SAFWAN NOOR
Sang Sunyi Sebuah Novel dengan Sentuhan Motivasi AGUS KURNIAWAN
Penerbit: Nashiha Media
SANG SUNYI Novel
Penulis Safwan Noor Spv. Penulis Agus Kurniawan Tata Letak Tim Nashiha Media Cetakan Pertama, Mei 2012 Penerbit Nashiha Media
KPR Taman Sari No 29 C Ketapang Hak Cipta @ Penulis Dilindungi Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 All Right Reserved
ii
MAU KARYANYA DIPUBLIKASIKAN Seperti Novel ini ? TUNGGU APALAGI KAWAN ????
Ayo, kirimkan tulisan teman-teman ke redaksi kami !!! Kami menerima tulisan berupa: Cerpen, Puisi, dan Artikel Motivasi Untuk pengiriman melalui email: bacanashiha@gmail.com, dengan subjek email “nama_ kategori naskah (opini, cerpen, puisi, artikel umum, dan artikel religi)." Sertakan biodata singkat (nama, kota, pendidikan) di bawah naskah. Tulisan yang masuk akan kami terbitkan di Nashiha.com dan di grup fb nashihacircle agar bisa dinikmati semua warga nashiha dan akan ada bedah karya penulis. Setelah itu Baru Kita Terbitkan...
iii
DAFTAR ISI Prolog, 1 Suram, 5 Di Sungai Bening, 11 Darul Qalam, 17 Pengalaman Pemahaman, 21 Hari Baru, 37 Cinta di Waktu Dhuha, 43 Para Pengejar Gelombang, 47 Cystik Fibrosis, 63 Sang Sunyi, 69 Epilog, 75 iv
|1
PROLOG Afiq mengayuh dengan susah payah,
karena 3
orang teman yang menjadi bebannya, sedangkan Mujab tak mau kalah, ia semakin mempercepat Kayuhannya, hingga pada akhirnya kereta angin yang dikendarai Afiq, Faiz, Azis, Arta kehilangan tenaga, jatuhlah mereka. Tawa berderai, Mereka menyebut dirinya para “Pengejar Gelombang�. Mengapa Pengejar
Sang Sunyi
Sang Sunyi Gelombang? Karena mereka senang sekali bermain di Pantai, seluruh pesisir Pantai di Ketapang telah mereka datangi, menginap satu dua malam. Dan kini mereka melepas rindu pada gelombang ditepian pantai dekat rumah Nenek Afiq. Ombak menari se-irama nada, laut biru membentang luas tak bertepi, angin sepoi menusuk kalbu, halusnya pasir pantai memanjakan dunia, pemandangan yang indah menyejukkan mata. Perahu – perahu kecil nelayan terlihat dimana-mana, mencari barokah dari Yang Maha Kuasa. Ibu – ibu sibuk mencari ale – ale di tepian pantai. Burung beterbangan mencari suasana, Rumah-rumah
reot
berdindingkan
bambu
beratapkan jerami, berlantaikan tanah yang rata menghiasi bibir pantai, pohon – pohon rindang
|2
menampakan keindahannya, tujuh sahabat sedang bersukaria bermain sepak bola.
|3
“Luk... kau kejar bolanya!” teriak Albar “Oke….” Muluk mengambil bola dengan berlari sangat cepat. Ia dengan sekuat tenaga mengejar dan menendang bola,
tak disangka
tendangannya merobek gawang temannya yang di jaga oleh Afiq. “Goool…!” teriakan tim Albar menggema di tepi
pantai
menghilangkan
suasana
luka,
menandakan bahwa ia telah menyarangkan bola digawang temannya”. “Tumben kamu bisa menendang bola Luk ?” ejek Arta sambil tertawa. “Ah kau...biar bagaimanapun aku sudah berhasil merobek gawangnya Afiq kan? Kau belum
Sang Sunyi
Sang Sunyi tahu rupanya aku ini masih berkeluarga dengan Cristiano Ronaldo” Muluk mencoba membela diri.
|4 “Apa…! kau masih keluarganya Cristiano Ronaldo! Sadar Muluk, Ronaldo tu orang Portugal, lah kau juga orang Pora Pora Jelek padahal emang dah Jelek”Celetuk Azis Permainan berlanjut Bola bergulir kesana kemari, mengikuti kaki – kaki yang membawanya. Suasana pantai terlihat ceria, terdengar sorak sorai dan canda tawa dari tujuh orang sahabat memecah suasana. Bagi Afiq itulah hari terakhir kegembiraannya.
|5
SURAM Hari – harinya yang teramat suram, Afiq lalui dengan sejuta keresahan dan kegelisahan pada dirinya,
pemandangan yang begitu indah kini
berubah dengan sangat cepat bagai menyimpan kemarahan yang amat dalam.
Sang Sunyi
Sang Sunyi Setiap henbusan nafasnya masih tersimpan misteri. Detak jantung dan denyut nadi seiring berjalan mengikuti langkah – langkahnya yang tak diketahui kemana arahnya, hidupnya bergantung dan ditentukan oleh waktu yang terus berputar, kesedihan selalu menyelimuti diri Afiq di sisa – sisa akhir hayatnya Setiap detik, menit, jam, dan hari berganti, Afiq jalani dengan penuh tetesan air mata dan kelukaan hatinya yang teramat dalam. Semua yang pernah ia rasakan selama ini hilang begitu cepat bagai di telan sang gelombang,
hidupnya kini
terasa tak ada arti bagai sampah yang terbakar oleh sang jago merah. Lambat laun,
timbul rasa
kebencian yang amat besar pada sang Maha Pencipta pada dirinya. Mengapa semuda ini dia
|6
telah diberi Penyakit seperti ini, Pneumonia akut disarangkan Tuhan kedalam dirinya. Mengapa?
|7
Di Madrasah Adabiyah cabang Ketapang inilah ia bersekolah bersama dengan teman – temannya, dan menimba ilmu seperti anak – anak yang lain. “Tet…tet…tet…” tiga kali bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah tiba, siswa – siswi keluar denganteratur dari kelasnya masing – masing,
tak ketinggalan juga tujuh bersahabat
tetap sehati berkumpul bersama di bawah pohon rindang. “Kabar kau bagaimana Fiq? Apakah sudah betul – betul sehat?”tanya Albar. “Beginilah keadaanku Bar,
ya seperti kau
lihat sekarang ini baik – baik saja”jawab
Sang Sunyi
Afiq
Sang Sunyi tersenyum walau masih terbesit segores luka di hatinya.
|8 “Fiq, aku punya sebuah cerita untuk kau” ucap Azis dengan menahan tawa. “Cerita apa lagi Zis?”tanya Afiq dengan penasaran. “Kau tahu pada saat kau di rawat dirumah sakit? wajah Mujab merah padam dan kursi yang ia duduki berguncang seperti gempa bumi ketika melihat bapakmu yang berkumis melintang seperti Pak
Raden. Dan
lebih
ketakutan, wajahnya
lucunya saat Mujab
seperti
Cristiano
Ronaldo!”ucap Faiz sambil tertawa. Berderai tawa diantara mereka, hanya Afiq yang tak tertawa, ia meneteskan banyak air mata;
“Fiq,
mengapa kau menangis? Semuanya
tertawa mendengarnya,
hanya kau yang tak
| 9 tertawa, mengapa Fiq?”ucap Muluk Penasaran. Afiq tak menjawab,
ia langsung pergi
meninggalkan teman – temannya ke kelas, tak ada satu patah katapun yang terucap dari mulutnya. “Eh Fiq,
kau mau kemana?”tanya Mujab.
