Akses Air untuk Pertanian Berkelanjutan

Page 1

03

September-November 2010

pompa ram

Pompa Air Tanpa Bahan Bakar

Listrik Mikrohidro

Swadaya Masyarakat

yeremias, atasi salinisasi

Dengan Organik & Diversifikasi

Akses Air untuk Pertanian Berkelanjutan


September-November 2010

Terbit setiap Maret, Juni, September, dan Desember. Merupakan kerja sama Aliansi Organis Indonesia dengan Yayasan ILEIA Belanda. Sumber Dana DGIS-Belanda

Redaksi Shintia Dian Arwida, Ni Made Budi Utami, Sri Nuryati Desain Grafis Andiko Distribusi dan Pelanggan Raden Ai Lutfi Hidayat Alamat Jl Kamper Blok M No. 1 – Kompleks Budi Agung Bogor - Indonesia Ph: +62 251 8316294 Fax : +62 251 8316294 E-mail: majalahpetani@gmail.com Website : www.greentrustmagazine.com/petani Rekening Bank Bank OCBC NISP Cabang Kedung Badak, Bogor a/n Aliansi Organis Indonesia No Rekening: 048.800.00074.6

Laporan utama Foto Sampul: Air adalah faktor kunci dalam pertanian. tanpa air tanaman tak mungkin tumbuh. Jadi air diperlukan untuk pertanian yang berkelanjutan.

Pengelolaan Air Makin Sudutkan Petani Sumur Resapan Isi Cadangan Air Tanah

8 10 jendela dunia

Foto: Shintia D. Arwida ISSN 0216 – 7883

Edisi Global Farming Matters Magazine Kontak : Wilma Roem E-mail : ileia@ileia.nl Edisi Regional LEISA Reista de Agroecologia (Peru) Kontak: Teresa Gianella-Estrems E-mail: base-leisa@etcandes.com.pe

Pengalaman Yeremias, Atasi Salinisasi Dengan Organik & Diversifikasi Air, Sampai Kapan Petani Sulit Mendapatkannya? Listrik Mikrohidro Swadaya Masyarakat

12 14 16

LEISA India Kontak : K.V.S. Prasad E-mail : amebang@giasbg01.vsnl.net.in

LEISA China Kontak : Ren Jian E-mail : renjian@cbik.ac.cn

22 24

Peran Tradisi Dalam Pengelolaan Air di Himalaya POMPA RAM Pompa Air Tanpa Bahan Bakar

info & teknologi Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Bagi Penyediaan Air Bersih, Pencegahan Banjir, dan Kekeringan

26

bijak dalam rumah

12

AGRIDAPE (Senegal) Kontak : Awa Faly ba E-mail : agridape@sentoo.sn Agriculturas (Brazil) Kontak : Paulo Petersen E-mail: paulo@aspta.org.br

8

benih lokal Benih Lokal

sekolah iklim Dinamika Hujan Indonesia

18 20

Fortifikasi Minyak Goreng: Vitamin A Alami Diganti Sintetik

32

advokasi Komite DAS Lamasi Inisiatif Lokal Kelola Daerah Aliran Sungai

34

suara petani

Rizal: Bangkitkan Aceh Lewat Kakao Organik

KILIMO (Kenya) Kontak : James Nguo E-mail : admin@alin.or.ke Redaksi mempersilakan pembaca untuk memperbanyak dan mengedarkan artikel yang dimuat dalam majalah, untuk keperluan non komersial dengan mencantumkan Majalah PETANI sebagai bahan acuan serta memberitahukan kepada kami mengenai penggunaan artikel tersebut.

12

40


dari redaksi

Akses Air

untuk Pertanian Berkelanjutan Air mutlak dibutuhkan untuk pertanian. Tanpa air, petani tak mungkin bercocok tanam. Jadi, air adalah faktor kunci untuk pertanian dan suplai pangan yang berkelanjutan. Kenyataannya, air tak selalu tersedia untuk pertanian. Berikut beberapa masalah yang sering dihadapi sektor pertanian terkait akses terhadap air.

1

Air: hak asasi atau kebutuhan dasar?

Debat tentang dua pemahaman ini mengarah pada pertanyaan: siapa yang seharusnya bertanggung jawab memastikan masyarakat bisa mengakses air. Jika air dipandang sebagai kebutuhan dasar, maka swasta—melalui pasar—memiliki hak dan tanggung jawab menyediakan air sekaligus mendapat keuntungan. Sebaliknya jika air dianggap sebagai hak asasi manusia, maka pemerintahlah yang bertanggung jawab memastikan akses terhadap air yang sama dan adil bagi seluruh rakyat, tanpa mengambil keuntungan. Pada kenyataannya, pemerintah lebih condong pada pemahaman pertama dan menyerahkan pengelolaan air pada swasta. Air pun menjadi komoditas yang mengikuti prinsip permintaan dan penawaran pasar. Akibatnya, petani kadang tak kebagian air karena sudah habis diambil sektor swasta untuk dijual. Ini berlawanan dengan pasal 33 UUD ’45 yang menyebutkan bahwa air termasuk barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, karenanya harus dikuasai dan dikelola oleh negara.

2

Sektor pertanian VS sektor lain

Ketika air menjadi komoditas yang diperjualbelikan, konsekuensinya, mereka yang memiliki uanglah yang bisa mengakses air. Sektor pertanian Indonesia yang didominasi petani skala kecil harus bersaing dengan sektor lain seperti pariwisata, industri, bahkan rumah tangga untuk mendapat air. Dan karena sektor-sektor lain itu bisa membayar lebih mahal untuk mendapat 4

Oktober 2010

air, pemerintah pun lebih berpihak pada kepentingan mereka. Artikel tentang petani di Brebes (hal. 14) memberi contoh persaingan sektor pertanian dan pengolahan air minum mengakses air dari mata air Kaligiri.

3

Kelembagaan tradisional diabaikan

Di banyak tempat, masyarakat yang secara tradisional adalah komunitas agraris biasanya punya aturan main dan lembaga/petugas tradisional pengelola sumber air. Misalnya ulu-ulu di Jawa dan klian subak di Bali. Sayang, kelembagaan ini kebanyakan tak lagi berfungsi. Penyebabnya, (a) sektor pertanian kian terpinggirkan dan (b) diserahkannya pengelolaan air bersih kepada swasta. Padahal ada banyak bukti bahwa sistem pengelolaan air tradisional ini justru lebih efektif menjaga kualitas, ketersediaan air, dan menghindari konflik antarpihak. Ini bisa dibaca di artikel pengelolaan air tradisional di Himalaya (hal. 22 )

4

Sumber air untuk pertanian yang kian menipis

Pertanian umumnya mengandalkan sumber air dari sungai, air hujan, atau irigasi. Belakangan, banyak sungai mulai “tidak sehat” dalam arti mengering di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Akibatnya sungai menurun kemampuannya dalam menyokong pertanian. Debit air sungai yang mengecil juga disebabkan oleh penggundulan hutan di hulu sungai yang berperan sebagai daerah resapan. Sementara itu, perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau memanjang di banyak daerah membuat air hujan juga mulai sulit diandalkan sebagai sumber pengairan. Terakhir, pemeliharaan saluran irigasi yang kurang baik, menurunkan kemampuannya dalam mengairi lahan pertanian. Dari penelitian di berbagai negara Asia, sekitar 20% air irigasi hilang di perjalanan dari bendungan sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari

Menjaga Air ala Pertanian Organik Konservasi dan perlindungan sumber daya air adalah bagian penting dari praktik pertanian organik. Sebab air adalah faktor kunci dalam produksi pangan dan pertanian yang berkelanjutan. Jika air tidak tersedia produksi pangan akan terhenti. Beberapa praktik dalam pertanian organik yang ditujukan untuk menjaga kualitas dan ketersediaan air, adalah sebagai berikut. • Tidak memakai senyawa kimia sintetis (pupuk dan pestisida) karena jika masuk ke tanah bisa tercuci dan mencemari air tanah. • Menggunakan sistem irigasi yang hemat air, misalnya model irigasi tetes (drip irrigation) yang langsung mengairi di daerah perakaran tanaman agar tidak banyak air terbuang atau SRI (System of Rice Intensification) pada budi daya padi. • Menanami tepian saluran air dengan tanaman penutup tanah dan pohon untuk mencegah erosi dan memaksimalkan peresapan air hujan ke tanah. • Mengelola limbah peternakan dengan baik (untuk pupuk kandang) guna mencegah pencemaran air tanah. • Menjaga kualitas tanah dengan menambahkan banyak bahan organik dan penggunaan mulsa, sehingga tanah lebih tahan terhadap banjir, kekeringan dan proses degradasi tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah juga membantu proses peresapan air hujan yang menjaga ketersediaan air tanah.

Sesaji untuk sumber air di sawah di Bali. Masyarakat tradisional biasanya memiliki norma dan kelembagaan adat untuk mengelola sumber daya air.

jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40%.

5

Persaingan kota-desa dalam mengakses air

Sumber daya air yang makin menipis ini diperparah dengan peningkatan jumlah penduduk. Dengan bertambahnya populasi, ketersediaan air untuk masing-masing orang menjadi lebih rendah. Perlahan tapi pasti akan terjadi kompetisi yang makin besar antara pedesaan dan kota untuk mengakses air. Keterkaitan antara ketersediaan air di desa dengan pengelolaan air di kota bisa dilihat pada kasus Jakarta-Karawang. Saat kemarau, air waduk Jatiluhur diambil untuk memenuhi kebutuhan air minum di Jakarta. Akibatnya, petani kesulitan mengairi sawahnya. Sebaliknya di musim

FOTO: Dok. Majalah PETANI.

hujan, saat air meluap di Jakarta, pintu air Waduk Jatiluhur dibuka dan air pun membanjiri sawah petani.

6

Air dianggap sumber daya tak terbatas

Pemakaian air yang cenderung boros membuat gejala krisis air mulai terlihat. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75— 1,0 maka dikatakan keadaan “kritis”. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis” atau defisit air, sedangkan jika IPA -nya berkisar antara 0,30 – 0,60 tergolong “normal” dari segi ketersediaan air. Pada tahun 2000 diperkirakan Jawa (IPA=1,89), Madura (IPA=1,89), dan Bali (IPA=1,13) sudah termasuk kategori “sangat kritis”.

Tahukah Anda?

iliki Asia yang mem Tiga negara di k gan terbanya jumlah bendun ah al ad i as ig n ir untuk keperlua Jepang. n da a, di Cina, In

7

Metode pertanian konvensional yang sangat “rakus air”

Data FAO menyebutkan bahwa pertanian mengkonsumsi hampir 70% air tawar yang tersedia di dunia. Dan pertanian yang dimaksud FAO ini adalah pertanian konvensional. Tak heran, karena untuk menghasilkan 1 kg beras saja dibutuhkan air rata-rata 2,500 liter. Selain itu, pertanian konvensional memakai banyak pestisida dan pupuk kimia. Sisa-sisa bahan kimia ini mencemari dan menurunkan kualitas air tanah. Ini juga menurunkan kemampuan tanah menyerap air hujan karena tanah yang jenuh bahan kimia menjadi liat dan susah ditembus air.

Oktober 2010

5


tanya jawab Silakan kirimkan pertanyaan Anda seputar pertanian, peternakan, dan perikanan ke redaksi Majalah PETANI melalui email majalahpetani@gmail.com, surat tertulis ke alamat redaksi, atau telepon dan SMS ke nomor 087860500078. Redaksi ahli kami akan membantu menjawab pertanyaan Anda.

Tanya Gapoktan saya punya pupuk kompos dan pupuk cair organik. Bagaimana cara mengetahui kandungan unsur hara yang ada pada pupuk itu? (0813426828xx)

Jawab

Bapak bisa datang atau mengirim contoh pupuk yang ingin diuji ke Puslitbang Tanah di Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor, Jawa Barat. Alternatif lain, datang ke Dinas Pertanian di kota Bapak dan meminta informasi mengenai laboratorium yang melayani uji kandungan pupuk. Selain itu, Bapak juga bisa bertanya ke Universitas di kota Bapak yang mempunyai jurusan Tanah. Kemungkinan mereka bisa membantu. Jika informasi kandungan hara dalam pupuk ini akan dipakai untuk kepentingan komersial, sebaiknya Bapak memastikan bahwa laboratorium-nya sudah terakreditasi dan punya sertifikat ISO 17025.

6

Oktober 2010

tanya jawab

Tanya Tanaman brokoli saya sering terkena penyakit benjol di akar. Bagaimana mengatasinya? Terima kasih.

Tanya Saya petani dari Flores. Ingin tanya bagaimana cara budi daya mina itik yang benar. (0852375322xx)

(Taufik, Kopeng Semarang, melalui SMS)

Redaksi Ahli

Brokoli Anda mungkin terkena penyakit akar gada yang disebabkan jamur Plasmodiophora brassicae. Gejalanya adalah pembesaran akar halus dan sekunder yang membentuk seperti benjolan. Penyakit ini menyukai tanah yang masam dan serangan terjadi pada suhu 10—32oC. Beberapa perlakuan yang bisa coba dilakukan adalah: • pengapuran tanah untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 • rutin membersihkan gulma di lahan untuk mengurangi kelembaban (kondisi yang disukai jamur untuk berkembang) • memilih bibit dari induk yang bebas penyakit • mencelupkan bibit pada larutan kunyit sebelum ditanam, kunyit berfungsi sebagai larutan pembunuh bakteri dan jamur • tanah yang sudah terlanjur terinfeksi, diberi perlakuan biofumigasi. Biofumigasi adalah proses membasmi hama dan penyakit dalam tanah secara alami menggunakan tanaman dari keluarga kubis-kubisan yang dibusukkan dalam tanah. Saat membusuk, tanaman kubis-kubisan ini melepaskan senyawa kimia ‘Isothiocyanates’ yang bisa membasmi hama dan penyakit dalam tanah. Sisa tanaman dari keluarga kubis-kubisan (misalnya kubis, sawi, brokoli) dipotong kecil-kecil lalu dibenamkan ke dalam tanah yang akan ditanami. Penimbunan tanah harus merata untuk mengurangi penguapan. Kemudian lahan disiram air secara merata. Tanah lalu ditutupi plastik atau lembaran daun pisang. Setelah lahan didiamkan selama satu sampai tiga minggu, baru dilakukan penanaman di lokasi tersebut. Pengalaman petani di Karanganyar, Jawa Tengah yang memakai biofumigasi, menunjukkan bahwa penyakit tersebut dapat ditekan sampai 50 persen, di samping tanah menjadi lebih subur.

Sabirin

Tanaman Tahunan

Yang terpenting adalah menjaga kualitas air agar oksigen cukup tersedia. Oksigen diperlukan ganggang, ikan, dan mikroorganisme yang mengurai kotoran itik. Jika oksigen kurang akan terjadi persaingan antar ketiganya yang bisa menyebabkan kematian ikan. Untuk itu jumlah ganggang dalam kolam harus dikontrol. Cara mudah mencek jumlah ganggang adalah dengan mencelupkan lengan ke dalam kolam sampai sebatas siku. Jika Anda bisa melihat telapak tangan, maka jumlah ganggang kurang dan kolam perlu lebih banyak kotoran itik. Jika Anda bisa melihat ½ bagian lengan maka jumlah ganggang cukup. Dan jika Anda tak bisa melihat lengan Anda maka jumlah ganggang terlalu banyak. Kurangi jumlah kotoran itik yang masuk ke dalam kolam dan tambahkan air bersih untuk mengurangi kadar nutrisi dalam kolam. Sebaiknya satu kolam diberi pembatas yang membaginya menjadi dua bagian dan itik hanya berenang di satu bagian saja. Sebab saat berenang itik cenderung mengaduk-aduk dasar kolam sehingga ganggang tak bisa tumbuh. Buat kandang dengan bambu di atas kolam. Pastikan lantai kandang agak renggang agar kotoran itik bisa jatuh ke kolam.

Toto Himawan

Agung Prawoto

YP Sudaryanto

Agus Kardinan

Hama dan Penyakit Tanaman

Sayuran Organik

Standar dan Sertifikasi

Pestisida Nabati

Agar kotoran itik terus tersedia untuk pakan ikan, pelihara itik dengan usia berbeda pada saat yang bersamaan. Demikian juga pelihara ikan kecil dan besar di saat bersamaan agar kolam tak pernah kosong. Kolam yang kosong sebaiknya tidak diberi kotoran itik. Setelah 4—5 tahun, kolam perlu dikuras. Endapan kotoran di dasar kolam bisa dipakai untuk pupuk tanaman. Jenis ikan yang bisa dikombinasikan dengan itik adalah ikan mas, nila, dan lele. Perbandingan yang bisa dicoba, 200 ekor nila per 100 m2 dengan maksimum 35 itik. Atau 200 ekor ikan mas per 100 m2 dengan maksimum 35 itik. Dan 300—350 ekor lele per 100 m2 dengan 70—75 ekor itik.

