PORTOFOLIO
AGNES ARDIANA ARIY
ANTANI l ARCHITECT URE - WRITING -
DESIGN PRODUCT
CV
PERSONAL DETAIL Fullname : Agnes Ardiana Ariyantani Place of Birth : Sukasari SKPD-2, Mesujiraya, OKI - SUMSEL Date of Birth : February 11th, 1995 Address : Jl. Teratai No.1229, Danukusuman GK 4 RT.14/RW.4 Baciro - DIY Phone : +6285725708531 Gender : Female Religion : Catholic Email : agnes.aa638@gmail.com Agnes Ardiana
AGNES_A2
id : art-diana
EDUCATION
Elementary School SD Charitas 03 Buaymadang
Senior High School SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
2000 2004 2006 2009 2012
Elementary School SDN 1 Sukasari
Junior High School SMP Charitas 03 Buaymadang
Lector Assistant (Sejarah Teori Perkembangan Kota) 2013 2014 2015 2016 Member of HIMA TRIÇAKA UAJY (Program Research & Writing)
ORGANIZATION
SKILL &
EXPERIENCE
Atma Jaya Yogyakarta University
SOFTWARE
@agnesardiana
Coordinator of HIMA TRIÇAKA UAJY (Program Research & Writing)
Adobe Indesign CorelDRAW Autocad SketchUp PhotoShop
Kosa Kata http://ardianaword.blogspot.com/
MY PERSONAL EXPERIENCE
CONTENT
4
ARCHITECTURE-WRITING-DESIGN PRODUCT
2
1
ARÇAKA #1 Magazine : THE ERA OF GREEN ARCHITECTURE
ARÇAKA #3 Magazine : WARISAN ARSITEKTUR NUSANTARA
3
ARÇAKA #3 Magazine : ARSITEKTUR RAKYAT
ARÇAKA #4 Magazine : TIME TRAVELLER
5
MEMORIAL BOOK : CHRISTIAN SINAR TANUDJAJA
6
SKETCH BOOK : 50 TH UAJY DALAM SKETSA
MY PERSONAL EXPERIENCE
7
DESIGN COMPETITION : GARDEN CITY OF MIROTA KAMPUS
8
STUDIO ARCHITECTURE 6 : MIXED USE - GREEN APARTMENT
9
SOCIAL WORKING : PADASAN PUTRI
CONTENT
ARCHITECTURE-WRITING-DESIGN PRODUCT
10
WRITING COMPETITION (ESSAY): MEMPERTAHANKAN ROH KOTA YOGYAKARTA DI TENGAH DESAKAN JAMAN
11
12
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT): SIT’S-SNAIL
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT) : DOORMAT POLKA-DOT
MAGAZINE PUBLICATION
1
ARÇAKA #1 Magazine :
THE ERA OF GREEN ARCHITECTURE DATE TEAM POSITION
: Nopember 2013 : Program Research & Writing - HIMA TRIÇAKA UAJY : Reporter and contributor writer > Point - Campus News > Point - Architectural Event > Issue “Go Green Kata Mereka” > Anjangsana “Ikatan Masa Lalu Akan Kotagede”
STATUS
: Published ebook version
READ ON : http://issuu.com/arcaka/docs/arcaka_november_2013_final_2_a853210b705d5e
POINT ARÇAKA #1, tim sedang dalam proses pembentukan pertama. Pada edisi pertama ini, kami mencoba membahas mengenai Green Architecture yang sedang menjadi perbincangan umum di dunia arsitektur.
Saya mendapatkan space untuk mengisi beberapa rubrik Point yang membahas mengenai kegiatan kampus maupun kegiatan arsitektur di luar kampus. 1. Forum Komunikasi Temu Karya Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia 2013 2. Pameran Karya Sejarah dan Teori Perkembangan Kota 3. Selamat Datang Keluarga Baru! WELPARCH! 4. Study Banding HMA AMOGHASIDA dan HIMA TRIÇAKA
MAGAZINE PUBLICATION
1
Ikatan Masa Lalu Akan Kotagede Photo by : Agnes Ardiana A.
K
otagede atau biasa disebut sebagai “Kota Perak�. Kawasan yang terletak di sebelah selatan kota Jogja ini menyimpan pesona luar biasa. Tidak hanya kerajinan perak saja, melainkan bangunan kunonya yang merupakan perkawinan Jawa dan Kolonial. Bahkan secara Internasional mengakui kekhasan Kotagede dan banyak pihak berusaha membangun kembali bangunan-bangunan kuno tersebut Kemudian lahirlah gerakan-gerakan pelestarian Belanda seperti Rodi Besik (membeli, membangun), Faster Parent (Bapak angkat), Nasir Tamara (Tenaga Ahli).
Sejarah Dahulu Kotagede merupakan pusat Kerajaan Mataram, kemudian berpindah ke Pleret dan sekarang menjadi Masjid Mataram dan makam, sehingga muncul periodesasi berupa Trend Maska Mataraman. Pada masa itu bangunan menunjukkan status sosial, seperti joglo, limasan, kampung. Akibat trend mengalahkan budaya kerajaan, maka abdi dalem merosot. Berdasarkan sudut pandang arsitektural, banguna masjid dan makan Mataram terbuat dari susunan bata yang menjulang tinggi seperti sebuah candi, karena pada masa itu berkembang Majapahit yang bercorak Hindu. Pada abad 18 sekitar 300an rumah kuno berkembang di 5 kelurahan. Setelah itu muncullah bangunan Eropa, karena adanya kaum pedagang atau orang-orang Kalang yang berhasil dan memiliki uang lebih ingin membangun rumah dengan trend eropa yang menerapkan Barroque dan Art Deco.
ANJANGSANA
Bangunan Beberapa contoh bangunan kuno di Kotagede antara lain Omah Dhuwur (yang berarsitektur Eropa), gardu listrik (gaya Belanda) dan rumah model Jengki (tren 1960an, yang meniru rumah juragan batik di Pekalongan).
Tidak hanya peninggalan berupa bangunan kuno, melainkan juga detail arsitektural yang berupa boven, roster dan konsul (konsul kayu bernama baut dan yang diterapkan pada bangunan klasik Kotagede, kemudian beralih ke konsul besi pada banguan kolonial).
Keunikan dari bangunan kolonial di Kotagede bila dibandingkan dengan bangunan kolonial pada umumnya yaitu memiliki pagar tinggi yang mengutamakan privasi, sehingga ruang terbuka hijaunya tidak terlihat. Oleh karena itu, yang dapat mengetahui hanya pemilik, kecuali tamu yang diperbolehkan masuk.
Ketika gempa Jogja tahun 2006, sebagian bangunan kuno juga mengalami kerusakan, karena belum memiliki tulangan. “Saat ini tidak semua masyarakat Kotagede berminat terhadap bangunan kuno. Sehingga sebagian orang yang masih membangun rumah dengan gaya-gaya kuno karena memiliki ikatan masa lalu�, tutur Pak Erwito Wibowo, ketua RW 07 sekaligus Ketua Pusat Studi Kebudayaan Kotagede.
Rubrik Anjangsana : Ikatan Masa Lalu akan Kotagede
Rubrik Issue : Go Green Kata Mereka...
MAGAZINE PUBLICATION
2
ARÇAKA #2 Magazine : “WARISAN ARSITEKTUR NUSANTARA” DATE TEAM POSITION
: May 2014 : Program Research & Writing : Reporter and contributor writer > Local Design - Grandmas Hotel Tuban > Local Design - Pura Amerta Jati > Point - Campus News > Point - Architectural Event > Anjangsana about Great Mousque of Sumenep
STATUS
: Printed and Published ebook version
READ ON : http://issuu.com/arcaka/docs/arcaka_2_page_format
POINT
ARÇAKA #2, merupakan merupakan edisi ekspedisi pertama tim ARÇAKA dengan mengusung tema “Warisan Arsitektur Nusantara”. Pada edisi ini, saya kembali mendapatkan space untuk mengisi beberapa rubrik Point yang membahas mengenai kegiatan kampus maupun kegiatan arsitektur di luar kampus. 1. Hiburan Sore Di Kantin Belakang
2. Membiasakan Kini Membangun Esok
MAGAZINE PUBLICATION
2
BACK TO NATURE Photos by Steven Demarsega & Courtesy of KsAD
LOCAL DESIGN
P
KsAD - sebuah biro arsitek dan interior yang berlokasi di Surabaya ini didirikan oleh Bapak Yuli Kalson Sagala yang dalam merancang bangunan sangat mengutamakan site respect. Kehadiran feng shui dalam karyanya juga menjadi keunikan tersendiri yang mencitrakan keseimbangan dengan alam.
ada tanggal 10 Februari 2014, seusai Tim ARÇAKA menemui Pak Josef Prijotomo di ITS Surabaya, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah kantor biro arsitek dan interior yang bernama KsAD di Jalan Wisma Permai, Surabaya. Pukul 14.00 WIB Tim ARCAKA telah sampai di kantor Biro KsAD, kedatangan kami disambut dengan keramahan oleh para rekan kerja Pak Kalson. Suasana nyaman pada siang itu semakin mengakrabkan kami untuk memulai sebuah perbincangan. Bila ditanya mengenai perjalanan beliau hingga menjadi seorang arsitek seperti saat ini, tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Beliau sempat bekerja di Singapura, namun merasa kurang cocok. Pulang ke tanah kelahiran adalah solusi yang tepat untuk memulai berkarya. Ketangkasan beliau dalam menangkap kebutuhan klien membuat biro ini semakin dikenal oleh masyarakat. Di KsAD inilah beliau menjadi semakin dekat dengan feng shui.