Mereka, para pengejar gelombang itu tak pernah tahu, itulah hari terakhir Afiq bersama mereka, Afiq diungsikan ke Kampung Sungai Bening, Sebuah Kampung di bawah Pegunungan Tunggal tempat neneknya berada. Pneumonia yang diidapnya memerlukan udara segar untuk memperbaiki kerja paru – paru.
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 10
| 11
DI SUNGAI BENING Lantunan syair klampiau dari bukit tunggal pagi itu begitu merdu, suara perahu motor, ditingkahi azan berkumandang dari Pesantren Darul Qalam menerabas gelap, menyinsingkan Fajar
Sang Sunyi
Sang Sunyi shadiq, Membangunkan matahari, Sementara Afiq masih berdekam diri di kamar berdinding kayu itu.
| 12 Baru saja sehari dia di sini tapi keindahan Alam itu tak membuatnya betah, betul benar kata mutiara “bukan karena Apa yang ada dihadapan mata kita Indah hingga kita merasanya Indah, tapi karena didalam hati bahagia lah maka kita merasanya Indah�Afiq, gelisah, Suasana hilang ke negeri antah berantah dirasanya sejak tiba disini, tanpa teman, tanpa orang tua, hanya udara dingin hembusan Bukit tunggal, suara perahu motor dan derik lantai yang menemani. “Fiq, ke Darul Qalam yuk�Ajak Bang Saufi, abang Sepupunya yang memang salah seorang pengajar di Pesantren itu. Afiq masih berdiam didalam selimutnya.
Begitu seterusnya, hingga tiap pagi, tiap zuhur, tiap ashar, magrib, Isya, da’i pengajar
| 13 Madrasah Adabiyah Sungai Bening, salah satu dari sekian banyak Madrasah Adabiyah yang tersebar di Ketapang itu tak pernah jemu mengajaknya. Katanya suatu ketika, jika abang jemu mengajakmu, maka abang jemu memandangmu di surga kelak, abang jemu memandangmu dalam kesuksesan. Bosannya seorang Da’i, Tersesatnya Ummat, Istirahanya Da’i, Hancurnya Ummat. Kata – katanya halus, membuat Afiq bertanya – tanya; buku apa yang dibaca orang itu. Hari ini setelah 1 minggu di Sungai Bening, batuknya
tidak
makin
parah,
udara
segar
membantunya cepat sembuh. Disubuh buta setelah mendengar gemercik wudhu Bang Saufi, Afiq tak bisa tidur lagi. Dibukanya telinga lebar, di lihat jam
Sang Sunyi
Sang Sunyi masih ada setengah jam lagi Kumandang Azan Shubuh. Tahajjud Fikir Afiq, dia juga anak Madrasah. Maka mulailah terdengar lirih bacaan Bang Saufi, tidak merdu, tapi menusuk qalbu.
//Kullu man alaiha Faan/WayabqawajhuRabbika Dzul Jalaa li wa alikraam/Fabiayyi `ala irabbikumaa tukadzibaan/Yasalhumanfisamawatiwalardh,ku llayauminhuwa fi sya`nin/Fabiayyi `alaa irabbikuma tukadzibaan// Afiq tau itu Ar Rahman, ayat yang juga di baca Ayahnya setiap habis subuh. Namun kini getarannya halus menyusup cepat ke jantung Afiq, Ada sesuatu yang memanggil – manggil tapi Afiq tak mengerti, Indah tapi tak berwarna. Air mata bersesakan mengembang di sudut mata Afiq, namun surut kembali saat kumandang salawat subuh terdengar
| 14
dari kaki bukit, dimana Al Markaz Al Islami Darul Qalam berada.
| 15
Afiq
bergegas
ke
kamar
mandi,
membersihkan diri sebisanya, dan mengambil Wudhu... Ya Allah, segar sekali, bukan karena air ini dari sumber murni di ujung Tanah genting sana, tapi ini benar – benar dari Mu ya Allah. Afiq tak berlarut, dia menyempurnakan Wudhu’nya lalu berkemas rapi. Terdengar bang Saufi membuka tudung kamarnya, “Bang, Aku ikut”kata Afiq. Senyum mengembang di sudut bibir Ustadz Muda itu. “Alhamdulillah, kebetulan hari ini Pemimpin Darul Qalam, Qaid Miftah akan memberi kajian rutinnya, Insya Allah asyik” Afiq mengangguk, ya ampun ini terlalu cepat, dia kan Cuma ingin shalat kok jadi ikut taklim?
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 16
| 17
Darul Qalam
“Alangkah indahnya hidup ini, bila setiap langkah adalah ibadah dan setiap jenak mempunyai kemanfaatan. Alangkah hidupnya jiwa bila waktu yang berlalu kita perpanjang dalam keindahan dan kesenangan,
mengumpulkan
mengarungi samudera kehidupan.
Sang Sunyi
bekal
dalam
Sang Sunyi Karena saat – saat berlayar akan tiba maka ambillah perbekalan sebanyak – banyaknya, dalam masa menuntut ilmu yang indah, dalam sujud panjang
di malam sunyi, dan riuhnya gemerisik
dedaunan di subuh hening. Perbanyaklah kenangan akan nikmatnya bersama Allah ketika jiwa akan mengarungi samudera, dimana setiap langkah akan menjauhkan kita dari Allah. Karena kenangan indah itu akan membawa kita dalam kerinduan untuk kembali. Dan Allah sedang menanti kembalinya kita saat ini dan saat itu. Perpanjanglah
masa
menuntut
ilmu,
bermulazamah lah bersama sang murabbi, karena esok atau lusa kita tak pernah tau, masa kan berganti dan kita kan berdiri sendiri, menjadi sang murabbi.