Daniel Supriyono Diah Setyorini Padi Organik

Kesuburan Tanah

Oktober 2010

7


laporan utama

laporan utama Goal, konsumen air di kota akan dinaikkan. Saat pemerintahan lalu, Wakil Presiden Yusuf Kalla menambahkan 10 juta sambungan air minum. Dari mana airnya? Tentu diambil dari sumber air yang sesungguhnya untuk pertanian. Kebutuhan air bersih PDAM akan menggerogoti air untuk pertanian,” ungkap Hendro.

Peraturan Tak Lengkap

Pengelolaan

Air

Makin Sudutkan

A

ir punya peran kunci bagi kelangsungan semua mahluk hidup di dunia ini. Karenanya, pengelolaan air sangat penting agar pemanfaatannya bagi seluruh kehidupan bisa berkeadilan dan berkelanjutan. Sayang, keserakahan dan kerakusan manusia telah merusak sumber daya air. Sementara pemerintah seringkali menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola sumber daya air secara lestari sehingga terjadi kekacauan pola produksi dan konsumsi air. Menurut Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokratik Ekonomi (SDE) saat ditemui di Jakarta, kondisi sumber daya air di Indonesia saat ini memprihatinkan. Selain perubahan daur hidrologi karena perubahan iklim, sumber daya air menurun jumlah dan kualitasnya karena pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak tepat dan boros. Perubahan daur hidrologi terjadi karena perubahan iklim yang membuat musim penghujan dan kemarau berubah jangka waktunya. Pemerintah bersama masyarakat pengguna air harus bisa

8

Oktober 2010

Petani

mengantisipasi dan mengelola musim yang tak tentu ini. Bagaimana air yang berlimpah saat musim hujan bisa kembali tersimpan menjadi air tanah dan mengisi sumber-sumber air untuk dipakai saat musim kemarau datang. Selain itu, penting juga memastikan pemanfaatan air yang efektif-efisien, adil, dan berkelanjutan.

Perlindungan bagi Petani: Minim Tanpa pengelolaan yang baik, bentang alam yang berfungsi menyerap air hujan seperti hutan rusak. Untuk kepentingan ekonomi, yang meningkatkan sedikit pendapatan asli daerah, hutan dibabat dan tanah digali. Misalnya karena tambang mineral. Akibatnya air hujan tak terserap tanah. Air mengalir di permukaan ke tempat yang lebih rendah dan menimbulkan bencana banjir dan longsor. Pemanfaatan air pun tidak menunjukkan keadilan antara petani (yang memakai air untuk produksi pangan), konsumen dan indsutri. “Petani sudah lama sekali protes soal

air ini, hingga akhirnya undang-undang pengelolaan sumber daya air diketok tahun 2004. Ini menunjukkan minimnya perlindungan bagi petani,” kata Hendro. Dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan sumber daya air, ada dua jenis hak guna air, yaitu hak guna pakai oleh petani dan hak guna usaha oleh kalangan industri. Untuk memproduksi pangan bangsa ini, petani memanfaatkan 70% sumber daya air. Ironisnya, petani mendapatkan perlindungan hak guna pakai lebih kecil daripada hak guna indsutri/bisnis.

Petani Subsidi Konsumen Menurut Hendro, dalam pemanfaatan air yang sebenarnya terjadi adalah petani mensubsidi konsumen. Sebab, petani harus membayar air yang dipakai untuk pertaniannya, sementara harga jual produk pertanian ke konsumen, sangat rendah (karena tekanan bisnis dan pemerintah) sehingga tak sepadan dengan ongkos yang dikeluarkan. “Kondisi itu dengan hitungan, konsumen pemakai air di kota sebesar 55%. Menurut Millenium Development

Ke depan, PDAM jelas akan meluaskan pangsa pasarnya karena meningkatnya penduduk dan industri. Pemerintah pun mengeluarkan peraturan yang memfasilitasi pemerintah daerah agar mudah mengurus air. Tapi pertanyaannya: dari mana PDAM mendapatkan sumber air? Di banyak tempat PDAM mengambil air untuk pertanian. Sebagian besar peraturan tidak membahas cara penggunaan air oleh PDAM. Apakah boleh mengambil langsung dari hulu/sumber, atau mendaur ulang air rumah tangga. PDAM berencana menambah konsumen air dari 2 juta menjadi 10 juta konsumen. Saat konsumen 2 juta saja sudah sembrono melanggar asas kehati-hatian dalam memotong air yang digunakan untuk kepentingan lain, bagaimana bila ada peningkatan konsumen? Di Bali selama 30 tahun terakhir ketersediaan air menyusut karena PDAM memakai 60% sumber air. Ini terjadi juga di provinsi lain. “Kondisi yang sangat parah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air ini karena undang-undang yang tak lengkap. Begitu juga penegakan hukum yang tak tegas, makin kuat makin bisa menghindar,” tegas Hendro.

“Bayangkan jika petani tidak menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita. Kekacauan akan terjadi di kota,” atau dirugikan. Sementara industri selalu mendapatkan prioritas dalam pemanfaatan sumber daya alam termasuk air. Bahkan upaya perlindungan dan konservasi sumber daya air yang mahal dan berlangsung selama 15 tahun di Manggarai, Nusa Tenggara Timur telah dirusak oleh kepentingan tambang mangan. Menurut Hendro, nilai mangan Rp 300,-/kg telah mengalahkan konservasi air yang biayanya 167 juta dolar dan berasal dari pinjaman Jepang di tahun 1994. Saat ini Hendro bersama SDE akan melakukan studi tentang kebodohan kita memperlakukan air di pulau-pulau utama karena ditabrak

industri ekstraktif tambang sehingga merusak ketersediaan air tanah. Hendro juga meminta semua pihak agar berani melawan aturan publik yang kacau dan tidak mampu mengatur pemanfaatan sumber daya air secara adil. Petani yang selalu dirugikan juga harus bersuara dan melawan. “Bayangkan jika petani tidak menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita. Kekacauan akan terjadi di kota,” ungkap Hendro lugas. Pemerintah seharusnya lebih menghargai peran mulia petani sebagai penyedia pangan dengan menjamin hak mereka untuk mendapat air. (Ani)

Capai Keadilan Pengelolaan Air Untuk mulai mencari keadilan dalam pengelolaan air, bisa dari pertanyaan: guna memenuhi kebutuhan pangan, apakah lewat impor atau meningkatkan produksi pertanian dalam negeri? Jika produksi dalam negeri, apakah ada jaminan untuk ketersediaan air bagi petani? Bahkan setelah UU No 7 Tahun 2004 soal pengelolaan air keluar, pengaturan dan perlindungan sumber daya air masih timpang. Belum ada kerangka dan ketentuan sosial politik yang mempertimbangkan kebutuhan ekologis. Petani selalu menjadi korban

Sumber air bagi pertanian harus dijaga kelestariannya, karena tanpa air petani tak bisa memproduksi pangan. Oktober 2010

9


laporan utama

laporan utama

Sumur Resapan Isi Cadangan

Air Tanah

C

arut marut pengelolaan sumber daya air di Indonesia juga ditegaskan oleh Fatchy Muhammad dari Masyarakat Air Indonesia. Menurutnya, selama ini pemerintah selalu menganggap bahwa aliran air hujan dan banjir terjadi akibat kurang besarnya saluran air. Solusi ini sejatinya hanya mengobati gejala, bukan menyelesaikan sumber masalahnya. Karena yang sebenarnya terjadi adalah makin menyusutnya luasan lahan yang berfungsi sebagai area penyerap air hujan.

Kembalikan Air ke Tanah Fatchy mengatakan bahwa banjir akibat berlebihnya air hujan sebenarnya bisa dicegah dengan membuat lebih 10

Oktober 2010

banyak daerah resapan. Dengan demikian air hujan bisa terserap kembali ke dalam tanah dan mengisi cadangan air tanah. Dengan begitu sumbersumber air tak akan mengering di musim kemarau. “Dengan memperlebar kanal atau selokan air, air hujan justru akan terbuang sia-sia ke lautan. Padahal lautan tidak membutuhkan air. Air hujan seharusnya dikembalikan ke tanah. Ini yang lebih dibutuhkan, untuk mengisi cadangan air tanah,” jelas Fatchy. Selama ini, karena alasan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, banyak hutan di daerah hulu sungai ditebang dan lahannya dipakai untuk bangunan. Inilah yang mengurangi jumlah air hujan yang bisa meresap ke tanah. Akibatnya air terus mengalir ke hilir dan menyebabkan banjir. Karena itu,

pemerintah harus melakukan rehabilitasi hutan di daerah hulu sungai. Hutan yang sehat dengan luasan yang cukup akan mengurangi peluang banjir di hilir. Pun, kebutuhan air untuk pertanian akan bisa tercukupi karena mata air punya cukup cadangan air dan tidak mengering di musim kemarau.

Sumur Resapan Dengan semakin mengecilnya area hutan sebagai daerah resapan alami, maka perlu ada solusi untuk menambah kapasitas peresapan air hujan ke tanah. Salah satu alternatif adalah membuat sumur resapan. Untuk daerah hulu yang biasanya karakter tanahnya berpasir, sumur resapan bisa dibuat dengan ukuran lebar satu meter dan panjang satu meter,

“Dengan memperlebar kanal atau selokan air, air hujan justru akan terbuang sia-sia ke lautan. Padahal lautan tidak membutuhkan air. Air hujan seharusnya dikembalikan ke tanah. Ini yang lebih dibutuhkan, untuk mengisi cadangan air tanah,” sementara kedalamannya cukup dua meter. Untuk daerah hilir yang biasanya tanahnya liat, sumur resapan bisa dibuat dengan penampang luas yang sama, hanya saja harus lebih dalam. Sumur resapan sebaiknya digali sampai mecapai lapisan pasir. Ini untuk memastikan bahwa air hujan bisa meresap kembali dengan baik ke dalam tanah.

Relasi Desa Kota Fatchy menegaskan pengelolaan sumber daya air yang diarahkan pada “zero run off” atau tidak ada air hujan yang sia-sia mengalir di permukaan, perlu dilakukan untuk memberikan keadilan air bagi petani. Sebab, berkaca pada kasus Jakarta-Karawang, petani sering dirugikan. Saat hujan dan air membanjir, pintu air dibuka dan air meluap di sawah petani. Sementara di musim kemarau, air dari waduk Jatiluhur diambil untuk PDAM di Jakarta. Petani pun kesulitan mendapat air untuk pertaniannya.

Mengembalikan air ke dalam tanah akan membantu kelestarian sumber air yang mengairi sungai sekaligus mengurangi banjir.

Jika masyarakat pedesaan di bagian hulu menjaga hutan agar tetap sehat, air hujan bisa diresapkan secara maksimal ke tanah. Ini akan mengisi cadangan air tanah dan memastikan sumber air yang mengairi sungai tetap ada meski di musim kemarau. Penting juga untuk menjaga kualitas air tanah dari cemaran bahan kimia macam pestisida atau pupuk. Petani sebaiknya mengadopsi

FOTO: istimewa

teknik bertani organik. Sementara itu, jika penduduk kota membuat sumur resapan, maka air hujan yang biasa menyebabkan banjir bisa disimpan di dalam tanah. Dan saat musim kemarau, air tetap tersedia di sumur penduduk. Tak perlu merampas air bendungan untuk pertanian. Dengan begitu relasi desakota dalam pemanfaatan sumber daya air tidak perlu saling merugikan. (Cia)

Oktober 2010

11


pengalaman

pengalaman

Yeremias, Atasi Salinisasi

Dengan Organik & Diversifikasi Tantangan lahan berkadar garam tinggi tak menyurutkan semangat Yeremias bertani padi. Dengan pola pertanian organik dan menanam beragam tanaman, ia sukses menaklukkan tantangan alam.

L

ebih dari 30 tahun Yeremias (49 th) hidup sebagai petani padi. Ia mulai bertani padi setelah tahun 1978 bertransmigrasi dari Desa Wolotelu, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Ngada, NTT ke kawasan persawahan Mbay, Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT. Tahun-tahun awal menjadi petani padi di Mbay, Yeremias bersama transmigran lainnya harus bekerja keras. Persawahan Mbay berbatasan langsung dengan pesisir pantai. Lahan Yeremias terletak kira-kira 1,5 km dari garis pantai dan merupakan kawasan dengan jenis tanah liat dan sedikit berpasir. Kalau musim hujan tiba tanahnya lengket, dan di musim kemarau pecahpecah. Tingginya kandungan garam di kawasan ini berdampak pada rendahnya produktivitas padi. Garam menyebabkan air dalam akar tersedot keluar sehingga akar kering, batang dan daun padi pun menjadi layu dan mati. Saat itu mereka juga sangat intensif memakai pupuk dan pestisida kimia. Di tahun-tahun awal, para petani ini berupaya keras mencari varietas padi

12

Oktober 2010

Foto-foto: Hendrikus Gego

yang cocok dan mengatur sirkulasi air agar garam tercuci dari lahan. Tahun 1982 hasil panen cukup baik, sekitar 4 ton/ha. Namun, setelah itu hasilnya terus menurun. Meski mereka telah mengganti varietas, menggunakan beragam pupuk dan pestisida kimia serta menaikkan dosis penggunaannya, gagal panen tetap terjadi. Bahkan Yeremias pernah melihat sahabatnya sesama petani keracunan saat menyemprotkan pestisida di lahan. Yeremias ingat, hampir setiap musim tanam terdapat merek baru pestisida yang makin mahal harganya. Karena kegagalan beruntun ini banyak transmigran kembali ke kampung asal.

Beralih ke Pertanian Organik Sekitar tahun ‘90-an, setelah sukses memakai abu dapur untuk pengganti pupuk KCL, Yeremias makin tekun mencari cara bertani alami. Ia ingin lepas dari jerat ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia. Ia pun beralih ke model pertanian organik. Ternyata, pemakaian pupuk kandang dan kompos untuk menggantikan pupuk kimia berhasil memerbaiki kondisi tanah

sawah yang berkadar garam tinggi. Sedikit demi sedikit sawah kembali memberikan hasil yang baik.

Mulai Menekuni SRI September 2008, Yeremias bersama Kelompok Tani Anayalo yang diketuainya belajar cara bertanam padi dengan metode SRI (system of rice intensification). Mereka didampingi sebuah lembaga swadaya masyarakat, Yayasan Mitra Tani Mandiri-Ngada. Usaha Yeremias mengadopsi SRI yang ia padukan dengan model pertanian organik ternyata tidak sia-sia. Panen perdana bulan Februari 2009 memberikan hasil dua kali lebih banyak dibanding lahan padi konvensional yang dipupuk urea. ”Ini perubahan luar biasa,” tegas petani yang sebagian pupuk organik buatannya dibeli petani lainnya ini. Padi Smeru yang ditanam dengan pola organik semi-SRI di lahannya yang seluas 65 are bisa menghasilkan 3 ton gabah kering panen atau setara dengan 1.544 kg beras (setelah dikurangi jasa rontok dan dikonversi menjadi beras). Yeremias mengamati bahwa padi yang ditanam secara organik lebih tahan

Membuat pupuk dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah dan kebunnya membuat Yeremias lepas dari ketergantungannya membeli pupuk dan pestisida kimia.

wereng, daun lebih kokoh, dan tidak banyak bulir hampa. Metode SRI juga membuat anakan padi lebih banyak. Yeremias membandingkan, saat masih memakai pupuk dan pestisida kimia, apapun varietas padi yang ditanam, hasilnya tak pernah sebaik ini. Karena itu ia yakin bahwa perbedaannya terletak pada cara penanaman, bukan pada varietas. Hingga saat ini sudah empat musim tanam ia bertanam padi organik dengan pola SRI.

Persemaian dan Keong Awalnya banyak pihak meragukan Yeremias akan berhasil menerapkan SRI. Terutama karena lahannya yang berkadar garam tinggi dan banyak keong. Untuk mensiasatinya, Yeremias melakukan langkah sebagai berikut. • Bibit disemai di bedengan secara organik, agar akarnya kuat. Kalau memakai pupuk urea akar mudah patah saat pemindahan ke lahan, batang lemah, dan mudah rebah. • Bibit yang telah disemai, dipindahkan dan ditanam semuda mungkin (waktu masih ada kecambah yang melekat) sehingga pasokan makanan masih ada. Karena itu, saat pemindahaan bibit ke lahan diupayakan agar kecambah tidak terpisah dari tanamannya. • Saat pemindahan bibit, tanah yang melekat di akar jangan dicuci. Kesalahan petani umumnya saat cabut bibit, tanah di akar dicuci dengan air agar ringan saat diangkut.