GELOMBANG AKULTURASI BUDAYA DI NUSANTARA Merancang desain yang berwawasan nusantara tidak harus dengan membuat massa yang menyerupai bangunan tradisional, melainkan juga dapat dengan menambahkan unsur-unsur lokal secara sederhana pada bangunan. Seperti yang telah diterapkan Pak Kalson pada desain Grandmas Hotel, Tuban. “Selama dia site respect, itu sudah nusantara. Tidak bisa dijelaskan dari tipologi bangunan.” Jelas Pak Kalson, lulusan ITS tahun 2003 itu. Nusantara merupakan istilah untuk sebuah negara yang berbentuk kepulauan. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, jelas masuk dalam kategori nusantara. Secara geografis, tidak hanya Indonesia yang masuk kategori kepulauan di Asia Tenggara sendiri, negara kepulauan juga disematkan untuk Filipina dan Indonesia yang memiliki jumlah pulau mencapai ribuan.
Dulu Indonesia menjadi tempat berlabuh pedagang-pedagang dan pelaut dari Arab, Persia, Cina dan Gujarat, karena letak geografisnya yang berupa kepulauan serta sangat strategis. Tidak mengherankan jika Indonesia memiliki budaya yang masuk, tinggal, dan ikut mengakar pada masyarakatnya. Banyak kebudayaan dan kepercayaan yang dibawa oleh para pedagang tersebut. Cina banyak menyumbang “embrio” kebudayaan bagi Indonesia, antara lain dalam bidang penataan bangunan dan feng shui.
MAGAZINE PUBLICATION
2
PENTINGNYA FENG SHUI Dalam dunia arsitektur Indonesia, istilah feng shui sudah tidak asing lagi. Feng shui adalah sebuah ilmu atau teori dari Cina yang menerapkan keseimbangan pada bangunan dengan memperhitungkan angka (kwa dan chi), sehingga dapat menghasilkan kenyamanan bagi penggunanya. Sedangkan chi merupakan energi yang harus dihindari. Konsep keseimbangan terhadap alam ini sangat memempertimbangkan unsur air, kayu, api, udara, logam, tanah, posisi arah hadap bangundan lain sebagainya.
MATERIAL dan GAYA Salah satu karya desain beliau yang menggunakan feng shui, namun tetap mencantumkan unsur nusantara adalah Grandmas Hotel di Tuban, Bali. Saat ini Grandmas Hotel di Bali berjumlah empat, yakni di Seminyak, Legian, Kuta dan Tuban. Grandmas yang berada di Tuban inilah yang merupakan hasil rancangan Pak Kalson. Grandmas Tuban dirancang tahun 2011 dan dibangun tahun 2012-2013. Semua Grandmas memiliki keunikan pada arsitekturnya serta penerapkan unsur feng shui pada bangunannya, salah satunya adalah tanaman Lee Kuan Yew yang juga dijadikan sebagai simbol hijau Grandmas. Kayu kelapa juga dimanfaatkan sebagai material dari furniture dan ornamen. Salon dan spa hotel juga diberi nama De Nyuh, yang artinya kelapa. Setiap Grandmas Hotel memiliki gaya yang sama, yaitu Fresh, Smart and Clean. Gaya tersebut dibarengi dengan konsep green architecture yang juga ditekankan dengan warna kamar yang hijau. Selain itu, penerapan unsur nusantara melalui material banyak memanfaatkan hasil
alam dari sekitar site atau mengambil persediaan dari gudang Grandmas yang berada di Jalan Dewi Sri. Unsur lokal diterapkan dengan ornamentasi seperti penggunaan bata Bali pada bagian entrance, serta material kayu yang menjadi point of view pada setiap lantai. Site yang sempit dirasa tidak sebanding dengan permintaan klien untuk menambahkan swimming pool, restaurant, meeting room, spa, salon, business center, owner apartmen, owner office suite. Oleh karena itu lahan yang sempit di siasati dengan memecah bangunan menjadi banyak volume massa, tidak menjadi satu bangunan gemuk di tengah site yang masif dan bulky. Strategi ini membuat pengunjung hotel banyak merasakan pengalaman ruang seperti pada penataan kampung tradisional yang memiliki
LOCAL DESIGN banyak belokan, sehingga banyak pengalaman ruang yang dapat dirasakan. Pembuatan basement juga dibuat lebih luas dari lantai di atasnya, dengan pengaturan resapan sangat diperhitungkan seefisien mungkin guna memperhitungkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Luasnya ruang basement yang berpotensi gelap kemudian diantisipasi dengan void untuk pencahayaan pada basement. Lorong pada main entrance hall, sebetulnya ingin menghadirkan prinsip bangunan radisional Bali yang masuk melalui gerbang terlebih dahulu kemudian melewati koridor entrance. Selain itu, pada bagian depan terdapat air yang mengalir di dinding merupakan strategi animated facade untuk mengantisipasi lingkungan di sektiar site yang high traffic
dan berbeda dengan daerah di Bali yang umumnya pedestrian friendly. Keunikan lainnya adalah konsep reuse dan recycle dari kafe Comedy Kopi yang memanfaatkan jendela bekas sebagai partisi, penggunaan urinoar sebagai wastafel, kursi sebagai ornamen, dan pemanfaatan alat dapur sebagai ornamen gantung. Ide kreatif lainnya adalah penggunaan pipa PVC yang dicat warna-warni sebagai meja kasir. Konsep feng shui pada bangunan menjadi bentuk keseimbangan terhadap lingkungan, sementara unsur nusantara yang berbaur dengan dengan gaya modern menjadi perpaduan yang indah pada Grandmas Hotel. Selain desain Fresh, Smart and Clean, Pak Kalson berhasil menggabungkan desain yang baik bagi klien dan site sehingga tidak hanya memberikan kenyamanan untuk klien, tapi juga mempertahankan unsur lokalitas sebagai bagian dari nusantara.
Rubrik Local Design : BACK TO NATURE
MAGAZINE PUBLICATION
2
Pura Amerta Jati
Arsitektur Hindu Jawa di Atas Batu Raksasa Text by Agnes Ardiana & Billy Gerrardus Santo Photos by Steven Demarsega & Surya Rahmandanu
LOCAL DESIGN Balekambang, Malang Era globalisasi di Indonesia lebih banyak dipahami sebagai momen masuknya budaya barat secara besar-besaran ke Indonesia. Arsitektur lokal dikesampingkan, komersialitas dan “selera� masyarakat umum diprioritaskan dengan membuang ciri khas masingmasing daerah. Bentuk pura yang dibangun dua abad terakhir di seluruh Indonesia banyak ditemui mengadopsi arsitektur Bali yang dalam sejarahnya memang saling terkait. Ya, arsitektur Bali mempengaruhi begitu banyak orang di Indonesia dan bahkan seluruh dunia. Namun menurut Bapak Djuwarno, pemangku Pura Amerta Jati, justru unsur-unsur lokal Jawa sebagai dasar perancangannya lebih diutamakan di pura ini.
The Beach Icon Tidak hanya Tanah Lot yang memiliki Pura di atas sebuah batu raksasa. Pura Amerta Jati, yang kini menjadi icon Pantai Balekambang, berdiri di atas Pulau Ismoyo atas inisiatif Bupati Edi Slamet pada tahun 1985, yang direalisasikan dan dibangun pada tahun 1995. Umat Hindu Malang biasanya datang ke pura ini dua kali dalam setahun yaitu pada hari piodalan dan upacara melasti (tiga hari sebelum hari raya nyepi). Pak Djuwarno sebagai pemangku adat biasa memimpin upacara ketika umat Hindu datang untuk beribadah. Dirancang oleh seorang dari Blitar dan pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) untuk Kota Malang, Pura Amerta Jati dibangun dengan bantuan umat seluruh Kota Malang dan sekitarnya secara sukarela tanpa diberi imbalan. Dana yang digunakan seluruhnya adalah swadaya umat Hindu. Dalam pembangunan pura sebagai tempat yang sakral ini, upacara penyucian terlebih dahulu dilakukan sebelum setiap tahap pembangunan Pura dilakukan.
“ Kala� Tersenyum di Kori Agung Pintu masuk pura dicapai dengan memutar terlebih dahulu ke permukaan yang lebih tinggi, kemudian menyebrang dengan sebuah jembatan. Setelah menyeberang jembatan, pintu utama pura seakan telah siap menyambut kedatangan tamu. Pintu utama ini dikenal dengan istilah Kori Agung. Sebagai pintu utama pura, Kori Agung yang mencitrakan gunung ini hanya dapat dilewati satu orang. Kori Agung pura ini cukup unik, terdapat sebelas tingkatan dengan simbol swastika di bagian puncaknya. Angka sebelas menyerupai jumlah atap yang biasa digunakan untuk Meru (salah satu jenis tempat pemujaan yang melambangkan gunung Mahameru) yaitu 1, 2, 3 5, 7, 9 dan 11, dimana Meru bertingkat sebelas adalah simbol sebelas aksara suci. Di bagian atas pintu masuk terdapat relief kalamakara yang biasa disebut kala. Relief kala dipercaya sebagai relief figuratif yang mempunyai fungsi spiritual, yang biasa dipahami sebagai pengusir roh-roh jahat. Biasanya relief Kala
menggambarkan sosoknya yang menyeramkan dan mengintimidasi, namun di pura ini relief kala justru terkesan sedang tersenyum.