| 18
Alangkah indahnya hidup ini, bila senantiasa jiwa ini dapat menghidupkan sunnah Rasulullah
| 19 dalam keringanan dan kelapangan. Karena esok kan menjelang, dan kita kan segera rindu untuk melakukannya lagi. Dalam sujud sepi dipenghujung malam. Allah u Akbar, Alangkah rindu, berkecap rindu dalam peraduan hijau bersama Engkau, hanya Engkau. Allahumma Anta Rabbi‌. Susahnya jiwa ini terbangun, padahal ia sudah merasa rindu, susahnya hati ini kembali padahal ia sudah merasa sepi. Allhumma Tolonglah kami, dalam cinta dan sujud yang embun, sedang kami bara
pun
belum,
Allahumma
Anta
Rabbi,
Allahumma Anta Rabbi, Ya Kariiim, Ya Rahiiim, Tiadalah daya upaya kami selain kepada engkau,
Sang Sunyi
Sang Sunyi Allahumma Anta Rabbi Ya Habibi, tiada Tuhan selain Allah, cukup bagi ku Allah.
| 20 Meski tak layak diri ini dalam cinta Mu…. Amin Ya Allah, Allahumma Amin, Demikian,Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu...” Qaid Miftah menutup kajiannya. Jamaah yang didalamnya terharu dalam tangis di Kajian Ba’da subuh itu, dan Juga Afiq.
| 21
PENGALAMAN PEMAHAMAN Catatan Afiq: Tak ada hari kulewati tanpa kehadiran sosok orang yang ku kagumi, senyumnya yang tulus dan ikhlas membuatku hatiku luluh lantah bagai debu, setiap
Sang Sunyi
Sang Sunyi ucapannya menjadi obat penawar luka dihatiku, Ya, ia adalah Bang Saufi.
| 22 Pagi itu hari begitu cerah dan indah, hijau daun pepohonan melambai – lambai seolah memanggil diriku dalam lamunanku, , sang surya menampakan sinar terindahnya, kicauan burung – burung begitu menghibur hati,
udara segar
perkampungan begitu syahdu membelai kalbu. Pukul
04.15
kami
terbangun,
untuk
mempersiapkan sholat subuh, tapi Bang Saufi pada sholat subuh ini sangat berbeda, ia pergi ke Masjid dengan membawa sebuah Laptop miliknya. Aku hanya diam melihatnya, hatiku bertanya – tanya,
tapi dalam
ada apa sebenarnya.
Dalam diamku aku mencoba mencari tahu jawaban yang sebenarnya. Sholat subuh
telah
selesi
dilaksanakan, Bang Saufi langsung menghampiri
Laptop miliknya, dan ternyata ia internetan. Aku baru tahu di Kampung Sunyi seperti ini, teknologi
| 23 sudah masuk. Aku memutuskan untuk bertanya padanya. “Bang, apa aku boleh bertanya?”tanya Afiq. “Boleh, kau ingin bertanya apa?”jawab Bang Saufi. “Internetan itu kan dilarang bang?”ucap Afiq. Bang
Saufi
pertanyaanku,
aku
tersenyum semakin
mendengar
bingung
dengan
sikapnya kali ini. “Bukan tak boleh Fiq,
internetan yang
dilarang itu jika kita menggunakan internetan tersebut ka hal yang bernilai negative , misalnya membuka situs tentang video porno, atau yang lainnya. Itu memang dilarang Fiq! tapi kalau kita bisa
Sang Sunyi
Sang Sunyi menggunakan internetan itu ke hal yang positif, malahan itu akan bermanfaat Fiq, kau tahu abang mendalami dan mengkaji ilmu agama dengan internetan Fiq!”jawab Bang Saufi. Aku mulai mengerti ucapan Bang Saufi. Ah…aku memang beruntung mempunyai abang yang
seperti
ini,
yang
bisa
membielah
membimbingiku. “Terima
kasih
ya
Tuhan,
kau
telah
memberikan aku jalan yang baik melewati abang ku”ucap Afiq dalam hati. Siang hari itu ku diajak Bang Saufi pergi memancing di tepi jalur sungai pawan, begitu riangnya, hobiku.
hatiku
kebetulan memancing adalah
| 24
“Fiq, kau mau ikut mancing?”tanya Bang Saufi.
| 25
“Mau……..bang, memangnya kita mancing dimana bang?”Tanya ku kembali. “Kita akan
mincing ditepi Danau Biru
belakang Darul Qalam, banyak ikannya”jawab Bang Saufi. Kami mempersiapkan peralatan memancing. Diperjalanan
aku
terpana
oleh
suasana,
pemandangan yang begitu indah, sawah tanaman padi hijau membentang luas, gunung – gunung tinggi menjulang hijau terpampang, gubuk gubuk padi berjejeran,
2 orang suami istri sedang
bersenda gurau di dalamnya…..ah begitu romantis hubungannya, seperti rama dan shinta…
Sang Sunyi
Sang Sunyi Langkah kaki berhenti, suara barang jatuh dari puncak pohon terdengar, krepas. Bang Saufi melihat seekor anak burung jatuh dari sarangnya, aku tak sempat lagi berfikir saat tiba – tiba Bang Saufi memanjat pohon dimana sarang itu berada, dan mengembalikan
anak burung itu pada
sarangnya dengan susah payah, hingga tangannya luka terkena goresan ranting kayu. Aku bingung , mengapa ia bersusah payah mengembalikan burung itu ke sarangnya, padahal itu adalah masalah yang kecil, “Bang,
mengapa
kau
bersusah
payah
melakukan semua ini, padahal itu hanya seekor burung�Tanya ku penasaran. “Kita harus melakukan kebaikan walau sekecil apapun,
jangan menunggu kebaikan yang lebih
besar pahalanya,
dan kita memulai sesuatu itu,
| 26
mulai
dari
yang
terkecil
baru
ke
yang
terbesar”jawab Bang Saufi dengan senyuman.
| 27
Aku tak dapat berkata, aku hanya tertunduk mendengar ucapan bijak itu,
dan aku mulai
memahami sedikit demi sedikit ucapan Bang Saufi. Perjalan dilanjutkan, tak terasa kami sudah sampai di tempat tujuan, ya di tepi Danau Biru. Kami mencari tempat yang strategis untuk memancing. “Kau keluarkan semua peralatannya Fiq, “ucap Bang Saufi sambil tertawa. “Ya bang!”jawab ku singkat. Sambil menunggu pancingnya dimakan ikan, aku termenung dan terpana tak terkira ketika Bang Saufi membacakan kata – kata mutiara, tapi itu lebih dari kata – kata mutiara, ah…aku tak tahu disebut apa perkataan itu.