Selain padi, Yeremias sekeluarga juga membudidayakan kelapa, pisang, dan beternak Mengandalkan sumber pendapatan dari padi saja tidaklah cukup.

Padahal ini membuat akar rusak ketika ditanam di lahan berkadar garam tinggi. Yeremias juga punya tips khusus (lihat rubrik Tips Pertanian halaman 28) untuk mengendalikan keong di lahannya agar tidak memakan bibit padi muda. Keong justru menjadi sahabatnya dalam mengendalikan gulma. Keong juga ia manfaatkan sebagai pakan babi dan itik, serta bahan pembuat mol. Menurutnya, keong punya hak hidup dan bagian dari ekosistem yang berguna bagi petani. “Saya tidak pernah kumpul keong dan buang di jalan raya agar diinjak kendaraan, karena kalau saya lakukan ini sama saja mengundang bencana di kebun saya,” kata Yeremias.

Padi Saja Tidak Cukup Sejak menerapkan pertanian organik, banyak keuntungan dirasakan Yeremias. Menurutnya, pertanian organik membuat tanah lebih subur dan sehat, tidak banyak bulir padi yang hampa, dan beras yang dihasilkan tidak mudah patah/ bertepung saat giling. Hasil panen padi ini sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian dijual dalam bentuk beras. Yeremias menjual beras dengan mekanisme pemasaran bersama melalui Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM). Bila tiap musim tanam (MT) Yeremias menjual 800 kg beras melalui ATOM dengan harga Rp 5.000/ kg maka pendapatan kotornya mencapai Rp 4 juta. Bila biaya produksi per masa tanam Rp 2 juta, maka didapat

keuntungan Rp 2 juta per masa tanam. Secara ekonomis, bertani padi organik diakuinya lebih hemat. Ia tidak perlu membeli pupuk kimia. Dulu, tiap musim tanam, Yeremias rutin mengeluarkan uang untuk membeli 100 kg urea dan 50 kg TSP. Selain padi, Yeremias juga membudidayakan kelapa, pisang, dan ternak (babi, kambing, dan ayam). Selain itu, karena lahannya berkadar garam, dia juga mengembangkan tambak ikan. Model pertanian terpadu inilah yang mampu membiayai hidup keluarga termasuk pendidikan anak-anaknya. ”Jika hanya mengandalkan padi saja tidak akan cukup,” tegas pria yang mengadopsi pertanian polikultur dari kebiasaan para petani di kampung asalnya, Mauponggo, Nusa Tenggara Timur.

Hendrikus Gego Field Coordinator VECO Indonesia Jl. Yohanes Sahadoen, Komp. Kantor Agen Merpati, RT. 008 RW. 03, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT Telp/faks. 0385- 41353 E-mail: hendrikus@veco-indonesia.net

Oktober 2010

13


pengalaman

pengalaman

Air,

Sungai Keruh, debit airnya semakin mengecil.

Sampai Kapan Petani Sulit Mendapatkannya?

E

ra ‘30—‘80-an irigasi di Desa Kalinusu, Kecamatan Bumi Ayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah mampu mengairi 450 ha sawah di desa ini. Namun sejak tahun ‘90-an hanya 250 ha sawah yang teririgasi. Dua ratus hektar sawah sisanya berubah menjadi sawah tadah hujan hingga sekarang. Bahkan warga di Dusun Petahanan dan Dusun Maribaya, sulit mendapat air untuk minum dan keperluan rumah tangga. Air irigasi di Desa Kalinusu bersumber dari mata air di Desa Kaligiri, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tengah. Mata air yang berjarak kurang lebih 20 km dari Desa Kalinusu ini merupakan mata air terbesar di lereng Gunung Slamet. Dulu, mata air Kaligiri dengan debit ± 250 liter per detik mampu mengairi persawahan 10 desa di tiga kecamatan (Sirampog, Bumi Ayu, dan Bantar Kawung) seluas ± 2.500 ha. Namun, sejak tahun ‘90-an mata air

ini hanya mampu mengairi ± 2.000 ha. Berkurangnya kapasitas mata air Kaligiri paling terasa pada sawah-sawah di Desa Kalinusu. Sebab bendungan di desa ini berada di bagian hilir/bawah. Karena berubah dari sawah irigasi menjadi tadah hujan, produktivitas menurun. Praktis hal ini juga mengurangi pendapatan 60% penduduk Desa Kalinusu.

Penyebab Kemunduran Menurunnya kualitas dan ketersediaan air irigasi di Desa Kalinusu ini diteliti oleh Aliansi Petani Indonesia (API) selama September—November 2008. Hasilnya, penurunan kualitas air ternyata dimulai sejak penggunaan pupuk dan pestisida kimia tahun ‘70an. Keasaman (pH) air kian meningkat (saat ini ± 5—6) yang kurang baik bagi pertumbuhan akar padi karena membuatnya lebih rentan penyakit. Sementara itu ada tiga penyebab turunnya debit air. Pertama rusaknya

Pembagian air berdasarkan blok quarter/ tersier sempat mengendorkan semangat kerja bakti petani Desa Kalinusu. 14

Oktober 2010

hutan yang bertugas menyerap air hujan di daerah hulu. Kedua karena rusaknya saluran irigasi. Dan penyebab ketiga— yang terbesar—adalah mata air di bagian hulu banyak dipakai untuk kebutuhan di luar pertanian. Pemakaian terbesar adalah untuk pengolahan air minum oleh Perusahaan Daerah Air Bersih (PDAB) Jawa Tengah yang menjualnya ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Brebes.

Kelembagaan Lokal Diabaikan Menurunnya ketersediaan dan kualitas air diperparah juga dengan masalah kelembagaan pengelola irigasi di tingkat desa. Secara tradisional, petugas pengelola irigasi dalam struktur pemerintahan desa adalah ulu-ulu. Ulu-ulu dipilih dari kalangan petani dan disahkan kepala desa. Dalam satu desa biasanya ada 2—3 orang ulu-ulu, tergantung luas sawah yang dilayani irigasi. Peran ulu-ulu adalah memastikan pasokan air di bendungan, mengatur pembagian air, dan merencanakan perbaikan saluran irigasi. Ulu-ulu juga bertugas memungut iuran tiap panen, yang hasilnya digunakan untuk biaya operasional dan perbaikan saluran irigasi. Masalah timbul ketika pemerintah melalui PP No. 20 tahun 2006 membentuk Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang bertugas mengurus irigasi di desa. P3A memiliki badan hukum tersendiri dan tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa. P3A mengambil alih peran ulu-ulu, mulai dari perencanaan irigasi, pengaturan air, hingga iuran. Ulu-ulu diletakkan sebagai pelaksana teknis dalam struktur P3A, yang hanya menjalankan keputusan

Foto-foto: Aliansi Petani Indonesia

rapat pengurus P3A. Sayangnya, banyak pengurus P3A tidak paham soal pengelolaan irigasi dibanding ulu-ulu. Akhirnya timbul kesan: uluulu bertanggung jawab dan bekerja di lapangan, dan pengurus P3A hanya mengumpulkan iuran. Konflik juga makin sering timbul karena pembagian jadwal irigasi yang tidak pasti. Kualitas layanan irigasi pada petani pun menurun. Kehadiran P3A juga mengubah sistem pembagian air. Jika dulu pembagian air berdasarkan dusun, maka sekarang berdasarkan blok/hamparan sawah. Dari segi pembagian air, sistem ini lebih efektif dan efisien. Namun menyulitkan dari segi koordinasi untuk menarik iuran dan kerja bakti jika ada kerusakan. Ini karena tiap blok/hamparan belum tentu dimiliki petani dari satu dusun yang sama. Semenjak dibagi dalam blok, kerja bakti petani untuk memelihara saluran irigasi malah berkurang. Karena kerja bakti biasanya dilakukan per dusun. Untuk menyelesaikan persoalan yang muncul Badan Perwakilan Desa mengadakan pertemuan petani pemakai air, pengurus P3A, ulu-ulu, serta kepala desa dan perangkatnya. Pertemuan pada November 2008 ini menghasilkan kesepakatan: (1) pengurus P3A harus membantu pelaksana teknis (ulu-ulu) dalam pembagian air; (2) blok sawah

dibagi berdasarkan dusun untuk memudahkan pengumpulan iuran; (3) ulu-ulu masih mendapatkan garapan tanah bengkok dari desa sebagai penghasilannya selain dari iuran, mengingat beban kerja yang dipikulnya cukup berat; (4) kerja bakti untuk perbaikan irigasi dilakukan sebulan sekali. Setelah ada kesepakatan tersebut, ulu-ulu dan P3A mampu bersinergi untuk koordinasi pengelolaan air di tingkat masyarakat.

Perlindungan Pemerintah Dari pengalaman Desa Kalinusu, ada dua hal yang menunjukkan lemahnya perlindungan pemerintah terhadap hak petani kecil atas air. Pertama, keputusan pembangunan proyek pipanisasi mata air Kaligiri oleh PDAB yang dimulai tahun 1987 tidak pernah melibatkan partisipasi aktif para petani kecil di sepanjang Daerah Aliran Sungai Keruh. Kesepakatan hanya dilakukan antarpemerintah kabupaten. Padahal, jika merujuk pasal 4 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 2006 tentang irigasi dikatakan bahwa: (1) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan mewujudkan manfaat air dalam bidang pertanian; (2) Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Ini jauh dari kenyataan di lapangan. Petani yang bekerja memproduksi bahan pangan bagi masyarakat justru tak dilindungi haknya mendapat air. Padahal

pasal 29 ayat 4 Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2004 tentang sumber daya air menyebutkan: “Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan”. Yang kedua adalah lembaga bentukan pemerintah (P3A) tidak mempertimbangkan kelembagaan tradisional di tingkat desa. Ini justru menyebabkan penurunan kualitas layanan pengairan dan munculnya konflik di desa. Pembenahan secara kelembagaan terhadap P3A dan peningkatan kapasitas stafnya, perlu dilakukan. Kesimpulannya, perlu adanya peraturan yang melindungi secara khusus akses petani terhadap air dan penegakan hukum yang tegas sehingga petani mampu memproduksi pangan secara berkelanjutan.

M. Fadlil Kirom Divisi Pendidikan, Pengkaderan dan Advokasi Aliansi Petani Indonesia Jl. Slamet Riadi Gg. IV No. 50, RT. 10 RW. 4, Kel. Kebun Manggis, Kec. Jatinegara, Jakarta Timur 13330, DKI Jakarta Telp/Faks: 021- 8564164 E-mail: api_bumie@yahoo.co.id, fadilkirom@yahoo.com

Oktober 2010

15


pengalaman

pengalaman

Listrik Mikrohidro Swadaya Masyarakat

K

aya sumber daya alam dan energi tak membuat semua masyarakat Indonesia hidup berkecukupan. Masih banyak warga di daerah terpencil hidup dalam kekurangan. Bahkan mereka belum menikmati listrik dan penerangan di malam hari. Di sisi lain, masyarakat di kota kadang berlebihan dalam memakai listrik. Sungguh ironis, padahal sumber untuk membangkitkan tenaga listrik sangat berlimpah di daerah terpencil. Mulai dari batubara, uap, panas bumi, air, sampai angin. Namun justru masyarakat di seputar sumber energi itulah yang banyak belum menikmati listrik dan hidup serba pas-pasan.

Pembangunan Tidak Merata Kondisi ini terjadi karena kurangnya pemerataan hasil pembangunan di sektor energi ataupun pemberdayaan masyarakat di seputar lokasi sumber daya alam untuk bisa memanfaatkan dan menikmati hasilnya. Kurangnya pemberdayaan masyarakat ini membuat mereka buta teknologi dan tidak mampu atau tidak tahu bahwa 16

Oktober 2010

sumber daya alam sekitarnya bernilai tinggi dan bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Celah inilah yang menggugah Tri Mumpuni, sosok wanita penerang desa, masuk ke desa-desa pelosok kaya sumber daya alam namun miskin kemajuan modern. Tekadnya adalah memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam dan meningkatkan taraf hidup. Mumpuni memilih pembangkit listrik tenaga air mikro sebagai “jembatan”. Pembangunan pembangkit listrik tenaga air mikro ini tidak semata-mata memenuhi kebutuhan listrik desa, tetapi lebih dari itu, sebagai alat meningkatkan ekonomi masyarakat. Bagi Puni, demikian dia disebut, proyek ini merupakan pembangunan pedesaan yang komprehensif. “Ya dapat teknologinya, juga dapat menjaga hutannya, sekalian bisa meningkatkan hasil panennya,” paparnya seperti yang dikutip BBC Indonesia, Juni 2010. Melalui lembaga Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) yang dipimpinnya, Puni memanfaatkan aliran sungai (mikrohidro) untuk membangkitkan listrik, yang disebutnya

ramah lingkungan. Puni menyebut upaya ini sebagai swadaya energi, karena dilakukan tanpa bantuan pemerintah.

Teknik PLTMH Sebagai modal awal, ibu dua anak ini meminjam dana dari bank atau mencari bantuan dari sejumlah negara melalui kantor kedutaan di Jakarta. Salah-satu langkah awalnya yang disebutnya berhasil adalah membuat pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, tahun ‘90-an. Dengan memanfaatkan Sungai Ciasem, Puni dan warga desa setempat membangun pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt, yang akhirnya dapat menerangi 121 rumah di desa tersebut dengan modal awal hanya Rp 44 juta. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro menggunakan tenaga air berskala kecil yang menghasilkan energi di bawah 500 KW. Prinsip kerjanya, air sungai sebagian dialirkan ke sebuah saluran irigasi permanen. Kemudian air itu ditampung dalam kolam penampung dan kolam penenang. Sebanyak 1.100 liter air per detik kemudian dijatuhkan dalam dua pipa dari ketinggian 18,6 meter. Kekuatan air tersebut diubah oleh dua turbin kembar menjadi energi listrik, yang menghasilkan daya maksimal mencapai

120 kilowatt (KW). Daya sebanyak itu dapat menerangi sebuah desa. Bahkan daya listrik tersebut dapat dijual kepada PLN, sehingga masyarakat memperoleh penghasilan. Penghasilan desa dari PLTMH yang umumnya dikelola melalui koperasi ini bervariasi. Ada yang mencapai puluhan juta rupiah per bulannya. Tak heran bila sebuah desa yang memiliki PLTMH dapat memberikan beasiswa kepada warganya. Masyarakat Desa Cicadas, Subang, misalnya, selain dapat membangun infrastruktur desanya juga dapat menikmati siaran radio milik mereka sendiri, berkat pemasukan dari PLTMH. PLTMH yang digagas Tri Mumpuni, kini tersebar dan menjadi model United Nations Economic Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP), untuk pengembangan kemitraan swasta-publik di Kawasan Asia Pasifik. Potensi pengembangan PLTMH di Indonesia menurut Puni masih sangat terbuka. Sebanyak 75.000 MW potensi kelistrikan tenaga air di Indonesia pada saat ini baru dimanfaatkan 60 MW saja. Sebanyak 10%nya, atau 7.500 MW potensi itu dapat digunakan sebagai sumber PLTMH. Sementara itu di Indonesia, 30.000 lebih desa belum teraliri listrik, namun Ibeka hanya mampu mengerjakan 5—10 desa saja per tahunnya. Untuk itu Puni mengharapkan PLTMH berbasis masyarakat yang digagasnya dapat ditiru sebanyak-banyaknya.

Peran Masyarakat Penting Setelah lebih dari sepuluh tahun

pembangkit listrik tenaga air mikro mengandalkan aliran air untuk memutar turbin pembangkit listrik. mengembangkan upaya pemberdayaan masyarakat ini, Puni mengaku telah membangun pembangkit tenaga air mikro di 60 lokasi di Indonesia. Tetapi perempuan kelahiran 1964 ini mengaku apa yang dilakukannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain kesiapan teknis yang membutuhkan perencanaan matang, peraih predikat Climate Hero 2005 dari Wild World Fund International karena berbagai upayanya ini menyebut kehadiran masyarakat di dalam pembangunan ini sebagai faktor paling penting. Dalam mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro ini, tidak hanya membangun piranti fisik seperti pembangkit listrik tenaga air, tetapi penting juga memberdayakan

Tri Mumpuni percaya bahwa pembangkit listrik tenaga air mikro bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah terpencil, sekaligus membangun perekonomian lokal.