MAGAZINE PUBLICATION
2
Pengaruh Konteks Kemungkinan adanya keterkaitan dengan Kerajaan Majapahit diperlihatkan oleh adanya pola relief yang mirip dengan relief yang berada di Masjid Agung Sumenep, Madura. Di dalam pura terdapat sebuah Bale Banjar, yang digunakan untuk upacara sehari-hari, dan tiga pelinggih.
Pelinggih adalah sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam tempat pemujaan yang letaknya terbalik dan digunakan untuk altar.
LOCAL DESIGN Ketiga pelinggih tersebut adalah Pelinggih Panglurah yang menguasai seluruh pulau, Pelinggih Dewa Baruna yang menguasai laut, dan Pelinggih Padmasana yang merupakan simbol Hyang Widhi. Tiga pelinggih ini memiliki tinggi yang berbeda sesuai dengan perannya.
Di bagian ini dapat pula ditemukan relief yang tidak akan ditemukan di pura-pura di Bali, yaitu relief tokoh pewayangan. Tidak hanya itu, menurut pak Djuwarno, relief dibuat langsung tanpa cetakan seperti yang dibuat di banyak pura di Bali. Lokalitas juga ditunjukkan dengan penggunaan material yang didominasi dengan bata asli dari Malang. Tindakan ini secara tidak langsung mencerminkan adanya niat
pengurangan carbon-foodprint dan adanya kepedulian perancang pada masyarakat dan alam sekitar. “Dikemas� dengan pemandangan pantai dan matahari tenggelam, Pura Amerta Jati jelas merupakan objek wisata yang sangat menarik dan mungkin saja akan menyamai kepopuleran Pura Tanah Lot. Meskipun begitu, sikap masyarakat dan pemerintah sekitar terhadap pura ini justru sangat memprihatinkan. Pura memang dibangun dengan bantuan umat yang datang jauh dari Malang dan sekitarnya untuk bekerja tanpa pamrih, namun partisipasi masyarakat sekitar yang tidak beragama Hindu dapat dikatakan sangat minim. Tidak hanya itu, Pura Amerta Jati sebagai tempat ibadah dan objek wisata masih menarik biaya bagi umat dari luar Kota Malang yang ingin beribadah. Bahkan, seluruh uang yang masuk ke sektor pariwisata tidak disisakan sedikitpun untuk perawatan dan penjagaan kebersihan pura.
Pura Amerta Jati merupakan adaptasi dari keadaan sekitar dengan menerapkan unsur Jawa. Meskipun lokasi yang berbeda, karakter arsitektur Bali yang tetap melekat menunjukkan adanya ikatan antar pulau di Indonesia yang sejatinya memang merupakan satu kesatuan. Walaupun begitu, ternyata keberhasilan dalam menjaga arsitektur nusantara belum dibarengi dengan perkembangan sosialnya.
Rubrik Local Design: Pura Amerta Jati Arsitektur Hindu Jawa di Atas Batu Raksasa
MAGAZINE PUBLICATION
2
NAFAS ARSITEKTUR CINA DI MASJID AGUNG SUMENEP Photos by Steven Demarsega dan Surya Rahmandanu
SUMENEP, MADURA – Perjalanan Arcaka belum usai, dari Surabaya Tim ARÇAKA menyebrangi Suramadu untuk menuju Madura. Beberapa jam kemudian Tim ARÇAKA tiba di pulau yang terkenal dengan karapan sapinya ini, tepatnya di Kabupaten Sumenep. Kedamaian yang terasa di Pulau ini, tercermin dari asal usul nama Sumenep yang berasal dari kata Sung yang memiliki arti relung/ cekungan/lembah, dan kata ènèb yang berarti endapan yang tenang. Maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep dalam bahasa Madura mempunyai arti lembah/ cekungan yang tenang.
ANJANGSANA
Di Sumenep inilah tersimpan cerita masa lalu mengenai kerajaan Islam. Dahulu kala penyebaran agama Islam di Indonesia sangatlah pesat, termasuk abad ke-13 pengaruh Islam yang cukup kuat di Sumenep. Perjalanan sejarah Sumenep diwarnai berbagai pengaruh dari luar negeri, contohnya adalah pengaruh pada aspek budaya yang konon katanya pada masa itu dibawa oleh bangsa Cina dan Arab. Salah satu peninggalan Panembahan Semolo yang hingga saat ini masih terlihat dan membekas di masyarakat Sumenep adalah bangunan Keraton yang di depannya terdapat Masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Natakusuma.
Setiap hari Jumat masjid selalu dipenuhi warga untuk sholat Jumat, maka muncullah ide membuat masjid baru. Masjid yang baru dirancang oleh arsitek Law Pia Nggo keturunan Tionghoa asal Semarang, didirikan tahun 1200 M dan selesai pada tahun 1206 M. Kehadiran Masjid ini disambut antusias warga, kemudian masyarakat sering menyebutnya sebagai Masjid Jamik Sumenep. Masjid Jamik termasuk sebagai Masjid tertua di tanah Nusantara. Selain itu, Masjid ini memiliki nilai kekhasan yang tidak dimiliki Masjid lain. Pada umumnya Masjid sangatlah mencerminkan unsur Islam, namun pada Masjid Jamik juga mencerminkan unsur Tionghoa, Jawa, maupun Madura.
RAGAM ARSITEKTUR Penerapan unsur Tionghoa pada bangunan terlihatdari simbol ornamen pada pintu gerbang Masjid. Simbol ini melambangkan pengharapan akan hujan. Ukiran buah delima yang memiliki banyak biji di letakkan pada ventilasi pintu ini memiliki makna apa yang diajarkan dapat diterapkan pada anak cicit. Pada bagian gapura, unsur Islam hadir melalui warna putih (suci), kuning (netral) dan hijau (sejuk), gapura sendiri artinya pengampunan. Sehingga ketika orang hendak masuki Masjid, orang tersebut telah mengalami pengampunan terlebih dahulu. Bagian atas gapura digunakan sebagai mimbar yang berfungsi ebagai tempat pidato atau untuk mengumpulkan umat. Sedangkan unsur Jawa pada Masjid nampak melalui bentuk atapnya. Di puncak atap terdapat oramen tambahan yang artinya penolakan musibah (tolak bala).
MAGAZINE PUBLICATION
2
STRUKTUR DAN MATERIAL Sama halnya dengan bangunan modern, Masjid Jamik telah dirancang dengan material pilihan yang kuat. Konstruksi yang menopang atap menggunakan kayu jati asli dan plesteran dinding dibuat dengan campuran air aren, sehingga dinding tahan lama. Apabila plester dinding mulai rontok, sisa rontokan tersebut dapat dihancurkan dan dicampur kembali dengan air aren, untuk kembali digunakan. CHINESE PRINCIPLES Arsitek berdarah Tionghoa ini menggunakan prinsip feng shui yang cukup kental pada bangunannya, terihat pada tangga gapura yang
memiliki perbedaan ketinggian optrade. Ukuran tersebut mengikuti kwa, dalam feng shui yaitu angka yang dimiliki seseorang sejak lahir. Dari segi interior, terdapat keunikan yakni perbedaan motif setiap potong keramik pada mimbar.
“Keramik yang didatangkan dari Cina ini menggambarkan perbedaan setiap manusia,� jelas Bapak Syahwito, sang juru kunci. Serta terdapat simbol persegi delapan seperti simbol pada feng shui.
Jumlah pilar sebanyak tujuh belas buah menggambarkan rokaah dalam satu hari. Keunikan pada tiang ke-13, di dalamnya terdapat tanah dari Mekkah. GUNA DAN CITRA Arsitektur yang tersirat pada Masjid Jamik ini merupakan titik temu suatu arsitektur nusantara. Ketika guna menjadi sebuah masjid yang sakral dan menunjukkan estetika Islami, namun secara citra tetap meunjukkan keagungan yang hadir dari detail dan ragam arsitektur yang digunakan. Oleh karena itu pertemuan arsitektur Cina, Arab, Jawa, dan Madura ini menjadi harta yang harus dijaga dan disimpan oleh kita semua.
ANJANGSANA
Rubrik Anjangsana : Nafas Arsitektur Cina di Masjid Agung Sumenep
MAGAZINE PUBLICATION
3
ARÇAKA #3 Magazine : “ARSITEKTUR RAKYAT” DATE TEAM POSITION
: January 2015 : Program Research & Writing : Coordinator, Reporter and contributor writer > Local Design - Rumah Rempah Karya > Alumni - Yoshi Fajar Kresno Murti (Berawal dari Balai) > Point - Campus News
STATUS
: Printed and Published ebook version
READ ON : http://issuu.com/arcaka/docs/arcaka__3_final
POINT
ARÇAKA #3, merupakan edisi ganjil yang mencoba menunjukkan cirikhas layout dari majalah ARÇAKA, baik cover, maupun content di dalamnya. Tema pada edisi ini adalah Arsitektur Rakyat, arsitektur yang tidak dapat dikatakan semata-mata untuk orang kecil. Kehadiran arsitektur dapat diwujudkan oleh seorang arsitek, namun dapat pula dihadirkan oleh masyarakat itu sendiri, atau bahkan seorang arsitek adalah media untuk menampung aspirasi dari masyarakatnya sehingga terbentuk suatu karya.