Sang Sunyi
Sang Sunyi Shalawat dan salam rasul tercita Membawa rahmat alam semesta Tumbuhan dan hewan makhluk melata Manusia khalifahnya pemegang tahta
Manusia di beri akal dan budi Menata bumi tempat mengabdi Akal dan ilmu pedoman abadi Ibarat kompas dengan kemudi
Kompas kemudi arah haluan Untuk mencapai tempat tujuan Jangan arah tidak karuan Itulah perbedaan manusia dengan hewan
Allah bersifat Maha Pengasih Nurani menjadi cermin yang bersih Sifat yang buruk wajib disisih
| 28
Dari jurang kejahatan diri tersisih
| 29
Jangan menghianati diri sendiri Ngembun dan mabuk dimalam hari Syaithan mengoda mengajak mencuri Kedalam penjara terhantar diri
Jenis Narkoba barang yang haram Bahtera kehidupan menjadi karam Akibat Narkoba timbangan gram Wajah yang tampan menjadi suram
Bila akhlak dan budi sudahlah runtuh Ajaran islam sulit disentuh Nasihat ibu bapak tidak dipatuh Hidup seperti pohon di pantuh
Jika badan sakit terguling
Sang Sunyi
Sang Sunyi Lidah kelu kepala menggiling Kekiri kekanan mata menjerling
| 30
Menyesal kemudian tak dapat berpaling
Setiap yang hidup menghadapi mati Dunia tinggal akhirat menanti Dialam barzah jasad berhenti Kehadapan Allah tujuan yang pasti
Tiba – tiba aku meneteskan air mata, aku teringat marahku kepada Allah, Tuhan semesta Alam, isi perkataan itu menyentuh kalbuku,
tak
pernah ku mendengar perkataan seperti itu, perkataan itu meyadarkan ku,
ku hanya bisa
menangis pilu menyesali perbuatanku. “Kata – kata yang indah dan mujarab itu apa namanya bang?�tanya Afiq
“Syair namanya Fiq, itu adalah budaya sastra melayu kita, melayu kayong” jawab Bang Saufi.
| 31
“Ha…..” Bang Saufi tiba – tiba berteriak, ternyata ia mendapatkan ikan, tapi ternyata hanya ikan kecil, lalu ia melepaskan ikan itu, padahal sudah berjam – jam ia menunggu pancingnya dimakan ikan. “Mengapa
dilepaskan
bang”
tanya
ku
penasaran. “Ia masih terlalu kecil, aku tak mau menyia – nyiakan umurnya yang masih muda, dan aku tak mau menyiksa binatang Fiq, kita tak boleh menyia – nyiakan dan menyiksa makhluk Fiq”jawab Bang Saufi. Aku kembali terdiam,
aku mencoba
merenungkan ucapan Bang Saufi,
Sang Sunyi
dan aku
Sang Sunyi mendapatkan jawabannya. Aku semakin mengerti tentang kehidupan
yang sesungguhnya,
dan
membuatku bertambah yakin pada agama yang kuanut selama ini dan pada tuhan yang Maha Pencipta. Tiba – tiba hari mendung dan hujan mulai turun, halilintar menyambar berkilau bagai pedang. Kami mencoba berteduh, gubuk kecil,
kebetulan ada satu
dan disanalah aku dan Bang Saufi
berteduh dari hujan, derasnya hujan membuatku tertidur, tapi tidur ku terhenti , aku berfikir inilah waktu yang sangat tepat, untuk bertanya pada Bang Saufi. “Bang
apa
aku
boleh
bang?”tanya Afiq. “Boleh...” jawab Bang Saufi.
bertanya
lagi
| 32
“Mengapa
penyakit
ini
menimpaku,
mengapa tidak pada orang lain saja, jangankan
| 33 bermain dan tertawa, senyum pun aku tak mampu, apakah begitu jelek dipandangan allah, sehingga ia memberikan semua ini padaku bang?”tanya ku, tak terasa air mata mengalir di pipiku Bang Saufi hanya tersenyum mendengar pertanyaan ku, kini hujan telah berhenti. “Coba kau lihat dilangit, mendung dan hujan, menghiasinya!”ucap
setiap kali hari
pelangi akan timbul Bang
Saufi
menunjuk
lengkungan pelangi yang indah. Aku baru menyadari arti sebuah kehidupan, pejalanan kali ini penuh dengan hikmah, disetiap ada kesusahan, kesenangan pasti menanti, aku benar – benar paham dengan ucapan Bang Saufi, dan segala kesedihan, kegundahan, dan ketakutan
Sang Sunyi
Sang Sunyi pada diriku, kini lagsung hilang sirna bagai ditelan sang gelombang.
| 34 Perjalanan ku kali ini membuatku mengerti tentang kehidupan, aku telah mendalami ilmunya Allah, semua kejadian yang serba aneh ini akan ku ambil hikmahnya untuk memahami dan mendalami ilmunya allah. Hujan telah reda, kami kembali kerumah, di perjalanan pulang kerumah,
aku masih teringat
kejadian disaat pergi memancing, benar
bingung
dengan
semua
aku benar – ini,
tapi
kebingunganku sudah terbayar lunas dengan penjelasan dari Bang Saufi. Langkah demi langkah kami jalankan,
tak
terasa kami sudah sampai didepan rumah. Aku masuk kedalam dan kakiku terhenti di depan meja
kerja Bang Saufi, ku melihat buku berjudul “Hidup Sesudah Mati”, terbesit hatiku untuk membacanya,
| 35
“Eh Fiq, kau sedang apa..?”tanya Bang Saufi. “Aku sedang melihat buku ini, tampaknya menarik bang? Bolehkah aku meminjam untuk membacanya? Tapi buku ini menceritakan tentang apa bang?”tanya ku. “Kau baca dan pahamilah isi buku itu, karena aku yakin kau pasti paham tentang buku itu setelah kau membacanya”ucap Bang Saufi. Aku mulai membaca buku dan memahami buku itu,
tiba – tiba bulu kudukku berdiri,
mataku bercucuran,
air
keringat dinginku mulai
membasahi tubuhku, ketakutan pada diriku yang telah hilang kini hadir kembali ketika aku membaca dan memahami isi buku ini, dan kata – kata ini
Sang Sunyi
Sang Sunyi benar – benar air mataku tak dapat dibendung lagi, dan tubuhku gemetar bukan mainnya.
| 36 Judul Buku itu “Malam Pertama di Alam Kubur� *** Hari demi hari kujalani, tak terasa sudah 1 bulan aku di kampung, kini aku harus pulang ke kota, kembali pada keluargaku. Pemandangan alam yang masih alami di kampung terbayang di ingatanku, begitulah manusia, Aku benci saat aku datang
kemari,
meninggalkannya.
kini...
aku
benci
harus
| 37
HARI BARU Pagi hari yang sangat indah, kicauan burung menghiasi suasana pagi itu, embun di pagi buta seakan
mengoyak
tubuhku,
menandakan hari sudah pagi.