Foto: istimewa.

masyarakat setempat. Bagaimana agar pembangkit listrik yang sudah diberikan kepada masyarakat itu bisa dikelola, dioperasikan, dirawat dan lebih penting lagi dimiliki oleh rakyat. Karena itu, Puni selalu melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat desa sejak awal pembangunan PLTMH. Puni juga melibatkan beberapa badan usaha untuk mendapat dana awal dengan bunga rendah. Juga berupaya mendapatkan komitmen dari PT Pertamina, BUMN Departeman Energi dan Sumber Daya Mineral, BUMN Departemen Keuangan, dan membicarakan upaya pemberdayaan listrik masyarakat tersebut dengan PLN daerah setempat. (Ani)

Sumber: http://www.sinarharapan. co.id/berita/0801/23/eko08.html http://www.nonblok. com/blokinspirasi/kisah. keteladanan/20100601/17591/ sosok.wanita.penerang.desa presentasi Tri Mumpuni untuk Training LEAD Indonesia Cohort 15

Oktober 2010

17


benih lokal

Benih Lokal P

erubahan iklim membawa kondisi yang kurang menguntungkan bagi pertanian. Misalnya kekeringan yang panjang, hujan deras disertai angin kencang, dan serangan hama penyakit yang kian banyak. Salah satu strategi yang bisa dilakukan petani dalam menghadapinya adalah menanam benih dari jenis yang tahan kekeringan/hama. Untuk menghasilkan benih yang ungul, perlu “modal” benih yang bervariasi. Bicara soal padi, banyak benih lokal padi di Indonesia lenyap setelah dilaksanakannya Revolusi Hijau. Saat itu, petani dipaksa untuk menanam jenis IR 64 karena usia tanam lebih pendek sehingga bisa meningkatkan produksi dalam setahun. Ini merupakan suatu kehilangan yang besar. Dengan semangat menghidupkan kembali benih lokal dan mendorong interaksi antarpetani dalam mengusahakan benih lokal, Majalah PETANI membuka rubrik “Benih Lokal”. Kami akan mendokumentasikan benih-benih padi lokal yang masih ada dan masih diusahakan oleh petani. Di sini, petani bisa saling bertukar informasi tentang benih lokal yang mereka kembangkan di lahannya. Termasuk benih lokal hasil silangan petani. Juga petani yang ingin mencari benih lokal dengan karakteristik tertentu, bisa memuat permintaannya di sini. Kami berharap dengan rubrik ini, keanekaragaman benih padi lokal Indonesia tidak hilang. Lebih lanjut, kekayaan ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan benih unggul dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.

Tenganan Mencari Benih yang Hilang Petani dari Tenganan, Bali, ingin mencari benih padi lokal yang kebetulan sudah tidak ada lagi di desa mereka. Nama padi ini dalam Bahasa Bali adalah ‘padi medang barak’. Padi ini mempunyai rambut berwarna merah di ujung bulir padinya. Rasanya berbeda dengan beras merah. Padi dan berasnya sangat penting untuk kebutuhan upacara di Tenganan Pegringsingan. Jika Anda memiliki benih ini, silakan menghubungi Bapak Mangku Widya di 08174793742.

18

Oktober 2010

benih lokal

Padi Tahan Kadar Garam Tinggi

Beras Hitam Warisan Leluhur untuk Kesehatan

Beras Merah Aromatik

Nama Asahan ) Jenis Daerah asal Utara Nama penangkar

Nama Jenis Daerah asal Nama penangkar Alamat

Nama Jenis Daerah asal Nama penangkar Kontak Barat

: INTRAS KABA (IPPHTI NASIONAL Tanjung Rejo : Padi sawah tergenang air laut/Pasang Surut. : Tanjung Rejo Deliserdang dan Asahan Sumatera : Tugiran / IPPHTI SUMUT

Saat ini telah tersebar di Lhoksemawe aceh,Tasik,Ciamis Jawa Barat, Cilacap,Berebes Jawa tengah dan akan dimulai MT ini di Indramayu Jawa Barat )

Kontak

: Kustiwa Adinata (08122398953) Desa Rawa Apu, Patimuan, Cilacap, Jawa Tengah

Budi Daya Musim Cara menanam

: Musim hujan / musim kemarau : Disemai sampai dengan usia 23 Hari, jika kondisi lapangan memungkinkan ditanam 8-10 Hari Setelah Semai (HSS) dan satu lubang satu benih (TanamTunggal)

Tipe tanah Ketinggian

: Liat/ liat berpasir : sampai 400 meter di atas permukaan laut

Ciri Agronomi Lama tanam (semai—panen) (Di) Pembibitan

: 120 HST (Hari Setelah Tanam) : 21-25 hari atau 10 Hari

Tinggi Tanaman a) Rata-rata b) Maksimum

: 140 cm : 170 cm

Rontok/Tidak-rontok Rata-rata jumlah anakan produktif Karakteristik Malai Panjang malai (cm) a) Rata-rata b) Maksimum Jumlah biji per malai a) Rata-rata b) Maksimum

: Tidak rontok (Perlakuan tanpa urea) : 30-40 anakan

: 25 cm : 30 cm : 160 butir : 300 butir

Karateristik Beras Warna biji : Hijau muda pada fase berbunga dan susu, kuning kusamsaat panen Berat 1000 biji : 37 gram Warna beras : Putih Kwalitas beras : sedang Bentuk biji : lonjong Aromatik/Tidak : tidak Hasil (per hektar) Gabah (Basah/Kering) : 3,8—7,4 ton / Ha Jerami : 8—10 ton Karakter Positif • Tahan terhadap genangan air banjir • Tahan terhadap dampak air asin (Laut) maksimum salinitas 48/Mill • Waktu tanam pendek Karakter Negatif • Jika memakai pupuk urea mudah rubuh terkena angin. Karena itu harus memakai cara bertani organik • Nasi tidak terlalu pulen (agak pera). Jumlah air waktu memasak harus lebih banyak dari beras biasa.

Aspek Budi daya Musim dua-duanya] Cara menanam Tipe tanah garam Ketinggian Ciri Agronomi Lama tanam (semai—panen) (Di) Pembibitan Tinggi tanaman a) Rata-rata b) Maksimum Rontok/Tidak-rontok Rata-rata jumlah anakan produktif

: WOJALAKA : Padi ladang / padi sawah : Manggarai Barat-Flores-NTT : Bapak Aloysius Simus : Kampung Lonto, Desa Munting, Kecamatan Lembor Manggarai Barat. Jl.Batu Cermin Gg. Tengah Kpg Cowang Dereng Labuan Bajo-Manggarai Barat-NTT Telp : 0385-41631; HP 085210922086 : Musim hujan / musim kemarau [ bisa satu atau : Dibibitkan / tabur benih langsung : Liat/ liat berpasir/ alluvial/lahan berkadar : 50-600 meter di atas permukaan laut

: 105 HSS (Hari Setelah Semai) : 21-25 hari : 25-30 cm : 30 cm : Tidak-rontok : 37 buah

: GUNDIL MERAH : Padi sawah : Indramayu, Jawa Barat : Warsiyah Kalensasi : Kecamatan Widasari , Kab Indramayu, Jawa

Budi Daya Musim Cara menanam

: Musim hujan / musim kemarau : Disemai baru dipindahkan ke lahan

Tipe tanah Ketinggian

: Podsolik (liat, pH tanah kurang dari 5,5, kadar bahan organik rendah sampai sedang) : 100 meter di atas permukaan laut

Ciri Agronomi Lama tanam (semai—panen) (Di) Pembibitan

: 95 HST (Hari Setelah Tanam) : 25 hari

Tinggi Tanaman a) Rata-rata b) Maksimum Rontok/Tidak-rontok Rata-rata jumlah anakan produktif

: 150 cm : 180 cm : Tidak rontok : 15 anakan

Karakteristik Malai Panjang malai (cm) a) Rata-rata b) Maksimum

: 28 cm : 37.6 cm

Karakteristik Malai Panjang malai (cm) a) Rata-rata b) Maksimum

: 21,5 cm : 27 cm

Jumlah biji per malai a) Rata-rata b) Maksimum Berambut

Jumlah biji per malai a) Rata-rata b) Maksimum

: 85 butir : 259 butir

: 150 butir : 200 butir : tidak berambut

Karateristik Beras Warna biji Berat 1000 biji Warna beras Kwalitas beras Bentuk biji Aromatik/Tidak

: Hitam : 20 gram : Hitam : Medium mengkilap : Oval : Tidak beraroma

Karateristik Beras Warna biji Berat 1000 biji Warna beras Kwalitas beras Bentuk biji Aromatik/Tidak

: Hijau muda pada fase berbunga dan susu, kuning kemerahan saat panen : 27.5 gram : Merah : sedang : lonjong : aromatik

Hasil (per hektar) Gabah (Basah/Kering) : 5,2 ton/ 4,4 ton Jerami : 3,5 ton Karakter positif • Tahan lama/tidak mudah basi • Cocok untuk membuat bubur hitam • Tahan tanah berkadar garam tinggi • Waktu tanam pendek • Kaya serat dan beta karoten • Disukai oleh konsumen karena diakui sangat cocok bagi penderita sakit terutama penyakit diabetes, darah tinggi, dan asam urat • Bisa ditanam di lahan kering maupun basah

Hasil (per hektar) Gabah (Basah/Kering) : 3—4 ton / Ha Jerami : 8 -10 ton Karakter positif • Tahan terhadap penyakit tungro • Rasa nasi enak Karakter negatif Rentan terhadap penyakit BLB (Bacterial Leaft Blight)

Karakter negatif • Mudah rusak/terserang kutu ketika dalam bentuk beras • Rendemen lebih kecil dari beras biasa • Kulit ari berwarna hitam mudah terkupas saat proses penggilingan bila tidak dilakukan dengan hati-hati.

Oktober 2010

19


sekolah iklim

sekolah iklim

BAGIAN I Perubahan iklim sudah di depan mata. Bahkan petani di sejumlah daerah sudah merasakan efeknya. Entah berupa hujan ekstrim yang membanjiri lahan pertanian, atau kekeringan yang membuat tanaman gagal panen. Petani harus menyiapkan diri menghadapi kondisi iklim yang “tak menentu” ini. Salah satunya dengan meningkatkan kemampuan memakai informasi cuaca. Secara tradisional, petani dahulu bekerja dengan informasi iklim melalui hitungan tradisional seperti kalender musim pertanian pertanian atau pranata mangsa dalam bahasa Jawa. Namun hitungan tradisional ini kemungkinan besar tak lagi valid karena fenomena perubahan iklim. Petani harus mulai belajar memakai informasi cuaca yang disediakan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika agar bisa merencanakan musim tanamnya dengan baik. Rubrik “Sekolah Iklim” ini mencoba membagikan materi Sekolah Lapangan Iklim yang diterbitkan Direktorat Perlindungan Tanaman bersama dengan Institut Pertanian Bogor, dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Modul ini disusun oleh Rizaldi Boer, dosen Departemen Agro Meteorologi dan Geofisika IPB bersama tenaga penyuluh spesialis dari Dinas Pertanian Indramayu yaitu Srimulya, Endang Kirno, dan Suparmo. Informasi di rubrik ini bisa dijadikan pedoman dasar pelaksanaan SLI, khususnya untuk meningkatkan pemahaman petani tentang dinamika iklim, cara pengamatan dan pemanfaatan data iklim dalam mendukung kegiatan usaha tani mereka.

DINAMIKA HUJAN INDONESIA Bagian ini menjelaskan soal dinamika hujan di Indonesia, khususnya fenomena iklim global yang menimbulkan kejadian iklim seperti masalah banjir dan kekeringan. Bagian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman pemandu lapang tentang perilaku hujan di Indonesia sehingga dapat membantunya dalam berproses bersama petani selama pelaksanaan SLI Bagian ini terdiri dari: 1. Pola Iklim di Indonesia 2. Faktor Penyebab Terjadinya Iklim Ekstrim 3. Femonena ENSO dan Sifat Hujan Indonesia

1. Pola Iklim di Indonesia Indonesia secara umum memiliki tiga pola hujan yaitu monsoon, ekuatorial

dan lokal. Puncak musim hujan pola monsoon terjadi sekitar Desember/ Januari, pola ekuatorial memiliki dua puncak musim hujan yaitu sekitar Maret dan Oktober. Dan pola lokal memiliki puncak musim hujan sekitar Juli/ Agustus. Pola lokal merupakan kebalikan dari pola monsoon. Bila dilihat lebih jauh, pola monsoon dapat dibagi lagi menjadi dua tipe. Tipe pertama memiliki musim kemarau yang panjang (wilayah Indonesia bagian Timur, Lombok, dan Nusa Tenggara) dan tipe kedua musim kemaraunya lebih pendek (Jawa, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan). Daerah yang masuk tipe pertama lebih sering mengalami kekeringan dibanding tipe dua. Wilayah yang memiliki hujan dengan pola lokal umumnya ditemui di bagian timur ekuator (misalnya Maluku) sedangkan yang pola ekuatorial umumnya ditemui di wilayah Sumatra

Pola hujan di Indonesia (Sumber: Boer dan Subbiah, 2005) 20

Oktober 2010

bagian tengah dan utara di mana musim kemaraunya tidak begitu tegas (Gambar 1). Panjang musim hujan (MH) juga bervariasi mulai dari 80—300 hari sampai 10—110 hari. Demikian juga tinggi hujan MH juga beragam dari 641 mm sampai 4,115 mm. Wilayah dengan MH pendek atau musim kemarau (MK) panjang umumnya berada di wilayah Timur Indonesia. Wilayah Lombok Tengah dan Lombok Timur misalnya, memiliki panjang MK lebih dari 300 hari, di wilayah Lombok Utara sekitar 260 hari, di wilayah Sumba dan Flores termasuk Probolinggo-Jawa Timur serta Subang dan Indramayu-Jawa Barat panjang MK mencapai 250 hari. Daerah dengan MK terpendek ditemukan di wilayah pantai Timur Sumatra dan Jawa Barat bagian Tengah dan Selatan.

Pulau Jawa dan Sumatra memiliki iklim monsoon tipe kedua yang musim kemaraunya lebih pendek.

Daerah Timur Indonesia mengalami musim kemarau yang lebih panjang.

FOTO: Istimewa

FOTO: VECO Indonesia

Oktober 2010

21


jendela dunia

jendela dunia

Peran Tradisi Dalam

Pengelolaan Air di Himalaya Oleh: Nilhari Neupane dan Gopal Datt Bhatta

W

ilayah trans Himalaya terkenal sebagai padang pasirnya Nepal. Air adalah barang langka yang sejak dulu dikelola melalui norma dan kelembagaan lokal. Lokasi yang terpencil meminimalkan pengaruh pemerintah pusat di daerah ini. Meski model pengelolaan tradisional ini sudah berjalan puluhan tahun, perubahan dewasa ini membuat orang mulai bertanya-tanya apakah pendekatan ini akan lestari dalam jangka pajang. Mustang, adalah kabupaten paling terpencil di wilayah Trans-Himalaya. Bagian utara wilayah kabupaten ini berada di ketinggian 3800 meter di atas permukaan laut. Kondisi alamnya mirip dataran tinggi Tibet dengan bukit-bukit berwarna kuning dan abuabu yang tererosi angin. Curah hujan kurang dari 200 mm per tahun. Jadi, meski petani punya lahan luas, mereka hanya bisa menanam satu kali setahun karena kurangnya air. Dahulu, Mustang diperintah oleh raja lokal bernama Jigme Palwar Bista. Tetapi sejak tahun 2008, saat Nepal menjadi republik, peran raja berkurang menjadi pemimpin upacara adat. Raja sangat dihormati dan masih memainkan peran penting dalam pembagian air. Ini karena, sistem pembagian air berakar pada sistem kasta/kedudukan sosial yang membagi masyarakat menjadi kelas atas (pemerintahan) dan kelas bawah (pekerja). Lomanthang adalah salah satu desa di kabupaten ini. Seperti kebanyakan desa lain, desa ini memiliki satu komisi irigasi beranggotakan sembilan orang.

22

Oktober 2010

Kepalanya adalah raja lokal dan aktivitas harian dijalankan oleh koordinator yang disebut Ghempo. Lalu ada dua sekretaris (satu ditunjuk oleh raja dan satu lagi oleh Ghempo). Dan terakhir enam orang “Penyambung�. Ghempo adalah orang penting kedua setelah raja. Ia memegang wewenang mengatur air untuk irigasi dan pertanian. Segala perselisihan, perkelahian, atau perampokan dibawa ke Ghempo untuk diadili. Ghempo selalu berasal dari keluarga marga Bista. Mereka tidak digaji, tetapi mendapat 25% dari denda yang dijatuhkan. Sekretaris adalah orang penting ketiga. Hanya lelaki yang bisa baca tulis boleh mengisi posisi ini. Sebagai sekretaris Ghempo, tugas mereka mencatat semua hal terkait irigasi. Mereka juga bertanggungjawab mengurus keuangan komisi. Sekretaris tidak mendapat gaji, tetapi mereka tidak perlu menyumbang tenaga. Ghempo memilih enam Penyambung yang bertugas mengawasi kinerja irigasi. Mereka harus berada dekat dengan saluran irigasi selama air dialirkan, di waktu malam sekalipun. Jika terjadi pencurian air, mereka melaporkannya pada Ghempo. Begitu juga kalau mereka menemukan ternak yang merusak ladang, pemilik ternak akan dibawa ke Ghempo. Penyambung juga bertugas mengambil denda dari orang-orang yang kena hukuman. Penyambung tidak digaji tetapi menerima bagian dari uang denda yang mereka kumpulkan. Orangorang ini mau bekerja di Komisi Irigasi meski tidak digaji karena reputasi yang diperoleh dan mendapat prioritas jadwal pengairan.