Pada edisi ini, saya kembali mendapatkan satu space untuk mengisi rubrik Point yang membahas mengenai kegiatan kampus dengan judul : - Ngeband Asik Ala Anak Teknik
MAGAZINE PUBLICATION
3
Dibuang Kok Eman-Eman
Rumah Rempah Karya Photos by Alfa Desta
Jika ditanya mengenai sampah, jawabannya singkat, yaitu “ngeman-eman, dibuang sayang�, itulah katakata yang terlontar dari sosok Paulus Mintarga. Beliau adalah arsitek yang namanya melambung karena keuletannya mengumpulkan barang bekas. Selain mengumpulkan barang bekas, beliau juga seorang kolektor barang-barang antik maka tidak heran jika karya dihasilkan juga merupakan hasil mutasi barang bekas. Di sinilah partisipasi beliau menjadi seorang arsitek yang peka akan isu masyarakat dan berhasil mengangkat sampah menjadi sesuatu yang berguna dalam arsitektur.
Arsitektur Rakyat di mata Pak Paulus Bagi Pak Paulus arsitektur rakyat memiliki ranah yang menggaris bawahi sikap arsitek terhadap klien yang harus berkelanjutan. Oleh karena itu peran arsitek tidak hanya sebatas mendesain dengan idealisme saja, melainkan juga memberi perhatian secara terus menerus. Sesungguhnya arsitek harus memberikan empati terhadap rakyat, rakyat boleh memutuskan hasil yang terbaik karena sustainable. Arsitektur rakyat berarti kita memihak rakyat, kontekstual dan mementingkan kepentingan rakyat. Rakyatlah sebagai tokoh utama.
LOCAL DESIGN “Sebagai arsitek tidak boleh menonjolkan diri di atas klien, tetapi kita harus masuk dan menjadi bagian diantara mereka. Kita hanya bisa memfasilitasi, kita bisa membantu dengan kemampuan kita, tetapi kita tetap harus medengarkan mereka dan mereka belum tentu mendengarkan kita, kita harus mendengarkan mereka terlebih dahulu, tahu dulu, dan setelah mengerti itulah kita baru membantu mereka dengan kemampuan kita tanpa menghilangkan esensinya�, jelas Pak Paulus. Melalui hobinya mengumpulkan barang bekas inilah, Pak Paulus dapat menginspirasi masyarakat bahwa sampah juga dapat menjadi material bangunan. Selain itu beliau juga menerapkan 5R yaitu Rapi, Resik, Ringkas, Rawat, dan Rajin. Rumah Rempah karya adalah sebuah bangunan gudang unik yang dibangun tahun 2010 dan berdiri di atas lahan dekat dengan persawahan. Awalnya Pak Paulus ingin “mindah gudang� dan pada waktu itu hanya terdapat lahan di persawahan, maka ia pun juga tidak mengubah segala potensi yang ada pada site.
Hal tersebut dapat dibuktikan melalui saluran air persawahan yang melintas di bawah bangunan ini dan sengaja diekspos. Rumah Rempah sendiri memiliki filosofi seperti rempah-rempah yang merupakan produk tangible yg mendunia pada masa kejayaan Indonesia jaman dahulu. Pada konteks ini Pak Paulus menginginkan Indonesia kembali bangkit, berjuang dan berjaya melalui rempah intangible, yaitu Indonesia sebagai bangsa perajin dan memiliki skill craftmanship yang kuat. Melalui kesempatan, pelatihan, kerja keras
dan apresiasi, maka sumber daya manusia indonesia kembali bisa berjaya seperti jaman rempah tangible mencapai ke emasan nya. Rumah Rempah memiliki cita-cita bahwa Indonesia maju tidak hanya sumber daya alamnya yg melimpah, tetapi juga karena sumber daya manusianya yang berbhinneka, bunga Rampai nusantara dengan segala potensi kelokalannya.
MAGAZINE PUBLICATION
3
Struktur Saat tim Arcaka berkunjung ke Rumah Rempah, hujanpun turun maka muncullah sebuah pertanyaan, apakah bangunan dari sampah ini tidak hancur? Pak Paulus sebagai seorang dengan latar Sipil, justru ingin menunjukkan bahwa apa yang ia buat tetap kuat. Bangunan ini menggunakan Baja bekas profil CNP yang dirangkai menjadi kerangka struktural dua buah bangunan tanpa mengubah dimensi yang ada bervariasi 1,7 m sampai 2 m.
Keunikan Pada desain rumah rempah ini, material yang digunakan semua menggunakan sampah atau material bekas. Seperti yang terdapat pada bagian atap, pada awalnya menggunakan aspal, kini berubah menjadi kain dan untuk interior secara keseluruhan menggunakan material sampah.
LOCAL DESIGN
Bangunan ini banyak memanfaatkan potongan kayu bekas sebagai ornamen dinding, bambu sebagai plafon dan plat lantai, plat besi sebagai railing, strimin bekas sebagai penahan dinding, sterofoam sebagai bahan balok, gedheg bambu sebagai alas lantai. Sampah Yang Berbicara Saat mendesain Pak Paulus selalu memulai rancangannya dengan material terlebih dahulu, sehingga dengan ketekunannya ia dapat merakit sampah sedemikian rupa hingga mengasilkan bentuk yang indah. Dalam proses pembangunan Rumah Rempah, sampah disusun dengan simulasi gambar, dan memiliki 2-3 option, dengan pertimbangan jumlah potongan-potongan barang sisa itu pas, dan efisien dan ndilalah potongan itu pas, sempurna.
“Kalo gojekane (canda) materialnya yang minta, material pun bisa ngomong� Lebih seperti merajut kembali barang-barang bekas. Hingga saat ini Rumah Rempah terus berkembang, sehingga muncul massa baru pada site dan Pak Paulus terus bereksplorasi pada bangunan ini. Bangunan yang awalnya merupakan gudang dan bengkel kayu ini sekarang dapat digunakan sebagai galeri, ruang erskursi, cafe, bahkan kantor biro arsitek.
Rubrik Local Design : Dibuang Kok Eman-Eman Rumah Rempah Karya
MAGAZINE PUBLICATION
2 3
Saat ini Yogyakarta sedang menjadi kota yang begitu aktif dalam pembangunan. Munculnya bangunan-bangunan tinggi pada beberapa tahun terakhir ini seakan menjadi sebuah ajang kompetisi hebat para investor untuk mengejar keuntungan, namun tidak lagi mempedulikan masa depan kota heritage ini. Menanggapi masalah tersebut, masih adakah orang yang peduli akan nasib pembangunan di kota Yogyakarta?
S
iang itu tim ARÇAKA mendatangi kediaman sekaligus kantor seorang Alumni yang bernama Yoshi Fajar Kresno Murti, atau biasa disapa “Mas Yoshiâ€? di Lempongsari, Sleman. Ketika memasuki halaman rumah, kami langsung di sapa oleh sebuah Pendopo mungil yang merupakan hasil rancangannya. Suasana yang asri ini semakin memancing kami untuk semakin ingin tahu bagaimana proses yang ia lakukan dalam mendesain.
Alumni Arsitektur : Yoshi Fajar Kresno Murti
BERMULA DARI BALAI Photos by Alfa Desta
Sempat terancam tidak lulus, bukan masalah baginya, justru ia semakin membulatkan tekadnya bahwa belajar berarsitektur bukan hanya di kampus tetapi juga di lapangan. Ketika berada di bangku kuliah, mahasiswa angkatan 1994 ini telah memulai karir di luar dengan mengikuti proyek pemberdayaan masyarakat Code termasuk dalam proses pembuatan sanggar belajar dan perpustakaan untuk masyarakat bersama Romo Mangun.
ALMAMATER Sosok yang begitu merakyat ini tentu memiliki latar belakang yang kuat mengapa ia begitu peduli terhadap masyarakat. Melalui keterlibatannya dalam masyarakatlah yang semakin membentuk dirinya untuk terus ikut serta dalam memikirkan aspek-aspek sosial di Yayasan Pondok Rakyat (YPR). Tidak heran jika karya yang ia buat mendapat respon positif dari masyarakat. Pada masa itu ia juga sempat ikut serta dalam penerbitan majalah Warta Kampung.
di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) pada bagian dokumentasi, riset, perpustakaan dan organisasi Pendidikan seni rupa. Bila ditanya mengenai biro arsitek, Mas Yoshi memiliki sudut pandang yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ia menemukan sebuah cara praktik dalam berarsitektur, baik itu proses, tempat atau konteks, team work yang tepat baginya dan itu semua dinamai dengan UGAHARI, Oleh karena itu, apa yang terwujud saat ini dalam desainnya adalah hasil dari UGAHARI.
UGAHARI bagi Yoshi Sempat bekerja dengan Romo Mangun, arsitek yang “nyeni” ini mengaku bahwa sosok Romo Mangun begitu melekat dalam dirinya. Baginya arsitektur rakyat memiliki penerjemahan yang begitu luas, salah satu wujud yang dapat dilakukan dan terlihat adalah melalui YPR. Setelah YPR berhenti, saat ini ia bekerja
Tanahku juga tanahmu Melalui YPR, Mas Yoshi mencoba menerapkan hasil pemikirannya dengan memperhatikan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar pinggiran kali. Wujud pengabdiannya dilakukan dengan melihat kebutuhan warga terutama yang berkekurangan tempat untuk berkumpul warga. Salah satunya adalah membuat balai warga.