Sang Sunyi
kokokan
ayam
Sang Sunyi Ku telah berkumpul dengan keluargaku dan sahabatku, hari ini terasa begitu indah bagiku, ku hanya bisa bersyukur pada yang Maha Kuasa atas nikmat yang is telah berikan padaku. Aku bertambah bahagia karena hari ini aku mulai sekolah kembali,
betapa rindunya hatiku
dengan sekolahan ini, guru – gurunya yang ramah, walau tak semuanya, muridnya yang baik, keadaan lingkungan taman sekolah yang begitu indah, dan sahabat – sahabatku yang telah lama menunggu kedatanganku. Ah‌.betapa terasa berartinya hidup ini, tak seperti yang ku pikirkan dulu, bahwa hidup ini hanya bagaikan sampah yang tak ada arti dan sekarang hidupku penuh dengan arti kehidupan yang sesungguhnya. Diperjalanan menuju gerbang sekolah yang telah terbuka lebar menunggu kehadiranku , ku
| 38
hanya tersenyum tersipu melihat sekolahan yang telah sekian lama ku tinggalkan. Jalanku mulai
| 39 dipercepat karena waktu telah menunjukan pukul 06.30, artinya bel mesuk sekolah akan berbunyi. Saat aku tiba dikelas, ternyata semua telah menunggu kehadiranku,
semua mengucapkan “
Selamat Datang Sahabatku”padaku dengan penuh keceriaan, terutama sahabat – sahabat lamaku, “Hey Fiq, bagaimana kabarmu? Kami telah lama menunggu kedatangan mu Fiq!”ucap Faiz. “Kabarku baik – baik saja, aku pun sama Iz, aku sangat rindu pada kalian semua Iz”jawab Afiq tersenyum. “Setelah pulang dari kampong, senyummu mulai kembali sobat!”ucap Muluk.
Sang Sunyi
Sang Sunyi “Disana aku merasakan betapa besarnya nikmat hidup ini Luk!”ucap Afiq dengan senyum
| 40
merekah. “Sudah….sudah….sudah,
Ibu guru sudah
datang”ucap Faiz. “Tak….tak…tak”bunyi sepatu tumit tinggi Bu Jamilah ketika masuk kelas. “Assalamualaikum?”ucap Bu Jamilah. “Waalaikumsalam”jawab mereka kompak. “Eah Afiq,
kau sudah masuk sekolah ya?
Bagaimana kabarmu?”tanya Ibu jamilah. “Iya bu, alhamdulillah baik saya baik – baik saja bu”jawab Afiq. PROSES belajarpun dimulai, semua dengan penuh kegembiraan mendengar penjelasan Bu Jamilah,
pertanyaan demi pertanyaan mereka
lontarkan, Bu Jamilah pun dengan sigap menjawab pertanyaan muridnya.
| 41
“Tet…….tet…..tet”bunyi bel waktu istirahat telah berbunyi, menandaka waktu istirahat telah tiba. “Fiq, kita sama – sama ke Kantin yuk, sudah lama kita tak ngumpul sama – sama”ucap Azis. “Tidak, kalian saja yang pergi, aku mau ke Mushalla, aku mau sholat dhuha”jawab Afiq. “Ha…….ke Mushalla? Kapan kau ingat sholat Fiq? “ucap Muluk. “Semenjak aku tau kita bakal mati, apa yang akan kita bawa, bakwan atau salat?”jawab Afiq dengan tenang dan tersenyum. Semua terkejut lesu, dan entah sadar atau tidak mereka juga menuju ke Mushala. Mereka Salat.
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 42
| 43
CINTA DI WAKTU DHUHA Hari sangat cerah hari itu, membentang luas, cahayanya,
langit biru
sang surya memancarkan
burung – burung berterbangan
mengepakkan sayap – sayapnya, Afiq dan kawan – kawan melakukan aktifitasnya seperti biasa.
Sang Sunyi
Sang Sunyi Mereka begitu hikmat menjalani kehidupan barunya
ini,
meninggalkan
terbukti
tak
sholat,
dan
pernah selalu
mereka mentaati
perintahnya. Hidayah telah datang pada mereka, dalam waktu yang teramat singkat, dan mengubah segala yang ada pada mereka. Karena perubahan mereka akhirnya, kini waktu Dhuha di Musala tidak Cuma mereka dan beberapa Guru, tapi teman – teman mereka sudah ikut juga. Untuk mengisi waktu Istirahat, mereka juga sekali sekali meminta salah seorang Guru untuk memberikan Motivasi kepada mereka. Lama – lama terbentuklah dengan sendirinya Kajian Dhuha di sekolah Afiq. Afiq sendiri secara tidak resmi ditunjuk sebagai koordinator Kajian Dhuha itu. Sekarang mereka menyebut diri mereka KUDU, Kajian Utama Dhuha.
| 44
Berjalan dua bulan, selepas Mid Semester mereka memulai kegiatan baru, Dua minggu sekali
| 45 mereka
mengadakan
pengajian
keliling
di
Seputaran Ketapang. Dukungan dari Kepala Madrasah datang, dan meminta mereka mengajukan proposal kegiatan untuk pendanaan. Namun Afiq meyakinkan teman – temannya bahwa mereka harus mandiri, tidak bersandar kepada pendanaan Sekolah. Dia berkata, ini untuk menjaga semangat kita. Uang dari sekolah Cuma akan membuat kita malas untuk berfikir. Akhirnya atas saran Bu Jamilah, mereka Cuma mengajukan Surat Pemberitahuan Kegiatan KUDU dan Izin Operasional nya ke Kepala Madrasah, untuk keuangan mereka telah punya Bidang Kewirausahaan yaitu MULUK, si Ronaldo dari Ketapang.
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 46
| 47
PARA PENGEJAR GELOMBANG Hari sangat bersahabat hari itu, langit biru membentang dan awan menghiasi ruang – ruang kosongnya,
semangat 7 orang sahabat semakin
besar untuk menggapai keinginannya, ya, tujuan yang sangat mulia.