Alokasi Air dan Budaya Lokal Sistem pembagian air yang efisien sangat dibutuhkan jika curah hujan sangat sedikit. Cara yang biasa dipakai di Kabupaten Mustang adalah undian. Ghempo akan mengocok dadu di hadapan Sekretaris, Penyambung, dan seluruh penduduk desa untuk menentukan urutan dan jadwal irigasi. Ghempo memiliki wewenang untuk mengubah urutan ini. Keluarga kelas atas dan anggota Komisi Irigasi biasanya mendapat prioritas dibanding penduduk kelas bawah. Prioritas pengairan juga tergantung dari jenis tanaman. Prioritas pertama diberikan pada gandum, barley, kemudian kacang polong, sorghum, mustard, dan kentang. Seluruh penduduk tahu bahwa gandum dan barley sangat sensitif terhadap kekeringan dan panen bisa gagal jika pengairan terlambat dilakukan. Selain itu gandum dan barley mendapat prioritas utama karena keduanya merupakan bahan pangan pokok di wilayah ini dan bahan pembuatan chhyang, minuman lokal yang sangat populer. Peran Komisi Irigasi lebih dari sekadar membagi air. Mereka juga berusaha meningkatkan efisiensi pemakaian air. Misalnya dengan mengalirkan air sesegera mungkin ke lahan berikutnya. Anggota komisi juga harus cepat tanggap dalam menjaga infrastuktur irigasi. Tanah berpasir yang mendominasi wilayah ini membuat saluran irigasi sering rusak. Jika ini terjadi, Penyambung akan mencoba memerbaikinya. Jika tidak berhasil Penyambung akan meminta semua penduduk untuk bekerja bersama

Progam penyediaan air bersih dari pemerintah atau lembaga donors sering mengabaikan norma tradisional dan merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk sejak lama. Padahal, banyak penelitian menunjukkan pentingnya tatanan sosial dan norma tradisional untuk mengelola kelestarian sumber daya alam.

memerbaikinya. Jika ada keluarga yang menolak, mereka harus membayar denda atau menanggung risiko dikucilkan oleh masyarakat.

Hubungan Tidak Setara Kritik terhadap model pengelolaan ini terletak pada hubungan tidak setara antara masyarakat kelas atas yang mengatur jalannya irigasi dan kelas bawah yang kebanyakan petani skala kecil. Argumen bantahan mengatakan bahwa masyarakat kelas bawah tergantung pada masyarakat kelas atas untuk mendapat makanan saat paceklik. Demikian juga soal tanah dan pinjaman uang. Saluran-saluran irigasi dibangun oleh kelas atas dan mereka juga masih bekerja untuk perawatan harian, membuat jadwal, dan membuka kerja sama. Jadi, adalah adil jika petani menyediakan tenaga kerja, sementara kelas atas menyediakan insfrastuktur dan uang yang diperlukan. Pada saat yang bersamaan juga ada suara-suara yang menuntut agar petani mendapat air lebih banyak agar pendapatan mereka meningkat, perlunya perubahan peran dan tanggung jawab di tingkat desa, serta diakomodasinya suara petani yang biasanya terpinggirkan. Pendapat ini muncul dari progam penyediaan air bersih yang dijalankan pemerintah atau lembaga donor. Namun mereka mengabaikan adanya norma tradisional dan dalam sekejap program-program ini merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk sejak lama. Padahal, banyak penelitian menunjukkan pentingnya tatanan sosial dan norma tradisional untuk mengelola kelestarian sumber daya alam.

Sistem pembagian air berakar pada sistem kasta/kedudukan sosial yang membagi masyarakat menjadi kelas atas (pemerintahan) dan kelas bawah (pekerja).

Tantangan lain yang dihadapi oleh Komisi Irigasi dikemukakan Amji Bista, seorang Ghempo di Lomanthang. Menurutnya, anak muda sekarang segan mematuhi aturan dan norma tradisional. Ia melihat makin banyak pelanggaran terhadap aturan main pembagian air yang berujung pada konflik. “Di masa lalu, sistem irigasi bisa berjalan baik karena ikatan sosial yang kuat dan kelompok-kelompok dalam masyarakat saling memahami satu sama lain,� kata Amji. Dulu tak ada yang berani melanggar peraturan, kini semua berbeda. Perubahan ini terjadi karena anak muda tak ingin melanjutkan profesi orangtuanya sebagai petani dan memilih pindah ke kota. Masuknya program pemerintah dan lembaga donor juga memicu perubahan ini.

Upaya Menyeimbangkan Sistem irigasi Lomanthang sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan berakar pada kondisi ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan yang unik. Sudah terbukti bahwa model pengelolaan ini sangat pas untuk kondisi lahan kering. Melalui strata sosial, terjadi pembagian peran dan tanggung jawab dalam masyarakat. Sayangnya perkembangan yang terjadi di Nepal belakangan ini mengecilkan peran penting dari strata sosial yang menjadi dasar sistem irigasi tradisional itu. Perlu adanya upaya menyeimbangkan kepentingan pemerintah dan lembaga donor yang ingin memerbaiki penghidupan petani kecil dengan sistem lama yang menjamin pembagian air. Karena pada akhirnya, petani tetap butuh air untuk mengairi lahannya.

Budaya dan Tradisi Bagi penduduk lokal, air adalah sumber daya simbolis dan fungsional. Selain untuk minum, mandi, dan irigasi, air juga memainkan peran penting dalam upacara adat. Banyak desa yang membangun stupa di dekat sumber air. Mereka juga menanam sejumlah tanaman yang dianggap keramat dan tahan kondisi teduh di sekitar mata air. Tujuan semua ritual ini adalah menjauhkan bencana kekeringan dari desa. Contoh nyata bagaimana budaya bekerja dalam pengelolaan air bisa dilihat saat festival Sakaluka. Acara ini dirayakan tiap Februari/Maret yang juga awal musim tanam. Di hari ini semua penduduk desa pergi ke lahan milik raja. Mereka mencangkul, memupuk, dan menanam bibit gandum. Raja dan ratu ikut serta dalam festival ini. Selanjutnya komisi irigasi dibentuk dan jadwal irigasi untuk tahun depan diumumkan. Saat itu seluruh desa siap menyongsong musim tanam berikutnya.

Oktober 2010

23


jendela dunia

jendela dunia

jumlah ternak, melakukan pengolahan produk pertanian, atau menanam lebih dari satu jenis tanaman. Alternative Indigenous Development Foundation (AIDFI) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Bacolod City, di pulau Negros, Filipina yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan petani skala kecil. Melihat dan mendengar tentang masalah air yang selalu dialami petani kecil, AIDFI memutuskan berkonsentrasi memenuhi kebutuhan petani untuk air minum dan irigasi.

perakitan pompa. Karena tenaga kerja dan bahan tersedia secara lokal, harga pompa ram menjadi murah. Sebelum memulai program pompa ram, AIDFI mengunjungi instalasi pompa lain untuk belajar dari kesalahan dan pengalaman mereka. Pompa ram yang dibuat AIDFI memakai engsel pintu biasa dan katup pengatur yang terbuat dari ban mobil. Cara kerja pompa ram buatan AIDFI mengadopsi cara kerja pompa ram yang sudah dikembangkan di negara lain. Mereka hanya mengubah bahan baku dengan yang tersedia di tingkat lokal. Pengembangan pompa ram di desadesa biasanya dimulai atas inisiatif perorangan atau melalui kerja LSM. Ada juga beberapa kasus di mana AIDFI lah yang memulai dengan mengadakan diskusi soal air di komunitas. Contoh pompa ram yang dibangun AIDFI atas permintaan penduduk bisa dilihat di Desa Murcia, Negros Occidental. Sementara di Anangue, AIDFI mengambil inisiatif dengan berdiskusi bersama pemimpin komunitas soal pentingnya organisasi pengelola air bersih yang demokratis dan independen.

Bekerja Dengan Pompa

Teknisi Lokal

POMPA RAM

Pompa Air Tanpa Bahan Bakar Oleh: Auke Idzenga

Karena gravitasi, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ini membuat penduduk pegunungan kadang sulit mendapat air. Artikel dari Filipina ini bercerita bagaimana teknologi pompa sederhana membantu penduduk pegunungan mendapat cukup air bersih.

H

idup di daerah pegunungan kadang sangat keras. Misalnya air bersih sulit didapat, ancaman erosi, tak ada listrik, dan jalan yang rusak. Untuk mengambil air misalnya, cukup makan waktu dan tenaga. Kadang, anakanak sampai harus bolos sekolah untuk membantu orang tua mereka mengambil air. Manula atau mereka yang sakit sehingga tak mampu berjalan jauh, harus membayar orang untuk mengambilkan air. Di Filipina, banyak petani skala kecil yang miskin tinggal di pegunungan. Karena air bersih harus diambil sejauh 100 meter dari pemukiman, konsumsi air minum mereka sangat terbatas. Hanya 40—60 liter sehari untuk satu keluarga berisi enam orang. Padahal kekurangan air menyebabkan banyak penyakit: penyakit kulit, diare, dan gizi buruk. Kurangnya air juga membatasi produksi pertanian. Pertanian lahan kering seringkali tergantung pada curah hujan. Ini membatasi masa tanam hanya satu kali setahun dan terbatas pada satu jenis tanaman saja. Kekurangan air ini juga membatasi kemungkinan meningkatkan

Karena gravitasi, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ini membuat penduduk pegunungan kadang sulit mendapat air. 24

Oktober 2010

Sejak 1990 AIDFI telah mencoba berbagai jenis pompa air. Kini yang menjadi andalan adalah Pompa Hidrolik Ram (selanjutnya disebut “Pompa Ram�). Pompa jenis ini memang kurang populer. Padahal jika dihitung dari investasi awal, biaya operasional, dan ketersediaan suku cadang, pompa ini adalah pilihan terbaik. Satu-satunya syarat untuk memakai pompa ram adalah adanya aliran air yang cukup deras di lokasi pompa. Ini karena pompa ram memakai tenaga aliran air untuk memompa air ke tempat yang lebih tinggi. Pompa ini sama sekali tidak memakai listrik atau bahan bakar seperti pompa air pada umumnya. Energi dari limpasan air setinggi satu meter, bisa memompa air sampai 30 kali lipatnya. Misalnya, dengan aliran air yang jatuh dari ketinggian 4 meter, pompa ram bisa menaikkan air sampai ketinggian 120 meter selama satu hari penuh. Kekuatan terbesar pompa ram terletak pada kesederhanaannya. Dalam mengembangkan pompa ram, AIDFI selalu menggunakan bahan dan suku cadang lokal. Program ini juga membantu membuka lapangan kerja di desa lewat kegiatan pembuatan dan

Selepas diskusi di Anangue, AIDFI mengundang penduduk desa untuk melihat demonstrasi cara kerja pompa ram. Langkah berikutnya mendirikan asosiasi air yang memainkan peran kunci dalam distribusi air, menetapkan contact person untuk AIDFI, dan penduduk desa yang akan menjadi teknisi lokal. Teknisi lokal ini digaji tiap bulan oleh asosiasi dan akan mempertanggungjawabkan perkerjaannya pada asosiasi. Uang gaji teknisi diambil dari iuran anggota. Besarnya gaji teknisi dan iuran anggota ditetapkan oleh asosiasi. Asosiasi juga mengatur besarnya persentase dari iuran yang terkumpul yang akan dipakai untuk biaya perbaikan/perawatan pompa dan pembelian suku cadang. Pelatihan teknisi lokal berjalan seiring dengan pembangunan instalasi pompa ram. Di Anangue, tim AIDFI merakit pompa ram selama 3—4 minggu.Teknisi lokal bekerja bersama tim pada periode ini. Mereka belajar cara mengoperasikan pompa, pemeliharaan, dan memerbaiki bila ada kerusakan. Teknisi lokal di beberapa desa dipilih dari orang-orang yang memiliki latar belakang teknik. Tapi ini bukan syarat mutlak dalam pemilihan teknisi.

Selalu Kurang Satu hal menarik yang AIDFI amati dari program air bersih ini adalah, air tak pernah cukup memenuhi kebutuhan penduduk desa. Kebutuhan penduduk selalu bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah air yang tersedia. Begitu pompa mulai bekerja, orangorang menemukan cara baru memakai air, sehingga meningkatkan permintaan akan air. Inilah alasan mengapa asosiasi perlu menjalankan aturan yang ketat guna menjamin pembagian air yang adil bagi semua anggota. Pemakaian air dari pompa ram yang terbanyak untuk keperluan irigasi. Jadi, distribusi dan pembagiannya harus dipastikan adil. Membuat jadwal pengairan dan peraturan internal adalah salah satu tugas terpenting asosiasi. AIDFI membantu asosiasi dalam merancang peraturan dan jadwal ini, tetapi tetap menjaga agar tidak mencampuri terlalu jauh.

Air Tetap tersedia Pompa air konvensional dan bendungan bisa memicu konflik antara komunitas karena cara kerjanya yang berpeluang membatasi komunitas lain untuk mendapat air. Misalnya komunitas petani di daerah hulu membendung atau menyedot aliran sungai sehingga petani di daerah hilir tidak kebagian air. Ini adalah isu penting yang harus dibicarakan di setiap diskusi yang melibatkan para pengguna air di daerah hulu dan hilir. Tidak seperti pompa air yang lain, pompa ram hanya memakai 5—40% dari total aliran air. Sisanya kembali ke badan air. Karena pompa ram sepenuhnya bergantung pada energi aliran air, maka penting untuk menjaga agar selama kemarau aliran air tetap tersedia. Jangan sampai aliran air mengering karena penduduk desa mengambil air terlalu banyak dari bendungan atau sungai. Dengan pompa ram, air tetap tersedia bagi penduduk yang tinggal di sekitar aliran air, bahkan sampai di dataran yang terendah. Ini memungkinkan pembangunan beberapa pompa ram di sepanjang aliran air. Contohnya di Murcia, ada satu sistem pompa ram yang memakai 4 pompa, 11 kilometer pipa, dan memanfaatkan satu aliran air. Sistem ini melayani sejumlah desa, yang masing-masing memiliki satu penampungan air, sejumlah keran,

Bahan-bahan pembuat pompa ram, diusahakan berasal dari mateial yang mudah didapat di desa. dan satu katup pengatur. Satu asosiasi air mengatur sistem yang bekerja di sejumlah desa ini dan menerapkan aturan main dengan ketat. Misalnya penduduk desa hanya diperbolehkan membuka keran untuk mengambil air pada waktu tertentu yang sudah dijadwalkan dan disepakati bersama.

Menyebarkan Keberhasilan AIDFI terus mengembangkan kapasitas produksi dan instalasi pompa ram. Kegiatan ini meliputi 90% dari total aktivitas AIDFI. Beberapa tim instalasi telah bekerja ke pulau-pulau lain di Filipina, bersama petani-petani, kelompok petani, koperasi, LSM besar dan kecil, serta pemerintah. Kelebihan pompa ram juga sudah sampai ke luar negeri. Ini membuat AIDFI aktif bekerja di Afganistan, Kolombia, dan Nepal. Di Kamboja kami bekerja dengan LSM lokal untuk membuat sistem air minum di Koulen, sebuah desa di pegunungan. Seluruh tahapan pekerjaan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Filipina. Satu-satunya perbedaan adalah wanita terlibat dalam pembangunan pompa, sementara di Filipina, tahapan ini dikerjakan oleh pria saja.

Auke Idzenga Teknisi kelautan yang menetap di Filipina sejak 1985. Tahun 1991 membantu mendirikan AIDFI. E-mail: aidfi@hotmail.org www.aidfi.org

Oktober 2010

25


info & teknologi

info & teknologi

Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan

Parit/Kolam Respan

Bagi Penyediaan Air Bersih, Pencegahan Banjir, dan Kekeringan

C

urah hujan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 2.000—4.000 mm/tahun. Tapi ternyata masyarakat Indonesia tak bebas dari krisis air. Krisis air bersih yang terutama terjadi di wilayah-wilayah terpinggirkan dan krisis banjir yang melanda kota besar. Sebenarnya, air hujan yang melimpah ini bisa dipanen. Pemanenan air hujan bertujuan untuk mengurangi ketimpangan air pada musim hujan dan kemarau, menambah pasokan air bersih bagi penduduk, serta mencegah banjir dan kekeringan.

