IAN CURTIS, HITAM DAN KELAM Kaos dan sweater dengan motif gelombang tak beraturan bertuliskan Joy Division yang melekat pada anak muda sekarang menyimpan banyak kisah memilukan dari frontman sekaligus nyawa dari band asal Manchester ini, Ian Kevin Curtis. Pria super melankolis dengan problematika kehidupan yang sangat kompleks, seakaan menjadi kisah dark romance kehidupan yang ditulis Tuhan. Hasrat pada filosofi membuat Ian terus bertanya tentang apa artinya kehidupan, yang terkunci dalam fikiran dan hanya terdengar seperti gumaman dalam kepala. Mungkin berisi kekecewaan ataupun tentang mimpi yang harus berakhir ketika realitas membangunkan. Setelah puisi yang menemaninya semasa remaja, mungkin musik yang mampu menjelaskan apa yang dirasakan Ian, bersama Bernard Sumner, Peter Hook dan Stephen Morris, Ian membentuk Warsaw, namun nama Warsaw sudah ada yang menggunakan, akhirnya Ian mencetuskan nama baru Joy Division, nama kamp konsentrasi untuk para pelacur semasa era fasisme Nazi, kamp untuk divisi kebahagiaan �Joy Division�, yang memberikan kebahagiaan namun tanpa cinta yang dirasakan, mungkin itu juga
yang dirasakan Ian saat menikah dengan Deborah Curtis, menikah di usia 19 yang dilandasi hasrat remaja semata, hal yang membuat Ian merasa bersalah seumur hidupnya. Mengusung genre Postpunk, begitulah orang menyebutnya, era setelah Punk yang merupakan sebuah peralihan perlawanan yang asalnya dari luar diri seseorang, menjadi sebuah perlawanan personal yang dilematik. Dibungkus dengan hentakan dan melodi penuh elegi dengan lirik penuh pertanyaan dan kekecewaan mulai permasalahan keliaran dan kerumitan cinta, ataupun sebuah protes terhadap takdir yang penuh ketidakadilan dalam hidup Ian. Komposisi yang sangat personal namun tak pernah ada yang menyadarinya. Ketika Joy Division mulai terkenal Ian bertemu dengan Annik Honore, jurnalis asal Belgia yang terpikat dengan Ian, yang juga merupakan katalis problematika percintaan Ian. Annik akhirnya berhasil memikat Ian, yang berstatus suami Deborah, sepanjang tour Joy Division, Annik selalu menemani Ian, cinta akhirnya mengalahkan status seseorang. Annik sekarang menjadi prioritas Ian, meninggalkan Istri dan anak yang masih berusia balita, kejam ?. Mungkin tidak, pernikahan Ian dan Deborah hanyalah sebuah hasrat semata, cinta sesaat yang pudar dalam waktu singkat, namun Ian tetap
menghormati Deborah, karena dia sangat berjasa terhadap karier Ian, hingga dia tidak dapat menyakiti Deborah. Hingga akhirnya kenyataan pahit didapati Deborah, seseorang yang ia percaya ternyata tidak mencintainya. Dilema dihadapi Ian antara tanggung jawab atau rasa cinta.
“When is the bedroom so cold, turned away on your side ? Is my timing that flawed, our respect run so dry ?” lagu Love Will Tears Us Apart itu mungkin yang menggambarkan hubungan Ian dengan Deborah, kehangatan cinta yang diciptakan di atas ranjang ketika saling bercerita dan berbagi menjadi sangat dingin dan tanpa arti. Namun Ian tetap tak bisa menyakiti Deborah, sekalipun ia telah mengangap Deborah tak pernah ada dalam hidupnya, pergulatan perasaan dan tanggung jawab membuat jiwa Ian serasa tertekan, ditambah lagi pengaruh obat penyakit epilepsinya yang membuat emosi Ian tidak stabil. Lirik
dalam
Namun band tetap harus berjalan, malang bagi Ian, ketika ia sudah tidak lagi bisa memberikan kelam dan gelap kisah hidupnya, penggemar terus ingin menikmati band, hingga Ian merasa bahwa dirinya sudah tidak ada lagi di dunia, yang ada adalah orang lain yang menggunakan kulit Ian. Kondisi yang sangat berat bagi Ian, ketika ia menjadi
frontman dan ikon band, ia sudah merasa tidak ada di dalam dirinya, seakan jiwanya tergerus oleh problematika dan tertelan ke dalam perasaan kegagalan.
“I've been waiting for a guide to come and take me by the hand, Could these sensations make me feel the pleasures of a normal man? These sensations barely interest me for another day, I've got the spirit, lose the feeling, take the shock away.” Disorder, mungkin kondisi yang tepat untuk Ian pada saat itu, ia ingin keluar dari semua problem kehidupannya, ketika semangatnya menggebu tapi tak punya perasaan lagi untuk mencintai hidup. Hingga pada suatu titik semua problem hidupnya telah benar-benar menutup matanya, saat jiwanya kelam, kini telah menjadi gelap, dan pejam mata selamanya menjadi pilihan Ian. Malam sebelum keberangkatan menuju tur Amerika, Ian mengakhiri hidupnya, ditemani album Iggy Pop “The Idiot” dan tali jemuran di dapur rumahnya. Ian berpesan pada Deborah untuk tidak kembali ke rumah sebelum Ian pergi esok paginya, yang ternyata merupakan kepergian jiwa bukan raga. Ian ditemukan tewas gantung diri di dapur rumahnya, pagi 18 Mei 1980, di usia 23 tahun. Sebuah akhir cerita yang cepat dari pangeran kegelapan Post-punk, yang menyisakan suatu cerita
dark romance yang dituliskan Tuhan. Post-punk Ian Cutis melalui Joy Division merupakan ekspresi melankolia pada ranah intrapersonal seseorang, terdapat sosok yang tahu bagaimana cara mengekspresikan kekecewaan dalam kemasan yang lebih baik: Ian Curtis. “Hidup ini adalah warna-warni yang terlakar pada kanvas; walaupun tidak cantik, ia tetap mempunyai sejuta makna.� Perkataan dari Albert Camus tersebut, mampu menjadi kontradiksi bagi sang frontman Joy Division yang meskipun karya miliknya seolah hanya diisi oleh melulu hitam nan kelam, namun malah sukses menampilkan sesuatu yang indah serta megah.
LIVE FOREVER