tentang JKT48 dan gue nggak cuma berakhir di situ aja. Soalnya, hari-hari berikutnya, eh, nggak hari-hari berikutnya juga, sih, tapi di waktu-waktu lainnya gue ternyata dikirim dari kantor buat wawancara JKT48 lagi, nih. Kayak liputan handshake event gitu, misalnya. Sebenernya gue nggak dikirim buat liputan, tapi gue inisiatif aja buat ngobrol beberapa kali sama member kesayangan gue, Kinal, cuma buat dapetin pernyataan dia dan megang tangan halusnya (halus banget asli, sumpah!). Bisa dibilang sedikit modus, sih, inisiatif gue itu. Cuma ya abis itu gue tulis dan naikin beneran pernyataannya. Kan harus tetep pro gitu ya kan kalau mau nulis berita, hehehe...
Hari-hari gue di HAI emang bisa dibilang masih sebentar waktu magang, Cuma 90 hari. Dapet banyak banget pengalaman dan keseruan yang luar binasa, apalagi soal JKT48. Jadilah gue akhirnya minta jadi wartawan freelance. Awalnya emang belum dibolehin, karena pembimbing magang gue, Mate, pengen gue selesein dulu magangnya, sama lanjut dulu di Job Training Elektronik. Ya, tapi gue udah terlanjut dibuatin press card HAI sama sekretaris kantor, gara-gara gue minta duluan. Ya nggak tahu berkah atau emang petunjuk sih (eh, apa sih, hahaha...), cuma ya akhirnya emang sampai sekarang gue jadi freelance di HAI. Setelah dapet press card HAI, gue pastinya punya kewajiban tersendiri dong, yaitu menjalankan tugas sebagai wartawan dengan benar, bukan kayak anak magang lagi. Cuma, gue ternyata masih suka bandel dan masih suka modusin JKT48. Cuma udah nggak modus banget sih, soalnya anak-anak HAI udah tahu banget gue gitu kalau gue ngerti soal JKT48 sampai yang jepangjepangan gitu. Udah aja kalau ada apa-apa yang berbau mereka gue ikut dikirim. Gara-gara JKT48 deh akhirnya gue dikenal sebagai wota (fans beratnya JKT48). Tapi pada nggak tahu aja, kalo gue itu cuma fans biasa. Sayangnya dari beberapa liputan dan obrolan-obrolan ‘penting’ bareng Rian, Atha, Kadek sama Anka (dua terakhir itu senior gue di kampus dan ternyata wota banget), akhirnya gue dipanggil wota.
Tapi ada hikmahnya juga buat gue, yaitu biar gue bisa tetep berimbang dalam peliputan dan penulisan. Intinya bisa jaga jarak dengan narasumber biar nggak subjektif dan tetep berpacu dalam Elemen-elemen Jurnalisme dari Bill Kovach dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Gilaaa kayak bener gitu gue). Semakin sering gue liputan tentang hal-hal ‘berbau’ JKT48 sebenernya gue semakin sadar kalau gue harus tetep mengusahakan diri buat tetap nulis ‘bagus’ dan nggak terlalu dekat sama narasumber. Ya, itu emang harus sih demi kebaikan gue dan pembaca. Cuma ya ketika menulis lo bakal inget dengan kebijakankebijakan tertentu yang nggak bisa lo lawan, kecuali lo punya kekuatan di dalamnya. Jadi ya semua gue turutin aja deh. Sempet ada yang nanya gini ke gue : “Kak, lo kok suka banget liputan JKT48? Nggak bosen apa karena lo wota kak, hehehe...” Oke, itu pertanyaan kayaknya nyesek sih. Ya mau gimana lagi, gue sempet ngerasa bosen. Tapi kalau bukan gara-gara JKT48, gue nggak mungkin bisa berpikiran positif dan terus berusaha buat berada di tempat yang gue suka dan emang sesuai passion gue, HAI. Mimpi-mimpi gue bisa gue wujudkan di sini dan gue harus bersyukur bisa liputan JKT48. “Ketika lo menulis berita, ya lo harus membuatnya objektif”
Itu kata-kata yang paling gue inget dari Pak Bos Pemred Mas Danie waktu ngobrol-ngobrol jurnalisme dan waktu gue baru magang di HAI. Inti dari kata-kata itu baru bakal lo temuin ketika lo udah coba dan turun langsung ke lapangan dunia nyata sesungguhnya dari dunia jurnalisme. Meskipun baru sebatas magang, lo bakal temuin banyak banget hal-hal yang bikin lo sadar kalau dunia jurnalisme itu nggak cuma berita-berita serius, tapi juga hiburan. Yang penting bukan berita serius, tapi juga berita hiburan itu penting, lho. Cerita gue di HAI belum berakhir. Mungkin masih banyak cerita lain yang lucu dan menarik yang belum bisa gue tuangkan di sini. Yang jelas, gara-gara JKT48 gue bisa mengungkap sedikit keseruan dari dunia kerja jurnalisme yang sesungguhnya, bukan lagi di kelas kuliah. Mantap gan!