Arsitektur rakyat akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, hal tersebut tentunya didasari kebutuhan masyarakat sendiri yang semakin bertambah. Kunci utamanya adalah “Setiap orang punya tanah yang dapat dibagi rata, contohnya lapangan” ujar Mas Yoshi. Membangun untuk rakyat bukan soal murah atau mahal, kaya atau miskin, melainkan persoalan tanah yang akan mempengaruhi proses desain. Oleh karena itu, “murah hanyalah efek” jelasnya lagi. Dalam kasus ini, mas Yoshi memberi gambaran dengan menceritakan transformasi yang terjadi pada beberapa balai warga yang pernah ia rancang bersama masyarakat. Balai dalam Kampung Balai warga 49 adalah sebuah balai warga yang berada di kampung Badran, Yogyakarta. Tempat yang semula berupa tumpukan sampah di pinggir sungai ini
pada tahun 2005 berhasil ia sulap bersama warga menjadi sebuah balai. Balai tersebut berdiri atas tanah milik seorang Pak RT yang diIkhlaskan untuk menjadi sarana pemberdayaan warga setempat. Pada tahun yang sama berdiri pula balai warga 35, yaitu sebuah balai yang unik karena berada di atas anak kali, letaknya berada di kampung Kricak, Yogyakarta. Tidak punya tanah, itulah yang menjadi alasan mendasar bagi warga yang tidak memiliki fasilitas ruang kumpul bersama. Sebelum dibangun balai, warga melakukan aktifitas kumpul dari rumah ke rumah. Antusiasme warga yang begitu ingin memiliki sebuah balai di bantu oleh Mas Yoshi melalui YPR, sehingga pemerintah memberi ijin mendirikan bangunan di atas kali.
MAGAZINE PUBLICATION
3
Kedua balai tersebut menghadirkan suasana rindu akan sosok Romo Mangun dengan memberikan kesan sederhana dalam penggunaan material, namun tetap menjaga estetika. Mas Yoshi menciptakan sebuah balai yang dilengkapi fasilitas perpustakaan bagi anak-anak. Ia memanfaatkan material yang dekat dengan site.
Pada proses pembuatannya ia selalu membawa tukang khusus, namun untuk secara keseluruhan warga ikut andil dalam proses pembuatannya. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan pada kedua balai tersebut. Pada kasus balai warga 49, justru malah terjadi penambahan bentuk serta perubahan fungsi menjadi tempat tinggal dan kegiatan warga belakangan ini mulai vakum. Sedangkan pada kasus balai 35 saat ini masih sering digunakan bahkan terjadi beberapa perubahan secara fisik karena perawatan, namun pada lantai dua yang berupa perputakaan juga terhenti karena ruangan terasa panas.
Bangunan yang Baik akan Baik Pula Bila Dilihat dari Manapun Beberapa waktu lalu, tim Arcaka mencoba berkunjung ke Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yaitu kantor arsip seni rupa tempat Mas Yoshi bekerja sekaligus hasil rancangannya. Kantor yang tampak menyatu dengan alam ini terlihat sederhana, namun tetap kontektual terhadap sekitar. Bata ekspos dan dinding tanpa plesteran itu juga digunakan sebagai perpustakaan umum bagi warga yang ingin berkunjung. Tatanan kuda-kuda kayu yang menjulang menjadi ciri khas setiap karya juga turut meramaikan bangunan IVAA. IVAA dibuat dengan material yang tidak beda dengan sekitarnya.
ALMAMATER
1. Eksterior IVAA 2. Interior IVAA lantai 2 3. Interior IVAA lantai 1 4. Detail kuda-kuda Y ciri khas Mas Yoshi 5. Perpustakaan IVAA
Rubrik Almamater : BERMULA DARI BALAI
MAGAZINE PUBLICATION
4
ARÇAKA #4 Magazine : “TIME TRAVELLER” DATE TEAM POSITION
: May 2015 : Program Research & Writing : Coordinator, Reporter and contributor writer > Prespective Young Architect - Ben Saraswati (Membuka Seribu Pintu) > Alumni - Adrian Worek (Berani Extrim dengan Material Kasar) > Point - Architectural Event
STATUS
: Printed and Published ebook version
READ ON : http://issuu.com/arcaka/docs/arcaka__4_issue
POINT
ARÇAKA #4, merupakan merupakan edisi kedua kalinya kami mengadakan ekspedisi dengan tema “Time Travellerâ€?, yaitu sebuah perjalanan waktu untuk mengungkap sebuah inovasi dari masa dulu, sekarang, dan yang akan datang. Pada edisi ini, saya kembali mendapatkan satu space untuk mengisi rubrik Point yang membahas mengenai kegiatan arsitektur di luar kampus dengan judul : - Coastal Art Installation SPACE PROJECT
MAGAZINE PUBLICATION
4
B
egitu terkenal dengan pariwisatanya, setiap tahunnya angka pengunjung pariwisata baik lokal maupun mancanegara di Bali selalu meningkat. Menanggapi hal tersebut, tidak heran jika pulau Bali selalu melahirkan arsitekarsitek yang begitu telaten dalam bidang “hospitality�. Salah satu arsitek tersebut adalah Ben Saraswati.
Membuka Seribu Pintu Text by Agnes Ardiana A.
Photos by Wadah Kawan & Courtesy of Kusa Architect
Setelah lulus dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tahun 2005, arsitek berdarah Bali yang bernama Ben Saraswati atau kerap dipanggil Pak Eben ini bergabung dengan biro Popo Danes Architect. Baginya, memasuki dunia kerja tentu berbagai hal baru akan ditemuinya, karena ia harus berhubungan langsung dengan klien dan di lapangan. Pak Eben merupakan contoh arsitek muda yang cukup aktif berkarya, karena pada tahun
2007 sudah ikut menangani proyek di India. Kemudian di tahun 2012 menangani proyek di Srilanka. Di usianya yang masih muda, ia telah berhasil ikut mengembangkan arsitektur komunitas under big-3, dimana para arsitekarsitek muda di bawah 30 tahun bergabung bersama untuk melakukan sharing mengenai arsitektur, foto, desain, dan proyek masingmasing.
PRESPECTIVE -YOUNG ARCHITECT
Bertemu dengan Vastu Sastra India Travelling merupakan hal yang sering ia lakukan guna menemukan suasana baru untuk mendapatkan ide serta mengetahui cara mendesain yang tepat. Melalui perjalanan inilah ia menjadi semakin peka dan menemukan berbagai hal baru. Sebagai sosok kelahiran Bali yang terkenal dengan industri pariwisatanya, ia pun begitu tertarik dalam menuangkan ide-ide desainnya, dan di sinilah ia bertemu dengan Vastu Sastra India saat ia menangai proyek di India.
Vastu Sastra India adalah konsep penataan ruang dalam budaya di India atau menyerupai Feng Shui dalam budaya Cina. Berbicara mengenai Vastu, ini merupakan hal yang menarik karena sebagai seorang berdarah Bali hal ini tidaklah asing lagi. Vastu menyerupai konsep Nawasanga yang dapat diartikan sebagai akar budaya Bali. Untuk menyusun ruang seseorang harus memiliki pembagian-pembagian ruang secara khusus. Vastu dalam versi Bali dapat berupa kosala-kosali atau pakempakem yang diterapkan dalam proyekproyeknya, seperti villa, restoran, hotel, dan interior. Pak Eben juga mengkolaborasikan unsur lokal dengan unsur modern dalam desain sebagai fungsi dari bangunan, namun untuk penggunaan Nawasanga tergantung dari permintaan klien.
MAGAZINE PUBLICATION
4
Membuka diri untuk siapapun Setiap orang memiliki gaya yang berbeda saat mendesain, demikian juga Pak Eben. Ia mencoba menghadirkan nuansa tropis menggunakan pitch roof, material dekat dengan alam, dan menghadirkan suasana lokal daerah asal. Contoh proyek desainnya yang menggunakan Vastu adalah Pondiceri di India.
Pada tahun 2010, Pak Eben mendapat proyek Private House milik Bp. Santo Haliman di Pontianak, Kalimantan Barat. Sebuah bangunan rumah yang hendak menambah massa berupa villa di belakangnya dan bangunan rumah yang lama tetap dibiarkan apa adanya. Dapat dilihat pada siteplan, bagian yang tidak berwarna adalah massa bangunan lama. Walaupun proyek ini di Pontinak, Pak Eben berusaha menghadirkan konsep Balinese traditional compound, sehingga bangunan ini begitu asri dan memiliki area hijau. Meski Private House terdapat di tengah kota Pontianak yang ramai, namun bangunan ini berada di dalam komplek yang tertutup oleh bangunan di sekitarnya. Jadi dapat dikatakan bangunan ini seperti “hidden paradise�. Fungsi villa dalam bangunan ini adalah untuk menerima tamu yang berkunjung ke rumah Bp. Santo Haliman.
Private House dibangun dengan menggunakan material baru, namun tetap dekat dengan alam. Dapat dilihat dari detail-detail yang terdapat pada bangunan ini banyak menggunakan material kayu.
Sebagai fasilitas pendukung villa dari Private House, maka dilengkapi dengan bathtub. Selain itu, terdapat kolam renang sebagai bagian dari courtyard atau area transisi antara massa bangunan rumah lama dengan villa.
PRESPECTIVE -YOUNG ARCHITECT
Berinovasi tanpa meghilangkan esensi Tindakan yang telah dilakukan Pak Eben merupakan bukti nyata bahwa diam-diam berusaha menyuguhkan elemen-elemen hospitality ke dalam sebuah Private House yang tersembunyi. Itulah mengapa bangunan ini memiliki keterbukaan secara khusus, terbuka terhadap siapapun.
Pada kasus ini, Pak Eben ber-eureka dengan memberikan sebuah penemuan yang berguna bagi masyarakat luas, terutama dalam industri pariwisata. Seperti dalam kesehariannya menangani proyek villa, hotel, club, spa yang difungsikan untuk para pegunjung secara terbuka. Oleh karena itu, sosok Pak Eben begitu menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi kita semua, ia berusaha membuka seribu pintu bagi semua orang.