2. Sumur Resapan Sumur resapan dibuat untuk meningkatkan resapan air hujan ke dalam tanah pada areal terbuka. Sumur resapan dapat diterapkan di mana saja. Perkantoran, tempat rekreasi, tempat olahraga, ruas-ruas jalan, dan lapangan terbang. Perlu diingat, sumur resapan hanya untuk air hujan, tidak untuk memasukkan air limbah rumah tangga. Sumur resapan perlu dilengkapi dengan bak kontrol untuk mengendapkan

sedimen sebelum air hujan masuk ke dalam sumur resapan. Konstruksi dan kedalaman sumur resapan harus disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Sumur resapan dapat dibuat pada daerah landai (kemiringan < 20%). Pada kemiringan lebih dari itu perlu dikonsultasikan dengan ahli geologi. Tidak disarankan membuat sumur resapan pada lokasi rawan longsor.

Tampungan Vertikal

Berikut dipaparkan beberapa metode untuk memanen air hujan.

1. Kolam Pengumpul Air Hujan Kolam pengumpul air hujan berfungsi menampung air hujan yang jatuh dari atap bangunan (rumah, gedung perkantoran, atau industri) yang disalurkan melalui talang. Kolam pengumpul air hujan dapat dibangun/ diletakkan di atas permukaan tanah atau di bawah bangunan/rumah/teras, yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan. Jepang telah mengembangkan metode memanen air hujan dengan membuat kolam tando di bawah jalan raya (highway). Drainase jalan tidak dibuang ke sungai, melainkan ditampung di bawah konstruksi jalan tersebut. Air hujan yang ditampung bisa dipakai untuk pemeliharaan jalan dan menyiram tanaman peneduh di sepanjang jalan. Dapat juga digunakan sebagai air bersih dengan fasilitas penjernihan yang memadai.

3. Parit Resapan Parit resapan dapat dibuat pada areal pertanian (sawah maupun tegalan) dan pekarangan. Parit resapan dibuat menyesuaikan dengan kontur lahan, terutama untuk derah yang relatif datar (kemiringan < 20%). Dengan parit resapan maka air hujan yang jatuh di areal pertanian/pekarangan dapat ditampung dan diresapkan ke dalam tanah. Di pekarangan rumah, parit resapan (kolam) umumnya dibuat di samping atau belakang rumah, disesuaikan dengan kondisi rumah dan bentang lahan. Di sekeliling parit resapan pekarangan perlu ditanami tanaman produktif dan perlu dibuat pagar pembatas demi keamanan anakanak. Parit resapan dapat digunakan sekaligus untuk membudidayakan ikan dan mencegah perkembangan nyamuk.

Parit resapan pada areal pertanian.

Parit/Kolam Respan

Panen Air Hujan Lewat Pelestarian Alam

Kolam tampungan vertikal dan sumur resapan.

Tampungan di Jalan Raya

Air hujan juga bisa dipanen dengan cara melestarikan badan air alami. Misalnya pemulihan fungsi danau, telaga, atau situ dengan cara memerbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan daur air penyusun danau, telaga, dan situ. Hutan dan tanaman juga berfungsi sebagai pemanen air hujan. Dengan memperbanyak tanaman maka sebagian volume air hujan akan ditampung pada daun dan diikat oleh akar tanaman dalam tanah. Karena itu penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengusahakan suatu kawasan/wilayah khusus menjadi daerah peresapan air hujan. Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunya peresapan tinggi dan bebas kontaminasi polutan.

Parit resapan di pekarangan.

(Disarikan dari Buku Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir, dan kekeringan, ditulis oleh Agus Maryono dan Edy Nugroho santoso. Diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, tahun 2006)

Kolam tampungan air hujan pada jalan raya. 26

Oktober 2010

Oktober 2010

27


tip pertanian

tip pertanian

Mengendalikan Keong Pada Budi Daya Padi berpola SRI Pada budi daya padi berpola SRI, keong sering memakan bibit padi muda. Berikut kiat mengendalikannya: 1. Lahan dibiarkan macak-macak (sedikit basah) 1—2 hari sebelum tanam. Tidak boleh ada air yang tergenang. Kondisi ini membuat keong masuk ke dalam tanah dan tidak naik ke permukaan. 2. Dua minggu setelah tanam, lahan diairi tapi hanya satu hari saja. Tujuan pembasahan ini untuk memicu tumbuhnya rumput muda, setelah itu air dikeringkan lagi. Lahan tidak boleh direndam air lebih dari sehari karena keong akan naik ke permukaan tanah. Setelah air dikeluarkan, semprot lahan dengan pupuk organik cair. 3. Setelah sebulan, lahan kembali diairi selama 2—3 hari. Pada kondisi ini, keong akan naik. Namun, keong tidak akan makan padi lagi karena batang padi sudah tua dan keras, sehingga keong lebih memilih makan rumput muda.

Usaha Tani Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

(Kiriman Yeremias, Kelompok Tani Anayalo, Persawahan Mbay, Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur, telp. 081332774809)

Manfaat Telur Keong Mas untuk Pertumbuhan Padi Selama ini keong mas (Pomacea canaliculata) menjadi musuh petani karena merusak padi. Namun petani di Kelompok Swadaya Masyarakat Melati, Batu Onom, Kec. Siantar, Kab. Simalungun, Sumatera Utara—binaan Pelayanan Pembangunan (Pelpem) GKPS—justru menemukan manfaat dari keong ini. Telur keong mas mereka manfaatkan untuk membuat zat perangsang tumbuh (ZPT) untuk padi sawah dan tanaman hortikultura lainnya. ZPT yang dibuat dari telur keong mas dapat merangsang pertumbuhan tanaman, khususnya bunga, daun, serta anakan bagi padi sawah. Untuk menghasilkan + 5 liter ZPT dibutuhkan bahanbahan berupa telur keong mas sebanyak 1 kg, gula pasir 1 kg, EM4 sebanyak 1 liter, air cucian beras 2 liter, sambiloto (simarpaet-paet) sebanyak 0,25 kg, dan air 4 liter. Proses pembuatannya: haluskan telur keong mas, lalu hasil saringannya dicampur dengan larutan gula dan EM4 dalam wadah yang berisi 2 liter air bersih. Campuran tersebut difermentasikan selama 7 hari. Setelah mengaduknya setiap pagi, ZPT keong mas sudah siap pakai. Untuk menambah khasiatnya, ZPT dapat ditambahkan hasil rebusan sambiloto dalam 3 liter air. Dalam kondisi normal, semprotkan ZPT dengan dosis 5 cc/liter air dan 3 cc sambiloto sejak padi berumur 7 hari setelah ditanam. Penyemprotan dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai berumur 60 hari atau disesuaikan dengan kondisi tanaman.

28

Oktober 2010

(Kiriman Jhon Lenon Sipayung, Pelpem GKPS, Jl. Pdt. J. Wismar Saragih No. 73, P.O. Box 100, Pematangsiantar, Sumatera Utara, e-mail: sipayungjhonlenon@yahoo.co.id

Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) adalah sumber pangan bergizi tinggi yang setara daging dan ikan. Kandungan nutrisi jamur tiram per 100 gram adalah protein 10,5—30,4%, karbohidrat 56,60%, lemak 1,7— 2,2%, dan serat 7,5—8,7%. Di Indonesia yang banyak dikembangkan adalah jamur tiram putih. Jamur tiram diproduksi tanpa pupuk dan pestisida. Jamur ini tumbuh dengan memanfaatkan unsur hara pada kayu yang menjadi medianya. Jamur ini mudah dibudidayakan, tidak perlu lahan luas, teknologinya sederhana, dan masa produksinya relatif lebih cepat sehingga waktu panen lebih cepat. Cara Budi Daya Jamur Tiram Putih Dalam pembuatan media tanam untuk pembiakan jamur tiram ada dua komposisi formulasi standar. 1. Serbuk gergaji kayu albesia (kurang lebih 2 kg), bekatul 16%, tepung jagung 4%, CaC03/kapur 1%, tetes tebu/molase 1%, dan air 60—70% (adonan tidak pecah bila dikepal). 2. Serbuk gergaji kayu albesia 78%, katul padi 20%, CaC03 1%, tetes 1%, dan air 60—70% (adonan tidak pecah bila dikepal). Kapasitas kantong plastik untuk media tanam adalah 1.000 gr dan harus tahan suhu sterilisasi. Pengisian kantong plastik dengan campuran formulasi harus padat, agar bibit yang ditanam dapat menjalar merata. Kantong berisi media kemudian disterilisasi dalam ruang penguapan selama 4—5 jam pada suhu 100—110 ˚C. Kemudian didiamkan 24 jam. Kantong media siap ditanami bibit jamur. Cara penanaman dengan menusuk media tanam sedalam 7—10 cm dengan alat tusuk dari bambu yang dibuat lancip dan steril, kemudian bibit dimasukkan dalam media tanam. Selanjutnya kantong ditutup kembali dengan kertas dan diikat dengan karet supaya rapat. Selanjutnya kantong media diletakkan di ruangan inkubasi. Ditata pada posisi berdiri (vertikal) dalam ruangan bersuhu 26—29°C, dan ditunggu 4—8 minggu sampai muncul benang-benang putih pada media tumbuh. Jika benang ini sudah tumbuh rata menutupi permukaan kantong media, kantong media bisa dipindahkan ke rumah jamur. Penumbuhan dan pemeliharaan jamur tiram selanjutnya dilakukan di rumah jamur. Rumah jamur harus bersuhu 22—26 ˚C dan kelembaban 80—90%. Kebutuhan cahaya dalam rumah jamur sekitar 40 lux (tidak boleh gelap dan sinar matahari menyebar ke

seluruh bagian rumah jamur). Perlu sirkulasi udara yang lancar guna menjamin pasokan oksigen. Untuk itu, dinding rumah jamur sebaiknya dibuat dari anyaman bambu dan diberi ventilasi/jendela. Perhitungan Usaha Tani Waktu budi daya jamur tiram putih sekitar 4—5 bulan. Berdasarkan Data Budi Daya Jamur Tiram (jenis Florida) BPTP Jatim pada Juni—Desember 2009: bila jumlah kantong media yang dipelihara 2.000 buah, dengan bobot per kantong 1.2 kg, akan diperoleh total produksi 1.200 kg. Asumsinya setiap kantong memperoleh hasil minimum, yaitu 0,50 kg. Jumlah ini sudah dikurangi risiko kegagalan. Bila modal per kantong Rp 2.100, total modal 2.000 kantong adalah Rp 4.200.000. Harga jamur tiram putih di tingkat petani saat ini sekitar Rp 7.000—8.000/kg, sehingga penerimaan petani Rp 9.000.000. Jadi, laba bersih petani adalah Rp 4.800.000/ musim. Keuntungan tersebut belum termasuk modal tetap seperti pembuatan rumah jamur. Apabila petani memelihara sekitar 3.000–5,000 kantong, dengan luas lahan sekitar 50 m2, biaya produksi akan lebih efesien, sehingga keuntungan yang diperoleh lebih menarik.

(Kiriman Amik Krismawati dan Wigati Astuti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km. 4 Malang, Jawa Timur, telp. 0341- 494052

Oktober 2010

29


indonesia dalam berita

indonesia dalam berita

Target Perikanan Budi Daya Sulit Terwujud Hingga semester pertama tahun 2010, jumlah produksi perikanan budi daya baru mencapai 2,25 juta ton atau 41,8% dari target 5,38 juta ton. Sementara, produksi perikanan tangkap sebesar 3,88 juta ton atau masih 72,11%. Padahal, pemerintah sudah mencanangkan akan menggenjot produksi perikanan budidaya hingga 353 persen sampai dengan tahun 2014, yakni mencapai 16,89 juta ton. Minimnya pencapaian produksi perikanan budi daya diakui Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Menurutnya, produksi perikanan budi daya belum optimal karena anggaran paket wirausaha perikanan lamban cair. Tahun 2010, pemerintah menganggarkan dana stimulus sebesar Rp 184,4 miliar untuk pemberian 2.410 paket wirausaha budi daya perikanan. Paket itu berupa bantuan benih, pakan, dan pembuatan kolam senilai Rp 6—17,5

Jadikan Inovasi dalam Industri sebagai Pendorong Keanekaragaman Pangan

juta per paket. Namun, dana yang bersumber dari realokasi anggaran pada internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu belum juga cair sampai pertengahan Oktober. Sementara itu, berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), realisasi serapan anggaran KKP untuk perikanan budi daya hingga Agustus 2010 baru mencapai 40,44 % dari total anggaran Rp 522 miliar. Di tingkat kabupaten/kota, serapan anggaran bahkan hanya sekitar 15 %. Menurut Riza Damanik Sekretaris Jenderal Kiara, rendahnya penyerapan anggaran perikanan budi daya tersebut menunjukkan pengelolaan anggaran di KKP masih lemah. Rendahnya penyerapan anggaran dikhawatirkan berdampak pada kegagalan program revitalisasi perikanan budidaya dan berpotensi menimbulkan peruntukan yang tidak tepat sasaran demi mengejar target serapan anggaran dalam sisa waktu empat bulan tahun ini. Sumber: Harian Kompas, 25 Oktober 2010

Curah Hujan Tinggi Sampai April 2011 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan sejumlah lembaga lain seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI), Columbia University (Amerika Serikat), memperkirakan curah hujan tinggi di hampir sebagian besar daerah di Indonesia akan terjadi sampai tahun depan. Peluang sampai Februari-Maret-April 2011 sebesar 82 %, bahkan sampai Maret-April-Mei 2011 (62 %). Kepala sub bidang cuaca ekstrem BMKG Pusat, Kukuh Ribudianto mengatakan, kondisi ini merupakan anomali atau kelainan dari kondisi biasanya. Panjangnya musim hujan disebabkan oleh fenomena La Nina. Genangan air berlebihan akibat hujan berlebih akan meningkatkan peluang rawan banjir di persawahan menjadi 3 % dan peluang puso (biji hampa) sampai 14 %. Ini adalah ancaman serius bagi sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Sudah sejak lama disadari betapa tergantungnya orang Indonesia dengan beras. Berbagai upaya sudah dirintis, baik oleh pemerintah, LSM, sampai inisiatif perorangan untuk mendorong penganekaragaman pangan. Sebenarnya, Indonesia punya jagung, ubi, singkong, sagu dan banyak bahan pangan karbohidrat lain yang bisa menggantikan beras. Masalahnya, bahan-bahan tadi tidak diolah secara khusus. Biasanya cara konsumsinya sebatas direbus atau dibakar. Karena itu, diharapkan industri pangan melakukan inovasi dalam pengolahan bahan pangan alternatif. Harapannya dengan pengolahan itu, lebih banyak orang mau beralih ke pangan nonberas. Guru Besar Ekonomi dan Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor Endang Gumira Sa’id mengatakan bahwa agar produk pangan olahan bisa diterima pasar, harus ada inovasi yang menghasilkan beragam produk pangan olahan sehingga rasanya diterima secara universal, memiliki kekhasan, praktis, menarik dilihat, dan menggoda untuk disantap. Industri perlu dilibatkan dalam penganekaragaman pangan,

karena usaha ini sebenarnya bisa mendatangkan profit. Pasar juga belum digarap baik. Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Mulyono Machmur mengatakan, berkaca dari sukses menjadikan gandum sebagai substitusi nasi, ada keterlibatan industri

makanan dalam pengembangannya. Begitu industri pengolahan makanan berbasis gandum masuk, berbagai inovasi produk pangan olahan diciptakan, termasuk di antaranya mi instan. Ini terjadi karena industri mampu mengolah gandum menjadi tepung terigu, yang kemudian bisa dijadikan sebagai bahan dasar beragam jenis makanan olahan. Model seperti inilah yang harus diadopsi dalam mengembangkan pangan nonberas. Bagaimana menciptakan kemasan yang praktis, mudah dihidangkan, dan harganya murah karena dibuat dalam skala besar mendorong. Jika semua ini terpenuhi, tak mustahil masyarakat akan ramai-ramai beralih ke singkong, jagung, ubi, dan sagu. Sumber: Harian Kompas, 14 Oktober 2010.

Untuk itu, pemerintah semestinya bersungguh-sungguh mempersiapkan ketersediaan penyuluh pertanian yang kompeten untuk membantu petani. Penyuluh pertanian pun tidak sekadar menunjuk orang untuk memberikan pengarahan kepada petani. Sebab, ada anekdot bahwa petani justru lebih pintar daripada penyuluh. Penyuluh juga perlu dibekali kemampuan serta akses perkembangan informasi cuaca dan teknologi Disarikan dari berbagai sumber.

30

Oktober 2010

Oktober 2010

31


bijak di rumah

bijak di rumah

Fortifikasi Minyak Goreng:

Vitamin A Alami Diganti Sintetik Pemerintah mewajibkan penambahan vitamin A pada minyak goreng yang beredar di pasaran. Sekilas kebijakan ini seolah berpihak pada kesehatan konsumen. Benarkah demikian?