Sang Sunyi
Sang Sunyi “Hey kawan – kawan, bagaimana sore ini pukul 15.00 kita berkumpul di mushalla untuk mempersiapkan apa yang perlu kita siapkan”ucap Afiq. “Ide bagus Fiq, sekaligus menetapkan lagu apa yang akan kita persembahkan”jawab Faiz. Waktu terus berjalan seiring bumi berputar, jam sudah menunjukkan pukul 15, 00 WIB, mereka telah berkumpul tepat waktu. Tak ada satupun yang tak hadir. Ah, pasti kata –kata itu lagi” Muslim sejati”membuat mereka tak berani untuk tak hadir. “Kita sudah mendapatkan persetujuan dari pehak sekolah, tapi sekolah tak bisa memberi dana untuk lomba ini, sedangkan kita memerlukan dana untuk pendaftaran lomba dan pendaftaran akan ditutup lusa”ucap Afiq.
| 48
“Tenang Fiq, berikan saja masalah ini pada Azis Fiq!”ucap Muluk si Seksi Wirausaha santai.
| 49
“Apa
hubungannya
masalah
ini
denganku”tanya Azis. “Kau adalah pujaan kaum hawa di sekolah ini Zis,
kau pinta uang sumbangan pada mereka,
bilang saja kita sedang membutuhkan dana untuk ikut lomba. Bereskan…?”ucap Muluk santai. “Gila kau Luk, kau jual aku hanya demi uang untuk pendaftaran lomba?” balas Azis, mereka tertawa. “Hehehe, Cuma bergurau kok, aku udah ngomong dengan Pak Harqi, Bu Jamilah dan Teman – teman lainnya, saat kalian menemui kepala madrasah
kemarin,
mereka
memberikan sumbangan”
Sang Sunyi
setuju
untuk
Sang Sunyi Afiq
mendelik,
dia
anti
dengan
kata
“sumbangan”, kita muslim, bukan pengemis.
| 50 “Oh, Afwan-afwan, maksud ku, begini, aku bisa membuat kalender menggunakan Printer abangku, kita buat kalender berisi foto kegiatan kita lalu kita jual ke mereka, mereka udah setuju kok”Jelas Muluk, Afiq dan yang lainnya tersenyum lebar. “Masalah dana sudah beres, sekarang kita hanya tinggal menentukan lagu”ucap Afiq. “Bagaimana
kita
membawakan
lagu
“Sebatang Pohon” kelompok nasyid Izies saja”ucap Arta. ‘Ah, itu tak bagus Ta, kita bawakan lagu”Puji – pujian” saja, Mujab.
kelompok nasyid Raihan”ucap
“Kita
bawakan
lagu
ciptaan
sendiri
saja”celetuk Muluk.
| 51
Semua memandang Muluk,
dan tetap
memandang Muluk tak berkedip, suasana menjadi hening semantara waktu, sedangkan Albar hanya enak bermain. Ya, ia sedang enak bermain gitar. Tiba – tiba terdengar suara yang begitu syahdu dan menyentuh hati, ya, itu adalah suara Azis, ia melantunkan lirik – lirik lagu disaat Albar sedang enak bermain gitar. Selamat tinggal kawanku Selamat tinggal temanku Selamat tinggal sahabatku semua Aku kan pergi jauh Mengejar kebaikan
Sang Sunyi
Sang Sunyi Dari Allah yang kuasa Jangan menangis, jangan menangis
| 52
Tetaplah kau tersenyum Jangan bersedih, jangan bersedih Hidup ini hanya sementara “Itu bagus Fiq!”ucap Albar memberhentikan bunyi gitarnya. “Betul Fiq, ini baru dikatakan kreatif, jadi kita tak perlu mempersembahkan karya orang lain, tapi kita persembahkan karya kita Fiq”sambung Faiz. Semua
sepakat
bahwa
mereka
akan
membawakan karya mereka sendiri yang tak lain adalah lagu ciptaan Afiq yang ia karang tanpa disengaja.
Berlatih dan berlatih itulah yang mereka lakukan, bang agus selalu sabar mengajari mereka
| 53 dalam
setiap
latihan,
walau
agak
susah
mengajarkannya, maklum baru tingkat permulaan, tapi semangt mereka untuk bisa tetap menggebu – gebu, “Eh coy, bagaimana dengan costum untuk lomba? Kita sudah lihat pada saat pendaftaran, semua menggunakan costum seragam, hanya kita yang tak sama”ucap Muluk. Semua termangu mendengar ucapan Muluk, walau ia biasa nyeletuk, tapi celetukannya kali ini berbeda dengan biasa, ini suatu ide yang baik. “Ah, ada gunanya juga punya teman yang biasa nyeletuk”ucap Afiq dalam hati.
Sang Sunyi
Sang Sunyi “Betul kata kau Mad, hanya kita yang tak seragam pakaiannya, Afiq paki baju warna biru, kau pakai baju merah, Mujab pakai baju hijau, Arta pakai baju kuning,
Azis pakai baju kecoklatan,
Albar pakai baju blasteran, dan aku? Ah, tak ada yang seragam”ucap Faiz. “Ah, tak perlu bingung, uang hasil jualan kalender masih bayak lebihnya, kita belikan saja ke costum kita, kan biar kompak”celetuk Muluk kembali. “Benar – benar ide yang bagus Luk, Luk! Tak menyesal kami punya kawan seperti kau,
suka
nyeletuk”ucap Afiq. Berderai tawa kembali di Mushalla itu, kini Muluk yang menjadi sasaran yang tepat sebagai pelampiasan rasa kebahagiaan mereka.
| 54
“Tenang Luk, jangan marah. Kini celetukan labih ampuh dari kata – kata Dukun – dukun di
| 55 perkampungan”ucap Azis. “Ha…ha…ha”kembali
terdengar
tawa
diantara mereka. Saran Muluk diterima oleh teman – temannya yang lain, dan setelah keluar dari Mushalla, mereka pergi bersama ke pasar membeli costum untuk lomba, biar kompak. *** Jam sudah menunjukan pukul 19.00 WIB, itu berarti perlombaan akan segera dimulai. Mereka pergi bersama tanpa diketahui orang tua mereka, hanya bang agus yang tahu tentang perlombaan itu.
Sang Sunyi
Sang Sunyi Acara telah dimulai, pembawa acara mulai memanggil peserta satu demi satu, dan mereka terpana penampilan peserta yang menggunakan peralatan lengkap. Sedangkan mereka hanya beralatkan sebuah gitar, itu pun gitar butut warisan keluarga Albar dari kakeknya. “Eh, kawan – kawan, mereka menggunakan peralatan lengkap coy!”ucap Faiz. “Betul Iz, mereka menggunakan peralatan yang lengkap,
gitar bagus,
gendang bimbo,
tamborin, seruling. Amboi……bagusnya, kita bisa tersingkirkan oleh mereka”sambung Azis. “Kalian takut dengan semua yang kalian pandang, kita belum berperang bung! Berperang dahulu baru bisa tahu, Allah pAling tak suka dengan orang yang berputus asa.”ucap Afiq.
| 56
“Hanya sebuah gitar bukan berarti harus menyerah, kadang yang kecil dan sedikitlah yang
| 57 akan membuat repot”sambung Afiq. Semua terdiam, kini mereka tak banyak kata untuk menyanggah ucapan Afiq. Kini saatnya giliran mereka yang tampil. “Dag…dig….dug”detak
jantung
mereka
semua kembali berdetak tak sealur nada. “Inilah para hadirin dan dewan juri, peserta dengan
undian 07
dengan
nama
kelompok
“Pengejar Gelombang” selamat menyaksikan. Semua hadirin terdiam melihat kelompok ini, tak ada yang istimewa di pandangan mereka, hanya sebuah gitar tua yang mereka lihat, tak lebih. Azis memulai melantunkan lagu ciptaan Afiq itu, disambung bunyi gitar butut Albar, dan di
Sang Sunyi
Sang Sunyi sambung lagi dengan musik pengiring yang aneh. Ya, musik dengan menggunakan mulut atau dikenal
| 58
accapella. Ribuan tepuk tangan di keluarkan para hadirin ketika mendengar bait – bait lirik lagu mulai dilantunkan, mereka tak menyangka hanya dengan sebuah gitar saja bisa sebagus ini. Azis dan teman – teman menyanyikan lagu itu dengan penuh penjiwaan, tak terasa air matanya menetes membasahi pipinya. Azis dan kawan panggung,
–
kawan turun
dari
dan mendapatkan sambutan yang
meriah dari para hadirin. “Lanjutkan terus kreatifitas kalian, Pengejar Gelombang” kata MC mengantar mereka turun.