Rubrik Prespective - Young Architect : Membuka Seribu Pintu
MAGAZINE PUBLICATION
4
Berani Ekstrim dengan Material Kasar
Gosha Kitchen Patisserie & Hotel Padang-Padang Inn by Adrian Worek Text by C.K. Bhatara & Agnes Ardiana Photos by Arya Kurnia, Andesita Oki & Courtesy of Casa Studio
Kali ini tim ARÇAKA akan membahas dua buah desain karya alumni UAJY yang dapat dikatakan berani beda dari yang lain. Kedua karya tersebut adalah Gosha Kitchen Patisserie dan Hotel Padang-Padang Inn yang memiliki konsep unik serta dominan dengan unfinish material.
ALMAMATER
S
ebelum menyebrang ke Lombok, tim ARÇAKA sempat mewawancarai seorang arsitek muda asal Bali bernama Adrian Worek. Beliau adalah alumni UAJY angkatan 2002. Setelah lulus dari Arsitektur UAJY, beliau melanjutkan perjalanannya dengan bergabung di biro Arte Arcitect dan Popo Danes Architect. Kemudian pada tahun 2012, beliau bekerja sama dengan Angga Sumantri (alumni ITS) & Robby Tresna (alumni Itenas Bandung) membentuk sebuah biro yang bernama Casa Studio.
Building : Gosha Kitchen Patisserie Architect : Adrian Worek (Casa Studio Bali) Client : Gosha Kitchen Patisserie Year : 2015 Location : Jl. Tukad Gangga no. 8, Denpasar
Gosha Kitchen Patisserie Gosha Kitchen Patisserie (Warung Gosha) adalah proyek terbaru dari Casa Studio tepatnya di Jl. Tukad Gangga no. 8, Denpasar. Proyek tersebut merupakan renovasi restoran baik secara arsitektur, interior dan juga branding. Pada kasus Warung Gosha ini, Casa Studio mendapat klien yang aktif dalam berdiskusi dengan ide-idenya. Oleh karena itu desain yang dihasilkan merupakan sebuah restoran yang ‘kompak’ antara menu makanan dan juga arsitektur maupun interiornya. Konsep yang dihasilkan adalah industrial rustic karena dari segi makanan dan lokasi sangat mendukung untuk menyajikan kuliner lokal maupun modern. Oleh karena itu, restoran ini dapat menjadi rekomendasi yang tepat untuk anak muda atau para penggemar wisata kuliner. Bangunan dari Warung Gosha ini sangat unik, terdiri dari dua lantai dengan interior sangat khas. Bila ditinjau lebih dalam, banyak terdapat kesamaan antara Hotel Padang-
Padang Inn dengan Warung Gosha. Mulai dari interior hingga material yang digunakan. Ekspose Menjadi Andalan Bila anda berkunjung di Warung Gosha, maka anda akan menjumpai dinding yang sengaja mengekspos material asli, misalnya dinding bata yang sengaja dibiarkan tanpa plasteran. Terdapat pula dinding yang diaci tanpa cat. Oleh karena itu, contoh penyiasatan interior tersebut merupakan hasil diskusi yang baik. Pada beberapa bagian dibuat unfinished dengan tambahan street art seperti mural pada dinding. Kemudian diberi ornamen dari kayu yang disusun secara miring untuk menambah estetika. Pada bagian reservasi, dinding sengaja menggunakan ornamen tambahan berupa besi tralis yang saling terkait. Warna besi tersebut hitam, sangat kontras dengan dinding putih yang berada dibelakangnya. Tidak hanya material saja, struktur dari bangunan ini menggunakan baja yang sengaja di ekspos. Hal tersebut
dapat dilihat pada plat lantai 2 yang juga dijadikan sebagai plafon dari rangka baja. Sehingga bangunan ini memiliki kesan jujur akan material dan apa adanya, namun diberi warna hitam. *** Selain mencicipi makanan di Gosha Kitchen Patisserie yang merupakan proyek restoran terbaru dari Casa Studio. Para waisatawan juga dapat menikmati indahnya pantai Padang-Padang dengan melakukan surfing. Tidak perlu khawatir, para wisatawan dapat menginap di Hotel Padang-Padang Inn yang juga merupakan salah satu proyek dari Casa Studio.
MAGAZINE PUBLICATION
4
Building : Hotel Padang-Padang Inn Bali Architect : Adrian Worek (Casa Studio Bali) Client : Hotel Padang-Padang Inn Bali Year : 2014 Location
: Pantai padang-padang Bali
Hotel Padang-Padang Inn Sajian panorama pantai dan hantaman ombak yang ganas seakan memberi kehidupan tersendiri pada pantai Padangpadang, Bali. Memanjakan mata dan menantang ardenalin untuk berbacu dengan ombak menjadi salah satu hal yang patut dilakukan bagi para pemain surfing berkunjung ke pantai ini. Semakin terkenal pantai ini, maka para wisatawan terutama surfer (pemain surfing) dari dalam dan bahkan dari luar negeri yang terpikat dengan pantai ini. Kemudian bermunculan pula berbagai jenis penginapan dengan berbagai desain yang eksotis.
Hotel Padang-padang Inn merupakan salah satu hotel pertama yang terdapat di pantai padang-padang sebelum terkenal seperti sekarang. Semakin terkenalnya pantai padang-padang memberi dampak pula bagi pesaing surfer dengan budget kantong para backpacker. Selain itu, hotel juga harus siap untuk ditinggali pada surfer berminggu-minggu. Bekerjasama dengan Casa Studio Bali kemudian manajemen Hotel Padangpadang Inn mencoba untuk merenovasi hotel agar tidak ditinggalkan oleh pada wisatawan.
ALMAMATER
Pada proses pembangunan Hotel Padang-Padang Inn terdapat kolaborasi yang sangat baik antara arsitek,klien, dengan bidang Mechanical & Electrical. Dengan demikian, tim harus sangat berhati-hati dalam memperhitungkan material dan utilitas karena pertimbangan budget yang ketat.
“Konsep Hotel yang kami terapkan tetap untuk surfer dengan karakteristik extreme sport, santai dan bebas.�
Kasar Tidak Berarti Cacat Kesan ekstrim ditunjukkan dengan dinding yang kasar apa adanya. Ditambah dengan sentuhan street art pada dinding dari semen acian. Pada interior untuk beberapa dinding didesain dengan papan surfing serta signage menggunakan mural atau sketsa. Kemudian untuk material pada umumnya adalah lokal, seperti batu bukit putih atau limestone agar kontekstual dengan lokasi. Pada bagian restoran didesain sangat santai dengan suasana yang nyaman dan bersahabat. Kesan eksotis kembali ditunjukkan dengan papan surfing yang didesain untuk meja-meja restoran agar tetap berkesan ekstim dan santai saat menikmati sajian restoran. Restoran dibagi atas dua bagian yaitu outdoor dan indoor untuk memberi kenyamanan dengan panorama yang terbuka dengan alam.
Menyusuri lebih dalam, desain kamar dari hotel Padangpadang Inn memang tidak terlalu luas namun didesain senyaman mungkin. Elemen dekorasi kamar menggunakan material kayu sebagai properti. Selain itu, view teras kamar yang langsung menyajikan panorama pantai yang memacu ardenalin untuk kembali menantang ombak. Bagi para pemain surfing, Hotel PadangPadang Inn memang merupakan pilihan yang tepat untuk menginap. Melalui kesan extrim pada hotel ini, Pak Adrian Worek berhasil memadukan eksterior maupun interior yang sangat menarik perhatian para surfer. ***
Kasar tidak berarti cacat, estetika yang dikemas oleh Pak Adrian Worek ini menjadi inovasi tersendiri. Beliau mampu memoles dinding yang kasar dengan perpaduan warna dan ornamen yang tepat. Serta dapat berkolaborasi secara baik dengan tim maupun klien. Tidak salah jika kedua bangunan ini menjadi contoh penemuan baru, karena konsep yang dirancang mampu menjadi dasar yang kuat terciptanya bangunan Gosha Kitchen Patisserie dan Hotel PadangPadang Inn. Maka kita patut memberi apresiasi bagi alumni Arsiterktur UAJY ini.
Rubrik Almamater : Berani dengan Material Kasar (Gosha Kitchen Patiserrie)
Rubrik Almamater : Berani dengan Material Kasar (Padang-Padang Inn)
MEMORIAL BOOK
5
Memorial Book of
Christian Sinar Tanudjaja DATE TEAM POSITION STATUS
: Nopember 2015 : Billy G. S., Agnes Ardiana A, & Elizabeth Nada T.W. : Contributor Writer : Printed and Published ebook version
READ ON : http://issuu.com/arcaka/docs/memorial_book_of_sinar_tanudjaja_is
CHRISTIAN SINAR TANUDJAJA
Buku ini merupakan sebuah kenang-kenangan terakhir dari para mahasiswa maupun Dosen secara khusus untuk Alm. Christian Sinar Tanudjaja. Seorang Dosen yang begitu memberi banyak arti bagi perkembangan Fakultas Teknik maupun Program Studi Arsitektur di UAJY. Selamat jalan Pak Sinar...