32

Oktober 2010

S

ampai pertengahan tahun’70an, masyarakat kita lebih banyak memakai minyak kelapa untuk memasak. Kelapa ini berasal dari perkebunan rakyat. Sayang, kebanyakan kebun kelapa rakyat tidak dipelihara secara intensif. Akibatnya, terjadi penurunan produksi. Awal tahun ’70-an sempat terjadi krisis minyak kelapa. Dari sinilah minyak kelapa sawit mulai memasuki pasaran. Kini, minyak goreng dari kelapa sawit mendominasi pasar. Salah satu kunci suksesnya minyak sawit menggantikan minyak kelapa adalah warna minyak sawit yang bening-kuning keemasan. Ini tak beda jauh dengan warna minyak kelapa yang bening-kuning pucat. Dengan begitu masyarakat tak terlalu “kaget” dan mau beralih ke minyak sawit.

Penghancuran Karotenoid Tahukah Anda, untuk menghasilkan warna minyak sawit yang demikian, ada proses penghancuran karotenoid provitamin A yang sedemikian parah? Warna buah kelapa sawit adalah oranye kemerahan. Karena itu, warna asli minyak kelapa sawit juga oranye kemerahan. Warna ini berasal dari kandungan karotenoid provitamin A yang sangat kaya dalam buah kelapa sawit. Sekitar 500 mg/kilogram kelapa sawit. Untuk menghasilkan warna minyak sawit yang bening-kuning keemasan, karotenoid provitamin A minyak sawit dihancurkan semua. Hilang sudah sumber vitamin A yang berharga. Padahal, dengan mengkonsumsi minyak sawit merah satu sendok makan per keluarga setiap hari atau setengah sendok teh per orang per hari sudah

mencukupi kebutuhan akan vitamin A. Apakah konsumen sadar bahwa khasiat minyak sawit merah yang harganya hanya Rp 7.000 per liter setara dengan minyak buah merah asal Papua yang harganya Rp 500.000 per liter? Apakah konsumen sadar bahwa nilai vitamin A dalam satu sendok teh minyak sawit merah setara dengan setengah ons wortel? Sungguh kita sudah menyia-siakan karunia alam yang sangat berharga.

Fortifikasi: Alami Diganti Sintetik Untuk mengatasi masalah kekurangan vitamin A di Indonesia, pemerintah mewajibkan produsen untuk menambahkan vitamin A ke dalam minyak goreng. Dari mana sumber vitamin A tambahan ini? Tentunya bukan dari sumber alami, melainkan sintetik. Penambahan vitamin A ini sangatlah tidak wajar dipandang dari beberapa segi. Pertama, provitamin A alami yang amat banyak dirusak semua lalu diganti dengan vitamin A sintetik. Kedua, untuk menghasilkan karotenoid provitamin A yang begitu banyak, kelapa sawit menguras zat hara dan air yang banyak pula dari alam. Jika manfaatnya tidak digunakan, akan sia-sia dan

“Karotenoid provitamin A adalah zat, yang di dalam usus kita akan diubah menjadi vitamin A yang berperan penting menjaga kesehatan mata dan kulit.” kesetimbangan alam akan terganggu. Ketiga, cadangan devisa yang harus terbuang untuk mengimpor vitamin A sintetik.

Artikel ditulis berdasarkan wawancara dan materi yang diberikan oleh Ibu Fransisca Rungkat, dosen Teknologi Pertanian IPB yang meneliti minyak kelapa sawit. Ibu Fransisca bisa dihubungi di e-mail

Hitung-hitungan Tahun 2009, Indonesia memproduksi 19,2 juta ton kelapa sawit. Jika kandungan karotenoid provitamin A adalah 500 mg per kilogram kelapa sawit, maka jumlah provitamin A yang dirusak sama dengan 9.600 ton di tahun 2009 saja. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin A 66 milyar anak-anak, atau 30 milyar orang dewasa per tahun. Dengan asumsi, kebutuhan anak-anak dan orang dewasa akan vitamin A sebesar 400 dan 900 mcg/orang /hari (standard WHO dan FAO).

Oktober 2010

33


advokasi

advokasi

Komite DAS Lamasi

Inisiatif Lokal Kelola Daerah Aliran Sungai Di banyak daerah, sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat setempat. Namun, banyak sungai tidak dikelola dengan baik oleh seluruh pihak yang memanfaatkannya, sehingga rusak. Komite DAS Lamasi adalah contoh inisiatif lokal menuju pengelolaan daerah aliran sungai yang lestari.

Berita terbentuknya Komite DAS Lamasi di media massa setempat.

34

Oktober 2010

D

engan kondisi alam Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, yang berkelimpahan air, seharusnya tak ada masyarakat yang kesulitan mendapat air. Namun kenyataannya tidak demikian. “Tidak semua masyarakat dapat menikmati air bersih. Selain itu, banyak petani tidak memperoleh cukup air irigasi untuk budi daya pertanian mereka,” kata Hisma Kahman, Koordinator Program Air Perkumpulan Bumi Sawerigading (PBS). PBS adalah LSM setempat yang bekerja untuk advokasi keadilan air bagi seluruh lapisan masyarakat. Sungai Lamasi adalah sumber air yang cukup penting bagi Kabupaten Luwu, utamanya bagi Kecamatan Walenrang dan Lamasi. Jadi, banyak pihak terlibat dalam pemanfaatan Sungai Lamasi. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Selain itu, pemanfaatan yang tidak bijak akan merusak kondisi sungai. Seperti adanya pergeseran fungsi dan fisik sungai atau masalah

luapan air dan kekeringan yang bisa mengganggu perekonomian masyarakat setempat. Kompleksnya masalah masih ditambah dengan penambangan galena di sekitar hulu Sungai Lamasi yang dikhawatirkan akan mencemari sungai.

Pengelolaan Terpadu Untuk mengelola satu sungai agar lestari, pertama-tama harus disadari bahwa sungai merupakan sebuah sistem yang meliputi aliran dari hulu (sumber air) sampai hilir (muara). Jadi, pengelolaan tidak cukup jika dilakukan hanya di beberapa lokasi di aliran sungai saja. Pengelolaan harus dilakukan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Beberapa LSM mencoba mengembangkan model pengelolaan DAS yang disebut “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu” (Integrated River Basin Management; IRBM) yang lalu dimodifikasi menjadi “Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu” (Integrated Water Resource Management; IWRM). Tujuannya untuk membangun sebuah sistem yang memungkinkan masyarakat bisa hidup dan bekerja di sebuah wilayah tangkapan air dan daerah aliran sungai.

Pertemuan Komite DAS Lamasi,melibatkan berbagai unsur seperti petani,pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat Selain itu, karena sungai mengalir melewati beberapa daerah, ada banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan sungai tersebut. Perlu juga dipertimbangkan pendekatan negosiasi antara pihak-pihak terkait agar tidak saling merugikan dan bisa bekerja sama menjaga kelestarian sungai. Ini terutama untuk memberi kesempatan bagi pihak yang selama ini terpinggirkan (seperti masyakarat kecil, petani) agar didengar suaranya dan diakomodasi kepentingannya.

Komite DAS Lamasi Pendekatan ini yang coba digunakan untuk mengelola DAS Lamasi agar lestari. Pemerintah Kabupaten Luwu yang diwakili oleh empat lembaga pemerintahan bekerja sama dengan beberapa LSM (seperti Perkumpulan Telapak, Perkumpulan Bumi Sawerigading (PBS), dan Yayasan Ulayat Bengkulu) membentuk satu komite independen untuk pengawasan pengelolaan DAS Lamasi. Komite ini bernama Komite DAS Lamasi (KDL). Wakil Bupati Luwu, Syukur Bijak, SE mewakili Bupati Luwu H.Andi Mudzakkar, melantik pengurus komite tersebut untuk bekerja sesuai fungsi dan tugas pokok dari lembaga itu pada 7 Juli 2010. KDL yang beranggotakan 11 orang ini merupakan komite independen

pengawas pengelolaan DAS pertama di Indonesia. KDL dibentuk berdasarkan Perda DAS Lamasi No. 9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Wilayah DAS Lamasi. Anggota KDL terdiri dari perwakilan empat lembaga pemerintahan, yakni Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, dan Dinas Pertambangan, serta tujuh orang dari LSM. Tugas pokok KDL terbagi atas dua hal, yakni melakukan komunikasi dengan publik dan menjalankan fungsi-fungsi strategi dalam pengelolaan sumber daya air. Salah satunya yaitu menjadi wadah koordinasi dalam pengelolaan sumber daya air di DAS Lamasi dan bekerja sama dengan Kabupaten Toraja dan Luwu Utara. KDL juga akan melakukan koordinasi dengan Dewan Sumberdaya Air Provinsi (DSDAP) dan Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN). KDL akan melaporkan temuan di DAS Lamasi langsung kepada Bupati Luwu. “Anggota komite ini dipilih berdasarkan kompetensi dan keterwakilan seluruh pihak di DAS Lamasi melalui sebuah tim seleksi,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Antonius Dengen. Perekrutan anggota KDl sendiri dilakukan secara transparan dengan memasang iklan lowongan di koran dan adanya uji kompetensi. Harapannya, dengan melibatkan masyarakat lokal yang

memang memiliki kepentingan terhadap Sungai Lamasi, maka pengelolaan DAS Lamasi bisa berjalan dengan baik.

Capaian dan Tantangan Terbentuknya KDL merupakan satu langkah maju. Karena ini merupakan payung hukum dalam melestarikan ekosistem dan kelestarian lingkungan DAS Lamasi. KDL juga melibatkan pemangku kepentingan baik dari organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah sebagai representatif keterwakilan masyarakat. Tantangan ke depannya adalah meningkatkan keterampilan managerial dan negosiasi dari KDL. Selain itu perlu juga dikembangkan model-model insentif bagi pihak-pihak yang melakukan pengelolaan DAS dengan baik agar lebih banyak pihak mau mengelola DAS agar lestari. oleh ituliskan Artikel d N PETA I Majalah Redaksi ncara an wawa berdasark asari, k ti ri Mus S a it ak, R n Air Telap denga Program r Bob to n a a in ti Koord ari Chris d s li tu r i te er informas an Sumb gota Dew g n (A tu a e kil K a Purb ional, Wa s a N yBoy ir A Daya k), Denn n Telapa la P u p m k u untu CD Perk f Telapak ta dan (S i, n s a ra h m Moc DAS La A ERD P ), ak.org. IWRM NA ww.telap w ri a d it rka berita te

Oktober 2010

35


silakan kontak

RAIN - Raiwater Harvesting Implementation Network TELAPAK Gd. Alumni IPB Lt. 1, Jl. Pajajaran No. 54 Bogor 16243, Jawa Barat Tel. +62 251– 8393245, faks. +62 251– 8393246, e-mail : air@telapak.org, http://www.air.telapak.org Telapak adalah perkumpulan aktivis lembaga swadaya masyarakat, praktisi bisnis, akademisi, afiliasi media, dan masyarakat adat. Telapak bekerja bersama dengan masyarakat adat, petani, dan nelayan di Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan. Telapak menawarkan sebuah paradigma baru pemanfaatan dan konservasi sumber daya air di Indonesia, yaitu pertama: air sebagai hak dasar setiap warga negara; kedua: pengelolaan sumber daya air yang lestari secara ekosistem; ketiga: pengelolaan sumber daya air yg berbasis pada inisiatif dan kebutuhan komunitas setempat. Telapak mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya air terintegrasi melalui pendekatan negosiasi (negotiated approach). Pendekatan negosiasi menekankan adanya kebutuhan desain pembentukan kebijakan, yang fokusnya memasukkan kelompok-kelompok kunci, yaitu aktor lokal, sebagai pelaku sesungguhnya dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan terlibat di setiap tahapan pembentukan kebijakan. Cara kerja pendekatan ini dimulai dari tingkat lokal sehingga memungkinkan masyarakat pengguna air langsung menetapkan sendiri keperluan dan prioritasnya, serta menegosiasikan kepentingan ini dengan para pihak terkait lainnya. Tim Air Telapak, membuka peluang kepada sebanyak mungkin publik untuk berpartisipasi memberi masukan dan mengkritisi kondisi pengelolaan sumber daya air di Indonesia, melalui formulir “surat pembaca� yang bisa didapat di website.

WCA infoNET Sebuah system penyebarluasan informasi dan pengetahuan tentang pelestarian air dan pemanfaatannya dalam pertanian. Faks. +39 06 570 56275, e-mail: wcainfonet@fao.org, http://www.wca-infonet.org/ Merupakan sebuah sistem informasi terpadu berbasis internet yang menggabungkan sumber informasi berkualitas dan kepakaran. WCA infoNET memberikan akses langsung pada beragam publikasi, dokumen, data, program komputer, dan diskusi guna menyediakan informasi, dukungan, serta kebutuhan kerangka global bagi pengambilan keputusan terkait pelestarian air dan pemanfaatannya dalam sektor pertanian. 36

Oktober 2010

c/o. Donker Curtiusstraat 7-523 1051 JL Amsterdam The Netherlands Tel. +31 20 5818 270/250, Faks. +31 20 6866 251, e-mail: info@rainfoundation.org, website: www.rainfoundation.org RAIN adalah sebuah jaringan internasional yang bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap air bagi kelompok-kelompok masyarakat rentan di negaranegara berkembang, khususnya perempuan dan anakanak, dengan cara mengumpulkan dan menyimpan air hujan dalam tangki air ataupun sumur. Misi RAIN adalah meningkatkan akses air untuk keperluan domestik di tingkat masyarakat di seluruh dunia, melalui penyebarluasan: 1) pelaksanaan proyek pemanenan air hujan lokal; 2) pengembangan dan peningkatan kapasitas pada pusat pelatihan pemanenan air hujan; serta 3) berbagi pengetahuan terkait kerja-kerja RAIN. RAIN menyediakan dana bagi implementasi proyek pemanenan air hujan skala kecil, melalui organisasi-organisasi lokal. Saat ini RAIN sedang melaksanakan proyek di Nepal, Burkina Faso, Mali, Senegal, dan Ethiopia. RAIN berencana meluaskan proyeknya ke Asia dan subSahara Afrika dalam waktu dekat ini.

Pustaka Agraria The Library on Indonesia Agrarian-Enviromental Studies http://pustaka-agraria.org Pustaka Agraria merupakan layanan perpustakan elektronik (e-library) yang seluruh koleksinya dapat dibrowsing melalui internet, dan sebagian materinya dapat diunduh secara online (di bagian repository). Koleksi utama Pustaka Agraria ini adalah Perpustakaan SAINS (Sajogyo Institute) yang mengelola perpustakaan pribadi Prof. Dr. Sajogyo dan Perpustakaan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta. Pustaka Agraria ini juga akan berupaya melibatkan dan mengembangkan jejaring kerja sama dengan perpustakaan-perpustakaan yang memiliki kepedulian yang sama, serta dengan para pelaku/penggerak dalam produksi teori dan praktik reforma agraria dari berbagai kalangan: akademisi kampus, scholar-activists, pelaku kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, maupun serikat tani. Dengan cara demikian, maka jejaring di antara berbagai agrarian resource centers ini diharapkan memacu upaya menyuburkan studi agraria di Indonesia. Serta dapat memfasilitasi terjadinya pertukaran pengetahuan dan debat antara para pelaku agraria di Indonesia yang lintas arena: kebijakan, agraria, maupun studi.

IRC-International Water and Sanitation Centre http://www.irc.nl Alamat surat: P.O. Box 82327, 2508 EH The Hague, The Netherlands; alamat kunjungan: Bezuidenhoutseweg 2, 2594 AV The Hague, The Netherlands, tel. +31 70 3044000, faks. +31 70 3044044 Sejak tahun 1968, The IRC-International Water and Sanitation Centre (IRC) telah memfasilitasi proses berbagi informasi, promosi, pemanfaatan pengetahuan sehingga pemerintah, kalangan professional, dan organisasi bisa mendukung dengan lebih baik kaum miskin (laki-laki, perempuan, dan anak-anak) di negara-negara berkembang untuk memperoleh pelayanan atas kebutuhan dan pemeliharaan air serta sanitasi. IRC memiliki hubungan erat dengan organisasi-organisasi mitra kerjanya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Juga bekerja sama dengan jaringan internasional, organisasi, dan institusi di belahan dunia utara. Dalam proyek dan kerja regionalnya, IRC berkontribusi pada pencapaian target Millennium Development Goal di sektor air, sanitasi, dan kehigienisan (WASH-Water, Sanitation, and Hygiene). Program bertujuan mengadvokasi dan memfasilitasi pengembangan perbaikan proses pengelolaan kebijakan desentralisasi air secara lokal di beberapa negara terpilih demi pelayanan air, sanitasi, dan higienitas yang responsif berpihak pada kepentingan kaum miskin secara keberlanjutan. IRC menyediakan berita, kegiatan, materi-materi, informasi, publikasi, dan kepustakaan terkait isu air dan sanitasi, terutama kasus-kasus di negara berkembang yang bisa langsung diunduh melalui website-nya.