Ah,
kini
mereka
telah
menyelesaikan
tugasnya dengan baik, hanya menunggu hasil dari
| 59 kerja keras mereka yang penuh dengan lika – liku tantangan. “Ah, lega rasa hatiku,
tugas kita sudah
terlaksana”ucap Afiq “Betul Fiq, tapi disaat kita tampil dipanggung aku harus terpaksa menahan kandung kemihku untuk mengeluarkan minyak bensin, tapi usahaku gagal Fiq, aku tak tahan betapa besar tegangannya untuk keluar, entah berapa tegangannya,
1000
bahkan 10.000 wat Fiq”ucap Azis. “Jadi kau ngompol dalam celana Zis, ? pantas disaat kau melantunkan bait – bait lagu itu, wajahmu merah padam Zis”ucap Afiq
Sang Sunyi
Sang Sunyi “Tak banyak Fiq, sedikit saja, dan ini pun masih kutahan”jawab Azis.
| 60 “Zis, zis, pengorbananmu begitu besar, kau pantas disebut muslim sejati karena telah menahan kandung kemihmu untuk mengeluarkan minyak bensin”gurau Faiz, “Ha…ha…….ha….!”tawa kembali terdengar diantara mereka. Ini adalah saat – saat yang mereka tunggu, suasana tegang menyelimuti pikiran mereka. Ya, ini adalah pengumuman para pemenang lomba akbar itu. Pembawa acara mulai membacakan para pemenangnya, juara 3 dan juara 2 sudah dibacakan, hanya juara 1 yang belum dibacakan. Siapakah mereka pemenangnya?
“Juara pertama dengan jumlah nilai 1799, adalah…
Kelompok
para
“Pengejar
| 61 Gelombang…….” ucap pembawa acara dengan semangat. Bukan main girang hati mereka, Azis, Faiz, Mujab, Albar, Arta, Muluk meompat – lompat dan berteriak “kita menang boy……..!, hanya Afiq yang diam dan tenang, batuk kecil setelah melantunkan Nasyid tadi membuyarkan semuanya,
ia hanya
tersenyum ketika kata “para pengejar gelombang” dikumandangkan. Tak ada yang menyadari bahwa digenggaman tangan Afiq, darah kental telah mengering. Afiq terbatuk.
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 62
| 63
CYSTIK FIBROSIS Beritanya menyebar lebih cepat dibandingkan datangnya Piala perlombaan Nasyid itu. Muluk tergopoh – gopoh membawa piala yang tak seberapa tinggi, maksudnya biar nampak berat. Azis berjalan paling depan dengan senyum lebar, membuat
cewek
–
cewek
dibuatnya.
Sang Sunyi
hampir
pingsan
Sang Sunyi Afiq malah tak tampak batang hidungnya, bahkan hingga upacara penyerahan piala ke sekolah selesai. Semua bertanya – tanya, hingga akhirnya Pak Arifin, sang kepala Madrasah memanggil semua Pengejar Gelombang keruangannya. Muram
muka
pak
Arifin
menyiratkan
kegalauannya, ada sesuatu, mereka juga sudah merasa. Tapi semua beranggapan sama, Afiq pergi lagi untuk sementara seperti awal semester lalu... dan sekarang mereka terkejut: “Afiq sekarang dirawat di rumah sakit” kata Pak Arifin sambil membetulkan letak kacamata tebalnya. “Sakit lagi pak?” tanya Faiz “Pnumonia dan cystic fibrosisnya sudah parah sekali, sabtu malam waktu kalian ikut festival
| 64
sebenarnya Afiq sudah sangat sakit, Cuma dia tidak ingin mengecewakan kalian” jelas nya lagi. Muluk
| 65 mencoba mengingat – ingat kata Pneumonia itu, oh itu sakit infeksi paru – paru. Pantas Afiq sering batuk. “Jadi saya mengajak kalian berkumpul disini untuk
mengajak
kalian
bersama
guru
lain
membesuknya pulang sekolah ini” ajak Pak Arifin, mereka semua mengangguk, hanya Muluk yang tidak karena di dalam kepalanya yang sudah sempit itu dia tidak menemukan kata Cystic Fibrosis, itu penyakit apa? *** Ternyata tak Cuma para pengejar Gelombang, Pak Arifin dan beberapa guru yang pergi, Jamaah KUDU juga
ikut,
rupanya
Azis
dan
Muluk
sudah
menyebarkan berita tentang Afiq ke teman –
Sang Sunyi
Sang Sunyi temannya, sekarang hampir 80% siswa sudah jadi Jamaah KUDU.
| 66 Maka mereka pun beramai – ramai ke Rumah sakit, karena tak boleh masuh semua maka hanya Para Pengejar Gelombang dan Guru serta Pak Arifin saja yang masuk sementara yang lain hanya menunggu di Parkiran.
| 67
SANG SUNYI “Semua Berasal dari Allah dan Akan kembali Kepada Allah�
Semua sunyi, tidak bercanda, tidak bersuara, bahkan senyum terbaik Azis pun harus menjadi muram dalam air mata yang tertahan. Didepan mereka, tubuh itu baru terlihat ringkih, padahal
Sang Sunyi
Sang Sunyi tidak berkurang berat tubuhnya, Cuma mereka baru menyadari.
| 68 Matanya terpejam, dan terus begitu kata seorang pemuda yang menungguinya sejak lepas salat subuh diatas tempat tidur tadi. Mereka terdiam bukan karena kasihan, namun melihat wajah Sang Sunyi itu yang begitu damai, sinar matahari yang malu – malu masuk dalam ruangan silaunya menimpa wajah Afiq, menambah anggun senyum sunyinya. Pemuda
itu
mengenalkan
diri
kepada
Pengejar gelombang, “Kenalkan saya Saufi abang sepupunya Afiq�, Para Pengejar Gelombang saling toleh, ini Bang Saufi yang diceritakan Afiq, mereka segera memahami kekaguman Afiq pada Ustadz muda ini. Lalu kembali Sunyi, seakan jamaah
malaikatpun menaungi ruang serba putih itu, sunyi bersulam keindahan.