SKETCH BOOK
6
50 Tahun UAJY dalam Sketsa TEAM POSITION STATUS
: 50Th UAJY’s Book Team : Layout : -First Printed (September 2015) -Second Printed + bilingual (January 2016)
50Th UAJY dalam Sketsa adalah sebuah buku yang secara spesial diterbitkan dalam rangka pesta emas UAJY. Menceritakan perjalanan panjang kampus UAJY yang dikemas secara menarik dan terdiri dari kumpulan sketsa dosen, mahasiswa, maupun alumni, sehingga mudah untuk dipahami. Pada cetakan pertama buku ini menggunakan satu bahasa, namun pada cetakan kedua diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris.
50 TH UAJY DALAM SKETSA
DESIGN COMPETITION
7
GARDEN CITY OF MIROTA KAMPUS DATE STATUS TEAM
: June 2015 : Participant : Agnes Ardiana A & Alfa Desta Adjie
GARDEN CITY OF MIROTA KAMPUS
ARCHITECTURE STUDIO 6
8
MIXED USE DATE
GREEN APARTMENT AND MALL : December 2015
Green Apartment adalah sebuah tempat yang didesain sebagai tempat tinggal aau hunian dan diperuntukkan bagi masyarakat umum. Desain yang mengacu pada green building memberikan area hidroponik pada rooftop dengan maksud bahwa bangunan yang baik harus mampu memberi kontribusi bagi penggunanya.
GREEN APARTEMENT
Selain itu, bangunan ini juga memberikan fasilitas tambahan berupa mall sebagai pusat perbelanjaan karena berada di lokasi yang cukup strategis untuk komersial. Lokasi bangunan ini di Jl. Laksda Adisucipto - Yogyakarta.
SOCIAL WORKING
9
PADASAN PUTRI DATE LOC
: July 2015 : Sukasari - OKI - SUMSEL
Inilah bangunan berukuran mungil yang bernama Padasan Putri, sebuah karya kecil yang merupakan pekerjaan sosial di kampung.
PADASAN PUTRI
Ketika liburan akhir semester tiba, saya menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman. saat itu saya mendapat kabar dari salah seorang rekan, bahwa masyarakat akan melakukan pembangunan tambahan fasilitas Padasan untuk kaum putri di masjid. Padasan adalah tempat “wudhu� bagi kaum muslim sebelum melakukan ibadah. Proses pembangunan belum dapat dimulai karena belum adanya gambar atau rencana bangunan untuk dirapatkan. untuk mencari jasa arsitek di sana sangat sulit karena sangat jauh dari kota. Hati saya tergerak, walaupun pada dasarnya saya tidak mengerti secara pasti kebutuhan untuk wudhu. Akhinya selama satu minggu gambar saya selesaikan sesuai panduan seorang rekan, kemudian dirapatkan. Finally, sebelum saya meninggalkan kampung halaman, gambar tersebut akan digunakan untuk membantu pembangunan. Di akhir tahun 2015, saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi kampung halaman. Saya cukup terkejut karena semula hanya memberi sebuah simulasi, ternyata sudah 80% bangunan dikerjakan dan akan segera selesai. Harapan saya bangunan ini dapat berguna untuk banyak orang di kampung halaman.
WRITING COMPETITION (ESSAY)
10
Mempertahankan Roh Kota Yogyakarta di Tengah Desakan Jaman DATE LOC STATUS
: Nopember 2015 : UNHAS Makassar : Participant
Siapa yang tidak kenal Yogyakarta? Sebuah kota kecil, namun terus ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Bahkan dapat menampung pendatang baru dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut tentu membuat kita semakin ingin menggali apa saja yang menjadi daya tarik dari kota ini, sehingga para wisatawan dan pendatang baru terus berbondong-bondong datang ke Yogyakarta.
Selain terkenal dengan sebutan kota Pendidikan, Yogyakarta merupakan sebuah kota yang kaya akan budaya. Tidak lepas dari itu, secara hirarki Yogyakarta berdiri di bawah pimpinan Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan diwakili oleh Sri Paduka Paku Alam IX dari Kadipaten Pakualaman. Keduanya memainkan peran penting dalam menentukan, memelihara nilai-nilai budaya, adat istiadat Jawa serta menjadi pemersatu masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu, sangatlah layak jika disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Keindahan kota Yogyakarta memang tidak ada habisnya, tercitra melalui ciri khas kampungkampung kecilnya yang begitu asri. Selain itu Yogyakarta juga memiliki enam titik Kawasan Cagar Budaya (KCB) yang bernuansa Indisch, Kolonial maupun lokal yaitu Malioboro, Keraton, Pakualaman,
Kotabaru, Kotagede dan Imogori. Bahkan akan bertambah pula kawasan Baciro, Pengok, dan Jetis sebagai KCB. Sedangkan untuk Bangunan Cagar Budaya (BCB), terdapat sekitar 500an buah. Inilah berbagai bukti bahwa Yogyakarta hidup dengan memiliki “roh” atau “jiwa” tersendiri sehingga membedakannya dengan kota lain. “Spirit of place” dalam buku Genius Loci (Schulz, 1979) dijelaskan sebagai semangat pada suatu “tempat” (spirit of place) atau dimana semangat itu menjadikan suatu tempat dapat “hidup”. Dapat pula diartikan bahwa suatu tempat dapat bermakna sebagai ruang yang memiliki karakter berbeda. Dengan demikian, manusia dapat merasakan kesan atau berinteraksi secara langsung dengan lingkungan dari tempat tersebut.
MEMPERTAHANKAN ROH KOTA YOGYAKARATA TERHADAP DESAKAN JAMAN
Menanggapi peningkatan jumlah wisatawan dan penduduk kota Yogyakarta, banyak investor saling berlomba dalam mengembangkan bisnis properti. Pembangunan tersebut tentunya mengutamakan fasilitas hunian atau kebutuhan sehari-hari yang menunjang ekonomi masyarat Yogyakarta menuju arah modern dan maju. Beberapa tahun terakhir pembangunan Yogyakarta meningkat drastis, banyak berdiri bangunan tinggi yang mulai mewarnai wajah kota seperti apartemen, hotel dan mall. Dampak dari pembangunan tersebut tentu tidak semua dapat langsung diterima oleh masyarakat. Pada tanggal 2 Oktober 2014, sempat terlontar sebuah sebuah aksi protes “Jogja asat” oleh para seniman Yogyakarta dengan membuat mural di jembatan Kretek Kewek. Lantaran banyak warga Yogyakarta yang tidak dapat menerima kekeringan akibat pembangunan hotel-hotel yang tidak memperhatikan lingkungan. Selain
itu, kekeringan juga menyebabkan situs peninggalan Warung Boto di Yogyakarta ikut mengalami kekeringan. “Aku yang tua, yang merawat. Menyediakan untuk kalian yang muda”, ungkap seorang perawat situs Warung Boto dengan sedih. Melalui protes warga inilah, para investor telah mendapatkan rambu-rambu agar pembangunan selanjutnya tidak demikian. Pemerintah juga harus ketat dalam memberi ijin mendirikan bangunan agar tidak meninggalkan identitas Yogyakarta. Kekuatan yang Harus Dipertahankan Bila kita berkunjung di Yogyakarta, pada umumnya tempat yang menjadi tujuan utama adalah Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton merupakan sebuah point interest bagi kota Yogyakarta karena menjadi tempat tinggal atau bertahta Sultan. Bangunan yang dibangun pada tahun 1755 ini menjadi bukti warisan arsitektural Jawa dengan citra kerajaan. Seluruh penjaga atau abdi dalem yang bekerja di Keraton mengenakan pakaian adat Jawa, maka spirit di area ini begitu kental atau memiliki roh yang kuat.
Tabel Proyeksi Penduduk Yogyakarta (X 1000) Sumber : BPS Indonesia 2013
Berbicara mengenai pola penataan kota, Yogyakarta memang luar biasa. Kota ini dirancang sejak dahulu oleh Sultan Hamengku Buwono I menggunakan sumbu imajiner yang segaris lurus dari utara hingga selatan. Bangunan Keraton berada tepat segaris lurus di antara Tugu kemudian Gunung Merapi yang terletak di utara dan Panggung Krapyak kemudian Pantai Selatan yang terletak di ujung selatan. Gunung Merapi sebagai simbol Lingga dan Pantai Selatan sebagai simbol Yoni. Kedua simbol tersebut dapat bertemu di Keraton dan saling melengkapi.
Pada umumnya kerajaan di Jawa memiliki elemen-elemen penting seperti alun-alun, makam, Keraton, pasar dan masjid yang saling berdekatan (Parmono, 1996). Selain itu elemen tambahan berupa pohon juga dijadikan sebagai simbol, contohnya beringin dan sawo kecik. Keraton Yogyakarta juga memiliki elemenelemen tersebut, seperti makam, pasar Beringharjo, dan bagianbagian penting lainnya. Bagianbagian tersebut berupa bangsal, patung dwarapala, gedhong, regol, dua alun-alun yaitu utara (lor) dan selatan (kidul) beserta pohon beringin, krapyak, plengkung, benteng, serta permandian yang bernama Taman Sari.
Seiring berjalannya waktu, berkembangnya area Keraton juga erat kaitannya dengan Malioboro. Malioboro merupakan kawasan yang berada di sebelah utara Keraton ini dibentuk oleh adanya deretan bangunan pertokoan kuno dengan gaya arsitektur Indische. Kawasan yang satu ini memang menjadi sasaran utama para wisatawan untuk berbelanja oleholeh maupun kerajinan tangan khas Yogyakarta. Di tempat inilah sebuah jalan atau street dapat menjadi Square karena adanya fungsi serta aktivitas masyarakat.