Water, Engineering and Development Centre (WEDC) http://wedc.lboro.ac.uk WEDC The John Pickford Building, Loughborough University, Leicestershire LE11 3TU UK, tel. +44 (0)1509 222885, faks. +44 (0)1509 211079 The Water, Engineering and Development Centre (WEDC) merupakan salah satu lembaga pendidikan dan penelitian terkemuka di dunia bidang pengembangan pengetahuan dan kapasitas terkait air dan sanitasi untuk pembangunan berkelanjutan serta bantuan darurat. Dengan kumpulan pengetahuannya selama hampir 40 tahun, WEDC mempublikasikan antara lain: buku-buku, makalah akademis pada jurnal internasional, lembaran fakta, manual, dan laporan studi kasus bagi pemenuhan kebutuhan pengetahuan dari kalangan pembuat kebijakan hingga para praktisi. Dengan meregistrasikan diri Anda di website WEDC, Anda bisa mengunduh materi-materi yang dimiliki WEDC secara gratis melalui website-nya, yang meliputi 150 buku, lebih dari 1700 buah makalah konferensi, dan ratusan pengetahuan inti dalam bidang air, sanitasi, dan infrastrukturnya. Setelah registrasi, Anda juga bisa mengakses/mengunduh database ribuan materi dari sektor lain melalui tautan yang disediakan.

Multiple Use water Services http://www.musgroup.net Portal ini menyediakan informasi tentang ketetapan pelayanan air untuk berbagai keperluan. Portal Multiple Use water Services (MUS) ini memfokuskan pada cara agar ketetapan tersebut bisa membantu mengurangi kemiskinan dengan mendukung masyarakat mendapat akses pada air untuk keperluan domestik dan produktivitasnya. Aspek produktivitas difokuskan pada aktivitas skala kecil seperti berkebun di pekarangan, pemeliharaan ternak, dan usaha kecil. Mitra utama dalam kerja MUS adalah kemitraan antara organisasi internasional dan nasional yang tertarik dengan misi MUS, yaitu ketetapan pelayanan air yang lebih baik untuk beragam penggunaan di tingkat rumah tangga, termasuk aktivitas produktif yang membuat ketersediaan air mampu mengatasi kemiskinan dan ketahanan pangan. Aktivitas kelompok kerja MUS meliputi penelitian, peningkatan kapasitas, dan advokasi terkait penggunaan air untuk beragam keperluan di tingkat rumah tangga, dan mempublikasikannya dalam beragam media, termasuk website ini. Publikasi tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemegang kebijakan, akademisi, praktisi, pekerja pembangunan, dan pelajar/mahasiswa. Anda bisa berlangganan mailing list dan kemudian mendapatkan berita dan undangan bergabung dengan pertemuan atau aktivitas dalam kelompok kerja ini.

Oktober 2010

37


lentera pustaka

Orang-Orang yang Dipaksa Kalah

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

Ditulis oleh Saur Tumiur Situmorang, Junpiter Pakpahan, Besti Panjaitan, Arifin Telaumbanua. Diterbitkan tahun 2010 oleh Perhimpunan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, didukung oleh Yayasan Obor Indonesia. Bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka. Di Toba Samosir, Sumatera Utara, terbangun gerakan perjuangan masyarakat adat Batak untuk menutup PT Inti Indorayon Utama (kini Bernama PT Toba Pulp Lestari—TPL), sebuah perusahaan raksasa penghasil pulp dan rayon berlokasi di hulu Sungai Asahan. Perusahaan ini mengeksploitasi hutan dan lingkungan. Penolakan masyarakat sejak tahun 1988 ini didasari atas kenyataan bahaya yang ditimbulkan perusahaan ini terhadap lingkungan hidup dan sumber penghidupan masyarakat setempat. Polusi akibat limbah cair, padat, dan gas, telah merusak sumber daya alam sumber penghidupan masyarakat. Polusi yang ditimbulkan pun mengganggu kesehatan masyarakat. Belum lagi persoalan pengambilalihan tanah adat, penggundulan hutan yang digantikan dengan penanaman eucalyptus yang mengakibatkan bencana longsor di lahan warga, mengeringnya mata air, rusaknya pertanian, serta menyusutnya sumber perikanan. “Kami tidak butuh bekerja di TPL, karena kami bisa hidup dengan baik jika usaha pertanian kami berhasil”, ujar seorang ibu salah satu korban kekerasan aparat negara yang pasang badan untuk TPL, dan kemudian dipenjara semena-mena.

Ditulis oleh Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief. Edisi revisi, diterbitkan tahun 2008 oleh Penerbit Andi. Bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka. Buku ini menyebutkan bahwa dari seratus persen volume air hujan yang jatuh ke bumi Indonesia, hanya 25 persen yang menjadi aliran mantap (misalnya tertampung di waduk, sungai, danau, dan daerah konservasi air tanah), dan hampir tiga perempatnya terbuang percuma ke laut. Ini menunjukkan bahwa sumber daya air masih perlu dikelola dengan benar agar air mantap meningkat dan air yang terbuang percuma menjadi berkurang. Permasalahan bencana kekeringan dan banjir yang belum mampu diatasi di berbagai wilayah Indonesia adalah buah tidak dikelolanya sumber daya ini dengan baik. Begitu pula pelayanan air bersih yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan. Buku ini memberikan uraian terpadu tentang air dan bagaimana mengelolanya dengan baik (teknis dan nonteknis, serta terpadu lintas sektoral di berbagai tingkatan pemerintahan) agar menjadi sumber daya yang mampu dimanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan.

Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria

Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas, tahun 2009. Bisa didapatkan di tokotoko buku terkemuka. Buku ini memberi petunjuk bagaimana cara memperoleh, menyimpan, dan menggunakan air hujan bagi kebutuhan sendiri atau kelompok. Dilengkapi gambar dan desain membuat tangkapan air hujan yang sangat mudah dan murah. Juga memberikan petunjuk cara mencegah perkembangbiakan nyamuk di tempat penampungan. Buku ini dapat menginspirasi agar kita menjadi bagian dari solusi dari masalah-masalah lingkungan yang saat ini lebih banyak disebabkan oleh perilaku manusia.

Use of Animal Products in Traditional Agriculture. A Pilot Project in Southern India

Diterjemahkan dari River Basin Management: A Negotiated Approach yang diterbitkan tahun 2005 oleh Both ENDS dan Gomukh. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh INSISTPress, tahun 2006 Buku ini menyajikan dan membicarakan beberapa pendekatan inovatif dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Memaparkan tujuh riset aksi yang dikoordinasikan Gomukh-India dan Both ENDSBelanda beserta tujuh mitra organisasinya di dunia, buku ini menunjukkan keberhasilan pengelolaan DAS yang berbasis pada pandangan dan pengalaman lokal. Setiap studi kasus disajikan dalam konteks ekologis, sosial-politik, dan ekonominya masing-masing yang khas. Juga melukiskan setiap pengalaman menghadapi berbagai permasalahan seperti pemanfaatan air, infrastruktur air berskala besar, keterlibatan banyak pihak, dan pengembangan institusi. Studi kasus di Peru, Bolivia, Kamboja, Thailand, India, Bangladesh, dan Afrika Selatan ini diharapkan akan meningkatkan kesadaran para pembuat keputusan dan pengembang kebijakan di seluruh dunia mengenai kemungkinan strategi yang berangkat dari kenyataan yang ada, melalui negosiasi pengelolaan ekosistem DAS yang berbasis partisipasi dan teknologi yang tepat.

Biologi Konservasi Ditulis oleh Mochamad Indrawan, Richard B. Primack, dan Jatna Supriatna. Diterbitkan tahun 2007 atas kerja sama Yayasan Obor Indonesia, Conservation International-Indonesia, Pusat Infromasi Lingkungan Indonesia (PILI), Yayasan WWF Indonesia, Uni Eropa, dan Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia (YABSHI). Bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka. Cara berpikir pembangunan tidaklah semata-mata menghitung biaya-manfaat ekonomi produk. Namun juga biaya-manfaat sosial serta dampak lingkungan dalam menghasilkan produk tersebut. Bila bahan tambang digali dengan menguras habis tanah permukaan beserta hutannya sehingga menimbulkan erosi, banjir dan kekeringan, maka dampak pertambangan pada kerusakan lingkungan melebihi nilai ekonomi produk tambang tersebut. Biologi konservasi adalah ilmu lintas disipilin (terpadu) dengan tujuan utama: 1) menyelidiki dampak manusia terhadap keberadaaan dan kelangsungan hidup spesies, komunitas, serta ekosistem; 2) mengembangkan pendekatan praktis untuk mencegah kepunahan spesies, menjaga variasi genetik dalam spesies, melindungi dan memperbaiki komunitas biologi serta fungsi ekosistem terkait. Buku ini memberikan paparan detail bagaimana ilmu biologi konservasi lebih memberi penekanan pada pemeliharaan jangka panjang bagi seluruh komunitas biologi, dan sekaligus penekanan bagi keberlanjutan ekonomi.

Oktober 2010

Air Hujan dan Kita, Panduan Praktis Pemanfaatan Air Hujan

Ditulis oleh Gunawan Wiradi. Diterbitkan tahun 2009 oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute (SAINS). Ada empat bentuk ketimpangan agraria yang teridentifikasi terjadi di Indonesia. Ketimpangan tersebut adalah 1) ketimpangan dalam struktur penguasaan sumber-sumber agraria, 2) ketimpangan dalam hal peruntukan sumber-sumber agraria, 3) perbedaan persepsi dan konsepsi antara mereka yang menggunakan hukum positif dan mereka yang berada dalam dunia adat, mengenai berbagai macam hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya, 4) Tumpang tindih dan silang sengkarut antara bebagai produk hokum. Buku ini adalah suntingan dari sejumlah karya penulis yang sebelumnya telah dimuat di sejumlah media dan disampaikan dalam bebagai kesempatan. Gunawan Wiradi merupakan salah satu akademisi yang secara eksplisit dan konsisten menyatakan bahwa masalah agraria adalah masalah politik sekaligus kemanusiaan. Bagian pertama buku ini menguraikan berbagai masalah agraria di Indonesia. Bagian kedua menguraikan hakikat kebijakan reforma agraria dan dinamika pelaksanaannya di Indonesia dari waktu ke waktu. Dan bagian terakhir mengulas butir-butir gagasan dan saran tentang penelitian agraria.

Tren pertanian organik di India memunculkan ketertarikan pada metode mengembalikan “kesehatan” tanah dan tanaman secara alami. Buku ini adalah hasil studi CIKS (Center for Indian Knowledge System) di Tamil Nadu dan 3 organisasi pendamping petani organik. Buku ini menjelaskan manfaat dari 5 produk hewani yang banyak digunakan dalam pertanian organik di India selama 10—15 tahun terakhir, yaitu: (1) susu sapi, (2) urine sapi, (3) kotoran kambing, (4) Panchagavyam (campuran kotoran, urine, susu, yogurt, dan mentega dari sapi), dan (5) pupuk hewani yang lazim dipakai kaum Adivasi (mirip suku Badui di Indonesia). CIKS dan partnernya melakukan tes lapangan untuk mengetahui manfaat kelima bahan tersebut pada padi dan sayuran. Hasil tes lapangan membuktikan variasi penggunaan produk hewani tersebut umumnya memberi hasil positif. Keunggulan buku ini adalah pendekatan ilmiah yang dipakainya untuk membuktikan manfaat pengetahuan tradisional yang selama ini dipinggirkan oleh dunia ilmu pengetahuan modern dan universitas. (review oleh Paul Ter Weel)

38

lentera pustaka

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sebuah Pendekatan Negosiasi

Water Harvesting and Soil Moisture Retention Agrodok Series No. 13. Ditulis oleh Justine Anschutz, Antoinette Kome, Marc Nederlof, Rob de Neef, Ton van de Ven. Diterbitkan tahun 2003 oleh Agromisa Foundation dan CTA. Buku ini adalah bagian dari 49 seri buku tentang praktik-praktik pertanian berkelanjutan skala kecil. Seri ini ditujukan bagi penyuluh yang bekerja dengan petani yang mengalami kekurangan air, tanah tererosi, dan hasil panen yang rendah di kawasan semi-kering. Buku ini memfokuskan pada pemanenan air dari permukaan untuk produktivitas tanaman (usaha tani). Buku ini terdiri atas dua bagian dan. Bagian pertama terdiri atas 5 bab. Bab pertama dan kedua memaparkan tentang definisi, prinsip-prinsip dasar dan prasyarat kondisi dalam pemanenan air. Bab ketiga menjelaskan desain sistem pemanenan air. Bab keempat membantu memilihkan sistem pemanenan air yang tepat untuk tiap kondisi berbeda. Bab ke lima dan keenam memberikan contoh-contoh model pemanenan air dalam skala kecil. Sedangkan bagian kedua membahas tentang pemeliharaan kelembaban tanah. Bagian kedua terdiri atas tiga bab, yaitu bab tujuh dan delapan menjelaskan tentang sejumlah cara untuk untuk meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah. Bagian kedua ini diakhiri dengan bab yang menjelaskan cara-cara mengurangi penguapan air dari tanah dan cara memanfaatkan kelembaban tanah secara optimal bagi usaha tani.

Oktober 2010

39


suara petani

Rizal:

Bangkitkan Aceh Lewat Kakao Organik

P

embalakan liar, konflik panjang antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, serta tsunami tahun 2004 membuat anak-anak muda Aceh, tenggelam dalam keputusasaan. Sebagian dari mereka menganggur dan menghabiskan waktu nongkrong di warung kopi. Untuk urusan perut mereka merambah hutan dan menebangi apapun yang ditemukan. Inilah yang memicu Mahrizal (29 th), pemuda asal Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, membudidayakan kakao organik. Karena ayahnya petani kakao, Rizal paham soal bertani kakao sejak kecil. Berkat kakao pula Rizal dan adikadiknya dapat bersekolah sampai jenjang universitas. Karena itu Rizal yakin, bertani kakao bisa membangun ekonomi masyarakat daerahnya. Lewat Yayasan Tunas Bangsa yang dipimpinnya, sejak tahun 2006 Rizal mulai mengajak petani di sekitarnya menanam kakao. Awalnya, ia mengajak 300 petani untuk menggarap lahan seluas 280 hektar di Desa Paru Keude, Desa Sarah Panyang, dan Desa Alue di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. ”Saya memilih bertani kakao secara organik karena tidak membutuhkan biaya besar,” ujar Rizal. Mengapa demikian? Pupuk untuk tanaman kakao diperoleh dari kotoran kambing yang dipelihara petani. Pakan kambing didapat dari pohon gamal (Gliricidia sepium) yang merupakan pohon pelindung bagi tanaman kakao. Dengan sistem ini, para petani tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pupuk dan pakan ternak. ”Dan karena pertanian organik lebih sehat, saya mantap mengajak warga menanam kakao organik,” tambah Rizal.

40

Oktober 2010

Mahrizal Bersama petani binaannya

Pengawasan dan Standar Ketat Rizal menerapkan standar pengawasan ketat terhadap para petani yang diajaknya. “Para petani harus menunjukkan dulu lubang tanam dan tanaman pelindung yang mereka siapkan sebelum bibit kami serahkan,” ujar Rizal. Tujuannya petani akan merasa rugi jika tidak melanjutkan bertani organik karena di awal mereka telah mengalokasikan waktu dan tenaga. Pengawasan dan keseriusan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Pada tahap pertama, satu hektar lahan rata-rata menghasilkan 1,5—2 ton per tahun. Sebelum dijual, petani memfermentasi kakaao selama 2—3 hari dan menjemur selama 3 hari. ”Yang dijual petani adalah biji kakao kering dengan kadar air 5—7 persen.

Foto: Mahrizal

Pembelinya para pedagang pengumpul keliling. Mereka yang menjualnya kepada pedagang besar, yang kemudian mengekspornya ke luar negeri,” jelas Rizal. Dengan harga Rp 20—25 ribu/kg kakao, pendapatan petani bisa mencapai Rp 30 juta/tahun. Kini setidaknya tiap tahun para petani binaannya menghasilkan pendapatan hingga sekitar 7 miliar rupiah! Meski sukses membina para petani kakao di Aceh untuk menata kembali perekonomian mereka, Rizal masih punya harapan lain. “Saya ingin para petani ini bisa memiliki sertifikat organik dan fair trade, supaya bisa menikmati harga premium dari hasil pertanian organik mereka. Mudah-mudahan ada pihak yang mau membantu untuk tahap ini,” sambungnya berharap. (Dhanny)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.