| 69
Lalu terdengar lirih namun pasti, dari mulut sang Sunyi keluar suara, bukan sekedar suara, suara terindah, itu bacaan Waqiah, surah yang mereka tahu sedang dihafal oleh Afiq satu bulan terakhir ini. Bang Saufi bergegas menelpon Orang tua Afiq, menyuruhnya segera datang. Terbata, huruf demi huruf keluar dari bibirnya. Kesunyian itu semakin bertambah sunyi, semua termenung, ada pemahaman meresap kedalam hati mereka Idza Waqa’atil Waqiah, Laisa Liwaqatiha kadzibah, Khafidaturrafiah, Idza rujatil Ardhu rajja, Wa Busatil Jibalu Bassa, Yang mereka saksikan adalah kebenaran sesungguhnya, yang mereka tak bisa lari lagi darinya,
Sang Sunyi
Sang Sunyi bumi jiwa mereka digoncangkan sekuat – kuatnya, meruntuhkan
sisa
–
sisa
gunung
–gunung
keangkuhan seorang manusia.
Orang tua Afiq sudah datang, mereka lalu menggenggam tangan anaknya, mereka tahu juga sudah diberi pemahaman dari bacaan Waqiah itu. Saufi, memahami bacaan itu, inilah janji – janji Allah pada tiap manusia, bagi mereka yang memilih jalan kanan ada keindahan yang dijanjikan Allah. Saufi berharap Qaid Miftah juga melihat ini, agar dapat diceritakan lagi kepada orang lain. Ya Allah bacaan itu semakin lama semakin deras mengalir, bersamaan dengan deraian air mata semua yang ada, Muluk paling deras air matanya.
| 70
Lalu bacaan itu kembali melirih, lirih dan diakhir surah
| 71
Innahazalahuwal Haqqul Yaqin, Fasabbih bismirabbikal Azimm, Kematianlah sebenar – benarnya Keyakinan, tak
disadari,
semua
yang
hadir
bertasbih,
Subhanallah, sambil berurai air mata. Afiq menarik nafas panjang, lalu tersenyum, mensunyi dan sunyi, sang Sunyi sudah pergi. Dalam lautan air mata, dia berlayar menuju kesunyian di ujung cakrawala kehidupan. Sang Sunyi pergi.
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 72
| 73
EPILOG Aku tak tahu dimana aku akan mati, apakah di belantara hijau Palung ataukah lautan karimata. Yang pasti semua manusia akan menemui kematian, termasuk aku. Aku tak tahu dimana aku akan di kuburkan, di antara tumpukan sampah bau atau disapu banjir
Sang Sunyi
Sang Sunyi bandang yang tiba – tiba datang menghantam tanah air kecilku.
| 74 Yang jelas,
kelak aku pasti terkubur,
dan
diatasku anak-anak kecil berlarian, belajar mengeja namaku di tiang kubur. Atau bahkan untuk nama pun aku tak bersisa,
aku mayat kaku terbujur,
tak
dikenal. Aku tak tahu dimana aku akan menemui kesejatian hidup, di ruang sempit rumah sakit yang kudatangi petang tadi-kah atau di hanyutkan buihbuih lautan, aku tak tahu dimana aku akan sunyi, menemui hakikat hidup. Kematian akan terus menjadi misteri, hingga detik terakhir. Aku tak tahu dimana aku akan mati,
di
pegunungan Lawang yang curam ataukah di lembah – lembah gunung Gantang yang batu perseginya masih jadi misteri bagi para pendaki, termasuk aku.
Karena aku tak tahu dimana aku mati, maka aku terus pergi meninggalkan alam tenang, tanah air
| 75 kecilku yang suci. Aku masuki tanah-tanah busuk kaum tak bertuhan, pencaci,
aku ikut mencaci di tanah maki suku aku angkat tanganku di bisikan angin
selatan. Aku terus mencari, karena aku tak tahu dimana malaikat maut akan mendatangiku, maka aku pergi ke palung terdalam, berjalan di karang tajam,
tebing terjal,
dan merayapi gunung dan
lembah, sembahyang di antara pepohonan purba, yang sedang ditaksir para manusia pohon, untuk dijadikan sarang mereka. Namun, di batu terjal ngarai Batu Tunggal yang kuingat namamu, di danau Pewakan dalam kabut-kabut yang tak bisa kugenggampun, hanya namamu yang tergambar, hanya saja tak bisa ku
Sang Sunyi
Sang Sunyi panggil. Setiap langkah kaki, dan helaan nafas, yang ku ingin teriakan hanya namamu, Cuma aku tak bisa menyebut namamu, bukan karena aku lupa. Hanya saja seribu luka yang pernah membenam di hatiku tak mengijinkan aku memanggil namamu. Ganasnya karimata yang diterjang perahu kecil yang
kutumpangi-pun
tak
sanggup
buyarkan
anganku untuk meraih tanganmu ke dalam dadaku. Yang aku bayangkan wajahmu, aku terus mencari tak henti, sampai aku berhenti pada satu titik; Apakah sesungguhnya yang kucari? Dan kujawab: Engkau‌ Di surau – surau negeri sembilan, aku berzikir, di masjid indah Manismata aku suburkan rinduku pada Tuhan,
namun jemari halus mu menarik
dawaiku dan meninta aku senandungkan namamu. Aku hilang dan mabuk,
mencapai ekstase dalam
namamu. Ku terjuni Riam berasap, aku masuki goa
| 76
lubang Tedong, aku hilang ditelan kabut utara di bukit cintamani, namun ketika aku sadar, yang ku
| 77 bayangkan samudera matamu. Aku tak tahu dimana aku akan mati, di jurang batu Terjal bukit kelamkah, atau di lautan dalam Tanjung si Api-api. Yang kutahu hanya satu; aku pasti mati. Dan bila saja aku mati di tanah ini, tentu aku akan dikubur dibawah beringin putih, sama seperti kakek ku saat aku diajak ayah ku berziarah kesana. Atau jika aku mati di tanah air kecilku yang suci ini, tentu aku akan dikubur di samping kuburan sunyi tempat makam yang sejati. Dimana setiap pagi, pohon kamboja menggugurkan kelopaknya, untuk berzikir mendoakanku. Tentu ibuku menangisi kepergianku yang tak sempat berucap maaf padanya.
Sang Sunyi
Sang Sunyi Di kuburan beringin putih di tepian sungai itulah kubur sang sunyi berada, persis sebagaimana diingini nya, disebelah sang Kakek.
| 78
| 79
Sang Sunyi
Sang Sunyi
| 80