Pada tanggal 17 Maret 1813 lahir pula sebuah kerajaan yang bernama Kadipaten Pakualaman atau Pura Pakualaman yang menjadi tempat bertahta wakil Gubernur Yogyakarta. Kadipaten Pakualaman juga memiliki elemenelemen berupa masjid, pasar, Keraton dan juga pohon beringin. Abdi dalem di Pura Pakualaman juga mengenakan pakaian adat Jawa seperti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Saat ini alun-alun yang berada di depan Pura Pakualaman dijadikan sebagai ruang terbuka bagi masyarakat, sehingga masyarakat dapat merasakan sentuhan suasana yang berbeda.
sebatas Keraton dan Kadipaten Pakualaman saja, melainkan juga lahirnya kawasan Kotagede atau yang kerap disebut kota perak. Kawasan ini adalah cikal bakal dari tumbuhnya Kerajaan Mataram Jawa serta turut berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Yogyakarta. Dijelaskan pula elemen Kotagede dalam buku “The Remains of Kotagede” (Parmono, 1996) berupa makam, Keraton, Masjid Agung Mataram, Makam Raja, alun-alun, pohon beringin, pohon sawo kecik dan hunian di kampung alun-alun yang melahirkan “Between Two Gates” atau sembilan Joglo yang berada dalam satu lorong dan di apit oleh dua pintu gerbang. Keberadaan dari kerajaan inilah yang menumbuhkan kerajinan perak di Kotagede karena pada jaman dahulu
untuk memenuhi kebutuhan perkakas Keraton berbahan perak. Uniknya, pada kawasan ini banyak terdapat bangunan dengan gaya Indische, Jengki, dan Baroque yang tumbuh akibat trend orang kalang pada tahun 1970-an. Di sisi lain, Kotagede memiliki ciri khas berupa lorong-lorong yang sempit pada perkampungnanya. Lorong-lorong ini pula yang menjadi sense dari Kotagede.
Menghadapi Desakan Jaman Telah banyak dipaparkan bahwa Yogyakarta memiliki roh yang begitu kuat. Melalui “spirit of place” kita dapat belajar merasakan dan menghargai suatu kearifan lokal yang harus dipertahankan dalam mengembangkan suatu kota yang terpadu dan modern. Seperti kasus Yogyakarta yang dapat dijadikan contoh, bahwa berangkat dari tiga sejarah kerajaan, memiliki berbagai macam kawasan dan bangunan Cagar Budaya dengan kekuatan “jiwa” dan “roh” masing-masing tetap mampu bertahan terhadap desakan jaman. Harapannya keistimewaan Yogyakarta dapat terus berdampingan dan saling melengkapi dengan kemodernan.
Kota masa depan yang mengedepankan kearifan lokal, itulah Yogyakarta. Sebuah kota yang kaya dan patut diperjuangkan, agar jangan sampai kehilangan identitas. Berani membuka kebenaran, seperti peristiwa “Jogja asat” yang menyadarkan banyak pihak bahwa menjaga lingkungan dan budaya itu adalah hal yang patut diindahkan. Demikian juga dengan masa depan kota-kota di Indonesia mendatang juga harus tetap berpegang teguh pada nilai budaya dan tidak hanya mengejar kepuasan semata.
DAFTAR PUSTAKA Indonesia, B. P. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta. Parmono, A. ( 1996). The Remains of Kotagede [Book Section] // Better Living and Use Existence of Historic Areas. Yogyakarta: Hatmoko Adi U and Setiawan Bakti. : AWPNUC. Schulz, C. N. (1979). Genius Loci; Towards a Phenomenology of Arcitecture. Rizzoli.
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT)
11
Doormart Polka-Dot STATUS : 10th Best Nominator Recycle of Trash Transformated Living Changed LOC : LoXSProject Cilandak Barat, Jakarta Selatan DATE : December 2015
DOORMAT POLKA-DOT
Sampah Menjadi Teman Baru Haruskan kita selalu menutup hidung Ketika melihat sampah? Haruskah kita menutup mata jika ada sampah di dekat kita?
Ini adalah waktu yang baik untuk mulai menyadari jika kita tidak dapat lari dari kenyataan hidup ini, bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah faktor terbesar penghasil sampah di bumi. Semakin banyak kita mengkonsumsi atau menggunakan produk olahan, tentu semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Dalam kasus ini saya begitu tertarik untuk menyoroti masalah produksi minuman kemasan yang kian hari makin bervariasi, namun sampahnya luar biasa.
Mulai Berpikir Masalah Kebutuhan Berpikir soal kebutuhan, tentu desain produk haruslah mudah digunakan tanpa melupakan estetika terhadap suatu ruang walaupun mengolah barang bekas adalah tantangan baru. Terlintas dikepala sebuah keset karet yang berlubang-lubang untuk menggaruk sepatu. Pertanyaannya adalah “mengapa saya tidak membuat keset dari tutup botol yang memiliki prinsip sama?� Ketika musim hujan, pada umumnya hal yang paling tidak disenangi adalah becek sehingga membuat alas sepatu menjadi kotor. Sepatu yang kotor akan membuat rasa tidak nyaman karena berat. Selain itu, untuk memasuki sebuah ruangan tentu akan membuat bekas/bercak pada lantai. Doormat Polka-dot adalah sebuah keset berbahan baku tutup botol yang disusun secara terbalik. Dengan variasi warna yang menarik, akan membuat orang merasa lebih mudah melihat karena warna yang dihasilkan sangat beragam. Alasan pemilihan material karena melihat usaha kost di Yogyakarta pada umumnya menghasilkan banyak sampah botol.
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT)
11
Pelajaran Mahal dari Sampah Sebelum pembuatan prototype saya mendapatkan briefing menarik dari XSProject, dimana kami para nominator dikenalkan dengan proses pengolahan sampah menjadi suatu produk berguna dan mahal. “Ya mahal pesannya. Setiap produk recycle ini dijual dengan membawa pesan yang besar. ” “Jika kalian seorang desainer, kalian juga tidak boleh malu menggunakan produk dari sampah.” “Berapa lama bumi mampu mendaur plastik? 200 tahun! Cukup Lama bukan? Lalu siapa lagi yang akan mendaur kalau bukan kita? Tetapi kami memilih material yang tidak dapat dijual kembali oleh para pemulung, agar kita tidak membunuh sumber penghasilan orang kecil.”
Tiga kalimat yang di ucapkan oleh Ibu Retno ini menjadi tamparan keras bagi saya, ternyata tidak mudah mengolah sampah hanya sekedar recycle. Yang terpenting adalah belajar menjadi desainer yang tidak rakus dan mampu mengolah sampah untuk dimanfaatkan secara seutuhnya serta membantu meringankan bumi untuk mendaur sampahsampah ini. Sepulang dari XSProject, saya tidak pernah menyesali jika hanya menjadi nominator, melainkan saya sadar tutup botol adalah bagian kecil dari botol. Botol adalah salah satu mata pencaharian para pemulung. Disisi lain saya berharap, melalui produk ini menjadi masukan bagi para arsitek agar sampah juga dapat berperan menambah estetika terhadap bangunan.
DOORMAT POLKA-DOT
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT)
12
Sit’s-Snail STATUS LOC DATE TEAM
: 5th Best Recycle Essence Bench -Home Festival Design Award : Living World, Alam Sutera Boulevard Kav.21 Tangerang : February 2016 : Agnes Ardiana A. & Francisca Dian A.
SIT’S-SNAIL
Informasi Memberi dampak Edukasi, Bukan Sampah!
Transformasi Sits’s-Snail
Dampak globalisasi yang semakin luas, membuat manusia menjadi semakin mudah untuk menyampaikan berbagai informasi kemanapun. Hal tersebut juga merambah ke dunia komersial. Salah satu wujud penyampaian dari informasi tersebut dapat berupa iklaniklan outdoor, seperti spanduk/baliho. Kehadiran iklan tersebut memberi dampak edukasi yang luar biasa karena secara visual lebih cepat ditangkap oleh indra manusia, terutama masalah periklanan. Di sisi lain kehadiran dari iklan-iklan tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa akan menghasilkan sampah. Bila setiap usaha menggunakan spanduk sebagai iklan untuk mempromosikan usaha mereka, maka semakin lama tumpukan sampah dari spanduk akan semakin bertambah banyak pula.
Bentuk kursi berasal dari filosofi bentuk keong/siput yang memiliki bentuk lengkung dan mampu menyembunyikan dirinya didalam cangkang. Mengambil ide dari bentuk melengkung yang dimiliki oleh siput dan diaplikasikan seperti atap becak yang dapat dilipat. Desain mengambil tema modern dengan bentuk dinamis, memiliki pola berupa segmen yang membentuk ritme.
Mengapa Spanduk ? Sebagai salah satu ide kreatif, yaitu mengolah spanduk/banner sebagai bahan untuk membuat kursi outdoor. Alasan menggunakan bahan baku spanduk, karena spanduk telah disesuaikan untuk kondisi outdoor. Inovasi teknologi yang digunakan seperti material, konstruksi rotan yang ringan dan memiliki nilai jual menghadirkan bentuk kursi lengkung tanpa menggunakan penggantung melainkan bertumpu di tanah/lantai. Selain itu kursi ini juga memiliki penutup secara otomatis yang didapat, sehingga dapat dikondisikan untuk fungsi outdoor. Selain itu bagian atap memiliki kantong untuk menyelipkan buku.
RECYCLE COMPETITION (PRODUCT)
12
SIT’S-SNAIL
Proses pembuatan :
- T H A N K Y O U -